Dalam menentukan spesifikasi sistem pondasi atau bahkan menentukan sistem struktur yang
akan diadopsi maka ada baiknya engineer memahami kondisi lingkungan dimana struktur
tersebut akan dibangun. Ini penting, bagaimanapun yang namanya proyek adalah sangat
spesifik. Pemahaman akan kondisi alam sejak awal akan sangat membantu memilih sistem
struktur juga pondasi yang dapat dipilih.
Untuk struktur yang mencakup suatu lokasi yang relatif kecil (tidak luas) maka data
penyelidikan tanah setempat dan lokasi mungkin sudah mencukupi sebagai gambaran awal
memilih sistem yang dimaksud. Di Kalimantan misalnya, didaerah yang ternyata adalah
tanah gambut, jika disitu akan dibangun gedung misalnya maka faktor berat struktur dan
pondasi dalam tentunya sudah mewarnai strategi perencanaan yang harus dikerjakan.
Sebaiknya dipilih struktur yang relatif ringan, tidak peka terhadap differential settlement dan
tentu saja sistem pondasi dangkal tidak bisa digunakan karena beresiko tinggi terhadap
penurunan tanah jangka panjang.
Jadi kecuali daya dukung pondasi (forces) maka penurunan pondasi (displacement) juga perlu
menjadi patokan dalam memilih sistem pondasi. Pondasi yang masuk dalam kelompok
pondasi dangkal (telapak, footing, cakar ayam, laba-laba, pondasi menerus) beresiko tinggi
terhadap kemungkinan terjadinya penurunan jangka panjang, khususnya jika tanah
dibawahnya mayoritas adalah lempung (clay), kalau pasir (tertentu) perhatikan bisa juga
terjadi efek liquifaction bila ada gempa. Meskipun jelas, pondasi dangkal relatif
pengerjaannya sederhana dan berbiaya ringan dibanding pondasi dalam (bor atau pancang).
Jika ternyata diperlukan sistem pondasi dalam, maka ada beberapa pilihan, untuk gedung
umumnya dua macam saja yaitu pondasi tiang pancang dan tiang bor. Pondasi caisson umum
dipakai untuk jembatan. Jika dari mekanisme pengalihan gaya yang ditinjau maka dari sistem
pondasi dalam tersebut dapat dipisahkan menjadi dua yaitu gaya dari ujung pondasi ditransfer
ke tanah melalui mekanisme friksi (dinding tiang pondasi) dan melalui mekanisme tumpu
(ujung tiang pondasi).
Pekerjaan pondasi umumnya merupakan pekerjaan awal dari suatu proyek. Oleh karena itu
langkah awal adalah dilakukan pemetaan terlebih dahulu. Ini adalah gunanya ilmu ukur
tanah. Umumnya yang ngerjain adalah alumni stm geodesi dan pertanahan. Proses ini
sebaiknya sebelum alat- alat proyek masuk, karena kalau sesudahnya, maka susah untuk
nembak-nya. Dari pemetaan ini maka dapat diperoleh suatu patokan yang tepat antara
koordinat pada gambar kerja dan kondisi lapangan.
Foto 1 : Excavator mempersiapkan areal proyek agar alat-alat berat yang lain bisa masuk.
Pekerjaan pondasi tiang bor memerlukan alat- alat berat pada proyek tersebut. Disebut alatalat berat memang karena bobotnya itu yang berat, makanya manajer proyek harus dapat
memastikan perkerjaan persiapaan apa yang diperlukan agar alat yang berat tersebut dapat
masuk ke areal dengan baik.
Gambar diatas bisa menggambarkan secara skematik alat- alat yang digunakan untuk
mengebor. Dalam prakteknya, mesin bor-nya terpisah sehingga perlu crane atau excavator
tersendiri seperti ini.
Perhatikan mesin bor warna kuning belum dipasangkan dengan mata bornya yang dibawah
itu. Saat ini difoto, alat bor sedang mempersiapkan diri untuk memulai.
Kecuali alat bor dengan crane terpisah, pada proyek tersebut juga dijumpai alat bor yang
terintegrasi dan sangat mobile. Mungkin ini yang lebih modern, tetapi kelihatannya
jangkauan kedalamannya lebih terbatas dibanding yang sistem terpisah. Mungkin juga,
karena diproyek tersebut ada beberapa ukuran diameter tiang bor yang dipakai. Jadi pada
gambar- gambar nanti, fotonya gabungan dari dua alat tersebut.
