Anda di halaman 1dari 58

ANALISIS KEBUTUHAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN (AKD )

Oleh
: Dr. Asep Iwa Hidayat, S.Sos. M.Pd.
Dalam manajemen pendidikan dan
pelatihan, hal yang harus diperhatikan beberapa kegiatan antara lain
kegiatan perencanaan diklat, pelaksanaan diklat dan monitoring dan evaluasi
diklat. Faktor yang utama, dan merupakan kegiatan awal adalah perencanaan.
Oleh karena itu, ada pepatah mengatakan apabila gagal dalam berencana, maka
berarti merencanakan (aagym). pentingnya perencanaan maka dalam
perencanaan membutuhkan konsentrasi tingkat tinggi, keseriusan yang baik,
sehinggga diperoleh kegiatan yang maksimal. Perencanaan mencakup
rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan umum (goals) dan tujuan
khusus (objectives) suatu organisasi atau lembaga. Perencanaan akan
berkaitan dengan pola, rangkaian dan proses kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai tujuan tersebut. Perencanaan pada dasarnya adalah
menentukan kegiatan dan tujuan yang hendak dicapai. Sebagai salah satu
fungsi manajemen, perencanaan merupakan sutau proses pengambilan
keputusan dari berbagai alternatif yang akan dilaksanakan pada masa yang akan
datang. Kauffman 2001:49) bahwa adalah ses penentuan tujuan atau sasaran
yang hendak dicapai dan sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu
seefisien dan seefektif mungkin. Dari pendapat tersebut tampak bahwa
perencanaan pada hakekatnya merupakan kegiatan memikirkan masa depan
yang lebih baik, yang menggambarkan terjadinya perubahan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif dibandingkan dengan keadaan sebelumnya atau
kondisi saat ini. Berdasarkan pengertian di atas, dalam proses perencanaan
kondisi perubahan yang diinginkan perlu dirumuskan secara operasional, baik
yang menyangkut substansi, sifat, jumlah, dan kapan harus dicapai. Selain
hal itu membentuk masa depan yang lebih baik, menuntut pemikiran yang
realistik, feasible, dan sistematik. Realistik berarti memikirkan kondisi
objektif, baik menyangkut masalah-masalah yang dihadapi maupun
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Feasible mengandung arti
memiliki kemungkinan untuk diwujudkan dengan memperhatikan sumber
daya yang ada, sedangkan sistematik artinya memperhitungkan
seluruh komponen yang membentuk kinerja organisasi.
2
Memperhatikan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya
penetapan tujuan atau sasaran-sasaran pembangunan pendidikan merupakan
proses merumuskan gambaran realistik tentang keadaan/perubahan yang
dikehendaki dan diyakini sebagai suatu keadaan yang lebih baik. Oleh karena itu,
perencanaan yang baik hendaknya memperhatikan sifat-sifat kondisi yang
akan datang, dimana keputusan dan tindakan efektif dilaksanakan baik
jangka pendek (kurang dari 5 tahun), jangka menengah (5-10 tahun),
maupun jangka panjang (di atas 10 tahun). Dari hal tersebut, bila dikaitkan
dengan perencanaan pendidikan dan pelatihan, maka perencanaan merupakan
penentuan sekumpulan kegiatan seperti penentuan strategi, kebijakan,
prosedur, metode, sistem, anggaran dan standar, atau pemilihan sekumpulan
kegiatan dan penetapan apa yang harus dilakukan, kapan, bagaimana, dan

oleh siapa, untuk mengubah kompetensi kerja seseorang sehingga ia dapat


berprestasi lebih baik dalam jabatannya. Oleh karena itu perencanaan bertujuan :
1) Tercapainya tujuan organisasi dengan lebih baik atau terjaminnya
pencapaian hasil yang diharapkan, karena telah dilakukan pengurangan
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam pembuatan keputusan atau
kegiatan-kegiatan yang dilakukan telah diperhitungkan dengan matang; 2)
Meningkatnya sukses pencapaian tujuan organisasi, karena telah diperjelas apa
yang telah dilakukan, kapan dilakukan, bagaimana melakukannya, dan siapa yang
bertanggung jawab untuk melakukannya; (LAN RI, 2003:6) Mencermati tujuan
perencanaan tersebut, maka dalam aplikasinya di bidang pendidikan dan
pelatihan tentu saja dengan perencanaan pendidikan dan pelatihan yang baik
akan menjamin tujuan dan sasaran pendidikan dan pelatihan yaitu
meningkatkan kinerja aparatur sebagaimana yang diharapkan, yakni
tercapainya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan perubahan sikap perilaku
menjadi lebih baik.
Salah satu kegiatan dalam perencanaan diklat
diantaranya melakukan Analisis Kebutuhan Diklat. Tahapan kegiatan analisis
kebutuhan diklat sangat penting dan dapat memberikan dampak yang
sangat besar terhadap keberhasilan pelaksanaan diklat secara keseluruhan.
Dengan demikian, ketepatan dalam mengidentifikasi kebutuhan diklat sebagai
proses analisis kebutuhan diklat menjadi penting sebab analisis kebutuhan diklat
merupakan suatu proses yang sistematis dalam menentukan sasaran,
mengidenfitikasi ketimpangan antara sasaran dengan
3
keadaan nyata
serta menetapkan prioritas tindakan. Selain jenis-jenis diklat yang telah
diidentifikasi dan direkomendasi melalui kegiatan analisis kebutuhan diklat
selanjutnya perlu ditindaklanjuti dengan merancang serta mengoptimalisasikan
proses pembelajaran. Kegiatan Analisis Kebutuhan Diklat Dalam hal ini
akan dibahas apa, mengapa, kapan, dan bagaimana analisis
kebutuhan diklat tersebut. Pengertian analisis kebutuhan diklat yaitu suatu
proses yang sistematis dalam mengindentifikasi ketimpangan antara sasaran
dengan keadaan nyata atau diskrepansi antara kinerja standar dan kinerja
nyata yang penyelesaiannya melalui pelatihan. Atau " Suatu proses kegiatan
yang bertujuan untuk menemukan adanya suatu kesenjangan pengetahuan,
ketrampilan dan sikap" yang dapat ditingkatkan melalui diklat" (Modul
Pengelola Diklat, Pusdiklat Pegawai Dep. Transmigrasi dan PPH). Jawaban
mengapa pentingnya melakukan analisis kebutuhan diklat antara lain:
Karena Masalah Kinerja; Permasalahan ini merupakan masalah klasik yang
senantiasa hadir pada sebuah organisasi atau lembaga, rendah kinerja
dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal misalnya situasi
dan kondisi kejiwaan seseorang, pengetahuan dan keterampilan, dan
lain sebagainya. Sedangkan yang bersifat eksternal misalnya
keadaan lingkungan, situasi ekonomi politik dan lain sebagainya.
Rendahnya kinerja baik pegawai atau lembaga perlu ditangani secara
serius agar eksistensi tetap dalam keadaan baik. Inovasi Sistem & Iptek Baru

