Anda di halaman 1dari 14

SINTESIS MASALAH

Tuan MT mengalami faringitis et causa streptococus beta hemolyticus group A


dengan riwayat atrial fibrilasi dan konsumsi digoxin serta warfarin dan Tuan MT diketahui
alergi terhadap amoksisilin.
Berdasarkan kasus Tuan Mt mengalami infeksi oleh bakteri sehingga harus diberikan
antibiotik sementara Tuan MT alergi terhadap Amoksisilin (Golongan Beta Lactam). Pada
dasarnya untuk pasien yang mengalami alergi Amoksisilin, Sefalosporin dijadikan obat
alternatif sebagai pengganti pada alergi golongan penicilin. Namun Karena sefalosporin dan
penicilin merupakan golongan beta laktam maka dikhawatirkan dapat terjadi alergenitas
silang ( Orang-orang yang alergi golongan penicilin dapat alergi terhadap golongan
sefalosporin) sehingga alternatif kedua adalah golongan makrolid.
Golongan makrolid seperti Erythromicin dan Clarythromicin adalah antibiotik yang
dapat menghambat CYP3A4 dalam memetabolisme Warfarin sehingga terjadi peningkatan
kadar warfarin di dalam darah, selain itu antibiotik dapat mengubah flora normal usus yang
menghasilkan vitamin K, dimana Vitamin K diperlukan dalam pembentukan faktor koagulasi
sehingga resiko perdarahan bagi pasien yang mengkonsumsi antibiotik spektrum luas dan
warfarin secara bersama-sama dapat meningkat.
Sementara untuk digoxin, digoxin sebagian besar akan diubah menjadi bentuk inaktif
(inactive digoxin Product) oleh bakteri Eubacterium Lentum, penggunaan antibiotik spektrum
luas dapat membunuh flora normal usus ini sehingga Digoxin tetap berada dalam fase
aktifnya (meningkatkan konsentrasi digoxin dalam plasma). Selain itu golongan macrolide
(Erithromycin dan Clarythromycin) dapat menurunkan eskresi renal dari digoxin dengan cara
menghambat P-glikoprotein. P-glikoprotein merupakan effluks transporter energy-dependent
yang memompa molekul obat keluar dari sel, sehingga apabila transporter ini dihambat maka
akan terjadi peningkatan kadar digoxin dalam plasma.
Pilihan obat yang tepat untuk Tn MT adalah Azythromycin hal ini dikarenakan
walaupun Azythromycin merupakan golongan macrolide, Azythromycin tidak menghambat
CYP3A4 (Azythromycin memiliki secara struktr memiliki perbedaan dengan anggota

golongan macrolid lainnya yaitu cincin makrolid pada azythromycin memiliki lakton 15
atom) selain itu azythromycin dipilih karena hanya diperlukan konsumsi 1 kali sehari untuk 5
hari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.

UNTUK BAHAN BELAJAR

A. INTERAKSI WARFARIN DAN ANTIBIOTIK


Warfarin (anti koagulan oral) bekerja dengan mempengaruhi sintesis faktor
pembekuan darah tergantung dari vitamin K seperti faktor pembekuan II, VII. IX dam X dan
pembekuan protein induced by vitamin K absent or antagonist (PIVKA).
Warfarin diabsorbsi diusus halus dan memasuki sirkulasi darah, dimetabolisme di
mikrosom sel hati, dan akan menghambat kerja vitamin K. Penghambatan kerja vitamin K
meyebabkan penuninan sintesis faktor pembekuan II, VII, IX dan X serta pembentukan
PIVKA.
Warfarin termasuk ke dalam golongan obat antikoagulan yang dipakai untuk
mencegah terjadinya trombosis. Pemberian antikoagulan oral (warfarin) akan mempengaruhi

kerja vitamin K pada sintesa faktor pembekuan II, VII, IX dan X di dalam sel hati. Menurut
Deykin dan Verstraete, kerja utama dan obat antikoagulan oral adalah menghambat kerja
enzim epoksid reduktase, sehingga perubahan vitamin K epoksid menjadi vitamin K
terganggu, akibatnya terjadi penumpukan prekursor faktor-faktor

tergantung vitamin K.

