Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS HUKUM KASUS JIWASRAYA

Disusun Oleh:

Kelompok 1

Hukum Bisnis Kelas L

Muhammad Fariz Yamani 11000118130309

Megatrisna F.S. 11000118120151

Jasmine Azzahra 11000118130311

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG
ANALISIS HUKUM KASUS JIWASRAYA

Kasus Jiwaraya
Jiwasraya dibangun dari sejarah panjang. Bermula dari NILLMIJ, Nederlandsch
Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij van 1859, tanggal 31 Desember 1859.
Perusahaan asuransi jiwa yang pertama kali ada di Indonesia (Hindia Belanda waktu itu)
didirikan dengan akta Notaris William Hendry Herklots Nomor 185.
Pengertian Asuransi ysng diatur dalam Bab 9, Pasal 246 adalah :
"Asuransi atau Pertanggungan adalah suatu perjanjian di mana seorang penanggung
mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk
memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena
suatu peristiwa yang tak tertentu.”
Asuransi juga diatur dalam Undang-Undang No. 2 Th 1992 tentang usaha
perasuransian yang menyatakan bahwa :
Perjanjian antara dua pihak atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Mengenai Dasar Prinsip Asuransi dalam KUHD dikaitkan dengan Perkara Asuransi
Jiwasraya yang saat ini sedang dalam penyidikan. Keuangan perusahaan BUMN tersebut
minus. Mereka bahkan mencatatkan diri sebagai perusahaan dengan gagal bayar polis
terbesar dalam sejarah asuransi Indonesia.

