Anda di halaman 1dari 13

Hifema Definisi dan Epidemiologi Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan.

Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan intraokuler, kornea terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang signifikan, maka setiap dokter mata harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana hifema.

Studi di Amerika Utara menunjukkan estimasi insiden hifema sebesar 17-20/ 100.000 populasi tiap tahunnya. Kebanyakan dari pasien ini berusia kurang dari 20 tahun. Hifema tiga kali lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Penyebab terbanyak dari hifema adalah trauma tumpul, terutama yang terjadi saat olahraga. Data lain menyebutkan bahwa 33 % dari seluruh trauma mata yang serius memiliki kecenderungan untuk terjadi hifema. Risiko terjadinya hifema sebesar 31 % pada trauma mata terbuka (open globe trauma). Hal ini akan meningkat sebesar 4 % bila terjadi pada trauma mata tertutup (closed globe trauma). Klasifikasi Hifema dapat diklasifikasikan berdasarkan banyaknya darah yang terakumulasi di bilik mata depan. Berikut adalah table klasifikasi hifema. Tabel 1. Klasifikasi Hifema Tingkat Ukuran Hifema

I II III IV Mikroskopik

Kurang dari 1/3 1/3 1/2 hampir total Total Hanya beberapa eritrosit, tidak tampak jelas kumpulan darah

Anatomi dan Fisiologi Bilik mata depan terletak antara persambungan kornea perifer dengan iris. Pada bagian ini, terdapat jalinan trabekula yang dasarnya mengarah ke badan siliar. Bagian dalam jalinan ini yang menghadap ke bilik mata depan dikenal sebagai jalinan uvea. Bagian luar jalinan ini yang terletak dekat kanalis schlemm dikenal sebagai jalinan korneoskleral. Serat-serat longitudinal otot siliaris menyisip ke dalam jalinan trabekula tersebut.

Gambar 1. Anatomi Bilik Mata Depan dan Jaringan Sekitar Etiologi Hifema dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis,

dan vena-vena badan siliar. Selain itu, hifema juga dapat ditemukan pada rubeosis iridis dan iridosiklitis.

Gambar 2. Pembuluh darah pada Mata Patofisiologi Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar.

Gambar 3. Mekanisme Perdarahan akibat Trauma Tumpul Mata Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular. Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi

bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral. Gejala dan tanda Sering terdapat riwayat trauma mata. Pasien dapat mengeluh adanya nyeri pada mata yang terkena, dan penurunan fungsi penglihatan.2 Harus juga ditanya mengenai adanya kelainan perdarahan, penyakit sickle cell, adanya pemakaian antikoagulan dan kondisi sistemik lain seperti kehamilan, penyakit ginjal dan hati, yang dapat dipengaruhi oleh tatalaksana hifema. Pasien harus ditanyakan ke arah adanya penyakit okular lain seperti glaukoma, yang dapat meningkatkan risiko peningkatan TIO paska trauma. Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan pada setiap kasus. Curigai adanya kerusakan mata terbuka sampai terbukti sebaliknya. Setiap kontrol, visus, kerusakan jaringan, luas hifema dan TIO harus dicatat. Slit lamp digunakan untuk mendeskripsikan detail akumulasi darah. Bekuan harus dibedakan dari sel darah merah yang bebas bersirkulasi.Ukuran hifema dapat dideskripsi tinggi, grade dan posisi berdasar arah jarum jam. Pada pemeriksaan dapat ditemukan penurunan visus dengan sel darah merah tersebar difus pada bilik mata depan (mikrohifema) lapisan darah di inferior atau bilik mata depan yang terisi penuh oleh darah sehingga segmen posteiro tidak dapat dilihat dengan oftalmoskop. Bila hifema luas, mata dapat terlihat terisi darah, berwarna merah gelap dan disebut hifema eight ball.2 Tekanan intraocular dapat meningkat karena adanya hambatan drainase humor aqueous oleh darah, atau mata dapat melunak karena penurunan produksi humor aqueous sekunder akibat trauma korpus siliaris. Gonioskopi atau penekanan sklera harus dihindari. Pupil sering ireguler dan refleks cahayanya menurun. Hifema traumatik, tidak melihat keparahannya, sering disertai somnolen yang bermakna, terutama pada anak, sehingga neurolog mencurigai adanya komplikasi neurologik. Namun hifema sendiri dapat menjadi penyebab tersendiri dari somnolen ini walaupun adanya kontusio atau kerusakan saraf yang lebih berat harus selalu dipikirkan. 1 Pemeriksaan Penunjang USG

