Anda di halaman 1dari 3

PLURALISME SEOLAH-OLAH (PSEUDO PLURALISM) Melihat kondisi bangsa akhir-akhir ini dimana konflik horizontal antar kelompok baik

social, politik maupun keagamaan yang saling meruncing dan bersitegang bahkan ada beberapa yang sampai melakukan tindakan kekerasan baik fisik maupun psikis, maka tidak berlebihan kiranya apabila muncul sebuah pertanyaan besar; kira-kira kapan bangsa Indonesia akan runtuh karena konflik yang seperti ini? Masih kah ada harapan untuk untuk bersama-sama berbangsa dan bernegara? Dan berbagai macam pertanyaan-pertanyaan underestimate yang lain. Tentu pertanyaan seperti itu tidak muncul begitu saja, dalam medio satu bulan ini saja (April-Mei) berapa kasus yang terjadi dengan motif SARA (Suku, Agama, Ras dan Adat Istiadat), akhir-akhir ini yang lebih sering muncul adalah kasus disintegrasi yang disebabkan oleh pemahaman keberagamaan yang berbeda atau sebetulnya konflik yang lain namun dikemas dengan atribut keagamaan tertentu. Beberapa kasus yang masih segar antara lain seperti kelompok yang menghendaki pembubaran FPI (Front Pembela Islam) dengan jargonnya Indonesia Tanpa FPI karena selama ini FPI dinilai sebagai kelompok dengan madzhab premanisme yang dengan semena-mena sering kali membuat ulah dan dianggap meresahkan. Seperti tidak mau kalah ada pula lalu tandingannya yakni kelompok yang menginginkan JIL (Jaringan Islam Liberal) dibubarkan dengan jargonnya Indonesia Tanpa JIL, karena JIL dianggap sebagai kelompok pro liberalism yang bisa merusak akidah sebuah agama tertentu di Indonesia dengan berbagai macam kontroversi pemikirannya. Belum lagi kasus tentang pro dan kontra kehadiran lady gaga meski akhirnya pihak manajemen sendiri yang membatalkan konsernya di Indonesia. Kasus di atas hanyalah salah satu contoh sample saja dari sekian banyak kasus yang terjadi. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah kasus-kasus seperti itu menjadi konsumsi keseharian yang terus menerus disajikan oleh media massa dengan gaya pemberitaan yang khas yang mengesankan kepada publik bahwa hal ini merupakan masalah yang sangat serius dan besar sehingga harus terus-menerus dibahas tanpa ada upaya penyelesaian. Dalam beberapa kesempatan diskusi di media baik secara tulisan maupun lisan kedua pihak yang berseberangan mengungkapkan argumentasinya dengan baik sehingga mengesankan kedua belah pihak adalah sama benar dan masing-masing mempunyai klaim kebenaran atas apa yang dilakukan atas nama pluralisme dan iklim demokrasi. Sungguh ironis memang, di iklim demokrasi bangsa seperti hari ini yang dulu sungguh ingin dicapai sampai mengorbankan banyak hal termasuk jiwa dan raga dengan harapan untuk mewujudkan kondisi bangsa yang lebih baik namun ternyata berbanding sebaliknya. Harapan dengan adanya iklim yang demokratis sehingga pola masyarakat yang pluralis akan terwujud malah menjadi ajang tumbuh kembangnya paham-paham yang tidak ada sebelumnya secara subur. Apabila Meminjam istilahnya Ahmad Baso apabila dahulu pertentangan wacana yang

ada adalah antara agama tradisional dan modern namun masih dalam satu frame bersama, hari ini pertentangannya adalah antara fundamentalisme agama dan fundamentalisme liberal yang masing-masing mempunyai misi-suci tentang klaim kebenaran yang harus didawahkan. Iklim yang demokratis yang dahulu dianggap mampu untuk menciptakan kenyamanan dan kedamaian berbangsa namun sebaliknya malah menciptakan ruang baru untuk tumbuh suburnya berbagai macam pemikiran yang malah cenderung bisa mengancam disintegrasi bangsa menjadi sesuatu hal yang sangat menarik untuk dibahas. Dimana atas dasar demokrasi berbagai kelompok dengan berbagai macam pemikiran dan tindakan mengaku berhak untuk hidup dan mempunyai hak untuk mendawahkan pemikirannya. Dan Negara, atas dasar demokrasi dan pluralisme pula dianggap tidak mempunyai hak untuk menertibkan hal hal tersebut.

Demokrasi Semu dan Pluralisme Seolah-olah

Masalah perbedaan pendapat dan pandangan yang sampai menimbulkan konflik antar kelompok memang bukan suatu hal baru bagi Indonesia dalam bernegara. Di hampir setiap dekade selalu saja ada konflik antar kelompok yang diwarnai motif SARA. Mencari akar masalah pluralisme indonesia Menelusuri genealogi pemikiran pluralism Indonesia

Pembahasan Pancasila dan pluralisme Konsep mayoritas vs minoritas Gagasan kosmo-pluralism Negara dan penegakan pluralis-pancasilais

Penutup

Seperti sebuah metamorfosa, konflik tumbuh dari benih yang kemudian menghasilkan pohon yang kokoh.[4] Tahapan intensitas konflik tersebut adalah: 1. Tersembunyi (latent): samar-samar permasalahan sudah menjadi discourse, identitas mengental meskipun belum bergerak. Sampai pada tingkatan ini potensi konflik belum disadari penuh oleh satu atau dua pihak.[5] 2. Mencuat (emerging): pihak-pihak yang berselisih mulai teridentifikasi, masalah-masalah mulai diakui. Meskipun permasalahan-permasalahan kian jelas, namun penyelesaiannya tidak dikembangkan.[6] 3. Terbuka (manifest): dimana para pihak sudah berada pada arena konflik akibat akumulasi masalah atau buntunya negosiasi. 4. Meningkat (eskalasi): konflik mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas.[7] Perkembangan selanjutnya adalah munculnya prilaku-prilaku seperti: 1. Pengkotak-kotakan diri (segregasi), baik dilakukan sebagai bentuk penyelesaian, atau sebagai sarana konslidasi. 2. Stereotip (stereotype), yaitu label negatif terhadap pihak lawan. Diceritakan bahwa sisi-sisi negatif pihak lawan telah muncul sejak lama, namun mereka baru mengambil tindakan dalam waktu-waktu terakhir. 3. Pengjelek-jelekan (Demonisasi), berupa warning akan betapa bahayanya pihak lawan. Tindakan ini biasanya dilakukan sistematis sehingga citra negatif yang seram muncul dalam alam pikiran publik. 4. Ancaman, langsung maupun tidak langsung kepada lawan 5. Pemaksaan (koersi), baik terhadap kelompok sendiri atau pun kelompok lain. 6. Mobilisasi Sumber Daya Manusia 7. Citra Cermin, dimana setiap pihak yang bertikai hanya melihat dirinya sendiri, berkaca pada dirinya sendiri tanpa meperhatikan sisi pandang orang lain atau pun lawan. 8. Pengakuan Citra Diri, berupa perasaan-perasaan heroik sebagai pihak yang terlibat. Biasanya dinyatakan dengan kesiapan untuk dimobilisasi pada aksi-aksi kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai