Oleh
IKA NURFITRIA TAUHIDA
H1A 008 011
BAB I
PENDAHULUAN
Sindroma metabolik merupakan kumpulan keadaan yang meliputi obesitas,
dislipidemia, hipertensi dan hiperglikemia. Keadaan ini selanjutnya berkembang menjadi
penyakit kardiovaskuler seperti penyakit jantung koroner dan stroke, juga diabetes mellitus
tipe 2 dan penyakit-penyakit lain misalnya kanker.
Pemahaman mengenai sindroma metabolik menjadi sangat penting artinya mengingat
bahwa sindroma metabolik berkaitan erat dengan perubahan metabolisme tubuh, stres
oksidatif, inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia, aktifitas fisik, umur, genetik, dan ras.
Sindroma metabolik merupakan pemicu timbulnya pandemi global penyakit
kardiovaskular dan diabetes mellitus tipe 2. Hal ini berkaitan dengan insiden sindroma
metabolik yang meningkat secara bermakna dari tahun ke tahun. Saat ini tercatat prevalensi
sindroma metabolik di dunia sekitar 20%, sedangkan di Jakarta sebagai ibu kota dan kota
terbesar di Indonesia prevalensi sindroma metabolik sebesar 28,4%, sedangkan penelitian
pada orang dewasa gemuk di Bogor menunjukkan 36,2%. Prevalensi ini cenderung
meningkat dari tahun ke tahun.
Kasus Hipertensi dan Diabetes Melitus meningkat setiap tahunnya dari tahun 2009
hingga 2013. Dari data-data tersebut di atas, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk
menurunkan angka kejadian hipertensi dan diabetes melitus. Dalam hal ini, Puskesmas
sebagai ujung tombak dalam pelayanan kesehatan masyarakat primer yang bertanggung
jawab terhadap kesehatan perorangan dan kesehatan masyarakat memiliki peranan yang
sangat penting demi tercapainya tujuan tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
PENYAKIT
1.
ISPA
2.
Gastritis
3.
Penyakit Kulit Infeksi
4.
Hipertensi
5.
Penyakit pada sistem otot dan jaringan ikat
6.
Penyakit lain dari saluran pernapasan atas
7.
Penyakit lain dari saluran
8.
Penyakit pulpa dan jaringan
9.
Penyakit Kulit Alergi
10.
Sumber : Data Puskesmas Gunungsari Tahun 2012
TOTAL
1837
1546
1002
864
826
774
655
566
556
1837
1546
1002
864
826
774
655
566
556
Tabel 2.2. Data 10 Penyakit Terbanyak Rawat Inap Puskesmas Gunungsari Tahun 2011
NO
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
PENYAKIT
Typhoid
Gastritis
Diare
Susp. DHF
Febris
ISK
Hipertensi
Asma
Disentri
Malaria Falciparum (+)
TOTAL
328
205
167
115
111
109
79
73
57
54
328
300
250
205
200
167
150
115
111
109
79
100
73
57
54
50
0
PENYAKIT
Malaria Falciparum (+)
Typhoid
Gastritis
Susp DHF
Diare
Obs Febris
ISK
Asma
Hipertensi
Malaria Vivax
TOTAL
281
275
261
230
152
127
72
58
49
33
281
275
261
250
230
200
152
150
127
100
72
50
0
M alaria Falciparum (+)
Gastritis
Diare
ISK
58
49
33
Hipertensi
PENYAKIT
Diare
Typhoid
Gastritis
ISK
Malaria Falciparum (+)
Obs Febris
Susp. DHF
Diabetes
Hipertensi
CKS
TOTAL
62
50
50
38
32
29
18
9
7
7
62
50
50
38
40
30
32
29
18
20
10
Jika jumlah kasus penyakit hipertensi tahun 2009, tahun 2010, tahun 2011, tahun 2012
dan tahun 2013 dibandingkan maka didapatkan gambaran seperti pada grafik di bawah ini.
Tampak peningkatan kasus dari tahun ke tahun, yaitu dari tahun 2009 ke tahun 2010 yaitu
sebanyak 209 kasus menjadi 223 kasus, dari tahun 2010 ke tahun 2011 yaitu sebanyak 223
kasus menjadi 283 kasus, kemudian dari tahun 2011 ke tahun 2012 yaitu sebanyak 283 kasus
menjadi 375 kasus, lalu terakhir dari tahun 2012 ke tahun 2013, yaitu sebanyak 375 kasus
menjadi 445 kasus.
PERBANDINGAN JUMLAH KASUS RAWAT JALAN PENYAKIT HIPERTENSI DI PUSKESMAS GUNUNGSARI TAHUN 2009, 2010, 2011, 2012 DAN 2013
500
450
445
400
375
350
300
250
200 209
283
Jumlah Kasus
223
150
100
50
0
2009
2010
2011
2012
2013
PENYAKIT
1.
Gastritis
2.
Demam sebab lain
3.
Infeksi Saluran
4.
Typhoid
5.
Diare
6.
Asma
7.
Diabetes Melitus
8.
Disentri
9.
Pneumonia
10. Anemia
Sumber : Data Puskesmas Gunungsari Tahun 2012
TOTAL
190
174
116
102
93
34
31
31
31
22
190
174
160
140
120
116
102
100
93
80
60
34
40
31
31
31
22
20
0
PERBANDINGAN JUMLAH KASUS RAWAT JALAN PENYAKIT DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS GUNUNGSARI TAHUN 2009, 2010, 2011, 2012 DAN 2013
140
121
120
100
89
80
60
Jumlah Kasus
54
59
64
40
20
0
2009
2010
2011
2012
2013
10
11
12
b.
c. Faktor Risiko
Faktor risiko untuk Sindrom Metabolik adalah hal-hal dalam kehidupan yang
dihubungkan dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor
risiko Sindrom Metabolik, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol,
rokok, dan aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres.
