Anda di halaman 1dari 3

Larasati, itu adalah nama dia.

Nama seorang perempuan yang akhir-akhir ini kuanggap sebagai kekasihku meskipun dia belum menganggap aku sebagai kekasihnya. Aku tak tahu perasaannya padaku. Bagaimanapun juga, tak jelas apakah dia mencintaiku selayaknya aku mencintai dia. Aku tak tahu bukan karena aku tak pernah menanyakannya, atau tak berani menanyakannya. Pernah suatu hari aku bertanya tentang perasaan dia kepadaku. Namun dia hanya menjawab dengan senyum yang indah dari bibirnya. Dia tersenyum setelah mengatakan bahwa dia ingin bersamaku yang tak selalu harus berhubungan dengan cinta. Aku suka kamu, aku ingin banyak menghabiskan waktu bersamamu. Begitu kalimat yang aku dengar dari mulut Larasati.

Suka atau cinta. Tak masalah bagiku sekarang. Aku tak terlalu memperdulikan perbedaan kata suka dan cinta yang keluar dari mulutnya. Aku lebih memperdulikan bagaimana caranya aku bisa terus memberikan rasa cintaku kepadanya. Karena aku sudah lama mencari seorang perempuan yang aku idamkan. Perempuan yang ada di dalam diri Larasati. Karena itu dia berhak mendapatkan cintaku.

Larasati, bukan seorang yang cantik yang memperhatikan keindahan dirinya. Rambutnya bahkan tidak seperti seorang perempuan normal lainnya. Dipotongnya pendek rambut dia. Badanya kecil, tak ada lekukan selayaknya gitar spanyol pada tubuhnya. Bila diperhatikan dari belakang, Larasati nampak hanya seorang bocah laki-laki yang baru tamat SMP. Ditambah tinggi badannya yang tidak melibihi tinggi pundakku. Tak ada yang lebih dari dirinya untuk orang lain. Mungkin kaos yang selalu lebih lebih lebih besar dari ukuran yang seharusnya dia kenakan. Tapi untukku, ada satu hal yang membuat aku berani memastikan bahwa Larasati adalah gadis perempuan yang selama ini aku cari. Mata. Ya, tatapan matanya yang membuatku yakin untuk melakukan sesuatu. Matanya yang selalu berhasil menghipnotisku ketika saling berpandangan, matanya yang selalu membawaku ke tempat yang begitu damai, tenang, sejuk, jauh dari kesibukan yang sebenarnya aku jalani.

Aku selalu senang menghabiskan waktu bersamanya. Sepatu. Ya, sepatu yang mempertemukan aku dengan Larasati. Di toko sepatu di pinggiran kota ini, aku tak menemukan pasangan sepatu gunung yang akan kubeli. Aku putuskan untuk bertanya dikasir. Ketika itulah, seorang perempuan membawa sebelah sepatu. Setelah aku perhatikan, itu sepatu dari pasangan sepatu yang aku cari. Perempuan itu bertanya kepada kasir. Pertanyaan yang sama denganku, di mana pasangan sepatu itu. Sepatu itu hanya tinggal satu pasang. Setelah berbincang dengannya,aku mengalah untuk memberika sepatuku padanya. Larasati lah yang menjadi pemilik sepasang sepatu itu. Tak ada pertengkaran untuk memutuskan siapa yang berhak memiliki sepatu itu. Dari pertemuan di toko sepatu itu, kemudian berdatangan pertemuan-pertemuan lainnya yang mejadikan aku lebih dekat dengannya. Yang kemudian aku membuat keputusan untuk memberikan cintaku kepada Larasati walaupun sampai saat ini aku belum tahu apakah dia memberikan cintanya kepadaku atau tidak.

Walaupun kisah kasih ini hanya sepihak, tapi aku tetap menganggap dia sebagai kekasihku. Namun tak selayaknya pasangan kekasih lainnya. Tak ada keromantisan dalam perjalanan cintaku dengan dia. Lebih banyak hal-hal ekstrem yang aku lewati bersamanya. Karena hobi aku sama dengan

Larasati. Bermain dekat dengan kematian. Mulai dari tersesat beberapa hari di salah satu gunung di pulau Sumatera. Hingga tidak bisa bergeraknya dia ketika memanjat tebing karena keliru mengambil jalur. Akhirnya harus menunggu hingga bantuan datang.

