golongan macrolid lainnya yaitu cincin makrolid pada azythromycin memiliki lakton 15
atom) selain itu azythromycin dipilih karena hanya diperlukan konsumsi 1 kali sehari untuk 5
hari, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.
kerja vitamin K pada sintesa faktor pembekuan II, VII, IX dan X di dalam sel hati. Menurut
Deykin dan Verstraete, kerja utama dan obat antikoagulan oral adalah menghambat kerja
enzim epoksid reduktase, sehingga perubahan vitamin K epoksid menjadi vitamin K
terganggu, akibatnya terjadi penumpukan prekursor faktor-faktor
tergantung vitamin K.
Menurut Deykin, antikoagulan oral juga dapat menghambat vitamin K menjadi vitamin K 1
hidrokuinon. Peughambatan kerja vitamin K menyebabkan terjadinya penurunan sintesis
faktor II, VII, IX dan X.
Intake antibiotik menyebabkan perubahan jumlah flora normal di dalam usus sehingga
penyerapan vitamin K lebih rendah dan akibatnya penurunan produksi vitamin K dependent
coagulan factors, VII, IX, X dan mungkin V. Antibiotik spektrum luas, dapat meningkatkan
aktivitas antagonis yang dapat menyebabkan peningkatan serius di dalam darah dan dapat
mengancaman
kehidupan
pasien.
Antibiotik
penghambat
CYP3A4
akibat takar lajak antikoagulan oral,tidak dapat diatasi dengan segera Vitamin K. Untuk ini
dibutuhi transfusi darah segar atau plasma2.
Farmakokinetik
Dalam darah, wafarin hampir seluruhnya terikat pada albumin plasma; ikatan ini
tidak kuat dan mudah digeser oleh obat tertentu misalnya fenilbutazon dan asam mefenamat.
Hanya sebagian kecil dikumarol dan warfarin yang terdapat dalam bentuk bebas dalam darah,
sehingga degradasi dan ekskresi menjadi lambat. Masa paruh warfarin 48 jam. Warfarin
ditimbun terutama dalam paru-paru, hati, limpa dan ginjal. Efek hipoprotrombinemiknya
berkolerasi dengan lamanya obat tinggal di hati.
Efek terapi baru tercapai 12-24 jam setelah kadar puncak obat dalam plasma, karena
diperlukan waktu untuk mengosongkan faktor-faktor pembekuan darah dalam sirkulasi.
Makin besar dosis awal, makin cepat timbulnya efek terapi; tetapi dosis harus tetap dibatasi
agar tidak sampai menimbulkan efek toksik. Lama kerja sebanding dengan masa paruh obat
dalam plasma.
Warfarin mengalami hidroksilasi oleh enzim retikulum endoplasma hati menjadi
bentuk tidak aktif. Ekskresi dalam urin terutama dalam bentuk metabolit anisindion dapat
menyebabkan urin berwama merah jingga. Bagian yang tidak diabsorpsi diekskresi melalui
tinja.
Efek samping
Efek toksik yang paling sering akibat pemakaian antikoagulan oral ialah perdarahan
dengan frekuensi kejadian 24%. Namun, perdarahan juga dapat terjadi pada dosis terapi
karena itu pemberian antikoagulan oral harus disertai pemeriksaan waktu protrombin dan
pengawasan terhadap terjadinya perdarahan.
Perdarahan paling sering terjadi di selaput lendir, kulit, saluran cerna dan saluran
kemih. Hematuria sering terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal, dapat disertai kolik dan
hematom intrarenal. Gejala perdarahan yang mungkin timbul ialah ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hemoptisis, perdarahan serebral, perdarahan paru, uterus dan hati. Kurang
lebih 25% dan kematian akibat penggunaan antikoagulan kumarin disebabkan oleh
perdarahan berat di saluran cerna, biasanya berasal dan tukak peptik atau neoplasma.
