Takhta kelihatan gilang-gemilang, tapi kekuasaan adalah sebuah dilema. Catatan tertua tentang itu agaknya bisa dibaca dari kisah Hakim Samuel. Dalam Perjanjian Lama, disebutkan bagaimana orang tua ini menyaksikan pengikutnya, bangsa Israel, mencoba memilih sebuah sistem politik yang lain setelah sebuah penyelewengan terjadi. Mereka semula hidup bersama dengan dipimpin penghulu yang disebut "hakim-hakim". Samuel adalah hakim penghabisan. Ketika usianya makin lanjut, ia mengangkat dua anaknya yang lelaki menggantikannya. Tapi Yoel dan Abia ternyata mengecewakan. "Mereka mengejar laba, menerima suap, dan memutarbalikkan keadilan." Mengetahui kejahatan itu, berkumpullah para pinisepuh. Mereka datang kepada Samuel di Rama, menyatakan niat untuk mencoba sebuah sistem yang lain: mereka tak ingin lagi dipimpin para hakim, mereka ingin menjadikan kebersamaan sosial-politik mereka sebuah kerajaan. Mereka pun mengajukan semacam petisi kepada Samuel, orang yang mereka hormati tapi telah mengecewakan: "Engkau sudah tua dan anak-anakmu tidak hidup seperti engkau; maka angkatlah sekarang seorang raja atas kami untuk memerintah kami, seperti pada segala bangsa-bangsa lain." Samuel kesal. Tapi ia tak menjawab. Ia mengutarakan isi hatinya kepada Tuhan dalam doa. Yang menarik, dalam cerita ini, Tuhan menyatakan Ia tahu ada yang salah dalam permintaan bangsa Israel itu, tapi Ia tak hendak mencegahnya. Sebagaimana disebutkan dalam Alkitab, Tuhan mengeluarkan firman, menyuruh Samuel meluluskan permintaan itu. "Sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah yang mereka tolak. Mereka tidak menghendaki Aku lagi sebagai raja mereka." Tak mudah, bahkan tak mungkin, menerka kenapa permintaan perubahan tata kekuasaan itu harus dikabulkan. Yang jelas Samuel, hakim tua itu, tahu bahwa hidup tak akan jadi lebih mudah. Itu juga yang dikemukakannya, mungkin dengan sedikit gerutu, kepada orang-orang Israel itu: dengan diangkatnya seseorang jadi raja, penguasa ini akan punya hak memberi titah dan orang banyak harus tunduk. Raja itu akan memaksa anak-anak lelaki membajak ladangnya, mengumpulkan hasil panennya, membuat senjata-senjatanya dan perkakas kereta perangnya, sementara anak-anak perempuan akan dijadikan pembuat minyak wangi atau bekerja sebagai tukang masak dan tukang roti baginda. Hidup bersama yang sama rata sama rasa akan berakhir. Bahkan juga kesetaraan dalam hak milik akan hilang. Raja akan mengambil 10 persen hasil gandum dan anggur yang dipanen dan akan diberikannya kepada para pegawai istana. Bahkan raja "akan mengambil budakmu, ternakmu yang terbaik, dan keledaimu." Betapapun kerasnya peringatan Samuel, bangsa Israel tetap mengangkat seorang raja dan tak lagi mengakui otoritas hakim. Mungkin mereka ingat (satu hal yang tak dikatakan pak tua itu) bahwa para hakim juga, seperti terbukti dengan Yoel dan Abia, tak lepas dari kemungkinan berbuat sewenang-wenang. Namun gagasan mereka untuk mengganti para hakim dengan raja-raja memang bukan sebuah reformasi yang radikal. Dalam sejarah bangsa Israel, bahkan Raja Daud (yang dalam tradisi Islam dianggap "nabi") terbukti melakukan hal-hal yang cela, hanya berbeda sekian derajat dari yang digambarkan Samuel. Tapi mungkin malah sebelum Samuel, manusia selalu di persimpangan itu: kedaulatan, atau kekuasaan, yang dilambangkan dengan takhta, adalah keniscayaan yang tak membawa kepastian. Ia perlu didirikan. Tapi ia mencemaskan. Di luar tata dan takhta itu, selalu membayang sesuatu yang Entah. Pertanyaan yang tak mudah dijawab: jika ada kesadaran seperti itu, mengapa orang tak kembali saja kepada Tuhan, yang menurut Alkitab pernah jadi "raja" mereka? Dikatakan bahwa memang kontrak kekuasaan itu tak mereka perpanjang lagi. Bisa diduga karena bagi mereka Tuhan yang memberikan hukum adalah Tuhan yang tak terjangkau. Sejak mula, bahkan di depan Musa, Ia tak hendak memperlihatkan wajah-Nya. Orang banyak itu tak bisa bertanya, apalagi menggugat. Hukum Tuhan senantiasa hanya ditafsirkan orang- orang tertentu, yang andai kata lurus hati pun tetap memandang dunia dari seginya yang terbatas. Dalam hubungan itu tampak bahwa takhta raja-raja--sebuah bangunan kekuasaan pasca- Tuhan--mengandung sebuah pengakuan yang tersirat: hukum para raja, yang selalu menghendaki pemaksaan, bukan datang bersama apa yang disebut Walter Benjamin sebagai "kekerasan ilahiat", gttliche Gewalt. Takhta raja-raja membawa serta "kekerasan mithologis", kekerasan untuk menegakkan hukum, sedangkan "kekerasan ilahiat" menghancurkan hukum--khususnya hukum yang dianggap berhala dan menuntut ketaatan kita. "Kekerasan mithologis" adalah ketika hukum yang dibangun manusia sendiri wibawanya ditopang pelbagai mithos buat menunjukkan ia adalah titisan Keadilan yang melintasi ruang dan waktu. Pengakuan yang tersirat bahwa ia memang tak ada kaitannya dengan Tuhan membuka pintu bagi perjuangan keadilan. Pada akhirnya, keadilan adalah sesuatu yang dipergulatkan manusia di dunia yang rumit dan fana, bukan tertib yang dihadiahkan dari luar bumi. Di dalam proses itu, takhta yang gilang-gemilang itu akan tampak seperti kursi di kedai. Posisinya ditentukan dari saat ke saat. Tak istimewa.
Goenawan Mohamad Ruwatan
Sabtu, 18 Oktober 2014 Putu Setia
Mereka datang dengan seragam khas Jawa. Membawa kembang setaman, membawa dua ekor ayam: hitam dan putih. Di depan rumah Amien Rais di Condongcatur, Yogyakarta, mereka melaksanakan ruwatan. Mbah Sukir berdoa dalam bahasa Jawa, kurang-lebih artinya: "Semoga Bapak Amien Rais lepas dari sandikolo dan kembali bersih. Semoga bangsa ini terhindar dari bencana dan segala hal yang tidak baik. Semoga rakyat Indonesia bisa sejahtera." Saya yang menonton lewat televisi sangat terharu. Apa yang dilakukan Paguyuban Masyarakat Tradisi (Pamatri) Yogyakarta ini sungguh mulia. Mendoakan seseorang kembali bersih dan mendoakan bangsa terhindar dari bencana. Tetapi kenapa ada polisi, kenapa tak ada Amien Rais, tokoh yang diruwat? Dari pemberitaan media, saya akhirnya tahu ruwatan itu semacam "aksi demo" untuk Amien Rais. Tapi saya mengesampingkan hal itu. Bagi saya, yang sesekali melakukan ruwatan versi Bali, ritual itu adalah sakral. Apakah ada hal-hal yang sakral dijadikan guyonan? Mendoakan Amien Rais kembali bersih dan lepas dari sandikolo tentu baik. Sandikolo aslinya dari bahasa Jawa Kuno: Sandyakala. Adalah waktu pergantian antara siang dan malam yang sering diganggu setan, karena itu wajib memanjatkan doa supaya selamat. Sebagai manusia yang masih bergerak di dunia dengan segala aktivitas, tentu kadang bisa "kotor", baik dalam berucap maupun bertingkah. Diruwat menjadi "kembali bersih" bukankah sesuatu yang agung? Doa Mbah Sukir, "bangsa ini terhindar dari segala hal yang tidak baik", saya kira langsung disetujui Gusti Allah. Tak sampai 24 jam, presiden terpilih Joko Widodo bisa bertemu dengan calon presiden yang kalah, Prabowo Subianto. Prabowo menghormat secara militer, sesuai dengan latar belakang hidupnya. Jokowi membungkuk dengan tulus, teladan santun para leluhur. Mereka bersalaman, saling dukung, Prabowo memberi ucapan selamat, bahkan meminta pendukungnya untuk ikut mendukung Jokowi. Saya berpendapat kejadian ini termasuk hasil ruwatan Mbah Sukir--untuk yang berbeda pendapat silakan menertawakan saya. Saya sering merenung--terutama di kala baterai handphone lemah dan tak bisa nge-tweet-- bangsa ini perlu melakukan ruwatan secara massal dan berjadwal. Katakanlah setahun sekali, pilih hari yang sudah disaktikan, semisal Hari Pahlawan, Hari Kemerdekaan, Hari Kebangkitan Nasional, atau memang diadakan Hari Ruwatan. (Ide terakhir itu mohon tak disebut sinting). Tentu ruwatan itu dicarikan esensinya, yakni merenungi kekotoran kita selama ini, misalnya, apakah benar kita memihak rakyat sementara kita berebut jabatan dengan mengorbankan hak rakyat. Apakah benar kita mendirikan partai yang modern, padahal yang jadi pengurus inti adalah anak-anak kita. Dan contohnya bisa banyak. Nah, kekotoran itu kita bersihkan dengan jalan ruwatan. Tak perlu ayam hitam dan ayam putih. Cukup duduk bersama dalam sebuah dialog yang tulus. Siapa tahu ruwatan bisa mempertemukan dua tokoh yang selama sepuluh tahun tak pernah ngobrol. Gaya Jokowi adalah ciri khas "peruwat sejati". Dengan kebersihan hati, dia temui "lawan- lawannya" memakai baju putih, tanpa membawa ayam putih. Ternyata "setan-setan sandikolo" bisa kabur. Prabowo yang selama ini dikesankan kaku, marah melulu, tak menghormati tamu, ternyata lain. Jangan-jangan memang dari dulu kesantunan Prabowo ditutupi "setan sandikolo". Besok Jokowi dilantik sebagai presiden. Mari momentum ini kita jadikan ruwatan massal, berpikir jernih hanya untuk kesejahteraan masyarakat, seperti doa Mbah Sukir di rumah Amien Rais. Amin.
Tantangan Kebijakan Luar Negeri ke Depan
Senin, 20 Oktober 2014 Hikmahanto Juwana, Guru besar hukum internasional UI
Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) segera akan memulai masa pemerintahannya. Banyak tantangan yang harus dihadapi dalam kaitan dengan masalah luar negeri.
Hal pertama yang perlu mendapat perhatian adalah mempertahankan apa yang telah dicapai di tingkat regional dan multilateral oleh pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Capaian tersebut adalah keberadaan Indonesia yang telah diperhitungkan oleh masyarakat internasional. Indonesia berhasil masuk kelompok G-20. Indonesia dihormati oleh banyak negara sebagai juru damai yang tak memiliki kepentingan (honest peace broker). Salah satunya dalam peredaman konflik di Laut Cina Selatan.
Apa yang telah dicapai diharapkan tak akan berkurang pada era pemerintahan Jokowi-JK. Masyarakat internasional masih mengharap peran aktif Indonesia dalam masalah regional dan multilateral.
Hal kedua yang harus dijalankan dalam kebijakan luar negeri pemerintah Jokowi-JK adalah mewujudkan Trisakti. Trisakti yang mengamanatkan Indonesia berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya. Untuk itu, kebijakan luar negeri diarahkan agar Indonesia secara bertahap tapi pasti mengurangi ketergantungan ekonomi, terutama utang luar negeri kepada negara-negara maju dan lembaga keuangan internasional. Ketergantungan ekonomi telah lama membuat Indonesia rentan diintervensi negara lain, baik dalam kedaulatan politik, ekonomi, hukum, maupun sosial.
Selanjutnya, kebijakan luar negeri dalam pemerintahan Jokowi-JK harus ditujukan untuk memperkuat masalah-masalah bilateral. Masalah bilateral pada masa pemerintahan SBY dianggap oleh publik kurang memadai, bahkan dianggap mengorbankan kepentingan nasional. Kerap penanganannya menjadi sumber kemarahan dan kekecewaan publik terhadap pemerintah.
Dalam menjalankan hubungan bilateral, pemerintah Jokowi-JK harus tegas terhadap negara lain. Penanganan masalah perbatasan dengan negara tetangga harus mendapat prioritas. Misalnya, konstruksi mercusuar oleh Malaysia di landas kontinen Indonesia harus segera dibongkar; apakah pembongkaran dilakukan oleh Malaysia sendiri atau Indonesia.
Pemerintah Jokowi-JK juga harus tegas menolak kebijakan unilateral Australia yang memasukkan para pencari suaka ke Indonesia. Indonesia harus mengambil posisi berhadap- hadapan dengan kebijakan pemerintah Australia bila kedaulatan direndahkan dan dilanggar.
Keempat, pemerintah Jokowi-JK harus mewujudkan janjinya agar negara hadir ketika warga menghadapi masalah hukum. Pemerintah Jokowi-JK harus berkonsentrasi dalam memberi perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia. Namun, dalam memberi perlindungan, pemerintah Jokowi-JK harus proporsional. Sebagai contoh, pembayaran diyat oleh negara harus dihentikan. Pembayaran diyat oleh negara, di samping menguras APBN, justru menyuburkan mafia diyat.
Pembayaran diyat bukanlah tanggung jawab negara, melainkan TKI yang menjadi pelaku pembunuhan atau keluarganya. Pemerintah, sesuai dengan tugasnya, hanya memfasilitasi agar terjadi pertemuan antara keluarga korban dan pelaku.
Berikutnya, pemerintah Jokowi-JK harus dapat mengimplementasikan ide diplomat sebagai pemasar produk asal Indonesia. Di sini dibutuhkan upaya untuk mengubah kerangka berpikir para diplomat. Para diplomat, selain menjalankan tugas rutinnya, harus memiliki kemampuan untuk menjadikan perwakilan Indonesia sebagai unit perdagangan luar negeri. Pengalaman Jepang dapat dijadikan rujukan.
Perekonomian Jepang, yang sangat bergantung pada pasar luar negeri, telah lama membentuk unit yang ada di hampir semua negara, yaitu Japan External Trade Organisation (JETRO). JETRO memfasilitasi para pelaku usaha Jepang untuk melakukan penetrasi pasar di mancanegara dan membantu mereka mendapatkan mitra lokal.
Sebagai pemasar produk asal Indonesia, perwakilan diharapkan dapat melakukan fungsi layaknya JETRO. Mereka diharapkan dapat membantu pelaku usaha dan badan usaha milik negara (BUMN) dalam menggarap pasar luar negeri.
Peran perwakilan Indonesia di luar negeri sebagai unit yang memasarkan produk asal Indonesia diharapkan berdampak dua hal. Pertama, pelaku usaha Indonesia dapat menghasilkan produk yang berstandar internasional. Kedua, penetrasi pasar luar negeri atas produk asal Indonesia akan membuka lapangan pekerjaan di Indonesia, di samping menyumbang devisa negara.
Keenam, pemerintah Jokowi-JK harus berupaya keras mendukung proses kemerdekaan Palestina. Dukungan atas Palestina merdeka disampaikan oleh Jokowi saat debat calon presiden. Dukungan ini mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia.
Terakhir, kebijakan luar negeri harus disinergikan untuk mewujudkan visi Poros Maritim, yang telah dicanangkan oleh Jokowi-JK. Implementasi visi Poros Maritim bersinggungan dengan banyak sektor. Poros Maritim tak semata urusan luar negeri. Di sinilah pentingnya sinergi kebijakan luar negeri dengan sektor lain dalam mewujudkan visi besar Poros Maritim.
Dalam menjalankan kebijakan luar negeri, pemerintah Jokowi perlu ditopang dengan anggaran yang memadai. Bila tidak, kebijakan luar negeri sulit diimplementasikan.
Mengantisipasi Masyarakat Ekonomi ASEAN
Senin, 20 Oktober 2014 Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen
Per 1 Januari 2015 mendatang, jika tidak ada perubahan, Indonesia memasuki era perdagangan yang semakin bebas dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Indonesia sudah menandatangani perjanjian bebas dalam ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada 1 Januari 2010. Namun, dalam MEA ini, aliran bebas tidak hanya untuk perdagangan barang, tapi juga aliran jasa, tenaga kerja, investasi, modal, dan perbankan. Perbankan secara khusus mulai merasakannya pada 2020. Layaknya kerja sama regional, MEA bermanfaat bagi konsumen melalui variasi serta volume barang yang semakin besar dan persaingan harga.
Meski demikian, di sisi produsen, persaingan yang meningkat membuat margin keuntungan perusahaan turun dan memicu bangkrutnya perusahaan. Peta Indonesia dalam MEA sangat penting dari sisi luasnya pasar. Dengan jumlah penduduk 245 juta orang, dengan angka kelas menengah yang terus meningkat, ditambah penduduk usia produktif yang mencapai 70 persen dari total penduduk, Indonesia menjadi potensi permintaan yang besar. Tapi, jika dilihat dari sisi produksi, produsen Indonesia tidak mempunyai daya saing tinggi yang siap berkompetisi dengan produk sejenis asal ASEAN. Indonesia menjadi negara dengan inflasi tertinggi di ASEAN 5. Pada Agustus 2014, inflasi Indonesia mencapai 3,99 persen year-on-year (yoy). Sedangkan inflasi Thailand 2,09 persen, Malaysia 3,3 persen, Singapura 0,9 persen, dan Filipina 4,9 persen. Tingginya inflasi mencerminkan tingginya biaya produksi. Infrastruktur yang belum memadai membuat biaya distribusi barang dari dan menuju pabrik menjadi mahal. Menurut Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia, mencapai 17 persen dari biaya produksi.
Biaya peminjaman juga mahal. Rata-rata suku bunga pinjaman di Indonesia 11,7 persen. Bandingkan dengan suku bunga pinjaman di Thailand yang sebesar 7 persen, Malaysia 4,6 persen, Singapura 5,4 persen, dan Filipina 5,8 persen. Ekonomi biaya tinggi masih menjadi kendala sektor produksi di Indonesia. World Economic Forum dalam survei Doing Business menyebutkan lima kendala yang mempengaruhi iklim investasi di Indonesia. Kelima kendala itu adalah tingginya korupsi, inefisiensi birokrasi, infrastruktur yang tidak memadai, tumpang-tindihnya kebijakan pusat dan daerah, serta mahalnya biaya peminjaman. Kelima kendala tersebut juga terjadi dalam proses produksi.
Selain sektor barang, sektor jasa dan aliran bebas lainnya akan terseok-seok saat menghadapi persaingan dalam MEA. Yang menjadi pertanyaan: Apakah Indonesia perlu menetapkan keikutsertaan dalam MEA mulai 1 Januari mendatang atau menundanya? Pengalaman ACFTA menunjukkan neto perdagangan Indonesia-ASEAN yang semula mencatatkan surplus untuk Indonesia menjadi defisit mulai 2011 hingga sekarang. Perdagangan bebas membuat tekanan impor semakin besar, padahal impor masih menjadi problem struktural perekonomian Indonesia.
Indonesia merupakan salah satu inisiator pembentukan MEA yang disepakati dalam Deklarasi ASEAN Concord II di Bali pada 7 Oktober 2003. Mempersiapkan produsen untuk menyambut MEA sekarang sudah terlambat. Namun, menyadari pentingnya persaingan yang setara dan masih lemahnya kesiapan produsen, diperlukan strategi "menunda untuk maju". Kemungkinan mundur dari keikutsertaan MEA merupakan hal yang lumrah. Ikatan dalam MEA bersifat kesukarelaan. Kemungkinan menunda keikutsertaan tampaknya sudah menjadi pertimbangan pemerintah Jokowi-JK. Baru sekitar 31 persen dari sektor industri manufaktur yang bisa dikatakan berdaya saing. Keputusan menunda merupakan hak setiap anggota ASEAN. Saat ini baru dua negara yang menyatakan siap, yaitu Malaysia dan Singapura. Penundaan semestinya diikuti dengan rencana matang mempersiapkan produsen maju bersaing.
Rencana program kerja Jokowi-JK untuk merealokasi subsidi BBM dan menjadi sumber pembiayaan investasi, khususnya infrastruktur, bisa menjadi langkah awal strategis untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi. Perbaikan standardisasi produk-produk yang masuk ke Indonesia juga bisa diperluas dengan penggunaan bahasa Indonesia pada label produk. Sementara itu, aliran jasa dan ketenagakerjaan dapat disinergikan dengan perbaikan kurikulum yang berstandar internasional, atau setidaknya standar ASEAN. Masih banyak perbaikan teknis yang bisa dilakukan dalam lima tahun ke depan untuk mempersiapkan Indonesia sebagai produsen yang berdaya saing, sehingga MEA akan menjadi potensi pengembangan ekonomi, bukan sebagai ancaman.
Presiden Jokowi
Selasa, 21 Oktober 2014 Seno Gumira Ajidarma, Wartawan
Jokowi adalah suatu perayaan atas terwujudnya kehendak orang banyak, yang dalam bahasa eksotis disebut rakyat. Bukan sekadar bagi 50 persen lebih rakyat yang telah mencoblosnya dalam pemilihan presiden, melainkan juga rakyat yang kurang dari 50 persen yang telah mencoblos calon presiden lain.
Jika hanya mengacu pada angka, kemenangan Jokowi bukanlah kemenangan besar. Justru karena itu perayaan yang berlangsung bukanlah perayaan atas kemenangan suatu pihak terhadap pihak lain, melainkan kemenangan pihak mana pun--jadi bukan sekadar kedua belah pihak--yang menghendaki, mendorong, memberlangsungkan, mengesahkan, maupun mendoakan, agar sampai kepada pencapaian pada 20 Oktober 2014 hari ini: pelantikan seorang presiden terpilih dalam suatu pemilihan yang diikuti oleh rakyat dengan sangat bergairah.
Sejauh yang bisa diingat, dicatat, dan diperiksa, gairah rakyat terhadap pemimpin tertinggi pada awal kepemimpinannya yang seperti ini baru terjadi pada Bung Karno. Saya sebetulnya menganggap gairah rakyat terhadap Gus Dur juga tinggi, tapi proses politik yang membawanya ke kursi kepresidenan adalah rekayasa tingkat tinggi, dan begitu pula proses jatuhnya dari kursi itu, sehingga rakyat hanya bisa berperan sebagai penonton.
Proses yang menyamakan kehadiran Bung Karno dengan Jokowi adalah momentum sosial- historis yang membawa rakyat untuk berperan. Namun posisi rakyat dalam peran keduanya sungguh berbeda: Bung Karno adalah pemimpin yang didukung rakyat, Jokowi adalah pemimpin yang mendukung rakyat. Bung Karno, dengan segala bakat alamiahnya yang spektakuler, memimpin di depan dan diikuti oleh rakyat, Jokowi dengan segala kebersahajaannya mengikuti kehendak rakyat dari belakang, dan hanya untuk eksekusinya maka harus berada di depan.
Perbedaan keduanya jelas: meski bergelar insinyur, Bung Karno memilih politik; Jokowi juga bergelar insinyur, tapi dengan kesadaran sepenuhnya memilih berjualan mebel. Segenap riwayat Jokowi yang berhubungan dengan kursi kekuasaan tidak menunjukkan indikasi ambisi. Sejak awal, sebetulnya Jokowi adalah orang yang hanya didorong-dorong. Jokowi bukanlah jenis pemimpin yang ngibul (baca: piawai menciptakan kesan), melainkan orang yang hasil kerjanya mengesankan.
Perhatikanlah betapa wagu (bahasa Jawa: ganjil) Jokowi itu jika mengenakan jas dan dasi, begitu pula jika apa boleh buat harus mengenakan segala "baju kebesaran" sebagai wali kota dan gubernur--dan Jokowi tidak pernah berhasil ngibul di situ: sekali wagu tetap wagu. Sebaliknya, bagi saya, betapa mengesankan Jokowi ketika ia berada di lapangan dengan "baju biasa" dan lengan bajunya tergulung agar lebih leluasa bergerak.
Lengan baju yang tergulung ini tidak sekadar bermakna simbolis seperti dalam ungkapan bahasa "menggulung lengan baju", melainkan karena bagaimana seorang pemimpin akan dapat bekerja secara optimal, jika lebih mementingkan citra diri, sebagai salah kaprah pemahaman atas konsep kehormatan, yang telah menjerumuskan bangsa ini dalam korupsi moral-mental-material selam berpuluh tahun-yang sungguh terlalu mahal bayarannya.
Jokowi bukan produk pencitraan kosong, karena citra yang terbentuk sekarang telah teruji berkali-kali dalam berbagai usaha penghancurannya. Kita memang tidak bisa mengingkari bahwa citra adalah tetap citra, tapi syarat untuk membuatnya tahan uji, yakni lebih banyak kecocokan daripada kibul-nya, terpenuhi oleh Jokowi, melalui penanda-penanda yang sungguh berbeda sama sekali.
Bangsa Indonesia akan segera mengalami bagaimana seorang pemimpin itu bisa saja tidak usah pura-pura berwibawa, kalau berbicara tidak usah menggunakan bahasa tinggi, karena caranya berpikir yang memang lebih cenderung praktis-realistis ketimbang teoretis-idealistis, dan seperti selama ini dibuktikannya, akan lebih banyak meminta (bukan minta-minta) daripada memerintah. Persuasi, itulah kata kunci keberhasilan Jokowi. Pengalaman sebagai pedagang pun membuat ia sulit dikibuli pedagang lain.
Sebagai pemimpin, sudah dibuktikannya bagaimana ia akan menghindari konflik, karena memang bukan kemenangan dan apalagi arogansi kekuasaan yang penting, melainkan agar tujuan bersama, yakni kebaikan bagi sebanyak mungkin orang, sebisa mungkin tanpa merugikan siapa pun, bisa tercapai.
Apakah ini berarti Jokowi adalah pemimpin lemah yang bisa diinjak-injak? Saya ingat komentarnya tentang para aktivis yang hilang: "Tidak bisa hilang begitu saja, harus dicari kejelasannya." Sedangkan dari arena debat, saya ingat kalimat: "Jangan dikira saya ini tidak bisa tegas. Saya juga bisa tegas." Meski diucapkan dengan nada datar, saya menyarankan agar tidak terlalu perlu untuk mencoba-coba mengujinya.
Peluang Jokowi adalah juga peluang Indonesia, marilah kita mendukungnya dengan segenap daya kritis kita. *
Artis dan Priayi
Selasa, 21 Oktober 2014 Heri Priyatmoko, Alumnus Pascasarjana Sejarah FIB UGM
Kemarin, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina menikah. Ritual pernikahan mereka ditayangkan oleh stasiun televisi Trans TV selama belasan jam. Media yang menyiarkan dinilai telah menyalahgunakan kuasanya dalam mengelola frekuensi publik. Banyak pula orang yang sinis terhadap acara resepsi mewah pasangan artis itu.
Dalam prosesi pernikahan khas Jawa tersebut, terpapar dua fakta menarik: pernikahan sesama artis dan pamer kemewahan. Fenomena ini sebenarnya tidak asing dalam panggung sejarah Jawa. Tempo doeloe, tatanan suatu pernikahan menjadi kesepakatan sosial di dalam masyarakat Jawa. Terdapat aturan tidak tertulis atau mengarah ke mitos bahwa golongan bangsawan dilarang menikah dengan kaum saudagar. Kelas sosial mengatur pasangan hidup seseorang sedemikian rupa.
Hasil riset tesis saya tentang sejarah kehidupan priayi-seniman Kota Solo menunjukkan bahwa hubungan pertalian darah antara anggota seniman terbentuk dari hasil perkawinan antara sesama keluarga priayi-seniman. Selain menjaga status sosial agar tidak melorot, pernikahan endogami sengaja dilakukan demi membatasi kemungkinan keluar dan berpindahnya anggota mereka ke komunitas lain. Di samping itu, orang luar sulit bergabung dengan kelompok para niyaga yang mengabdi pada Keraton Kasunanan ini.
Mudah ditebak, mereka yang bermukim di lingkungan tersebut secara genealogis masih sederek (saudara). Leluhurnya yang hidup pada permulaan abad XVIII sama-sama memiliki pertalian darah atau satu trah. Sebagai contoh, keluarga empu karawitan terkemuka Mlayawidada punya ikatan persaudaraan dengan keluarga maestro tari tradisional Jawa S. Ngaliman. Famili seniman Warsapangrawit ijik waris (masih bersaudara) dengan keluarga Turahyo, pengrawit andal Radio Republik Indonesia.
Dalam peradaban priayi, pernikahan dipandang bukan sekadar urusan membangun rumah tangga bagi yang dikawinkan, melainkan juga bertemunya dua buah keluarga. Sedapat mungkin pernikahan harus mendukung lapisan sosial yang telah terbangun. Sekeping fakta apik termuat dalam buku Biografi Sadinoe karangan mantan Kepala Taman Budaya Surakarta, Murtidjono (2004). Ditulis, "anak penewu harus berjodoh dengan anak penewu. Syukur kalau mendapat yang lebih bobot! Bukannya aku mau menolak atau sok merasa besar, tapi hanya mengikuti petuah nenek-moyang kita: bobot-bibit-bebet."
Hajatan perkawinan digelar penuh gebyar dan serba wah. Tuan rumah mengundang tamu sebanyak mungkin. Mereka dihibur tayuban semalam suntuk dan disuguhi minuman jenewer yang memabukkan. Acara tersebut jadi ajang pamer sekaligus tolok ukur seberapa terkenal dan terhormat empunya rumah. Tidak masalah meski boros dan modalnya dari hasil utangan kantor kerajaan, nanti tinggal potong gaji setiap bulan. Bagi mereka, menjaga kehormatan priayi dan gengsi sosial merupakan hal pokok.
Demikianlah gambaran mental priayi yang tak jauh berbeda dengan artis, kendati waktu telah bergulir seabad silam. Celakanya, mental atau gaya hidup priayi yang boros dan suka pamer kemewahan ditiru oleh masyarakat umum, juga dalam rangka mencari wah. Sehabis mengadakan hajatan, tidak sedikit dari mereka malah jatuh miskin, menanggung utang, kehilangan pekarangan, dan mengeluh sewaktu bergantian menyumbang. Kenyataan ini diringkas dalam idiom Jawa: gegedhen empyak kurang jagak. *
Politik Harapan
Selasa, 21 Oktober 2014 Munawir Aziz, Peneliti, Alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
Indonesia mencatat sejarah penting dengan tampilnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden. Momentum 20 Oktober 2014 menjadi penanda tentang tampilnya nakhoda baru, yang akan menjadi dirigen gerak transformasi bangsa ini. Jokowi menjadi presiden kelima pada era Reformasi. Ia tidak saja menggenapi dekade kedua masa Reformasi dengan politik yang merakyat, tapi juga mengajak warga negeri ini melakukan revolusi mental.
Lalu, apa sejatinya yang dapat dimaknai dari pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla (JK) sebagai nakhoda baru pemerintahan Indonesia? Jokowi memang bukan tipikal pemimpin yang terbiasa dengan orasi menggebu maupun pidato ilmiah dengan narasi teoretis. Jokowi bukanlah sosok seperti itu, ia belum terbiasa dengan gaya diplomasi santun dan berhati-hati, yang selama ini dipraktekkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ataupun gaya Presiden Gus Dur yang dikenang sepanjang zaman. Jokowi memainkan gaya berbeda, yang sangat khas dengan olah rasa dan sapaan hangatnya kepada rakyat kecil.
Jokowi sejatinya memainkan formasi penting untuk mengakselerasi visi politiknya. Ia dengan sekuat tenaga menerjemahkan "politik harapan". Jokowi, dengan latar belakang keluarga maupun basis akademiknya, merepresentasikan harapan-harapan politik bagi warga negeri ini.
Kemunculan Jokowi di panggung politik negeri ini mencengangkan banyak pihak. Ia sebelumnya, "bukan siapa-siapa" dalam narasi politik Indonesia. Pria kelahiran Solo, 21 Juni 1961 ini, bahkan tidak tercatat pergerakan dan perannya pada momentum Reformasi 1998. Padahal, di Solo, ketika rezim Soeharto runtuh, juga terjadi amuk massa dan kekerasan yang menyebabkan orang-orang Tionghoa menjadi korban. Inilah yang sering menjadi pertanyaan banyak orang: di mana dan bagaimana kisah Jokowi pada awal masa reformasi?
Jokowi melesat sebagai pemimpin perubahan ketika ia bersama F.X. Hadi Rudyatmo menangani Kota Solo sejak 2005. Di kota yang menyimpan sejarah panjang kekuasaan Surakarta, Mataram, dan Pajang ini, Jokowi mampu menyita perhatian publik. Di tangan Jokowi, Solo menata diri menjadi kota yang nyaman, ramah pengunjung, dan hijau. Ruang- ruang publik di Solo sangat nyaman bagi warga kota ini, maupun bagi pengunjung. Prestasi- prestasinya kemudian dicatat dengan beragam penghargaan nasional.
Kemudian, Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi pemimpin di Ibu Kota setelah memenangi pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Pasangan Jokowi-Ahok mampu memberi harapan bagi warga Jakarta, dengan beragam program kerja cepat: Waduk Pluit, Riario, normalisasi sungai, dan pembenahan transportasi. Selain itu, Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar menjadi pendamping dalam mendongkrak kesejahteraan bagi warga Jakarta.
Saat ini, warga Indonesia akan melihat Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai pemimpin bangsa. Visi revolusi mental yang sering dikampanyekan Jokowi sejatinya menjadi pelatuk harapan, agar warga negeri ini optimistis kembali terhadap masa depannya. Dengan program dan kebijakan strategis, Indonesia akan menjadi lebih baik, kuat di internal warganya dan mampu bersaing dengan negara di Asia. Politik Jokowi adalah politik harapan, ia menajamkan semangat untuk berkarya. *
Presiden dan Musik
Rabu, 22 Oktober 2014 Denny Sakrie, Pengamat Musik
Belakangan ini, banyak yang berceloteh bahwa kesukaan Jokowi terhadap musik rock adalah skenario pencitraan belaka, seperti yang dilakukan Stan Greenberg, sosok yang menjadi konsultan yang memoles sosok Bill Clinton, Presiden Amerika Serikat yang kerap ditampilkan piawai bermain saksofon. Jokowi pun kabarnya dipoles sedemikian rupa oleh Greenberg sebagai sosok penggemar musik rock sejati.
Seperti yang kita ketahui, sesungguhnya, sejak menjabat Bupati Solo, Jokowi memang telah sering terlihat dalam berbagai konser rock, baik skala lokal maupun internasional. Jokowi terlihat di antara kerumunan penonton konser Lamb of God, Judas Priest, Sting, Guns N Roses, dan Metallica.
