Anda di halaman 1dari 11

DONGENGE KANCIL KARO ASU BELANG: Keprihatinan Verbal dan Moral Pengajaran Sastra Jawa di SD Kelas 1 Djatmika* Universitas

Sebelas Maret

A folktale in Javanese DONGENGE KANCIL KARO ASU BELANG (The Story of Kancil and a Dalmatian) is adopted for teaching Javanese to elementary school students of year one. Even though such a kind of story is very popular in Javanese speech community, a discourse analysis conducted on it shows that the grammar and lexical are exploited in such a way that this story is really not suitable for the kids yet. The story through the verbal exploitation displays models of violences, sadism, coarse language, and moral deviation for the children. On that account, adopting this story to be developed as material for teaching Javanese to elementary school students of year one should be reconsidered.

Keywords: dongeng anak, eksploitasi gramatika, pemilihan leksis, model verbal, model moral

1. Pendahuluan Dongeng anak sebagai sebuah karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengenalkan moral, merangsang perkembangan bahasa, dan merangsang

perkembangan kognitif anak. Kegiatan membaca cerita dapat dilakukan ketika anak berada pada usia dini dan kegiatan ini mempunyai nilai yang sangat positif sebagai alat yang penting untuk mempercepat perkembangan kepahaman anak akan bahasanya (Djatmika, 2006). Selain itu, kegiatan ini mempunyai peran di dalam pengenalan dan pengasuhan ideologi atau moral baik/buruk kepada anak-nak. Berkaitan dengan fakta itu, maka kegiatan membaca cerita atau bercerita untuk anak sangat disarankan untuk dilakukan oleh para orang tua, maupun para guru di dalam mereka melakukan proses pengasuhan, pembelajaran, dan pendidikan untuk anakanak mereka. Anak balita, tanpa melihat kemampuan atau penguasaan bahasanya, hampir semuanya dapat memahami isi cerita yang dituturkan kepadanya, karena kandungan cerita itu dikomunikasikan melalui kata-kata tuturan, dengan olah vokal intonasi, ekspresi mimik, gerak tubuh, dan kadang juga dengan menggunakan alat peraga.

* Staf dosen jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta

Kegiatan bercerita itu sendiri, sebagai bagian dari tradisi lesan, menghubungkan bahasa yang dikuasai dan digunakan anak-anak dan mempunyai potensi untuk meningkatkan pemahaman mereka terhadap kandungan cerita dan pada saat yang sama akan meningkatkan ketrampilan orang tua atau para guru di dalam memahami anak-anak. Selain itu, sarana yang juga sangat berperan di dalam membantu perkembangan bahasa anak dan juga perkembangan kognitif mereka adalah cerita dalam bentuk tertulis atau lebih khusus lagi buku-buku cerita untuk anak-anak. Ketika kegiatan bercerita atau membaca cerita itu dilakukan oleh orang tua di rumah maka ada beberapa manfaat yang dapat diambil dari kegiatan yang menyenangkan ini. Manfaat yang pertama adalah mendekatkan ikatan emosi dan ikatan batin orang tua dan anak-anak. Dengan bercerita atau membaca cerita untuk anaknya, orang tua secara tidak sengaja (atau secara sengaja) telah memperpendek jarak emosi dan batin antara dia dan anak didiknya. Rutinitas yang dikerjakan setiap kali berangkat tidur ini tenyata sangat efektif untuk membuat anak-anak dekat dan bahkan lengket dengan orang tua yang selalu bercerita atau membaca cerita untuknya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa seorang anak akan dekat kepada salah satu orang tuanya (ibu atau bapaknya) yang selalu bercerita kepadanya pada waktu menjelang tidur. Manfaat kedua dari kegiatan bercerita adalah menanamkan nilai-nilai, moral dan perilaku utama. Melalui cerita yang dituturkan orang tua kepada anaknya, nilai-nilai, norma dan perilaku yang utama bagi masyarakat itu dapat secara efektif ditanamkan ke benak anak. Orang tua dapat memilih pelajaran apa yang akan ditransfer kepada anaknya di dalam sebuah cerita. Kemudian dia tinggal mengemas nilai atau norma atau perilaku atau bahkan ketiga-tiganya di dalam sebuah jalinan cerita rekaan. Sementara itu, kegiatan menyusun sebuah cerita (kalau memang tidak ingin mengambil cerita yang sudah tersedia, misalnya cerita rakyat atau cerita binatang yang populer) untuk bisa mengakomodasikan pelajaran yang mau ditanamkan kepada anak itu tenyata juga sangat mudah untuk dilakukan. Sebagai orang tua, kita tinggal mengamati kehidupan anak-anak sehari-harinya, baik itu kehidupan di dalam rumah di lingkungan keluarga, atau kehidupan mereka dalam interaksinya dengan teman sebaya di lingkungan rumah atau di sekolah. Dari pengamatan tersebut pastilah banyak ditemukan kejadian, peristiwa, atau konflik yang dapat dipungut sebagai sebuah cerita dan memetik pelajaran yang didapat di dalam penggalan cerita itu untuk
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 2 dari 10

