Anda di halaman 1dari 34

REFERENSI ARTIKEL

PATOFISIOLOGI RESISTENSI INSULIN DAN PENATALAKSANAANYA

Oleh:
Akhmad Miftahudin Fazri G99141096
Tara Ken WitaKirana

G99141097

Pembimbing:

DR. Sugiarto, dr., Sp.PD-KEMD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
S U R AK AR TA
2015

HALAMAN PENGESAHAN

MakalahReferat Ilmu Penyakit Dalam dengan judul:

Patofisiologi Resistensi Insulin dan Penatalaksanaanya

Oleh:
Akhmad Miftahudin Fazri G99141096
Tara Ken WitaKirana

G99141097

Telah disetujui untuk dipresentasikan pada tanggal :

DR. Sugiarto, dr., Sp.PD-KEMD, FINASIM

BAB I
PENDAHULUAN
Resistensi insulin adalah kondisi ketika konsentrasi produksi insulin yang
ada

tidak

bisa

memenuhi

kebutuhan

biologi

tubuh

dalam

meningkatkanpengambilan glukosa dan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh


(Meier U et al, 2004; Olatunbosun ST et al, 2015). Resistensi insulin memiliki
karasteristik adanya defek kinerja insulin (Castro et al, 2014).
Olatunbosun ST et al (2015) menyatakan prevalensi resistensi insulin pada
populasi kulit putih sebesar 3-16%, lebih rendah 2% dari populasi orang Jepang
yang sudah dilaporkan.Reynaulds et al (2005) dalam Marfianti (2006)
menyatakan di Amerika Serikat prevalensi resistensi insulin pada orang obes
adalah 59,6%.
Resistensi insulin berperan penting dalam patogenesis DM tipe 2.
Manifestasi klinis dari resistensi insulin, intoleransi glukosa dan hiperinsulinemia,
adalah konsekuensi dari ketidakmampuan insulin untuk merangsang penyerapan
glukosa dalam jaringan target insulin, seperti otot dan lemak (Garvey et al, 2004).
GLUT-4 adalah transporter glukosa yang utama. Penelitian pada tikus yang salah
satu allele gen GLUT-4 nya dirusak menghasilkan resistensi insulin yang parah
(Kahn, Shepherd, 2012)
Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa stress oksidatif menjadi
dasar patomekanisme dari insulin resisten dan DM tipe 2 (Meigh B, et al, 2007).
Salah satu penelitian menyebutkan bahwa penurunan transport glukosa ke dalam
sel adalah akibat dari metabolisme free fatty acid, yang produk akhirnya adalah
ROS, secara langsung mempengaruhi aktivitas GLUT-4 (Shulman, 2000).
Sebagai klinisi, penting untuk mengetahui patofisiologi resistensi insulin
sebagai dasar dalam penatalaksaanan penyakit terkait insulin, salah satunya DM
tipe 2. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai patofisiologi resistensi insulin
dan penatalaksanaanya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Insulin
2.1.1 Struktur dan Bahan Kimia Insulin
Insulin merupakan hormone peptide yang disekresikan oleh sel dari
Langerhans pancreas. Fungsi insulin adalah untuk mengatur kadar normal glukosa
darah. Insulin bekerja melalui memperantarai uptake glukosa seluler, regulasi
metabolism karbohidrat, lemak, dan protein, serta mendorong pemisahan dan
pertumbuhan sel melalui efek motigenik pada insulin (Wilcox, 2005).
Insulin memiliki struktur dipeptida, yang terdiri dari rantai A dan B. Kedua
rantai ini dihubungkan dengan jembatan sulfide yang menghubungkan struktur
helix terminal N-C dari rantai A dengan struktur central helix dari rantai B. Insulin
mengandung 51 asam amino, dengan berat molekul 5802. Rantai A terdiri dari 21
asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino (Wilcox, 2005).
2.1.2 Sintesis dan Pelepasan Insulin
Insulin dikode oleh lengan pendek kromosom 117 dan disintesa oleh sel
dari islet pancreas Langerhans sebagai proinsulin. Proinsulin disintesa di ribosomRetikulum Endoplasma kasar dari mRNA sebagai pre-proinsulin. Pre-proinsulin
dibentuk melalui sintesa signal peptide. Pelepasan signa peptida akan membentuk
proinsulin di Retikulum Endoplasma. Vesikel sekretori akan mengirim proinsulin
dari reticulum endoplasma ke badan golgi. Di badan golgi, proinsulin akan
diberikan tambahan zink dan kalsium yang akan menyebabkan bentukan
heksamer proinsulin yang tidak larut air. Enzim di luar badan golgi akan merubah
proinsulin menjadi insulin dan C-peptide (Wilcox, 2005).
Sekresi insulin dapat dipengaruhi oleh perubahan pada transkripsi gen,
translasi, modifikasi post-translasi di badan Golgi, dan factor-faktor lain yang
mempengaruhi pelepasan insulin oleh granula sekretorik. Modifikasi jangka
panjang dapat terjadi melalui perubahan pada jumlah sel dan differensiasinya.

Glukosa mempengaruhi biosintesis dan sekresi insulin dengan beberapa cara.


Asam amino, asam lemak, asetilkolin, pituitary adenylate cyclase-activating
polypeptide (PACAP), glucose-dependent insulinotropic polypeptide (GIP),
glucagon-like peptide-1 (GLP-1) dan agonis yang lain juga berpengaruh pada
proses biosintesis dan pelepasan insulin (Wilcox, 2005).
Peningkatan kadar glukosa menginduksi fase pertama dalam glucosemediated insulin secretion yakni dengan pelepasan insulin yang baru saja disintesa
dan penyimpanan dalam granula sekretorik sel . Masuknya glukosa ke dalam sel
dideteksi oleh glukokinase, sehingga glukosa tadi difosforilasi menjadi glukosa6-fosfat (G6P). Proses ini membutuhkan ATP. Penutupan kanal K+-ATPdependent mengakibatkan depolarisasi membrane plasma dan aktivasi kanal
kalsium yang voltage-dependent yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
kalsium intraseluler. Peningkatan kadar kalsium inilah yang menyebabkan sekresi
insulin. Mediator lain yang berperan dalam pelepasan insulin adalah aktivasi
fosfolipase dan protein kinase C (sebagai contoh oleh asetilkolin) serta
rangsangan dari aktivitas adenil-siklase dan protein kinase-A sel . Mekanisme
induksi sekresi insulin juga melibatkan aktivitas hormone, seperti vasoactive
intestinal peptide (VIP), PACAP, GLP-1, dan GIP. Factor-faktor ini memegang
peranan penting dalam fase kedua sekresi insulin, yakni pelepasan insulin baik
yang baru saja disintesa maupun yang disimpan dalam granula sekretorik (Wilcox,
2005).
Sintesis dan sekresi insulin diatur oleh sekretagog nutrien and non-nutrien.
Sekretagog nutrien seperti glukosa memicu sekresi insulin dari sel dengan
meningkatkan ATP intraseluler dan penutupan K +-ATP kanal sebagai diuraikan di
atas. Produksi c-AMP dan mediator energi sel lain juga ditambah, yang akhirnya
akan menngkatkan pelepasan insulin. Glukosa tidak memerlukan insulin untuk
masuk ke dalam sel (juga fruktosa, manosa atau galaktosa). Sekretagog nonnutrien mungkin bekerja melalui rangsangan saraf seperti jalur kolinergik dan
adrenergik, atau melalui hormon peptida dan asam amino kationik (Wilcox, 2005).
2.1.3 Reseptor Insulin

