Anda di halaman 1dari 15

PARIWISATA PERKOTAAN: Teori dan Konsep

oleh 1. PENDAHULUAN Yani Adriani

Menurut Law (1996: 1), kota merupakan jenis destinasi pariwisata yang paling penting di dunia sejak tahun 1980-an. Sebagai fenomena kepariwisataan dunia, kota dipandang sebagai suatu proses kompleks yang terkait dengan budaya, gaya hidup, dan sekumpulan permintaan yang berbeda terhadap liburan dan perjalanan (Page, 1995: 1). Kota merupakan destinasi dengan multimotivasi, tidak seperti resor-resor pada umumnya (Law, 1996: 3). Orang-orang datang ke suatu kota untuk berbagai tujuan: bisnis, kegiatan hiburan dan rekreasi, mengunjungi keluarga dan kerabat, atau urusan pribadi lainnya. Seringkali, mereka mengunjungi kota untuk lebih dari satu alasan. Orang yang pergi ke suatu kota untuk berbisnis, menyempatkan diri untuk mengunjungi museum atau galeri seni di kota yang dikunjunginya. Atau mereka yang dari luar negeri (wisatawan mancanegara) mengunjungi dan berwisata di kota tertentu sebagai pintu gerbang untuk mengunjungi daerah lain di sekitarnya. Misalkan, wisatawan mengunjungi Kota Tarakan karena fungsinya sebagai gerbang masuk yang paling dekat dengan Pulau Derawan di Kabupaten Berau. Pariwisata perkotaan memiliki karakteristik lain yang khas, berbeda dengan pariwisata pada umumnya yang daya tarik wisatawanya memang ditujukan hanya untuk mereka yang berwisata. Wisatawan perkotaan menggunakan fasilitas perkotaan yang juga digunakan oleh penduduk kota sebagai daya tarik wisatanya (Law, 1996: 4). Misalnya, pusat-pusat perbelanjaan di Kota Bandung tidak hanya digunakan oleh penduduk sebagai fasilitas belanja, tetapi juga menjadi daya tarik utama wisatawan mengunjungi Bandung. Dalam konteks restrukturisasi perekonomian global dan deindustrialisasi di beberapa kota di dunia, pariwisata dan pengembangan pariwisata berperan penting dalam memperbaiki perekonomian kota yang mulai menurun (Law, 2000). Pariwisata menjadi motivasi penting bagi revitalisasi kota pada masa itu. Dengan bangkitnya kembali kota-kota di dunia, masyarakat menjadi makmur, dan muncul kelompok menengah yang memacu peningkatan permintaan akan pariwisata dan rekreasi, baik domestik maupun antar negara. Kota besar yang memiliki berbagai daya tarik berupa peninggalan sejarah atau berbagai proyek baru menjadi sasaran kunjungan masyarakat negara maju, di samping kunjungan ke kawasan wisata di lokasi khusus (pantai, pegunungan).

2.

SEJARAH PERKEMBANGAN PARIWISATA PERKOTAAN


Page (2003) mengemukakan bahwa pariwisata perkotaan tumbuh sebagai akibat globalisasi perekonomian pada akhir tahun 1970an. Globalisasi yang terjadi mengubah struktur perekonomian dunia, mengintegrasikan struktur perekonomian nasional ke dalam struktur perekonomian internasional dalam bentuk perdagangan, investasi asing, migrasi, dan teknologi. Hubungan antarnegara pada awal tahun 1980-an meningkat semakin interaktif, multipolar, dan memiliki saling ketergantungan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan pola organisasi ekonomi terdesentralisasi pada skala global sehingga otonomi kota-kota terhadap perekonomian menjadi menurun. Kondisi inilah yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di perkotaan yang membangkitkan investasi di industri jasa yang sangat besar, khususnya yang terkait dengan konsumsi, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Kemudian, dominasi industri jasa ini lah menjadi ciri kota-kota pada saat ini (Page, 2003: 27).

Penanaman modal yang tinggi di industri jasa (Page, 2003: 27) serta upaya revitalisasi kota-kota pada masa post-industrialisasi (van der Berg, Van der Borg dan Van der Meer 1995: 5) ini memotivasi pemerintah kota-kota untuk mengembangkan pariwisata sebagai stimulus utama bagi perbaikan ekonomi lokal dan regional (Roche, 1992 dalam Page, 2003: 28). Pariwisata juga diharapkan dapat memacu perubahan-perubahan kondisi politik kota sehingga dapat membangkitkan kembali daya tarik lingkungan untuk investasi (Doorne, 1998 dalam Page, 2003: 28). Pertumbuhan pariwisata perkotaan pada masa itu mengakibatkan berkembangnya tourism urbanisation, yaitu urbanisasi yang diakibatkan oleh perkembangan pariwisata, yang fenomenya dijelaskan oleh Mullins (1991 dalam Page, 2003: 39) sebagai berikut: ...cities providing a great range of consumption opportunities, with the consumers being resort tourists, people who move into these centres to reside for a short time.....in order to consume some of the great range of goods and services on offer . Mullins (1991) juga mengatakan bahwa tourism urbanisation sebagai urbanisasi yang didasarkan pada penjualan dan konsumsi kesenangan/pleasure. Dalam perkembangannya, tourism urbanisation kemudian menumbuhkan bentuk-bentuk khusus dari pariwisata perkotaan.