Tidak bisa dipungkiri inovasi atau perkembangan sistem dan iptek baru semakin
hari semakin meningkat baik kualitas maupun kuantitas. Oleh karena perlu
diantisipasi secara tepat, sehingga tidak berdampak negatif bagi
lembaga/organisasi. Kesenjangan antara kemampuan pegawai atau organisasi
dengan perkembangan masalah yang dihadapi akan berdampak negatif yaitu
stress individu atau stress organisasi, sehingga muncul apa yang dinamakan
broken organization (kehancuran organisasi). Dengan demikian dapat menjadi
alasan penting mengapa perlu dilakukan analisis kebutuhan diklat. Kegiatan
Rutin & Pengembangan Kegiatan rutin dapat menyebabkan kejenuhan bagi
pegawai, oleh karena itu perlu adanya solusi untuk mengatasi hal tersebut
yaitu dengan pengembangan.
4
Model pengembangan yang bagaimana?
yang tepat untuk mengatasi permasalahan itu. Jawaban nya yaitu dengan
melakukan identifikasi dulu melalui analisis kebutuhan diklat.
Adapun tujuan
melakukan analisis kebutuhan diklat, antara lain adalah sebagai berikut: 1.
Dasar penyusunan program pelatihan (data dan informasi yang diperoleh dalam
pelaksanaan analisis kebutuhan diklat akan digunakan untuk menyusun
program diklat). 2. Sebagai pedoman organisasi dalam merancang bangun
program diklat. Diskrepansi kompetensi yang ditemukan pada saat analisis
kebutuhan diklat akan diubah menjadi tujuan diklat dalam proses rancang bangun
program. 3. Sebagai masukan bagi organisasi untuk tindak lanjut kegiatan dan
menentukan prioritas program. 4. Menjaga dan meningkatkan produktivitas
kerja. Pegawai yang sehari-hari hanya mengerjakan pekerjaan rutin dari itu ke
itu saja, dalam waktu tertentu akan mengalami kebosanan. Kalau sudah
bosan, maka produktivitasnya akan menurun. Tapi dengan TNA ini akan
ditemukan hal-hal yang dapat dilakukan untuk menjaga tingkat
produktivitasnya, misalnya perlu penyegaran dalam bidang-bidang
tertentu. Begitu juga dengan pegawai yang menghadapi pekerjaan
baru atau hal-hal baru, melalui analisis kebutuhan diklat akan
ditemukan hal-hal apa saja yang belum dikuasainya, sehingga dapat
diisi, yang berarti diharapkan akan dapat meningkatkan
produktivitasnya. 5. Menghadapi kebijakan baru. Dengan adanya kebijakan
baru, pegawai atau petugas yang melaksanakannya akan dibekali dengan
informasi mengenai hal tersebut apabila mereka belum memahaminya. 6.
Menghadapi tugas-tugas baru; Tugas baru memerlukan kompetensi baru juga.
Dan melalui analisis kebutuhan diklat akan diketahui sejauhmana tugas baru itu
dipahami dan yang belum dipahami sehingga dapat dijadikan prioritas
kebutuhan pelatihan. Sedangkan manfaat yang diperoleh dengan melakukan
penilaian kebutuhan diklat adalah: 1. Program-program diklat yang disusun
sesuai dengan kebutuhan organisasi, jabatan maupun individu setiap pegawai.
5
2. Menjaga dan meningkatkan motivasi peserta dalam mengikuti pelatihan,
karena program pelatihan yang diikuti sesuai dengan kebutuhannya. Dengan
demikian akan meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pelatihan. 3.
Efisiensi biaya organisasi, karena pelatihan yang dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Jadi biaya yang tidak sedikit yang dikeluarkan untuk

pelatihan tidaklah sia-sia. 4. Memahami penyebab timbulnya masalah dalam


organisasi, karena pelaksanaan penilaian kebutuhan pelatihan yang tepat dan
efektif, tidak saja akan menemukan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh
diskrepansi kompetensi pegawai/pekerja. Dalam hal ini kesenjangan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap, tapi juga dapat menemukan penyebab
masalah yang disebabkan oleh unsur-unsur atau fungsi-fungsi manajemen
yang lain, misalnya oleh keterbatasan sarana yang ada, prasarana yang kurang
mendukung, metode kerja yang kurang tepat, terbatasnya anggaran yang tersedia
untuk itu, perencanaan yang kurang matang, koordinasi yang tidak mantap dan
lain sebagainya.
Tingkat-Tingkat Kebutuhan Diklat
Berdasarkan sistem model
organisasi, umumnya kita dapat bedakan menjadi 3 (tiga) tingkat kebutuhan
diklat:
1. Kebutuhan diklat pada tingkat organisasi
Pada bagian manakah/unit
kerja manakah yang masih perlu diklat.
2. Kebutuhan diklat pada tingkat
jabatan
Pada kebutuhan diklat tingkat jabatan, kita akan mendeteksi
pula pengetahuan, ketrampilan dan sikap apa yang masih diperlukan
untuk melaksanakan fungsi, tugas dan tanggung jawab dari suatu
jabatan (occupations). 3. Kebutuhan diklat pada tingkat individual
Dalam
menetapkan kebutuhan diklat individual harus didahului dengan penetapan
kebutuhan diklat organisasi dan kebutuhan diklat jabatan, sehingga dapat
menetapkan siapa-siapa yang memerlukan diklat dan diklat apa yang
diperlukannya. Disini kita mengungkapkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap
apa yang diperlukan individu-individu pemegang jabatan dari organisasi
bersangkutan.
6
Ketiga tingkatan tersebut dapat dilihat dalam matrik
dibawah ini: Tingkat Kebutuhan Diklat Tingkat Kebutuhan Diklat Pertanyaan
pokok yang harus dijawab Kesimpulan/ Rekomendasi Prosesnya Organisasi
(Organizati on) Dimanakah diklat sangat diperlukan? Yaitu dibagian mana atau
untuk kelompok jabatan (occupation) mana? 1. Kebutuhan yang sangat
mendesak di controlling departemen atau 2. Kebutuhan yang sangat
mendesak adalah untuk latihan klerk/kerani diseluruh organisasi, atau 3.
Penganti-pengganti untuk manajer A, B, dan C harus dilatih lebih dulu sebelum
manajer itu berhenti dalam jangka waktu 12 bulan. Pengungka pan
kebutuhan pelatihan. Jabatan (Occupation ) Kecakapan, pengetahuan, dan
sikap yang diperlukan untuk suatu jabatan tertentu? Kecakapan/pengetahuan/
sikap yang diperlukan adalah.......... (biasanya ini ditulis di dalam job
spesification atau spesifikasi jabatan). Analisis Jabatan Perorangan
(Individual) Orang-orang mana yang memerlukan diklat untuk memperoleh
kecakapan/pengetahuan/ sikap tertentu 1.a) Ahmad, Cold-roller, memerlukan
latihan dalam hal penelitian kesalahan dan koreksi kesalahan
1.b) Ali dan
Mahmud, asisten cold-roller, memerlukan diklat dalam hal prosedur angkat
barang secara aman, atau 2. Semua klerk baru
memerlukan diklat sbb.., atau.
Spesifikasi kan orangnya
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa indikator kebutuhan pelatihan dapat dijumpai di setiap
bagian dalam organisasi, walaupun nanti penyelesaian bisa melalui diklat
maupun non diklat. Dan kebutuhan pelatihan
7
bisa berada pada setiap

tingkat dalam organisasi, mulai dari tingkat organisasi, jabatan dan tingkat
individu pegawai. Ada pendekatan yang bisa dilakukan dalam analisis kebutuhan
diklat: Ditinjau dari orang yang melakukan : teknik intuitif dan ulasan pimpinan
Atas dasar analisis data skunder : studi pustaka dan analisis jabatan Focus
Group (Focus Group adalah upaya penelusuran kebutuhan diklat secara
kualitatif bertujuan untuk memusatkan pikiran pada kebutuhan materi diklat apa
dalam satu kelompok sasaran penelusuran diklat) dan Nominative Group (Teknik
pendekatan nominatif adalah penelusuran kebutuhan diklat yang memusatkan
pada materi diklat yang diunggulkan dalam satu unit/kelompok penelusuran).
Analisis Litingring (DIF Analysis) Pada dasarnya analisis ini mendasarkan
pada Analisis Jabatan (Job Analysis) yang diikuti dengan mencari tingkat
KESULITAN (D = Difficulties); tingkat KEPENTINGAN (I = Importancy) dan
tingkat KESERINGAN (F = Frequency). Berdasarkan tingkat-tingkat tersebut
dicari dari analisis jabatan yang paling DIF. Model penilaian diskrepansi
kompetensi Adalah selisih antara kinerja orang yang menduduki suatu
jabatan dengan kinerja yang dituntut oleh organisasi. Suatu jabatan yang
diduduki menuntut adanya mampuan/Kompetensi Kerja Standar (KKS) Menurut
Rossett dan Arwady, berikut tahapan analisis kebutuhan diklat: A. Perumusan
Masalah (focusing) Sebelum melakukan analisis kebutuhan diklat, terlebih dahulu
tentukan konteks fokus kegiatan. Dalam kegiatan ini hal-hal yang perlu
diperhatikan adalah sebagai berikut: 1. Siapa yang menginginkan dan tidak
menginginkan penyelesaian masalah yang ada. Masalah-masalah yang ada
biasanya dapat dijumpai dalam analisis kinerja? 2. Solusi apa yang diharapkan
dalam pemecahan masalah. Solusi dalam hal ini dapat berupa training atau non
training ?
8
3. Siapa sumber informasi, misalnya atasan, pemangku jabatan,
staf, pelanggan atau bahkan data sekunder seperti laporan, hasil kerja, surat kabar
dan lain sebagainya ? 4. Catatan dan bukti apakah yang dibutuhkan dalam
pengumpulan bahan TNA ? 5. Seberapa besar bantuan organisasi terhadap
kegiatan TNA tersebut ? Dan organisasi mana yang terkait dalam pelaksanaan
TNA ini. Dari data tersebut dapat dipergunakan dalam penentuan kegiatan
selanjutnya. B. Perumusan Tujuan (Formulating Objectives) Setelah kita
menentukan konteks focus kegiatan di atas, selanjutnya tentukan tujuan
kegiatan (formulating objective). Dalam tahapan ini Analis kebutuhan diklat
menetapkan tujuan kegiatan TNA. Misalnya apakah tujuan tersebut nanti untuk
tingkat organisasi (organization level), tingkat pemangku jabatan (occupation
level) atau tingkat pekerja (individual level). Apabila menyangkut pemangku
jabatan tertentu yang perlu diperhatikan adalah kinerja optimal atau pengetahuan
apa yang diharapkan dikuasai oleh pemangku jabatan tersebut, uraian tingkat
kemampuan yang dimiliki pekerja saat ini, bagaimana tanggapan mereka
terhadap perubahan sistem baru ini, apakah penyebab permasalahan serta
solusi apa yang disenangi. Bahan-bahan yang ada dapat dipergunakan untuk
menyusun tujuan kegiatan TNA yang akan dipergunakan sebagai pedoman
dalam langkah selanjutnya. Tanpa tujuan yang jelas maka hasil yang akan

