Anda di halaman 1dari 42

MODEL BISNIS KONSERVASI PENYU

PANTAI GOA CEMARA


TEKNOLOGI PERIKANAN

KELOMPOK KONSERVASI PENYU


Robert Fernando

Eunike Priscilla

Neil Dewantara

Elviena Wibowo

Retnawan

Florencia Grace F.

Lince Sitohang

FAKULTAS TEKNOBIOLOGI
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

EXECUTIVE SUMMARY

Penyu tergolong hewan yang dilindungi dengan katagori Appendix I CITES


(Convention on International Trade in Endangered Species), sehingga segala bentuk
pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Kondisi inilah
yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh
Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa. Akan tetapi pemberian status perlindungan saja tidak cukup
untuk memulihkan atau setdidaknya mempertahankan populasi penyu di Indonesia.
Oleh karena itu dibutuhkan tindakan nyata dalam melakukan pengelolaan konservasi
penyu yang komprehensif, sistematis dan terukur.
Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara sudah berlangsung beberapa tahun
menunjukan kiprahnya terkhusus penyu abu-abu yang sering bertelur di pantai tersebut.
Tetapi sangat diperlukan pengembangan konservasi, dimana pengembangan tersebut
dapat menunjang kesuksesan upaya konservasi, seperti meningkatkan tingkat
fekunditas penyu yang ditetaskan dengan metode semikonservatif, ataupun berbagai
upaya lain. Adapun pengembangan yang seharusnya dilakukan, yaitu ekowisata yang
memadukan antara konservasi dan wisata yang dapat memberikan keuntungan dan
dapat dimanfaatkan untuk pengemnbangan konservasi tersebut.
Ekowisata yang akan dikembangkan ini mematok penyu sebagai ujung tombak
daya tarik pengunjung dan dipadukan berbagai wahana yang menarik. Hal ini juga
ditunjang dengan adanya hutan cemara yang rindang berada pada area konservasi dan
sekarang ini menjadi puncak minat wisatawan lokal. Pengelolaan keseluruhan area
konservasi bersama hutan cemara serta wahana wisat dapat memberikan hasil yang
sangat menguntungkan.
C.V. yang mengelola keseluruhan tersebut bekerja sama dengan pemerintah
dan didukung dengan berbagai komunitas yang bergerak dalam aksi konservasi dan
masyarkat sekitar pastinya dapat berjalan dengan lancar dan dapat memberikan
keuntungan pada berbagai pihak terutama C.V. yang secara langsung mengelola

konservasi. Ekowisata penyu di daerah Pantai Goa Cemara membutuhkan biaya


investasi sebesar Rp 1.000.000.000,- selama periode usaha 10 tahun. Upah tenaga kerja
untuk membayar tenaga kerja tetap (pegawai, marketing, konservasi, keamanan dan
manager) sebesar Rp516.000.000,- Biaya input bahan dan alat sebesar Rp
624.567.960,- dan biaya lain-lain sebesar Rp39.732.000,-. Biaya Total Rp
1.180.299.960,- dan Penerimaan kotor sebesar Rp 1.042.040.000 ,-. Pada tahun
pertama belum ada penerimaan bersih dan penerimaan bersih baru dimulai pada tahun
kedua maka Payback Periode

dicapai dalam waktu 4 tahun. Safeguards yang

direncanakan untuk model usaha ekowisata penyu ini mencapai Rp 115.000.00,-. Net
B/C Ratio yang diperoleh dalam kurun waktu 10 tahun yaitu sebesar 1,17.

I. SISTEM ORGANISASI

A. Misi Bisnis
Misi bisnis C.V. ini adalah pengelolaan ekowisata berbasis konservasi
penyu di Pantai Goa Cemara. Adanya kolaborasi anatara ekowisata dan konservasi
sangat menunjang kegiatan konservasi sendiri dan memberikan keuntungan
berbagai pihak serta memberikan edukasi bagi masyarakat Indonesia untuk peduli
dengan keberadaan penyu. Dengan menjalin kemitraan dengan pemerintah,
komunitas, dan masyarakat diharapkan memberikan berbagai lapangan pekerjaan,
pendidikan, hiburan yang selaras dengan pelestarian terkhusus penyu di Indonesia.
B. Status Organisasi
Menjalankan model bisnis ekowisata berbasis konservasi dilakukan dengan
tenaga professional dengan keahlian yang khusus terutama dalam bidang
konservasinya. Pemenuhan tenaga kerja dilakukan perekrutan dan seleksi yang
ketat demi kesuksesan konservasi. Beberapa tenaga yang dibutuhkan di tahap awal
pembentukan untuk mengelola ekowisata dan konservasi ini adalah sebagai
berikut:

Dalam model bisnis ini yang berperan penting dalam mengelola bisnisnya
terdapat pada bagian maneger bisnis ekowisata penyu. Tugas dari bagian ini adalah
mengatur bagiamana strategi bisnis yang digunakan. Dibagian ini terbagi menjadi
beberapa lagi yaitu termasuk bagian penting, yaitu marketing, pengelolaan,saran
prasarana, konservasi, dan keamanan. Bagian ini mempunyai bagian perkerjaan
masing-masing. Pengenolalaan, bagian ini mengurus dan mengelola dari model bisnis
yang digunakan. Sarana dan prasarana, sesuia dengan namanya bagian ini bertugas
menyedia dan mengatur saran dan prasarana yang dibutuhkan dalam model bisnis ini.
Konservasi adalah bagian yang mengatur bagaimana penyu tersebut
dikonservasi. Marketing adalah bagian yang memlakukan pemasaran dimodel bisnis
ini. Dan yang terakhir yaitu kemananan yang tentunya bertugas untuk menjaga
keamanan disetiap bagian-bagian dari model bisnis ini, termasuk memlakukan patroli
di pantai untuk mengecek ada apa tidak penyu yang mendarat. Dalam struktur ini warga
desa akan kita ikut sertakan dalam bisnis penyu itu yaitu dengan kita membuka peluang
kerja di bagian keanggotaan dari keamanan yang tentu tugasnya adalah menjaga
keamannan termasuk patrli di daerah pantai.

II. RENCANA PROMOSI DAN PUBLIKASI

Promosi dan publikasi dilakukan pada berbagai sector, yaitu berbagai lembaga
konservasi di Indonesia, komunitas konservasi dan masyarakat lokal dan luar negeri.
Adapun sector yang menjadi keutamaan, yaitu lembaga pendidikan, seperti SD, SMP,
SMA, dan Perguruan tinggi dimana sector ini berpengaruh terhadap kepedulian tiap
generasi akan konservasi yang harus tetap dijaga. Promosi dan Publikasi dilakukan
dengan menggunakan social media seperti Facebook, Twitter, Instagram, Google Plus,
dan Youtube, serta WEB resmi yang terdapat keseluruhan pengelolaan ekowisata dan
terdapat berbagai informasi yang berguna berkaitan dengan konservasi.