Insulin dalam memberikan efeknya harus berikatan dengan reseptor


insulin. Reseptor insulin memiliki struktur heterotetramer yang terdiri dari subunit
glikoprotein 2 dan 2 , yang dihubungkan dengan ikatan disulfide dan berlokasi
di membrane sel. Gen yang mengkode reseptor insulin terletak pada lengan
pendek dari kromosom 19. Insulin berikatan dengan subunit ekstraseluler, yang
mengakibatkan perubahan bentuk sehingga mengakibatkan ikatan ATP pada
komponen intraseluler dari subunit . Ikatan ATP akan memicu fosforilasi dari
subunit melalui enzim tyrosine kinase. Fosforilasi tyrosine pada substrat
intraseluler ini disebut sebagai (IRS). IRS dapat mengikat molekul-molekul sinyal
yang lain, yang dapat mengaktivasi insulin (Wilcox, 2005).
Terdapat 4 jenis protein IRS. IRS 1 merupakan IRS terbesar di otot rangka.
IRS 2 merupakan IRS penting di liver, yang berfungsi dalam aktivitas perifer dari
insulin dan pertumbuhan dari sel pancreas. IRS 3 ditemukan hanya pada
jaringan adipose, sel , dan liver. Sedangkan IRS 4 ditemukan di timus, otak dan
ginjal. IRS yang telah terfosforilasi akan mengikat src-homology-2 domain
protein

(SH2)

yang

spesifik,

yang

meliputi

enzim

penting

seperti

phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase) dan phosphotyrosine phosphatase


SHPTP2 (atau Syp), dan protein lain yang bukan enzim tapi dapat
menghubungkan IRS-1 dengan system sinyal intraseluler yang lain (Grb2 yang
menghubungkan dengan jalur RAS (rat sarcoma protein)) (Wilcox, 2005).
PI 3-kinase akan mengakibatkan translokasi dari protein glukosa
transporter, glikogen, lipid dan sintesis protein, anti-lipolisis, serta mengatur
glukoneogenesis di liver. PI 3-kinase bekerja melalui kinase serine dan threonine
seperti Akt/protein kinase B (PKB), protein kinase C (PKC) dan PI dependent
protein kinases1& 2 (PIPD 1&2) (Wilcox, 2005).

Gambar 1.Skema jalur sinyal insulin (Wilcox, 2005)


2.1.4 Glukosa Transporter
Membrane sel yang berstruktur bilayer lipid akan menyebabkan sifat
impermeable pada molekul karbohidrat. Oleh karena itu, dibutuhkan system
transport untuk mengangkut glukosa. Glukosa dapat masuk ke dalam sel melalui
facilitated diffusion yang membutuhkan ATP, yakni melalui Glukosa Transporter
(GLUT). Terdapat 5 subtipe dari GLUT berdasarkan spesifisitas terhadap substrat,
profil kinetk, dan distribusinya pada jaringan. Sebagai contoh, sel otak memiliki
GLUT 1 sehingga sel tersebut mapu memasukkan glukosa ke dalam sel dalam
konsentrasi yang rendah di darah tanpa membutuhkan insulin. Sementara itu
GLUT 4 pada sel adipose dan sel otot membutuhkan insulin dan konsentrasi
glukosa yang tinggi. PI 3-kinase merupakan protein yang penting dalam
translokasi GLUT 4 ke membrane sel pada sel otot dan adipose dan menginduksi
enzim-enzim yang bekerja pada downstream (Wilcox, 2005).

Gambar 2. Subtipe Glukosa Transporter(Wilcox, 2005).


2.1.5 Mekanisme Molecular Uptake Glukosa
GLUT-4 adalah transporter glukosa utama dan terletak terutama pada sel
otot dan sel lemak. Konsentrasi glukosa fisiologis adalah 36-179 mg per desiliter
(2 sampai 10 mmol per liter). Pentingnya GLUT-4 dalam homeostasis glukosa
ditunjukkan melalui penelitian pada tikus di mana satu alel dari GLUT-4 gen
diganggu. Tikus-tikus ini mengalami pengurangan 50 persen konsentrasi GLUT-4
pada otot rangka, jantung, dan sel lemak, dan mereka mengalami resistensi insulin
berat; diabetes berkembang pada setidaknya setengah tikus jantan (Sheperd et al,
1999).
Pada sel otot dan sel lemak normal, GLUT-4 didaur ulang antara membran
plasma dan vesikel penyimpanan intraseluler. GLUT-4 berbeda dari transporter
glukosa lain, yaitu sekitar 90 persen terletak di intrasel saat kondisi tidak ada
rangsang insulin atau rangsangan lain seperti olahraga (Sheperd et al, 1999)
Dengan adanya insulin atau stimulus lain, keseimbangan dari proses daur ulang

