ITU tanda-tanda kenabian, begitu katamu sembari tersenyum setiap kali ada
yang menyebut atau menceritakan ulang kisah masa kecilmu ketika kau pada suatu
hari mengeluarkan uang logam bersama kotoranmu. Kau lupa kapan dan
bagaimana bisa menelannya. Tahu-tahu uang itu keluar begitu saja membikin kaget
keluarga dan orang-orang sekampungmu. Tidak ada yang ingat lagi pecahan apa
yang keluar. Kau tak pernah bisa menutupi kebanggaanmu mengalami itu.
Ada nabi yang sejak bayi sudah bicara layaknya orang dewasa, ada yang
dadanya dibelah dan jeroannya dicuci oleh malaikat agar kalbunya bersih, dan ada
banyak lagi nabi yang mengalami peristiwa menakjubkan pada masa kanak-kanak
mereka yang menegaskan tanda-tanda mereka sebagai utusan Tuhan. Bagimu,
cukup sekeping uang yang keluar dari pelepasanmu. Yang mungkin tak kau pahami
adalah betapa beruntungnya kau karena yang keluar bukanlah sebutir telur emas.
Salah-salah, beberapa tetanggamu yang kalap bisa bergotong royong membelah
perutmu saat itu juga karena mengira kau menyimpan harta karun di dalam
tubuhmu.
Tersebab peristiwa itu beberapa tetanggamu bersepakat memaklumatkan
nubuat
bahwa
kau
akan
menjadi
pemimpin
besar
spiritual.
Bagaimana
anak yang lain. Oh, sesekali kau juga melakukan tindakan yang kelak membuat
orang geleng-geleng kepala saat kau menceritakannya--tentang ini, nanti akan
terbuka, tidak di alinea ini.
Sejak belajar mengaji itu kau memungut sebuah kebiasaan yang kau tiru dari
gurumu dan masih terbawa sampai sekarang: kau suka sekali mengatakan ini untuk
menambah iman, tepat dua detik setelah kau melontarkan pujian, untuk apa saja,
baik untuk kecantikan seorang gadis yang kau temui di warung nasi ataupun untuk
es krim balok Turki yang kekenyalannya saat digigit mengingatkanmu pada karet
penghapus. Teman-temanmu sering cemas bahwa suatu hari kau bisa kena gebuk
rombongan pemuda masjid gara-gara kau menuding kutang di jemuran dan dengan
jatmika melontarkan kata-kata andalanmu itu tadi. Kekhawatiran teman-teman
beralasan karena kau pernah sangat ngotot menghabiskan tiga jam meyakinkan
mereka bahwa kutang yang belum dicuci sangat berkhasiat menghaluskan kulit pipi
saat diusapkan ke wajah.
Selepas SMA kau kuliah ilmu humaniora di sebuah perguruan tinggi di Kota
Pelajar dan sempat menjadi wartawan majalah kampusmu. Sekalipun tak ada
bayarannya, kau senang dan bangga karena merasa tugasmu sejalan dengan salah
satu sifat kenabian yaitu tabligh atau menyampaikan kabar. Kau selalu senang jika
apa yang kau kerjakan ada sangkut-pautnya dengan kenabian dan kau
mengumumkan itu kepada teman-temanmu.
Semestinya kau bisa lebih spesifik, jika tidak mau disebut lebih berhati-hati,
saat mengeluarkan kata-kata yang terkait kenabian, baik saat kau bercerita
bagaimana usus besarmu memproduksi uang maupun saat menjadi reporter tanpa
bayaran. Boleh jadi kata-kata itu tanpa kau sadari ikut menentukan nasibmu.
Kau tak pernah menyebut nabi mana yang hidupnya ingin kau jadikan model.
Padahal, kau tahu bahwa peruntungan para nabi berbeda-beda jurusan sekalipun
mereka sama-sama mendaku mendapat bocoran langsung dari malaikat mengenai
perkara dunia dan seisinya dan juga hal-hal lain yang bersifat gaib: ada yang sudah
enak-enak tinggal di surga kemudian ditendang ke Bumi karena menguntal sebutir
buah--ya, hanya sebutir, tidak satu tas kresek apalagi sekarung; ada yang mesti
memanggul kayu berat yang kemudian dipakai untuk menyalib dirinya sendiri; ada
yakini--kau selalu bilang bahwa kau saat ini sedang mencintai kesendirian melebihi
cinta malam kepada kegelapan atau cinta lintah darat kepada uang rente atau
bahkan cinta hiu kepada darah. Mestinya kau memberi peringatan jika ingin
membuat teman-temanku kaku perut karena tertawa panjang. Salah seorang dari
mereka akhirnya berkata, Kalau sudah begini, sepertinya kau juga bakal kebal kalau
diselomot rokok ya, Dave? Namamu bukan Dave, tapi siapa pun yang bisa
membikin takjub orang dengan kata-kata gagah istimewa seperti yang barusan kau
ucapkan memang pantas dipanggil Dave.