III. OPERASIONAL EKOWISATA BERBASIS KONSERVASI PENYU

A. Konservasi Penyu
Pemindahan dan Penetasan Telur
1. Pemindahan Telur
Tahap awal kegiatan penangkaran penyu adalah penetasan telur.
Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali ke laut. Pemindahan telur
penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus dilakukan dengan hati-hati
karena sedikit kesalahan dalam prosedur akan menyebabkan gagalnya penetasan.
Cara-cara pemindahan telur penyu ke penetasan semi alami adalah sebagai berikut:
1) Pembersihan pantai atau lokasi penetasan baru.
2) Membran atau selaput embrio telur penyu sangat mudah robek jika telur penyu
dirotasi atau mengalami guncangan. Oleh karena itu sebelum pemindahan telur
penyu, pastikan bagian atas telur ditandai kecuali pemindahan telur penyu
tersebut dilakukan sebelum 2 jam setelah induk penyu bertelur.
3) Telur penyu yang akan dipindah dimasukkan ke wadah secara hati-hati.
Pemindahan dengan ember lebih baik dibanding dengan karung atau tas.
4) Telur penyu tidak boleh dicuci dan harus ditempatkan atau ditanam segera
dengan kedalaman yang sama dengan kondisi sarang aslinya, biasanya sekitar
60-100 cm.
5) Ukuran dan bentuk lubang juga harus dibuat menyerupai ukuran dan bentuk
sarang aslinya. Ukuran diameter mulut sarang penyu biasanya sekitar 20 cm.
6) Jarak penanaman sarang telur satu dengan lainnya sebaiknya diatur.
7) Ketika ditanam, telur penyu ditutupi dengan pasir lembab.
8) Peletakkan telur penyu ke sarang penetasan semi alami harus dilakukan dengan
hati-hati, dengan posisi telur penyu, yaitu posisi bagian atas dan bawah. Hal ini
dilakukan untuk meminimalisasi
kegagalan penetasan.

Gambar 1. Pengukuran track


penyu yang bertelur
Gambar 2. Gambaran cara dan proses
pemindahan telur penyu dari sarang alami
ke sarang semi alami (buatan)
menggunakan ember.
Gambar 3. Biodata telur penyu

2. Penetasan Telur
Penetasan telur secara alami dilakukan hanya apabila lokasi lubang telur penyu
asli benar-benar aman, baik dari abrasi pantai, pasang surut, predasi maupun
perburuan manusia. Kemudian, pada lokasi lubang telur penyu tesebut diberi pagar,
bisa dari kawat, bamboo atau kayu. Pagar tesebut, selain sebagai pelindung telur
penyu, juga sebagai tanda lokasi lubang telur penyu.
Penetasan telur semi alami dilakukan dengan memindahkan telur dari. Bentuk
dan kedalaman lubang buatan ini dibuat semirip mungkin dengan lubang aslinya.
Alasan dilakukan penetasan telur semi alami diantaranya:
a) Menghindari abrasi pantai dan pasang surut
b) Memudahkan pengontrolan dan pengawasan, baik dari pemangsaan atau
predator maupun dari perburuan manusia.sarang atau lubang aslinya ke lubang
buatan yang letaknya dekat dengan pusat penangkaran

Gambar 4. Setelah 40-60 hari


Jika tidak ada pemangsa, telur penyu akan menetas setelah sekitar 7-12 minggu
atau 40-60 hari. Kelompok tukik memerlukan waktu dua hari atau lebih setelah
merobek kulit telur kemudian tukik tersebut akan mencari jalan ke permukaan pasir,
biasanya pada malam hari. Pada penetasan telur alami, tukik akan berusaha menuju ke
laut. Pada kondisi ini, pengelola penangkaran harus mengawasi dan mengamankan
tukik yang menuju ke laut tersebut dari berbagai potensi ancaman hingga tukik tersebut
selamat sampai ke laut. Untuk menemukan arah ke laut, tukik berpatokan pada arah
yang paling terang serta menggunakan topografi garis horizon di sekitarnya.
Begitu mencapai laut, tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah
gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih
dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk
merekam petunjuk-petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat
mereka akan kawin (imprinting process).Sedangkan pada penetasan telur semi alami,
setelah telur menetas dan tukik keluar dari cangkang telur menuju permukaan pasir,
maka tidak lama setelah tukik berada di permukaan pasir, tukik segera dipindahkan ke
bak-bak pemeliharaan atau pembesaran tukik.

Gambar 5. Gambaran tahapan penetasan semi alami

B. Pembesaran dan Pemeliharaan Tukik


Pembesaran tukik dilakukan dengan sistem rearing di pantai, pembesaran
tukik menjadi penyu muda atau sampai dewasa, termasuk tukik yang cacat fisik
sejak lahir. Lokasi pembesaran tukik harus berada pada daerah supratidal (di atas
daerah pasang surut) untuk menghindari siklus gelombang laut pada bulan mati dan
bulan purnama. Langkah-langkah pembesaran tukik adalah sebagai berikut:
1) Setelah telur penyu menetas, pindahkan tukik-tukik ke bak-bak pemeliharaan.
Bak-bak pemeliharaan dapat berbentuk lingkaran atau empat persegi panjang
dengan bahan dapat dari fiber atau keramik. Ketingian air dalam bak
pemeliharaan dibuat berkisar antara 510cm, mengingat tukik yang baru
menetas tidak mampu menyelam Jumlah dan ukuran bak pemeliharaan tukik
disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia dan estimasi jumlah tukik yang
akan ditangkarkan.
2) Suhu air yang cocok untuk tukik adalah sekitar 25.
3) Selama pemeliharaan tukik diberi makan secara rutin dan jika ada yang sakit
dipisahkan agar tidak menular kepada tukik yang lain. Pemberian pakan tukik
dilakukan dalam wadah bak/ember dalam ukuran besar. Langkah-langkah
pemberian pakan adalah sebagai berikut :
a) Setiap ember diisi sebanyak 25 ekor tukik.
b) Jenis pakan yang digunakan adalah ebi (udang kering/geragu) dan sekalikali diberi pakan daging ikan rucah/cacah. Sesekali dapat diberikan sayuran
seperti selada atau kol. Umumnya tukik belum mau makan 2 3 hari setelah
penetasan. Nafsu makan tukik sangat besar pada umur lebih dari 1 tahun,
akan tetapi jangan terus diberi makan.
c) Pakan diberikan 2 kali sehari sebanyak 10-20% dari berat tubuh tukik
dengan cara menyebarkan ebi secara merata.
d) Waktu pemberian pakan adalah pagi dan sore hari.