diperoleh tidak akan optimal. C. Pengembangan instrumen (Managing Tools and


Methods) Setelah tujuannya ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah
menentukan metode dan peralatan yang akan digunakan dalam TNA,
misalnya wawancara, observasi lapangan, survai melalui kuesioner. Setelah
menentukan hal tersebut maka langkah selanjutnya adalah membuat
instrumen yang akan digunakan dalam pengumpulan data, baik berupa
pedoman wawancara, pedoman observasi lapangan maupun kuesioner untuk
survai lapangan. Pedoman interviu untuk kegiatan TNA dengan pendekatan
berbeda akan berbeda pula tergantung data apa yang akan dikumpulkan.
Dalam pembuatan pedoman interview maupun pedoman observasi, juga perlu
mengetahui siapa yang menjadi responden kita dan bagaimana latar
belakangnya.
9
D. Pengumpulan Data (Collecting Data) Setelah metode
dan peralatan disiapkan, langkah selanjutnya adalah pengumpulan data. Data
yang akan dikumpulkan bisa data primer maupun data sekunder. Data sekunder
bisa berupa laporan (mingguan, bulanan atau tahunan), kebijakan pimpinan,
struktur organisasi serta masalah-masalah yang dihadapi oleh organisasi.
Data primer adalah data yang langsung di dapat dari hasil wawancara,
observasi atau survai. Dan jenis data yang dikumpul hendaknya sudah jelas
betul sebelum mengumpulkan data. E. Pengolahan Data (Data Analysis)
Tahapan analisis data ini dilakukan apabila data yang diperlukan telah
terkumpul. Berdasarkan data sekunder atau data primer yang terkumpul ini
selanjutnya dilakukan analisis sesuai dengan teknik atau pendekatan yang
digunakan, karena berbeda pendekatan berbeda teknik analisis datanya. Analisis
data ini dimulai dari tabulasi data terlebih dahulu. F. Penafsiran Hasil (Interpreting
Result) Interpretasi dan formulasi kesimpulan hasil analisis data dilakukan
dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang berpengaruh. Namun hasil
interpretasi ini belum bisa langsung diterima, tetapi harus dikonfirmasi dulu
dengan pihak-pihak terkait. G. Pelaporan (Reporting)
Tahap terakhir dari
rangkaian kegiatan TNA adalah pelaporan dan formulasi kesimpulan mengenai
hasil analisis kebutuhan diklat. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam
pembuatan laporan TNA adalah sebagai berikut : 1. Siapa yang akan membaca
dan menggunakan hasil analisis. 2. Apa saja informasi yang harus masuk dalam
laporan. 3. Bagaimana hasil itu akan dilaporkan. 4. Apa yang perlu dilakukan
untuk membantu audience memahami laporan. 5. Kapan laporan dikerjakan
sampai selesai. Disamping hal-hal tersebut di atas maka dalam pelaporan perlu
memperhatikan prinsip-prinsip pelaporan sebagai berikut :
1. Kejelasan
audience 2. Ruang lingkup informasi 3. Standar interpretasi
10
4.
Kejelasan laporan 5. Ketepatan waktu laporan 6. Diseminasi laporan 7.
Dampak temuan 8. Keterbukaan dan kejujuran 9. Terbuka untuk umum 10.
Seimbang 11. Kejelasan obyek kegiatan 12. Konteks analisis 13. Kejelasan
tujuan dan prosedur 14. Keabsahan sumber informasi 15. kesimpulan logis 16.
Obyektif tentang laporan. Sebagai kesimpulan, analisis kebutuhan diklat
sebagai suatu konsep sudah banyak diketahui. Akan tetapi, analisis
kebutuhan diklat sebagai suatu ilmu terapan dan terlebih lagi sebagai

persyaratan utama penyusunan program masih sangat jarang dilaksanakan


atau bahkan belum pernah dilaksanakan sama sekali. Sumber: Modul Analisis
Kebutuhan Diklat, Lembaga Administrasi Negara RI, Jakarta, 2003. Disampaikan
pada Manajemen Diklat Bapelkes 2011.
11
MEMBENTUK PEMIMPIN PELAYAN
DI SEKTOR PUBLIK Oleh : M. Ridwan Japeri Widyaiswara Utama Bandiklatda
Provinsi Kalsel A. Pendahuluan
Pemerintahan dibentuk sejatinya sematamata untuk melayani masyarakat. Karena itu, ia semestinya selalu hadir dan
menampilkan diri sebagai pelayan bagi masyarakat, tak peduli seberapa besar
jumlah dan beragamnya kepentingan mereka.
Pemerintah tidak boleh
mengeluh, apa lagi kemudian mengurangi kadar pelayanan itu dengan dalih
keterbatasan dan ketidak mampuan. Pemerintah juga tidak diperkenankan
mempersulit masyarakat mendapatkan pelayanan, terlebih dengan alasan
birokrasi yang takberjalan sesuai visi.
Namun, teramat sayang, hingga saat ini
konsep ideal sebuah pemerintah dan birokrasi itu belum juga mampu
diterapkan secara optimal oleh penyelenggara negara ini. Mereka, para
pejabat dan aparat pemerintahan, malah kerap berlaku sebaliknya.
Mereka
lebih asyik menjadi pelayan diri sendiri ketimbang melayani masyarakat.
Lebih celaka lagi, para pelayan birokrasi tersebut sering kali justru lebih tekun
melayani keperluan penguasa dengan mengabaikan tugas suci mereka
memprioritaskan kepentingan publik yang lebih luas.
B. Melencengnya Sebagian
Fungsi Pemerintah
Hasil survei sejumlah lembaga survei internasional dan
kalangan organisasi non pemerintah (NGO) yang dilansir lembaga
Ombudsman, (Media Indonesia 11 Desember 2013), menjadi bukti
melencengnya sebagian fungsi pemerintah di republik ini. Survei itu rata-rata
menempatkan Indonesia di posisi bawah dalam hal pelayanan publik.
Tentu
sangat menyedihkan karena level pelayanan publik di Indonesia ternyata
dinilai jelek, bahkan teramat jelek oleh pihak luar. Menurut survei tersebut,
Indonesia hanya ada di urutan ke-121 dari 125 negara. Ada juga lembaga
yang menempatkan Indonesia di urutan ke-117 dari 120 negara. Ketidak
beresan pemerintah mengelola pelayanan publik sebetulnya telah terjadi sejak
era reformasi.
12
Hasil observasi Ombudsman Republik Indonesia
menunjukkan 60,5% satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tingkat provinsi masuk
zona merah. Hal itu menunjukkan bahwa sebagian besar pemerintahan daerah
masih belum patuh melaksanakan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang pelayanan publik.
Anggota Ombudsman RI Bidang Pencegahan Chairul
Anwar mengatakan observasi Ombudsman dilakukan di 22 provinsi dan 22 kota di
Indonesia.hanya 9% SKPD yang berada di zona hijau atau sudah memenuhi dan
melengkapi unit pelayanan publik mereka dengan standar pelayanan sesuai
dengan Undang- undang, Chairul paparan survei unit Pemda terhadap UU
Pelayanan Publik di Jakarta, (Media Indonesia 8 Desember 2013).
Pengamat
kebijakan publik Andrinof Chaniago memandang fenomena itu sebagai indikasi
tingkat penerapan UU Pelayanan Publik masih rendah lantaran kurangnya dari UU
tanpa sosialisasi seadanya, unkap Andrinof.
Sosialisasi minim dituding
sebagai penyebab kepasifan masyarakat atas pelanggarandari tidak dengan