Warfarin dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah lesi kulit berupa purpura dan
urtikaria, alopesia, nekrosis kulit; kadang-kadang jari kaki menjadi ungu. Pada penggunaan
fenprokumon dapat timbul diare dan dermatitis, sedangkan asenokumarol dapat
menyebabkan tukak pada mulut dan gangguan saluran cerna. Fenindion dapat menyebabkan
leukopenia, agranubositosis, demam, ruam kulit, ikterus, hepatitis, diare, paralisis akomodasi,
tukak pada mulut, neuropati dan urin berwarna merah jingga, sedangkan difenadion
menyebabkan mual, dan anisindion menyebabkan urin berwarna jingga.
Selain itu, warfarin dengan mudah melintasi plasenta dan dapat menimbulkan
gangguan perdarahan pada janin. Selanjutnya protein janin yang mempunyai residu ykarboksiglutamat yang terdapat di dalam tulang. dan darah dapat dipengaruhi oleh warfarin;
obat mi dapat menyebabkan cacat lahir yang serius yang ditandai dengan pembentukan tulang
yang abnormal. Oleh karena itu, warfarin jangan diberikan selama kehamilan. Kadangkadang terjadi nekrosis kutaneus yang disertai aktivitas protein C yang berkurang selama
minggu pertama terapi. Proses yang sama jarang menimbulkan infark yang jelas pada
payudara, jaringan lemak, usus, dan ekstremitas. Lesi patologik yang menyebabkan infark
hemoragik adalah trombosis vena yang menunjukkan bahwa hal ml disebabkan oleh
penekanan sintesis protein C yang dicetuskan oleh warfarin.
sensitifitas internasional dan tergantung pada reagen spesifik dan instrumen yang digunakan
dalam pemeriksaan. 151 berfungsi untuk menghubungkan waktu protrombin yang diukur
dengan tromboplastin standar rekomendasi World Health Organization (WHO); sehingga
waktu protrombin yang diperiksa dengan berbagai instrumen yang dikalibrasi dengan baik
dengan berbagai reagen tromboplastin harus memberikan hasil INR yang sama pada sampel
yang diberikan. Pada sebagian besar kombinasi reagen dan instrumen yang digunakan
sekarang, 151 mendekati 1, dan membuat INR secara kasar menjadi rasio waktu protrombin
pasien terhadap waktu protrombin normal rata-rata. INR yang dianjurkan untuk profilaksis
tata laksana penyakit trombotik adalah 2-3.
Warfarin mempunyai rentang dosis terapi yang sempit. Dimana dosis inadekuat
menyebabkan efikasi menurun, dan dosis yang berlebihan akan menyebabkan perdarahan.
Crowther dkk membandingkan dosis inisial antara 5 mg (32 subjek) dan 10 rng warfanin (21
subjek) untuk mencapai target INR 2,0-3,0 setelak 5 han penlakuan. Didapati 24 % grup 10
mg dan 7 % grup 5 mg mempunyai nilai INR> 3,0 pada ban ke 4 perlakuan,, yang
memperbesar resiko perdarahau.
Raskob G dick, membandingkan efek terapi warfanin dosis rendah (3 mg) dengan
aspirin 80 mg terbadap faktor VII yang teraktifasi pada 33 pasien penyakit jantung koroner
stabil. Didapati peningkatan mean ENR dan penurunan faktor VII setelah 1 uinggu penlakuan
dengan p < 0,057 .
Hull dkk melaporkan baliwa terapi warfarin deagan intensitas moderat (dengan hasil
INR 2,0 - 3,0) adalah regimen yang sarna efektif dibanding terapi warfarin dengan intensitas
tinggi ( INR 3,0 - 4,5 ) untuk mencegah tromboemboli vena rekuren. Terapi dengan intensitas
moderat juga berhubungan dengan resiko perdarahan yang lebth rendah.