ini diubah untuk mendukung translokasi GLUT-4 dari vesikel penyimpanan


intraseluler ke arah membran plasma, dan juga ke tubulus transversa pada sel
otot,. Efek bersihnya adalah peningkatan kecepatan maksimal transpor glukosa ke
dalam sel. (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000). Gerakan intraselular GLUT-4
dimulai dengan pengikatan insulin pada bagian ekstraseluler dari reseptor insulin
transmembran. Ikatan ini mengaktifkan fosforilasi tirosin kinase pada bagian
intraseluler dari reseptor. Substrat utama untuk tirosin kinase ini termasuk insulin
reseptor-substrat molekul (IRS-1, IRS-2, IRS-3, dan IRS-4), Gab-1 (Grb2 [faktor
pertumbuhan reseptor yang terikat protein 2] terkait pengikat 1), dan SHC (Src
dan kolagen-homolog protein). Dalam sel lemak dan otot rangka, aktivasi
selanjutnya dari phosphoinositol-3 kinase diperlukan untuk stimulasi transpor
glukosa oleh insulin dan sudah cukup untuk menimbulkan setidaknya translokasi
sebagian GLUT-4 ke membran plasma (Sheperd et al, 1999).
Aktivasi protein kinase serin-treonin juga terlibat. Phosphoinositol-3
kinase juga mengaktifkan kinase lain dengan menghasilkan produk lipid
phosphatidylinositol dalam bilayer lipid membran sel. Lipid ini, pada gilirannya,
akan mengaktifkan molekul signaling kunci. Dengan cara ini, serin-treonin kinase
yang, disebut protein kinase B (atau Akt), dan phosphoinositide-dependent kinase
1 dibawa bersama-sama, hingga memungkinkan molekul kedua untuk
memfosforilasi dan mengaktifkan protein kinase B. Beberapa isoform protein
kinase C juga diaktifkan oleh insulin , dan phosphoinositide-dependent protein
kinase 1 dapat menyebabkan aktivasi protein kinase C karena molekul ini
memfosforilasi loop aktivasi protein kinase C (Sheperd et al, 1999; Shulman,
2000).
Translokasi intraselular GLUT-4 ke membran plasma dirangsang oleh
ekspresi bentuk aktif protein kinase B atau isoform atipikal protein kinase C pada
percobaan kultur sel. Hal ini menunjukkan bahwa salah satu atau kedua kinase
tersebut adalah mediator kimia dalam proses insulin merangsang translokasi
GLUT-4 in vivo. Isoform atipikal protein kinase C adalah kandidat yang baik:
telah dibuktikan bahwa menghalangi kerja mereka akan melemahkan pergerakan
GLUT-4, sedangkan penelitian di mana aktivasi protein kinase B diblok memiliki

hasil yang bertentangan. Selanjutnya, pada sel otot dari subyek diabetes, pada
konsentrasi insulin fisiologis, stimulasi transpor glukosa terbukti terganggu,
sedangkan aktivasi protein kinase B normal (Sheperd et al, 1999; Shulman, 2000).

2.2 Resistensi Insulin


Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis / gejala
klinis akibat meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan
dengan terganggunya sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai
glukosa (Wilcox, 2005; Olatunbosun, 2015).
2.2.1 Mekanisme Seluler pada Kondisi Resistensi Insulin
Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan ada sekitar 250 juta orang yang
terkena diabetes mellitus tipe 2 di seluruh dunia. Meskipun faktor utama yang
menyebabkan penyakit ini tidak diketahui, jelas bahwa resistensi insulin
memainkan peran utama dalam perkembangannya. Bukti untuk ini berasal dari (a)
adanya resistensi insulin 10-20 tahun sebelum timbulnya penyakit, (b) penelitian
lintas seksi yang menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah penemuan yang
konsisten pada pasien dengan diabetes tipe 2, dan (c) studi prospektif
menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah prediktor terbaik dari apakah
seorang individu nantinya akan menjadi diabetes (Shulman, 2000; Olatunbosun,
2015).
Secara fisiologis di seluruh tubuh, kerja insulin dipengaruhi oleh peran
hormone lain. Insulin bersama growth-hormone (GH) dan IGF-1 mendorong
proses metabolic pada saat makan. GH disekresi sebagai respons terhadap
peningkatan insulin, ehingga tidak terjadi hipoglikemia akibat insulin. Hormone
kontraregulator insulin seperti glucagon, glukokortikoid, dan katekolamin
mendorong proses metabolic pada saat puasa. Glukagon menyebabkan proses
glikogenolisis, glukoneogenesis, dan ketogenesis. Rasio insulin-glukagon
memperlihatkan derajat fosforilasi atau defosforilasi dari enzim-enzim yang
berperan dalam sekresi/aktivasi insulin. Katekolamin menyebabkan lipolisis dan
glikogenolisis. Sementara glukokortikoid menyebabkan katabolisme otot,
glukoneogenesis, dan lipolisis. Sekresi yag berlebihan dari hormone-hormon
kontra-insulin akan berakibat resistensi insulin pada beberapa tempat. Resistensi
insulin pada kebanyakan tempat dipercaya sebagai manifestasi tingkat seluler dari
defek sinyal insulin post-reseptor. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab
resistensi insulin antara lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau

polimorfisme genetic dari fosforilasi tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau
PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal
(Wilcox, 2005; Ye, 2013)
Peningkatan konsentrasi plasma bebas asam lemak biasanya terkait dengan
banyak insulin resisten negara bagian, termasuk obesitas dan diabetes melitus tipe
2 (Kahn et al, 2000; Shulman, 2000). Dalam sebuah penelitian cross-sectional dari
muda keturunan, berat badan normal dari pasien diabetes tipe 2, kami menemukan
hubungan terbalik antara konsentrasi plasma puasa asam lemak dan sensitivitas
insulin, konsisten dengan hipotesis bahwa metabolisme asam lemak diubah
kontribusi untuk resistensi insulin pada pasien dengan diabetes tipe 2 (Shulman,
2000; Garvey et al, 1998). Selanjutnya, studi terbaru ukuran konten trigliserida
intramuskular oleh otot biopsi atau konten trigliserida intramyocellular dengan 1H
NMR (Shulman, 2000) telah menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara
akumulasi trigliserida intramyocellular dan resistensi insulin. Dalam serangkaian
studi klasik, Randle dkk. menunjukkan bahwa asam lemak bersaing dengan
glukosa untuk oksidasi substrat dalam hati tikus terisolasi otot dan otot diafragma
tikus. Mereka berspekulasi bahwa oksidasi lemak menyebabkan peningkatan
resistensi insulin berhubungan dengan obesitas (Kahn et al, 2000; Shulman, 2000;
Ye, 2013; Olatunbosun, 2015).
Mekanisme asam lemak yang berakibat resistensi insulin pada otot rangka
seperti yang diusulkan oleh Randle dkk. Peningkatan lemak konsentrasi asam
mengakibatkan ketinggian asetil KoA yang intramitochondrial/CoA dan
NADH/NAD+ rasio, dengan inaktivasi berikutnya dari piruvat dehidrogenase. Hal
ini

pada

gilirannya

menyebabkan

konsentrasi

sitrat

untuk

meningkat,

menyebabkan penghambatan fosfofruktokinase. Setelah kenaikan intraseluler


glukosa-6-fosfat konsentrasi akan menghambat aktivitas heksokinase II, yang
akan mengakibatkan peningkatan intraseluler konsentrasi glukosa dan penurunan
otot pengambilan glukosa. Bawah: Usulan alternatif mekanisme untuk asam
lemak yang diinduksi resistensi insulin pada otot rangka manusia. Peningkatan
pengiriman dari asam lemak ke otot atau penurunan metabolisme intraseluler
asam lemak menyebabkan peningkatan intraseluler metabolit asam lemak seperti

diasilgliserol, lemak asil KoA, dan ceramides. Metabolit ini mengaktifkan


serin/treonin kinase cascade (mungkin diprakarsai oleh protein kinase Cq)
menyebabkan fosforilasi serin/treonin situs pada substrat reseptor insulin (IRS-1
dan IRS-2), yang pada gilirannya mengurangi kemampuan substrat insulin
reseptor untuk mengaktifkan PI 3-kinase. Sebagai akibatnya, glukosa transportasi
kegiatan dan lainnya peristiwa hilir reseptor insulin signaling berkurang (Garvey,
1998; Shulman, 2000; Pessin, 2000; Olatunbosun, 2015).

