Anda di halaman 1dari 40

Buat Yang Udah Nikah, Mau Nikah, punya Niat untuk nikah.

Bertengkar adalah phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan


berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: "Saya tidak pernah
bertengkar dengan isteri saya !" Kemungkinannya dua, boleh jadi dia
belum beristeri, atau ia tengah berdusta. Yang jelas kita perlu
menikmati sa'at-sa'at bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi
sa'at sa'at tidak bertengkar. Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan
diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat tinggi.
Kalau tahu etikanya, dalam bertengkar pun kita bisa mereguk hikmah,
betapa tidak, justru dalam pertengkaran, setiap kata yang terucap
mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan
desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental, lebih mudah
dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.

Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala
kita bertengkar, dari beberapa perbincangan hingga waktu yang
mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of Understanding,
bahwa kalau pun harus bertengkar, maka :

1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama'ah.


Cukup seorang saja yang marah marah, yang terlambat mengirim sinyal
nada tinggi harus menunggu sampai yang satu reda. Untuk urusan marah
pantang berjama'ah, seorangpun sudah cukup membuat rumah jadi meriah.
Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata "STOP" ini
giliran saya ! Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum
saya berkata dalam hati : "kamu makin cantik kalau marah, makin
energik ..." Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal sholeh,
telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang
dikasihi... "duh kekasih .. bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu
menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku menunggu ...."

Demikian juga kalau pas kena giliran saya "yang olah raga otot
muka",saya menganggap bahwa distorsi hati, nanah dari jiwa yang
tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar
kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada
isteri saya :) maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi
keranjang sampah. Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus
berjama'ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara
berjama'ah selain marah :)

2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah


terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab
masa silam adal ah bagian dari sejarah dirinya yang tidak bisa ia
ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab
harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar
pun kita perlu menjaga harapan, bukan menghancurkannya. Sebab
pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah
sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa,
menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.

Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas


keterlambatan itu sekeras apapun kecamannya, adalah "ungkapan rindu
yang keras". Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya,
minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat
saya terpuruk jatuh.

Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula),
sepedas apapun saya marah, maka itu adalah "harapan ingin disayangi
lebih tinggi". Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dan
tiga h ari lewat, plus tuduhan "Sudah tidak suka lagi ya dengan saya",
maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya
menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh
cintanya. Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah ... OK,
marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu,
dan ia pun milik hari ini .....

3. Kalau marah jangan bawa bawa keluarga !


Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan
ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu,
demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang
itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).

Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi
kalau ibu saya diajak serta, jangan coba coba. Begitupun dia, semenjak
saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini
selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah
"awal cinta yan g panas ini".

Kata ayah saya : "Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu
banyak". Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari
ma'afnya dari pada ngambek pada yang tidak mengenal hati dan diri
saya..". Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah
dengan memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak anak !


Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian.
Dia tidak lahir lewat pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka
harus menonton komedi liar rumah kita.

Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak
siapa. Membela ayah, bagaimana ibunya. Membela ibu, tapi itu 'kan
bapak saya. Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu
datang main suruh begitu, emang saya ini babu ?!!!"
* Bapak : "Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan
aku harus mencari lebih banyak untuk itu , saya datang hormatmu tak
ada, emang saya ini kuda ????!!!!
* Anak : "...... Yaaa ...ibu saya babu, bapak saya kuda .... terus
saya ini apa ?"

Kita harus berani berkata : "Hentikan pertengkaran !" ketika anak


datang, lihat mata mereka, dalam binarannya ada rindu dan kebersamaan.
Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia
mendengar kata basi hati kita ???

5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat !


Pada setiap tahiyyat kita berkata : "Assalaa-mu 'alaynaa wa 'alaa
'ibaadilahissholiihiin" Ya Allah damai atas kami, demikian juga atas
hamba hambamu yg sholeh .... Nah andai setelah salam kita cemberut
lagi, setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita
telah mendustai Nya, padahal nyawamu ditangan Nya.

OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti
lho itu janji dengan Ilahi ..... Marahlah habis shubuh, tapi jangan
lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya .. . Atau habis isya
sebatas....??? Nnngg....... Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya
sebaiknya memang tidak bertengkar ... :)

6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema'afkan


(Hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca di koran resensi
sebuah film). Tapi yang jelas memang begitu, selama ada cinta,
bertengkar hanyalah "proses belajar untuk mencintai lebih intens"
Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki.
Ini saja, semoga bermanfa'at, "Dengan ucapan syahadat itu berarti kita
menyatakan diri untuk bersedia dibatasi".
Selamat tinggal kebebasan tak terbatas yang dipongahkan manusia pintar.
Agar Bahtera Tetap Berlayar
Publikasi: 20/08/2004 10:55 WIB

eramuslim - Dalam Islam pernikahan merupakan suatu aqad (perjanjian) yang diberkahi
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang dengan aqad itu menjadi halal bagi
keduanya hal-hal yang sebelumnya diharamkan. Dengan pernikahan itu keduanya mulai
mengarungi bahtera kehidupan panjang yang diwarnai cinta dan kasih saying, saling
pengertian, toleransi, saling tolong menolong, masing-masing memberikan ketenangan
bagi yang lain, sehingga dalam perjalanannya keduanya mendapatkan kebahagiaan.

Namun, bahtera pernikahan tidak selalu menghadapi laut yang tenang, kadang ada riak,
kadang ada ombak kecil, kali lain datang ombak besar yang kesemuanya dapat membuat
bahtera kita menjadi oleng. Itulah sunnatullah (ketetapan Allah), karenanya barang siapa
berani berlayar ia tidak boleh takut menghadapi ombak.

Berikut ini kiat-kiat yang dapat dilakukan suami istri agar bahtera pernikahan tetap
berlayar walau ombak datang menghadang.

Mendekatkan diri kepada Allah SWT

Ini adalah kiat terpenting, karena hati manusia berada di antara dua jemari Allah yang
Maha Penyayang. Harm bin Hayyan seorang ahli ibadah di masa Umar ra berkata, "Tiada
seorang hamba yang mendekatkan hatinya kepada Allah, melainkan Allah akan
mendekatkan hati orang-orang mukmin kepadanya sampai ia mendapatkan cinta
mereka." Caranya adalah suami istri saling mengingatkan tentang ibadah masing-masing,
baik yang wajib maupun yang sunnah dan keduanya berusaha berpegang teguh pada
nilai-nilai Islam dalam membina rumah tangga.

Betapa indahnya gambaran yang diceritakan Rasulullah SAW mengenai sepasang suami
istri berikut ini, "Semoga Allah merahmati laki-laki yang bangun malam dan
mengerjakan shalat, lalu membangunkan istrinya untuk mengerjakan shalat. Apabila
istrinya tidak mau, ia mencipratkan air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati
wanita yang bangun malam dan mengerjakan shalat, lalu membangunkan suaminya untuk
mengerjakan shalat. Apabila suaminya tidak mau, ia mencipratkan air ke wajahnya." (HR
Abu Dawud, Nasa'l dan Ibnu Majah).

Suasana saling mengingatkan dan saling tolong menolong yang terjalin antara suami istri
dalam berbuat ketaatan akan menjadikan rumah tangga insya Allah berada dalam
naungan rahmat Allah. Karenanya, jika suami atau istri merasakan adanya kesenjangan
dengan pasangannya, atau merasakan kesempitan/beratnya beban dalam menghadapi
persoalan/masalah dalam rumah tangga maka hal pertama yang harus dilakukan
hendaknya keduanya mengoreksi kualitas hubungannya dengan Allah.
Berusaha menyertai pasangan saat suka dan duka

Tiap orang memiliki kegemaran berbeda dan biasanya merupakan kesenangan tersendiri
jika kita dapat menikmati kegemaran kita, itulah saat-saat 'suka' bagi kita. Karena itu
orang memiliki saat-saat suka yang berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan suami istri,
kegemaran yang berbeda memungkinkan keduanya memiliki saat-saat suka yang berbeda
pula. Misalnya suami mengalami saat suka kala membaca dan mengeksplorasi komputer
(karena itulah kegemarannya) sedang istri mengalaminya ketika sedang 'mengeksplorasi'
resep-resep baru. Dan menjadi sesuatu yang membahagiakan apabila pada saat tertentu
keduanya saling menyertai dalam menikmati kegemaran pasangannya. Tidak ada
salahnya jika sekali-kali ikut berpartisipasi mengaduk-aduk tepung saat istrinya sedan
mencoba resep baru, keduanya dapat bersenda gurau sebagaimana pernah suatu saat
Rasulullah SAW mencandai A'isyah ra ketika sedang bersama mengaduk tepung, beliau
memoleskan tepung ke wajah A'isyah ra, atau saat Rasulullah SAW mengajak A'isyah
lomba lari.

Demikian juga hendaknya ketika suami atau istri atau rumah tangga sedang mendapat
cobaan dan ujian dari Allah SWT, keduanya saling menyertai dan menguatkan satu sama
lain. Ingatlah kisah kesetiaan dan kesabaran Siti Khadijah ra menyertai Rasulullah SAW
saat awal menerima risalah, menjadi pendamping beliau saat dimana semua orang bahkan
kerabat Rasul sendiri memusuhi beliau, tetap menjadi pendamping beliau yang setia saat
Rasulullah diboikot selama tiga tahun oleh masyarakat Quraisyi hingga mereka dan kaum
muslimin lainnya harus makan rumput-rumputan karena tidak ada makanan dan bukan
hanya itu, Ibunda Khadijah ra bahkan telah menyerahkan dirinya, hartanya, jiwanya dan
seluruh hidupnya untuk menyertai Rasulullah SAW dalam menegakkan risalah-Nya.
Keseluruhan kepribadian dan sikap Ibunda Khadijah ra ini membuat kedudukan beliau di
mata Rasulullah SAW tidak tergantikan oleh istri-istri yang lain yang dinikahi beliau
setelah wafatnya.

Memupuk sikap toleransi dan berusaha menjadi pemaaf bagi pasangannya

Adalah sesuatu yang tidak mungkin jika kita berharap pasangan kita selalu melakukan
yang sesuai dengan keinginan kita atau selalu menjadi yang kita inginkan atau tidak
melakukan kesalahan. "Manusia itu tempatnya salah dan dosa," demikian kata Rasulullah
SAW. Karena itu yang terbaik adalah masing-masing berusaha memiliki toleransi yang
besar terhadap hal-hal yang dilakukan pasangannya tidak sesuai keinginannya, dan
menjadi pemaaf terhadap kesalahan yang dilakukan pasangannya, tidak mengingatnya
dan tidak menyebutnya dari waktu ke waktu.

"Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kalian tidak ingin
supaya Allah memberi ampunan kepada kalian?" (QS An-Nur: 22)
Menjaga 'rahasia' pasangan

Setiap orang memiliki 'rahasia' yang tidak suka diceritakan atau diketahui orang lain,
begitu pula halnya dengan pasangan suami istri. Walaupun suami istri terkadang saling
mengetahui 'rahasia' pasangannya, keduanya tetap tidak suka jika rahasia tersebut
diketahui orang lain. Karena itu hendaknya suami istri saling menjaga rahasia
pasangannya, yang demikian itu lebih dapat menjaga perasaan masing-masing sehingga
mewujudkan rasa saling percaya diantara keduanya. Terlebih bila rahasia itu menyangkut
hubungan suami istri, Ingatlah sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya orang yang paling
buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat laki-laki yang menggauli istrinya dan
wanita yang menggauli suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menceritakan
rahasia suami istri itu." ***

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No. 4 Tahun I, Juni 2003

Agar Bisa Lebih Menghargai


Publikasi: 11/11/2004 07:11 WIB

eramuslim - Dulu, saya sering sekali mengeluh karena belum menikah. Saya selalu
merasa ingin memiliki seorang suami yang dengan kekuatannya akan menutupi
kelemahan saya, yang dengan ketelitiannya akan menutupi kecerobohan saya, yang
dengan kelebihannya akan menutupi kekurangan saya.

Saat saya harus bercapek-capek naik ke lantai atas rumah saya membawa dua sampai tiga
ember pakaian yang telah dicuci untuk dijemur, kadang-kadang saya mengeluh,
"Senangnya kalau punya suami, nggak usah ngangkat-ngangkat ember kayak begini".

Saat saya harus pergi belanja ke pasar dan pulang kelelahan membawa belanjaan yang
berat, saya juga mengeluh "Bahagianya punya suami, nggak mesti jalan sendirian. Nggak
perlu bawa-bawa belanjaan berat kayak begini lagi."

Saat suatu hari saya mencoba meluruskan cantelan tas yang terbuat dari besi dengan
menggunakan tang, saya pun mengeluh, "Kalo punya suami... nggak harus megang-
megang tang kayak gini nih, tangan pake lecet segala lagi."

Saat saya mencoba mengganti lampu yang mati dengan yang baru, sekali lagi saya
mengeluh, "Wah, enaknya punya suami, nggak mesti naik-naik tangga kayak begini
benerin lampu, pake kena setrum lagi..."

Biasanya saya suka menimpali diri saya sendiri, "Emangnya suami tukang ngangkatin
ember?!" atau "Emangnya suami tukang benerin lampu?!", "Emangnya suami apaan?!"
Tapi itu dulu... hingga suatu hari saya bertemu dengan kakak sepupu saya beberapa
waktu lalu.

***

Dia seorang wanita karir, dan saya tidak menyangka akan mendapatkan pelajaran
berharga darinya.

Sepupu saya itu bercerita bahwa ia harus bekerja dari pagi sampai sore hari. Sebenarnya
mungkin tidak terlalu banyak yang dia kerjakan di kantor. Hanya saja dia harus datang
sebelum bosnya datang dan pulang setelah bosnya pulang. Jarak antara rumah kosnya
dengan kantornya yang cukup jauh, ditambah dengan kemacetan di jalan, sangat menyita
banyak waktunya.

"Melelahkan! Kalau saat ini kakak udah punya suami dan punya anak..." katanya, "wah,
susah banget deh jadi wanita karir, jadi istri, trus jadi ibu pula pada saat yang
bersamaan."

