Anda di halaman 1dari 97

Jurnal

ISSN 1410-7244 13/Akred-LIPI/P2MBI/9/2006

TANAH DAN IKLIM


Indonesian Soil and Climate Journal
Nomor 28, Desember 2008
Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau N. Suharta dan B.H. Prasetyo Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman Enni D. Wahjunie, O. Haridjaja, Soedodo H., dan Sudarsono Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya Achmad Rachman, Deddy Erfandi, dan M. Nasil Ali Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional Sukristiyonubowo Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik M. Masjkur dan A. Kasno Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit D. Nursyamsi, K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim, dan A. Sofyan Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia E. Surmaini dan E. Susanti

Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN

Jurnal
Tanah dan Iklim
Indonesian Soil and Climate Journal Nomor 28, Desember 2008
Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 1417/D/2006 Ketua pengarah : Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Ketua penyunting : Le Istiqlal Amien Anggota penyunting : Abdurachman Adimihardja Diah Setyorini D. Subardja Kasdi Subagyono Kusumo Nugroho Santun R.P. Sitorus Sudarsono Penyunting pelaksana : Karmini Gandasasmita Rizatus Shofiyati Yiyi Sulaeman Widhya Adhy Mitra bestari : Supiandi Sabiham A.M. Fagi Suyamto Hardjosuwirjo Penerbit : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Alamat redaksi : Jl. Ir. H.Juanda No. 98 Bogor 16123 Telp. (0251) 8323012 Fax (0251) 8311256 e-mail : csar@indosat.net.id www.soil-climate.or.id Frekuensi terbit : Setahun dua kali

ISSN 1410-7244

Dari Redaksi
Jurnal Tanah dan Iklim Edisi No. 28 tahun 2008 mengetengahkan 7 judul tulisan yang ditulis oleh peneliti dari bidang tanah dan iklim dari lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Dalam edisi ini, topiktopik yang diketengahkan yaitu mengenai: Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau; Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman; Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya; Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional; Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik; Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit; dan Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia. Untuk memperkaya khasanah keilmuan di bidang tanah dan iklim, Redaksi mengharapkan partisipasi para pembaca untuk memberikan kontribusi dengan mengirimkan tulisan, komentar, dan saran ke Jurnal Tanah dan Iklim. Sejak tahun 2007, Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali setahun, dalam bulan Juli dan Desember. Redaksi juga mengajak pembaca sekalian untuk turut menyebarluaskan hasil penelitiannya melalui jurnal ini sebagai media komunikasi ilmiah dalam bidang ilmu tanah dan agroklimat. Semoga informasi yang kami sajikan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pemahaman kita tentang sumberdaya tanah dan iklim sehingga dapat dipergunakan dengan baik. Bogor, Desember 2008

Redaksi

Jurnal Tanah dan Iklim


Indonesian Soil and Climate Journal Nomor 28, Desember 2008 DAFTAR ISI
Halaman Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau N. Suharta dan B.H. Prasetyo ............................................................... Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman Enni D. Wahjunie, O. Haridjaja, Soedodo H., dan Sudarsono ..................... Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya Achmad Rachman, Deddy erfandi, dan M. Nasil Ali ................................. Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional Sukristiyonubowo ............................................................................... Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik M. Masjkur dan A. Kasno .................................................................... Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanahtanah yang Didominasi Smektit D. Nursyamsi, K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim, dan A. Sofyan .............. Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia Elza Surmaini dan Erni Susanti ..............................................................

15

27

39

55

69

83

Susunan Mineral dan Sifat Fisiko-Kimia Tanah Bervegetasi Hutan dari Batuan Sedimen Masam di Provinsi Riau
Mineralogical Composition and Physico-chemical Characteristic of Forest Land Soil Developed from Acid Sedimentary Rocks in Riau Province
N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO1

ABSTRAK
Pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian tanaman pangan sering dibatasi oleh menurunnya secara drastis sifat dan karakteristik tanah setelah digunakan selama 2 atau 3 tahun. Hilangnya bahan organik di lapisan atas melalui proses mineralisasi maupun erosi merupakan penyebab utama menurunnya kesuburan tanah. Untuk mempelajari sifat dan karakteristik tanah sebagai dasar pemanfaatannya untuk tanaman pertanian telah dilakukan studi pada tanah bervegetasi hutan dari batuan sedimen masam di Provinsi Riau. Hasil penelitian menunjukkan bahan induk tanah sangat berpengaruh terhadap susunan mineralogi, sifat fisik, dan sifat kimia tanahnya. Tanah dari batuan sedimen masam di daerah penelitian tergolong berpelapukan lanjut dicirikan oleh dominasi mineral kaolinit dengan cadangan mineral sangat rendah. Sifat kimia tanah berbahan induk batuliat lebih baik dibandingkan tanah berbahan induk batupasir seperti diperlihatkan oleh kandungan basa-basa dapat tukar, kapasitas tukar kation, dan K potensial yang lebih tinggi, akan tetapi dibatasi oleh kandungan Aldd yang tinggi. Sifat fisik menunjukkan, tanah rentan terhadap erosi dan pemadatan. Oleh karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian atau tanaman hutan, mensyaratkan perlunya tindakan konservasi tanah dan menghindari daerah berlereng (>8%) khususnya untuk tanaman pangan, selain perlunya meningkatkan kesuburan tanah melalui pemupukan. Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi lahan pertanian, selain meningkatkan proses mineralisasi bahan organik, juga memutus siklus biologi yang berpengaruh terhadap menurunnya kesuburan tanah. Kata kunci: Hutan, Batuan sedimen masam, Batuliat, Batupasir, Siklus biologi, Bahan organik

the soils indicate that the soil is susceptible for erosion and compaction. For that reasons, the exploitation of forest land for agriculturing or forest plantation use need soil conservation practices, avoid the slopping area (>8%) especially for food plantation, and fertilizer. Changing the forest land to agricultural land not only increase mineralization of organic matter but also interrupt biological cycles that influential on decreasing soil fertility. Keywords : Forest, Acid sedimentary rocks, Claystone, Sandstone, Biological cycles, Organic matter

PENDAHULUAN Tanah hutan atau tanah dengan vegetasi tanaman hutan, dapat terbentuk dari berbagai macam bahan induk tanah yaitu bahan volkan, bahan sedimen, ataupun dari bahan aluvium baik organik maupun mineral. Salah satu bahan induk pembentuk tanah tersebut di Indonesia adalah batuan sedimen masam. Suharta (2007) mengemukakan bahwa tanah-tanah yang terbentuk dari batuan sedimen masam dicirikan oleh sifat-sifat yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan tanaman yaitu reaksi tanah masam, kandungan hara dan basa-basa yang dapat dipertukarkan rendah, kejenuhan basa rendah, akan tetapi kejenuhan aluminium tinggi. Driessen (1976) menunjukkan bahwa kesuburan tanah hutan dari batuan sedimen masam sangat tergantung pada lapisan permukaan tanah yang relatif lebih kaya akan bahan organik dibandingkan dengan lapisan di bawahnya. Selanjutnya dikemukakan, pemanfaatan lahan hutan untuk pertanian tanaman pangan sering dibatasi oleh menurunnya kesuburan tanah lapisan atas secara drastis. Oleh karena itu, pemanfaatannya hanya satu atau dua kali tanam dan setelah itu ditinggalkan.
1. Peneliti pada Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

ABSTRACT
Exploitation forest land for food crops agricultural use often limited by drastically change of soil properties and soil characteristics after two or three years of usage. The loose of organic matter through mineralization processes and erosion is causal factor for decreasing fertility of the soils. To study soil properties and soil characteristics as foundation for agricultural use, the forest land derived from sedimentary rock in Riau Province have been studied. The Research result indicates that parent material has great influence on mineral composition, physical and chemical properties of the soils. Soil from sedimentary rock in the study area were very developed, indicated by domination of kaolinite and very low of mineral reserve. Soils derived from claystone have better chemical properties compare to soil derived from sandstone as shown by exchangeable bases, cation exchange capacity, and potential K, but limited by highly Al exchangeable. The physical properties of

ISSN 1410 7244

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Adanya proses siklus biologi pada tanah bervegetasi hutan telah ditunjukkan oleh Quideau et al. (1999) yang mampu mempertahankan kesuburan tanah lapisan atas, mengurangi proses mineralisasi bahan organik, dan mengurangi run off atau bahaya erosi. Chen et al. (2004), Fraga dan Salcedo (2004), Wu dan Tiessen (2002), menunjukkan bahwa pengelolaan lahan akan berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas bahan organik tanahnya. Oleh karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman pertanian yang mempunyai karakteristik berbeda dengan tanaman hutan, perlu mempertimbangkan sifat dan karakteristik tanahnya sebagai dasar untuk menetapkan teknik pengelolaannya. Makalah ini bertujuan untuk mengemukakan sifat dan karakteristik tanah hutan sebagai dasar pemanfaatannya baik untuk tanaman hutan maupun tanaman pertanian, terutama tanaman pangan semusim berakar dangkal.

dari batuan sedimen masam batupasir dan batuliat, dan telah diklasifikasikan berdasarkan Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2003) sebagai Typic Kandiudults, Acrudoxic Kandiudults, dan Typic Hapludults (Tabel 1). Daerah penelitian dicirikan oleh tipe hujan A (Schmidt and Ferguson, 1951) yang menunjukkan bahwa di daerah penelitian tidak terdapat bulan kering yang nyata atau distribusi curah hujan merata sepanjang tahun. Terletak pada ketinggian antara 70 hingga 127 m dpl, pada landform tektonik dengan bentuk wilayah berombak sampai bergelombang. Formasi geologi daerah ini tersusun dari formasi Palembang Tengah terdiri atas batupasir dan batuliat dan pada beberapa tempat tersusun dari batuliat berpasir (Silitonga and Kastowo, 1995; Suwarna et al., 1991). Metode Penelitian di lapangan meliputi pengamatan sifat morfologi berdasarkan petunjuk dalam Guideline for Soil Profile Description (FAO, 1990). Analisis sifat kimia tanah telah dilaksanakan di laboratorium tanah Pangkalan Kerinci, Provinsi Riau. Sedangkan analisis sifat fisik tanah, penetapan susunan mineralogi fraksi pasir dan liat, dilakukan di laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian di Bogor. Susunan mineral fraksi pasir ditetapkan dengan metode line counting, dihitung hingga 100

BAHAN DAN METODE Bahan Tujuh buah pedon yang terdiri atas empat pedon bervegetasi hutan alami dan tiga pedon bervegetasi hutan tanaman industri (HTI) jenis Acacia mangium di Kabupaten Kuantan Sengingi, Provinsi Riau telah dibuat di lapangan. Sebanyak 37 contoh tanah telah diambil dari setiap horizon pada ketujuh pedon tersebut untuk dianalisis di laboratorium. Tanah-tanah yang diteliti berkembang

Tabel 1. Lokasi dan informasi dari tujuh pedon yang diteliti Table 1. Location and information of seven pedons investigated
Pedon HP.14 MD.61 EY.44 HP.24 UG.194 UY.110 DD.232 Ketinggian m dpl 127 120 126 70 79 93 119 Lokasi geografi 10105921 10105841 10105244 10104628 10105800 10200640 10102800 BT BT BT BT BT BT BT dan dan dan dan dan dan dan 002327 004511 002148 004227 002157 004447 000459 LS LS LS LS LS LS LS Klasifikasi tanah*) Typic Kandiudults Typic Kandiudults Typic Kandiudults Acrudoxic Kandiudults Acrudoxic Kandiudults Typic Hapludults Typic Hapludults Lereng % 3 6 14 20 8 23 28 Bahan induk Batupasir Batupasir Batupasir Batupasir Batupasir Batuliat Batuliat Penggunaan lahan HTI** Hutan alam HTI Hutan alam Hutan alam Hutan alam HTI

*) Soil Survey Staff (2003); **) HTI = Hutan Tanaman Industri (Acacia mangium)

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

butir menggunakan mikroskop polarisasi. Sedangkan susunan mineral fraksi liat ditetapkan dengan alat Difraktometer Sinar-X, model PW 1130. Analisis sifat fisik tanah meliputi penetapan tekstur 4 fraksi (metode pipet), berat isi, pori drainase, pori air tersedia, pori total, permeabilitas dan stabilitas agregat. Sedangkan analisis sifat kimia tanah meliputi pH (H2O), C-organik (Walkey and Black), P dan K potensial (HCl 25%), susunan kation, kapasitas tukar kation, dan kejenuhan basa (NH4OAc 1 N pH 7,0), dan kemasaman terekstrak aluminium (KCl 1N). Prosedur analisis tanah mengacu pada Soil Survey Laboratory Methods Manual (Soil Survey Laboratory Staff, 1992). Analisis statistik sederhana menggunakan program Excel, sedangkan penetapan sifat kimia tanah horizon A dan Bt/Bto dilakukan dengan cara pembobotan menggunakan parameter kedalaman tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat morfologi Pedon-pedon yang diteliti mempunyai solum dalam. Tanah dari bahan induk batupasir mempunyai ketebalan solum >150 cm, sedangkan tanah dari batuliat <150 cm (Tabel 2). Ketebalan horizon A dari semua pedon yang diteliti bervariasi antara 9 hingga 13 cm. Warna tanah coklat tua kekuningan hingga coklat tua kekelabuan. Struktur tanah gumpal agak bersudut dan kersai dengan konsistensi teguh hingga gembur atau lepas. Horizon B mempunyai ketebalan antara 97 hingga lebih dari 150 cm. Dibandingkan dengan horizon A, warna tanah pada horizon B lebih kuning atau merah, yaitu berwarna kuning kecoklatan atau kemerahan hingga coklat kuat. Struktur tanah gumpal agak bersudut yang bila diremas pecah

Tabel 2. Beberapa karakteristik morfologi dari pedon-pedon yang diteliti Table 2. Some morphological characteristics of pedons studied
Pedon Horizon Tebal cm Warna Tekstur Struktur Konsistensi

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults HP.14 A 9 ydb (10 YR 3/4) Bto >151 by (10 YR 6/6) MD.61 A 9 ydb (10 YR 4/4 Bto >141 sb (7,5 YR 5/8) EY.44 A 10 vdgb (10 YR 3/2) Bto >140 yb-sb (10 YR 5/6-7,5 YR 5/8) Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults HP.24 A 13 gdb-db (10 YR 3/2-4/3) Bto >137 yb-by (10 YR 5/4-6/6) UG.194 A 12 db (10 YR 3/3) Bto >138 yb (10 YR 5/6) Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults UY.110 A 13 db (10 YR 4/3) Bt 97 yb-sb (10 YR 5/6-7,5 YR 5/6) DD.232 A 11 vdgb (10 YR 3/2) Bt 114 yb-ry (10 YR 5/6-5 YR 6/6)

SCL SCL SCL C SL SCL LS-SL SL SL SCL C C SL-SCL C

m sb m sb > f g fg m sb > f g fg m sb vf sb m sb > f g fg m sb > f sb f sb m sb > f sb fg m sb > f sb

t, t, f, t, f, t,

ss/sp ss/sp ss/sp s/p ss/po ss/sp

f, so/po f, ss/sp vf, so/po f-t, ss/sp f, t, f, t, s/p s/p ss/sp s/p

Keterangan : Warna : yb = coklat kekuningan; by = kuning kecoklatan; ydb = coklat tua kekuningan; gdb = coklat tua kekelabuan; db = coklat tua; vdgb = coklat sangat tua kekelabuan; sb = coklat kuat; ry = kuning kemerahan. Tekstur : C = liat; SCL = lempung liat berpasir; SL = lempung berpasir; LS = pasir berlempung. Struktur : m = medium; vf = sangat halus; sb = gumpal agak bersudut; g = granuler atau kersai; f = halus; Konsistensi : t = teguh; f = gembur; s = lekat; ss = agak lekat; so = tidak lekat; sp = agak plastis; p = plastis

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

menjadi kersai dengan konsistensi agak teguh hingga gembur. Struktur demikian sangat sesuai untuk perkembangan perakaran tanaman lahan kering berakar dalam. Bentuk struktur kersai pada horizon Bt atau Bto merupakan satu indikasi bahwa tanah telah mengalami pelapukan lanjut seperti ditunjukkan oleh sifat kimia tanah yang miskin basabasa. Komposisi mineral
Susunan mineral fraksi pasir

Susunan mineral fraksi liat

Hasil analisis susunan mineral fraksi liat dari tujuh pedon yang diteliti disajikan pada Tabel 4 dan contoh difraktogramnya disajikan pada Gambar 1. Kaolinit mendominasi susunan mineral liat, diikuti oleh kuarsa dan sedikit vermikulit, illit, smektit, dan goetit. Kelas mineralogi dari pedon yang diteliti tergolong kaolinitik. Susunan mineral liat demikian menunjukkan tingginya intensitas pelapukan dan pencucian basa-basa serta pembebasan Al dan Fe dari mineral liat ke dalam larutan tanah. Kaolinit dengan nilai difraksi sekitar 7,1 A0 terdapat dalam jumlah dominan di seluruh pedon yang diteliti. Perbedaan susunan mineral antar pedon yang diteliti adalah mineral lainnya. Pada tanah berbahan induk batupasir, kaolinit disertai oleh vermikulit dengan kuarsa atau goetit, sedangkan tanah dari batuliat, kaolinit disertai kuarsa dengan illit atau smektit. Terdapatnya mineral vermikulit, illit, dan smektit, sejalan dengan hasil analisis susunan mineral fraksi pasir yang menunjukkan adanya mika (muskovit) walaupun dalam jumlah sangat sedikit. Mika adalah salah satu mineral primer yang dalam illit, Dalam proses pelapukannya atau akan menghasilkan lingkungannya. vermikulit, lingkungan smektit mika

Hasil analisis mineral fraksi pasir (Tabel 3) menunjukkan, dari ke lima pedon yang diteliti kuarsa dan opak mendominasi susunan mineral. Sedangkan mineral mudah lapuk antara lain ortoklas, sanidin, dan muskovit sangat sedikit. Demikian juga untuk mineral lainnya yaitu limonit, mineral lapukan, fragmen batuan, dan turmalin juga sangat sedikit. Susunan mineral fraksi pasir demikian menunjukkan tanah telah mengalami pelapukan lanjut. Mineral fraksi pasir pada tanah berbahan induk batupasir mempunyai kandungan kuarsa yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanah berbahan induk batuliat. Rendahnya kandungan mineral mudah lapuk baik pada tanah berbahan induk batuliat maupun batupasir, menunjukkan bahwa cadangan sumber hara mineral sangat rendah. Dengan demikian, untuk mendapatkan nutrisi yang baik bagi pertumbuhan tanaman, sangat diperlukan adanya penambahan hara dari luar antara lain melalui pemupukan.

tergantung dari tingkat pelapukan atau kondisi masam bersifat tidak stabil dan akan mengalami pelapukan intensif dengan sekuen pelapukan mika illit

Tabel 3. Susunan mineral fraksi pasir total Table 3. Mineral composition of total sand fraction
Pedon Op Zr Qz Lm sp 1 sp sp sp Ze sp Wm sp sp sp sp 2 Rf 1 1 9 1 18 Or sp sp Sn sp sp sp sp sp Mk sp Tr sp sp sp sp sp Tanah dari bahan induk batupasir 98 sp 1 HP.14 93 sp 5 HP.24 85 sp 6 MD.61 96 1 2 UG.194 Tanah dari bahan induk batuliat UY.110 6 1 73

Keterangan : Op = opak; Zr = zircon; Qz = kuarsa; Lm = limonit; Ze = zeolit; Wm = mineral lapukan; Rf = Fragmen batuan; Or = ortoklas; Sn = sanidin; Mk = muskovit; Tr = turmalin; sp = sangat sedikit (<1%).

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Tabel 4. Susunan mineral fraksi liat Table 4. Mineral composition of clay fractions
Pedon Kaolinit Illit Vermikulit + (+) + + + + Smektit Kuarsa + ++ ++ + Goetit Kelas mineralogi Kaolinitik Kaolinitik Kaolinitik Kaolinitik Kaolinitik Kaolinitik Kaolinitik Tanah dari bahan induk batupasir ++++ HP.14 ++++ HP.24 ++++ MD.61 ++++ EY.44 ++++ UG.194 Tanah dari bahan induk batuliat UY.110 +++ DD.232 ++++ (+)

(+) (+)

+ ++

Keterangan : ++++ = dominan; +++ = banyak; ++ = cukup; + = sedikit; (+) = sangat sedikit

Gambar1. Difraktogram X-Ray dari contoh MD 61/III Figure 1. X-Ray difractogram of sample MD 61/III

vermikulit kaolinit, sedangkan dalam lingkungan lebih basa akan terbentuk sekuen pelapukan mika illit smektit kaolinit (Loughnan, 1969). Kaolinit yang dijumpai dalam jumlah dominan di seluruh pedon yang diteliti, diduga berasal dari feldspar atau hasil lapukan mika. Sifat fisik
Tekstur

Hasil analisis besar butir menunjukkan tekstur tanah untuk pedon dari batuliat adalah liat, dan dari

batupasir adalah lempung liat berpasir (liat hingga lempung berpasir). Kandungan pasir dari pedon berbahan induk batupasir berkisar antara 54 hingga 76%, sedangkan kandungan pasir dari pedon berbahan induk batuliat berkisar antara 10 hingga 39%. Sebaliknya kandungan liat dari pedon berbahan induk batupasir berkisar dari 8 hingga 35%, dan yang berbahan induk batuliat berkisar antara 38 hingga 63%. Kondisi ini menunjukkan bahwa tekstur tanah sangat dipengaruhi oleh jenis bahan induk tanah. Bahan induk batuliat menghasilkan tanah dengan kandungan liat tinggi, 5

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 5. Beberapa sifat fisik pedon-pedon dari bahan induk batupasir Table 5. Some physical properties of pedons from sandstone
Pedon HP.14 HP.24 EY.44 Horizon A B A B A B BI g cc
-1

PD 2,46 2,55 2,53 2,60 2,39 2,65

1,54 1,46 1,21 1,41 1,20 1,17

Pori drainase Air tersedia Cepat Lambat % volume 37,0 8,0 4,8 8,5 42,7 12,6 4,7 8,2 RPT 52,0 45,7 49,8 55,9 26,0 19,2 23,8 28,9 4,0 4,5 3,8 4,0 11,4 6,7 11,0 9,4

Permeabilitas cm jam-1 0,20 1,10 9,09 2,93 9,46 3,62

Stabilitas agregat indeks 100 51 42 54 40 142

Keterangan : BI = berat isi (bulk density); PD = berat partikel (particle density); RPT = ruang pori total (total pore space); Stab.agr = stabilitas agregat (agregat stability); Lapisan A = atas dan B = bawah.

sedangkan batupasir menghasilkan tanah dengan kandungan pasir tinggi.


Berat isi dan berat partikel

dan kandungan bahan organik (Imhoff et al., 2004). Nilai berat partikel (particle density) berkisar antara 2,39 hingga 2,53 untuk lapisan atas dan 2,55 hingga 2,65 untuk lapisan bawah. Nilai berat partikel di lapisan atas lebih rendah daripada di lapisan bawah, akan tetapi baik lapisan atas maupun lapisan bawah, keduanya mempunyai nilai berat partikel tergolong tinggi.
Ruang pori tanah

Berat isi dari pedon yang diteliti (Tabel 5) tergolong tinggi berkisar antara 1,20 hingga 1,54 di lapisan atas dan 1,17 hingga 1,46 di lapisan bawah. Tingginya nilai berat isi dari pedon yang diteliti merupakan salah satu karakteristik tanah-tanah dari batuan sedimen masam yang menunjukkan indikasi tingkat kepadatan tanah dan rendahnya kandungan bahan organik. Pedon HP.14 dan EY.44 memperlihatkan nilai berat isi di lapisan atas lebih tinggi daripada di lapisan bawah, sedangkan pedon HP.24 memperlihatkan hal sebaliknya. Tingginya nilai berat isi di lapisan atas diakibatkan oleh adanya pemadatan pada waktu pengolahan lahan menggunakan alat berat. Secara morfologis adanya pemadatan ditunjukkan oleh bercak karatan berwarna kelabu dan kuning kecoklatan sebagai akibat proses oksidasi dan reduksi. Proses ini terjadi karena terganggunya pergerakan air dan sirkulasi udara di dalam penampang tanah. Pemadatan dapat berpengaruh terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah, serta diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya degradasi lahan pertanian. Faktor yang berpengaruh terhadap pemadatan tanah adalah tekstur, kandungan liat, susunan mineralogi liat, kelembaban tanah, berat isi,

Hasil penetapan ruang pori total tergolong rendah sampai sedang. Ruang pori total pada horizon A bervariasi dari 37 hingga 52%, sedangkan pada horizon B bervariasi antara 43 hingga 56%. Rendahnya ruang pori total pada horizon A pedon HP.14, berkaitan erat dengan adanya pemadatan tanah. Sebagai perbandingan, tanah Oxisols dari daerah Sanggauledo, Provinsi Kalimantan Barat yang berkembang dari bahan basaltik, mempunyai ruang pori total lebih dari 65% volume, baik horizon A maupun B (Suharta et al., 1995). Hasil penetapan pori aerase tanah atau pori drainase cepat menunjukkan, pori aerase berkisar antara 8,0-28,9% yaitu tergolong rendah sampai tinggi. Pedon HP.24 dan EY.44 mempunyai pori aerase tergolong tinggi, yang berarti tanah tergolong baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering. Sedangkan HP.14 rendah di lapisan atas karena

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

pemadatan dan sedang di lapisan bawah. Rendahnya pori aerase pada pedon tersebut sejalan dengan tingginya berat isi. Peningkatan pori aerase dapat dilakukan antara lain melalui penambahan bahan organik, pengolahan tanah pada kapasitas lapang, atau secara vegetatif dengan menanam tanaman berakar dalam. Hasil penetapan pori drainase lambat tergolong rendah (<5%), baik pada horizon A maupun horizon B. Hal tersebut menjelaskan bahwa tanah mudah melepaskan air atau tanah berdrainase baik, sehingga sesuai untuk tanaman lahan kering. Hasil penetapan pori air tersedia menunjukkan horizon A lebih tinggi dibandingkan dengan horizon B. Hal ini terjadi karena bahan organik pada horizon A lebih tinggi daripada horizon B. Pori air tersedia pada horizon A berkisar antara 8,5 hingga 11,4 tergolong rendah sampai sedang, sedangkan pada horizon B berkisar antara 6,7 hingga 9,4 tergolong rendah. Khusus untuk pedon HP.14, baik pada horizon A yang mengalami pemadatan maupun horizo B, pori air tersedia tergolong rendah. Tanah dengan pori air tersedia demikian menunjukkan tanah mudah mengalami kekeringan. Akan tetapi curah hujan yang tinggi dengan distribusi hampir merata sepanjang tahun, merupakan keuntungan bagi pertumbuhan tanaman lahan kering di daerah ini, karena air akan tersedia sepanjang tahun. Salah satu teknologi untuk meningkatkan pori air tersedia adalah meningkatkan kandungan bahan organik.
Permeabilitas

permeabilitas tanah di lapisan atas lebih lambat daripada lapisan bawah yang diakibatkan oleh pemadatan tanah. Tanah dengan permeabilitas lambat, di satu pihak dapat mengurangi jumlah kehilangan hara karena pencucian, sedangkan di lain pihak dapat meningkatkan aliran permukaan (run off) yang berdampak pada terjadinya erosi dan hilangnya tanah lapisan atas yang kaya kandungan hara dan bahan organik. Permeabilitas sedang sangat sesuai untuk pengembangan tanaman lahan kering.
Kemantapan/stabilitas agregat

Hasil penetapan menunjukkan kemantapan agregat pada horizon A tergolong tidak stabil (<50), kecuali pedon HP.14 yang mengalami pemadatan tergolong stabil. Pada horizon B, kemantapan agregat tergolong agak stabil, kecuali EY.44 tergolong sangat stabil. Dari hasil penetapan dapat dikemukakan bahwa tanah bervegetasi hutan yang diteliti umumnya tergolong tidak stabil dan sangat rentan terhadap erosi permukaan. Nilai permeabilitas yang lambat, juga akan memberikan pengaruh negatif terhadap meningkatnya aliran permukaan dan sekaligus meningkatkan bahaya erosi. Sifat kimia Beberapa sifat kimia dari tujuh pedon yang diteliti disajikan pada Tabel 6 dan 7.
C-organik dan reaksi tanah

Permeabilitas tanah di lapisan bawah lebih lambat daripada di lapisan atas. Keadaan seperti ini dapat disebabkan oleh pengaruh pengolahan tanah, perakaran tanaman, atau pemadatan pedogenesis karena adanya penimbunan liat seperti yang terjadi pada tanah yang mempunyai horizon argilik. Hasil penetapan menunjukkan, permeabilitas tanah di lapisan atas berkisar antara lambat sampai agak cepat (0,20 - 9,46 cm jam-1), sedangkan di lapisan bawah tergolong agak lambat sampai sedang (1,10 3,62 cm jam-1). Khusus untuk pedon HP.14,

Kandungan C-organik dari 7 pedon yang diteliti menunjukkan sedang sampai tinggi (2,2 - 5,2%) untuk horizon A, akan tetapi pada horizon B kandungannya menurun dengan sangat tajam hingga sangat rendah (0,1 - 0,8%). Tidak ada perbedaan yang nyata antara kandungan bahan organik pada vegetasi hutan alami dan HTI yang telah dikelola selama dua musim panen (14 - 15 tahun). Dengan demikian pengelolaan lahan untuk HTI selama dua musim tanam tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kandungan bahan organik tanah.

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 6. Tekstur, reaksi tanah, C-organik, P dan K potensial Table 6. Texture, soil reaction, organic-C, potential P and K
Pedon Horizon Kedalaman cm Tekstur Pasir-K Pasir-H Debu Liat ..................... % ..................... 11 10 9 11 9 9 22 20 17 16 15 14 11 12 11 11 30 23 25 29 24 29 27 35 45 46 45 15 22 28 34 35 8 8 13 15 19 17 20 23 23 22 51 52 59 61 37 35 38 44 52 62 54 pH (H2O) C-org. % 4,6 4,5 4,7 4,6 4,6 4,6 4,5 4,4 4,4 4,4 4,3 5.7 4,4 4,3 4,4 4,4 4,5 4,5 4,5 4,4 4,7 3,7 4,2 4,3 4,5 4,4 3.8 4,1 4,1 4,3 4,3 4,0 4,2 4,2 4,4 4,6 4,7 2,2 0,4 0,2 0,2 0,2 0,2 2,4 0,6 0,4 0,2 0,2 4,7 1,3 0,7 0,3 0,3 4,6 1,8 0,7 0,2 0,2 3,4 1,4 0,9 0,7 0,7 3,3 1,6 0,8 0,6 0,3 5,2 1,1 0,6 0,2 0,2 0,1 HCl 25% K2O P2O5 .... mg kg-1 .... 69 34 29 22 25 22 30 15 11 18 14 61 47 41 39 39 170 89 60 41 38 70 43 35 47 40 200 115 110 104 119 60 20 22 14 14 11 122 64 73 76 57 58 141 67 82 66 67 269 111 76 87 19 62 25 22 21 21 81 34 24 53 48 688 476 542 614 588 265 144 279 246 251 213

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults 7 62 0-9 HP.14 A 5 62 9-28 Bto1 6 60 28-55 Bto2 7 53 55-99 Bto3 6 61 99-130 Bto4 5 57 130-150 Bto5 MD.61 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 0-9 9-33 33-65 65-116 116-150 0-10 10-34 34-63 63-104 104-150 47 43 36 35 30 67 63 55 52 50 4 2 2 3 2 4 5 5 3 4

EY.44

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults 15 9 69 0-4 HP.24 A 16 9 67 4-13 BA 18 8 61 13-43 Bto1 14 9 63 43-85 Bto2 12 9 61 85-150 Bto3 UG.194 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 0-12 12-29 29-50 50-82 82-150 68 63 61 62 67 7 9 10 7 6 8 8 7 8 6 23 23 23 18 21 26 2 19 26 28 35

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults 8 17 0-13 UY.110 A 9 16 13-33 Bt1 6 13 33-64 Bt2 4 14 64-110 Bt3 5 38 110-150 BC DD.232 A AB Bt1 Bt2 Bt3 BC 0-11 11-36 36-72 72-105 105-125 125-150 33 35 32 18 7 6 6 4 5 4 3 5

Keterangan : Pasir-K = Pasir kasar; Pasir-H = Pasir halus

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Tabel 7. Kation dapat tukar, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa, dan Al dapat tukar Table 7. Exchangeable cation, cation exchange capacity, base saturation, and exchangeable Al
Pedon Horizon NH4OAc 1N pH 7,0 KCl 1 N Kejenuhan KTK KTK KTK 3+ basa Al Ca Mg K Na Jml Kej. Al tanah liat efektif -1 -1 .. cmol- kg .. % cmol- kg % 4,33 1,87 2,01 2,32 2,07 2,30 7,37 4,58 5,24 6,22 6,16 8,68 3,18 4,95 3,85 4,12 7,57 2,99 1,83 1,52 1,40 6,41 4,16 2,76 2,47 2,55 20,30 16,75 17,88 21,38 23,87 13,66 7,90 7,59 12,63 14,37 10,27 19,13 8,16 9,08 7,98 8,71 8,33 26,81 12,94 11,63 13,43 13,79 59,49 14,64 17,53 11,33 11,76 94,52 35,41 13,70 10,50 7,57 38,02 20,65 12,28 10,65 11,77 39,71 32,12 30,93 33,96 65,13 36,16 20,79 17,19 24,13 23,19 18,87 2,61 1,54 1,85 2,05 1,97 1,70 3,53 3,88 4,75 4,76 4,29 3,08 2,16 3,42 3,85 4,02 3,09 2,11 1,34 1,42 1,40 2,69 1,94 1,41 1,29 1,36 16,05 15,19 17,20 20,07 26,44 6,08 5,28 5,23 7,43 10,04 8,02 21 10 7 5 13 4 9 5 4 4 4 15 17 6 8 5 20 10 10 15 7 7 3 4 3 6 20 5 4 3 3 12 8 4 3 3 2 1,70 1,36 1,71 1,92 1,70 1,60 2,85 1,66 4,53 4,53 4,05 1,73 1,61 3,12 3,54 3,81 1,61 1,80 1,16 1,20 1,30 2,22 1,81 1,31 1,21 1,21 11,90 14,27 16,57 19,51 25,70 4,31 4,67 4,94 7,05 9,62 7,82 65 88 93 94 86 94 81 94 95 95 94 56 75 91 92 95 52 85 86 84 93 83 93 93 94 89 74 94 96 97 97 71 88 94 95 96 97

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults 0,22 0,02 0,92 0,37 0,30 HP.14 A 0,06 0,02 0,18 0,06 0,03 Bto1 0,06 0,02 0,14 0,06 0,03 Bto2 0,07 0,02 0,13 0,07 0,03 Bto3 0,02 0,01 0,27 0,02 0,03 Bto4 0,01 0,02 0,11 0,01 0,04 Bto5 MD.61 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 0,22 0,09 0,06 0,07 0,09 0,55 0,04 0,03 0,04 0,03 0,17 0,04 0,02 0,02 0,04 0,58 0,39 0,11 0,04 0,04 0,24 0,08 0,07 0,07 0,10 0,24 0,10 0,14 0,23 0,12 0,04 0,03 0,06 0,04 0,05 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,68 0,22 0,22 0,23 0,25 1,36 0,55 0,29 0,31 0,21

EY.44

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandiudults 0,42 0,14 1,47 0,41 0,81 HP.24 A 0,04 0,03 0,31 0,10 0,14 BA 0,06 0,02 0,18 0,06 0,05 Bto1 0,04 0,04 0,12 0,03 0,04 Bto2 0,02 0,03 0,10 0,01 0,03 Bto3 UG.194 A Bto1 Bto2 Bto3 Bto4 0,21 0,02 0,02 0,02 0,03 0,13 0,04 0,02 0,02 0,04 0,09 0,06 0,04 0,03 0,04 0,03 0,02 0,02 0,02 0,03 0,47 0,13 0,10 0,08 0,15 4,15 0,92 0,63 0,56 0,74 1,76 0,61 0,29 0,37 0,43 0,30

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults 1,11 2,17 UY.110 A 0,82 0,05 0,25 Bt1 0,40 0,04 0,24 0,17 Bt2 0,24 0,04 0,18 0,14 Bt3 0,21 0,03 0,18 0,26 BC 0,21 0,05 0,21 DD.232 A AB Bt1 Bt2 Bt3 BC 0,67 0,07 0,03 0,03 0,04 0,02 0,73 0,035 0,12 0,20 0,24 0,06 0,32 0,14 0,09 0,10 0,10 0,07 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,04

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Bahan organik mempunyai peranan besar terhadap kualitas tanah baik sifat fisik, kimia, maupun biologi tanah. Ponge et al. (2002) mengemukakan bahwa kandungan bahan organik di dalam tanah dipengaruhi oleh faktor alami yaitu iklim, bahan induk tanah, besar dan arah lereng, serta faktor non-alami yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, praktek silvikultur, dan pengolahan tanah. Sedangkan pengaruh penggunaan lahan terhadap kandungan bahan organik dan kesuburan tanahnya diperlihatkan oleh Wu dan Tiessen (2002). Padang rumput alami yang digunakan untuk tanaman pangan, kandungan bahan organiknya berkurang sebanyak 22, 37, dan 55% setelah penggunaan selama 8, 16, dan 41 tahun. Dikemukakan selanjutnya bahwa kehilangan bahan organik terutama disebabkan oleh erosi dan proses mineralisasi. Demikian juga unsur hara P dalam bentuk P-organik juga berkurang karena proses tersebut. Peran bahan organik di dalam tanah tidak hanya ditentukan oleh kuantitas, tetapi juga kualitasnya (Ponge et al., 2002). Kualitas humus dicerminkan oleh tingkat kemasaman, ketersediaan hara, aktivitas biologi, dan macam gugus fungsional. Selanjutnya dikemukakan bahwa eumull adalah humus terbaik dengan tingkat kemasaman rendah, sedangkan dysmoder mempunyai tingkat kemasaman tinggi dan miskin unsur hara. Jenis humus di daerah penelitian tergolong dysmoder dengan tingkat kemasaman tinggi. Keeratan hubungan antara bahan organik tanah dengan nilai kapasitas tukar kation, kandungan P dan tekstur tanah telah banyak diperlihatkan pada penelitian-penelitian sebelumnya (Suharta, 2007; Suharta et al., 1995). Reaksi tanah dari batuan sedimen masam, tergolong masam sampai sangat masam. Tidak ada perbedaan antara pH tanah dari batupasir maupun batuliat. Reaksi tanah pada horizon A berkisar antara 3,7 hingga 5,7, sedangkan pada horizon B antara 4,1 hingga 4,7. Reaksi tanah untuk pedon UY.110, DD.232 dan UG.194 cenderung meningkat sesuai dengan kedalaman, sedangkan pedon lainnya cenderung menurun atau relatif konstan. 10

P dan K potensial (HCl 25%)

Kandungan P sangat rendah, baik tanah yang berasal dari batupasir maupun batuliat. Akan tetapi kandungan K menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara tanah dari batupasir dibandingkan dengan tanah dari batuliat. Tanah dari batupasir dicirikan oleh kandungan K sangat rendah, sedangkan tanah dari batuliat menunjukkan kandungan K tinggi. Hubungan antara hara P dan K dengan fraksi pasir, liat, dan C-organik menunjukkan: P2O5 berkorelasi positif dengan C-organik (P2O5 = 0,0171 C-org + 0,2702 dengan R2 = 0,2943), sedangkan dengan fraksi pasir dan liat tidak berkorelasi. Kandungan berkorelasi positif dengan fraksi liat K2 O (K2O=0,0528 liat +23,809 dengan R2=0,4237), dan negatif dengan fraksi pasir (K2O=-0,0748 pasir + 64,179 dengan R2 = 0,4415). Dengan Corganik, korelasinya lebih rendah (K2O=0,0014 Corg +0,9309 dengan R2 = 0,0355). Dibandingkan dengan tanah dari batuan sedimen masam dari Provinsi Kalimantan Barat, kandungan P di daerah penelitian hanya berkorelasi positif dengan C-organik (Suharta, 2007). Sedangkan kandungan K memperlihatkan karakteristik yang sama dengan tanah dari batuan sedimen masam di Provinsi Kalimantan Barat yaitu berkorelasi positif dengan Corganik dan fraksi liat, sedangkan dengan fraksi pasir berkorelasi negatif.
Basa-basa dapat ditukar dan kejenuhan basa

Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan kandungan basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, dan K) antara tanah dari batuliat dibandingkan dengan tanah dari batupasir. Akan tetapi tidak terlihat adanya perbedaan yang disebabkan oleh penggunaan lahan hutan alami maupun hutan tanaman industri. Kandungan basa-basa dapat tukar pada tanah-tanah dari batuliat, baik pada horizon A maupun B, lebih tinggi dibandingkan dengan tanahtanah dari batupasir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa tanah dengan kandungan pasir tinggi, pencucian basa-basa terjadi lebih intensif dibandingkan tanah bertekstur halus yang terbentuk dari batuliat.