1. Gaya hidup
Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak lepas dari
berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola konsumsi yang tidak seimbang,
Studi yang dilakukan oleh Research Triangle institute International, dan dibiayai oleh
13
CDC's Division of Nutrition and Physical Activity menggunakan latar belakang data
dari survei nasional di Amerika yang dilakukan 1980 dan 1990 ternyata menunjukkan
hubungan prevalensi obesitas/berat badan lebih dan jumlah jam yang dipakai anakanak untuk nonton TV.
Merebaknya restoran fast food turut menyumbang peningkatan berbagai
penyakit. Fast food jarang menyajikan makanan berserat. Menu yang tersaji
cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol. Konsumsi lemak
Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi pertahun dan 18,7% tahun
1990)(Badan pusat statistik). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh
penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Lebih
banyak penduduk kurang beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak beraktivitas
(9,1%) (Susenas 2004).
Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa
konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian sindrom
metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah dengan rendahnya
kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional lain pada dewasa muda menunjukkan
bahwa seseorang dengan sindrom metabolik secara signifikan memiliki konsumsi
sayur dan buah yang rendah dibanding yang tidak memiliki risiko metabolik.
Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan
penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti hipertensi, diabetes, obesitas
dan juga penyakit jantung dan kanker kolon. Konsumsi gula dengan pemanis yang
rendah energi atau karbohidrat kompleks direkomendasikan dalam mengurangi intake
energi dan menurunkan berat badan.
Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah
terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat mengurangi risiko
sindrom metabolik melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium, magnesium
dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah dihubungkan dengan
penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi sayur dan buah menurunkan
risiko penyakit jantung melalui penurunan konsentrasi CRP yang merupakan marker
inflamasi. Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa konsumsi dari DASH
(Dietary Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain diet kaya sayur dan buah,
memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian sindrom metabolik. Esposito et al
menunjukkan bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur, menurunkan
14
marker inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5 porsi sayur dan buah sehari
direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit kronis.
Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik dan
prevalensi sindrom metabolik yaitu ATTICA Study. Hasilnya menunjukkan bahwa
aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang (mengeluarkan < 7 kcal/min )
dihubungkan dengan prevalensi SM pada 3042 laki-laki dan wanita dari populasi
umumnya. The Center for Diseases Control and Prevention and America College of
Sport Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan intensitas sedang sedikitnya
30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi oleh dewasa muda maupun yang tua.
Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap tekanan
darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada level moderate
dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien dengan hipertensi
esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga memberikan efek yang signifikan
terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket Hearth Study grup melaporkan bahwa
aktivitas fisik berhubungan signifikan dengan peningkatan kadar HDL kolesterol.
Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya penyakit
kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program Prevalence Study
menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau lebih perhari mengalami
penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14 % untuk perempuan,
dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.
Berdasarkan penelitian kohort Dede Kusmana selama 13 tahun di Jakarta,
prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia cukup tinggi yaitu 65,6 %
dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah dikeluarkan sebesar 15.3 % dan 0.7 %
secara berturut-turut. Kebiasaan merokok dimulai pada usia 8 tahun dan yang paling
tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang dikonsumsi mulai dari 1-9 batang sampai lebih
dari 36 batang perhari. Rokok kretek merupakan pilihan pertama dibandingkan
dengan jenis rokok lainnya. Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan
3 kali lebih besar pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok, dan juga 3 kali lebih besar pada orang yang merokok kretek.
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap, bukan
lamanya waktu seseorang telah merokok. Orang yang merokok > 20 batang perhari
dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama risiko (hipertensi dan
hiperkolesterol).
15
2.
Genetik
Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan dengan
fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan kromosom telah
dihubungkan
dengan
fenotip
obesitas.
Penelitian
tentang
gen
ini
telah
mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan 168 QTLs dari
hewan percobaan untuk obesitas.
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada beberapa orang
faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain faktor
lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan obesitas tidak
timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi berbagai gen obesitas. Hasil
penelitian Mayers menunjukkan bahwa kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila
salah seorang dari orangtuanya obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya
obesitas serta 7% jika kedua orangtuanya tidak obesitas.
3.
Sosial ekonomi
Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang dengan
sosial ekonomi rendah (Jordan et al, 2008). Di negara-negara maju seperti Amerika
dan Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial ekonomi
rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka dengan sosial ekonomi
tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144 penelitian yang menghubungkan
antara sosial economic status (SES) dan obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan
bahwa, di negara maju kelompok wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi
obesitas 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi.
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas lebih
sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan artinya
kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan sosial ekonomi tinggi.
Prevalensi Obesitas di Afrika Utara sama tinggi dengan kejadian di Amerika Serikat
dan Mesir, 70% wanita da 48% pria mengalami overweight dan obesitas. Penelitian
efek obesitas terhadap penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di
Afrika Utara dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih
berpendidikan dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air
daripada di Senegal dengan GDP perkapita di Afrika Utara lebih besar 6,6 kali
dibandingkan di Senegal. Rata-rata BMI di Afrika Utara adalah 27,3 dan di Senegal
16
22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal
hanya 6,5%.
Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan antara
BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di negara sedang
berkembang. Untuk negara maju, tingginya obesitas berhubungan secara terbalik
dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau
anak. Namun bagi negara sedang berkembang tidak demikian terdapat hubungan
positif antara status sosio-ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender.
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah
penderita kegemukan (overweight) dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia,
masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada awal tahun
1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok sosial ekonomi tertentu,
terutama di perkotaan, menyebabkan adanya perubahan pola makan dan pola aktifitas
yang mendukung terjadinya peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas.
Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES rendah
adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih modern yang tinggi
akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya bekerja menjadi petani dengan
tingkat aktivitas yang tinggi
aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas
hypothalamus pituitary adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh,
serta faktor genetik.
Sebuah studi mengenai hubungan antara tingkat pendidikan dan hipertensi pada
wanita di Kabupaten Sukoharjo diperoleh berdasarkan hasil analisis, dapat
disimpulkan antara lain bahwa tingkat pendidikan berhubungan signifikan dengan
hipertensi pada wanita di Kabupaten Sukoharjo. Wanita berpendidikan SMP/SMU
mempunyai risiko seperlima lebih kecil untuk mengalami hipertensi dibandingkan
dengan yang berpendidikan SD/Tidak Sekolah (OR = 0,21; CI 95 % = 0,45 0,99).
Wanita berpendidikan PT mempunyai risiko sepersepuluh kali lebih kecil untuk
mengalami hipertensi dibandingkan dengan yang berpendidikan SD/tidak sekolah
(OR = 0,10; CI 95 % = 0,02 0,59).
Hubungan antara SES dan faktor risiko CVD sangat kuat dan konsisten terhadap
pendidikan, menunjukkan risiko tinggi diabetes dan obesitas yang dihubungkan
dengan rendahnya tingkat pendidikan. Studi Jatson et al melaporkan hasil yang sama,
17
disebut metabolik obese, yaitu individu dengan berat badan normal, dengan tipikal yang
mempunyai peningkatan jumlah jaringan lemak visceral. Menurut beberapa teori,
meningkatnya jaringan lemak visceral, menyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan
aliran dari jaringan lemak yang berasal dari asam lemak bebas ke hati sampai ke sirkulasi
splanik, dimana peningkatan dari lemak abdominal subkutaneus akan mengeluarkan
produk lipolisis ke sirkulasi sistemik.
Dislipidemia
Secara umum, peningkatan aliran dari asam lemak bebas ke hati, meningkatkan
produksi dari VLDL. Pada kondisi yang fisiologis, insulin akan menghambat sekresi
VLDL ke dalam sirkulasi sistemik. Pada keadaan resistensi insulin, peningkatan aliran
asam lemak bebas ke hati akan meningkatkan sintesis trigleserida hati. Dimana
hipertrigliserinemia merupakan cerminan yang sangat bagus untuk terjadinya kondisi
resistensi insulin, dan merupakan salah satu kriteria dari diagnosis metabolik sindrom.
Salah satu gangguan lipoprotein mayor pada sindrom metabolik adalah
berkurangnya HDL kolesterol. Berkurangnya HDL ini adalah merupakan akibat dari
perubahan pada komposisi dan metabolisme HDL. Pada keadaan hipertrigliseridemia,
penurunan jumlah HDL kolesterol merupakan hasil dari penurunan dari jumlah
cholesteryl ester dari inti lipoprotein dengan perubahan peningkatan trigliserida. Sebagai
tambahan pada HDL, komposisi LDL juga termodifikasi dengan cara yang sama.
Buktinya, dengan puasa serum TG > 2 mmol/L, hampir semua pasien mempunyai
predominan dari small dense LDL. Perubahan komposisi LDL ini dapat dianggap
berhubungan dengan deplesi dari kolesterol teresterasi dan tak teresterasi dan fosfolipid,
dengan tanpa perubahan atau peningkatan pada LDL TG.
Intoleransi Glukosa
Cacat pada kerja insulin pada metabolisme glukosa termasuk gagal untuk
menekan glukoneogenesis di hati dan mediasi glukosa uptake pada insulin sensitive
tissue (misalnya otot dan jaringan lemak). Untuk mengkompensasi cacat pada kerja
insulin maka sekresi insulin harus ditingkatkan untuk mempertahankan kondisi
euglikemia. Jika kompensasi ini gagal, maka cacat pada sekresi insulin lebih
berpengaruh dan akan terjadi hiperglikemia.
Walaupun asam lemak bebas dapat menstimulasi sekresi insulin, paparan terdapat
konsentrasi FFA yang lama dan berlebihan akan membuat berkurangnya sekresi insulin.
Mekanisme dari perubahan ini dianggap disebabkan oleh lipotoksisitas.
Hipertensi
19
Hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi sudah tidak dapat dipungkiri
lagi. Beberapa mekanisme bisa dipertimbangkan. Pertama, insulin merupakan
venodilator jika diberikan secara intravena pada orang dengan berat badan normal,
dengan efek sekunder pada reabsobsi natrium pada ginjal. Pada keadaan resistensi
insulin, efek vasodilator pada insulin hilang, tapi efek ginjal untuk reabsobsi natrium
tetap ada. Asam lemak sendiri bisa memediasi vasokonstriksi relatif. Hiperinsulinemia
mungkin akan menghasilkan peningkatan aktifitas system saraf simpatik dan
berkonstribusi untuk terjadinya hipertensi.
Manifestasi lainnya
Resistensi insulin ditandai banyak perubahan yang tidak termasuk dalam kriteria
diagnostik sindrom metabolik. Peningkatan pada apo B dan C-III, asam urat, faktor
prothrombotik (fibrinogen, plasminogen activator inhibitor 1), viskositas serum,
asimetris dimethylarginin, homosistein, jumlah sel darah putih, sitokin pro inflamasi,
adanya mikroalbuminuria, non-alcoholic fatty liver disease, sleep apneu obstruktif dan
penyakit polikistik ovarium, semua berhubungan dengan resistensi insulin.
e. Penatalaksanaan
A. Pengendalian Faktor Risiko
Pengendalian faktor risiko penyakitjantung koroneryang dapat saling berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko yang dapat diubah, dengan usahausaha sebagai berikut:11
a) Mengatasi obesitas/menurunkan kelebihan berat badan.