Ekuitas Jiwasraya pada kuartal III/2019 tercatat sudah minus Rp23,92 triliun—
utangnya Rp49,6 triliun tapi asetnya hanya Rp25,6 triliun. Jiwasraya juga tercatat rugi
Rp13,74 triliun per September 2019.
Manajemen lama Jiwasraya, menurut BPK, tak melakukan analisis pembelian dan
penjualan saham atas data yang valid dan objektif. Hal tersebut terlihat dari aset finansial
pada instrumen saham sebanyak 22,4 persen atau senilai Rp5,7 triliun. Dari total tersebut,
hanya 5 persen dana ditempatkan pada saham perusahaan dengan kinerja baik (LQ 45),
sementara sisanya ditempatkan di saham yang berkinerja buruk. Jual-beli saham tersebut
terindikasi dilakukan dengan 'kesepakatan harga', sehingga harga jual beli tidak
mencerminkan harga yang sebenarnya. Dari transaksi tersebut, sejumlah pihak juga dicurigai
menerima fee. Tak hanya itu, aset finansial Jiwasraya pada instrumen reksadana juga tak
mempertimbangkan prinsip kehati-hatian.
Badan Pemeriksa Keuangan ( BPK) akhirnya menjabarkan secara rinci kronologi
kasus yang membelit Jiwasraya hingga berakhir tak mampu membayar polis asuransi (gagal
bayar) JS Savings Plan. Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna menuturkan, penyebab
utama gagal bayarnya Jiwasraya adalah kesalahan mengelola investasi di dalam
perusahaan. Jiwasraya kerap menaruh dana di saham-saham berkinerja buruk. "Saham-
saham yang berisiko ini mengakibatkan negative spread dan menimbulkan tekanan likuiditas
pada PT Asuransi Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar," kata Agung di BPK RI,
Jakarta, Rabu (8/1/2020).
Kasus Jiwasraya disebut-sebut bermula pada 2002. BUMN asuransi itu dikabarkan
sudah mengalami kesulitan. Namun, berdasarkan catatan BPK, Jiwasraya telah
membukukan laba semu sejak 2006. Alih-alih memperbaiki kinerja perusahaan dengan
mempertimbangkan saham berkualitas, Jiwasraya telah mendanai sponsor klub sepak bola
dunia, Manchester City, pada 2014. Kemudian pada tahun 2015, Jiwasraya meluncurkan
produk JS Saving Plan dengan cost of fund yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan
obligasi. Sayangnya, dana tersebut kemudian diinvestasikan pada instrumen saham dan
reksadana yang berkualitas rendah. Pada 2017, Jiwasraya kembali memperoleh opini tidak
wajar dalam laporan keuangannya. Padahal, saat ini Jiwasraya mampu membukukan laba
Rp 360,3 miliar. Opini tidak wajar itu diperoleh akibat adanya kekurangan pencadangan
sebesar Rp 7,7 triliun. "Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya
perusahaan menderita rugi (pada saat itu)," ungkap Agung. Berlanjut ke tahun 2018,
Jiwasraya akhirnya membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 15,3 triliun. Pada
September 2019, kerugian menurun jadi Rp 13,7 triliun. Kemudian pada November 2019,
Jiwasraya mengalami negative equity sebesar Rp 27,2 triliun. Disebutkan sebelumnya,
kerugian itu terutama terjadi karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of
fund tinggi di atas bunga deposito dan obligasi. Apalagi berdasarkan catatan BPK, produk
saving plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi sejak
tahun 2015. BPK akhirnya melakukan investigasi pendahuluan yang dimulai pada 2018.
Hasil investigasi ini menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi fraud
dalam mengelola saving plan dan investasi. Potensi fraud disebabkan oleh aktivitas jual
beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized loss.
Kemudian, pembelian dilakukan dengan negosiasi bersama pihak-pihak tertentu agar bisa
memperoleh harga yang diinginkan.
Atas permintaan dari Komisi XI DPR RI dengan surat Nomor PW/19166/DPR
RI/XI/2019 tanggal 20 November 2019 untuk melakukan PDTT lanjutan atas permasalahan
itu kepada BPK. Kejaksaan Agung juga meminta BPK untuk mengaudit kerugian negara.
Permintaan itu dilayangkan melalui surat tanggal 30 Desember 2019. "Jadi jelas,
penanganan kasus Jiwasraya bukan hanya masuk di ranah audit, tapi juga sudah masuk di
ranah penegakan hukum," tuturnya.
Kasus masih berlanjut, BPK pun saat ini tengah melakukan dua pekerjaan, yaitu
melakukan investigasi untuk memenuhi permintaan DPR dan menindaklanjuti hasil
investigasi pendahuluan. Sekaligus menghitung kerugian negara atas permintaan Kejagung.
BPK dan Kejagung berjanji, dalam kurun waktu dua bulan pihaknya akan mengungkap
pelaku yang terlibat, institusi yang terlibat, dan angka pasti kerugian negara. “ Ini skala
kasus yang sangat besar, memiliki risiko sistemik dan gigantik. Beri kami waktu. Dalam
waktu dua bulan kami bisa segera memberi tahu teman-teman siapa pelakunya dan berapa
kerugian negaranya" tutup Agung.
Pada November 2019, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir
mengaku melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal
itu dilakukan setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang
dinilai tidak transparan. Kementerian BUMN juga mensinyalir investasi Jiwasraya banyak
ditaruh di saham-saham gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar
klaim Asuransi Jiwasraya.Selain Kejagung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga
menaikkan status pemeriksaan dari penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan
korupsi.
Pada Desember 2019: Penyidikan Kejagung terhadap kasus dugaan korupsi Jiwasraya
menyebut ada pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST
Burhanuddin bahkan mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada
aset-aset berisiko, Imbasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau
perkembangan penanganan perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya.
Selain itu, Kejagung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan
HAM mencekal 10 nama yang diduga bertanggung jawab atas kasus Jiwasraya, yaitu: HH,
BT, AS, GLA, ERN, MZ, DW, HR, HP, dan DYA.