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

Kapasitas tukar kation

Kejenuhan basa dan aluminium

Hasil analisis menunjukkan ada perbedaan yang nyata antara KTK-tanah dari batupasir dibandingkan dengan tanah dari batuliat, akan tetapi tidak menunjukkan perbedaan antara tanah bervegetasi hutan alami dan hutan tanaman industri. KTK-tanah dari batuliat lebih tinggi dibandingkan tanah dari batupasir baik pada horizon A maupun B. KTK-efektif pada sebagian horizon dari batupasir mempunyai nilai <1,50 (HP.24 dan UG.194), yang berarti tanah mempunyai sifat acric (tanah tua). Sifat acric ini dapat berdampak pada pemupukan, karena pupuk yang digunakan akan mudah tercuci. Tanah dari batuliat mempunyai KTKliat lebih besar daripada tanah dari batupasir yaitu berkisar antara 17,19 dan 65,13 cmol- kg-1, dan tidak mempunyai sifat acric. Kapasitas tukar kation (KTK) tanah dipengaruhi oleh jenis mineral liat dan kandungan bahan organik. Oleh karena itu tanah-tanah dengan jenis mineral liat sama, nilai KTK-tanah akan berkorelasi positif dengan kandungan bahan organik. Analisis regresi sederhana untuk tanah-tanah dari batupasir menunjukkan hubungan positif antara kandungan bahan organik dengan KTK tanah dengan nilai R2=0,4968, sedangkan untuk tanah dari batuliat memperlihatkan nilai korelasi yang rendah yaitu R2=0,0061. Hal ini dapat dijelaskan bahwa tanah-tanah dari batupasir mempunyai susunan mineral liat yang sama yaitu kaolinit dengan kuarsa dan vermikulit. Sedangkan tanah dari batuliat, satu pedon didominasi kaolinit, kuarsa dengan sedikit illit dan satunya lagi didominasi kaolinit, kuarsa dengan sedikit smektit. Adanya jenis mineral yang berbeda menunjukkan bahwa nilai KTK-tanah tidak hanya ditentukan oleh jumlah bahan organik, akan tetapi ditentukan juga oleh jenis mineral liatnya. Peran bahan organik terhadap KTK-tanah diperlihatkan oleh Bram (1971), bahwa penurunan bahan organik sebesar 50% pada Oxisols Siera Leone telah mengakibatkan penurunan nilai kapasitas tukar kation sebesar 30%.

Tanah yang terbentuk dari batupasir maupun batuliat mempunyai kejenuhyan basa yang tergolong sangat rendah yaitu <20% pada horizon A dan <10% pada horizon B. Rendahnya nilai kejenuhan basa menunjukkan bahwa selain tanah telah mengalami pencucian intensif, bahan induk tanah dari batuan sedimen masam tergolong miskin basabasa dapat tukar. Kejenuhan aluminium menunjukkan nilai sangat tinggi baik untuk tanah-tanah yang terbentuk dari batupasir maupun batuliat. Kejenuhan aluminium bervariasi antara 52 hingga 83% untuk horizon A dan antara 75 hingga 97% untuk horizon B. Kejenuhan aluminium meningkat sesuai dengan kedalaman tanah. Perbedaan antara batupasir dan batuliat, terletak pada jumlah Aldd yang lebih tinggi pada tanah dari batuliat (antara 4,31 hingga 25,70 cmol- kg-1) dibandingkan tanah dari batupasir (antara 1,20 hingga 4,53 cmol- kg-1). Kondisi ini sama dengan tanah-tanah dari batuan sedimen masam di Provinsi Kalimantan Barat (Suharta, 2007). Mineral smektit pada tanah berbahan induk batuliat tidak stabil pada lingkungan masam, dan mengalami pelapukan yang intensif serta membebaskan Aldd dalam jumlah yang cukup signifikan. Siklus biologi Salah satu karakteristik tanah hutan adalah adanya pengkayaan lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh proses siklus biologi. Quideau et al. (1999) mengemukakan, siklus biologi terjadi karena adanya pengambilan berbagai unsur oleh akar tanaman dari dalam tanah dan kemudian dikembalikan ke permukaan tanah atau dekat permukaan tanah mineral melalui daun-daun serta ranting tanaman sebagai litter. Selanjutnya dikemukakan bahwa efektivitas unsur yang diangkut ke permukaan tanah melalui siklus biologi tergantung pada jenis vegetasi dan macam unsurnya. Quideau et al. (1999) menggunakan nisbah Ca/Mg sebagai indeks untuk mengukur efektivitas siklus biologi. Dikemukakan selanjutnya,

11

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

bahwa unsur Ca lebih mobil daripada Mg, sehingga jumlah Ca yang diangkut ke permukaan tanah akan lebih banyak dibandingkan dengan Mg yang kurang mobil. Dengan demikian nisbah Ca/Mg akan semakin meningkat sesuai dengan fungsi waktu. Tabel 8. Beberapa karakteristik sifat kimia tanah pada horizon A dan B Table 8. Some soil chemical characteristics of A and B horizons
Pedon HoriCa2+ Mg2+ K+ KB P2O5 K2O zon ....... cmol- kg-1 ....... % .. mg kg-1 ..

pengkayaan di lapisan atas kurang nyata dibandingkan unsur lainnya. Hal ini dapat dijelaskan karena tanah berbahan induk batuliat mempunyai kandungan K yang cukup tinggi di dalam tanah sehingga pengaruh siklus biologi kurang signifikan. Pengkayaan lapisan atas (siklus biologi) baik pada tanah dengan vegetasi hutan alami maupun HTI tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlu diingat bahwa HTI baru diusahakan dua kali panen atau selama 14-15 tahun.

Tanah dari bahan induk batupasir, Typic Kandiudults HP.14 A 0,30 0,37 0,22 21 69 122 Bto 0,03 0,04 0,04 8 26 66 MD.61 EY.44 A Bto A Bto 0,22 0,08 0,55 0,04 0,17 0,03 0,58 0,15 0,24 0,08 0,24 0,15 9 4 15 9 30 15 61 42 141 71 269 73

Pemanfaatan lahan bervegetasi hutan Pemanfaatan hutan alami untuk tanaman pangan atau tanaman hutan industri akan berdampak terhadap kuantitas maupun kualitas bahan organiknya (Chen et al., 2004; Fraga and Salcedo, 2004; Wu and Tiessen, 2002). Sistem perladangan dengan sistem tebas bakar tanpa memperhatikan tindakan konservasi tanahnya telah memotong siklus biologi, dan mengakibatkan hilangnya tanah lapisan atas yang tipis tetapi kaya bahan organik. Fraga dan Salcedo (2004) mengemukakan ada dua proses utama yang menyebabkan kehilangan bahan organik yaitu meningkatnya proses mineralisasi dan erosi. Dalam kondisi hutan alami, kehilangan bahan organik melalui proses mineralisasi lebih dominan dibandingkan proses erosi, sedangkan dalam kondisi terbuka, kedua proses tersebut dominan. Tanah hutan di daerah studi tergolong tidak stabil atau rentan bahaya erosi. Oleh karena itu, dengan hilangnya tanaman penutup tanah, sinar matahari akan langsung berinteraksi dengani lapisan humus atau bahan organik, dan berdampak terhadap meningkatnya proses mineralisasi bahan organik. Dalam keadaan terbuka dan berlereng, kehilangan tanah melalui proses erosi juga akan meningkat karena didukung oleh curah hujan yang tinggi disertai dengan sifat fisik tanah yang tidak stabil. Driessen et al. (1976) memperlihatkan pengaruh sistem perladangan terhadap karakteristik tanah di Provinsi Kalimantan Tengah. Kehilangan tanah lapisan atas karena erosi dapat mencapai 80% atau

Tanah dari bahan induk batupasir, Acrudoxic Kandudults HP.24 A 0,81 0,41 0,42 20 170 62 Bto 0,07 0,05 0,04 11 57 22 UG.194 A Bto 0,21 0,02 0,13 0,03 0,09 0,04 7 4 70 41 81 40 688 555 265 227

Tanah dari bahan induk batuliat, Typic Hapludults UY.110 A 2,17 1,11 0,82 20 200 Bt 0,21 0,20 0,27 4 112 DD.232 A Bt 0,67 0,04 0,73 0,13 0,32 0,10 12 4 60 16

Hasil analisis dari tujuh pedon yang diteliti terhadap basa-basa dapat tukar, kejenuhan basa, dan kandungan P dan K potensial horizon A dan Bt/to, menunjukkan bahwa kandungan unsur-unsur tersebut pada horizon A lebih tinggi dibandingkan horizon B (Tabel 8). Hal tersebut menunjukkan ada penimbunan unsur hara pada horizon A atau horizon permukaan yang diakibatkan oleh siklus biologi. Basa-basa dapat tukar (Ca, Mg, dan K) di horizon A, walaupun kriterianya tergolong sangat rendah, jumlah absolut dapat mencapai 10 kali lipat dibandingkan horizon di bawahnya. Demikian juga kejenuhan basa, kandungan P dan K di lapisan atas dapat mencapai 2 hingga 3 kali lipat dibandingkan horizon di bawahnya. Khusus untuk K dari batuliat,

12

N. SUHARTA DAN B.H. PRASETYO : SUSUNAN MINERAL DAN SIFAT FISIKO-KIMIA TANAH BERVEGETASI HUTAN DARI BATUAN SEDIMEN MASAM

lebih dari semua nutrisi yang terkandung dalam tanah tersebut. Salah satu cara alami untuk meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan mengembalikan fungsi siklus biologi dengan membiarkan tanah tersebut kembali menjadi hutan. Pembukaan kembali tanah hutan untuk perladangan dilakukan setelah 13 hingga 15 tahun kemudian. Perubahan suhu mikro yang diakibatkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian tanaman pangan, telah mengakibatkan meningkatnya proses mineralisasi bahan organik. Oleh karena itu tindakan mengurangi suhu tanah dengan menggunakan penutup tanah (mulsa) berupa serasah kayu-kayuan atau hasil panen, akan dapat menurunkan suhu tanah dan berdampak pada meningkatnya proses humifikasi (pembentukan asam-asam humus). Dalam kondisi hutan alami, C-organik tanah lebih bersifat aromatik dibandingkan dengan hutan tanaman pinus (Chen et al., 2004) atau tanaman pangan (Ding et al., 2002). Bahan organik yang bersifat aromatik bersifat hidrofobik, membentuk agregat tanah lebih stabil sehingga tidak rentan terhadap erosi. Oleh karena itu pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman pangan lahan kering, perlu memperhatikan besarnya lereng yang berkaitan dengan erosi; menurunkan suhu permukaan tanah dengan memanfaatkan serasah atau tanaman penutup tanah (mulsa); dan teknik pengelolaan lahan dengan menerapkan sistem konservasi. Pemupukan masih sangat diperlukan karena tanah-tanah dari batuan sedimen masam tergolong miskin unsur hara.

mangium) yang telah dikelola selama 14-15 tahun atau dua kali musim panen. 3. Sifat tanah dari batuan sedimen masam dari pedon yang diteliti tergolong rentan terhadap bahaya erosi sehingga pemanfaatannya untuk tanaman pertanian memerlukan tindakan konservasi dan menghindari penggunaan daerah berlereng (>8%), khususnya untuk tanaman pangan berakar dangkal. 4. Kandungan unsur-unsur pada horizon A yang lebih tinggi dibandingkan horizon B menunjukkan ada penimbunan unsur hara pada horizon A atau horizon permukaan yang diakibatkan oleh siklus biologi.

DAFTAR PUSTAKA Bram, E. 1971. Continuous Cultivation of West African Soils: Organic matter diminuation and effects of applied lime and phosphorus. Plant and Soil 35:401-414. Chen, C.R., Z.H. Xu, and N.J. Mathers. 2004. Soil carbon pools in adjacent natural and plantation forest of subtropical Australia. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:282-291. Ding, G., J.M. Novak, D. Amarasiriwardena, P.G. Hunt, and B. Xing. 2002. Soil organic matter characteristics as affected by tillage management. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:421429. Driessen, P.M., P. Buurman, and Permadhy. 1976. The influence of shifting cultivation on a Podzolic soil from Central Kalimantan. In: Peat and Podzolic Soils, and Their Potential for Agriculture in Indonesia. Pp 95-115. In Proceedings ATTA 106 Midterm Seminar, Tugu, October 13-14, 1976. Soil Research Institute, Bogor. FAO. 1990. Guidelines for Soil Profile Description, FAO, Rome. Fraga, V.S. and I.H. Salcedo. 2004. Declines of organic nutrient pools in tropical semi-arid soils under subsistence farming. Soil sci. Am. J. 68:215-224. Imhoff, S., A.P. Da Silva, and D. Fallow. 2004. Susceptibility to compaction, load support

KESIMPULAN 1. Jenis bahan induk tanah sangat berperan terhadap susunan mineralogi, sifat fisik, dan kimianya. Tanah berbahan induk batuliat mempunyai sifat kimia lebih baik dibandingkan dengan tanah berbahan induk batupasir, kecuali kandungan Aldd lebih tinggi. 2. Karakteristik tanah di bawah vegetasi hutan alami tidak berbeda nyata dengan tanah di bawah vegetasi Hutan Tanaman Industri (Acacia

13

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

capacity, and soil compressibility of Hapludox. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:17-24. Loughnan, F.C. 1969. Chemical Weathering of Silicate Minerals. American Elsevier Publishing Company, Inc. New York. Ponge, J.F., R. Chevalier, and P. Loussot. 2002. Humus Index: an integrated tool fr the assesement of forest floor and topsoil properties. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:19962001. Quideau, S.A., R.C. Graham, O.A. Chadwick, and H.B. Wood. 1999. Biogeochemical cycling of calcium and magnesium by Ceanothus and Chemise. Soil Sci. Soc. Am. J. 63:18801888. Silitonga, P.H. and N. Kastowo. 1995. Geological map of the Solok Quadrangle, Sumatera, scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre, Bandung. Smith and Fergusson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta. Soil Survey Laboratory Staff. 1992. Soil Survey Laboratory Methods Manual. Soil Survey

Investigation Report No. 41. Version 1.0. USDA, Washingthon DC. Soil Survey Staff. 2003. Keys to Soil Taxonomy. Natural Resources Conservation Service. United States Department of Agriculture. Ninth Edition. Suharta, N. 2007. Sifat dan karakteristik tanah dari batuan sedimen masam di Provinsi Kalimantan Barat serta implikasinya terhadap pengelolaan lahan. Jurnal Tanah dan Iklim 25:11-26. Suharta, N., M. Sukardi, dan B.H. Prasetyo. Karakteristik tanah Oxisol sebagai pengelolaan lahan. Studi kasus pada Sanggauledo, Provinsi Kalimantan Pemberitaan Penelitian Tanah dan 13:9-20. 1995. dasar Oxisol Barat. Pupuk

Suwarna, N., T. Budhitrisna, S. Santoso, and S.A. Mangga. 1991. The geology of the Rengat Quadrangle Sumatera, scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre, Bandung. Wu, R. and H. Tiessen. 2002. Effect of landuse on soil degradation in Alpine grassland soil, China. Soil Sci. Soc. Am. J. 66:1648-1655.

14

Pergerakan Air pada Tanah dengan Karakteristik Pori Berbeda dan Pengaruhnya pada Ketersediaan Air bagi Tanaman
Water Movement in the Soil with Different Pore Characteristics and Its Effect to Crop Water Availability
ENNI D. WAHJUNIE1, O. HARIDJAJA1, SOEDODO H.2, DAN SUDARSONO3

ABSTRAK
Pengetahuan tentang pergerakan air dalam tanah sangat penting perannya dalam ketersediaan air bagi tanaman. Ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering sampai saat ini masih menjadi masalah. Hujan yang merupakan sumber air utama pada lahan kering, datangnya tidak selalu sinkron dengan kebutuhan air tanaman. Untuk mengoptimalkan ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering tersebut, diperlukan penelitian tentang hubungan antara pergerakan air dalam tanah dengan sifat-sifat hujan maupun sifat-sifat pori yang mengikat dan menghantarkan air. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pergerakan air pada tanah yang memiliki karakter pori berbeda akibat perbedaan pengelolaan tanah. Penelitian dilakukan pada tiga blok lahan dengan jenis tanah Inceptisols yang telah dikelola dengan akhir periode ditanami kangkung, padi sawah, dan kacang tanah. Penelitian dilakukan di Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor pada tahun 2006. Pengamatan dilakukan terhadap kadar air tanah, hujan, dan iklim setiap hari, yang digunakan untuk mengkaji fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan distribusi air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fluks aliran air dan laju pergerakan air transient nyata dipengaruhi oleh jumlah hujan secara kuadratik. Fluks aliran air dalam tanah di lahan bekas kacang tanah lebih besar daripada di lahan bekas kangkung dan sawah, sedangkan pergerakan air transient di lahan bekas sawah lebih besar daripada di lahan bekas kangkung dan kacang tanah. Kadar air tanah selama musim tanam di lahan bekas sawah nyata lebih besar dibandingkan dengan lahan yang lain. Jumlah air hujan yang dapat diretensi tanah di lahan bekas kacang tanah lebih tinggi dibanding di lahan yang lain. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi kebutuhan air irigasi bagi tanaman. Kata kunci : Pergerakan air, Karakteristik pori tanah, Fluks aliran air, Pergerakan air transient, Ketersediaaan air

measurements were focused on water content, rainfall, climate data, water flux, transient water movement, and water distribution. The results showed that the water fluxes and the transient water movements were significantly affected by the amount of rainfall. The water fluxes in the abandoned peanuts were significantly higher than those at the other lands, while the transient water movements at abandoned paddy field were significantly higher than those at the land with large frog and peanuts. The soil water content during the growing season at the abandoned paddy field was significantly higher compared to the other lands. The amount of rainfall which are held in the soils during the growing season at the abandoned peanuts was significantly high. The result of this research can be use to estimate crop water requirement for irrigation. Keywords : Water movement, Soil pore characteristics,Water flux, Transient water movement, Water availability

PENDAHULUAN Pergerakan air dalam tanah di lahan kering sangat penting perannya dalam pergerakan hara (nutrient transport) dan dapat digunakan untuk estimasi ketersediaan air dan udara bagi tanaman. Ketersediaan air bagi tanaman di lahan kering sampai saat ini masih menjadi masalah, terutama akhir-akhir ini berkaitan dengan dampak perubahan iklim global yang berpengaruh terhadap siklus hidrologi. Hujan yang merupakan sumber air utama pada lahan kering, datangnya tidak selalu sinkron dengan kebutuhan air bagi tanaman, sehingga produksi tanaman tidak dapat mencapai optimum. Pada saat hujan besar, sebagian besar air dapat hilang melalui aliran permukaan atau terperkolasi ke zone di bawah perakaran, sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Pada hari-hari tanpa hujan tanaman dapat kekurangan air. Penelitian dalam upaya peningkatan ketersediaan air bagi tanaman lahan
1. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, IPB, Bogor. 2. Pengajar pada Departemen Keteknikan Pertanian, IPB, Bogor. 3. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

ABSTRACT
The understanding of water movement in the soils plays an important role for crop water availability. Up to now, crop water availability in dryland still has a problem. Rainfall is the main source of crop water availability in dryland, but it is unpredictable to cover crop water requirements. To optimize the crop water availability in dryland, the study of the relationship between water movement, rainfall, and soil pores characteristics in the soils is required. This research was aimed to investigate the water movement in the soils with different soil pores due to the difference of soil management. The study was conducted at three blocks of lands with the soil type of Inceptisols, located at Bojong Village, Kemang Sub DIstrict, Bogor District in 2006. The soils investigated were abandoned large frog (Ipomoea reptans), paddy, and peanuts that reflected soil management. The data

ISSN 1410 7244

15

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

kering telah banyak dilakukan melalui perbaikan struktur tanah, pengaturan pola tanam, maupun efisiensi irigasi (Subagyono et al., 2004). Namun usaha-usaha tersebut jarang dilakukan oleh petani. Pada umumnya petani mengelola lahannya sesuai jenis tanaman yang diusahakan, dan mengikuti pola tanam yang mudah dan murah. Untuk memaksimalkan ketersediaan air bagi tanaman diperlukan data tentang jumlah, intensitas, dan distribusi hujan, besarnya peresapan air (infiltrasi), kemampuan maksimum tanah meretensi air, jumlah air yang hilang dari zone perakaran, kebutuhan air tanaman, dan dinamika kelembaban tanah. Sampai saat ini belum ada penelitian tentang kaitan antara sifat-sifat hujan dengan pergerakan air maupun dinamika kadar air dalam tanah. Dinamika kadar air dalam tanah lahan kering sangat ditentukan oleh pergerakan air, maupun laju perubahan kadar air dalam tanah. Pergerakan air maupun laju perubahan kadar air dalam tanah sangat ditentukan oleh karakteristik pori tanah yang menyusun struktur tanah, seperti distribusi pori, kontinuitas pori, dan tortuositas pori (Hillel, 1980). Akibat berbagai pengelolaan tanah yang telah dilakukan oleh petani, tanah lahan kering memiliki struktur tanah yang sangat bervariasi, sehingga berpengaruh pada karakteristik porinya. Bagarello et al. (2004) menyatakan bahwa perbedaan struktur tanah akibat berbagai pengelolaan, dapat mempengaruhi kemampuan tanah meretensi air maupun pergerakan air baik jenuh maupun tak jenuh dalam tanah. Adapun Perfect et al. (2002) menyatakan bahwa laju pergerakan air dapat mempengaruhi distribusi air dan kelarutan hara dalam tanah, sehingga hara terdistribusi secara merata pada zone perakaran. Pergerakan dan distribusi air yang ada dalam tanah juga sangat tergantung pada sifat-sifat hujan yang jatuh (Edwards et al., 1992; Toor et al., 2004). Penelitian tentang hubungan hujan dengan pergerakan air dalam tanah selama ini masih banyak dilakukan pada skala laboratorium. Pergerakan jenuh dapat terjadi pada saat hujan dengan jumlah dan 16

intensitas tinggi yang menyebabkan seluruh pori terisi air (Sugita et al., 2004). Namun hujan yang terjadi dalam waktu singkat sering hanya melewati pori-pori makro tanah, melalui proses aliran preferential (Stenhuis et al., 1996). Begitu hujan berhenti, atau hanya terjadi hujan ringan yang tidak sampai menjenuhi tanah, pergerakan tak jenuh terjadi ke segala arah mengikuti perbedaan potensial air tanah (Hillel, 1980). Pergerakan air ke atas dapat terjadi pada hari-hari tanpa hujan (Hanks and Ashcroft, 1986). Pengaruh hujan terhadap pergerakan dan distribusi air dalam tanah juga sangat tergantung pada karakteristik pori tanah dalam kaitannya dengan kadar air sebelum hujan dan laju infiltrasi tanah (Shipitalo et al., 1990). Bodhinayake et al. (2004) menyatakan bahwa pori tanah yang banyak berkaitan dengan pergerakan air secara cepat adalah pori makro dan meso. Hanya pori-pori makro yang kontinu dan saling bersambungan yang berperan dalam pergerakan air secara cepat (Dunn and Philips, 1992). Berdasarkan uraian di atas, maka untuk mengatasi kebutuhan air di lahan kering diperlukan informasi tentang keterkaitan antara curah hujan dengan pergerakan air dan dinamikanya pada tanah yang memiliki karakteristik pori berbeda akibat perbedaan pengelolaan tanah. Informasi ini berguna dalam pengelolaan tanah pada lahan kering, terutama dalam kaitannya dengan konservasi air dan ketersediaannya bagi tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji: 1). Pergerakan air pada tanah dengan karakteristik pori berbeda akibat pengelolaan, 2). Karakteristik pori yang paling mempengaruhi pergerakan air dan dinamika kadar air, serta 3). Ketersediaan air pada lahan kering dengan karakteristik pori berbeda akibat pengelolaan tanah.

BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan di lapangan, Desa Bojong, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2006, pada tanah Inceptisols (Typic Eutrudepts) yang memiliki karakter

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

pori berbeda akibat perbedaan pengelolaan tanah pada lahan kering (Tabel 1). Karakteristik tanah dari lokasi penelitian ditampilkan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 1. Pengelolaan lahan yang dilakukan selama lima tahun sebelum percobaan Table1.
Blok 1.

Land management practices for five years before research


Pengelolaan lahan selama lima tahun sebelum percobaan

Padi gogo, terung, kacang panjang, oyong, cabe, jagung, dua tahun terakhir kangkung darat, pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang 10 t ha-1. Padi sawah rotasi dengan kacang tanah dan oyong, terakhir padi sawah. Pada musim kering dilakukan pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang 10 t ha-1. Rotasi kacang tanah, singkong dan oyong, terakhir kacang tanah. Pengolahan tanah sedalam cangkul, pemupukan dengan pupuk kandang 10 t ha-1.

2.

3.

Percobaan lapangan Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok/blok, dimana pada tiap blok dari ke tiga lahan yang memiliki karakter pori tanah berbeda

dibuat 10 petak pertanaman sebagai ulangan, dengan ukuran tiap petak 5 m x 5 m. Pada seluruh petak ditanami jagung manis dengan pemupukan urea, SP 36, dan KCl masing-masing dengan dosis 300 kg, 200 kg, dan 150 kg per hektar. Selama satu musim tanam dilakukan pengamatan terhadap kadar air, hujan dan iklim setiap hari. Pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan soil moisture meter setiap hari pada tiap jarak kedalaman tanah 10 cm dari permukaan tanah pada tiap petak lahan. Pengukuran kadar air secara gravimetri (berikut untuk kalibrasi) dilakukan dengan cara mengambil contoh tanah secara komposit dari tiap jarak kedalaman tanah 10 cm dari permukaan tanah pada tiap petak lahan setiap satu minggu sekali. Pengambilan contoh tanah tersebut dengan menggunakan bor berdiameter 2 cm. Penakar hujan otomatis dipasang pada lahan percobaan untuk mengamati hujan periodik, harian, dan intensitas hujan periodik, maupun harian. Data iklim dikumpulkan dari stasiun klimatologi Pangkalan TNIAU Atang Senjaya Bogor. Selanjutnya data yang diperoleh digunakan untuk penetapan fluks aliran air, laju pergerakan air transient, dan distribusi air tiap kedalaman tanah.

Tabel 2. Sifat-sifat fisik tanah pada lahan blok 1, 2, dan 3 Table 2. Soil physics characteristics at block 1, 2, and 3
No. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. 1. 2. 3. 4. 5. Blok (kedalaman) cm 1 (0-10) 1 (10-20) 1 (20-30) 1 (30-40) 1 (40-50) Rataan 2 (0-10) 2 (10-20) 2 (20-30) 2 (30-40) 2 (40-50) Rataan 3 (0-10) 3 (10-20) 3 (20-30) 3 (30-40) 3 (40-50) Rataan BI g cm-3 1,02 1,00 1,14 1,16 1,15 1,09 1,05 1,02 0,99 0,98 0,97 1,00 0,96 0,96 0,96 0,95 0,95 0,96 RPT % 61,29 61,94 58,35 57,75 58,05 59,48 61,64 62,52 64,86 65,29 65,43 63,95 64,76 64,50 66,75 67,29 67,02 66,06 ISA 42,92 43,41 37,42 37,55 37,48 39,76 83,10 85,68 33,41 32,42 32,88 53,50 46,85 47,78 39,45 40,78 40,12 43,00 DMR 1,93 1,95 1,86 1,90 1,88 1,90 3,26 3,27 1,76 1,71 1,73 2,35 2,34 2,33 2,12 2,18 2,15 2,22 RPDSC RPDC RPDL RPD ............................................ % 4,79 14,21 3,76 22,75 4,91 15,15 3,20 23,27 4,50 4,46 4,43 13,40 3,16 2,98 3,38 9,52 3,41 3,57 4,13 11,11 4,15 8,07 3,78 16,01 7,19 6,40 2,13 15,72 9,15 7,69 1,81 18,64 7,90 9,45 2,22 19,57 5,41 10,35 3,27 19,02 6,65 9,91 2,74 19,30 7,26 8,76 2,43 18,45 11,38 10,06 2,35 23,80 10,53 10,80 2,80 24,12 13,53 7,10 1,58 22,21 14,47 6,48 1,43 22,38 14,01 6,83 1,38 22,22 12,78 8,25 1,91 22,94 RP RP air RP air mikro mobil imobil vol ............................................ 13,13 25,42 27,19 34,11 12,70 25,97 26,63 35,31 14,48 30,46 20,23 38,12 16,71 31,52 14,88 42,87 15,95 31,00 17,58 40,47 14,59 43,47 21,30 38,18 17,39 28,54 23,11 38,53 16,81 27,07 23,98 38,54 18,12 27,88 22,58 42,99 17,37 28,90 21,45 43,84 17,74 28,39 22,01 43,42 17,48 45,50 22,63 41,46 15,08 25,88 29,23 35,53 13,34 27,03 29,36 35,13 19,49 25,04 24,99 41,76 19,64 25,28 26,67 40,62 19,62 25,18 25,84 41,18 17,44 43,12 27,22 38,84 RPAT

Keterangan : BI = bobot isi; RPT = ruang pori total; ISA = indeks stabilitas agregat; RPDSC = ruang pori drainase sangat cepat; RPDC = ruang pori drainase cepat; RPDL = ruang pori drainase lambat; RPAT = ruang pori air tersedia; RP = ruang pori

17

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Analisis data Perhitungan fluks aliran air dilakukan untuk seluruh zone perakaran (kedalaman 50 cm) maupun tiap zone 10 cm kedalaman tanah, dengan pendekatan neraca air (Wagenet, 1986). Pada lahan kering yang relatif datar, neraca air dapat dihitung sebagai berikut: D = P ET - S ........................................... (1) dimana : D P = drainase air pada kedalaman yang diperhitungkan (mm) = Hujan (mm)

yang diperhitungkan. Menurut Hanks dan Ashcroft (1986), pergerakan air transient merupakan perubahan kadar air setiap saat dan dapat menunjukkan perubahan storage selama selang waktu yang diperhitungkan. d dt-1 = dfluks dx-1 (cm/cm.waktu) .................(2) dimana : d dt-1 dfluks dx
-1

= Laju pergerakan air transient = Perubahan fluks per satuan jarak

ET = Evapotranspirasi (mm) S = Perubahan cadangan air (mm) Besarnya drainase (D) dari tiap kedalaman tanah yang diperhitungkan tiap hari merupakan fluks aliran air per hari (Wagenet, 1986). Evapotranspirasi dihitung dengan model Penmann, dan perubahan cadangan air merupakan selisih cadangan air dari suatu hari dikurangi dengan cadangan air hari sebelumnya. Pergerakan air transient diperhitungkan dari perbedaan fluks antara dua titik kedalaman tanah

Kebutuhan air irigasi ditetapkan berdasarkan defisit kadar air terhadap kadar air minimum tersedia bagi tanaman, yaitu selisih antara kadar air lapangan terhadap kadar air minimum tersedia bagi tanaman dikalikan dengan kedalaman zone perakaran yang diperhitungkan. (Shaxson and Barber, 2003). Kadar air minimum tersedia bagi tanaman merupakan kadar air pada kondisi 50% air tersedia. Jumlah air hujan yang dapat diretensi tanah pada zona perakaran dapat diperhitungkan dari jumlah hujan dikurangi dengan air yang terdrainase (fluks aliran positif) pada tiap zone kedalaman tanah yang diperhitungkan. Apabila fluks negatif (aliran ke atas) atau nol, maka seluruh jumlah hujan dapat diretensi oleh tanah.

Tabel 3. Konduktivitas hidrolik jenuh, tak jenuh, kapasitas retensi air maksimum, dan titik layu permanen pada lahan blok 1, 2, dan 3 Table 3. Saturated, unsaturated hydraulic conductivity, maximum water retention capacity, permanent wilting point at block 1, 2, and 3
Blok (kedalaman) 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 cm (0-10) (10-20) (20-30) (30-40) (40-50) (0-10) (10-20) (20-30) (30-40) (40-50) (0-10) (10-20) (20-30) (30-40) (40-50) Konduktivitas Konduktivitas hidrolik tak jenuh hidrolik jenuh ..... cm jam-1 .... 11,03 Ln () + 7,46 0,92 12,32 Ln() + 8,10 0,92 11,56 Ln() + 8,32 0,92 12,87 Ln() + 8,86 0,92 11,57 Ln() + 8,40 0,92 11,39 Ln () + 7,89 2,38 11,65 Ln () +7,84 2,38 10,93 Ln() + 7,33 2,38 12,31 Ln() + 7,79 2,38 12,31 Ln() + 7,79 2,38 11,96 Ln () + 7,65 1,87 12,14 Ln() + 7,72 1,87 10,99 Ln () + 7,23 1,87 10,99 Ln() + 7,23 1,87 12,09 Ln () + 7,47 1,87 Kapasitas retensi Titik layu air maksimum permanen .............. % vol .............. 38,54 25,42 38,67 25,97 45,46 30,46 48,23 31,52 47,18 31,00 45,92 28,54 43,88 27,07 46,00 27,88 46,27 28,90 46,13 28,39 40,96 25,88 40,38 27,03 44,54 25,04 44,91 25,28 44,80 25,18

18

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

Analisis statistik 1. Untuk melihat pengaruh curah hujan terhadap pergerakan air (fluks) dan laju pergerakan air transient dilakukan analisis regresi dan korelasi. 2. Untuk melihat sifat-sifat pori yang paling berpengaruh terhadap pergerakan air dan laju pergerakan air transient dilakukan analisis regresi berganda. 3. Untuk melihat perbedaan pergerakan air, laju pergerakan air transient, dan kadar air antar tiap blok lahan dilakukan uji beda nilai tengah (uji t).

HASIL DAN PEMBAHASAN Pergerakan air dalam tanah Pergerakan air pada zone perakaran sedalam 50 cm, yang ditentukan dalam fluks aliran air, lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 1. Fluks aliran air yang melalui zona perakaran pada ketiga blok lahan meningkat secara kuadratik dengan makin besarnya jumlah hujan dengan koefisien korelasi
16 16

0,89 pada lahan blok 1; 0,63 pada lahan blok 2; dan 0,88 pada lahan blok 3. Pada jumlah hujan rendah, sebagian besar air membasahi lapisan tanah dan terikat kuat dalam pori mikro tanah. Pada kondisi ini, apabila tanah belum jenuh, terjadi aliran tak jenuh dalam tanah. Hujan-hujan rendah yang terjadi secara berulang dapat menyebabkan aliran air melalui matrik tanah, sehingga membasahi tanah secara berangsur. Pada kejadian hujan besar, kadar air tanah makin tinggi sampai mencapai kapasitas retensi maksimum. Kelebihan air di atas kapasitas retensi maksimum tanah merupakan air yang menyumbangkan pada fluks aliran air pada saat hujan. Semakin besar jumlah hujan, kelebihan air yang keluar dari zona kedalaman tanah tertentu makin besar, sehingga fluks aliran air makin besar. Menurut Sugita et al. (2004), hujan besar dapat menyebabkan pergerakan air hanya melalui pori-pori makro tanpa menembus matrik tanah. Walaupun pola fluks aliran air pada berbagai jumlah hujan antara blok 1, 2, dan 3 sama, tetapi kemiringan kurva maupun jumlah hujan untuk mulai terjadinya fluks aliran air positif (aliran ke bawah)

1 Fluks (blok 1) =0,04 CH ++ x 10-4 CH2 ; r2= 0,89 0,89 Fluks (blok 1) = 0,04 CH 7 7 X 10-4 CH ; r = 2 Fluks (blok 2) =--0,20- 0,04 CH 0,0011 CH2 CH2 ;0,63 0,63 2 Fluks (blok 2) = 0,20 0,04 CH + + 0,0011 ; r = r = 3 Fluks (blok 3) = 0,24 0,0013 CH ; r r = 3 Fluks (blok 3) =0,24 + + 0,0013 CH2=; 0,88 0,88
2

12 12 Fluks (cm hari ) Fluks (cm hari )

-1 -1

-4 -4 0 20 20 40 60 60 80 80 100 100

Curah hujan (mm) (mm)


Gambar 1. Fluks aliran air pada berbagai jumlah hujan di lahan blok 1, 2, dan 3 Figure 1. Fluxs water movement on various amount of rainfall at block 1, 2, and 3 19

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

berbeda-beda. Pada hari-hari tanpa hujan, secara rataan di lahan blok 1 dan 2 terjadi aliran air ke atas (fluks negatif), sedangkan pada lahan blok 3 terjadi aliran ke bawah (Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa retensi air yang tinggi pada hujan-hujan sebelumnya di lahan blok 3 dapat menyebabkan terjadinya aliran air gravitasi/drainase pada hari-hari tidak hujan. Besarnya fluks aliran air pada hujan yang sama berbeda-beda antara ke tiga blok lahan (Tabel 4). Fluks aliran air pada lahan blok 3 (lahan bekas kacang tanah) nyata lebih besar dibanding fluks aliran air di lahan blok 1 dan 2, terutama pada hujan-hujan rendah (curah hujan < 10 mm). Namun pada jumlah hujan yang lebih tinggi (curah hujan > 10 mm), fluks aliran air antara blok 1 dan 3 lahan tidak berbeda nyata, tetapi fluks aliran air kedua blok ini nyata lebih tinggi dibanding lahan blok 2. Perbedaan fluks aliran air antara tiap blok lahan disebabkan oleh perbedaan pengelolaan tanah dan tanaman pada tiap blok lahan yang telah menyebabkan perbedaan karakteristik pori yang berbeda-beda (Tabel 1 dan 2). Karakteristik pori berpengaruh terhadap konduktivitas hidrolik jenuh maupun tak jenuh, sehingga berpengaruh terhadap fluks aliran air. Berdasarkan analisis regresi berganda, konduktivitas hidrolik jenuh tanah blok 1,

2, dan 3 nyata dipengaruhi oleh ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori air imobil, ruang pori air mobil, stabilitas pori, ruang pori drainase cepat, dan ruang pori air tersedia dalam tanah dengan koefisien korelasi sebesar 0,88 (Ks = -14,36 - 0,09 RPDSC + 0,27 RP air imobil + 0,25 RP air mobil + 0.02 St. Pori - 0,06 RPDC - 0,01 RPAT; R = 0,88). Karakteristik pori secara langsung juga sangat berpengaruh terhadap fluks aliran air. Berdasarkan analisis regresi berganda pengaruh karakteristik pori terhadap fluks aliran air menunjukkan bahwa fluks aliran air sangat dipengaruhi oleh ruang pori drainase cepat, stabilitas pori, ruang pori air mobil, dan ruang pori mikro dengan koefisien korelasi sebesar 0,86 (Fluks = -2,93 - 0,06 RPDC - 0,01 St. Pori + 0,07 RP air mobil + 0,08 RP mikro; R = 0,86). Di antara ruang pori tersebut, ruang pori air mobil dan ruang pori mikro di lahan blok 3 nyata lebih tinggi dibanding di lahan blok 1 dan 2 (Tabel 2), sehingga meningkatkan fluks aliran air pada lahan blok 3. Fluks aliran air pada zone perakaran dapat menunjukkan laju distribusi air hujan pada zona perakaran tersebut. Semakin besar fluks aliran air, memungkinkan pergerakan dan distribusi air sepanjang zone perakaran makin lancar. Pada hujanhujan rendah (curah hujan < 10 mm) memungkinkan distribusi air di lahan blok 3 (lahan bekas kacang tanah) lebih baik dibanding lahan blok 1 dan 2.

Tabel 4. Fluks aliran air dan laju pergerakan air transient pada lahan blok 1, 2, dan 3 Table 4. Water flux and rate of transient water movement at block 1, 2, and 3
Curah hujan mm 0 0-10 10-20 20-30 30-50 > 50 Fluks rataan d dt-1 rataan 1 2 3 1 2 3 -1 ................................................... cm hari ................................................... (-) 0,14 b 0,07 b 0,66 a 1,84 a 2,23 a 7,33 a (-) 0,24 b (-) 0,25 c (-) 0,80 b (-) 0,48 c 0,26 b 2,33 b 0,19 a 0,30 a 1,13 a 1,17 b 2,17 a 7,47 a (-) 1,06 y 0,02 y 2,26 x 3,87 x 5,09 y 1,28 y (-)0,09 x 1,85 x 3,73 x 5,50 x 8,19 x 8,37 x (-) 2,31 z (-) 0,97 z 0,22 y 1,75 y 1,41 z (-) 0,09 y

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda berdasarkan uji statistik( 1%).

20

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

Pergerakan air transient dalam tanah Pergerakan air transient merupakan pergerakan air dalam tanah yang kecepatannya selalu berubah setiap saat. Karena terjadi perubahan kecepatan setiap waktu, maka laju pergerakan air secara transient tersebut merupakan perubahan kadar air per satuan waktu (Hanks and Ashcroft, 1986). Pada jarak kedalaman perakaran tertentu, perubahan kadar air per satuan waktu dapat mencerminkan perubahan storage setiap saat. Laju pergerakan air transient tergantung pada perubahan fluks aliran air dan mencerminkan dinamika kadar air dalam tanah. Laju pergerakan air transient pada lahan blok 1, 2, dan 3 nyata dipengaruhi oleh besarnya hujan (Gambar 2). Laju pergerakan air transient pada lahan blok 1, 2, dan 3 meningkat secara kuadratik dengan makin besarnya curah hujan sampai nilai maksimum dan setelah mencapai nilai maksimum menurun kembali, dengan koefisien korelasi masing-masing

0,83; 0,80; dan 0,62. Pada hujan rendah tambahan air hujan meningkatkan potensial air di permukaan tanah, sehingga terjadi perbedaan potensial air yang besar antara permukaan tanah dengan lapisan di bawahnya yang relatif lebih kering. Semakin besar jumlah hujan, perbedaan potensial air tanah antara lapisan tanah atas dengan di bawahnya makin besar yang menyebabkan perbedaan fluks antara kedua lapisan tanah tersebut makin besar, sehingga laju pergerakan air secara transient juga makin besar. Dengan hujan yang lebih besar lagi, kadar air lapisan tanah sampai kedalaman tertentu makin besar, sehingga perbedaan potensial air lapisan permukaan dengan di bawahnya makin kecil dan menyebabkan laju pergerakan air transient makin rendah (menurun). Apabila tanah telah mencapai kapasitas retensi maksimum, laju penambahan kadar air per satuan waktu mencapai maksimum, dan apabila tanah telah mencapai keadaan jenuh laju penambahan air tidak ada lagi (nol). Laju pergerakan

20 1 d/dt-1 (blok1) = -1,12 ++ 0,30 CH 0,004 CH2; 2 ;=r 0,83 d dt (blok 1) = -1,12 0,30 CH - 0,004 CH r = 0,83 15
d dt-1 (cm hari-1) d/dt (cm/hari)

2 d dt-1(blok 2) = 0,26 CH 0,0019 CH2 ;2r ==0,80 d/dt (blok 2) = 0,26 CH - 0,0019 CH ; r 0,80 3 d dt-1 (blok = -2,23 + + 0,21 CH 0,002 CH2 ;2; r =0,62 d/dt (blok 3) 3) = - 2,23 0,21 CH - 0,002 CH r = 0,62

10

-5 0 20 40 60 80 100

Curah hujan (mm) (mm)


Gambar 2. Pergerakan air transient pada berbagai jumlah hujan di lahan blok 1, 2, dan 3 Figure 2. Transient water movement on various amount of rainfall at block 1, 2, and 3 21

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

air

transient

pada

lahan

blok

menunjukkan

ruang pori air imobil, dan ruang pori air mobil dengan koefisien korelasi 0,93 (d dt-1 = -1,85 - 0,04 RPDSC + 0,04 RP air imobil + 0,02 RP air mobil; R = 0,93). Laju pergerakan air transient menunjukkan laju perubahan storage. kadar Semakin air tanah, yang pada zona air kedalaman tertentu dapat menunjukkan perubahan lambat laju pergerakan transient, tanah makin lambat perubahan kadar airnya, sehingga apabila tanah telah mencapai retensi maksimum akan lebih mengkonservasi air. Hal ini terlihat pada lahan blok 3 (lahan bekas kacang tanah). Distribusi air dalam tanah Jumlah, fluktuasi, dan distribusi air yang ada dalam tanah menentukan ketersediannya bagi tanaman selama masa pertumbuhan. Jumlah air yang masuk dan tertinggal dalam tanah ditentukan oleh kemampuan retensi tanah dan pergerakan air dalam tanah. Pada potensial air tanah rendah ( 1 bar), kadar air tanah sangat ditentukan oleh kapilaritas dan distribusi ukuran pori tanah. Pada potensial yang lebih tinggi, kadar air tanah lebih ditentukan oleh tekstur tanah (Hillel, 1980). Kadar air tanah selama periode pertumbuhan tanaman selalu berfluktuasi dengan pola yang sama pada seluruh kedalaman tiap blok lahan (Gambar 3). Pola perubahan kadar air tiap kedalaman menurut waktu mengikuti pola curah hujan dan fluks aliran air. Apabila terjadi hujan maka diikuti oleh kenaikan kadar air pada hari berikutnya, di mana peningkatan kadar air tanah lebih dulu terjadi pada lapisan atas diikuti oleh lapisan di bawahnya. Namun pada hari-hari tanpa hujan, aliran air terjadi sebaliknya yaitu dari bawah ke atas (fluks negatif) melalui pori-pori mikro secara tak jenuh akibat proses evapotranspirasi. Kenaikan kadar air tersebut lebih nyata pada lapisan bawah dibandingkan lapisan atas (Gambar 3).

maksimum pada curah hujan paling rendah, diikuti oleh lahan blok 3 dan lahan blok 2 (Gambar 2). Laju pergerakan air transient maksimum pada lahan blok 1 tercapai pada curah hujan 37,5 mm, pada lahan blok 2 pada curah hujan 68,4 mm, dan pada lahan blok 3 pada curah hujan 52,5 mm. Keadaan ini membuktikan bahwa kemampuan retensi maksimum tanah di blok 1 (terutama pada kedalaman 0-20) cm paling rendah, sehingga laju pergerakan air transient cepat mencapai maksimum. Pada hujan yang sama mengakibatkan laju pergerakan air transient yang berbeda-beda (Tabel 4). Laju perubahan kadar air pada lahan blok 2 nyata lebih tinggi dibanding lahan blok 1 dan 3. Keadaan ini dapat terjadi karena tidak adanya struktur tanah yang baik pada tanah bekas sawah akibat proses pelumpuran, sehingga meningkatkan jumlah pori mikro yang dapat meretensi air. Menurut Sharma dan De Datta (1985) dan Prihar et al. (1985), poripori makro tanah-tanah yang disawahkan menurun sedangkan pori-pori mikro meningkat sehingga kemampuan tanah mengikat air meningkat, terutama pada potensial rendah (kemampuan tanah mengikat air antara potensial 1 sampai 15 bar meningkat). Perbedaan laju pergerakan air transient antara lahan blok 1, 2, dan 3 disebabkan oleh perbedaan karakteristik pori tanah dalam mengikat air maupun dalam pergerakan air. Berdasarkan analisis regresi berganda antara karakteristik pori terhadap kemampuan retensi tanah maksimum (kadar air pada keadaan kapasitas lapang) menunjukkan bahwa kapasitas retensi maksimum tanah blok 1, 2, dan 3 sangat dipengaruhi oleh ruang pori mikro, ruang pori air tersedia, ruang pori air imobil, dan stabilitas pori dengan koefisien korelasi 0,99 (
KL

= - 0,38 +

1,04 RP mikro - 0,03 RPAT - 0,01 RP air imobil 19x10-4 St. Pori; R = 0,99). Karakteristik pori tanah juga nyata mempengaruhi pergerakan laju air pergerakan transient air transient. Laju nyata

dipengaruhi oleh ruang pori drainase sangat cepat, 22

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

Curah hujan, Fluks, dan Kadar air blokblok 1 Curah hujan, fluks, dan kadar air 1 300 30
CH

Curah hujan, Fluks, dan Kadar air blokblok 2 Curah hujan, fluks, dan kadar air 2 300 30
CH C u rah h u jan (m m Curah hujan (mm) )

Curah hujan, fluks, danKadar air blok 3 3 Curah hujan, Fluks, dan kadar air blok 400 30
CH C ura h h u ja (m m Curah hujann(mm) )

C u ra h h u ja (m m Curah hujann(mm) )

225 150 75 0

Fluks

15
Fluks (m m F lu k s (mm) i)

225 150 75 0

Fluks

15
Fluks s(mm) ) Flu k (m m

300 200 100 0

Fluks

15 0 -15 -30
Flukss (mm) ) F luk (m m

0 -15 -30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu)

0 -15 -30 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu)

55 K a d a r air (% vol.) Kadar a ir (% v o l)

(0-10)
Kad ar air (% v o l) Kadar air (% vol.)

55
(0-10) (10-20)

55

(0-10) (10-20)

K a d a r air (% vol.) Kadar a ir (% v o l)

(10-20)

45

(20-30) (30-40)

45

(20-30) (30-40)

45

(20-30) (30-40)

35

(40-50) KL TLP

35

(40-50) KL

35

(40-50) KL

25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu)

25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (minggu)

TLP

25 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Waktu (minggu)

TLP

Gambar 3. Distribusi curah hujan, fluks, dan kadar air tanah pada lahan blok 1, 2, dan 3 Figure 3. Rainfall distribution, flux, and soil water content at block 1, 2, and 3 besarnya di bawah evapotranspirasi potensial. Apabila kondisi ini sering terjadi, maka produksi tanaman dapat menurun. Kadar air rataan tiap kedalaman dari tiga blok lahan menunjukkan perbedaan yang nyata (Gambar 3). Pada seluruh lahan, kadar air tanah lapisan bawah, (40-60) cm, nyata paling besar dibanding lapisan di atasnya, (20-40) cm, dan lapisan atas, (020) cm nyata paling kecil. Lapisan permukaan merupakan lapisan yang paling tinggi dalam fluktuasi kadar airnya akibat pengaruh hujan dan evaporasi (Hanks and Ashcroft, 1986). Kadar air pada lahan blok 2 (lahan bekas sawah) selalu lebih besar diikuti oleh kadar air tanah pada blok 3 dan blok 1 (Gambar 3). Perbedaan kadar air tiap kedalaman antar blok ini disebabkan oleh perbedaan sifat-sifat struktur tanah yang mempengaruhi distribusi pori sehingga berpengaruh pada sifat retensi dan pergerakan air dalam tanah. Seperti telah disebutkan di atas bahwa kemampuan retensi 23

Kadar air tanah pada ke tiga blok lahan selalu berada pada selang air tersedia (Gambar 4). Namun mengingat kedalaman efektif perakaran jagung manis hanya sekitar 20 cm, walaupun kadar air tanah masih berada pada selang air tersedia bagi tanaman, pada hari-hari tanpa hujan menunjukkan perlu adanya irigasi agar tercapai produksi yang optimum. Keadaan ini diperlukan pada lahan blok 1 dan sedikit pada lahan blok 2 dan 3 pada kedalaman (0-20) cm. Menurut Allen et al. (1998), Shaxson dan Barber (2003); air tersedia yang cukup untuk pertumbuhan dan produksi tanaman jagung adalah 30% air tersedia (maximum soil water deficit), jumlah air tersimpan dalam tanah yang dapat segera tersedia bagi tanaman tanpa tanaman mengalami stres), bahkan untuk tanaman jagung manis di atas 50% (Allen et al., 1998). Pada kondisi di bawah maximum soil water deficit, tanaman sudah mulai kesulitan dalam menyerap air. Pada keadaan demikian sebagian stomata tanaman menutup, sehingga terjadi evapotranspirasi aktual yang

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

50 Kadar air (% vol)

50

Kadar (% vol)
KL KA min. tersedia TLP KA (20 cm)

40

40

30

30
KA min. tersedia KL TLP KA (0-20)

20 0 Blok 1 10 20 30 40 Waktu (hari) 50 60 70

20 0 Blok 2

10

20

30

40

50

60

70

Waktu (hari)

60 Kadar air (% vol) 50 40 30


KA min. tersedia KL TLP Rataan 20 cm

20 0 Blok 3 20 40 Waktu (hari) 60

Gambar 4. Kebutuhan air irigasi pada lahan blok 1, 2, dan 3 Figure 4. Irrigation water requirement at blok 1, 2, and 3

Tabel 5. Jumlah air hujan teretensi dan kebutuhan air irigasi pada lahan blok 1, 2, dan 3 Table 5. Amount of rainfall retained and irrigation water requirement at block 1, 2, and 3
Waktu minggu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rataan Blok 1
hujan teretensi

mm 21 7 59 67 7 10 55 23 4 16 26,85

% hujan 39 90 68 66 99 99 65 100 100 55 78,13

Blok 2 Blok 3 Defisit air hujan teretensi Defisit air hujan teretensi Defisit air mm mm % hujan mm mm % hujan mm 0,00 43 81 0,00 36 100 0,00 4,25 18 100 0,00 47 72 0,00 3,89 56 74 0,00 87 73 0,00 0,00 71 67 0,00 9 100 0,00 13,75 1 100 0,00 8 97 0,00 20,65 46 65 0,00 44 70 0,00 0,00 28 61 0,00 29 64 0,00 4,33 2 94 0,00 2 100 0,00 58,48 4 90 6,39 4 100 1,06 10,98 33 86 35,99 34 89 2,33 116,34 30,11 81,82 42,38 30,11 86,52 3,39

maksimum (kapasitas lapang) lahan penelitian nyata dipengaruhi oleh ruang pori mikro, ruang pori air tersedia, ruang pori air imobil, dan stabilitas pori dengan koefisien korelasi 99% ( (KL) = -0,38 + 1,04 RP mikro - 0,03 RPAT - 0,01 RP air imobil 19x10-4 St. Pori; R = 0,99). Berdasarkan jumlah hujan yang dapat teretensi (Tabel 5) dan laju perubahan kadar air (Tabel 4 dan Gambar 2) yang mencerminkan perubahan storage,

lahan blok 3 (lahan bekas kacang tanah) memiliki kemampuan meretensi air hujan yang lebih besar dan laju perubahan kadar air yang lebih rendah dibanding lahan bekas kangkung (blok 1) maupun lahan bekas sawah (blok 2). Hal ini menunjukkan bahwa tanah di blok 3 lebih dapat mengkonservasi air. Secara umum dapat dijelaskan bahwa lahan bekas kacang tanah yang memiliki zone perakaran

24

ENNI D. WAHJUNIE ET AL. : PERGERAKAN AIR

PADA

TANAH DENGAN KARAKTERISTIK PORI BERBEDA

paling dalam, dapat menyediakan air bagi tanaman lebih kontinu dibanding lahan yang lain. Air tersedia yang besar di lapisan > 20 cm yang dapat menyumbangkan air ke lapisan di atasnya pada hari-hari tanpa hujan. Variabilitas kadar air rataan selama musim tanam pada lahan blok 3 tidak terlalu besar (Gambar 3 dan 4). Apabila ditinjau dari sifat-sifat fisik yang berkaitan dengan ketersediaan air, lahan bekas kacang tanah merupakan lahan yang telah dikelola secara baik. Pada lahan bekas kangkung darat yang memiliki zona perakaran paling dangkal memiliki fluktuasi kadar air yang besar. Tanah yang memiliki zona perakaran lebih dangkal, dengan lapisan bawah zona perakaran yang lebih padat kurang dapat menstabilkan kadar air tanah,karena kemampuan dalam meretensi air hujan lebih rendah (Tabel 5) dan kemampuan retensi maksimum tanah paling rendah (Tabel 3), terutama pada kedalaman (0-20) cm. Di samping itu, lahan bekas kangkung memiliki ruang pori air tersedia yang lebih rendah dibanding lahan yang lain (Tabel 2). Pada lahan demikian perlu dirotasikan dengan tanaman berakar lebih dalam untuk memperbaiki struktur tanah agar tercipta distribusi pori yang baik di bawah kedalaman 20 cm, agar pergerakan dan ketersediaan air dan udara dalam tanah lebih lancar. Pada lahan bekas sawah, walaupun kemampuan retensi airnya tinggi, namun karena pergerakan airnya kurang lancar, perlu penambahan bahan organik pada waktu digunakan untuk tanaman lahan kering. Karena pada musim hujan dirotasikan dengan padi sawah, sebaiknya tidak disarankan untuk ditanami tanaman berakar lebih dalam dari kedalaman lapisan bajak agar tidak merusak lapisan bajak. Mengingat kedalaman perakaran jagung manis hanya sampai 20 cm dari permukaan tanah, maka untuk mencapai produksi optimum lahan blok 1, dan 2 dan 3 perlu tambahan air irigasi karena terjadi defisit air sampai di bawah kadar air minimum tersedia bagi tanaman. (Gambar 4 dan Tabel 5). Dari Gambar 4 tersebut terlihat bahwa lahan blok 1, 2, dan 3 menunjukkan defisit air yang berbeda. Defisit air tertinggi terjadi pada lahan blok 1, diikuti oleh

lahan blok 2, dan terakhir pada lahan blok 3. Lahan blok 3 menunjukkan paling bisa menjaga kelembaban tanah sepanjang musim pertumbuhan, sehingga hanya sedikit memerlukan air irigasi.

KESIMPULAN 1. Pergerakan air (fluks aliran air maupun laju pergerakan air transient) pada tanah lahan kering selain dipengaruhi oleh karakteristik pori, juga dipengaruhi oleh jumlah hujan. Semakin besar jumlah hujan, fluks aliran air makin besar ; sedangkan laju pergerakan air transient meningkat sampai maksimum, kemudian menurun kembali dengan makin besarnya hujan. 2. Pergerakan air pada tanah dengan berbagai macam pengelolaan tanah dan tanaman sangat dipengaruhi oleh karakteristik pori tanahnya. Karakteristik pori yang berpengaruh terhadap fluks aliran air adalah ruang pori drainase cepat, ruang pori air mobil, dan stabilitas pori, dan ruang pori mikro; sedangkan karakteristik pori yang berpengaruh terhadap laju pergerakan air transient adalah ruang pori drainase sangat cepat, ruang pori air mobil, dan ruang pori air imobil. 3. Lahan bekas kacang tanah yang memiliki fluks aliran air paling besar, laju pergerakan air transient (dinamika perubahan kadar air) paling kecil dan solum tanah/zona perakaran paling dalam; lebih kontinu menyediakan air bagi tanaman dan membutuhkan air irigasi paling sedikit. 4. Lahan bekas kacang tanah dapat meretensi air hujan paling besar karena banyak memiliki poripori mikro, sedangkan lahan bekas kangkung paling sedikit.

DAFTAR PUSTAKA Allen, R.G., L.S. Pereira, D. Raes, and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration-Guidelines for computing crop water requirement-FAO Irrigation and drainage paper 56. FAO. Rome. 25

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Bagarello, V., M. lovino, and D. Elrick. 2004. A Simplified falling-head technique for rapid determination of field - saturated hydraulic conductivity. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:6673. Bodhinayake, W., B. Cheng Si, and C. Xiao. 2004. New method for determining waterconducting macro- and mesoporosity from tension infiltrometer. Soil Sci. Soc. Am. J. 68:760-769. Dunn, G.H. and R.E. Phillips. 1992. Equivalent diameter of simulated macropore systems during saturated flow. Soil Sci. Soc. Am. J. 56:52-58. Edwards, W.M., M.J. Shipitalo, W.A. Dick, and L.B. Owens. 1992. Rainfall intensity affects transport of water and chemicals through macropores in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 56:52-58. Hanks, R.J. and G.L. Ashcroft. 1986. Applied Soil Physics. Springer-Verlag. Heidelberg. Hillel, D. 1980. Fundamentals of Soil Physics. Academic Press. New York. Perfect, E.M.C., Sukop, and G.R. Haszler, 2002. Prediction of dispersivity for undisturbed soil columns from water retention parameters. Soil Sci. Soc. Am. J. Pp. 696-701. Prihar, S.S., B.P. Ghildyal, D.K. Painuli, and H.S. Sur. 1985. Physical properties of mineral soils affecting rice-based cropping systems. Pp 57-70. In IRRI (1985). Soil Physics and Rice International Rice Research Institue. Los banos, Laguna, Philippines. Sharma, P.K. and S.K. De Datta. 1985. Effect of puddling on soil physical properties and processes. Pp. 217-234. In IRRI (1985). Soil

Physics and Rice. International Rice Research Institut. Los Banos, Laguna, Philippines. Shaxson, F. and R. Barber. 2003. Optimizing Soil Moisture for Plant Production. FAO Soils Bull. 79. http://www.fao.org/DOCREP/006/ Y4690E00.HTM. Shipitalo, M.J., W.M. Edwards, W.A. Dick, and L.B. Owens. 1990. Initial storm effects on macropore transport of surface-applied chemicals in no-till soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 54: 1530-1536 Stenhuis, T.S., C.J. Ritsema, and L.W. Dekker. 1996. Fingered flow in unsaturated soil: From nature to model. Special issue. Geoderma 70:83-324. Subagyono, K., U. Haryati, dan S.H. Talaohu. 2004. Teknologi konservasi air pada pertanian lahan kering. Dalam U. Kurnia, A. Rachman, dan A. Dariah (Eds.) Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Litbang Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Sugita, F., T. Kishii, and M. English. 2004. Effects of macropore flow on solute transport in a vadose zone under repetitive rainfall events. In Proceedings of Groundwater Quality 2004, the 4th International Groundwater Quality Conference, held at Waterloo, Canada, July 2004. Torr, G.S., L.M. Condron, H.J.Di, and K.C. Cameron. 2004. Seasonal fluctuations in phosphorus loss by leaching from a grassland soil. Soil Sci. Soc. Am. J. 68: 1429-1436.

Wagenet, R.J. 1986. Water and solute flux. In A. Klute (Ed.) Methods of Soil Analysis. Am. Soc. Agron. Inc, Soil Sci. Soc. Am. Inc Madison, Wisconsin USA.

26

Dampak Tsunami Terhadap Sifat-Sifat Tanah Pertanian di NAD dan Strategi Rehabilitasinya
Affects of Tsunami on Soil Properties in NAD and Its Rehabilitation Strategy
ACHMAD RACHMAN1, DEDDY ERFANDI1,
DAN

M. NASIL ALI2

ABSTRAK
Gelombang tsunami yang terjadi akibat gempa bumi di pantai barat Sumatera pada tanggal 26 Desember 2004 telah menyebabkan terjadinya peningkatan salinitas lahan-lahan pertanian dan rusaknya sistem irigasi dan drainase di sepanjang pantai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tujuan penelitian ini adalah untuk memonitor perubahan salinitas tanah di daerah yang terkena tsunami. Pengambilan contoh tanah pada beberapa kedalaman dan pengukuran salinitas menggunakan electromagnetic induction technique (EM38) telah dilakukan di beberapa tempat. Tingkat salinitas tanah dipengaruhi oleh karakteristik lumpur yang terbawa oleh tsunami ke lahan pertanian dan tingkat permeabilitas tanah. Garam-garam telah bergerak ke dalam lapisan tanah yang lebih dalam, khsusunya pada tanah yang teksturnya lebih kasar, dimana umumnya petani menanam kacang tanah pada musim kemarau. Pada lahan persawahan yang teksturnya lebih berat, garam-garam terakumulasi di dekat permukaan tanah, mungkin disebabkan oleh genangan air yang lebih lama pada saat tsunami dan terdapatnya lapisan tapak bajak yang menghambat pergerakan air ke dalam tanah. Beberapa rekomendasi telah diberikan kepada petugas dan petani sehingga mereka dapat mengurangi kehilangan hasil sebagai akibat dari tsunami. Rekomendasi tersebut di antaranya adalah menghindari menanam pada bagian lahan yang salinitasnya masih tinggi, meningkatkan laju pencucian horizontal dan vertikal, memperbaiki kesuburan tanah, dan menanam tanaman yang toleran terhadap salinitas yang relatif tinggi. Kata kunci : Tsunami, Salinitas, Pencucian, Rehabilitasi

PENDAHULUAN Gempa bumi dan tsunami yang memporak porandakan kawasan pantai barat dan timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pada tanggal 26 Desember 2004 telah menimbulkan berbagai masalah yang memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengatasinya. Cakupan persoalan jangka panjang untuk sektor pertanian meliputi antara lain hilangnya sebagian lahan usahatani karena terendam air laut secara permanen, rusaknya lahan usahatani oleh erosi, meningkatnya kadar garam (salinitas) tanah, rusaknya sistem irigasi dan drainase, lumpuhnya sistem produksi dan pemasaran hasil pertanian, dan rendahnya ketersediaan tenaga kerja pertanian yang terampil. Daftar panjang masalah yang diakibatkan oleh tsunami di NAD tersebut menggambarkan berbagai isu yang menentukan keberhasilan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh setelah tsunami. Provinsi NAD dengan total luas 5,5 juta ha memiliki sawah irigasi (teknis, semi teknis, desa, tadah hujan, pasang surut, dan lebak) seluas 336.017 ha yang tersebar di sepanjang pantai barat dan utara seluas 156.458 ha dan di pantai timur seluas 179.559 ha. Sawah berigasi teknis dan semi teknis terdapat seluas 139.139 ha, umumnya dijumpai berturut-turut di Pidie, Aceh Utara, Aceh Besar, Nagan Raya, Bireun, Aceh Barat, dan Aceh Timur. Sawah tadah hujan terdapat seluas 127.090 ha, 70.190 ha diantaranya berada di pantai timur, sisanya seluas 56.900 ha berada di pantai barat dan utara (Badan Pusat Statistik, 2003). Dengan demikian nampak jelas bahwa areal persawahan baik irigasi maupun tadah hujan dijumpai lebih luas di
1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor. 2. Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nanggroe Aceh Darussalam.

ABSTRACT
The giant tsunami waves following the earthquake of the west coast of Sumatra on December 26, 2004, have caused soil salinisation of agricultural lands and damaged to irrigation and drainage channels along the coastal areas of Aceh Province, Indonesia. The objective of this study was to monitor the changes in soil salinity of the tsunami-affected sites. Regular collection of soil samples for soil laboratory analyses and field salinity measurement using an electromagnetic induction technique (EM38) have been conducted. The level of soil salinity in tsunami affected areas appears to be related to the characteristics of the deposited mud and soil permeability. Salt appears to have penetrated deeper into the sandier soils, commonly used to grow peanut during dry seasons. In the heavier rice soil, salt accumulate closer to the soil surface, probably because they were flooded at the time of the tsunami and often have a dense impermeable plough layer. Recommendations have been made to farmers that would allow them to reduce crop losses on tsunami affected soils. This includes avoid planting land that is still saline, enhance salt leaching horizontaly and vertically, improve soil fertility, and grow salt tolerant crops. Keywords : Tsunami, Salinity, Leaching, Rehabilitation

ISSN 1410 7244

27

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

pantai timur dibandingkan dengan di pantai barat dan utara Provinsi NAD. Jika diasumsikan bahwa rata-rata produktivitas lahan sawah di NAD adalah 4,2 t ha-1 per musim tanam, maka dengan total luas sawah sebesar 336.017 ha akan diperoleh beras sebanyak 1,4 juta t ha-1 per musim tanam. Hasil analisis citra satelit yang dilakukan Balai Penelitian Tanah, Bogor memperlihatkan bahwa luas lahan persawahan yang terkena dampak tsunami dengan tingkat kerusakan yang bervariasi sekitar 29.000 ha. Dengan demikian potensi kehilangan hasil berupa beras adalah sebesar 120.000 ton per musim tanam. Selain lahan persawahan yang rusak, diperkirakan terdapat sekitar 184.000 ha lahan kering dari total 1,9 juta ha yang ada, juga terkena dampak tsunami (Rachman et al., 2005). Tsunami tidak hanya menyebabkan kerusakan fisik terhadap bangunan, jalan, jembatan, sistem sanitasi dan lainnya, tetapi juga menyebabkan tercemarnya lahan pertanian yang disebabkan oleh intrusi air laut dan terendapnya lumpur berkadar garam tinggi di atas permukaan tanah. Salinitas tanah merupakan faktor pembatas penting pertumbuhan tanaman. Kadar garam yang tinggi dalam larutan tanah akan menyebabkan osmotik potensial larutan dalam tanah berkurang. Larutan akan bergerak dari daerah yang konsentrasi garamnya rendah ke konsentrasi tinggi. Akibatnya akar tanaman kesulitan menyerap air, karena air terikat kuat pada partikel-partikel tanah dan dapat menyebabkan terjadinya kekeringan fisiologis pada tanaman (Gunes et al., 1996; Cornillon and Palloix, 1997). Pada kondisi dimana konsentrasi garam dalam larutan tanah sangat tinggi, maka air dari dalam sel tanaman bergerak keluar, dinding protoplasma mengkerut dan sel rusak karena terjadi plasmolisis. Selain tanaman harus mengatasi tekanan osmotik tinggi, pada beberapa tanaman dapat terjadi ketidak-seimbangan hara disebabkan kadar hara tertentu terlalu tinggi, dan adanya bahaya potensial keracunan natrium dan ion lainnya (FAO, 2005). Konsentrasi natrium yang tinggi dalam tanah yang ditunjukkan oleh nilai ESP (exchangeable sodium percentage) >15 mengakibatkan rusaknya struktur

tanah yang selanjutnya akan menghambat perkembangan akar tanaman (Ben-Hur et al., 1998). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh kejadian tsunami terhadap sifat-sifat kimia tanah di NAD dan merumuskan strategi untuk merehabilitasi lahan pertanian.

BAHAN DAN METODE Pengambilan contoh tanah dan lumpur tsunami dilakukan pada 1, 7, 9, dan 12 bulan setelah tsunami. Khusus untuk contoh lumpur, pengambilan contoh hanya dilakukan satu kali yaitu pada satu bulan setelah tsunami. Pengambilan contoh tanah pada bulan ke-7 dilakukan di tiga kabupaten masingmasing di Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai sifat-sifat tanah. Pengamatan pada bulan ke-9 dan 12 dilakukan di empat lokasi masingmasing di Cot Lheu Rheng dan Panteraja di Kabupetan Pidie, Lhok Nga di Kabupaten Aceh Besar, dan Peuneung di Banda Aceh. Selain pengambilan contoh tanah, dilakukan juga pengukuran salinitas tanah menggunakan alat electromagnetic conductivity meter (EM-38). Alat ini mengukur secara cepat salinitas tanah tanpa membongkar atau mengganggu tanah dengan memanfaatkan induksi elektromagnetik (electromagnetic induction) dari aliran listrik yang dipancarkan ke dalam tanah. Alat yang digunakan tersebut terdiri atas sebuah alat pemancar pada salah satu ujungnya dan penerima pada ujung yang lainnya. Dari alat pemancar tersebut akan dipancarkan medan magnet ke dalam tanah yang kemudian mendorong terjadinya aliran listrik lemah di dalam tanah. Aliran listrik lemah ini kemudian diukur oleh alat penerima. Nilai yang diukur secara digital menunjukkan daya hantar listrik (DHL) atau ECa tanah. Alat ini dapat mengukur DHL tanah sampai pada kedalaman 1,5 meter tanpa harus mengebor tanah atau membongkar tanah (McNeil, 1986; Slavich, 1990).

28

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

Contoh lumpur tsunami yang mengendap setelah kejadian tsunami diambil di dua transek berbeda yaitu di Darussalam dan Lhok Nga. Pada masing-masing transek ditetapkan lima titik pengambilan contoh berdasarkan jarak dari pantai, masing-masing 1; 2,5; 3,5; 4; dan 4,5 km untuk transek Darussalam dan 1; 2; 3,5; 4; dan 5 km untuk transek Lhok Nga. Selain contoh lumpur diambil juga contoh tanah pada dua lapisan (0-10 cm dan 10-20 cm) tepat di bawah endapan lumpur. Pengambilan contoh lumpur tsunami dan tanah dilakukan pada tanggal 26-29 Januari 2005 atau sebulan setelah terjadinya tsunami di Aceh. Contoh tanah dan lumpur tsunami dianalisis di laboratorium kimia tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor untuk penetapan tekstur, pH, daya hantar listrik (DHL), C organik, kalsium (Ca), magnesium (Mg), kalium (K), natrium (Na), dan kapasitas tukar kation (KTK) mengikuti prosedur analisis kimia tanah di lab. Balai Penelitian Tanah (Sulaeman et al., 2005). Contoh tanah untuk penetapan DHL menggunakan campuran tanah dan air 1 banding 5. Hasil pembacaan (ECw) kemudian dikonversi ke ECe dengan mengalikan faktor koreksi sesuai dengan tekstur tanahnya. Faktor koreksi untuk tanah dengan kandungan liat <10% adalah 17; 13,8 untuk kandungan liat 1025%; 9,5 untuk kandungan liat 25-30%; 8,6 untuk kandungan liat 30-45%; dan 7 untuk kandungan liat >45% (Hughes, 1999).

berkadar garam tinggi. Garam pada lumpur ini dapat terinfiltrasi ke dalam tanah dan berpotensi untuk meningkatkan salinitas tanah di daerah perakaran, merusak struktur tanah, dan mencemari air tanah (Cardon et al., 2003; Franzen, 2003). Nilai ESP (exchangeable sodium percentage), EC (electrical conductivity), dan Na (natrium) untuk transek Darussalam disajikan pada Gambar 1, sedangkan untuk transek Lhok Nga disajikan pada Gambar 2. Pada umumnya tingkat salinitas melebihi batas kritis untuk pertumbuhan tanaman. Tingkat salinitas (ECe), nilai ESP, dan Na dari contoh tanah yang diambil di transek Lhok Nga umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanah di transek Darussalam, khususnya untuk tanah di lapisan permukaan (0-10 cm). Lokasi pengambilan contoh tanah di Lhok Nga umumnya tanah sawah sehingga cenderung menahan air laut dan lumpur dalam petakan sehingga memperbesar potensi peningkatan salinitas tanah. Sementara di Darussalam, pengamatan dilakukan umumnya di lahan bukan sawah sehingga lumpur tsunami cenderung cepat terbilas air hujan. Terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan ECe dari <1 dS m-1 pada tanah yang tidak terkena tsunami menjadi setinggi 40,97 dS m-1 pada tanah yang terkena tsunami. Terdapat juga peningkatan ECe pada lapisan di bawah permukaan tanah (10-20 cm) namun lebih rendah dibandingkan dengan di permukaan tanah. Nilai ECe, ESP, dan Na di dua lokasi transek menunjukkan kecenderungan meningkat dari daerah pantai ke arah daratan. Nilai tertinggi dijumpai pada jarak sekitar 3,5 km dari pantai kemudian mengalami penurunan. Berdasarkan hasil analisis tanah, tanah yang terkena tsunami dapat digolongkan sebagai tanah saline-sodic yang ditandai oleh nilai ESP tanah > 15% dengan pH <8,5. Faktor utama penyebab meningkatnya nilai ESP adalah terakumulasinya ion Na yang terbawa lumpur tsunami dalam konsentrasi yang sangat tinggi (>1 cmolc kg-1) di permukaan tanah.

HASIL DAN PEMBAHASAN Sifat-sifat lumpur tsunami dan tanah satu bulan setelah tsunami Air laut mengandung garam yang tinggi (>500 me l-1), terutama dalam bentuk NaCl, kombinasi basa-basa kation (K, Ca, Mg), sulfat, bikarbonat dan klorin (anion). Apabila air laut ini menggenangi lahan pertanian akan menyebabkan meningkatnya salinitas tanah. Bencana tsunami di Aceh tidak hanya menggenangi lahan pertanian dengan air laut, tetapi juga mengendapkan lumpur

29

EC tanah (dS m-1) EC tanah, dS/m

ESP (%) ESP, %

25 20 15 10 5 0
1,00 1.00 2,50 2.50 3,50 3.50 4,00 4.00 4,50 4.50

60 40

Na, % Na (%)

EC tanah (dS m-1) EC tanah, dS/m

ESP (%) ESP, %

25 20 15 10 5 0
1,00 1.00 2,00 2.00 3,50 3.50 4,00 4.00 5,00 5.00

60 40

Na, % Na (%)

30
45 40 35 30 0 - 10 cm 10 - 20 cm

120 100 80
0 - 10 cm 10 - 20 cm

20 0 - 10 cm 15 10 - 20 cm

10

20 0
1,00 1.00 2,50 2.50 3,50 3.50 4,00 4.00 4,50 4.50

0 1.00 1,00 2.50 2,50 3.50 3,50 4.00 4,00 4.50 4,50
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Jarak dari pantai, (km) Jarak dari pantai km

Jarak dari pantai, (km) Jarak dari pantai km

Jarak dari pantai, (km) Jarak dari pantai km

Gambar 1. Nilai EC, ESP, dan Na pada dua kedalaman tanah pada transek Darussalam, Januari 2005 Figue 1. EC, ESP, and Na values of soil collected from the Darussalam transect at two depths, January 2005

45 40 35 30 0 - 10 cm 10 - 20 cm

120 100 80 0 - 10 cm 10 - 20 cm

20 0 - 10 cm 15 10 - 20 cm

10

5
20 0 1.00 1,00 2.00 2,00 3.50 3,50 4.00 4,00 5.00 5,00

0 1.00 1,00 2.00 2,00 3.50 3,50 4.00 4,00 5.00 5,00

Jarak dari pantai km Jarak dari pantai, (km)

Jarak dari pantaikm Jarak dari pantai, (km)

Jarak dari pantai (km) Jarak dari pantai, km

Gambar 2. Nilai EC, ESP, dan Na pada dua kedalaman tanah pada transek Lhok Nga, Januari 2005 Figure 2. EC, ESP, and Na values of soil collected from the Lhok Nga transect at two depths, January 2005

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

Konsentrasi ion Na dalam tanah yang tinggi akan merusak struktur tanah, mengganggu keseimbangan unsur hara, dan menurunkan ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Menurut Emerson dan Bakker (1973), tanah mulai terdispersi pada kandungan Na tanah sekitar 5%. Makin tinggi kandungan Na tanah, makin mudah tanah terdispersi. Partikel tanah yang telah terdispersi akan bergerak menyumbat pori-pori tanah menyebabkan tanah memadat dan suplai oksigen untuk pertumbuhan akar dan mikroba tanah menurun drastis. Infiltrasi juga sangat terhambat menyebabkan sangat sedikit air yang masuk ke dalam tanah dan sebagian besar tergenang di permukaan dan menyebabkan terjadinya pelumpuran. Sangat sedikit tanaman yang dapat tumbuh jika kondisi tersebut telah terjadi. Pertumbuhan tanaman terhambat, selain oleh jeleknya sifat fisik tanah juga karena terbentuknya ion-ion beracun seperti Na+, OH-, dan HCO3-. Gelombang tsunami juga membawa lumpur dari dasar laut yang kemudian mengendap di lahan pertanian, sumur-sumur, kolam, cekungan, dan tempat-tempat lain (Gambar 3). Ketebalan lumpur bervariasi dari <5 cm sampai sekitar 20 cm. Makin jauh dari pantai endapan lumpur makin halus dengan kandungan liat tertinggi sekitar 43% dan terendah sekitar 8% (Tabel 1). Selain mengandung garamgaram yang berpotensi meningkatkan salinitas tanah, lumpur tsunami juga mengandung C organik

dan kation-kation seperti Ca, Mg, dan K yang tinggi sampai sangat tinggi. Dengan demikian apabila konsentrasi Na dapat dikurangi melalui pencucian disertai dengan pemberian amelioran tanah seperti gypsum atau pupuk organik, lumpur tsunami berpotensi untuk memperbaiki kandungan C organik dan kation-kation tanah. Sifat-sifat tanah tujuh bulan setelah tsunami Periode kering selama beberapa bulan di Aceh Besar dan Banda Aceh, kemungkinan akan menyebabkan bergeraknya garam ke lapisan permukaan tanah melalui proses evaporasi. Evaporasi yang tinggi akan membawa garam-garam dari dalam tanah ke permukaan tanah sehingga berpotensi mengganggu pertumbuhan tanaman. Rata-rata (n=20) nilai pH, ECe, ESP, dan Na lebih tinggi di permukaan tanah (top soil) dibandingkan dengan di bawah permukaan tanah (sub soil) (Tabel 2). Reaksi tanah (pH) umumnya netral sampai agak alkalis (7,51,1) sedangkan kadar kation dapat ditukar sedang sampai tinggi, kecuali K yang rendah sampai sedang (0,40,4). Pengaruh tingginya salinitas tanah di daerah permukaan tanah (0-20 cm) dapat diamati di sejumlah daerah pada pertengahan tahun 2005, dimana tanaman padi, jagung, kacangkacangan, dan sayuran menunjukkan gejala pertumbuhan vegetatif yang terhambat atau pertumbuhan vegetatif bagus tetapi proses pengisian polong kurang sempurna.

Paddy bunds Paddy bunds covered with mud covered with mud

Gambar 3. Endapan lumpur tsunami pada minggu keempat Januari 2005 di A) halaman BPTP dan B) Seubun Lhok Nga Figure 3. Deposited tsunami sediments on the fourth week of January 2005 at A) BPTP station and B) Seubun Lhok Nga 31

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Karakteristik kimia dan fisik endapan lumpur tsunami yang diambil dari lahan-lahan pertanian pada bulan Januari 2005 Table 1. Selected chemical and physical characteristics of deposited sediments of marine origin collected from affected agricultural field in January 2005
Desa Lamcot Keuneuneu Lampineung Tanjung Miuree Kandungan Pasir Liat .. % .. 52,8 7,8 26,2 42,8 12,3 42,3 47,2 24,8 6,2 41,9 Tebal lumpur cm 10 - 20 15 - 25 15 - 25 <5 <10 ECe dS m-1 60,86 84,19 80,11 38,95 19,80 C % 2,93 4,11 2,27 0,97 2,82 Nilai tukar kation Ca Mg K Na .. cmolc kg-1 .. 24,69 6,85 0,46 13,62 20,11 24,54 2,23 59,69 18,57 26,22 2,85 56,93 8,57 10,80 0,82 18,87 18,86 19,72 2,36 13,84

Tabel 2. Sifat-sifat tanah di Aceh Besar, Aceh Jaya, dan Aceh Barat tujuh bulan setelah tsunami Table 2. Selected soil chemical and physical properties of soil collected from Aceh Besar, Aceh Jaya, and Aceh Barat at seven months after tsunami
Anasir tanah Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH H2 0 KCl Susunan kation Ca (cmolc kg-1) Mg (cmolc kg-1) K (cmolc kg-1) Na (cmolc kg-1) KTK (cmolc kg-1) ECe (dS m-1) ESP (%) SAR Aceh Besar Top soil Sub soil 67,6 (31,5) 13,3 (12,6) 19,2 (19,5) 7,5 (1,1) 7,2 (1,4) 16,3 (10,1) 7,3 (5,7) 0,4 (0,4) 7,5 (12,7) 9,9 (8,9) 31,8 (48,6) 145 (275) 2,5 (4,3) 41,9 (24,3) 23,2 (9,1) 34,9 (16,8) 7,3 (0,6) 6,7 (0,8) 14,8 (7,2) 7,5 (4,6) 0,4 (0,4) 7,1 (8,2) 14,6 (9,8) 16,5 (21,2) 68,5 (91,1) 2,1 (2,3) Aceh Jaya Top soil Sub soil 59,3 (28,1) 18,7 (11,2) 22,0 (17,8) 5,8 (1,4) 5,6 (1,5) 11,5 (10,0) 4,1 (2,7) 0,2 (0,1) 3,0 (4,2) 14,8 (15,8) 7,3 (4,6) 27,3 (31,3) 1,1 (1,4) 43,9 (24,6) 24,9 (11,8) 31,3 (18,3) 5,3 (0,8) 4,8 (0,9) 8,3 (4,4) 4,0 (3,8) 0,2 (0,2) 2,0 (1,9) 15,2 (12,1) 5,5 (5,0) 15,2 (8,5) 0,8 (0,6) Aceh Barat Top soil Sub soil 49,3 (31,9) 28,7 (19,0) 22,0 (15,0) 5,1 (1,0) 4,6 (1,1) 6,0 (5,3) 5,0 (5,4) 0,2 (0,2) 2,7 (4,5) 21,0 (24,3) 8,3 (10,2) 14,2 (12,3) 1,0 (1,3) 56,9 (34,8) 23,9 (17,5) 19,3 (17,7) 5,0 (1,0) 4,5 (0,8) 4,8 (4,2) 5,6 (9,0) 0,3 (0,4) 7,7 (17,1) 16,9 (23,5) 16,1 (29,8) 25,6 (203) 2,2 (3,6)

Salinitas tanah di Aceh Jaya dan Aceh Barat yang diamati pada bulan Juli dan Agustus 2005 umumnya masih cukup tinggi, rata-rata di atas 5,5 dS m-1. Reaksi tanah umumnya masih masam, meskipun telah terjadi peningkatan pH tanah dari rata-rata 4,5 sebelum tsunami (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 1990) menjadi 5,8 di Aceh Jaya dan 5,1 di Aceh Barat. Ca dapat ditukar tinggi di Aceh Jaya, rendah di Aceh Barat, Mg dan Na tinggi, sedangkan K rendah untuk kedua kabupaten. Pengkayaan Ca dan Na oleh tsunami pada tanahtanah bergambut di Aceh Barat dan Aceh Jaya belum dapat meningkatkan reaksi tanah mendekati netral. Kalium berperan sangat penting dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan, memperkuat batang tanaman, dan meningkatkan kualitas buah. Dengan demikian, 32

tanah-tanah yang kahat terhadap K menyebabkan tanaman rentan terhadap kekeringan, mudah rebah apalagi jika pemupukan N cukup tinggi, dan kualitas bijinyapun kurang baik.
Pencucian garam-garam dalam kurun waktu 9 dan 12 bulan setelah tsunami

Chlorida

(Cl-)

adalah

satu

unsur

utama

pembentuk salinitas tanah diikuti oleh natrium (Na). Cl bersifat sangat larut dalam tanah dan hampir dapat diabaikan jumlahnya yang difiksasi oleh partikel liat. Oleh karena itu Cl sangat mudah tercuci ke dalam tanah pada kondisi dimana cukup air dan struktur tanah mendukung terjadinya proses pencucian. Pada kondisi dimana terdapat lapisan

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

tanah yang hantaran hidrauliknya sangat rendah, maka Cl akan terakumulasi di lapisan tersebut. Untuk melihat sejauh mana proses pencucian garamgaram, dilakukan pengambilan contoh tanah pada berbagai kedalaman tanah di beberapa tempat. Gambar 4 A, B, C, dan D memperlihatkan distribusi Cl pada berbagai kedalaman di Cot Lheu Rheng, Panteraja Pidie, Lhok Nga, dan Peuneung Aceh Besar. Secara umum nampak bahwa konsentrasi Cl di permukaan tanah telah mengalami penurunan yang sangat nyata (sekitar 300-1.400%)

dari bulan September, November 2005, dan Oktober 2007. Umumnya konsentrasi Cl meningkat pada kedalaman 40 cm kecuali di Cot Lheu Rheng (A) yang mengalami penurunan mengikuti kedalaman tanah. Kecenderungan yang sama juga terjadi terhadap paramater lainnya seperti Na (Gambar 5) dan ECe (Gambar 6). Penurunan ini diduga disebabkan oleh tingginya curah hujan yang terjadi selama periode September s/d November 2005 yang menyebabkan terjadinya pencucian, baik secara horizontal maupun vertikal.

A
O 0 2.000 2000

Cl (ppm )
4.000 4000 6.000 6000 8.000 10.000 8000 10000

B
0 O 0 500 500

Cl (ppm ) 1000 1.000 1500 1.500 2000 2.000

Kedalaman tanah (cm)

20 40

Kedalaman tanah (cm)

20 40 60 80 100

Sept 05
60 80

Sept 05 Nov 05 Okt 07

Nov 05 Okt 07

100

C
O 0 1.000 1000

Cl (ppm)
2.000 2000 3.000 3000 4.000 4000

D
0 O 0 1000 1.000

Cl (ppm ) 2000 2.000 3000 3.000 4000 4.000

Kedalaman tanah (cm)

20

Kedalaman tanah (cm)

20

40

40

60

Sept 05 Nov 05 Okt 07

60

Sept 05 Nov 05

80

80

Okt 07

100

100

Gambar 4. Perubahan konsentrasi Cl pada berbagai kedalaman tanah di A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, dan D) Peuneung, Banda Aceh Figure 4. Changes in Cl values over time by soil depth at A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and D) Peuneung, Banda Aceh

33

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

A
0 0 5

Na (cm ol+kg-1) (cmolc /kg)


10 15 20

B
0 0 2

Na (cm ol+/kg) (cmolc kg-1) 4 6 8 10

Kedalaman Tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

20

20 40

40

60

Sept 05 Nov 05

60 80

Sept 05 Nov 05 Okt 07

80

Okt 07
10 0

100
Na (cmol kg-1 Na (cm olc+/kg))
0 2 4 6 8 10

C
0

D
0 0 2

Na (cmol /kg) Na (cmolc kg-1)


4 6 8 10

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

20

20

40

40 60

60

Sept 05 Nov 05 Okt 07

Sept 05 Nov 05

80

80 100

Okt 07

10 0

Gambar 5. Konsentrasi Na pada berbagai kedalaman tanah di A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, dan D) Peuneung, Banda Aceh Figure 5. Changes in Na values over time by soil depth at A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and D) Peuneung, Banda Aceh diperoleh nilai ECe = 8 dS m-1 yang termasuk dalam kelompok tanah dengan salinitas yang sama yaitu tinggi. STRATEGI REHABILITASI Pencegahan dan rehabilitasi lahan pertanian pasca tsunami diperlukan untuk mengembalikan produktivitas lahan pertanian di NAD. Tiga tindakan perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan dan memulihkan kembali produktivitas lahan pertanian, khususnya sawah, di daerah bekas tsunami, adalah: 1) tindakan pencegahan, 2) tindakan rehabilitasi, dan 3) tindakan untuk menumbuhkan motivasi petani.

Pengukuran salinitas menggunakan EM38

Hasil pengukuran salinitas tanah di laboratorium berkorelasi positif dengan hasil pengukuran dengan EM38 (Gambar 7). Dengan persamaan regresi sebagai berikut: ECe = (5,26* ECa) 0.94 r2 = 0,72

Persamaan ini sejalan dengan padanan antara ECa dan ECe yang dikemukakan oleh Rhoades et al. (1989). Tanah yang bertekstur lempung dengan nilai ECa 1,7 dS m-1 dikelompokkan ke dalam tanah yang salinitasnya tinggi. Dengan memasukkan angka ECa=1,7 tersebut ke dalam persamaan regresi maka

34

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

A
0 0 10 20

ECe (dS m-1)) ECe (dS/m

B
60 70 80 0 0 10

ECe (dS/m ) ) ECe (dS m-1 20 30 40

30

40

50

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

20

20

40

40

Sept 05
60

Sept 05
60

Nov 05
80

Nov 05
80

Okt 07

Okt 07

100

100 ECe (dS/m ECe (dS m-1) 20

C
0 0 10

D
30 40 0 0 10

ECe (dS m-1) ECe (dS/m)

20

30

40

40

Kedalaman tanah (cm)

Kedalaman tanah (cm)

20

20

40

60

Sept 05 Nov 05

60

Sept 05 Nov 05

80

Okt 07

80

Okt 07

100

100

Gambar 6. Nilai ECe pada berbagai kedalaman tanah di A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, dan D) Peuneung, Banda Aceh Figure 6. Changes in ECe values over time by soil depth at A) Cot Lheu Rheng, Pidie, B) Panteraja, Pidie, C) Lhok Nga, Aceh Besar, and D) Peuneung, Banda Aceh nang secara permanen. Tindakan untuk mengembalikan fungsinya sebagai lahan pertanian akan sia-sia atau membutuhkan biaya dan teknologi yang mahal. Untuk itu intervensi pemerintah berupa pemberian modal awal ke petani tambak akan sangat penting, mengingat dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk membangun tambak. Tindakan rehabilitasi Tindakan rehabilitasi lahan pertanian yang terkena tsunami perlu dilakukan untuk menurunkan tingkat salinitas dan memperbaiki petakan. Penurunan kadar salinitas tanah dapat dilakukan

Tindakan pencegahan Tindakan ini dilakukan untuk mencegah masuknya air laut ke lahan pertanian sewaktu terjadi pasang. Upaya reklamasi akan menjadi sangat siasia apabila lahan pertanian rentan terhadap genangan air laut pasang. Tindakan pencegahan dapat dilakukan dengan membangun tanggul-tanggul, baik yang berupa bangunan sipil teknis maupun secara vegetatif. Lahan pertanian yang sudah tergenangi air laut secara permanen perlu dialihkan untuk penggunaan lain, karena lahan yang sebelum tsunami permukaannya lebih tinggi dari permukaan air laut, setelah tsunami menjadi lebih rendah sehingga akan terge-

35

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

12 10 ECe,(dS m-1) ECe dS/m 8 6 4 2 0 0 1 1 2


-1

ECe = 5.26(ECa) - 0.94 ECe = 5,26(ECa) 0,94 r2 = 0,72 2 r = 0.72

menghindari risiko tersebut, pada lahan pertanian yang telah direklamasi perlu dilakukan tindakan rehabilitasi. Tindakan rehabilitasi ditujukan untuk memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Tindakan rehabilitasi ini dapat dilakukan antara lain dengan: 1) pemberian bahan pembenah tanah seperti pupuk kandang, pupuk organik, gypsum, abu sekam, dan pemulsaan. Pemberian bahan pembenah tanah yang tersedia di lokasi seperti pupuk kandang, sekam padi, dan pupuk organik lainnya sebanyak 5-10 t ha-1 sangat penting dilakukan untuk memperbaiki struktur tanah, keseimbangan hara, kemampuan menyimpan air (water holding capacity) dan mengurangi penguapan jika bahan-bahan tersebut disebar di permukaan tanah; 2) perbaikan permeabilitas (drainase internal) tanah melalui pengolahan tanah dalam dan perbaikan struktur tanah. Pengolahan tanah menggunakan bajak singkal sedalam 30 cm sangat dianjurkan untuk mengurangi rasio lumpur tsunami terhadap volume tanah; serta 3) penyesuaian pola tanam yaitu dengan menanam varietas-varietas tanaman yang toleran terhadap salinitas tanah yang tinggi. Beberapa jenis tanaman semusim yang banyak ditanam petani dan tumbuh baik adalah bawang merah, cabe, padi, kacang tanah, dan jagung. Tindakan untuk menumbuhkan motivasi petani Tindakan ketiga dan yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan kedua tindakan sebelumnya adalah menumbuhkan kembali motivasi petani untuk kembali ke lahan usahataninya. Rendahnya motivasi petani untuk bertani akan berakibat terbengkalainya program pembangunan pertanian yang telah dicanangkan oleh pemerintah, karena ujung tombak dari sistem produksi pertanian adalah petani itu sendiri. Beberapa kegagalan panen yang dialami petani akibat kurang siapnya lahan pertanian untuk menopang pertumbuhan tanaman dikhawatirkan akan semakin melemahkan motivasi petani. Yang perlu segera dilakukan adalah menyadarkan petani bahwa kondisi lahan mereka sudah berbeda dibandingkan dengan sebelum tsunami,

ECa, dS/m ECa (dS m )

Gambar 7. Korelasi antara salinitas tanah yang diukur menggunakan EM38 (ECa) dengan pengukuran di laboratorium (ECe) Figure 7. Relationship between ECa as measured in the field using an EM38 meter and ECe as measured on soil samples in the laboratory

dengan cara membilas lahan beberapa kali sehingga garamnya terbuang melalui aliran air permukaan. Cara ini dapat sangat efektif menurunkan salinitas tanah jika tersedia air tawar, saluran irigasi dan drainase yang memadai. Saluran drainase yang berfungsi baik dapat membuang garam-garam dari lahan pertanian, sehingga memungkinkan ditanami kembali dengan kacang tanah dan tanaman palawija lain. Selain itu, pembangunan kembali pematangpematang sawah yang rusak diterjang tsunami perlu segera dilaksanakan. Pematang tersebut sebaiknya lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum tsunami untuk menampung lebih banyak air hujan berkadar garam rendah, sehingga dapat lebih efektif menurunkan kadar garam tanah. Pencucian garam ke lapisan tanah lebih dalam sehingga menjauhi zona perakaran dapat dilakukan terutama pada daerah yang permeabilitas tanahnya cukup baik, air tanahnya dalam (>2 m), dan curah hujannya sedang sampai tinggi. Teknik pencucian ini dapat efektif dilakukan selama musim penghujan, namun berisiko meningkatkan kadar salinitas tanah di daerah perakaran selama musim kemarau akibat tingginya penguapan dari pori-pori tanah. Untuk

36

ACHMAD RACHMAN ET AL. : DAMPAK TSUNAMI TERHADAP SIFAT-SIFAT TANAH PERTANIAN

DI

NAD DAN STRATEGI REHABILITASINYA

karena itu cara bercocok tanam, penggunaan varietas, dan pupuk perlu disesuaikan. Kegiatan penyuluhan, baik dalam bentuk tatap muka, penyebaran brosur, dan pembuatan demplot perlu dilakukan. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan penyuluhan tersebut, petani bergairah kembali bekerja di lahan usahataninya.

drainase horizontal maupun vertikal, relatif kurang lancar, salinitas tanah umumnya masih menjadi kendala produksi pertanian.

UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan terima kasih kepada ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research) dan kepada staf BPTP NAD yang telah membantu sehingga penelitian ini dapat berjalan.

KESIMPULAN 1. Genangan air laut dan endapan lumpur tsunami telah meningkatkan nilai ECe permukaan tanah, yang diukur sebulan setelah tsunami, menjadi 40,97 dS m-1. Peningkatan ECe juga terjadi pada tanah lapisan bawah (10-20 cm) meskipun masih lebih rendah dibandingkan dengan tanah permukaan (0-10 cm). 2. Peningkatan salinitas tanah akibat tsunami dipengaruhi oleh penggunaan lahan. Transek Lhok Nga yang umumnya digunakan sebagai lahan persawahan menunjukkan salinitas tanah yang lebih tinggi dibandingkan dengan transek Darussalam yang umumnya digunakan untuk pertanian lahan kering. Salinitas tanah juga dipengaruhi oleh jarak lokasi pengamatan dari pantai. Makin jauh dari pantai, salinitas tanah cenderung makin tinggi. 3. Lumpur tsunami yang mengandung C organik dan kation-kation seperti Ca, Mg, dan K yang relatif tinggi, disamping garam-garam terlarut, selain berpotensi untuk meningkatkan KTK tanah juga berpotensi mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Gejala pengisian biji yang tidak sempurna pada kacang tanah dan padi dijumpai merata di daerah tsunami meskipun pertumbuhan vegetatif tanaman sangat baik. 4. Pengukuran salinitas tanah di laboratorium berkolerasi positif (r2 = 0,72) dengan pengukuran salinitas tanah menggunakan EM38. 5. Salinitas tanah umumnya telah menurun sejalan dengan waktu akibat pencucian oleh hujan terutama pada tanah yang teksturnya berpasir. Namun demikian di beberapa tempat yang

DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia. http://www.bps.go.id. Ben-Hur, M., M. Agassi, R. Keren, and J. Zhang. 1998. Compaction, aging and raindrop impact effect on hydraulic properties of saline and sodic Vertisols. Soil Scie. Soc. Am. J. 62:1377-1383. Cardon, G.E., J.G. Davis, T.A. Bauder, and R.M. Waskom. 2003. Managing Saline Soil. Colorado State University Cooperative Extension. 7/03. No. 0.503 www.ext.colostate.edu. Cornillon, P. and A. Palloix. 1997. Influence of sodium chloride on the growth and mineral nutrient of pepper cultivars. J. Plant Nutrients 20:1085-1094. Emerson, W.W. and A.C. Bakker. 1973. The comparative effects of exchangeable calcium, magnesium and sodium on some physical properties of red-brown earth subsoils: 2. The spontaneous dispersion of aggregates in water. Aust. J. Soil Res. 11:151-157. FAO. 2005. Final Report for SPFS-Emergency Study on Rural Reconstruction Along the Eastern Coast of NAD Province. Government of the Republic of Indonesia, Ministry of Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Nippon Koei Co. Ltd. Franzen, D. 2003. Managing Saline Soils in North Dakota. North Dakota State University, Fargo, ND 58105, SF-1087 (revised), www. ag.ndsu.nodak.edu

37

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Gunes, A., A. Inal, and M. Alpaslan. 1996. Effect of salinity on stomatal resistance, proline, and mineral composition of pepper. J. Plant Nutr. 19:389-396. Hughes, J.D. 1999. SOILpak for southern irrigators. NSW Agriculture, Australia. McNeil, J.D. 1986. Genonics EM38 ground conductivity meter. Operating instruction and survey interpretation techniques. Technical Note TN-21, Geonics Ltd., Canada. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 1990. Buku Keterangan dan Peta Satuan Lahan dan Tanah lembar 0421, 0420, 0521, 0519, 0620, 0618, 0518. Puslittanak. Bogor. Rachman, A., Wahyunto, and F. Agus. 2005. Integrated management for sustainable use

of tsunami-affected land in Indonesia. Paper presented at the Mid-Term Workshop on Sustainable Use of Problem Soils in Rainfed Agriculture, Khon Khaen, 14-18 April 2005. Rhoades, J.D., N.A. Manteghi, P.J. Shouse, and W.J. Alves. 1989. Soil Electrical Conductivity and Soil Salinity: New Formulations and Calibrations. Soil Sci. Soc. Am. J. 53: 433-442. Slavich, P.G. 1990. Determining ECa depth profile from electromagnetic induction measurements. Aust. J. Soil Res. 28:443-452. Sulaeman, Suparto, dan Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Deptan.

38

Mobilitas Sedimen dan Hara pada Sistem Sawah Berteras Dengan Irigasi Tradisional
Sediment and Nutrient Mobility in Terraced Paddy Fields under Traditional Irrigation System
SUKRISTIYONUBOWO1

ABSTRAK
Mobilitas sedimen dan hara pada sistem sawah berteras dengan irigasi tradisional telah diteliti di Desa Keji, Kabupaten Semarang pada Musim Hujan 2003-2004. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi sedimen dan hara tanaman yang terbawa masuk melalui air irigasi dan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen selama pertumbuhan tanaman padi dan mempelajari mobilitas sedimen dan hara tanaman pada musim hujan. Perlakuan yang diuji, meliputi Praktek Petani, Praktek Petani + Jerami, Perbaikan Teknologi, dan Perbaikan Teknologi + Jerami. Debit air irigasi saat pelumpuran adalah yang tertinggi, dan bervariasi mulai 2,55 1,23 sampai 3,10 0,55 l detik-1. Sebaliknya, pada stadia vegetatif debit air irigasi adalah yang terkecil, yaitu antara 0,33 0,15 dan 0,54 0,15 l detik-1, dan pada stadia generatif antara 1,38 0,28 dan 1,60 0,06 l detik-1. Selanjutnya, debit larutan sedimen saat pelumpuran berkisar mulai 0,89 0,20 sampai 1,31 0,34 l detik-1. Pada stadia vegetatif debit larutan sedimen adalah yang terkecil, yaitu antara 0,21 0,07 dan 0,78 0,52 l detik-1, sedangkan pada stadia generatif antara 1,13 0,06 dan 1,32 0,09 l detik-1. Hanya pada saat pelumpuran sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih kecil dari pada sedimen yang terangkut keluar oleh larutan sedimen. Banyaknya sedimen yang tersimpan adalah antara 647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1 dari total sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi antara 2.715 sampai 5.521 kg ha-1 musim-1. Sebaliknya, hara terlarut (nitrogen, fosfor dan kalium) yang terbawa masuk oleh air irigasi tersimpan di persawahan, yang bervariasi antara 7,20 - 13,62 kg N; 0,13 - 0,20 kg P; dan 7,25 - 13,42 kg K ha-1 musim-1. Secara statistik, antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, baik untuk jumlah sedimen maupun hara yang tersimpan. Hasil penelitian ini mendemonstrasikan adanya fungsi lain (external services) yang diberikan oleh sistem sawah berteras, selain sebagai tempat memproduksi beras Kata kunci : Debit, Sedimen, Nitrogen, Fosfor, Kalium, Sawah berteras

was about 1.38 0.28 to 1.60 0.06 l second-1. Furthermore, the discharge of suspended sediment during puddling varied between 0.89 0.20 and 1.31 0.34 l second-1, while at vegetative phase was the lowest ranging from 0.21 0.07 to 0.78 0.52 l second-1. At generative stage was about 1.13 0.06 to 1.32 0.09 l second-1. Only during the puddling that the incoming sediment was lower than outgoing sediment. The total amount of deposited sediment varied between 647 and 1,589 kg ha-1 season-1 from the total incoming sediment of 2,715 to 5,521 kg ha-1 season-1. In contrast, the incoming dissolved nutrient (nitrogen, phosphorus and potassium) was trapped in the paddy field areas, varying between 7.20 and 13.62 kg N; 0.13 and 0.20 kg P; and from 7.25 to 13.42 kg K ha-1 season-1. There were no significantly different among treatments, both for sediment and nutrient deposited. These results demonstrate that terraced paddy field system is not only place for producing rice, but also providing an environmental services, like nutrient and sediment conserving. Keywords : Discharge, Sediment, Nitrogen, Phosphorus, Potassium, Terraced paddy field

PENDAHULUAN Di Indonesia, beras tidak hanya merupakan bahan makanan utama, namun juga sebagai sumber pendapatan dan penyedia lapangan pekerjaan. Seiring dengan meningkatnya (1) permintaan akan beras akibat bertambahnya jumlah penduduk, (2) kebutuhan lahan untuk perumahan, kawasan industri dan fasilitas jalan, (3) kompetisi kebutuhan air antara sektor pertanian, industri dan rumah tangga, dan (4) pencemaran air, menyebabkan luas lahan sawah beririgasi yang tersedia untuk penanaman padi menjadi semakin menciut dan keberadaan air untuk kepentingan irigasi menjadi semakin langka yang pada akhirnya menurunkan produksi padi (Baghat et al., 1996; Bouman and Tuong, 2001; BPS, 2002). Oleh sebab itu, sistem sawah berteras perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik guna membantu pemenuhan target tambahan produksi dua juta ton per tahun dan menjamin ketahanan beras nasional (Anonim, 2007).
1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor

ABSTRACT
Sediment and nutrient mobility in terraced paddy fields under traditional irrigation system have been investigated in Keji Village, the Semarang District during the Wet Season 20032004. The aims were to evaluate the incoming and outgoing sediment and nutrient during rice growth cycle and to study the mobility of sediment and nutrient in the wet season. The treatments included Farmer Practices, Farmer Practices + Rice Straw, Improved Technology, and Improved Technology + Rice Straw. The discharge of irrigation water during puddling was the greatest varying between 2.55 1.23 and 3.10 0.55 l second-1, while during the vegetative phase was the lowest ranging from 0.33 0.15 to 0.54 0.15 l second-1. At the generative stage

ISSN 1410 7244

39

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Sedimen dan unsur hara yang diperlukan tanaman dapat terangkut melalui angin (wind erosion), air (water erosion), pengolahan tanah (tillage erosion), dan perpindahan masa tanah (mass movement) yang dapat menimbulkan masalah lingkungan dan pertanian, sehingga memerlukan penelitian lebih lanjut (Uexkull, 1970; Lal, 1998; Lal et al., 1998; Agus dan Sukristiyonubowo, 2003; Duque et al., 2003; Phomassack et al., 2003; Sukristiyonubowo et al., 2003 dan 2004; Toan et al., 2003; Visser et al., 2005; Aksoy and Kavvas, 2005; Sukristiyonubowo, 2007 dan 2008). Beberapa hasil penelitian terdahulu melaporkan bahwa banyaknya unsur hara yang terangkut dari lahan pertanian dipengaruhi oleh iklim, tanah, topografi lahan, tipe penggunaan lahan, dan cara pengelolaan lahan dan tanaman (Lal, 1998; Lal et al., 1998; Agus et al., 2003; Sukristiyonubowo et al., 2003; Robichaud et al., 2006; Udawatta et al., 2006; Sukristiyonubowo, 2007). Berkaitan dengan iklim, Daniel et al. (1998) melaporkan bahwa jumlah, intensitas, dan waktu terjadinya hujan adalah yang paling dominan mempengaruhi jumlah kandungan dan jenis bahan-bahan kimia termasuk pupuk yang terkandung dalam aliran permukaan (surface run-off). Secara spesifik, Schuman dan Burwell (1974) mencatat bahwa intensitas dan lamanya peristiwa hujan, kecepatan infiltrasi, kondisi kelembaban awal tanah, dan kondisi kesuburan tanah berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH4N dan NO3-N pada runoff. Selanjutnya, Kissel et al. (1976), dan Douglas et al. (1998) menyimpulkan bahwa N dan P yang hilang melalui runoff tergolong kecil, walaupun pemupukan diberikan secara sebar dan pengolahan tanah dilakukan secara atas bawah (uphill and downhill). Kesimpulan yang sama dikemukakan Alberts et al. (1978) bahwa N dan P terlarut yang hilang dari lahan pertanian berkisar 2% dari jumlah pupuk yang diberikan dalam setahun dan sistem teras sangat nyata melindungi keberadaan hara tanaman. Telah banyak diteliti dan dipublikasikan bahwa penanaman padi di lahan basah banyak memerlukan air dan paling tidak efisien dalam menggunakan air 40

dibandingkan dengan tanaman biji-bijian lainnya. Pada penanaman padi sawah (wetland rice cultivation), air diberikan mulai dari fase penjenuhan tanah (land soaking) sampai dengan akhir fase pertumbuhan generatif (Anonim, 1977; Sukristiyonubowo, 2007). Dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan di India, Filipina, dan Jepang dikemukakan bahwa produktivitas air (water productivity) pada penanaman padi sawah berkisar antara 0,14-1,10 g kg-1 air (Bhuiyan, 1992; Bhuiyan et al., 1994; Bouman and Tuong, 2001; Cabangon et al., 2002; Tabal et al., 2002; IWMI, 2004). Produktivitas air yang lebih baik dilaporkan pada sawah Vitric Andosol di Jepang yaitu sekitar 1,52 g gabah kg-1 air (Anbumozhi et al., 1998). Irigasi tradisional pada sawah berteras umumnya dilakukan dengan membuka dan menutup saluran air masuk dan saluran air keluar yang dibangun secara sederhana oleh petani. Sumber air irigasi berasal dari mata air yang ada di kawasan atas atau air hujan yang mengalir melalui kanal-kanal alami. Cara ini memungkinkan sedimen dan unsur hara terbawa masuk dan terangkut keluar lahan sawah melalui pergerakan air tersebut. Fenomena ini sangat menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut dalam hubungannya dengan kondisi di lahan (on-site impacts) dan di luar lahan (off-site impacts). Penelitian mengenai hubungan antara pelumpuran dengan sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, pertumbuhan dan hasil padi telah banyak dibahas dan dipublikasikan (Ghildyal, 1971; Naphade and Ghildyal, 1971; Sanchez, 1973; Sharma and De Datta, 1986; Adachi, 1990; Cabangon and Tuong, 2000; Kirchhof et al., 2000; Kukal and Sidhu, 2004). Namun demikian, penelitian mengenai mobilitas sedimen dan hara tanaman pada sawah termasuk sistem sawah berteras masih jarang dilakukan. Hasil penelitian saat pelumpuran pada sistem sawah berteras menunjukkan bahwa sejumlah tanah dan unsur hara N dan P terangkut keluar, sebaliknya sejumlah kalium dideposit pada lahan sawah. Besarnya tanah yang hilang (soil loss) bervariasi antara 239-530 kg ha-1 pada musim hujan dan antara 154-270 kg ha-1 pada musim kemarau,

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

sedangkan kalium yang tersimpan berkisar 0,58 kg K ha-1 pada musim hujan dan 0,44 kg K ha-1 pada musim kemarau (Sukristiyonubowo, 2007; 2008). Tulisan ini membahas mobilitas sedimen dan hara selama pertumbuhan tanaman padi pada musim hujan 2003-2004 (MH 2003-2004). Tujuannya adalah untuk mengevaluasi sedimen dan hara yang masuk dan keluar selama siklus pertumbuhan padi dan mempelajari pergerakan sedimen dan hara tanaman selama siklus pertumbuhan padi pada MH 20032004. BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada MH 2003-2004 di Desa Keji, Kabupaten Semarang. Desa Keji terletak pada ketinggian antara 390-510 m dpl dengan rata-rata curah hujan tahunan 3.140 mm (Sukristiyonubowo, 2007). Dua belas sawah berteras, menggambarkan empat perlakuan dan tiga ulangan, dengan jumlah teras dan luasan yang berbeda digunakan dalam penelitian ini. Teras bersifat datar, berlainan ukuran, tersusun dari atas ke bawah menuju sungai. Masing-masing teras mempunyai satu saluran air masuk dan satu saluran air keluar. Saluran air masuk pada teras paling atas, dimana air irigasi masuk ke lahan sawah disebut saluran air masuk utama (main inlet) dan saluran air keluar pada teras paling bawah, dimana larutan sedimen mengalir menuju ke sungai disebut saluran air keluar utama (main outlet). Karakteristik selengkapnya dari masing-masing lahan sawah disajikan pada Tabel 1. Pengamatan dilakukan pada perlakuan Praktek Petani (FP), Praktek Petani + Pengembalian Jerami (FP+RS), Perbaikan Teknologi (IT) dan Perbaikan Teknologi + Pengembalian Jerami (IT+RS). Perlakuan diatur mengikuti pola Rancangan Acak Kelompok, dimana masing-masing perlakuan diulang tiga kali. Banyaknya jerami yang dikembalikan ke sawah adalah 33% ha-1 musim-1 dari total produksi jerami musim sebelumnya. Takaran tersebut sebagai kesepakatan bersama dengan petani, mengingat di desa ini jerami merupakan sumber pakan utama untuk ternak sapi. Pada perlakuan FP, petani hanya memberi urea sebanyak 50 kg ha-1 musim-1,

sedangkan takaran pemupukan pada perlakuan IT dan IT+RS adalah 100 kg urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl ha-1 musim-1. Pelumpuran dilakukan antara Desember 2003 dan Januari 2004. Penanaman dilakukan dengan cara pindahan (transplanting) yang dilakukan pada bulan Januari 2004. Tindak agronomis selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Mobilitas sedimen dan hara didefinisikan sebagai pergerakan sedimen dan hara yang terbawa masuk oleh air irigasi ke areal persawahan dan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen menuju sungai. Analisis statistik hanya ditekankan pada penghitungan nilai rerata (mean) dan standar deviasi (standard deviation). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilakukan analisis sidik ragam (Anova), dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) dengan selang kepercayaan 5% yang dihitung dengan menggunakan program SPSS versi 11.5 for Windows. Urea diberikan dua kali, yaitu pada umur 21 and 35 hari setelah tanam (HST) masing-masing setengah takaran, sedangkan TSP dan KCl diberikan semua pada umur 21 HST. Banyaknya pupuk yang diberikan setiap teras dihitung berdasarkan takaran pupuk per hektar dikalikan dengan ratio antara jumlah tanaman per teras dengan jumlah tanaman per hektar. Penanaman dilakukan pada saat bibit berumur 21 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Pengamatan meliputi pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen pada saluran air masuk utama (main inlet) dan saluran air keluar utama (main outlet), seta kadar lumpur dan konsentrasi hara terlarut. Pengamatan dilakukan selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, yaitu mulai dari pelumpuran sampai dengan akhir stadia generatif. Lamanya waktu bukatutup saluran air masuk utama dan air keluar utama selama pengairan berlangsung juga dicatat, untuk menghitung total volume air irigasi dan larutan sedimen. Data ini diperlukan untuk menduga sedimen dan hara terlarut yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar, dengan cara mengalikannya dengan kadar lumpur atau konsentrasi hara. 41

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Karakteristik lahan sawah yang digunakan untuk penelitian Table 1. Some characteristics of terraced paddy fields used for the research
Perlakuan FP Petani P-1 P-2 P-3 P-4 P-5 P-6 P-7 P-8 P-9 P-10 P-11 P-12 Ulangan I II III I II III I II III I II III Jumlah teras 9 8 6 8 5 7 7 7 8 9 8 4 Luas m 5.040 4.780 1.680 904 2.500 5.300 5.000 4.500 3.070 2.240 1.530 3.400
2

Keterangan lain 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun 2-3 kali tanam per tahun

FP + RS

IT

IT + RS

Sumber data : Kantor Kelurahan, komunikasi pribadi, dan kunjungan lapangan

Tabel 2. Tanggal tanam, pengembalian jerami, dan takaran pemupukan untuk masing-masing perlakuan pada MH 2003-2004 Table 2. Date of planting, the total amount of returned rice straw, and rate of fertilizers for each treatment in the WS 2003-2004
Perlakuan FP Ulangan I II III I II III I II III I II III Tanggal tanam 11-01-2004 13-01-2004 10-01-2004 01-01-2004 31-12-2003 03-01-2004 04-01-2004 05-01-2004 06-01-2004 27-01-2004 28-01-2004 29-01-2004 Jerami yang dikembalikan t ha-1 2,15 2,97 3,26 2,48 2,64 2,15 Takaran Urea TSP KCl ...... kg ha-1 musim-1 ...... 50 50 50 50 50 50 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

FP + RS

IT

IT + RS

Dua buah botol plastik digunakan untuk setiap pengambilan contoh air irigasi dan larutan sedimen. Satu contoh untuk keperluan pengukuran kadar lumpur dan satu botol contoh lainnya untuk penetapan N (NO3- dan NH4+), P (PO4-), dan K (K+) terlarut. Pada saat pelumpuran, pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dilakukan mulai jam

07:00, ketika petani mulai membuka saluran air masuk utama dan berakhir pada jam 17:30. Untuk larutan sedimen dimulai ketika larutan sedimen yang berwarna coklat mengalir melalui saluran air keluar utama dan berakhir ketika warna larutan sedimen sama dengan warna air irigasi yang masuk ke areal sawah. Namun karena alasan keamanan dan hari sudah senja, pengamatan diakhiri pada jam 17:30.