tentang -hal penting, padahal mereka perlu tahu ada hak yang mereka
miliki. Termasuk melaporkan pejabat publik yang melanggar UU, teg asnya.
Selain itu, ia menilai kesungguhan pemimpin masih rendah untuk
memberikan pelayanan publik yang memenuhi standar. pada jenjang manapun
dari Lurah sampai Pejabat esenol IV, III, II dan I, kesadaran pemimpin terhadap
pentingnya reformasi birokrasi rendah, imbuhnya.
Hal tersebut lantaran
pejabat publik terlena dengan kerja mereka yang asal -asalan. instrumen
menjalankan publikyang memenuhi standar sudah ada. Dari 22 provinsi yang
diobservasi, SKPD Provinsi SulSel merupakan yang paling banyak ada di zona
merah, yaitu sebesar 90,9% disusul Papua 83,9%, dan KalSel 83,3%.
Daerah
yang unit pelayanannya paling patuh ialah Jatim dengan persentasi 75%.
Provinsi lain sangat sedikit yang di zona hijau.
Dari hasil paparan Ombudsman,
Jatim jauh mengungguli provinsi lain dalam unit pelayanan publik yang
berada di zona hijau. Di bawah Jatim, ada Jabar dengan unit pelayanan publik
berada di zona hijau hanya 18,2%.
13
Pada tingkat provinsi, Ombudsman
mengobservasi 12 SKPD, yakni Rumah Sakit umum daerah, Dinas/Badan
Lingkungan, Dinas Ketenagakerjaan, Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan
Umum/Ciptakarya/Bina marga.
Selain itu, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan,
Dinas Perindustrian dan Perdagangn, Dinas Perhubungan, Dinas Pendapatan
Daerah, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, dan Perijinan Terpadu Satu
Pintu (PTSP).
Karena itulah, ketika reformasi bergulir dan pemerintah kerap
dengan lantang menggelorakan reformasi birokrasi, kita sangat berharap akan
ada perubahan positif dalam pendekatan mereka melayani publik.
C. Faktor
Yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan Publik
Keberhasilan suatu organisasi
penyedia pelayanan dalam mengembangkan Pelayanan Prima, dipengaruhi
oleh berbagai strategi dalam pengelolaan manajemen pelayanannya. Ada lima
faktor yang dinilai sangat berpengaruh dalam pengembangan kualitas pelayanan
publik yaitu kelembagaan organisasi, pengelolaan sumber daya manusia,
komitmen pimpinan, perhatian kepada pelanggan dan manajemen pengadaan.
Leadership (kepemimpinan) adalah faktor pertama yang menjadi kunci
keberhasilan kinerja suatu organisasi. Kesuksesan suatu organisasi tergantung
pada kinerja para pegawai yang berada paling bawah dalam suatu piramida
organisasi, karena pada dasarnya para pegawai yang bekerja membutuhkan
pemimpin yang memimpin mereka dalam bekerja. Oleh karena itu, berbagai
kebijakan pelayanan prima akan dapat berjalan dengan baik apabila terdapat
dukungan dari Top Management yang ada di dalam organisasi tersebut, bahkan
baik buruknya kinerja organisasi akan sangat bergantung pada cara pimpinan
suatu organisasi tersebut menjalankan organisasinya. Sebagus apapun gagasan
dari bawah tanpa adanya dukungan dari pimpinan puncak, gagasan tersebut
tidak akan dapat berjalan dengan baik bahkan sebagus apapun kebijakan itu
dibuat, tanpa adanya komitmen pimpinan untuk menerapkan kebijakan tersebut
tidak akan dirasakan keberhasilannya.
D. Konsep Kepemimpinan Dalam Dunia
Pelayanan
Salah satu konsep kepemimpinan yang sering digunakan dalam
prinsip Total Quality Management (TQM) dalam dunia pelayanan adalah Tender

Loving Care (TLC). TLC merupakan suatu pendekatan untuk memperlakukan


pegawai organisasi dengan penuh kasih sayang serta perhatian yang
simpatik/ramah yang
14
dapat pula diterapkan pada pelanggan atau
masyarakat. Yang diterapkan dalam TLC ini antara lain keadilan dan
kebebasan, pengembangan dan pelatihan, kompetensi, penghargaan serta
partisipasi dan kesepakatan.
Figur pimpinan merupakan kunci penting agar
organisasi mampu memberikan pelayanan yang terbaik bagi pegawai dan
masyarakat pengguna pelayanan. Oleh karena itu, kebutuhan akan
pemimpin yang kompeten dan memiliki jiwa melayani menjadi syarat mutlak
dalam penyediaan pelayanan. Istilah kepemimpinan pelayanan pada awalnya
diciptakan dalam karya Robert K Greenleat (1970) yang berjudul The Servant
as Leader (pelayanan sebagai pemimpin). Salah satu tujuan dari penulisan buku
Greenleat ini adalah ingin merangsang pemikiran dan tindakan untuk membangun
masyarakat yang lebih baik dan peduli.
Pertanyaan yang muncul adalah
apakah kepemimpinan pelayanan itu? Greenleat mengkaji keperluan akan
jenis baru model kepemimpinan. Kajian Greenleat menempatkan satu model
pelayanan kepada orang lain termasuk karyawan, pelanggan dan masyarakat
sebagai prioritas nomor satu. Kepemimpinan pelayanan menekankan pada
peningkatan pelayanan kepada orang lain yang merupakan sebuah pendekatan
holistik dalam pekerjaan.
Jawaban pertanyaan pemimpin itu? menyatakan
bahwa pemimpin pelayanan adalah orang yang mula-mula menjadi pelayan.
Selanjutnya Greenleat menyatakan bahwa pada hakekatnya orang ingin
melayani, melayani lebih dulu, kemudian pilihan sadar membawa orang
berkeinginan untuk memimpin. Hal ini dimanifestasikan diri dalam kepedulian
yang diambil oleh pelayan yang mula-mula memastikan bahwa kebutuhan
prioritas tertinggi orang lain adalah dilayani.
Menurut Sudariono Hardjo
Soekarto adalah pembalikan mental model pada birokrat dari keadaan lebih
suka dilayani menuju kepada lebih suka melayani.
Yang pertama
menempatkan pemimpin puncak birokrasi berada pada piramida tertinggi
dengan warga negara (pelanggan/masyarakat) berada pada posisi terbawah.
Sebaliknya yang kedua, menempatkan warga (pelanggan/masyarakat) berada
pada puncak piramida dengan pemimpin birokrasi berada pada posisi paling
bawah, (seperti gambar di bawah ini).
15
PELANGGAN CEO Perubahan Sikap, Perilaku (behaviour) dari yang DILAYANI
MENJADI YANG MELAYANI
PARADIGMA LAMA (DIREKTIF) CEO MANAJEMEN
KARYAWAN IMPLEMENTASI PELANGGAN IMPLEMENTASI KARYAWAN
PARADIGMA BARU (SUPORTIF) MANAJEMEN
16
Sasaran akhir menurut
Sudariono Hardjo Soekarto adalah tidak lain dicapainya pelayanan prima
kepada masyarakat. Dismping itu, untuk menghapus stigma masyarakat bahwa
pemimpin minta dilayani oleh masyarakat atau bawahannya,
Dengan
demikian, seorang pemimpin yang mendapat kedudukan / jabatan yang lebih
tinggi dari pengikut/bawahan/ staff/ masyarakat, memiliki kekuasaan, fasilitas
maupun keuntungan yang melekat pada kedudukannya sebagai pemimpin.
Namun seseorang yang dipercaya jadi pemimpin pada dasarnya bukan