Sosok Jokowi sebagai seorang metalhead merupakan pemandangan baru di Indonesia ataupun dunia, karena tak lazim seorang pejabat menyukai musik rock, yang selalu dikaitkan dengan kredo kebebasan dan anti-kemapanan. Tak mengherankan, ketika Jokowi dinyatakan menang dalam pilpres 2014, ucapan selamat pun berdatangan dari para pemusik rock dunia di jejaring sosial, dari Facebook hingga Twitter, seperti Sting, gitaris Guns N Roses Ron Thal, band Arkarna, dan banyak lagi.
Tapi Jokowi tak sendiri. Di belahan dunia sana, ada Perdana Menteri Rusia Dmitri Medvedev yang juga menggemari musik rock. Ia menggemari band yang nyaris sama dengan yang disukai Jokowi, yaitu Black Sabbath, Deep Purple, dan Led Zeppelin. Kesamaan lain, keduanya generasi yang dilahirkan pada era 1960-an, yang kemudian mengisi masa remaja pada era 1970-an dengan musik-musik rock 1970-an. Keduanya pun punya tekad yang nyaris sama: memberantas korupsi dan ingin melakukan perubahan.
Sejak duduk di bangku SMP, Jokowi kerap terlihat menyambangi markas Trenchem, band rock era 1970-an di Solo. Dalam buku Pemimpin Rakyat Berjiwa Rocker yang ditulis Yon Thayrun, Jokowi pun berucap, "Musik rock adalah kebebasan. Musik rock itu liriknya liar, tegas semangat, dan mampu mendobrak perubahan."
Tentunya ada sebersit harapan yang menguak saat Jokowi yang menggemari musik rock ini akhirnya terpilih sebagai presiden. Saya sendiri memang menaruh harapan terhadap para pemimpin yang memiliki ketertarikan kepada dunia musik. Sebagai cabang seni yang merepresentasikan ekspresi, musik boleh jadi akan menginspirasi para pemimpin dalam menjalankan konsep dan pola kepimpinannya. Beberapa presiden Indonesia yang memerintah sebelum Jokowi juga memiliki keterkaitan dengan musik. Presiden Sukarno, yang dengan semangat berkobar hendak membangkitkan supremasi budaya kita, adalah seorang pianis dan penggubah lagu Bersuka Ria dalam album Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso (1965) serta membentuk grup musik The Lensoist dan melakukan muhibah ke beberapa negara. Presiden Gus Dur menyukai musik klasik dan menggemari ratu blues rock Janis Joplin.
Dan, yang paling menyita perhatian adalah Presiden SBY, yang di masa pemerintahannya masih sempat meluangkan waktu menulis lagu serta menghasilkan lima album rekaman. SBY, yang di masa mudanya pernah menjadi pemain bas, kerap menuai kritik karena merilis album begitu banyak dalam kondisi yang tidak tepat.
Lalu bagaimana dengan Jokowi yang oleh para penikmat musik dikukuhkan sebagai seorang penggemar musik metal? Harapan memang banyak digantungkan pada pundak Jokowi sesuai dengan perangai musik yang digandrungi: tegas, lugas, dan anti-kemapanan.
Lengser Keprabon Madeg Pandhita
Rabu, 22 Oktober 2014 Musyafak, Staf di Balai Litbang Agama Semarang
Tujuh belas tahun silam, tepat pada 20 Oktober 1997, Soeharto, sang prabu Orde Baru, menyatakan dirinya hendak lengser keprabon madeg pandhita. Sang prabu bermaksud melepaskan jabatannya sebagai presiden, kemudian menjadi seorang pendeta. Keinginan makzul itu disampaikan di hadapan pengurus partai beringin yang ditanam dan dirawat sang prabu hingga tumbuh besar. Namun sang prabu tetap dicalonkan sebagai presiden oleh partainya. Pada 10 Maret 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat menobatkan kembali sang prabu sebagai presiden ketujuh kalinya, meski akhirnya penolakan rakyat terhadapnya kian masif, yang memaksanya mundur jabatan pada 21 Mei 1998. Sang prabu itu tak lain adalah Pak Harto.
Ungkapan lengser keprabon mandeg pandhita itu tak mudah dimaknai, sekalipun oleh orang Jawa. Sebab, sepanjang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa, tak ada pakem yang mengatur kapan seorang raja mesti turun takhta. Kecuali keikhlasan untuk mewariskan kekuasaan kepada anak-cucu keturunannya, makzulnya sang raja lumrahnya terjadi karena kekerasan, perang, atau tipu daya politik. Namun, di masa krisis politik itu, Pak Harto, yang njawani, berupaya mendekonstruksi ungkapan lengser keprabon sebagai laku meninggalkan takhta secara sukarela untuk kemudian hidup di pertapaan sebagai begawan yang mulia nan bijaksana (madeg pandhita). Begawan atau pendeta cuma akan berperan memberi nasihat seperlunya kepada penguasa berikutnya.
Tapi tafsir lain pun muncul di tengah gelombang reformasi penjungkiran Orde Baru. Emha Ainun Nadjib, dalam wawancaranya dengan Tempo (Edisi 34/2-25 Oktober 1997), menengarai hal itu sebagai sandiwara yang diciptakan Pak Harto agar terkesan bahwa dia diminta kembali oleh rakyat melalui MPR untuk memimpin bangsa Indonesia. Adapun Golkar, yang mencalonkannya kembali, adalah satu adegan untuk meyakinkan publik bahwa Pak Harto masih dikehendaki oleh rakyat.
Itu riwayat Pak Harto, yang selepasnya lengser keprabon entah dianggap sebagai begawan atau tidak. Hari ini tafsir rakyat tentang itu tentu lain-lain.
Pada 20 Oktober ini, SBY lengser keprabon secara konstitusional. Joko Widodo naik takhta kepresidenan setelah dipilih rakyat pada pilpres 9 Juli lalu. Terlepas dari prestasi dan berbagai kritik pedas terhadapnya, rakyat ingin SBY madeg pandhita setelah lengser keprabon. SBY diidamkan menjadi seorang pendeta atau begawan politik untuk memberi nasihat-nasihat kepada Joko Widodo supaya mampu memimpin bangsa dengan baik. Bahkan SBY dielu-elukan sebagai tokoh yang potensial mencairkan ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih (KMP).
Pengidaman SBY sebagai begawan tentunya tak kalis dari pandangan-pandangan pesimistik. Pertama, posisi SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat akan menuntutnya berperan aktif dalam politik. Jabatan kepartaian itu takkan mengizinkan SBY bertapa di "kesunyian" dan hanya "turun gunung" ketika keadaan sudah genting. Kedua, selama ini SBY dinilai publik kerap melakukan sandiwara politik. Dari pernyataan politik SBY yang netral (tidak berpihak kepada KIH ataupun KMP) ketika pemilu, drama walk-out sidang pengesahan UU Pilkada, sampai drama Perppu Pilkada langsung di ujung jabatannya.
Mampukah SBY lengser keprabon madeg pandhita? Waktu yang akan menjawabnya. *
Evaluasi Kebijakan Perumahan Swadaya
Rabu, 22 Oktober 2014 Atantya H. Mulyanto, Pengamat Kebijakan Publik, President & Chief Executive Officer PT Survindo Putra Pratama
Sampai 2014 ini, pemerintah mengakui kesulitan memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat jika distribusi pendapatan dan perekonomian masih terpusat di Jakarta. Hingga kini, tingkat kekurangan pasok atau backlog perumahan sedikitnya mencapai 15 juta unit, dan hal itu dikhawatirkan membawa Indonesia ke krisis perumahan (Kemenpera, 30/8/2014). Indonesia Property Watch (IPW) mencatat jumlah backlog atau kurangnya pasokan rumah jauh di bawah kebutuhan riil, pada 2014 diperkirakan mencapai 21,7 juta unit rumah. Padahal, pada tahun-tahun sebelumnya, angka backlog hanya mencapai 13,6 juta.
Indonesia akan terus mengalami backlog perumahan selama pendistribusian pendapatan tidak merata, harga tanah tidak bisa dikendalikan, penghasilan masyarakat tidak terjangkau, serta perizinan pembangunan perumahan dipersulit oleh pemerintah daerah. Dengan tingkat pertumbuhan keluarga baru Indonesia yang rata-rata 800 ribu per tahun, dibutuhkan tambahan rumah baru yang setara. Dengan tingkat kemampuan penyediaan rumah oleh swasta rata-rata hanya 300-400 ribu unit rumah per tahun, peran pemerintah amat sangat diharapkan untuk menutup defisit antara demand dan supply perumahan ini.
