Eunike Priscilla
Neil Dewantara
Elviena Wibowo
Retnawan
Florencia Grace F.
Lince Sitohang
FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
EXECUTIVE SUMMARY
direncanakan untuk model usaha ekowisata penyu ini mencapai Rp 115.000.00,-. Net
B/C Ratio yang diperoleh dalam kurun waktu 10 tahun yaitu sebesar 1,17.
I. SISTEM ORGANISASI
A. Misi Bisnis
Misi bisnis C.V. ini adalah pengelolaan ekowisata berbasis konservasi
penyu di Pantai Goa Cemara. Adanya kolaborasi anatara ekowisata dan konservasi
sangat menunjang kegiatan konservasi sendiri dan memberikan keuntungan
berbagai pihak serta memberikan edukasi bagi masyarakat Indonesia untuk peduli
dengan keberadaan penyu. Dengan menjalin kemitraan dengan pemerintah,
komunitas, dan masyarakat diharapkan memberikan berbagai lapangan pekerjaan,
pendidikan, hiburan yang selaras dengan pelestarian terkhusus penyu di Indonesia.
B. Status Organisasi
Menjalankan model bisnis ekowisata berbasis konservasi dilakukan dengan
tenaga professional dengan keahlian yang khusus terutama dalam bidang
konservasinya. Pemenuhan tenaga kerja dilakukan perekrutan dan seleksi yang
ketat demi kesuksesan konservasi. Beberapa tenaga yang dibutuhkan di tahap awal
pembentukan untuk mengelola ekowisata dan konservasi ini adalah sebagai
berikut:
Dalam model bisnis ini yang berperan penting dalam mengelola bisnisnya
terdapat pada bagian maneger bisnis ekowisata penyu. Tugas dari bagian ini adalah
mengatur bagiamana strategi bisnis yang digunakan. Dibagian ini terbagi menjadi
beberapa lagi yaitu termasuk bagian penting, yaitu marketing, pengelolaan,saran
prasarana, konservasi, dan keamanan. Bagian ini mempunyai bagian perkerjaan
masing-masing. Pengenolalaan, bagian ini mengurus dan mengelola dari model bisnis
yang digunakan. Sarana dan prasarana, sesuia dengan namanya bagian ini bertugas
menyedia dan mengatur saran dan prasarana yang dibutuhkan dalam model bisnis ini.
Konservasi adalah bagian yang mengatur bagaimana penyu tersebut
dikonservasi. Marketing adalah bagian yang memlakukan pemasaran dimodel bisnis
ini. Dan yang terakhir yaitu kemananan yang tentunya bertugas untuk menjaga
keamanan disetiap bagian-bagian dari model bisnis ini, termasuk memlakukan patroli
di pantai untuk mengecek ada apa tidak penyu yang mendarat. Dalam struktur ini warga
desa akan kita ikut sertakan dalam bisnis penyu itu yaitu dengan kita membuka peluang
kerja di bagian keanggotaan dari keamanan yang tentu tugasnya adalah menjaga
keamannan termasuk patrli di daerah pantai.
Promosi dan publikasi dilakukan pada berbagai sector, yaitu berbagai lembaga
konservasi di Indonesia, komunitas konservasi dan masyarakat lokal dan luar negeri.
Adapun sector yang menjadi keutamaan, yaitu lembaga pendidikan, seperti SD, SMP,
SMA, dan Perguruan tinggi dimana sector ini berpengaruh terhadap kepedulian tiap
generasi akan konservasi yang harus tetap dijaga. Promosi dan Publikasi dilakukan
dengan menggunakan social media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Google Plus,
dan Youtube, serta WEB resmi yang terdapat keseluruhan pengelolaan ekowisata dan
terdapat berbagai informasi yang berguna berkaitan dengan konservasi.
A. Konservasi Penyu
Pemindahan dan Penetasan Telur
1. Pemindahan Telur
Tahap awal kegiatan penangkaran penyu adalah penetasan telur.
Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali ke laut. Pemindahan telur
penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus dilakukan dengan hati-hati
karena sedikit kesalahan dalam prosedur akan menyebabkan gagalnya penetasan.
Cara-cara pemindahan telur penyu ke penetasan semi alami adalah sebagai berikut:
1) Pembersihan pantai atau lokasi penetasan baru.