5% cedera mata dengan hifema disertai kerusakan struktur segmen posterior. Karenanya penting untuk mengevaluasi adanya perluasan kerusakan di segmen posterior. Pemeriksaan Laboratorium Pada ras tertentu seperti kulit hitam dan Hispanik, perlu dilakukan pemeriksaan ke arah kemungkinan penyakit sickle cell dengan cara pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin, fungsi pembekuan darah, fungsi ginjal dan hati (menunda tatalaksana obat-obatan seperti perlunya pemberian antifibrinolitik atau tidak) Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologik tidak dilakukan secara rutin, namun CT Scan dapat terindikasi pada kerusakan mata terbuka atau kecurigaan fraktur orbita. Diagnosis Diferensial Darah dapat terkumpul di bilik mata depan karena trauma trivial pada kasus-kasus: Rubeosis Iridis Neoplasma maligna Xanthogranuloma juvenil Lensa intraokular (terutama bila bilik mata depan atau iris terfiksasi)

Sebagai tambahan, pada perdarahan spontan, kecurigaan kearah abnormalitas faktor pembekuan darah dan trauma terbuka tersembunyi harus dipikirkan. Tatalaksana: Terapi medis dan suportif harus diarahkan untuk: Menurunkan angka kejadian perdarahan ulang (rebleeding) Membersihkan hifema Memperbaiki kerusakan jaringan yang terkait Minimalisasi sequelae jangka panjang Peningkatan tekanan intraokuler yang tidak respon terhadap pengobatan Pewarnaan kornea oleh darah

Pembedahan terindikasi pada:

Pasien harus difollow up ketat, pasien dengan sickle cell memerlukan manajemen yang lebih ketat dan agresif. Rawat jalan v.s Rawat inap Keuntungan rawat inap: Memudahkan pemeriksaan lanjutan (follow-up) Meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan Suasana lingkungan lebih tenang Deteksi komplikasi lebih dini

Namun kebanyakan pasien lebih menyukai perawatan di rumah yang juga lebih murah. Pada studi tidak terdapat perbedaan bermakna antara angka kejadian perdarahan ulang (rebleeding) dan hasil akhir klinis pada pasien yang di rawat inap maupun rawat jalan. Panduan manajemen medis dan bedah pada hifema traumatik:
TABLE 172 MANAGEMENT GUIDELINES FOR TRAUMATIC HYPHEMA Supportive care Moderate activity; may sit and walk Elevate head of bed to 30 Metal shield protection Laboratory tests CBC, PT, PTT, platelet count, BUN, creatinine, electrolytes, liver function tests as necessary Sickle cell prep, hemoglobin electrophoresis for patients at risk for sickle cell disease Medications Oral acetaminophen as needed No aspirin or NSAID Atropine 1% 2*daily Prednisolone acetate 1% 1 drop 4*daily; increase as necessary Oral aminocaproic acid 50 mg_kg 4*daily up to 30 g_day for 5 days or prednisone 20 mg p. os2*daily for high-risk patients Surgery Paracentesis and AC washout for IOP not responsive to medical therapy within 24 hours Other types of surgery as needed

Terapi suportif: Bedrest. Kebanyakan studi tidak menemukan perbedaan hasil akhir signifikan pada tirah baring sedang maupun tirah baring total. Patching/ proteksi pelindung metal. Biasanya diperlukan untuk mencegah kerusakan mata lebih lanjut pada 5 hari pertama setelah kejadian. Elevasi kepala. Mempercepat sedimentasi darah sehingga memfasilitasi pemeriksaan segmen posterior dan pemulihan fungsi penglihatan. Terapi medis:

Aspirin: efek antiplatelet dan pemanjangan bleeding time. Sikloplegik: stabilisasi barier darah-aqueous, meningkatkan kennyamanan pasien terutama pada iritis traumatik, dan memfasilitasi evaluasi segmen posterior. Namun atropin topikal tidak memiliki efek benefisial terhadap rebleeding, resorpsi darah atau perbaikan penglihatan.

