Penyakit malaria merupakan penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat di dunia dan Indonesia khususnya yang belum bisa ditangani secara tuntas.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium sp yang disebarkan oleh nyamuk betina
Anopheles sp dan ditularkan dari orang sakit ke orang yang sehat melalui gigitan nyamuk
tersebut sebagai vektor malaria [1]. Tercatat ada 4 spesies parasit penyebab malaria yaitu
Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, Plasmodium vivax dan Plasmodium falciparum. Yang
terakhir ini yang paling ganas, karena dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak-anak
dibawah usia lima tahun. Parasit yang ditularkan lewat nyamuk biasanya masuk ke hati dan
berubah menjadi merozoites, masuk ke aliran darah, menginfeksi sel darah merah dan
berkembang biak. Gejala tiap jenis malaria biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil dan
keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul
kembali secara periodik.
Jenis malaria yang paling ringan adalah malaria Tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium
vivax, dengan gejala demam yang dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama
terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). Demam rimba (jungle fever), malaria
aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum
merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering
menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau serta kematian.
Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih
lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara
18-40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari
dan ini merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium
ovale dan mirip dengan malaria teriana. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam
sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, kemudian organisme tersebut menyerang
dan menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan demam pada penderita.
Penyakit malaria tidak hanya menyerang daerah tropis, tetapi juga menyerang daerah sub tropis
di seluruh dunia [2]. Kematian banyak terjadi pada negara-negara yang menjadi daerah endemik
malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, terutama di Propinsi
bagian timur seperti daerah pedesaan di luar Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat,
malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Menurut data dari
fasilitas kesehatan DEPKES pada tahun 2001 diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per
100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di
Papua.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik
akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk
perempuan [3]. Sebagai negara endemik, malaria di Indonesia sering diidap oleh para penduduk
yang tinggal di areal persawahan dekat dengan hutan. Selain itu, menurut Departemen Kesehatan
RI (1994), peningkatan kasus malaria pertahun yang terjadi di daerah timur akibat adanya
pembukaan daerah baru. Pada tahun 1998 dan 1999 di beberapa daerah, yakni Sumatera,
Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung terjadi peristiwa penyebaran malaria secara besar-besaran.
Sebanyak 21 orang meninggal dunia pada peristiwa tersebut, dari 18.812 kasus yang telah
dilaporkan. Selain itu sekitar 10.000 orang terjangkit malaria di Banyumas, Jawa Tengah [4].
Antara tahun 1986-1995 angka Anual Parasite Incidence (API) di Purworejo, Jawa Tengah
berkisar antara –11 kasus per 1000 penduduk dalam satu tahun, dari yang biasanya hanya 5 kasus
pertahun. Dan pada tahun 2000 jumlah API pada wilayah tersebut menjadi 44,5%. Wabah
malaria bisa terjadi/muncul karena berbagai pengaruh antara lain faktor lingkungan, faktor
nyamuk sebagai vektor penyebab malaria dan faktor genetik dari parasit malaria itu sendiri [5].
Dengan demikian pemberantasan vektor merupakan usaha yang penting di dalam pemberantasan
penyakit malaria ini. Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat malaria ini disebabkan oleh
berbagai faktor, seperti perubahan cuaca dan lingkungan yang dapat merupakan tempat
berkembang biaknya vektor malaria, resistensi vektor terhadap insektisida, resistensi parasit
terhadap berbagai obat anti malaria serta mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemi malaria.
Kematian akibat malaria banyak disebabkan oleh lingkungan yang sesuai untuk penyebaran
parasit dan sudah resistennya Plasmodium falciparum terhadap obat anti malaria yang sering
digunakan.
Penyebaran resistensi malaria disebkan adanya perpindahan penduduk dari daerah endemik
menuju ke daerah yang baru, sedangkan kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap
klorokuin di Indonesia seperti yang dilaporkan sudah menyebar sampai 27 Propinsi di Indonesia.
Selain menimbulkan kematian, penyakit ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ-
organ dalam. Kerusakan tersebut antara lain tejadi pada selaput otak dan terjadinya hemoragi
pada daerah serebrum.
Terjadinya Black-water fever akibat adanya hemolisis intravaskuler yang kemudian diikuti oleh
hemoglobinuria. Selain itu masih seringnya terjadi peristiwa relapse (kekambuhan) dan reinfeksi
(infeksi ulang) pada penyakit ini.
PEMBERANTASAN MALARIA
Berbagai kegiatan yang sudah dilakukan untuk mengurangi insiden malaria adalah sbb :
Pemberatasan penyakit malaria juga dapat dilakukan dengan cara penyuluhan kebersihan
lingkungan, penyemprotan dengan insektisida, pengobatan terhadap penderita dengan berbagai
obat malaria dan penanggulangan terhadap vektornya (nyamuk). Obat malaria yang sering
diberikan kepada penderita banyak macamnya seperti kelompok standar (klorokuin, kina,
primakuin dan sulfadoksin-pirimetamin), kelompok kuinolin, kelompok anti-folat dan kelompok
baru (artemisinin, lumefantrin, atovakuon, tafenokuin, pironaridin, piperakuin, WR99210 dan
antibiotik). Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan malaria klinis
akan menyebabkan terjadinya resistensi obat[7]. Karena upaya pemberantasan malaria belum
memberikan hasil maksimal maka perlu ada cara lain untuk membantu program pemberantasan
malaria ini yaitu dengan pengendalian vektor mengunakan Teknik Serangga Mandul (TSM) atau
Teknik Jantan Mandul (TJM).