Pendapat hukum:
Bahwa berdasarkan artikel mengenai Kasus Asuransi Jiwasraya yang merupakan
salah satu BUMN di Indonesia, dapat terbukti adanya pelanggaran prinsip-prinsip utama
Asuransi yang berlaku oleh oknum / pejabat di Perusahaan BUMN Asuransi tersebut, yaitu :
● Prinsip Utmost good faith
● Proximate cause
● Prinsip jaminan atas kerugian (Indemnity); dan
● Prinsip kepercayaan (Trustfull);
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan pernyataan resmi terkait skandal
Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sejak 2006 disebut semu karena melakukan
rekayasa akuntansi (window dressing). Hasil pemeriksaan BPK akan menjadi dasar bagi
Kejagung mengambil putusan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kondisi
Jiwasraya.
Sebagai suatu Perusahaan BUMN, maka Pihak yang paling dirugikan adalah Negara
sebagai pemilik saham dan Para Nasabah Jiwasraya atas kasus yang terjadi didalam tubuh
perusahaan BUMN a quo. Sehingga terjadi pelanggaran Asas/prinsip kepercayaan publik
terhadap Perusahaan Asuransi Jiwasraya.
Kerugian Materiil yang dialami Negara dan Para Nasabah menunjukkan dan
membuktikan Jiwasraya tidak dapat menjalankan Prinsip jaminan atas kerugian (Indemnity)
bagi para Tertanggung yang merupakan “Nasabah” yang beritikad baik, yang pada dasarnya
telah memberikan kepercayaan atas dana premi yang dibayarkan mereka pada saat
menandatangani kesepakatan dalam perjanjian yang telah dibuat. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 255 KUHD, yang menentukan bahwa pertanggungan harus diadakan secara tertulis
dengan sepucuk akta, yang dinamakan polis. Apabila melihat ketentuan pasal tersebut, polis
merupakan syarat sahnya perjanjian asuransi, padahal polis adalah alat bukti tentang adanya
perjanjian asuransi, karena perjanjian asuransi bersifat konsensuil.
Obyek dalam asuransi kerugian adalah harta kekayaan. Obyek asuransi tersebut harus
jelas dan pasti. Apabila berupa harta kekayaan, harta kekayaan apa berapa jumlahnya dan
ukurannya, dimana letaknya,. apa mereknya, buatan mana, berapa nilainya dan sebagainya.
Prestasi dari suatu perjanjian harus tertentu atau dapat ditentukan. Hal ini obyek yang
diperjanjikan spesifikasinya harus detail dan konkrit. Suatu obyek perikatan harus dapat
ditentukan juga obyeknya diperkenankan dan prestasinya dimungkinkan.6 Dengan adanya
kepercayaan dari pihak penanggung yang diimbangi dengan itikad baik dari tertanggung,
menunjukkan adanya penerapan prinsip kepercayaan dan prinsip itikad baik dalam asuransi
kerugian. Itikad baik tidak saja ada pada tertanggung, tetapi juga ada pada pihak
penanggung karena penanggung sudah menjelaskan luas jaminan yang diberikan kepada
tertanggung, yang semuanya tertuang di dalam polis. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata
menentukan bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Yang di maksud
dengan itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa perjanjian harus
dilaksanakan secara pantas dan patut.
Perjanjian asuransi pada dasarnya adalah perjanjian penggantian kerugian. Tujuan
asuransi adalah memperalihkan risiko tertanggung kepada penanggung. Dengan adanya
perjanjian asuransi ini penanggung mempunyai kewajiban mengganti kerugian tertanggung
dengan imbalan pembayaran premi dari tertanggung. Semuanya tertuang di dalam polis.
Tetapi dalam kasus Jiwasraya, justru bertolak belakang antara harapan Tertanggung dengan
kenyataan.
PT. Asuransi Jiwasraya saat ini tidak dapat menjalankan kewajibannya bahkan tidak
dapat mengembalikan uang “Nasabahnya” akibat masalah intern pengelolaan keuangan yang
tidak mengutamakan prinsip-prinsip kehati-hatian dan segala peraturan yang berlaku.
Norma Pasal 11 UU No 40 tahun 2014 tentang Perasuransian tegas menyatakan
bahwa perusahaan asuransi wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, yang
tentunya dijalankan dengan itikad baik (te goeder trouw). Ketika itu dijalankan sebaliknya,
alias tidak baik dalam ukuran hukum, pertanggungjawaban hukum mesti dijalankan.

Tanggung Jawab Hukum

Pada dasarnya, asuransi yang sehat merupakan asuransi yang mengikuti prinsip dasar
dari asuransi. Prinsip dasar ini menjadi pedoman agar para pelaku dalam asuransi baik pelaku
usaha maupun konsumen dapat beritikad baik.

Salah satu prinsip yang berkaitan dengan kasus ini adalah prinsip ganti rugi. dalam
prinsip ini, Penanggung menyedikan penggantian kerugian untuk kerugian yang nyata yang
diderita tertanggung, dan tidak lebih besar daripada kerugian ini. Batas tertinggi kewajiban
penanggung berdasarkan prinsip ini adalah memulihkan tertanggung pada ekonomi yang
sama dengan posisi sebelum terjadi kerugian.

