Anda di halaman 1dari 4

ASURANSI JIWA BAKRIE LIFE

PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) berdiri tahun 1996


berkedudukan di Jakarta. Bakrie Life bergerak di bidang usaha
asuransi jiwa, sektor industri jasa keuangan. Pendirian entitas
Bakrie Life berasal dari hasil akuisisi saham PT Asuransi Jiwa
Centris (Centris Life) pada 24 Oktober 1996. Sebelumnya, Centris
Life mengambilalih PT Asuransi Jiwa Summa (Summa Life) pada
tahun 1993. Pada awalnya, Summa Life didirikan oleh pendirinya
pada tahun 1990 di Jakarta.
Bakrie Life tergabung dalam Bakrie Group, salah satu kelompok
usaha berskala multi-nasional di Indonesia, didirikan pada tahun
1942 oleh seorang pengusaha nasional, H. Achmad Bakrie (alm).
Dibawah naungan Bakrie Group tercatat sebanyak 40 perusahaan
lebih yang bergerak di berbagai bidang usaha. Bidang usaha
utama Bakrie Group antara lain meliputi sektor industri
manufaktur,
agroindustri,
pertambangan
batubara,
pertambangan migas, real estate & property, infrastruktur, jasa
konstruksi, jasa telekomunikasi & media televisi, investasi & jasa
keuangan, perdagangan, pendidikan SDM dan lain-lain.
Pasca krisis periode tahun 2000-2004, Bakrie Life melakukan
konsolidasi dan reposisi basis usaha perusahaan. Periode
berikutnya tahun 2005-2006, program konsolidasi terus berlanjut,
namun lebih diprioritaskan pada revitalisasi kanal distribusi dan
inovasi produk-produk asuransi yang lebih atraktif dan harus
mampu menghasilkan keuntungan yang lebih baik. Keberhasilan
program konsolidasi, reposisi dan revitalisasi tersebut menjadi
modal strategis bagi Bakrie Life untuk memasuki babak baru
modernisasi infrastruktur dan sistem manajemen periode tahun
2007-2008 ke depan.
Sasaran tahap awal Perseroan adalah mengoptimalkan
pertumbuhan dan memantapkan rencana corporate action untuk
mencatatkan saham Perseroan di bursa efek manakala situasi,
kondisi dan momentum untuk merealisasikan rencana tersebut
dinilai sudah tepat dan kondusif. Alhasil, selama periode 5 tahun
terakhir (2003-2007) Bakrie Life mampu mencapai pertumbuhan
1

yang menggembirakan di segala bidang. Prestasi tersebut telah


mengantarkan Bakrie Life berhasil meraih sejumlah award dari
tahun ke tahun dengan predikat sebagai Asuransi Jiwa Terbaik
dan Asuransi Dengan Kinerja Keuangan Sangat Bagus di
Indonesia berdasarkan versi: Majalah InfoBank, Majalah Investor,
Harian Bisnis Indonesia, dan Majalah Media Asuransi. Sedangkan
memasuki tahun 2008 Bakrie Life meraih piagam The Best Life
Insurance Company 2008 dan sekaligus memperoleh trophy The
Best Life Insurance Company for Consecutive 5 Year Achievement
keduanya dari Majalah Investor, dan memperoleh golden award
(untuk ketiga kalinya) sebagai Asuransi Jiwa Dengan Kinerja
Keuangan Sangat Bagus selama 5 tahun berturut-turut dari
Majalah InfoBank.
Saat terjadi gagal bayar, Bakrie Life dipimpin oleh Timoer
Soetanto yang pernah menjabat Komisaris Independen Lipo
General Insurance Tbk, perusahaan yang didirikan oleh Grup
Lippo.
Kronologis Peristiwa
Kasus Bakrie Life bermula dari penjualan produk asuransi unit-link
Diamond Investa yang merupakan produk hibrida antara asuransi
jiwa dengan investasi pasar modal (umumnya reksadana). Banyak
nasabah yang tergiur dengan tawaran ini karena produk Diamond
Investa menawarkan imbal hasil 1,5 persen di atas bunga
deposito per tahun plus manfaat proteksi asuransi jiwa.
Diamond Investa, salah satu produk Bakrie Life, memberikan janji
imbal hasil atau return tinggi dan kemungkinan pemegang polis
bisa dengan mudah menarik dananya saat masa garansi investasi
habis tanpa terkena penalti.
Pemasaran produk asuransi unit-link ini kemudian bermasalah
karena PT Asuransi Jiwa Bakrie (Bakrie Life) diduga gagal
membayar imbal hasil beserta pokok dana nasabah dengan nilai
total mendekati Rp 400 miliar. Hal tersebut disebabkan adanya
penyelewengan penempatan portofolio yang dilakukan
2