Gambar 5. Mekanisme seluler resistensi insulin (Olatunbosun, 2015)

Secara umum penyebab resistensi insulin bisa terletak pada reseptor insulin, post
reseptor insulin atau faktor luar.
2.2.2 Faktor Reseptor Insulin
2.2.2.1 Kelainan Genetik
Beberapa bentuk resistensi insulin dapat melibatkan reseptor itu sendiri,
perubahan pada ekspresi reseptor insulin, pengikatan dan aktivitas kinase.
Blokade tempat fosforilasi yang berbeda menghambat aksi tertentu insulin.
Penderita yang memiliki defek genetic pada reseptor insulinnya dapat
mempengaruhi ekspresi, pengikatan ligan dan kegiatan tirosin kinase. Penderita
ini menunjukkan resistensi insulin yang berat, sebagai sindroma yang secara
klinik bervariasi meliputi sindrom tipe A, leprechaunism, sindroma Rabson
Mandenhall(Laakso, 2001; Shulman, 2000).
Kelainan yang diturunkan ini ditemukan di keluarga yang mengalami mutasi
reseptor insulin serta memberikan gambaran mengenai fungsi reseptor insulin.
Kebanyakan individu yang disertai resistensi insulin familial berat membawa lesi
pada kedua alel reseptor insulin (lnsr) baik sebagai homozigot ataupun hetrozigot.
Pada individu-individu ini, komplemen seluler keseluruhan dari reseptor insulin
mengalami kelainan. Pada beberapa kasus sindroma tipe A dari resistensi insulin
(ditandai dengan penyakit ovarium polikistik, tanda virilisasi, acanthosis nigrans
dan peningkatan kecepatan pertumbuhan), individu yang terkena bersifat
heterozigot sederhana dengan hanya satu alel yang detektif. Kehilangan fungsi
reseptor insulin pada penderita ini mencapai 50 persen dari reseptor insulin,
penurunan kadar reseptor insulin tidak bias mempengaruhi aksi insulin yang
merugikan (Shulman, 2000; Ye, 2013).
Beberapa mekasnisme dapat menerangkan derajat resistensi insulin pada
penderita ini, adalah karena prekursor insulin dapat membentuk hybrid, yaitu
reseptor mutan yang berfungsi menggantikan reseptor yang terganggu.
Model yang menarik timbul dari penelitian mencit knockout lnsr.
Karakteristik pada reseptor insulin homozygous dari tikus null ini berbeda dari
yang dihasilkan mutasi reseptor pada manusia, mencit ini segera mati sesudah
lahir karena resistensi insulin yang ekstrim. Mencit heterozigot, yang membawa
hanya satu alel lnsr yang rusak secara fenotip normal, tanpa adanya gangguan

yang terlihat pada pensinyalan insulin. Sekalipun, defek pada gen lnsr jarang pada
populasi umum yang mengakibatkan resistensi insulin, kemungkinan tetap ada
bahwa penurunan kadar reseptor insulin, yang tidak mempunyai efek, dapat
berinteraksi dengan perubahan down stream lain untuk menghasilkan resistensi
insulin(Olatunbosun, 2015)..
Reseptor insulin juga merupakan sasaran untuk fosforilasi beta-subunit
serin/teronin. Data dari beberapa model eksperimental menyatakan bahwa
modifikasi ini memungkinkan fungsi reseptor diperlemah. Penelitian-penelitian in
vitro memperlihatkan bahwa aktifitas tirosin kinase dari reseptor insulin menurun
sebagai akibat dari fosforilasi serin/treonin (Olatunbosun, 2015).
2.2.2.2 Protein Kinase C
Hormon counter-regulasi dari sitokin dapat mengaktifkan serin kinase,
terutama protein kinase C (PKC), yang menyebabkan resistensi perifer insulin.
Beberapa isoform PKC diaktifkan secara kronis oleh model resistensi insulin pada
manusia dan roden. Kinase-kinase ini dapat mengkatalisa fosforilasi serin atau
treonin dari reseptor insulin atau substratnya. Penghambatan farmakologis
aktivitas PKC atau penurunan ekspresi PKC akan meningkatkan sensitivitas
insulin dan aktivitas tirosin kinase reseptor insulin.(Olatunbosun, 2015).
2.2.2.3 Tirosin Fosfatase (PTPase)
Protein tirosin fosfatase (PTPase) dapat mendefosforilasi reseptor insulin,
yang menurunkan aktivitas kinasenya sehingga memperlemah aksi insulin. Dua
PTPase terdampak pada regulasi negatif reseptor insulin, yaitu PTP1B dan LAR
(leucocyte antigen related). Peningkatan ekspresi fosfatase ini telah dilaporkan
pada pasien yang resisten terhadap insulin dan diabetes tipe 2. Secara in vitro
peningkatan ekspresi enzim ini mencegah pengaktifan reseptor insulin dan IRS-1.
Mencit yang fungsi gen PTP1B tidak aktif menghasilkan peningkatan sensitivitas
insulin, hal ini menunjukkan bahwa regulasi fungsi PTP1B dapat merupakan
target untuk pengobatan resistensi insulin (Shulman, 2000; Pessin, 2000;
Olatunbosun, 2015)
2.2.3 Faktor Post Reseptor Insulin
2.2.3.1 Mutasi pada Glukosa Transport

Mutasi GLUT-2 menyebabkan sindroma Fanconi-Bickel, yang nerupakan


kelainan metabolik resesif autosomal yang jarang, ditandai oleh akumulasi
glikogen hepatic dan renal, nefropati, gangguan pemakaian glukosa dan galaktosa.
Mutasi pada GLUT-4 secara teoritis dapat menyebabkan resistensi insulin.
Polimorfisme pada gen GLUT-4 sangat jarang terjadi pada penderita diabtes tipe 2
dan mempunyai prevalensi yang sama di antara subjek nondiabetik(Shulman,
2000; Pessin, 2000; Olatunbosun, 2015).
2.2.3.2 Perubahan pada jaringan dalam memproduksi GLUT-4
Pada keadaan resisten terhadap insulin, ekspresi gen GLUT-4 diatur
berbeda antara otot dan jaringan lemak. Konsentrasi GLUT-4 menurun pada sel
lemak penderita gemuk, mengalami gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe
2. Konsentrasi GLUT-4 tidak menurun pada otot rangka penderita gemuk,
diabetes gestasional, DM tipe 1 atau 2 dan saudara dari penderita diabetes tipe 2
yang resisten terhadap insulin. Produksi GLUT-4 pada otot menurun sejalan
dengan penuaan pada orang normal dapat berperan pada penurunan sensitivitas
insulin yang terkait dengan umur.
Penurunan produksi GLUT-4 bukan merupakan penyebab resistensi insulin
pada obesitas dan diabetes, ada keuntungan terapeutik untuk meningkatkan
konsentrasi GLUT-4 pada kondisi ini. Olahraga meningkatkan konsentrasi GLUT4 dan sensitivitas insulin pada penderita resistensi insulin dan diabetes mellitus.
Toleransi glukosa dan sensitivitas insulin meningkat oleh adanya produksi
berlebih

pada

otot.

