Anda di halaman 1dari 3

Analisis Kasus Eddy Tansil

Tan Tjoe Hong alias Tan Tju Fuan alias


Eddy Tansil bukan pejabat negara. Orang
yang namanya kerap diplesetkan sebagai
singkatan dari "ejakulasi dini tanpa hasil"
ini adalah legenda pengusaha jahat. Di
zaman Orde Baru, dia kaya dan berbahaya.

Eddy Tansil sudah terbukti merugikan


negara sebesar 1,3 triliun rupiah, tetapi ia
berhasil kabur dari penjara di LP Cipinang.
Dia kabur bukan ketika hendak diperiksa
atau diadili, melainkan setelah berada di
dalam tahanan.

Tidak banyak catatan soal masa-lalu Eddy


Tansil. Menurut Sam Setya Utama
dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di
Indonesia (2008:400), Eddy Tansil lahir
pada 1948 di Makassar.

“Pada paspornya tertulis nama Tan Eddy


Tansil alias Tan Tju Fuan, kelahiran
Ujungpandang, 2 Februari 1934. Tapi
semua koran mengutip: Eddy Tansil,
terlahir Tan Tjoe Hong, 2 Februari 1953,”
tulis Tempo (04/08/2003).

“Tahun 1970 ia mempunyai perusahaan


becak, lalu sesudah becak dilarang, ia
menjadi agen motor Kawasaki namun tidak
bisa bersaing dengan Yamaha dan Honda,”
tulis Sam Setyautama.

Pada 1980an, Eddy terlibat usaha perakitan sepeda motor di Tambun, Bekasi. Nama usahanya
adalah Tunas Bekasi Motor Company (TBMC). Perusahaan itu bergerak di bidang perakitan
sepeda motor Binter dan Bajaj. Belakangan pabrik yang di Tambun, menurut Soebronto Laras
dalam buku Soebronto Laras, Meretas Dunia Automotif Indonesia (2005:152), dimiliki Salim
Group yang saat itu memiliki BCA. Binter sendiri adalah singkatan dari Bintang Terang.

“Pabrik itu dimiliki Eddy Tansil sebagai pabrik Binter, malah juga pabrik bajaj. Eddy Tansil
memang nakal. Semua motor sama peraturannya, semuanya harus dilokalkan -- dibuat di dalam
negeri. Yang lokal cuma namanya, Bintang Terang. Motor Kawasaki Binter ini 'main kayu' terus,
mereka menyelundupkan komponen,” kata Soebronto.

Selain bisnis motor, Eddy Tansil juga bisnis bir. “Tahun 1983, dia mendirikan PT Rimba Subur
Sejahtera yang memproduksi Becks Beer yang disebut Bir Kunci di Indonesia. Rekanannya
adalah pensiunan jenderal bernama Koesno Achzan Jein. Bir itu tidak dijual di Indonesia dan
dikirimkan bir produksinya ke Fujian, Tiongkok,” tulis Leo Suryadinata dalam Prominent
Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th edition (2015:307).

Bisnis bir itu berhasil menambah pundi-pundi uang Edy Tansil. Saking kuatnya pengaruh bir
miliknya itu, ia bahkan sampai disebut Bapak Bir Fujian. Eddy Tansil kemudian membangun PT
Golden Key Group (GKG), perusahaan yang bergerak di bidang petrokimia. Perusahaan itu pun
mengajukan kredit ke Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). Kredit itu disetujui.

“Kredit yang mulai diberikan pada 1991 dengan cara ilegal itu pada 1994 telah membengkak
sampai Rp 1,3 triliun. Dalam memperoleh kredit ini, Eddy Tansil sempat memanfaatkan
katebeletje atau surat sakti yang ditulis Sudomo,” tulis Kees Bertens dalam buku Pengantar
Etika Bisnis (2000:220).

Sudomo yang merupakan Laksamana Angkatan Laut waktu itu menjabat Menteri Koordinator
Politik Keamanan (Menkopolkam). Bisa dibilang, Sudomo adalah orang kuat di masa Orde Baru.
Namanya moncer sejak didapuk sebagai Pangkopkamtib oleh Soeharto pada 1978.