ditransferkan kepada anak-anak. Selanjutnya, manfaat lain yang dapat diperoleh melalui kegiatan bercerita adalah bahwa orang tua dapat memberikan model penuangan ide melalui ekspresi verbal. Sebuah cerita akan menjadi sangat menarik bagi anak-anak manakala cerita itu dituturkan dengan gaya yang menarik pula. Gaya yang bisa dilakukan di dalam bertutur sebuah cerita adalah dengan olah vokal intonasi, dengan ekspresi mimik, dengan menggunakan alat peraga dan lain sebagainya. Ketika seorang anak setiap kali menikmati sebuah cerita itu diberikan strategi yang menarik, maka dapat dimungkinkan dia akan meniru model yang dipakai orang tuanya ketika bercerita untuk menuangkan pikiran atau idenya melalui bahasa. Orang tua atau guru harus sangat berhati-hati di dalam mengekspresikan cerita kepada anaknya atau anak didiknya; pemilihan kata harus benar-benar selektif dan disesuaikan dengan usia dan kematangan emosi si anak. Kehati-hatian itu harus juga dilakukan untuk pemilihan teks tertulis yang berbentuk dongeng untuk diberikan kepada anak-anak. Sebagai misal, apabila karena sebuah keteledoran, sebuah kata yang kasar terpakai di dalam cerita yang dituturkan, kata ini pasti akan segera terekam ke benak dan akan menjadi linguistic resource bagi diri si anak yang akan dia gunakan suatu saat nanti. Berdasarkan beberapa fenomena di atas, sebuah dongeng anak yang dibangun tanpa pertimbangan kandungan moral yang sesuai dengan usia target konsumennya dan atau disusun tanpa pertimbangan eksploitasi kebahasaan yang sesuai dengan usia pembacanya akan menggugurkan fungsi dongeng tersebut sebagai sarana pengenal dan pengasuh moral sekaligus sarana perangsang perkembangan bahasa dan kognitif anak-anak pembacanya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan dongeng dengan model moral dan eksploitasi bahasa yang tidak sesuai dengan usia anak-anak tersebut akan menjadi sebuah penggunaan bahasa yang kurang baik bagi mereka. pembentuk moral dan

2. Dongenge Kancil karo Asu Belang: Sebuah Kasus Keteledoran Karya sastra anak dapat digunakan sebagai alat yang sangat efektif bagi para pendidik maupun para orang tua di dalam menanamkan nilai-nilai, norma, perilaku luhur, dan kepercayaan yang diterima di dalam suatu masyarakat atau budaya. Yang
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 3 dari 10