Itulah yang membuatnya mengambil keputusan bila ia menikah nanti ia akan melepaskan
pekerjaannya. Ia meragukan dirinya bisa menyiapkan sarapan untuk suaminya sebelum
berangkat bekerja sementara ia sendiri harus bersiap untuk pergi bekerja juga,
menyediakan makan malam untuk suaminya sebelum pulang kantor padahal ia sendiri
mungkin masih keletihan karena baru pulang dari kantor, itu pun kalau dia sudah pulang.
Sulit baginya membayangkan bagaimana ia akan menjalankan perannya sebagai istri di
rumah bila ia tetap mempertahankan pekerjaannya yang melelahkan itu.

Mungkin tidak banyak wanita di zaman ini yang sependapat dengannya. Karena saya
lihat di luar sana banyak wanita yang telah bekerja kemudian menikah tetapi tetap
mempertahankan pekerjaanya. Dan (tampaknya) mereka baik-baik saja.

Mendengar keluh-kesahnya, saya tidak merasa lebih beruntung karena pekerjaan saya di
rumah lebih ringan dibandingkan pekerjaanya. Ingin rasanya waktu itu saya meyakinkan
kakak sepupu saya itu bahwa pekerjaan di rumah juga tidak kalah melelahkan dengan
menjadi seorang wanita karir seperti dia. Namun belum sempat saya bercerita,

"Tapi... ada hikmahnya juga kakak ngerasain capek-capek kerja kayak gini..." katanya,
"pergi pagi, pulang malem, sibuk di kantor, dan capek di jalan..."

Dia memandang saya dengan mata yang menerawang. Sementara saya mencoba mengerti
hikmah apa sebenarnya yang dia maksud.

"Ternyata... begini toh rasanya bekerja keras, bersusah payah mencari uang buat makan.
Ternyata nggak gampang! Kakak jadi bisa lebih menghargai suami kakak nanti yang
nyari nafkah buat kakak..." katanya mengakhiri perbincangan hari itu.
Kata-kata itulah yang membuat saya berhenti mengeluhkan pekerjaan-pekerjaan yang
saya lakukan di rumah dan berhenti berandai-andai kalau saya punya suami maka
pekerjaan saya akan lebih ringan.

Yah, saya jadi menyadari bahwa pekerjaan suami itu jauh lebih berat dari sekadar
mengangkat ember atau membawa belanjaan sehingga saya harus lebih menghargai jerih
payahnya dan rela ngangkat-ngangkat sendiri. Tanggung jawabnya lebih besar dari
sekadar menjaga saya dari setruman listrik atau melindungi tangan saya supaya nggak
lecet sehingga saya harus lebih menghormatinya dan lebih berhati-hati menjaga diri saya
sendiri.

Tapi... saya rasa walaupun setiap wanita sanggup dan rela melakukan itu semua sendiri,
sepertinya seorang suami tidak akan rela. Sehingga dialah yang akan melakukannya
untuk isterinya. Dan pada saat itulah sang istri tahu apa yang harus ia lakukan untuk
suaminya.

Sekarang, saya menikmati melakukan semua pekerjaan saya di rumah. Saya hayati
bagaimana pun beratnya pekerjaan itu, bagaimana pun susahnya pekerjaan itu. Supaya
suatu saat nanti saya akan lebih menghargai seseorang yang akan melakukan semua itu
untuk saya.

Mutiara
wife_wannabe@eramuslim.com

"teman-teman seperjuangan"-ku, berjuanglah... karena ada yang sedang berjuang juga


untuk kita di luar sana

Berjuang Keras untuk Satu Isteri


Publikasi: 18/10/2004 09:32 WIB

eramuslim - Saya teringat sebuah dialog dengan "Sang Direktur" di salah satu instansi,
dia memiliki posisi yang cukup strategis, dan cukup basah kata kebanyakan orang. Kami
bersilaturahim ke rumah beliau dan isterinya, obrolan pun mengalir hangat dan sangat
penuh kekeluargaan.

"Sudah makan malam belum nih, aku siapkan ya?" ujar sang isteri.

"Tidak usah Bu, 15 menit yang lalu kami barusan makan malam di Warung Lawu!"
balasku.

"Ah, Warung Lawu! Kok mau sih makan di restauran itu?" tanyanya gemas.

"Memangnya kenapa bu, haram?" tanyaku penasaran.


"Kita sih ibu-ibu di sini udah pada boikot itu restauran, karena yang punya itu restauran
'doyan isteri banyak'! Wah enggak bakalan deh makan di situ lagi!" Sambil tertawa
renyah dan Sang Direktur mengiyakan isterinya dengan tersenyum manis.

Tak disangka dialog semakin hangat dan mengalir ke sisi perilaku umum para pejabat di
instansi Sang Direktur berkantor, dimana terdengar, banyak dari pekerja ataupun pejabat
yang melakukan hubungan tak wajar. Mereka dengan mudahnya menyebut si fulan ini, si
fulan itu punya simpanan di sana-sini di luar nikah, entah dengan wanita tuna susila,
dengan karyawatinya atau pun rekan selingkuhan. Isteri sang direktur itu sangat antusias
menceritakan kasus "mereka", dan ibarat nara sumber lah sang isteri tersebut, sambil
diikuti tawa dan senyum dari suaminya layaknya suami setia di samping isterinya. Di sisi
lain hatiku menolak melanjutkan pembicaraan semacam ini, "tidak ada manfaatnya dan
hatiku gerah," gumamku.

"Kalau saya gimana, ibu yakin enggak?" Tanya Sang Direktur kepada istrinya.

"Kalau saya sih yakin sekali suamiku tak begitu loh. Bapak sudah berkali-kali ikrar untuk
enggak kayak gitu kan". sambil mereka berdua saling berpegang tangan mesra, begitu
pun sambutan suaminya dengan senyuman.

Beberapa minggu menjelang, aku bertemu dengan seorang rekan usaha. Sewaktu kami
sedang asyik ngobrol, tiba tiba rekanku itu menerima telepon,

"Pak Fulan, apa kabar ...?" Jawabnya, dan berlanjut dengan obrolan urusan pekerjaan.

Di akhir pembicaraan, di seberang telepon terdengar, "mas, tolong dikirimkan 'yang


biasa' ke hotel ini, rang saya di ...., sekarang ya! lagi lelah dan tegangan tinggi nih! Saya
enggak kuat nahannya. Ya sekitar jam 11 malam deh, aku tunggu ya ...? Pintanya".

"Siap Pak, beres semuanya." ujar rekanku sambil menutup pembicaraan teleponnya.

Aku merasa kenal dengan sebutan nama yang menelepon rekanku itu, tak sabar aku
bertanya, "itu pak Fulan si Sang Direktur?" tanyaku.

"Betul, dia memang selalu minta gituan kalau sedang di sini, gue nih yang jadi repot
nyariin 'yang Biasa' nya," ujar rekanku.

Terbayang olehku bagaimana wajah isterinya yang begitu sangat yakin atas kesetiaan
Sang Direktur. Tak di sangka bahwa "Sang Direktur" termasuk salah satu pelaku dari
pergaulan ilegal. Aku segera tutup masalahnya, dan berlalu dari rekanku tadi.

Lain lagi cerita klien bisnisku yang lain. Dan aku yakin dengan mata kepalaku sendiri,
dia selalu berujar kepada ku pada dua atau tiga kali kunjungan ke luar kota atau pun ke
luar negeri bilamana bersama dengannya, "Aduh gue tak tahan nih, gue harus nyari nih.
Gue pusing kalau di luar kota gini, mau bertualang ah! Mungkin orang jepang, asyik kali
ya, beda rasanya nih, atau mungkin orang Itali asyik ya," begitu seterusnya. Dan itu
selalu ia realisasikan pada penghujung malamnya, kutahu setelah dia bercerita pada
keesokan paginya.

Hatiku perih bilamana mendengar itu, dan sesekali kuucapkan Astagfirullah, Ya Allah
tolong jagalah jiwa ini dari godaan seperti itu..., karena kuakui celotehan tersebut
bilamana tidak kita waspadai akan bisa menyeretku ke arah tersebut. Dan aku berjuang
keras untuk itu.

Kuakui kondisi tersebut menjadi suatu pembicaraan umum di kalangan para pebisnis atau
eksekutif di kota ini. Bukan saja hal itu terjadi di kantor Sang Direktur atau rekanku saja,
tetapi banyak cerita pula yang terjadi di perkantoran lainnya. Dunia semakin aneh,
gumamku. Tapi aku masih optimis bahwa kejadian seperti di atas belum menjadi
mayoritas perilaku para eksekutif di negeri ini, kuharap ...

Jadi siapa yang seharusnya kita benci dan boikot? Warung Lawu dengan beberapa
isterinya, yang meraihnya dengan cara yang halal, atau lelaki seperti Sang Direktur atau
rekanku tersebut?

Akhirnya aku mencoba menelaah apa yang terjadi. Aku buka Alquran dan beberapa buku
literatur, akhirnya kudapat sebuah jawaban, sesungguhnya Allah paling mengetahui
karakter ciptaan-Nya, prinsipnya kaum adam itu mempunyai potensi dan hasrat yang kuat
untuk pemenuhan psikologis terhadap wanita. Mereka juga butuh kasih sayang lebih dari
kaum hawa. Terlebih itu kaum adam memiliki energi yang sangat kuat untuk
menyalurkan kebutuhan biologisnya terhadap wanita. Semakin banyak semakin indah,
itulah syahwat kaum adam berbicara. Nah, permasalahannya adalah bagaimana caranya
untuk melampiaskan kebutuhan tersebut.

Hanya ada dua pilihan yang baik pikirku saat ini. Pertama, poligami yang halal, syariat
memperbolehkan hingga memiliki empat isteri, tetapi ada dampak sosial yang saat ini
masih menjadi kendala dan masih diributkan. Apalagi yang mempermasalahkan
kebanyakan dari kaum hawa. Dan pilihan kedua, adalah berjuang keras untuk tetap
beristeri satu , dengan alasan khawatir tidak adil, dampak sosial yang berat, atau hal
lainnya.

Semua pilihan di atas pastilah tetap membutuhkan perjuangan. Bagi yang memilih
poligami, dia harus berjuang untuk membahagiakan isteri-isterinya, menghadapi
tantangan dampak sosialnya, harus berlaku adil, memperkuat ekonominya, memperkokoh
silaturahim antar keluarga besar, dan itu semua butuh kerja keras dan berjuang pula.
Selain itu memastikan bahwa poligami bukanlah menjadi penghalang perjuangan amal
soleh tetapi justru menjadi penyokong gerakan amal solehnya.

Begitupun untuk alternatif kedua, yang berjuang keras untuk tetap beristeri satu. Hal ini
pun butuh perjuangan yang tidak ringan, untuk menahan potensi kebutuhan psikologis
maupun biologisnya untuk isteri lebih dari satu. Perjuangan untuk menekan keinginan
hatinya, selalu menjaga dan mempertahankan kesetiaan, menutup celah godaan, dan
menekan potensi kesenangan yang dihalalkan. Berjuang untuk membahagiakan seorang
isteri dan anak-anaknya, dan banyak perjuangan lainnya yang tak bisa diutarakan di sini.

Nah, buat para kaum hawa yang memiliki suami seperti alternatif yang kedua ini, dan
saya yakin makhluk seperti ini masih banyak tersebar di bumi ini, bersyukurlah.
Hargailah suamimu, sayangi dan dukunglah suamimu sepenuh hati, hormati dia atas
perjuangan kerasnya untuk memilih hanya seorang isteri di hatinya.

Zidni T. Dinan

(Untuk seorang wanita yang mendampingiku hingga saat ini, adalah sebuah karunia-
NYA yang indah dan telah diamanatkan kepadaku, seorang kekasih yang belum pernah
sekali pun memperlihatkan wajah masam, atau amarah padaku sejak kita mengikat janji
untuk mengarungi perjuangan kehidupan yang singkat ini. Terimakasih ya dukungannya,
and All the praises and thanks be to Allah)

Biar Numpang, Tetap Pede di Depan


Mertua
Publikasi: 30/08/2004 08:04 WIB

eramuslim - Firman sedang merenung dan memandangi langit-langit kamarnya --


tepatnya langit-langit kamar rumah mertuanya. Ya, sejak menikah hingga sekarang telah
memiliki dua anak ia memang masih menumpang di rumah mertuanya, istilah kerennya
PMI (Pondok Mertua Indah). Kondisi ini kerap membuat Firman merasa tidak nyaman
kendati selama ini mertua kelihatannya baik-baik saja. Sebagai laki-laki ia ingin bersikap
'lebih bertanggung jawab' dengan membelikan rumah -- meskipun kecil untuk istri dan
anak-anaknya. Tetapi untuk sekarang ini, jangankan membeli rumah, untuk mengontrak
saja masih terasa berat mengingat pendapatannya memang 'sedapat-dapatnya' karena ia
belum punya pekerjaan tetap.

Karena itulah ia berusaha 'mempedekan diri' untuk tetap tinggal di rumah mertuanya,
paling tidak sampai mendapat pekerjaan yang bisa diandalkan.

Bukan merupakan hal yang aneh jika pasangan yang baru menikah belum dapat 'mandiri'
alias belum bisa ngontrak atau punya rumah sendiri. Seperti kata-kata orang tua dulu,
orang baru menikah itu baru belajar hidup, maka tidak perlu heran bila kebanyakan
pasangan baru memulai rumah tangganya dari nol. Jadi, jika Anda termasuk golongan ini
janganlah berkecil hati, yang penting jangan sampai kehilangan kemauan, kerja keras dan
kesungguhan untuk memperbaiki taraf hidup, karena kata Rasulullah SAW, "Tiga yang
membuat manusia bahagia, yaitu pertama: istri yang shalihah, kedua: rumah yang luas
dan ketiga: kendaraan yang nyaman. Dan tiga hal yang membuat kesengsaraan, pertama:
istri yang jahat, kedua: rumah yang sempit dan ketiga: kendaraan yang jika engkau
gunakan menyusahkanmu." (HR Al-Hakim).
Persoalannya sekarang, ketika kita 'terpaksa' harus menumpang di rumah orang tua atau
mertua, tidak dapat dipungkiri ada sedikit atau banyak rasa rendah diri, tidak pede atau
sejenisnya, terutama untuk suami. Kesannya seperti 'kurang mampu' dan kurang-kurang
yang lain yang tidak dapat digambarkan dengan kata-kata. Nah, jika memang itu
persoalannya berarti solusi yang paling mungkin adalah dengan membuat diri kita lebih
pede di depan mertua walau status kita numpang di rumahnya.

