Anda di halaman 1dari 13

Penyakit Pasca Panen Akibat Bukan Infeksi Patogen

(Disampaikan Sebagai Tugas Mata Kuliah Hama dan Penyakit Pasca Panen)

Oleh : Ni Nyoman Alit Purwaningsih NIM : 1105105043

FAKULTAS PERTANIAN JURUSAN AGROEKOTEKNOLOGI UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2013

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Produk pasca panen merupakan bagian tanaman yang dipanen dengan berbagai tujuan, terutama untuk memberikan nilai tambah dan keuntungan bagi produsen maupun petani. Sejak bagian tanaman tersebut dipanen, berarti sejak itu pula bagian tanaman tersebut terputus hubungan fisiologi dengan inangnya. Dengan demikian, bagian tanaman tersebut tidak lagi mendapatkan pasokan hasil metabolisme dari tanaman, tetapi bagian tersebut masih melakukan kegiatan fisiologinya. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan mengapa bagian tanaman yang telah dipanen akan mudah rusak, selain juga dapat disebabkan oleh faktor luar. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya kerusakan pasca panen. Selain disebabkan oleh pathogen biotik, penyakit pasca panen juga dapat disebabkan oleh pathogen abiotik, yaitu oleh pengaruh suhu ekstrem. Beberapa produk pasca panen, khususnya yang berasal dari daerah tropika, sangat peka terhadap pengaruh suhu simpan. Suhu yang terlalu rendah akan dapat merusak produk yang disimpan. Sejumlah buah dan sayuran tropika dan subtropika peka terhadap kerusakan karena suhu dingin (chilling injury). Di banyak kasus, kerusakan suhu dingin sukar diketahui ketika buah atau sayur didedah ke suhu dingin, tetapi akan mudah diketahui ketika didedah ke suhu di atas suhu dingin dan buah mengalami pemasakan. Kerusakan pascapanen tersebut akan berpengaruh pada kuantitas hasil panen, yaitu berkurangnya jumlah atau berat keseluruhan hasil panen. Selain itu, juga mempengaruhi kualitas dari hasil panen itu sendiri, yaitu dengan menurunnya mutu hasil panen yang akan dipasarkan. Penyakit pascapanen juga akan mempengaruhi pendapatan petani dalam skala perorangan dan pendapatan negara dalam skala nasional. Perkiraan kehilangan biji untuk bahan makanan di negara yang sedang berkembang, menurut laporan FAO (1989), adalah sebesar 25%. Kehilangan ini disebabkan oleh penanganan yang kurang hati-hati, pembusukan, dan adanya serangan hama dan pathogen pasca panen. Hal ini berarti bahwa seperempat produk pasca panen tidak akan pernah sampai ke konsumen. Di samping itu, usaha serta modal yang digunakan selama budi daya tanaman akan hilang selamanya. Sementara itu, kehilangan pada produk pasca panen lain, seperti tomat, ubi jalar, pisang, jeruk, dan hasil perkebunan di negara sedang berkembang dapat mencapai setingginya 50% atau setengah dari apa yang ditanam telah hilang.

Buah-buahan, sayuran, dan umbi-umbian merupakan produk pasca panen yang sangat mudah rusak, yang akan dengan segera busuk dan tidak layak lagi untuk dikonsumsi. Hal ini khususnya apabila produk tersebut tidak mendapatkan penanganan yang sangat hati-hati selama pemanenan, pemilahan, pemisahan, penanganan, maupun pengangkutan. Melihat kenyataan tersebut, pengetahuan mengenai penyebab penyakit pasca panen tersebut penting untuk diketahui, utamanya penyebab penyakit pasca panen yang bukan disebabkan oleh pathogen (non-parasiter). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan masalahnya, yaitu : 1. Apa saja faktor penyebab penyakit yang termasuk dalam penyakit non-parasiter? 2. Bagaimana cara penanganan penyakit non-parasiter tersebut? 1.3 Tujuan Adapun tujuan penulisan paper ini adalah: 1. Mengetahui faktor penyebab penyakit yang termasuk dalam penyakit nonparasiter. 2. Mengetahui cara penanganan penyakit non-parasiter.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyakit-penyakit yang muncul pada komoditi pada fase penanganan setelah panen dikenal sebagai Penyakit Pasca Panen atau Postharvest Disease (Bambang B. Santoso, 2012). 2.1 Pentingnya Penyakit Pasca Panen Penyakit pasca panen sangat berperan penting, antara lain berpengaruh pada beberapa hal sebagai berikut (Loekas Soesanto, 2006): 1. Timbulnya mala-nutrisi penduduk dunia karena kehilangan pasca panen yang cukup besar akibat penyakit. Kehilangan ini makin besar pada Negara-negara berkembang yang ditandai dengan tingginya limbah pangan dan hilangnya produksi. 2. Bertambahnya biaya produksi karena penambahan anggaran untuk mengendalikan ataupun mencegah adanya penyakit pasca panen. 3. Berkurangnya produksi tanaman yang dapat dijual atau dikosumsi, dan hal ini akan mengurangi pendapatan produsen atau petani. 4. Banyaknya produk yang terbuang akibat adanya perubahan warna, tekstur, atau bau yang tidak disukai konsumen. 5. Penambahan sarana dan prasarana pengendalian pathogen pasca panen, yang secara langsung akan menambah kegiatan untuk menyiapkan tenaga operatornya. 2.2 Faktor yang Mempengaruhi Kerusakan Pasca Panen Besar kecilnya tingkat kerusakan sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik sejak produk masih di lapang maupun pada saat pemanenan; bahkan pada saat penanganan pasca panen. Tingkat kerusakan produk pasca panen juga dipengaruhi oleh tindakan budi daya yang diterapkan. Secara umum, petani dan produsen harus memperhatikan secara seksama beberapa hal berikut, untuk mencegah kerusakan produk pasca panen yang lebih parah (Loekas Soesanto, 2006). 1. Kebutuhan pasar dan pembeli. Penumpukan produk pasca panen akibat melimpahnya produk di pasar, yang mengakibatkan turunnya harga jual, ataupun jenuh, atau rendahnya daya beli pembeli akan mengakibatkan mudahnya produk menjadi rusak, mengingat terbatasnya umur simpan produk pasca panen.

2. Penanaman yang baik. Penanaman yang sesuai aturan akan menghasilkan produk tanaman yang sehat dan tahan, sehingga dapat mencegah serangan pathogen pasca panen di penyimpanan. Penanaman yang baik sudah dimulai sejak penyemaian atau pembibitan sampai ke panen, dengan pemberian pupuk dan air irigasi yang cukup, serta perlindungan tanaman dari serangan hama atau pathogen tanaman. Bahkan saat penentuan lokasi tanam akan berpengaruh terhadap kelangsungan tanaman. 3. Pemanenan dan penanganan selama di lapang. Pemanenan produk tanaman yang dilakukan dengan hati-hati dan selanjutnya ditangani dengan baik akan mengurangi besarnya kerusakan pasca panen, yang nantinya baik langsing atuapun tidak langsung akan berkaitan dengan penyakit pasca panen. Selain itu, penentuan saat panen yang tepat juga akan mencegah hilangnya produk pasca panen. 4. Pengepakan dan pengemasan. Pengepakan dan pengemasan yang dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan bahan yang tidak menyebabkan produk cepat rusak, akan mengurangi besarnya tingkat kerusakan pasca panen. 5. Pengankutan. Cepat lambatnya pengankutan dan jauh dekatnya jarak angkut produk pasca panen dari sumbernya ke lokasi baru akan menentukan besarnya tingkat kerusakan pasca panen. Produk tanaman yang diangkut dari jarak dekat akan cepat sampai dan akan memperkecil kerusakan yang terjadi. Selain itu, fasilitas pengankutan yang sesuai, seperti kelengkapan pengatur kelembaban dan suhu di dalam pengangkutan, akan sangat membantu mencegah cepatnya kerusakan pasca panen. 6. Penangan pemasaran. Ketika produk sampai ke tempat pemasaran, kondisi ruang pemasaran yang dilengkapi dengan pengatur suhu dan kelembaban, akan sangat membantu memperkecil tingkat kerusakan pasca panen. 7. Perlakuan terhadap pasca panen. Produk pasca panen selama dalam penanganan dan penyimpanan sering diperlakukan dengan bahan kimia tertentu atau perlakuan lain. Hal ini akan memperkecil tingkat kerusakan pasca panen, khusunya untuk produk yang cepat mengalami perubahan apabila tidak diperlakukan. 8. Penyimpanan atau pendinginan. Kondisi ruang simpan dan pendinginan sangat tergantung pada jenis produk pasca panen yang akan disimpan. Suhu dan kelembaban ruang yang sesuai dengan jenis produk akan mencegah besarnya kerusakan pasca panen.

9. Penjualan ke konsumen, pengepul, atau agen. Penjualan produk pasca panen ke konsumen, pengepul, atau agen yang dilakukan dengan cepat akan menghindari kerusakan pasca panen. Hal ini karena prosuk pasca panen cepat habis dan terhindar dari penumpukan di dalam ruang simpan. Fasilitas penjualan sangat menentukan apakah produk pasca panen tersebut selamat dan dalam konsisi baik untuk sampai ke konsumen. 10. Pengetahuan tentang mudah rusaknya produk pasca panen. Pengetahuan tentang produk pasca panen yang mudah rusak perlu diketahui oleh semua pihak agar dapat diambil tindakan penanganan yang cepat. 11. Penanggulangan hama dan penyakit pasca panen. Apabila hama dan penyakit pasca panen tidak segeran dikendalikan, akan menjadi penyebab tingginya kerusakan pasca panen.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Penyakit Pasca Panen Non-Parasiter Ada beberapa faktor penyebab penyakit yang termasuk dalam penyakit non-parasiter, diantaranya (Bambang B. Santoso, 2012): 1) Kerusakan Mekanis Kerusakan mekanis bentuknya bermacam-macam dan dapat terjadi pada berbagai kegiatan pasca panen. Benturan-benturan antara individu komoditi panenan merupakan jenis kerusakan mekanis yang sering muncul dan merugikan. 2) Kerusakan Fisiologis Biasanya kerusakan fisiologis berhubungan dengan proses-proses metabolisme komoditi panenan bersangkutan. Hal dikarenakan organ panenan, walaupun telah dipisahkan dari pohonnya, masih melakukan kegiatan fisiologis (mempertahankan kehidupan). Aspek fisiologis yang berkaitan dengan kerusakan fisiologis adalah penguapan (transpirasi), pernapasan (respirasi) dan berubahan biologis lainnya. a. Penguapan Penguapan atau transpirasi pada komoditi panenan secara langsung berpengaruh pada berkurangnya berat dan menurunkannya kualitas terutama bagi sayuran daun. Banyak peneliti mengatakan bahwa terdapat batas kritis kehilangan air bahan yang menentukan terjadinya kelayuan. Kisaran batas kritis kehilangan air bahan adalah 7 10 persen. Bilamana batasan kritis ini telah tercapai, keadaan tersebut menyebabkan ruang antar sel melebar hingga sel satu dengan sel lainnya mulai terpisah. Akibat selanjutnya, komoditi panenan akan mengalami kelayuan yang menyebabkan pengurangan kualitas bahkan mungkin saja sudah tidak layak jual. Secara tidak langsung, penguapan menyebabkan komoditi panenan lebih mudah mengalami kerusakan mekanis dan juga peka terhadap serangan patogen. b. Respirasi Kerugian atau kehilangan hasil panenan akibat proses fisiologis ini tidak dapat dihindari. Seperti telah dijelaskan, bahwa komoditi panenan, walaupun telah terpisah dengan tanamannya, masih melakukan aktivitas kehidupan. Upaya yang dapat dilakukan hanya menekan laju respirasi sekecil mungkin (seperti menyimpan komoditi panenan

pada ruangan yang berkomposisi atmosfir karbondioksida tinggi dan oksigen rendah. Kerugian akibat respirasi ini dapat diukur dengan menimbang berat bahan atau volume karbondioksida yang dihasilkan dalam aktivitas respirasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan hasil akibat respirasi dapat mencapai 5 persen pada sayuran umbi. c. Perubahan biologis lainnya Perubahan-perubahan yang dimaksud meliputi perubahan tepung menjadi gula (pada umbi kentang). Kentang dengan kandungan gula tinggi (biasanya terjadi pada kentang yang telah lama disimpan) tidak baik kualitasnya. Selain daripada menyebabkan pengurangan kualitas, kondisi gula yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi penetrasinya mikroorganisme penyebab penyakit seperti jamur dan bakteri. Pada apel yang baru dipanen kandungan asam benzoat tinggi, namun setelah mengalami penyimpanan beberapa lama, kandungan bahan tersebut berkurang. Pada kondisi ini, merupakan kondisi yang baik bagi perkembangan jamur Nectaria galligena, penyebab kudis pada buah apel panenan. Demikian pula halnya pada pisang dan apokat yang mengandung tanin, dan mangga serta jeruk yang mengandung bahan-bahan asam menentukan perkembangan penyakit. Kandungan yang rendah dari bahan-bahan tersebut membuat komoditi panenan tersebut peka terhadap infeksi jamur maupun bakteri. Perubahan-perubahan tersebut di atas merupakan perubahan biologis yang terjadi pada isi sel. Perubahan juga terjadi pada dinding sel, seperti halnya perubahan protopektin yang sukar larut dalam air menjadi asam pektanat dan selanjutnya menjadi asam pektat yang lebih mudah larut dalam air. Dengan adanya perubahan ini, dinding sel akan lebih rentan terhadap infeksi mikroorganisme penyebab penyakit. 3) Kerusakan Fisik Kerusakan fisik akibat adanya pengaruh negatif daripada suhu, kelembaban relatif maupun cahaya merupakan jenis penyakit komodidi panenan yang tergolong non-parasit. a. Pengaruh Suhu Suhu dapat merupakan penyebab penyakit. Suhu yang dimaksud adalah suhu yang berada dalam kondisi ekstrim tinggi ataupun ekstrem rendah. Hal ini dikarenakan, komodi panenan maupun tanaman memiliki batasan toleransi terhadap suhu (suhu maksimal, optimal dan minimal). Buah apel dan umbi kentang yang sesaat setelah dipanen kemudian terkena sinar matahari cukup lama dengan intensitas tinggi akan mengalami Sun Scald (rusak karena sinar matahari). Ciri-ciri penyakit ini berupa bercak

kecil berwarna coklat dan berbentuk tidak teratur. Dalam beberapa hari ukuran membesar/meluas dan bercak berwarna hitam, kemudian setelah 10 15 hari, seluruh umbi maupun buah akan rusak. Penyimpanan umbi kentang pada suhu tinggi akan menyebabkan penyakit busuk hati hitam (Black Heart Rot). Penyimpanan buah dan sayuran tropika pada suhu rendah akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini dikenal sebagai Freezing Injury apabila suhu yang berpengaruh jauh di bawah titik bekunya, dan dikenal sebagai Chilling Injury apabila suhu yang berpengaruh sedikit di atas titik bekunya dalam waktu yang lama. Gejala keruskan ini akan nampak bilamana komoditi panenan ini dikembalikan pada kondisi atmosfir normal setelah mengalami penyimpanan beberapa lama. Mekanisme terjadinya Chilling Injury meliputi tahapan-tahapan : 1. Peracunan - Suhu yang rendah mengakibatkan air sel tanaman mengalir ke luar sel, akibatnya kadar bahan-bahan terlarut relatif menjadi lebih tinggi. Kadar yang semakin tinggi (bagi bahan-bahan tertentu) merupakan racun bagi sel tersebut. 2. Kerusakan mekanis - Air sel yang keluar akan mengisi ruang-ruang antar sel, sehingga ruang tersebut akan penuh terisi air sel. Bila hal ini terus berlangsung akan menyebabkan pecahnya dinding sel sehingga cairan sel akan menyatu dan membeku membentuk atau menyebabkan volume air sel membesar. 3. Perusakan struktur plasma sel Dengan adanya air yang keluar, volume sel akan berkurang yang diikuti pula dengan mengecilnya volume dinding sel, yang memaksa terjadinya plasmolisis sehingga pada akhirnya sel akan rusak. b. Pengaruh Kelembaban Relatif Langsung maupun tidak langsung kelembaban relatif udara berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan fisik pada komoditi panenan. Kelembaban relatif yang rendah akan mempercepat laju penguapan. Sedangkan kelembaban udara tinggi secara langsung memberikan kondisi yang baik bagi berkembangnya patogen. Umumnya kelembaban relatif udara akan sangat efektif berpengaruh terhadap berkembangnya kerusakan fisik bilamana diikuti dengan tingkat kadar air bahan yang jauh berbeda pada saat dimasukkan dalam ruang simpan. Perbedaan kandungan air dan kelembaban relatif yang tinggi akan menyebabkan mudahnya kerusakan maupun serangan patogen terjadi. c. Pengaruh Udara (komposisi) Udara yang dimaksud adalah perbandingan antara oksigen dan karbondioksida. Selain daripada itu, gas etilen yang dihasilkan oleh bahan simpanan itu sendiri ataupun

yang berasal dari luar. Perbandingan oksigen dan karbondioksida yang tinggi (berarti cukup banyak tersedia oksigen), memberikan kegiatan respirasi berjalan lancar, begitu pula proses metabolisme lainnya. (Respirasi merupakan indikator bagi proses metabolisme lainnya). Sebaliknya bilamana oksigen tidak tersedia dalam keadaan cukup, menyebabkan akan terjadi respirasi an-aerob. Kondisi ini menyebabkan terjadi oksidasi senyawa fenol oleh enzim fenolase (pada brokoli dan selada akan nampak pucat), hilanganya kloropil pada sayuran daun, melunaknya buah akibat pemasakan dan sebagainya. Gas etilen akan terbentuk pada buah maupun sayuran yang sedang mengalami proses pemasakan dan senesen. Jumlah etilen yang dihasilkan berhubungan langsung dengan suhu lingkungan simpan. Selain suhu, etilen yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh oksigen dan etilen yang telah ada dalam udara. Gas yang tergolong Ester Aromatis, dihasilkan oleh jaringan komoditi panenan. Gas ini dalam jumlah yang tinggi akan bersifat meracun. Buah apel merupakan contoh umum yang mengalami kerusakan akibat gas ini. Penyakitnya dikenal sebagai Scald, dengan gejala diawali perubahan warna pada permukaan kulit yang dapat meluas ke seluruh permukaan dan diikuti rusaknya jaringan di bagian dalamnya. d. Pengaruh Bahan Kimia Kerusakan ini umumnya disebabkan karena adanya residu dari bahan kimia yang digunakan (pengendalian hama-penyakit, bahan kimia perlakuan pemasakan ataupun bahan kimia polutan udara). Gas-gas tersebut meliputi gas Amoniak, gas dari bahan fumugasi, SO2, NCL3 dan Ozon (O3). Gas Amoniak berpengaruh negastif pada bawang. Bawang merah akan menjadi hitam kehijauan dan bawang putih menjadi hijau kekuningan. Hal ini disebabkan karena gas Amoniak berpengaruh terhadap perubahan zat warna, terutama anthosianin. Perubahan ini juga terjadi pada apel, pear dan pisang; bahkan dapat menyebabkan kerusakan jaringan di bawah kulit. Ozon merupakan gas lain yang berpengaruh terhadap kualitas warna komoditi panenan. Akibat lebih jauh dari gas ozon ini adalah perusakan permeabilitas membran sel dan perangsangan pembentukan auksin. 3.2 Penanganan Penyakit Non-Parasiter Pengendalian penyakit pasca panen sangat tergantung pada keadaan awal komoditi bersangkutan, artinya bahwa kesehatan tanaman, kebersihan areal pertanaman dan beberapa perlakuan lainnya selama di lapang atau pertanaman sangat menentukan penyakit pasca

