Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN PBL SISTEM IMUNOLOGI

MODUL DASAR

Anggota :
1. Azka Faza Fadhila
(2011730126)
2. Dimas Hervian Putera
(2011730129)
3. Fikri Idul Haq
(2011730132)
4. Ghisqy Arsy Mulki
(2011730136)
5. Lia Dafia
(2011730148)
6. Mahasti Andrarini
(2011730154)
7. Nindya Adeline
(2011730156)
8. Rezky Pratama
(2011730159)
9. Setiani Imaningtias
(2011730162)
10. Vera Vezha
(2011730166)
Tutor: Dr. Sugiarto, Sp. PA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN AJARAN 2011/2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kapi panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya pada kelompok kami, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
PBL (Problem Based Learning) Sistem Imunologi modul dasar ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhamma SAW, keluarga serta
pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.
Laporan ini kami buat dengan tujuan untuk memenuhi tugas yang wajib dilakukan
setelah selesai membahas kasus PBL. Pembuatan laporan ini pun bertujuan agar kita bisa
mengetahui serta memahami dasar imunologi.Terimakasih kami ucapkan kepada tutor kami
Dr. Sugiarto yang telah membantu kami dalam kelancaran pembuatan laporan ini.
Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam mencari informasi,
mengumpulkan data, dan menyelesaikan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kelompok kami pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.
Laporan kami bukanlah laporan yang sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca sangatlah kami harapkan untuk menambah kesempurnaan
laporan kami.

Jakarta, Mei 2012

Tim Penyusun

I.

SKENARIO

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun dibawa ke dokter dengan


keluhan demam sejak 5 hari yang lalu, disertai batuk pilek sejak 1
minggu. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium, ditemukan
kadar leukosit 4000/mm3, trombosit 130.000/mm3dan CRP
meningkat.
II.

KATA SULIT
CRP
: C-Reactive Protein protein yang dihasilkan oleh hati
pada proses
kerusakan jaringan dan peradangan.

III.

KATA/KALIMAT KUNCI
1. Anak laki-laki 5 tahun
2. Demam sejak 5 hari
3. Batuk Pilek sejak 1 minggu
4. Pem

Laboratorium:
(Leukosit:
3
130.000/mm , CRP meningkat)

IV.

4000/mm3,

Trombosit

AKAR MASALAH

BatukPilek

Anak 5 tahun

Pem
Pem Laboratorium:
Laboratorium:
Leukosit
Leukosit 4000/mm3
4000/mm3
Trombosit
Trombosit
130.000/mm3
130.000/mm3
CRP
CRP meningkat
meningkat

V. PERTANYAAN

Demam

1. Sebutkan dan jelaskan sistem oragn yang berperan dalam sistem


imun pada skenario !
2. Apa saja unsur atau komponen sel yang berperan pada sistem
imun ?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi imunitas seseorang ?
4. Apa saja macam sistem imun & bagaimana mekanisme sistem imun
tubuh terhadap masuknya antigen ?
5. Apa saja fungsi sistem imun?
6. Bagaimana pengaruh sistem imun terhadap proses
skenario ?

inflamasi

7. Apa saja yang diperlukan untuk memaksimalkan pertahanan sistem


imun ?
8. Bagaimana proses pembentukan antibodi beserta klasifikasinya ?
9. Sebutkan patomekanisme gangguan yang berhubungan dengan
sistem imun sesuai skenario : a. Demam b. Batuk c Pilek !
10.
leukosit, limfosit, trombosit, & CRP ?

Berapa

kadar

normal

a. Apa yang mempengaruhi perubahan nilai normal dari leukosit,


limfosit, trombosit, & CRP jika kadar tersebut berubah ?
b. Apa yang terjadi jika kadar leukosit, limfosit, trombosit, & CRP
berubah ?
11.
Pemeriksaan
yang dilakukan jika mengalami gangguan sistem imun ?

penunjang

VI. JAWABAN
1. Nama : Fikri Idul Haq (2011730132)
Organ-organ yang terlibat dalam sistem imun.

Organ-organ dalam sistem imun dibedakan menjadi 2 golongan


berdasarkan fungsinya dlm sistem imun :
a. Jaringan limfoid primer
Jaringan limfoid primer berfungsi sebagai tempat diferensiasi
limfosit yang berasal dari jaringan myeloid. Terdapat dua jaringan limfoid
primer , yaitu kelenjar thymus yang merupakan diferensiasi limfosit T dan
sumsum tulang (Bone Marrow) yang merupakan diferensiasi limfosit B.
Jaringan limfoid primer mengandung banyak sel-sel limfoid diantara
sedikit sel makrofag dalam anyaman sel stelat yang berfungsi sebagai
stroma dan jarang ditemukan serabut retikuler.

b. Jaringan limfoid sekunder


Jaringan limfoid sekunder berfungsi sebagai tempat menampung
sel-sel limfosit yang telah mengalami diferensiasi dalam jaringan sentral
menjadi sel-sel yang imunokompeten yang berfungsi sebagai komponen
imunitas tubuh. Jaringan limfoid yang terdapat dalam tubuh sebagian
besar tergolong dalam jaringan ini, contohnya nodus lymphaticus, limfa
(Spleen) dan tonsilla.
2. Nama: Rezky Pratama (2011730159)

Komponen Sistem Imun


I. IMUNITAS BAWAAN
INTERFERON kelompok protein yang di produksi dengan cepat oleh
sejumlah besar sel sebagai respon terhadap infeksi virus, yang
menghambat replikasi virus dalam sel yang terinfeksi dan sekitarnya.
Interferon juga berperan penting dalam komunikasi antara sel imun.
DEFENSIN peptida antimikroba, terutama penting pada perlindungan
awal paru dan saluran cerna terhadap bakteri.
LISOSIM (Muramidase) enzim yang disekresikan oleh makrofag yang
menyerang dinding sel beberapa bakteri
KOMPLEMEN sekumpulan protein yang ada dalam serum, yang jika
teraktivasi akan menimbulkan efek inflamasi yang meluas, yang disertai
juga dengan lisis bakteri, dsb.
LISIS Kebocoran kandungan sel secara irreversibel akibat kerusakan
membran. jika ini terjadi pada bakteri, akan berakibat fatal untuk mikroba
tersebut
SEL MAST Sel jaringan besar yang melepaskan mediator inflamasi saat
rusak, dan juga dalam pengaruh antibodi. dengan meningkatkan
permeabilitas vaskular, inflamasi memungkinkan komplemen dan sel
masuk ke dalam jaringan dari darah.
PMN Leukosit Polimorfonuklear (80% dari sel darah putih dalam darah
manusia), merupakan sel darah 'pemburu' berusia singkat dengan granul
yang mengandung enzim pembunuh bakteri yang aktif.

MAC Makrofag, suatu sel jaringan besar yang berperan membuang


jaringan yang rusak, sel, bakteri dll. Baik PMN maupun makrofag berasal
dari sumsum tulang, dan karena itu disebut sel mieloid
DC (Dendritic cell) Sel dendrit menyajikan antigen ke sel T , sehingga
mengawali seluruh respon imun yang tergantung sel T. Bedakan dengan
sel dendrit folikular yang menyimpan antigen untuk sel B.
FAGOSITOSIS (Makan sel) Proses ditelannya partikel oleh sel. Makrofag
dan PMN merupakan sel fagosit terpenting. Mayoritas benda asing yang
masuk ke dalam jaringan dihilangkan seluruhnya melalui mekanisme ini.
SITOKSISITAS Makrofag dapat membunuh beberapa beberapa target
(mungkin termasuk sel tumor) tanpa memfagositosit target tersebut dan
terdapat beberapa sel lain yang memiliki sitotoksis.
SEL NK (NATURAL KILLER) Sel mirip limfosit yang mampu membunuh
beberapa target, khususnya sel yang terinfeksi virus dan sel tumor, tetapi
tanpa reseptor atau karakteristik spesifik dari limfosit sejati.
II. IMUNITAS ADAPTIF
ANTIGEN, istilah antigen mengandung
dua arti antara lain
Menggambarkan molekul yang memacu respon imun (juga disebut
imunogen) dan Menunjukan molekul yang dapat bereaksi dengan Antibodi
atau sel T yang sudah disensitasi.
ANTIBODI, fraksi utama dari protein serum, sering kali disebut
Imunoglobulin. Antibodi terbuat dari sekumpulan protein yang sangat
mirip, setiap protein ini mampu berikatan secara spesifik dengan sejumlah
antigen yang sedikit berbeda, dengan spesifisitas yang berlainan untuk
setiap antigen . Antibodi dapat berikatan dengan dan menetralisaso toksin
bakteri dan beberapa virus secara langsung, tetapi antibodi juga bekerja
dengan cara opsonisasi fan mengaktivasi komplemen pada permukaan
patogen yang menyerang.
LIMFOSIT, Sel kecil yang ditemukan dalam darah, dimana sel tersebut
bersikulasi ke jaringan dan kembali melalui limfe, 'berpatroli' di seluruh
tubuh untuk mencari benda asing. Kemampuan limfosit untuk mengenali
masing-masing antigen melalui reseptor permukaan khusus dan
membelah diri menjadi sejumlah sel dengan spesifisitas yang identik dan
masa hidup yang panjang menjadikan limfosit sel yang ideal untuk respon
adatif
B limfosit yang menghasilkan antibody,merupakan elemen humoral
imunitas adatif

T limfosit (berasal dari timus) selanjutnya terbagi menjadi subpopulasi


yang
membantu
limfosit
B
membunuh
sel
yang
terinfeksi
virus,mengaktivasi makrofag dan memacu inflamasi.

A. IMUNOGLOBULIN
Imunoglobulin merupakan substansi pertama yang diidentifikasi
sebagai molekul dalam serum yang mampu menetralkan sejumlah
mikroorganisme penyebab infeksi.Molekul ini disintesis oleh sel B
dalam 2 bentuk yang berbeda, yaitu sebagai reseptor permukaan
(untuk mengikat antigen), dan sebagai antibody yang disekresikan
kedalam cairan ekstraselular.Antibodi yang disekresikan dapat
berfungsi sebagai adaptor yang mengikat antigen melalui bindingsites-nya yang spesifik; sekaligus merupakan merupakan jembatan
yang menghubungkan antigen denagn sel-sel system imun atau
mengaktivasi komlemen. Immunoglobulin (Ig) terdiri atas molekulmolekul protein yang, walaupun satu dengan yang lain memiliki
banyak persamaan dalam hal struktur dan sifat biologic, berbeda
dengan susunan asam amino yang membentuk molekul, sesuai
kelas dan fungsinya.
Immunoglobulin merupakan molekul glikoprotein yang terdiri atas
komponen
polipeptida
sebanyak
82-96%
dan
selebihnya
karbohidrat.Fungsinya, yang utama dalam respons imun adalah
meningkat dan menghancurkan antigen, namun demikian
pengikatan antigen tersebutkurang memberikan dampak yang
nyata kalau tidak disertai fungsi efektor sekunder.Fungsi efektor
sekunder yang penting adalah memacu aktivasi komplemen,
dismping itu merangsang penglepasan histamine oleh basophil atau
mastosit dalam reaksi hipersensitivitas tipe segera.
Hingga sekarang dikenal 5 kelas utama immunoglobulin dalam
serum manusia, yaitu
1. IgG
IgG merupakan immunoglobulin utama yang dibentuk atas
rangsangan antigen. IgG dapat menembus plasenta dan dapat
meningkatkan komplemen. Struktur IgG terdiri dari 4 rantai
polipeptida.2 rantai berat yang disebut rantai gamma dan 2
rantai ringan yang disebut rantai kappa atau rantai lambda.
2. IgA
IgA berfungsi dalam cairan sekresi dan diproduksi dalam jumlah
besar oleh sel plasma dalam jaringan limfoid yang terdapat
sepanjang saluran cerna, saluran nafas, dan saluran orugenital
dalam bentuk dimer.IgA di jumpai pada darah, saliva, air mata,
kolostrum dan juga dalam secret bronkus, vagina dan prostat.IgA
terdiri atas 2 rantai berat yang disebut rantai alfa dan 2 rantai
ringan yang disebut rantai kappa atau rantai lambda.IgA
sekretorik merupakan 2 unit IgA yang dihubungkan dengan suatu
polipeptida yang disebut rantai J.

3. IgM
Terdiri atas 5 unit immunoglobulin.Tiap unit terdiri dari 2 rantai
berat yang disebut rantai mikro dan 2 rantai ringan yang disebut
rantai kappa atau rantai lambda.IgM adalah immunoglobulin
yang pertama kali beraksi pada saat terjadi inflamasi akut.Selain
itu IgM juga tidak dapat menembus plasenta.
4. IgD
IgD merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum
hanya sedikit tetapi konsentrasinya dalam darah tali pusat cukup
tinggi. Salah satu sifat IgD yang berbeda dengan immunoglobulin
yang lain adalah bahwa IgD lebih lentur dibandingkan dengan
immunoglobulin lain karena mempunyai bagian engsel yang lebih
panjang sehingga dapat melakukan ikat-silang dengan antigen
polivalen secara tidak efesien.
5. IgE
IgE salah satu sifat terpentingnya adalah kemampuannya
melekat secara erat pada permukaan mestosit atau basophil
melalui reseptor Fc. Selain itu IgE juga dijumpai dalam cairan
sekresi.IgE kadarnya dalam darah sedikit.Kadar IgE terdiri atas 2
rantai berat yang disebut epsilon dan 2 rantai ringan yang
disebut rantai kappa dan rantai lambda.Fungsi IgE mengikat
allergen melekat pada permukaan sel Mast
3. Nama : Azka Faza Fadhila (2011730126)

Faktor yang mempengaruhi perubahan imunitas seseorang.