Jiwasraya merupakan Perseroan terbatas, dan Perseroan Terbatas merupakan suatu


Badan Hukum sehingga sesuai peraturan perundangan merupakan subyek hukum yang mandiri,
sehingga mempunyai hak dan kewajiban hukum secara mandiri. Namun demikian karena
Perseroan Terbatas bukan merupakan subyek hukum alamiah, maka Perseroan Terbatas
membutuhkan “Person” untuk melakukan tindakan-tindakan hukum untuk dan atas nama
Perseroan Terbatas. Pelaksana tindakan hukum ini sesuai dengan Undang Undang Perseroan
Terbatas adalah Direksi yang merupakan alter ego dari Perseroan Terbatas.

Tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh Direksi untuk dan atas nama Perseroan
Terbatas mempunyai tanggung jawab hukum yang harus ditanggung oleh Perseroan Terbatas.
Tanggung jawab hukum ini terdiri dari tanggung jawab secara Perdata dan/atau tanggung jawab
secara Pidana.
Dalam UU 40 tahun 2014, selain direksi dan komisaris, pihak bernama ‘Pengendali’
yang diatur OJK, dapat turut bertanggungjawab atas kerugian usaha asuransi sebagaimana
diatur dalam norma Pasal 15. Oleh karena pengendali turut menentukan direksi dan
komisaris. Keberhasilan tata kelola perusahaan Jiwasraya tidak bisa lepas dari pengawasan
OJK. Lain halnya jika pihak Jiwasraya memberikan laporan, informasi ataupun data tidak
benar kepada OJK, hingga menimbulkan kerugian usaha, direksi maupun komisaris dapat
bertanggungjawab menurut hokum seperti dimaksud dalam Pasal 74 UU 40/2014.

Ketika tata kelola usaha yang dijalankan menimbulkan kerugian, hukum bisa menilai
kerugian tidak melulu pada konteks kerugian negara sepanjang direksi dapat
membuktikannya. Karena usaha Jiwasraya juga tunduk pada UU Perseroan Terbatas No 40
tahun 2007.

Analisis hukumnya bisa saja menggunakan prinsip business judgment rule yang


merupakan prinsip yang muncul dari sistem hukum anglo-saxon sebagai doktrin hukum yang
memberikan perlindungan terhadap direksi dalam menjalankan perannya menjalankan usaha.
Jika tidak, direksi cenderung bermain ‘aman’ dan tidak berani mengambil keputusan jika
memang dimaksudkan untuk tujuan kemajuan dan kepentingan perusahaan.

Ketika aturan main mengacu pada UU Perseroan Terbatas, boleh jadi direksi tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila kerugian bukan karena kesalahannya serta
telah bertindak dengan itikad baik dan hati-hati sesuai maksud dan tujuan perseroan, tidak
ada benturan kepentingan, dan telah bertindak mencegah kerugian (Lihat Pasal 97 ayat 5
UUPT). Namun, norma tersebut seakan tidak berlaku ketika penegak hokum menggunakan
norma UU di luar UU Perseroan. Dan itu akan menjadi dilema hukum dan persoalan
‘kepastian hukum’ bagi direksi.

Begitulah hukum yang mesti menjadi acuan dalam tiap kali kita menilai kasus setiap
badan usaha berbentuk perseroan. Membahas keberadaan dan tanggung jawab direksi yang
diberi kepercayaan sesuai prinsip kepercayaan (fiduciary duty), ruang perlindungan hukum
amat diperlukan bagi direksi. Sebaliknya, jika aktivitas direksi dapat dibuktikan
menyimpang, mau tidak mau harus diper tanggungjawabkan secara hukum.
Terlebih jika direksi melanggar UU Korupsi, maka patut dihukum karena sudah
merugikan banyak pihak dan merusak ekonomi bangsa. Bahwa direksi dibantu oleh unit risk
assessment dan investment assessment harus berpegang pada norma Pasal 92 UU PT untuk
menjalankan urusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan sesuai maksud dan tujuan
Perseroan, adalah benar.

Begitupun dengan komisaris yang dibantu oleh Komite Audit dan Komite Risiko
bertanggung jawab melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, serta memberi nasihat
kepada direksi yang seharusnya semua mekanisme berjalan efektif sesuai rule yang ada.

Anda mungkin juga menyukai