Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUBUNGAN KEKERABATAN ANTAR SPESIES Piper BERDASARKAN SIFAT MORFOLOGI DAN MINYAK ATSIRI DAUN DI YOGYAKARTA
Makalah ini disusun untuk Melengkapi Ujian Kompetensi Dasar IV Matakuliah Kemotaksonomi

Oleh : Kelompok 2 Agus Sri Wulansari Burhansyah Hanni Tsaaqifah Isnaniar Hikmah N. Meutia Srikandi F. Nunung Ria N. Sri Ratnadewi Yul Tri Darweni M0409001 M0409011 M0409023 M0409030 M0409037 M0409045 M0409058 M0409068

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Klasifikasi bertitik tolak pada keseragaman dalam keanekaragaman yang dihadapi. Sesuai dengan kemajuan peradaban serta perkembangan ilmu dan teknologi, ciri-ciri pada tumbuhan yang pada mulanya tidak dapat diamati atau tidak tampak dan karenanya tidak dipertimbangkan untuk dijadikan dasar dalam mengadakan klasifikasi seperti kandungan zat kimia dan lainnya, kemudian memperoleh perhatian untuk digunakan sebagai dasar dalam mengadakan klasifikasi yang dinamakan kemotaksonomi. Konsep spesies dalam klasifikasi dengan bukti morfologi, dapat didukung oleh bukti fitokimia, yaitu senyawa metabolit sekunder termasuk terpenoid. Penggunaan sifat kimia untuk memecahkan masalah taksonomi banyak terbukti, tetapi pada beberapa kasus bukti kimia tidak sejalan dengan bukti morfologi sehingga menghasilkan sistematika yang berbeda (Davis dan Heywood, 1973; Singh, 1999). Kemotaksonomi telah banyak digunakan sebagai alat untuk

mengklasifikasikan perbedaan antar spesies. Meskipun belum benar-benar dapat diterapkan karena banyaknya subspesies, varietas, kultivar, dan bahkan hibrida (hasil persilangan antar spesies). Penentuan senyawa kimia pada suatu spesies tidaklah mudah dilakukan, meski demikian selalu terdapat satu minyak (senyawa tertentu) yang dimiliki oleh suatu spesies sehingga bilamana diketemukan dalam spesies lain dalam satu genus hal ini akan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan yang dekat antar spesies tersebut selain dari penampakan morfologinya (Hiltunen and Yvonne, 1999). Genus Piper banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional di berbagai negara untuk mengobati luka, mengurangi pembengkakan pada kulit, dan iritasi kulit. Beberapa studi ilmiah telah dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia pada genus Piper. Umumnya komposisi kimia genus Piper didominasi oleh fenilpropanoida seperti safrolin, dillapiol, dan miristin, atau

terpenoid seperti limonin, -caryophyllene, spathulenol, (E)-nerolidol, bicyclogermacrene and cadinol (Santos, et al., 2001). Faktor edafik dan klimatik dapat berpengaruh terhadap kuantitas minyak atsiri setiap atau suatu spesies (Sutarjadi, 1980; Whiffin, 1992), demikian pula untuk spesies Piper di wilayah Yogyakarta (Purnomo dan Rani, 2005). Karakter kimia spesies Piper yang cukup menonjol adalah adanya senyawa minyak atsiri (terpenoid) di daun dan buahnya, sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat, rempah-rempah, dan bumbu dapur. Fakta menunjukan bahwa bau remasan dari berbagai spesies Piper memiliki ciri khas masing-masing. Sehingga jenis senyawa (kualitatif) minyak atsiri (metabolt sekunder) dapat digunakan sebagai bukti dalam klasifikasi (Purnomo dan Rani, 2005).

B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana karakteristik spesies Piper ? 2. Bagaimana hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan bukti morfologi dan minyak atsiri di wilayah Yogyakarta ?

C. Tujuan 1. Menjelaskan karakteristik spesies Piper 2. Mengetahui hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan bukti morfologi dan minyak atsiri di wilayah Yogyakarta

BAB II PEMBAHASAN

A. Klasifikasi Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi Kelas Sub Kelas Ordo Famili Genus : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) : Magnoliidae : Piperales : Piperaceae (suku sirih-sirihan) : Piper

