Chapter II 3
Chapter II 3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Induksi Persalinan
1. Definisi Induksi Persalinan
Induksi persalinan adalah upaya menstimulasi uterus untuk memulai
terjadinya persalinan. Sedangkan augmentasi atau akselerasi persalinan adalah
meningkatkan frekuensi, lama, dan kekuatan kontraksi uterus dalam persalinan.
(Saifuddin, 2002).
Induksi dimaksudkan sebagai stimulasi kontraksi sebelum mulai terjadi
persalinan spontan, dengan atau tanpa rupture membrane. Augmentasi merujuk pada
stimulasi terhadap kontraksi spontan yang dianggap tidak adekuat karena kegagalan
dilatasi serviks dan penurunan janin. (Cunningham, 2013).
Induksi persalinan adalah upaya memulai persalinan dengan cara-cara buatan
sebelum atau sesudah kehamilan cukup bulan dengan jalan merangsang timbulnya
his. (Sinclair, 2010)
Secara umum induksi persalinan adalah berbagai macam tindakan terhadap
ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medisinal, untuk
merangsang timbulnya atau mempertahankan kontraksi rahim sehingga terjadi
persalinan. Atau dapat juga diartikan sebagai inisiasi persalinan secara buatan setelah
janin viable. (Llewellyn, 2002).
2. Indikasi Induksi Persalinan
Induksi diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau
kesehatan janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin
diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial
berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan
kehamilan membahayakan ibu. (Llewellyn, 2002).
Adapun indikasi induksi persalinan yaitu ketuban pecah dini, kehamilan
lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi berat, hipertensi akibat
kehamilan, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin terhambat (PJT),
insufisiensi plasenta, perdarahan antepartum, dan umbilical abnormal arteri
doppler.(Oxford, 2013).
3. Kontra Indikasi
Kontra indikasi induksi persalinan serupa dengan kontra indikasi untuk
menghindarkan persalinan dan pelahiran spontan. Diantaranya yaitu: disproporsi
sefalopelvik (CPD), plasenta previa, gamelli, polihidramnion, riwayat sectio caesar
klasik, malpresentasi atau kelainan letak, gawat janin, vasa previa, hidrosefalus, dan
infeksi herpes genital aktif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
4. Komplikasi atau Risiko Melakukan Induksi Persalinan
Komplikasi dapat ditemukan selama pelaksanaan induksi persalinan maupun
setelah bayi lahir. Komplikasi yang dapat ditemukan antara lain: atonia uteri,
hiperstimulasi, fetal distress, prolaps tali pusat, rupture uteri, solusio plasenta,
hiperbilirubinemia, hiponatremia, infeksi intra uterin, perdarahan post partum,
kelelahan ibu dan krisis emosional, serta dapat meningkatkan pelahiran caesar pada
induksi elektif. (Cunningham, 2013 & Winkjosastro, 2002).
5. Persyaratan
Untuk dapat melaksanakan induksi persalinan perlu dipenuhi beberapa
kondisi/persyaratan sebagai berikut:
a. Tidak ada disproporsi sefalopelvik (CPD)
b. Sebaiknya serviks uteri sudah matang, yakni serviks sudah mendatar dan
menipis, hal ini dapat dinilai menggunakan tabel skor Bishop. Jika kondisi
tersebut belum terpenuhi maka kita dapat melakukan pematangan serviks dengan
menggunakan metode farmakologis atau dengan metode mekanis.
c. Presentasi harus kepala, atau tidak terdapat kelainan letak janin.
d. Sebaiknya kepala janin sudah mulai turun kedalam rongga panggul.
(Oxorn, 2010).
Apabila kondisi-kondisi diatas tidak terpenuhi maka induksi persalinan
mungkin tidak memberikan hasil yang diharapkan. Untuk menilai keadaan serviks
dapat dipakai skor Bishop. berdasarkan kriteria Bishop, yakni:
a. Jika kondisi serviks baik (skor 5 atau lebih), persalinan biasanya berhasil
diinduksi dengan hanya menggunakan induksi.
b. Jika kondisi serviks tidak baik (skor <5), matangkan serviks terlebih dahulu
sebelum melakukan induksi. (Yulianti, 2006 & Cunningham, 2013)
Tabel. 2.1 Sistem Penilaian Pelvik Menurut Bishop
Faktor
Nilai
0
Pembukaan (cm)
1-2
3-4
5-6
Penipisan/Pendataran (%)
0-30%
40-50%
60-70%
80%
Penurunan
-3
-2
-1 / 0
+1 / +2
Konsistensi
Kuat
Sedang
Lunak
Posisi
Posterior
Pertengahan
Anterior
serviks interna. Setelah pemberian, ibu tetap berbaring selama setidaknya 30 menit.
Dosis dapat diulang setiap 6 jam, dengan maksimum tiga dosis yang
direkomendasikan dalam 24 jam.
Cervidil (dinoprostone 10 mg) juga diakui untuk pematangan serviks.
Bentuknya yang persegi panjang (berupa wafer polimerik) yang tipis dan datar, yang
dibungkus dalam kantung jala kecil berwarna putih yang terbuat dari polyester.
Kantungnya memiliki ekor panjang agar mudah untuk mengambilnya dari
vagina.pemasukannya memungkinkan dilepaskannya obat 0,3 mg/jam (lebih lambat
dari pada bentuk gel). (Cunningham, 2013)
Cervidil digunakan dalam dosis tunggal yang diletakkan melintang pada
forniks posterior vagina. Pelumas harus digunakan sedikit, atau tidak sama sekali,
saat pemasukan. Pelumas yang berlebihan dapat menutupi dan mencegah pelepasan
dinoprostone. Setelah pemasukan, ibu harus tetap berbaring setidaknya 2 jam. Obat
ini kemudian dikeluarkan setelah 12 jam atau ketika persalinan aktif mulai terjadi.
Cervidil ini dapat dikeluarkan jika terjadi hiperstimulasi. American College of
Obstetricians and Gynecologists (1999) merekomendasikan agar pemantauan janin
secara elektronik digunakan selama cervidil digunakan dan sekurang-kurangnya
selama 15 menit setelah dikeluarkan. (Sinclair, 2010, Cunningham, 2013)
Efek samping setelah pemberian prostaglandin E2 pervaginam adalah
peningkatan aktivitas uterus, menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists (1999) mendeskripsikannya sebagai berikut:
a) Takisistol uterus diartikan sebagai 6 kontraksi dalam periode 10 menit.
b) Hipertoni uterus dideskripsikan sebagai kontraksi tunggal yang berlangsung lebih
lama dari 2 menit.
c) Hiperstimulasi uterus jika salah satu kondisi menyebabkan pola denyut jantung
janin yang meresahkan.
Karena hiperstimulasi yang dapat menyebabkan masalah bagi janin bisa
berkembang jika prostaglandin diberikan sebelum adanya persalinan spontan, maka
penggunaannya tidak direkomendasikan. Kontra indikasi untuk agen prostaglandin
secara umum meliputi asma, glaucoma, peningkatan tekanan intra-okular. (Sinclair,
2010, Cunningham, 2013)
2). Prostaglandin E1 (PGE1)
Misoprostol atau cytotec adalah PGE1 sintetik, diakui sebagai tablet 100 atau
200 g. Obat ini telah digunakan secara off label (luas) untuk pematangan serviks
prainduksi dan dapat diberikan per oral atau per vagina. Tablet ini lebih murah
daripada PGE2 dan stabil pada suhu ruangan. Sekarang ini, prostaglandin E1
merupakan prostaglandin pilihan untuk induksi persalinan atau aborsi pada Parkland
Hospital dan Birmingham Hospital di University of Alabama. (Sinclair, 2010,
Cunningham, 2013)
Misoprostol oral maupun vagina dapat digunakan untuk pematangan serviks
atau induksi persalinan. Dosis yang digunakan 25 50 g dan ditempatkan di dalam
forniks posterior vagina. 100 g misoprostol per oral atau 25 g misoprostol per
vagina memiliki manfaat yang serupa dengan oksitosin intravena untuk induksi
persalinan pada perempuan saat atau mendekati cukup bulan, baik dengan rupture
membrane kurang bulan maupun serviks yang baik. Misoprostol dapat dikaitkan
dengan peningkatan angka hiperstimulasi, dan dihubungkan dengan rupture uterus
pada wanita yang memiliki riwayat menjalani seksio sesaria. Selain itu induksi
dengan PGE1, mungkin terbukti tidak efektif dan memerlukan augmentasi lebih lanjut
dengan oksitosin, dengan catatan jangan berikan oksitosin dalam 8 jam sesudah
mU/menit), awalnya hanya variasi protokol dosis rendah yang digunakan di Amerika
Serikat, kemudian dilakukan percobaan dengan membandingkan dosis tinggi, dan
hasilnya kedua regimen tersebut tetap digunakan untuk induksi dan augmentasi
persalinan karena tidak ada regimen yang lebih baik dari pada terapi yang lain untuk
memperpendek waktu persalinan. (Cunningham, 2013)
Oksitosin digunakan secara hati-hati karena gawat janin dapat terjadi dari
hiperstimulasi. Walaupun jarang, rupture uteri dapat pula terjadi, lebih-lebih pada
multipara. Untuk itu senantiasa lakukan observasi yang ketat pada ibu yang
mendapat oksitosin. Dosis efektif oksitosin bervariasi, kecepatan infus oksitosin
untuk induksi persalinan dapat dilihat pada table berikut:
Table 2.2 Berbagai Regimen Oksitosin Dosis Rendah dan Tinggi
Regimen
Rendah
Tinggi
Dosis awal
(mU/menit)
Penaikan dosis
(mU/menit)
Interval
(menit)
0,5 1,5
15 40
4,8,12,16,20,25,30
15
15
4,5
4,5
15 30
20 40
karena distosia yang lebih sedikit, dan menurunnya korioamnionitis intrapartum atau
sepsis neonatorum.
Dengan demikian, manfaat yang lebih banyak didapatkan dengan
memberikan regimen dosis yang lebih tinggi dibandingkan dosis yang lebih rendah.
Di Parkland hospital penggunaan regimen oksitosin dengan dosis awal dan tambahan
6 mU/menit secara rutin telah dilakukan hingga saat ini. Sedangkan di Birmingham
Hospital di University Alabama memulai oksitosin dengan dosis 2 mU/menit dan
menaikkannya sesuai kebutuhan setiap 15 menit yaitu menjadi 4, 8, 12, 16, 20, 25,
dan 30 mU/menit. Walaupun regimen yang pertama tampaknya sangat berbeda, jika
tidak ada aktifitas uterus, kedua regimen tersebut mengalirkan 12 mU/menit selama
45 menit ke dalam infuse. (Cunningham, 2013)
Di bawah ini merupakan tabel untuk salah satu protab kecepatan infus
oksitosin untuk induksi persalinan:
Table 2.3 Kecepatan Infus Oksitosin untuk Induksi Persalinan
Total
volume
infus
Konsentrasi oksitosin
Tetes
per
menit
0,0
10
0,5
Sama
20
15
15
1,0
Sama
30
30
45
1,5
Sama
40
10
45
90
2,0
Sama
50
13
60
150
2,5
Sama
60
15
75
225
3,0
30
15
90
315
Waktu sejak
induksi
(jam)
Dosis
Volume
(mIU/menit)
infus
3,5
Sama
40
20
45
360
4,0
Sama
50
25
60
420
4,5
Sama
60
30
75
495
5,0
30
30
90
585
5,5
Sama
40
40
45
630
6,0
Sama
50
50
60
690
6,5
Sama
60
60
75
765
7,0
Sama
60
60
90
855
Konsentrasi oksitosin
Tetes
per
menit
Dosis
Volume
(mIU/menit)
infus
Total
volume
infus
15
0,5
Sama
30
23
23
1.0
Sama
45
11
45
68
1,5
Sama
60
15
58
135
2,0
30
15
90
225
Sama
45
23
45
270
3,0
Sama
60
30
68
338
3,5
30
30
90
428
4,0
Sama
45
45
45
473
4,5
Sama
60
60
68
540
5,0
Sama
60
60
90
630
Jika masih tidak terbentuk kontraksi yang baik pada dosis maksimal,
lahirkanlah janin melalui sectio caesar. Dalam pemberian infuse oksitosin, selama
pemberian ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas kesehatan yaitu:
a) Observasi ibu selama mendapatkan infuse oksitosin secara cermat.
b) Jika infuse oksitosin menghasilkan pola persalinan yang baik, pertahankan
kecepatan infuse yang sama sampai pelahiran.
c) Ibu yang mendapat oksitosin tidak boleh ditinggal sendiri
d) Jangan menggunakan oksitosin 10 unit dalam 500 ml (20 mIU/ml) pada
multigravida dan pada ibu dengan riwayat section caesar.
e) Peningkatan kecepatan infus oksitosin dilakukan hanya sampai terbentuk pola
kontraksi yang baik, kemudian pertahankan infus pada kecepatan tersebut.
(Saifuddin, 2002)
b. Secara mekanis atau tindakan
1). Kateter Transservikal (Kateter Foley)
Kateter foley merupakan alternatif yang efektif disamping pemberian
prostaglandin untuk mematangkan serviks dan induksi persalinan. Akan tetapi
tindakan ini tidak boleh digunakan pada ibu yang mengalami servisitis, vaginitis,
pecah ketuban, dan terdapat riwayat perdarahan. Kateter foley diletakkan atau
dipasang melalui kanalis servikalis (os seviks interna) di dalam segmen bawah uterus
(dapat diisi sampai 100 ml). tekanan kearah bawah yang diciptakan dengan
menempelkan kateter pada paha dapat menyebabkan pematangan serviks. Modifikasi
cara ini, yang disebut dengan extra-amnionic saline infusion (EASI), cara ini terdiri
dari infuse salin kontinu melalui kateter ke dalam ruang antara os serviks interna dan
membran plasenta. Teknik ini telah dilaporkan memberikan perbaikan yang
signifikan pada skor bishop dan mengurangi waktu induksi ke persalinan.