Peningkatan

kadar

GLUT-4

tersebut

menurunkan

hiperglikemia dan meningkatkan sensitivitas insulin(Shulman, 2000; Pessin, 2000;


Olatunbosun, 2015)
2.2.3.3 Gangguan pada Jalur Pensignalan
Phospoinositide-3 kinase berperan dalam translokasi interseluler GLUT-4
yang distimulasi insulin. Phospoinositide-3 kinase dalam otot berkurang pada
penderita gemuk yang disertai resistensi insulin. Gangguan utama dalam
pensinyalan

ini

berada

proksimal

dalam

rangkaian

untuk

pengaktifan

Phospoinositide-3 kinase, karena konsentrasi reseptor insulin dan IRS-1 juga

menurun pada otot dari penderita gemuk dan mereka yang diabetes (Shulman,
2000; Pessin, 2000).
Gangguan uptake glukosa yang distimulasi insulin dapat juga diakibatkan
dari regulasi naik (up regulation) protein yang menghambat jalur persinyalan.
Ekspresi dan aktivitas beberapa protein tirosin fosfatase meningkat pada otot
skeletal dan lemak pada subjek gemuk ((Shulman, 2000; Pessin, 2000).
Knockout dari gen untuk satu dari fosfatase ini pada mencit transgenic
meningkatkan pensinyalan insulin dan mencegah resistensi insulin maupun
kegemukan. Protein lain dapat berupa substrat 15-kd dari protein kinase C, yang
diekspresikan berlebih pada jaringan target insulin pada subjek gemuk maupun
pada penderita diabetes, ekspresi berlebih protein ini di dalam sel memperlemah
translokasi GLUT-4 yang distimulasi insulin dengan demikian memperlemah
transport glukosa yang distimulasi insulin(Shulman, 2000; Pessin, 2000).
Penemuan ini menunjukkan bahwa resistensi insulin dapat diatasi dengan
menaikkan proses pensinyalan dengan cara menurunkan aktivitas molekul tirosin
fosfatase yang memperlemah aksi insulin. Vanadate menghambat tirosin fosfatase,
menstimulasi transport glukosa dengan cara meningkatkan translokasi GLUT-4
pada otot dan sel lemak. Beberapa senyawa organo-vanadium telah ditemukan
dapat memperbaiki sensitifitas insulin, baik pada otot maupun hati penderita
diabetes tipe 2 (Shulman, 2000; Pessin, 2000; Ye, 2013; Olatunbosun, 2015)
2.2.4 Faktor Luar
2.2.4.1 Asam Lemak Bebas
Kadar asam lemak bebas yang meningkat berhubungan dengan kejadian
resistensi insulin, obesitas dan DM tipe 2. Pada penelitian cros sectional pada
penderita berat badan normal yang menderita diabetes mellitus tipe 2 ditemukan
hubungan yang terbalik antara kadar asam lemak bebas dengan sensitivitas dari
insulin(Shulman, 2000; Pessin, 2000).
Asam lemak bebas dan metaboliknya seperti diacylgliserol, fatty acyl coa,
yang meningkat menyebabkan terjadinya penghambatan terhadap insulin
reseptorsubstrat (IRS). IRS ini gagal untuk mengaktifkan PI 3-kinase, sehingga
terjadi penurunan aktivitas glukosa transport dan proses selanjutnya. Terjadinya

akumulasi dari asam lemak bebas pada otot dan hati, menyebabkan terjadinya
proses resistensi insulin(Shulman, 2000; Pessin, 2000)..
Kadar asam lemak yang meningkat secara kronis pada penderita gemuk dan
diabetes menyebabkan uptake glukosa ke dalam jaringan perifer. Pada manusia,
infuse lipid selama 4 jam menurunkan uptake glukosa yang distimulasi insulin
kedalam otot dan berhubungan dengan hilangnya kemampuan insulin untuk
menstimulasi aktivitas fosfoinsitide-3 kinase.
Pada roden diet tinggi lemak dapat menginduksi resistensi insulin melalui
ekspresi GLUT-4 yang menurun pada sel lemak dan terganggunya translokasi
GLUT-4 pada otot rangka (Shulman, 2000; Pessin, 2000).
2.2.4.2 Toksisitas Glukosa dan Jalur Heksosamin
Hiperglikemia menyebabkan rusaknya sekresi insulin dan aksi insulin pada
jaringan perifer. Otot rangka yang diinkubasi dalam kadar glukosa yang tinggi
secara in vitro(Shulman, 2000; Pessin, 2000).
Keadaan ini dapat dipulihkan dengan mengembalikan kadar glukosa dalam
keadaan normal, dengan demikian control yang ketat pada konsentrasi glukosa
darah dari penderita diabetes dapat memperbaiki resistensi insulin pada otot.
Mekanisme toksisistas glukosa pada otot melalui jalur heksosamin. Enzim
glutamin fruktosa 6 fosfat amido transferase memindahkan 3 % glukosa dari
jalur sintesa glikogen pada tingkat fruktosa 6 fosfat dan menghasilkan
glukosamin6 fosfat, selanjutnya menghasilkan produk heksosamin lain. Otot
yang terkena glukosaminnya menurunkan stimulasi oleh insulin pada transport
glukosa GLUT-4 (Shulman, 2000; Pessin, 2000).
2.2.4.3 Tumor Nekrosis Faktor alfa (TNF )
TNF alfa pertama kali ditemukan sebagai sitokin endogen yang dihasilkan oleh
makrofag dan limfosit setelah terjadinya proses inflamasi. TNF ini dibentuk pada
berbagai macam sel, termasuk sel lemak. Pada penderita yang gemuk TNF ini
meningkat terutama pada sel lemak serta berhubungan dengan bodi mass index
dan hiperinsulinemi. Penurunan berat badan menurunkan kadar TNF ini. TNF
juga ditemukan meningkat pada otot pada penderita diabetes(Shulman, 2000;
Pessin, 2000).TNF mempengaruhi fungsi signal dari insulin dengan meningkatkan
serine fosforilasi. Serine fosforilasi ini menghambat tirosin kinase dan