AGING
Penuaan (aging) dikaitkan dengan sejumlah besar perubahan fungsi
imunitas tubuh, terutama penurunan Cell Mediated Immunity (CMI) atau
imunitas yang diperantarai sel. Kemampuan imunitas kelompok lanjut usia
menurun sesuai peningkatan usia termasuk kecepatan respons imun
melawan infeksi penyakit. Hal itu berarti bahwa kelompok lansia beresiko
tinggi terserang penyakit seperti infeksi, kanker, jantung koroner, kelainan
autoimmun atau penyakit kronik lainnya. Seluruh penyakit ini mudah
terjadi pada lansia karena produksi imunoglobulin menurun. Akibatnya
vaksinasi yang diberikan pada kelompok orang tua seringkali tidak efektif
melawan

penyakit.

Orang-orang

tua

yang

umumnya

menderita

kekurangan gizi makro dan mikro akan memiliki respons sistem dan fungsi

imun yang rendah. Oleh karena itu, kasus malnutrisi pada lansia
seharusnya memiliki perhatian khusus secara dini, termasuk pemberian
vaksinasi untuk pencegahan penyakit. Penyakit infeksi yang dialami oleh
lansia dapat dicegah atau diturunkan melalui upaya-upaya perbaikan gizi
karena sistem imun akan meningkat. Jika fungsi imun lansia dapat
ditingkatkan,

maka

kualitas

hidup

individu

meningkat

dan

biaya

pelayanan kesehatan dapat ditekan.


Pengaruh Aging terhadap Perubahan Sistem Imun Tubuh
Sistem imunitas tubuh memiliki fungsi yaitu membantu perbaikan DNA
manusia; mencegah infeksi yang disebabkan oleh jamur, bakteri, virus,
dan organisme lain; serta menghasilkan antibodi (sejenis protein yang
disebut imunoglobulin) untuk memerangi serangan bakteri dan virus asing
ke dalam tubuh. Tugas sistem imun adalah mencari dan merusak invader
(penyerbu) yang membahayakan tubuh manusia.
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai
umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk
kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti
manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua
maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker,
kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh
perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejalagejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu,
produksi immunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga
berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok
lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah
tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing
yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam
tubuhnya sendiri.
Salah satu perubahan besar yang terjadi seiring pertambahan usia adalah
proses thymic involution 3. Thymus yang terletak di atas jantung di
belakang tulang dada adalah organ tempat sel T menjadi matang. Sel T

sangat penting sebagai limfosit untuk membunuh bakteri dan membantu


tipe sel lain dalam sistem imun. Seiring perjalanan usia, maka banyak sel
T atau limfosit T kehilangan fungsi dan kemampuannya melawan
penyakit. Volume jaringan timus kurang dari 5% daripada saat lahir. Saat
itu tubuh mengandung jumlah sel T yang lebih rendah dibandingkan
sebelumnya (saat usia muda), dan juga tubuh kurang mampu mengontrol
penyakit dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Jika hal ini
terjadi, maka dapat mengarah pada penyakit autoimun yaitu sistem imun
tidak dapat mengidentifikasi dan melawan kanker atau sel-sel jahat. Inilah
alasan mengapa resiko penyakit kanker meningkat sejalan dengan usia.
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu
bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit
pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang
penting bagi tubuh untuk menghasilkan antibodi melawan infeksi. Secara
umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi
limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki
jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan
usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya
tubuh terhadap serangan penyakit.
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun.
Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang
efektif daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika
antibody dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan
lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda
termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap
infeksi daripada kelompok dewasa tua. Di samping itu, kelompok dewasa
tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung menghasilkan
autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan
mengarah

pada

penyakit

autoimmune.

Autoantibodi

adalah

factor

penyebab rheumatoid arthritis dan atherosklerosis. Hilangnya efektivitas


sistem imun pada orang tua biasanya disebabkan oleh perubahan
kompartemen sel T yang terjadi sebagai hasil involusi timus untuk

menghasilkan

interleukin

10

(IL-10).

Perubahan

substansial

pada

fungsional dan fenotip profil sel T dilaporkan sesuai dengan peningkatan


usia.
Fenotip resiko imun dikenalkan oleh Dr. Anders Wikby yang melaksanakan
suatu studi imunologi longitudinal untuk mengembangkan faktor-faktor
prediktif bagi usia lanjut. Fenotip resiko imun ditandai dengan ratio
CD4:CD8 < 1, lemahnya proliferasi sel T in vitro, peningkatan jumlah selsel CD8+CD28-, sedikitnya jumlah sel B, dan keberadaan sel-sel CD8T
adalah CMV (Cytomegalovirus). Efek infeksi CMV pada sistem imun lansia
juga didiskusikan oleh Prof. Paul Moss dengan sel T clonal expansion
(CD8T)
Secara khusus jumlah sel CD8 T berkurang pada usia lanjut. Sel CD8 T
mempunyai 2 fungsi yaitu: untuk mengenali dan merusak sel yang
terinfeksi atau sel abnormal, serta untuk menekan aktivitas sel darah
putih lain dalam rangka perlindungan jaringan normal. Para ahli percaya
bahwa tubuh akan meningkatkan produksi berbagai jenis sel CD8 T
sejalan dengan bertambahnya usia. Sel ini disebut TCE (T cell clonal
expansion) yang kurang efektif dalam melawan penyakit. TCE mampu
berakumulasi secara cepat karena memiliki rentang hidup yang panjang
dan dapat mencegah hilangnya populasi TCE secara normal dalam
organisme. Sel-sel TCE dapat tumbuh lebih banyak 80% dari total populasi
CD8. Perbanyakan populasi sel TCE memakan ruang lebih banyak
daripada sel lainnya, yang ditunjukkan dengan penurunan efektifitas
sistem imunitas dalam memerangi bakteri patogen. Hal itu telah
dibuktikan dengan suatu studi yang dilakukan terhadap tikus karena
hewan ini memiliki fungsi sistem imunitas mirip manusia. Ilmuwan
menemukan tifus berusia lanjut mempunyai tingkat TCE lebih besar
daripada tikus normal, populasi sel CD8 T yang kurang beragam, dan
penurunan kemampuan melawan penyakit. Peningkatan sel TCE pada
tikus

normal

menggambarkan

berkurangnya

kemampuan

melawan

penyakit. Ilmuwan menyimpulkan bahwa jika produksi TCE dapat ditekan

pada saat terjadi proses penuaan, maka efektifitas sistem imunitas tubuh
dapat ditingkatkan dan kemampuan melawan penyakit lebih baik lagi.
Aging juga mempengaruhi aktivitas leukosit termasuk makrofag, monosit,
neutrofil, dan eosinofil. Namun hanya sedikit data yang tersedia
menjelaskan efek penuaan terhadap sel-sel tersebut.
Jumlah dan Sub-populasi Limfosit
Aging mempengaruhi fungsi sel T dengan berbagai cara. Beberapa sel T
ditemukan dalam thymus dan sirkulasi darah yang disebut dengan sel T
memori dan sel T naive. Sel T naive adalah sel T yang tidak bergerak/diam
dan tidak pernah terpapard engan antigen asing, sedangkan sel T memori
adalah sel aktif yang terpapar dengan antigen.
Saat antigen masuk, maka sel T naive

menjadi aktif dan merangsang

sistem imun untuk menghilangkan antigen asing dari dalam tubuh,


selanjutnya merubah diri menjadi sel T memori. Sel T memori menjadi
tidak aktif dan dapat aktif kembali jika menghadapi antigen yang sama.
Pada kelompok usila, hampir tidak ada sel T naive sejak menurunnya
produksi sel T oleh kelenjar timus secara cepat sesuai usia. Akibatnya
cadangan sel T naive menipis dan sistem imun tidak dapat berespons
secepat respons kelompok usia muda. Jumlah sel B, sel T helper (CD4+)
juga berubah pada orang tua.
Selain terjadi perubahan jumlah sel T, pada kelompok usila juga
mengalami perubahan permukaan sel T. Ketika sel T menggunakan
reseptor protein di permukaan sel lalu berikatan dengan antigen, maka
rangsangan lingkungan harus dikomukasikan dengan bagian dalam sel T.
Banyak molekul terlibat dalam transduksi signal, proses perpindahan
ikatan signal-antigen melalui membran sel menuju sel. Sel T yang berusia
tua tidak menunjukkan antigen CD28, suatu molekul penting bagi
transduksi signal dan aktivasi sel T. Tanpa CD28, sel T tidak berespons
terhadapnya masuknya patogen asing. Pada tubuh kelompok elderly juga
terdapat kandungan antigen CD69 yang lebih rendah. Sel T dapat
menginduksi antigen CD69 setelah berikatan dengan reseptor sel T. Bila

ikatan signal-antigen tidak dipindahkan ke bagian dalam sel T, maka


antigen CD69 akan hilang di permukaan sel dan terjadi penurunan
transduksi signal.
Respons Proliferasi Limfosit
Perubahan utama pada fungsi imun orang tua adalah perubahan respons
proliferatif

limfosit

seperti

berkurangnya

Interleukin-2

(IL-2)

yang

tercermin dari rusaknya proses signal pada orang tua, minimnya kadar Ca
dalam tubuh, dan perubahan membran limfosit sehingga mempengaruhi
fungsi imun. Penurunan Calcium (Ca) pada orang tua mempengaruhi
perpindahan signal dengan gagalnya merangsang enzim termasuk protein
kinase

serta

menghambat

produksi

cytokines,

protein

yang

bertanggung jawab untuk koordinasi interaksi dengan antigen dan


memperkuat respons imun. Salah satu cytokine yang dikenal adalah
interleukin 2 (IL-2), cytokine diproduksi dan disekresi oleh sel T untuk
menginduksi proliferasi sel dan mendukung pertumbuhan jangka panjang
sel T. Sesuai peningkatan usia sel T, maka kapasitas sel T untuk
menghasilkan IL-2 menurun.

Jika terpapar antigen, maka sel T memori

akan membelah diri menjadi lebih banyak untuk melawan antigen. Jika
produksi IL-2 sedikit atau sel T tidak dapat berespons dengan IL-2, maka
fungsi sel T rusak. Perubahan cytokine lain adalah interleukin 4, tumor
necrosis factor alpha, dan gamma interferon. Viskositas membran sel T
juga berubah pada orang tua, tetapi

viskositas sel B tetap. Kompoisisi

lipid pada membran limfosit orang tua menunjukkan peningkatan proporsi


kolesterol dan fosolipid dibandingkan orang muda.
Serum darah orang tua mengandung banyak VLDL dan LDL. Perubahan
komposisi lipid di atas dapat meningkatkan penurunan imunitas tubuh
orang tua. Pembatasan asupan lemak mempengaruhi komposisi membran
lipid limfosit, meningkatkan level asam linoleat, menurunkan kadar asam
docosatetraenoat dan arakhidonat.
Produksi Cytokine

Respons limfosit diatur oleh cytokine. Respons limfosit atau sel T helper
dibagi menjadi 2 jenis yaitu: 1. Th-1 dan 2. Th-2. Respons antibodi
biasanya diperoleh dari Th-2 cytokine. Perubahan produksi cytokine
merubah imunitas perantara sel (Cell Mediated Immunity) pada roang tua.
Respons limfosit pada makrofag berubah pada orang tua di mana terdapat
sensitivitas yang lebih tinggi terhadap efek inhibitor.
Penurunan fungsi sel T pada orang tua juga mempengaruhi fungsi sel B
karena sel T dan sel B bekerjasama untuk mengatur produksi antibodi. Sel
T

menginduksi

sel

untuk

hipermutasi

gen-gen

immunoglobulin,

menghasilkan perbedaan antibodi untuk mengenali jenis-jenis antigen.


Pada orang tua terdapat jenis antibodi yang lebih sedikit dibandingkan
pada orang muda, rendahnya

respons IgM

terhadap infeksi, dan

menurunnya kecepatan pematangan sel B.


Semua itu berkontribusi terhadap penurunan jumlah antibodi yang
diproudksi untuk melawan infeksi.

Respons tubuh pada orang tua

terhadap infeksi penyebab penyakit yang ditunjukkan dengan reaksi


demam tidak berlangsung secara otomatis. Lebih dari 20% manusia
berusia di atas 65 tahun mempunyai infeksi bakteri yang serius tidak
mengalami demam, karena tubuh mampu menetralisir demam dan reaksi
imun lainnya, tetapi sistem syaraf pusat kurang sensitif terhadap tandatanda imun dan tidak bereaksi cepat terhadap infeksi.

Peningkatan Respons Sistem Imun


Fungsi organ-organ menurun sejalan dengan peningkatan usia manusia.
Organ kurang efisien dibandingkan saat usia muda, contohnya timus yang
menghasilkan hormon terutama selama pubertas. Pada lansia, sebagian
besar kelenjar timus tidak berfungsi. Tetapi ketika limfosit terpapar pada
hormon timus, maka sistem imun meningkat sewaktu-waktu.
Sekresi hormon termasuk hormon pertumbuhan dan melatonin menurun
pada usia tua dan mungkin dihubungkan dengan sistem imun.

Sistem

endokrin

dipengaruhi

oleh

penuaan

dan

sirkulasi

hormon-hormon

menurun dengan umur. Hormon DHEA (Dehydroepiandrosterone) erat


hubungannya dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh. Prostaglandin,
hormon yang mempengaruhi proses tubuh seperti suhu dan metabolisme
tubuh mungkin meningkat pada usia tua dan menghambat sel imun yang
penting. Kelompok lansia mungkin lebih sensitif pada reaksi prostaglandin
daripada dewasa muda, yang menjadi penyebab utama defisiensi imun
pada lansia. Prostaglandin dihasilkan oleh jaringan tubuh, tetapi respons
system imun pada kelompok dewasa muda lebih baik saat produksi
prostaglandin ditekan.
Nutrisi berperan penting dalam sistem imun tubuh. Pada kelompok
dewasa tua yang sehat dan mengalami defisiensi gizi, maka asupan
vitamin dan suplemen makanan dapat meningkatkan respons sistem
imun, ditunjukkan dengan lebih sedikitnya hari-hari penyakit yang
diderita.
Orang tua sering mengalami perasaan kehilangan dan stress, dan
penekanan imunitas dihubungkan dengan perasaan kehilangan, depresi,
dan rendahnya dukungan sosial. Memelihara kehidupan sosial yang aktif
dan memperoleh pengobatan depresi dapat meningkatkan sistem imun
kelompok lansia. Secara umum kelompok lansia lebih sering menderita
infeksi atau tingkat keparahan infeksi yang lebih besar dan penurunan
respons terhadap vaksin lebih rendah (contohnya kematian akibat
penyakit tetanus dan flu).
Depresi/Stress dan Rasa Marah mempengaruhi Sistem Imun
Pada orang tua, perasaan depresi dan marah dapat melemahkan sistem
imun. Mereka rentan terhadap stress dan depresi. Stress menyebabkan
perubahan-perubahan fisiologis tubuh yang melemahkan sistem imun,
dan akhirnya mempengaruhi kesehatan sehingga mudah terserang
penyakit, serta

timbulnya kelainan sistem imun dengan munculnya

psoriasis dan eczema.