Siapa Sih Mertua Itu?

Setiap kita pasti tahu bahwa ketika kita menikahi pasangan kita, kita tidak hanya
menikahi pasangan kita seorang diri saja setelah itu urusan selesai dan jadilah dunia ini
milik berdua. Pernikahan melahirkan hubungan persaudaraan yang lebih luas yang
disebut mushaharah, yang berarti orang tuanya menjadi orang tua kita -- yang disini
lazim disebut mertua, saudara dan kerabatnya menjadi saudara dan kerabat kita.
Karenanya pernikahan menjadikan tali silaturahim manusia semakin meluas.

Lalu, siapakah mertua itu? Mereka adalah orang tua pasangan kita. Jadi? Ya, merekalah
ayah dan ibu pasangan kita, yang melahirkan, membesarkan, mengasuh, mendidik,
merawat, menyekolahkan, menyayangi dan mencintai pasangan kita. Mereka tentu lebih
dulu mengenal dan karenanya lebih dulu dekat terhadap pasangan kita. Dan, jangan lupa,
mereka lebih dulu ada di hati pasangan kita. Karena itu bukankah sangat wajar bila
mereka menginginkan anaknya hidup bahagia dan sejahtera? Ibaratnya, seperti kata
orang-orang betawi 'dari kecil diurusin, diseneng-senengin eh sudah kawin dibikin susah
sama anak orang!'

Di sisi lain pada masa-masa awal pernikahan, tidak dapat dihindari bahwa masing-masing
kita masih membawa pengaruh dari kehidupan keluarga kita sebelum menikah. Baik
pengaruh yang berupa kebiasaan-kebiasaan pribadi yang bertahun-tahun kita jalani
sehingga ikut membentuk pola pribadi kita, maupun pengaruh aturan yang diberlakukan
dalam keluarga kita dan juga yang sering tidak disadari -- pengaruh ayah atau ibu kita
dalam memenej kehidupan berkeluarga mereka. Biasanya pengaruh-pengaruh ini telah
begitu mengakar dalam diri kita dan secara signifikan akhirnya mempola kita dalam
membangun, membina, dan memenej rumah tangga kita.

Begitulah, masa-masa ini akan dihiasi dengan masa transisi dari terbiasa dengan aturan
yang berlaku dan kebiasaan yang kita jalani sebelum menikah menuju proses
penyesuaian terhadap kebiasaan pasangan kita. Demikian pula dengan pasangan kita, dia
juga mengalami hal yang sama. Dan jangan lupa, jika kita masih numpang di rumah
mertua maka prosesnya menjadi bertambah dengan melakukan penyesuaian terhadap
kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang berlaku di rumah mertua.

Bagaimana Biar Numpang Tapi Tetap Pede di Depan Mertua

- Hargai dan hormati mertua karena mereka adalah orang tua istri Anda. Kalau mungkin,
tunjukkan Anda adalah menantu yang baik yang menyayangi putrinya.
- Jadikan ayah mertua sebagai guru dan pembimbing dalam persoalan rumah tangga
Anda dan berusahalah untuk tidak mendebatnya dalam masalah apapun.

- Jika ada hal-hal yang Anda tidak sepaham dengan mertua, sampaikanlah dengan sopan
dan tetaplah menghormatinya.

- Patuhilah aturan-aturan yang berlaku di rumah mertua, berusahalah untuk lapang dada
jika ada aturan yang kurang berkenan dihati Anda. Ingat, Anda tinggal di rumahnya,
maka aturan pemiliknya yang berlaku.

- Galilah hobi dan kegemaran ayah dan ibu mertua, jika ayah mertua hobi memancing,
tidak ada salahnya sesekali Anda pergi memancing bersamanya.

- Sesekali bawakan makanan kesukaan mertua.

- Libatkan mertua dalam menyusun rencana masa depan rumah tangga Anda -- terutama
yang berkaitan dengan kemungkinan mengontrak atau membeli rumah. Ini akan membuat
mertua merasa dihargai. Jangan sampai hari ini Anda pindah, hari ini pula Anda pamit
tanpa ada pembicaraan sebelumnya.

- Berlatih untuk dapat menahan diri, lebih sabar dan rela berkorban -- minimal berkorban
perasaan dalam menghadapi segala masalah di rumah mertua.

- Terakhir, berusaha lebih keras dan berdoa lebih banyak agar diberi kelapangan rizki
sehingga dapat mengontrak atau malah membeli rumah sendiri.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No. 8 Tahun I, Oktober 2003

Bijak Berhubungan Intim


Publikasi: 09/09/2004 15:56 WIB

eramuslim - Percayakah Anda para istri, bahwa segala kebaikan yang Anda miliki
sebagai seorang istri seperti kecantikan, kecerdasan, kelembutan tutur kata, keterampilan
mengatur rumah, kepandaian memasak, mendidik anak-anak dan hal-hal baik lainnya.
Semua itu menjadi tidak berarti di mata suami Anda jika hasrat bercintanya tidak Anda
penuhi dengan baik!

Begitulah! Seandainya ditanyakan kepada para laki-laki, apa yang paling mendorong
mereka menikahi seorang perempuan? Apakah jawabannya karena mereka ingin masakan
yang enak? Bisa jadi ibunya adalah orang yang paling pandai memasak makanan yang
disukainya. Atau apakah karena mereka ingin ada yang mencuci dan menyetrika
pakaiannya? Atau apakah karena ia ingin ada yang menjadi teman diskusinya tentang
politik? Ternyata bukan itu semua jawabannya. Inilah jawaban paling jujur dan terus
terang. Hal yang paling utama dan mendasar yang mendorong seorang laki-laki untuk
menikahi seorang perempuan adalah karena mereka ingin memenuhi dorongan hasrat
seksualnya hanya kepada pasangan yang sah.

Memang mengatur dan merawat rumah, memasak makanan yang lezat, mengasuh dan
mendidik anak-anak adalah urusan yang penting yang tidak boleh diabaikan. Akan tetapi
prioritasnya menjadi yang kedua setelah memenuhi kebutuhan suami demi menjaga
kebersihan dirinya.

Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang telah menjadikan pernikahan sebagai satu-
satunya sarana yang diperbolehkan untuk memenuhi dorongan seksual manusia, baik
laki-laki maupun perempuan. Karenanya, pernikahan adalah cara yang paling jitu untuk
menjaga kehormatan, kebersihan serta memelihara kesucian diri dari perbuatan-perbuatan
terlarang yang terkait dengan pemenuhan dorongan seksual manusia.

"Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu dan berkeinginan untuk
menikah, maka menikahlah! Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan." (Muttafaqun alaih).

"Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah, yaitu mujahid yang berjuang di
jalan Allah, hamba sahaya yang bermaksud memerdekakan dirinya dan orang yang
menikah dengan niat untuk menjaga kesucian dirinya." (HR Tirmidzi).

Bertolak dari pemahaman ini kita dapat menjadi lebih memahami mengapa Islam ketika
membahas masalah pernikahan, sangat memberi perhatian kepada masalah hubungan
suami istri yang disebut jima'. Bukan jima' antara suami istri dalam pandangan Islam
adalah perbuatan yang mendatangkan pahala, disetarakan dengan tasbih, takbir, tahmid,
tahlil dan amar ma'ruf nahi munkar. Dari Abu Dzar al-Ghifari ra, Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya pada setiap tasbih terdapat pahala, pada setiap takbir terdapat
pahala, pada setiap tahmid terdapat pahala, pada setiap tahlil terdapat pahala, pada amar
ma'ruf terdapat pahala, pada nahi munkar ada pahala dan seseorang melampiaskan
syahwat kepada istrinya ada pahala.

"Para sahabat banyak yang tercengang mendengarnya, mereka bertanya, "Seseorang


melampiaskan syahwat kepada istrinya lalu mendapat pahala, bagaimana hal itu bisa
terjadi ya Rasulullah?" Beliau berkata, "Bagaimana sekiranya jika dia melampiaskannya
kepada yang haram, berdosakah dia? Maka begitu pula halnya, apabila dia
melampiaskannya kepada yang halal, dia mendapat pahala." (HR Muslim).

Begitu pentingnya masalah jima' dalam pernikahan, sehingga Rasulullah SAW


memerintahkan seorang istri untuk menyambut ajakan suaminya untuk berjima', walau
bagaimanapun keadaannya. "Apabila seorang suami mengajak istrinya berjima', maka
hendaklah istri menyambutnya meski ia sedang berada di dapur. (HR Bukhari, Muslim,
Tirmidzi). Ada hal menarik dari hadits yang mulia ini, perhatikanlah kata-kata meski ia
sedang berada di dapur. Apa yang dikerjakan seorang perempuan di dapur? Memasak
bukan? Kapan biasanya perempuan memasak? Pagi atau siang hari bukan? Untuk siapa ia
memasak? Untuk suaminya juga bukan? Memasak untuk suami adalah pekerjaan yang
baik dan mulia, tetapi Rasulullah SAW yang agung memerintahkan istri untuk
menghentikan pekerjaan yang baik dan mulia tersebut dan menuruti urusan yang lebih
vital, yaitu memenuhi ajakan suaminya meski ajakan itu di waktu pagi atau siang hari!
Ingatlah, bersegera memenuhi ajakan suami dapat melahirkan cinta, membuat suami
merasa selalu dicintai dan dihargai. Sebaliknya keengganan menuruti ajakannya dapat
membuat suami merasa dirinya ditolak dan tidak dihargai oleh istrinya. Lebih jauh lagi
Rasulullah SAW sangat murka kepada istri yang menolak ajakan suaminya. "Jika seorang
suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, lalu ia menolak dan suaminya menjadi
marah, maka ia akan dilaknat oleh para malaikat hingga pagi." (HR Bukhari dan
Muslim).

Bukan Sekedar Menjalankan Kewajiban

Kalau demikian halnya, apakah jima' ini hanya menjadi kebutuhan suami saja?

Sebagaimana laki-laki, kaum perempuan juga memiliki dorongan seksual yang


merupakan anugerah dari Sang Pencipta meskipun secara umum dorongan ini lebih
rendah dari yang ada pada diri laki-laki. Pada umumnya istri sering kurang memiliki
keinginan berhubungan kecuali pada hari-hari tertentu setiap bulan, yaitu pada masa
subur. Sementara suami selalu siap dan menginginkannya kira-kira sebulan penuh. Yang
selama ini dianggap sebagai penyebab adalah kondisi hormonal perempuan. Namun
kajian terbaru mengenai perbedaan tingkat keinginan melakukan hubungan antara laki-
laki dan perempuan bahwa penyebab sesungguhnya bagi sikap dingin pada perempuan
pada waktu-waktu tertentu bukanlah pada kondisi hormonalnya. Penyebabnya adalah
perasaan dan suasana hatinya.

Perempuan tidak sama dengan laki-laki. Perempuan tidak akan bergairah kecuali bila
suasana hatinya sedang penuh cinta kepada suaminya dan merasakan kedamaian dan
kasih sayang di dekatnya. Sementara pada laki-laki, hasrat seksual merupakan naluri
murni yang tidak secara langsung terkait dengan perasaan cinta dan kedekatan. Oleh
karena itu, pertengkaran kecil atau kesalah pahaman sepele atau kata-kata yang tidak
berkenan di hati seorang istri, sudah cukup memadamkan gairah cintanya.

Berkaitan dengan hal ini para pakar mengatakan, bila seorang suami ingin bercinta
dengan istrinya, maka ia harus menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang sebelum
mendekatinya dan sedapat mungkin melakukan perbuatan yang dapat membuat suasana
hati dan perasaan istrinya bahagia. Senada dengan itu, hendaknya para suami juga
memahami dengan baik perasaan dan suasana hati istrinya, khususnya pada saat istri
sedang mengalami penurunan gairah seksual, ia dapat lebih sabar dan bijaksana.

Jadi, cobalah untuk memahami hal-hal diatas, maka jima' tidak akan menjadi sesuatu
yang bersifat rutinitas dan hanya menjalankan kewajiban saja. Ia akan menjadi sesuatu
yang indah dan membuat pernikahan Anda menjadi lebih bahagia.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No.8 Tahun I, Oktober 2003
Cahaya Mata
Publikasi: 08/09/2004 14:24 WIB

eramuslim - Tataplah mata beningnya. Apa yang kau temukan di sana? Dengarlah
celotehannya, apa yang kau rekam darinya? Lihatlah tingkah polanya. Apa yang terlukis
disana?

Syukur.

Seharusnyalah hanya kata itu yang tepat dan pantas diungkapkan untuk menjelaskan
segala rasa yang menggumpal di rongga dada ketika 'cahaya mata' menatap, tersenyum,
tertawa bahkan 'berulah' dihadapan saya, umminya.

Bersyukurlah seharusnya karena ternyata sang cahaya mata tercipta dan terlahir
sempurna. Tumbuh dan berkembang sempurna. Tengkurap, merangkak, merambat,
berdiri, berjalan dan berlari, melompat bahkan rolling dengan sempurna.

Bersyukurlah seharusnya ketika usia delapan bulan bibir mungil itu mulai mengeja
"abbah...abbah" memanggil abi, ayahnya. Terharu melihat usahanya mengucap kata demi
kata, merangkai kalimat demi kalimat. Hingga kini lancar bicara dan menghafal surah.

Bersyukurlah seharusnya kala jari-jari lentik itu melakukan kerja-kerja motorik halus dan
kasar. Merapihkan mainannya yang berantakan, memakai baju sendiri, mengenakan
sepatu sendiri, menyuap makanannya sendiri. Mencorat-coret buku dengan tulisannya.