Malam ini aku akan bertemu dengan Larasati. Di salah satu klub Jazz di kota ini. Larasati yang begitu kalem melemparkan senyumnya padaku ketika aku jemput dari rumahnya. Sudah tiga bulan ini Larasati selalu berpenampilan begitu rapi. Selalu menggunakan kemeja kotak-kotak berlengan panjang. Celana jeansnya tidak ada yang bolong. Kaos hitam yang dia kenakan didalam kemejanya pas sesuai ukurannya. Sangat rapi untuk Larasati yang telah aku kenal sejak pertemuan di rental outdoor tiga tahun yang lalu. Aku membukakan pintu mobilku untuk Larasati. Oh iya, sejak tiga bulan ini juga, aku tidak pernah membawa motor trail ku untuk menjemput Larasati. Aku selalu meminjam mobil Ayahku untuk menjemputnya. Tak ada perbincangan antara aku dan Larasati selama dalam perjalanan. Dia hanya terus menulis di buku yang selalu dibawanya akhir-akhir ini. Tiba-tiba dia memberikan secarik kertas bertuliskan Tolong belikan air minum dulu!. Hanya itu perbincangan kami.

Aku memakirkan mobliku di pinggir jalan di depan klub Jazz itu. Aku turun dari mobil, kemudian aku gandeng tangan Larasati. Hanya senyuman yang di sampaikan. Bahkan matanya juga ikut tersenyum. Aku mencarikan tempat duduk yang pas untuk kami berdua. Alunan-alunan musik terus dimainkan oleh para musisi di klub ini. Larasati terus sibuk dengan bukunya. Dia terus menulis dan menulis. Sesekali aku menuliskan sesuatu untuknya. Dan dia balas pula dengan tulisan. Kadang aku menggodanya dengan menuliskan puisi. Dan dia tersenyum lembut melihatku. Terus begitu. Aku sangat menikmati senyumna. Tiga lagu berselang, MC memberikan joke-joke ringan kepada para penonton. Larasati ikut tertawa ketika yang lainnya juga tertawa. Aku hanya bisa tersenyum melihat Larasati bisa tertawa begitu lepas. Aku elus rambutnya. Dia menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku rangkul dia. Ingatanku kembali ke kejadian lima bulan yang lalu.

Saat itu Larasati datang ke tempatku, seperti biasa dia memberitahukan bahwa dia akan melakukan ekspedisi ke pegunungan di Indonesia paling timur. Seringkali dia melakukan ekspedisi selalu aku lepas dengan tenang, karena aku selalu yakin dia bisa pulang tanpa kurang sedikitpun. Namun kali itu begitu berbeda, ada perasaan tidak rela untuk melepasnya pergi. Aku masih diliputi kekhawatiran saat mengantarkannya di bandara. Berhari-hari aku selalu memantau keadaan dia di posko tim ekspedisinya. Selalu dengan perasaan khawatir. Sebelumnya aku tidak pernah langsung memantau di posko. Hanya menunggu kabar dari timnya saja dari rumah. Kali ini memang benar-benar berbeda. Minggu-minggu kedepannya pun selalu dihinggapi perasaan yang sama. Ah, Larasati memang selalu bermain dekat dengan kematian.

Dan akhirnya kekhawatiranku terjawab. Berita dari tim di posko. Dua orang tim ekspedisi di lapangan mengalami kecelakaan. Jatuh dari tebing. Terlempar badai yang tiba-tiba datang menyapu tim itu.

Salah satu dari dua orang itu adalah Larasati. Dia terpental ke dasar jurang. Begitu laporan dari tim di lapangan. Seketika itu juga aku terus berdoa supaya tidak terjadi hal yang serius terhadap Larasati.

Selama sebulan aku selalu berkunjung ke rumah sakit tempat dia di rawat. Sejak itu, tak ada perbincangan antara aku dan Larasati. Dokter memvonisnya tuli. Gendang telinga Larasati pecah. Dia jatuh dengan kepala duluan menghantam tanah. Sementara di kepalanya entah berapa puluh jahitan untuk menutup luka-lukanya. Bahu sebelah kirinya juga patah. Saat itu juga aku hanya selalu bisa tersenyum ketika bertatapan dengan Larasati. Aku berbincang dengan matanya.

Larasati mengangkat kepalanya dari bahuku. MC kembali memanggil band selanjutnya untuk tampil. Larasati kembali sibuk dengan buku tulisnya. Aku selalu menemaninya belajar untuk menuliskan apa yang dia lihat ketika pendengarannya sudah tidak berfungsi. Malam itupun berjalan begitu cepat. Aku mengantarkannya pulang. Setelah dia turun, dia hanya melambaikan tangannya dan tersenyum manis. Di bangku mobilku, dia meninggalkan kertas. Isi tulisan kertas itu Aku Cinta Kamu.. . Untuk pertama kalinya aku mengetahui bahwa dia telah membalas cintaku.

Anda mungkin juga menyukai