3.

PARIWISATA PERKOTAAN DAN KOTA WISATA

3.1 Definisi
Dua definisi penting yang harus dipahami sebelum mendefinisikan pariwisata perkotaan adalah pemahaman terhadap istilah kota dan perkotaan. Oleh karena itu, selain definisi pariwisata perkotaan, pada bagian ini akan dijelaskan juga definisi kota dan perkotaan. Kota dan Perkotaan Kota merupakan tempat konsentrasi berbagai jenis pelayanan, baik itu komersial, keuangan, maupun industri. Kota juga merupakan pusat bisnis dan sekaligus tempat singgah karena fungsinya sebagai pintu masuk ke wilayah yang lebih luas. Menurut Prof. Drs. R. Bintarto, seorang ahli sosiologi, kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistic (http://organisasi.ord/g diunduh 26 September 2010). Dalam pembangunan wilayah, kota didefinisikan sebagai kawasan pemukiman yang secara fisik ditunjukkan oleh kumpulan rumah-rumah yang mendominasi tata ruangnya dan memiliki berbagai fasilitas untuk mendukung kehidupan warganya secara mandiri (id.wikipedia.org diunduh 26 September 2010). Literatur-literatur mendefinisikan kota dalam dua istilah, yaitu city dan town. City didefinisikan sebagai permukiman perkotaan yang lebih besar dan permanen serta memiliki status administrasi, hukum, dan sejarah tertentu. Sementara itu, town didefinisikan memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan city. (wikipedia.org). Sementara itu, kawasan perkotaan didefinisikan sebagai kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi (Pedoman RDTR Kota). Page (1995) mengungkapkan bahwa kawasan perkotaan muncul sebagai akibat dari proses urbanisasi.

Mengacu pada definisi kawasan perkotaan di atas, maka perkotaan memiliki pengertian yang menunjukkan sifat kekotaan, yaitu yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, tetapi permukiman, pusat kegiatan ekonomi dan jasa. Pariwisata Perkotaan Tidak banyak ahli-ahli pariwisata yang mengungkapkan definisi dari pariwisata perkotaan. Klingner (2006: 1) mendefinisikan pariwisata perkotaan secara sederhana sebagai sekumpulan sumber daya atau kegiatan wisata yang berlokasi di kota dan menawarkannya kepada pengunjung dari tempat lain. a set of tourist resources or activities located in towns and cities and offered to visitors from elsewhere . Definisi lain dikemukakan oleh Inskeep (1991: 163) yang menekankan pada peran pariwisata dalam perkotaan sebagai berikut: urban tourism ..a very common form of tourism takes place in large cities where tourism may be important but is not a primary activity of the urban area . tetapi juga menyebutkan adanya town resort yaitu: .typically oriented to a specific attraction feature such as snow skiing, beach, lake, and marine recreation, spa facilities, mountain scenery, a desert climate, important archaelogical and historic site, and religions pilgrimage (Inskeep, 1991: 162) Mengacu pada definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, secara lebih luas pariwisata perkotaan dapat didefinisikan sebagai:

bentuk umum dari pariwisata yang memanfaatkan unsur-unsur perkotaan (bukan pertanian) dan segala hal yang terkait dengan aspek kehidupan kota (pusat pelayanan dan kegiatan ekonomi) sebagai daya tarik wisata.
Pariwisata perkotaan tidak selalu harus berada di wilayah kota atau pusat kota. Pariwisata perkotaan dapat berkembang di wilayah pesisir, misalnya, dengan mengembangkan hal-hal yang terkait perkotaan sebagai daya tarik wisatanya. Berbeda dengan kota wisata. Kota wisata adalah kota yang memang dibangun untuk pariwisata dan wisatawan, mengandalkan pariwisata sebagai sektor utama penggerak perekonomian kota.

3.2 Arti kota bagi pariwisata


Kota memiliki arti yang penting bagi pariwisata. Page (1995: 9) mengatakan karena fungsifungsinya yang khas, kota mampu menarik kunjungan wisatawan. Karakteristik dari kota yang menarik bagi wisatawan adalah: 1. Daerah perkotaan memiliki sifat yang heterogen, artinya bahwa kota memiliki ukuran (kota besar, kota kecil), lokasi (laut, pegunungan), fungsi (industri, jasa, perdagangan), wujud, dan warisan budaya yang berbeda dan beragam. Skala daerah perkotaan dan fungsi-fungsi berbeda yang secara terus-menerus dipertahankan mengakibatkan kota bersifat multifungsi (pusat pemerintahan juga pusat perdagangan, juga destinasi pariwisata utama). Fungsi-fungsi yang berkembang di kota diproduksi untuk dan dikonsumsi tidak hanya oleh wisatawan, tetapi juga oleh beragam pengguna. (Shaw dan Williams, 1994 dalam Page 1995:9)

2.

3.

