Manifestasi Oral Penderita HIV
Manifestasi Oral Penderita HIV
Disusun oleh:
1. Reisha Mersita
2. Febrisally Purba
3. Fadlun
4. Karimah
5. Amalia Virgita
6. Atika Samy Kencana
7. Khairunnisa
8. Eka Wahyuni
9. Putri A. Mawadara
10. Essya Nova Relensia R
11. Atieka Ully Sandra
12. Maria Sandika Putri
(04111004057)
(04111004058)
(04111004059)
(04111004060)
(04111004061)
(04111004062)
(04111004063)
(04111004065)
(04111004066)
(04111004067)
(04111004068)
(04111004069)
1.
2.
biasanya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, yaitu sel T CD4+ (sejenis
sel T), makrofag, dan sel dendritik. HIV secara langsung dan tidak langsung
merusak sel T CD4+, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan
tubuh berfungsi dengan baik. Jika HIV membunuh sel T CD4+ sampai terdapat
kurang dari 200 sel T CD4+ per mikroliter (L) darah, kekebalan selular hilang,
dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS (Acquired Immunodeficiency
Syndrome).
Tabel 1. Taksonomi HIV
Kingdom
Familia
Subfamilia
Genus
Virus
Retroviridae
Orthoretrovirinae
Lentivirus
Spesies
2.1
Patogenesis
Awalnya terjadi perlekatan antara gp120 dan reseptor sel CD4, yang
memicu perubahan konformasi pada gp120 sehingga memungkinkan pengikatan
dengan koreseptor kemokin (biasanya CCR5 atau CXCR4). Setelah itu terjadi
penyatuan pori yang dimediasi oleh gp41.
Setelah berada di dalam sel CD4, salinan DNA ditranskripsi dari genom
RNA oleh enzim reverse transcriptase yang dibawa oleh virus. Ini merupakan
proses yang sangat berpotensi mengalami kesalahan. Selanjutnya, DNA ini
ditranspor ke dalam nukleus dan terintegrasi secara acak di dalam genom sel
pejamu. Virus yang terintegrasi diketahui sebagai DNA provirus. Pada aktivasi sel
pejamu, RNA ditranskripsi dari cetakan DNA ini dan selanjutnya di translasi
menyebabkan produksi protein virus. Poliprotein prekursor dipecah oleh protease
virus menjadi enzim (misalnya reverse transcriptase dan protease) dan protein
struktural. Hasil pecahan ini kemudian digunakan untuk menghasilkan partikel
virus infeksius yang keluar dari permukaan sel dan bersatu dengan membran sel
pejamu. Virus infeksius baru (virion) selanjutnya dapat menginfeksi sel yang
belum terinfeksi dan mengulang proses tersebut.
Patofisiologi
Karena peran penting sel T dalam menyalakan semua kekuatan limfosit
dan makrofag, sel T helper dapat dianggap sebagai tombol utama sistem imun.
Virus AIDS secara selektif menginvasi sel T helper, menghancurkan atau
melumpuhkan sel-sel yang biasanya megatur sebagian besar respon imun. Virus
ini juga menyerang makrofag, yang semakin melumpuhkan sistem imun, dan
kadang-kadang juga masuk ke sel-sel otak, sehingga timbul demensia (gangguan
kapasitas intelektual yang parah) yang dijumpai pada sebagian pasien AIDS.
Dalam tubuh ODHA, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien,
sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS
pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi AIDS sesudah 10 tahun, dan
sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah
infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala). Masa tanpa
gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun (Djoerban 2008).
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat dan secara
klinis tidak menunjukkan gejala, pada waktu itu sebenarnya terjadi replikasi HIV
yang sangat tinggi. Bersamaan dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit
CD4 yang tinggi, dan untungnya tubuh masih bisa mengkompensasi dengan
memproduksi limfosit CD4 sekitar 109 setiap hari.
Fase perjalanan infeksi HIV dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu :
1) Infeksi Akut
Fase ini terdapat pada 40-90% kasus yang merupakan keadaan klinis yang
bersifat sementara yang berhubungan dengan replikasi virus pada stadium tinggi
dan ekspansi virus pada respon imun spesifik. Proses replikasi tersebut
menghasilkan virus-virus baru yang jumlahnya jutaan dan menyebabkan
terjadinya viremia yang memicu timbulnya sindroma infeksi akut.