4) Kondisi air dalam bak pemeliharaan harus diperhatikan, baik kuantitas maupun
kualitasnya.
a) Air dalam bak pemeliharaan dapat kotor akibat dari sisa-sisa makanan atau
kotoran tukik. Air yang kotor dapat menimbulkan berbagai penyakit yang
biasa menyerang bagian mata dan kulit tukik
b) Lakukan pergantian air sebanyak 2 kali dalam sehari sesudah waktu makan.
Air dalam bak pemeliharaan harus selalu mengalir atau gunakan alat
penyaring ke dalam pipa air bak pemeliharaan.
c) Standar kualitas air mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang
Baku Mutu Kualitas Air untuk Biota laut (suhu, pH, dan oksigen terlarut)
5) Perawatan tukik
Tukik-tukik di dalam bak pemeliharaan seringkali saling gigit sehingga terluka.
Pisahkan dan pindahkan segera tukik yang terluka dari bak pemeliharaan,
bersihkan lukanya dengan larutan KMnO4 (kalium permanganat) di bak
tersendiri.

Gambar 6. Tata cara pemeliharan tukik dalam bak pemeliharaan


Keterangan :
Bak dibuat berukuran kecil, bahan dari plastik karena ringan dan mudah
dipindah-pindah. Apabila bak yang dibuat berukuran besar, sebaiknya terbuat
dari kayu yang dibungkus plastik untuk menghemat biaya.

Buatkan over flow dalam bak untuk membuang minyak atau sampah-sampah
berukuran kecil yang terapung di permukaan air yang keluar bersama air
buangan.
Pasang jaring pada pipa pembuangan agar tukik tidak masuk ke dalam pipa
pembuangan

Gambar 7. Bak-bak pemeliharaan tukik


3. Pembesaran dan Pemeliharaan Tukik Hingga Menjadi Penyu Dewasa
Pembudidayaan

penyu

semakin

terbuka

dalam

hal

teknologi

pembudidayaannya yang mulai dikuasai di kawasan-kawasan penangkaran.


Untuk langkah awal perl dilakukan domestikasi (penjinakan) untuk
memperoleh induk. Induk dapat diperoleh dari pemeliharaan tukik hingga
menjadi penyu dewasa untuk mengetahui tingkah lakunya.

Pertumbuhan penyu budidaya lebih cepat dibandingkan penyu yang hidup di


alam bebas karena aktivitas penyu budidaya rendah sehingga sebagian besar
energinya digunakan untuk pertumbuhan

Gambar 8. Bak-bak pemeliharaan indukan penyu

C. Zona-zona pada Pantai Goa Cemara

Keterangan :
a. Zona inti
b. Zona nelayan
Pantai Goa Cemara memiliki potensi pengembangan wisata konservasi penyu yang
cukup tinggi, hal itu karena Pantai Goa Cemara yang terletak di pantai selatan.
Berdasarkan hasil analisa yang telah dilakukan sebelumnya yaitu terdapat dua zonasi
dalam pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara yaitu zona inti
dan zona pendukung. Berdasarkan analisis dari karakteristik kawasan konservasi penyu
di Pantai Goa Cemara dan analisis zonasi maka didapatkan karakteristik zonasi pada
kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara. Dari karakteristik zonasi ini
didapatkan kriteria zonasi pada zona pengembangan kawasan konservasi penyu..
Kriteria zonasi ini akan dibahas berdasarkan tiap zona, dikarenakan disetiap zona
memiliki kriteria yang berbeda. Berikut adalah kriteria zonasi disetiap zona
pengembangan kawasan konservasi penyu di Pantai Goa Cemara :
a. Zona Inti
Dalam pengertian zona inti ini adalah suatu kawasan konservasi penyu yang
harus dilindungi karena merupakan kawasan pantai untuk penyu-penyu yang akan
bertelur. Zona inti konservasi penyu sepanjang 500 meter di Pantai Goa Cemara,
maka upaya konservasi penyu di Pantai Goa Cemara sudah ada payung hukumnya.
Sebenarnya pendaratan penyu ada di sepanjang pantai selatan Bantul yang
membentang 14,7 km, sehingga tempat lain walaupun bukan zona inti pendaratan,
tetap harus dilakukan konservasi penyu. Terutama pada pukul 18.00-05.00 WIB,
karena penyu melakukan pendaratan ke pantai untuk bertelur pada malam hari.
b. Zona Nelayan
Dalam pengertian zona nelayan adalah suatu kawasan yang bisa dimanfaatkan
nelayan-nelayan untuk mencari ikan

D. Bangunan dan Bahan Bangunan serta Inventaris


Terdapat enam bangunan yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda,
yaitu:
1. Kolam Pembesaran
Kolam pembesaran ini berfungsi untuk merawat dan membesarkan
penyu-penyu yang ada. Kolam ini sendiri terbagi menjadi tiga bagian yaitu
kolam pembesaran tukik, kolam pemeliharaan penyu juvenile-mature, kolam
isolasi.
a. Kolam pembesaran tukik
Kolam ini berfungsi untuk merawat dan membesarkan tukik yang telah
menetas hingga tukik-tukik tersebut siap untuk dilepas ke laut lepas ataupun
akan dipindahkan ke kolam pemeliharaan penyu juvenile-mature. Memiliki
luas 9 m2 dan dibutuhkan bahan-bahan seperti pondasi, dinding keramik,
lantai keramik, kuda-kuda dan konstruksi atap, serta genting.
b. Kolam pemeliharaan penyu juvenile-mature
Kolam ini berfungsi untuk memelihara dan merawat penyu-penyu yang
berusia juvenile maupun penyu dewasa yang sengaja dipelihara untuk
memastikan keberadaan penyu di kawasan konservasi ini. Memiliki luas 16
m2 dan dibutuhkan bahan-bahan seperti pondasi, dinding keramik, lantai
keramik, kuda-kuda dan konstruksi atap, serta genting.

c. Kolam isolasi
Kolam ini berfungsi sebagai kolam untuk merawat tukik maupun penyu
yang telah dewasa apabila penyu-penyu tersebut terkena penyakit. Penyu
yang terkena penyakit harus diisolasi agar penyakit yang ada tidak
menyebar ke penyu lain yang sehat.
2. Hatchery
Hatchery berfungsi sebagai tempat penetasan telur penyu. Di dalam
tempat ini terdapat pasir yang sudah dibuat sedemikian rupa hingga menyerupai

tempat telur-telur tersebut diambil. Peletakkan telur-telur di tempat ini juga


mengikuti posisi sesuai saat telur tersebut berada di pantai. Hal ini dilakukan
untuk meningkatkan tingkat keberhasilan menetasnya telur-telur tersebut.
Memiliki luas 9 m2 dan dibutuhkan bahan-bahan seperti pondasi, dinding
keramik, lantai keramik, kuda-kuda dan konstruksi atap, serta genting.
3. Bangunan Sel Surya
Bangunan ini memiliki fungsi sebagai sumber energi alternatif untuk
menggantikan energi listrik. Sel-sel surya yang terdapat pada bangunan ini akan
menyerap energi matahari dan mengubahnya menjadi energi listrik yang
digunakan untuk mensuplai listrik yang dibutuhkan oleh bangunan-bangunan
lain di kawasan konservasi ini.
4. Operating System
Bangunan ini merupakan bangunan untuk mengontrol segala kegiatan
yang terjadi di bangunan sel surya.
5. Kantor Pengelolaan
Bangunan ini berfungsi sebagai kantor administrasi dan pengelolaan
kawasan konservasi penyu Pantai Goa Cemara. Segala kegiatan yang terjadi di
kawasan konservasi akan dikontrol dari kantor ini. Memiliki luas 100 m2 dan
dibutuhkan bahan-bahan seperti pondasi, dinding bangunan, lantai keramik,
kuda-kuda dan konstruksi atap, genting, serta cat tembok.