Miotik: dihindari karena cendrung mengeksaserbasi inflamasi dan berakhir pada pembentukan sinekia. Antifibrinolitik (c/o asam aminokaproat, asam traneksamat) berfungsi melambatkan laju lisis bekuan. Fibrinolitik: TPA40 dosis 10 mg injeksi intrakamera, mungkin berperan pada bekuan yang stagnan. Kortikosteroid. Topikal, untuk mencegah terjadinya iritis traumatik dan memberi kenyamanan. Steroid sistemik kadang lebih disukai, berupa prednison 40 mg/hari dalam dosis terbagi efektif menurunkan kejadian rebleeding, namun efek sampingnya harus diperhatikan terutama selain pada pasien muda dan sehat yang toleransinya baik.

Pembedahan Dibutuhkan pada 5% kasus. Indikasi tradisionalnya berupa: peningkatan TIO >50mmHg selama 5 hari atau >35 mmHg selama 7 hari untuk menghindari kerusakan saraf optik, peningkatan TIO >25 mmHg selama 5 hari pada kasus hifema total/hampir total untuk mencegah pewarnaan kornea oleh darah, atau bekuan stagnan yang besar dan bertahan 10 hari untuk mencegah sinekia anterior perifer. Saat ini pembedahan direkomendasi bila: TIO tidak respon terhadap terapi medis dalam 24 jam, pasien memiliki penyakit sickle cell atau sickle trait. Teknik yang saat ini dipakai: Parasentesis/ pembersihan bilik mata depan dari darah. Metode paling sederhana dan paling aman, dapat mengevakuasi sel darah merah yang bersirkulasi. Keuntungannya meliputi: kemudahan pengerjaan, dapat diulang-ulang, aman bagi konjungitfa atau pembedahan filtrasi nantinya, perdarahan intraoperatif terkontrol, penurunan TIO dengan cepat.

Expression dan pengeluaran bekuan hifema lewat limbus. Memerlukan insisi luas di limbus dan luka pada konjungtiva. Waktu yang ideal untuk melakukan ekspresi limbus adalah pada hari 4-7 (saat konsolidasi dan retraksi bekuan yang maksimal) Manipulasi cermat untuk menghindari kerusakan epitel kornea, iris dan lensa.

Pemotongan bimanual/ aspirasi hifema yang menggumpal menggunakan probe vitrektomi, efektif dalam mengangkat baik gumpalan hifema dan maupun sel darah yang tersirkulasi.

Intervensi bedah lainnya yang diperlukan termasuk: Terapi Pasien kooperatif dengan mikrohifema atau hifema minimal harus I kontrol setiap hari selama 5-10 hari untuk memeriksa adanya glaukoma, penurunan fungsi penglihatan, staining kornea, dan rebleeding. Terapi berupa sikloplegik (atropin1%3 x1) pada mata yang terkena untuk mencegah kontraksi korpus siliaris dan pupil dan kerusakan lanjut dari pembuluh-pembuluh darah yang rusak. Antibiotik sesuai indikasi 4x1, steroid tetes 4-8x1 untuk mencegah reaksi fibrinosa di bilik mata depan, pelindung mata dan pengurangan aktivitas sehari-hari. 1 Pasien yang tidak kooperatif, orang dewasa yang tidak kompeten atau anak idealnya dirawat selama 5 hari sejak perdarahan pertama. Pasien harus tirah baring, posisi kepala elevasi 30o, dan memakai penutup (bukan balut tekan) pada mata yang terkena. Sikloplegik, antibiotik dan steroid sama halnya seperti pada pasien rawat jalan. Asam aminokaproat sebagai agen antifibrinolitik dalam dosis 50 mg per kg p.o atau i.v setiap 4 jam hingga dosis maksimum 30 g per 24 jam selama 5 hari dapat menurunkan rebleeding. Predison oral 20 mh 2x1 dapat digunakan sebagai alternatif untuk mencegah rebleeding. Iridektomi perifer dan trabekulektomi untuk glaukoma Iridektomi perifer dengan atau tanpa trabekulektomi untuk blok pupil. Siklodiatermi Emulsifikasi dan aspirasi ultrasonik