42

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Interval pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen dilakukan setiap 30 menit. Prosedur lebih rinci dapat dilihat pada Sukristiyonubowo (2007 dan 2008). Pengamatan setelah pelumpuran sampai sebelum tanam dilakukan setiap hari. Pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen dilakukan tiga kali per hari, yaitu jam 08:00, 12:00, dan 16:00, yang mengacu pada pengamatan kanal-kanal untuk kepentingan analisis hidrologis. Pada stadia vegetatif, pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen dilakukan selama seminggu sebelum dan setelah pemupukan pertama diberikan. Seperti pada pengamatan setelah pelumpuran sampai sebelum tanam, pengambilan contoh dan pengukuran debit air irigasi dan larutan sedimen dilakukan tiga kali per hari, yaitu pada jam 08:00, 12:00, dan 16:00. Pada stadia generatif, pengambilan contoh air irigasi, larutan sedimen dan pengukuran debitnya dikerjakan ketika petani membuka dan menutup saluran air masuk utama dan saluran air keluar untuk mengairi sawah (untuk mengganti air yang telah ada di sawah dan mempertahankan ketinggian air pada petakan sawah). Pengamatan juga dilakukan tiga kali sehari seperti halnya pada stadia vegetatif. Data yang dikumpulkan meliputi debit, kadar lumpur, dan konsentrasi N, P dan K terlarut pada air irigasi dan larutan sedimen. Penetapan unsur hara yang terlarut (dissolved nutrient) dilakukan untuk nitrogen (NO3- dan NH4+), fosfat (PO4-), dan kalium (K+) menurut prosedur yang berlaku di Laboratorium Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor. Ammonium (N-NH4+), nitrat (N-NO3-) dan fosfat (PO4-) ditetapkan dengan prosedur colorimeter, sedangkan kalium dengan flame photometer. Nitrogen terlarut merupakan penjumlahan dari NNH4+ dan N-NO3-. Unsur N, P, dan K yang terkandung dalam sedimen diduga melalui kandungan N, P, dan K pada lapisan tanah atas (top soil) dengan total sedimen yang terbawa masuk dan terangkut keluar. Cara ini dilakukan karena sedimen

yang terkumpul dari contoh larutan sedimen maupun dari air irigasi tidak mencukupi untuk keperluan analisis di laboratorium. El-Swaify (1989) dan Hashyim et al. (1998) menyatakan jumlah unsur hara yang terangkut oleh erosi adalah hasil perkalian antara tanah yang hilang dengan konsentrasi hara pada tanah tersebut, namun demikian dapat juga diduga melalui tanah yang hilang dengan kandungan hara pada lapisan top soil. Dalam makalah ini, hara yang terkandung dalam sedimen tidak dibahas. Debit air irigasi pada saluran masuk utama diukur dengan menggunakan Floating Method with stopwatch dan untuk debit larutan sedimen pada saluran keluar utama menggunakan metode buket (Bucket Method). Ember bervolume 11 liter digunakan untuk penetapan debit larutan sedimen dengan Bucket Method. Debit air irigasi dengan menggunakan Floating Method with stopwatch dihitung berdasarkan formula sebagai berikut : Q = (L x W x H) x 1.000/t dimana, Q L H t = Debit (l detik-1) = Panjang atau jarak (m) = Tinggi air (m) = Waktu (detik)

W = Lebar (m)

1.000 adalah konversi dari m3 ke l Debit larutan sedimen (bucket dihitung dengan formula sebagai berikut : Q = 11/t dimana, Q t = Debit (l detik-1) = Waktu untuk mencapai 11 liter (detik) method)

Sedimen yang masuk atau keluar dihitung berdasar rumus : (E) = (A x S)/1.000

43

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

dimana : E A S = Sedimen yang terbawa masuk atau keluar (kg) = Total air irigasi yang masuk atau larutan yang keluar (volume of runoff) (l) = Konsentrasi sedimen atau kadar lumpur (g l-1)

1.000 adalah konversi dari g ke kg Rumus-rumus tersebut juga berlaku untuk menghitung hara yang masuk dan yang keluar, dengan cara memasukkan konsentrasi N, P dan K sebagai ganti kadar lumpur. Alasan penggunaaan metode pengukuran, cara pengukuran dan penghitungan debit dengan bucket method dan floating method with stopwatch dapat dilihat dalam Yuqian (1989), WMO (1994), dan Sukristiyonubowo (2007 dan 2008).

penanaman lebih besar dibandingkan pada saat stadia vegetatif dan sebanding dengan stadia generatif. Besarnya debit air irigasi saat pelumpuran berkisar antara 2,55 1,23 sampai 3,10 0,55 l detik-1. Kecenderungan hasil yang sama disimpulkan oleh para peneliti terdahulu. Mereka menyatakan bahwa pada saat pengolahan tanah, sawah memerlukan air yang paling banyak. Hampir separuh air yang dibutuhkan untuk menghasilkan padi dialokasikan untuk pengolahan tanah. Hal ini menyiratkan bahwa debit air pada saat pengolahan tanah adalah yang terbesar. De Datta (1981) dan Bhuiyan et al. (1994) melaporkan bahwa air yang diperlukan untuk pengolahan tanah berkisar antara 150-200 mm, namun dapat meningkat hingga 650900 mm. Selanjutnya, Bouman et al. (2005) melaporkan bahwa jumlah air yang digunakan untuk pengolahan sawah (mulai dari penjenuhan sampai pelumpuran) bervariasi antara 360-434 mm. Pada stadia vegetatif, pengairan terutama ditujukan untuk menjaga ketinggian air (ponding water layer) antara 3 dan 5 cm sesuai dengan ketinggian tanaman padi, kebutuhan tanaman padi akan air, dan untuk menekan laju pertumbuhan gulma. Oleh karena itu, air irigasi yang masuk melalui saluran air masuk utama (main inlet) diatur sekecil mungkin agar tidak merusak tanaman padi yang masih muda. Akibatnya, pada stadia vegetatif debit air irigasi adalah yang terkecil, yaitu berkisar antara 0,33 0,15 sampai 0,54 0,15 l detik-1. Meningkatnya debit air irigasi pada saat stadia generatif diduga kuat karena kebutuhan padi akan air meningkat dan untuk meningkatkan tinggi genangan air (ponding water layer) sekitar 7 cm (Sukristiyonubowo et al., 2004). Debit air irigasi pada stadia generatif berkisar antara 1,38 0,28 sampai 1,60 0,06 liter detik-1. Kecenderungan yang sama terjadi pula pada pengukuran debit larutan sedimen, dimana debit larutan sedimen saat pelumpuran dan sebelum tanam menunjukkan nilai yang tertinggi. Penyebabnya berkaitan dengan debit air irigasi pada saat pelumpuran yang tertinggi. Besarnya debit

HASIL DAN PEMBAHASAN Mobilitas Sedimen selama Pertumbuhan dan Perkembangan Padi
Debit dan kadar lumpur air irigasi dan larutan sedimen

Hasil pengukuran debit dan konsentrasi sedimen air irigasi pada saluran air masuk utama (main inlet) dan larutan sedimen pada saluran air keluar utama (main outlet) selama pertumbuhan tanaman padi disajikan pada Tabel 3. Secara umum, debit air irigasi pada saat pelumpuran yang diukur pada saluran air masuk utama adalah yang paling besar jika dibandingkan dengan pada stadia pertumbuhan padi yang lain. Hal ini dikarenakan pada saat pelumpuran debit kanal ditingkatkan dan petani membuka lebih lebar saluran air masuk utama dengan maksud untuk menjenuhkan lahan dengan air, mempermudah proses pelumpuran, dan untuk meratakan permukaan lapisan olah yang telah selesai dibajak. Proses ini berlangsung sampai menjelang tanam, sehingga diperoleh permukaan area tanam yang rata agar pemindahan bibit (tanam) lebih mudah. Ini juga yang menjadi alasan bahwa debit air irigasi setelah pelumpuran sampai sebelum

44

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 3. Rata-rata debit, konsentrasi sedimen, dan sedimen yang terbawa air irigasi dan larutan sedimen selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004 Table 3. Average discharge, sediment concentration, and transported sediment by irrigation water measured at main inlet and suspended sediment measured at main outlet during rice growth in the WS 20032004
Perlakuan/ pengamatan Air irigasi Debit l detik
-1

Kadar lumpur gl
-1

Sedimen kg ha + + + +
-1

Debit l detik 1,14 1,31 1,20 0,89 1,17 1,17 1,06 1,28
-1

Larutan sedimen Konsentrasi sedimen g l-1 a a a a a a a a 3,550 2,880 3,580 3,090 0,273 0,280 0,283 0,270 0,46 1,42 1,13 1,81 a a a a a a a a

Sedimen kg ha-1 684 546 491 599 527 888 381 814 a a a a a a a a

Pelumpuran FP 3,10 0,55 a* FP + RS 2,55 1,23 a IT 2,72 1,27 a IT + RS 2,84 0,53 a Sebelum tanam FP 1,45 0,20 a FP + RS 1,39 0,39 a IT 1,46 0,23 a IT + RS 1,54 0,21 a Stadia vegetatif FP FP + RS IT IT + RS Sebelum pemupukan FP 0,79 0.51 a FP + RS 0,37 0,21 a IT 0,54 0,15 a IT + RS 0,35 0,16 a Setelah pemupukan FP 0,57 0,37 a FP + RS 0,36 0,28 a IT 0,50 0,13 a IT + RS 0,33 0,15 a Stadia generatif FP 1,60 0,06 a FP + RS 1,38 0,28 a IT 1,50 0,12 a IT + RS 1,51 0,07 a Jumlah sedimen FP FP + RS IT IT + RS

0,330 0,05 a 0,310 0,19 a 0,490 0,09 c 0,420 0,05 b 0,287 0,313 0,307 0,303 0,021 0,025 0,025 0,047

204 280 235 361

a a a a a a a a a a a a

0,14 0,34 0,46 0,20 0,19 0,30 0,12 0,10

+ 686 a a + 1.150 + 565 a a + 1.088 + + + + 2.093 2.783 1.260 2.835

0,015 0,010 0,025 0,026

- 1.284 a - 1.870 a - 774 a - 1.608 a 0,78 0,25 0,36 0,21 0,51 0,27 0,38 0,21 0,52 0,19 0,11 0,07 0,35 0,20 0,11 0,17 0,09 0,22 0,06 0,11 a a a a a a a a a a a a 0,237 0,243 0,237 0,267 0,223 0,220 0,223 0,220 0,170 0,177 0,173 0,180 0,015 0,021 0,015 0,051 0,015 0,030 0,015 0,020 0,017 0,031 0,012 0,010 a a a a a a a a a a a a 655 925 422 911 a a a a a a a a

0,267 0,267 0,280 0,283 0,247 0,237 0,250 0,243 0,207 0,203 0,243 0,207

0,021 0,021 0,306 0,045 0,015 0,021 0,010 0,015 0,012 0,021 0,015 0,015

a a a a a a a a + 963 a a + 1.237 + 655 a a + 1.237 + + + + 3.946 5.450 2.715 5.521 a a a a a a a a

1,32 1,15 1,13 1,24

3.150 4.229 2.068 3.932

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5% (+) = sedimen yang terbawa masuk, () = sedimen yang terangkut keluar

larutan sedimen saat pelumpuran dan sebelum tanam adalah 1,31 0,34 dan 1,28 0,10 liter detik-1. Jika dibandingkan dengan debit air irigasi, debit larutan sedimen adalah lebih rendah. Selain karena larutan sedimen mengandung kadar lumpur yang lebih tinggi, penurunan ini mungkin juga

berkaitan dengan jumlah teras, ukuran teras dan luas lahannya. Penurunan debit ini mendemontrasikan bahwa ada penghambatan laju air yang dilakukan oleh sistem sawah berteras, yang memungkinkan terjadinya pengendapan material yang dibawanya (yaitu sedimen dan hara tanaman).

45

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Fenomena yang sama diamati pada kadar lumpur air irigasi, walaupun besarnya kadar lumpur lebih tergantung pada aktivitas yang terjadi di kawasan atas (upstream). Selama perioda pengukuran, persawahan kawasan atas juga sedang berlangsung kegiatan pengolahan tanah. Larutan sedimen yang terbuang keluar dari sawah-sawah kawasan atas berperanan dalam meningkatkan kadar lumpur air irigasi yang masuk ke lahan sawah. Adanya erosi tebing (stream bank erosion) diduga juga menambah besarnya kadar lumpur air irigasi. Akibatnya, kadar lumpur air irigasi pada saat pelumpuran adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan pada stadia pertumbuhan padi lainnya. Besar kadar lumpur air irigasi saat pelumpuran adalah berkisar antara 0,31 0,19 sampai 0,49 0,09 g l-1. Pola yang sama juga didapat pada pengukuran kadar lumpur larutan sedimen. Kadar lumpur larutan sedimen, yang diukur pada saluran air keluar utama, saat pelumpuran adalah yang paling tinggi, hampir mencapai 10 sampai 20 kali lebih besar dibandingkan dengan saat stadia pertumbuhan padi lainnya (Tabel 3). Hal ini disebabkan pada saat pelumpuran terjadi perubahan struktur tanah yang drastis dan signifikan, yaitu dari bongkahan tanah menjadi struktur lumpur (puddled structure) akibat benturan langsung saat pencangkulan dan pelumpuran. Struktur lumpur dengan tekstur halus (clay) yang terdispersi ini lebih mudah terbawa aliran air dari pada dalam bentuk agregat tanah. Sebaliknya, pada pengukuran stadia lainnya tidak terjadi gangguan sama sekali pada struktur tanahnya. Selain itu, tanaman padi sudah mulai tumbuh dan berkembang sehingga dapat menahan benturan langsung air hujan ke permukaan tanah (splash erosion) dan ada kemungkinan pengaruh dari tinggi genangan air (sekitar 7 cm) dalam menahan splash erosin (Sukristiyonubowo et al., 2004). Besarnya kadar lumpur larutan sedimen saat pelumpuran berkisar antara 2,88 1,42 sampai 3,58 1,13 g l-1, lebih tinggi 2,70 - 3,41 g l-1 jika dibandingkan dengan stadia lainnya. Berhubung pengukuran dilakukan pada musim hujan, tentunya faktor luar yang dominan 46

berpengaruh terhadap besar kecilnya debit dan kadar lumpur air irigasi berikut larutan sedimen adalah curah hujan, selain adanya kontribusi dari erosi tebing kanal (stream bank erosion). Data ini menjadi sangat penting untuk mengevaluasi variasi musiman (seasonal variation) agar diperoleh gambaran yang utuh tentang fungsi lain dari sistem sawah berteras terhadap lingkungan (Environmental services of terraced paddy field system).
Sedimen yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar

Sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi melalui saluran air masuk utama dan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen lewat saluran air keluar utama selama pertumbuhan padi musim hujan 20032004 disajikan pada Tabel 3. Berhubung debit dan kadar lumpur selama pertumbuhan padi bervariasi, maka sedimen yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar areal sawah beragam. Pada saat pelumpuran, debit dan kadar lumpur air irigasi begitu juga larutan sedimen adalah yang terbesar. Namun, karena pelumpuran berlangsung hanya dalam waktu satu hari, maka sedimen yang terbawa masuk maupun yang terangkut keluar areal sawah menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan stadia pertumbuhan lainnya (Gambar 1). Besarnya sedimen yang terbawa masuk air irigasi saat pelumpuran berkisar antara +204 sampai +361 kg ha-1 dan yang terangkut keluar melalui larutan sedimen antara -491 sampai -684 kg ha-1. Sebaliknya, pada stadia vegetatif yang mempunyai debit dan kadar lumpur terkecil, karena jumlah pengairan berlangsung paling lama (18 hari), maka sedimen yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar lahan sawah adalah yang paling besar. Besarnya sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi dan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen pada stadia vegetatif berkisar dari +1.260 sampai +2.835 kg ha-1 dan dari -774 sampai -1.870 kg ha-1. Mengacu pada pergerakan sedimen yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi, hanya pada saat pelumpuran menunjukkan neraca

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Mobilitas sedimen pada perlakuan FP, MH 2003-2004 1250 1.250 1000 1.000 Sedimen (kg ha -1 musim -1) 750 750 500 500 250 250
0 0
Pelumpuran

Mobilitas sedimen pada perlakuan FP + RS, MH 2003-2004 1250 1.250 Sedimen (kg ha -1 musim -1)
1.000 1000 750 750 500 500 250 250 0 0
Pelumpuran

-250 -250 -500 -500


-750 -750

Sebelum tanam

Vegetatif

Generatif

-250 -250 -500 -500

Sebelum tanam

Vegetatif

Generatif

Waktu pengamatan

Waktu pengamatan

Mobilitas sedimen pada perlakuan IT, MH 2003-2004 1250 1.250 Sedimen (kg ha -1 musim -1) 1000 1.000 750 750 500 500
250 250 0 0
Pelumpuran

Mobilitas sedimen pada perlakuan IT+RS, MH 2003-2004 1250 1.250 Sedimen (kg ha -1 musim -1) 1000 1.000 750 750 500 500 250 250 0
Pelumpuran

-250 -250 -500 -500

Sebelum tanam

Vegetatif

Generatif

-250 -250 Waktu pengamatan

Sebelum tanam

Vegetatif

Generatif

Waktu pengamatan

Gambar 1. Sedimen yang terdeposisi (sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih besar dari yang terangkut keluar oleh larutan sedimen) dan yang hilang (sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih kecil dari yang terangkut keluar oleh larutan sedimen) pada sistem sawah berteras selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004 Figure 1. Deposited sediment (incoming sediment was higher than outgoing sediment) and removed sediment (incoming sediment was lower than outgoing sediment) at terraced paddy fields system during rice growth in the WS 2003-2004

yang negatif (Gambar 1). Hal ini mengindikasikan bahwa pada saat pelumpuran, erosi (tillage rosion) lebih besar dari deposisi (deposition rate). Banyaknya antara 239 Kecenderungan tanah yang yang kg sama tererosi ha-1 berkisar musim-1. oleh sampai 480

keluar, sehingga terjadi penambahan sedimen pada lahan sawah. Banyaknya sedimen yang terdeposisi selama siklus hidup tanaman padi berkisar antara 647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1. Data ini juga menunjukkan bahwa ada fungsi lain (external services) dari sistem sawah berteras yang diberikan terhadap lingkungan, yaitu dalam mengurangi efek negatif kawasan bawah (reducing negative impact of downstream) yang berupa sedimentasi/ pendangkalan waduk, penurunan kwalitas air, dan lain sebagainya. Dari pembahasan ini dapat ditarik

dilaporkan

Sukristiyonubowo (2008). Sebaliknya, pada stadia lainnya (tanam, vegetatif dan generatif) deposisi berlangsung lebih besar dibandingkan dengan erosi. Ini berarti bahwa sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih besar dari pada yang terangkut

47

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

suatu kesimpulan bahwa selama pertumbuhan dan perkembangan padi, erosi hanya terjadi saat pelumpuran dan besar tanah yang hilang (soil loss) berkisar antara 239 sampai 480 kg ha-1 musim-1. Sedangkan mulai tanam sampai stadia generatif, sedimen terdeposisi pada lahan sawah yang besarnya (setelah dikurangi dengan tanah yang tererosi saat pelumpuran) bervariasi dari 647 sampai 1.589 t ha-1 musim-1 dan antar perlakuan tidak menunjukkan beda yang nyata. Mobilitas hara tanaman selama pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi Seperti halnya sedimen, mobilitas hara diamati selama pertumbuhan padi, mulai dari saat pelumpuran sampai dengan akhir stadia pertumbuhan generatif. Untuk menghitung hara yang masuk dan keluar lahan sawah, data seperti konsentrasi hara terlarut pada air irigasi dan larutan sedimen digunakan, selain volume air irigasi dan larutan sedimen.
Konsentrasi hara terlarut pada air irigasi dan larutan sedimen

Kecenderungan hasil yang sama ditunjukkan oleh larutan sedimen pada semua perlakuan yang diuji. Variasi konsentrasi nitrat (N03-), amonium (NH4+), fosfat (PO4-) dan kalium (K+) pada larutan sedimen adalah tidak besar (Tabel 5). Seperti halnya pada air irigasi, konsentrasi NO3- dan NH4+ tertinggi dijumpai pada saat setelah pemupukan. Peristiwa ini membuktikan juga bahwa pupuk N yang diberikan di sawah (on site), tercuci dan terangkut keluar bersama larutan sedimen. Besarnya konsentrasi nitrat (N03-) terlarut setelah pemupukan bervariasi antara 0,80 0,04 sampai 1,15 0,04 mg kg-1 dan untuk amonium (NH4+) terlarut 1,68 0,04 mg kg-1, tergantung pada perlakuannya. Konsentrasi PO4- terlarut pada air irigasi tergolong sangat rendah, bervariasi antara 0,01 sampai 0,12 mg kg-1. Fenomena yang sama ditunjukkan juga pada larutan sedimen, sekalipun pada perlakukan IT dan IT+RS yang menambahkan pupuk P sebesar 100 kg TSP ha-1 musim-1. Pada semua perlakuan baik yang memberi pupuk P (IT dan IT+RS) maupun yang tidak (FP dan FP+RS), konsentrasi PO4- pada pengamatan setelah pemupukan relatif sama besarnya, yaitu antara 0,06 sampai 0,09 mg kg-1 (Tabel 5). Kejadian ini menunjukkan bahwa pupuk P lebih tahan terhadap pencucian dibandingkan dengan pupuk N, atau mungkin P lebih banyak terfiksasi dalam bentuk Al-P dan Fe-P karena pH tanahnya berkisar antara 5,0 sampai 5,6. Oleh sebab itu, sangat menarik untuk mengevaluasi P yang terkandung dalam sedimen, yang terdiri atas butiran-butiran halus sampai sangat halus (clay texture). Diantara hara yang terlarut, konsentrasi K+ terlarut baik pada air irigasi maupun larutan sedimen tergolong tinggi, yang bervariasi dari 1,86 0,04 sampai dengan 2,34 0,04 mg kg-1 untuk air irigasi (Tabel 4) dan dari 1,13 0,02 sampai dengan 2,21 0,05 mg kg-1 untuk larutan sedimen (Tabel 5). Seperti dilaporkan oleh Sukristiyonubowo (2007) pemupukan yang dilakukan oleh perkebunan teh (Camelia sinensis), kopi (Coffea arabica), cengkeh (Eugenia aromatica) dan rambutan (Nephelium lapaceum) di kawasan atas berpengaruh nyata terhadap

Pada umumnya variasi konsentrasi nitrat (NN03 ), amonium (N-NH4+), fosfat (PO4-) dan kalium (K+) pada air irigasi adalah tidak besar (Tabel 4). Meningkatnya konsentrasi NO3- dan NH4+ pada pengamatan setelah pemupukan dan menjadikannya yang tertinggi, yaitu N03- antara`0,56 sampai 1,22 mg kg-1 dan NH4+ antara 1,77 sampai 1,98 mg kg-1 menimbulkan dugaan adanya pengkayaan (enrichment) oleh faktor luar. Dugaan tersebut mengilustrasikan adanya pupuk N yang tercuci dan atau terbawanya hasil-hasil dekomposisi dari kawasan atas (upstream) dalam air irigasi. Kemungkinan lainnya adalah pengkayaan N-N03- dan N-NH4+ oleh air hujan. Seperti dilaporkan oleh Demyttenaere (1991), Poss and Saragoni (1992), dan Sukristiyonubowo (2007) bahwa air hujan mengandung N yang relatif tinggi.
-

48

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 4. Konsentrasi N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk oleh air irigasi selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004 Table 4. Concentration of dissolved N, P, and K in irrigation water during rice growth in the WS 2003-2004
Perlakuan/pengamatan Pelumpuran FP FP + RS IT IT + RS Sebelum tanam FP FP + RS IT IT + RS Stadia vegetatif Sebelum pemupukan FP FP + RS IT IT + RS Setelah pemupukan FP FP + RS IT IT + RS Stadia generatif FP FP + RS IT IT + RS Konsentrasi N, P, dan K pada air irigasi NH4+ PO4K+ N03-1 ..................................... mg kg ..................................... 0,10 0,30 0,15 0,20 0,006 0,012 0,006 0,010 a a a a a a a a 1,01 1,46 1,03 1,07 1,58 1,59 1,65 1,76 1,28 1,21 1,18 1,19 1,77 1,84 1,78 1,98 1,65 1,59 1,66 1,67 0,025 b 0,012 a 0,015 b 0,025 b 0,065 0,045 0,050 0,035 0,012 0,030 0,012 0,010 0,055 0,035 0,035 0,015 0,025 0,025 0,030 0,025 b b b a a b b b b b b a a a a a 0,01 0,07 0,02 0,01 0,03 0,04 0,08 0,04 0,12 0,09 0,09 0,08 0,07 0,07 0,10 0,08 0,03 0,04 0,07 0,04 0,00 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,03 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a 1,86 0,04 a 2,34 0,04 b 1,79 0,05 a 1,80 004 a 1,86 1,79 1,72 1,79 1,95 2,01 2,02 1,86 2,04 2,14 2,16 2,34 1,86 1,79 1,72 1,84 0,04 0,05 0,04 0,05 0,02 0,04 0,02 0,04 0,06 0,06 0,05 0,04 0,04 0,05 0,03 0,02 a a b a a a a b b b b a a a b a

0,15 0,030 0,14 0,020 0,12 0,015 0,15 0,030

0,29 0,025 b 0,45 0,025 b 065 0,015 a 0,45 0,025 b 0,70 0,56 1,22 0,83 0,36 0,36 0,47 0,44 0,021 0,035 0.030 0,030 0,030 0,006 0,015 0,035 c d a b b b a a

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

konsentrasi hara terlarut yang dibawa oleh air irigasi, selain tercucinya hasil dekomposisi seresah (litter) dan bahan organik lainnya. Tingginya konsentrasi K dan dilaporkan oleh peneliti peneliti
+

pemupukan yang memperlihatkan konsentrasi K+ terlarut tertinggi. Selain karena perbedaan konsentrasi N-NO3-, N-NH4+, PO4- dan K+ terlarut antara air irigasi dan larutan sedimen, faktor lain seperti debit, pemupukan, curah hujan dan ukuran teras juga akan berpengaruh terhadap deposit atau tererosinya hara seperti yang dilaporkan dalam Sukristiyonubowo (2007). mengenai Penelitian lebih rinci dan mendalam

terlarut pada air irigasi juga telah banyak dibahas terdahulu


+

(Uexkull, 1970; Sukristiyonubowo, 2007). Selanjutnya, tingginya konsentrasi K pada larutan sedimen (runoff terlarut lebih sediment)

dipengaruhi oleh tererosinya pupuk KCl (terutama pada perlakuan IT dan IT+RS yang memberi 100 kg KCl ha-1 musim-1) dan tercucinya hasil dekomposisi jerami (terutama pada perlakuan FP+RS dan IT+RS). Hal ini terdeteksi pada pengamatan setelah

sistem sawah berteras pada musim kemarau menjadi sangat penting untuk menggali informasi mengenai fungsi lain dari sistem sawah berteras, yang tidak hanya sekedar media penghasil beras.

49

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 5. Konsentrasi N, P, dan K terlarut yang terangkut keluar oleh larutan sedimen selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004 Table 5. Concentration of dissolved N, P, and K in suspended sediment during rice growth, WS 2003-2004
Perlakuan/pengamatan Pelumpuran FP FP + RS IT IT + RS Sebelum tanam FP FP + RS IT IT + RS Stadia vegetatif Sebelum pemupukan FP FP + RS IT IT + RS Setelah pemupukan FP FP + RS IT IT + RS Stadia generatif FP FP + RS IT IT + RS Konsentrasi N, P, dan K pada larutan sedimen NH4+ PO4K+ N03....................................... mg kg-1 ................................... 0,12 0,58 0,17 0,13 0,10 0,10 0,10 0,13 0,69 0,85 0,89 0,80 0,80 1,10 1,15 0,97 0,31 0,34 0,43 0,46 0,02 0,09 0,03 0,05 0,03 0,02 0,01 0,02 0,03 0,03 0,04 0,02 0,04 0,05 0,04 0,02 0,03 0,03 0,02 0,02 b a b b a a a a b a a a c a a b b b a a 1,05 1,47 1,11 1,10 1,47 1,54 1,62 1,57 1,30 1,31 1,32 1,29 1,69 1,68 1,67 1,68 0,05 0,07 0,07 0,09 0,03 0,03 0,02 0,02 0,03 0,03 0,01 0,03 0,05 0,04 0,06 0,04 b a b b b b a b a a a a a a a a 0,02 0,12 0,03 0,05 0,03 0,03 0,07 0,04 0,06 0,06 0,04 0,08 0,07 0,06 0,06 0,09 0,03 0,03 0,06 0,06 0,01 0,03 0,01 0,01 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 0,02 0,01 0,02 0,02 0,01 0,04 0,01 0,01 0,02 0,01 0,01 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a 1,60 2,21 1,60 1,75 1,13 1,38 1,44 1,54 1,67 1,70 1,73 1,75 1,73 1,85 1,90 1,99 1,56 1,75 1,75 1,95 0,05 0,05 0,04 0,02 0,02 0,03 0,04 0,04 0,06 0,06 0,05 0,05 0,06 0,04 0,02 0,04 0,03 0,03 0,02 0,04 b a b b b a a a a a a a c b b a c b b a

1,57 0,03 b 1,54 0,03 b 1,57 0,03 b 1,62 0,02 a

*) Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar selama pertumbuhan tanaman padi

Berhubung konsentrasi hara terlarut dan debit air irigasi dan larutan sedimen berbeda, maka hara terlarut yang terbawa masuk dan yang terangkut keluar sawah akan bervariasi. Variasi ini dapat menyebabkan neraca hara positif, apabila hara yang masuk lebih banyak dari pada yang keluar, atau negatif, apabila hara yang masuk lebih sedikit dibandingkan hara yang terangkut keluar (Tabel 6). Seperti halnya pada pergerakan sedimen, N (NO3 + NH4+), P dan K terlarut yang masuk dan yang keluar pada stadia vegetatif adalah yang terbesar. Penyebabnya adalah pengairan pada stadia
-

ini dilakukan lebih lama jika dibandingkan dengan saat pelumpuran (1 hari), sebelum tanam (7 hari) dan stadia generatif (8 hari). Pada stadia ini terjadi surplus hara terlarut, dimana hara terlarut yang masuk lebih besar dari pada yang keluar. Besarnya surplus hara terlarut tersebut berkisar antara 4,14 dan 9,90 kg N, 0,09 dan 1,14 kg P, dan antara 3,96 dan 8,28 kg K ha-1 musim-1. Menarik untuk disimak bahwa hara terlarut yang masuk pada masing-masing stadia pertumbuhan padi adalah lebih besar dibandingkan dengan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen. Akibatnya, hara tersebut tersimpan di setiap teras lahan sawah. Sukristiyonubowo (2007) menemukan bahwa teras dengan ukuran yang lebih luas

50

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Tabel 6. N, P, dan K terlarut yang terbawa masuk oleh air irigasi dan yang terangkut keluar oleh larutan sedimen selama pertumbuhan padi, MH 2003-2004 Table 6. Incoming and outgoing dissolved N, P and K during rice growth in the WS 2003-2004
Perlakuan/ pengamatan Pelumpuran FP FP + RS IT IT + RS Sebelum tanam FP FP + RS IT IT + RS Stadia vegetatif FP FP + RS IT IT + RS Stadia generatif FP FP + RS IT IT + RS Jumlah FP FP + RS IT IT + RS Hara terlarut yang masuk Hara terlarut yang keluar Net input N P K N P K N P K .................................................. kg ha-1 musim-1 .................................................. 0,58 b* 1,20 a 0,52 b 0,68 b 4,20 6,48 3,24 6,36 a a a a 0,002 0,020 0,002 0,002 0,060 0,060 0,060 0,060 0,270 0,288 0,144 0,270 0,070 0,090 0,050 0,090 0,402 0,458 0,256 0,422 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a 1,06 1,57 0,87 1,13 4,26 6,60 3,30 6,42 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a 0,36 0,86 0,34 0,56 3,06 5,64 2,16 4,48 a a a a a a a a a a a a 0,002 0,040 0,003 0,008 0,018 0,030 0,030 0,030 0,126 0,162 0,072 0,180 0,040 0,050 0,040 0,080 0,186 0,282 0,145 0,298 a b a a a a a a a a a a a a a a a a a a 0,55 0,93 0,46 0,80 2,64 3,90 1,92 4,62 a a a a a a a a a a a a 0,22 0,33 0,18 0,12 1,20 0,90 1,08 1,50 9,90 9,54 4,14 9,90 2,30 2,30 1,80 2,00 a a a a a a a a a a a a a a a a 0 0 0 0 0,018 0,030 0,030 0,030 0,144 0,126 0,090 0,090 0,030 0,040 0,010 0,010 0,192 0,196 0,130 0,130 a a a a a a a a a a a a a a a a 0,51 0,64 0,41 0,33 1,62 2,70 1,38 1,80 6,84 8,28 3,96 8,28 2,40 1,80 1,50 0,90 11,37 13,42 7,25 11,31 a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a

22,50 ab 29,52 a 12,60 b 25,56 ab 9,50 12,50 6,60 12,30 36,78 49,70 22,96 44,90 a a a a a a a a

16,20 22,86 9,90 20,70 8,40 11,00 5,80 10,80 29,92 42,03 19,87 39,05

12,96 19,98 8,46 15,66

10,80 14,58 5,76 12,42 6,00 9,10 4,10 9,90 19,99 28,51 12,24 27,74

7,20 a 10,20 a 4,80 a 10,30 a 23,58 36,68 15,76 31,32 a a a a

a a a a a a a a

13,62 a 13,07 a 7,20 a 13,52 a

* Angka pada kolom yang sama untuk pengamatan yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada Duncan Multiple Range Test dengan selang kepercayaan 5%

menyimpan hara lebih banyak dibandingkan teras yang berukuran lebih kecil. Fenomena ini juga mengindikasikan adanya pengurangan akibat negatif di kawasan bawah (downstream) berupa meningkatnya kualitas air. Besarnya hara terlarut yang tersimpan di lahan sawah selama pertumbuhan tanaman padi adalah 7,20 - 13,62 kg N, 0,13 - 0,20 kg P dan 7,25 - 13,42 kg K ha-1 musim-1 dan antar perlakuan tidak menunjukkan beda yang nyata (Tabel 6). Hasil ini dapat diartikan bahwa kontribusi nitrogen (N) dan kalium (K) dari air irigasi untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi adalah relatif besar, setara dengan 14-28 kg urea dan 15-25 kg KCl ha-1 musim-1. Sementara itu sumbangan P (fosfor) air irigasi adalah sangat kecil atau hampir tidak berarti.

KESIMPULAN 1. Selama pertumbuhan padi debit air irigasi bervariasi bergantung pada penggunaan di kawasan atas dan stadia pertumbuhan padi. Debit air irigasi saat pelumpuran adalah yang terbesar, berkisar mulai 2,55 1,23 sampai 3,10 0,55 l detik-1. Pada stadia vegetatif debit air irigasi adalah yang terkecil, yaitu antara 0,33 0,15 dan 0,54 0,15 l detik-1, dan pada stadia generatif berkisar antara 1,38 0,28 sampai 1,60 0,06 l detik-1. Dibandingkan dengan debit air irigasi, debit larutan sedimen adalah lebih kecil. Debit larutan sedimen saat pelumpuran berkisar dari 0,89 0,20 sampai 1,31 0,34 l detik-1 dan pada stadia vegetatif debit larutan sedimen adalah yang terkecil, yaitu

51

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

antara 0,21 0,07 dan 0,78 0,52 l detik-1. Pada stadia generatif bervariasi dari 1,13 0,06 sampai 1,32 0,09 l detik-1. Kadar lumpur air irigasi bervariasi antara 0,207 0,012 sampai 0,490 0,09 g l-1, dengan kadar lumpur tertinggi adalah saat pelumpuran. Kecenderungan yang sama diamati pada kadar lumpur larutan sedimen. Kadar lumpur larutan sedimen tertinggi adalah saat pelumpuran yang bervariasi antara 2,88 1,42 sampai 3,58 1,13 g l-1, lebih tinggi sebesar 2,70-3,41 g l-1 jika dibandingkan dengan stadia lainnya. 2. Sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi lebih kecil dari pada sedimen yang terangkut keluar oleh larutan sedimen hanya pada saat pelumpuran. Banyaknya sedimen yang tersimpan berkisar dari 647 sampai 1.589 kg ha-1 musim-1 dari jumlah sedimen yang terbawa masuk oleh air irigasi berkisar antara 2.715 sampai 5.521 kg ha-1 musim-1 dan antar perlakuan tidak menunjukkan beda yang nyata. Sebaliknya, hara terlarut (nitrogen, fosfor, dan kalium) yang terbawa masuk oleh air irigasi di setiap stadia pertumbuhan padi tersimpan di sawah. Jumlah hara terlarut yang tersimpan di lahan sawah selama pertumbuhan tanaman padi adalah 7,2013,62 kg N, 0,13-0,20 kg P, dan 7,25-13,42 kg K ha-1 musim-1, setara dengan 14-28 kg urea dan 15-25 kg KCl ha-1 musim-1 dan secara statistik antar perlakuan tidak menunjukkan beda nyata. Hasil ini mendemonstrasikan adanya fungsi lain (external services) yang diberikan oleh sistem sawah berteras, selain sebagai tempat memproduksi beras.

and water conservation and sustainable agricultural production in Asia. Agus, F., T. Vadari, R.L. Watung, Sukristiyonubowo, and C. Valentin. 2003. Effects of land use and management systems on water and sediment yields: Evaluation from several micro catchments in Southeast Asia. Pp 135-149. In: Maglinao, A.R., Valentin, C., and Penning de Vries, F.W.T. (Eds.), From soil research to land and water management: Harmonising People and Nature. Proceedings of the IWMI-ADB Project Annual Meeting and 7th MSEC Assembly. Aksoy, H., and H.L. Kavvas. 2005. A review of hillslope and watershed scale erosion and sediment transport model. Catena. 64:247271. Alberts, E.E., G.E. Schuman, and R.E. Burwell. 1978. Seasonal runoff losses of nitrogen and phosphorus from Missouri Valley loess watershed. Journal of Environmental Quality 7:203-208. Anbumozhi, V., E. Yamaji, and T. Tabuchi. 1998. Rice crop growth and yield as influenced by changes in ponding water depth, water regime and fertigation level. Agricultural Water Management 37:241-253. Anonim. 1977. Bercocok tanam padi, palawijo dan sayur. BIMAS, Departemen Pertanian. 280 hlm. Anonim. 2007. Rekomendasi pemupukan N, P dan K pada padi sawah spesifik lokasi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 286 hlm. Bhagat, R.M., S.I. Bhuiyan, and K. Moody. 1996. Water, tillage and weed interactions in lowland tropical rice: a review. Agricultural Water Management 31:165-184. Bhuiyan, S.I. 1992. Water management in relation to crop production: case study on rice. Outlook Agriculture. 21:293-299. Bhuiyan, S.I., M.A. Sattar, and D.F. Tabbal. 1994. Wet seeded rice: water use efficiency, productivity and constraints to wider adoption. Paper presented at the International Workshop on constrains, opportunities, and innovations for wet seeded rice, Bangkok, May 31-June 3, 1994, 19 p.

DAFTAR PUSTAKA Adachi, K. 1990. Effect of rice-soil puddling on water percolation. Pp 146-151. In Proceedings of the transactions of the 14th International Congress on Soil Science I. Agus, F. and Sukristiyonubowo. 2003. Nutrient loss and onsite cost of soil erosion under different land uses systems in South East Asia. Pp 186-193. In Wani, S.P., Maglinoa, A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.), Integrated catchment management for land 52

SUKRISTIYONUBOWO : MOBILITAS SEDIMEN DAN HARA

PADA

SISTEM SAWAH BERTERAS DENGAN IRIGASI TRADISIONAL

Bouman, B.A.M., S. Peng, A.R. Castaneda, and R.M. Visperas. 2005. Yield and water use of irrigated tropical aerobic rice systems. Agricultural Water Management 74:87-105 Bouman. B.A.M., and T.P. Tuong. 2001. Field water management to save water and increase its productivity in irrigated lowland rice. Agricultural Water Management 49:11-30. BPS. 2002. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik. Cabangon, R.J., and T.P. Tuong. 2000. Management of cracked soils for water saving during land preparation for rice cultivation. Soil and Tillage Research 56: 105-116. Cabangon, R.J., T.P. Tuong, and N.B. Abdullah. 2002. Comparing water input and water productivity of transplanted and directseeded rice production systems. Agricultural Water Management. 57:11-31. Daniels, T.C., A.N. Sharpley, and J.L. Lemunyon. 1998. Agricultural phosphorus and eutrophication a symposium overview. Journal of Environmental Quality 27:251257. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practises of Rics Production. IRRI. Los Banos, Phillipines, P618. Demyttenaere, P. 1991. Stikstofdynamiek in de bodems van de westvlaamse groentestreek. Doctorate Thesis. 203 p. Douglas, Jr. C.L., K.A. King, and J.F. Zuzel. 1998. Nitrogen and phosphorus in surface runoff and sediment from a wheat-pea rotation in Northeastern Oregon. Journal of Environmental Quality 27:1170-1177. Duque Sr, C.M., R.O. Ilao, L.E. Tiongco, R.S. Quita, N.V. Carpina, B. Santos, and T. de Guzman. 2003. Management of soil erosion consortium: An innovative approach to sustainable land management in the Philippines. MSEC-Philippines Annual Report. In: Wani, S.P., Maglinoa, A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.), Integrated catchment management for land and water conservation and sustainable agricultural production in Asia. CD-Rom (one CD). El-Swaify, S.A. 1989. Monitoring of weather, runoff, and soil loss. Pp 163-178. In Soil management and smallholder development in the Pacific Islands. IBSRAM-Thailand proceedings. Ghildyal, B.P. 1971. Soil and water management for increased water and fertiliser use efficiency

for rice production. Pp 499-509 In Kanwar, J.S., Datta, N.P., Bains, S.S., Bhumbla, D.R., and Biswas, T.D. (Eds.), Proceedings of international symposium on soil fertility evaluation. Hashyim, G.M., K.J. Caughlan, and J.K. Syers. 1998. On-site nutrient depletion: An effect and a cause of soil erosion. Pp. 207-222. In: Penning de Vries, F.W.T., Agus, F., and Kerr, J. (Eds.), Soil Erosion at Multiple Scale. Principles and Methods for Assessing Causes and Impacts. CABI Publishing in Association with IBSRAM. IWMI (International Water Management Institute). 2004. Water facts. IWMI Brochure. Kirchhof, G., S. Priyono, W.H. Utomo, T. Adisarwanto, E.V. Dacanay, and H.B. So. 2000. The effect of soil puddling on the soil physical properties and the growth of rice and post-rice crops. Soil and Tillage Research 56:37-50. Kissel, D.E., C.W. Richardson, and E. Burnett. 1976. Losses of nitrogen in surface runoff in the Black Prairie of Texas. Journal of Environmental Quality 5:288-293. Kukal, S.S., and A.S. Sidhu. 2004. Percolation losses of water in relation to pre-puddling tillage and puddling intensity in a puddle sandy loam rice (Oryza sativa L.) field. Soil and Tillage Research 78:1-8. Lal, R. 1998. Soil erosion impact on agronomic productivity and environment quality. Critical Reviews in Plant Sciences 17(4):319-464. Lal, R., F.P. Miller, and T.J. Logan. 1998. Are intensive agricultural practices environmentally and ethically sound? Journal of Agriculture Ethics 1:193-210. Naphade, J.D., and B.P. Ghildyal. 1971. Influences of puddling and water regimes on soil characteristics, ion uptake and rice growth. Pp 510-517. In Kanwar, J.S., Datta, N.P., Bains, S.S., Bhumbla, D.R., and Biswas, T.D. (Eds.), Proceedings of international symposium on soil fertility evaluation. Phommassack, T., A. Chanthavongsa, C. Sihavong, C. Thonglatsamy, C. Valentine, A. de Rouw, P. Marchand, and V. Chaplot. 2003. An innovative approach to sustainable land management in Lao PDR. MSEC-Lao PDR Annual Report. In Wani, S.P., Maglinoa, A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.),

53

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Integrated catchment management for land and water conservation and sustainable agricultural production in Asia. CD-Rom (one CD). Poss, R., and H. Saragoni. 1992. Leaching of nitrate, calcium and magnesium under maize cultivation on an oxisol in Togo. Fertilizer Research 33(2):123-133. Robichaud, P.R., T.R. Lillybridge, and J.W. Wagenbrenner. 2006. Effect of post fire seeding and fertilising on hill slope erosion in north-central Washington, USA. Catena. 67: 56-67. Sanchez, P.A. 1973. Puddling tropical rice soils: 1. Growth and nutritional aspects. Soil Science 115:303-308. Schuman, G.E. and R.E. Burwell. 1974. Precipitation nitrogen contribution relative to surface runoff discharge. Journal of Environmental Quality. 4:366-369. Sharma, P.K., and S.K. De Datta. 1986. Physical properties and processes of puddled rice soils. Advance Soil Science. 5:139-178. Sukristiyonubowo, R.L. Watung, T. Vadari, and F. Agus. 2003. Nutrient loss and the on-site cost of soil erosion under different land use systems. Pp. 151-164. In Maglinao, A.R, Valentin, C., and Penning de Vries, F.W.T. (Eds.), From soil research to land and water management: Harmonising People and Nature. Proceedings of the IWMI-ADB Project Annual Meeting and 7th MSEC Assembly. Sukristiyonubowo, F. Agus, D. Gabriels, and M. Verloo. 2004. Sediment and nutrient balances under traditional irrigation at terraced paddy field systems. Paper presented at the second International Symposium on Land Use Change and Soil and Water processes in Tropical Mountain Environments held in Luang Prabang, Lao PDR on 14-17 December 2004. Organised by Ministry of Agriculture and Forestry, Lao PDR and sponsored by National Agriculture and Forestry Research Institute (NAFRI), International Water Management Institute (IWMI) and Institut de Recherche pour le Dveloppement (IRD). Sukristiyonubowo. 2007. Nutrient balances in terraced paddy fields under traditional

irrigation in Indonesia. PhD thesis. Faculty of Bioscience Engineering, Ghent University, Ghent, Belgium, 184 p. Sukristiyonubowo. 2008. Sedimen dan unsur hara yang terangkut saat pengolahan tanah pada sawah berteras. Hlm 225-245. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Taball, D.F., B.A.M. Bouman, S.I. Bhuiyan, E.B. Sibayan, and M.A. Sattar. 2002. On-farm strategies for reducing water input in irrigated rice; case study in the Philippines. Agricultural Water Management. 56:93-112. Toan, T.D., T. Phien, D.D. Phai, and L. Nguyen. 2003. Managing soil erosion for sustainable agriculture in Dong Cao Catchment. MSECVietnam Annual Report. In Wani, S.P., Maglinoa, A.R, Ramakrisna, A., and Rego, T.J. (Eds.), Integrated catchment management for land and water conservation and sustainable agricultural production in Asia. CD-Rom (one CD). Udawatta, R.P., P.P. Motavalli, H.E. Garrett, and J.J. Krstansky. 2006. Nitrogen losses in runoff from three adjacent agricultural watersheds with clay pan soils. Agriculture Ecosystems and Environment. 117:39-48. Uexkull, V.H.R. 1970. Some notes on the timing of potash fertilisation of rice (nitrogen-potash balance in rice nutrition). Pp. 413-416. In The International Potash Institute (Eds.). Proceedings of the 9th congress of the International Potash Institute. Visser, S.M., L. Stroosnijder, and W.J. Chardon. 2005. Nutrient losses by wind and water, measurements and modelling. Catena. 64: 1-22. WMO (World Meteorological Organisation). 1994. Guide to hydrological practices. Data acquisition and processing, analysis, forecasting and other applications. Fifth ed. WMO-No.168. 735 p. Yuqian, L. 1989. Manual on operational methods for the measurement of sediment transport. Operational Hydrology Report No.29. WMONo. 686. 169p.