Teknologi nuklir merupakan salah satu teknologi yang mengalami kemajuan pesat dalam
pemanfaatannya pada berbagai sektor seperti bidang pertanian dan kesehatan. Teknologi nuklir
adalah teknologi yang memanfaatkan radiasi / radioisotop untuk memecahkan masalah melalui
penelitian dan pengembangan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan. Teknik ini
memiliki banyak keunggulan karena isotop radioaktif yang digunakan memiliki sifat kimiawi
dan sifat fisis yang sama denga zat kimia biasa/non radioaktif namun mempunyai kelebihan sifat
fisis yaitu dapat memancarkan radiasi [8].
Radiasi gamma, netron dan sinar X dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dan vektor
penyakit, yaitu dapat digunakan untuk membunuh secara langsung (direct killing) dengan teknik
disinfestasi radiasi dan secara tidak langsung (indirect killing) yang dikenal dengan teknik
serangga mandul (TSM). Teknik ini relatif baru dan potensial untuk pengendalian vektor malaria
karena ramah lingkungan, efektif spesies dan kompartibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM
sangat sederhana yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autodical technique).
Teknik ini meliputi radiasi koloni vektor / serangga di laboratorium dengan berbagai dosis,
kemudian secara periodik dilepas ke lapang sehingga tingkat kebolehjadian perkawinan antara
serangga mandul dengan serangga vertil menjadi semakin besar dari generasi pertama ke
generasi berikutnya, yang berakibat makin menurunnya persentase fertilitas populasi vektor di
lapang yang secara teoritis pada generasi ke-4 akan mencapai titik terendah menjadi 0% atau
jumlah populasi serangga pada generasi ke-5 menjadi nihil [9]. Selain digunakan untuk dalam
pemandulan vektor, teknik nuklir juga bisa digunakan sebagai penanda vektor. Karena salah satu
sifat radioisotop (seperti P-32) dapat memancarkan sinar radioaktif, sehingga dipakai sebagai
penanda nyamuk Anopheles sp. di lapangan, sementara cara penandaan dengan teknik lain
dianggap sangat suilit mengingat tubuh nyamuk terlalu rapuh serta stadium larva dan pupa yang
hidup di air.
Metoda pertama menerangkan bahwa jika ke dalam suatu populasi serangga di lapangan
dilepaskan serangga mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan
menurun. Apabila nilai kemandulan serangga radiasi mencapai 100% dan daya saing kawinnya
mencapai nilai 1,0 (sama dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi yang dilepas sama
dengan jumlah serangga normal (perbandingan 1:1), maka kemampuan berkembang biak
populasi tersebut akan turun sebesar 50%. Jika perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9:1
(jumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari jumlah serangga lapangan), maka kemampuan
populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun sebesar 90%.
Metoda kedua, yaitu metoda tanpa pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini
dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung terhadap serangga lapangan yang dapat
dilakukan dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik pada jantan maupun betina. Dengan
metoda kedua ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap kemampuan kembangbiak
populasi serangga. Kedua pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian serangga lapangan
sebagai akibat langsung dari kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga yang telah
mandul terhadap serangga sisanya yang masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa kimia
yang bersifat mutagenik dan karsinogenik pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini
tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor.
Salah satu cara pemandulan nyamuk/vektor adalah dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan
pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan
sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan
adalah sinar gamma. Sinar gamma dapat berasal dari Cobalt-60 yang mempunyai waktu paroh
3,5 tahun atau 137Cs dengan waktu paroh 30 tahun [11].
Untuk mendapatkan vektor mandul dengan radiasi maka perlakuan iradiasi paling tepat
dilakukan pada stadium pupa, karena stadium ini merupakan tahap perkembangan dimana terjadi
transformasi organ muda menjadi dewasa [12]. Kemandulan adalah ketidakmampuan suatu
organisme untuk menghasilkan keturunan.
Berkurangnya produksi telur (betina) yang disebabkan karena tidak terjadinya proses
oogenesis sehingga tidak terbentuk oogenia atau telur.
Aspermia dapat menyebabkan kemandulan karena radiasi merusak spermatogenesis
sehingga tidak terbentuk sperma (jantan).
Inaktivasi sperma juga dapat menyebabkan kemandulan karena sperma tidak mampu
bergerak untuk membuahi sel telur.
Faktor penyebab kemandulan yang lain ialah ketidakmampuan kawin, hal ini karena
radiasi merusak sel-sel somatik saluran genetalia interna sehingga tidak terjadi
pembuahan sel telur.
Mutasi lethal dominan, dalam hal ini inti sel telur atau inti sperma mengalami kerusakan
sebagai akibat radiasi sehingga terjadi mutasi gen. Mutasi letal dominan tidak
menghambat proses pembentukan gamet jantan maupun betina, dan zigot yang terjadi
juga tidak dihambat, namun embrio akan mengalami kematian.
Prinsip dasar mekanisme kemandulan ini untuk selanjutnya dikembangkan sebagai dasar
pengembangan teknik pengendalian vektor yang disebut Teknik Serangga Mandul.