dimaksud dengan sastra anak di sini adalah bentuk karya sastra yang ditulis untuk kalangan pembaca anak-anak. Ada beberapa bentuk karya sastra jenis ini, dari buku cerita bergambar (cergam atau komik), buku cerita, dongeng anak-anak, puisi anakanak, karya biografi, dan sebagainya. Jumlah karya sastra ini sangat banyak dan dapat dengan mudah ditemukan di dalam masyarakat. Meskipun tiap jenis karya sastra anak ini dapat digunakan untuk mengenalkan nilai dan moral sosial yang berlaku dan diterima di dalam masyarakat, dua jenis karya sastra yang pertamalah, yaitu buku cerita bergambar dan buku cerita, yang dipercaya sangat tepat dipergunakan sebagai wahana pengenalan dan pengasuhan ideologi kepada anak-anak sebagai target pembaca karya ini. Pengenalan nilai dan moral sosial tersebut tentu saja dapat dilakukan dengan cara merekayasa bahasa. Dengan tata gramatika dan pemilihan leksis penulis teks dapat menyajikan kandungan cerita, dapat menampilkan karakterisasi para tokoh dalam cerita, dapat memancing emosi para pembaca, dan sebagainya. Sebagai gambaran dari apa yang telah dipaparkan, sebuah teks dongeng fabel berjudul Dongenge Kancil karo Asu Belang dibahas di dalam bagian ini dengan melihat kandungan moral dongeng tersebut serta eksploitasi kebahasaan yang merepresentasikan penuangan ide cerita. Teks ini diambil dari buku pelajaran bahasa Jawa berjudul Trampil Basa Jawa Kanggo Kelas 1 SD yang ditulis oleh Muharto dan W Nataatmaja dan diterbitkan oleh Penerbit PT. Tiga Serangkai. Pengarang buku ini memilih dongeng ini sebagai salah satu bagian materi ajar di dalam Wulangan 3. Bagi masyarakat Jawa pada umumnya, dongeng Kancil memang sangat populer. Seekor kancil, binatang menyerupai anoa, dijadikan tokoh utama di dalam serial ceritanya. Sebagai lakon utama, di dalam setiap cerita yang berbeda dan dengan lawan cerita yang berbeda Kancil selalu diposisikan sebagai tokoh yang cerdik, licin, dan pokil. Dengan karakterisasi seperti ini betapapun berat permasalahan yang dia hadapi, Kancil dengan segala ketrampilan bertipu dayanya dapat mengalahkan lawanlawannya dan berhasil keluar dari permasalahan yang membelitnya dengan selamat. Kemungkinan dengan pertimbangan kepopuleran cerita inilah, pengarang buku pelajaran bahasa Jawa tersebut mengambil salah satu episod dari dongeng Kancil untuk pengayaan materi ajarnya. Namun demikian, sayangnya pertimbangan kesesuaian eksploitasi bahasa dari cerita itu nampaknya kurang diperhatikan, sehingga sebenarnya bahasa yang
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 4 dari 10

digunakan di dalam penyampaian cerita itu tidak seuai dengan usia para pembacanya. Selain itu, pengambilan teks cerita Kancil sebagai bahan materi ajar untuk anak kelas 1 SD tersebut kurang didukung dengan pertimbangan layak tidaknya kandungan moral cerita itu bagi anak-anak. Adapun, aspek-aspek kebahasaan yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut.
dongenge kancil karo asu belang pak wangsa duwe tegal timun saben dina dicolongi kancil pak wangsa nemu akal nggawe wong wongan dioser oseri pulut sekawit kancil wedi marga dianggep wong temenan bareng ditamatake lan ora bisa nguyak ngerti yen kuwi mung wong wongan kancil nyedhaki wong wongan disotho diantemi tangan lan sikile kanggo milara kabeh kelet marga kena pulut si kancil nangis ora bisa uwal pak wangsa teka lega lan seneng banget dene bisa nangkep si kancil kancil dicekel digawa mulih arep dipateni kancil dikurung dhisik ditinggal ngasah peso nalikane ditinggal ngasah peso asu belang marani kurungane kancil asu belang takon genea kancil dikurungi kancil ngapusi yen arep dipek mantu asune kepengin nggenteni kancil kancil ethok ethok ora oleh asune tansaya kepengin wusanane asu mbukaake kurungan kancil metu asune genti mlebu kurungan kancil bungah banget bisa uwal saka ing pati mlayu bablas karo muni selamat tinggal nalika pak wangsa teka arep nyembeleh kancil kaget... dene sing ana jeron kurungan si belang pak wangsa nesu njupuk penthung asune dipala dipenthungi nangis klengkengan asu goblog bodho gampang diapusi