Saat terjadi stress, maka hormon glukokortikoid dan kortisol memicu


reaksi anti-inflammatory dalam sistem imun. Peneliti telah mempelajari
hubungan antara marah, perasaan depressi, dan sistem imun pada 82
orang lansia yang hidup dengan pasangan penderita penyakit Al-zheimer.
Ternyata beberapa tahun kemudian kondisi psikologi dan fisik kesehatan
mereka menurun, ditunjukkan oleh response sistem imun yang memicu
aktivasi sel limfosit. Studi lain yang dilakukan terhadap kesehatan lansia
dengan stress menunjukkan level IL-6 atau interleukin-6 (suatu protein
dalam kelompok cytokine) meningkat 4 kali lipat lebih cepat sehingga
mereka rentan terhadap penyakit jantung, arthritis, dan sebagainya.
Pada lansia pria, depresi dikaitkan dengan berkurangnya respons imun.
Depresi ditimbulkan oleh rasa kesepian, enggan menceritakan masalah
hidup yang dialami, dan cenderung memiliki teman dekat lebih sedikit
daripada lansia wanita. Lansia pria mengalami ledakan hormon stress saat
menghadapi tantangan dibandingkan dengan lansia wanita. Meskipun
hubungan antara depresi dengan imunitas berbeda menurut gender,
ternyata kombinasi marah dan stress yang dikaitkan dengan penurunan
fungsi imun pada kedua kelompok lansia pria dan wanita tidak berbeda.
Gangguan tidur pada orang tua dapat melemahkan sistem imun karena
darah mengandung penurunan NKC (Natural Killer Sel). NKC adalah bagian
dari sistem imun tubuh, jika kadarnya menurun dapat melemahkan
imunitas sehingga rentan terhadap penyakit. Studi yang dilakukan di
Pittsburgh tahun 1998 menunjukkan pentingnya tidur bagi orang tua
untuk memelihara kesehatan tubuh.
Upaya Pemeliharaan Kesehatan Lansia terhadap Sistem Imunitas Tubuh:
Vaksinasi dan Nutrisi Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan
melalui upaya imunisasi dan nutrisi. Tujuan imunisasi untuk memelihara
sistem imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin mengandung
substansi antigen yang sama dengan patogen asing agar sistem imun
kenal patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B. Influenza dan
pneumonia adalah dua penyakit yang paling sering diderita oleh orang tua
sehingga perlu diberikan vaksinasi influenza bagi mereka. Tetapi respons

antibodi tubuh dan response sel T orang tua terhadap vaksin lebih rendah
daripada orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut.
Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua
rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh
faktor fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan
kondisi fisik serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan
bergizi yang tidak memadai. Berkurangnya asupan kalori diketahui dapat
memperlambat proses penuaan dan membantu pemeliharaan sejumlah
besar sel T naive dan tingkat IL-2. Konsumsi protein dan asam amino yang
tidak cukup mempengaruhi status imun karena berhubungan dengan
kerusakan jumlah dan fungsi imun selluler, serta

penurunan respons

antibodi.
Vitamin E dan Zn khususnya berperan penting dalam memelihara sistem
imun. Defisiensi Zn jangka panjang menurunkan produksi cytokine dan
merusak pengaturan aktivitas sel helper T. Vitamin E merupakan
treatment yang baik dalam mencegah penyakit Alzheimer, meningkatkan
kekebalan tubuh, dan sebagai antioksidan yang melindungi limfosit, otak,
dan jaringan lain dari kerusakan radikal bebas.
GENETIK
Banyak

cara

mempengaruhi

yang

dilakukan

respon

imun.

oleh

faktor-faktor

Kemampuan

berbagai

genetic

untuk

individu

untuk

memberikan respons terhadap antigen tertentu tidaklah sama. Kepekaan


terhadap infeksi kuman misalnya sering menunjukkan pola familial,
dianggap

merukapakan

ciri

herediter.

Penelitian

yang

berhasil

mengungkapkan berbagai karakteristik MHC, baik struktur molekulnya


maupun fungsinya telah menambah informasi mengenai peran factor
genetic dalam mempengaruhi respons imun.
-

Kontrol genetic yang melibatkan MHC

Gen yang berhubungan dengan MHC diketahui berperan pada


respons imun terhadap infeksi dan terhadap antigen self. Pada
beberapa keadaan, gen yang terlibat adalah gen MHC sendiri,
tetapi pada keadaan lain gen bersangkutan hanyalah gen yang
ada hubungannya dengan MHC. Salah satu bukti adanya peran
gen pada respons imun pada manusia adalah anemia berat
akibat malaria yang dihubungkan dengan HLA (DRB1*1302)
tertentu. HLA banyak dijumpai pada penduduk Afrika Barat,
sangat

jarang

perlindungan

ditemukan
terhadap

pada

ras

lain

konsekuensi

dan

berat

memberikan

akibat

infeksi.

DRB1*1302 dapat mengikat peptida yang berbeda dengan yang


diikat oleh DRB1*1301 akibat perbedaan dalam satu asam amino
pada

rantai.

Perbedaan

inilah

yang

diduga

menimbulkan

perbedaan respons imun.


-

Kontrol genetic yang tidak melibatkan MHC


Respons imun juga dikendalikan oleh berbagai gen di luar MHC.
Beberapa penelitian yang mempelajari variasi gen di tingkat DNA
dan fungsi gen yang mengatur transkripsi telah mengungkapkan
bukti-bukti

keterlibatan

gen-gen

tersebut

dalam

proses

imunologik sehingga digunakan untuk menjelaskan berbagai


kondisi

imunopatologik.

Sedikitnya

ada

aspek

utama

imunogenomik yang diketahui dan dapat diaplikasikan, yaitu:


a) Adanya jejaring informasi berbagai elemen berbeda mengenai
lokalisasi, struktur dan ekspresi gen yang berperan sebagai
respons imun bawaan maupun didapat.
b) Adanya pengaturan secara genetic fungsi fisiologis system
imun.
c) Perubahan genetic pada berbagai kondisi patologik.
d) Adanya kemungkinan untuk menerapkan informasi itu dalam
imunoterapi dengan pendekatan individual.
Adanya peran gen-gen di luar MHC dalam respons imun juga
tampak jelas pada kecenderungan terhadap berbagai penyakit
autoimun, alergi dan infeksi. Individu dengan defek pada

komplemen C3 menunjukkan kepekaan terhadap infeksi dan


mempunyai predisposisi untuk penyakit kompleks imun
KEBIASAAN
1. Minum Terlalu Banyak Alkohol
Minum alkohol terlalu sering dapat membahayakan sistem kekebalan
tubuh. Ini merupakan temuan peneliti dari University of Massachusetts
Medical School di Worcester.
Konsumsi alkohol secara berlebihan membuat tubuh rentan terhadap
infeksi dan penyembuhan luka yang buruk. Termasuk meningkatkan risiko
penyakit jantung, hati, dan pankreas.
"Ini (alkohol) tidak bagus untuk perkembangan sel darah putih (yang
melindungi tubuh terhadap penyakit menular)," kata Neil Schachter, MD,
profesor kedokteran di Mount Sinai School of Medicine.
2. Banyak mengonsumsi makanan berlemak tinggi
Konsumsi makanan berlemak tinggi dapat membuat kerja sel sistem
kekebalan tertentu, lebih lambat dan kurang fungsional. Hal ini
mengurangi kemampuan sel melindungi diri dari penyakit. Pengurangan
konsumsi makanan berlemak bisa meningkatkan kekebalan tubuh secara
cepat.
Peneliti di Tufts University menganalisis efek dari kebiasaan makan khas
Barat, yang menunya mengandung 38 persen lemak. Lalu, mereka
membandingkannya dengan diet penurun kolesterol dengan 28 persen
lemak, pada fungsi kekebalan tubuh. Diketahui, membatasi konsumsi
makanan berlemak meningkatkan fungsi sel T, sejenis sel darah putih
yang membantu menangkal infeksi.
3. Tak suka bergaul
Menurut penelitian tim dari Carnegie Mellon University di Pittsburgh,
mahasiswa kesepian dengan teman yang sedikit memiliki antibodi yang
lemah dan respon terhadap vaksin flu menjadi buruk. Pertimbangkanlah

untuk berkumpul dengan teman-teman sepulang kerja atau pada akhir


pekan.
4. Polusi suara
Suara bising telah lama diketahui sebagai pemicu stres dan seringkali
Anda tak bisa mengontrolnya. Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa
paparan kebisingan dapat menekan fungsi kekebalan tubuh pada tingkat
sel, dan menimbulkan respon antibodi. Hal ini dapat meningkatkan
kerentanan Anda terhadap penyakit dan infeksi.
5. Sering begadang
Mengurangi waktu tidur akan memiliki efek merugikan yang kuat terhadap
imunitas, hal ini karena jam tidur yang kurang dikaitkan dengan
menurunnya fungsi sistem kekebalan tubuh dan mengurangi jumlah selsel yang berfungsi melawan kuman. Peneliti dari University of Chigago
menemukan orang yang tidur 4 jam, hanya akan menghasilkan antibodi
sebanyak 50 persen saja di dalam darahnya.

6. Bertindak pesimis
Sebuah studi dari UCLA menemukan mahasiswa yang memulai semester
pertamanya dengan optimistis memiliki sel T yang lebih banyak, sehingga
dapat memperkuat respons imun dan menguatkan sel-sel pembunuh
alami di dalam tubuh. Hal ini disebabkan ia akan sedikit mengalami stres
yang membuat ia memiliki kesehatan yang baik.
7. Selalu merasa tertekan dan stres
Stres dan tekanan kronis yang diterima setiap hari tidak hanya membuat
pekerjaan menjadi tidak nyaman, tapi juga merugikan aspek kesehatan
termasuk kekebalan tubuh. Jenis stres yang dialami dapat menyebabkan
penurunan kemampuan sistem kekebalan tubuh dalam melawan penyakit.
Karena itu cobalah temukan cara untuk mengurangi stres, seperti pergi ke
suatu tempat, melakukan yoga atau melakukan hal-hal yang
menyenangkan.

8. Selalu meminjam barang dari orang lain


Kuman sangat mudah lewat dari tangan ke tangan, karena itu hindari
menyentuh objek-objek umum seperti pena atau yang lainnya agar dapat
mengurangi risiko terkena flu atau penyakit menular yang bisa
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.
9. Selalu menggunakan kendaraan saat pergi kemanapun
Seseorang yang selalu menggunakan kendaraan dan tidak pernah
berjalan akan membuat dirinya lebih rentan sakit dan turunnya kekebalan
tubuh dibandingkan dengan orang yang berjalan secara teratur. Para ahli
menuturkan berjalan atau aerobik selama 30 menit dapat membuat selsel darah putih kembali ke sirkulasi dan sistem kekebalan tubuh kembali
lebih lancar.
10. Memiliki sifat perokok atau teman yang perokok
Seperti diketahui asap rokok yang terhirup bisa berbahaya bagi tubuh,
termasuk sistem kekebalan tubuh seseorang. Karena itu sebisa mungkin
menghindari paparan asap rokok ketika menghabiskan waktu dengan
seorang perokok.

11. Sering mengonsumsi antibiotik


Peneliti menemukan pasien yang mengonsumsi antibiotik tertentu dapat
mengurangi jumlah sitokin (hormon pembawa pesan dari sistem
kekebalan tubuh). Sehingga ketika sistem kekebalan tubuh ditekan,
seseorang akan lebih mudah mengembangkan bakteri resisten. Untuk itu
sebaiknya tidak mengonsumsi sembarangan antibiotik, kecuali diresepkan
oleh dokter.
12. Memiliki kepribadian yang serius
Peneliti mengungkapkan emosi positif yang dihubungkan dengan tertawa
bisa menurunkan hormon stres dan meningkatkan sel-sel kekebalan
tertentu serta mengaktifkan yang lainnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Loma Linda University School of Medicine


mendapatkan orang dewasa sehat yang menonton video lucu selama satu
jam akan mengalami peningkatan yang signifikan dalam hal aktivitas
sistem kekebalan tubuh.
13. Kurang olahraga
Tidak memiliki cukup waktu berolahraga dapat melemahkan sistem
kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit atau infeksi. Penelitian
telah

menunjukkan

bahwa

rutin

melakukan

aktivitas

fisik

dapat

membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan meningkatkan


jumlah sel darah putih dalam tubuh untuk membantu melawan segala
bentuk penyakit.
14. Terlalu banyak olahraga
Aktivitas fisik berlebihan dapat menyebabkan masalah dengan sistem
kardiovaskular dan dapat membebani sistem kekebalan tubuh. Ingat,
cukup waktu istirahat untuk pemulihan sama pentingnya untuk sistem
kekebalan tubuh ketimbang melakukan latihan yang adekuat.
15. Stres
Stres dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Tingkat stres yang
tinggi dapat membuat ketidakseimbangan hormon dalam tubuh Anda,
merusak fungsi sistem kekebalan tubuh yang dapat mempengaruhi cara
tubuh dalam meyembuhkan luka, dan bahkan dapat menyebabkan kondisi
kesehatan yang lebih serius.