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam pengendalian
vektor penyakit malaria dengan Teknik Serangga Mandul dan merupakan teknik pengendalian
yang sangat spesifik karena hanya berpengaruh pada spesies target, ramah lingkungan, tidak
menimbulkan resistensi baik obat malaria maupun pestisida.
TSM merupakan merupakan teknik pengendalian vektor yang sangat efektif dan efisien, baik
secara sendiri maupun terintregasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan lebih baik
bila dikombinasikan dengan teknik pengendalian yang lain secara terpadu.
Oleh:
Siti Nurhayati
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN
Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta – 12440
PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070
DAFTAR PUSTAKA
Tujuan : Mengetahui perbedaan kejadian malaria berdasarkan penempatan ternak besar pada
malam hari di rumah penduduk Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Metode Penelitian : Jenis penelitian adalah eksplanatori, metode survey dengan pendekatan
cross sectional. Sampel penelitian sebanyak 90 rumah dengan masing-masing 30 rumah dalam
jarak > 50 m tidak ditemukan ternak, 30 rumah terpisah dengan ternak (jarak ternak 10 m – 50
m dari rumah) dan 30 rumah menempatkan ternak menyatu dengan penghuninya. Kejadian
malaria ditentukan dengan melakukan pemeriksaan mikroskopis dari salah satu penghuninya.
Data yang terkumpul dianalisis dengan uji Chi-Square dengan tingkat kemaknaan 95 %..
Variabel terikatnya adalah kejadian penyakit malaria, sedangkan variabel bebasnya adalah
penempatan ternak besar pada malam hari di rumah penduduk.
Hasil Penelitian : Pada sampel dengan rumah tidak ada ternak ditemukan 1 orang (3,3 %)
positif malaria. Sedangkan sampel rumah terpisah dengan ternak ditemukan 2 orang (6,7 %)
positif malaria. Adapun sampel dengan rumah menyatu dengan ternak ditemukan 10 orang
(33,3 %) positif malaria. Hasil uji Kai Kuadrat (Chi-Square), dengan tingkat kesalahan 0,5 %
didapat hasil p=0,001 dimana p<a sehingga H0 gagal ditolak atau “Ada Perbedaan Kejadian
malaria berdasarkan penempatan ternak besar pada malam hari di rumah penduduk Desa
Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara”.
Kesimpulan : Ada perbedaan kejadian penyakit malaria berdasarkan penempatan ternak besar
pada malam hari di rumah penduduk Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
ABSTRACT
Background : Anopheles aconitus mosquito has role as malaria vector in Buaran Village. The
mosquito has more character bity animal (zoofolic) than biting human (antrophofilic). The
mosquito come very much because interest for calculation blood animal near home location, so
that these home have mosquito density highly. Those will influence occurrence of malaria
infection because mosquito not only to bite big livestock, but people also.
Purpose : Knowing the difference of malaria occurrence based on big livestock location at night
abaut home Buaran Village, Mayong Sub-District, Jepara District.
Research Method: This research type is explanatory, survey method with cross sectional
approach. The research sample is 90 houses which each 30 houses in radius ³ 50 m was not
found livestock, 30 houses are separated with livestock (livestock distance 10 m – 50 m from the
house)) and 30 houses put their livestock to be one with the occupied. Malaria occurrence is
definite by microscopic checking from one of the occupied. The collective data is analyzed by
Chi-square test with significant level 95 %. The dependent variable is malaria disease
occurrence, while the independent variable is places the big livestock in the night in the people
house.
Research Result : Sample of house with no livestock found 1 people (3,3 %) is positive malaria.
While separate house with livestock found 2 people (6,7 %) is positive malaria. Sample of house
with livestock in the same place found 10 people (33,3 %) is positive malaria. Result of Chi
Square with fault level 0,5% got result of p=0,001 where p<so H0 is fail to refuse or ” There is
different of malaria occurrence based on big livestock location at night abaut home Buaran
Village, Mayong Sub-District, Jepara District.”
Conclusion : There is different of malaria occurrence based on big livestock location at night
abaut home Buaran Village, Mayong Sub-District, Jepara District.
PENDAHULUAN
Malaria saat ini masih menjadi masalah kesehatan umum yang utama. Lebih dari 40 %
masyarakat dunia (di 100 negara) atau lebih dari 200 juta orang terpapar oleh berbagai tingkat
risiko malaria. Selain itu dengan adanya alat transportasi modern yang tepat, sebagian
masyarakat yang berasal dari daerah non malaria menjadi terpapar oleh infeksi. 1)
Di Indonesia sampai saat ini angka kesakitan malaria masih cukup tinggi terutama di daerah Luar
Jawa dan Bali 2). Annual Parasite Incidence (API) di pulau Jawa dan Bali pada tahun 1997 adalah
0,12 per 1000 penduduk sedangkan di luar Jawa dan Bali angka Paracite Rate (PR) tetap tinggi
yaitu 4,78 % pada tahun 1997 tidak banyak beda dengan angka PR tahun 1990 3).
Untuk Wilayah Jawa Tengah, penyakit malaria cenderung ada peningkatan dari tahun 1994 API
0,26 per 1000 penduduk sampai dengan tahun 2001 API 1,5 per 1000 penduduk. Terlihat empat
tahun terakhir telah terjadi peningkatan angka malaria di Jawa Tengah Lebih dari empat kali 4).