3.3 Arti pariwisata bagi kota


Mengidentifikasi arti pariwisata bagi kota tidak semudah mengidentifikasi arti kota bagi pariwisata. Penggunaan fasilitas perkotaan bersama antara wisatawan dan penduduk membuat perhitungan

1. 2. 3. 4.

tentang arti penting pariwisata bagi kota menjadi sulit untuk dilakukan. Walaupun demikian, beberapa penelitian telah berhasil mengidentifikasi arti penting pariwisata bagi kota. European Commission, Tourism Unit (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata menjadi landasan kebijakan pengembangan perkotaan yang mengkombinasikan sediaan/supply yang kompetitif sesuai dengan harapan pengunjung dengan kontribusi positif terhadap terhadap pembangunan kota dan kesejahteraan penduduknya. Manente (2005) dan Page (2003) memperkuat pernyataan European Commission di atas dengan mengatakan bahwa: Pariwisata menempatkan dirinya pada struktur perekonomian yang kuat. Pariwisata mendorong pembangunan perkotaan dan transportasi daerah. Pariwisata dapat merevitalisasi perekonomian lokal. Pariwisata perkotaan dapat mempengaruhi moral lokal dan citra kota yang positif sehingga meningkatkan investasi dan produktivitas tenaga kerja lokal.

3.4 Tipologi pariwisata perkotaan


Seperti yang sudah dijelaskan di bagian pendahuluan, akibat dari perkembangan tourism urbanization, Page (1995: 16) mengidentifikasikan tipologi bagi pariwisata perkotaan sebagai berikut: Ibu kota (Paris, London, New York, Jakarta, Bandung) dan kota budaya (Roma, Yogyakarta). Pusat metropolitan (Jakarta), kota sejarah (Rengasdengklok), dan kota-kota pertahanan. Kota-kota sejarah yang besar (Oxford, Cambridge, Venice, Jakarta) Daerah dalam kota (Manchester) Daerah waterfront yang direvitalisasi (London Dockland, Taman Impian Jaya Ancol) Kota-kota industri (Bradford, Bekasi, Karawang) Resor tepi laut (Pangandaran) dan resor olahraga musim dingin (Lillehamer) Kawasan wisata hiburan (Disneyland, Las Vegas, Taman Impian Jaya Ancol). Pusat pelayanan wisata khusus (destinasi ziarah, spa: Lourdes, Cirebon, Demak). Kota seni/budaya (Florence, kota-kota di Bali, Bandung). Tipologi yang dikemukakan oleh Page memungkinkan suatu kawasan perkotaan memiliki dua tipologi pariwisata perkotaan. Misalnya Bandung, selain daya tariknya sebagai ibu kota provinsi, Bandung juga merupakan kota seni dan budaya. Tipologi lain dikemukakan oleh Law (1996: 2-3) yang mengelompokkan pariwisata perkotaan ke dalam empat kategori, yaitu: Ibu kota: memiliki peran administratif dan bisnis yang dapat menarik wisatawan. Biasanya memiliki museum nasional, bangunan, dan monumen memiliki nilai sejarah nasional. Kota-kota industri: karakter dan citra industrial menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kota dengan high-amenities: memiliki beragam fasilitas dari mulai pemandangan alam, hiburan, sampai bisnis yang dapat menarik wisatawan. Kota-kota daya tarik utama: kota yang fokus pada wisatawan dari luar daerah/negara, biasanya kota dengan multifungsi. Tipologi yang dikemukakan oleh Law terlihat lebih sederhana dan jelas kategorisasinya.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

1. 2. 3. 4.

4. KONSEP PARIWISATA PERKOTAAN


Konsep pariwisata perkotaan berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata perkotaan di seluruh dunia. Konsep pariwisata perkotaan yang saat ini berkembang di dunia sedikitnya ada enam konsep, yaitu tourist-historic city, cultural city, resort city, fantasy city, creative city, dan urban ecotourism.

4.1 Tourist-historic city (kota wisata sejarah)

Kota sejarah sebenarnya sudah mulai berkembang sejak abad ke-16 (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 9), sedangkan konsep kota sejarah sebagai sumber daya pariwisata berkembang seiring dengan perkembangan pariwisata perkotaan (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 57). Konsep kota wisata sejarah merupakan konsep pariwisata perkotaan yang menjadikan sejarah sebagai daya tarik wisatanya. Komponen-komponen dari kota wisata sejarah ini antara lain lingkungan dengan arsitektur sejarah dan morfologi perkotaan, even sejarah dan akumulasi artefak budaya, keberhasilan artistik yang merupakan bahan baku dari konsep ini (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 72). Konsep pariwisata perkotaan ini harus memperhatikan upaya-upaya konservasi terhadap peninggalan sejarah di kota. Penentuan jenis kegiatan wisata sejarah dan segmen pasar wisatawan yang akan dituju harus disesuaikan dengan karakteristik dan sifat peninggalan sejarah yang dijadikan daya tarik wisata (Ashworth dan Tunbridge, 1990: 72).