6. Turtle Conservation and Education Center


Bangunan ini berfungsi sebagai bangunan yang digunakan untuk
keperluan wisata. Di dalam bangunan ini para pengunjung akan diberikan
pengetahuan mengenai penyu, siklus hidup penyu, bagaimana penyu
berkembang biak, bagaimana pentingnya penyu di ekosistem laut, status
konservasi penyu di dunia, serta para pengunjung akan diajak untuk ikut
berpartisipasi dalam usaha untuk melestarikan keberadaan penyu di dunia.
Memiliki luas 300 m2 dan dibutuhkan bahan-bahan seperti pondasi, dinding

bangunan, lantai keramik, kuda-kuda dan konstruksi atap, genting, serta cat
tembok.
7. Inventaris
Inventaris yang diperlukan bagi keberlangsungan tempat konservasi
penyu ini antara lain thermometer raksa, thermometer otomatis, thermometer
memori, pH meter, refractometer, pompa, pipa, bak penampung, pompa diesel,
bak telur, meja, kursi, 3 set komputer, layar LCD, dan proyektor.

E. Legalitas Pembuatan C.V.


Legalitas C.V mengacu pada berbagai sumber yang terutama pada PP
(terlampir)
1. Pembuatan Akta CV (minimal 2 org yg hadir + modal dasar tertulis di akta)
Jadi SATU HARI
2. Pendaftaran Akta Notaris di Pengadilan Negeri setempat Satu Minggu 2
Juta
3. SKDP di kelurahan waktu 1 minggu

4. NPWP badan usaha, Surat Keteragan Terdaftar (SKT), dan PKP (Pengukuhan
Pengusahan Kena Pajak) di kantor Pajak waktu 1 minggu
5. Pembuatan SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan) dan TDP (Tanda Daftar
Perusahaan) di kantor Bupati / Walikota waktu 2 minggu

F. Ekowisata
Ekowisata disusun berdasarkan prinsip konservasi, sehingga setiap
perlakuan tidak mengancam kematian atau terganggunya penyu di Pantai Goa
Cemara. Berbagai Ekowisata yang disediakan oleh C.V. adalah sebagai berikut:
Education trip
Para wisatawan diajak untuk memasuki wilayah
konservasi dan diberikan edukasi mengenai
keseluruhan penyu dan pengelolaan konservasi

Swim with the turtle

Wahana yang disiapkan untuk pengunjung yang


ingin berenang bersama penyu yang berada di laut.
Para wisatawan harus dilengkapi berbagai
peralatan keamanan dan dilakukan penjagaan di
wahana ini

Underwater photo session with


turtle

Dilakukan bersamaan dengan wahana Swim with


the turtle, dimana dilakukan foto bersama penyu di
dalam perairan

Photo Corner

Foto bersama penyu yang berada di kolam


pembesaran

Lets Feed the Turtle

Para wisatawan membeli pakan yang akan


diberikan pada penyu

Persewaan Tikar dan Payung

Adopsi penyu

Para wisatawan diperbolehlkan untuk melakukan


pelepasan penyu dengan system adopsi

Toko Sovenir

Penjualan berbagai souvenir penyu untuk para


wisatawan

IV. RENCANA FINANSIAL

Ekowisata penyu di daerah Samas membutuhkan biaya investasi sebesar Rp


1.000.000.000,- selama periode usaha 10 tahun. Upah tenaga kerja untuk membayar
tenaga kerja tetap (pegawai, marketing, konservasi, keamanan dan manager) sebesar
Rp516.000.000,- Biaya input bahan dan alat sebesar Rp 624.567.960,- dan biaya lainlain sebesar Rp39.732.000,-. Biaya Total Rp 1.180.299.960,- dan Penerimaan kotor
sebesar Rp 1.042.040.000 ,-. Pada tahun pertama belum ada penerimaan bersih dan
penerimaan bersih baru dimulai pada tahun kedua maka Payback Periode dicapai
dalam waktu 4 tahun. Safeguards yang direncanakan untuk model usaha ekowisata
penyu ini mencapai Rp 115.000.00,-. Net B/C Ratio yang diperoleh dalam kurun waktu
10 tahun yaitu sebesar 1,17.
Tabel 1. Analisis Rencana Finansial
No.
1

Analisis Investasi
Biaya investasi

2
3
4
5
6

Tenaga kerja
Biaya input bahan dan alat
Biaya lain-lain
Biaya total
Penerimaan kotor

7
8

Safe guards
NET B/C RASIO

Rupiah
1.000.000.000
516.000.000
624.567.960
39.732.000
1.180.299.960
1.042.040.000
115.000.000
1,15

V. ANALISIS RESIKO

Resiko dalam menjalankan suatu perusahaan sangat perlu dianalisis agar


dapat mengantisipasi adanya resiko kerja yang bersumber dari berbagai hal,
sehingga tidak berdampak terlalu besar terhadap jalannya perusahaan. Analisa
suatu resiko dapat mengarah pada berbagai sumber dan aspek/bidang seperti
lingkungan, sosial-masyarakat, pemerintahan, pengelolaan dan lain-lain. Bidangbidang tersebut yangfg akan dibahas dalam analisa resiko untuk Model Bisnis
Ekowisata Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara sebagai berikut:
A. Evaluasi Terhadap Sumber Resiko
Sumber resiko yang terjadi dapat diakibatkan dari berbagai hal berikut:
1. Pantai Goa Cemara yang merupakan pertemuan laut selatan dengan daratan
Jawa memiliki ciri khas, yaitu gelombang yang tinggi dan besar yang
berpotensi adanya berbagai bencana seperti tsunami atau badai. Bencana
tersebut dapat merusak habitat peneluran penyu dan keramba sebagai salah
satu ikon tempat ekowisata konservasi ini.
2. Tingginya jumlah pengunjung selain memberikan keuntungan tetapi juga
memberikan dampak negatif, yaitu banyaknya sampah dan berbagai
pencemaran yang memungkinkan dapat mengganggu pengelolaan
konservasi
3. Kondisi Pantai Goa Cemara yang harus dijaga kebersihan dan sterilitas saat
masa-masa peneluran penyu.
4. Penjagaan tingkat kehidupan penyu yang dibesarkan dan penetasan telur
yang dilakukan
5. Keselarasan usaha yang dilakukan dengan konservasi, keterkaitan antar
kedua aspek yang tinggi, menyebabkan penjagaan kondisi tersebut
merupakan fokus utama, karena ketika ketidakseimbangan terjadi maka
akan mengganggu proses pengelolaan keseluruhan.

6. Sumber daya manusia, tenaga teknis pengelola konservasi pada model


bisnis ini diperlukan keahlian khusus dan sangat langka maka akan menjadi
sumber resiko ekowisata dan konservasi ini jika ditinggalkan.

B. Rencana Pengelolaan Resiko Lingkungan


Rencana pengelolaan resiko yang fokus pada bidang lingkungan
dimaksudkan untuk mengurangi resiko yang mungkin timbul bahkan
diharapkan dapat memperbaiki atau mungkin mendegradasi sumber-sumber
resiko untuk Model Bisnis Ekowisata Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara
yaitu sebagai berikut:
1. Pencegahan kerusakan keramba dengan cara mendirikan keramba pada
daerah yang merupakan titik dimana pengaruh ombak tinggi tersebut rendah
dan terlindung. Selalu dilakukan pemantauan kondisi cuaca dan kondisi
perairan untuk mempersiapkan berbagai tindakan untuk menangani
berbagai ancaman
2. Pendirian bangunan ekowisata dengan pondasi diserta arsitektur yang
kokoh untuk bertahan dari berbagai bencana
3. Penanganan penumpukan sampah dan agen pencemar dengan menyediakan
tempat sampah pada beberapa plot di area ekowisata, dan bekerja sama
dengan masyarakat setempat dan karyawan sebagai penjaga kebersihan
yang dikoordinir bagian pengelolaan kebersihan. Adanya sistem
pengelolaan sampah yang berkala dan sterilisasi daerah pantai sebagai
tempat peneluran penyu beserta area konservasi lainnya.
4. Menjaga kondisi pantai tetap sesuai dengan keadaan alami yang ditandai
dengan

tetap

adanya

penyu

yang

bertelur.

Penjagaan

dengan

mempertahankan topografi, pemantauan berbagai parameter lingkungan


pada zona inti.
5. Sumber daya manusia harus dipilih yang mempunyai keahlian khusus
dalam konservasi penyu dan mempunyai dedikasi tinggi untuk peduli

dengan penyu. Oleh karena itu lowongan pekerjaan di buka dan


dipromosikan secara luas dengan pemberian jaminan kenyamanan bagi para
karyawan dan gaji yang sesuai.

C. Rencana Penanganan Resiko Sosial


Rencana penanganan resiko pada aspek social mengarah pada
keresahan masyarakat sekitar, yang kurang setuju adanya ekowisata. Dilakukan
kerja sama dan perekrutan aksi konservasi bersama masyarakat. Menyediakan
lapangan pekerjaan, yaitu pembukaan area dagang di luar zona inti yang
bertempat pada hutan cemara. Pemberian pelatihan pada masyarakat sekitar
untuk menjadi masyarakat peduli lingkungan dan terutama penyu yang
merupakan reptile yang dilindungi. Bekerja sama dengan nelayan agar
melepaskan penyu yang mungkin tertangkap atau membawa penyu tersebut ke
pusat konservasi untuk dilakukan pembesaran.

D. Rencana Penanganan Resiko Perubahan Politik/ kepemerintahan


Perubahan

Politik/Pemerintahan

terhadap

UU

dan

Peraturan

Pemerintah yang memperketat penjagaan terhadap konservasi penyu akan


mempengaruhi keberadaan ekowisata. Oleh karena itu perlu dilakukan
pengkajian mendalam antara konservasi dan ekowisata terlebih dahulu untuk
mencari celah dimana kedua aspek tersebut tetap bisa terhubung dan
memberikan keuntungan bagi perusahaan dan konservasi sendiri. Antipasi
terhadap resiko kerugian yakni mengansuransiakan usaha Kelas Perusahaan
Buaya.

E. Pengelolaan safeguards sosial, lingkungan dan politik


Pengelolaan safeguards bertujuan untuk mencegah pelaksanaan bisnis
buaya dari resiko-resiko yang berasal dari berbagai aspek yang sudah dibahas.
Safeguards juga berfungsi sebagai pengendalian dan penjagaan serta

mensukseskan aksi konservasi penyu di Pantai Goa Cemara. Pengelolaan


safeguards tersusun atas beberapa komponen yang tercantum dalam tabel
berikut:
Tabel 1. Safeguards Sosial Ekowisata dan Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara
Komponen

Standard

Asesmen

Potensi

Tindakan

bisnis

pengurangan

terhadap

dampak

pencegahan

resiko

terjadinya resiko

Anggaran

Tindakan

Anggaran

Pelaporan

20 juta

Mengisi

penanggulangan
jika resiko terjadi

Penetapan

Transparan side

Terjadinya

Keresahan

Sosialisasi

lokasi

lineasi calon

Klaim dan protes

warga

kepada Warga

10 juta

Mediasi konflik
oleh Tim dari

format

lokasi

warga

/Proyek

dan pemberia

C.V. multipihak

laporan di

pembangunan

tertunda/terg

pendidikan akan

dan pengetatan

awal

bangunan baru

anggunya

konservasi serta

pengelolaan oleh

proyek

konservasi

menydiakan

tim konservasi

penyu

lapangan
pekerjaan

Penyiapan

Kejelasan

Terjadinya

Kurangnya

Sosialisasi

organisasi

struktur dan

kebingungan di

dukungan

kepada warga

10 juta

Mediasi konflik
oleh tim C.V.

10 juta

Mengisi
format

pelaksana

personel

masyarakat

masyarakat

sekitar dan

multipihak

laporan di

organisasi

menyediakan

awal

pelaksana

media kerjasama

proyek

Pembukaan

Adanya site plant

Terjadinya

Konflik

Sosialisasi

lokasi usaha

wilayah

komplin

masyarakat/

kepada warga

5 juta

Mediasi konflik
oleh tim C.V.

10 juta

Mengisi
format

proyek

sekitar dan

multipihak

laporan

tertunda.