menyebabkan gangguan untuk pensinyalan selanjutnya (Shulman, 2000; Pessin,


2000).
TNF sitokin mempunyai efek inhibisi yang poten pada pensinyalan
insulin pada jaringan otot dan sel lemak. Temuan yang menyatakan bahwa
ekspresi TNF tinggi pada otot dan lemak pada obesitas dan diabetes sehingga
dihipotesakan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan resistensi insulin in vivo
(Shulman, 2000; Pessin, 2000; Olatunbosun, 2015).
3.1 Penatalaksanaan DM tipe 2 (Resistensi Insulin)
Prinsip penatalaksanaan diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) adalah
dengan menurunkan kadar glukosa plasma dalam tubuh mendekati kadar glukosa
normal atau sasaran terapi yang bertujuan untuk mengurangi timbulnya gejala
hiperglikemia dan memiliki efek yang baik dalam mencegah serta mengurangi
efek pada komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular. Pada banyak kasus
telah terbukti bahwa pasien dengan tingkat glukosa yang terkontrol memiliki
resiko lebih kecil terhadap kejadian cardiovaskuler (menurunkan hingga 9%) yang
disebabkan oleh DM tipe 2 sedangkan kejadian retinopati DM dan nefropati DM
dapat dikurangi hinga 14% pada pasien dengan kadar glukosa yang terkontrol.
Pasien yang baru terdiagnosis DM tipe 2 dengan hasil pemeriksaan keton urin >+2
dan atau pasien DM tipe 2 yang terdiagnosis pada usia <30 tahun memerlukan
perawatan dan kontrol terhadap kadar glukosa yang lebih ketat jika dibandingkan
dengan pasien lain, karena kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pada pasien
ini lebih tinggi (Bahendeka et al, 2012).
Pada penderita DM perlu dilakukan edukasi sebagai upaya pencegahan
dan bagian pengelolaan DM, berupa pemahaman tentang perjalanan penyakit DM,
pengendalian dan pemantauan DM secara berkelanjutan, penyulit DM dan
resikonya, intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target pengobatan,
interaksi makanan, aktivitas fisik, obat hipoglikemik oral (OHO) atau insulin serta
obat lain, pemantauan darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin
mandiri, cara mengatasi kegawat daruratan (rasa sakit atau hipoglikemia),

pentingnya latihan jasmani teratur, masalah khusus yang dihadapi, pentingnya


perawatan kaki, dan cara menmpergunakan fasilitas pelayanan kesehatan
(PERKENI, 2011).
Sebagian besar penderita DM tipe 2 merupakan penderita dengan
overweight atau obese yang pada perkembangan selanjutnya dapat meningkatkan
resiko terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskuler yang terjadi akibat
peningkatan keadaan hiperglikemia, hiperlipidemia, dan hipertensi, sehingga
diperlukan terapi gizi medis melalui pengaturan makanan dan latihan jasmani.
Berikut ini adalah rekomendasi WHO 2012 mengenai pengaturan diet dan
aktivitas fisik pada pasien DM tipe 2 dengan overweight atau obese :
1. Pasien DM tipe 2 dengan overweight disarankan untuk menurunkan berat
badan melalui pengaturan pola makan, berupa pengurangan intake makanan
2. Pemberiaan makanan dengan indeks glikemik rendah (kacang, gandum, buah
dengan kadar glukosa yang rendah atau tidak memiliki rasa manis) sebagai
sumber karbohidrat pada diet.
3. Diperlukan aktivitas fisik secara teratur untuk peningkatan kapabilitas fisik
(berjalan).
Tetapi pengaturan makanan dan latihan jasmani saja tidak cukup sebagai cara
pengaturan kadar glukosa pada pasien dengan kadar HbA1c >7%, diperlukan
terapi obat anti-diabetes oral (Bahendeka et al, 2012).
3.1.1 Terapi Non Farmakologis
Pengelolaan DM tipe 2 dimulai dengan pengaturan pola makan dan latihan
jasmani selama beberapa waktu (24 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik
oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat
badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan (PERKENI, 2011).

Pada pasien dengan DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan


dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Terdapat beberapa
perencanaan terhadap terapi nutrisi medis pada pasien dengan DM, sebagai
contohnya adalah penghitungan intake karbohidrat, pemilihan jenis intake
makanan bergizi, dan plan individual berdasarkan persentasi kebutuhan
makronutrien. Pada beberapa individu, terapi nutrisi medis ini juga disertai
dengan penggunaan dosis harian insulin, intake karbohidrat secara teratur yang
disesuaikan dengan waktu serta cara pemberiannya untuk mengurangi resiko
terjadinya hipoglikemia dan meningkatkan kontrol terhadap kadar glukosa
(PERKENI, 2011; Redmond, 2014).
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari :
1. Karbohidrat dan Serat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% dari total asupan
energi. Makanan harus mengandung serat tinggi (gandum, sereal tinggi
serat, buah) dengan kebutuhan harian untuk serat adalah 25mg/hari pada
perempuan dan 38mg/hari pada laki-laki dewasa. Sukrosa tidak boleh lebih
dari 5% dari total asupan energi. Makan disarankan 3x sehari untuk
distribusi asupan karbohidrat dalam sehari (dapat diberi buah atau
makanan lain). Kuantitas dan tipe dari karbohidrat yang dikonsumsi
mempengaruhi tingkat glukosa darah, dan jumlah total karbohidrat
tersebut merupakan prediktor utama dalam menentukan respon glikemi.
Oleh karena itu, efek dari jumlah karbohidrat dan insulin yang tersedia
pada gula darah postprandial harus diperhitungkan dalam pererncanaan
terapi nutrisi.
2. Lemak
Asupan lemak yang dianjurkan sekitar 20-25% dari kebutuhan
lemak total dengan lemak jenuh <7% kebutuhan kalori dan lemak tidak
jenuh ganda <10%, dan sisanya adalah lemak tidak jenuh tunggal. Bahanbahan yang mengandung lemak jenuh dan lemak trans seperti daging
berlemak dan whole milk perlu dihindari. Anjuran konsumsi kolesterol

<200mg/hari. Konsumsi monosaturated fatty acids (MUFA) sebagai


pengganti karbohidrat dan atau lemak jenuh dapat meningkatkan kontrol
terhadap kadar glukosa darah serta mengurangi resiko kardiovaskuler.
3. Protein
Asupan protein dalam sehari berkisar antara 10-20% dari total
asupan energi dengan sumber terbaik dari seafood, daging tanpa lemak,
ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang, tahu dan tempe.
Protein dapat meningkatkan respon insulin tanpa disertai dengan
peningkatan konsentrasi plasma, oleh karena itu karbohidrat dengan
kandungan protein yang cukup tinggi tidak disarankan untuk terapi pada
kasus hipoglikemia pada DM. Pada pasien dengan nefropati dilakukan
penurunan asupan protein menjadi 0,8g/KgBB/hari atau 10% kebutuhan
energi sehari. Tidak disarankan pengurangan asupan protein secara drastis
pada pasien nefropati karena dianggap tidak mempengaruhi penurunan
dari kadar glikemik, resiko kardiovaskuler maupun peningkatan GFR
secara signifikan.
4. Natrium
Kebutuhan natrium harian pada pasien DM tidak lebih dari
3000mg atau sama dengan 6-7 gram garam dapur dengan sumber terbaik
dari garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet (natrium benzoat dan
natrium nitrit). Terdapat pembatasan pada penderita DM yang juga
menderita hipertensi, yaitu sampai 2400mg/hari.
5. Pemanis buatan atau pemanis alternatif
Penggunaan pemanis alternatif terbukti dapat menurunkan sedikit
kelebihan berat badan. Pemanis alternatif tak berkalotri (sakarine,
acesulfame potassium, sukralose, dan neotame) dapat digunakan sebagai
pengganti bahan pemanis yang mengandung kalori sehingga dapat berguna
untuk mengurangi intake kalori dan karbohidrat. Pemanis berkalori (gula
alkohol (isomalt, lactitol, manitol, mannitol, sorbitol, dan xylitol), dan
frukosa (tidak disarankan diberikan pada penderita DM)) perlu
diperhitungkan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori harian
(PERKENI, 2011; Redmond, 2014).

Kegiatan jasmani dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali dalam 1
minggu selama kurang lebih 30 menit) dapat memperbaiki sensitivitas insulin
sehingga dapat memperbaiki kontrol glukosa darah. Selain itu, latihan jasmani
juga dapat mengurangi resiko efek metabolik dari komplikasi ke arah penyakit
kardiovaskuler. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang
bersifat aerobik sepertijalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang
(PERKENI, 2011; Redmond, 2014).

Gambar 6. Bagan Pengelolaan DM (PERKENI, 2011)

Gambar 7. Alogaritme Mangemen DM tipe 2 (Redmond, 2014)

3.1.2 Terapi Farmakologis


Terapi farmakologis pada DM terdiri dari obat oral dan suntikan yang
digunakan bersamaan dengan pengaturan pola makan dan aktivitas jasmani.
Terapi obat hipoglikemi oral (OHO) diantaranya adalah :
1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
a. Sulfonylurea
Obat ini bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas melalui penutupan kanal K-ATP sehingga terjadi
depoarisasi membran dan masuknya Ca+ ke dalam sel. Obat ini
dimetabolisme di hati dan ginjal. Penggunaan sulfonylurea kerja panjang
tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, keadaan
kurang nutrisi, serta penyakit kardiovaskuler karena dapat menyebabkan
hipoglikemia.

Generasi

pertama

terdiri

dari

acetohexamide,

chlorpropamide, tolbutamide, tolazamide. Generasi kedua terdiri dari


glibenclamid, glipizide, gliquidone, gliclopyramide, dan glimepiride
(Bahendeka et al, 2012; PERKENI 2011, Redmond, 2014).
b. Metylglinid
Merupakan obat yang memiliki cara kerja hampir sama dengan
sulfonylurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama. Obat ini dapat mengatasi keadaan hiperglikemi post prandial.
Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan
diekskresi secara cepat melalui hati. Efektifitas dalam kontrol terhadap
glukosa selama kurang lebih 16 minggu (PERKENI, 2011).
2. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
Efek utama dari obat ini adalah mengurangi produksi dari glukosa
hati melalui penghambatan glukoneogenesis, selain itu juga memperbaiki
ambilan glukosa perifer. Mekanisme utama adalah meningkatkan AMPactivated Protein kinase pada sel. Obat ini lebih sering diapakai pada
penderita DM dengan overweight atau obese. Metformin dikontraindikasikan
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan
hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit

serebrovaskular,

sepsis,

renjatan,

gagal

jantung).

Metformin

dapat

memberikan efek samping mual sehingga dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan (ADA, 2013; Bahendeka et al 2012; PERKENI, 2011).
3. Peningkat sensitivitas terhadap insulin (tiazolidindion)
Tiazolidindion (pioglitazon) memiliki efek menurunkan resistensi
insulin dengan cara meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa. Obat
ini berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma
(PPARg) yang merupakan reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Mempunyai
efek terhadap liver dan jaringan perifer yang berhubungan dengan masukan
dan produksi glukosa. Obat ini dapat memperberat retensi cairan sehingga
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung, dan juga pada pasien
dengan gangguan fungsi hati (Bahendeka et al, 2012; PERKENI, 2011).
4. Penghambat glukosidase alfa (Acarbose)
Obat ini berkerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus
sehingga dapat menurunkan kadar gula darah sesudah makan. Mekanisme
kerja obat ini lebih jau adalah dengan menghambat alpha-glucosidases
(complex carbohydrates) pada

brush border usus halus. Obat ini dapat

digunakan sebagai monoterapi untuk terapi DM tipe 2 (ADA, 2013;


PERKENI, 2011).
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormon peptida
yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan.
GLP1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai
penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP1 diubah
oleh enzim dipeptidyl peptidase4 (DPP4), menjadi metabolit GLP1(9,36)
amide yang tidak aktif. Sekresi GLP1 menurun pada DM tipe 2 peningkatan
konsentrasi GLP1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat
kinerja enzim DPP4 (penghambat DPP4), atau memberikan hormon asli atau
analognya (analog incretin=GLP1 agonis). Penghambat DPP4 merupakan
obat oral yang menghambat aktifasi DPP-4 dan memperpanjang aksi
endogenous Glucagon Like Peptide 1 (GLP-1). Obat ini dapat digunakan
sebagai pengontrol glukosa pada DM tipe 2 (ADA, 2013; PERKENI, 2011).

Gambar 8. Bagan Perbandingan OHO (PERKENI, 2011)

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal


Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan


Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan
Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama
Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan
DPPIV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan

Terapi Suntikan
1. Insulin
Terapi suntikan insulin secara intensif diberikan ketika kadar HbA1c >
9%. Menurut PERKENI 2011, terapi insulin diperlukan pada pasien dengan
keadaan:
Penurunan berat badan yang cepat
Hiperglikemi berat yang disertai dengan ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hierosmolar non ketotik
Hiperglikemi dengan asidosis laktat
Gagal kombinasi OHO dengan dosis optimal
Stress berat (infeksi, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM yang tidak terkendali dengan perencanaan

makanan
Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
Adanya kontraindikasi atau alergi terhadap OHO
Berdasarkan lama kerjanya, insulin dibagi menjadi empat jenis yaitu

insulin kerja cepat (rapid acting insulin), insulin kerja pendek (short acting
insulin), insulin kerja menegah (intermediate acting insulin), insulin kerja
panjang (long acting insulin), insulin campuran tetap, kerja pendek dan
menengah (premmixed insulin). Efek samping terapi insulin adalah terjadinya
hipoglikemia, reaksi imunologi terhadap insulin. Dosis koreksi insulin
diberikan dengan disesuaikan dengan kadar insulin basal dan prandial untuk
mengoreksi keadaan hiperglikemia. Pada pasien yang dapat mengkonsumsi
makanan secara oral, insulin biasa diberikan pada saat pasien makan atau
beberapa saat sebelum pasien makan dengan meningkatkan dosis insulin kerja
cepat. Sedangkan pada pasien yang tidak dapat makan secara per oral, insulin
kerja pendek diberikan secara periodik, baik sebagai insulin reguler, maupun

sebagai analog insulin kerja cepat, sesuai dengan waktu pemberian insulin
yang sudah ditentukan dengan interval berkisar antara 4-6 jam (Bahendeka et
al, 2012, PERKENI, 2011).
Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada
keadaan puasa, sedangkan deisiensi insulin prandial akan menimbulkan
hiperglikemia setelah makan. Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk
melakukan koreksi terhadap defisiensi yang terjadi. Insulin yang dipergunakan
untuk mencapai sasaran glukosa darah basal adalah insulin basal (insulin kerja
sedang atau panjang). Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan
dapat dilakukan dengan menambah 2-4unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi
belum tercapai. Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai,
sedangkan A1C belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa
darah prandial (mealrelated). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai
sasaran glukosa darah prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau
insulin kerja pendek (short acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin
prandial dapat diberikan subkutan dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali
insulin prandial (basal plus), atau 1 kali basal + 2 kali prandial (basal 2 plus),
atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal bolus) (PERKENI, 2011).
2. Agonis GLP-1/ mimetic incretin
Agonis GLP1 dapat bekerja sebagai perangsang pelepasan insulin
yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan yang
biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea. Efek
agonis GLP1 yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang
diketahui berperan pada proses glukoneogenesis. Efek samping yang timbul
pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah (Bahendeka et al,
2012, PERKENI, 2011).

Gambar 9. Pembagian lama kerja insulin (ADA, 2013)

Gambar 10. Alogaritme Pengelolaan DM Tipe 2 (PERKENI, 2011)

Gambar 11. Obat Hipoglikemik Oral (PERKENI, 2011)

BAB III
SIMPULAN

Resistensi insulin adalah penyebab terjadinya diabetes dan insulin


resistance

syndrome

berhubungan

dengan

peningkatan

resiko

kelainan

kardiovaskular. Penyebab dari resistensi insulin dapat terletak pada reseptor, post
reseptor atau faktor luar. Pada reseptor penyebabnya adalah kelainan genetik,
sedangkan post reseptor penyebabnya adalah glukosa transport. Pada otot rangka
resistensi insulin disebabkan karena kelainan pada transport glukosa, karena
kelainan pada translokasi dan aktivasi dari glukosa transport.
Prinsip penatalaksanaan DM tipe 2 adalah dengan menurunkan kadar
glukosa plasma dalam tubuh mendekati kadar glukosa normal atau sasaran terapi
yang bertujuan untuk mengurangi timbulnya gejala hiperglikemia dan memiliki
efek yang baik dalam mencegah serta mengurangi efek pada komplikasi
makrovaskular maupun mikrovaskular.

DAFTAR PUSTAKA
ADA. 2013. Standart of Medical Care in Diabetes. Volume 36. Care Diabetes
Journal. America.
Bahendeka S, Colagiuri S, Mendis S, Otineo F, Roglic G, Sobwongwi E,
Viswanathan V, Walleser S, et al. 2012. WHO Guidelines. Prevention and
Control of Noncommunicable Disease: Guidelines for Primary Health Care
un Low Resource Settings. Switzerland
CastoAVB, Kolka CM, Kim SP, Bergman RN (2014). Obesity, insulin resistance
and comorbidities Mechanisms of association. Arq Bras Endocrinol Metab.
DOI: 10.1590/0004-273000000322
Garvey WT, Maianu L, Zhu JH, Brechtel-Hook G, Wallace P, Baron AD.
Evidence for Defects in the Trafficking and Translocation of GLUT4 Glucose
Transporters in Skeletal Muscle as a Cause of Human Insulin Resistance. The
Journal of Clinical Investigation; 1998; Volume 101, Number 11, 23772386.
Kahn BB, Flier JS. Obesity and Insulin Resistance. The Journal of Clinical
Investigation; 2000; Volume 106; Number 4.
Marfianti E (2006). Perbedaan kadar resistin pada obes dengan resistensi insulin
dan obes tanpa resistensi insulin. JKKI Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Indonesia
Meier U, dan Gressner A.M. (2004). Endocrine Regulation of Energy
Metabolism: Review of Pathobiohemical and Clinical Chemical Aspects of
Leptin, Ghrelin, Adiponectin and Resistin. Clinical Chemistry. 15 (9): 151125
Meigs JB. Association of Oxidative Stress, Insulin Resistance, and Diabetes Risk
Phenotipes. Diabetes Care; 2007; Volume 30, Number 10.
Olatunbosun ST, Talavera F, Schalch DS, Griffing GT, Schade DS, Jack SD
(2015). Insulin resistance. http://emedicine.medscape.com/article/122501overview - diakses tanggal 19 Juli 2015
PERKENI. 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus
Tipe II di Indonesia. Jakarta : PERKENI

Pessin JE, Saltiel AR. Signaling Pathways in Insulin Action: Molecular Targets of
Insulin Resistance. The Journal of Clinical Investigation; 2010; Volume
106, Number 2.
Redmond B, Caccamo D, Flavin P, Michels R, Oconor P, Robert J, Smiths S, et
al. 2014. Diagnosis and Management of Tipe 2 Diabetes Mellitus in Adult.
Health Care Guideline. ICSI
Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global Estimates of The Prevalence of Diabetes
for 2010 and 2030. Diabetes Research And Clinical Practice; 2010; 87,
pp.4-14.
Sheperd PR, Kahn BB. Glucose Transporter and Insulin Action. The New
England Journal of Medicine; 1999.
Shulman GI. Cellular Mechanisms of Insulin Resistance. The Journal of Clinical
Investigation; 2000; Volume 106, Number 2. Diakses tanggal 1 Maret 2012
Wilcox, Gisela. Insulin and Insulin Resistance. 2005. Clin Biochem Rev. 2005
May; 26(2): 1939.
Ye J (2013). Mechanisms of insulin resistance in obesity. Front Med. 7(1): 1424.
doi:10.1007/s11684-013-0262-6.

Anda mungkin juga menyukai