2) Membran atau selaput embrio telur penyu sangat mudah robek jika telur penyu
dirotasi atau mengalami guncangan. Oleh karena itu sebelum pemindahan telur
penyu, pastikan bagian atas telur ditandai kecuali pemindahan telur penyu
tersebut dilakukan sebelum 2 jam setelah induk penyu bertelur.
3) Telur penyu yang akan dipindah dimasukkan ke wadah secara hati-hati.
Pemindahan dengan ember lebih baik dibanding dengan karung atau tas.
4) Telur penyu tidak boleh dicuci dan harus ditempatkan atau ditanam segera
dengan kedalaman yang sama dengan kondisi sarang aslinya, biasanya sekitar
60-100 cm.
5) Ukuran dan bentuk lubang juga harus dibuat menyerupai ukuran dan bentuk
sarang aslinya. Ukuran diameter mulut sarang penyu biasanya sekitar 20 cm.
6) Jarak penanaman sarang telur satu dengan lainnya sebaiknya diatur.
7) Ketika ditanam, telur penyu ditutupi dengan pasir lembab.
8) Peletakkan telur penyu ke sarang penetasan semi alami harus dilakukan dengan
hati-hati, dengan posisi telur penyu, yaitu posisi bagian atas dan bawah. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi
kegagalan penetasan.
2. Penetasan Telur
Penetasan telur secara alami dilakukan hanya apabila lokasi lubang telur penyu
asli benar-benar aman, baik dari abrasi pantai, pasang surut, predasi maupun
perburuan manusia. Kemudian, pada lokasi lubang telur penyu tesebut diberi pagar,
bisa dari kawat, bamboo atau kayu. Pagar tesebut, selain sebagai pelindung telur
penyu, juga sebagai tanda lokasi lubang telur penyu.
Penetasan telur semi alami dilakukan dengan memindahkan telur dari. Bentuk
dan kedalaman lubang buatan ini dibuat semirip mungkin dengan lubang aslinya.
Alasan dilakukan penetasan telur semi alami diantaranya:
a) Menghindari abrasi pantai dan pasang surut
b) Memudahkan pengontrolan dan pengawasan, baik dari pemangsaan atau
predator maupun dari perburuan manusia.sarang atau lubang aslinya ke lubang
buatan yang letaknya dekat dengan pusat penangkaran
4) Kondisi air dalam bak pemeliharaan harus diperhatikan, baik kuantitas maupun
kualitasnya.
a) Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan atau
kotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit yang
biasa menyerang bagian mata dan kulit tukik
b) Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah waktu makan.
Air dalam bak pemeliharaan harus selalu mengalir atau gunakan alat
penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan.
c) Standar kualitas air mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang
Baku Mutu Kualitas Air untuk Biota laut (suhu, pH, dan oksigen terlarut)
5) Perawatan tukik
Tukik-tukik di dalam bak pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga terluka.
Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka dari bak pemeliharaan,
bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium permanganat) di bak
tersendiri.
Buatkan over flow dalam bak untuk membuang minyak atau sampah-sampah
berukuran kecil yang terapung di permukaan air yang keluar bersama air
buangan.
Pasang jaring pada pipa pembuangan agar tukik tidak masuk ke dalam pipa
pembuangan
penyu
semakin
terbuka
dalam
hal
teknologi
Keterangan :
a. Zona inti
b. Zona nelayan
Pantai Goa Cemara memiliki potensi pengembangan wisata konservasi penyu yang
cukup tinggi, hal itu karena Pantai Goa Cemara yang terletak di pantai selatan.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebelumnya yaitu terdapat dua zonasi
dalam pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara yaitu zona inti
dan zona pendukung. Berdasarkan analisis dari karakteristik kawasan konservasi penyu
di Pantai Goa Cemara dan analisis zonasi maka didapatkan karakteristik zonasi pada
kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara. Dari karakteristik zonasi ini
didapatkan kriteria zonasi pada zona pengembangan kawasan konservasi penyu..
Kriteria zonasi ini akan dibahas berdasarkan tiap zona, dikarenakan disetiap zona
memiliki kriteria yang berbeda. Berikut adalah kriteria zonasi disetiap zona
pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara :
a. Zona Inti
Dalam pengertian zona inti ini adalah suatu kawasan konservasi penyu yang
harus dilindungi karena merupakan kawasan pantai untuk penyu-penyu yang akan
bertelur. Zona inti konservasi penyu sepanjang 500 meter di Pantai Goa Cemara,
maka upaya konservasi penyu di Pantai Goa Cemara sudah ada payung hukumnya.