Levme dkk, melaporkan bahwa menjaga rasio INR berkisar 1,3-1,9 menuruukan
resiko untuk tetjadinya tromboemboli vena sebanyak 85 %, tanpa meningkatkan resiko
perdarahan. Ridker dkk melaporkan profilaksis warfarin dengan target 1NR 1,5-2,0, lebih
superior dibanding plasebo untuk meucegali tromboemboli rekuren pada pasien yang telah
mendapat terapi warfarin selama 3 bulan dengan mtensitas konvensional (target 1NR 2,0
-3,0), dimana tidak didapatkan peningkatan signifikan untuk komplikasi perdarahan mayor.
Studi studi di AS dan Kanada menilai resilco dan keuntungan peumkaian warfarin dan dan
aspirin untuk pencegahan stroke emboli path pasien dengan fibrilasi atnal tanpa kelainan
valvular, seperti : SPAF ( The Stroke Prevention in Atrial Fibrillation ) study, BAATAF ( The
Boston Area Anticoagulat Ion Trial in Atrial Fibrillation ) study, SPINAF ( The Stroke
Prevention in Nonrheumatic Atrial Fibrillation ) study dan AFASAK ( Th Atrial Fibrillation.
Aspirin, and Anticoagulation) study di Copenhagen. Studi-studi tersebut menyimpulkan
bahwa terapi warlrin dengan target terapeutik TNR 2,0-3,0, mengurangi resiko stroke
sebanyak 79 %, tanpa meningkatkan resiko perdarahaan.
Digitalis
Sifat umumnya sebagai inotropik positif yaitu meningkatkan kekuatan kontraksi
miokard. Preparat digitalis mempunyai 3 khasiat pada otot jantung, yaitu kerja inotropik
positif (meningkatkan kontraksi miokard), kerja kronotropik negatif (memperlambat denyut
jantung), dan kerja dromotropik negatif (mengurangi hantaran sel-sel jantung). Contoh
preparat digitalis yang banyak digunakan adalah digoksin (Kee dan Hayes, 1996). Over dosis
digoksin menyebabkan toksisitas digitalis dengan tanda-tanda anoreksia, diare, mual dan
muntah, bradikardi dan takikardi, kontraksi ventrikel rematur, aritmia jantung, sakit kepala,
penglihatan kabur, ilusi penglihatan, bingung dan delirium. Orang lanjut usia lebih rentan
terjadi toksisitas (Katzung, 2004). Digoksin dapat ditambahkan pada pasien dengan gejala
berat yang belum bereaksi selama terapi diuretik, ACEI, atau -bloker. Digoksin diberikan
secara rutin pada pasien gagal jantung dan fibrilasi atrial. Efek samping yang ditimbulkan
adalah aritmia, gangguan pencernaan dan gangguan saraf (Massie dan Amidon, 2002).
INTERAKSI OBAT
P-Glycoprotein
Beberapa obat dapat meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Antibiotik dapat
meningkatkan absorpsi digoksin melalui inaktivasi bacteri-bakteri di saluran gastrointestinal
yang memetabolisme digoksin . mekanisme ini dapat meningkatkan konsentrasi digoksin 2-3
kali lipat, karena digoksin dapat diserap dengan baik dan memiliki bioavabilitas sekitar 75%.
P-glikoprotein merupakan effluks transporter energy-dependent yang memompa
molekul obat keluar dari sel . P-gp ditemukan di sel epithelial intestine (enterocytes)
sepanjang apikal (luminal) sel. Ketika obat diberikan secara oral, molekul obat harus melalui
enterocyte dan dibawa kembali ke sisi luminal sel. Aksi ini mencegah molekul obat mencapai
sirkulasi sistemik, secara effektif membatasi bioavabilitas. P-gp juga ditemukan di hepar dan
ginjal berfungsi untuk meningkatkan ekskresi molekul obat pada empedu dan urin.
Apabila aktivitas p-gp dihambat maka lebih banyak obat yang akan diabsorpsi melalui
enterocyt dan konsentrasi plasma akan meningkat.
ANTIBIOTIK