54

Korelasi Beberapa Sifat Kimia Tanah dengan Serapan Fosfor Padi Sawah pada Tanah Kaolinitik dan Smektitik
The Correlation of Some Soil Chemical Properties with Phosphorus Uptake of Lowland Rice on Kaolinitic and Smectitic Soils
M. MASJKUR1 DAN A. KASNO2

ABSTRAK
Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan serapan P penting diketahui untuk menunjang rekomendasi pemupukan P. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi beberapa sifat kimia tanah dengan serapan P padi sawah pada tanah kaolinitik dan smektitik. Penelitian lapangan dilaksanakan pada lahan sawah kaolinitik Lampung dan smektitik Jawa Timur masingmasing dengan keragaman hara P rendah, sedang dan tinggi. Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas lima tingkat pupuk P yaitu : 0, 23, 46, 69, dan 115 kg P2O5 ha-1 menggunakan SP-36. Pada tanah kaolinitik, respon serapan P padi sawah tidak nyata dengan pemupukan P, sedangkan pada tanah smektitik respon serapan P nyata. Pada tanah kaolinitik C organik berkorelasi positif nyata dengan serapan P padi sawah, sedangkan pH tanah, kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi tidak nyata. Pada tanah smektitik C organik berkorelasi negatif nyata dengan serapan P padi sawah, sedangkan pH tanah, kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi tidak nyata. Dengan demikian peningkatan bahan organik pada tanah kaolinitik cenderung meningkatkan serapan P padi sawah, sedangkan pada tanah smektitik cenderung menurunkan serapan P. Kata kunci : Sifat-sifat kimia tanah, Kaolinitik, Smektitik, Serapan fosfor, Padi sawah

Keywords : Soil properties, Kaolinitic, Smectitic, Phosphorus uptake, Lowland rice

PENDAHULUAN Kahat fosfor merupakan salah satu kendala peningkatan produktivitas padi sawah. Di beberapa wilayah kandungan P umumnya masih rendah, sedangkan di wilayah lainnya kandungan P cukup tinggi. Hal ini disebabkan antara lain oleh pemupukan P terus-menerus dengan dosis tinggi. Rekomendasi pemupukan P padi sawah telah didasarkan pada pengkelasan hara P tersedia dan peluang respon tanaman (Rochayati dan Adiningsih, 2002). Namun demikian, rekomendasi pemupukan P tersebut belum didasarkan pada jenis tanah dan tipe mineral liat tanah. Cornforth et al. (1990) mengemukakan bahwa ketepatan rekomendasi pemupukan dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan jenis tanah (soil group) dan tipe mineral liat dominan telah digunakan sebagai penciri dalam pengelompokan jenis tanah. Sifat-sifat berbeda mineral liat tanah berpengaruh langsung terhadap sifat fisik dan kimia tanah (Brown, 1990; Newman and Hayes, 1990). Tanah-tanah Ultisols dan Oxisols umumnya mempunyai kaolinit sebagai mineral dominan (kaolinitik), sedangkan sebagian besar tanah Vertisols dicirikan oleh smektit sebagai mineral dominan (smektitik) (Brown, 1990; Tan, 1998). Tanah sawah Ultisols tersebar hampir di seluruh
1. Bagian Analisis dan Pemodelan Statistika, Departemen Statistika, IPB, Bogor. 2. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor.

ABSTRACT
Determining relationship between soil properties and phosphorus uptake is important to support P fertilizer recommendation. The objective of this research was to determine the relationship between some soil chemical properties and phosphorus uptake of lowland rice on kaolinitic and smectitic soils. Field experiments were conducted in Lampung kaolinitic paddy soils and East Java smectitic paddy soils with low, medium, and high P content variabilities. The experiments used completely randomized block design with four replications. The treatments consist of five P fertilizer levels that were 0, 23, 46, 69, dan 115 kg P2O5 ha-1, applied as superphosphate (SP-36). In kaolinitic soils, P uptake response with P fertilizer was not significant, whereas in smectitic soils P uptake response was significant. In kaolinitic soils, organic C correlated positively with P uptake of lowland rice, while the correlation of pH, clay content, exchangeable Ca, Fe, and Al were not significant. In smectitic soils, organic C correlated negatively with P uptake of lowland rice, while the correlation of pH, clay content, exchangeable Ca, Fe, and Al were not significant. Thus, increasing organic matter in kaolinic soils will increase P uptake of lowland rice, while in smectitic soils increasing organic matter will decrease P uptake.

ISSN 1410 7244

55

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

pulau utama, sedangkan Vertisols umum terdapat di dataran rendah di Pulau Jawa, sebagian Sumatera dan Sulawesi (Abdurachman et al., 1999). Korelasi antara sifat-sifat tanah dengan ketersediaan P penting diketahui untuk menunjang rekomendasi pemupukan P. Rochayati (1995) dalam percobaan rumah kaca mendapatkan bahwa fraksi Fe-P, besi oksida bebas, dan besi amorf berkorelasi positif nyata dengan serapan P padi sawah pada delapan minggu setelah tanam dan saat panen. pH tanah berkorelasi positif nyata dengan serapan P pada delapan minggu setelah tanam, tetapi berkorelasi tidak nyata pada saat panen. Adapun fraksi Al-P, fraksi Ca-P, Fe dan Mn dapat ditukar, dan C organik berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengetahui respon pemupukan P padi sawah pada tanah kaolinitik dan smektitik, (2) mengetahui korelasi beberapa sifat kimia tanah dengan serapan P padi sawah tanah kaolinitik dan smektitik.

kandungan bahan organik (C organik, N total, C/N rasio), P dan K HCl 25%, P Bray 1, K, Ca, Mg, dan Na dapat ditukar, KTK dan KB (NH4OAc 1 M pH 7), Fe, Mn, Cu, dan Zn dapat ditukar (DTPA), Al dan H dapat ditukar (KCl 1 N) (Tabel 1, 2, dan 3). Komposisi mineral liat tercantum pada Tabel 4 dan 5, sedangkan difraktogram x-ray tanah kaolinitik dan smektitik dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2. Percobaan lapangan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan empat ulangan. Perlakuan terdiri atas lima tingkat pupuk P yaitu : 0, 23, 46, 69, dan 115 kg P2O5 ha-1 menggunakan SP36. Sebagai pupuk dasar ditambah pupuk urea 300 kg ha-1 dan 150 kg KCl ha-1. Pupuk P diberikan sekaligus pada saat tanam. Pemupukan dilakukan dengan cara disebar secara merata ke seluruh permukaan petakan. Pupuk urea dan KCl diberikan dua kali, yaitu pada saat tanam dan fase primordia masing-masing dengan dosis. Petak percobaan berukuran 5 m x 5 m. Tanaman indikator yang digunakan adalah padi VUTB var. Fatmawati. Peubah yang diamati ialah serapan P tanaman pada saat panen.

BAHAN DAN METODE Penelitian lapangan dilaksanakan di daerah Lampung dan Jawa Timur, merupakan bagian dari Proyek Penelitian Teknologi Pengelolaan Lahan Sawah untuk Padi VUTB/Hibrida (Kasno, 2005). Penelitian dilaksanakan pada tiga lokasi lahan sawah Ultisols kaolinitik Lampung yaitu Purworejo 1 (P rendah), Purworejo 2 (P sedang), dan Simbarwaringin (P sangat tinggi) dan tiga lokasi lahan sawah Vertisols smektitik Jawa Timur yaitu Demangan (P sedang), Kedungrejo (P tinggi), dan Tirtobinangun (P sangat tinggi) pada musim tanam 2005/2006. Penelitian laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Penelitian Balai Penelitian Tanah Bogor. Contoh tanah lapisan atas (0-20 cm) diambil dari lokasi percobaan lapangan. Contoh tanah dikering-udarakan, dihaluskan, dan diayak dengan saringan 2 mm. Jenis penetapan sifat-sifat tanah terdiri atas : tekstur 3 fraksi, pH (H2O dan KCl), HASIL DAN PEMBAHASAN Respon serapan P padi sawah terhadap pemupukan P Grafik serapan P padi sawah dengan pemupukan P pada tanah kaolinitik Purworejo 1 (P rendah), Purworejo 2 (P sedang), dan Simbarwaringin (P sangat tinggi) dapat dilihat pada Gambar 3. Terlihat bahwa kurva serapan P hampir datar, hanya di lokasi Purworejo 1 (P rendah) terdapat kecenderungan meningkat dengan pemupukan P. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada tiga lokasi tanah kaolinitik tidak terdapat respon nyata serapan P dengan pemupukan P (Tabel 6, 7, dan 8). Serapan P padi sawah dengan pemupukan P (50, 100, 150, 200, dan 250 kg SP-36 ha-1) tidak berbeda nyata dengan tanpa pemupukan P (Tabel 9).

56

Tabel 1. Sifat-sifat tanah kaolinitik Purworejo dan Simbarwaringin Lampung Table 1. Kaolinitic soil properties from Purworejo dan Simbarwaringin Lampung
Lokasi pH (1:2.5) H2O KCl 5,0 5,1 5,1 5,1 5,3 5,2 5,2 5,2 5,1 5,1 5,2 5,2 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,1 4,0 4,0 4,0 4,1 4,1 4,0 Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C Tekstur Bahan organik HCl 25% Bray 1 Ekstrak amonium asetat 1 M pH 7 Pasir Debu Liat C N C/N P2O5 K2O P2O5 K Ca Mg Na Jumlah KTK .. g 100g-1 .. . g 100g-1 . mg 100g-1 mg kg-1 .. me 100g-1 .. 27 25 28 25 32 32 32 31 27 25 24 24 57 57 59 63 36 32 46 55 45 46 41 39 16 18 13 12 32 36 22 14 28 29 35 37 1,69 1,65 1,69 1,53 1,39 1,34 1,31 1,38 1,51 1,59 1,38 1,09 0,15 0,15 0,12 0,13 0,12 0,14 0,14 0,14 0,09 0,11 0,09 0,10 11 11 14 12 11 9 9 10 16 14 15 11 11,6 12,5 15,9 11,9 21,5 25,7 24,7 26,5 65,2 81,0 83,4 74,2 3,6 3,7 4,0 3,4 4,0 11,0 3,2 3,8 5,3 11,4 16,0 9,5 18 24 24 21 24 29 25 32 7 10 5 7 0,08 0,09 0,07 0,05 0,07 0,24 0,04 0,09 0,11 0,31 0,45 0,31 2,80 2,82 3,05 2,25 2,38 2,46 2,66 2,88 2,10 2,46 1,73 2,01 0,68 0,65 0,81 0,70 0,73 0,73 0,73 0,82 0,62 0,67 0,48 0,63 0,02 0,02 0,02 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 3,58 3,57 3,95 3,01 3,19 3,44 3,45 3,81 2,84 3,46 2,67 2,96 12,29 12,13 11,53 11,45 9,50 10,24 9,52 11,37 11,26 12,79 13,38 12,93

KB % 29 29 34 26 34 34 36 33 25 27 20 23

M. MASJKUR

Purworejo 1 P rendah I P rendah II P rendah III P rendah IV Purworejo 2 P sedang I P sedang II P sedang III P sedang IV Simbarwaringin P sangat tinggi I P sangat tinggi II P sangat tinggi III P sangat tinggi IV

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

Lokasi

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C Ekstrak DTPA KCl 1 N Fe Mn Cu Zn Al H .. mg kg-1 .. .. me 100g-1 .. 303 308 287 267 284 273 276 282 210 245 244 205 29 35 36 35 27 31 22 21 87 83 103 94 1,6 1,4 1,2 1,4 1,3 1,4 1,2 1,2 2,7 2,6 2,4 2,2 1,5 1,6 1,2 1,1 1,0 2,8 1,0 1,0 3,6 1,6 1,6 1,3 0,49 1,14 0,89 0,97 0,81 0,32 0,97 0,97 1,30 0,97 1,22 1,14 1,13 0,55 0,67 0,65 0,56 0,67 1,77 0,77 0,57 1,02 0,65 0,86

Purworejo 1 P rendah I P rendah II P rendah III P rendah IV Purworejo 2 P sedang I P sedang II P sedang III P sedang IV Simbarwaringin P sangat tinggi I P sangat tinggi II P sangat tinggi III P sangat tinggi IV

57

58

Tabel 2. Sifat-sifat tanah smektitik Jawa Timur Table 2. Smectitic soil properties from East Java
Lokasi pH (1:5) H2 O Demangan P sedang I P sedang II P sedang III P sedang IV Kedungrejo P tinggi I P tinggi II P tinggi III P tinggi IV Tirtobinangun P sangat tinggi P sangat tinggi P sangat tinggi P sangat tinggi I II III IV KCl Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C Tekstur Bahan organik HCl 25% Bray 1 Ekstrak amonium asetat 1 M pH 7 Pasir Debu Liat C N C/N P2O5 K2O P2O5 K Ca Mg Na Jumlah KTK g 100g-1 g 100g-1 mg 100g-1 mg kg-1 . me 100g-1 . 3 3 5 4 36 32 33 31 1 1 1 1 27 23 23 24 35 40 41 39 51 42 27 31 70 74 72 72 29 28 26 30 48 57 72 68 1,86 1,87 1,45 1,67 1,39 1,46 1,46 1,52 1,23 1,37 1,37 1,42 0,13 0,13 0,11 0,13 0,11 0,11 0,11 0,11 0,08 0,09 0,11 0,10 14 14 13 13 13 13 13 14 15 15 12 14 31 25 26 28 50 55 50 58 80 71 75 73 24 18 15 16 19 19 19 36 29 28 30 29 2,0 2,0 2,3 3,2 5,4 4,7 5,0 9,0 42,2 37,4 35,2 33,2 34,26 35,73 35,77 35,08 15,36 16,96 14,92 16,95 38,54 40,50 42,32 40,10 14,17 14,48 14,68 14,73 6,11 6,36 5,50 5,94 14,36 14,09 15,57 13,80 0,33 0,26 0,18 0,20 0,31 0,30 0,30 0,62 0,42 0,40 0,44 0,40 0,76 1,03 0,69 0,70 0,47 0,45 0,38 0,51 1,15 1,39 1,53 1,35 49,52 51,50 51,32 50,71 22,25 24,07 21,10 24,02 54,47 56,38 59,86 55,65 42,68 44,63 41,64 43,29

KB % 116,03 115,39 123,25 117,14

7,2 7,3 7,3 7,1 5,5 5,5 5,3 5,6 7,4 7,5 7,4 7,5

6,3 6,2 6,1 6,0 4,5 4,6 4,4 4,6 6,2 6,4 6,3 6,3

21,95 101,37 22,80 105,57 21,46 98,32 23,55 101,99 41,65 41,75 44,16 43,67 130,78 135,04 135,55 127,43

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Lokasi

Dihitung berdasarkan contoh kering 1050C Ekstrak DTPA KCl 1 N Fe Mn Cu Zn Al H mg kg-1 me 100g-1 96 78 60 69 270 272 268 282 I II III IV 36 31 37 30 134 114 110 77 126 132 163 93 124 118 125 136 14,3 14,6 14,6 14,4 9,3 10,1 9,0 10,2 12,5 12,4 12,8 12,6 2,7 3,4 2,1 2,4 2,3 2,4 1,9 2,0 2,6 2,8 2,5 2,4 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,02 0,02 0,02 0,02 0,08 0,08 0,12 0,04 0,02 0,02 0,00 0,02

Demangan P sedang I P sedang II P sedang III P sedang IV Kedungrejo P tinggi I P tinggi II P tinggi III P tinggi IV Tirtobinangun P sangat tinggi P sangat tinggi P sangat tinggi P sangat tinggi

Tabel 3. Kriteria penilaian sifat-sifat tanah umum kaolinitik dan smektitik Table 3. Criteria for evaluation of kaolintic and smectitic general soil properties
Lokasi Purworejo 1 (P rendah) Purworejo 2 (P sedang) Simbarwaringin (P sangat tinggi) Demangan (P sedang) Kedungrejo (P tinggi) Tirtobinangun (P sangat tinggi) pH H2O Tekstur masam lempung berdebu masam lempung masam lempung berliat netral liat C-org N total P HCl 25% rendah sedang sangat tinggi sedang tinggi sangat tinggi P Bray 1 sedang tinggi sangat rendah sangat rendah sangat rendah sangat tinggi K HCl 25% sangat rendah sangat rendah rendah rendah sedang sedang Kdd sangat rendah rendah rendah sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi Cadd rendah rendah rendah tinggi sedang tinggi Mgdd rendah rendah rendah sangat rendah rendah rendah Nadd sangat rendah sangat rendah sangat rendah tinggi KTK rendah rendah rendah sangat tinggi KB rendah
M. MASJKUR

rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah

rendah rendah sangat tinggi sangat tinggi sangat tinggi

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

masam lempung berliat netral liat

sedang sedang sangat tinggi sangat tinggi

Lokasi Purworejo 1 (P rendah) Purworejo 2 (P sedang) Simbarwaringin (P sangat tinggi) Demangan (P sedang) Kedungrejo (P tinggi) Tirtobinangun (P sangat tinggi)

Fedd tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi

Mndd tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi

Cudd tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi

Zndd tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi

Kej. Aldd sangat rendah sangat rendah sangat rendah sangat rendah sangat rendah sangat rendah

Sumber : Pusat Penelitian Tanah (1983); Dobermann and Fairhurst (2000).

59

60

Tabel 4. Susunan mineral liat tanah sawah kaolinitik Lampung Table 4. Composition of clay minerals in kaolinitic soils Lampung
Lokasi Purworejo 1 Purworejo 2 Simbarwaringin Mineral liat Kaolinit ++++ ++++ ++++ Smektit (+) (+) (+) Illit (+) (+) (+) Kuarsa + + + Kristobalit (+) (+) (+) Goetit -

Sumber : Prasetyo dan Kasno (2001)

Tabel 5. Susunan mineral liat tanah sawah montmorilonitik Jawa Timur Table 5. Composition of clay minerals in smectitic soils East Java
JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Mineral liat Lokasi Demangan Kedungrejo Tirtobinangun Montmorilonit (Fe) MMontmorilonit Kaolinit (Fe) M-Nontronit Nontronit ++++ ++++ ++++ ++ ++ KaolinitHaloisit ++ Haloisit HaloisitKaolinit (Illit-Vermikulit) IRML + + + (KhloritIllit) IRML (+) Kuarsa (+) (+) (+) Ortoklas (+) Andesit (+) -

Sumber : Soil Research Institute (1978) + ++ +++ ++++ (+) IRML = = = = = = sedikit sedang banyak dominan sangat sedikit irregular mixed layer

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

Gambar 1. Difraktogram x-ray tanah kaolinitik (Prasetyo et al., 2004) Figure 1. Diffractogram of x-ray kaolinitic soils (Prasetyo et al., 2004)

Gambar 2. Difraktogram x-ray tanah smektitik (Prasetyo et al., 2004) Figure 2. Diffractogram of x-ray smectitic soils (Prasetyo et al., 2004)

61

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

4.0 4,0
Lokasi P rendah P sangat tinggi P sedang

3.5 3,5

Serapan P (kg P ha-1)

Serapan P (kg P/ha)

3.0 3,0

2.5 2,5

2.0 2,0

1.5 1,5 0 0 50 50 100 150 100 150 Pupuk P (kg SP-36 ha-1) Pupuk P (kg SP 36/ha) 200 200 250 250

Gambar 3. Serapan P padi sawah dengan pemupukan P pada tanah kaolinitik Figure 3. P uptake of lowland rice with P fertilization in kaolinitic soils

Tabel 6. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik Purworejo 1 Table 6. Variance analysis of P uptake kaolintic soil from Purworejo 1
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 5,558 1,798 9,579 16,934 db 5 3 15 23 Kuadrat tengah 1,112 0,599 0,639 F 1,741 0,939 Sig. 0,186 0,447

Tabel 8. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik Simbarwaringin Table 8. Variance analysis of P uptake kaolintic soil from Simbarwaringin
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 0,908 4,033 5,875 10,816 db 4 3 12 19 Kuadrat tengah 0,227 1,344 0,490 F 0,463 2,746 Sig. 0,761 0,089

Tabel 7. Analisis ragam serapan P tanah kaolinitik Purworejo 2 Table 7. Variance analysis of P uptake kaolintic soil from Purworejo 2
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 1,449 1,030 3,189 5,668 db 5 3 15 23 Kuadrat Tengah 0,290 0,343 0,213 F 1,363 1,615 Sig. 0,292 0,228

Tabel 9. Serapan P jerami dengan pemupukan P pada tanah kaolinitik Table 9. P uptake of straw with P fertilization in kaolinitic soils
Pupuk P kg SP-36 ha-1 0 50 100 150 200 250 Rataan Serapan P Purworejo 1 Purworejo 2 Simbarwaringin kg P ha-1 2,77a 1,77a 2,52a 2,51a 1,78a 2,35a 3,07a 2,33a 2,10a 3,09a 2,05a 2,70a 3,99a 1,89a 3,50a 1,54a 2,62a 2,99a*) 1,89b 2,46c

*)

Rataan dengan huruf sama tidak berbeda nyata pada =0,05

62

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

12

10

Serapan P (kg P ha-1)

Serapan P (kg P/ha)

Lokasi P sangat tinggi P sedang P tinggi

2 0 50 100 150 200 250 Pupuk P (kg SP-36 ha-1) (kg SP36/ha)

Gambar 4. Serapan P padi sawah dengan pemupukan P pada tanah smektitik Figure 4. P uptake of lowland rice with P fertilization in smectitic soils

Grafik

serapan

padi

sawah

dengan

pemupukan P pada tanah smektitik Demangan (P sedang), Kedungrejo (P tinggi), dan Tirtobinangun (P sangat tinggi) dapat dilihat pada Gambar 4. Terlihat bahwa dengan kurva serapan P, P cenderung terutama meningkat tanah pemupukan pada

nyata. Pada lokasi Kedungrejo serapan P tidak berbeda nyata antara tanpa pemupukan P dengan pemupukan P (Tabel 13). Tabel 10. Analisis ragam serapan P tanah smektitik Demangan Table 10. Variance analysis of P uptake smectitic soil from Demangan
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 4.646 0,143 1,119 5,908 db 4 3 12 19 Kuadrat tengah 1,161 4,774E-02 9,328E-02 F Sig.

smektitik Demangan dan Tirtobinangun. Pada tanah smektitik terdapat respon nyata serapan P dengan pemupukan Demangan dan Tirtobinangun, P pada lokasi sedangkan pada

lokasi Kedungrejo respon tidak nyata (Tabel 10, 11, 12, dan 13). Pada lokasi Demangan serapan P meningkat nyata dari 2,75 hingga 3,92 kg P ha-1 dengan meningkatnya pemupukan P dari 0 hingga 150 kg SP-36 ha-1, sedangkan antar perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Pada lokasi Tirtobinangun serapan P meningkat nyata dari 8,60 hingga 10,42; 11,47; dan 10,83 kg P ha-1 masingmasing dengan meningkatnya pemupukan P dari 0 hingga 100, 150, dan 250 kg SP-36 ha-1, sedangkan antar perlakuan lainnya tidak berbeda

12,451 0,000 0,512 0,682

Tabel 11. Analisis ragam serapan P tanah smektitik Kedungrejo Table 11. Variance analysis of P uptake smectitic soil from Kedungrejo
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 5,355 0,550 9,147 15,053 db 4 3 12 19 Kuadrat tengah 1,339 0,183 0,762 F 1,756 0,241 Sig. 0,202 0,866

63

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 12. Analisis ragam serapan P tanah smektitik Tirtobinangun Table 12. Variance analysis of P uptake smectitic soil from Tirtobinangun
Sumber Pupuk P Blok Galat Total Jumlah kuadrat 31,711 0,835 8,409 40,956 db 4 3 12 19 Kuadrat tengah 7,928 0,278 0,701 F Sig.

11,313 0,000 0,397 0,757

Tabel 13. Serapan P jerami dengan pemupukan P pada tanah smektitik Table 13. P uptake of straw with P fertilization in smectitic soils
Pupuk P kg SP-36ha-1 0 50 100 150 250 Rataan Serapan P Demangan Kedungrejo Tirtobinangun .. kg P ha-1 .. 8,60a 8,37a 2,75a 8,27a 8,91a 2,61a 10,42b 7,46a 2,70a 11,47b 8,36a 3,92b 10,83b 8,83a 2,99a 2,99a 8,39b 9,92c

berkorelasi negatif nyata dengan bahan organik (-0,75**). Sutami dan Djakamihardja dalam Prasetyo et al. (2004) mengemukakan bahwa kenaikan pH tanah bersamaan dengan reduksi tanah ditentukan oleh : (a) pH awal dari tanah, (b) macam dan kandungan komponen tanah teroksidasi terutama besi dan mangan, serta (c) macam dan kandungan bahan organik. Makin tinggi kandungan bahan organik tanahnya, terutama bahan organik mudah dilapuk, makin besar kekuatan reduksinya dan peningkatan pH-nya. Haynes dan Mokolobate (2001) mengemukakan beberapa mekanisme berbeda mengenai peningkatan pH tanah dengan meningkatnya bahan organik tanah. Hal tersebut meliputi : (1) oksidasi anion-anion asam organik selama dekomposisi bahan organik. Dua mekanisme dalam hal ini adalah : (a) anion-anion asam organik dapat mengkompleks proton (H+), sehingga pH meningkat, (b) dekomposisi oleh mikroba dan dekarboksilasi anion-anion asam organik (konsumsi proton dan pelepasan CO2) : R CO COO - + H+ R C H O + CO2

*) Rataan dengan huruf sama tidak berbeda nyata pada =0,05

Korelasi beberapa sifat-sifat tanah dan serapan P tanah kaolinitik dan smektitik Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa pada tanah kaolinitik pH tanah berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,51tn) (Tabel 14). Hal ini disebabkan karena pH tanah

(2) amonifikasi N-organik. Selama dekomposisi bahan organik, N-organik diamonifikasi. Hal ini menyebabkan peningkatan pH : N-organik NH4+ + OH(3) jerapan spesifik dari molekul-molekul organik bahan humik dan/atau asam-asam organik (hasil dari

Tabel 14. Korelasi sifat-sifat tanah dan serapan P pada tanah kaolinitik Table 14. Correlation of soil properties with P uptake in kaolinitic soils
Fraksi P pH Liat C P HCl-25 P Bray 1 Cadd Fedd Aldd pH 0,55 -0,75** 0,15 0,18 -0,32 -0,16 0,06 Liat -0,64* 0,68* -0,49 -0,71* -0,60* 0,03 C -0,38 0,13 0,53 0,54 -0,13 Cadd -0,72** 0,75** 0,77** -0,41 Fedd -0,84** 0,77** -0,52 Aldd 0,52 -0,55 Ser-P -0,51 -0,29 0,61* -0,13 -0,16 0,07 0,33 0,10

** Nyata pada = 0,01 * Nyata pada = 0,05

64

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

dekomposisi bahan organik) pada Al dan (hidroksida), sehingga melepaskan ion OH- : M (OH)3 + COO- M (OH)2 COO + OH-

Fe

(4) reaksi reduksi. Kondisi anaerobik selama penggenangan dapat meningkatkan dekomposisi bahan organik (karena aktivitas mikroba intensif), sehingga merangsang reaksi reduksi dan peningkatan pH, antara lain reduksi valensi lebih tinggi Mn oksida dan/atau Fe (hidroksida) dalam tanah : MnO2 + 2H+ + 2e- Mn2+ + 2OHFeO (OH) + e- + H2O Fe2+ + 3OHPeningkatan pH tersebut memberikan muatan negatif lebih besar pada permukaan jerapan, sehingga cenderung mengurangi jerapan P (Haynes and Mokolobate, 2001) dan meningkatkan kelarutan besi dan aluminium fosfat karena reduksi (Kyuma, 2004). Rendahnya bahan organik (< 2,0% ) pada tanah kaolinitik nampaknya tidak nyata mendukung peningkatan pH tanah tersebut mendekati netral (6,5-7,5) dan ketersediaan fosfat optimum, sehingga serapan P tanaman meningkat. Kadar liat pada tanah kaolinitik berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,29tn) . Hal ini disebabkan karena kadar liat berkorelasi negatif nyata dengan Fedd (-0,60*), Cadd (-0,71*), dan bahan organik (-0,64*), menunjukkan bahwa fraksi liat (< 2 ) tanah kaolinitik didominasi oleh mineral liat Al-silikat (kaolinit) daripada besi oksida, kalsium karbonat atau bahan organik. Sesuai dengan Trakoonyingcharoen et al. (2005) bahwa pada tanah Ultisols dan Oxisols jumlah mineral kaolinit berkorelasi tidak nyata dengan koefisien-koefisien jerapan P (jerapan maksimum). Dengan demikian jumlah mineral kaolinit juga tidak berperan nyata dalam serapan P tanaman. Walaupun kadar liat berkorelasi positif nyata dengan P total (HCl 25 %) (0,68*), nampaknya fosfat tersebut tidak dalam bentuk tersedia, sehingga dapat diserap oleh tanaman. Bahan organik tanah berkorelasi positif nyata dengan serapan P padi sawah (r = 0,61) (Tabel 14),

menunjukkan bahwa semakin meningkat bahan organik tanah, semakin meningkat pula serapan P padi sawah. Hal ini dapat disebabkan oleh : (1) pembentukan kompleks organofosfat lebih mudah diassimilasi oleh tanaman, (2) penggantian anion H2PO4- pada tapak-tapak jerapan, (3) pelapisan Fe/Al oksida oleh humus membentuk lapisan protektif dan mengurangi jerapan P, dan (4) meningkatnya jumlah P organik dimineralisasi menjadi P anorganik (Havlin et al., 1999; Haynes and Mokolobate, 2001). Johnson dan Loeppert (2006) mendapatkan bahwa pada ferihidrit (besi oksida agak kristalin (poorly crystalline) dengan rumus Fe5HO8.4H2O) dan banyak terdapat pada tanah sawah masam, urutan keefektifan ligan organik dalam pelepasan P adalah sitrat (19% dari P total terjerap awal) > malat (14%) > tartrat (5%) >> oksalat = malonat = suksinat (0,3-1,2%). Pada konsentrasi P terjerap lebih kecil ( dari jerapan maksimum), mekanisme dominan dari pelepasan P oleh asam organik (organic-acid induced P release) adalah pelarutan kompleks ligan-Fe oksida (ligand-enhanced dissolution) : P Fe oksida-P+L---Fe oksida---Fe oksida+Fe L
3+

--L+Plar

daripada pertukaran ligan (ligand exchange) : Fe oksida--P + L --- Fe oksida--L + Plar dimana : L = agen kompleks Fe-organik (ligan) dan Plar = fosfat anorganik. Pada dari jerapan maksimum, pertukaran ligan berperan lebih besar dalam pelepasan P. Kation Cadd, Fedd, dan Aldd tanah kaolinitik berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah (masing-masing r=0,07tn, 0,33tn, dan 0,10tn) (Tabel 14). Hal ini disebabkan karena kation pada permukaan mineral liat silikat (kation dapat ditukar) menarik dan memegang jumlah sedikit anion H2PO4-, sehingga berperan tidak nyata dalam serapan P tanaman (Havlin et al., 1999). 65

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 15. Korelasi sifat-sifat tanah dan serapan P pada tanah smektitik Table 15. Correlation of soil properties with P uptake in smectitic soils
Fraksi P pH Liat C P HCl-25 P Bray 1 Cadd Fedd Aldd pH 0,90** 0,10 0,05 0,50 0,98** -0,99** Liat 0,39 -0,28 0,15 0,94** -0,88** C -0,78** -0,66* 0,17 -0,01 Cadd -0,05 0,40 -0,98** Fedd -0,10 -0,55 Aldd Ser-P -0,20 -0,49 -0,81** 0,95** 0,72** -0,30 0,14 -

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada tanah smektitik pH tanah berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,20tn). Hal ini disebabkan karena pH tanah berkorelasi positif nyata dengan kadar liat (0,90**) dan Cadd (0,98**), tetapi berkorelasi negatif nyata dengan Fedd (-0,99**). Sesuai dengan penelitian Hartikainen dan Simojoki (1997) bahwa pada tanah dengan pH tinggi P yang dilepaskan dari liat dan Ca pada tanah karena menurunnya pH dapat diikat oleh Fe, sehingga P tersedia relatif tidak berubah. Rochayati (1995) mendapatkan bahwa pH tanah Vertisols Ngawi hanya menurun sedikit dengan penggenangan dan P terekstrak Olsen relatif tidak berubah. Kadar liat pada tanah smektitik berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah (r = -0,49tn). Hal ini disebabkan karena kadar liat berkorelasi positif nyata dengan Cadd (0,94**), tetapi berkorelasi negatif nyata dengan Fedd (-0,88**). Sesuai dengan penelitian Hartikainen dan Simojoki (1997) bahwa dinamika fosfat pada fraksi liat tanah merupakan pengaruh bersih (net effect) dari dua pengaruh bersamaan, tetapi reaksi berlawanan pada fraksi liat yaitu pelepasan fosfat dari Ca dan pengikatan fosfat oleh Fe . Kandungan bahan organik tanah berkorelasi negatif nyata terhadap serapan P padi sawah (r = -0,81**), menunjukkan bahwa meningkatnya bahan organik tanah cenderung menurunkan serapan P tanaman. Hal ini disebabkan karena (1) pada mineral liat tipe 2:1 bahan organik dapat diikat pada ruang

antar lapisan (interlayer) dari mineral liat, sehingga P dijerap sulit diserap oleh tanaman (Tan, 1998; He et al., 1999), (2) pada pH netral aktivitas mikroba cukup tinggi dan dapat menggunakan (imobilisasi) P larutan sebagai P-mikroba menghasilkan molekul P organik lebih resisten (Havlin et al., 1999; Killham, 1999). Kation Cadd dan Fedd berkorelasi tidak nyata pada serapan P padi sawah (masing-masing r = -0,30tn dan 0,14tn). Hal ini disebabkan karena kation pada permukaan mineral liat silikat menarik dan memegang jumlah sedikit anion H2PO4-. Berdasarkan hasil di atas dapat dikatakan bahwa pada tanah kaolinitik bahan organik tanah merupakan sifat tanah utama mempengaruhi ketersediaan P padi sawah, sedangkan pH tanah, kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd kurang terandalkan sebagai indikator ketersediaan P. Peningkatan bahan organik sawah. Pada tanah smektitik bahan organik tanah juga merupakan sifat tanah utama mempengaruhi ketersediaan P padi sawah, sedangkan pH tanah, kadar liat, Cadd, dan Fedd kurang terandalkan sebagai indikator ketersediaan P. Namun demikian, peningkatan bahan organik pada tanah smektitik cenderung menurunkan serapan atau ketersediaan P padi sawah. pada tanah kaolintik cenderung meningkatkan serapan atau ketersediaan P padi

66

M. MASJKUR

DAN

A. KASNO : KORELASI BEBERAPA SIFAT KIMIA TANAH DENGAN SERAPAN FOSFOR PADI SAWAH

KESIMPULAN 1. Responsivitas serapan P padi sawah terhadap pemupukan P pada tanah kaolinitik dan smektitik berhubungan dengan kandungan bahan organik tanah bersangkutan. Pada tanah kaolintik peningkatan bahan organik cenderung meningkatkan serapan P padi sawah, sedangkan pada tanah smektitik peningkatan bahan organik cenderung menurunkan serapan P padi sawah. 2. Pada tanah kaolinitik dan smektitik pH tanah, kadar liat, Cadd, Fedd, dan Aldd berkorelasi tidak nyata dengan serapan P padi sawah.