oleh
manajemen
perusahaan.
Bakrie
Life
dianggap
melampaui batas dalam berinvestasi karena terlalu
banyak menempatkan portofolio reksadana pada sahamsaham perusahaan grup Bakrie, sehingga ketika harga saham
perusahaan grup Bakrie berjatuhan akibat krisis global 2008
maka nilai portofolio Bakrie Life pun ikut terhempas.
Kondisi itu makin diperparah dengan redemption atau penarikan
dana besar-besaran polis tradisional karena krisis kepercayaan
pemegang polis di tengah krisis. Imbasnya perseroan akhirnya tak
mampu menambal kerugian investasi itu yang menyebabkan
gagal bayar manfaat investasi produk asuransi itu mencapai
Rp350 miliar sejak Juli 2008Agustus 2009.
Sekitar 600 nasabah, yang sebagian besar nasabah individu
meminta pengembalian investasi mereka. Nasabahnya beragam
mulai dari nasabah yang menggadaikan uang dana pensiun milik
orang tuanya hingga sengaja memarkir dana milik saudara ke
produk itu.
Pemerintah, dalam hal ini Bapepam-LKyang kini bertransformasi
menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemegang saham lalu
meminta manajemen Bakrie Life agar bernegosiasi dengan
nasabah mengenai mekanisme penjadwalan ulang pembayaran
dana. Hingga batas waktu negosiasi yang ditetapkan belum
berhasil diperoleh kesepakatan penuh dengan 100% nasabah.
Proses selanjutnya berjalan. Akhirnya diperoleh mekanisme baru
yakni nasabah mendapatkan 25% pada 2010, 2011 diperoleh
25%, dan sisanya dibayarkan pada 2012, meski ada beberapa
pemegang polis yang belum setuju.
Kewajiban Bakrie Life bukan angka kecil, Rp350 miliar ini angka
besar sama dengan kerugian akibat banjir bandang di Bondowoso
dan Situbondo pada 2008 silam.

Ketua Bapepam-LK Ahmad Fuad Rahmany yang kini menjadi


Dirjen Pajak mengatakan para nasabah juga terlalu mudah tergiur
dengan imbal hasil tinggi padahal investasi itu berisiko ringgi.
Dari segi regulasi, masih banyak celah yang bisa dimanfaatkan
oleh korporasi untuk merugikan konsumen. Terlalu tinggi
keuntungan jika risiko tinggi akan berbahaya sebaliknya terlalu
rendah keuntungan tapi risiko rendah pun tidak sebanding. Bagi
pemerintah, sebaiknya perlu ada pengawasan yang lebih detil
terkait dengan produkproduk baru asuransi yang menawarkan
return jauh dari kenyataan.
Proses penyelesaian sengketa melalui jalur hukum via Pengadilan
Negeri juga sangat memberatkan nasabah karena proses
peradilan di Indonesia umumnya masih cenderung lebih berpihak
kepada pemilik modal besar, prosesnya berbelit-belit, lama, tidak
ada jaminan menang, dan jika menang seringkali eksekusi
putusannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
*******************************

Anda mungkin juga menyukai