Genus Piper terdiri dari lebih dari seribu spesies, yang didistribusikan terutama di daerah tropis di dunia. Kebanyakan anggota dari genus Piper adalah semak dan sedikit pepohonan. Batang Piper memiliki node gemuk mencolok dengan satu daun sederhana pada setiap node. Perbungaan Piper berkembang di simpul dari percabangan batang daun yang berlawanan dan tegak atau gantung, berumah satu atau dioecious. Bunga sangat kecil dengan tidak ada sepal dan petal, bract bundar, dan tangkai yang terhubung ke malai. Benang sari dan stigma berjumlah 2-6 dan stigma dilindungi dengan rambut yang sangat pendek. Ovarium adalah inferior dan dengan pedisel pendek. Buahnya berdaging, sessile, dan bulat atau ellipsoid (Davis, et al., 1973). Setiap jenis Piper sering memiliki tiga bentuk batang yang meliputi merayap, memanjat dan bercabang. Batang tanaman yang merayap dan memanjat memiliki bentuk daun yang berbeda atau sama. Morfologi daun

(misalnya warna dan bentuk) untuk semua tanaman sangat berbeda (Dyer and Aparna, 2004). Meskipun, Piper dengan bunga majemuk dapat dengan mudah diidentifikasi jumlah, bentuk benang sari dan stigma, bractologi, dan karakteristik bentuk daun, seperti penomoran dan pengaturan tulang daun,

desain dekoratif dan warna (Chaveerach et al., 2009). Daun Piper mengandung aroma yang khas dan tajam karena mengandung minyak atsiri, dan unsur-unsur seperti cadinene, carvacrol, caryophyllene, chavibetol, chavicol, eugenol, terpinyl, asetat (Dyer and Aparna, 2004). Pada genus ini kandungan kebanyakan adalah dari jalur shikimat. Jalur shikimat yaitu asam amino dan phenylpropanoids aromatik. C6C3 ini mengacu pada unit phenylpropyl dan diperoleh dari kerangka karbon baik fenilalanin atau l-l-tirosin, dua dari turunan asam amino aromatik-shikimate. Yang kehilangan gugus amino. rantai samping C3 dapat jenuh atau tidak jenuh, dan bisa juga oksigen. Kadang-kadang rantai sampingnya terputus, menghilangkan satu atau dua atom karbon. Menjadi, unit C6C2 dan C6C1 mewakili bentuk pendek yang termodifikasi dari sistem C6C3 (Chahal, et al., 2011).

B. Koleksi Sampel dan Perlakuan Identifikasi anggota kelompok Piper yang diambil dari berbagai tempat yang berbeda di Yogyakarta, dilakukan dengan menggunakan kunci identifikasi dari berbagai pustaka. Untuk melihat hubungan kekerabatan antar spesies Piper berdasarkan kandungan fitokimia, dilakukan pengisolasian minyak atsiri daun dengan metoda destilasi Stahl dan dianalisis dengan kromatografi gas cair, dengan senyawa minyak atsiri standard yaitu caryophyllene dan -pinene. Skema hubungan kekerabatan fenetik dibuat berdasarkan koefisien asosiasi. Data morfologi meliputi 55 sifat yang dibandingkan, yaitu perawakan, akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji, serta sifat fitokimia, yaitu waktu retensi setiap puncak pada kromatogram. Data dianalisis secara deskriptif. Selanjutnya dari data kuantitatif ditentukan hubungan kekerabatan fenetik dengan metoda pengelompokan bertingkat jarak antar spesies (pasangan OTUs ditentukan berdasarkan koefisien asosiasi) dan analisis taksonomi numerik dilakukan dengan program SPSS versi 11.0.

C. Perbandingan Taksonomi 1. Morfologi Analisis kelompok berdasarkan sifat morfologi dari spesies Piper di atas, menunjukkan skema hubungan kekerabatan fenetik dalam bentuk dendrogram (Gambar 1.). Dendrogram menunjukkan bahwa antar spesies Piper dapat dikelompokkan menjadi 2 grup pada nilai similaritas 40,4%, yaitu antara P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum, P. miniatum, dan P. cubeba (kelompok 1) dengan P. aduncum, P. sarmentosum (kelompok 2). Pemisahan ini ditandai terutama pada sifat cara arah tumbuh batang tegak dan memanjat. Pada kelompok satu (1) yaitu P. betle, P. retrofractum, P. recurvum, P. nigrum berkelompok terhadap P. miniatum, P. cubeba pada nilai similaritas 60,6%, hubungan kekerabatan terdekat berdasarkan sifat morfologi tergambarkan antara P. betle dan P. retrofractum serta P. recurvum dan P. nigrum dengan nilai similaritas 71,2%, sedangkan P. miniatum dan P. cubeba pada nilai similaritas 63,5%. Pada kelompok dua (2) beranggotakan dua spesies yaitu P. aduncum dan P. sarmentosum yang berkerabat pada nilai similaritas 69,2%.