Lucu ketika mendengar alasannya melakukan semua tadi, "Nida kan udah besar". Padahal
usianya baru saja tiga tahun.

Tiba-tiba ada rasa malu yang menjalar, ada rasa sesal yang mendalam mengingat reaksi
yang saya lakukan ketika sang buah hati membuat ulah. Layar dihadapan saya terbentang
lebar-lebar, menayangkan kaleidoskop kehidupan yang saya jalani dengan anak tercinta.

Ketika ia mencorat-coret dinding, bermain air, bermain pasir, mengacak-acak lemari


pakaian, melompat-lompat di tempat tidur yang telah rapi tertata. Ada marah yang
menggelegak, ada kesal yang terucap, ada wajah-wajah masam. Ada tangis juga. Tangis
penyesalan setelah marah kepadanya, marah yang terbalut nafsu.

Lalu dengan tatapan polos dan suara kanak-kanaknya ia berkata "Ummi, marah ya?"

Ya Rabb, apa yang telah saya lakukan?

Kemana teori sabar yang pernah saya kaji bertahun silam? Bahwa ummi adalah
madrasatul aulad. Ummi adalah tempat pertama dan utama anak berguru dalam hidup ini.
Alangkah mudahnya berkata-kata, alangkah tak ringannya mengamalkan kata-kata.
Saya membayangkan, sekiranya Allah memberikan umur panjang, lalu saya renta,
ringkih dan tak berdaya. Masa kanak-kanak saya berulang di usia senja lalu saya berbuat
'ulah', perlakuan apa yang ingin saya dapatkan dari anak saya kelak?

Saya bayangkan sekiranya anak saya marah, kesal, jengkel dan berwajah masam ketika
menyuapi saya, ketika membasuh najis saya disebabkan saya telah lemah, tak dapat lagi
melakukan sendiri pekerjaan-pekerjaan itu. Sakit hati, bukan?

Anak adalah nikmat sekaligus ujian yang Allah curahkan pada saya. Sungguh tak pantas
membalas nikmat dengan maksiat.

"Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?"

Maka, seharusnyalah saya hamparkan kesabaran seluas semesta karena saya tengah
mendidik calon khalifah. Yang tidak hanya akan mengasuh saya di hari tua kelak tapi
juga mengasuh dan memelihara umat manusia untuk taat padaNYA.

Maka, saya tatap mata beningnya. Lalu saya temukan syukur yang tak terkira atas segala
nikmatNYA.

Ummu Nida
yudithfabiola@yahoo.com.sg

Untuk ananda tercinta : Ummi sayang sekali padamu, Nak.

Cinta? Katakan Saja...


Publikasi: 11/10/2004 11:28 WIB

"Dear Mentari... aku tahu tiap hariku tak kan lewat tanpa sinarmu. Pun kini rasanya
namamu telah mengisi ruang-ruang hati. Ada sepucuk harapan yang kadang timbul lalu
pergi, bahwa diri ini selalu mencari kapan waktunya tiba untuk menjemputmu turun, ke
sini".

Ummi,
Tahukah kamu, bahwa kalimat-kalimat di atas telah terukir dalam dadaku semenjak aku
belum mendapatkanmu. Walau sederhana, namun ia mewakili hasrat hatiku untuk
mendapatkan seorang mentari, seperti dirimu.

Ummi,
Tak terhitung ucap syukurku saat Dia membawamu ke hadapanku, saat itu. Saat kamu
berkenan untuk membagi hidupmu denganku, saat kamu menyambut tawaranku untuk
meminangmu, saat ikrar itu kulantunkan dan mulai detik itu kamu kan menghabiskan hari
denganku, saat itu.
Mulai saat itu,
Rasanya tak terhitung keindahan yang telah kamu suguhkan padaku. Melalui senyum
yang kulihat setiap memulai hari, melalui tutur katamu yang bak nyanyian bidadari,
melalui belai lembutmu yang telah menghapus penatku, melalui tawamu yang
menyegarkan hatiku, ... semua itu adalah keindahan tak berbilang yang tak sanggup lagi
kuuraikan.

Mulai saat itu,


Tak sanggup pula kuhitung bilangan bubuk cinta yang telah kau taburkan, hingga laksana
heroin-ia telah kuhirup dan memabukkanku sampai kini. Ketika kau basuh lukaku dengan
kelembutanmu, kala aku terjatuh hingga tersungkur-dan kau memapahku hingga berdiri.
Ketika kau hapus air mataku dengan kesabaranmu, kala langkahku tertatih-nyaris tak
sanggup lagi menghadapi kesulitan yang pernah kita hadapi-dan kau memberikan
kasihmu dengan caramu hingga tangisku berubah menjadi senyumku. Dan aku semakin
cinta.

Mencintaimu,
Adalah memiliki kedua permata kecil kita, Dan aku seolah tak menginginkan apapun
lagi.

Mencintaimu,
Adalah memiliki rumah sederhana kita, Dan di sanalah selalu tempatku kembali.

Mencintaimu,
Adalah memiliki seluruh detik yang telah kita lewati bersama, Dan dengannya
kupersembahkan cinta ini. Walau tak terucapkan, walau mungkin tak kau rasakan, tapi
percayalah, diriku mencintamu.

Mentariku,
Kau menghangatiku di sini.

-Dedicated to my beloved wife-

Menyatakan cinta kadang menjadi hal yang tidak familiar dan terasa vulgar untuk
dilakukan. Sebagian orang bilang, cinta itu tak perlu dinyatakan, namun tercermin dari
perilaku. Cinta itu tak perlu diperdengarkan bak rayuan gombal anak-anak muda yang
sedang kasmaran, sebab cinta bisa diperlihatkan dari sikap dan tingkah laku.

Benarkah demikian?

Di saat lelah mulai merayapi hari-hari kebersamaan bersama pasangan tercinta, di saat
waktu telah membuka setiap celah kelemahan dan membentangkan kenyataan dari sosok
pasangan yang mendampingi kita, di saat segala bentuk persiapan dan perencanaan hidup
mulai menguakkan keberhasilan atau kegagalan, di saat kita mulai menyadari betapa
berartinya ia yang telah menjadi penopang kala kita lemah, penyemangat kala diri ini
lelah, penghibur kala terserang gundah, ia telah menjadi teman sejati.
Jadi,
Masihkah ragu menyatakan cinta padanya?

Dan Anak-Anak Kami pun Bingung


Publikasi: 06/10/2004 07:19 WIB

eramuslim - Semalam sebelum tidur ummi berpesan agar Hufha tidak boleh nakal sama
teman. Meskipun teman itu memukul, ummi bilang, lebih baik memaafkan daripada
membalas. Tapi Hufha bingung, kakak-kakak, juga om dan tante di tayangan TV
mengajarkan berbeda. Mereka kok boleh memukul temannya sendiri, mereka juga nggak
dilarang oleh ibunya menjahati temannya sendiri bahkan dengan bentuk kejahatan yang
tidak pernah Hufha lihat di lingkungan tempat tinggal Hufha.

Sore hari sebelum malam itu, Hufha ditegur ummi karena membentak Iqna (adik Hufha)
gara-gara Iqna merebut mainan Hufha. Iqna langsung nangis dan lari ke pelukan ummi.
Kata ummi, "Teteh, kalau ngomong nggak boleh keras-keras gitu, apalagi membentak.
Rasulullah tidak pernah mengajarkan ummatnya seperti itu" Hufha tidak tahu mana yang
harus didengar, karena sinetron dan film-film di TV justru penuh dengan kata-kata kasar,
keras, kotor, seronok dan kata-kata yang tidak pernah Hufha dengar sekalipun di rumah.

Pagi hari sesaat sebelum mandi, lagi-lagi ummi menasihati Hufha sewaktu Hufha berlari
ke luar rumah dengan hanya mengenakan baju tidur dan bagian bawah hanya tinggal
(maaf) celana dalam saja. "Nggak boleh keluar rumah dengan pakaian seperti itu, malu
tuh auratnya kemana-mana". Aneh juga omongan ummi itu, kok tante-tante di TV nggak
pernah ada yang ngomelin meski puser dan auratnya ditonton banyak orang?

Abi Hufha pernah kaget waktu Hufha menunjukkan kebolehan Hufha bergoyang seperti
tante-tante penyanyi dangdut. Abi bilang, "Hufha, Abi nggak mau lihat Hufha seperti itu
lagi". Hufha balik bilang ke Abi, kalau Hufha nggak boleh, kenapa tante di TV itu boleh?

Gara-gara banyak tayangan misteri, sampai sekarang Hufha masih takut kalau ke kamar
mandi sendirian malam-malam. Setiap malam kalau mau pipis, Hufha pasti minta antar
sama ummi. Bahkan kalau lagi 'e'e pun Abi harus nungguin di depan pintu kamar mandi
sampai Hufha selesai. Abi bilang, makhluk gaib seperti setan itu memang ada tapi Hufha
nggak perlu takut. Tapi, kenapa orang-orang di TV itu banyak yang ketakutan?

Hufha sering lihat om dan tante di TV berpelukan dan ciuman. Kata Abi, ciuman dan
berpelukan hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah menikah.
Berarti om dan tante yang di TV itu sudah menikah semuanya ya?

Selepas isya Hufha setel TV, belum apa-apa Abi sudah bilang, "Jangan tonton yang itu,
itu mengajarkan kekerasan". Pindah ke saluran yang lain, giliran ummi yang bersuara,
"Ganti yang lain nak, yang itu mengajarkan permusuhan". Begitu banyak saluran TV, dan
begitu banyak pula acara yang ditayangkan, herannya, sebegitu banyak juga yang tidak
boleh Hufha tonton. Jadi, tontonan yang mana yang boleh buat Hufha?

Ah, kasihan anakku...

Bayu Gautama
bayugautama@yahoo.com
sebuah keprihatinan seorang ayah yang peduli masa depan anak-anaknya

Detik-Detik Menjelang Pernikahan


Publikasi: 22/11/2004 13:00 WIB

eramuslim - Hani (24 th) akhir-akhir ini sering resah sendiri, apa yang dilakukannya
sering menjadi serba salah, bahkan untuk hal-hal yang rutin dikerjakannya pun tak luput
dari kesalahan. Hani juga jadi lebih sensitif, ada hal kecil saja yang tak berkenan di
hatinya sudah dapat membuat ia sedih dan menangis. Tentu saja keadaan ini tidak
membuat ia merasa nyaman terhadap dirinya sendiri. Usut punya usut, ternyata Hani
sebentar lagi akan menikah, tepatnya sepekan lagi.

Hani akan memasuki dunia baru, ia akan mengarungi bahtera rumah tangga. Persiapan
sudah dilakukan, tempat sudah di booking jauh-jauh hari, undangan telah disebar, segala
sesuatu yang berkaitan dengan teknis pernikahan sudah disiapkan dengan matang.
Pendeknya, segala sesuatunya sudah beres, sisanya tinggal persiapan diri yang
bersangkutan saja untuk menghadapi pernikahannya.

Sebetulnya Hani merasa telah mempersiapkan dirinya menghadapi pernikahan ini, tapi
tak urung ia masih juga khawatir, apakah ia siap berbagi hidup bersama orang yang baru
dikenalnya? Apakah ia sanggup menjalankan amanah sebagai seorang istri lalu menjadi
seorang ibu?

Hani teringat bahwa suatu hari ia pernah membaca sebuah buku yang di dalamnya
diceritakan kisah tentang seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW :

"Ya Rasulullah SAW, aku adalah seorang gadis yang ingin menikah, maka
beritahukanlah kepadaku, apakah hak-hak suami terhadap istrinya agar aku dapat
melaksanakannya? InsyaAllah".

Rasulullah SAW yang mulia menjawab : "Diantara hak suami atas istrinya adalah : Jika
saja kaki suamimu terluka kemudian luka itu bernanah dan mengeluarkan bau busuk,
kemudian engkau membasuhnya dengan wajahmu, maka engkau belum dianggap
memenuhi semua hak suamimu. Dan kalau saja Allah membolehkanku untuk
memerintahkan manusia sujud kepada manusia lain, sungguh aku perintahkan para istri
untuk sujud kepada suaminya".
Hani ingat, ketika itu ia sampai bergidik membacanya.

Ia juga teringat akan pembahasan tentang istri sholihah dalam kajian yang sering
diikutinya, sehingga membuatnya terus menerus berfikir, apakah ia mampu menjadi istri
sholihah? Hani memang punya tekad kuat untuk menjadi istri sholihat. Ia ingin
pernikahannya menjadi ladang amal sholih baginya, dan untuk itu ia akan mengerahkan
seluruh kemampuannya.

Sebenarnya Hani tak perlu sampai khawatir begitu, sebab rasanya kita semua, baik yang
belum menikah atau bahkan yang sudah menikah bertahun-tahun masih harus terus
belajar dan berproses menjadi istri yang sholihah, dan proses itu tidak akan pernah
berhenti selama kita masih menjadi seorang istri. Memang sangat jauh lebih baik proses
untuk menjadi istri yang sholeha dimulai jauh-jauh hari sebelum Allah SWT memberikan
jodoh kepada kita.

Lalu ketika hari pernikahan sudah diambang pintu, apa yang seharusnya dilakukan...?

Pertama
Lebih intensif mendekatkan diri kepada Allah SWT, dibandingkan waktu-waktu
sebelumnya.

Menikah adalah keputusan penting dalam kehidupan manusia. Siapapun tentunya tidak
ingin salah dalam mengambil keputusan, apalagi keputusan itu menyangkut hal penting
dalam hidupnya yaitu: "Pernikahan" Nah detik-detik menjelang "hari H" itu intensiflah
bermunajat kepada Allah SWT, memohon kepada-Nya agar keputusan yang telah kita
ambil itu benar-benar mendapat taufiq (persetujuan) serta ridho-Nya dan pernikahan ini
menjadi keputusan terbaik dalam hidup kita. Juga memohon bimbingan kekuatan,
kemudahan dalam menjalani hidup berumah tangga, sehingga menjadi rumah tangga
yang sakinah,mawaddah wa rahmah hingga akhir zaman.

Kedua
Berusaha untuk ikhlas dan senantiasa menjaga keikhlasan dalam kondisi apapun.