Kabupaten Jepara merupakan salah satu daerah endemis malaria di wilayah Jawa Tengah. Pada
tahun 2004 ada 192 kasus dengan angka kesakitan malaria API sebesar 0,18 perseribu penduduk,
jauh lebih tinggi daripada standart nasional sebesar 0,08 per mil. Adapun kasus tertinggi (42,18
%) berada di wilayah Puskesmas Mayong I dengan jumlah kasus sebanyak 81 kasus dengan API
2,5 permil 5).
Gambaran umum malaria di Puskesmas Mayong I adalah terjadinya ledakan kasus pada tahun
2000 API 8,7 per mil dan tahun 2001 API 12 per mil, kemudian menurun mulai pada tahun 2002
dan pada tahun 2004 API menjadi 2,5 per mil. Penurunan kasus ini terjadi karena pada tahun
2004 program intervensi ke wilayah Puskesmas Mayong I banyak dilakukan seperti Active Case
Detection (ACD), Pasive Case Detection (PCD), Mass Fever Survey (MFS), Larvasiding dan
Biological Control 6).
Desa Buaran yang merupakan salah satu desa di wilayah Puskesmas Mayong I dari tahun ke
tahun merupakan desa endemis malaria dan termasuk katagori Hight Case Incidence (HCI)
dengan API > 5 permil pada tahun 2001 sampai dengan tahun 2002. Tetapi pada tahun 2004
telah terjadi penurunan menjadi daerah Medium Case Incidence (MCI) dengan API
sebesar 3,5 permil 6), sedangkan angka Slade Positive Rate (SPR) adalah 3,43%.
Nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit malaria di Desa Buaran adalah Anopheles
aconitus. 6). Nyamuk ini lebih bersifat suka menggigit binatang (zoofilik) daripada sifat suka
menggigit manusia (antrophofilik).7) Padahal di Desa Buaran yang mayoritas penduduknya
adalah petani dan sebagian dari mereka juga memiliki ternak besar (sapi). Jumlah sapi di Desa
Buaran menurut Dinas Peternakan Kecamatan Mayong adalah tidak tetap dan berkisar antara 100
ekor sampai 150 ekor.
Petani di Desa Buaran biasanya memiliki sapi hanya 1-2 ekor saja. Untuk alasan keamanan sapi-
sapi tersebut pada malam hari dipelihara di dalam kandang yang menyatu dengan rumah.
Sedangkan pada siang hari, pada waktu tidak dipekerjakan atau digembalakan, diikat di halaman
rumah. Setiap pagi bilamana sapi sudah dikeluarkan, maka kandang dibersihkan. Faeces
bersama-sama sisa makanan diangkat dan bekas-bekas urine disiram dengan abu dari api unggun
yang dibuat tiap malam guna mengusir nyamuk.
Dilihat dari uraian di atas maka penempatan ternak besar pada malam hari dapat mempengaruhi
kontak nyamuk dengan manusia. Banyak nyamuk datang karena tertarik untuk menghisap darah
hewan ternak besar yang berada dekat dengan rumah, sehingga rumah tersebut mempunyai
kepadatan nyamuk yang sangat tinggi. Hal tersebut akan mempengaruhi penularan penyakit
malaria, karena nyamuk tidak hanya menggigit hewan saja tetapi manusia akan digigit pula. Oleh
karena itu perlu diteliti tentang perbedaan kejadian malaria berdasarkan penempatan ternak besar
pada malam hari di rumah penduduk Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
METODE
Jenis penelitian ini adalah eksplanatori, menggunakan metode survey dengan pendekatan cross
sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah rumah hunian yang terdapat di Desa Buaran, Kecamatan
Mayong, Kabupaten Jepara yaitu sebanyak 957 rumah. Sampel penelitian sebanyak 90 rumah
dengan masing-masing 30 rumah dalam jarak > 50 m tidak ditemukan ternak, 30 rumah terpisah
dengan ternak (jarak ternak 10 m – 50 m dari rumah) dan 30 rumah menempatkan ternak
menyatu dengan penghuninya. Kejadian malaria ditentukan dengan melakukan pemeriksaan
mikroskopis dari salah satu penghuninya. Data yang terkumpul dianalisis dengan uji Chi-Square
dengan tingkat kemaknaan 95 %.. Variabel terikatnya adalah kejadian penyakit malaria,
sedangkan variabel bebasnya adalah penempatan ternak besar pada malam hari di rumah
penduduk.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kejadian penyakit malaria, sedangkan variabel
bebasnya adalah penempatan ternak besar pada malam hari di rumah penduduk.
Penghitungan statistik yang dilakukan dengan tingkat kemaknaan 95%. Analisa statistik yang
digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan kejadian penyakit malaria berdasarkan
penempatan ternak besar pada malam hari di rumah penduduk Desa Buaran, Kecamatan
Mayong, Kabupaten Jepara adalah uji Chi-Square.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Sampel pada Penelitian di Desa Buaran, Kec.
Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005
Dipilihnya mayoritas sampel dengan berjenis kelamin perempuan dimaksudkan agar kejadian
malaria yang terdeteksi benar-benar berasal dari gigigtan nyamuk di dalam rumah, karena pada
umumnya kaum perempuan kalau malam lebih banyak berdiam diri di dalam rumah,
dibandingkan kaum laki-laki yang mempunyai kebiasaan ke luar rumah pada malam hari. Jumlah
laki-laki dalam penelitian ini sebanyak 32 orang (35,6 %) yang terdiri dari anak-anak dan
manula serta sebagian kecil saja yang berusia produktif. Perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan pada sampel ini sebanding dengan data penduduk di wilayah Puskesmas Mayong I
pada tahun 2004 yaitu jumlah laki-laki 15.345 jiwa (47,42%) dan perempuan 17. 012 jiwa
(52,58%) dari jumlah penduduk 32.357 jiwa.6)
Pendidikan sampel yang terbanyak adalah tamat SLTP (51,1%), disusul SD / tidak tamat SD
(36,7 %), lalu tidak sekolah (11,1 %) dan yang paling sedikit adalah D3 / PT (1,1 %). Untuk
distribusi frekuensi menurut tingkat pendidikan sampel dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Pendidikan pada Penelitian di Desa Buaran, Kec. Mayong,
Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005
Dari tabel 2 terlihat bahwa sebagian besar sampel adalah SD/tak tamat SD dan tamat SLTP
(87,8%). Seperti pada penelitian yang tercatat bahwa pendidikan penduduk sebagian besar tamat
SD dan SLTP (88,5%). 9)
Keadaan tersebut erat kaitannya dengan adat istiadat atau kebiasaan di Desa Buaran. Di desa
tersebut orang tua malas menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena
beberapa alasan misalnya : Jauhnya lokasi sekolah, sulitnya pengawasan anak, dan kekhawatiran
anaknya terjerumus kehal-hal yang bersifat negatif. Orang tua lebih condong untuk memasukkan
anaknya ke pondok-pondok pesantren yang ada di sekitar Desa Buaran.
Untuk jenis pekerjaan terbanyak adalah petani (32,2 %), kemudian buruh (31,1 %), jasa (15,6 %)
dan wiraswasta (2,2 %), sedangkan lainnya tidak bekerja (18,9 %). Adapun distribusi frekuensi
menurut jenis pekerjaan sampel dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan pada Penelitian di Desa Buaran, Kec. Mayong,
Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005
Terlihat di tabel 3 bahwa jenis pekerjaan terbanyak pada sampel adalah petani 32.2 %. Data ini
sebanding dengan data penduduk menurut jenis mata pencaharian di wilayah puskesmas Mayong
I tahun 2004 yaitu petani sebanyak 10.251 orang (31,7%) dari jumlah penduduk 32.357 orang 6).
Hal ini disebabkan karena wilayah Desa Buaran sebagian besar adalah daerah sawah dan
perkebunan tebu. Dilihat pada tingkat pendidikan yang hanya tamat SD dan SLTP, maka hanya
jenis pekerjaan petani cocok bagi kehidupan mereka.
Keadaan rumah sampel semua mempunyai dinding dari jenis tembok, yaitu sebanyak 49 rumah
(54,4%) jauh dari tempat perindukan nyamuk, tetapi ada 32 rumah (35,6%) berada di dekat
tempat perindukan sungai dan 9 rumah (10%) di dekat sawah dengan jarak rumah dengan tempat
perindukan minimum 10 m dan maksimum 650 m, sedangkan jarak rata-ratanya adalah 283 m
dengan simpangan baku 170,84. Distribusi frekuensi lokasi rumah sampel dapat dilihat pada
tabel 4.
Pada tabel 4 sebanyak 45,6 % rumah berada tak jauh dari tempat perindukan nyamuk dengan
jarak rata-rata adalah 283 m, dimana jarak tersebut masih merupakan jarak terbang nyamuk
Anopheles aconitus7). Dengan keadaan tersebut, rumah sampel mempunyai tingkat risiko tinggi
terhadap penularan malaria.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Lokasi Rumah Terhadap Tempat Perindukan Nyamuk pada
Penelitian di Desa Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005.
Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Buaran, menyebutkan bahwa wilayah
Desa Buaran memiliki areal sawah sebesar 749 ha (60% dari luas desa) dan di tengah desa
mengalir sebuah sungai sepanjang 8 km. Hal tersebut merupakan tempat perindukan (breeding
place) bagi nyamuk Anopheles aconitus yang sangat cocok. Pada survei jentik nyamuk
Anopheles aconitus pada tahun 2000 di Desa Buaran menyebutkan bahwa rata-rata kepadatan
larva Anopheles aconitus di tempat perindukan per 50 ciduk adalah bulan Mei 25 (0,5), bulan
Juni 40 (0,8), bulan Juli 52 (1,04), bulan Agustus 95 (1,9), bulan September 31 (0,6) dan Oktober
57 (1,1). 10) Dalam penelitian lain juga menyebutkan bahwa desa yang memiliki areal
persawahan > 60 mempunyai penderita malaria lebih banyak dibanding dengan desa-desa yang
memiliki areal persawahan < 30 %. 11)
Perilaku sampel menunjukkan bahwa dalam sebulan terakhir 78,9 % memakai obat nyamuk jenis
bakar dan 7,8 % memakai obat nyamuk jenis oles, sedangkan sisanya 13,3 % tidak memakai obat
nyamuk (Tabel 5).
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Memakai Obat Nyamuk pada Penelitian di Desa
Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005.