4.2 Cultural city (kota budaya)


Konsep kota budaya seringkali diidentikkan dengan kota sejarah atau kota heritage. Konsep kota budaya jauh lebih luas dibandingkan dengan kota sejarah atau heritage. Komponen-komponen kota yang menjadi daya tarik wisata utama bagi kota-kota budaya adalah: 1) museum dan wisata heritage, 2) distrik-distrik budaya (pecinan, kampong arab), 3) masyarakat etnis, 4) kawasan hiburan, 5) wisata ziarah, 6) trail sastra (Evans dalam Richards dan Wilson, 2007: 61). Sama dengan konsep tourist-historic city, pengembangan konsep cultural city juga sarat dengan upaya konservasi asset budaya, tangible maupun intangible. Pada konsep kota budaya ini, wisatawan memiliki kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat budaya di kota. 4.3 Fantasy city (Page, 2003) Konsep kota fantasi muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika (Page, 2003: 44) di Amerika. Konsep yang paling terkenal adalah Hannigan Fantasy City. Hannigan (1998 dalam Page, 2003: 44-45)) mengidentifkasi enam karakteristik Fantasy City: 1. Fokus pada themocentricity, didasarkan pada tema yang ditentukan. 2. 3. 4. 5. 6. The city is aggressively branded, tercermin dari strategi pemasaran dan produk-produknya. Day and night operation is a common feature, tidak seperti pusat perbelanjaan yang operasi waktu siangnya besar. Modularisation of products, di mana keberagaman komponen dirangkai untuk menghasilkan berbagai pengalaman yang lebih luas. Solipsisicity, dimana kota secara ekonomi, budaya, dan fisik terpisah dan terisolasi dari lingkungan sekitarnya dalam suatu kota ilusi . Postmodernity, di mana kota dibangun dengan teknologi simulasi, realitas virtual, dan sensasi pertunjukan. Kota menarik sumber inspirasi utama dari model Disney, yang secara luas ditiru. Model Disney memunculkan konsep gambar-gambar bergerak dan taman hiburan ke dalam dunia fantasi menggunakan teknologi yang menciptakan kondisi hiperrealitas.

4.4 Creative city (new urban tourism) (Richard and Wilson, 2008),
Konsep kota kreatif mulai dikembangkan pada tahun 1990 di Inggris dan selalu dikaitkan dengan pariwisata budaya. Kota kreatif merupakan bentuk generasi baru dari pariwisata perkotaan. UNESCO telah menetapkan kota-kota kreatif di dunia pada tahun 2001. Kota kreatif ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu untuk masing-masing spectrum industri kreatif. Spektrum kota kreatif yang ditetapkan oleh UNESCO dan kota-kota kreatifnya dapat dilihat pada table di bawah ini. SPEKTRUM KOTA

SPEKTRUM Literature

KOTA
 Edinburgh  Iowa City  Melbourne

 Dublin Crafts and Folk Art  Aswan  Kanazawa  Santa Fe  Icheon  Bradford  Berlin  Buenos Aires  Kobe  Montreal  Nagoya  Shenzhen  Seoul  Shanghai  Bologna  Ghent  Glasgow  Seville  Lyon  Popayan  Chengdu  stersund

Film Design

Music

Media Arts Gastronomy

Sumber: www.unesco.org

4.5 Urban ecotourism


Urban ecotourism merupakan konsep pariwisata perkotaan yang berwawasan lingkungan. Konferensi Internasional tentang Urban Ecotourism pada tahun 2004 menghasilkan deklarasi

y y y y

tentang urban ecotourism. Isi deklarasi tersebut menyatakan bahwa urban ecotourism dikembangkan untuk tujuan: Memulihkan dan mengkonservasi warisan alam dan budaya, termasuk lanskap alam dan keanekaragaman hayati dan juga budaya asli. Memaksimalkan manfaat lokal dan melibatkan masyarakat kota sebagai pemilik, investor, tamu, dan pemandu. Memberikan pembelajaran kepada pengunjung dan penduduk tentang lingkungan, sumber daya heritage, serta keberlanjutan. Mengurangi jejak ekologis. Urban ecotourism sudah berkembang di Amerika (Bicycle City dan Kenya-Taman Nasional). DAFTAR PUSTAKA

Ashworth G.J. dan Tunbridge, J.E. (1990): The Tourist-Historic City , John Wiley&Sons, England. Inskeep, Edward, (1991): Tourism Planning- An Integrated Sustainable Approach, Van Nostrand Reinhold, New York. Law, Christopher M. (1996): Tourism in Major Cities, International Thomson Business Press, London. Page, Stephen, (1995): Urban Tourism, Routledge, London. Richard, Greg dan Wilson, Julie (2007): Tourism, Creativity, and Development, Routledge, Oxon. Page, Stephen J. dan Hall, Michael C., (2003). Managing Urban Tourism, Pearson Education Limited, Harlow.

Misi

Pengelolaan kekayaan wisata dan budaya yang bijaksana melalui program kegiatan perencanaan dan koordinasi pembangunan sektor kepariwisataan dan kebudayaan yang komprehensif dan berkelanjutan dengan melibatkan seluruh stakeholders (masyarakat, pemerintah, dan swasta ). Optimalisasi dan pengembangan destinasi wisata untuk mendorong upaya revitalisasi obyek dan daya tarik wisata unggulan yang sudah dikembangkan serta mendorong upaya diversifikasi produk wisata baru. Peningkatan kualitas produk dan pelayanan usaha pariwisata yang kompetitif serta mendorong peningkatan iklim investasi.

Optimalisasi dan pengembangan citra kepariwisataan Bengkulu melalui pengembangan program pemasaran yang efisien dan efektif serta terpadu antar stakeholders. Pengelolaan sumber daya seni budaya yang mampu mensejahterakan masyarakat.