An Introduction to Nutrient Management. Prentice-Hall, New Jersey. Haynes, R.J. and M.S. Mokolobate. 2001. Amelioration of Al toxicity and P deficiency in acid soils by additions of organic residues: a critical review of phenomenon and the mechanisms involved. Nutr. Cycl. Agr. 59:47-63. He, J.Z., A. De Cristofaro, and A. Violante. 1999. Comparison of adsorption of phosphate, tartrate, and oxalate on hydroxy aluminium montmorilonite complexes. Clays Clay Miner. 47:226-233. Johnson, S.E. and R.H. Loeppert. 2006. Role of organic acids in phosphate mobilization from iron oxide. Soil Sci. Soc.Am. J. 70:222-234. Kasno, A. 2005. Teknologi Pengelolaan Lahan Sawah untuk Padi VUTB/Hibrida. Proposal Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Balai Penelitian Tanah, Bogor. Killham, K. 1999. Soil Ecology. Cambridge University Press, UK. Kyuma, K. 2004. Paddy Soil Science. Kyoto University Press, Kyoto, Japan. Newman, A.C.D. and M.H.B. Hayes. 1990. Some Properties of clays and of other soil colloids and their influence on soils. Pp. 39-56. In M.F. De Boodt, M.H.B. Hayes, and A. Herbillon (Eds.) Soil Colloids and their Association in Aggregates. Plenum Press, New York. Prasetyo, B.H. dan A. Kasno. 2001. Sifat Morfologi, Komposisi Mineral dan Fisika-Kimia Tanah Sawah Irigasi di Propinsi Lampung. J. Tanah Trop. 12:155-167. Prasetyo, B.H., J.S. Adiningsih, K. Subagyono, dan R.D.M. Simanungkalit. 2004. Mineralogi, kimia, fisika, dan biologi lahan sawah. Dalam F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, dan W. Hartatik (Eds.) Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi Kesesuaian Lahan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A., I. Las, A. Hidayat, dan E. Pasandaran. 1999. Optimalisasi Sumberdaya Lahan dan Air untuk Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Brown, G. 1990. Structure, crystal chemistry, and origin of the phyllosillicate minerals common in soil clays. Pp. 7-38. In M.F. De Boodt, M.H.B. Hayes, and A. Herbillon (Eds.) Soil Colloids and their Association in Aggregates. Plenum Press, New York. Cornforth, I.S., A.K. Metherell, and P. SornSrivichai. 1990. Assessing Fertilizer Requirements. Pp. 157-166. In Proceedings of Symposium Phosphorus Requirements for Sustainable Agriculture in Asia and Oceania. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. Dobermann, A. and T. Fairhurst. 2000. Nutrient Disorders and Nutrient Management. International Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. Hartikainen, H. and A. Simojoki. 1997. Changes in solid-and solution-phase phosphorus in soil on acidification. Eur. J. Soil Sci. 48:493498. Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers.

67

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Rochayati, S. 1995. The Behavior of Phosphorus in Some Indonesian Paddy Soils in Relation to the Growth of Rice (Oryza Sativa L.). Faculty of the Graduate School, University of the Philippines, Los Banos, Philippines. Rochayati, S. dan J.S. Adiningsih. 2002. Pembinaan dan pengembangan program uji tanah untuk hara P dan K pada lahan sawah. Hlm. 9-37. Dalam Z. Zaini, A. Sofyan, dan S. Kartaatmadja (Eds.) Pengelolaan Hara P dan K pada Padi Sawah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Soil Research Institute. 1978. Report on Semi Detailed Soil Survey of the Widas Irrigation Project (Nganjuk, East Java). Bogor. Tan, K.H. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Trakoonyingcharoen, P., I. Kheoruenromne, A. Suddhiprakarn, and R.J. Gilkes. 2005. Phosphate sorption by Thai red Oxisols and red Ultisols. Soil Sci. 170:716-725.

68

Pengaruh Asam Oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap Ketersediaan K Tanah, Serapan N, P, dan K Tanaman, serta Produksi Jagung pada Tanah-tanah yang Didominasi Smektit
Effect of Oxalic Acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on Availability of Soil K, Plant N, P, and K Uptake, and Maize Yield in Smectitic Soils

D. NURSYAMSI1, K. IDRIS2, S. SABIHAM3, D.A. RACHIM3,

DAN

A. SOFYAN4

ABSTRAK
Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian, asal disertai dengan pengelolaan tanah dan tanaman yang tepat. Walaupun kadar K total tanah tinggi, tapi ketersediaan kalium bagi tanaman sering menjadi masalah, karena K difiksasi oleh mineral liat smektit. Penelitian yang bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap ketersediaan K tanah, serapan N, P, dan K, serta produksi tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit telah dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah dan Rumah Kaca Balai Penelitian Tanah, Bogor. Percobaan menggunakan empat contoh tanah bulk yang diambil dari Bogor (Hapludalf Tipik), Cilacap (Endoaquert Kromik), Ngawi (Endoaquert Tipik), dan Blora (Haplustalf Tipik). Percobaan inkubasi di laboratorium dan pot di rumah kaca menggunakan Rancangan Faktorial dalam Rancangan Acak Kelompok, ulangan tiga kali, dan percobaan pot menggunakan jagung varietas Pioneer 21 sebagai tanaman indikator. Faktor pertama adalah takaran asam oksalat, yaitu: 0, 1.000, 2.000, dan 4.000 ppm, sedangkan faktor kedua adalah penambahan kation, yaitu: tanpa kation, Na+, NH4+, dan Fe3+ masing-masing dari NaCl, NH4Cl, dan FeCl3 dengan takaran 50% jerapan maksimum. Takaran Fe3+ 50% jerapan maksimum menyebabkan tanaman mati sehingga percobaan diulang di musim berikutnya dengan takaran Fe3+: 0, 125, 250, 375, dan 500 ppm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ nyata meningkatkan K tersedia baik di Alfisols maupun Vertisols, dimana pengaruhnya di Vertisols lebih tinggi dibandingkan Alfisols. Tingkat kekuatan perlakuan dalam melepaskan K dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia adalah Fe3+ > NH4+ > Na+ > asam oksalat. Asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P dan K tanaman di Vertisols, sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan K tanaman di Alfisols serta N, P, dan K tanaman di Vertisols. Asam oksalat nyata meningkatkan bobot brangkasan kering jagung umur 4 minggu setelah tanam (MST) pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik, sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan hasil brangkasan kering pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. Kata kunci : Asam oksalat, Na+, NH4+, Fe3+, K tersedia, Jagung, Tanah yang didominasi smektit

plant growth, however, is relatively low due to fixation by smectite in interlayer space. Researches aimed to study the effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on availability of soil K, plant N, P, and K uptake, as well as maize yield in smectitic soils have been conducted in Laboratory of Research and Soil Test and Green House of Indonesian Soil Research Institute, Bogor. Four different types of bulk soil samples taken from Bogor (Typic Hapludalfs), Cilacap (Chromic Endoaquerts), Ngawi (Typic Endoaquerts), and Blora (Typic Haplustalfs) were used for experiments. Incubation and pot experiments were set up using Factorial Randomized Completely Block Design with three replication and pot experiment used maize of Pioneer 21 variety as plant indicator. The first factor was oxalic acid rates: 0; 1,000; 2,000; and 4,000 ppm, while the second one was application of cations: without cation, Na+, NH4+, and Fe3+ from NaCl, NH4Cl, and FeCl3 respectively with 50% of maximum adsorption rate. The Fe3+ with 50% of maximum adsorption rate caused plant death, thus the experiment was repeated in the next season with Fe3+ rates: 0, 125, 250, 375, and 500 ppm. The results showed that oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ significantly increased the availability of soil K in both Alfisols and Vertisols where the effect was higher in Vertisols than Alfisols. The effectiveness of the treatments to release K from non available to available K form in the soils was in order of Fe3+ > NH4+ > Na+ > oxalic acid. Oxalic acid significantly increased plant N, P, and K uptake in Vertisols, while 125 ppm of Fe3+ significantly increased plant K uptake in Alfisols as well as N, P, and K uptake in Vertisols. Oxalic acid significantly increased 4week-after-planting biomass dry yield in Typic Hapludalfs and Typic Endoaquerts, while 125 ppm of Fe3+ significantly increased the yield in Chromic Endoaquerts and Typic Endoaquerts. Key words : Oxalic acid, Na+, NH4+, Fe3+, Soil available K, Maize, Smectitic soils.

PENDAHULUAN Kalium merupakan hara makro yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak setelah N dan P. Umumnya kalium diserap tanaman dalam

ABSTRACT
Smectitic soils have high prospect to be developed for agricultural land under a proper soil and plant management. The soils are commonly high in total K content. Its availability for

1. Peneliti pada Balai Penelitian Tanah, Bogor. 2. Pengajar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 3. Guru Besar pada Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. 4. Direktur Perluasan Areal, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian.

ISSN 1410 7244

69

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

bentuk K larut (soluble K) yang berada dalam reaksi keseimbangan dengan K dapat dipertukarkan (exchangeable K) dan K tidak dapat dipertukarkan (non-exchangeable K). Kalium tidak dapat dipertukarkan meliputi K terfiksasi dan K struktural (Kirkman et al., 1994). Bentuk K larut dan dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang cepat tersedia sehingga sering disebut sebagai K tersedia atau K aktual. Sementara itu bentuk K tidak dapat dipertukarkan merupakan bentuk K yang lambat tersedia sehingga disebut sebagai K potensial. Tanaman akan mengalami kekahatan apabila K aktual di dalam tanah saat tanaman tumbuh lebih rendah dari batas kritisnya (K yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya). Ketersediaan kalium bagi tanaman tergantung aspek tanah dan parameter iklim yang meliputi: jumlah dan jenis mineral liat, kapasitas tukar kation, daya sangga, kelembaban, suhu, aerasi dan pH tanah (Havlin et al., 1999). Selain faktor tanah dan iklim, spesies dan varietas tanaman juga berpengaruh terhadap serapan K, dimana tanaman yang toleran memerlukan K dalam jumlah sedikit dan sebaliknya tanaman sensitif memerlukan K dalam jumlah banyak. Salah satu mekanisme ketoleranan tanaman terhadap kekurangan hara adalah dengan cara mengeluarkan eksudat asam organik di sekitar akar (rhizosphere). Selanjutnya asam organik dapat melarutkan hara (P, K, Fe, Mn, dan lain-lain) yang sebelumnya tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Marschner, 1997). Dengan demikian maka pengelolaan hara K untuk meningkatkan produksi tanaman perlu memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas. Tanah-tanah yang didominasi mineral liat smektit mempunyai prospek yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan asal disertai dengan pengelolaan tanaman dan tanah yang tepat. Tanah-tanah tersebut mempunyai penyebaran yang cukup luas di tanah air, yaitu lebih dari 2,12 juta ha (Vertisols sekitar 2,12 juta ha ditambah sebagian Inceptisols dan Alfisols) yang tersebar di wilayah Jawa (Jabar, Jateng, dan Jatim), Sulawesi (Sulsel, Sulteng, dan

Gorontalo), dan Nusa Tenggara (Lombok) (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, 2000). Walaupun kadar K total tanah (K potensial) tinggi, tetapi ketersediaan K bagi tanaman (K aktual) sering menjadi masalah karena K difiksasi oleh mineral liat tipe 2:1, seperti dari golongan smektit (Borchardt, 1989) dan vermikulit (Douglas, 1989) yang dominan di tanah tersebut. Penelitian yang dilaksanakan di India menunjukkan bahwa tanahtanah Vertisols mempunyai kapasitas fiksasi K (Kfixing capacity) dan daya sangga terhadap K (PBCK) yang sangat tinggi (Ghousikar and Kendre, 1987). Oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya untuk mengatasi fiksasi K tanah sehingga ketersediaannya bagi tanaman meningkat. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa asam organik dan sejumlah kation (NH4+, Na+, dan lainlain) mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketersediaan K tanah. Asam oksalat dan sitrat dapat melepaskan K tidak dapat dipertukarkan (Ktdd) menjadi K dapat dipertukarkan (Kdd) dan K larut (Kl) pada tanah-tanah yang berbahan induk batu kapur, dimana asam oksalat mempunyai efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam sitrat (Zhu and Luo, 1993). Song and Huang (1988) juga melaporkan bahwa Ktdd dari struktur mineral yang mengandung K (biotit, muskovit, mikroklin, dan ortoklas) dapat dilepaskan oleh asam oksalat dan sitrat. Beberapa kation seperti Ca2+ dan Na+ dapat menggantikan posisi K di dalam struktur mineral muskovit akibat pelapukan (Shidu, 1987). Selain itu NH4+ dan K+ dapat berkompetisi dalam menempati kompleks jerapan di posisi inner dari ruang antar lapisan mineral liat tipe 2:1 (Evangelou and Lumbanraja, 2002; Kilic et al., 1999). Kompetisi tersebut sering terjadi terutama di tanah yang didominasi mineral yang mempunyai kapasitas jerapan tinggi terhadap kedua kation tersebut, seperti beidelit dan vermikulit (Bajwa, 1987). Selain itu Na+ dari sodium tetraphenyl boron dapat melepaskan K terfiksasi menjadi K tersedia di tanah merah (Alfisols), hitam (Vertisols), dan aluvial (Inceptisols dan Alfisols) (Dhillon and Dhillon, 1992).

70

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Demikian pula Na dapat mengurangi sebagian kebutuhan pupuk K tanaman tebu pada tanah Vertisols di lahan perkebunan tebu Jawa Timur (Ismail, 1997). Bertitik tolak dari pemikiran di atas penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap ketersediaan K tanah, serapan N, P, dan K, serta produksi tanaman jagung (Zea mays, L.) pada tanahtanah yang didominasi mineral liat smektit. BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Penelitian dan Uji Tanah serta Rumah Kaca, Balai Penelitian Tanah Bogor dengan menggunakan empat contoh tanah bulk yang diambil dari Bogor (B1), Cilacap (B2), Ngawi (B3), dan Blora (B4). Pengambilan contoh tanah bulk mempertimbangkan: bahan induk tanah, iklim, kadar Kdd dan mineral liat smektit tanah. Hasil klasifikasi tanah berdasarkan deskripsi profil tanah di empat lokasi tersebut disajikan pada Tabel 1 sedangkan hasil analisis pendahuluan keempat contoh tanah tersebut disajikan pada Tabel 2. Sifat-sifat kimia dan mineralogi tanah lebih rinci telah dilaporkan oleh Nursyamsi et al. (2007). Selanjutnya penelitian dilaksanakan melalui dua rangkaian kegiatan, yaitu percobaan inkubasi di laboratorium dan percobaan pot di rumah kaca.

Percobaan inkubasi di laboratorium Percobaan menggunakan Rancangan Acak

Kelompok Faktorial. Faktor pertama adalah takaran asam oksalat, yaitu: 0, 1.000, 2.000, dan 4.000 ppm. Faktor kedua adalah penambahan kation, yaitu: tanpa kation, Na+, NH4+, dan Fe3+ masingmasing dalam bentuk NaCl, NH4Cl, dan FeCl3 dengan takaran 50% jerapan maksimum (Tabel 3). Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 3 kali. Bahan tanah dikering-udarakan, ditumbuk, diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke dalam pot sebanyak 1 kg pot-1 bobot kering mutlak (BKM). Semua pupuk 12 diberikan minggu kondisi dalam dan bentuk air larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Tanah diinkubasi selama kadar dipertahankan dalam kapasitas lapang

dengan cara menambahkan air bebas ion seminggu dua kali. Selanjutnya contoh tanah diaduk hingga homogen setiap minggu. Setelah inkubasi mencapai 12 minggu, contoh tanah diambil sekitar 250 gram, dikeringudarakan, digerus lalu diayak dengan ayakan 2 mm. Bentukbentuk K yang meliputi: Kl, Kdd, Ktdd, Kt ditetapkan dengan metode yang diuraikan oleh Helmke dan Sparks (1996); Knudsen et al. (1982); dan Wood dan DeTurk (1940). Tahapannya adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi tanah di daerah penelitian Table 1. Soil classification of site experiments
Kode Lokasi B1 B2 B3 B4 Bogor Cilacap Ngawi Blora Bahan induk Batu kapur Sedimen liat berkapur Sedimen liat berkapur Batu kapur Zone agroklimat*) B1 B1 C3 C2 Klasifikasi tanah Hapludalf Tipik, halus, smektitik, isohipertermik Endoaquert Kromik, sangat halus, berkapur, smektitik, isohipertermik Endoaquert Tipik, sangat halus, berkapur, smektitik, isohipertermik Haplustalf Tipik, halus, berkapur, campuran, semi aktif, isohipertermik

*) Oldeman (1975)

71

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 2. Sifat-sifat tanah lapisan atas (0-20 cm) dari lokasi percobaan Table 2. Top soil characteristics (0-20 cm) of study location
Sifat-sifat tanah Tekstur Pasir (%) Debu (%) Liat (%) pH Bahan organik C-organik (%) N-total (%) C/N P dan K potensial P2O5 (mg 100g-1) K2O (mg 100g-1) P tersedia (mg P2O5 kg-1) Nilai tukar kation Cadd (me 100g-1) Mgdd (me 100g-1) Kdd (me 100g-1) Nadd (me 100g-1) KTK (me 100g-1) KB (%) Kemasaman Aldd (me 100g-1) Hdd (me 100g-1) Pipet Metode Hapludalf Tipik 26 32 43 5,47 4,01 1,06 0.12 9 178 30 0,65 11,96 2,22 0,11 0,16 24,97 58 5,00 0,55 Endoaquert Kromik 13 32 55 6,36 4,72 1,36 0,12 11 548 134 10,04 33,21 10,36 0,28 0,42 38,03 > 100 0,00 0,45 Endoaquert Tipik 9 35 56 5.56 3.88 1,00 0,11 10 222 41 34,41 42,97 9,06 0,12 0,03 56,97 92 5,57 0,82 Haplustalf Tipik 48 27 25 7,01 6,24 1,13 0,10 13 148 187 5,01 13,01 0,95 0,35 0,38 13,98 > 100 0,00 0,19

H2O (1:2,5) KCl 1 N (1:2,5) Kurmies Kjeldahl HCl 25% Bray 1 NH4OAc 1 N pH 7

NH4OAc 1 N pH 7 KCl 1 N

Tabel 3. Takaran Na+, NH4+, dan Fe3+ pada tiap jenis tanah Table 3. Rate of Na+, NH4+, and Fe3+ of each soil
Kation Na+ NH4+ Fe3+ Senyawa NaCl NH4Cl FeCl3 Hapludalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik Haplustalf Tipik .......... mg kg-1 ........ 59 68 82 60 65 104 96 85 5.000 5.000 5.555 5.000

K larut

Lima gram contoh tanah dimasukkan ke dalam botol sentrifus, lalu ditambahkan 20 ml 0,0002 M CaCl2 dan dikocok selama 1 jam. Ekstrak tanah disentrifus dengan kecepatan 3.500 rpm selama 20 menit dan supernatan ditampung. Selanjutnya kadar K dalam supernatan diukur dengan atomic absorption spectrophotometer (AAS).
K dapat dipertukarkan

NH4OAc 1 N pH 7 dan dikocok selama 30 menit. Ekstrak tanah disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 2.000 rpm dan supernatannya ditampung. Tahapan tersebut diulang lalu volume supernatan diimpitkan dengan penambahan NH4OAc 1 N menjadi 50 ml. Selanjutnya kadar K dalam supernatan diukur dengan AAS.
K total

Dua gram contoh tanah dimasukkan ke dalam botol sentrifus 50 ml, lalu ditambahkan 20 ml 72

Setengah gram contoh tanah dimasukkan ke dalam teflon bom, lalu ditambah 1 ml aquades dan 10 ml HNO3 dan HClO4 pekat. Teflon bomb

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

ditempatkan pada metal container dan dipanaskan pada suhu 383oK selama 3 jam. Asam borat 2,8 g ditambahkan ke dalam labu ukur plastik 100 ml, kemudian ekstrak tanah dituangkan ke dalam labu. Sisa cairan dalam teflon dicuci dengan air bebas ion dan dimasukkan ke dalam labu ukur. Labu dikocok dan larutan diimpitkan menjadi 100 ml dengan menambahkan air bebas ion. Selanjutnya kadar K dalam larutan diukur dengan AAS.
K tidak dapat dipertukarkan

HNO3-HClO4 pekat (analisis P dan K). Konsentrasi N dan P dalam larutan diukur dengan menggunakan spektrofotometer sedangkan K dengan AAS. HASIL DAN PEMBAHASAN Ketersediaan K tanah Kadar K potensial (HCl 25%) tanah-tanah di lokasi penelitian semuanya termasuk tinggi, yakni 30, 41, 134, dan 187 mg 100g-1 berturut-turut untuk Hapludalf Tipik, Endoaquert Tipik, Endoaquert Kromik, dan Haplustalf Tipik. Sementara itu K dapat dipertukarkan (NH4OAc 1 N pH 7) berkisar antara rendah hingga tinggi, yakni 0,11; 0,12; 0,28; dan 0,35 me 100g-1 berturut-turut untuk Hapludalf Tipik, Endoaquert Tipik, Endoaquert Kromik, dan Haplustalf Tipik (Tabel 2). Pada tiga tanah pertama meskipun K potensial tinggi tetapi K dapat dipertukarkannya rendah. Hal ini disebabkan karena sebagian besar K terfiksasi di ruang antar lapisan mineral liat smektit (Goulding, 1987) sehingga sulit terekstrak oleh NH4OAc 1 N pH 7. Asam oksalat tidak berpengaruh terhadap Kl, nyata meningkatkan Kdd sehingga nyata menurunkan Ktdd tanah Alfisols. Dibandingkan dengan kontrol, Na+ dan NH4+ tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji. Sementara itu Fe3+ sangat nyata (P > 0,99) meningkatkan Kl dan Kdd sehingga sangat nyata pula menurunkan Ktdd tanah. Selanjutnya interaksi antara asam oksalat dan kation tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji (Tabel 4). Berbeda dengan di tanah Alfisols, asam oksalat nyata meningkatkan Kl dan Kdd tanah sehingga sangat nyata menurunkan Ktdd tanah Vertisols. Perlakuan Na+ nyata meningkatkan Kl tapi tidak berpengaruh nyata terhadap Kdd sehingga tidak berpengaruh nyata terhadap Ktdd tanah. Perlakuan NH4+ tidak berpengaruh nyata terhadap Kl tapi nyata meningkatkan Kdd sehingga nyata menurunkan Ktdd tanah. Sementara itu Fe3+ berpengaruh sangat nyata terhadap semua peubah yang diuji, yakni sangat nyata meningkatkan Kl dan Kdd sehingga sangat nyata pula menurunkan Ktdd tanah. Selanjutnya 73

K tidak dapat dipertukarkan didefinisikan sebagai K total dikurangi oleh K larut dan K dapat dipertukarkan (Ktdd = Kt Kl Kdd). Percobaan pot di rumah kaca Percobaan ini juga menggunakan rancangan dan perlakuan yang sama dengan percobaan inkubasi. Namun demikian perlakuan Fe3+ dengan takaran 50% jerapan maksimum menyebabkan tanaman mati keracunan sehingga pada musim berikutnya percobaan diulang dengan takaran Fe3+ diubah menjadi lima tingkat, yaitu : 0, 125, 250, 375, dan 500 ppm. Selain itu perlakuan NH4+ tidak diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat dibedakan, apakah berasal dari perlakuan penambahan NH4+ atau pupuk urea. Bahan tanah dikering-udarakan, ditumbuk, diayak dengan saringan 2 mm, lalu dimasukan ke dalam pot sebanyak 2 kg pot-1 BKM. Percobaan menggunakan pupuk dasar masing-masing 300 ppm N dan 200 ppm P. Semua pupuk perlakuan diberikan dalam bentuk larutan, lalu tanah diaduk hingga homogen. Benih jagung varietas Pioneer-21 ditanam 5 biji per pot dan setelah berumur 1 MST, tanaman dijarangkan menjadi 3 tanaman per pot. Kadar air tanah dipertahankan pada kapasitas lapang, lalu tanaman dipanen saat berumur 4 MST. Pengamatan dilakukan terhadap bobot basah dan kering (70 oC 48 jam) tanaman umur 4 MST. Analisis serapan N, P, dan K tanaman dilakukan setelah contoh tanaman didestruksi dengan menggunakan H2SO4-H2O2 pekat (analisis N) dan

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

interaksi antara asam oksalat dan kation tidak berpengaruh nyata terhadap semua peubah yang diuji (Tabel 5). Tabel 4. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap bentuk Kl, Kdd, Ktdd tanah setelah inkubasi tiga bulan pada Alfisols Table 4. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil Ksol., Kexch., and Knon-exch. forms after three months incubation in Alfisols
Perlakuan Asam oksalat 0 1.000 2.000 4.000 Kation Kontrol Na+ NH4+ Fe3+ CV (%) FAsam oksalat X Kation Bentuk K tanah Kdd Ktdd Kl . mg kg-1 . 25,63 26,00 26,38 27,00 a a a a 62,00 59,13 70,50 70,38 b b a a 301 303 292 291 a a b b

Pelepasan K di tanah-tanah yang didominasi smektit oleh penambahan kation dapat berlangsung melalui reaksi pertukaran kation. Reaksi tersebut dipengaruhi antara lain oleh jumlah (molaritas) dan valensi kation yang ditambahkan (Tan, 1998). Takaran Na+ dan NH4+ yang ditambahkan berturutturut berkisar antara 59-82 dan 65-104 mg kg-1 sedangkan Fe3+ 5.000-5.555 mg kg-1 (Tabel 3). Selain itu Na+ dan NH4+ bervalensi I sedangkan Fe3+ bervalensi III. Kedua faktor tersebut menyebabkan pemberian Na+ tidak nyata meningkatkan Kl dan Kdd, NH4+ tidak nyata meningkatkan Kl, tetapi Fe3+ nyata meningkatkan Kl dan Kdd di tanah Alfisols dan Vertisols (Tabel 4 dan 5). Asam oksalat tidak nyata meningkatkan Kl pada Alfisols, sedangkan pada Vertisols nyata. Demikian pula Na+ dan NH4+ tidak nyata meningkatkan Kdd pada Alfisols, sedangkan pada Vertisols nyata. Sementara itu Fe3+ dapat meningkatkan Kl dari 13,88 menjadi 58,13 mg kg-1 (318%) pada Alfisols sedangkan pada Vertisols dari 27,75 menjadi 142,13 mg kg-1 (412%). Tampak bahwa pengaruh perlakuan terhadap peubah yang diuji lebih tinggi pada Vertisols dibandingkan Alfisols. Hal ini disebabkan antara lain karena kadar K total tanah Vertisols jauh lebih tinggi dibandingkan Alfisols (Nursyamsi et al., 2007). Kalium yang lepas dari pool Ktdd menjadi Kdd (relesase) dan dari Kdd menjadi Kl (desorption) pada Vertisols lebih tinggi dibandingkan Alfisols. K yang lepas dari Ktdd menjadi Kdd umumnya K yang berada di posisi interlayer (i), wedge (w), dan crack (c), sedangkan K yang lepas dari Kdd menjadi Kl adalah K yang berada di posisi planar (p) dan edge (e) (Goulding, 1987). Pemberian kation jauh lebih efektif dalam meningkatkan ketersediaan K di dalam tanah dibandingkan dengan asam oksalat. Pengaruh kation terhadap perubahan proporsi bentuk-bentuk K tanah disajikan pada Gambar 1 (Alfisols) dan Gambar 2 (Vertisols). Diantara kation yang dicoba ternyata Fe3+ paling efektif dalam melepaskan Ktdd menjadi Kdd dan Kl di kedua jenis tanah yang diteliti. Gambar 1 dan 2 menunjukkan bahwa jumlah Kl dan Kdd meningkat sedangkan Ktdd menurun akibat pemberian kation di semua tanah yang diteliti. Tingkat

13,88 b 16,75 b 16,25 b 58,13 a 13,60 <1

56,50 b 64,75 b 67,75 b 73,00 a 12,30 <1

318 b 307 b 304 b 257 a 3,60 <1

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

Tabel 5. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap bentuk Kl, Kdd, Ktdd tanah setelah inkubasi 3 bulan pada Vertisols Table 5. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil Ksol., Kexch., and Knon-exch. forms after 3 months incubation in Vertisols
Perlakuan Asam oksalat 0 1.000 2.000 4.000 Kation Kontrol Na+ NH4+ Fe3+ CV (%) FAsam oksalat X Kation Bentuk K tanah Kdd Ktdd Kl mg kg-1 59,30 55,75 58,38 67,00 b b b a 150,38 b 155,38 ab 165,00 a 161,50 a 149,25 c 152,50 bc 165,13 b 165,38 a 12,30 1,34ns 279 a 280 a 267 ab 262 b 314 b 299 b 292 b 183 a 3,60 <1

27,75 b 38,63 b 33,38 b 142,13 a 13,60 <1

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

74

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Hapludalf Tipik

Haplustalf Tipik

Gambar 1. Pengaruh pemberian Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap proporsi bentuk-bentuk K tanah Alfisols Figure 1. Effect of Na+, NH4+, and Fe3+ application on the proportion of soil K forms in Alfisols

Endoaquert Kromik

Endoaquert Tipik

Gambar 2. Pengaruh pemberian Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap proporsi bentuk-bentuk K tanah Vertisols Figure 2. Effect of Na+, NH4+, and Fe3+ application on the proportion of soil K forms in Vertisols

kekuatan kation dalam melepaskan K tanah dari tinggi ke rendah adalah: Fe3+ > NH4+ > Na+ baik pada Alfisols maupun Vertisols. Kirkman et al. (1994) mengemukakan bahwa pada tanah-tanah yang didominasi mineral liat tipe 2:1 sebagian besar K berada di posisi-i (Ktdd) dan hanya sebagian kecil berada di posisi-e dan p (Kdd). Hasil penelitian Nursyamsi et al. (2007) pada tanahtanah yang didominasi smektit juga menunjukkan hal

yang sama, yaitu sekitar 63-68% K berada dalam bentuk Ktdd, 24-31% dalam bentuk Kdd, dan hanya 5-7% dalam nentuk Kl. Berdasarkan jumlah K yang dilepas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Na+ hanya dapat mengusir K yang berada di posisi-p, sedangkan NH4+ selain K di posisi-p juga di posisi-e dan sebagian kecil K yang berada di posisi-i. Sementara itu Fe3+ dapat melepas K yang berada di posisi-p dan e dan sejumlah besar K yang berada di posisi-i.

75

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Serapan hara tanaman Pada Alfisols, asam oksalat tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N, P, dan K tanaman. Demikian pula Na+ tidak berpengaruh nyata terhadap serapan ketiga hara tersebut. Sementara itu Fe3+ tidak berpengaruh nyata terhadap serapan N, nyata menurunkan serapan P, tapi nyata meningkatkan serapan K tanaman (Tabel 6). Pada Vertisols, asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman, sedangkan Na+ tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diuji. Berbeda dengan dua kation sebelumnya, Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan ketiga hara tersebut. Sementara itu interaksi antara asam oksalat dengan kation tidak berpengaruh nyata terhadap ketiga peubah yang diuji baik pada Alfisols maupun Vertisols (Tabel 7). Tabel 6. Pengaruh asam oksalat, Na+ dan Fe3+ terhadap serapan N, P, dan K tanaman pada Alfisols Table 6. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on plant N, P, and K uptake in Alfisols
Perlakuan Asam oksalat (ppm) 0 1.000 2.000 4.000 Natrium Kontrol Na (50% jerapan maksimum) Besi (ppm) 0 125 250 375 500 CV (%) FAsam oksalat X Kation Serapan hara tanaman N P K .. mg pot-1 .. 105,88 109,50 111,99 107,35 a a a a 7,71 7,97 8,15 7,81 a a a a 25,72 26,60 27,21 26,08 a a a a

meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perlakuan tersebut dapat memperbaiki ketersediaan salah satu atau beberapa hara bagi tanaman sehingga serapannya menjadi meningkat. Tabel 7. Pengaruh asam oksalat, Na+ dan Fe3+ terhadap serapan N, P, dan K tanaman pada Vertisols Table 7. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on plant N, P, and K uptake in Vertisols
Perlakuan Serapan hara tanaman N P K . mg pot-1 . 15,37 b 16,99 a 16,53 ab 15,71 b 18,81 a 17,63 a 51,31 56,71 55,18 52,45 b a a b

Asam oksalat (ppm) 0 211,21 b 1.000 233,42 a 2.000 227,13 ab 4.000 215,87 b Natrium Kontrol Na (50% jerapan maksimum) Besi (ppm) 0 125 250 375 500 CV (%) FAsam oksalat X Kation 258,43 a 242,21 a

62,79 a 58,84 a

333,55 381,09 334,87 325,61 283,92 4,80 1,56ns

b a b b c

24,28 27,74 24,37 23,70 20,67

b a b b c

81,04 92,59 81,36 79,11 68,98

b a b b b

6,60 1,32ns

9,20 1,03ns

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

125,74 a 130,55 a

9,15 a 9,50 a

30,55 a 31,72 a

Produksi tanaman Asam oksalat nyata meningkatkan produksi brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik. Perlakuan Na+ tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tersebut di semua tanah yang diuji. Perlakuan Fe3+ pada takaran 125 ppm nyata meningkatkan hasil brangkasan kering pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik. Namun demikian takaran Fe3+ 500 ppm nyata menurunkan hasil gabah kering pada Hapludalf Tipik, Endoaquert Kromik, dan Endoaquert Tipik. Sementara itu interaksi antara asam oksalat dan kedua kation tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap peubah tersebut (Tabel 8).

229,00 233,53 220,42 213,42 192,51 9,10 <1

a a a a a

16,67 a 17,00 a 16,04 a 15,53 ab 14,01 b 4,80 <1

50,64 b 56,74 a 53,55 ab 51,85 b 46,77 b 8,70 < 1,11ns

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

Pada Alfisols, hanya Fe3+ yang nyata meningkatkan serapan K tanaman, sedangkan pada Vertisols selain Fe3+, asam oksalat juga nyata 76

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Tabel 8. Pengaruh asam oksalat, Na+, dan Fe3+ terhadap produksi brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST Table 8. Effect of oxalic acid, Na+ and Fe3+ on 4-weeks-after-planting biomass dry yield
Perlakuan Asam oksalat (ppm) 0 1.000 2.000 4.000 Natrium Kontrol Na (50% jerapan maksimum) Besi (ppm) 0 125 250 375 500 CV (%) FAsam oksalat X Kation Hapludalf Tipik Haplustalf Tipik Endoaquert Kromik Endoaquert Tipik .. g pot-1 .. 1,62 b 1,83 ab 1,92 a 1,77ab 1,98 a 1,93 a 3,09 3,04 3,06 3,01 a a a a 4,81 5,28 5,13 4,85 a a a a 4,59 b 5,10 a 4,98 a 4,75 ab 5,45 a 5,02 a

3,58 a 3,77 a

6,01 a 5,73 a

3,62 3,45 3,34 3,30 2,40

a a a a b

6,56 6,95 6,37 6,20 6,17

a a a a a

10,44 b 11,93 a 10,48 b 10,20 b 8,75 c 11,70 1,09ns

4,40 b 5,03 a 4,42 b 4,29 b 3,89 c 8,30 1,25ns

14,30 1,41ns

13,70 <1

Angka pada kolom yang sama bila diikuti huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf 5% menurut DMRT.

Peningkatan produksi akibat pemberian asam oksalat berkaitan erat dengan peningkatan serapan N, P, dan K tanaman pada Vertisols (Tabel 7). Sementara itu Fe3+ selain dapat meningkatkan serapan K tanaman pada Alfisols (Tabel 6) dan serapan N, P, dan K tanaman pada Vertisols (Tabel 7), juga merupakan hara mikro yang diperlukan oleh tanaman dalam jumlah sedikit. Besi diperlukan tanaman karena merupakan bagian dari klorofil pada daun yang penting untuk proses fotosintesis tanaman (Marschner, 1997). Faktor-faktor tersebut merupakan alasan produksi tanaman meningkat akibat pemberian Fe3+. Takaran Fe3+ 500 ppm yang menurunkan hasil tanaman merupakan petunjuk bahwa tanaman mengalami keracunan. Peranan asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ Berdasarkan data Tabel 6-8 maka K-tersedia, serapan N, P, dan K tanaman, dan kebutuhan pupuk K dapat dihitung dan hasilnya disajikan pada Tabel 9

(Alfisols) dan 10 (Vertisols). Perhitungan tersebut menggunakan asumsi: (1) K-tersedia = K terekstrak NH4OAc 1 N pH 7.0 (Kdd); (2) Berat tanah 1 ha kedalaman 20 cm = 2 X 106 kg; dan (3) Kebutuhan pupuk K untuk mencapai hasil 9 t ha-1 adalah 150 kg K ha-1 dan efisiensi pemupukan K sebesar 40% (Dierolf et al., 2001). Selanjutnya K yang ditambahkan dari pupuk didefinisikan sebagai K yang diperlukan untuk mencapai hasil 9 t ha-1 dikurangi oleh K yang tersedia di dalam tanah. Asumsi kebutuhan pupuk K untuk mencapai hasil 9 t ha-1 sebesar 150 kg K ha-1 berdasarkan hasil penelitian Dierolf et al. (2001), yaitu tanaman jagung memerlukan 75 kg K untuk mencapai produksi 4,5 t ha-1 biji kering. Jagung hibrida P-21 mempunyai potensi produksi biji kering sekitar 9 t ha-1 sehingga memerlukan hara K dari tanah sebesar 150 kg ha-1 untuk mencapai pertumbuhan yang optimal. Nilai tersebut hampir sama dengan perhitungan kebutuhan pupuk K berdasarkan batas

77

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 9. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap K-tersedia tanah, serapan N, P, dan K tanaman, persen hasil tanaman, dan jumlah K yang perlu ditambahkan (pupuk) pada Alfisols Table 9. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil available K, plant N, P, and K uptake, percentage of plant yield, and K needed to add (fertilizer) in Alfisols
Perlakuan K-tersedia Serapan hara tanaman tanah N P K ....kg ha-1 Persen hasil*** % K yang perlu ditambahkan (pupuk) kg ha-1

Hapludalf Tipik Asam oksalat (ppm) 0 101 1.000 99 Kation (50% jerapan mak) Kontrol 101 Na 118 NH4 131 Besi (ppm) 0 101 125 103 5.000 133 Haplustalf Tipik Asam oksalat (ppm) 0 136 1.000 143 Kation (50% jerapan mak) Kontrol 129 Na 145 NH4 145 Besi (ppm) 0 129 125 131 5.000 163

172 218 229 196 * 379 418 **

5.1 6.3 6.4 6.4 * 22.7 23.6 **

22.1 21.6 20.9 27.9 * 148.9 149.2 **

100 113 100 98 * 100 96 **

110 111 109 103 98 109 109 97

227 247 329 311 * 533 617 **

30.7 31.3 27.9 19.9 * 47.8 59.3 **

92.8 109.3 88.9 87.6 * 276.9 273.4 **

100 98 100 105 * 100 106 **

96 93 98 92 92 98 98 85

Keterangan : * Perlakuan NH4+ tidak diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat dibedakan, apakah berasal dari perlakuan penambahan NH4+ atau pupuk urea; **Tidak ada data karena tanaman mati keracunan; dan ***Persen hasil = (Yperlakuan/Y0) X 100%.

kritis K tanah untuk jagung 0,2 me K 100g-1 (Dierolf et al., 2001), yaitu sebesar 156 kg K ha-1. Pada Hapludalf Tipik, asam oksalat takaran 1.000 ppm tidak berpengaruh terhadap ketersediaan K tanah sehingga tidak berpengaruh pula terhadap kebutuhan K dari pupuk. Namun demikian asam oksalat dapat meningkatkan serapan N dan P tanaman sehingga hasil biji kering juga meningkat sekitar 13%. Perlakuan Na+, NH4+, dan Fe3+ dapat meningkatkan ketersediaan K tanah sehingga menurunkan kebutuhan pupuk K tanaman. Namun demikian kation-kation tersebut tidak berpengaruh

terhadap serapan hara, kecuali serapan N tanaman meningkat akibat pemberian Fe3+. Sementara itu pada Haplustalf Tipik, asam oksalat dapat meningkatkan ketersediaan K sehingga kebutuhan pupuk K menurun, meningkatkan serapan N dan K tanaman, tapi tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman. Perlakuan Na+, NH4+, dan Fe3+ meningkatkan ketersediaan K sehingga kebutuhan pupuk K
3+

menurun, meningkatkan hasil biji kering, dan Fe meningkatkan serapan N dan P tanaman. Pada Endoaquert kromik, asam

oksalat

meningkatkan ketersediaan K sehingga menurunkan

78

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Tabel 10. Pengaruh asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ terhadap K-tersedia tanah, serapan N, P, dan K tanaman, persen hasil tanaman, dan jumlah K yang perlu ditambahkan (pupuk) pada Vertisols Table 10. Effect of oxalic acid, Na+, NH4+, and Fe3+ on soil available K, plant N, P, and K uptake, percentage of plant yield, as well as K needed to add (fertilizer) in Vertisols
Perlakuan K-tersedia tanah Serapan hara tanaman N P K ....kg ha-1 377 469 508 459
*

Persen hasil*** % 100 110 100 95


*

K yang perlu ditambahkan (pupuk) kg ha-1 26 15 17 14 4 17 17 2

Endoaquert Kromik Asam oksalat (ppm) 0 310 1.000 337 Kation (50% jerapan mak) Kontrol 331 Na 341 366 NH4 Besi (ppm) 0 331 125 333 5.000 370 Endoaquert Tipik Asam oksalat (ppm) 0 284 1.000 290 Kation (50% jerapan mak) Kontrol 269 Na 274 304 NH4 Besi (ppm) 0 269 125 270 5.000 294

18.2 24.9 25.3 24.8


*

203.1 270.3 268.0 300.9


*

883 988
**

58.6 79.3
**

454.2 593.1
**

100 114
**

426 474 498 488 * 393 417 **

54.3 69.5 68.4 63.4 * 43.6 44.8 **

209.2 209.7 215.1 225.2 * 163.8 236.3 **

100 111 100 92 * 100 114 **

36 34 42 40 29 42 42 32

*Perlakuan NH4+ tidak diuji karena N yang diserap tanaman tidak dapat dibedakan, apakah berasal dari perlakuan penambahan NH4+ atau pupuk urea, **Tidak ada data karena tanaman mati keracunan, dan ***Persen hasil = (Yperlakuan/Y0) X 100%.

kebutuhan pupuk K, meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman, serta hasil biomas kering jagung. Perlakuan Na+ meningkatkan serapan K tanaman tapi tidak berpengaruh terhadap hasil biomas kering. Perlakuan Fe3+ meningkatkan serapan N, P, dan K tanaman sehingga hasil biomas kering pun meningkat. Demikian pula pada Endoaquert Tipik, asam oksalat meningkatkan ketersediaan K sehingga menurunkan kebutuhan pupuk K, meningkatkan serapan N dan P tanaman, serta hasil biomas kering (11%). Perlakuan Na+ meningkatkan serapan K tanaman tapi tidak berpengaruh terhadap hasil biomas kering. 3+ Sementara itu, Fe meningkatkan serapan N dan K tanaman serta hasil biomas kering.

Selain aspek ketersediaan K tanah, produksi tanaman jagung juga dipengaruhi oleh ketersediaan N dan P tanah di semua tanah yang diuji. Asam oksalat dan kation dapat berpengaruh terhadap salah satu atau beberapa peubah tersebut yang pada gilirannya berpengaruh pula terhadap hasil biomas kering. Dengan demikian, maka peran utama asam oksalat (1.000 ppm) terhadap pertumbuhan jagung adalah selain meningkatkan ketersediaan K tanah sehingga mengurangi kebutuhan pupuk K juga memperbaiki ketersediaan N, P, dan K tanah. Selain itu seperti halnya asam organik yang lainnya, asam oksalat juga dapat berperan sebagai zat perangsang tumbuh yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (Bolton et al., 1993).

79

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Perlakuan Na+ dan NH4+ dapat meningkatkan Kdd tanah Vertisols (Tabel 5). Demikian pula Fe3+ dapat meningkatkan Kl dan Kdd di kedua jenis tanah yang diteliti (Tabel 4 dan 5). Dengan demikian maka ketiga kation tersebut berpotensi dalam meningkatkan ketersediaan K tanah sehingga mengurangi kebutuhan pupuk K. Selain itu Fe3+ takaran 125 ppm dapat meningkatkan serapan hara N, P, dan K tanaman sehingga produksi tanaman lebih baik. Demikian pula kation-kation tersebut dapat berperan sebagai hara makro (NH4+), mikro (Fe3+), dan beneficial nutrient (Na+) (Marschner, 1997). Uraian di atas menunjukkan bahwa asam oksalat 1.000 ppm dan Fe3+ 125 ppm dapat memperbaiki meningkatkan keseimbangan hasil hara tanah dan Na+
+

dilakukan melalui selain pengelolaan bahan organik juga pengelolaan N, P, K, dan Fe tanah. Sementara itu tanaman yang dapat menghasilkan eksudat asam organik dan bernilai ekonomi tinggi juga dapat diterapkan smektit. di tanah-tanah yang mengandung

KESIMPULAN 1. Asam oksalat, Na+, NH4+, dan Fe3+ nyata meningkatkan K tersedia baik di tanah Alfisols maupun Vertisols, dimana pengaruhnya di tanah Vertisols lebih tinggi dibandingkan Alfisols. Tingkat kekuatan perlakuan dalam melepaskan K dari bentuk tidak tersedia menjadi tersedia adalah Fe3+ > NH4+ > Na+ > asam oksalat. 2. Asam oksalat nyata meningkatkan serapan N, P dan K tanaman di Vertisols, sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan serapan K tanaman di Alfisols serta N, P, dan K tanaman di Vertisols. 3. Asam oksalat nyata meningkatkan bobot brangkasan kering tanaman jagung umur 4 MST pada Hapludalf Tipik dan Endoaquert Tipik, sedangkan Fe3+ takaran 125 ppm nyata meningkatkan hasil brangkasan kering pada Endoaquert Kromik dan Endoaquert Tipik.

tanaman.

Perlakuan

berpengaruh terhadap peubah tanah tapi tidak berpengaruh terhadap tanaman. Perlakuan NH4 meningkatkan K tersedia dan menurunkan

kebutuhan pupuk K di kedua tanah yang diuji tapi responnya terhadap tanaman tidak diuji. Sementara itu Fe3+ 5.000 ppm memang meningkatkan K tersedia dan mengurangi kebutuhan pupuk K tapi menyebabkan tanaman mati. Dengan demikian maka perlakuan asam oksalat 1.000 ppm dan Fe3+ 125 ppm merupakan perlakuan yang terbaik. Aplikasi lapangan penggunaan asam dapat oksalat diganti untuk dengan meningkatkan ketersediaan K dan hasil tanaman di sesungguhnya

DAFTAR PUSTAKA Bajwa, M.I. 1987. Comparative ammonium and potassium fixation by some wetland rice soil clays as affected by mineralogical composition and treatment sequence. Potash Review No. 1/1987. International Potash Institute, Switzerland. Bolton, H. Jr., J.K. Fredrickson, and L.F. Elliot. 1993. Microbial ecology of the rhizosphere. Pp 27-64. In Soil Microbial Ecology. Applications in Agricultural and Environmental Management. Marcel Dekker, Inc. 270 Madison Avenue, New York.

penggunaan tanaman yang banyak menghasilkan eksudat asam organik. Tanaman jagung dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan di tanahtanah yang didominasi smektit karena selain mempunyai nilai ekonomi tinggi juga akarnya dapat menghasilkan eksudat asam oksalat yang tinggi, yakni berkisar antara 3,15-5,93 mg g-1 BK akar (Nursyamsi, peningkatan 2008). Dengan demikian tanah-tanah maka yang produktivitas

didominasi smektit dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yakni perbaikan tanah dan penggunaan varietas tanaman yang tepat. Perbaikan tanah

80

D. NURSYAMSI ET AL. : PENGARUH ASAM OKSALAT, NA+, NH4+,

DAN

FE3+

TERHADAP

KETERSEDIAAN K TANAH, SERAPAN N, P,

DAN

K TANAMAN

Borchardt, G. 1989. Smectites. Pp 675-727. In Minerals in Soil Environments. Second Edition. Soil Science Society of America Madison, Wisconsin, USA. Dhillon, S.K. and K.S. Dhillon. 1992. Kinetics of release of potassium by sodium tetraphenyl boron from some topsoil samples of Red (Alfisols), Black (Vertisols), and Alluvial (Inceptisols and Entisols) soils of India. Fertilizer News 32(2):35-138. Dierolf, T, T. Fairhurst, and E. Mutert. 2001. Soil Fertility Kit: A toolkit for acid, upland soil fertility management in Southeast Asia. Potash and Phosphate Institute/Potash and Phosphate Institute of Canada (PPI/PPIC) (www.eseap.org). Douglas, L.A. 1989. Vermiculites. Pp 635-674. In Minerals in Soil Environments. Second Edition. Soil Science Society of America Madison, Wisconsin, USA. Evangelou, V.P. and J. Lumbanraja. 2002. Ammonium-potassium-calcium exchange on vermiculite and hydroxy-aluminum vermiculite. SSSAJ 66:445-455. Ghousikar C.P. and D.W. Kendre. 1987. Potassium supplying status of some soils of Vertisols type. Potash Review No. 5/1987. International Potash Institute, Switzerland. Goulding, K.W.T. 1987. Potassium fixation and release. Proc. of the Colloquium of the International Potash Institute 20:137-154. Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale, and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Sixth Edition. Prentice Hall. Upper Saddle River, New Jersey 07458. Helmke, P.A. and D.L. Sparks. 1996. Lithium, sodium, potassium, rubidium, and cesium. In Methods of Soil Analysis. Part 3 Chemical Methods-SSSA Book Series No. 5. Ismail, I. 1997. The Role of Na and Partial Substitution of KCl by NaCl on Sugarcane

(Saccharum officinarum, L.) Growth and Yield, and Its Effect Towards Soil Chemical Properties. Disertasi Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kilic, K., M.R. Derici, and K. Saltali. 1999. The ammonium fixation in great soil groups of Tokat Region and some factors affecting the fixation. I. The affect of potassium on ammonium fixation. Tr. J. of Agriculture and Forestry 23:673-678. Kirkman, J.H., A. Basker, A. Surapaneni, A.N. Macgregor. 1994. Potassium in the soils of New Zealand- a review. New Zealand Journal of Agricultural Research 37:207227. Knudsen, D., G.A. Paterson dan P.F. Pratt. 1982. Lithium, sodium, and potassium. In Page et al (Eds.) Method of Soil Analysis. Part 2. 2nd ed. Agronomy 9:403-429. Marschner, H. 1997. Mineral Nutrition of Higher Plants. Second Edition. Academic Press, Harcourt Brace & Company, Publisher. Tokyo. Nursyamsi, D., K. Idris, S. Sabiham, D.A. Rachim, dan A. Sofyan. 2007. Sifat-sifat tanah dominan yang berpengaruh terhadap K tersedia pada tanah-tanah yang didominasi smektit. Jurnal Tanah dan Iklim 26:13-28. Nursyamsi, D. 2008. Pelepasan Kalium Terfiksasi dengan Penambahan Asam Oksalat dan Kation untuk Meningkatkan Kalium Tersedia bagi Tanaman Pada Tanah-tanah yang Didominasi Mineral Liat Smektit. Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Oldeman, L.R. 1975. An Agroclimatic Map of Java and Madura. Contr. Cent. Res. Ins. Agric. No. 17. Bogor. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia, Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. 81

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Sidhu, P.S. 1987. Mineralogy of potassium in soils of Punjab, Haryana, Mimachal Pradesh and Jammu and Kashmir. Potash Review No. 6/1987. International Potash Institute, Switzerland. Song, S.K. and P.M. Huang. 1988. Dynamic of potassium release from potassium-bearing minerals as influenced by oxalic and citric acid. SSSAJ 52:383-390.

Tan, K.H. 1998. Principles of Soil Chemistry. Third Edition Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc., New York. Wood, L.K. and E.E. De Turk. 1940. The absorption of potassium in soil in non-exchangeable form. Soil Sci. Soc. Am. Proc. 5:152-161. Zhu Yong-Guan and Luo Jia-Xian. 1993. Release of non-exchangeable soil K by organic acids. Pedosphere 3:269-276.

82

Indikator Iklim Global dan Pengaruhnya Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim di Indonesia
Global Climate Indices and Its Effect on Extreme Climate Events in Indonesia

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI1

ABSTRAK
Banyak fakta menunjukkan bahwa terjadinya fenomena ElNio Southern Oscillation (ENSO) dan Dipole Mode berdampak besar terhadap kondisi hujan di beberapa wilayah di Indonesia. Namun besaran dampaknya terhadap hujan di berbagai wilayah Indonesia sangat beragam, sehingga perlu diteliti indikator yang paling berpengaruh dan besaran pengaruhnya. Berdasarkan nilai korelasi yang paling tinggi, indikator tersebut kemudian dapat digunakan untuk memprakirakan hujan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menentukan indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap curah hujan, pergeseran musim, dan kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia. Untuk melakukan kajian tersebut dilakukan beberapa tahapan analisis sebagai berikut : 1) analisis regresi antara curah hujan dengan beberapa indikator iklim global dengan time lag dua bulan sebelumnya (anomali suhu muka laut (Sea Surface Temperature/SST) di zone Nino 3.4, DMI, SOI, interaksi SST dengan DMI, dan interaksi SOI dengan DMI) untuk menentukan indikator yang paling tinggi korelasinya dengan hujan di Indonesia, 2) plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global untuk menentukan besarnya perubahan curah hujan dengan perubahan indikator iklim global tersebut, 3) Analisis peluang terlampaui untuk menentukan awal masuknya musim hujan dan lama musim hujan pada kondisi iklim ekstrim, dan 4) Analisis dampak kejadian iklim ekstrim terhadap kejadian banjir dan kekeringan di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa suhu muka laut di Nino 3.4 paling berpengaruh terhadap hujan di Indonesia, dan pengaruhnya hanya signifikan terhadap hujan pada musim transisi (AgustusNovember). Hubungan SST dengan hujan menunjukkan korelasi negatif yang artinya peningkatan anomali SST akan menyebabkan penurunan curah hujan periode Agustus-November. Hasil analisis peluang menunjukkan jika anomali SST pada bulan September turun sampai di bawah -0,5oC (La-Nia) awal musim hujan akan maju dan lama musim hujan lebih panjang, sebaliknya jika anomali SST naik sampai di atas 0,5oC (El-Nio) awal musim hujan akan mundur dan lama musim hujan lebih pendek. Dampak El-Nio terhadap kerusakan lahan sawah di Indonesia karena kekeringan sangat luas, sebaliknya kerusakan lahan sawah pada kondisi LaNia tidak sebesar akibat kekeringan dan tidak signifikan dibanding kondisi normal. Kata kunci : ENSO, DMI, SOI, SST, Awal musim hujan, Kejadian iklim ekstrim

The significant indices are able to be used in predicting rainfall in Indonesia.The objective of the present study is to detemine global climate indicators that have the significant effect to rainfall, climate/season anomaly, the occurence flood and drought in Indonesia. The study has been done through the following steps ; 1) regression analysis of rainfall with global climate indices of Sea Surface Temperatur Anomaly/SST in Nino 3.4 zone, Dipole mode Index (DMI), Southern Oscillation Index (SOI), interacton of SSTA with DMI, and interaction of SOI with DMI), 2) Plotting of rainfall anomaly and global climate indices for determining rainfall deviates with deviant of global climate forcing indices, 3) analysis of probability of exceedence for determining onset and lenght of wet season on climate extreme event, and 4) analysis impact of climate extreme event on flood and drougt occurences and damage areas of ricefield. The result showed that the closest relationship between global climate forcing indices and rainfall in Indonesia is SST in Nino 3.4 zone and only have significant relationship to rainfall in transisional season (August-November). Negative correlation between SST and rainfall indicates that the increase of SST anomaly causes the decrease of rainfall on August-November period. Probability of exceedance analysis showed that if the SST on September decrease below -0.5 -0.5 o C (indicate La-Nia event), the wet season will start earlier with longer period. In contrast, if SST increases above 0.5 oC (indicate El-Nio event) the wet season will delay with shorter period. Impact of drought on damage of ricefield is more significant than the flood occurence. Keywords : ENSO, DMI, SOI, SST, Rainfall, Onset of wet season, Climate extreme events.

PENDAHULUAN Di Indonesia hujan merupakan unsur iklim yang sangat beragam baik menurut waktu maupun tempat. Keragaman hujan di Indonesia secara umum dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya ialah fenomena ENSO di Samudera Pasifik, aktivitas moonson, golakan lokal dan siklon tropis. Berdasarkan data historis, fenomena ENSO (El-Nio Southern Oscillation) sangat erat kaitannya dengan kejadian iklim ekstrim. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa hujan di wilayah Indonesia berkorelasi signifikan terhadap kejadian ENSO
1. Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor.

ABSTRACT
Many facts show that El-Nio Southern Oscillation (ENSO) phenomenon and Dipole Mode are closely related to rainfall event in Indonesia, but the magnitude of its impact varies with site. Therefore, it is needed to determine the most singnificant global climate indices that has closely related to Indonesians rainfall.

ISSN 1410 7244

83

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

(Haylock and McBride, 2001; Hendon, 2003; Aldrian dan Susanto, 2003, Chang et al., 2004; Boer and Faqih, 2004; Batisti et al., 2006). Selain itu interaksi lautan-atmosfer di Samudera Atlantik yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD) juga berpengaruh terhadap kejadian kekeringan di Indonesia (Saji, 2000; Boer dan Faqih, 2004). Selanjutnya dinyatakan bahwa IOD mempunyai sifat yang independen terhadap ElNio (Saji et al., 1999; Rao et al., 2002, Rao; 2002). Kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan El-Nio seperti pada tahun 1997 memperkuat pengaruh El-Nio di wilayah Indonesia, sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan dengan El-Nio akan mengurangi dampak El-Nio. Banyak hasil studi menunjukkan bahwa terjadinya fenomena ENSO berdampak besar terhadap kondisi iklim dunia. Di Amerika Selatan bagian utara seperti Caracas menjadi panas dan kering sementara yang bagian tengah dan selatan menjadi lebih basah tetapi agak panas dari normal. Wilayah Equador dan Peru bagian utara pada bulan November-April berpotensi mengalami hujan yang sangat tinggi. wilayah Asia dan Indonesia umumnya mengalami musim kering yang lebih panjang dari normal pada saat terjadinya El-Nio, dan di sebagian kecil wilayah seperti Madras-India suhu di musim hujan menjadi agak panas dari normal, sementara di sebagian wilayah Jepang curah hujan meningkat dari Normal. Besarnya penurunan atau kenaikan hujan akibat berlangsungnya fenomena ENSO beragam antar wilayah. Berbagai indikator tersebut dapat diunduh dari berbagai situs di internet baik nilai aktual maupun prediksinya, sehingga dapat dijadikan sebagai indikator dalam prediksi hujan di Indonesia. Namun kekuatan sinyal indikator terhadap hujan di Indonesia sangat beragam, sehingga perlu ditentukan indikator yang paling tinggi korelasinya agar dalam penggunaannya untuk memprediksi hujan mempunyai akurasi yang tinggi. Penentuan besaran dampaknya terhadapan pergeseran musim, lamanya musim dan sifat hujan sangat penting untuk perencanaan tanam

dalam rangka antisipasi kejadian iklim ekstrim untuk meminimalkan risiko kegagalan tanam dan panen. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia, dampaknya terhadap pergeseran musim dan hubungannya dengan kejadian banjir dan kekeringan.

BAHAN DAN METODE Data yang digunakan Data curah hujan bulanan dan dasarian dari 94 stasiun hujan yang mewakili berbagai wilayah di Indonesia periode 1980-2005, diakses dari database Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Data indikator iklim global dengan periode yang sama yang terdiri atas data anomali SST di Nino 3.4 (sumber:www.cpc.noaa.gov), data DMI (sumber: www.jamstec.go.jp), dan SOI (sumber: www. longpaddock.qld.gov.au). Sedangkan data luas kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat banjir dan kekeringan diperoleh dari Direktorat Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian. Metodologi Data hujan bulanan dikelompokkan berdasarkan periode musim hujan/MH (periode Desember-Maret/ DJFM), musim kemarau I (periode April-Juli/AMJJ), dan musim kemarau II (periode Agustus-November/ ASON). Periode hujan ASON (Kemarau II) juga merupakan periode transisi antara musim kemarau dan musim hujan. Tahapan analisis sebagai berikut : yang dilakukan adalah

1. Analisis regresi antara curah hujan dengan anomali SST Nino 3.4, DMI, SOI, interaksi ASST dengan DMI, dan interaksi SOI dengan DMI, untuk menentukan indikator iklim global yang berpengaruh signifikan terhadap hujan di Indonesia.

84

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

2. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global yang terpilih untuk menentukan besarnya perubahan curah hujan dengan perubahan indikator iklm global tersebut. 3. Analisis peluang awal musim hujan dan lama musim hujan berdasarkan skenario indikator iklim yang terpilih untuk menentukan awal musim hujan dan lama musim hujan pada kondisi iklim ekstrim. 4. Analisis dampak kejadian iklim ekstrim terhadap kejadian banjir dan kekeringan serta luas kerusakan tanaman padi pada lahan sawah di Indonesia. Untuk menentukan indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap curah hujan di Indonesia dilakukan analisis regresi antara curah hujan musiman periode DJFM, AMJJ dan ASON dengan anomali SST, SOI, dan DMI dua bulan sebelumnya masing-masing September-Oktober, Januari-Februari, dan Mei-Juni. Keeratan hubungan antara curah hujan dengan indikator iklim global dilihat berdasarkan nilai koefisien keragaman (R2) dan nilai peluangnya. Nilai R2 dikelompokkan atas empat yaitu : 0-25%, 25-50%, 50-75%, dan 75100%, dan koefisien keragaman dinyatakan signifikan apabila nilai p< 0,05. Plot antara anomali curah hujan dengan indikator iklim global yang terpilih bertujuan untuk mengetahui slope persamaan secara statistik besar. Apabila nilai slope lebih besar dari 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Berdasarkan nilai slope dan plot tersebut diketahui besarnya perubahan curah hujan dengan peningkatan/ penurunan indikator iklim global yang terpilih. Untuk menentukan awal masuknya dan lama musim hujan pada daerah yang koefisien keragamannya nyata dari hasil regresi sebelumnya digunakan teknik Probability Forecasting System. Analisis distribusi peluang menggunakan metode Weibull sebagai berikut :

p = peluang m = nomor data setelah diurutkan dari kecil ke besar n = jumlah data Penentuan awal musim hujan menggunakan data dasarian, dengan kriteria awal musim hujan mulai terjadi apabila selama 2 dasarian berturut-turut jumlah curah hujan sama dan lebih besar dari 50 mm. Selanjutnya berdasarkan distribusi peluang kemudian ditentukan skenario kejadian iklim ekstrim. Apabila hanya SST yang berpengaruh terhadap curah hujan maka pengelompokkan skenario iklim berdasarkan nilai anomali SST sebagai berikut : a) Normal : nilai anomali SST -1 sampai +1oC, b) ElNio : nilai anomali SST > +1oC, c) La-Nia : nilai anomali SST < -1oC Dampak kejadian iklim ekstrim dianalisis secara deskriptif dengan melihat luas pertanaman padi pada lahan sawah di Indonesia pada tahun-tahun kejadian iklim ekstrim (El-Nio dan La-Nia).

HASIL DAN PEMBAHASAN Indikator iklim global yang berpengaruh terhadap hujan di Indonesia Hasil analisis regresi antara curah hujan musiman DJFM, AMJJ, dan ASON pada 94 stasiun hujan yang tersebar diseluruh Indonesia dengan indikator iklim global: Anomali SST, SOI, DMI, interaksi antara ASST*DMI dan SOI*DMI dua bulan sebelumnya, menunjukkan bahwa nilai peluang yang signifikan hanya terdapat pada korelasi antara curah hujan dengan anomali SST periode musim transisi ASON (Tabel 1). Sebagian besar wilayah yang curah hujannya berkorelasi tinggi terdapat di wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan yang merupakan lumbung padi nasional (Gambar 1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa hanya curah hujan periode Agustus-November yang mempunyai korelasi yang nyata dengan curah hujan periode anomali SST dua bulan sebelumnya pada sebagian besar wilayah Indonesia. Selain itu, 85

p=
dimana :

m n +1

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Tabel 1. Persentase nilai peluang (p< 0,05) regresi curah hujan dengan beberapa indikator iklim global Table 1. Percentage of regression probability value (p< 0.05) between rainfall and global climate indices
Bulan DJFM AMJJ ASON CH vs SST CH vs SOI CH vs DMI CH vs SST*DMI CH vs SOI*DMI ....................................................... % ......................................................... 4,25 2,13 3,19 7,47 8,51 2,13 11,70 6,38 2,13 4,25 55,31 2,13 4,25 2,13 4,25

indikator SST bulan Mei-Juni dapat digunakan untuk memprediksi hujan padan periode musim transisi (Agustus-November). Bagi Indonesia, hal ini menguntungkan karena informasi prakiraan yang andal pada musim transisi sangat penting khususnya bagi sektor pertanian, karena dapat mengindikasikan apakah awal musim hujan akan mundur atau maju. Informasi tersebut diperlukan untuk menentukan kapan musim tanam dapat dimulai. Persentase tertinggi stasiun yang mempunyai korelasi signifikan antara curah hujan dengan SOI dan DMI adalah pada periode AMJJ dengan nilai berturut-turut 11,70% dan 6,38%. Sedangkan pada periode DJFM dan AMJJ persentasinya sangat kecil. Korelasi yang signifikan antara curah hujan dengan SOI terdapat pada wilayah pantura Jawa dan Lombok, sedangkan dengan DMI terdapat pada daerah Lampung, Riau, dan pantura Jawa Barat. Artinya pada daerah yang bersangkutan indikator SOI atau DMI bulan Januari-Februadi cukup baik digunakan untuk memprediksi hujan pada musim kemarau. Selanjutnya dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa interaksi antara SST dan SOI dengan DMI tertinggi terjadi pada periode musim hujan, namun hanya pada sebagian kecil wilayah (7-8%). Pengaruh SST terhadap curah hujan Berdasarkan hasil korelasi tersebut maka prakiraan curah hujan dengan menggunakan indikator iklim anomali SST Nino 3.4 mempunyai akurasi yang tinggi pada periode musim transisi (Agustus-November). Hasil ini sejalan dengan hasil studi Giannini (2006) yang menunjukkan bahwa di

Indonesia tingkat kemampuan ramalan tinggi untuk musim transisi, sedangkan untuk musim hujau rendah (Gambar 2). Hasil plot data anomali suhu muka laut di Nino 3.4 bulan Mei-Juni dengan data anomali hujan bulan Agustus-November pada daerah dengan nilai koefisien keragaman > 25% mempunyai nilai slope persamaan secara statistik lebih besar dari nilai 0, artinya anomali hujan bulanan di wilayah tersebut berkorelasi nyata dengan anomali suhu muka laut. Semakin besar nilai anomali suhu muka laut (semakin positif atau terjadi El-Nio), data anomali hujan semakin negatif. Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa apabila data anomali suhu muka laut bulan Mei-Juni sebesar +1oC, maka data anomali hujan bulan Agustus-November di Ternate sekitar -250 mm. Artinya anomali suhu muka laut di Nino 3.4 pada bulan Mei-Juni naik sampai sekitar +1oC, maka curah hujan periode Agustus-November diperkirakan akan turun 250 mm di bawah normal. Jumlah penurunan hujan yang sama juga terjadi di Sukamandi (Jawa Barat), Ngablak (Jawa Tengah), Pattimura (Maluku), Batutangga (Kalimantan Selatan). Dampak kejadian iklim ekstrim terhadap awal musim hujan Hasil analisis sebelumnya menunjukkan hubungan yang nyata antara suhu muka laut di Nino 3.4. dengan curah hujan pada periode musim transisi (Agustus-November), maka indikator tersebut dapat digunakan memprakirakan awal masuknya musim hujan dan lama musim hujan. Selanjutnya disusun peluang terlampaui tingkat hujan tertentu pada

86

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

Gambar 1. Nilai R2 hasil analisis regresi antara suhu muka laut lag 2 dengan curah hujan Figure 1. R-square value of regression analysis between sea surface temperature and rainfall

87

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Warna menunjukkan nilai korelasi antara nilai hujan hasil ramalan dengan hujan hasil observasi

Gambar 2. Tingkat keandalan ramalan (predictability) hujan musim transisi dan musim hujan (Giannini, 2006) Figure 2. The predictability level of rainfall in transitional season and rainy season (Giannini, 2006)

skenario El-Nio, La-Nia, dan Normal. Apabila terlihat perbedaan yang jelas antara grafik peluang pada kondisi El-Nio (anomali SST > 0,5oC), LaNia (anomali SST < -0,5oC) dan normal (anomali SST antara -0,5oC-0,5oC ), berarti wilayah tersebut peka terhadap fenomena ENSO. Sebagai contoh, hasil analisis peluang menunjukkan jika anomali SST pada bulan September normal, maka awal musim hujan di Pusakanegara pada peluang 60% dimulai pada hari ke-315 (November dasarian 2). Jika anomali SST turun sampai di bawah -0,5oC awal musim hujan akan maju sekitar 10 hari dan lama musim hujan diperkirakan akan lebih panjang 20 hari, sebaliknya jika anomali SST naik sampai di atas 0,5oC awal musim hujan akan mundur 10 hari dan lama musim hujan akan lebih pendek 20 hari (Gambar 4). Kasus lain di daerah Intangan menunjukkan pergeseran awal musim juga terjadi, pada kondisi normal awal musim hujan pada hari ke-294 (Oktober dasarian III), jika diprediksi akan terjadi El-Nio maka diprakirakan awal musim hujan akan mundur 10 hari dan jika La-Nia awal musim hujan diprakirakan akan maju 10 hari. Lama musim hujan pada kondisi normal adalah 19 dasarian, jika terjadi La-Nia maka diprakirakan musim hujan akan lebih panjang 4 88

dasarian dan jika terjadi El-Nio musim hujan akan lebih pendek 3 dasarian. Dampak kejadian iklim ektrim terhadap luas gagal panen pada lahan sawah akibat banjir dan kekeringan Dampak El-Nio terhadap kerusakan lahan sawah di Indonesia karena kekeringan sangat luas, sebaliknya kerusakan lahan sawah pada kondisi LaNia tidak sebesar akibat kekeringan dan tidak signifikan dibanding kondisi normal. Kejadian kekeringan di Indonesia periode 1991-2006 yang berasosiasi dengan kejadian El-Nio terlihat jelas pada tahun El-Nio 1991, 1994, 1997, dan 2002. Kejadian El-Nio pada tahun-tahun tersebut menyebabkan kerusakan pertanaman padi akibat kekeringan yang cukup luas. Namun sebaliknya kejadian La-Nia tidak menyebabkan peningkatan yang signifikan kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat banjir. Seperti kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat banjir pada tahun 1998/1999 tidak lebih tinggi daripada tahun normal. Tingginya kerusakan pertanaman padi akibat banjir pada tahun normal disebabkan oleh tingginya hujan yang dipicu oleh faktor selain SST (Gambar 5).

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

Ternate 600 400 Anomali CH Agt-Nov 200 0 -200 -400 -600 -0.5 0.0
Anomali SST

Ambon 800
y = -186.4x + 22.945 2 R = 0.2805

600 Anomali CH Agt-Nov 400 200 0 -200 -400 -600 -800 -0.5 0.0

y = -388.45x + 47.383 R2 = 0.6109

-2.0

-1.5

-1.0

0.5
Mei-Jun

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Anomali SST Mei-Jun Ngablak 600


y = -109.59x + 21.975 2 R = 0.0176

Maros 1500 1000 500 0 -500 -1000 -0.5 0.0 0.5 Anomali SST Mei-Jun

400 Anomali CH Agt-Nov 200 0 -200 -400 -600 -0.5 0.0

Anomali CH Agt-Nov

y = -293.33x + 75.441 R2 = 0.574

-2.0

-1.5

-1.0

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Anomali SST Mei-Jun Batutangga 800


y = -298.88x + 55.235 R = 0.5513
2

Sukamandi
600 400
y = -293.33x + 75.441 R2 = 0.574

600 Anomali CH Agt-Nov 400 200 0 -200 -400 -600 -800 -0.5 0.0

Anomali CH Agt-Nov

200 0 -200 -400 -600

-2.0

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5
Mei-Jun

1.0

1.5

2.0

-2.0

-1.5

-1.0

0.5

1.0

1.5

2.0

Anomali SST

Anomali SST Mei-Jun

Gambar 3. Hubungan anomali curah hujan bulan Agustus-November dengan anomali suhu muka laut di Nino 3.4 bulan Mei-Juni pada berapa wilayah di Indonesia Figure 3. Relationship between August-November rainfall anomaly and May-June sea surface temperature anomaly in Nino 3.4 of some areas in Indonesia

89

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Pusakanegara
1.00
El Nino La Nina Normal

Pusakanegara
1
El Nino La Nina Normal

Peluang Terlampuai Peluang Terlampaui

Peluang Terlampaui

0.80

0.8

0.60

0.6

0.40

0.4

0.20

0.2

0.00 265 275 285 295 305 315 325 335 345 355 365

0 10 15

Awal MH

20 Lama MH (Dasarian)

25

30

Intangan
El Nino La Nina Normal

Intangan
1
El Nino La Nina Normal

0.8

0.8

Peluang Terlampaui

0.6

Peluang Terlampaui
365

0.6

0.4

0.4

0.2

0.2

0 265 275 285 295 305 315 325


Aw al MH

0 335 345 355 10 15 20 25 30

Lama MH (Dasarian)

Gambar 4. Hubungan antara peluang masuknya awal musim hujan dan lama musim hujan pada kondisi iklim ekstrim dan normal Figure 4. Relationship between probability of exceedence of onset and period of rainy season on extreme and normal climate condition

KESIMPULAN 1. Indikator iklim global yang paling berpengaruh terhadap hujan di Indonesia adalah suhu muka laut di zone Nino 3.4, dan pengaruhnya hanya signifikan pada musim transisi bulan AgustusNovember, sehingga SST bulan Mei-Juni dapat digunakan untuk memprediksi hujan pada periode musim transisi (Agustus-November). Hal ini menguntungkan karena informasi prakiraan yang andal pada periode tersebut sangat penting untuk menentukan awal musim tanam. Pengaruh SST ini signifikan pada wilayah Sumatera bagian selatan, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan yang merupakan lumbung padi nasional. Sedangkan dengan DMI hanya berpengaruh 90

terhadap curah hujan musim kemarau disebagian kecil wilayah Indonesia seperti Lampung, Riau dan pantura Jawa Barat. 2. Hubungan SST dengan hujan menunjukkan korelasi negatif. Kenaikan anomali suhu muka laut bulan Mei-Juni sebesar +1oC, menyebabkan penurunan curah hujan. Selain itu jika anomali SST pada bulan September turun sampai di bawah -0,5oC (La-Nia) awal musim hujan akan maju dan lama musim hujan lebih panjang, sebaliknya jika anomali SST naik sampai di atas 0,5oC (El-Nio) awal musim hujan akan mundur dan lama musim hujan lebih pendek. Penurunan curah hujan dan pergeseran musim yang cukup tajam pada kondisi El-Nio akan terjadi ada

E. SURMAINI DAN E. SUSANTI : INDIKATOR IKLIM GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEJADIAN IKLIM EKSTRIM DI INDONESIA

3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 -0.5 -1 -1.5 -2


6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 6 2006 6 2006 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 12 12

Anomali SST

El Nino
1200000 Banjir

Luas kerusakan (ha)

1000000 800000 600000 400000 200000 0 6 6 6

El Nino

Kekeringan

La Nina El Nino

El Nino

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

12

6 2005

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

Bulan dan Tahun

Gambar 5. Kerusakan pertanaman padi pada lahan sawah akibat kekeringan dan banjir yang berasosiasi dengan ENSO di Indonesia Figure 5. Damaged area of ricefield due to drought and flood occurence assosiated with ENSO events in Indonesia

daerah di Sumatera bagian selatan, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan 3. Dampak El-Nio terhadap kerusakan pertanaman padi di Indonesia karena kekeringan lebih luas dibandingkan karena banjir. Kerusakan pertanaman padi akibat banjir pada kondisi LaNia tidak signifikan dibanding pada kondisi normal.

Boer,

R. and M. Faqih. 2004. Global climate forcing factor and rainfall variability in West Java: case study in Bandung District. J. Agromet 18(2):1-12.

Chang, C.P., Z. Wang, Z., J. Ju, and T. Li. 2004. On relationship between western maritime continent monsoon rainfall and ENSO during northern winter. J. Climate 16:1775-1790. Giannini, A. 2006. Seasonality in the predictability of Indonesian monsoonal climate. Paper presented at International Workshop on Use of Ocean Observations to Enhance Sustainable Development-Training and Capacity Building Workshop for the Eastern Indian Ocean, Bali, 7-9 June 2006. Haylock, M. and J.L. McBride, 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate 14: 38823887. Hendon, H.H. 2003. Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction. J. Climate (16):1775-1790.

DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E. and R.D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions within Indonesia and their Relationship to Sea Surface Temperature. Int. J. Climatol. 23: 1435-1452. Battisti, D.S., D.J. Vimont, R. Naylor, W. Falcon, and M. Burke. 2006. Downscaling Indonesian precipitation: present and future climate scenario. Paper presenting in rountable discussion on coping with Climate Variability and Change in Food Production. Bogor. November 2006.

12

91

JURNAL TANAH DAN IKLIM NO. 28/2008

Rao, S.A. 2002. Indian Ocean dipole. A new phenomenon found in tropical Pasific. http:// www.jamstec.go.jp/.html [3 Februari 2005]. Rao, S.A., S.K. Behera, Y. Masumoto, and T. Yamagata. 2002. Subsurface interannual variability assosiated with the Indian Ocean Dipole. CLIVAR Exchange 23:1-4.

Saji, N.H., B.N. Goswani, P.N. Vinayachandran, and T. Yamagata. 1999. A dipole mode in the tropical Indian ocean. Nature Magazine 401:360-363 Saji, N.H. 2000. The ocean at work during the Indian Ocean Dipole Mode. Frontier Newsletter 10.

92

PETUNJUK PENULISAN ARTIKEL UNTUK JURNAL TANAH DAN IKLIM


Jurnal Tanah dan Iklim terbit dua kali dalam setahun dan memuat hasil-hasil penelitian dalam bidang tanah dan iklim. Artikel di dalam Jurnal Tanah dan Iklim tersusun atas bagianbagian Judul, Abstrak, Pendahuluan, Bahan dan Metode, Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka. Judul : Judul harus singkat (maksimum 15 kata), tetapi cukup memberikan identitas subyek, indikasi tujuan dan memuat kata-kata kunci, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak : Abstrak mewakili seluruh materi tulisan dan implikasinya, ditulis secara singkat (sekitar 200 kata) dalam bahasa Indonesia dan Inggris dengan isi yang sama, dan tidak ada singkatan. Pendahuluan : Menyajikan alasan diadakannya penelitian atau hipotesis yang mendasari, ringkasan tinjauan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, dan pendekatan yang digunakan. Bahan dan Metode : Memuat penjelasan mengenai bahan-bahan penelitian, lokasi, dan waktu pelaksanaan. Metode yang digunakan ditulis dengan jelas dan sistematis, sehingga peneliti lain yang akan meneliti ulang dapat melakukan dengan cara yang sama. Hasil dan Pembahasan : Hasil yang disajikan secara singkat dapat dibantu dengan tabel, grafik, ilustrasi, dan foto-foto. Masing-masing data disajikan satu kali pada naskah, tabel, atau grafik. Judul tabel dan gambar, serta keterangannya, ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pembahasan merupakan tinjauan terhadap hasil penelitian secara singkat tetapi cukup luas. Pustaka yang diacu diutamakan publikasi primer. Kesimpulan : Menyajikan hasil penelitian yang dianggap penting untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Daftar Pustaka : Mencantumkan semua pustaka yang digunakan dengan menyebutkan nama penulis, tahun penerbitan, judul, penerbit, kota, volume, nomor, dan halamannya, serta pustaka dari website. Penulisan daftar pustaka sesuai dengan cara yang ada di dalam jurnal ini. Keterangan : 1. Nama (-nama) penulis disertai catatan kaki tentang profesi dan instansi tempat bekerja. 2. Kata-kata kunci sesuai dengan isi artikel, berpedoman pada Agrovoc, dan ditulis setelah abstrak. 3. Setiap nama organisme yang disebut pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok disertai nama ilmiahnya. 4. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. 5. Nama kimiawi yang disebut untuk pertama kali dalam abstrak atau tulisan pokok supaya ditulis penuh, tidak boleh menyebutkan nama dagang (merk). 6. Angka desimal dalam bahasa Indonesia ditandai dengan koma dan dalam bahasa Inggris ditandai dengan titik. 7. Naskah diketik dua spasi kurang lebih 20 halaman kuarto, dalam format Microsoft Word. 8. Gambar, grafik, dan foto hitam putih harus kontras dan jelas. 9. Tabel tanpa garis pemisah vertikal. 10. Makalah dalam bentuk soft copy dan 2 hard copy, diserahkan/dikirimkan kepada Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.

Jurnal Tanah dan Iklim adalah penerbitan berkala yang memuat hasil-hasil penelitian dalam bidang tanah dan iklim dari para peneliti baik di dalam maupun di luar Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Redaksi dapat menyesuaikan istilah atau mengubah kalimat dalam naskah yang akan diterbitkan tanpa mengubah isi naskah. Penerbitan ini juga memuat berita singkat yang berisi tulisan mengenai teknik dan peralatan baru, serta hasil sementara penelitian tanah dan iklim. Surat pembaca dapat dimuat setelah disetujui Dewan Redaksi. Dewan Redaksi tidak dapat menerima makalah yang telah dipublikasikan atau dalam waktu yang sama dimuat dalam publikasi lain. Pembaca yang berminat untuk berlangganan atau pertukaran publikasi harap berhubungan dengan Redaksi Pelaksana Jurnal Tanah dan Iklim.

Anda mungkin juga menyukai