panen. Selain daripada itu, setelah memasuki periode pasca penen, perkembangan penyakit pun sangat tergantung pada jenis-jenis teknik pengelolaan atau pelaksanaan selama sejak panen hingga pengangkutan ataupun penyimpanan pada tingkat konsumsi. Atas dasar tahapan perkembangan penanganan, maka pengendalian penyakit pasca panen juga mengikuti pertimbangan-pertimbangan tersebut. Adapun pengendalian penyakit pasca panen adalah dengan pengendalian secara fisik. Kerusakan komoditi panenan baik kerusakan fisik ataupun fisiologis dapat melalui pengaturan ruang simpan ataupun menyediaan jaminan kebersihan lingkungan kerja dan lingkungan simpanan. Beberapa aspek yang dapat merupakan pengendalian fisik penyakit pasca panen antara lain: a. Pengaturan suhu rendah b. Pengaturan kelembaban relatif yang cocok baik masing-masing komoditi c. Modifikasi atmosfir ruang simpan d. Perlakuan panas (udara panas ataupun pencelupan) e. Radiasi

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan: 1. Ada beberapa faktor penyebab penyakit yang termasuk dalam penyakit non-parasiter, diantaranya: kerusakan mekanis, kerusakan fisiologis, dan kerusakan fisik. 2. Beberapa aspek yang dapat merupakan pengendalian fisik penyakit pasca panen nonparasiter antara lain: pengaturan suhu rendah, pengaturan kelembaban relatif yang cocok baik masing-masing komoditi, modifikasi atmosfir ruang simpan, perlakuan panas (udara panas ataupun pencelupan), serta radiasi. 4.2 Saran Adapun saran yang dapat penulis sampaikan dalam penulisan paper ini adalah diperlukan pengetahuan secara teknis. Maksudnya, selain materi yang diberikan dan penugasan paper, diharapkan juga agar praktek di lapangan dapat berjalan. Sehingga, dapat diketahui bagaimana yang terjadi di lapangan dan dapat mengaplikasikannya.

Daftar Pustaka Anonim. 2012. Penyakit Pasca Panen dan Akibatnya. http://indobeta.com/penyakitpascapanen-dan-akibatnya/12402/ (diakses tanggal: 13 Mei 2013). Rananda, Yoga., dkk. 2012. Penyakit Pasca Panen Tanaman Pangan. http://yogarananda.wordpress.com/2012/11/23/penyakit-penyakit-pasca-panentanaman-pangan/ (diakses tanggal: 13 Mei 2013). Soesanto, Loekas. 2006. Penyakit Pasca Panen: Sebuah Pengantar. Penerbit: Kanisius. Sunarharum, WB. 2010. Keruskan Pasca Panen. http://ftpitp09.blogdetik.com/files/2010/06/9-kerusakan-pasca-panen.pdf (diakses tanggal: 13 Mei 2013).

Anda mungkin juga menyukai