Retribusi Ijin Objek Wisata Instansi Pengelola : DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA Dasar Hukum : Perda 11 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Pengusahaan Objek dan Daya Tarik Wisata A. PENGERTIAN : 1. Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait dengan bidang wisata. 2. Kepariwisataan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata. 3. Usaha Pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan obyek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lainnya yang terkait di bidang tersebut. 4. Pengusahaan Obyek Dan Daya Tarik Wisata adalah kegiatan usaha pariwisata yang terdiri dari pengusahaan obyek dan daya tarik wisata alam, pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya, dan pengusahaan obyek dan daya tarik wisata minat khusus. 5. Izin Pengusahaan Obyek Dan Daya Tarik Wisata adalah izin untuk membuka usaha serta menjalankan usaha dalam lingkup obyek dan daya tarik wisata, yang diberikan setelah memenuhi syarat-syarat menjalankan perizinan yang ditetapkan. 6. Pengusahaan Obyek Wisata Alam adalah usaha pemanfaatan sumber alam dan tata lingkungannya yang telah ditetapkan sebagai obyek dan daya tarik wisata untuk dijadikan sasaran wisata. 7. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik asli maupun buatan, ilmu pengetahuan, pendidikan dan pelatihan, budaya, pariwisata dan rekreasi. 8. Air Terjun adalah salah satu daya tarik yang dapat dimanfaatkan dalam bentuk keindahan air terjun dalam lingkungan alam pegunungan dengan keamanan dan kenyamanan yang dapat diandalkan.

9. Wana Wisata adalah jenis usaha wisata alam yang didalamnya pemanfaatan sumber daya alam menjadi suaka alam. 10. Eko Wisata adalah salah satu jenis wisata alam dimana terdapat selain sasaran wisata juga bertujuan melestarikan lingkungan alam, juga sebagai wisata media. 11.Taman Wisata Alam adalah kawasan hutan yang memeliki keindahan alam baik keindahan nabati, keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi kepentingan rekreasi dan kebudayaan. 12. Pengusahaan Obyek dan Daya Tarik Wisata Budaya adalah usaha pemanfaatan seni dan budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata. 13.Taman Rekreasi adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan berbagai jenis fasilitas untuk memberikan kesegaran jasmani dan rohani yang mengandung unsur hiburan, pendidikan dan kebudayaan sebagai usaha pokok di suatu kawasan tertentu dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi. 14. Kolam Renang adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk berenang taman dan arena bermain anak-anak sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum. 15. Pemandian Alam adalah tempat usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk mandi dengan memanfaatkan air panas dan atau air terjun sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum serta akomodasi. 16. Padang Golf adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas olah raga golf di suatu kawasan tertentu sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum. 17. Kolam Pancing adalah suatu tempat usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk memancing ikan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum. 18. Gelanggang Permainan adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk permainan ketangkasan dan atau mesin permainan sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum.

19. Rumah Billiar adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk permainan billiar sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum. 20. Panti Pijat adalah suatu usaha yang menyediakan tempat dan fasilitas untuk pijat sebagai usaha pokok dan dapat dilengkapi dengan penyediaan jasa pelayanan makan dan minum. 21. Taman Hiburan adalah suatu tempat usaha yang menyediakan fasilitas baik berupa tempat maupun fasilitas pendukung lainnya. 22. Bioskop adalah suatu usaha yang menyediakan tempat, peralatan dan fasilitas untuk memutar film dan fasilitas untuk mempertunjukan film serta dapat menyediakan restoran atau rumah makan. 23. Gedung Pertunjukan adalah suatu tempat usaha yang menyediakan tempat atau fasilitas gedung sebagai usaha komersial yang bersifat komersil. 24.Taman Satwa adalah usaha pengelolaan satwa dalam satu areal dengan fasilitas-fasilitas yang menunjang wisata.

Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya


Pengantar Makalah ini disusun sebagai bahan untuk seminar Pariwisata Seni Budaya Memberdayakan Masyarakat Seni Tradisi, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia tanggal 24 Agustus 2005. Tujuan seminar adalah untuk menggali, menghimpun dan membahas pemikiran, pengalaman mutakhir, serta merumuskan langkah-langkah strategis dan taktis dalam memberdayakan masyarakat seni tradisi dengan jalan menggeser peran mereka dari sekedar sebagai penyedia menuju peran sebagai pemilik dan pengelola peristiwa dan artefak kesenian bagi industri pariwisata budaya. Dalam seminar tersebut diundang beberapa pembicara-pembicara yang memang dalam profesi kesehariannya bergelut dengan penelitian, pelestarian, dan pengembangan seni tradisi. Penulis adalah satu-satunya pembicara yang awam di bidang seni tradisi, karena profesi penulis adalah konsultan dan pengajar di bidang manajemen. Hanya kebetulan saja selama beberapa tahun terakhir, penulis mengamati kondisi manajemen organisasi-organisasi seni tradisi. Oleh karena itu, penulis akan

menyampaikan pandangan-pandangan terhadap upaya pemberdayaan seni tradisi dalam lingkungan industri pariwisata budaya, ditinjau dari aspek bisnis dan manajemen. Seni Tradisi sebagai Komoditas Pariwisata Budaya Menurut yang penulis baca dan dengar sebagai orang awam, seni tradisi dapat berwujud sebagai (1) seni tradisi ritual untuk upacara-upacara keagamaan dan adat, dan(2) seni tradisi yang dikemas khusus untuk dinikmati masyarakat luas maupun wisatawan (arts for mart) (Permas et.al, 2003). Kedua bentuk seni tradisi tersebut, saat ini memang masih ada dan ternyata dapat hidup berdampingan. Masing-masing bentuk memiliki habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan dan dicampuradukkan. Kalau masing-masih bentuk seni tradisi dapat berkembang di habitatnya masingmasing dan tidak saling bertentangan, terdapat potensi sinergi yang baik antar keduanya. Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai pengembangan seni tradisi sebagai suatu komoditas pariwisata budaya, yang dapat melestarikan seni tradisi itu sendiri maupun dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya. Komersialisasi seni tradisi karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, maupun opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri.

Proses Bisnis Pariwisata Budaya Karena sebagai komoditas (mata dagangan), maka seni tradisi pun perlu tunduk pada hukum ekonomi dan bisnis. Untuk mengetahui lebih lanjut posisi seni tradisi dalam industri pariwisata budaya, kita perlu memahami proses bisnis pariwisata budaya. Proses bisnis pokok dalam industri pariwisata budaya dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2 di bawah ini. Pada umumnya paket pariwisata budaya dijual oleh travel biro atau hotel sebagai produser atau event organizer. Mereka yang memproduksi dan menjual karya seni tradisi kepada para wisatawan sebagai customer. Mereka juga membeli karya seni tradisi dari para seniman atau organisasi seni tradisi. Karya seni tradisi ini biasanya tidak dijual sendiri, tetapi dikemas dan digabung dengan paket lainnya (misalnya paket transportasi, akomodasi, pariwisata alam, dsb.) untuk jadikan paket pariwisata budaya yang terintegrasi. Produser atau event organizer pada umumnya mulai dengan melakukan penelitian akan kebutuhan dan selera para wisatawan dalam menikmati/membeli karya seni tradisi. Di sisi lain mereka juga melakukan penelitian terhadap karya-karya seni tradisi yang potensial dapat dikemas dan dijual kepada wisatawan. Proses selanjutnya adalah mendisain paket pariwisata budaya, di dalamnya termasuk paket seni tradisi. Setelah disain selesai, mereka mulai melakukan proses pembelian (seleksi, pemesanan, negosiasi, dan kontrak) karya seni tradisi dari para seniman seni tradisi. Disain paket pariwisata budaya dipromosikan dan dijual kepada para wisatawan. Proses berikutnya adalah pelaksanaan delivery (penyampaian) paket pariwisata budaya yang melibatkan para seniman seni tradisi. Struktur Persaingan dalam Industri Pariwisata Budaya Berdasarkan pemahaman terhadap proses bisnis industri pariwisata budaya di atas, selanjutnya dapat digambarkan struktur persaingan dalam industri pariwisata budaya dengan menggunakan pendekatan Porter (1984) (Gambar 3).

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa masyarakat (seniman atau organisasi seni tradisi) berperan sebagai pemasok bagi produser atau event organizer pariwisata budaya. Dalam situasi seperti ini harga dari seni tradisi yang dihasilkan masyarakat seni tradisi sangat ditentukan posisi tawar (bargaining power) mereka terhadap produser/event organizer yang membeli produknya. Semakin rendah posisi tawar masyarakat seni tradisi tersebut, semakin rendah harga yang mereka terima. Disamping itu dengan semakin rendah posisi tawar, pihak pembeli (produser/event organizer) akan semakin leluasa mengatur karya seni dijual masyarakat seni tradisi. Di pihak lain kita juga perlu memahami bahwa produser/event organizer juga menghadapi hal yang sama dengan pembelinya (biro perjalanan atau wisatawan). Mereka masih harus berhadapan dengan produser-produser pesaingnya, dengan pendatang-pendatang baru, dan dengan produk substitusi dari wisata budaya (jenis wisata lain, televisi, internet, CD, kaset, dsb). Gambar 4 mencoba melihat dari sudut lain yakni masyarakat seni tradisi sebagai produser karya seni tradisi. Tingkat harga yang mereka sangat dipengaruhi oleh posisi tawar mereka terhadap pembelinya dan pemasoknya. Disamping itu mereka akan menghadapi tekanan dan ancaman dari persaingan antar seniman/organisasi seni tradisi, produk substitusi (karya seni tradisi di televisi, internet, CD, kaset, dsb), dan ancaman pendatang baru di bidang seni tradisi. Semakin tinggi tekanan dan ancaman akan semakin menekan keuntungan yang diperoleh (harga jual atau meningkatkan biaya). Untuk menghadapi tekanan dan ancaman tersebut, mereka dapat dengan terpaksa menurunkan harga jual atau menambah biaya untuk meningkatkan mutu karyanya, padahal harga jual tidak dapat dinaikkan. Posisi Tawar Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya Untuk menilai sejauhmana posisi tawar masyarakat seni tradisi, kita perlu mengetahui profil organisasi seni tradisi di tanah air. Kebetulan pada bulan Mei November 2003, Lembaga Manajemen PPM bekerjasama dengan Yayasan Seni Taratak, Jambi, telah melakukan penelitian tentang praktek manajemen di 58 organisasi-organisasi seni di Indonesia dan secara khusus dengan melakukan observasi manajemen terhadap 27 organisasi seni di 10 provinsi di Indonesia (Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jakarta, Jogjakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur). Sebelum itu, Lembaga Manajemen PPM pada periode tahun 2000 2001 telah melakukan pengamatan mendalam di beberapa organisasi seni tradisi di Bali, Jogjakarta, Solo, Bandung, Jambi, dan Padang. Dari hasil penelitian tersebut maupun pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa posisi tawar masyarakat seni tradisi relatif lemah dibandingkan dengan para produser sebagai pembelinya. Hal ini disebabkan beberapa faktor yakni: 1. Jumlah produser relatif sedikit dibandingkan jumlah seniman seni tradisi, dengan kondisi finansial yang umumnya jauh lebih baik dibandingkan seniman seni tradisi; 2. Jumlah seniman atau organisasi seni tradisi banyak dan satu sama lain saling bersaing secara frontal (kurang bersatu dan kurang kompak), bahkan sering bersaing dengan cara banting harga; 3. Karya seni yang dihasilkan oleh seniman atau organisasi seni tradisi pada umumnya relatif sama, sedikit sekali yang memiliki karya sangat unik yang sulit sekali ditiru seniman lain; 4. Produser dengan mudah berpindah dari satu seniman ke seniman lain tanpa mengurangi kualitas paket wisata budaya mereka; 5. Produser memiliki informasi relatif lengkap mengenai seni tradisi di suatu wilayah maupun tentang pasar wisata budaya; 6. Seniman seni tradisi sangat kurang memiliki informasi tentang pasar dan industri pariwisata budaya. Selain itu seniman atau masyarakat seni tradisi juga kurang mampu bersaing dengan produk-produk substitusinya seperti paket pertunjukan seni populer, pertunjukan dangdut, acara seni tradisi di televisi, CD/VCD/DVD/kaset tentang seni tradisi. Produk substitusi tersebut sering menang bersaing melawan