Terdapat beberapa sebab belum tercapainya penyediaan jumlah rumah sesuai dengan kebutuhan. Antara lain, pertama, problem tata kelola pemerintah yang belum optimal, yakni dalam hal koordinasi di antara kementerian/lembaga serta terkait dengan kebijakan/program skema subsidi, baik yang diwujudkan dalam bentuk rumah tapak maupun rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Backlog bertambah bila pemerintah tidak segera membuat terobosan kebijakan yang mampu "merumahkan" masyarakat.
Kedua, kegagalan dan kesalahan regulasi. Harus diakui, pemerintah selama ini gagal memenuhi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat. Kegagalan itu terjadi sejak menyusun regulasi yang menyulitkan masyarakat memiliki rumah, seperti pasal pembatasan ukuran rumah minimal 36 meter persegi (m2) serta lima tahun terakhir mengubah pola subsidi uang muka pembelian rumah menjadi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang tidak memiliki benchmarking dan best practice di dunia.
Sila Kelima Pancasila mendekatkan landasan ideologi kebijakan perumahan seperti yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan. Negara menjamin terpenuhi kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya kebutuhan perumahannya secara layak dan terjangkau. Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan, tapi belum berkembang secara memadai dan terlembagakan dengan baik.
Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus berkembang. Namun pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif. Pada 1974, dengan dibentuknya Perumnas sebagai pengembang perumahan plat merah (baca sektor publik) dan ditugaskannya Bank Tabungan Negara (BTN) sebagai bank perumahan, tampaknya pemerintah mulai meletakkan kebijakan perumahan umum. Dalam perjalanannya, kebijakan perumahan umum di Indonesia tidak berkembang alias bantet. Istilah perumahan umum saja pun menjadi aneh terdengarnya.
Pada 2013, diterbitkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 6/2013 tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Visinya adalah pemerintah memberikan bantuan stimulan berupa bahan material kepada MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah) untuk membantu meningkatkan kualitas rumah dari RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) menjadi RLH (Rumah Layak Huni). Adanya peraturan ini memberikan payung hukum agar penyaluran bantuan bisa lebih tepat sasaran yang pada gilirannya akan mendorong kemampuan masyarakat untuk memiliki rumah layak huni.
Dalam pelaksanaannya, menurut pengalaman penulis yang mendampingi realisasi program ini di lapangan, menemukan beberapa kelemahan. Pertama, banyak penerima bantuan stimulan berupa bahan material, yang kemudian menjualnya. Akibatnya, tujuan perbaikan rumah tak terealisasi. Kedua, banyak penerima bantuan stimulan yang tidak mampu memanfaatkannya untuk perbaikan rumah, karena ketiadaan tukang bangunan yang mampu mengerjakannya.
Artinya, ada kelemahan konsep di belakang SK Menteri Perumahan Rakyat tentang Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya. Kelemahan itu antara lain konsep perbaikan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Konsep ini mengandaikan semua calon penerima bantuan mampu memperbaiki rumah, dengan kesiapan tukang dan desainnya. Padahal, jika salah satu unsur perbaikan rumah tak terpenuhi, akhirnya tujuan perbaikan rumah akan gagal.
Atas dasar itu, mengapa pemerintah tidak mengadopsi saja konsep bedah rumah yang populer di televisi? Atau konsep Rumah Deret yang sudah diterapkan Jokowi, yang sebelumnya Gubernur DKI Jakarta, di beberapa kawasan kumuh? Rumah Deret adalah rumah sederhana yang dibuat dari bahan-bahan standar yang kemudian didesain dalam sistem knock-down. Rumah ini dibangun dalam satu paket--oleh tukang--dengan memperhatikan aspek lingkungan. Contoh Rumah Deret bisa dilihat di kampung Petogogan, Jakarta. *
Arena Politik Jokowi
Kamis, 23 Oktober 2014 Arya Budi, Research Associate Poltracking Institute
Pelantikan Jokowi sebagai presiden terpilih 2014-2019 memberikan dua otoritas penting sebagai single-chief-executive dalam sistem presidensial di Indonesia. Pertama, otoritas untuk mengendalikan hampir semua alat negara, seperti penegak hukum, militer, intelijen, semua level birokrasi, dan alat negara lainnya. Kedua, otoritas Jokowi untuk mengakses sumber daya negara melalui perusahaan-perusahaan negara (baca: BUMN) dan kesepakatan- kesepakatan perdagangan dengan perusahaan nasional maupun transnasional atas akses sumber daya di Indonesia.
Tentu ada power exercises atas kebijakan-kebijakan publik yang berlaku di dalam negeri dan sikap-keputusan negara atas isu-isu luar negeri sebagai derivasi dua otoritas penting tersebut. Tapi dua otoritas inilah yang menjelaskan Jokowi berpotensi menjadi patron alternatif dalam dinamika politik lima tahun ke depan.
Pada saat yang sama, Jokowi akan berhadapan dengan tiga arena politik yang sama sekali baru dibandingkan dengan arena politik pendahulunya, SBY, yang cenderung adem-ayem. Pertama adalah politik parlemen yang dikendalikan oleh Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai koalisi non-pemerintah, jika bukan disebut sebagai koalisi oposisi. Kedua, koalisi politik pendukung Jokowi, yang masih terbilang kurus sekalipun, jika akhirnya mendapatkan asupan 6,96 persen kursi DPR dari PPP. Ketiga, ekspektasi, tuntutan, dan kritik publik terhadap Jokowi, baik dari 53 persen pemilihnya, massa mengambang yang memilih Prabowo, maupun para pendukung Prabowo.
Terkait dengan arena politik pertama, studi atas negara-negara presidensial di Amerika Latin (Linz 1990, Mainwaring 1993) menunjukkan bahwa minority government--pemerintah dengan dukungan partai atau koalisi partai bukan mayoritas di parlemen--berpotensi menemui deadlock antara eksekutif di bawah kendali presiden dan legislatif yang dikuasai oleh partai non-pemerintah.
Dalam divided government, demikian kata Juan Linz untuk menjelaskan asimetrisme eksekutif dan legislatif, hampir selalu bertemu dengan kebuntuan relasi eksekutif dan legislatif. Pada titik inilah komunikasi politik presiden dengan elit dan patron partai-partai non-pemerintah menjadi krusial. Mirip dengan nalar sosial Jawa yang disebutkan Thomar Stamford Raffles (1781-1826) sebagai masyarakat yang menghindari amok (perseteruan), Jokowi bekerja dengan nalar politics in harmony dalam relasi dirinya dengan elite lintas partai, terutama partai-partai non-koalisinya. Gagasan safari politik yang dilakukan Jokowi bertemu para patron KMP mengkonfirmasi nalar politik ini. Paling tidak untuk membangun dukungan--jika bukan menggeser atau memecah--kekuatan 63 persen kursi KMP (jika PPP masih bergabung dengan Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, dan PAN) atas program kebijakan strategis Jokowi yang sudah dijanjikan sepanjang kampanye presiden lalu.
Namun inter-party politics di dalam tubuh koalisi partai pendukung Jokowi adalah war in silence alias arena tarung yang senyap karena dua musabab penting. Pertama, Jokowi bukanlah patron dari partai pemenang PDIP sehingga otoritas politik dirinya dalam koalisi selalu dinegosiasikan oleh veto player yang sesungguhnya: Megawati. Riwayat politik Megawati sebagai ketua umum terlama di Indonesia, bahkan Asia, selama hampir dua dekade terakhir ini memberinya pengaruh politik yang melampaui struktur partai.
Pada saat yang sama, coalitional presidentialism hampir di semua desain konstitusi termasuk konstitusi Indonesia tidak menjamin loyalitas partai koalisi karena insentif politik antara kader partai di kabinet dan di parlemen tak selinear seperti pada sistem parlementer. Sebagai misal, bisa saja PKB, yang berkekuatan 8,39 persen kursi di parlemen, bermanuver jika Jokowi tak mengakomodasi kepentingan politiknya dalam posisi dan status politik menteri di kabinetnya. Dukungan partai hanya dijamin oleh konstitusi dalam pencalonan presiden (UUD 1945 Pasal 6A ayat 2). Setelah pencalonan selesai itu soal lain.
Di titik inilah penting bagi Jokowi melembagakan koalisi: struktur pengorganisasian, kontrak politik, dan mekanisme kerja. Hingga kini, bahkan nama koalisi partai pendukung Jokowi pun belum ada. Jika tidak, Jokowi hanya akan menjadi pelaksana keputusan politik para patron, terutama untuk isu-isu strategis. Dan, otonomi Jokowi sebagai presiden menjadi lemah yang bisa berbuntut pada performa kepemimpinan pemerintahan dan negara.
Terakhir, supply and demand alias tuntutan dan dukungan publik sepanjang lima tahun pemerintahan Jokowi bisa jadi terbelah jika KMP mengkonsolidasikan 47 persen pemilih Prabowo. Belajar dari Brasil dengan program Bolsa Familia atau Oportunidades di Meksiko dalam usaha menurunkan angka kemiskinan, program insentif bagi masyarakat miskin di Indonesia adalah hal paling penting bagi Jokowi untuk mendapatkan dukungan publik. Survei opini publik Poltracking (Agustus 2013, Oktober 2013, Desember 2013, Maret 2014) menunjukkan bahwa kesejahteraan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan adalah hal yang paling dibutuhkan publik.