(Cunningham, 2013)
Penempatan kateter, dengan atau tanpa infuse salin yang kontinu,
menghasilkan perbaikan favorability serviks dan sering kali menstimulasi kontraksi.
Sherman dkk. (1996), merangkum hasil dari 13 percobaan dengan metode ini
menghasilkan peningkatan yang cepat pada skor bishop dan persalinan yang lebih
singkat. Chung dkk. (2003) secara acak mengikutsertakan 135 wanita untuk
menjalani teknik induksi persalinan dengan kateter foley ekstra amnion dengan
inflasi balon sampai 30 ml juga menghasilkan waktu rata-rata induksi ke pelahiran
memendek secara nyata. Dan Levy dkk. (2004) melaporkan bahwa penggunaan
balon kateter foley transservikal 80 ml lebih efektif untuk pematangan serviks dan
induksi dari pada yang 30 ml. (Cunningham, 2013)
Adapun teknik pemasangan kateter foley yaitu sebagai berikut:
a) Pasang speculum pada vagina
b) Masukkan kateter foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam
tampon.
c) Pastikan ujung kateter telah melewati ostium uteri internum
d) Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
awal sebagai tindakan induksi, dengan atau tanpa oksitosin. Pada uji acak, Bacos dan
Backstrom (1987) menemukan bahwa amniotomi saja atau kombinasi dengan
oksitosin lebih baik dari pada oksitosin saja. Induksi persalinan secara bedah
(amniotomi) lebih efektif jika keadaan serviks baik (skor Bishop > 5). Amniotomi
pada dilatasi serviks sekitar 5 cm akan mempercepat persalinan spontan selama 1
sampai 2 jam, bahkan Mercer dkk. (1995) dalam penelitian acak dari 209 perempuan
yang menjalani induksi persalinan baik itu amniotomi dini pada dilatasi 1-2 cm
ataupun amniotomi lanjut pada dilatasi 5 cm didapatkan awitan persalinan yang lebih
singkat yakni 4 jam. (Cunningham, 2013; Sinclair, 2010)
Namun ada komplikasi atau resiko yang dapat timbul setelah dilakukan
amniotomi yakni: sekitar 0,5 % terjadi prolaps tali pusat, infeksi (jika jangka waktu
antara induksi-persalinan > 24 jam), perdarahan ringan, perdarahan post partum
(resiko
relatif
kali
dibandingkan
dengan
tanpa
induksi
persalinan),
jeruk atau minuman lain sesuai pilihan ibu. Namun setelah menggunakan cara ini,
ibu dianjurkan untuk banyak minum. (Varney, 2002)
Tanda-tanda induksi baik yaitu: respons uterus berupa aktifitas kontraksi
miometrium baik, kontraksi simetris, dominasi fundus, relaksasi baik (sesuai dengan
tanda-tanda his yang baik/adekuat), dan nilai serviks menurut bishop.
Prinsip penting: monitor keadaan bayi, keadaan ibu, awasi tanda-tanda
rupture uteri dan harus memahami farmakokinetik, farmakodinamik, dosis dan cara
pemberian obat yang digunakan untuk stimulasi uterus. (Saifuddin, 2002)
KERANGKA TEORITIS
INDIKASI INDUKSI
PERSYARATAN
KPD
Kehamilan Lewat Waktu
Oligohidramnion
Korioamnionitis
Preeklampsi
Hipertensi Gestasional
Insufisiensi plasenta
Iufd Dan Pjt
Perdarahan antepartum
Umbilical abnormal Arteri
doppler
a.
INDUKSI
PERSALINAN
b.
c.
d.
Tidak
ada
disproporsi
sefalopelvik (CPD)
Sebaiknya serviks uteri sudah
matang, yakni serviks sudah
mendatar dan menipis.
Presentasi harus kepala, atau
tidak terdapat kelainan letak
janin.
Sebaiknya kepala janin sudah
mulai turun kedalam rongga
panggul.
Prostaglandin E2 (PGE2)
Protaglandin E1 (PGE1)
Donor Nitrit Oksida
Induksi Oksitosin Intravena
SC karena
Gagal Induksi
Partus
pervaginam
OUT COME
Ibu
Bayi