semata-mata untuk menikmati segala fasilitas yang tersedia sebagai


konsekuensi dari kedudukannya sebagai pemimpin, tetapi lebih dari itu, pemimpin
mempunyai kewajiban untuk mencapai tujuan visi, tugas pokok dan fungsi
organisasi yang dibentuk yaitu memberikan pelayanan kepada masyarakat.
E. Membentuk Pemimpin Pelayan Untuk pemimpin melayani mudah membalik
telapak tangan, tetapi memerlukan upaya yang pelatihan dan kesadaran
pribadi pemimpin bahwa dia dipilih sebagai pemimpin adalah untuk melayani
dan harus bertanggung jawab serta mengaplikasikan nilai-nilai pelayanan. 1.
Melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)
Untuk mereformasi polapikir
pemimpin yang minta dilayani menjadi pemimpin yang melayani melalui
Diklat Pola baru yaitu Diklatpim tingkat I,II,III, dan IV sesuai dengan
peraturan kepala LAN RI Nomor.10,11,12,dan 13 Tahun 2014 tentang Diklatpim
Tingkat I,II,III, dan IV. Diklat Pola baru ini bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi kepemimpinan strategis pada pejabat struktural eselon II yang
akan berperan dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan di instansinya
masing-masing. Mengembangkan kompetensi kepemimpinan taktikal pada
pejabat struktural eselon III yang akan berperan dalam melaksanakan tugas dan
fungsi kepemerintahan di instansinya masing-masing. Membentuk kompetensi
kepemimpinan operasional pada pejebat eselon IV yang akan berperan dalam
melaksanakan tugas dan fungsi kepemerintahan di instansinya masing-masing.
Agenda pembelajaran pada Diklat Pola baru yaitu, agenda Self Mastery,
Dinostic Reading, Inovasi, Tim Efektif, dan Proyek Perubahan. Semua agenda
17
pembelajaran ada kaitannya dengan perubahan polapikir pemimpin untuk
menjadi pelayan masyarakat. 2. Meningkatkan Kesadaran Pemimpin
Untuk
membentuk pemimpin pelayan selain melalui diklat pola baru adalah
meningkatkan kesadaran pribadi pemimpin melalui nilai-nilai pelayanan.
Mengenai nilai-nilai pelayanan yang perlu dipahami dan diaplikasikan oleh
pemimpin saat ini adalah sebagai berikut : Pertama, terkait perlunya dibangun
sikap saling menghargai. Cukup mudah bagi kita untuk menghargai seseorang
karena kedudukannya yang lebih tinggi, tetapi tidak demikian halnya dengan
mereka yang berkedudukan lebih rendah. Perasaan gengsi sering menghantui
pikiran ketika kita harus memberikan apresiasi pada bawahan. Namun, sikap
itulah yang seharusnya dipupus. Pahamilah bawahan senagai sebuah keluarga
besar yang apresiasi atas kinerja mereka merupakan salah satu cerminan
sikap menghargai pegawai. Dengan prinsip sebab-akibat, niscaya mereka
akan lebih menghargai dengan cara yang lebih pula. Perhatikan efek
multiplikatif tersebut. Semakin sering manghargai bawahan, maka dengan
semangat yang sama mereka akan menghargainya. Kedua, seorang pemimpin
yang melayani harus fokus pada k ekuatan dari keragaman tim kerja. Bagi
sebagian kita pernyataan ini mungkin dipandang sebagai suatu hal yang tak
mudah. Fokus untuk menjaga kekuatan dari unsur-unsur yang beragam dalam
satu tim secara otomatis akan menyibukkan kita pada upaya mengelola
konflik yang terjadi. Namun, jika dirunut lebih lanjut, dimensi ini akan
mendorong peningkatan kekompakan tim dalam bekerja. Dapat dibayangkan jika

seorang pemimpin memandang anak yang sebagai Maker partner kerjanya.