Harapan Baru
Kamis, 23 Oktober 2014 Iwel Sastra, Komedian, @iwel_mc
Sehari setelah pelantikan Jokowi menjadi presiden, seorang anak bertanya kepada ayahnya. "Siapa nama Presiden Republik Indonesia?" Dengan mantap dan penuh keyakinan, sang ayah menyebut nama Jokowi. Anak tersebut menyalahkan jawaban ayahnya dan mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia adalah SBY. Mengetahui jawaban anaknya keliru, sang ayah mencoba meluruskan dengan mengatakan SBY sudah digantikan oleh Jokowi. Menanggapi ucapan ayahnya, anak itu berkata "Presiden Indonesia adalah SBY, Jokowi itu penggantinya."
Anekdot di atas menggambarkan bahwa saat ini perbincangan mengenai Jokowi baru sebatas sebagai pengganti presiden yang lama. Sebagai presiden yang baru, belum ada yang bisa dibahas terkait dengan langkah-langkah yang membedakan Jokowi dengan presiden sebelumnya. Langkah pertama yang menjadi pusat perhatian adalah susunan kabinet yang dibentuk Jokowi. Beragam nama muncul dalam bursa calon menteri, baik dari kalangan akademikus, militer, politikus, hingga aktivis. Dari kalangan komedian, ada beberapa nama yang bisa diajukan sebagai menteri, seperti Tarsan sebagai Menteri Kehutanan dan Cak Lontong sebagai Menteri Urusan Pangan, he-he-he.
Ada pemandangan menarik pada Senin lalu. Untuk pertama kalinya, Presiden yang akan mengakhiri masa jabatannya duduk berdampingan dengan presiden terpilih yang akan dilantik. Menurut saya, ketika duduk berdampingan, SBY dan Jokowi sama-sama salah tingkah karena ini merupakan pengalaman pertama bagi mereka. SBY untuk pertama kalinya "benar-benar" pensiun sebagai presiden, sedangkan Jokowi untuk pertama kalinya dilantik menjadi presiden. Rakyat untuk pertama kalinya melihat SBY dan Jokowi menjalani hal yang pertama kali dilakukan dalam hidup mereka.
Kehadiran Prabowo dalam pelantikan Jokowi sebagai presiden patut diapresiasi. Ini sekaligus membantah rumor yang menyebutkan Koalisi Merah Putih (KMP), yang mengusung Prabowo saat pilpres, akan menjegal pelantikan Jokowi. Rumor ini muncul setelah KMP berhasil menguasai parlemen dengan menyapu bersih kursi pimpinan DPR dan MPR. Semangat KMP untuk menguasai parlemen memang sudah terlihat sejak Jokowi ditetapkan secara resmi sebagai presiden terpilih setelah MK menolak gugatan pasangan calon presiden Prabowo-Hatta. Dengan menguasai parlemen, KMP bukan sekadar singkatan dari Koalisi Merah Putih, juga bisa Koalisi Menguasai Parlemen.
Sebuah majalah luar negeri pada sampul depannya menyatakan bahwa Jokowi adalah sebuah harapan baru. Jokowi sadar, harapan tersebut tidak bisa dipenuhinya sendirian. Melalui pidato pelantikannya, Jokowi mengajak semua kalangan, seperti nelayan, buruh, petani, pedagang bakso, pedagang asongan, sopir, akademikus, guru, anggota TNI, personel Polri, pengusaha, dan serta kalangan profesional untuk bergerak bersama. Jokowi menekankan kata bekerja, bekerja, dan bekerja. Ia mengajak semua pihak bekerja sekeras-kerasnya untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Pidato Jokowi sangat singkat karena sebagai presiden ketujuh, Jokowi meminta waktu untuk berpidato selama tujuh menit. Saya membayangkan dulu sebagai presiden pertama, Soekarno meminta waktu berpidato hanya satu menit. Baru mengucapkan salam, waktu sudah habis. *
Kultur Lebah Pekerja
Jum'at, 24 Oktober 2014 Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip
Sehari setelah Joko Widodo (Jokowi) diambil sumpahnya sebagai presiden ke-7 RI, halaman depan media cetak menabalkan sebesar-besarnya judul-kepala dengan frasa "kerja".
Solo Pos ("Ayo Bekerja!"), Suara Merdeka ("Selamat Bekerja, Presiden Rakyat!"), Pikiran Rakyat ("Lupakan Pesta, Saatnya Bekerja"), Kedaulatan Rakyat ("Bekerja, Bekerja, Bekerja!"), Koran Merapi ("Kerja, Kerja, Kerja"), dan Tempo ("Kerja, Kerja, Kerja!") adalah sekian media cetak yang secara verbal memilih frasa "kerja" untuk menunjukkan bagaimana karakter pemerintahan Jokowi periode 2014-2019.
Frasa "kerja" adalah cara Jokowi menyorongkan apa yang menjadi ciri khasnya. Tapi banyak yang salah paham kemudian bahwa mereka yang bekerja adalah antiwacana dan pemikiran yang sifatnya reflektif. Kerja adalah pasase yang dianggap menjauh dari kultur ilmiah.
Kultur kerja Jokowi ini mengingatkan pada Maurice Maeterlinck, Nobelis sastra 1911 asal Belgia yang menulis buku legendaris: The Life of the Bee (1954, 168, hlm). Buku tipis yang aslinya terbit dalam bahasa Prancis pada 1928 ini adalah salah satu buku klasik yang membedah secara menarik bagaimana kultur kerja lebah yang disebutnya sebagai "the foundation of the city".
Kultur kerja lebah inilah, kata Maeterlinck, yang menjadi cetak biru bagi masyarakat masa silam untuk membangun kotanya, seperti Babilonia, Inca di Peru, Madinah di Timur Tengah, dan peradaban Nil di Mesir.
Madu sebagai produk akhir dari kultur kerja lebah bermula dari kerja perbengkelan yang dilakukan madu-pekerja. Tugas mereka bukan hanya menentukan di mana sumber daya madu berada (bunga terbaik), tapi juga bagaimana menyiapkan sarang, yang oleh para saintis disebut cara kerja jenius dan menjadi gambaran kehadiran "tangan-tangan tak-tampak" (invisible hand).
Arsitektur sarang yang rumit dan sekaligus indah yang dibuat lebah-pekerja bukan sekadar adu kelihaian dan kesombongan membangun gedung, tapi dibuat dengan asas kemanfaatan besar. Sarang adalah lumbung/laboratori bagi berlangsungnya pengolahan seluruh sari mentah yang diubah menjadi madu dengan umur kedaluwarsa yang panjang. Maeterlinck menyebut kerja pengolahan ini sebagai kerja agrikultur berbasis pengetahuan.
Sains mempermudah pengelolaan kehidupan, dan bukan memperumitnya. Dari kerja lebah membangun peradabannya, kita diberi tahu semestinya anugerah sains memperpanjang usia peradaban, dan bukan menghancurkannya lebih cepat.
Apalagi ciri lain dari lebah-pekerja adalah kesadaran untuk tidak mengeksploitasi habis- habisan sumber daya bunga yang menghidupi sarangnya. Alih-alih menghabiskan, mereka justru terlibat aktif melakukan "reboisasi" dengan mengantar serbuk, mengawinkannya dengan putik, dan kehidupan bunga pun tetap berlangsung. Lebah tahu mereka bakal pasti kembali ke area itu dalam waktu mendatang saat bunga-bunga kembali bermekaran.
Jokowi adalah kepala lebah-pekerja bagi sarang mahabesar yang terdiri atas 17 ribu sel heksagonal yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, dan dari Miangas hingga Rote. Adapun ibu-ratu lebah adalah ibu pertiwi. Transendensi pengabdian dan kultur kerja Jokowi tanpa pamrih adalah sepenuh-penuhnya pengabdian kepada keberlangsungan sang ibu pertiwi lewat pemanfaatan sumber daya bunga (alam) yang kaya.
Hijrah
Jum'at, 24 Oktober 2014 Achmad Fauzi, Aktivis Multikulturalisme
Pergantian Tahun Baru Islam 1 Muharram 1436 Hijriah beriringan dengan peristiwa besar peralihan orde dari SBY ke Joko Widodo.
Tafsir temali waktu yang berdekatan antara epos kenabian dan momentum kenegaraan tersebut menyiratkan adanya titik singgung spirit agama dalam menjiwai kehidupan bernegara. Hal ini relevan dengan kajian sosiologi Donald Smith (1970) yang mengaitkan peran agama dalam masyarakat dari perspektif sistem politik.