Kasus Eddy Tansil mulai bergulir sejak awal Februari 1994. Ahmad Arnold Baramuli, anggota
Komisi VII DPR-RI, mempertanyakan soal pinjaman Eddy Tansil di bank pemerintah yang
macet. Baramuli menyatakan ada yang salah dalam prosedur penyaluran kredit itu.

“Atas rekomendasi Laksamana Sudomo dan pengaruh Tommy Soeharto yang menjadi mitranya,


Eddy Tansil berhasil memperoleh kredit ratusan juta dolar Amerika dari Bapindo,” tulis Benny
Setiono dalam Tionghoa Dalam Pusaran Politik (2008:1063).

Rupanya terjadi mark up dari proyek-proyek yang sebagian fiktif. Benny mencatat, “Tommy
Soeharto setelah menarik bagiannya lalu meninggalkan perusahaan tersebut, sehingga Eddy
Tansil terpaksa harus bertanggungjawab sendirian.”

Kongsi antara Eddy Tansil dengan Tommy juga tampak dalam kepemilikan saham keduanya di
PT Hamparan Rejeki, salah satu anak perusahaan Golden Key Group. Di perusahaan itu,
menurut Wall Street Journal, putra Soeharto itu memiliki 14 persen saham.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pun akhirnya menjatuhkan vonis bersalah dan menghukum
kepada Eddy Tansil dengan hukuman 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta serta membayar uang
pengganti Rp 500 miliar. Ia juga dihukum membayar kerugian negara sebesar 1,3 triliun rupiah.

Eddy Tansil ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Selama satu setengah
tahun berada dalam kurungan, Eddy Tansil beberapa kali keluar dari LP Cipinang. Setelah empat
kali keluar penjara, dalam izin keluar yang kelima, pada Sabtu petang 4 Mei 1996, Eddy Tansil
kabur dan tak pernah terlihat lagi.

“Setelah beberapa waktu lamanya mendekam di LP Cipinang, dengan bantuan para pejabat yang
berhasil disuapnya, ia bersama keluarganya berhasil melarikan diri,” tulis Benny Setiono. Setelah
kaburnya Eddy, Kepala LP Cipinang Mintadjo dibebastugaskan.

"Kalau melihat beberapa persiapan yang dilakukan, sebenarnya sudah patut dicurigai karena dia
telah mengeriting rambutnya, memelihara rambut dan jambangnya, serta beberapa kali minta
difoto. Jadi agaknya rencana itu sudah matang dibuat termasuk rencana penyamaran," kata
Menteri Kehakiman Oetojo Oesman seperti dilansir Kompas (08/05/1996).

Alasan resmi Eddy Tansil untuk meninggalkan LP adalah guna berobat ke Rumah Sakit
Jantung Harapan Kita. Tentu saja itu alasan yang dibikin-bikin, semata dalih untuk kabur.
Pelarian Eddy baru diketahui Komandan Jaga LP dua hari setelah pelarian. Eddy kabur Sabtu
petang, Komandan Jaga baru tahu pada Senin malam 6 Mei 1996. Sementara Menteri
Kehakiman Oetojo Oesman mengaku baru mengetahui pelarian Eddy pada Selasa pagi. Sejak itu
Eddy Tansil tak diketahui lagi keberadaannya. Ada dugaan Eddy sengaja diberi kesempatan
untuk kabur hanya untuk dihabisi. Tujuannya: menghapus jejak skandal kredit macet itu.
Namanya akan selalu diingat sebagai bukti betapa sulitnya mengendalikan koruptor, persisnya
perkongsian para koruptor. Juga menjadi monumen ihwal ringkihnya sistem hukum di Indonesia
yang dengan mudah dijebol oleh koruptor kelas kakap.

Reporter: Petrik Matanasi


Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS

Apa yang dilakukan Eddy Tanzil adalah korupsi dengan cabang conflict of interest (benturan
kepentingan. Conflict of interest adalah skema yang terjadi dimana pelaku yang memiliki
wewenang dan kekuasaan mempunyai kepentingan pribadi atau golongan atas suatu transaksi
dan tak jarang “menggoyang” keputusannya agar menguntungkan kepentingannya.

Anda mungkin juga menyukai