16. Kurang minum air


Air adalah sebuah cairan menakjubkan, yang dapat membantu fungsi
keseluruhan dari tubuh Anda, termasuk sistem kekebalan tubuh. Air
memiliki kemampuan untuk membilas setiap racun berbahaya dalam
sistem imun tubuh. Minum cukup air juga dapat membarikan kesempatan

kepada sistem kekebalan tubuh untuk beristirahat dan membantu


melakukan tugasnya.
17. Tidak bersih
Kebersihan mungkin tidak mempengaruhi sistem kekebalan tubuh Anda
secara langsung, tetapi bisa mencegah infeksi dan penyakit dengan
menghilangkan kuman dan bakteri. Jika Anda jorok, Anda hanya akan
memperberat tugas dari sistem kekebalan tubuh, karena perilaku Anda
dapat mengundang organisme berbahaya ke dalam tubuh. Pada titik
tertentu, organisme ini dapat mengalahkan sistem kekebalan tubuh yang
menyebabkan penyakit atau infeksi.
18. Terlalu banyak terkena sinar matahari
Berjemur sebentar di bawah sinar matahari dengan menggunakan tabir
surya sebenarnya bukan sesuatu hal yang buruk, tetapi berjemur terlalu
lama dapat membuat kulit terbakar. Penelitian telah menunjukkan
hubungan antara radiasi UV dan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh.
Paparan sinar matahari berlebih juga dapat meningkatkan risiko kanker
kulit.
4. Nama

: Setiani Imaningtias (2011730162)

Mekanisme sistem imun tubuh terhadap antigen.


Pendahuluan
Dari

empat

degeneratif,

penyebab
dan

utama

kematiancedera,

kankerhanya

dua

infeksi,

penyebab

penyakit

pertama

yang

menimbulkan kematian pada usia produktif, yang berarti menghilangkan


potensi gen. Oleh karena itu, setiap mekanisme yang mengurangi dampak
tersebut sangat berharga untuk mempertahankan hidup, dan kita melihat
ini dalam proses yang berurutan, pemulihan dan imunitas.
Sejauh ini jenis benda asing yang paling penting untuk dikenali dan
dibuang adalah mikroorganisme yang mampu menyebabkan penyakit
infeksi, dan tentu saja imunitas berawal saat benda asing masuk ke dalam

tubuh. Akan tetapi, harus diingat bahwa lini pertahanan pertama adalah
menjaga agar benda asing tidak masuk, dan berbagai pertahanan
eksternal telah berkembang untuk tujuan ini.
Pertahanan eksternal bertujuan untuk melindungi dan menjadi lapisan
terluar

dari

organ-organ

dalam

tubuh

manusia.

Kulit

yang

intak

merupakan suatu penghalang yang kuat terhadap masuknya organisme


yang berpotensi infeksius. Selain itu, terdapat sejumlah antimikroba pada
permukaan kulit dan mukosa; meliputi lisozim pada air mata, laktoferin,
defensin, dan peroksidase. Pertahanan yang lebih terspesialisasi meliputi
lambung yang sangat asam (pH 2), mukus dan silia yang bergerak ke atas
pada bronkus, dan protein surfaktan khusus yang mengenali dan
menangkap bakteri yang mencapai alveolus paru.
Respon imun yang terjadi dalam tubuh manusia, tidak selalu dipicu oleh
adanya mikroorganisme pathogen tetapi dapat juga muncul akibat adanya
penolakan terhadap organ hasil transplantasi seperti transplantasi ginjal
dan kelainan pada sistem imun yang tidak dapat membedakan antara
self dan non-self.
Mekanisme Imun Bawaan dan Adaptif
Seperti halnya resistensi terhadap penyakit yang dapat berupa bawaan
(sejak lahir) atau didapat, mekanisme yang memperantarainya terbagi
menjadi bawaan dan adaptif. Masing-masing terdiri dari elemen selular
dan humoral. Mekanisme adaptif, yang terbentuk setelah mekanisme
bawaan, melakukan banyak fungsi melalui interaksi dengan mekanisme
bawaan yang lebih dahulu ada.
Imunitas bawaan diaktivasi saat sel menggunakan serangkaian reseptor
terspesialisasi untuk mengenali berbagai jenis mikroorganisme yang
dapat

masuk

ke

tubuh

host.

Ikatan

dengan

reseptor

tersebut

mengaktivasi sejumlah mekanisme dasar pembuangan mikroba, seperti


fagositosis bakteri oleh makrofag dan neutrophil, atau pelapasam

interferon antivirus. Sejumlah besar mekanisme yang terlibat dalam


imunitas bawaan memiliki banyak kesamaan dengan mekanisme yang
memunculkan reaksi nonspesifik terhadap kerusakan jaringan dengan
menimbulkan inflamasi. Namun, karena sifat alami respon imun bawaan
bergantung pada jenis infeksi, istilah nonspesifik, yang sering digunakan
sebagai sinonim bawaan, tidak sepenuhnya tepat.
Imunitas adaptif berdasarkan sifat khusus limfosit (T dan B), yang dapat
merespon secara selektif terhadap ribuan benda asing (antigen) yang
berbeda menyebabkan terbentuknya memori spesifik dan perubahan
menetap dari pola respons.
Mekanisme adaptif dapat berfungsi dengan sendirinya melawan antigen
tertentu. Tetapi sebagian besar efeknya muncul dengan cara interaksi
antibodi dengan komplemen dan sel fagosit dari imunitas bawaan, dan sel
T dengan makrofag. Melalui aktivitas mekanisme bawaan ini respon
adaptif seringkali menimbulkan inflamasi baik akut maupun kronis, jika hal
ini mengganggu, maka disebut hipersensitivitas.
Interaksi antara Imunitas Bawaan dan Adaptif
1. Opsonisasi
Fenomena timbulnya ikatan antibodi di permukaan bakteri, virus,
atau parasit lain, dan meningkatnya perlekatan dan fagositosis.
Antibodi juga mengaktivasi komplemen pada permukaan pathogen
yang

menyerang,

sehingga

imunitas

adaptif

memanfaatkan

imunitas bawaan untuk menghancurkan banyak mikroorganisme.


2. Komplemen
Seperti yang telah disebutkan di atas, komplemen seringkali
teraktivasi oleh ikatan antibody pada permukaan mikroba. Namun,
ikatan komplemen pada antigen juga dapat lebih meningkatkan
kemampuannya untuk mengaktivasi respon sel B yang kuat dan

tahan lamasuatu contoh interaksi terbalik antara mekanisme imun


adaptif dan bawaan.
3. Penyajian
Penyajian antigen ke sel T dan B oleh sel dendrit diperlukan pada
sebagian besar respon sel adaptif; penyajian oleh sel dendrit
biasanya memerlukan aktivasi sel-sel ini dengan cara kontak dengan
komponen mikroba (misalnya sel dinding bakte), suatu contoh lain
dari interaksi terbalik tadi antara mekanisme imun adaptif dan
bawaan.
4. Bantuan
Bantuan oleh sel T diperlukan dalam berbagai cabang, baik dalam
imunitas adaptif maupun bawaan. Bantuan sel T diperlukan untuk
sekresi sebagian besar antibody oleh sel B, untuk mengaktivasi
makrofag untuk membunuh pathogen intraselular, dan untuk respon
sel T sitotoksik yang efektif.
Pengenalan dan Reseptor
Sebelum mekanisme imun dapat bekerja, harus terdapat pengenakan
bahwa ada sesuatu yang perlu dilawan. Biasanya yang perlu dilawan
adalah benda asing seperti virus, bakteri, atau organisme infeksius lain.
Pengenalan ini dilakukan oleh serangkaian molekul pengenal atau
reseptor. Beberapa reseptor bersirkulasi bebas dalam darah atau cairan
tubuh, reseptor lain terikat pada membran berbagai sel. Pada setiap
kasus, beberapa konstituen

benda asing harus berinteraksi dengan

molekul pengenal yang mirip dengan kunci yang masuk ke dalam lubang
kunci yang tepat. Pengenalan awal ini membuka pintu yang pada akhirnya
membentuk respon imun sepenuhnya.
Pada sistem imun bawaan dan adaptif, reseptor-reseptor ini sangat
berbeda. Sistem bawaan memiliki jumlah reseptor yang terbatas, disebut
sebagai Pattern-Recognition Receptor (PRR), yang telah terseleksi selama
perkembangan untuk mengenali struktur yang biasanya dimiliki oleh
sekelompok organisme pathogen (PAMP); salah satu contohnya adalah

lipopolisakarida (LPS) pada beberapa dinding sel bakteri. PRR bekerja


sebagai peringatan dini, memicu respon inflamasi cepat yang muncul
lebih dulu dan penting pada respon adaptif selanjutnya. Berbeda dengan
sistem imun bawaan, sistem imun adaptif memiliki ribuan juta reseptor
berbeda pada limfosit B dan T nya, masing-masing sangat sensitif
terhadap suatu struktur molekul. Respon yang dipicu oleh reseptor ini
memberikan perlindungan yang lebih efektif terhadap infeksi, tetapi
biasanya jauh lebih lambat terbentuk.
Dua sistem tersebut dihubungkan oleh kelompok molekul kompleks
histokompatibilitas mayor (MHC), yang terspesialisasi untuk menyajikan
molekul asing ke limfosit T. Rangkaian reseptor penghubung lainnya
adalah reseptor di mana molekul seperti antibodi dan komplemen terikat
dengan sel, dan molekul-molekul tersebut dengan sendirinya dapat
berperan sebagai reseptor.
Sistem Imun Bawaan
1. Molekul Pengenal yang Mudah Larut
a. Komplemen
Beberapa dari serangkaian kompleks protein serum, dapat
dipicu

oleh

kontak

dengan

permukaan

bakteri.

Begitu

teraktivasi, komplemen dapat merusak beberapa sel dan


mengawali

inflamasi.

Beberapa

sel

memiliki

reseptor

komplemen, yang dapat membantu proses fagositosis.


b. Protein Fase Akut
Rangkaian kompleks protein serum lainnya. Tidak seperti
komplemen, protein ini sebagian besar kdarnya sangat rendah
dalam serum, tetapi di produksi secara cepat dalam jumlah
besar

dalam

hati

setelah

infeksi,

yang

menyebabkan

timbulnya inflamasi dan pengenalan imun. Beberapa protein


fase akut juga berfungsi sebagai PRR.
Pengenalan Berhubungan dengan Sel
PRR reseptor pengenal pola saat ini telah menggambarkan setiap jenis
pathogen dan masih banyak lagi yang akan ditemukan. Secara luas,
reseptor tersebut dapat terbagi dalam lokalisasi seluler, contohnya

membrane sel, fagosom, dan sitoplasma. Walaupun reseptor tersebut


disajikam oleh varietas membingungkan dari jenis-jenis molekul, ciri
fungsionalnya yang umum adalah mengatur respom imun bawaan
terhadap infeksi. Perlu diingat bahwa tidak semua PRR ditemukan pada
semua jenis sel, sebagian besar terbatas pada makrofag dan sel dendrit
(MAC dan DC)
Beberapa Sistem Reseptor Lain
1. Reseptor Virus
Untuk masuk ke dalam sel, virus harus berlabuh pada beberapa
molekul permukaan sel misalnya CD 4 untuk HIV dan reseptor
asetilkolin untuk rabies.
2. Reseptor Sitokin
Komunikasi antar sel imun sebagian besar diperantarai oleh molekul
messenger yang disebut sitokin. Untuk merespon sitokinm sel perlu
memiliki reseptor yang sesuai.
3. Reseptor Hormon
Dengan cara yang sama seperti sitokin, hormone hanya akan
bekerja oada sel yang memiliki reseptor yang sesuai.
Sistem Imun Adaptif
1. Antibodi
a. Pada Limfosit B, molekul antibody yang disintesis dalam sel
dikeluarkan

ke

membrane

permukaan

tempat

molekul

tersebut mengenali komponen kecil dari molekul protein atau


gula antigen dan dimasukkan ke dalam sel untuk memulai
proses pemicuan. Setiap limfosit B deprogram untuk membuat
antibodi dari satu jenis pengenalan tunggal dari ratusan juta
kemungkinan.
b. Saat Limfosit B terpicu, sejumlah besar antibody limfosit
tersebut

disekresikan

untuk

berperan

sebagai

elemen

pengenal yang mudah larut dalam darah dan cairan jaringan;


ini disebut sebagai respon antibodi.
c. Beberapa sel memiliki reseptor Fc yang memungkinkan sel
tersebut mengambil antibodi, memasukkan antibody tersebut
ke dalam membran, sehingga mampu mengenali berbagai

antigen. Hal ini dapat sangat meningkatkan fagositosis, tetapi


juga dapat menimbulkan alergi.
2. Reseptor Sel T
Limfosit T membawa reseptor yang menyerupai antibodi pada
limfosit B, tetapi dengan perbedaan penting :
a. Reseptor ini terspesialisasi untuk hanya mengenali peptida
kecil yang terikat pada molekul MHC
b. Sel ini tidak dikeluarkan tetapi hanya bekerja di permukaan sel
T
3. Molekul MHC
Merupakan sistem molekul yang sangat heterogen, ditemukan pada
seluruh sel MHC kelas I atau hanya pada limfosit B, makrofag, dan
sel dendrit (MHC kelas II). Molekul ini berperan dalam menyajikan
peptide antigenik kecil kepada reseptor sel T, dan kelas MHC dan
jenis sel T menentukan karakteristik respon imun yang dihasilkan.
4. Reseptor Sel NK
Sel Natural Killer memiliki kesamaan sifat yaitu sebagai limfosit dan
sel imun bawaan, sel ini terspesialisasi untuk membunuh sel yang
terinfeksi virus dan beberapa tumor, dan memiliki dua jenis reseptor
yang berlawanan :
a. Reseptor pengaktivasi yang analog dgn PRR, mengenali
perubahan yang berhubungan dengan stress dan infeksi virus.
b. Reseptor penghambat yang mengenali molekul MHC I,
mencegah sel NK membunuh sel normal, sehingga hasil akhir
bergantung

pada

keseimbangan

antara

aktivasi

dan

hambatan.