Sebenarnya pendaratan penyu ada di sepanjang pantai selatan Bantul yang
membentang 14,7 km, sehingga tempat lain walaupun bukan zona inti pendaratan,
tetap harus dilakukan konservasi penyu. Terutama pada pukul 18.00-05.00 WIB,
karena penyu melakukan pendaratan ke pantai untuk bertelur pada malam hari.
b. Zona Nelayan
Dalam pengertian zona nelayan adalah suatu kawasan yang bisa dimanfaatkan
nelayan-nelayan untuk mencari ikan
c. Kolam isolasi
Kolam ini berfungsi sebagai kolam untuk merawat tukik maupun penyu
yang telah dewasa apabila penyu-penyu tersebut terkena penyakit. Penyu
yang terkena penyakit harus diisolasi agar penyakit yang ada tidak
menyebar ke penyu lain yang sehat.
2. Hatchery
Hatchery berfungsi sebagai tempat penetasan telur penyu. Di dalam
tempat ini terdapat pasir yang sudah dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai
bangunan, lantai keramik, kuda-kuda dan konstruksi atap, genting, serta cat
tembok.
7. Inventaris
Inventaris yang diperlukan bagi keberlangsungan tempat konservasi
penyu ini antara lain thermometer raksa, thermometer otomatis, thermometer
memori, pH meter, refractometer, pompa, pipa, bak penampung, pompa diesel,
bak telur, meja, kursi, 3 set komputer, layar LCD, dan proyektor.
4. NPWP badan usaha, Surat Keteragan Terdaftar (SKT), dan PKP (Pengukuhan
Pengusahan Kena Pajak) di kantor Pajak waktu 1 minggu
5. Pembuatan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) dan TDP (Tanda Daftar
Perusahaan) di kantor Bupati / Walikota waktu 2 minggu
F. Ekowisata
Ekowisata disusun berdasarkan prinsip konservasi, sehingga setiap
perlakuan tidak mengancam kematian atau terganggunya penyu di Pantai Goa
Cemara. Berbagai Ekowisata yang disediakan oleh C.V. adalah sebagai berikut:
Education trip
Para wisatawan diajak untuk memasuki wilayah
konservasi dan diberikan edukasi mengenai
keseluruhan penyu dan pengelolaan konservasi
Photo Corner
Adopsi penyu
Toko Sovenir
Analisis Investasi
Biaya investasi
2
3
4
5
6
Tenaga kerja
Biaya input bahan dan alat
Biaya lain-lain
Biaya total
Penerimaan kotor
7
8
Safe guards
NET B/C RASIO
Rupiah
1.000.000.000
516.000.000
624.567.960
39.732.000
1.180.299.960
1.042.040.000
115.000.000
1,15
V. ANALISIS RESIKO
tetap
adanya
penyu
yang
bertelur.
Penjagaan
dengan
Politik/Pemerintahan
terhadap
UU
dan
Peraturan
Standard
Asesmen
Potensi
Tindakan
bisnis
pengurangan
terhadap
dampak
pencegahan
resiko
terjadinya resiko
Anggaran
Tindakan
Anggaran
Pelaporan
20 juta
Mengisi
penanggulangan
jika resiko terjadi
Penetapan
Transparan side
Terjadinya
Keresahan
Sosialisasi
lokasi
lineasi calon
warga
kepada Warga
10 juta
Mediasi konflik
oleh Tim dari
format
lokasi
warga
/Proyek
dan pemberia
C.V. multipihak
laporan di
pembangunan
tertunda/terg
pendidikan akan
dan pengetatan
awal
bangunan baru
anggunya
konservasi serta
pengelolaan oleh
proyek
konservasi
menydiakan
tim konservasi
penyu
lapangan
pekerjaan
Penyiapan
Kejelasan
Terjadinya
Kurangnya
Sosialisasi
organisasi
struktur dan
kebingungan di
dukungan
kepada warga
10 juta
Mediasi konflik
oleh tim C.V.