Ikhlas dalam konteks akan membangun rumah tangga adalah berusaha ikhlas menerima
calon pasangan kita apa adanya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ingat, kita
akan menikahi manusia, bukan malaikat. Betapapun tinggi tingkat ketaatan seseorang
dalam beragama, bukan berarti dapat mengubahnya menjadi malaikat yang tak pernah
berbuat salah. Siap menikah berarti siap untuk terus menjaga keikhlasan dalam menjalani
semua kewajiban, konsekwensi, dinamika dan gelombang dalam berumah tangga.
Sehingga dalam menghadapi kondisi seberat apapun nantinya, sikap kita adalah
melakukan perenungan kembali tentang niat awal kita menikah. Apa sih niat saya
menikahi dia? Kenapa sih saya mau menikahi dia? Dengan demikian kita senantiasa
diingatkan bahwa ada yang harus selalu dijaga dalam pernikahan ini. Ia adalah keikhlasan
itu sendiri. Dalam kerangka ini, insyaAllah pernikahan akan menjadi ibadah di sisi-Nya.
Ketiga
Menjaga kebersihan hati dan menghiasinya dengan adab-adab syar'i.

Ingat, sebelum prosesi aqad nikah dilangsungkan, status kita terhadap calon pasangan
adalah non-mahram, yang berarti adab berinteraksi dengan calon pasangan adalah
sebagai mana adab berinteraksi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.

Hal itu sangat penting disadari untuk menjaga kebersihan hati agar tidak tergoda untuk
melakukan hal-hal yang dilarang oleh syar'i. Berkomunikasi dan berinteraksi tentu saja
boleh, tidak mungkin orang yang akan menikah tidak berkomunikasi dan berinteraksi
dengan calon pasangannya. Tapi berusahalah sedapat mungkin berkomunikasi dan
berinteraksi sesuai dengan adab yang diperbolehkan syariat. Misalnya, musyawarah
tentang persiapan menikah dilakukan di rumah, bersama oang tua kita, atau dapat
dilakukan di rumah orang yang kita percaya, tentu saja dengan didampingi oleh tuan
rumahnya. Hindari berkhalwat berdua dengan calon pasangan, ingat "tidaklah seorang
laki-laki dan perempuan berkhalwat melainkan ketiganya adalah syaitan". (Al-Hadits).
Hindari juga sms, telephon, email mesra dan lain-lain yang sejenis, yang kesemuanya
dapat membuat hati kita menjadi kotor, berangan-angan dan jatuh dalam dosa.

Jika kita menginginkan pernikahan yang akan kita jalani mendapatkan taufiq, inayah,
berkah dan ridho Allah SWT, kita harus mengusahakan agar segala persiapan sedapat
mungkin "bersih" sejal awal prosesnya. Mudah-mudahan tiga hal ini dapat membantu
kita lebih pandai menata dan menjaga hati, sehingga detik-detik menjelang pernikahan
tidak perlu lagi menjadi detik-detik yang membuat resah dan gelisah, tetapi sebaliknya
menjadi detik-detik yang penuh keindahan dan kemanisan munajat kepada Allah SWT,
yang membuka dan menjadikan semua jalan menjadi mudah dan terang. Amin.

Kemudian dapatlah setelah itu kita dengan keyakinan kepada Allah SWT, berkata kepada
calon suami kita : "wahai calon suamiku, marilah kita naiki bahtera ini, mari kita
kembangkan layarnya bersama-sama, kita hadapi gelombangnya tanpa rasa gentar.
Semoga Allah SWT bersama kita. (Kado untuk adik-adik yang akan menikah)

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No. 3 Tahun I, Mei 2003

Hadiah Berbuah Dilema


Publikasi: 29/09/2004 08:37 WIB

eramuslim - Setiap kali kulipat sajadah usai sholat istikharah selepas tahajjud di tiap
akhir malam, dorongan untuk menikah semakin besar. Keyakinan yang semakin dalam
ini, membuat hati semakin takut. Ya Allah, hamba mohon pertolongan dan bimbingan-
Mu agar bisa menghadapi pilihan yang sangat besar ini.

Seharusnya kecenderungan ini adalah rahmat Allah membahagiakan bagi setiap insan
yang sedang melangkah untuk menjalani sunah Rasul berupa nikah. Tapi tidak demikian
bagiku, justru hal ini semakin membuatku tersungkur untuk lebih lama lagi bersujud
pada-Nya, memohon ampun dan pertolongan Rabb semesta alam.

Dalam kepasrahan ini kucoba mentadaburi ayat Allah, "... Barangkali sesuatu yang kamu
sekalian benci adalah yang baik bagimu, dan barangkali sesuatu yang kamu sekalian
senangi adalah buruk bagi kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu sekalian
tidak ketahui." (QS 2:216). Belum sampai akhir ayat, air mataku tumpah membasahi
mukena yang kupakai. Terbayang ketidakberdayaanku dan kelemahan sebagai makhluk
di hadapan sang Khaliq.

Aku coba bermuhasabah terhadap ujian yang menimpaku dan ku telusuri detik demi detik
awal kejadian ini. Awal interaksi ku dengan seorang pria berjalan wajar. Hari berganti
hari, bulan, hingga tahun pun telah berganti, tak ada yang istimewa, hingga pada suatu
saat pria tersebut menyampaikan keinginan untuk menikah. Hal itu kutanggapi secara
wajar dan kutawarkan bantuan untuk mencarikan calon istri, Alhamdulillah ia tidak
keberatan.

Sebagaimana orang yang akan membantu memfasilitasi pernikahannya, aku berusaha


mengenal pria ini secara proporsional. Maksudnya, aku menanyakan dan mempelajari
keinginan, harapan, kemampuan serta kriteria calon istri yang ingin dinikahinya. Dari
sinilah aku berusaha mencarikan calon istri yang sesuai untuknya.

Usaha ini aku jalani dengan sepenuh hati dengan harapan mendapat balasan dari Allah.
Satu bulan berikutnya aku sudah mendapat gambaran wanita yang bisa diprospek, dia
adalah sahabatku. Setelah mantap, aku bicara dengannya dari hati ke hati dan
menyampaikan misi yang sebenarnya serta proses dijalani sebagaimana mestinya.
Kemudian sahabatnya yang manis itu memulainya dengan melobi orang tua dan sholat
istikharah untuk mendapat petunjuk yang terbaik dari Allah. Sesuai kesepakatan, pada
minggu yang ketiga ia memberikan jawabannya, "Tolong sampaikan salam dan maafku
kepada pria tersebut, saya belum bisa menikah dengannya." Aku sedih sekali. mendengar
jawaban ini.

Walau berat, aku sampaikan kabar ini kepada pria itu. Alhamdulillah ia bisa maklum.
Namun kegagalan ini semakin membuatku bersemangat untuk menolong temanku
tersebut. Dengan senyum dan penuh kehati-hatian aku mulai lagi observasi serta
menimbang-nimbang, kira-kira wanita mana lagi dari sahabat-sahabatku yang pantas
untuknya.

Hampir dua bulan hatiku bimbang, memilah dan memilihkan calon istri untuk pria yang
aku tolong karena Allah. Dalam perenungan ini, tiba-tiba melintaslah wajah keibuan yang
tegas dan manis. Ia adalah sahabat, kakak dan sekaligus guru ku. Sahabatku, mohon maaf
jika aku harus lancang menggedor hatimu untuk menikah dengan pria ini.

Dengan mohon pertolongan Allah, aku raih gagang telepon di meja kerja, aku
menanyakan kabarnya, juga aktivitasnya, dan apakah ia sedang "proses" dengan salah
seorang pria? Dari seberang ia jawab, "Saya tidak sedang proses." Akhirnya kami janji
bertemu seusai jam kerja di kantornya di bilangan Cawang, Jakarta Timur.

Setelah bertemu, ia sangat berterima kasih kepadaku atas perhatian ini. Ia berjanji akan
memberikan jawaban secepatnya setelah mendapat ijin dari orang tua. Alhamdulillah,
hatiku lega sekali. Namun diakhir pertemuan, aku sangat sedih dengan pertanyaannya
yang diajukan kepadaku sebagaimana sahabatku yang pertama, "Kenapa bukan kamu saja
yang menjadi istrinya?" Pertanyaan seperti ini yang sangat aku takutkan dari awal ketika
aku bersedia menolong pria itu, karena aku juga belum menikah. Ku kuatkan hatiku tuk
menjawabnya, "Jika aku bisa hadiahkan untuk saudariku, kenapa tidak aku lakukan?"

Sepanjang langkahku kembali ke rumah tak pernah terputus do'aku "Semoga ini yang
terbaik dan diizinkan oleh Allah". Aku sadar dengan beban berat ketika menerima dan
menyampaikan putusan sahabatku tercinta, jika ia menolak.

Dalam masa penantian. walau kesibukan mendera, aku berusaha untuk memantau
perkembangan ini. Setelah tiga minggu sahabatku memberikan jawaban via telepon yang
disusul dengan SMS, isinya permintaan maaf belum bisa menerima pria itu menjadi
suaminya.

Akhirnya dengan permohonan maaf, aku harus menyampaikan kabar ini kepada teman
pria itu. Sedih, kecewa memenuhi jiwaku, tapi apa hendak dikata, Allah lebih berkuasa
atas setiap hamba-Nya. Semoga ini saat yang baik bagi pria itu untuk mengevaluasi diri.
Semoga Allah meridhai.

Saudaraku, kisah ini kupersembahkan untuk kedua sahabat tercinta dan juga pria itu.
Semoga Allah memberikan hamba-hamba-Nya yang terbaik untuk kita semua.

Sahabatku, apa yang kita usahakan bersama ini, kini menyisakan sesuatu di relung hatiku
yang paling dalam. Semoga Allah mengampuniku atas kekhilafan ini. Untuk itulah, sudah
hampir satu bulan ini aku bermunajat kepada Allah dan melakukan sholat istikharah.
Semoga yang kulakukan ini dapat membersihkan hatiku kembali.

lebah_koe@plasa.com

Jangan Biarkan Mereka Layu Sebelum


Berkembang
Publikasi: 27/09/2004 09:09 WIB

eramuslim - Ketika dalam perjalanan pulang belanja, persis di depan mataku seorang ibu
menyeret anaknya yang sedang menangis meronta-ronta untuk menaiki eskalator. Anak
itu pun nampak kesulitan mengikuti langkah cepat ibunya, sambil tak berhenti menangis.
Miris rasanya hati ini, tak tega melihat adegan yang begitu kasar dari seorang ibu
terhadap anaknya sendiri, namun tak mampu melakukan pembelaan apa pun terhadap
sang anak.

Pada kesempatan yang lain, kubaca sebuah kisah sedih. Seorang anak balita dipukul
tangannya bertubi-tubi dengan sebatang ranting kayu hanya karena telah menggambari
mobil baru ayahnya dengan goresan paku yang berkarat. Akibatnya, tangannya terkena
infeksi dan harus diamputasi. Kubaca juga berita seorang anak disiksa hingga meninggal
hanya karena menjatuhi tubuh ayahnya yang sedang tidur pulas.

Berbagai kisah sedih perlakuan kasar orang tua terhadap aanaknya, demikian membuat
hati ini terpukul. Tragis, orang tua yang mestinya memperlakukan anak dengan penuh
kasih sayang dan cinta, justru berperilaku kasar hanya karena masalah sederhana.
Sehingga menyebabkan anak luka fisik, atau paling tidak mengalami luka hati yang amat
sulit diobati. Bahkan ada yang sampai menemui ajal.

***

Anak adalah anugerah terindah dari Allah SWT bagi setiap orang tua. Kehadirannya
begitu dinantikan oleh siapa saja, hampir tanpa kecuali. Karena anak bisa menjadi
penghibur di kala duka, dan mampu menjadi penumbuh semangat kerja keras bagi orang
tuanya. Walau terkadang juga, anak bisa menjadi penghalang lancarnya segala aktivitas
orang tua, mengganggu waktu istirahat, dan mengurangi kenikmatan makan seorang ibu
ketika saat makan tiba-tiba sang anak muntah atau BAB.

Bagi orang tua yang menyadari betul kedudukan anak pada dirinya, bahwa anak adalah
amanah Allah yang harus dibimbing dan diantarkan menjadi penerus generasi pengemban
risalah, untuk menegakkan din Islam di muka bumi ini, maka dalam kondisi
bagaimanapun orang tua akan berusaha mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih
sayang dan cinta. Diwarnai dengan luasnya lautan kata maaf atas segala tingkah polah
anak yang terkadang (atau bahkan sering) tidak sesuai dengan kehendak orang tuanya.

Namun, bagi orang tua yang hanya menganggap, anak adalah hasil konsekuensi dari
sebuah pernikahan, yang mau tidak mau harus diurus, akan sangat mungkin sekali orang
tua mampu melakukan apa saja, tanpa memperhitungkan akibat yang akan terjadi, dan
baru menyesal di kemudian hari setelah kejadiannya berlalu.

***

Mendidik anak ibarat menanam sekuntum bunga. Mestinya, ketika kita melihat anak
melakukan sebuah kesalahan, kita perlakukan anak seperti ketika kita melihat sekuntum
bunga itu layu. Segera kita ambil seember air, kita siramkan dengan penuh kasih sayang,
kemudian kita beri pupuk untuk menunjang pertumbuhannya. Bukan malah dimarahi dan
dicaci maki.

Ketika anak melakukan suatu kesalahan, kita harus memahami bahwa ia melakukan itu
karena ketidaktahuannya. Kesalahan yang tidak disengaja. Sehingga, sebagai orang tua
seharusnya memperlakukan anak dengan lemah lembut, kemudian membimbingnya
untuk menjadi tahu. Agar tidak membuat kesalahan lagi di kesempatan yang lain.

Rasulullah SAW mencontohkan beberapa hal yang bisa kita ambil pelajaran untuk
memberikan peringatan kepada anak kita yang melakukan kesalahan.