Dari tabel 6 terlihat bahwa sebagian besar sampel (78,9%) punya kebiasaan tidur tidak memakai
kelambu. Hal ini disebabkan karena dengan memakai kelambu dirasakan akan mengganggu
kenyamanan tidur. Ketidaknyamanan tersebut disebabkan adanya perasaan tempat tidur kelihatan
menjadi sempit dan pernafasan yang tidak bebas. Dengan kadaan tersebut sampel mempunyai
tingkat risiko tinggi terhadap penularan penyakit malaria. Dimana pada penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa dari 119 responden yang punya kebiasaan memakai kelambu, 95 sampel
pernah sakit malaria dan 24 sampel tidak pernah sakit malaria 9). Dikatakan pula bahwa beberapa
program pencegahan malaria dengan membagikan kelambu kepada masyarakat sering tidak
mencapai hasil yang memuaskan.
Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Tidur Memakai Kelambu pada Penelitian di Desa
Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005 s/d 3 Agustus 2005.
Dengan ditemukannya 13 orang positif malaria di Desa Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara yang
jumlah penduduknya 5.740 orang pada penelitian ini, maka desa tersebut dapat dikatakan
merupakan daerah MCI dengan nilai API sebesar 2,26 0/00 dan nilai SPR 14,4%. Angka ini lebih
kecil jika dibandingkan dengan angka API dan SPR di Desa Buaran pada tahun 2004 yaitu nilai
API 3,5 0/00 dan nilai SPR 3,43% 6). Perbedaan ini tidak bisa dijadikan tolok ukur perbandingan,
karena kemungkinan penyebabnya adalah perbedaan metoda penghitungan, yaitu karena jangka
waktu pemeriksaan yang berbeda. API dihitung dalam jangka waktu satu tahun 2), sedangkan
dalam penelitian ini hanya sesaat (survey cross sectional). Walaupun demikian penelitian ini
menghasilkan data baru penderita malaria sebesar 14,4%.
Tabel 7. Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit Malaria Berdasarkan Hasil Pemeriksaan
Laboratorium pada Penelitian di Desa Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli 2005
s/d 3 Agustus 2005.
Tabel 8. Hasil Tabel Silang Antara Penempatan Ternak pada Malam Hari dengan Kejadian
Penyakit Malaria pada Penelitian di Desa Buaran, Kec. Mayong, Kab. Jepara Tanggal 27 Juli
2005 s/d 3 Agustus 2005.
Pada tabel 8 terlihat bahwa sampel dengan letak rumah radius >50 m tidak terdapat ternak besar
pada malam hari (Tak Ada Ternak) ditemukan 1 orang positif malaria dan 29 orang negatif
malaria. Sedangkan sampel dengan letak rumah jarak 10-50 m dengan ternak besar pada malam
hari (Terpisah) ditemukan 2 orang positif malaria dan 28 orang negatif malaria. Adapun sampel
dengan letak rumah hunian yang pada malam hari terdapat ternak besar di dalam rumah atau
dalam radius < 10 m dari rumah terdapat kandang ternak besar yang masih berfungsi (Menyatu)
ditemukan 10 orang positif malaria dan 20 orang negatif malaria.
Dari perhitungan dengan uji Chi-Square, antara penempatan ternak dengan kejadian penyakit
malaria dengan tingkat kesalahan a = 5 % didapat hasil nilai p adalah 0,001 dimana p < a
sehingga H0 ditolak, atau dengan kata lain “Ada perbedaan kejadian penyakit malaria
berdasarkan penempatan ternak besar pada malam hari di rumah penduduk Desa Buaran,
Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara”.
Perbedaan tersebut disebabkan nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit malaria di Desa
Buaran yaitu Anopheles aconitus yang bersifat suka menggigit binatang (zoofilik) daripada sifat
suka menggigit manusia (antrophofilik).7) Keadaan tersebut menyebabkan rumah hunian dengan
katagori ‘menyatu’ banyak didatangi nyamuk Anopheles aconitus karena tertarik terhadap bau
ternak hewan besar dan untuk menghisap darahnya. Apabila nyamuk yang datang terlalu banyak
atau mempunyai kepadatan yang tinggi, maka nyamuk tersebut tidak hanya menggigit hewan
ternak besar saja tetapi juga akan menggigit manusia. Hal tersebut akan mempengaruhi kejadian
penularan penyakit malaria, karena apabila nyamuk yang menggigit manusia di dalam tubuhnya
mengandung parasit malaria (sprozoit) maka tidak menutup kemungkinan manusia yang digigit
nyamuk tersebut akan tertular malaria.
Disini peran ternak besar justru membantu penularan penyakit jika ditempatkan ’menyatu’
dengan rumah. Tetapi apabila ternak diletakkan ’terpisah’ dari rumah, maka fungsi ternak adalah
sebagai tameng (barier) karena nyamuk yang sembunyi di dalam rumah akan keluar dari rumah
dan terbang ke arah ternak berada. Dengan kata lain adanya ternak besar dapat mengurangi
jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari
rumah.2)
Adapun dalam penelitian yang terdahulu juga menyebutkan bahwa orang yang berada di rumah
dengan letak ternak di dalam rumah digigit nyamuk Anopheles aconitus rata-rata enam kali lebih
banyak dari pada orang yang berada di dalam rumah tanpa ternak.13) Dalam penelitian lain juga
menyebutkan bahwa ada hubungan antara jumlah kandang ternak besar di dalam rumah dengan
jumlah penderita malaria di desa-desa wilayah Puskesmas Mayong I, dimana semakin banyak
jumlah kandang maka semakin banyak pula jumlah penderita malaria di desa tersebut.11) Hal ini
diperkuat lagi pada sebuah penelitian yang menyimpulkan ada perbedaan kepadatan nyamuk
Anopheles aconitus dalam rumah berdasarkan keberadaan hewan ternak sapi atau kerbau pada
malam hari di Desa Buaran, dimana pada rumah terdapat ternak rata-rata kepadatan nyamuknya
adalah 6,57 ekor per jam dan rumah tidak terdapat ternak rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles
aconitus adalah 3,97 ekor per jam.14)
Kesimpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kejadian penyakit malaria pada penelitian ini adalah 13 kasus dari 90 orang yang
diperiksa (SPR = 14,4%).
2. Kejadian penyakit malaria terdapat pada 1 kasus (1,1%) dengan letak rumah dengan
katagori ‘tak ada ternak’, 2 kasus (2,2%) dengan letak rumah dengan katagori ‘terpisah’,
dan 10 kasus (11,1%) dengan letak rumah dengan katagori ‘menyatu’.
3. Ada perbedaan Kejadian penyakit malaria berdasarkan penempatan ternak besar pada
malam hari di rumah penduduk Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Saran
Untuk menurunkan kejadian penyakit malaria di Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten
Jepara, diperlukan koordinasi antara Puskesmas (Kepala Puskesmas, Sie Promkes dan Sie P2M)
dengan Lintas Sektor untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang : 1).
Pentingnya pemisahan penempatan ternak besar dengan rumah hunian terutama pada malam
hari dengan jarak minimal 10 m. 2). Apabila hal tersebut tidak dimungkinkan (ternak besar di
dalam rumah), maka diperlukan tindakan pencegahan yaitu menghindari gigitan nyamuk dengan
memakai obat anti nyamuk, kelambu tidur, pemasangan kassa anti nyamuk pada ventilasi rumah
dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Gilles H.M. 1997. Penatalaksanaan Malaria Berat dan Komplikasi. Alih Bahasa :
Irawati Setiawan. Jakarta : Hipocrates.
1. Sumarsono. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I.
Jakarta : FK UI. 443-449
1. Sri Ekowatiningsih. 2002. Survei Tempat Istirahat Nyamuk Anopheles di Dalam Rumah
yang Berbeda Konstruksi Dinding di Desa Buaran Kecamatan Mayong Kabupaten
Jepara. Semarang : FKM UNDIP. 1-3
1. Goenawan Woloejo. 2005. Rapat Kerja Kesehatan Kab Jepara th 2005. Jepara: DKK
Jepara
1. Tri Marthoni. 2004. Laporan Hasil Kegiatan Tim Epidemiologi Puskesmas Tahun 2004.
Jepara : Puskesmas Mayong I. 3-14
1. Srisasi Gandahusada, Herry D. Ilahude dan Vita Pribadi. 1998. Parasitologi Kedokteran.
Edisi III. Jakarta : FKUI. 171-209
1. Bambang Hadi K, 2001. Studi KAP (Knowledge Attitude Practic) Malaria Sebagai
strategi Pencegahan Penyakit Malaria di Masyarakat Daerah Endemis dan Non
Endemis di Kabupaten Jepara. Jepara : Puslitbangkes. 24-36
1. Nasiban, 2003. Hubungan Antara Kandang Ternak Besar, Kepadatan Vektor dan
Lingkungan Geografi dengan Jumlah Penderita Malaria di Desa-desa di Wilayah Kerja
Puskesmas Mayong I Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara, Semarang : FKM Unimus.
9-19
1. Luknis Sabri, Sutanto Priyogo Hastono. 1999. Biostatistik Dasar. Depok : FKM UI. 106-
121
1. Baroji. 1983. Pengaruh penempatan ternak di dalam Rumah Terhadap Jumlah Vektor
Malaria Anopheles aconitus Anopheles aconitus yang menggigit orang dan yang
sembunyi di dalam rumah. Konggres dan Seminar Biologi ke I di Universitas Erlangga.
Surabaya.
1. Hadi Sarwoko, 2005. Perbedaan Kepadatan Nyamuk Anopheles aconitus dalam rumah
berdasarkan keberadaan Hewan Ternak Sapi atau Kerbau Pada Malam Hari di Desa
Buaran, Mayong, Jepara. Semarang : FKM Unimus. 8
1. Mardalis. 1989. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta : Bumi Aksara.
Terima kasih saya ucapkan kepada Ibu Retno Hestiningsih dan Bapak Sayono selaku
pembimbing akademik. Bapak Sulchan selaku penguji proposal penelitian. Ibu Martini yang
telah memberikan revisi dan masukan artikel penelitian . Bapak Nurikan selaku Kepala
Puskesmas Mayong I yang telah memberikan ijin penelitian. Mustaimatun selaku pelaksana
laboratorium yang melakukan pemeriksaan parasit malaria. Misbah, Warkan dan Muhtarom
selaku Juru Malaria Desa (JMD) yang membantu dalam pengambilan darah sampel. Isteri
tercinta yang selalu memberikan semangat dan dorongan baik moril maupun materiil, serta
semua pihak yang telah membantu sampai artikel ini selesai.
LAMPIRAN
1. Kuesioner Survei Kejadian Penyakit Malaria Berdasarkan Penempatan Ternak Besar pada
alam Hari di Rumah Penduduk Desa Buaran, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara.