Pengeboran
Ini merupakan proses awal dimulainya pengerjaan pondasi tiang bor, kedalaman dan diameter
tiang bor menjadi parameter utama dipilihnya alat-alat bor. Juga terdapatnya batuan atau
material dibawah permukaan tanah. Ini perlu diantisipasi sehingga bisa disediakan metode,
dan peralatan yang cocok. Kalau asal ngebor, bisa-bisa mata bor-nya stack di bawah. Biaya
itu. Ini contoh mesin bor dan auger dengan berbagai ukuran siap ngebor.
Setelah casing terpasang, maka pengeboran dapat dilanjutkan. Gambar di atas, mata auger
sudah diganti dng Cleaning Bucket yaitu untuk membuang tanah atau lumpur di dasar lubang.
Jika pekerjaan pengeboran dan pembersihan tanah hasil pengeboran dan akhirnya sudah
menjadi kondisi tanah keras. Maka untuk sistem pondasi Franky Pile maka bagian bawah
pondasi yang bekerja dengan mekanisme bearing dapat dilakukan pembesaran. Untuk itu
dipakai mata bor khusus, Belling Tools sebagai berikut.
Akhirnya setelah beberapa lama dan diperkirakan sudah mencapai kedalaman rencana maka
perlu dipastikan terlebih dahulu apakah kedalaman lubang bor sudah mencukupi, yaitu
melalui pemeriksaan manual.
Perlu juga diperhatikan bahwa tanah hasil pemboran perlu juga dichek dengan data hasil
penyelidikan terdahulu. Apakah jenis tanah adalah sama seperti yang diperkirakan dalam
menentukan kedalaman tiang bor tersebut. Ini perlu karena sampel tanah sebelumnya
umumnya diambil dari satu dua tempat yang dianggap mewakili. Tetapi dengan proses
pengeboran ini maka secara otomatis dapat dilakukan prediksi kondisi tanah secara tepat, satu
persatu pada titik yang dibor. Apabila kedalaman dan juga lubang bor telah siap, maka
selanjutnya adalah penempatan tulangan rebar.
Jika perlu, mungkin karena terlalu dalam maka penulangan harus disambung di lapangan.
Ngangkatnya bertahap.
Pengecoran beton :
Setelah proses pemasangan tulangan baja maka proses selanjutnya adalah pengecoran beton.
Ini merupakan bagian yang paling kritis yang menentukan berfungsi tidaknya suatu pondasi.
Meskipun proses pekerjaan sebelumnya sudah benar, tetapi pada tahapan ini gagal maka
gagal pula pondasi tersebut secara keseluruhan.
Pengecoran disebut gagal jika lubang pondasi tersebut tidak terisi benar dengan beton,
misalnya ada yang bercampur dengan galian tanah atau segresi dengan air, tanah longsor
sehingga beton mengisi bagian yang tidak tepat.
Adanya air pada lobang bor menyebabkan pengecoran memerlukan alat bantu khusus, yaitu
pipa tremi. Pipa tersebut mempunyai panjang yang sama atau lebih besar dengan kedalaman
lubang yang dibor.
Cukup panjang. Inilah yang disebut pipa tremi. Foto ini cukup menarik karena bisa
mengambil gambar mulai dari ujung bawah sampai ujung atas. Ujung di bagian bawah agak
khusus, tidak berlubang biasa tetapi ada detail khusus sehingga lumpur tidak masuk kedalam
tetapi beton di dalam pipa bisa mendorong keluar.
Yang teronggok di bawah adalah corong beton yang akan dipasang di ujung atas pipa tremi,
tempat memasukkan beton segar. Yang di bawah ini pekerjaan pengecoran pondasi tiang bor
di bagian lain, terlihat mesin bor (warna kuning) yang difungsikan crane-nya (mata bor nya
nggak dipasang, mesin bor non-aktif).
Posisi sama seperti yang diatas, yaitu pipa tremi siap dimasukkan dalam lobang bor.
Pipa tremi sudah berhasil dimasukkan ke lubang bor. Perhatikan ujung atas yang ditahan
sedemikian sehingga posisinya terkontrol (dipegang) dan tidak jatuh. Corong beton dipasang.