1. Mengingatkan melalui sindiran, ketika anak melakukan kesalahan di depan umum.


Sampaikan nasihat kepada semua anak tanpa perlu menyebut nama anak yang melakukan
kesalahan, dengan harapan anak yang melakukan kesalahan mengerti bahwa nasihat yang
disampaikan itu sebenarnya untuk dirinya.
2. Menegur anak yang melakukan kesalahan secara rahasia. Panggil anak yang
melakukan kesalahan ke tempat khusus, kemudian dinasihati. Sehingga hati anak terjaga,
tidak merasa dipermalukan di depan umun.
3. Tidak membandingkan anak yang satu dengan anak yang lain, karena anak memiliki
kemampuan masing-masing.

***

Ada beberapa kiat agar perilaku anak dapat kita terima, dan anak pun mampu menerima
perlakuan kita:

1. Berikanlah kepada anak haknya. Anak berhak memperoleh kasing sayang orang
tuanya, anak berhak memperoleh bimbingan, juga berhak mengutarakan dan didengar
pendapatnya.
2. Jangan sekali-kali meminta anak untuk berlaku seperti kita orang tuanya, karena anak
belum pernah menjadi orang tua. Sebaliknya, kitalah yang seharusnya berlaku seperti
anak-anak (di hadapannya), karena kita pernah merasakan bagaimana menjadi anak-anak.
Seorang psikolog mengatakan : "Jangan perlakukan anak seperti orang dewasa mini".
3. Tempatkan diri dalam posisi yang tepat. Menjadi teman ketika anak butuh teman,
hingga pada saat tersebut orang tua menjadi teman bermain anak-anaknya, menjadi teman
bicara, dan siap mendengar keluh kesah mereka.

Ada saatnya pula orang tua berperan menjadi guru ketika anak butuh bimbingan,
mengajarkan berbagai pengetahuan, membimbing menyelesaikan berbagai persoalan, dan
menjadi orang tua ketika anak ingin bermanja-manja.

Semua hal di atas menjadi penting bagi setiap orang tua, sehingga anak-anak tumbuh
kembang dengan sempurna. Dan tidak layu sebelum berkembang. Semoga kita semua
orang tua, mampu mengantarkan mereka menjadi anak-anak yang sehat, cerdas, dan
bertakwa.

"Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa".

Wallahu a'lam bishshowwab.


Ummu Shofi
ari_aji_astuti@yahoo.com

Jangan Pernah Ingkari Janji


Publikasi: 02/09/2004 09:00 WIB

eramuslim - Dzuhur tadi HP saya berbunyi. Di layarnya terpampang sebuah indentitas


yang membuat dahi berkerut: RUMAH SOLO. Ada apakah orang rumah menelepon jam
segini ke HP? Jantung saya langsung berdebar cepat. Untuk urusan penting saja, Ibu atau
Bapak saya selalu memilih menelepon akhir pekan sehabis subuh ke kost. Biasa, selain
supaya dapat dipastikan ketemu, juga dalam rangka diskon 75%. Pasti ada yang sangat
urgent hingga menelepon pas hari kerja siang-siang dan ke HP pula.

Dengan deg-degan, HP saya angkat. "Ada apa menelepon siang-siang begini?" Saya
bahkan sampai lupa mengucap salam. Dan saya begitu surprise mendengar sebuah suara
kecil di seberang sana.

"Bude, kaset (maksudnya VCD-red) Dora-ku mana?" suara bening itu begitu menyentuh
gendang telinga. "Aku mau lihat Dora!".

Ya, Allah. Keponakan kecil saya ternyata yang menelepon. "Aduh, maafkan Bude,
sayang. Iya, Bude akan segera kirim kaset Doranya. Maaf yaaa, bude lupa terus mau ke
kantor pos."

Masih ada beberapa patah kata lagi yang diucapkan lelaki kecil itu sebelum telepon
ditutup, tapi saya sudah tidak konsentrasi. Pikiran saya langsung dipenuhi rasa bersalah.
Ya. Pada saat pulang kampung tujuh belas-agustusan kemarin, saya berjanji padanya
untuk membelikan VCD "Dora The Explorer".

Sepekan yang lalu, ketika kakek Fitra (bapak saya) menelepon, saya bilang saya sudah
belikan VCDnya dan berjanji akan segera mengirimnya via post. Namun kesibukan
sehari-hari membuat saya begitu mudah terlupa. Tapi ternyata laki-laki mungil itu tidak
pernah lupa. Dia masih menunggu dan menunggu, namun kiriman itu tak datang-datang
juga. Hingga akhirnya dia menelepon.

Duhai, saya lupa bahwa anak kecil tidak bisa dibohongi atau dicandai. Kalau kita sudah
berjanji, selayaknya kita berusaha segera memenuhi. Jika tidak, dia akan menagih terus
menerus. Jika tidak, kita akan melukainya. Lebih baik tidak berjanji jika kita tidak yakin
bisa memenuhi, dari pada memberikan janji kosong. Alangkah sedihnya dia, bila tahu
sesuatu yang terlanjur diharapkannya ternyata hanya janji kosong belaka, atau sesuatu
yang mudah terlupa.

Ingin saya menelepon balik saat itu juga. Tapi saya ingat, pulsa HP saya tinggal 122
rupiah. Saya belum sempat isi lagi. Tiba-tiba HP saya berbunyi lagi. Kali ini dari rumah
lagi. Mamanya si kecil ternyata. "Entah kenapa Fitra tiba-tiba kangen Bude dan minta
menelepon. Dia Tanya kapan Bude pulang".

Airmata saya mengalir. Baru dua minggu yang lalu saya pulang, dan si kecil sudah
kangen lagi. Tiba-tiba saya terbayang wajah sendunya. Saya pernah menyaksikannya,
ketika dia kangen Bapaknya yang sudah lebih dari dua minggu bekerja di luar kota. Dia
menelungkup diam-diam di atas bangku. Dan ketika ditanya sedang ngapain, dia
menjawab lirih, "Kapan Bapak pulang?"

Ah, Fitraku. Aku akan segera mengirim VCD Dora yang kujanjikan. Semoga bisa
mengobati kangenmu.

Azimah Rahayu
azi_75@yahoo.com

Jangan Tebar Pesonamu


Publikasi: 25/08/2004 10:10 WIB

eramuslim - Seorang istri menceritakan kepada saya, bagaimana ia bersyukur memiliki


seorang suami yang "sempurna". Di samping saleh, penyayang, suaminya adalah orang
yang penyabar, pengasih, sangat cooperate dalam dakwah istri, tidak canggung dalam
membantu urusan rumah tangga, pintar, cakap dan ditambah lagi mempunyai wajah di
atas rata-rata. Tutur katanya lembut tetapi tegas, emosinya stabil plus ilmu dan
wawasannya pun sangat luas. Wanita mana yang tidak ingin memiliki suami kriteria
"sempurna" ini.

Sejak menikah, bertambahlah cintanya pada sang suami. Tetapi beriringan dengan waktu,
dia menemukan ketidaktentraman dengan pesona yang dimiliki sang suami. Tanpa
disadari tenyata pesona sang suami ini, dirasakan juga oleh kalangan umum khususnya
para ibu-ibu. Dengan berkembangnya sarana komunikasi dan era globalisasi ini, sang
suami banyak tampil di khalayak ramai, dan pesona sang suami semakin meluas
dirasakan. Di seminar-seminar internal yang pesertanya terdiri dari kaum adam dan hawa.
Ataupun lewat tulisan dan ulasan sang suami, banyak para ibu yang menjadi simpatik
kepadanya.

Sang suami pun menyadari akan pesona yang memang ia miliki, dan ada sedikit
kebanggaan karena ternyata setelah menikah pun, dia tetap memiliki daya tarik sebagai
seorang laki-laki.

Saya tidak bisa menjawab keluhan teman tersebut, tetapi saya merasakan ada
kekhawatiran di dalam tuturnya saat menceritakan bagaimana sang suami seakan
menebar pesona pada lawan jenisnya. Mungkin awalnya diniatkan sebagai lahan dakwah
di kalangan ibu-ibu. Tetapi kemudian sang istri menangkap adanya kesengajaan dalam
menebar pesona tersebut.
Saya tidak bisa memberikan solusi kepadanya melainkan hanya menyarankan ia agar
mengatakan hal yang menjadi ganjalan pada sang suami. Dan apa yang sebenarnya ia
inginkan dari sang suami. Karena saya rasa selama komunikasi antara suami istri tetap
dijaga, insya Allah rasa kekhawatiran yang berlebihan itu tidaklah perlu.

***

Rasa kekhawatiran apa yang dia rasakan? Fitnah apa yang mungkin timbul dari tebar
pesona ini. Mungkin ia takut ia akan dimadu? atau ia cemburu pada para fans sang
suami? Atau ia khawatir pesona suaminya menjadi fitnah bagi rumah tangga orang lain?

Menurut saya, kekhawatiran itu wajar dirasakan. Bila kita balikkan posisi mereka,
dimana sang suami memiliki istri yang penuh pesona, lantas apakah dia tidak merasakan
cemburu bila sang istri memiliki fans tersembunyi? Atau merasa khawatir sang istri
tertarik dengan lelaki lain atau khawatir sang istri akan menjadi fitnah bagi rumah tangga
orang lain.

Dari cerita teman di atas, saya melihat titik permasalahannya pada ketidaktentraman sang
istri karena sang suami yang menebar pesona. Masalah tebar pesona ternyata tidak hanya
milik kaum ABG saja. Dalam lingkungan suami istri pun hal ini mungkin terjadi baik
disadari ataupun tidak. Menebar pesona ataupun ditebar pesona.

Sekalipun sudah menikah bukan berarti kita terjaga bila kita tidak menjaga pandangan,
bukan berarti dengan menikah, lantas kita tidak merasakan ketertarikan pada lawan jenis
selain suami/istri kita. Karena fitrah manusia baik dia belum menikah ataupun sudah
menikah untuk merasakan ketertarikan/merasa senang dengan perhiasan dunia.

Firman Allah dalam surat Al Imran; "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang.
Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik
(surga)". (QS. 3:14)

Sebagai seseorang yang sudah berkeluarga merupakan kewajiban suami istri untuk saling
bertausiyah, menjaga agar tidak ada pintu-pintu yang terbuka bagi godaan setan. Baik
Anda sebagai seorang istri ataupun seorang suami, jagalah selalu hati Anda dan tentunya
membantu orang lain menjaga hatinya. Jagalah pandangan Anda dan bantulah menjaga
pandangan orang yang melihat Anda.

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi
mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". (QS. 24:30)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan


mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka". (QS 24:31)
Ayat di atas adalah perintah bagi laki laki dan wanita yang beriman agar menahan
pandangannya. Disamping menjaga pandangan, kita juga perlu membantu menjaga
pandangan suami/istri kita. Salah satu landasannya adalah larangan rasul untuk
menceritakan kecantikan/sifat seorang wanita lain di hadapan sang suami. Rasulullah
pernah bersabda diriwayatkan oleh Imam Bukhari, "Janganlah seorang wanita bergaul
dengan wanita lain, lalu dia memberitahukan sifat wanita itu kepada suaminya seakan-
akan dia dapat melihatnya". Larangan ini tentu berlaku bagi suami agar tidak
menceritakan sifat/gambaran lelaki lain di hadapan istri seakan istri melihat langsung.
Istri menjaga pandangan suami dan suami pun turut membantu menjaga pandangan istri.

Kenapa rasul melarang seorang istri bercerita tentang sifat/kecantikan wanita lain.
Dengan bercerita sifat-sifat seorang wanita seakan sang suami melihat sendiri, tentulah
timbul ketertarikan, keinginan atau harapan positif atau lintasan-lintasan hati. Kemudian
akan terbukalah pintu-pintu godaan setan. Jika Anda seorang istri, Anda akan merasa
simpati pada pria tersebut, kemudian Anda akan membandingkannya dengan suami
Anda, betapa suami Anda penuh kekurangan dan makin berkuranglah rasa syukur Anda
karena memiliki suami yang tidak 'sehebat' lelaki yang Anda jadikan perbandingan tadi.

Jika Anda seorang suami, Anda akan merasa simpati pada wanita tersebut, Anda pun
akan membandingkan istri Anda dengan dia, selanjutnya muncul harapan harapan Anda
pada si wanita lain tersebut.

Rumah tangga bagaimana yang akan berlanjut bila sang suami/istri memiliki rasa simpati
atau ketertarikan pada wanita/pria lain disamping istri/suaminya sendiri? Silahkan Anda
renungkan sejenak, keluarga sakinah mawaddah wa rahmah tentu jauh darinya. Tentunya
Anda tidak menginginkan ini terjadi pada keluarga Anda, juga tidak menginginkan ini
terjadi pada keluarga sahabat Anda, atau orang terdekat Anda.

***

Bila Anda penuh dengan pesona, jangan tebar pesona anda! Anda tidak ingin membuat
seorang suami/istri orang lain menjadi tertarik pada Anda bukan? Anda tentu tidak ingin
menjadi pembuka pintu godaan setan. Menjadi pembawa masalah dalam rumah tangga
orang lain, padahal seorang suami/istri tersebut sudah berusaha menjaga pandangan dan
membantu pasangannya dalam menjaga pandangan dengan tidak menceritakan
sifat/kecantikan/kelebihan wanita/pria lain. Tetapi kemudian Anda hadir dengan
membawa pesona? Bantulah menjaga pandangan pasangan lain. Jangan tebar pesonamu.
Berhati hatilah dengan segudang kelebihan/pesona yang telah Allah limpahkan pada
Anda semua.

ani_soekarno@yahoo.com
teruntuk para aktivis dakwah, ikhwan dan akhwat fillah.

Ketika Anak Belajar


Publikasi: 03/09/2004 12:47 WIB

eramuslim - Seorang anak kecil, katanya, akan belajar dan segera mempraktekkan
apapun yang ia lihat dan dengar dari sekitarnya. Tak peduli apakah hal itu adalah
kebaikan atau keburukan. Mereka memang suka meniru. Tanpa saat itu memiliki
pemahaman mengenai hal yang ditiru.