5. Nama : Fikri Idul Haq (2011730132)


Fungsi Sistem Imun.
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan &
menghilangkan
mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus,
serta tumor) yang
masuk ke dalam tubuh.
2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan
jaringan.

3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.


Sasaran utama: bakteri patogen & virus.
Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag,
& sel mast).
5. L
6. Nama : Nindya Adeline (2011730156)
Pengaruh

sistem

imun

terhadap

proses

inflamasi

di

skenario.
Untuk melindungi diri terhadap serangan pathogen, banyak mekanisme
efektor yang mampu melindungi tubuh terhadap antigen-antigen yang
berasal dari pathogen dan non-patogen tersebut tersebut. Dan hal ini
dapat diperankan oleh berbagai sel maupun molekul terlarut. Respons
awal dari tubuh terhadap infeksi atau kerusakan ini disebut inflamasi akut.
Respons ini non-spesifik dan merupakan lini pertahanan tubuh sistemik
pertama terhadap bahaya, terdiri atas mobilisasi mediator-mediator
imunologis, endokrin dan neurologis secara terkoordinasi, misalnya
komplemen, amine, molekul-molekul adhesi, sitokin, khemokin, hormone,
steroid, dll. Inflamasi sistemik yang disertai infeksi, disebut sepsis.
Inflamasi akut merupakan akibat umum dari dari respons imun bawaan
sedangkan respons imun didapat juga dapat meningkatkan inflamasi.
Selama respons imun berlangsung sel-sel tubuh dapat menjadi rusak oleh
sel efektor dan molekul-molekul yang berperan dalam mekanisme
imunologis, karena itu dari sudut pandang ini inflamasi dapat disebut
sebagai respons imunopatologis.
Pada

inflamasi

terjadi

peningkatan

aliran

darah

karena

adanya

vasodilatasi pada tempat terjadinya infeksi atau kerusakan jaringan.


Pembuluh kapiler menjadi lebih permeable sehingga cairan, molekulmolekul besar dan leukosit dapat keluar dari pembuluh darah dan masuk
ke jaringan. Leukosit, terutama neutrofil dan monosit, dapat bergerak
menuju sasarran akibat khemotaksis. Selain itu juga terjadi penglepasan
protease dan radikal bebas, akibatnya yaitu KDRT (Kalor; panas, Dolor;
rasa sakit, Rubor; kemerahan & Tumor; pembengkakan).

INFLAMASI AKUT
Respons imun bawaan dan inflamasi terkait erat satu sama lain.
Peran sitokin dalam inflamasi juga telah diterima secara luas. Produksi
sitokin

berlebihan

dan

berkelanjutan

sebagai

respons

terhadap

lipopolisakharida (LPS) bakteri atau supfrerantigen merupakan ciri dari


respons inflamasi sistemik yang dapat mematikan. Penyebaran produk
bakteri
misalnya

ini

menginduksi

tumor

necrosis

gelombang
factor-a

produksi
(TNF-a),

sitokin

IL-1,

pro-inflamasi

IL-6,

IL-8,

yang

mengaktifkan lebih banyak sel-sel imun dan membawanya ke daerah


infeksi. Sitokin pro-inflamasi ini dalam jumlah berlebihan dapat merusak
dinding vaskuler dan mengakibatkan disfungsi organ. Baik LPS maupun
superantigen menginduksi transduksi sinyal ke nucleus sel fagosit
mononuclear dan sel T. jalur sinyal ini diperantai oleh NFkB yang
memegang

peran

penting

dalam

memprogram

ekspresi

dan

mentranskripsi gen sitokin. Untuk mengimbanginya, dilepaskan mediator


anti-inflamasi misalnya IL-10 dan transforming growth factor- (TGF-)
yang menghambat penglepasan sitokin pro-inflamasi. Pada awal infeksi,
sel-sel fagosit teraktivasi membunuh bakteri secara langsung dengan
menelannya dan mensekresi berbagai substansi toksik seperti radikal
bebas.
Respons inflamasi akut diawali dengan pathogen merangsang
responder inflamasi dini dengan tujuan untuk membunuh pathogen.
Mediator inflamasi dini ini kemudian mengaktifkan mediator inflamasi
lambat yang dapat memicu mediator awal lebih lanjut. Secara ideal,
respons

inflamasi

harus

dapat

menyingkirkan

pathogen

kemudian

mereda. Pada beberapa keadaan, respons imun yang terjadi tidak cukup
kuat untuk menyingkirkan pathogen. Pada keadaan lain dapat terjadi
umpan balik positif antara gelombang pro-inflamasi dini dan lambat yang
mengakibatkan respons imun yang tidak mereda. Secara klinis respons
inflamasi yang menetap bermanifestasi sebagai renjatan septik dan
kegagalan organ.

Seperti yang telah diuraikan di atas, sitokin pro-inflamasi dan antiinflamasi memegang peran penting pada inflamasi. Dalam golongan
sitokin pro-inflamasi yang sangat poten termasuk diantaranya TNF-, IL1, IL-6, IL-8, IL-18. Kadarkadar sitokin yang tinggi ini lah yang
menyebabkan demam tinggi, hipotensi, kerusakan sel endotel vaskuler
dan DIC, blood capillary leak syndrome dan kegagalan organ.
Ada sejenis sitokin lain yang berkaitan dengan inflamasi sistemik,
yaitu macrophage migration inhibitory factor (MIF). MIF merupakan sitokin
yang disekresikan oleh sel-sel imun dan kelenjar hipofisis anterior.
Sedangkan sel T merupakan sumber utama dari MIF. Disamping itu ACTH
yang diproduksi sebagai respons terhadap stres pembedahan pada
gilirannya
merangsang

menginduksi
sel-sel

hormon

sistem

imun

glukokortikoid
untuk

yang

melepaskan

MIF.

kemudian
Ekspresi

berlebihan dari MIF berakibat produksi sitokin Th1 berlebihan. Pentingnya


MIF dalam menimbulkan respons inflamasi sistemik dibuktikan dengan
percobaan bahwa delesi gen MIF atau netralisasi protein MIF dapat
mencegah terjadinya renjatan yang diproduksi oleh LPS.
Respons neutrofil terhadap inflamasi tidak terlepas dari pengaruh
khemokin. Khemokin memegang peran penting dalam migrasi neutrofil
dengan cara meningkatkan konsentrasi dan mengaktifkan molekul adhesi
pada permukaan neutrofil. Bila khemokin ini terikat pada reseptornya ia
akan mengaktifkan integrin pada permukaan neutrofil sehingga neutrofil
melekat pada permukaan endotel dan melakukan transmigrasi, dengan
demikian memfasilitasi repons neutrofil terhadap inflamasi.
Respons imun juga tidak terlepas dari pengaruh fungsi reseptor
pada permukaan sel-sel imun yang dikenal sebagai toll-like-reseptor
(TLR), khususnya TLR4. TLR4 bukan hanya berinteraksi dengan substansisubstansi endogen yang dikeluarkan oleh matriks ekstraseluler atau
cairan synovial seperti produk proteoglikan, fragmen hialuronat dan
glikosaminoglikan sehingga produk-produk ini juga dapat mengakibatkan
inflamasi sistemik.

7. Nama: Ghisqy Arsy Mulki (2011730136)


Memaksimalkan pertahanan sistem imun.
A. makanan dan minuman yang bergizi
1.Flavonoids
Menurut penelitian, susu kedelai umumnya mengandung protein, lemak,
karbohidrat, serat, vitamin, dan sejumlah kecil mineral yang sangat tinggi
dan dibutuhkan oleh tubuh, baik untuk memperlancar metabolisme
maupun untuk pertumbuhan, perbaikan sel yang rusak, sumber energi,
ataupun untuk menambah imunitas. Ikatan sejumlah asam amino dengan
vitamin dan beberapa zat gizi lainnya di dalam biji kedelai akan
membentuk flavonoid. Flavonoid adalah sejenis pigmen, seperti halnya
zat hijau daun yang terdapat pada tanaman yang berwarna hijau. Secara
ilmiah, flavonoid terbukti mampu mencegah dan mengobati berbagai
penyakit. Dan, salah satu jenis flavonoid yang sangat banyak terdapat
pada biji kedelai adalah isoflavon. Salah satu fungsi isoflavon adalah
untuk meningkatkan sistem imunitas.
2. Spirulina
Spirulina, mikroalga yang berwarna biru, merupakan sumber protein yang
sangat tinggi. Warna biru pada spirulina berperan penting untuk sistem
kekebalan tubuh. Spirulina kaya akan vitamin B kompleks, vitamin D,
magnesium, seng, selenium, zat besi, dan gamma linoleic acid (GLA).
Phycocyanin merupakan protein kompleks terbanyak dalam spirulina yang
memiliki manfaat bagi kesehatan, antara lain untuk menstimulasi kerja sel
batang pada sumsum tulang, berperan dalam produksi sel darah putih,
yang berfungsi meningkatkan imunitas tubuh. Serta sel darah merah,
yang berfungsi mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh. Spirulina juga
sangat kaya akan kandungan selenium, yang sangat berperan dalam
sistem imunitas tubuh. Spirulina lebih banyak dikonsumsi sebagai
suplemen.
3. Seng
Seng atau zinc adalah salah satu unsur utama kehidupan. Mikromineral
lain yang tak kalah pentingnya pada fungsi imunitas adalah seng (Zn).
Asupan seng merupakan faktor penting pada modulasi respons imunitas
berperantara sel. Kekurangan seng berdampak pada penurunan respons
pembentukan antibody .Kekurangan seng juga berkaitan dengan respons
imunitas yang diindikasikan oleh kuantitas limposit dalam darah perifer,
proliferasi T-lymphocyte, pelepasan IL-2,atau citotoksik limpositDi dalam
tubuh manusia, seng merupakan mikronutrien penting yang paling

banyak tersebar, juga merupakan mikronutrien terkaya dalam sel. Seng


tersebar di dalam sistem syaraf, imunitas, darah dan sistem pencernaan
manusia, dan ikut serta dalam penyatuan dan aktivitas ratusan jenis
enzim di dalam tubuh. Fungsi seng antara lain adalah meningkatkan
perkembangan tubuh, menambah inteligensi, memperkuat imunitas,
meningkatkan kesehatan mata, meningkatkan pertumbuhan, perpecahan
dan regenerasi sel, dan lainnya. Seng merupakan mikro-nutrien penting
dalam otak besar, banyak terdapat pada ikan, daging, telur, dan produk
makanan hewani lainnya, inti biji buah aprikot serta buah cemara. Kini,
seng lebih banyak dikonsumsi dalam bentuk suplemen.

4. Madu
Protein merupakan salah satu nutrisi penting pembangun imunitas. Dan,
madu merupakan salah satu makanan sumber protein, yang mampu
menjaga stamina tubuh, jika dikonsumsi secara teratur setiap harinya.
Menurut hasil penelitian Y. Widodo, peneliti pada Pusat Penelitian dan
Pengembangan Gizi di Bogor, madu dapat membantu mengatasi
kekurangan energi protein yang banyak diderita anak-anak dan balita.
Penelitian Peter C. Molan (1992), peneliti dari Departement of Biological
Sciences, University of Waikoto, di Hamilton, Selandia Baru, membuktikan
madu mengandung zat antibiotik yang aktif melawan serangan berbagai
patogen penyebab penyakit. Beberapa penyakit infeksi dari berbagai
patogen yang dapat disembuhkan dan dihambat dengan madu secara
teratur antara lain penyakit lambung dan saluran penpencernaanan;
penyakit kulit, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), batuk dan demam,
penyakit jantung, hati, paru, dan penyakit-penyakit yang dapat
mengganggu mata, telinga, dan syaraf.
5. Omega 3
Minyak ikan adalah salah satu zat gizi yang mengandung asam lemak
kaya manfaat bagi kesehatan, karena mengandung sekitar 25% asam
lemak jenuh dan 75% asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tak jenuh
ganda di dalam minyak ikan akan membantu proses tumbuh-kembang
otak (kecerdasan), serta perkembangan indera penglihatan dan sistem
kekebalan tubuh bayi dan balita. Minyak ikan mengandung DHA dan EPA,
yang gabungan keduanya dikenal sebagai omega-3. Jenis ikan laut yang
kaya kandungan omega-3 antara lain salmon, tuna (khususnya tuna sirip
biru, tuna sirip kuning, dan albacore), sardin, herring, makerel, dan
kerang-kerangan.
6. Prebiotik