Nomor responden :
Identitas Sampel
1. Nama : ……………………………………..
2. Istri
3. Anggota keluarga (anak, orang tua, saudara, dll)
3. Tamat SMP
4. Buruh kerajinan
Kondisi di Rumah
3. Kayu
Perilaku
1. Ya 2. Tidak
15. Bila “ Ya “, obat nyamuk jenis apa ? 0. Tak pakai 1. bakar 2. Semprot
1. Ya 2. Tidak
1. Ya 2. Tidak
Riwayat Pengobatan
1. Ya 2. Tidak
Tanda-tangan Pewawancara
(……………………………)
2. Data sampel
6 tidak tak
4 27/7/05Misbah Khotik Khotik Istri 2 perempuan1sekolah petanitidakada ya sungai125tem
4 tamat tak
6 27/7/05Misbah Suyati Suyati Istri 6 perempuan1SLTP buruh tidakada ya sungai200tem
4 tamat tak
16 1/8/05 Misbah Kasmonah Kasmonah Istri 5 perempuan2SLTP petanitidakada ya sungai100tem
SD/tak
5 tamat tak tak
17 2/8/05 Misbah Karom Karom KK 8 Laki-laki 2SD petanitidakada tidakada 425tem
SD/tak
Anggota 5 tamat tak
18 2/8/05 Misbah Rusinah Rusinah kel 9 perempuan1SD buruh tidakada ya sungai160tem
5 tidak tak
19 2/8/05 Misbah Kamisih Kamisih Istri 8 perempuan1sekolah petanitidakada ya sungai200tem
SD/tak
4 tamat tak tak
20 2/8/05 Misbah Juriyah Juriah Istri 8 perempuan2SD jasa tidakada tidakada 300tem
4 tamat tak
21 2/8/05 Misbah Rosidah Rosidah Istri 5 perempuan5SLTP jasa tidakada ya sungai125tem
4 tamat tak
24 3/8/05 Misbah Taslim Taslim KK 8 Laki-laki 1SLTP petanitidakada ya sungai200tem
4 tamat tak tak
25 3/8/05 Misbah Mariah Mariah Istri 6 perempuan2SLTP petanitidakada tidakada 450tem
4 tamat tak tak
26 3/8/05 Misbah Naimah Naimah Istri 9 perempuan2SLTP petanitidakada tidakada 325tem
4 tamat tak
28 3/8/05 Misbah Sokip Sokip KK 1 Laki-laki 4SLTP petanitidakada ya sungai100tem
SD/tak
5 tamat tak
29 3/8/05 Misbah Sumono Sumono KK 7 Laki-laki 4SD petanitidakada ya sawah 125tem
SD/tak
3 tamat tak tak
30 3/8/05 Misbah Sulimah Sulimah Istri 4 perempuan1SD buruh tidakada tidakada 360tem
KETERANGAN
6 = Pendidikan 11= Jika ya, berupa 16= Kebiasaan me
1 = Nama Sampel sampel apa? kelambu
12= Jarak tempat 17= Kebiasaan kel
2 = Status dalam keluarga 7 = Pekerjaan sampel perindukan? malam
8 = Adakah ternak besar disekitar 13= Dinding 18= pernah mengi
3 = Umur rumah? rumah terbuat dari lain
9 = Keberadaan ternak pada 14= Kebiasaan pakai 19= Pernah sakit
4 = Jenis Kelamin malam hari? obat nyamuk malaria?
15= Obat nyamuk
5 = Alamat (RW) 10= Adakah tempat perindukan? jenis apa? 20= Kapan sakitny
HASIL PEMERIKSAAN SLADE MALARIA PADA SAMPEL
DENGAN LETAK TERNAK TERPISAH (10 m s/d 50 m)
DI DESA BUARAN, MAYONG, JEPARA
PEWAWA
N RES
TGL N 1 2 3 4 56 7 8 9 10 11 12 13
O
CARA PONDEN
D3 /
Anggot 2 pergurua wiraswast y menyat sunga 20 te
13 1/8/05 Muhtarom Sawilah Kholid SR a kel 5 Laki-laki 1n tinggi a a u ya i 0 k
Descriptives
Crosstabs
Crosstabs
Konsep Dasar
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai
bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan dengan kematian
bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu
endogen dan eksogen.
Kematian bayi endogen atau yang umum disebut dengan kematian neonatal; adalah
kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya
disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang
tuanya pada saat konsepsi atau didapat selama kehamilan.
Kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal, adalah kematian bayi yang
terjadi setelah usia satu bulan sampai menjelang usia satu tahun yang disebabkan
oleh faktor-faktor yang bertalian dengan pengaruh lingkungan luar.
Definisi
Angka Kematian Post Neo-natal atau Post Neo-natal Death Rate adalah kematian
yang terjadi pada bayi yang berumur antara 1 bulan sampai dengan kurang 1 tahun
per 1000 kelahiran hidup pada satu tahun tertentu.
Rumus
∑D 1bulan-<1tahun = Jumlah kematian bayi berumur satu bulan sampai dengan kurang dari
1 tahun pada satu tahun tertentu & daerah tertentu
∑lahir hidup = Jumlah kelahiran hidup pada satu tahun tertentu & daerah tertentu
K = konstanta (1000)
Perkotaan 19 13 32
Perdesaan 26 26 52
Pendidikan Ibu