Pada kondisi pipa seperti ini maka pengecoran beton siap. Truk readymix siap mendekat.
Pada tahap pengecoran pertama kali, truk readymixed dapat menuangkan langsung ke corong
pipa tremi seperti kasus di atas. Pada tahap ini, mulailah pengalaman seorang supervisor
menentukan.Kenapa ?
Karena pipa tremi tadi perlu dicabut lagi. Jadi kalau beton yang dituang terlalu banyak maka
jelas mencabut pipa yang tertanam menjadi susah. Sedangkan jika terlalu dini mencabut pipa
tremi, sedangkan beton pada bagian bawah belum terkonsolidasi dengan baik, maka bisa-bisa
terjadi segresi, tercampur dengan tanah. Padahal proses itu semua kejadiannya di bawah, di
dalam lobang, nggak kelihatan sama sekali. Jadi pengalaman supervisi atau operator yang
mengangkat pipa tadi memegang peran sangat penting. Enjinir baru lulus pasti kesulitan
mengerjakan hal tersebut. Pada kasus ini, tidak hanya teori, lha itu seninya di lapangan. Perlu
feeling yang tepat. Ingat kalau salah, pondasi gagal, cost-nya besar lho.
Jangan sepelekan aba-aba seperti di atas. Belum tentu seorang sarjana teknik sipil yang baru
lulus dengan IP 4.0 bisa mengangkat tangan ke atas secara tepat. Karena untuk itu perlu
pengalaman. Jadi menjadi seorang engineer tidak cukup hanya ijazah sekolah formil, perlu
yang lain yaitu pengalaman yang membentuk mental engineer yang handal.
Jika beton yang di cor sudah semakin ke atas (volumenya semakin banyak) maka pipa tremi
harus mulai ditarik ke atas. Perhatikan bagian pipa tremi yang basah dan kering. Untuk kasus
ini karena pengecoran beton masih diteruskan maka diperlukan bucket karena beton tidak
bisa langsung dituang ke corong pipa tremi tersebut.
Adanya pipa tremi tersebut menyebabkan beton dapat disalurkan ke dasar lubang langsung
dan tanpa mengalami pencampuran dengan air atau lumpur. Karena BJ beton lebih besar dari
BJ lumpur maka beton makin lama-makin kuat untuk mendesak lumpur naik ke atas. Jadi
pada tahapan ini tidak perlu takut dengan air atau lumpur sehingga perlu dewatering segala.
Gambar foto di atas menunjukkan air / lumpur mulai terdorong ke atas, lubang mulai
digantikan dengan beton segar tadi.
Proses pengecoran ini memerlukan supply beton yang continuous, bayangkan saja bila ada
keterlambatan beberapa jam. Jika sampai terjadi setting maka pipa treminya bisa tertanam lho
dibawah dan nggak bisa dicabut. Sedangkan kalau keburu di cabut maka tiang beton bisa
tidak continue. Jadi bagian logistik / pengadaan beton harus memperhatikan itu.
Jika pengerjaan pengecoran dapat berlangsung dengan baik, maka pada akhirnya beton dapat
muncul dari kedalaman lobang. Jadi pemasangan tremi mensyaratkan bahwa selama
pengecoran dan penarikan maka pipa tremi tersebut harus selalu tertanam pada beton segar.
Jadi kondisi tersebut fungsinya sebagai penyumbat atau penahan agar tidak terjadi segresi
atau kecampuran dengan lumpur.
Sampai tahap ini pekerjaan tiang bor selesai.
Pada bangunan tinggi, umumnya digunakan pondasi dalam, baik berupa tiang pancang
maupun tiang bor. Disamping itu, sering kali digunakan pondasi rakit (basement) yang
kadang juga diperkuat lagi dengan pondasi tiang pancang. Pondasi tiang ini dapat berupa :
Frankie Pile, Baja profil H, dan Pipa baja. Namun yang paling sering diguakan adalah tiang
pancang beton bertulang, pipa beton prategang, dan pondasi bor (dengan atau tanpa selubung
casing).
Untuk perencanaan pondasi ini, perlu dilakukan penyelidikan tanah, terutama sondir untuk
mendapatkan nilai konus (qc) dan JHP (Jumlah Hambatan Pelekat = ) Nilai qc dan ini
untuk mengitung kapasitas daya dukung satu tiang.