Mungkin awalnya cukup sulit, tetapi perhatian tersebut akan sendirinya
menyadarkan si bawahan. Tinggal sekarang bagaimana kita mampu mengelola
unsur negatif dalam tim menjadi faktor pendorong bagi terciptanya kekuatan.
Ketiga, pemimpin melayani us mampu menjadi pendengar dan komunikator
yang baik. Artinya, seorang pemimpin mau tidak mau harus merelakan
telinga dan hatinya untuk mendengar kritik, saran dan keluhan dari
bawahannya. Pandangan the boss can do no wrong hendaknya dikikis dari
kehidupan kita. Sebaliknya, kemampuan komunikasi
18
seorang pemimpin
senantiasa menjadi poin awal bagi kesuksesannya. Pastikan bahwa kita
mampu menjadi sumber dan penerus informasi yang efektif bagi setiap
bawahan dari berbagai kalangan. Dengan pola ini, akan dapat melayani
bawahan sebagai partner kerja secara efektif.
F. Indikator Keberhasilan
Pemimpin Pelayan
Menurut Prof. Dr. Hj. Sedarmayanti, M.pd., APU. dalam
bukunya yang berjudul Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan
Kepemimpinan Masa Depan, indikator keberhasilan pemimpin pelayan sebagai
berikut, dalam budaya timur, pemimpin dinilai berhasil bila mencapai tingkat
kearifan dan wibawa tinggi di tengah masyarakat. Dalam budaya barat,
pemimpin dinilai berhasil berdasarkan prestasi dan sumbangsihnya kepada
masyarakat. Secara umum wibawa yang dimiliki pemimpin atau prestasinya tidak
akan beumur lama bila tidak secara sengaja menyiapkan pemimpin baru,
pemimpin yang matang menyadari bahwa pola/gaya dan paradigmanya baik
untuk masa di mana ia melayani. Di masa mendatang, corak lingkungan kerja,
dinamika organisasi dan komunitasnya akan berbeda sehingga diperlukan
pendekatan, pola, dan praktik kepemimpinan. Pemimpin yang berhasil adalah
pemimpin yang memiliki kesadaran hidup komunitas yang dipimpinnya,
pemimpin sejati lebih mengutamakan kesejahteraan orang lain daripada
kenikmatan dan martabatnya sendiri.
G. Kesimpulan Pemerintahan dibentuk
semata-mata untuk melayani masyarakat, apakah pelayanan administrasi,
barang, dan jasa. Pemerintah tidak boleh mengeluh, apalagi mengurangi
kadar pelayanan itu dengan dalih keterbatasan dana dan ketidakmampuan.
Hasil survei sejumlah lembaga survei internsional dan kalangan organisasi
pemerintah (NGO) menjadi bukti melencengnya sebagian fungsi
pemerinrahan. Pelayanan publik pemerintah daerah masih rendah terutama
dalam pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan publik. Menurut
pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago menilai kesungguhan pemimpin
masih rendah untuk memberi pelayanan publik yang memenuhi standar, pada
manapun lurah sampai eselon
19
IV,III,II,dan I kesadaran pemimpin
terhadap pentingnya reformasi birokrasi sangat rendah. Keberhasilan suatu
organisasi penyedia pelayanan dalam pengembangan pelayanan prima
dipengaruhi oleh beberapa strategi dalam pengelolaan pelayanannya serta ada
lima faktor yang dinilai sangat berpangaruh dalam pengembangan pelayanan
publik yaitu, kelembagaan organisasi, pengelolaan sumberdaya manusia,
komitmen pimpinan, perhatian kepada pelanggan, dan manajemen pengadaan.

Leadership kepemimpinan adalah faktor pertama yang menjadi kunci keberhasilan


kinerja suatu organisasi. Untuk membentuk pemimpin yang melayani tidaklah
muda seperti membalik telapak tangan, tetapi memerlukan upaya pendidikan
dan pelatihan serta meningkatkan kesadaran pribadi pemimpin bahwa dia
dipilih sebagai pemimpin adalah untuk melayani dan harus bertanggung
jawab serta mengaplikasiklan nilai-nilai pelayanan. Dalam budaya timur,
pemimpin dinilai berhasil bila mencapai tingkat kearifan dan wibawa tinggi di
tengah masyarakat. Dalam budaya barat, pemimpin dinilai berhasil
berdasarkan prestasi dan sumbangsihnya kepada masyarakat. Secara umum
wibawa yang dimiliki pemimpin atau prestasinyatidak akan beumur lama bila tidak
secara sengaja menyiapkan pemimpin baru
Daftar Pustaka
Lijan, Poltak
Sinambela, (2006). Reformasi Pelayanan Publik. Bumi aksara, Jakarta.
LAN RI,
(2008). Pengembangan Pelaksanaan Pelayanan Prima, Jakarta.
______,(2008).
Kepemimpinan Dalam Keragaman Budaya, Jakarta.
______,(2005). Standar
Operating Proceduris. Jakarta.
______,(2006). Strategi Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik. Jakarta.
______, (2013). Peraturan Kepala LAN RI Nomor 10, 11,
12, dan 13 tentang Diklatpim I, II, III, dan IV pada Diklat Pola Baru, Jakarta.
Pusdiklat Kementerian Dalam Negeri Regional Bandung (2014). Kumpulan
Materi Umum Training Of Fasilitator, Bandung. Tjiptono, Pandi. (1995). Total
Cuality Management. Andi, Offset, Yogyakarta.
20
REPOSISI KEWENANGAN
INSPEKTORAT DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Drs. Nanang
Nugraha, SH., MH., M.Si Widyaiswara Madya
A. Pendahuluan
Pengawasan
pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat pada seorang leader atau
top manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungs-fungsi dasar
manajemen lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan. Demikian halnya
dalam organisasi pemerintah, fungsi pengawasan merupakan tugas dan
tanggung jawab seorang kepala pemerintahan, seperti di lingkup pemerintah
provinsi merupakan tugas dan tanggung jawab gubernur sedangkan di pemerintah
kabupaten dan kota merupakan tugas dan tanggung jawab bupati dan walikota.
Namun karena katerbatasan kemampuan seseorang, mengikuti prinsip-prinsip
organisasi, maka tugas dan tanggung jawab pimpinan tersebut diserahkan
kepada pembantunya yang mengikuti alur distribution of power sebagaimana
yang diajarkan dalam teori-teori organisasi modern.
Maksud pengawasan itu
dalam rumusan yang sederhana adalah untuk memahami dan menemukan apa
yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Hal itu sebetulnya sudah
disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun pihak yang diawasi
termasuk masyarakat awam. Sedangkan tujuan pengawasan itu adalah untuk
meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam melaksanakan tugastugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju terwujudnya
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government)
Salah
satu tuntutan masyarakat untuk menciptakan good governance dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah kiprah institusi pengawas daerah.
Sehingga masyarakat bertanya dimana dan kemana lembaga itu, sementara
korupsi merajalela. Masyarakat sudah gerah melihat prilaku birokrasi korup, yang

