NIM
: 1306205008
Nomor
: 02
barang. Makin banyak tenaga kerja yang digunakan akan makin tinggi nilai
barang tersebut (labor theory of value).
2.2.2. Kemanfaatan Relatif (Comparative Advantage: J. S. Mill)
Teori ini menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan
kemudian mengekspor suatu barang yang memiliki comparative advantage
terbesar dan mengimpor baran yang memiliki comparative disadvantage,
yaitu suatu barang yang dapat dihasilkan dengan lebih murah dan
mengimpor barang yang kalau dihasilkan sendiri memakan ongkos yang
besar. Semakin banyak tenaga yang dicurahkan untuk memproduksi suatu
barang, makin mahal barang tersebut.
2.2.3. Biaya Relatif (Comparative Cost: David Ricardo)
Titik pangkal teori Ricardo tentang perdagangan internasional adalah
teorinya tentang nilai/value. Menurutnya nilai/value sesuatu barang
tergantung dari banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk
memproduksi barang tersebut (labor cost value theory).
Perdagangan antar negara akan timbul apabila masing-masing negara
memiliki comparative cost yang terkecil.
Dengan demikian prinsip comparative cost Ricardo dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Jika a1 dan b1 adalah unit labor cost untuk produksi barang A dan B di
negara 1, dan a2 dan b2 adalah unit labor cost di negara II, maka negara I
akan mengekspor barang A dan impor barang B jika:
a1 / b1 < a2 / b2 atau
a1 / b1 < b1 / b2
Artinya sebelum berdagang barang A relatif lebih murah di negara I dan
barang B lebih murah di negara II.
2.2.4. Kelemahan Teori Klasik
Teori klasik menjelaskan bahwa keuntungan dari perdagangan
internasional itu timbul karena adanya comparative advantage yang
berbeda antara dua negara. Teori nilai tenaga kerja menjelaskan mengapa
terdapat perbedaan dalam comparative advantage itu karena adanya
perbedaan di dalam fungsi produksi antara dua negara atau lebih. Syarat
macam
barang
tersebut
(digambarkan
dengan
production
tarif. Struktur tarif di Amerika cenderung bias memberikan proteksi pada barang
padat tenaga kerja sehingga impornya cenderung pada barang padat modal.
Paradox itu, menurut beberapa ahli lainnya, timbul karena faktor sumberdaya
alam (natural resources) diabaikan. Amerika relatif sedikit memiliki sumber daya
alam dan produksi sumber daya alam ini bersifat padat modal.
Penjelasan lain tentang Leontief paradox ini lebih menekankan pada pentingnya
faktor selera. Rakyat Amerika mempunyai selera tinggi pada barang yang padat
modal sehingga mereka cenderung mengimpor dari negara lain.
Paradox Leontief dapat pula dijelaskan dengan apa yang disebut dengan
pembalikan intensitas faktor produksi (factor intensity reversals). Faktor intensity
reversals terjadi apabila kurva intensitas penggunaan tenaga kerja barang X dan Y
saling berpotongan. Syarat lain adalah proporsi pemilikan faktor produksi (factor
proportions) di kedua negara sedemikian rupa sehingga untuk barang yang sama
(misalnya barang Y) merupakan barang padat modal di negara A tetapi padat teaga
kerja di negara B. Paradox Leontied akan terlihat pada salah satu negara.
2.5. Alternatif Teori
Beberapa alternatif teori yang mencoba menjelaskan komposisi/struktur barang
yang diperdagangkan muncul, diantaranya:
a.
b.
Skala ekonomis (economies of scale). Menurut teori ini suatu negara yang pasar
dalam negerinya luas cenderung mengekspor barang yang dapat dihasilkan
dengan biaya rata-rata menurun dengan makin besarnya skala perusaan
(economies of scale). Sebaliknya suatu negara kecil di mana pasar dalam
negerinya sempit cenderung mengekspor barang yang tidak memenuhi syarat
skala perusahaan yang ekonomis.
c.
Kemajuan teknologi.
d.
Product cycle. Teori ini menekankan pada standarisasi produk. Dengan semakin
luasnya pasar serta makin berkembangnya teknologi proses produksi maka
produk maupun proses produksi semakin distandardisir, bahkan mungkin
nantinya secara internasional ditentukan standarnya.