3. Hasil Analisis 3.a Konfigurasi Teks Cerita Teks di atas disusun dalam bentuk naratif dengan tiga unit wacana, yaitu orientasi, komplikasi dan resolusi. Bagian pertama penulis memperkenalkan setting dari cerita para pelaku dan tempat kejadian dituturkan pada bagian ini. Di dalam unit wacana kedua, para pelaku mulai mengalami konflik. Di dalam cerita di atas tertangkapnya Kancil oleh Pak Tani yang menggunakan boneka orang dilumuri getah merupakan awal konflik cerita. Kerumitan problema tersebut semakin meruncing
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 5 dari 10

sejalan dengan mengalirnya alur cerita

tindakan Pak Tani mengasah pisau untuk

menyembelih Kancil merupakan puncak konflik emosi yang dirasakan pelaku Kancil. Kerumitan konflik di dalam cerita di atas mulai terurai atau udhar manakala Asu Belang datang yang disebabkan kecerdikan dan kelicinan si Kancil dia

melakukan pertolongan kepada Kancil. Terpecahkannya problem si Kancil dan pada sisi lain terjerumusnya Asu Belang ke dalam masalah yang disebabkan tindakan dia menolong si Kancil merupakan unit wacana resolusi dari teks naratif ini. Pada akhir unit ini ditampilkan sebuah moral cerita yang merupakan inti pesan yang akan disampaikan kepada anak-anak.

3.b Fitur-fitur Kebahasaan yang Bermasalah Untuk melihat permasalahan kebahasaan yang digunakan menyusun sebuah teks, analisis wacana dengan memfokuskan pada tata gramatika dan pemilihan leksis dapat dilakukan (Brown, G. & Yule, G.: 1983; Hodge, R. dan Kress, G. 1995). Teks di atas ditampilkan sama persis seperti tampilan yang ada di dalam buku materi penulisannya. Hal ini dikarenakan materi ini diberikan pada awal semester satu jenjang kelas 1 SD, sehingga materi penggunaan tanda baca dan kapitalisasi belum diajarkan di dalam kelas bahasa baik itu bahasa Jawa, bahasa Indonesia, maupun bahasa Inggris. Namun demikian, terdapat beberapa cara penulisan teks yang kurang bagus, yang diantaranya adalah sebagai berikut. Teks di atas ditulis dengan pemotongan untaian unit bahasa yang tidak bagus. Baris-baris yang menyusun teks di atas tidak didasarkan pada bentuk-bentuk unit bahasa tertentu, misalnya sebuah baris adalah sebuah kalimat, atau sebuah baris adalah sebuah klausa. Hal ini terlihat dari beberapa baris yang berikut ini. a. pak wangsa teka lega lan seneng banget dene bisa nangkep si kancil b. nalikane ditinggal ngasah peso asu belang marani kurungane kancil Meskipun sebenarnya empat baris unit bahasa di atas terpotong dikarenakan faktor space yang kurang lebar, format penulisan ini seharusnya dipertimbangkan untuk perbaikan. Siswa pembaca teks akan lebih mudah menangkap isi kandungan cerita

Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008

halaman 6 dari 10

manakala unit bahasa yang digunakan untuk melantunkan isi pesan tersebut terformat jelas dan lengkap. Masing-masing baris di atas akan sulit dipahami oleh anak karena baris pertama dari masing-masing contoh agak kelebihan pesan, sedangkan baris kedua dari masing-masing contoh mempunyai pesan yang tidak lengkap. Kemudahan menangkap pesan akan lain apabila pemotongan kedua contoh tersebut dilakukan sebagai berikut: a. pak wangsa teka lega lan seneng banget dene bisa nangkep si kancil b. nalikane ditinggal ngasah peso asu belang marani kurungane kancil Selain itu, beberapa baris di dalam teks cerita di atas terdiri atas lebih dari satu proposisi atau kandungan pesan. Pada umumnya, kandungan pesan sebuah unit bahasa yang lengkap itu direpresentasikan oleh kehadiran subjek dan sebuah verba, atau minimal oleh kehadiran sebuah verba saja. Di dalam teks cerita di atas terdapat beberapa baris yang berisi lebih dari satu kandungan pesan, misalnya baris-baris sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. sekawit kancil wedi marga dianggep wong temenan bareng ditamatake lan ora bisa nguyak kancil nyedhaki wong wongan disotho diantemi tangan lan sikile kanggo milara kabeh kelet marga kena pulut kancil dicekel digawa mulih arep dipateni kancil dikurung dhisik ditinggal ngasah peso