Menurut Deykin, antikoagulan oral juga dapat menghambat vitamin K menjadi vitamin K 1
hidrokuinon. Peughambatan kerja vitamin K menyebabkan terjadinya penurunan sintesis
faktor II, VII, IX dan X.
Intake antibiotik menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga
penyerapan vitamin K lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent
coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang dapat menyebabkan peningkatan serius di dalam darah dan dapat
mengancaman

kehidupan

pasien.

Antibiotik

penghambat

CYP3A4

( Streptogramin,Eritromisin, Klaritromisin, Ketolid, Kloramfenikol) ketika diberikan kepada


pasien yang memakai warfarin akan terjadi peningkatan INR dan risiko utama perdarahan.
Makalah ini menjelaskan mengenai wafarin sebagai obat antikoagulan serta interaksinya
dengan antibiotik.

Wafarin sebagai Antikoagulan


Mekanisme Kerja
Antikoagulan wafarin menghambat y-karboksilasi beberapa residu glutamat dalam
protrombin dan faktor VII, IX, dan X seperti halnya antikoagulan protein C dan S endogen .
Penghambatan tersebut menghasilkan molekul faktor koagulasi yang tidak sempurna yang
secara biologik tidak aktif. Reaksi karboksilasi protein ini berpasangan dengan oksidasi
vitamin K. Warfarin mencegah metabolisme reduktif vitamin K epoksid yang tidak aktif
kembali ke bentuk hidrokuinon aktifnya. Perubahan mutasional enzim yang bertanggung
jawab, yaitu vitamin K epoksid reduktase, dapat menyebabkan vitamin K yang berkaitan
dengan sintesis faktor pembekuan yang tergantung pada vitamin K. Vitamin K1 atau K2
diaktifkan oleh reduksi menjadi bentuk hidrokuinon (KH2). Oksidasi bertingkat menjadi

vitamin K epoksid (KO) dipasangkan dengan karboksilasi protrombin oleh enzim


karboksilase.

Gambar 2. Mekanisme kerja wafarin

Efek antikoagulannya berasal dan keseimbangan antara sintesis yang sebagian


terhambat dan degradasi utuh keempat faktor pembekuan yang bergantung pada vitamin K.
Penghambatan koagulasi yang dthasilkan mi bergantung pada waktu paruh degradasinya di
dalam sirkulasi. Waktu paruh faktor VII, IX, X, dan II berturut-turut adalah 6, 24, 40, dan 60
jam1. Karena efek antikoagulan oral berdasarkan penghambatan produksi faktor
pembekuan,jelaslah bahwa efeknya baru nyata setelah sedikitnya 12-24 jam,yaitu setelah
kadar faktor-faktor tersebut menurun sampai suatu nilai tertentu. Demikian juga perdarahan

akibat takar lajak antikoagulan oral,tidak dapat diatasi dengan segera Vitamin K. Untuk ini
dibutuhi transfusi darah segar atau plasma2.

Farmakokinetik
Dalam darah, wafarin hampir seluruhnya terikat pada albumin plasma; ikatan ini
tidak kuat dan mudah digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat.
Hanya sebagian kecil dikumarol dan warfarin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah,
sehingga degradasi dan ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam. Warfarin
ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek hipoprotrombinemiknya
berkolerasi dengan lamanya obat tinggal di hati.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena
diperlukan waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi.
Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi
agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat
dalam plasma.
Warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum endoplasma hati menjadi
bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit anisindion dapat
menyebabkan urin berwama merah jingga. Bagian yang tidak diabsorpsi diekskresi melalui
tinja.
Efek samping
Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan
dengan frekuensi kejadian 24%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi pada dosis terapi
karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protrombin dan
pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi di selaput lendir, kulit, saluran cerna dan saluran
kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal, dapat disertai kolik dan
hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul ialah ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral, perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang
lebih 25% dan kematian akibat penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh
perdarahan berat di saluran cerna, biasanya berasal dan tukak peptik atau neoplasma.

Warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah lesi kulit berupa purpura dan
urtikaria, alopesia, nekrosis kulit; kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada penggunaan
fenprokumon dapat timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat
menyebabkan tukak pada mulut dan gangguan saluran cerna. Fenindion dapat menyebabkan
leukopenia, agranubositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis akomodasi,
tukak pada mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga, sedangkan difenadion
menyebabkan mual, dan anisindion menyebabkan urin berwarna jingga.
Selain itu, warfarin dengan mudah melintasi plasenta dan dapat menimbulkan
gangguan perdarahan pada janin. Selanjutnya protein janin yang mempunyai residu ykarboksiglutamat yang terdapat di dalam tulang. dan darah dapat dipengaruhi oleh warfarin;
obat mi dapat menyebabkan cacat lahir yang serius yang ditandai dengan pembentukan tulang
yang abnormal. Oleh karena itu, warfarin jangan diberikan selama kehamilan. Kadangkadang terjadi nekrosis kutaneus yang disertai aktivitas protein C yang berkurang selama
minggu pertama terapi. Proses yang sama jarang menimbulkan infark yang jelas pada
payudara, jaringan lemak, usus, dan ekstremitas. Lesi patologik yang menyebabkan infark
hemoragik adalah trombosis vena yang menunjukkan bahwa hal ml disebabkan oleh
penekanan sintesis protein C yang dicetuskan oleh warfarin.

Pemberian dan Dosis


Pengobatan dengan menggunakan warfarin harus dimulai dengan dosis standar
sebesar 5-10. mg daripada dosis awal yang lebih besar yang digunakan sebelumnya.
Penyesuaian awal waktu protrombin memerlukan waktu sekitar 1 minggu yang biasanya
menghasilkan dosis rumatan sebesar 5-7 mg/han. Waktu protrombin (PT = prothrombin
time) harus ditingkatkan sampai tingkat yang menggambarkan reduksi aktivitas protein
sampai 25% dan aktivitas normal dan dipertahankan seperti itu untuk terapi jangka panjang.
Bila aktivitas tersebut kurang dari 20%, dosis warfarin harus dikurangi atau dihentikan
sampai aktivitas meningkat di atas 20%.
Kisaran terapeutik terapi antikoagulan oral didefinisikan dalam istilah international
normalized ratio (INR). INR adalah rasio waktu protrombin (waktu protrombin pasien/ ratarata waktu protrombin normal untuk laboratorium)151 eksponen ISI merujuk pada indeks