Gambar 1. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat morfologi.

Hubungan kekerabatan antar spesies Piper tersebut didukung oleh pendapat Singh (1999) yang menyatakan bahwa koefisien asosiasi pada nilai di atas 60% adalah pada tingkatan spesies, sehingga kelompok 1 dan 2 dalam dendrogram (koefisien asosiasi 40,4%) besar kemungkinan sebagai kategori di atas spesies Piper.

Gambar 2. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper di Yogyakarta berdasarkan sifat minyak atsiri daun

2. Kemotaksonomi Analisis kelompok berdasarkan sifat minyak atsiri, menunjukan pengelompokan OTUs pada dendrogram yang berbeda dibandingkan sifat morfologi (Gambar 2.). Dalam dendrogram tersebut justru P. retrofractum yang secara morfologi berkerabat dekat dengan P. betle, berdasarkan sifat minyak atsiri menjadi kluster tunggal yang berbeda dengan 7 spesies Piper yang lain, dengan koefisien asosiasi 45,5%. Bukti kromatogram minyak atsiri daun menunjukkan bahwa P. betle ditandai oleh jenis senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 1.075-4.433

menit mendekati waktu retensi -pinene yaitu 1.833 menit, sehingga berkerabat dekat dengan senyawa tersebut, sedangkan P. retrofractum ditandai dengan jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 13.905-16.558 menit, mendekati waktu retensi caryophyllene yaitu 14.918 (Gambar 3.) Ketujuh spesies Piper yang lain menjadi satu kluster dengan koefisien asosiasi 64,2%, berdasarkan nilai tersebut masih berkerabat pada tingkat spesies (Singh, 1999). Berdasarkan sifat minyak atsiri, dapat dikatakan bahwa P. aduncum dan P. cubeba berkerabat terdekat, karena memiliki persamaan kandungan yang tinggi dengan nilai koefisien asosiasi 81,59%. Berkaitan dengan bahan alam, maka jenis minyak atsiri P. aduncum dapat menjadi alternatif pengganti dari salah satu jenis minyak atsiri pada P. cubeba. Jenis minyak atsiri dengan waktu retensi 17.709 dan 20.945 menit pada kromatogram P. cubeba merupakan pembeda antara kedua spesies Piper tersebut (Gambar 4.). Jenis minyak atsiri tersebut berkerabat dekat dengan caryophyllene (waktu retensi 14.918 menit). P. recurvum mengelompok dengan P. aduncum dan P. cubeba dengan nilai persamaan 71% tetapi masih dalam satu kluster, hal ini disebabkan karena perbedaan senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 8.65 dan 11.795 menit (P. recurvum), serta 21.067 menit (P. aduncum) mendekati senyawa caryophyllene. Antara P. miniatum, p. nigrum, dan P. sarmentosum membentuk kluster pada nilai kesamaan (koefisien asosiasi) 67.3%, dan memisah pada nilai koefisien asosiasi 70% antara P. sarmentosum dengan kluster P. miniatum dan P. nigrum (Gambar 2.), hal tersebut disebabkan karena perbedaan senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 21.275, 23.367, 28.075 menit mendekati jenis senyawa caryophyllene (Gambar 5 dan 6). Antara P. miniatum dan P. nigrum membentuk kluster dengan nilai koefisien asosiasi 70%, kedua spesies berbeda pada senyawa minyak atsiri dengan waktu retensi 6.838,14.678, dan 23.392 (P. miniatum) (Gambar 5 dan 6), Pada setiap spesies Piper dengan adanya perbedaan faktor luar di habitatnya, terbukti memiliki perbedaan terutama nilai kuantitas dari jenis minyak atsiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Whiffin (1992), bahwa

perbedaan tersebut terjadi karena adanya variasi kimia yang merespons terhadap perbedaan faktor luar di habitatnya.