10 juta
Mengisi
format
pelaksana
personel
masyarakat
masyarakat
sekitar dan
multipihak
laporan di
organisasi
menyediakan
awal
pelaksana
media kerjasama
proyek
Pembukaan
Terjadinya
Konflik
Sosialisasi
lokasi usaha
wilayah
komplin
masyarakat/
kepada warga
5 juta
Mediasi konflik
oleh tim C.V.
10 juta
Mengisi
format
proyek
sekitar dan
multipihak
laporan
tertunda.
menyediakan
media kerjasama
Pelaksanaan
Proses dan
Terjadinya protes
Ketidaklanc
pelaporan
masyarakat
aran proyek
Mediasi protes
Masuk ke
Mengisi
dalam
format
pelaksanaan
biaya
laporan
sesuai SOP
proyek
Pengamanan
SOP
Terjadinya protes
Ketidak
Melibatkan
Masuk
Proses kasus
5 juta per
Mengisi
Ekowisata
pengamanan
masyarakat
lancaran
masyarakat ke
kedalam
keamanan zona
kasus
format
proyek
dan
dalam
biaya
laporan
Konservasi
pengamanan
proyek
ekowisata oleh
pengaman
Penyu
proyek
an
bisnis
Ekowisata
dan
Konservasi
Penyu
65 juta
Standard
Asesmen terhadap
Potensi
Tindakan
bisnis
pengurangan
terjadinya resiko
dampak
pencegahan
Anggaran
Tindakan
Anggaran
Pelaporan
penanggulangan
resiko
lingkungan
Penetapan
Transparansi
Penetapan lokasi
Memicu
Penilaian ulang
Masuk
Masuk ke
Mengisi
lokasi
delineasi calon
kerusakan
terhadap struktur
kedalam
Penegakan aturan
dalam
format
lokasi
hutan
hutan cemara
anggaran
angaran
laporan di
terdegradasi
cemara
calon lokasi
penyiapan
pengaman
awal
lebih parah
Ekowisata dan
proyek
an
proyek
Konservasi
kawasan
Penyu
Pengelolaan
Penggunaan
Adanya protes
Kerusakan
Pendayagunaan
Masuk
Masuk
Mengisi
sampah
system
pengunjung dan
zona inti
karyawan
kedalam
kedalam
format
pengelolaan
masyarakat
dan
kebersihan secara
anggaran
anggaran
laporan di
menurunya
ketat
penyiapan
penyiapan
awal
proyek
proyek
Anggaran
Pelaporan
15 juta
Mengisi
sampah
pengunjung
Penegakan aturan
proyek
Tabel 3. Safeguards Potitik Ekowisata dan Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara
Komponen
Standard
Asesmen terhadap
Potensi
Tindakan
bisnis
pengurangan
terjadinya resiko
dampak
pencegahan
Anggaran
Tindakan
penanggulangan
resiko
Penetapan
Transparan
Terjadi conflict of
Kegagalan
Pendekatan pada
lokasi
sidelineasi calon
interests di
proyek
Pemerintah
10 juta
Re-advokasi
lokasi
kalangan elit
Kabupaten untuk
laporan di
politik
pengelolaan
awal
kebirokrasi
format
lokasi.
proyek
Penyiapan
Kejelasan
Terjadi conflict of
Turunnya
Pengetatan syarat
Masuk di
Mengadakan
organisasi
struktur dan
interests di
efektivitas
kompetensi
dalam
pelatihan tenaga
format
pelaksana
personel
kalangan elit
produksi
biaya
laporan
organisasi
politik untuk
dan kinerja
pengemba
kompetensi
pelaksana
penempatan
bisnis
ngan
tenaga
5 juta
Mengisi
SDM
Pelaksanaan
Kejelasan
Terjadi conflict of
Terhambatn
Pendekatan
Proyek
tahapan
interests di
ya kinerja
birokrasi
Pelaksanaan
kalangan elit
proyek
proyek
politik dalam
10 juta
Re-advokasi
kebirokrasi
10 juta
Mengisi
format
laporan
pembagian jatah
dan
proyek
pembekaan
biaya
50 juta
LAMPIRAN
Peraturan Pemerintah mengenai CV
Pasal 19 KUH Dagang
Pengertian CV
Perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseoran komanditer,
didirikan antara seseorang atau antara beerpa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung
renteng untuk keseluruhannyan, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.