Prebiotik
dapat
menumbuhkan
bakteri
baik
dalam
sistem
penpencernaanan dan mencegah timbulnya alergi dalam tubuh anak.
Menurut Dr Zakiudin, mengkonsumsi prebiotik sangat baik dalam
memperkuat kekebalan terutama dalam saluran pencernaan. Karena bila
kekebalan saluran pencernaan baik, kekebalan tubuh secara umum juga
akan baik. Selain berfungsi memelihara bakteri baik, prebiotik juga secara
tidak langsung mampu menyeimbangkan sistem kekebalan tubuh
sekaligus menekan resiko alergi. Sumber prebiotik dapat diperoleh dari
makanan alami seperti gandum, bawang, pisang, bawang putih, madu,
dan kacang-kacangan. Ada pula yang dalam bentuk lain atau
ditambahkan dalam susu formula.
7. Meniran
Ekstrak daun meniran atau Phyllantus Niruri L, adalah salah satu obat
herbal yang telah dikembangkan menjadi obat yang membuat sistem
imun lebih aktif dan maksimal menjalankan fungsinya atau disebut
immunodulator. Obat herbal ini kini telah dikembangkan menjadi
suplemen imunitas bagi anak-anak.
8. Kalsium
Sistem imunitas bertugas mengadakan perlawanan terhadap bermacammacam kuman dan menelan berbagai benda asing yang berada dalam
tubuh. Dalam proses membasmi musuh dari luar ini, yang memberi abaaba kepada sistem imunitas untuk menangkap musuh adalah ion kalsium.
Sumber kalsium dari hewani antara lain adalah udang, daging sapi, kuning
telur, ikan, dan susu. Sedangkan, sumber kalsium dari nabati antara lain
adalah sayuran berdaun hijau seperti brokoli, daun singkong, daun
pepaya, dan bayam. Selain itu, kalsium juga banyak terkandung dalam biji
kenari, wijen, almon, kacang kedelai, dan kacang merah.
B. ASI
1. ASI Kaya Akan Zat Penting yang Dibutuhkan Oleh Bayi
Bila dibandingkan ASI dengan produk susu kalengan atau formula
untuk sang buah hati, ASI tetap terunggul dan tak terkalahkan.
Karena ASI memiliki semua kandungan zat penting yang dibutuhkan
oleh sang bayi seperti; DHA, AA, Omega 6, laktosa, taurin, protein,
laktobasius, vitamin A, kolostrum, lemak, zat besi, laktoferin and
lisozim yang semuanya dalam takaran dan komposisi yang pas
untuk bayi, oleh karenanya ASI jauh lebih unggul dibandingkan
dengan susu apapun.
2. . ASI memberikan kekebalan yang optimal untuk bayi
Karena ASI memiliki banyak keunggulan kandugan zat-zat penting

yang terkandung didalamnya yang membuat bayi berkembang


dengan optimal. ASI juga mempunyai keunggulan lain untuk
pembentukan sistim Imun sang bayi. Sistem imum merupakan
sistim yang sangat krusial untuk sang bayi, semakin baik sistim
imun anak maka akan membuat anak jarang sakit. Dibandingkan
bayi yang tidak mendapatkan asupan ASI, bayi yang mendapatkan
asupan ASI mempunyai sistim imun atau sistim kekebalan tubuh
yang jauh lebih baik.
3. ASI Menjadi Pelindung yang Baik
ASI menjadi pelindung yang baik untuk sang bayi dari berbagai
penyakit atau insiden seperti kematian bayi secara mendadak,
gangguan pencernaan, diare , infeksi telinga dan lain-lain.
C.VITAMIN
Vitamin A
Dalam kaitannya dengan fungsi imunitas vitamin yang menarik
perhatian dan yang sering menjadI fokus penelitian adalah vitamin
A, vitamin E, vitamin C, dan kelompok vitamin B. Di antara vitamin
tersebut, vitamin A adalah yang paling luas
diteliti. Pengamatan yang mengaitkan vitamin A dengan imunitas
sudah dilakukan bahkan sebelum struktur vitamin A diketahui
dengan tepat pada tahun 1931 Beberapa fakta ilmiah yang
mengawali pemahaman mengenai kaitan vitamin A dan penyakit
infeksi antara lain adalah temuan Green dan Mellanby yang
menunjukkan bahwa tikus yang kekurangan vitamin A lebih rentan
terhadap infeksi
Setelah antibodi ditemukan, penelitian mengenai mekanisme yang
melaluinya vitamin A memperbaiki fungsi imunitas telah digiatkan
kembali, dan kemudian pada tahun 1980-an dengan ditemukannya
efek pelindungan dari suplementasi vitamin A pada kematian anak
di Indonesia . Penelitian mutakhir juga menunjukkan bahwa
metabolit aktif vitamin A (asam retionat) berperan pada pengaturan
transkripsi gen. Informasi ini menyediakan fakta mendasar pada
pemahaman mekanisme bagaimana vitamin A mempengaruhi
imunitas. Vitamin A secara luas beperan pada fungsi imunitas.
Vitamin A sangat penting untuk memelihara integritas epitel,
termasuk epitel usus. Hal ini berkaitan dengan hambatan fisik
terhadap patogen dan imunitas mukosal.
Penelitian in vitro dan pada hewan coba menunjukkan bahwa
retinoid merupakan pengatur penting pada diferensiasi dan fungsi
monosit, serta mempengaruhi sekresi sitokin. Natural killer-cells

sangat penting pada pertahanan awal terhadap tumor dan infeksi


virus. Penelitian pada hewan coba
menunjukkan bahwa jumlah NK-cell yang bersirkulasi menurun
pada hewan yang kekurangan vitamin A . Senada dengan itu, pada
penelitian efek status zat gizimikro pada fungsi imunitas
NKcell,Ravaglia dan kawan-kawan menujukkan
bahwa status zat gizi mikro individual (termasuk vitamin A) dapat
mempengaruhi
jumlah dan fungsi NK cell pada subyek usia lanjut . Selain itu,
imunokompeten T cell dapat dipengaruhi oleh kekurangan vitamin A
pada berbagai tingkatan,
termasuk limpopoiesis, distribusi, ekspresi, dan produksi sitokin .
Penelitian suplementasi vitamin pada anakanak di Indonesia
menunjukkan terjadi
peningkatan proporsi CD4 setelah 5 minggu dibandingkan dengan
kontrol (tidak
mendapatkan suplemen vitamin A) . Penelitian pada anak-anak di
Afrika yang positif terinfeksi HIV menujukkan bahwa pemberian
vitamin A meningkatkan jumlah limposit total dan juga
jumlah subpopulasi T-cell setelah 4 minggu pasca-pemberian vitamin.
Sementara itu, suplemetasi vitamin A dosis tinggi menunjukkan bahwa
vitamin A dapat meningkatkan produksi T-helper type 2 cytokine dan
respons IgA terhadap infeksi virus influensa A pada tikus coba. Pemberian
vitamin A juga dapat menurunkan episode dan kejadian diare pada anakanak ketika dikombinasikan dengan mineral seng. Efek suplementasi
vitamin A pada morbiditas anak meliputi penurunan keparahan cacar air
yang dapat berkorelasi dengan peningkatan produksi antibodi T-celldependent . Oleh karena itu, suplementasi vitamin A dianjurkan untuk
penanganan infeksi cacar air .
Vitamin E
Vitamin E sering disebut sebagai vitamin antioksidan. Hal ini dikarenakan
perannya untuk menangkal radikal bebas.
Karena kemampuannya
menahan tekanan radikal oksidatif ini pula vitamin E disebut sebagai
vitamin antipenuaan. Selain sebagai antioksidan, vitamin E juga dikenal
sebagai zat gizi penting untuk pencegahan penyakit infeksi. Penelitian
pada berbagai jenis hewan coba mengindikasikan bahwa vitamin
antioksidan berkaitan dengan peningkatan fungsi imunita. Lebih spesifik
lagi, suplementasi vitamin E megadosis (melebihi angka kecukupan gizi)
memiliki efek perangsangan pada imunitas humoral dan berperantara
sel.

Mekanisme peningkatan fungsi imunitas oleh vitamin E masih belum


seluruhnya dipahami. Dugaan mekanisme tersebut diduga melalui efek
langsung dan tidak langsung (melalui makrofag) vitamin E pada fungsi Tcell. Efek langsung vitamin E mungkin diperantarai oleh perubahan
molekul reseptor membran T-cell yang diinduksi oleh vitamin E. Melalui
perannya sebagai antioksidan,vitamin E juga dapat menurunkan produksi
faktor penekan imunitas
(immunosuppressive factors)
seperti
prostaglandin E2 dan hydrogen peroksida dengan mengaktifkan makrofag
Pada penelitian efek suplementasi vitamin E pada orang dewasa
memperoleh efek perangsangan pada variabel yang berkaitan dengan
kepekaan imunitas
T-cell-dependent 4,5 minggu setelah pemberian
vitamin E sebanyak 800 mg. Sementara itu, Pallast etal., menunjukkan
bahwa suplementasi vitamin E sebanyak 100 mg pada orang usia lanjut
meningkatkan produksi IL-4. Atas dasar temuan tersebut, Pallast dan
kawankawan menyimpulkan bahwa suplementasi vitamin E sebanyak 100
mg dapat bermanfaat pada fungsi imunitas seluler pada orang usia lanjut.
Vitamin C Seperti halnya vitamin E, vitamin C juga temasuk vitamin
antioksidan. Sebagai antioksidan, efek vitamin C pada respons imunitas
juga sudah banyak diteliti. Vitamin C berakumulasi (dengan konsentrasi
milimol/l) dalam neutrofil, limposit, dan monosit, yang mengindikasikan
bahwa vitamin C berperan penting pada fungsi imunitas. Penelitian
Universitas Sumatera UtaraGizi, Imunitas, dan Penyakit Infeksi
menunjukkan fungsi pagosit, proliferasi
Tcell, dan produksi sitokin
dipengaruhi oleh status vitamin C.
Pada masa infeksi, pagosit teraktivasi menghasilkan agen pengoksidasi
yang memiliki efek antimikrobial. Akan tetapi, itu dilepaskan ke media
ektraselular sehingga membahayakan inang. Untuk menetralisir efek
peningkatan oksigen radikal ini, sel memanfaatkan berbagai mekanisme
antikoksidatif, termasuk vitamin antioksidan seperti vitamin C.

Beta-glucan.

Adalah sejenis gula kompleks (polisakarida) yang

diperoleh dari dinding sel ragi roti, gandum, jamur(maitake). Hasil


beberapa studi menunjukkan bahwa beta glucan dapat mengaktifkan sel
darah putih (makrofag dan neutrofil).
Hormon DHEA. Studi menggambarkan hubungan signifikan antara
DHEA dengan aktivasi fungsi imun pada kelompok orang tua yang
diberikan DHEA level tinggi dan rendah. Juga wanita menopause
mengalami peningkatan fungsi imun dalam waktu 3 minggu setelah
diberikan DHEA.

Protein:

arginin dan glutamin. Lebih efektif dalam memelihara

fungsi imun tubuh dan penurunan infeksi pasca-pembedahan. Arginin


mempengaruhi fungsi sel T, penyembuhan luka, pertumbuhan tumor,
dans eksresi hormon prolaktin, insulin, growth hormon. Glutamin, asam
amino semi esensial berfungsi sebagai bahan bakar dalam merangsang
limfosit dan makrofag, meningkatkan fungsi sel T dan neutrofil.
Lemak. Defisiensi asam linoleat (asam lemak omega 6) menekan
respons antibodi, dan kelebihan intake asam linoleat menghilangkan
fungsi sel T. Konsumsi tinggi asam lemak omega 3 dapat menurunkan sel
T helper, produksi cytokine.

Yoghurt

probiotik

yang
lain.

mengandung

Meningkatkan

Lactobacillus

aktivitas

sel

acidophilus

darah

putih

dan

sehingga

menurunkan penyakit kanker, infeksi usus dan lambung, dan beberapa


reaksi alergi.
Mikronutrien (vitamin dan mineral). Vitamin yang berperan penting
dalam memelihara sistem imun tubuh orang tua adalah vitamin A, C, D, E,
B6, dan B12. Mineral yang mempengaruhi kekebalan tubuh adalah Zn, Fe,
Cu, asam folat, dan Se.
Zinc. Menurunkan gejala dan lama penyakit influenza. Secara

tidak

langsung mempengaruhi fungsi imun melalui peran sebagai kofaktor


dalam pembentukan DNA, RNA, dan protein sehingga meningkatkan
pembelahan sellular. Defisiensi Zn secara langsung menurunkan produksi
limfosit T, respons limfosit T untuk stimulasi/rangsangan, dan produksi IL2.

Lycopene. Meningkatkan konsentrasi sel Natural Killer (NK)


Asam Folat. Meningkatkan sistem imun pada kelompok lansia. Studi di
Canada pada sekelompok hewan tikus melalui pemberian asam folate
dapat meningkatkan distribusi sel T dan respons mitogen (pembelahan sel

untuk meningkatkan respons imun). Studi terbaru menunjukkan intake


asam folat yang tinggi mungkin meningkatkan memori populasi lansia.

Fe

(Iron).

Mempengaruhi

imunitas

humoral

dan

sellular

dan

menurunkan produksi IL-1.


Vitamin E 10. Melindungi sel dari degenerasi yang terjadi pada proses
penuaan. Studi yang dilakukan oleh Simin Meydani, PhD. di Boston
menyimpulkan bahwa vitamin E dapat membantu peningkatan respons
imun

pada penduduk lanjut usia. Vitamin E adalah antioksidan yang

melindungi sel dan jaringan dari kerusakan secara bertahap akibat


oksidasi yang berlebihan. Akibat penuaan pada respons imun adalah
oksidatif secara alamiah sehingga harus dimodulasi oleh vitamin E.
Vitamin C. Meningkatkan level interferon dan aktivitas sel imun pada
orang

tua,

meningkatkan

aktivitas

limfosit

dan

makrofag,

serta

memperbaiki migrasi dan mobilitas leukosit dari serangan infeksi virus,


contohnya virus influenzae.
Vitamin A. Berperan penting dalam imunitas non-spesifik melalui
proses pematangan sel-sel T dan merangsang fungsi sel T untuk melawan
antigen asing, menolong mukosa membran termasuk paru-paru dari invasi
mikroorganisme, menghasilkan mukus sebagai antibodi tertentu seperti:
leukosit, air, epitel, dan garam organik, serta menurunkan mortalitas
campak dan diare. Beta karoten (prekursor vitamin A) meningkatkan
jumlah monosit, dan mungkin berkontribusi terhadap sitotoksik sel T, sel
B, monosit, dan makrofag. Gabungan/kombinasi vitamin A, C, dan E
secara signifikan memperbaiki jumlah dan aktivitas sel imun pada orang
tua. Hal itu didukung oleh studi yang dilakukan di Perancis terhadap
penghuni panti wreda tahun 1997. Mereka yang diberikan suplementasi
multivitamin (A, C, dan E) memiliki infeksi pernapasan dan urogenital
lebih rendah daripada kelompok yang hanya diberikan plasebo.
Vitamin D. Menghambat respons limfosit Th-1.