menyediakan
media kerjasama

Pelaksanaan

Proses dan

Terjadinya protes

Ketidaklanc

pelaporan

masyarakat

aran proyek

Mediasi protes

Masuk ke

Mengisi

oleh mitra KPH

dalam

format

pelaksanaan

biaya

laporan

sesuai SOP

proyek

Pengamanan

SOP

Terjadinya protes

Ketidak

Melibatkan

Masuk

Proses kasus

5 juta per

Mengisi

Ekowisata

pengamanan

masyarakat

lancaran

masyarakat ke

kedalam

keamanan zona

kasus

format

proyek

dan

dalam

biaya

inti dan wilayah

laporan

Konservasi

pengamanan

proyek

ekowisata oleh

pengaman

Penyu

proyek

C.V. dan mitra

an

bisnis

Ekowisata
dan
Konservasi
Penyu

TOTAL Safeguards Sosial

65 juta

Tabel 2. Safeguards Lingkungan Ekowisata dan Konservasi Penyu di Pantai Goa


Cemara
Komponen

Standard

Asesmen terhadap

Potensi

Tindakan

bisnis

pengurangan

terjadinya resiko

dampak

pencegahan

Anggaran

Tindakan

Anggaran

Pelaporan

penanggulangan

resiko

jika resiko terjadi

lingkungan
Penetapan

Transparansi

Penetapan lokasi

Memicu

Penilaian ulang

Masuk

Masuk ke

Mengisi

lokasi

delineasi calon

pada hutan cemara

kerusakan

terhadap struktur

kedalam

Penegakan aturan

dalam

format

lokasi

yang dalam proses

hutan

hutan cemara

anggaran

angaran

laporan di

terdegradasi

cemara

calon lokasi

penyiapan

pengaman

awal

lebih parah

Ekowisata dan

proyek

an

proyek

Konservasi

kawasan

Penyu
Pengelolaan

Penggunaan

Adanya protes

Kerusakan

Pendayagunaan

Masuk

Masuk

Mengisi

sampah

system

pengunjung dan

zona inti

karyawan

kedalam

kedalam

format

pengelolaan

masyarakat

dan

kebersihan secara

anggaran

anggaran

laporan di

menurunya

ketat

penyiapan

penyiapan

awal

proyek

proyek

Anggaran

Pelaporan

15 juta

Mengisi

sampah

pengunjung

Penegakan aturan

proyek

TOTAL Safeguards Lingkungan

Tabel 3. Safeguards Potitik Ekowisata dan Konservasi Penyu di Pantai Goa Cemara
Komponen

Standard

Asesmen terhadap

Potensi

Tindakan

bisnis

pengurangan

terjadinya resiko

dampak

pencegahan

Anggaran

Tindakan
penanggulangan

resiko

jika resiko terjadi

Penetapan

Transparan

Terjadi conflict of

Kegagalan

Pendekatan pada

lokasi

sidelineasi calon

interests di

proyek

Pemerintah

10 juta

Re-advokasi

lokasi

kalangan elit

Kabupaten untuk

laporan di

politik

pengelolaan

awal

kebirokrasi

format

lokasi.

proyek

Penyiapan

Kejelasan

Terjadi conflict of

Turunnya

Pengetatan syarat

Masuk di

Mengadakan

organisasi

struktur dan

interests di

efektivitas

kompetensi

dalam

pelatihan tenaga

format

pelaksana

personel

kalangan elit

produksi

biaya

kerja dan uji

laporan

organisasi

politik untuk

dan kinerja

pengemba

kompetensi

pelaksana

penempatan

bisnis

ngan

tenaga

5 juta

Mengisi

SDM

Pelaksanaan

Kejelasan

Terjadi conflict of

Terhambatn

Pendekatan

Proyek

tahapan

interests di

ya kinerja

birokrasi

Pelaksanaan

kalangan elit

proyek

proyek

politik dalam

10 juta

Re-advokasi
kebirokrasi

10 juta

Mengisi
format
laporan

pembagian jatah

dan

proyek

pembekaan
biaya

TOTAL Safeguards Politik

50 juta

LAMPIRAN
Peraturan Pemerintah mengenai CV
Pasal 19 KUH Dagang
Pengertian CV
Perseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseoran komanditer,
didirikan antara seseorang atau antara beerpa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung
renteng untuk keseluruhannyan, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.
Pasal 20 KUH Dagang
Status dan Tanggung Jawab Sekutu Komanditer
Status dan tanggung jawab sekutu komanditer adalah sebagai berikut :
1.

Nama sekutu komanditer tidak boleh digunakan

2.

Sekutu komanditer tidak boleh melakukan tindakana pengurusan atau bekerja dalam CV,
meskupun berdasarkan pemberian kuasa

3.

Sekutu komanditer tidak turut menganggung kerugian lebih dari jumlah uang yang telah ia
masukkan atau yang harus ia masukkan ke dalam CV, tanpa diwajibkan untuk mengembalikan
keuntungan yang telah ia peroleh

Pasal 21 KUH Dagang


Sanksi bagi Sekutu Komanditer
Sanksi bagi sekutu komanditer yang namanya digunakan tau turut dalam kegiatan pengurusanuntuk
bertanggung jawab secara tanggung renteng atas seluruh utang dan perikatan yang terjadi
PP No 7 Tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_7_1999.htm
PP No 7 tahun 1999 mengenai Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
Bab IV. Pengawetan dan Pengelolaan Tumbuhan dan Satwa
Pasal 8
(1)

Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan pengelolaan di dalam
habitatnya (in situ).

(2)

Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan kegiatan
pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk menambah dan memulihkan populasi.

(3)

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Identifikasi:
b. Inventarisasi;
c. Pemantauan;
d. Pembinaan habitat dan populasinya;
e. Penyelamatan jenis;
f. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.

(4)

Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex situ) dilakukan dalam bentuk
kegiatan:
a. Pemeliharaan;
b. Pengembangbiakan;
c. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d. Rehabilitasi satwa;
e. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.

Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
(1) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.
Pasal 10
(1) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b,
untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(2) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap
potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11

(1) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu
ke waktu.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(1) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
(2) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan:
a. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
b. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
c. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
d. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(1) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya
kepunahan yang masih berada di habitatnya.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke
habitat di lokasi lain.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Kedua
Pengelolaan dalam Habitat (In Situ)
Pasal 9
(5) Pemerintah melaksanakan identifikasi di dalam habitat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3) huruf a untuk kepentingan penetapan golongan jenis tumbuhan dan satwa.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh
Menteri.

Pasal 10
(5) Pemerintah melaksanakan inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b,
untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa.
(6) Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi survei dan pengamatan terhadap
potensi jenis tumbuhan dan satwa.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 11
(5) Pemerintah melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c,
untuk mengetahui kecenderungan perkembangan populasi jenis tumbuhan dan satwa dari waktu
ke waktu.
(6) Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui survei dan pengamatan
terhadap potensi jenis tumbuhan dan satwa secara berkala.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat dalam pelaksanaan survei dan pengamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 12
(3) Pemerintah melaksanakan pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (3) huruf d, untuk menjaga keberadaan populasi jenis tumbuhan dan satwa dalam keadaan
seimbang dengan daya dukung habitatnya.
(4) Pembinaan habitat dan populasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui
kegiatan:
g. Pembinaan padang rumput untuk makan satwa;
h. Penanaman dan pemeliharaan pohon pelindung dan sarang satwa pohon sumber makan satwa;
i. Pembuatan fasilitas air minum, tempat berkubang dan mandi satwa;
j. Penjarangan jenis tumbuhan dan atau populasi satwa;
k. Penambahan tumbuhan atau satwa asli;
l. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan habitat dan populasi tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 13
(5) Pemerintah melaksanakan tindakan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c, terhadap jenis tumbuhan dan satwa yang terancam bahaya
kepunahan yang masih berada di habitatnya.

(6) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan
melalui pengembangbiakan, pengobatan, pemeliharaan dan atau pemindahan dari habitatnya ke
habitat di lokasi lain.
(7) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melakukan tindakan penyelamatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Pemerintah melaksanakan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf f, untuk menunjang tetap terjaganya keadaan
genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara lestari.
(2) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan ekologis baik dalam
bentuk penelitian dasar, terapan dan uji coba.
(3) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat melaksanakan kegiatan pengkajian, penelitian
dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Pengelolaan di luar Habitat (Ex Situ)
Pasal 15
(1) Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk menyelamatkan sumber daya genetik dan populasi jenis
tumbuhan dan satwa.
(2) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi juga koleksi jenis tumbuhan dan
satwa di lembaga konservasi.
(3) Pemeliharaan jenis di luar habitat wajib memenuhi syarat:
a. memenuhi standar kesehatan tumbuhan dan satwa;
b. menyediakan tempat yang cukup luas, aman dan nyaman;
c. mempunyai dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeliharaan jenis di luar habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 16
(1) Pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (4) huruf b dilaksanakan untuk pengembangan populasi di alam agar tidak punah.
(2) Kegiatan pengembangbiakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan tetap
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik.
(3) Pengembangbiakan jenis di luar habitatnya wajib memenuhi syarat:
a. menjaga kemurnian jenis;
b. menjaga keanekaragaman genetik;
c. melakukan penandaan dan sertifikasi;

d. membuat buku daftar silsilah (Studbook).


(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangbiakan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 17
(1) Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf c dilakukan sebagai upaya untuk menunjang
tetap terjaganya keadaan genetik dan ketersediaan sumber daya jenis tumbuhan dan satwa secara
lestari.
(2) Kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui pengkajian terhadap aspek-aspek biologis dan
ekologis baik dalam bentuk penelitian dasar, terapan dan uji coba.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan
satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 18
(1) Rehabilitasi satwa di luar habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf d
dilaksanakan untuk mengadaptasikan satwa yang karena suatu sebab berada di lingkungan
manusia, untuk dikembalikan ke habitatnya.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui kegiatan-kegiatan untuk
mengetahui ada atau tidaknya penyakit, mengobati dan memilih satwa yang layak untuk
dikembalikan ke habitatnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rehabilitasi satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur oleh Menteri.
Pasal 19
(1) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa di luar kawasan habitatnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4) huruf a dilaksanakan untuk mencegah kepunahan lokal jenis tumbuhan dan
satwa akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia.
(2) Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
melalui kegiatan-kegiatan :
a. memindahkan jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya yang lebih baik;
b. mengembalikan ke habitatnya, rehabilitasi atau apabila tidak mungkin, menyerahkan atau
menitipkan di Lembaga Konservasi atau apabila rusak, cacat atau tidak memungkinkan
hidup lebih baik memusnahkannya.
Pasal 20
(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat bekerja sama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 21

(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat:
a. habitat pelepasan merupakan bagian dari sebaran asli jenis yang dilepaskan;
b. tumbuhan dan satwa yang dilepaskan harus secara fisik sehat dan memiliki keragaman
genetik yang tinggi;
c. memperhatikan keberadaan penghuni habitat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
Pasal 22
(1) Lembaga Konservasi mempunyai fungsi utama yaitu pengembangbiakan dan atau penyelamatan
tumbuhan dan satwa dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.
(2) Di samping mempunyai fungsi utama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Lembaga Konservasi
luga berfungsi sebagai tempat pendidikan, peragaan dan penelitian serta pengembangan ilmu
pengetahuan.
(3) Lembaga Konservasi dapat berbentuk Kebun Binatang, Museum Zoologi, Taman Satwa Khusus,
Pusat Latihan Satwa Khusus, Kebun Botani, Herbarium dan Taman Tumbuhan Khusus.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
Pasal 23
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan
atau satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:
a. pengambilan atau penangkapan dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga
Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24
(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga
Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan
lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang
nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat
(2) diatur oleh Menteri.

BAB VI
PENGIRIMAN ATAU PENGANGKUTAN TUMBUHAN DAN
SATWA YANG DILINDUNGI

Pasal 25
(1) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu
tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan
atas dasar izin Menteri.
(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan
satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27
(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat
penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perUndang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan:
a. preventif; dan
b. represif.
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:
a. penyuluhan;
b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum;
c. penerbitan buku-buku manual identifikasi jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang
tidak dilindungi.
(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan penegakan
hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan
satwa.

UU no. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung


BAB IV. PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG
Bagian Pertama: Umum
Pasal 7
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai
dengan fungsi bangunan gedung

(2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan
bangunan.
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung
Pasal 8
(1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(4) Ketentuan mengenai izin mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah."

UU no. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang


BAB IV. TUGAS DAN WEWENANG.
Bagian Kesatu: Tugas.
Pasal 7
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara memberikan kewenangan
penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tetap
menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VI. PELAKSANAAN PENATAAN RUANG.
Bagian Ketiga: Pengendalian Pemanfaatan Ruang.
Pasal 35

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi

Pasal 37
(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diatur oleh Pemerintah dan pemerintah
daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

(3) Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang
benar, batal demi hukum.
(4) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(5) Terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
(6) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah
dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan memberikan ganti kerugian yang
layak.
(7) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan peraturan pemerintah.
BAB VIII. HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN MASYARAKAT
Pasal 60
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
e.
f.

mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan
pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.
Pasal 61

Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib:


b.
c.

memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang.
Pasal 63

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dapat berupa:


e. pencabutan izin;
f.

pembatalan izin;

g. pembongkaran bangunan

PP RI no. 36 tahun 2005


BAB I. KETENTUAN UMUM.
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:


6.

7.

Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan
administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah permohonan yang dilakukan pemilik
bangunan gedung kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin mendirikan bangunan gedung
BAB II. FUNGSI BANGUNAN GEDUNG.
Bagian Kedua: Penetapan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 6

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam
RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.
(2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh pemilik bangunan gedung dalam pengajuan
permohonan izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Pemerintah daerah menetapkan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, dalam izin mendirikan
bangunan gedung berdasarkan RTRW kabupaten/kota, RDTRKP, dan/atau RTBL.
Bagian Ketiga: Perubahan Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 7
(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah melalui permohonan baru izin mendirikan
bangunan gedung.
(4) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam izin
mendirikan bangunan gedung, kecuali bangunan gedung fungsi khusus ditetapkan oleh Pemerintah.

BAB III. PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG.


Bagian Pertama: Umum.
Pasal 8
(2) Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi:
a.
b.
c.

status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah;
status kepemilikan bangunan gedung; dan
izin mendirikan bangunan gedung."
Bagian Kedua: Persyaratan Administratif Bangunan Gedung.
Paragraf 3: Status Kepemilikan Bangunan Gedung.
Pasal 13 ayat (1)

Kegiatan pendataan untuk bangunan gedung-baru dilakukan bersamaan dengan proses izin mendirikan
bangunan gedung untuk keperluan tertib pembangunan dan pemanfaatan bangunan gedung."

Paragraf 4: Izin Mendirikan Bangunan Gedung.


Pasal 14
(1) Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib memiliki izin mendirikan bangunan
gedung.
(2) Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemerintah
daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, melalui proses permohonan izin
mendirikan bangunan gedung.
(3) Pemerintah daerah wajib memberikan surat keterangan rencana kabupaten/kota untuk lokasi yang
bersangkutan kepada setiap orang yang akan mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan
gedung.
(4) Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
ketentuan yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan dan berisi:
a. fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi bersangkutan;
b. ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan;
c. jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah dan KTB yang diizinkan;
d. garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang diizinkan;
e. KDB maksimum yang diizinkan;
f. KLB maksimum yang diizinkan;
g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan; dan
i. jaringan utilitas kota.
(5) Dalam surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat juga
dicantumkan ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku untuk lokasi yang bersangkutan."
(6) Keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), digunakan
sebagai dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung.
Pasal 15
(1) Setiap orang dalam mengajukan permohonan izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib melengkapi dengan:
a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian pemanfaatan tanah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
b. data pemilik bangunan gedung;
c. rencana teknis bangunan gedung; dan
d. hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak
penting terhadap lingkungan
(2) Untuk proses pemberian perizinan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting
terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, harus mendapat pertimbangan
teknis dari tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat publik.
(3) Permohonan izin mendirikan bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis disetujui dan disahkan oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus
Ibukota Jakarta oleh Gubernur, untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah dalam
bentuk izin mendirikan bangunan gedung.

(4) Izin mendirikan bangunan gedung merupakan prasyarat untuk mendapatkan pelayanan utilitas
umum kabupaten/kota.
Bagian Ketiga: Persyaratan Tata Bangunan.
Paragraf 6: Pembangunan Bangunan Gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air dan/atau
prasarana/sarana umum.
Pasal 29
Bangunan gedung yang dibangun di atas dan/atau di bawah tanah, air, atau prasarana dan sarana umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan
gedungnya dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pihak yang berwenang.
Pasal 30, ayat (4)
Izin mendirikan bangunan gedung untuk pembangunan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) selain memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15, wajib
mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung dan dengan mempertimbangkan pendapat
publik.

BAB IV. PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG.


Bagian Pertama: Pembangunan.
Paragraf 2. Perencanaan Teknis.
Pasal 63, ayat (5)
Dokumen rencana teknis bangunan gedung berupa rencana-rencana teknis arsitektur, struktur dan
konstruksi, mekanikal dan elektrikal, pertamanan, tata ruang-dalam, dalam bentuk gambar rencana,
gambar detail pelaksanaan, rencana kerja dan syarat-syarat administratif, syarat umum dan syarat
teknis, rencana anggaran biaya pembangunan, dan/atau laporan perencanaan.
Pasal 64
(1) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) diperiksa, dinilai,
disetujui, dan disahkan untuk memperoleh izin mendirikan bangunan gedung.
(3) Penilaian dokumen rencana teknis dilaksanakan dengan melakukan evaluasi terhadap pemenuhan
persyaratan teknis dengan mempertimbangkan aspek lokasi, fungsi, dan klasifikasi bangunan
gedung.
(7) Persetujuan dokumen rencana teknis diberikan terhadap rencana yang telah memenuhi persyaratan
sesuai dengan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk persetujuan tertulis
oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 65
(1) Dokumen rencana teknis yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (7)
dikenakan biaya izin mendirikan bangunan gedung yang nilainya ditetapkan berdasarkan
klasifikasi bangunan gedung.
(2) Dokumen rencana teknis yang biaya izin mendirikan bangunan gedungnya telah dibayar,
diterbitkan izin mendirikan bangunan gedung oleh bupati/walikota, kecuali untuk Daerah Khusus

Ibukota Jakarta dilakukan oleh Gubernur, dan untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh
Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Paragraf 4. Pelaksanaan Konstruksi.
Pasal 68, ayat (1)
Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah pemilik bangunan gedung memperoleh izin
mendirikan bangunan gedung.
Bagian Kedua: Pemanfaatan
Paragraf 1: Umum
Pasal 72, ayat (1)
Pemanfaatan bangunan gedung merupakan kegiatan memanfaatkan bangunan gedung sesuai dengan
fungsi yang ditetapkan dalam izin mendirikan bangunan gedung termasuk kegiatan pemeliharaan,
perawatan, dan pemeriksaan secara berkala.
Paragraf 5: Perpanjangan Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung.
Pasal 81, ayat (1)
Perpanjangan sertifikat laik fungsi bangunan gedung pada masa pemanfaatan diterbitkan oleh
pemerintah daerah dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah
tinggal deret, dan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun untuk bangunan gedung lainnya, berdasarkan
hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan
fungsi bangunan gedung sesuai dengan izin mendirikan bangunan gedung.
BAB VI. PEMBINAAN.
Bagian Ketiga: Pembinaan oleh Pemerintah Daerah
Pasal 112, ayat (1)
Pemerintah daerah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan daerah di
bidang bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan izin mendirikan bangunan gedung dan
sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan dan penetapan pembongkaran
bangunan gedung.

BAB VII: SANKSI ADMINISTRATIF.


Bagian Pertama: Umum
Pasal 113, ayat (1)
Pemilik dan/atau pengguna yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dikenakan sanksi
administratif, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;

c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;


d. penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;
e. pembekuan izin mendirikan bangunan gedung;
f. pencabutan izin mendirikan bangunan gedung;
g. pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;
h. pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atau
i. perintah pembongkaran bangunan gedung.

Bagian Kedua: Pada Tahap Pembangunan.


Pasal 114
(2) Pemilik bangunan gedung yang tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturutturut dalam tenggang waktu masing-masing 7 (tujuh) hari kalender dan tetap tidak melakukan
perbaikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa
pembatasan kegiatan pembangunan
(3) Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
selama 14 (empat belas) hari kalender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian sementara
pembangunan dan pembekuan izin mendirikan bangunan gedung.
(4) Pemilik bangunan gedung yang telah dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
selama 14 (empat belas) hari kelender dan tetap tidak melakukan perbaikan atas pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa penghentian tetap pembangunan,
pencabutan izin mendirikan bangunan gedung, dan perintah pembongkaran bangunan gedung.
Pasal 115
(1) Pemilik bangunan gedung yang melaksanakan pembangunan bangunan gedungnya melanggar
ketentuan Pasal 14 ayat (1) dikenakan sanksi penghentian sementara sampai dengan diperolehnya
izin mendirikan bangunan gedung.
(2) Pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan gedung dikenakan sanksi
perintah pembongkaran.
BAB VIII. KETENTUAN PERALIHAN.
Pasal 118
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini:
a.
b.

izin mendirikan bangunan gedung yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah dinyatakan tetap
berlaku; dan
bangunan gedung yang belum memperoleh izin mendirikan bangunan gedung dari pemerintah
daerah, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sudah harus memiliki izin mendirikan
bangunan gedung."

Anda mungkin juga menyukai