Glaukoma sekunder ditatalaksana dengan inbitior karbonat anhidrase oral, penghambat beta topikal, penghambat adrenergik alfa, dan obat-obatan penurun tekanan nonmiotik. Tekanan intraokuler dapat terjadi selama lisis bekuan atau dikemudian hari karena adanya debris sel darah merah (ghost cell glaucoma). Tatalaksana sama halnya dengan glaukoma sekunder. Pasien Afrika-amerika harus diskrining terhadap penyakit sickle cell karena dapat menimbulkan atropi paska peningkatan TIO dalam 24 jam. Agen hiperosmotik dikontraindikasi karena menginduksi bekuan/sludging dalam vaskular. Komplikasi Rebleeding merupakan kekhawatiran utama yang dapat menyertai hifema traumatik karena berhubungan dengan kejadian komplikasi yang tinggi dibandingkan mata yang tidak mengalami rebleeding. Angka kejadiannya bervariasi 3.5-38%. Waktu krusial terjadinya rebleeding adalah 2-5 hari setelah terjadi trauma inisial ketika lisis dan retraksi bekuan terjadi. Kejadian rebleeding yang lebih tinggi dihubungkan dengan: hifema yang besar, pasien muda, ras kulit hitam dan Hispanik, pasien yang menggunakan aspirin, dan pasien yang datang lebih dari 24 jam setelah trauma inisial. Glaukoma dapat merupakan komplikasi dini atau lanjut. Sekitar 25% mata mengalami TIO >25 mmHg akut dan 10% TIO >35 mmHg. Peningkatan ini kelihatannya akibat gangguan pasase humor aqueous melalui jalur anyaman trabekular karena obstruksi saluran keluarnya oleh sel darah merah, fibrin/aggregat platelet, dan produk degradasi sel. Kerusakan anyaman trabekular langsung karena trauma dan inflamasi memperburuk keadaan seperti halnya penggunaan steroid topikal atau sistemik. Tatalaksana glaukoma yang menyertai hifema tergantung tingkat elevasi TIO dan apakah pasien memiliki penyakit sickle cell. Mula terapi bila TIO >30 mmHg pada keadaan akut dan elevasi TIO >25 mmHg yang persisten 2 minggu. Terapi utama adalah agen penekan produksi humor aqueous topikal dan oral. Agonis alfa. Agonis prostaglandin Agen hiperosmotik oral atau intravena. Baik pada peningkatan TIO akut/ tinggi.

Sikloplegik pada kasus blok pupil, iridektomi laser mungkin dibutuhkan.