Tahun baru Hijriah adalah siklus pengingat peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Yatsrib (Madinah). Di kota ini berhasil diletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat berkeadaban (civilized). Elemen suku, agama, dan kepentingan disatukan dalam satu wadah kebangsaan. Nilai egalitarianisme, keadilan, dan musyawarah menjadi pilar penopang tegaknya sendi keadaban. Capaian tatanan politik beradab tersebut tak bisa dilepaskan dari ikhtiar politik Nabi dalam melakukan "hijrah paradigma". Suatu proses revolusi mental yang membangunkan kesadaran tentang arti keguyuban dan kewargaan.
Jika demikian, hijrah secara maknawi bukan sekadar perpindahan fisik dari tempat yang kacau ke wilayah aman, tapi juga pembaruan kerangka berpikir dari jumud dan beku ke tatanan paradigma inklusif dan beradab.
Bangsa Indonesia perlu banyak menggali nilai filosofis hijrah, khususnya dalam membangun keadaban politik. Nabi Muhammad sebagai pemimpin politik berhasil menyatukan semesta kepentingan kaum Muhajirin (kelompok pendatang) dan Anshar (kalangan pribumi) melalui cara demokratis dan setara. Tidak ada kesumat abadi karena musyawarah lebih diutamakan dalam pengambilan keputusan. Semua ikhtiar kebangsaan tersebut tecermin pada traktat yang tertuang dalam butir-butir Piagam Madinah.
Kondisi terbalik terjadi di republik ini. Musyawarah untuk mencapai mufakat selalu menemui jalan buntu. Terlalu banyak kerumunan kepentingan di sekitar kekuasaan yang berjubel mencari jatah. Demokrasi dibegal oleh kelompok pemangsa kekuasaan berwatak buas.
Belum lagi soal tensi politik di kalangan bawah yang belum turun. Sejak panggung suksesi pemilihan presiden dihelat, tak dimungkiri elemen masyarakat terpolarisasi dalam faksi-faksi yang berlawanan. Suhu politik yang panas kian memantik api permusuhan. Celakanya, fitnah dan politik tuna-adab riuh gentayangan merusak akal budi.
Sebagai seorang pemimpin, Jokowi harus mampu merangkul kelompok yang berseberangan pilihan politik dalam satu semangat. Istilah politik di meja makan yang mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto, beberapa waktu yang lalu, adalah langkah besar agar tensi ketegangan dua kutub di tataran akar rumput tidak menggumpal menjadi destruksi sosial. Sikap kenegarawanan dua tokoh ini harus direspons dengan menghentikan segala bentuk sinisme.
Jejaring sosial hingga kini masih disesaki aroma sinisme terhadap Jokowi. Padahal kebaikan tetaplah kebaikan, tak peduli pelakunya berseberangan politik. Berbeda pilihan politik lazim terjadi di negara yang menjunjung nilai demokrasi. Tapi menciptakan iklim politik tidak sehat untuk meneguhkan afiliasi politik sebagai realitas tunggal tentu tindakan keliru. Sudah saatnya bangsa Indonesia tidak lagi melihat siapa presidennya, tapi yang lebih substantif adalah apa dan bagaimana janji politik itu ditunaikan.
Swasembada Saja Tidak Cukup
Jum'at, 24 Oktober 2014 Bambang Sutrisno, Peneliti Senior pada Indonesia Center for Sustainable Development.
Sasaran pembangunan pertanian adalah swasembada pangan. Slogan ini telah menjadi azimat bagi para pejabat dan didukung oleh rakyat. Seakan-akan, apabila swasembada pangan tercapai, pembangunan pertanian pun dinilai telah berhasil.
Swasembada selalu diartikan sebagai suatu keadaan ketika produksi pangan berhasil memenuhi kebutuhan konsumsinya. Swasembada dicapai bila produksi pangan mencapai jumlah konsumsi dalam negeri. Anggaplah total kebutuhan konsumsi beras sebanyak 33,4 juta ton per tahun. Jika produksi telah mencapai angka tersebut, swasembada tercapai. Bila panen jagung telah mencapai 20,4 juta ton, sesuai dengan perkiraan konsumsinya, maka swasembada jagung terjangkau.
Angka perhitungan swasembada seperti ini hanyalah mendekati benar. Penghitungan swasembada pangan harus melibatkan penghitungan jumlah persediaan atau stok akhir tahun terlebih dulu, untuk kemudian ditambahkan dengan produksi. Bila konsumsi dan stok tercukupi, barulah dapat disebut swasembada. Itu pun masih harus dihitung angka ekspornya.
Bila ada produksi pangan yang diekspor, kecukupan persediaan pangan harus dikurangi dengan ekspor. Nah, angka-angka ekspor tersebut juga harus diimbangi dengan angka impor. Impor pangan berarti produksi dalam negeri tidak mencukupi.
Persediaan pangan di dalam negeri ini memang sering diperdebatkan. Meskipun semua pihak setuju akan pentingnya persediaan, besarnya persediaan ini masih sering dimasalahkan. Ada yang mengatakan 5 persen sudah cukup. Namun ada juga yang mengatakan jumlah persediaan pangan dalam negeri seharusnya lebih dari 10 persen.
Mengapa persediaan pangan di dalam negeri harus cukup besar? Pertama, fluktuasi produksi pangan. Padi, misalnya, mencapai puncak produksi pada Mei, Juni, dan Juli. Produksi padi setelah Juli cenderung menurun. Musim kemarau yang memasuki wilayah Indonesia membuat area panen padi pada semester kedua selalu lebih rendah daripada kebutuhan. Tak mengherankan bila pemerintah memprediksi, Jawa saja akan kekurangan gabah sebanyak 1,8 juta ton pada 2014 ini.
Alasan kedua kebutuhan persediaan adalah bencana alam. Menghadapi situasi bencana yang datangnya tidak bisa diprediksi ini, kita harus memiliki persediaan yang cukup. Alasan ketiga yang juga tidak kalah penting adalah perubahan iklim atau pergeseran jadwal tanam. Musim hujan dapat saja lebih lama atau lebih pendek daripada perkiraan, dan musim kemarau bisa datang lebih cepat. Pergeseran jadwal tanam membuat produksi pangan di bawah perkiraan. Padi yang dipanen di musim hujan cenderung produksinya lebih rendah, karena proses penyerbukan dan pembentukan biji terganggu oleh air hujan. Demikian pula penanaman yang dilakukan di musim kemarau, yang biasanya terhambat oleh ketersediaan air. Akibatnya, produksi pangan yang ditargetkan meleset.
Beberapa riset menunjukkan terjadinya perubahan iklim di berbagai daerah di Indonesia. Pranata mangsa, yang dulunya menjadi pegangan petani, telah menurun akurasinya. Di samping itu, terjadi perbedaan iklim mikro antara satu daerah dan daerah lainnya. Contohnya sering terjadi cuaca cerah di Malioboro, namun di Sleman hujan turun dengan lebatnya.
Persediaan juga penting untuk stabilisasi harga. Harga pangan sangat besar pengaruhnya terhadap inflasi. Kenaikan harga pangan akan memicu inflasi. Menghadapi kemungkinan kenaikan harga yang dapat meresahkan, Pemerintah mesti memiliki stok pangan yang memadai. Adanya persediaan yang cukup dan mudah dimobilisasi akan menurunkan spekulasi dan menstabilkan harga pangan.
Alasan lain yang jarang diperhitungkan adalah adanya masalah di negara lain. Banjir dan topan yang melanda Filipina, misalnya. Kejadian kemanusiaan ini tidak boleh membuat Indonesia berdiam diri. Bantuan kemanusiaan terbaik yang dapat diberikan, salah satunya, adalah mengirim bantuan pangan. Sejarah mencatat Indonesia pernah dibantu India menangani kelangkaan beras beberapa puluh tahun lampau. Namun Indonesia pun telah sering mengirim bantuan pangan ke negara-negara lain yang membutuhkan.
Dalam konteks perdagangan internasional juga patut diperhitungkan bahwa perubahan musim di negara lain dapat mengganggu situasi di Indonesia. Kemarau panjang di Amerika beberapa tahun lalu telah menurunkan produksi kedelai dan menyebabkan harga kedelai internasional naik. Kita pun terkena dampak kenaikan harga tersebut.
Karena itu, manajemen stok dan persediaan pangan di dalam negeri sangat penting dan strategis. Ketercukupan pangan Indonesia tidak boleh terombang-ambing oleh pasar internasional. Itulah makna kedaulatan pangan. Indonesia harus berdiri di atas kaki sendiri, bahkan menjadi faktor penting dalam penyediaan pangan dunia.
Jadi, swasembada pangan saja tidak cukup. Indonesia harus memproduksi pangan dalam jumlah, jenis, dan kualitas yang lebih banyak dan lebih baik. Makna kedaulatan pangan akan berarti bila ada kecukupan dalam negeri dan mampu memberikan sumbangan kepada kebutuhan pangan dunia.