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi hipertensi pada obesitas
jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali
lebih tinggi dibandingkan dengan seorang yang badannya normal. Sedangkan, pada
penderita hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih (overweight).
Dengan demikian obesitas harus dikendalikan dengan menurunkan berat badan.
b) Mengurangi asupan garam didalam tubuh.
Nasehat pengurangan garam, harus memperhatikan kebiasaan makan penderita.
Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit dilaksanakan. Batasi sampai dengan
kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per hari pada saat memasak.
c) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat menontrol sistem syaraf
yang akhirnya dapat menurunkan tekanan darah.
d) Melakukan olah raga teratur
20
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit sebanyak 34 kali
dalam seminggu, diharapkan dapat menrnbah kebugaran dan memperbaiki metabolisme
tubuh yang ujungnya dapat mengontrol tekanan darah.
Pada pasien diabetes, latihan jasmani dapat memperbaiki kendali glukosa secara
menyeluruh baik penurunan resiko komplikasi, memberi pengaruh baik pada lemak
tubuh, tekanan darah arterial, sensitifitas barorefleks, memperbaiki fungsi endotelial
vaskular. Namun pada pasien diabetes yang mendapat terapi insulin, perlu diperhatikan
kemungkinan adanya hipoglikemia.
Prinsip latihan jasmani bagi penderita diabetes sama dengan prinsip latihan pada orang
normal, dan memenuhi beberapa hal sebagai berikut :
Frekuensi : jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan teratur 3-5 kali
perminggu
Intensitas: ringan-sedang (60-70% maksimum Heart rate)
Durasi : 30-60 menit
Jenis : endurance (aerobik) , kardio (jalan, jogging, berenang, bersepeda)
Target penurunan berat badan pada secara realistis adalah 10-15 % dari berat
badan awal selama 3-6 bulan.
e) Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat memperburuk
hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan karbon monoksida yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan endotel pembuluh
darah arteri, dan mengakibatkan proses artereosklerosis, dan tekanan darah tinggi.
Pada studi autopsi, dibuktikan kaitan erat antara kebiasaan merokok dengan adanya
artereosklerosis pada seluruh pembuluh darah. Merokok juga meningkatkan denyut
jantung dan kebutuhan oksigen untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada
penderita tekanan darah tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh
21
darah arteri. Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk memberhentikan kebiasaan
merokok.11
Beberapa metode yang secara umum dicoba adalah sebagai berikut:
1. Inisiatif Sendiri
Banyak perokok menghentikan kebiasannya atas inisiatif sendiri, tidak memakai
pertolongan pihak luar. Inisiatif sendiri banyak menarik para perokok karena hal-hal
berikut:
Dapat dilakukan secara diam-diam.
Program diselesaikan dengan tingkat dan jadwal sesuai kemauan.
Tidak perlu menghadiri rapat-rapat penyuluhan.
Tidak memakai ongkos.
2. Menggunakan Permen yang mengandung Nikotin
Kencanduan nikotin membuat perokok sulit meninggalkan merokok. Permen
nikotin mengandung cukup nikotin untuk mengurangi penggunaan rokok. Di negaranegara tertentu permen ini diperoleh dengan resep dokter.
Ada jangka waktu tertentu untuk menggunakan permen ini. Selama menggunakan
permen ini penderita dilarang merokok. Oengan demikian, diharapkan perokok sudah
berhenti merokok secara total sesuai jangka waktu yang ditentukan.
3. Kelompok Program
Beberapa orang mendapatkan manfaat dari dukungan kelompok untuk dapat
berhenti marokok. Para anggota kelompok dapat saling memberi nasihat dan
dukungan. Program yang demikian banyak yang berhasil, tetapi biaya dan waktu yang
diperlukan untuk menghadiri rapat-rapat seringkali menyebabkan enggan bergabung.
22
B. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan angka kesakitan dan
kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara seminimal mungkin menurunkan gangguan
terhadap kualitas hidup penderita. Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal , masa
kerja yang panjang sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat
ditarnbahkan selama beberapa bulan pertama perjalanan terapi. Pemilihan obat atau
kombinasi yang cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap
obat anti hipertensi.11
Beberapa prinsip pemberian obat anti hipertensi sebagai berikut :
Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab hipertensi
Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan
harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.
Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti hipertensi.
Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan pengobatan seumur
hidup.11
Jenis-jenis obat antihipertensi:11
1) Diuretik
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh (Iewat kencing),
sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya pompa jantung menjadi
ringan dan berefek turunnya tekanan darah. Digunakan sebagai obat pilihan pertama pada
hipertensi tanpa adanya penyakit lainnya.
2) Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja denqan menghambat aktifitas syaraf simpatis (syaraf yang
bekerja pada saat kita beraktifitas). Contoh obat yang termasuk dalam golongan
penghambat simpatetik adalah : metildopa, klonodin dan reserpin. Efek samping yang
dijumpai adalah: anemia hemolitik (kekurangan sel darah merah kerena pecahnya sel
23
darah merah), gangguan fungsi ahati dan kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit
hati kronis. Saat ini golongan ini jarang digunakan.
3) Betabloker
Mekanisme kerja obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa jantung.
Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui mengidap gangguan
pernafasan seperti asma bronkhial. Contoh obat golongan betabloker adalah metoprolol,
propanolol, atenolol dan bisoprolol. Pemakaian pada penderita diabetes harus hati-hati,
karena dapat menutupi gejala hipoglikemia (dimana kadar gula darah turun menjadi
sangat rendah sehingga dapat membahayakan penderitanya). Pada orang dengan penderita
bronkospasme (penyempitan saluran pernapasan) sehingga pemberian obat harus hatihati.
4) Vasodilatator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos (otot
pembuluh darah). Yang termasuk dalam golongan ini adalah prazosin dan hidralazin. Efek
samping yang sering terjadi pada pemberian obat ini adalah pusing dan sakit kapala.
5) Penghambat enzim konversi angiotensin
Kerja obat golongan ini adalah menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat yang
dapat meningkatakan tekanan darah). Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah
kaptopril. Efek samping yang sering timbul adalah batuk kering, pusing, sakit kepala dan
lemas.
6) Antagonis kalsium
Golongan obat ini bekerja menurunkan daya pompa jantung dengan menghambat
kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Yang termasuk golongan obat ini adalah :
nifedipin, diltizem dan verapamil. Efek samping yang mungkin timbul adalah : sembelit,
pusing, sakit kepala dan muntah.
7) Penghambat reseptor angiotensin II
Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan yang
termasuk .golongan ini adalah valsartan. Efek samping yang mungkin timbul adalah sakit
kepala, pusing, lemas dan mual.
Tatalaksana hipertensi dengan obat anti hipertensi yang dianjurkan:
a.
b.
c.
d.
e.
24
Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang
terlepas dari pembuluh selain otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronis apabila arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan penebalan,
sehingga aliran darah ke area otak yang diperdarahi berkurang. Arteri otak yang mengalami
arterosklerosis
dapat
melemah
sehingga
meningkatkan
kemungkinan
terbentuknya
aneurisma.11
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerotik tidak dapat
menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat
aliran darah melewati pembuluh darah. Pada hipertensi kronis dan hipertrofi ventrikel,
kebutuhan oksigen miokardum mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia
jantung yang menyebabkan infark.11
Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapiler
glomerulus ginjal. Dengan rusaknya glomerulus, aliran darah ke unit fungsional ginjal, yaitu
nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya
membran glomerulus, protein akan keluar melalui urine sehingga tekanan osmotik koloid
plasma berkurang dan menyebabkan edema, yang sering dijumpai pada hipertensi kronis.
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi, terutama pada hipertensi maligna (hipertensi
yang meningkat cepat dan berbahaya). Tekanan yang sangat tinggi pada kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke ruang interstisial
diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron di sekitarnya kolaps dan terjadi koma serta
kematian. 1,3,4,5
g. Pencegahan
A. Pencegahan Primordial
Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan munculnya faktor predisposisi terhadap
hipertensi dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko. Upaya ini dimaksudkan
dengan memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan pencegahan terjadinya
hipertensi yang dapat dilakukan melalui pendekatan populasi ataupun perorangan.
Pendekatan populasi secara khusus mengandalkan program untuk mendidik masyarakat.
Pendidikan masyarakat yakni masyarakat harus diberi informasi mengenai sifat, penyebab,
dan komplikasi hipertensi, cara pencegahan, gaya hidup sehat, dan pengaruh faktor risiko
kardiovaskular lainnya. 4
B. Pencegahan Primer
26
Pencegahan primer dilakukan dengan pencegahan terhadap faktor risiko yang tampak
pada individu atau masyarakat. Sasaran pada orang sehat yang berisiko tinggi dengan usaha
peningkatan derajat kesehatan yakni meningkatkan peranan kesehatan perorangan dan
masyarakat secara optimal dan menghindari faktor risiko timbulnya hipertensi. 4
Pencegahan primer penyebab hipertensi adalah sebagai berikut:
a) Mengurangi/menghindari setiap perilaku yang memperbesar risiko, yaitu menurunkan
berat badan bagi yang kelebihan berat badan dan kegemukan, menghindari meminum
minuman beralkohol, mengurangi/menghindari makanan yang mengandung makanan
yang berlemak dan berkolesterol tinggi
b) Peningkatan ketahanan fisik dan perbaikan status gizi, yaitu melakukan olahraga secara
teratur dan terkontrol seperti senam aerobik, jalan kaki, berlari, naik sepeda, berenang,
diet rendah lemak dan memperbanyak mengonsumsi buah-buahan dan sayuran,
mengendalikan stress dan emosi. 4
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada kelompok yangmemiliki faktor
risiko, yakni mereka yang belum terkena, tetapi berpotensiuntuk mendapat DM dan
kelompok intoleransi glukosa. Pencegahan ini meliputi :
a. Program penurunan berat badan. Pada seseorang yangmempunyai risiko diabetes
dan mempunyai berat badanlebih, penurunan berat badan merupakan cara utama
untuk menurunkan risiko terkena DM tipe-2 atau intoleransi glukosa.
b. Diet sehat. Dianjurkan diberikan pada setiap orang yang mempunyai risiko.
c. Latihan jasmani (olahrga) teratur
d. Menghentikan merokok. Merokok merupakan salah satu risiko timbulnya gangguan
kardiovaskular. Meski merokok tidak berkaitan langsung dengan timbulnya
intoleransi glukosa, tetapi merokok dapat memperberat komplikasi kardiovaskular
dari intoleransi glukosa dan DM tipe-2.
C. Pencegahan Sekunder
Sasaran utama adalah pada mereka terkena penyakit hipertensi melalui diagnosis dini
serta pengobatan yang tepat dengan tujuan mencegah proses penyakit lebih lanjut dan
timbulnya komplikasi. Pemeriksaan diagnostik terhadap pengidap tekanan darah tinggi
mempunyai beberapa tujuan:
a. Memastikan bahwa tekanan darahnya memang selalu tinggi
b. Menilai keseluruhan risiko kardiovaskular
c. Menilai kerusakan organ yang sudah ada atau penyakit yang menyertainya
d. Mencari kemungkinan penyebabnya
27
Sudah jelas bahwa semua tujuan ini merupakan unsur-unsur proses diagnosis tunggal
yang bertahap dan menyeluruh yang menggunakan tiga metode klasik: pencatatan riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Sejauh mana pemeriksaan
laboratorium harus dilakukan dapat disesuaikan dengan bukti yang diperoleh dari riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, dan uji laboratorium pendahuluan.11
Perangkat diagnostik dalam pengukuran tekanan darah dapat menggunakan
sfigmomanometer yang akan memperlihatkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolik jauh
sebelum adanya gejala penyakit. Pemerikasaan penunjang yang rutin bisa dilakukan pada
penderita hipertensi yang bertujuan mendeteksi penyakit yang bisa diobati dan menilai fungsi
jantung serta ginjal. 4
Pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat timbulnya penyulit
pada pasien yang telah menderita DM. Dilakukan dengan pemberian pengobatan yang cukup
dan tindakan deteksi dini penyulit sejak awal pengelolaan penyakit DM. Edukasi pasien
memiliki peranan yang sangat penting untuk mencegah timbulnya penyulit (komplikasi).
Pencegahan bagi mereka yang terancam dan menderita hipertensi adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan berkala
a.1. Pemeriksaan/pengukuran tekanan darah secara berkala oleh dokter secara teratur
merupakan cara untuk mengetahui apakah kita menderita hipertensi atau tidak
a.2. Mengendalikan tensi secara teratur agar tetap stabil dengan atau tanpa obatobatan anti hipertensi
b. Pengobatan/perawatan
b.1. Pengobatan yang segera sangat penting dilakukan sehingga penyakit hipertensi
dapat segera dikendalikan
b.2. Menjaga agar tidak terjadi komplikasi akibat hiperkolesterolemia, diabetes
mellitus dan lain-lain
b.3. Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang wajar sehingga kualitas hidup
penderita tidak menurun
b.4. Mengobati penyakit penyerta seperti dibetes mellitus, kelainan pada ginjal,
hipertiroid, dan sebagainya yang dapat memperberat kerusakan organ. 4
D. Pencegahan Tersier
28
Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut dan mencegah
cacat/kelumpuhan dan kematian karena penyakit hipertensi. Pencegahan tersier penyakit
hipertensi adalah sebagai berikut:
a) Menurunkan tekanan darah ke tingkat yang normal sehingga kualitas hidup penderita
tidak menurun
b) Mencegah memberatnya tekanan darah tinggi sehingga tidak menimbulkan kerusakan
pada jaringan organ otak yang mengakibatkan stroke dan kelumpuhan anggota badan
c) Memulihkan kerusakan organ dengan obat antihipertensi. 4
29
BAB III
LAPORAN KASUS
I. Identitas Pasien
II.
Nama Pasien
: Iq. M
Umur
: 64 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Pekerjaan
: Tidak Bekerja
Pendidikan
: SD
Alamat
Kunjungan ke Puskesmas
: 15 April 2014
Pasien saat ini tinggal di rumah berdelapan dengan dua orang anaknya (anak kedua dan
keempat), serta satu menantu dan empat orang cucu (cucu dari anak kedua dan anak
keempat).
Rumah yang dihuni saat ini terdiri dari 3 kamar tidur, 1 ruang tamu, 1 dapur dan 1
kamar mandi. Luas rumah pasien 10 x 8 meter. Tembok rumah tidak menyatu dengan
tembok tetangga. Jarak rumah pasien dengan rumah tetangga berjarak 1 meter di
sebelah utara, 1 meter di sebelah barat, 1 meter di sebelah selatan dan 3 meter di
sebelah timur. Tempat jemuran terletak di sebelah barat rumah.
Tempat pembuangan sampah berada di sebelah barat rumah, dekat dengan dapur.
Ventilasi cukup baik, terdapat 3 jendela yang sering dibuka. Lantai rumah terbuat dari
semen dan beberapa ruangan telah berkeramik, dinding rumah berupa tembok, plafon
terbuat dari triplek, atap rumah terbuat dari genteng.
Sumber air minum berasal dari sumber air di masjid yang dimasak.
Keluarga pasien memiliki jamban dengan sebuah kamar mandi yang terletak di dalam
rumah bagian belakang dekat dapur. Sedangkan untuk mencuci baju atau piring
menggunakan air dari sumur. Untuk memasak, pasien menggunakan kompor gas.
Pendapatan keluarga berasal dari penghasilan anak kedua pasien yang bekerja sebagai
kusir cidomo. Pendapatan per hari tidak menentu, sekitar Rp.30.000 50.000 per
harinya. Selain itu, dibantu oleh anak keempat pasien yang bekerja sebagai buruh
jinjing dan berjualan bakso; serta menantu dari anak kedua pasien yang bekerja sebagai
pedagang ikan bakar.
Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi garam yang cukup tinggi. Pasien senang
mengkonsumsi ikan asin setiap harinya. Pasien juga memiliki kebiasaan mengopi sejak
remaja. Dalam satu hari pasien menghabiskan 3-4 gelas besar kopi hitam. Namun sejak
sakit pasien mengakui mengurangi konsumsi kopi menjadi 1-2 gelas perhari.
Pasien mengakui beberapa tahun terakhir sering mengalami susah tidur karena banyak
pikiran. Hal ini terutama dirasakan semenjak suaminya meninggal dunia. Pasien juga
bercerita bahwa anak ke enam pasien sedang bekerja di Arab Saudi dan merupakan
anak yang paling dekat dengan pasien, sehingga pasien sering khawatir dengan keadaan
anaknya tersebut.
31
Ikhtisar Keluarga
55
17
33
17
30
30
32
14
Keterangan :
Pasien
Laki-laki
Perempuan
X Meninggal
--- Tinggal dalam 1 rumah
32
Sumur
3 meter
2 meter
3 meter
Dapur
Kamar Tidur 2
2 meter
Kamar
Mandi
Kamar
Tidur 3
Ruang Tamu
Kamar Tidur 1
III.
Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Frek. Nadi
: 92 x/menit
Frek. Nafas
Suhu
Berat Badan
: 20 x/menit
: 36,7 C
: 62 kg
Tinggi Badan
: 160 cm
Status Gizi
: Cukup
Status Generalis
Kepala-Leher
Kepala
: Deformitas (-)
Rambut
Mata
Tenggorok
Thoraks
33
Inspeksi:
1. Bentuk & ukuran: bentuk dada kiri dan kanan simetris, barrel chest (-), pergerakan dinding
dada simetris.
2. Permukaan dada: papula (-), petechiae (-), purpura (-), ekimosis (-), spider naevi (-), vena
kolateral (-), massa (-).
3. Penggunaan otot bantu nafas: SCM tidak aktif, tidak tampak hipertrofi SCM, otot bantu
abdomen tidak aktif dan hipertrofi (-).
4. Iga dan sela iga: pelebaran ICS (-).
5. Fossa supraclavicularis, fossa infraclavicularis: cekung, simetris kiri dan kanan
Fossa jugularis: tak tampak deviasi
6. Tipe pernapasan: torako-abdominal.
Palpasi:
Trakea: tidak ada deviasi trakea, iktus kordis teraba di ICS VI linea aksilaris anterior
sinistra.
Perkusi:
Batas paru-jantung:
Kanan: ICS III linea mid clavicula dekstra
Kiri: ICS VI linea aksilaris anterior sinistra
Auskultasi:
Cor: S1 S2 tunggal regular, Murmur (-), Gallop (-).
Pulmo:
Vesikuler (+) pada seluruh lapang paru .
Rhonki (-/-).
Wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi:
34
Bentuk: simetris
Permukaan kulit: tanda-tanda inflamasi (-), sianosis (-), venektasi (-), ikterik (-),
massa (-), vena kolateral (-), caput meducae (-), papula (-), petekie (-), purpura (-),
ekimosis (-), spider nevy (-)
Distensi (-)
Ascites (-)
Auskultasi:
Perkusi:
Palpasi:
Massa (-)
Ekstremitas
Akral hangat
Edema
+
+
+
+
Pemeriksaan Penunjang
Urine Lengkap (15 April 2014)
Protein : +3
35
Glukosa : +3
Leukosit : 5-10/lpb
Eritrosit : 1-5/lpb
Epitel : 5-8/lpb
V.
Diagnosis Kerja
Hipertensi Grade II
Decompensasi cordis
Diabetes Melitus Tipe II
VI.
Rencana
VII.
Captopril
Glibenklamid
Furosemid
Paracetamol
Vitamin B kompleks
Prognosis
Dubia ad Bonam
VIII. Konseling
Penyakit yang diderita adalah penyakit hipertensi, kencing manis dan gagal jantung
merupakan penyakit-penyakit yang tidak menular dan tidak bisa sembuh dan hanya
bisa dikontrol.
Menganjurkan pasien agar mengurangi konsumsi makanan yang asin dan berhenti
menaburkan garam pada nasi yang dikonsumsi, serta mengurangi konsumsi
36
37
BAB IV
PENELUSURAN (HOME VISITE)
Suami pasien telah meninggal sekitar 5 tahun yang lalu karena sakit (pasien tidak
mengetahui sakit suaminya). Pasien memiliki 7 orang anak, namun 3 orang
diantaranya telah meninggal dunia. Dari 4 anak pasien yang masih hidup, 3 orang
telah berkeluarga. Pasien saat ini tinggal di rumah berdelapan dengan dua orang
anaknya (anak kedua dan keempat), serta satu menantu dan tiga orang cucu (cucu
38
sebelah utara, 6 meter di sebelah barat, dan 3 meter di sebelah selatan. Tempat
rumah berupa tembok, plafon terbuat dari triplek, atap rumah terbuat dari genteng.
Sumber air minum berasal dari sumber air di masjid yang dimasak.
Keluarga pasien memiliki jamban dengan sebuah kamar mandi yang terletak di
sebelah utara rumah pasien dengan jarak sekitar 2 meter dari rumah. Sedangkan
untuk mencuci baju atau piring menggunakan air dari sumur. Untuk memasak,
cidomo. Pendapatan per hari tidak menentu, sekitar Rp.30.000 50.000 per harinya.
Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi garam yang cukup tinggi. Pasien senang
39
GENETIK
PERILAKU
Pengetahuan mengenai
faktor penyebab
hipertensi kurang:
Asupan garam yang
tinggi
Kebiasaan
mengkonsumsi kopi
sejak muda
Stress
HIPERTENSI
DM Tipe II
Decompensasi Cordis
Informasi mengenai
penyakit hipertensi
masih kurang
diantaranya
termasuk tindakan
preventif dan
penatalaksanaan
hipertensi
BAB V
PEMBAHASAN
40
A. Aspek Klinik
Pembahasan diagnosis
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis pasien mengarah
pada Hipertensi Grade II (menurut JNC VII). Namun, pada pasien telah terdapat
tanda fisik yang merupakan komplikasi dari Hipertensi tidak terkontrol yang sudah
dialami pasien selama 1 tahun yaitu jantung yang membesar dan edema pada
kedua tungkai bawah, serta dari pemeriksaan urine lengkap yaitu glukosa +3 dan
protein +3. Hal ini menandakan pasien telah mengalami komplikasi berupa
decompensasi cordis dan diabetes melitus tipe II. Pasien juga kemungkinan telah
mengalami gangguan fungsi ginjal. Beberapa faktor resiko yang dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien ini diantaranya usia tua, jenis
kelamin, kebiasaan mengkonsumsi kopi dan asupan garam tinggi serta faktor stres.
Pembahasan terapi
Terapi yang diberikan kepada pasien yaitu obat antihipertensi golongan ACE
Inhibitor. Hal yang penting dilakukan dalam memanajemen pasien hipertensi yaitu
edukasi untuk modifikasi gaya hidup. Pada pasien ini diantaranya yaitu
41
mengkonsumsi kafein mempunyai tekanan darah yang lebih tinggi. Hal ini karena
kafein yang terkandung dalam kopi maupun teh. Dari studi kontrol placebo
menunjukkan bahwa kafein dapat menurunkan denyut jantung, meningkatkan
tekanan darah dan meningkatkan katekolamin dan asam lemak bebas dalam
plasma.
Pasien juga memiliki kebiasaan mengkonsumsi garam tiap harinya. Secara
umum masyarakat sering menghubungkan antara konsumsi garam dengan
hipertensi. Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Pengaruh asupan garam terhadap hipertensi melalui peningkatan
volume plasma (cairan tubuh) dan tekanan darah. Keadaan ini akan diikuti oleh
peningkatan ekskresi (pengeluaran) kelebihan garam sehingga kembali pada
keadaan hemodinamik (sistem pendarahan) yang normal. Pada hipertensi esensial
mekanisme ini terganggu, di samping ada faktor lain yang berpengaruh.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan, faktor stres menjadi salah satu
pemicu timbulnya hipertensi. Pasien mengakui beberapa tahun terakhir sering
mengalami susah tidur karena banyak pikiran. Hal ini terutama dirasakan semenjak
suaminya meninggal dunia. Pasien juga bercerita bahwa anak ke enam pasien
sedang bekerja di Arab Saudi dan merupakan anak yang paling dekat dengan
pasien, sehingga pasien sering khawatir dengan keadaan anaknya tersebut.
Hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis,
yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Hal ini secara
pasti belum terbukti, akan tetapi pada binatang percobaan yang diberikan
pemaparan tehadap stress ternyata membuat binatang tersebut menjadi hipertensi.
3. Faktor Layanan Kesehatan
Kurangnya pengetahuan pasien mengenai penyakit yang dideritanya termasuk
didalamnya yaitu tentang hal-hal yang dapat mencegah atau mengendalikan
penyakit hipertensi yang dideritanya menjadi salah satu hal yang patut
dipertimbangkan oleh pusat kesehatan untuk dipikirkan jalan keluarnya.
Upaya
pencegahan
dan
penanggulangan
hipertensi
dimulai
dengan
meningkatkan kesadaran masyarakat dan perubahan pola hidup ke arah yang lebih
sehat. Untuk itu Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan dasar perlu
melakukan pencegahan primer yaitu kegiatan untuk menghentikan atau
mengurangi faktor risiko hipertensi sebelum penyakit hipertensi terjadi, melalui
promosi kesehatan seperti diet yang sehat dengan cara makan cukup sayur-buah,
43
rendah garam dan lemak, rajin melakukan aktifitas dan tidak merokok.
Puskesmas juga perlu melakukan pencegahan sekunder yang lebih ditujukan pada
kegiatan deteksi dini untuk menemukan penyakit. Bila ditemukan kasus, maka
dapat dilakukan pengobatan secara dini.
Sementara pencegahan tertier difokuskan pada upaya mempertahankan
kualitas hidup penderita. Pencegahan tertier dilaksanakan melalui tindak lanjut
dini dan pengelolaan hipertensi yang tepat serta minum obat teratur agar tekanan
darah dapat terkontrol dan tidak memberikan komplikasi seperti penyakit ginjal
kronik, stroke dan jantung. Penanganan respon cepat juga menjadi hal yang utama
agar kecacatan dan kematian dini akibat penyakit hipertensi dapat terkendali
dengan baik. Pencegahan tertier dilaksanakan agar penderita hipertensi terhindar
dari komplikasi yang lebih lanjut serta untuk meningkatkan kualitas hidup dan
memperpanjang lama ketahanan hidup.
44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor utama yang
mempengaruhi hipertensi pada pasien ini yaitu faktor genetik, perilaku, dan
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, dari faktor genetik yaitu usia pasien, faktor
perilaku terkait kebiasaan pasien diantaranya kebiasaan mengkonsumsi kopi sejak
muda, asupan garam yang tinggi, dan stres psikis, serta faktor yankes mengenai
kurangnya informasi pasien mengenai penyakit hipertensi dan kurangnya kegiatan
dari pusat kesehatan dalam memberi informasi kepada pasien mengenai hipertensi.
Jumlah kasus hipertensi pada tahun 2012 yaitu sebanyak 864 kasus dan menempati
urutan keempat 10 kasus terbanyak rawat jalan di Puskesmas Gunungsari. Kasus
Hipertensi dan Diabetes Melitus meningkat setiap tahunnya dari tahun 2009 hingga
2013.
Saran
45
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo, AW et al. 2000. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI :
Jakarta.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
3. U.S. Department of Health and Human Services. 2004. Complete Report: The
Seventh Report pf the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation, dan Treatment of High Blood Pressure. United States: U.S. Department of
Health and Human Services.
4. Tim Penyusun, 2012. Profil Kesehatan Puskesmas Gunungsari 2012. Dinas Kesehatan
Kabupaten Lombok Barat.
5. Jafar, N. 2011. Sindrom Metabolik. Makassar: Universitas Hasanudin. [Accessed on
April 25, 2014]
6. Universitas Sumatera Utara. Hipertensi. 2002. [Accessed on April 20, 2014]
7. Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tatalaksana
Penyakit Hipertensi. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
8. Castillon et al. 2007. Intake of fried foods is associated with obesity in the cohort of
Spanish adults from the European Prospective Investigation into Cancer and
Nutrition. Am J Clin Nutr (86): 198-205.
9. Rahajeng W dan Tuminah S. 2009. Prevalensi Hipertensi dan Determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Volume 59, Nomor 12: 580-587.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Data Kesehatan Indonesia
Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
46