Gambar 3. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. betle (kiri) dan P. retrofractum (kanan)

Gambar 4. Kromatogram minyak atsiri dari P. aduncum (kiri) dan P. cubeba (kanan)

Gambar 5. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. sarmentosum (kiri) dan P. nigrum (kanan)

Gambar 6. Kromatogram komponen minyak atsiri dari P. recurvum (kiri) dan P. miniatum (kanan)

3. Perbandingan Karakter Morfologi dengan Kemotaksonomi Berdasarkan karakter morfologi dan kemotaksonomi khususnya kandungan minyak atsiri pada daun spesies-spesies Piper tampak adanya perbedaan penggolongan klasifikasi. Bilamana secara morfologi P. aduncum berkerabat dekat dengan P. sarmentosum dan dibedakan oleh tingkatan klaster dengan P. cubaba namun

secara kandungan minyak atsiri daun P. aduncum lebih berkerabat dengan dengan P. cubaba dan dibedakan oleh tingkatan klaster dengan P. sarmentosum. Hal serupa juga dijumpai pada P. retrofractum dengan P. betle yang secara morfologi berkerabat dekat, namun secara kemotaksonomi dengan mengacu pada kandungan minyak atsiri pada daun P. retrofractrum diklasifikasikan secara tersendiri dari 7 spesies lain yang diamati. Secara morfologi, delapan spesies yang diamati dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yang terdiri dari P. aduncum dan P. sarmentosum dalam satu kelompok dan kelompok dua terdiri dari 6 spesies lainnya (P. betle, P. retrofractrum, P. rucurvum, P. nigrum, P. miristum, dan P. cubaba). Namun secara kemotaksonomi, delapan spesies tersebut dibagi dalam 2 kelompok besar anggota kelompok 1 ialah P. retrofractum dan 7 spesies lainnya masuk dalam kelompok 2. Hal ini semakin membuktikan bahwa, meskipun secara morfologi dijumpai adanya kemiripan pada suatu spesies dalam genus yang sama, namun secara kemotaksonomi penggolongan tersebut dapat jauh berbeda.

BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan uraian mengenai kekerabatan spesies-spesies Piper berdasarkan morfologi dan kemotaksonomi maka dapat disimpulkan bahwa di wilayah Yogyakarta ditemukan 8 spesies Piper yaitu: P. aduncum, P. sarmentosum, P. cubeba, P. retrofractum, P. nigrum, P. recurvum, P. miniatum, dan P. betle. Hubungan kekerabatan spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan minyak atsiri menghasilkan klasifikasi yang berbeda. Secara morfologi, delapan spesies yang diamati dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yang terdiri dari P. aduncum dan P. sarmentosum dalam satu kelompok dan kelompok dua terdiri dari 6 spesies lainnya (P. betle, P. retrofractrum, P. rucurvum, P. nigrum, P. miristum, dan P. cubaba). Namun secara kemotaksonomi, delapan spesies tersebut dibagi dalam 2 kelompok besar anggota kelompok 1 ialah P. retrofractum dan 7 spesies lainnya masuk dalam kelompok 2. Spesies Piper yang berkerabat dekat secara morfologi, dapat berkerabat jauh berdasarkan minyak atsiri daun.

DAFTAR PUSTAKA

Chahal, J., Renu Ohlyan, Ajit Kandale, Anu Walia, Sidharth Puri. 2011. Introduction, Phytochemistry, Traditional uses and Biological Activity of Genus Piper: A review. International Journal of Current Pharmaceutical Review and research, Vol. 2(2) :132 -144 Chaveerach, A., Piya Mokkamul, Runglawan Sudmoon, and Tawatchai Tanee. 2009. Ethnobotany of the genus Piper (Piperaceae) in Thailand. Ethnobotany research and application Vol. 4 : 223-231 Davis P.H., and V.H. Heywood. 1973. Principle of Angiospermae Taxonomy. Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc. Dyer, L.A and Aparna D.N.P. 2004. Piper: A Model Genus for Studies of Phytochemistry, Ecology, and Evolution. Kluwer Academic/Plenum Publishers, New York Hutington. New York: Robert E. Kreiger Publishing Co. Inc.Hiltunen, R and Yvonne Holm. 1999. BASIL : The Genus Ocimum. Harwood Academic Publisher, Amsterdam Purnomo dan Rani A. 2005. Hubungan Kekerabatan antar Spesies Piper Berdasarkan Sifat Morfologi dan Minyak Atsiri Daun di Yogyakarta. Biodiversitas Vol. 6(1): 12-16 Santos, P.R.D., Moreira, D.L., Guimares, E.F., Kaplan, M.A.C. 2001. Essential oil analysis of 10 Piperaceae species from the Brazilian Atlantic forest. Phytochemistry 58 : 547551 Singh G. 1999. Plant Systematics. Science Publisher, Inc., New Hampshire Sutarjadi. 1980. Penelitian Taksonomi dan Fitokimia. Surabaya: Universitas Airlangga Whiffin, T. 1992. Variation in chemical characters. Field Lecture and Practical Work of Taxonomy of Tropical Tree Species: Chemotaxonomicl Approach for Genetic Diversity Inventory. Bogor: LIPI

Anda mungkin juga menyukai