Suatu hari, terjadi sebuah kerusuhan kecil di rumah tante saya. Entah apa sebabnya, yang
jelas sepulang dari sana, ibu saya bercerita dengan sedikit heboh, bahwa tante saya baru
saja memukul anak laki-laki pertamanya sampai menangis keras. Saya ternganga. Waktu
itu, sepupu saya itu baru berusia empat tahun.

Hari itu mungkin adalah awal dari kebiasaan yang tercipta. Pola asuh yang diterapkan
oleh tante saya itu kemudian berkembang menjadi sebuah lingkaran tindak kekerasan
yang entah disadarinya entah tidak. Mengapa saya katakan lingkaran? Sebab rasanya bila
sekali sudah dilakukan, ia tak bisa dihentikan untuk kemudian hari. Sekali menjadi
awalan, lama-lama menjadi kebiasaan. Maka, hal ini seharusnya menjadi pelajaran untuk
sebuah pengendalian emosi.

Hari yang lain lagi, beberapa tahun kemudian, anak pertama tante saya itu memiliki
seorang adik laki-laki. Perhatian keluarga kami sedikit lebih banyak tercurah pada sang
adik. Saya dan ibu sempat berpikir, mungkin perilaku tante saya tersebut akan berubah
ketika sudah melahirkan anak kedua. Tetapi pikiran kami itu tak berlangsung lama. Sebab
ternyata kebiasaan tetaplah kebiasaan. Entah mengapa tak ada satu pun dari kami yang
berhasil membantu tante saya untuk merubah perilakunya.

Malam itu, kedua sepupu saya dititipkan di rumah, sebab orang tuanya ada acara hingga
malam hari. Sekitar pukul delapan malam, tante saya menelpon dan memarahi anak
sulungnya. Entah oleh sebab apa, hingga ia akhirnya menangis tersedu-sedu. Kami semua
kebingungan. Dan memutuskan untuk segera mengantarnya pulang karena ternyata kedua
orang tuanya sudah di rumah. Adik saya, yang akhirnya mengantarnya pulang, membawa
cerita pada saya dan ibu.

Si sulung ini, di perjalanan menuju rumahnya yang hanya beberapa blok jauhnya,
memegangi tangan adik saya sepanjang perjalanan sambil masih terisak. Entah apa yang
membuatnya begitu takut. Begitu kesan yang ditangkap oleh adik saya saat itu. Saat
hampir sampai di rumahnya, ia berhenti tiba-tiba dan berkata pada adik saya,

"Kak, berhenti dulu dong. Aku mau muntah."

Adik saya hanya terbengong melihat si sulung ini yang langsung berlari menuju selokan
sebuah rumah, dan memuntahkan hampir semua isi perutnya. Setelah puas, ia
melanjutkan perjalanan dan isak tangisnya pun reda.

Saya bukan seorang dokter atau psikiater yang bisa mendeteksi kondisi fisik maupun
kejiwaan yang terjadi pada sepupu saya. Yang saya tahu adalah, setiap kali ia merasa
tertekan, tegang, takut karena dimarahi oleh ibunya, ia tak pernah puas sampai bisa
muntah. Bahkan di banyak kesempatan, ia sering mencari alasan untuk membuat ibunya
marah, kemudian menumpahkan kekesalan dengan memukul dirinya sampai puas.
Sampai ia menangis, dan seringkali sampai muntah pula.

Awalnya saya pikir hal ini hanya akan terjadi pada diri si sulung saja. Sebab menurut apa
yang saya amati, tante saya itu tak melakukan kekerasan yang sama pada anak
bungsunya. Saat itu saya sedikit berlega hati, bahwa si bungsu tak akan mengalami hal
yang dialami abangnya.

Ternyata dugaan saya salah.

Sore itu, ibu saya baru saja kembali dari rumah tante saya. Seperti biasanya, ibu selalu
mengunjungi mereka hampir setiap dua hari sekali. Sekedar untuk bermain-main dengan
keponakannya yang paling kecil. Adik si sulung. Sore itu, sekali lagi ibu pulang dengan
membawa cerita. Rafi, si bungsu, menangis keras saat ibu sampai di rumahnya. Seperti
biasa, tidak ada orang, kecuali Rafi dan abangnya serta pembantu.

"Pas mama datang, si Rafi langsung ngadu sambil meluk mama. Katanya abangnya baru
aja mukulin dia. Ditendang juga katanya."

Saat itu, ingin rasanya saya menyumbat kedua telinga saya. Takut untuk mendengar
cerita selanjutnya. Hal yang dikhawatirkan rupanya terjadi. Dan ternyata kejadian seperti
ini tak hanya sekali. Ketika kami berusaha menanyakan sikap si sulung tersebut, anak
laki-laki yang baru berusia sembilan tahun itu menjawab,

"Aku juga digituin sama mama. Jadi, adek juga harus gitu."

Ketika seorang anak belajar, maka ia akan menangkap apapun dengan segera,
merekamnya baik-baik dalam kepala mungilnya, dan mempraktekkannya. Tak usah
heran, ketika suatu saat mereka mengatakan atau berbuat sesuatu yang tak pernah kita
sangka bahwa seorang anak kecil mampu mengucapkan atau melakukannya. Tak usah
heran, sebab mungkin perkataan itu mereka dengar dari kalimat yang kita ucapkan. Tak
usah menyesal, sebab bisa jadi perilaku mereka tersebut adalah cermin dari apa yang
telah kita lakukan sendiri.

D.H. Devita

Kiat Mempererat Hubungan Ayah dan


Anak
Publikasi: 27/08/2004 08:55 WIB
eramuslim - Hasil riset dan para psikologi banyak yang menyatakan bahwa peran ayah
sangat penting dalam pertumbuhan seorang anak. Ikatan emosional antara ayah dan anak,
ditentukan salah satunya oleh interaksi antara ayah dan anak itu sendiri. Interaksi yang
baik antara anak dan ayah ini, dikatakan sangat mempengaruhi kecerdasan emosional
seorang anak yang membuatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang berhasil.

Bagaimana seorang ayah yang sibuk bekerja di luar tetap bisa mempererat dan menjalin
ikatan emosional ini? Banyak kendala yang dihadapi seorang ayah untuk meluangkan
waktunya merawat anak karena kesibukan di luar. Di bawah ini adalah tips-tips bagi
Anda.

1. Persiapkan diri Anda sedini mungkin sejak istri Anda hamil


Seorang suami sudah terlibat dalam pembuahan seorang anak, yang menjadikan istrinya
mengandung. Masa kehamilan selama 9 bulan ini dapat Anda gunakan untuk
mempersiapkan diri Anda sebagai seorang ayah.

Berperan aktif lah Anda sebagai seorang suami sekaligus calon ayah dengan membantu
kehamilan istri. Mengikuti persiapan persalinan berupa senam, membaca buku bersama
mengenai kehamilan, cara merawat bayi atau berbelanja bersama untuk menyambut
kelahiran sang bayi. Bila memungkinkan temanilah istri Anda dalam persalinan. Melihat
langsung perjuangan istri Anda, dan detik-detik terdengarnya tangisan bayi yang lahir ke
dunia ini, akan menambahkan rasa sayang dan kasih Anda baik kepada istri maupun anak
Anda.

2. Ikut aktif merawat bayi


Sedari awal menjelang kelahiran, cobalah ikut aktif merawat bayi Anda. Salah seorang
peneliti menemukan bahwa para ayah yang mulai mengganti popok, memandikan, dan
mengasuh bayi mereka sejak dini, akan besar kemungkinan melakukan kegiatan
semacam itu pada bulan-bulan selanjutnya.

Kebiasaan ikut aktif sang ayah dalam merawat bayi akan terbentuk. Anda akan
menemukan saat-saat indah dalam masa ini. Anda bisa memandikan, mengganti
popoknya, memberikan susu botol dan meninabobokan. Untuk masa awal, adalah wajar
bila terjadi kesalahan-kesalahan karena yang perlu diingat merawat bayi perlu
pengalaman secara langsung, penuh coba dan memperbaiki kesalahan. So nothing to
loose. Try and you'll enjoy it.

Bayi Anda akan semakin merasakan kehadiran Anda, mengenali sosok wajah Anda,
suara Anda dan bau ayahnya.

Tips bagi ibu, biarkanlah suami Anda ikut merawat dan mengasuh dengan gayanya
sendiri, Anda bisa memberikan dukungan dan dorongan agar suami akan semakin
perrcaya diri dalam merawat bayinya. Memberikan masukan dan membetulkan cara
merawat akan menambah smooth.
Bagi keluarga yang mendapatkan pertolongan dari nenek atau saudara lainnya, usahakan
lah jangan sampai menganggu porsi sang ayah dalam ikut aktif merawat bayi. Give him
the space.

3. Bermain bersama

Ketika bayi Anda makin beranjak usia, lewatkan waktu bersama untuk bermain,
membaca buku atau melakukan aktivitas yang menyenangkan bagi bayi Anda yang mulai
merangkak, mulai belajar berbicara atau berjalan.

Ciptakanlah permainan-permainan yang menggairahkan, yang digemari seperti kuda-


kudaan, pesawat terbang atau sembunyi sembunyian. Sesuaikanlah dengan
perkembangan usia anak Anda. Membaca, mewarnai atau melakukan keterampilan
menggunting, menempel secara bersama-sama.

4. Terlibat dalam kehidupan sosial anak Anda

Ketika anak Anda mulai beranjak usia sekolah, dia akan memulai kehidupan sosial yang
baru. Usahakan terlibat dalam kehidupan sosial anak Anda, dengan mengenali misalnya
nama teman-temannya, dengan siapa dia bergaul, aktivitas yang dia lakukan bersama
temannya atau nama guru TK/SD nya.

5. Jadilah pendengar yang baik

Kesibukan kerja terkadang membuat Anda mengabaikan cerita-cerita anak Anda. Berikan
keseimbangan antar kerja dan keluarga, atau usahakan jangan membawa pekerjaan ke
rumah. Luangkan waktu 5 menit saja untuk mendengarkan celotehannya dan mengerti
betul isi cerita itu.

Jangan hanya 'meng-iyakan' agar cerita anak itu lekas selesai atau mengatakan "nanti
ayah sedang sibuk". Sebersit wajah kecewa akan nampak dan membuat anak akan
semakin malas untuk bercerita pada anda. Akhirnya kebiasaan bercerita dan sharing dari
anak akan menghilang. Jadi jangan Anda mengeluh bila anak Anda tidak terbuka suatu
hari nanti, karena kebiasaan ini dimulai dari respon Anda sebagai pendengar yang baik
atau tidak.

Dengan menjadi pendengar yang baik, disamping keterbukaan, Anda akan menjadikan
anak Anda dapat mengekspresikan dan cakap dalam mengungkapkan sesuatu.

6. Komunikasi yang baik

Bila Anda dinas luar atau tinggal terpisah berjauhan dengan anak Anda, usahakan lah
tetap menjalin komunikasi dengan baik, melalui telepon atau chatting internet. Tunjukkan
perhatian Anda, rasa sayang Anda melalui telepon, sms atau melalui surat. Juga Anda
bisa menggunakan moment ini sebagai pendewasaan bagi anak Anda. Misalnya dengan
mengatakan "Ayah akan pergi selama beberapa hari, ayah minta tolong yah agar Arif
menjadi anak baik dan menjaga ibu".

Anak akan merasakan dia dipercaya dan bertanggung jawab atas tugas-tugas tertentu.

7. Percayai anak Anda dan berikan kebebasan

Jadilah seorang ayah yang memberikan kebebasan dan dapat mempercayai anak Anda.
Kepercayaan Anda akan menjadikan dia tumbuh menjadi anak yang percaya diri dan
mandiri. Janganlah mendikte dia untuk melakukan A. Tapi cobalah memberikan dia
pilihan, misalnya Arif mau A atau mau B? dan tetaplah membuka kemungkinan pilihan
lain selama pilihan itu tidak bertentangan dengan hal prinsip.

Dari masalah yang sepele mulai dari pilihan memakai kaos kaki, baju atau memilih
sekolah. Dia akan merasa dihargai dan bertanggung jawab terhadap pilihannya. Sebagai
seorang ayah, Anda bisa membimbing dan memantaunya.

8. Penuhilah sesuai kebutuhannya.

Bertambah dewasa seorang anak, akan semakin bertambah kebutuhannya, semakin


beragam dan variatif. Jangan Anda paksakan dan menganggap dia masih kecil sehingga
memperlakukan sebagai seorang bayi. Mereka membutuhkan perlakuan sesuai dengan
usianya.

Kebutuhan seorang bayi tentunya berbeda dengan kebutuhan seorang anak usia sekolah,
juga berbeda kebutuhan anak menjelang remaja dengan kebutuhan anak usia sekolah dan
seterusnya. Cobalah Anda memahami kebutuhan anak Anda, dan tidak menganggapnya
sebagai "your sweety" selalu.

Demikianlah sedikit gambaran mengenai kiat-kiat agar Anda bisa semakin aktif
berinteraksi dengan anak Anda. Jangan lewatkan masa-masa pertumbuhan itu, you won't
get it back if you miss it. Selamat menikmati menjadi ayah yang baik, bukan sembarang
ayah.
ani_soekarno@yahoo.com

Melatih Anak Berkata Sopan


Publikasi: 07/10/2004 06:55 WIB

eramuslim - Adi dan Ilham sedang bermain bersama. Tiba-tiba seorang anak lain ikut
nimbrung dan memicu pertengkaran. Lalu sekonyong-konyong kata-kata yang
berkonotasi penghuni kebun binatang dan mengejek berlompatan keluar dari mulut
mereka. Bu Irma segera tergopoh-gopoh menengahi pertengkaran anak asuhnya. Hal
seperti ini bukan pertama kali terjadi di sekolah bu Irma. Taman bermain yang
mencantumkan label Islam di depan namanya itu ternyata tidak menjamin anak didiknya
akan selalu bertingkah-laku dan berkata sopan.

Demikian juga anak-anak kita. Terkadang para orang tua terkaget-kaget mendengar kata-
kata baru yang tiba-tiba diucapkan anaknya. Para orang tua akan berpikir keras kira-kira
dari mana anak mereka belajar kata-kata tersebut.