sensitifitas internasional dan tergantung pada reagen spesifik dan instrumen yang digunakan
dalam pemeriksaan. 151 berfungsi untuk menghubungkan waktu protrombin yang diukur
dengan tromboplastin standar rekomendasi World Health Organization (WHO); sehingga
waktu protrombin yang diperiksa dengan berbagai instrumen yang dikalibrasi dengan baik
dengan berbagai reagen tromboplastin harus memberikan hasil INR yang sama pada sampel
yang diberikan. Pada sebagian besar kombinasi reagen dan instrumen yang digunakan
sekarang, 151 mendekati 1, dan membuat INR secara kasar menjadi rasio waktu protrombin
pasien terhadap waktu protrombin normal rata-rata. INR yang dianjurkan untuk profilaksis
tata laksana penyakit trombotik adalah 2-3.
Warfarin mempunyai rentang dosis terapi yang sempit. Dimana dosis inadekuat
menyebabkan efikasi menurun, dan dosis yang berlebihan akan menyebabkan perdarahan.
Crowther dkk membandingkan dosis inisial antara 5 mg (32 subjek) dan 10 rng warfanin (21
subjek) untuk mencapai target INR 2,0-3,0 setelak 5 han penlakuan. Didapati 24 % grup 10
mg dan 7 % grup 5 mg mempunyai nilai INR> 3,0 pada ban ke 4 perlakuan,, yang
memperbesar resiko perdarahau.
Raskob G dick, membandingkan efek terapi warfanin dosis rendah (3 mg) dengan
aspirin 80 mg terbadap faktor VII yang teraktifasi pada 33 pasien penyakit jantung koroner
stabil. Didapati peningkatan mean ENR dan penurunan faktor VII setelah 1 uinggu penlakuan
dengan p < 0,057 .
Hull dkk melaporkan baliwa terapi warfarin deagan intensitas moderat (dengan hasil
INR 2,0 - 3,0) adalah regimen yang sarna efektif dibanding terapi warfarin dengan intensitas
tinggi ( INR 3,0 - 4,5 ) untuk mencegah tromboemboli vena rekuren. Terapi dengan intensitas
moderat juga berhubungan dengan resiko perdarahan yang lebth rendah.
Levme dkk, melaporkan bahwa menjaga rasio INR berkisar 1,3-1,9 menuruukan
resiko untuk tetjadinya tromboemboli vena sebanyak 85 %, tanpa meningkatkan resiko
perdarahan. Ridker dkk melaporkan profilaksis warfarin dengan target 1NR 1,5-2,0, lebih
superior dibanding plasebo untuk meucegali tromboemboli rekuren pada pasien yang telah
mendapat terapi warfarin selama 3 bulan dengan mtensitas konvensional (target 1NR 2,0
-3,0), dimana tidak didapatkan peningkatan signifikan untuk komplikasi perdarahan mayor.
Studi studi di AS dan Kanada menilai resilco dan keuntungan peumkaian warfarin dan dan
aspirin untuk pencegahan stroke emboli path pasien dengan fibrilasi atnal tanpa kelainan

valvular, seperti : SPAF ( The Stroke Prevention in Atrial Fibrillation ) study, BAATAF ( The
Boston Area Anticoagulat Ion Trial in Atrial Fibrillation ) study, SPINAF ( The Stroke
Prevention in Nonrheumatic Atrial Fibrillation ) study dan AFASAK ( Th Atrial Fibrillation.
Aspirin, and Anticoagulation) study di Copenhagen. Studi-studi tersebut menyimpulkan
bahwa terapi warlrin dengan target terapeutik TNR 2,0-3,0, mengurangi resiko stroke
sebanyak 79 %, tanpa meningkatkan resiko perdarahaan.

Interaksi Obat Antikoagulan Oral dan Antibiotik


Umumnya, antibiotik mengubah flora normal usus. Flora tersebut penting dalam
mencegah pertumbuhan berlebih dari infeksi oportunistik pada saluran pencernaan dan
penting untuk produksi dan / atau penyerapan beberapa nutrisi, vitamin dan medikamen
.Ketika flora tersebut berkurang, ketidaknyamanan gastrointestinal dapat muncul (nauseas,
muntah) serta kemampuan untuk memproduksi vitamin K dan mendaur ulang serta menyerap
beberapa hormon seperti estrogen pada tingkat enterohepatik lebih rendah.
Intake antibiotik mengandaikan penyerapan lebih rendah dari vitamin K dan
akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent coagulan factors, VII, IX, X dan
mungkin V. Oleh karena itu, ada risiko besar pendarahan yang penting secara klinis pada
pasien yang memakai warfarin selama periode lama. Warfarin merupakan antagonis
kompetitif untuk vitamin K dependent coagulan factors dan memiliki indeks terapeutik yang
rendah.
Pemberian obat-obatan lainnya, seperti antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang pada gilirannya menghasilkan peningkatan serius dalam darah dan
ancaman bagi kehidupan pasien. Antibiotik penghambat CYP3A4, ketika diberikan kepada
pasien yang memakai warfarin terjadi peningkatan INR dan risiko utama dari perdarahan.
Dari hal tersebut dapat diperkirakan bahwa antibiotik spektrum luas seperti tetrasiklin,
amoksisilin, ampisilin dan klaritromisin dapat mengurangi kadar endogen vitamin K dan
meningkatkan efek dari antikoagulan oral dengan mengubah flora normal usus yang
menghasilkan vitamin K. Tampaknya kemampuan antibiotik ini untuk meningkatkan aktivitas
anticoagulatory relatif jarang dan tak terduga. Ketika pasien sedang menjalani pengobatan
dengan antibiotik, pasien memiliki risiko besar terjadi perdarahan. Antibiotik spektrum luas
dapat diresepkan untuk pasien yang memakai warfarin (pasien dengan konsumsi normal
vitamin K) tetapi mereka harus disarankan untuk mmperhatikan tanda-tanda perdarahan dan

