Anda di halaman 1dari 2

Epigonisme

dan Plagiarisme: Fenomena Miskin Identitas


Oleh: Meidiawan Cesarian Syah

Orang Indonesia harus memahami tentang mahalnya sebuah ide, keluh saya pada suatu ketika. Di layar kaca, media utama yang mempengaruhi alam bawah sadar sebagian besar penduduk negeri ini, banyak sekali ide yang dipermainkan, ditiru sebagian, bahkan dijiplak mentah-mentah. Sudah tidak ada lagi batas toleransi penghargaan atas orisinalitas sebuah ide. Kemudian ingatan saya berlabuh pada beberapa tahun lalu. Saat itu saya membaca artikel sebuah surat kabar yang membanding-bandingkan antara epigonisme dan plagiarisme, dua jenis pengambilan ide orang lain. Berbagi perspektif, itu yang hendak saya coba lakukan. Tidak selamanya pengambilan ide orang lain itu buruk, meskipun saya tidak menganjurkan hal demikian. Sedihnya, di Indonesia seni comot-mencomot ide ini sangat serampangan sehingga kemonotonan saja yang kita dapat. Sedikit dari mereka benar-benar menyuguhkan pesona baru. Lack of creativity. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, plagiarisme atau sering disebut plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan, pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan pendapat sendiri. Plagiat, sebagus apapun, hanya merupakan kejahatan intelektual. Pelakunya, plagiator, mencederai pilar-pilar ilmu pengetahuan yang paling dasar. Bebepara orang lebih suka menyebut mereka pencuri hak cipta. Pencuri, sebagaimana maling ayam, sangat pantas mendapatkan hukuman. Di Indonesia, plagiarisme dapat dianggap sebagai tindakan pidana karena pencurian hak cipta. Sayangnya, dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang tindakan plagiarisme ini. Tetapi bukan berarti para plagiat bisa melenggang begitu saja. Dalam kacamata hukum, kegiatan plagiarisme termasuk pencurian hak cipta seperti disebutkan sebelumnya, diatur melalui UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta. Sanksi hokum yang membayangi kegiatan plagiarism sesuai pasal 72 ayat (1) UU Hak Cipta adalah pidana penjara masing-masing paling singkat 1 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00. Hal yang harus digarisbawahi dari sanksi tersebut adalah pelanggaran hak cipta. Pelanggaran Hak Cipta menurut UU Hak Cipta sendiri itu terjadi apabila memenuhi beberapa unsur, yakni adanya ciptaan yang dilindungi hak cipta dan perlindungannya masih berlaku, adanya bagian dari ciptaan tersebut yang diperbanyak, dan kegiatan memperbanyak tersebut tidak sesuai dengan kegiatan yang dibenarkan melalui UU ini dan tanpa sepengetahuan pemilik hak cipta. KEtiga unsur ini sifatnya akumulatif, jadi suatu kegiatan dianggap plagiarisme apabila memenuhi kriteria tersebut. Plagiat mencederai ilmu, mencederai ide, mencederai kejujuran. Saya sendiri sedikit menyayangkan banyak diantara kita yang terlambat atau bahkan tidak

pernah memiliki hak cipta atas gagasan kita sendiri, yang dilindungi negara tentunya. Makanya banyak juga yang asal comot tulisan orang tanpa menyertakan sumbernya, seperti fenomena yang beberapa waktu lalu ramai di twitter. Well, agaknya menyidangkan plagiator masih susah. Fenomena kedua yang tidak kalah heboh adalah epigonisme. Epigonisme berasa; dari kata epigon. Epigon adalah orang yang tidak memiliki gagasan baru dan hanya mengikuti jejak pemikir atau seniman yg mendahuluinya. Sebutan singkatnya: peniru. Sadar atau tidak di tiap diri kita pastilah terdapat sifat seorang epigon. Saya tidak mempermasalahkannya, yang jadi masalah adalah siapa pun yang mencari nafkah dengan menjadi epigon. Come on, dudeyoure a lot more than that. Epigon paling sering saya temukan di toko buku. Saat novel The Da Vinci Code dan Ayat- Ayat Cinta booming, entah darimana asalnya keluar pelbagai macam novelis yang mengekor dengan menerbitkan novel serupa yang tak sama. Saat The Da Vinci Code menjadi terkenal, maka toko buku tiba-tiba disesaki oleh novel konspirasi, bermacam-macam. Alam bawah sadar kita dipenuhi keseragaman yang sama ketika kita melihan televise. Band, sinetron, reality show, dan acara lain pun konsepnya sama. Saya sampai bingung sebenarnya siapa yang memulai trend music melayu, sinetron yang mengurai air mata (ya, temanya juga ga jauh-jauh dari masalah warisan dan kekayaan) atau acara musik. Tidak ada pelanggaran hukum dalam epigonisme. Sang epigon bisa leluasa melakukan kegiatannya, dan bagi orang yang karyanya ditiru juga tidak bisa apa- apa. Fair enough, maybe. Seperti telah saya katakan tadi, epigon bisa jadi ada di diri kita semua, bukan? Memang tidak semua epigon buruk, ada epigon yang berhasil mengembangkan gagasan orang lain yang ditirunya. Namun, apabila tanpa izin, saya kira itu tetap saja hal yang negatif. Ide itu mahal. Hal paling buruk bagi seorang epigon adalah dia (atau karyanya) tidak akan dikenal siapapun karena selamanya tidak punya identitas. Ia hidup sebagai peniru, menyajikan menu yang sudah disediakan hari sebelumnya. Penikmatnya pun mengecap manis sesaat, lalu lupa, karena sesuatu yang mereka rasakan itu tanpa identitas. Pada akhirnya, epigon dan plagiator akan hidup tanpa identitas. Celakanya, tiap hari kita disuguhkan benda tersebut melalui tayangan di televisi kita. Perbedaan nama yang seragam, saya menyebutnya. Apakah ide itu begitu mahal untuk dihasilkan? Atau terlalu murah sehingga lebih baik untuk meniru? Entahlah, saya cuma mengajak agar kita punya identitas dalam hidup yang bukan hanya nama. (penulis adalah mahasiswa yang tanpa perguruan tinggi, nirgelar, dan hanya bisa menerka-nerka)

Anda mungkin juga menyukai