Kenyataannya, kita tidak bisa menciptakan lingkungan yang sempurna. Lingkungan yang
steril dari kata-kata yang buruk, kasar, atau tidak sopan. Coba perhatikan, anak-anak bisa
saja mendapatkan kata-kata barunya dari mana saja. Dari obrolan orang dewasa, dari
anak-anak yang lebih tua, dari televisi dan dari teman-temannya.

Sebagai orang tua kita mengharapkan agar anak-anak belajar bersopan santun dalam
berbicara. Secara umum gaya bicara anak diharapkan mengikuti gaya bicara yang baik
dan sopan, walau bukan bahasa baku. Namun adakalanya juga anak berbicara dengan
kata-kata yang kurang pas dengan situasi. Misalnya menggunakan kata elu dan gue
kepada orang yang lebih tua. Jika hal ini terjadi di keluarga Betawi mungkin masih bisa
diterima, tapi untuk keluarga lain, bisa dianggap kurang sopan.

Beberapa kata lain juga memiliki arti yang berbeda di berbagai tempat. Hal ini karena
kekayaan bahasa daerah yang ada di Indonesia. Misalnya kata bujur dalam bahasa Banjar
artinya benar, sedangkan bujur dalam bahasa Sunda artinya, (maaf) bokong.

Atau anak memang berbicara dengan menggunakan kata-kata yang benar-benar tidak bisa
dikatakan sopan. Misalnya kata-kata yang berkonotasi porno, hinaan, ejekan,
diskriminatif atau mengancam. Jika ini yang terjadi, kita sebagai orang tua sebaiknya:

- Dengarkan baik-baik kata apa yang diucapkan anak. Jangan buru-buru marah.

- Coba amati situasi dan kondisi pada saat itu, cari tahu mengapa anak berkata begitu.
Ada beberapa kemungkinan, pertama anak memang berkata tidak sopan. Kedua, mungkin
ada maksudnya anak berkata tidak sopan, tapi ia tidak berniat kurang ajar. Misalnya, "Si
anu badannya bau...!" Ketiga, mungkin anak hanya sekedar mengucapkan kata tersebut
tanpa mengerti artinya. Misalnya "Ibu suka pacaran sama ade bayi" Kemungkinan
lainnya adalah anak sedang marah dan melampiaskan emosinya atau sedang mencari
perhatian.

- Kemudian, pertimbangan usia anak. Anak usia balita biasanya mengucapkan kata-kata
tertentu hanya untuk memancing reaksi dari orang dewasa. Ia belum memahami arti kata-
kata tersebut. Sebagai contoh anak balita sering terbalik-balik menggunakan kata cantik
dan ganteng, kiri dan kanan, atas dan bawah, dan lain-lain. Sehingga untuk anak seusia
ini sebaiknya orang tua tidak menunjukkan sikap yang reaktif jika anak menggunakan
kata-kata yang tidak sopan. Jika kita menunjukkan sikap reaktif, anak akan mengingatnya
sebagai kata yang efektif untuk mendapatkan perhatian orang dewasa. Sehingga anak
cenderung untuk menggunakan kata tersebut pada kesempatan lain.
Sekali lagi, simak baik-baik, kemudian amati apakah kira-kira anak memahami arti kata-
kata tersebut. Kalau perlu tanyakan artinya kepada anak dengan sikap santai dengan
ekspresi biasa. Misalnya, "Bang, Abang Ilham tahu enggak arti pacaran itu apa, sih?"
Kalau si kecil menjawab tidak tahu atau artinya salah, jangan dianggap masalah besar.
Katakan saja, "Jika Abang tidak tahu artinya enggak usah ngomong gitu lagi, ya?"
Namun jika anak memahami arti kata-katanya, katakan dengan baik-baik agar tidak
mengulanginya. Jelaskan bahwa kata tersebut tidak baik dipergunakan.

- Anak usia sekolah dasar biasanya juga memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih
beragam. Di kelompok bermainnya terkadang juga berlaku kata-kata tertentu yang bisa
digunakan sebagai bahasa pergaulan di kelompoknya. Ada yang memang tergolong kata-
kata kotor atau tidak sopan. Ada juga yang sekedar bahasa slank, atau bahasa gaul.
Bahasa gaul ini kadang-kadang mereka ciptakan sendiri. Misalnya blo'on menjadi o'on,
atau bolot menjadi beot, dan lain-lain.

- Bahasa juga dipelajari dari keteladanan. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang
tidak memberikan teladan berbicara yang baik dan benar, akan dengan entengnya
mengucapkan kata-kata apa pun yang didengarnya. Apalagi jika lingkungan itu justru
menunjukkan reaksi positif jika anak mengucapkan kata-kata kotor. Misalnya, menyoraki
dan menertawakan anak yang berkata-kata kotor. Anak akan merasa senang dan
mendapat dukungan jika mengucapkan kata-kata kotor. Sehingga perlu sekali lingkungan
yang bersih dari polusi kata-kata. Kalaupun misalnya ada pertengkaran, usahakan tidak
terjadi di hadapan anak atau didengar anak. Repotnya pertengkaran ataupun contoh kata-
kata yang tidak baik itu dengan mudahnya ditiru anak dari televisi. Kata-kata seperti
brengsek, keparat, bajingan dan sejenisnya dengan entengnya berhamburan dari
tayangan-tayangan televisi. Bahkan dari program yang maksudnya untuk konsumsi anak-
anak, misalnya film kartun atau film anak-anak lainnya. Seleksi tayangan televisi yang
ketat perlu diberlakukan jika memang anak mengadopsi perbendaharaan kata-kata kotor
dari televisi. Juga perlu dicermati lirik-lirik lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak atau
orang dewasa atau bahkan buku-buku bacaan. Terkadang ada kata-kata yang sebenarnya
kurang pantas jika diucapkan anak.

- Anak-anak berbicara kotor di sekolah biasanya karena bawaan dari lingkungan


keluarga. Sayangnya si anak juga menularkan kebiasaannya kepada teman-temannya di
sekolah. Sehingga bagi para orang tua, sebaiknya juga mencermati gaya bicara anak yang
didapat dari sekolah.

- Anak baru boleh dibilang bermasalah jika ia terbiasa menggunakan kata-kata tidak
sopan untuk menghina, mengejek dan untuk tujuan negatif lainnya. Atau jika anak
memang terbiasa melampiaskan emosinya dengan menggunakan kata-kata kotor. Karena
anak yang melampiaskan secara eksplosif mungkin memendam kelainan psikologis.
Misalnya karena akibat kekerasan dalam keluarga.

- Jika anak memang secara sadar dan sengaja menggunakan kata-kata yang tidak sopan,
anak boleh dihukum dengan hukuman yang mendidik. Misalnya dengan puasa bicara
kecuali bicara yang baik, atau denda.
Tulisan ini pernah Dimuat dalam Majalah safina No.6 Tahun I, Agustus 2003

Menikah ala Islam, Mudah, Murah dan


Berkah!
Publikasi: 20/10/2004 06:48 WIB

eramuslim - Adalah menjadi karakteristik khusus Islam bahwa setiap ada perintah yang
harus dikerjakan umatnya pasti telah ditentukan syari'atnya (tata cara dan petunjuk
pelaksanaannya). Maka tidak ada satu perintah pun dalam berbagai aspek kehidupan ini,
baik yang menyangkut ibadah secara khusus seperti perintah shalat, puasa, haji, dan lain-
lain, maupun yang terkait dengan ibadah secara umum seperti perintah mengeluarkan
infaq, berbakti pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga dan lain-lain, kecuali telah
ditentukan syari'atnya.

Begitu pula halnya dengan menikah. Ia merupakan perintah Allah SWT untuk seluruh
hamba-Nya tanpa kecuali dan telah menjadi sunnah Rasul-Nya, maka sudah tentu ada
syariaatnya. Persoalannya, kebanyakan orang mengira bahwa syari'at pernikahan hanya
mengatur hal-hal ritual pernikahan seperti ijab qobul dan mahar, sedangkan masalah
meminang (khitbah), walimah (resepsi) dan serba-serbi menjalani hidup berumah tangga
dianggap tidak ada hubungannya dengan syari'at. Maka tidaklah mengherankan jika kita
menghadiri resepsi pernikahan seorang muslim dan muslimah, kita tidak menemukan ciri
atau karakteristik yang menunjukkan bahwa yang sedang menikah adalah orang Islam
karena tidak ada bedanya dengan pernikahan orang di luar Islam.

Lantas, memangnya seperti apa menikah ala Islam itu? Untuk membahasnya secara
lengkap jelas tidak mungkin di sini, karena tema seperti itu berarti membahas mulai dari
anjuran menikah, ta'aruf (perkenalan dua orang yang siap menikah), meminang, akad,
resepsi sampai pergaulan suami istri yang para ulama untuk menulisnya memerlukan
sebuah buku. Karena itu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai mahar dan
penyelenggaraan resepsi (walimah). Bukan karena yang lain tidak penting, tetapi
mengingat dalam dua hal inilah kebanyakan masyarakat muslim kurang tepat dalam
persepsi dan pemahamannya.

Tentang Mahar

"Berikanlah mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan ..." (QS An-Nissaa :4).

Mahar merupakan pemberian seorang laki-laki kepada perempuan yang dinikahinya,


yang selanjutnya akan menjadi hak milik istri secara penuh. Dalam praktiknya tidak ada
batasan khusus mengenai besarnya mahar dalam pernikahan. Rasulullah SAW
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qoyyim dalam kitabnya Zaadul Maad, memberi
mahar untuk istri-istrinya sebanyak 12 uqiyah. Abu Salamah menceritakan, "Aku pernah
bertanya kepada A'isyah ra, "Berapakah mahar Nabi SAW untuk para istrinya?" A'isyah
menjawab, "Mahar beliau untuk para istrinya adalah sebanyak 12 uqiyah dan satu nasy."
Lalu A'isyah bertanya, "Tahukah kamu, berapa satu uqiyah itu?" Aku menjawab, "tidak"
A'isyah menjawab, "empat puluh dirham." A'isyah bertanya, "Tahukah kamu, berapa satu
nasy itu?" Aku menjawab, "tidak". A'isyah menjawab, "Dua puluh dirham". (HR.
Muslim).

Umar bin Khattab berkata, "Aku tidak pernah mengetahui Rasulullah SAW menikahi
seorang pun dari istrinya dengan mahar kurang dari 12 uqiyah." (HR. Tirmidzi).

Dalam kisah lain Rasulullah SAW menikahkan putrinya Fatimah dengan Ali ra dengan
mahar baju besi milik Ali. Diriwayatkan Ibnu Abbas, "Setelah Ali menikahi Fatimah,
Rasulullah SAW berkata kepadanya, "Berikanlah sesuatu kepadanya." Ali menjawab,
"Aku tidak mempunyai sesuatu pun." Maka beliau bersabda, "Dimana baju besimu?
Berikanlah baju besimu itu kepadanya." Maka Ali pun memberikan baju besinya kepada
Fatimah. (HR Abu Dawud dan Nasa'i).

Bahkan ketika seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu berupa harta yang dapat diberikan
sebagai mahar, Rasulullah SAW tidak menolak untuk menikahkannya dengan mahar
beberapa surat dalam Al-Qur'an yang dihafalnya. Dikisahkan ada seorang laki-laki yang
meminta dinikahkan oleh Rasulullah, tetapi ia tidak memiliki sesuatu pun sebagai mahar,
walaupun sebuah cincin dari besi. Kemudian beliau bertanya kepadanya, "Apakah
engkau menghafal Al-Qur'an?" Ia menjawab, "Ya, aku hafal surat ini dan surat itu (ia
menyebut beberapa surat dalam Al-Qur'an). "Maka beliau bersabda, "Aku menikahkan
engkau dengannya dengan mahar surat Al-Qur'an yang engkau hafal itu!" (disarikan dari
hadits yang sangat panjang dalam Kitab Shahih Bukhari Jilid IV, hadits no. 1587).

Jadi, dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan tentang bentuk dan besarnya mahar,
tetapi yang disunnahkan adalah mahar itu disesuaikan dengan kemampuan pihak calon
suami.

Tentang Walimah (Resepsi Pernikahan)

Walimah merupakan sunnah, diadakan dengan tujuan agar masyarakat mengetahui


pernikahan yang berlangsung sehingga tidak terjadi fitnah di kemudian hari terhadap dua
orang yang menikah tersebut. Sedangkan mengenai tata cara penyelenggaraannya, syariat
memberikan petunjuk sebagai berikut:

Khutbah sebelum akad


Disunnahkan ada khutbah sebelum akad nikah yang berisi nasihat untuk calon pengantin
agar menjalani hidup berumah tangga sesuai tuntunan agama.

Menyajikan hiburan
Walimah merupakan acara gembira, karena itu diperbolehkan menyajikan hiburan yang
tidak menyimpang dari etika, sopan santun dan adab Islami.
Jamuan resepsi (walimah)
Disunnahkan menjamu tamu yang hadir walaupun dengan makanan yang sederhana.
(Dari Anas bin Malik ra bahwa Nabi SAW telah mengadakan walimah untuk Shofiyah
istrinya dengan kurma, keju, susu, roti kering dan mentega).

Diriwayat lain, Rasulullah SAW bersabda kepada Abdurrahman bin Auf, "Adakanlah
walimah meski hanya dengan seekor kambing." Sedangkan mengenai batasan
mengadakan walimah As-Syaukani dalam Nailul Authar menyebutkan bahwa Al Qadhi
Iyadh telah mengemukakan bahwa para ulama sepakat tidak ada batasan khusus untuk
walimah, meski diadakan dengan yang paling sederhana sekalipun diperbolehkan. Yang
disunnahkan adalah bahwa acara itu diadakan sesuai dengan kemampuan suami.

Masih banyak pelajaran lain yang bisa dipetik berkaitan dengan acara walimah ini, yang
membuat kita sampai pada satu kesimpulan bahwa menikah dengan cara Islam ternyata
memang mudah, murah dan berkah!

Tulisan ini pernah dimuat dalam Majalah Safina No.7 Tahun I, September 2003

Lainnya

Anda mungkin juga menyukai