Contoh di atas adalah bebebapa dari jumlah baris yang ditulis dengan mengisikan lebih dari satu kandungan pesan di dalam baris yang bersangkutan. Sebagai gambaran keenam baris di atas merepresentasikan unit bahasa yang mempunyai lebih dari satu proposisi, sebagai misal, baris (a) terdiri atas proposisi sakawit kancil wedi dan marga dianggep wong temenan, atau baris (b) yang terdiri atas proposisi bareng ditamatake dan lan ora bisa nguyak, dan sebagainya. Bentuk ini terkesan sebagai sebuah bentuk klausa kompleks. Dengan demikian memperkenalkan bentuk klausa kompleks kepada anak didik kelas 1 sekolah dasar dengan cerita ini merupakan cara pengenalan model kebahasaan yang belum waktunya untuk dilakukan. Anak-anak pada usia mereka akan lebih mudah menangkap isi kandungan cerita apabila penulisan teks cerita di atas ditulis berdasarkan unit bahasa yang lebih sederhana dan lebih konsisten,

Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008

halaman 7 dari 10

misalnya sebuah klausa per baris. Selain tata gramatika yang kurang bagus, fitur kebahasaan lain yang perlu disoroti adalah pemilihan leksis di dalam teks cerita ini. Beberapa leksis yang kurang sesuai untuk dikonsumsi anak kelas 1 SD digunakan oleh penulis teks untuk mendeskripsikan karakteristik tokoh cerita dan juga untuk merepresentasikan proses tindakan yang dilakukan oleh para tokoh. Kelompok leksis yang pertama dapat dicontohkan dengan leksis goblog dan bodho, sedangkan leksis untuk proses tindakan ditunjukkan oleh kata disotho, diantemi, dipateni, dipala, dan dipenthungi. Kata-kata ini adalah representasi dunia nyata orang dewasa yang sudah memahami konsep tindakan-tindakan yang direpresentasikan oleh kata-kata itu, dan seharusnya belum diperkenalkan untuk anak kelas 1 SD.

3.c Fitur-fitur Moral yang Bermasalah Selain adanya eksplotiasi verbal yang memprihatinkan, kandungan cerita di atas juga menunjukkan beberapa nilai dan moral sosial yang seharusnya dipaparkan kepada anak didik kelas 1 SD. Keprihatinkan kandungan nilai dan moral sosial tersebut sedikit banyak bergayutan juga dengan keprihatinan verbal cerita yang bersangkutan, terutama berkaitan dengan nilai dan moral sosial yang direpresentasikan oleh pemilihan leksis di dalam teks itu. Bentuk kekerasan dan sadisme di dalam cerita ini dituangkan dengan cara menggunakan kata-kata yang merepresentasikan proses tindakan yang dilakukan oleh tokoh cerita. Kata disotho dan diantemi yang dilakukan oleh tokoh Kancil dan kata dipateni, dipala, dan dipenthungi yang dilekatkan kepada tokoh Pak Tani. Secara verbal penggunaan leksis-leksis ini di dalam cerita yang digunakan sebagai salah satu bahan materi ajar di dalam kelas untuk anak kelas 1 SD akan berpengaruh kepada pembentukan perilaku mereka. Paling tidak penggunaan leksis-leksis ini dapat memberikan model tindak kekerasan dan tindakan sadisme yang seolah-olah sah untuk terjadi di lingkungan mereka, atau bahkan sah untuk dilakukan oleh mereka dalam konteks kejadian kehidupan yang hampir sama dengan yang terjadi di dalam cerita. Dari model tersebut, anak didik akan menganggap bahwa tindakan nyotho, ngantemi, mala, dan menthungi yang dilakukan kepada binatang atau lebih buruk lagi kepada teman mereka adalah hal yang bisa dilakukan, karena ada modelnya
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 8 dari 10