Pada pondasi tiang pancang ini, dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
1. Point Bearing Pile (pondasi yang bertumpu pada lapisan taah keras)
Pada kondisi ini, tiang dianggap bertumpu pada lapisan keras dengan nilai qc = 200 kg/cm2
2. Friction Pile (pondasi yang mengandalkan lekatan tanah)
Mengingat lapisan tanah keras berada jauh di dalam tanah, maka daya dukung tiang pancang
dihitung berdasarkan rumus :
Ptiang = (A.qc)/3 + (O..qc)/3
Dimana:
A adalah luas penampang tiang
Qc adalah tegangan konus tanah keras (qc = 200 kg/cm2)
O adalah keliling penampang tiang
adalah Jumlah Hambatan Pelekat ( = 0,2 kg/cm2)
Di atas pondasi tiang, diberikan poer atau plat pengikat (pile cap). Ketebalan poer ini
diperhitungkan berdasarkan tegangan pons :
pons = (P kolom)/(a+b+2t)2t untuk kolom persegi
pons = (P kolom)/(2r +t)t untuk kolom lingkaran
Bangunan tinggi yang menggunakan pondasi rakit berupa basement, daya dukung
pondasinya dihitung berdasarkan :
Prakit = WG + Wpondasi
Dimana WG adalah berat bangunan
Wpondasi adalah berat pondasi rakit
Jika pondasi bangunan merupakan gabungan antara pondasi rakit dan pondasi tiang, maka
jumlah tiang pancang yang diperlukan adalah :
n = (Wg-P rakit)/(P tiang)
Dimana :
Wg adalah berat bangunan
Prakit adalah daya dukung pondasi rakit
Ptiang adalah daya pikul satu pondasi tiang
Pertama tim surveyor menentukan titik-titik dimana tiang pancang akan diletakkan,
penentuan ini harus sesuai dengan gambar konstruksi yang telah ditentukan oleh perencana.
Jika sudah fix titik mana yang akan dipancang, nah sampai saat itu, pekerjaan tiang pancang
sudah bisa dilakukan.
Peralatan dan Bahan yang harus disiapkan untuk pekerjaan tiang pancang antara lain Pile
(tiang pancang), Alat Pancang (dapat berupa diesel hammer atau Hydrolic Hammer), Service
Crane.
Proses pengangkatan tiang pancang dari tempat tiang pancang untuk dipasangkan ke alat
pancang menggunakan service crane. Dengan Service crane tiang dipasangkan ke alat
pemancang dimana biasa alat pemancang sudah berada tepat diarea titik pancang.
Setelah Pile Terpasang dan posisi alat sudah berada pada titik pemancangan, maka
pemancangan siap dilakukan. Alat pancang yang digunakan dapat berbeda - beda jenisnya.
Seperti Diesel Hammer atau Hydraulic Hammer. Beda keduanya adalah Diesel Hammer
bersifat memukul sehingga pasti terdengan suara bising.. dueng..duengg..dueng... dan
terkadang meminbulkan getaran, getaran ini dapat mengakibatkan bangunan disekitar
menjadi retak jika jarang antara bangunan dan daerah pemancangan terlalu dekat, sementara
itu hydraulic hammer bersifat menekan, jadi pengaruh suara dan getaran relatif kecil.
Bedanya yang lain adalah penggunaan Hydraulic hammer lebih mahal. Proses pemancangan
dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Pemancangan dihentikan jika sampai mencapai tanah keras, indikasi jika pemancangan sudah
mencapai tanah keras adalah palu dari hammer sudah mental tinggi, biasanya dalam tiap alat
pancang sudah ada ukurannya, jika sudah pada posisi seperti itu maka segera dilakukan
pembacaan kalendering.
Pembacaan ini dilakukan pada alat pancang sewaktu memancang. Jika dari bacaan tinggi
bacaan sudah bernilai 1 cm atau lebih kecil, maka pemancangan sudah siap dihentikan. Itu
artinya tiang sudah menencapai titik tanah keras, tanah keras itulah yang menyebabkan
bacaan kalenderingnya kecil yaitu 1 cm atau kurang. Jika diteruskan dikhawatirkan akan
terjadi kerusakan pada tiang pancang itu sendiri seperti pada topi tiang pancang atau badan
tiang pancang itu sendiri. Pembacaan 1 kalendering dilakukan dengan 10 pukulan.