Terapi yang lebih agresif termasuk intervensi bedah diindikasikan pada pasien dengan risiko tambahan (penyakit sickle cell, glaukoma, kerusakan saraf optik) dan pada mata dengan bekuan besar dan/atau kerusakan endotel kornea. Glaukoma lanjut yang timbul mingguan hingga tahunan setelah hifema terjadi karena penurunan sudut (angle recession), ghost cell atau sinekia anterior perifer. Pewarnaan kornea oleh darah terjadi pada 5% pasien, dan dihubungkan dengan hifema yang besar, rebleeding, durasi bekuan yang panjang, peningkatan TIO dan gangguan fungsi endotel. Rebleeding/perdarahan ulang. Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma. Rebleeding lebih sering terjadi pada ras kulit hitam dari pada kulit putih. Perdarahan kembali biasanya lebih parah daripada perdarahan mulanya, dan prognosis akan penurunan visus, staining kornea oleh darah, dan glaukoma sekunder lebih jelek. Jika tidak terjadi resorpsi darah dengan segera, pigmen besi akan memasuki kornea, terutama bila TIO meningkat. Bila endotel kornea tidak sehat, staining oleh darah akan terjadi bahkan tanpa peningkatan TIO. Pigmen ini baru dapat menghilang berbulan-bulan kemudian. Pembersihan terjadi dari perifer ke sent ral ssehingga aksis visual adalah yang terakhir teresorpsi. Staining oleh darah dapat menyebabkan ambliopia deprivasi pada anak yang sangat mud, dan balut tekan mata lainnya dipertimbangkan setelah staining kornea yang satu telah bersih. Peningkatan TIO diatasi dengan penghambat andhidrase karbonat oral dan tetes topikal obat penurunun tekanan nonmiotik. Bila rebleeding terjadi selama perawatan, waktu terjadinya rebleeding dianggap sebagai hari inisial dan pasien harus dirawat lagi hingga hifema bersih dan tidak terjadi rebleeding lebih lanjut dalam waktu 7 hari setelahnya. Terapi pembedahan Indikasi pada 5-10% pasien untuk mencegah glaukoma sekunder, atrofi optik, sinekia anterior perifer, atau staining kornea oleh darah. Staining darah pada kornea terjadi pada hampir semua hifema total bila tekanan intraokuler lebih dari 25 mmHg selama minimal

6 hari. Kerusakan saraf optik dapat diperkirakan terjadi bila TIO 50 mmHg selama minimal 5 hari atau 35 mmHg selama 7 hari. Pasien dengan penyakit vaskular sklerotik atau hemoglobinopati lebih berisiko karena penurunan toleransi okular terhadap gangguan aliran darah. Sinekia anterior perifer biasanya ditemukan pada hifema total yang berlangsung lebih dari 9 hari. Peran dokter umum Evaluasi triase penting, melalui anamnesis yang hati-hati dan pemeriksaan lampu sederhana / penlight. Apabila terdapat darah pada bilik mata depan, pasien harus ditatalaksana sebagaimana apabila terjadi trauma mata terbuka, hingga terbukti sebaliknya, dan memerlukan penutup mata/shield protection, rujukan ke ahli mata secepatnya. Diperlukan pemberian terapi suportif seperti analgesia (hindari aspirin), pembatasan aktivitas, puasa apabila dipertimbangkan pembedahan, dan elevasi kepala. 1. Hamrah P, Pavan-Langston D. Chapter 2: Burns and trauma. In: Pavan-Langgston D. Manual of ocular diagnosis and therapy, 6th ed. 2008. Massachusets: Lippincott Williams & Wilkins. p 48-9. 2. Sheppard JD, Crouch ER, Williams PB, Crouch ER. Hyphema. 2006. Di unduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview pada tanggal 21 Desember 2008. 3. Rastogi S, Garcia-Valenzuela E. Hyphema postoperative. 2007. Di unduh dari http://emedicine.medscape.com/article/1189843-overview pada tanggal 21 Desember 2008. 4. Shingleton BJ, Kuhl F. Chapter 17: Anterior chamber. In: Kuhn F, Piramici DJ. Ocular trauma, principles and practice. 2002. New York: Thieme. p.132-9 5. Vaughan DG, Ashbury T, Eva PR. General ophtalmology 17th ed. 2007. USA: McGraw-Hill. p.11-13 6. Ilyas S. Ilmu penyakit mata edisi ketiga. 2006. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.264 7. Oesman F, Setiabudy RD. Fisiologi hemostasis dan fibrinolisis. Dalam: Hemostasis dan trombosis edisi ketiga. 2007. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

8. Schlote T, Rorhbach J, Grueb M, Mielke j. Pocket atlas of ophthalmology. 2006. Germany: Thieme.

Anda mungkin juga menyukai