(Cartledge, G. dan Kiarie, M.W. 2001). Bahkan tindakan yang lebih sadis, yaitu menyembelih (dengan kata nyembeleh) yang meskipun digunakan untuk

menempatkan seekor binatang sebagai agen yang terkena proses tindakan, akan memberikan contoh sebuah aksi yang seharusnya belum boleh dipaparkan kepada anak kelas 1 SD. Bagian yang berikut menunjukkan kesadisan itu. kancil dicekel digawa mulih arep dipateni kancil dikurung dhisik ditinggal ngasah peso bagian di atas didukung lebih lanjut oleh bagian di bawah ini: nalika pak wangsa teka arep nyembeleh kancil kaget... dene sing ana jeron kurungan si belang pak wangsa nesu njupuk penthung asune dipala dipenthungi nangis klengkengan asu goblog bodho gampang diapusi Perilaku sadisme tersebut adalah sikap tidak sayang binatang yang ditampilkan oleh tokoh Pak Tani. Tindakan dia mengasah pisau untuk menyembeleh Kancil dan tindakan dia mengambil penthung untuk menganiaya Asu Belang memberikan

legitimasi bagi pembaca anak-anak untuk tidak sayang kepada binatang. Pelanggaran moral bentuk lain adalah tindakan ngapusi oleh Kancil untuk mencapai sebuah tujuan. Di dalam cerita di atas, Kancil digambarkan sebagai tokoh yang melakukan kejahatan dengan tindakan mencurinya. Dia tertangkap dan akan dibunuh, namun dengan kelicinannya dia berhasil menipu Asu Belang sehingga terbebas dari permasalahan yang menimpanya. Kejadian ini bisa menjadi legitimasi bagi anak untuk melakukan hal yang sama di dalam upaya memperoleh suatu tujuan, yaitu boleh nakal dan boleh menipu. Bentuk keprihatinan moral lain yang ditemukan di dalam cerita di atas adalah bentuk kekasaran yang direpresentasikan secara verbal oleh coarse language dengan kata-kata yang dilekatkan kepada tokoh Asu Belang, yaitu kata goblog dan kata bodho. Tentu saja pengenalan kata-kata kasar kepada usia kelas 1 SD ini memprihatinkan penggunaan ini mempunyai kemungkinan untuk ditiru oleh

mereka, misalnya bisa jadi mereka akan menggunakan kata-kata itu untuk mengatangatai teman mereka. Selain itu, sebuah pemilihan nama yang dapat dikatakan kurang berterima bagi masyarakat pembaca Jawa adalah pemilihan nama Asu Belang. Bagi warga
Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008 halaman 9 dari 10

masyarakat ini kata asu dianggap kata yang tabu (Djatmika: 2007). Mengucapkan nama binatang ini saja bagi mereka terasa melakukan sebuah dosa, sehingga memilih nama tokoh ini di dalam cerita di atas dirasakan kurang berterima bagi anak-anak kelas 1 SD yang berlatar belakang budaya Jawa.

4. Penutup Meskipun sangat populer bagi masyarakat Jawa, cerita Kancil dirasa kurang tepat apabila digunakan sebagai materi ajar bahasa Jawa bagi anak kelas 1 SD. Kandungan moral dan nilai sosial yang dikenalkan di dalama cerita tersebut tidak sesuai dengan usia pembacanya. Keprihatinan moral tersebut diperparah lagi oleh keprihatinan verbal dari eksploitasi bahasa yang digunakan menyusun teks cerita itu. Beberapa tata gramatika dan pemilihan leksis merupakan alasan mengapa sebenarnya teks cerita ini belum saatnya diberikan kepada anak kelas 1 SD.

Daftar Kepustakaan Brown, G. & Yule, G. 1983 Discourse Analysis, Cambridge, Cambridge University Press. Cartledge, G. dan Kiarie, M.W. 2001. Learning Sosial Skills through Literature for Children and Adolescents. Dalam Teaching Exceptional Children, Vol. 34, No.2, pp. 40-47. Djatmika.2006. Bercerita dan Perkembangan Bahasa Anak. Dalam presentasi Seminar Internasional KOLITA. Atma Jaya Jakarta, 15-16 Februari 2006. Djatmika. 2007. An Analysis of Javanese Four-Letter Words. Dalam the International Symposium on the Languages in Java, Semarang 15-16 August 2007 Hodge, R. dan Kress, G. 1995. Sosial Semiotics. Cambridge: Polity Press. Sam Muharto dan W Nataatmaja.2004. Trampil-l Basa Jawa Kanggo Kelas 1 SD. Surakarta: PT. Tiga Serangkai.

Djatmika, Konferensi internasional kesusastraan xix/hiski Batu, 12-14 Agustus 2008

halaman 10 dari 10

This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.

Anda mungkin juga menyukai