Kelompok Vitamin B. Terlibat dengan enzim yang membuat konstituen


sistem imun. Pada penderita anemia defisiensi vitamin B12 mengalami
penurunan sel darah putih dikaitkan dengan fungsi imun. Setelah
diberikan suplementasi vitamin B12, terdapat peningkatan jumlah sel
darah putih. Defisiensi vitamin B12 pada orang tua disebabkan oleh
menurunnya produksi sel parietal yang penting bagi absorpsi vitamin B12.
Pemberian vitamin B6 (koenzim) pada orang tua dapat memperbaiki
respons limfosit yang menyerang sistem imun, berperan penting dalam
produksi protein dan asam nukleat. Defisiensi vitamin B6 menimbulkan
atrofi pada jaringan limfoid sehingga merusak fungsi limfoid dan merusak
sintesis asam nukleat, serta menurunnya pembentukan antibodi dan
imunitas sellular.
D. MINERAL
Berbagai penelitian telah mengungkapkan peran mineral dalam
kehidupan manusia. Berapa mineral yang sebelumnya belum diketahui
manfaatnya, sekarang diketahui berperan dalam proses metabolisme
tubuh, termasuk dalam fungsi imunitas. Ada tujuh mineral mikro yang
secara jelas diketahui memiliki peran gizi. Juga, kekurangannya
berdampak merugikan kesehatan, yaitu besi, iodium, seng, tembaga,
selenium, molibdenum,kromium . Sementara itu,mineral mikro yang
banyak dikaitkan dengan fungsi imunitas, antara lain adalah selenium dan
seng.Selenium Selenium (Se) adalah suatu zat gizi mikro (trace element)
yang sangat esensial pada sejumlah protein yang berkaitan dengan fungsi
enzim, termasuk
glutation peroksidase, glutation reduktase, dan
tioredoksin reduktase. Selenoprotein (ikatan antara Sedan protein)
dipercaya memainkan peran penting sebagai enzim antioksidan
(selenosistein) . Lebih dari 20 jenis selenoprotein telah cirikan melalui
pemurnian, kloning, ekspresi rekombinan, dan perkiraan fungsinya
menggunakan teknik bioinformatika . Selenium berperan penting dalam
fungsi imunitas. Selenium mempengaruhi baik sistem imunitas bawaan
(innate),nonadaptif, dan buatan (aquired). Selain itu,Se mempengaruhi
fungsi neutrofil .
Selain peran Se dalam fungsi imunitas,kekurangan Se diketahui
mempengaruhi virus patogen. Salah satu contohnya adalah efek
kekurangan Se pada patogenitas coxsackievirus,suatu jenis virus mRNA.
Penelitian pada Keshan disesae penyakit cardiomyophaty di Cina
menunjukkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi coxsackievirus

dan kekurangan Se. Karena peradangan adalah ciri dari myocarditis yang
diinduksi
coxsackievirus,para ahli meneliti ekspresi mRNA untuk
beberapa peradangan
chemokine (Beck,2001), untuk mengetahui
bagaimana kekurangan Se berkaitan dengan Keshan disease. Monocyte
chemotactic protein-1mRNA (MCP-1 mRNA) diekspresiskan secara jelas
pada hari kesepuluh pada tikus yang kekurangan Se dibandingkan dengan
yang cukup Se. Peningkatan ekspresi MCP-1mRNA ini bertanggung jawab
padaperadangan yang terjadi pada tikus yang kekurangan Se. Selain
perubahan pada ekspresi MCP-1mRNA, ekspresi mRNA untuk -interferon
(-IFN) juga menurun pada tikus yang keurangan Se.
-interferon
berperan melindungi sel dari infeksi virus, dan menurunnya
-IFN
berkaitan dengan meningkatnya infeksi virus pada tikus yang kekurangan
Se. Para peneliti juga menemukan terjadi mutasi virus pada inang yang
kekurangan Se. Mutasi virus influenza juga terjadipada keadaan
kekurangan Se. Ketika terjadi perubahan genom virus, inang yang tidak
kekurangan Se pun akan rentan terhadap strain baru virus ini. Strain virus
influenza, influenza A/Bangkok/1/79, yang memiliki patogenitas
menengah, berubah menjadi virus yang lebih pathogen pada tikus yang
kekurangan Se.
E. IMUNISASI
Sistem imun pada manusia pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu (1)
imunitas aktif dan (2) imunitas pasif. Imunitas aktif adalah sistem
kekebalan tubuh dimana sistem tersebut terbentuk oleh tubuh sendiri
dengan cara membentuk respon dan memproduksi antibodi untuk
melawan antigen. Sedangkan imunitas pasif adalah sistem kekebalan
yang tidak dibentuk oleh tubuh sendiri, melainkan didapat dari luar, bisa
dari ibu ke janin atau langsung disuntikan antibodi pada orang yang
membutuhkan kekebalan.
Mekanisme kekebalan pasif yang didapat seseorang dari ibunya adalah
melalui plasenta dan ASI, antara lain :
Beberapa imunoglobulin seperti IgA, IgG, sedangkan IgM tidak dapat
ditranfer karena berat molekul yang besar.
Lewat ASI seperti IgA dengan kadar cukup tinggi, laktoferin, lisozim, faktor
bifidus.
Pemberian antibodi pada tubuh seseorang merupakan upaya untuk
menimbulkan kekebalan atau disebut imunisasi secara pasif. Imunisasi
pasif ini diperlukan apabila: (1) vaksin tidak tersedia, (2) pencegahan
sensitisasi Rh0 dan imunosupresi selama transplantasi jaringan, (3)
defisiensi imun. Imunisasi dengan cara ini memiliki beberapa keuntungan
yaitu : kesegeraan aksi sehingga dapat digunakan pada keadaan gawat,
kelambatan periode laten dapat dicegah, dan sangat tepat diberikan pada
orang dengan imunodefisiensi. Namun begitu, imunisasi pasif memiliki

beberapa kekurangan antara lain : (1) pemberian antibodi spesifik pasif


dapat menghambat produksi antibodi secara aktif dengan cara hambatan
umpan balik negatif, (2) kekebalan yang dihasilkan tidak dapat bertahan
lama (2-10 hari tergantung antibodi yang diberikan), (3) pemberian
berulang-ulang dapat menyebakan kemungkinan reaksi hipersensitivitas.
Untuk menjawab semua kekurangan tersebut, maka ada imunisasi aktif
dimana tubuh dirangsang untuk menghasilkan kekebalan dengan
sendirinya. Keuntungan imunisasi aktif adalah : proteksi yang lebih
panjang, kadar antiobodi untuk bertahun-tahun.
Imunisasi ini memanfaatkan antigen yang sudah dilemahkan atau
dimatikan dan dimasukan ke dalam tubuh sehingga tubuh akan merespon
dengan membuat antibodi. Namun, karena sudah dilemahkan atau
dimatikan, antigen ini tidak menimbulkan penyakit. Antigen ini dinamakan
vaksin.
Paparan pertama antigen atau vaksin terhadap tubuh menghasilkan
respon primer, dimana akan dibentuk antibodi dan sel memori. Pada
paparan kedua dan selajutnya baik itu dari antigen secara alami ataupun
dari vaksin, menghasilkan respon sekunder, dimana tubuh sudah
mengenali antigen tersebut, sehingga produksi antibodi akan lebih cepat,
periode laten lebih pendek, kadar antibodi lebih tinggi.
Pada dasarnya vaksin dibuat dari :
Kuman yang sudah dilemahkan (vaksin polio salk, batuk rejan) atau
dimatikan (vaksin BCG, polio sabin, campak).
Zat racun (toksin) yang telah dilemahkan (toksoid), contoh : toksoid
tetanus, diphteri.
Bagian kuman tertentu/ komponen kuman yang biasanya berupa protein
khusus, contoh : vaksin hepatitis B.
Vaksinasi kadang menimbulkan hal yang tidak diharapkan. Kejadian ini
dipantau dalam KIPI (Kejadian Ikutan Paska Imunisasi).
Klasifikasi KIPI :
reaksi vaksin, misal: induksi vaksin, potensial vaksin, sifat dasar vaksin.
kesalahan program, misal: salah dosis, salah lokasi dan penyuntikan,
semprit dan jarum tidak steril, kontaminasi vaksin dan alat suntik,
penyimpanan vaksin salah.
kebetulan, kejadian terjadi setelah imunisasi tetapi tidak disebkan oleh
vaksin.
injection reaktion, disebkan rasa takut/ gelisah dari tindakan penyuntikan,
bukan dari vaksin, misal : rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada
tempat suntikan, takut, pusing, dan mual, penyebab tidak diketahui.

8. Nama: Dimas Hervian Putera (2011730129)


Proses Pembentukan Antibodi
Pada saat antigen bersubstansi dengan antibodi yang diperoleh oleh
sel B atas rangsangan imunogen. Jadi antibodi kita mengingat jenis
antigen, kemudian jika ada antigen yang masuk dengan reaksi yang lebih
hebat antibodi dapat mengatasi. Terdapat dua kelas respons imun didapat
imunitas yang diperantaraioleh antibodi atau imunitas humoral, yang
melibatkan pembentukan antibodi oleh turunan limfosit B yang dikenal
sebagai sel plasmadan imunitas yang diperantarai oleh sel atau imunitas
selularyang melibatkan pembentukanlimfosit T aktif, yang secara
langsung menyerang sel yang tidak diinginkan.
Secara umum sel B mengenali mikroba atau benda asing yang
berada dalam keadaan bebas misalnya bakteri dan toksinnya serta
beberapa virus, yang dilawan dengan mengeluarkan antibodi spesifik
terhadap benda-benda asing tersebut. Sel T secara khusus mengenal dan
menghancurkan sel tubuh yang kacau, termasuk sel terinfeksi oleh virus
dan kanker.

Asal Sel B dan Sel T


Sel B berdiferensiasi dan mengalami pematangan di sumsum
tulang. Untuk sel T selama janin dan anak-anak dini sebagai dari limfosit
sumsum tulang bermigrasi melalui darah ke timus, tempat sel-sel tersebut
mengalami pemrosesan lebih lanjut menjadi limfosit T. Timus adalah
jaringan limfoid yang terletak di garis tengah di dalam rongga thorakx di
atas jantung di ruang antara kedua paru.
Setelah dilepaskan ke darah dari sumsum tulang atau timus, sel B
dan T matang menetap dan membentuk koloni limfosit di jaringan limfoid
perifer. Di sini dengan perangsangan yang sesuai, sel-sel tersebut
mengalami pembelahan untuk menghasilkan generasi baru sel B atau sel
T. Masing masing kita memiliki 2 triliyun limfosit, yang dijadikan satu
masa akan seukuran otak. Pada setiap saat sebagian besar dari limfosit ini
terkonsentrasi di berbagai jaringan limfoid di tempat strategis, tetapi sel B
dan T secara terus menerus beredar dalam limfe, darah, dan jaringan
tubuh tempat mereka melakukan pengawasan tetap.
Antibodi disekresikan ke dalam darah atau limfe, tetapi semua
antibodi akhirnya memperoleh akses ke darah, tempat zat ini dikenal
sebagai globulin gama, atau imunoglobulin. Imunoglobulin merupakan

substansi pertama yang diidentifikasi sebagai molekul serum yang


mampu menetralkan sejumlah mikroorganisme penyebab infeksi. Molekul
ini disintesis oleh sel B dalam 2 bentuk berbeda, yaitu sebagai reseptor
permukaan (untuk mengikat antigen), dan sebagai antibodi yang
disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler.

Subkelas Antibodi imunoglobulin


1. Imunoglobulin IgM terdapat dalam bentuk pentamer, karena itu
merupakan imunoglobulin yang ukurannya paling besar.
berfungsi sebagai reseptor permukaan sel B untuk mengikat
antigen dan disekresikan pada tahap-tahap awal respon plasma.
IgM ini 1000 kali lebih efektif dalam aktifitas penghancuran
bakteri di banding IgG.
2. IgG, salam serum orang dewasa normal, IgG merupakan 75%
dari imunoglobulin total, dan dijumpai dalam bentuk monomer.
IgG merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas
rangsangan antigen . IgG dapat menembus plasenta dan masuk
ke dalam peredaran janin, sehingga pada bayi baru lahir IgG
yang berasal dari ibu yang melindungi bayi terhadap infeksi.
3. IgE, dapat dijumpai dalam serum dengan kadar amat rendah,
peran IgE belum diketahui seara pasti, tapi kenyataan bahwa IgE
banyak dijumpai pada penderita dengan infestasi cacing yang
menimbulkan dugaan bahwa IgE berperan dalam melindungi
tubuh terhadap parasit.
4. IgA, Kelas imunoglobulin kedua terbanyak pada serum ialah IgA.
Walaupun demikian IgA terutama berfungsi dalam cairan sekresi
dan diproduksi dalam jumlah besar oleh sel plasma dalam
jaringan limfoid yang terdapat sepanjang saluran cerna, saluran
nafas dan saluran urogenital dalam bentuk dimer. Karena itu IgA
dapat dijumpai dalam saliva, air mata, kolostrum dan juga pada
sekret bronkus, vagina, dan prostat.
5. IgD, merupakan monomer dan konsentrasinya dalam serum
hanya sedikit. Peran biologiknya sebagai antibodi humoral belum
jelas, yang telah diketahui adalah perannya sebagai antibodi
terhadap hipersensitifitas terhadap penisilin.
Perhatikan bahwa klasifikasi ini didasarkan pada fungsi antibodi.
Pembagian ini tidak menunjukan bahwa hanya terdapat lima antibodi
yang berbeda. Di dalam masing-masing sub kelas fungsional terdapat
jutaan antibodi yang berlainan, masing-masing mampu berikatan dengan
satu antigen tertentu.

9. Nama: Lia Dafia (2011730148)


Patofisiologi gangguan sistem imun pada skenario.
Mekanisme Demam
Demam merupakan peningkatan suhu tubuh akibat infeksi atau peradangan. Sebagai
respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel-sel Kupffer
mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL-1 (interleukin 1),
TNF (Tumor Necrosis Factor ), IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon) yang bekerja
pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat. Hipotalamus
mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu normal. Sebagai contoh,
pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 C, hipotalamus merasa bahwa
suhu normal prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu mekanismemekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh.
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh
berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi
berbagai rangsang. Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi
leukosit untuk mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan
TNF, selain IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat
OVLT (Organum Vasculosum Laminae Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan
lateral nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon
terhadap sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama
prostaglandin E2 melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase 2), dan
menimbulkan peningkatan suhu tubuh terutama demam.
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal
aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage inflammatory
protein-1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas.
Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam
sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan
disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi.
Mekanisme Batuk

Batuk merupakan ekspirasi eksplosif untuk mengeluarkan secret dan benda asing dari
saluran trakeobronkial. Batuk merupakan suatu gejala gangguan atau kelainan saluran napas.
Keadaan ini merupakan suatu cara pertahanan tubuh untuk mengeluarkan lendir dan benda
asing dari saluran napas. Batuk terjadi akibat rangsangan oleh zat-zat tadi. Walaupun batuk
suatu mekanisme pertahanan tubuh, tetapi bila ini berlangsung lama dan terus menerus maka
hal ini sangat mengganggu penderita. Penderita sering datang berobat ke dokter akibat gejala
batuk ini.
Ada 4 fase mekanisme batuk :
1.