produk seni tradisi, karena lebih market oriented yakni didisain, dikembangkan, dijual, dan disampaikan sesuai dengan kebutuhan dan selera publik yang menjadi pasarnya. Adapun seni tradisi sering tampil sesuai bentuk aslinya atau pun kalau disesuaikan dilakukan dengan seadanya, yang sering tidak cocok dengan kebutuhan dan selera pasar. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Seni Tradisi dalam Industri Pariwisata Budaya Peningkatan posisi tawar dan daya saing menjadi sangat penting bagi eksistensi dan perkembangan seni tradisi dan masyarakat pendukungnya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, posisi tawar dan daya saing yang tinggi sangat diperlukan oleh masyarakat seni tradisi untuk lebih leluasa menghasilkan produk yang lebih menurut mereka lebih baik dan menangkal upaya eksploitasi, penjarahan, dan pelecehan oleh pihak-pihak yang kurang memiliki kepedulian pada seni tradisi. Dengan posisi tawar yang tinggi, masyarakat seni tradisi memiliki kekuatan untuk mendidik para pembeli atau para konsumennya dalam hal apresiasi yang tepat terhadap seni tradisi. Dari aspek bisnis, ada beberapa pilihan strategi peningkatan posisi tawar dan daya saing bagi masyarakat seni tradisi dalam industri pariwisata budaya antara lain: 1. Mengembangkan dan memasarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan selera setiap segmen pasar yang dilayani; 2. Secara kontinyu mengembangkan dan memasarkan produk yang unik dengan fungsi dan manfaat yang sulit ditiru oleh produk-produk substitusi; 3. Meningkatkan pelayanan kepada pembeli atau user, kalau diperlukan diberikan secara customized; 4. Melakukan integrasi ke hilir, yakni menjadi produser atau event organizer; 5. Melakukan kerja sama atau koalisi untuk menghadapi kekuatan pembeli, pemasok, atau produk substitusi. Salah satu aturan jika sukses dalam bisnis adalah melayani kebutuhan dan selera konsumen konsumen secara lebih baik dibandingkan pesaing, sehingga dapat diperoleh pelanggan yang loyal. Demikian pula, masyarakat seni tradisi perlu mengetahui dan memahami secara jelas mengenai kebutuhan dan selera konsumennya, mengembangkan produk, menyampaikan produk, dan memberikan pelayanan sesuai kebutuhan dan selera konsumen. Jika diperlukan dapat dijual produk dan diberikan pelayanan dengan kualitas yang melebihi harapan konsumen. Masyarakat seni tradisi juga perlu secara kreatif dan inovatif menghasilkan produk-produk baru berbasis seni tradisi (produk seni tradisi yang benar-benar baru, modifikasi, atau peningkatan dari produk yang ada). Dalam dunia bisnis dikenal hukum law of deminishing return yakni suatu produk makin lama akan makin kurang diminati karena ada perubahan kebutuhan dan selera pasar serta munculnya produkproduk pesaing yang lebih baik. Suatu produk memiliki product life cycle, yakni masa lahir, tumbuh, dewasa, tua, dan mati. Oleh karena itu penting baru masyarakat seni tradisi untuk selalu melakukan inovasi. Seni tradisi itu sendiri dalam sejarah dan kenyataannya memang terus mengalami perubahan. Diyakini bahwa karya seni tradisi saat ini adalah hasil inovasi atau perubahan dari karya seni tradisi sebelumnya. Banyak pihak-pihak yang berkepentingan terhadap seni tradisi berkeinginan agar seni tradisi tidak sekedar menjadi obyek penderita tapi menjadi subyek bahagia, tidak sekedar pemasok tetapi juga pemilik, produser dan pemasar, tidak menjadi price taker tapi menjadi price maker, dan sebagainya. Hal ini bisa dilakukan jika dari kelompok masyarakat seni tradisi muncul suatu kemampuan untuk melakukan integrasi ke hilir yakni menjadi produser yang handal, sehingga terjalin koordinasi dan integrasi yang kuat antara sektor pasokan dengan sektor produksi maupun sektor pemasaran dan distribusi. Organisasi-organisasi seni tradisi komersial yang dapat bertahan bahkan berkembang, pada umumnya sedikit banyak telah menerapkan strategi-strategi di atas. Dapat disebut contohnya misalnya Saung

Angklung Mang Udjo, Bandung, dalang-dalang terkenal di Jawa, grup-grup campursari di Jogjakarta, grup-grup bajidoran dan jaipongan di Jawa Barat, dll. Suatu kerja sama atau koalisi dalam bentuk asosiasi atau konsorsium diantara para pelaku bisnis, juga terbukti ampuh untuk meningkatkan posisi tawar dan mendapatkan sinergi. Masyarakat seni tradisi rupanya perlu juga memikirkan untuk bekerja sama, membentuk koalisi, sehingga lebih ada persatuan, lebih kompak, dalam menghadapi pihak-pihak lain. Strategi-strategi tersebut relatif mudah untuk dipahami dan dibuat action plannya. Namun implementasinya jauh lebih rumit dan sulit sehingga keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi dan kemampuan masyarakat seni tradisi untuk berubah. Diperlukan banyak persyaratan untuk dapat menerapkan strategi tersebut, antara lain: 1. Adanya perubahan paradigma berpikir dari production oriented ke market oriented dan service oriented; 2. Adanya upaya untuk menguasai informasi tentang bisnis dalam industri pariwisata budaya; 3. Adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk mengembangkan network dan lobby di industri pariwisata budaya; 4. Adanya komitmen dan kemampuan untuk menerapkan konsep-konsep manajemen profesional (tidak harus manajemen Barat) secara tepat guna; 5. Adanya keinginan yang kuat dan upaya untuk mengikutsertakan SDM yang memiliki kompetensi di bidang bisnis dan manajemen. 6. Munculnya entrepreneur-entrepreneur di bidang seni tradisi, untuk mewujudkan visi pemberdayaan seni tradisi menjadi kenyataan. Agar beberapa persyaratan tersebut lebih mudah dipenuhi, diperlukan pula dukungan pemerintah dan masyarakat luas untuk menciptakan lingkungan makro (politik, keamanan, regulasi, ekonomi, gaya hidup, sosial budaya, dan teknologi) yang mendukung. Rekayasa-rekayasa kebijakan pemerintah yang melindungi, membela dan mendukung pemberdayaan masyarakat seni tradisi saat ini sangat diperlukan. Daftar Pustaka Permas, A., C. Hasibuan-Sedyono, L.H. Pranoto, dan T. Saputro (2003) Manajemen Organisasi Seni Pertunjukan. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta Porter, M.E. (1993). Strategi Bersaing. Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing. Penerbit Erlangga. Jakarta Sumber: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia

http://www.budpar.go.id/page.php?ic=541&id=150

Skala Likert
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa Artikel ini tidak bertuan, artinya hanya sedikit atau tidak ada artikel lain yang berpaut ke halaman ini. Bantulah menambah pranala ke artikel ini dari artikel yang berhubungan.

Skala Likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Nama skala ini diambil dari nama Rensis Likert, yang menerbitkan suatu laporan yang menjelaskan penggunaannya [1]. Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala Likert, responden menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan memilih salah satu dari pilihan yang tersedia. Biasanya disediakan lima pilihan skala dengan format seperti:
1. 2. 3. 4. 5. Sangat tidak setuju Tidak setuju Netral Setuju Sangat setuju

Selain pilihan dengan lima skala seperti contoh di atas, kadang digunakan juga skala dengan tujuh atau sembilan tingkat. Suatu studi empiris menemukan bahwa beberapa karakteristik statistik hasil kuesioner dengan berbagai jumlah pilihan tersebut ternyata sangat mirip [2]. Skala Likert merupakan metode skala bipolar yang mengukur baik tanggapan positif ataupun negatif terhadap suatu pernyataan. Empat skala pilihan juga kadang digunakan untuk kuesioner skala Likert yang memaksa orang memilih salah satu kutub karena pilihan "netral" tak tersedia.

[sunting] Catatan kaki


1. ^ Likert, Rensis (1932), "A Technique for the Measurement of Attitudes", Archives of Psychology 140: 1 55 2. ^ Dawes, John (2008), "Do Data Characteristics Change According to the number of scale points used? An experiment using 5-point, 7-point and 10-point scales," International Journal of Market Research, 50 (1), 61-77. http://id.wikipedia.org/wiki/Skala_Likert

Anda mungkin juga menyukai