Pasal 20 KUH Dagang
Status dan Tanggung Jawab Sekutu Komanditer
Status dan tanggung jawab sekutu komanditer adalah sebagai berikut :
1.
2.
Sekutu komanditer tidak boleh melakukan tindakana pengurusan atau bekerja dalam CV,
meskupun berdasarkan pemberian kuasa
3.
Sekutu komanditer tidak turut menganggung kerugian lebih dari jumlah uang yang telah ia
masukkan atau yang harus ia masukkan ke dalam CV, tanpa diwajibkan untuk mengembalikan
keuntungan yang telah ia peroleh
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (in situ).
(2)
Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan
pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.
(3)
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Identifikasi:
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
(4)
Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
(1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.
Pasal 10
(1) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b,
untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap
potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11
(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu
ke waktu.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya
kepunahan yang masih berada di habitatnya.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke
habitat di lokasi lain.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
(5) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.
Pasal 10
(5) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b,
untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(6) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap
potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11
(5) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu
ke waktu.
(6) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(3) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
(4) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan:
g. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
h. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
i. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
j. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
k. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
l. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(5) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya
kepunahan yang masih berada di habitatnya.
(6) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke
habitat di lokasi lain.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya keadaan
genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam
bentuk penelitian dasar, terapan dan uji coba.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian, penelitian
dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan di luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis
tumbuhan dan satwa.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan
satwa di lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:
a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat:
a. menjaga kemurnian jenis;
b. menjaga keanekaragaman genetik;
c. melakukan penandaan dan sertifikasi;
(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat:
a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman
genetik yang tinggi;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
(2) Di samping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi
luga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
(3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa Khusus,
Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan
atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:
a. pengambilan atau penangkapan dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga
Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan
lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang
nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN
SATWA YANG DILINDUNGI
Pasal 25
(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu
tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan
atas dasar izin Menteri.
(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan:
a. preventif; dan
b. represif.
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:
a. penyuluhan;
b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
c. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang
tidak dilindungi.
(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan penegakan
hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.
(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan
bangunan.
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung
Pasal 8
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(4) Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah."
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi
Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang
benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah
dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang
layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
e.
f.
mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Pasal 61
memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang.
Pasal 63
pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan
7.
Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung
BAB II. FUNGSI BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Kedua: Penetapan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 6
(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.
(2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan gedung dalam pengajuan
permohonan izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, dalam izin mendirikan
bangunan gedung berdasarkan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.
Bagian Ketiga: Perubahan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 7
(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan
bangunan gedung.
(4) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam izin
mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.
status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
status kepemilikan bangunan gedung; dan
izin mendirikan bangunan gedung."
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung.
Paragraf 3: Status Kepemilikan Bangunan Gedung.
Pasal 13 ayat (1)
Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung-baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan
bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung."
(4) Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas
umum kabupaten/kota.
Bagian Ketiga: Persyaratan Tata Bangunan.
Paragraf 6: Pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau
prasarana/sarana umum.
Pasal 29
Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan
gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang.
Pasal 30, ayat (4)
Izin mendirikan bangunan gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selain memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15, wajib
mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat
publik.
Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, dan untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Paragraf 4. Pelaksanaan Konstruksi.
Pasal 68, ayat (1)
Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh izin
mendirikan bangunan gedung.
Bagian Kedua: Pemanfaatan
Paragraf 1: Umum
Pasal 72, ayat (1)
Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan
fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan,
perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.
Paragraf 5: Perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 81, ayat (1)
Perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung pada masa pemanfaatan diterbitkan oleh
pemerintah daerah dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah
tinggal deret, dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya, berdasarkan
hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan
fungsi bangunan gedung sesuai dengan izin mendirikan bangunan gedung.
BAB VI. PEMBINAAN.
Bagian Ketiga: Pembinaan oleh Pemerintah Daerah
Pasal 112, ayat (1)
Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan daerah di
bidang bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan izin mendirikan bangunan gedung dan
sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan dan penetapan pembongkaran
bangunan gedung.
izin mendirikan bangunan gedung yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah dinyatakan tetap
berlaku; dan
bangunan gedung yang belum memperoleh izin mendirikan bangunan gedung dari pemerintah
daerah, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sudah harus memiliki izin mendirikan
bangunan gedung."