Fase Iritasi
Bronkus dan trakea sangat sensitive terhadap sentuhan ringan, sehingga bila
terdapat benda asing atau penyebab iritasi lainnya walaupun dalam jumlah yang
sangat sedikit akan menimbulkan refleks batuk. Laring dan karina (tempat trakea
bercabang menjadi bronkus) adalah yang paling sensitive, dan bronkiolus terminalis
dan bahkan alveoli bersifat sensitive terhadap rangsangan bahan kimia yang korosif
seperti gas sulfur dioksida atau klorin. Impuls aferen yang berasal dari saluran
pernapasan terutama berjalan melalui nervus vagus ke medula otak. Neuron medula
ini akan menyebabkan terjadinya fase-fase berikutnya.

2.

Fase Inspirasi
Impuls aferen yang berasal dari saluran pernapasan terutama berjalan melalui
nervus vagus ke medula otak. Neuron medulla ini akan memberikan perintah balik
berupa kontraksi otot abductor, kontraksi pada kartilago di laring seperti kartilago
aritenoidea yang akan menyebabkan kontraksi diafragma sehingga terjadi kontraksi
intercostal pada abdominal. Hal ini akan menyebabkan glotis terbuka karena medula
spinalis juga merespon terjadinya inspirasi sehingga akan terjadi inspirasi yang cepat
dan dalam. Volume udara yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar
antara 200 sampai 3500 ml di atas kapasitas residu fungsional. Penelitian lain
menyebutkan jumlah udara yang dihisap berkisar antara 50% dari tidal volume
sampai 50% dari kapasitas vital. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar
volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan
dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume
yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret
akan lebih mudah.

3.

Fase Kompresi

Pada fase ini epiglotis menutup, dan pita suara menutup erat-erat untuk
menjerat udara dalam paru. Epiglotis tertutup selama 0,2 detik. Otot-otot abdomen
berkontraksi dengan kuat mendorong diafragma, sedangkan otot-otot ekspirasi
lainnya, seperti interkostalis internus, juga berkontraksi dengan kuat. Akibatnya,
tekanan dalam paru meningkat secara cepat sampai 100mmHg atau lebih. Tertutupnya
glotis merupakan ciri khas batuk, yang membedakannya dengan manuver ekspirasi
paksa lain karena akan menghasilkan tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan
bila glotis tertutup adalah 10 sampai 100% lebih besar dari pada cara ekspirasi paksa
yang lain. Batuk dapat terjadi tanpa penutupan epiglotis karena otot-otot ekspirasi
mampu meningkatkan tekanan intratoracal walaupun glotis tetap terbuka.
4.

Fase Ekspirasi
Pita suara dengan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar, sehingga terjadilah
pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tinggi disertai dengan
pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan lain. Udara yang keluar akan
menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada sehingga menimbulkan
suara batuk yang kita kenal. Tentu saja, udara ini kadang-kadang dikeluarkan dengan
kecepatan 75-100 mil/jam.

Mekanisme Pilek
Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan
lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presenting cells (APC).
Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergen dipresentasikan
ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui
penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang diaktifkan, kepada sel B diberikan signal
untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera
diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini
dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk
IgE. Sel eosinofil, makrofag dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan
afinitas yang lemah.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen yang
sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan
mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca ++ ke dalam sel dan terjadi
perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP yang menurun itu akan

menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan
adalah mediator yang sudah terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam
sitoplasma yang mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A
(ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat
oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin. Histamin menyebabkan Vasodilatasi,
penurunan tekanan kapiler & permeabilitas dan sekresi mucus (sel goblet). Sekresi mukus
yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek.

10.

Nama: Vera Vezha (2011730166)

Kadar Leukosit, Limfosit, Trombosit, dan CRP


1. Leukosit (Sel darah putih)
Merupakan komponen sel darah yang berperan dalam sistem
kekebalan tubuh untuk melawan berbagai infeksi.
Peningkatan leukosit = Leukositosis= Infeksi, Inflamasi
Penurunan leukosit

= Leukopenia= Infeksi, Inflamasi

Hasil Pemeriksaan Hematologi Rutin


Bayi baru lahir

10.000-30.000/mL

Bayi 12 jam

13.000-38.000/mL

Pada keadaan basal jumlah leukosit pada dewasa berkisar 5.00010.000/mL


Leukositosis
- Fisiologik : Pada kerja fisik yang berat. gangguan emosis, kejang,
takikardi di paroksisimal, partus, dan haidh.
- Patologik : Selalu diikuti oleh peningkatan absolut dari salah satu/
lebih jenis aukositosis.
Leukopenia: <5000/mL

Neutrofilia : >7.000/mL

Infeksi

bakteri,

keracunan

bahan,

kimia

dan

logam

berat,

gangguan metabolik seperti uremia, nekrosia jaringan, kehilangan darah


dan kelainan mieloproliferatif.
Eosinofilia ; >300/mL
Allergen
Basofilia : >100/mL
Penyakit alergi spt eritroderma, urtikaris pigmentosa, dan kolitis
ulserativa. Pada reaksi antigen-antibody basofil akan melepaskan histamin
dari granulanya.
Monositosis adalah suatu keadaan dimana jumlah monosit lebih dari
750/l pada anak dan lebih dari 800/l darah pada orang dewasa.
Monositosis dijumpai pada penyakit mieloproliferatif seperti leukemia
monositik akut dan leukemia mielomonositik akut; penyakit kollagen
seperti lupus eritematosus sistemik dan reumatoid artritis; serta pada
beberapa penyakit infeksi baik oleh bakteri, virus, protozoa maupun
jamur.
2. Limfosit
Limfositosis:

peningkatan jumlah limfosit lebih dari 8000/l pada

bayi dan anak-anak serta lebih dari 4000/l darah pada dewasa.
Dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti morbili, mononukleosis
infeksiosa.
Pada mononukleosis infeksiosa, yang terjadi tidak saja peningkatan
jumlah limfosit dalam darah tetapi banyak limfosit memiliki struktur
atipikal. Keadaan ini, yang di sebabkan oleh virus epstein-barr ditandai
oleh rasa lesu yang hebat, sakit tenggorokan ringan dan demam ringan.
Mononucleosis infeksiosa merupakan infeksi kronik seperti tuberkulosis,
sifilis, pertusis dan oleh kelainan limfoproliferatif seperti leukemia
limfositik kronik dan makroglobulinemia primer.

3. Trombosit
Merupakan sel darah yang berperan pada proses pembekuan/
menghentikan perdarahan. Nilai normal

trombosit adalah 200.000-

400.000/mL.
Trombositopeni : berkurangnya jumlah trombosit dibawah normal,
yaitu kurang dari 150 x 109 / L. Trombositopeni dapat terjadi karena
beberapa keadaan :
Penurunan produksi (megakariositopeni), terjadi bila fungsi sumsum
tulang terganggu .
Meningkatnya destruksi (megakariositosis), terjadi akibat trombosit yang
beredar berhubungan dengan mekanisme imun.
Akibat pemakaian yang berlebihan (megakariositosis), misalnya pada
DIC (Disseminated Intravasculer Coagulation), kebakaran, trauma.
Pengenceran trombosit.
Dapat terjadi oleh karena tranfusi yang dibiarkan dalam waktu singkat
dengan memakai darah murni yang disimpan sehingga dapat
mengakibatkan kegagalan hemostatik pada resipien.
Trombositosis : meningkatnya jumlah trombosit pada peredaran
darah diatas normal, yaitu lebih dari 400 x 109 / L. Pada trombositosis
apabila

rangsangan-rangsangan

yang

menyebabkan

trombositosis

ditiadakan maka jumlah trombosit kembali normal, misalnya terjadi pada


perdarahan yang akut, contohnya pada trauma waktu pembedahan atau
melahirkan.
Trombositemi : peningkatan jumlah trombosit oleh proses yang
ganas. Misalnya pada lekemia mielositik kronik. Jumlah trombosit pada
trombositemi dapat melebihi 1.000x109/L.
4. C- Reactive Protein
Merupakan protein fase akut. Levelnya meningkat saat terjadi
inflamasi dalam tubuh. Merupakan test yang biasa digunakan untuk

mengetahui adanya inflamasi, tapi kurang spesifik karena tidak bisa


menunjukkan secara tepat lokasi terjadinya inflamasi.
Seorang dokter melakukan test CRP biasanya untuk mengetahui
meningkatnya penyakit inflamasi dan untuk memastikan kerja obat
anti inflamasi.
Tes CRP yg lebih sensitif, high-sensitivity C-reactive protein (hs-CRP)
assay, menunjukkan resiko seseorang terkena risiko penyakit hati.
Banyak yg mengira bahwa level CRP yg tinggi dapat menjadi faktor
unt terjadinya penyakit hati.

Bagaimanapun juga, hal ini tidak

diketahui apa tes CRP saja yg menjadi tanda dari penyakit


cardiovaskular atau penyebab masalah di hati.
Bagaimanapun juga niali CRP yg rendah tidak selau menandakan
bahwa tidak terjadi inflamasi. Karena hal tersebut bisa terjadi pada
pasien dengan penyakit AR atau lupus.
Seorang dokter mungin melakukas tes hs-CRP untuk membantu
menentukan risiko terkena penyakit hati. Menurut American Heart
Association:
Berisiko rendah terkena penyakit kardiovaskular hs-CRP level
<1.0mg/L
Berisiko sedang terkena penyakit kardiovaskular antara 1.0 and 3.0
mg/L
Berisiko tinggi terkena penyakit kardiovaskular > 3.0 mg/L
11.

Nama: Mahasti Andrarini (2011730154)

Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Sistem Imun.


1. Sensitivitas dan Spesifisitas
Sensitivitas pemeriksaan proporsi penderita dengan penyakit
yang menunjukkan tes positif. Hasil negatif adalah tes yang sangat
sensitif dan dapat digunakan untuk menyingkirkan penyakit relevan.

Tes hendaknya negatif pada individu sehat dan yang menderita


penyakit lain, tetapi dengan gambaran klinis sama.
Spesifisitas pemeriksaan proporsi individu tanpa penyakit
tertentudengan tes negatif. Tes positif hanya terbatas pada penyakit
yang dipermasalahkan dengan tes spesifisitas tinggi, seperti AMA
(Antibodi Mitokondria).
2. Pemeriksaan Sistem Imun Humoral
Digunakan untuk memeriksa:
a. Pemeriksaan imunoglobulin dan protein spesifik lain,
contohnya:
serum,
hemaglutinasi,
reaksi
presipitasi,
Pemeriksaan IgG, IgM, IgA, dan protein dengan elektroforesis,
dan pemeriksaan antibodi terhadap antigen mikroba.
b. Kemampuan memproduksi imunoglobulin.
c. Kemampuan memeriksa protein spesifik
paraprotein dan elektroforesis protein serum.

lain,

seperti

d. Urin
e. CSP (Cairan Serebrospinal)
f. Pemeriksaan protein fase akut dan komplemen
3. Pemeriksaan Limfosit
Ada dua cara untuk menilai limfosit, yaitu dengan memeriksa
kuantitas dan fungsi sel.
a. Pemeriksaan Kuantitas dan Fenotipe
Neutropenia dan limfositopenia yang berat dapat diketahui
dengan mudah melalui pemeriksaan jumlah dan hitung jenis
leukosit.
b. Pemeriksaan Fungsi
Digunakan untuk menguji transformasi limfosit, Leucocyte
Migration Inhibition Test, Pemeriksaan sitotoksitas, Uji
Proliferasi, Mixed Lymphocte Culture (Reaction), dan Plaque
Forming Cell.
4. Pemeriksaan Fungsi Neutrofil dan Monosit

Pemeriksaan defek neutrofil dikerjakan bila ada riwayat infeksi


kulit rekuren, gingivitis kronis dan infeksi bakteri atau jamur yang
rekuren dan dalam
5. Pemeriksaan Biopsi Jaringan
Digunakan untuk pemeriksaan imunoglobulin, komplemen dan
kadang-kadang antigen. Baik pada jaringan yang rusak maupun
yang sehat, dapat terjadi endapan kompleks imun yang
mengandung ketiga unsur tersebut.
a. Biopsi Kulit
Diindikasikan pada pemeriksaan penyakit kulit dengan lepuh
(pemfigoid/pemfigus) dermatitis herpertiformis, LES, dan
vaskulitis.
b. Biopsi Ginjal
Digunakan untuk mengidentifikasi endapan imunoglobulin dan
komplemen di glomerulus.
6. Tissue Typing
Berguna untuk menentukan derajat parity atau disparity antara
antigen pada transplantasi. Salah satu caranya ialah
menggunakan antisera sitotoksik terhadap HLA seseorang
7. Immunoblotting
Digunakan untuk memeriksa molekul dalam campuran
biokimiawi yang kompleks. Dapat juga digunakan untuk
menganalisa susunan DNA pada gen tertentu. DNA yang sudah
diisolasi, di ekstraksi, dan dijadikan fragmen-fragmen kecil
dengan bantuan enzim.

REFERENSI

Kresno, Siti Boedina. 2010. IMUNOLOGI: Diagnosis dan


Prosedur Laboratorium. Edisi Kelima. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Baratawidjaja, K. Garna.2009. IMUNOLOGI DASAR. Edisi ke-8.


Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai