dalam air, tetapi jika ditambahkan air dan dilakukan pemanasan akan menyerap
air dan mengembang, proses tersebut disebut gelatinisasi (Wijandi, 1976).
Umumnya masyarakat mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan
tapioka halus.Komponen gizi yang terdapat pada tapioka dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komponen Gizi Tapioka dalam Tiap 100 g
Komponen Gizi
Jumlah (%)
Air
12
Protein
0,5
Lemak
0,3
Karbohidrat
86
Sumber : Direktorat Gizi, Depkes. RI., (2007).
Pisang sebagai salah satu komoditas unggulan saat ini masih tetap
merupakan kontributor utama (34,5%) terhadap produksi buah nasional. Jumlah
produksi pisang di Indonesia cukup besar. dan sentra produksi pisang terdapat di
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, Banten, NTT, dan Lampung.
Produksi pisang di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Produksi Pisang di Jawa Barat 2004-2007
Tahun
Produksi (Ton)
2004
1.456.159
2005
1.439.779
2006
1.157.446
2007
1.618.616
Sumber : Balai Pusat Statistik, (2007)
Banyaknya pisang di pasar lokal dapat menurunkan harga bahan yang
di jual. Oleh karena itu, perlu di cari alternatif pengolahan sebagai makanan
olahan yang awet (Suhardiman, 1997).
Pisang merupakan buah-buahan yang tidak bersifat musiman dan selalu
tersedia sepanjang tahun, sehingga mudah untuk mendapatkannya. Produksi
pisang di Indonesia sangat besar sehingga harus ada cara untuk menanggulangi
produksi buah pisang yang tidak terpasarkan dan belum sepenuhnya
dimanfaatkan, maka perlu adanya usaha untuk pengembangan potensi dan
pendayagunaan pisang agar dapat meningkat nilai ekonominya. Pembuatan
kerupuk dapat memanfaatkan produksi pisang yang melimpah dan menambah
nilai jual dari olahan pisang itu sendiri.
Keadaan di atas memerlukan adanya suatu kombinasi antara penanganan
pemasaran pisang segar dan pengolohan pisang menjadi berbagai produk olahan
baik produk jadi maupun produk setengah jadi. Produk setengah jadi yang
berprospek baik untuk dikembangkan adalah tepung pisang. Beberapa contoh
produk olahan pisang seperti tepung pisang, sale pisang, kripik, dodol pisang,
selai pisang dan aneka ragam kue (Satuhu, 2003).
Salah satu jenis pisang yang dapat dijadikan tepung pisang adalah pisang
kepok. Tepung pisang dibuat dari buah pisang yang masih mentah namun yang
sudah cukup tua. Tepung pisang banyak dimanfaatkan sebagai campuran pada
pembuatan roti, cake, kue kering, campuran tepung terigu, dan campuran
makanan bayi. Pada dasarnya semua jenis buah pisang mentah dapat diolah
menjadi tepung, tapi warna tepung yang dihasilkan bervariasi, karena dipengaruhi
oleh tingkat ketuaan buah, jenis buah dan cara pengolahan. Baik pisang muda,
pisang tua atau yang masak bisa dijadikan tepung, tetapi buah yang muda menuju
tua lebih cepat pembuatannya dikarenakan kadar air dan gulanya rendah, sehingga
cepat dalam proses pengeringannya. Sedangkan yang masak agak lama, karena
kadar patinya sudah berkurang. Biasanya buah yang masak keadaannya basah
oleh kadar gula yang tinggi, sehingga memerlukan pengeringan yang lebih lama
(Soedjono dan Sri Nuryani, 2001).
Pada dasarnya semua jenis pisang dapat diolah menjadi tepung pisang, asal
tingkat ketuaannya cukup. Tetapi sifat tepung pisang yang dihasilkan tidak sama
untuk masing-masing jenis pisang. Pisang yang paling baik untuk dijadikan
tepung pisang adalah pisang kepok dimana tepung yang dihasilkannya
mempunyai warna lebih putih dibandingkan dengan yang dibuat dari pisang jenis
lain. Pada penelitian ini digunakan pisang kepok dimana tingkat atau jumlah
produksinya banyak, karena termasuk jenis pisang komersial sehingga banyak
dibudidayakan oleh petani pisang. Sifat-sifat fisik dan kandungan kimia tepung
pisang dari berbagai varietas pisang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat Fisik dan Kimia Tepung Pisang dari Berbagai Varietas Pisang
Varietas
Warna
Kadar Air
(%)
Kepok
Putih
6,08
1,85
76,47
Nangka
Putih coklat
6,09
0,85
79,84
Ambon
Putih abu-abu
6,26
1,04
78,99
Raja Bulu
Putih coklat
6,24
0,84
76,47
Siam
Kuning coklat
7,62
1,00
77,13
pisang dalam
bentuk kerupuk dengan mutu dan karakteristik yang lebih baik yang dapat di
terima oleh konsumen.
2. Menambah penganekaragaman diversifikasi produk olahan pisang yang dapat
meningkatkan nilai ekonomis pisang.
1.5. Kerangka Pemikiran
Menurut SII (1990), kerupuk adalah hasil olahan produk makanan kecil
yang terbuat dari tapioka dan bahan lain, dimana secara umum pembuatan
kerupuk terdiri dari lima tahap penting yaitu pembuatan adonan, pencampuaran
adonan, pengukusan, pencetakan dan pengeringan.
Menurut Nabil (1983) dalam Solihat (2003) bahwa mekanisme kerenyahan
kerupuk ini disebabkan oleh adanya pengembangan kerupuk saat dilakukan
penggorengan, dimana fenomena pengembangan kerupuk terjadi disebabkan oleh
terlepasnya air yang terikat dalam gel pati pada saat penggorengan. Air ini mulamula menjadi uap akibat meningkatnya suhu dan mendesak pati untuk keluar
sehingga terjadi pengosongan yang membentuk kantong-kantong udara pada
kerupuk yang telah digoreng, adanya kantong-kantong inilah yang menyebabkan
kerupuk menjadi renyah.
Menurut Deviyanthi (2007) pada pembuatan kerupuk sagu dengan jagung
didapat perbandingan tepung terigu dengan pati adalah 1: 3 terhadap rasa kerupuk
sagu jagung yang dihasilkan.
Menurut Erlyn (2007) kadar air untuk jenis sediaan ubi jalar pada
perbandingan tapioka dengan tepung kacang koro adalah sebesar 6,15 %.
Perbandingan tapioka, tepung kacang koro, dengan ubi jalar memberikan
pengaruh nyata terhadap volume pengembangan kerupuk. Dimana hasil terbaik
pada perlakuan (50% : 20% : 30%) sebesar 345,521%.
Menurut Rahmawati, S (2008) semakin tinggi suhu yang digunakan maka
semakin besar air yang menguap sehingga mengakibatkan semakin besar kadar
abu yang di hasilkan. Selain itu juga penambahan bumbu seperti garam juga dapat
meningkatkan kadar abu dari produk yang dihasilkan. Karena garam merupakan
sumber mineral natrium dan klorida.
Menurut Novriyanti (2003) pada pembuatan kerupuk ampas tahu dihasilkan
perbandingan ampas tahu dan tapioka adalah 25% : 75% dengan suhu
penggorengan 90C selama 10 detik terhadap warna ampas tahu yang dihasilkan,
kerena semakin lama waktu penggorengan warna kerupuk semakin kusam.
Sedangkan menurut Ratna Solihat (2003), kerupuk kulit ubi kayu terbaik
dihasilkan dari perbandingan tapioka dan kulit ubi kayu adalah 30% : 70% dengan
lama waktu penggorengan 7 detik diperoleh karakteristik kerupuk kulit ubi kayu
dengan tekstur yang renyah.
Menurut Kardiah Dessy (1998), pada penelitian pembuatan kerupuk kimpul
dengan suhu penggorengan 100C dengan perbandingan tepung tapioka dengan
tepung ubi kimpul 25% : 75%, diperoleh kerupuk ubi kimpul dengan karakteristik
yang baik, dimana tekstur kerupuk yang dihasilkan menyebabkan rongga-rongga
10
lebih kecil sehingga tekstur yang dihasilkan lebih halus. Sebaliknya molekul
amilopektin bersifat mudah mengembang.
Proses yang menggunakan panas akhir-akhir ini banyak diterapkan pada
bahan pangan yaitu proses pengukusan dengan tujuan untuk meningkatkan
kelezatan makanan tersebut dan juga untuk meningkatkan umur simpan bahan
pangan dan memperkecil timbulnya mikroorganisme yang timbul pada bahan
pangan tersebut (Harris, 1989).
Proses pengeringan kerupuk mentah bertujuan untuk menghasilkan bahan
dengan kadar air tertentu. Kadar air yang terkandung dalam kerupuk mentah akan
mempengaruhi kualitas dan kapasitas pengembangan kerupuk pada proses
penggorengan selanjutnya. Menurut Wiriano (1984), pada proses penggorengan
diperlukan tingkat kadar air tertentu dari kerupuk mentah untuk menghasilkan
tekanan uap yang maksimum, sehingga gel pati pada kerupuk dapat mengembang.
Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan dalam jangka
waktu yang lama dan mengurangi kadar air dengan pemanasan. Selain untuk
mengawetkan juga untuk memudahkan dalam penyimpanan (Desroiser, 1988).
Penggorengan adalah pemasakan kerupuk mentah menjadi kerupuk matang
yang siap dikomsumsi. Cara penggorengan yang umum digunakan adalah
penggorengan dalam wajan dengan minyak goreng. Cara lain yang dapat di
gunakan adalah penyangraian dengan pasir dan pemanggangan.
Penggorengan
dengan
menggunakan
minyak
adalah
suatu
teknik
11
sampai 178oC) dan seluruh bagian permukaan bahan mendapat perlakuan panas
yang sama, sehingga berwarna seragam menurut Hallstrom, (1980) dalam
Wirakartakusumah (1992). Pemberian panas bertujuan untuk mendapatkan produk
yang mudah dicerna dan cita rasanya baik (palatable), dengan penurunan kualitas
yang minimum menurut Dagerskog, (1977) dalam Wirakartakusumah (1992).
Menurut Zacharias, (1978) dalam Wirakartakusumah, (1992), pemberian panas
memberi pengaruh positif terhadap protein dan karbohidrat sehingga mudah
dicerna.
1.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian dalam kerangka pemikiran diatas, maka hipotesis yang
dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Diduga bahwa subtitusi tepung tapioka dengan tepung pisang dan lama waktu
penggorengan dapat berpengaruh terhadap karakteristik kerupuk pisang kepok
yang dihasilkan.
1.7. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium Teknologi Pangan Universitas
Pasundan Jl.Dr Setiabudhi No 193 Bandung.