Anda di halaman 1dari 2

Pesan yang Tak Sempat Terkirimkan

Herman RN - Cerpen

SUNGGUH sialan! Berbilang bulan berganti tahun hingga hitungan genap pada angka
delapan, penantian hanya jadi sebuah kepura-puraan. Kali ini menimpa Buyung, seorang
lajang dari Kampung Lamkutang yang memetik kecuraman dari Upik, dara yang tak pantas
disebut jalang, yang berasal dari kampung sebelah kemukiman.

Selepas kepergian Upik ke perantauan demi cita-cita dan ilmu pengetahuan, Buyung bujang
mencoba setia pada kebujangannya hingga masa sampai keharusan melepas lajang, ia
tetap masih menjadi bujang. Tatkala kini usia Buyung sudah sangat matang untuk tidak lagi
setia pada status lajang, bergudang cara dan aral melintang ia lewati demi mencari jalan
agar dapat bertemu pandang dengan si Upik yang dikiranya juga masih lajang.

Penantian yang lewat kepalang! Tatkala Buyung menghempas hasrat pada gundah yang
lama ia sekap hingga suatu ketika diucapkan pada Upik melalui surat yang tak panjang agar
tidak berbelit-belit seperti orang lari dari utang.

Sayangnya, kenyataan di luar dari impian. “Lupakanlah aku,” sahut Upik yang juga tak mau
berbelit dan tak mau berpanjang dalam surat balasan. Pada malam lain, antara Upik dan
Buyung yang sudah saling berbagi user untuk chating berkesempatan saling tegur sapa
yang diawali dengan saling mengucap salam. Selepas ditanyakan Buyung tentang
penantian, Upik masih berkesimpulan pada suratnya sebulan silam, “Lupakan aku!”

“Semudah itukah?” balas Buyung, yang kemudian bertanya kembali atas alasan Upik
terhadap jawabannya. Sayang, Upik tidak memberikan alasan seperti harapan Buyung. Ia
hanya berujar, “Ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan sekarang.”

Buyung terhenyak. Dalam benak, ia coba mengingat-ingat sangat apa yang telah
dijalaninya selama sekurun. Apakah penantiannya selama ini bukan hal penting? Apakah
kejujurannya selama ini bukan hal penting? Apakah kesetiannya selama ini bukan hal
penting? Apakah..apakah.. bergundal pertanyaan di kepala Buyung.

“Bagiku kau juga bagian yang terpenting, melebihi yang penting?” hampir saja Buyug
berucap serupa itu. Ia cepat-cepat kuasai emosi agar tak lepas silap pada ucap yang belum
tentu memiliki arti.

“Lupakanlah aku, lupakanlah semua tentang kita!” Ucapan Upik tersebut seperti gelegar
petir di telinga Buyung. Ia serupa baru kena samun. Jauh terhenyak dalam lamun, pada
masa-masa lalu berbilang tahun. “Maksudmu, Upik,” kata Buyung berpura tak paham,
hingga kembali Upik harus menegaskan, “Lupakan saja tentang kita yang pernah besama.
Kalau Tuhan berkehendak, kita akan bersua. Kini aku jauh di rantau orang demi cita-cita.”
Ada nada pemaksaan ditangkap Buyung dari ucap Upik barusan, paksaan agar Buyung
segera dapat melupakan pada setiap kenangan dan keriangan masa silam, saat-saat
mereka masih tanggung dikatakan dara dan bujang.

“Kau sungguh-sungguh, Upik?” tanya Buyung, berusaha menguatkan hatinya yang kian
tercabik. “Kita hanya dapat berdoa, Buyung. Jangan terlalu larut dalam masalah tak penting
ini. Ingat, tugas kita hanya berdoa, Tuhan yang menentukan.”

“Aku selalu berdoa, Upik. Tapi, apa guna doaku jika berlainan dengan doamu? Apakah
Tuhan akan mengabulkan semua doa hamba-Nya? Jika demikian, bagaimana dengan doa
kita yang bertentangan? Aku mendoakan dirimu agar ikhlas menerimaku, sedangkan kau
berdoa agar aku dapat melupakanmu. Doa mana yang harus dikabulkan Tuhan?”

Upik diam. Buyung juga. Malam merangkak perlahan. “Jika tugas kita adalah berdoa,
apakah tugas Tuhan mengabulkan setiap doa hamba-Nya? Bagaimana dengan doa kita,
Upik?” lanjut Buyung . Lama setelah itu mereka saling diam. Buyung memperhatikan layar
monitor komputernya.

Selepas tiga puluh menit kemudian, ia tulis sebuah pesan, “Baiklah, aku akan lakukan
seperti yang kauharapkan. Mungkin setelah kaubaca pesan ini, kau pun cukup berikan
jawaban dengan diam. Sungguh, selama ini aku tak pernah mengerti arti sebuah penantian
dan makna sebuah harapan. Maka setelah ini jelaskan saja dengan diam.”

Buyung berhenti sejenak menulis pesannya. Ia tarik napas dalam-dalam sebelum


melanjutkan tulisan. “Wahai kau yang sejak dulu tak pernah kusapa kekasih tetapi kau
sangat tahu bahwa aku amat kasih, terlalu lama kau lepaskan aku serupa layang-layang,
sedangkan benangnya ada pada genggamanmu. Inilah kelemahanku selama ini yang
kututupi dan sempat kusadari. 

Sekali lagi maka, setelah ini jelaskanlah dengan diam, karena aku akan berusaha
melupakanmu walau itu menyalahi janjiku dengan Tuhan yang sempat kuucap suatu waktu
sewindu lalu. Aku akan belajar seperti inginmu, yakni melupakanmu dan menghentikan
doaku, tetapi aku akan terus mengamini doamu. Akhirukalam kulisankan syukran,
jazakumullahu khairan...” Buyung menutup pesannya dengan tanpa ucapan wassalam.
Belum sempat pesan itu dikirimkan, listrik di rumahnya tiba-tiba padam setelah diselidik
PLN sengaja memutus arus tetangga Buyung sudah menunggak tiga bulan.***
Jeulingke, 10 April 2010

Anda mungkin juga menyukai