Gejala yang muncul antara lain demam, faringitis, artralgia, mialgia,
malaise, mual, muntah, anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga dapat
menyebabkan kelainan sistem saraf. Tidak ada antibodi spesifik HIV yang dapat
terdeteksi pada stadium awal infeksi ini.
Seperti yang telah dijelaskan, pada fase infeksi awal ini terjadi interaksi
antara gp120 virus dengan reseptor CD4+. Interaksi ini menyebabkan terjadinya
ikatan dengan reseptor kemokin yang bertindak sebagai koreseptor spesifik
CXCR4 dan CCR5 yang juga terdapat pada membran sel target.
Proses internalisasi HIV pada membran sel target juga memerlukan peran
gp41 sebagai proses fusi. Peran gp41 tersebut menyebabkan seluruh komponen
inti HIV dapat masuk dan mengalami proses internalisasi yang ditandai dengan
masuknya inti nukleokapsid ke dalam sitoplasma.
2) Infeksi Laten
Pembentukan respon imun spesifik HIV dan terperangkapnya virus dalam
sel dendritik folikuler di pusat germinativum kelenjar limfa menyebabkan virion
dapat dikendalikan, gejala akan hilang dan mulai memasuki fase laten.
Pada fase infeksi laten ini jarang ditemukan virion di plasma, sebagian
besar virus terakumulasi di kelenjar limfa dan terjadi replikasi di kelenjar limfa
sehingga di dalam darah jumlahnya menurun. Fase ini berlangsung rata-rata
sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV. Tahun ke-8 setelah terinfeksi HIV akan
muncul gejala klinis seperti demam, banyak keringat pada malam hari, diare, lesi
pada mukosa dan kulit berulang.
Selam periode laten HIV dapat berada dalam bentuk provirus yang
berintegrasi dengan genom DNA hospes, tanpa mengadakan transkripsi. Ada
beberapa faktor yang dapat mengaktivasi proses transkripsi virus tersebut.
Monosit pada individu yang terinfeksi HIV cenderung melepaskan sitokin dalam
jumlah besar sehingga dapat menyebabkan meningkatnya transkripsi virus.
Infeksi beberapa virus dapat meningkatkan transkripsi provirus DNA pada HIV
sehingga berkembang menjadi AIDS yaitu HTLV-1, cytomegalovirus, virus
herpes simplex, virus Epstein-Barr, adenovirus, papovirus dan virus hepatitis B.
3) Infeksi Kronik
Selama fase ini terdapat peningkatan jumlah virion secara berlebihan di
dalam sirkulasi sistemik dan tidak mampu dibendung oleh respon imun. Terjadi
Stadium Klinis I
Klasifikasi HIV pada stadium ini asimtomatis (tidak menunjukkan gejala),
Stadium Klinis II
Pada stadium ini, berat badan menurun <10% dari berat badan semula,
Dermatitis seboroika
Dapat
dilakukan
pengobatan
dengan:
Steroid
topical,
Cheilitis angularis
Ulkus aftosa
Pada stadium ini berat badan menurun >10% dari berat badan semula,
diare kronis yang tidak diketahui penyebabnya berlangsung lebih dari 1 bulan;
demam tanpa sebab yang jelas, yang intermiten atau konstan > 1 bulan; TB paru
dalam 1 tahun terakir; infeksi bakteri berat (pnemonia, pyomiositis).
Skala Aktivitas 3: selama 1 bulan terakhir hanya tinggal di tempat tidur <50% .
Kandidiasis oral
kemerahan
pada
mukosa;
Hiperplastik,
serupa
dengan
Necrotising Gingivitis
Necrotizing Stomatitis
Stadium Klinis IV
Pada stadium ini, akan terlihat berat badan penderita menurun 10%, ditambah
diare kronik lebih dari 1 bulan atau demam lebih dari 1 bulan.
Pneumonia
Extrapulmonary tuberculosis
Lymphoma
Necrotizing Stomatitis
Selain itu, penderita HIV juga terkena HIV encephalopathy, yaitu gangguan
kognitif dan disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari dan
bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain
selain disebut diatas.
Skala Aktivitas 4: selama 1 bulan terakhir, > 50% hanya tinggal di tempat tidur.
2.5
1) Kandidiasis
Kandidiasis Pseudomembranous
Multifokal, tidak melekat, plak atau papula putih yang dapat
diangkat/diseka dengan tekanan ringan, meninggalkan permukaan
yang eritem.
Kandidiasis Eritematous
Multipel, bercak merah, biasanya pada palatum dan dorsum lidah.
Tidak melekat, dan ada rasa sakit terbakar.
Kandidiasis Hiperplastik
Dapat terjadi pada mukosa pipi dan mukosa lidah. Jenis ini paling
susah dibersihkan dibandingkan dengan jenis candidiasis yang lain.
Cheilitis Angularis
Garis-garis merah atau fisur ulserasi yang menyebar pada sudut mulut.
dan
analisis
pada
sel
darah
putih
untuk
memastikan
diagnostiknya.
4) Pembesaran Kelenjar Parotis (Parotid Enlargement)
Pembesaran kelenjar parotis terjadi pada 10-30% anak-anak yang
terinfeksi
HIV.
Test
HIV
dianjurkan
pada
anak-anak
dengan
Destruksi pada satu atau lebih dari papila interdental disertai dengan
nekrosis, ulserasi. Destruksi ini terbatas hanya pada margin gingiva.
Pada tahap akut (acute necrotizing ulcerative gingivitis), jaringan gingiva
tampak merah menyala dan bengkak, disertai oleh jaringan nekrotik abuabu kekuningan yang mudah berdarah. Gejala yang dirasakan pasien yaitu
mudah berdarah saat menyikat gigi, sakit, dan adanya halitosis.
Diagnosis NUG ditentukan secara klinis. Terdapat respon terhadap
pemberian antibiotik sistemik dan local debridement. Gejala menghilang
bertahap diatas 3-4 minggu, tetapi sering rekuren. NUG dapat muncul
pada tahap awal dari necrotizing ulcerative periodontitis.
7) Necrotizing ulcerative periodontitis (NUP)
Gambaran klinis NUP yaitu terjadi nekrosis jaringan lunak yang parah
serta terjadi dekstruksi perlekatan periodontal dan tulang dalam waktu
singkat. Selain itu, terjadi perdarahan gingiva spontan atau berdarah saat
menyikat gigi, serta terasa sakit pada tulang rahang. Pada kasus berat,
tulang rahang dapat terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mandal, Bibhat K., Wilkins, Edmund G.L., Dunbar, Edward M., Mayon-White,
Richard T. Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga. 2008
2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC. 2001.
3. Djoerban, Zubairi, Djauzi Samsuridjal. HIV/AIDS di Indonesia. W. Sudoyo, Aru,
dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: FK UI 2007;
1803-1808.
Press;
2007
(cited
2011
May
23)
Available
from:
http://books.google.co.id/books.
7. Roitt.I, Brostoff J, Male D. Immunology. 6th ed. Mosby.London. 2001. Hal
317-319.
8. National Institute of Allergy ang Infectious Diseases. Mechanism and
Pathogenesis
of
Pediatric
HIV-1
Infection.
1998.
http://grants.nih.gov/grants/guide/pa-files/PA-98-048.html
9. Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and Molecular Immunology..
4th ed. W.B.Saunders Company. PhiladelphiaToronto. 2000. Hal. 455-465.
10. Gomez FR. Dental Considerations for the Paediatric AIDS/HIV Patient. Oral
Disease. 2002.; 8 (Suppl.2): 49-54.
11. Dunston BC, Depaola LG. Oral Manifestations of Pediatric HIV Infection.
Indian Pediatrics. 2002; 39:57-63. ttp://www.numedx.com/article.aspx?
NewsCategoryID=95
12. Gomez FR, Flaitz C, Catapano P, et all. Classification, Diagnostic Criteria,
and Treatment Recommendations for Orofacial Manifestations in HIVinfected Pediatric Patients. Journal of Paediatric Dentistry. 1999, 23(2): 8596.
13. Leggott PJ. Oral Manifestation in Pediatric HIV Infection. Proceedings of the
Second International Workshop on the Oral Manifestations of HIV Infection
January 31 February 3, 1993.San Fransisco,California. Quintessence
Publishing Co, Inc. 1993; 234-239
14. Vaseliu N, Kamiru H, Kabue. M. Oral Manifestation of HIV Infection, 2010.