berkonsultasi ke dokter dengan segera. Adapun antibiotik yang berpotensi berinteraksi


dengan wafarin diantaranya:
Kloramfenikol dapat mengubah efek warfarin melalui penurunan produksi vitamin K
oleh bakteri dalam usus, tapi mekanisme seperti metabolisme hati menghambat dan / atau
mengubah produksi protrombin mungkin terlibat.
Doksisiklin dan tetrasiklin lainnya, ampisilin, benzilpenisilin dan aztreonam
menurunkan sintesis vitamin K sekunder terhadap perubahan flora usus dan, oleh karena itu,
dapat meningkatkan efek dari warfarin. Namun, yang potensiasi signifikan sangat jarang jika
asupan makanan vitamin K memadai.
Cephamandole dapat meningkatkan hypoprothrombinaemic merespons warfarin
akibat gangguan sintesis vitamin K dalam trak pencernaan, dan /atau dengan sintesis vitamin
K-dependent anticoagulan factors. Hubungan cephalosporines dengan methylthiotetrazole Nsisi rantai seperti cefmetazole, cefmenoxime, cefoperazone dan latamoxef dapat diharapkan
untuk berperilaku sama, meskipun ada tampaknya ada laporan dari interaksi. Cephazolin,
yang memiliki rantai yang sama, mungkin dapat meningkatkan efek warfarin sampai batas
tertentu.
Interaksi yang disebabkan oleh gangguan pada bakteri sintesis vitamin K dalam
saluran cerna saluran umumnya dianggap tidak mungkin klinis signifikansi kecuali, mungkin,
pada pasien dengan mencukupi asupan vitamin K.

B. INTERAKSI DIGOKSIN DAN ANTIBIOTIK

Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokard. Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu kerja inotropik
positif (meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut
jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Contoh
preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin (Kee dan Hayes, 1996). Over dosis
digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan
muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi ventrikel rematur, aritmia jantung, sakit kepala,
penglihatan kabur, ilusi penglihatan, bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan
terjadi toksisitas (Katzung, 2004). Digoksin dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala

berat yang belum bereaksi selama terapi diuretik, ACEI, atau -bloker. Digoksin diberikan
secara rutin pada pasien gagal jantung dan fibrilasi atrial. Efek samping yang ditimbulkan
adalah aritmia, gangguan pencernaan dan gangguan saraf (Massie dan Amidon, 2002).

INTERAKSI OBAT
P-Glycoprotein
Beberapa obat dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Antibiotik dapat
meningkatkan absorpsi digoksin melalui inaktivasi bacteri-bakteri di saluran gastrointestinal
yang memetabolisme digoksin . mekanisme ini dapat meningkatkan konsentrasi digoksin 2-3
kali lipat, karena digoksin dapat diserap dengan baik dan memiliki bioavabilitas sekitar 75%.
P-glikoprotein merupakan effluks transporter energy-dependent yang memompa
molekul obat keluar dari sel . P-gp ditemukan di sel epithelial intestine (enterocytes)
sepanjang apikal (luminal) sel. Ketika obat diberikan secara oral, molekul obat harus melalui
enterocyte dan dibawa kembali ke sisi luminal sel. Aksi ini mencegah molekul obat mencapai
sirkulasi sistemik, secara effektif membatasi bioavabilitas. P-gp juga ditemukan di hepar dan
ginjal berfungsi untuk meningkatkan ekskresi molekul obat pada empedu dan urin.
Apabila aktivitas p-gp dihambat maka lebih banyak obat yang akan diabsorpsi melalui
enterocyt dan konsentrasi plasma akan meningkat.

ANTIBIOTIK

Anda mungkin juga menyukai