Ketika ada yang bertanya bahwa jangan-jangan kau tak pernah punya pacar
sama sekali sampai usiamu lewat seperempat abad kau dengan cepat menjawab,
Pernah punya dong, pacaran dua tahun. Kau juga menjelaskan bahwa kau benarbenar berpacaran, bukan ta'aruf model anak-anak pengajian kampus. Ketika ada
pertanyaan terusan apakah kau pernah berhubungan badan dengan mantan
pacarmu kau menjawab lebih cepat lagi, Tidak dong. Aku menyayanginya, tidak
tega. Pegang-pegang juga tidak, paling cium pipi. Yang bertanya kemudian
menunjuk kegemaranmu pada film-film asyik dari Jepang dan kemudian berkata,
Kalau kau bukan pengecut pasti kebanyakan baca memoar Soe Hok Gie. Kau
meringis lalu manggut-manggut lalu mencoba mengubah topik pembicaraan menjadi
pesan tersembunyi lagu-lagu The Beatles. Teman-teman kantormu mafhum
kebiasaanmu. Kau membuka dengan pertanyaan apa yang ingin disampaikan John
Lennon dengan lirik I am the eggman dalam lagu "I am the Walrus". Belum ada
kawanmu yang menyambut, salah seorang tamu kantor yang kebetulan ikut dalam
pembicaraan hari itu malah melontarkan komentar ini, Jangan-jangan pacarmu
minta putus karena tidak kau sentuh padahal ia sudah ingin. Katamu, Kami pisah
karena beda prinsip. Kau membuat perut teman-temanmu kembali sakit. Ya, beda
prinsip. Pacarmu, mantanmu tepatnya, ingin kau pegang-pegang tetapi kau tak mau
karena tak punya nyali, kata si tamu.
Kau tak mau kalah set. Kau lalu bercerita bahwa kau juga pernah pegang
payudara perempuan, sejak usia remaja malah. Pertama kali di kolam renang. Yang
mengajakmu menyenggol dada perempuan dengan cara seolah-olah tak sengaja
adalah kawanmu yang bernama Marjiyo yang kelak ketika mulai berumur dua puluh
tahun
rutin
mencukur
licin
rambut
kepalanya--sebuah
tindakan
yang
Soal itu tak merisaukanmu. Bukan apa-apa, kau memang sampai saat belum
pernah terpikir menggunakan jasa perempuan bayaran. Kau takut penyakit dan
kondisi keuanganmu juga tak memungkinkan sekiranya sekali mencoba kau lantas
suka dan ingin melakukannya setidaknya sepekan sekali. Kau agak terhina karena
ia tak memintamu menyodorkan bukti keras, seolah kau sudah divonis bakal
tumbang sebelum berlaga. Cari saja yang sudah punya pacar, syukur-syukur kalau
kau tahu ia sedang bermasalah dengan pacarnya, si pengusul memberi saran.
Kenapa, tanyamu. Kau akan dilihat sebagai rumput tetangga, menu alternatif,
katanya. Sialan, katamu, dan kau ikut tertawa bersama teman-teman lain yang
mendengarkan percakapan kalian. Diam-diam kau mengiyakan perkataan si
pengusul yang sehari-hari kau panggil Paman itu karena kau tahu ia punya
pengalaman yang lebih dari cukup untuk urusan pembinaan dedek-dedek, baik yang
unyu maupun sangat unyu.
Hari berganti dan tahu-tahu besok kau akan berulang tahun kedua puluh
enam. Kau tahu kau tak akan menang dalam taruhan yang diajukan Si Paman.
Pekerjaan menyita waktumu, itu alasan yang ingin kau majukan jika ada yang
bertanya. Tapi, sesungguhnyalah kau tak melakukan gerak apa pun. Nyalimu yang
ingin kau tumbuhkan justru makin mengempis mendekati hari jadimu. Diam-diam
kau mengirikan nasib salah seorang tetanggamu di kampung yang semasa kecilnya
pernah kecemplung jumbleng--lubang penampungan tahi di kebun. Tetanggamu itu
peruntungan asmaranya bisa dibilang ciamik karena sudah menikah empat kali.
Memang tetanggamu itu juga bercerai tiga kali, tapi setidaknya ia selalu punya
pasangan dan bahkan salah seorang istrinya adalah wanita kulit putih dari
Skandinavia. Kau tahu, rambut mereka yang sewarna madu dan kulit mereka yang
bersih sangat pantas diklaim sebagai bukti pencapaian. Kau iri karena sama-sama
berurusan dengan tahi semasa kecil kok nasib kalian bisa jauh sekali bedanya soal
asmara.
Kau makin merasa merana karena malam sebelum hari ulang tahunmu
adalah malam Minggu. Kau akhirnya mengambil keputusan, kau ingin mabuk malam
itu. Kau tak ingin minum-minum sendirian. Kau pun memasukkan sebotol vodka
simpanan hadiah salah seorang teman ke dalam ransel. Kau naik angkot menuju
selatan, mengunjungi kawan sekantormu yang tinggal di kota satelit tanpa memberi
tahu terlebih dahulu. Kau kecele, kawanmu tak ada di tempas kosnya karena
sedang menonton pertunjukan jazz di sebuah kampus perguruan tinggi negeri. Kau
bisa menyusulnya karena jaraknya sangat dekat, tapi kau tak mau.
Kau merasa sangat sedih malam itu. Kau membuka botolmu dan pada malam
sebelum usiamu menginjak dua puluh enam tahun kau menenggaknya sampai
habis, tidak sekaligus, di depan sebuah kedai roti bakar. Lampu kendaraan bermotor
yang lewat di depanmu mengabur dan antara sadar dan tidak kau teringat sembilan
ratus tujuh kunang-kunang di kampungmu dan kau mengancam akan membikin
syair kepahlawanan tentang mereka-kunang-kunang, bukan lampu-lampu motor.
Usiamu genap dua puluh enam ketika tengah malam tiba. Kau masih punya waktu
panjang mewujudkan nubuat tetanggamu.
Catatan: Beberapa kalimat dalam cerita ini dipungut dari obrolan dengan A.S.
Laksana, Dea Anugerah, dan Dedik Priyanto.
Yusi Avianto Pareanom tinggal di Depok. Buku kumpulan ceritanya adalah Rumah
Kopi Singa Tertawa (2012).