semakin hari bukannya kian berkurang tetapi semakin unjuk gigi dengan
perbuatannya itu. Bahkan masyarakat memberi label perbuatan korupsi itu
sebagai kejahatan yang luar biasa, dan biadab, karena diyakini hal itu akan
menyengsarakan generasi dibelakang hari. Sampai-sampai masyarakat berfikir
untuk membubarkan institusi pengawas daerah tersebut karena dinilai tidak ada
gunanya, bahkan ikut menyengsarakan rakyat dengan menggunakan uang rakyat
dalam jumlah yang relatif tidak sedikit.
21
B. Macam-Macam Pengawasan
Dalam suatu negara terlebih-lebih negara yang sedang berkembang atau
membangun, maka kontrol atau pengawasan itu sangat urgen (beragam) atau
penting baik pengawasan secara vertikal, horisontal, eksternal, internal,
preventif maupun represif agar maksud dan tujuan yang telah ditetapkan
tercapai. Oleh karena untuk mencapai tujuan negara atau organisasi, maka
dalam hal pengawasan ini dapat pula diklasifikasikan macam-macam
pengawasan: 1) Pengawasan Langsung
Pengawasan langsung adalah
pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pimpinan atau pengawas
dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara on the
spot ditempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung pula
dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi. 2) Pengawasan tidak
langsung Pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporanlaporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tertulis, mempelajari
pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawasan on the
spot. 3) Pengawasan Preventif dan Represif Walaupun prinsip pengwasan
adalah preventif, namun bila dihubungkan dengan waktu pelaksanaan
pekerja, dapat dibedakan antara pengwasan preventif dan pengawasan represif.
a. Pengawasan Preventif
Pengawasan preventif dilakukan melalui pre audit
sebelum pekerjaan dimulai. Misalnya dengan mengadakan pengawasan
terhadap persiapan-persiapan rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga
dan sumber-sumber lain. b. Pengawasan Represif Adapun pengawasan represif
dilakukan melalui pre audit, dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan dan
sebagainya.
4). Pengawasan Intern dan Ekstern a) Pengawasan Intern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam
organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus
22
dilakukan oleh
pucuk pimpinan sendiri. Akan tetapi, didalam praktek hal ini tidak selalu
mungkin terjadi. Oleh karena itu, setiap pimpinan unit dalam organisasi pada
dasarnya berkewajiban membantu pucuk pimpinan mengadakan pengawasan
secara fungsional sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing.
Pengawasan sebagai fungsi organik, built-in pada setiap jabatan pimpinan
mereka harus mengawas pimpinan melakukan pengawasan tehadap
keseluruhan aparat dalam organisasi itu, seperti oleh Inspektorat Jendral dalam
Departemen. b) Pengawasan Ekstern Pengawasan Ekstern adalah
pengawasan yang dilakukan oleh aparat luar orgsanisasi itu sendiri, seperti
halnya pengawasan dibidang keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
sepanjang meliputi seluruh Aparatur Negara dan Direktorat Jenderal
Pengawasan Keuangan Negara terhadap departemen dan instansi pemerintah

lain. Ditinjau dari segi keseluruhan organisasi aparatur pemerintah (lembaga


eksekutif), pengawasan oleh Direktorat Jenderal, Pengawasan Keuangan Negara
merupakan pengawasan intern. Macam-macam pengawasan ini didasarkan
pada pengklasifikasian pengawasan. Disamping itu ada pula macam
pengawasan ditinjau dari bidang pengawasannya yakni: 1. Pengawasan
anggaran pendapatan ( budgetry control) 2. Pengawasan biaya ( cost sontrol) 3.
Pengawasan barang inventaris (inventory control) 4. Pengawasan Produksi
( production control) 5. Pengawasan jumlah hasil kerja ( quantity control) 6.
Pengawasan pemeliharaan (maintenance control) 7. Pengawasan kualitaas hasil
kerja (quality control). Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1989, ditegaskan mengenai macam-macam pengawasan. Adapun
macam-macam pengawasan menurut Instruksi Presiden . tersebut sebagai berikut:
5) Pengawasan melekat Pengawasan melekat merupakan pengawasan yang
dilakukan melalui : penggarisan struktur organisasi, perincian kebijaksanaan
pelaksanaan yang dituangkan secara tertulis yang dapat menjadi pegangan
dalamm pelaksanaan oleh bawahan, rencana kerja yang menggambarkan
kegiatan
23
yang harus dilaksanakan, melalui prosedur kerja, pencatatan
hasil kerja dan pelaporannya, serta melalui pembinaan personil. 6) Pengawasan
fungsional Pengawasan fungsional merupakan kebijakan pengawasan yang
digariskan oleh Presiden, kegiatan pengwasan dilaksanakan berdasarkan rencana
atau program kerja pengawas tahunan. 7) Pengawasan legislatif Pengawasan
legislatif merupakan pengawasan yang dilakukan oleh lembaga legislatif, dalam
hal ini adalah DPRD. 8) Pengawasan masyarakat Pengawasan masyarakat
merupakan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat yang dipilih untuk
mengawasi jalannya suatu kegiatan, misalnya oleh LSM atau Lembaga Swadaya
Masyarakat.
C. Fungsi Inspektorat
Inspektorat merupakan instansi pemerintah
yang memiliki fungsi sebagai lembaga pengawasan di daerah. Inspektorat
merupakan unsur penunjang Pemerintah Daerah di Bidang Pengawasan yang
dipimpin oleh seorang Inspektur setingkat jabatan structural eselon II yang
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Daerah (Gubernur/
Bupati/ Walikota) melalui Sekretaris Daerah. Inspektorat mempunyai tugas
melaksanakan pengawasan fungsional terhadap penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Daerah serta Usaha
Daerah lainnya.
Dasar hukum dalam pelaksanan pengawasan adalah
mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah yang diperkuat oleh peraturan pemerintahan No. 20 Tahun 2001 tentang
pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah,
Keputusan Presiden No. 74 Tahun 2001 tentang tata cara pengawasan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan keputusan Menteri No. 41 Tahun
2001 tentang pengawasan represif kebijakan daerah. Pasal 218 Undangundang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun
2008 yang menyatakan bahwa: 1. Pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: a.

Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah.


24
b.
Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. 2.
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh
aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan.
Pedoman tentang pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Pemerintah
Daerah diatur lebih lanjut dalam Pasal 26 ayat (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan
bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap :
Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota;
Pelaksanaan
pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa; dan
Pelaksanaan
urusan pemerintahan desa.
Inspektorat Daerah mempunyai fungsi
perencanaan program pengawasan, perumusan kebijakan dan fasilitasi
pengawasan, pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas
pengawasan, pemeriksaan serta pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh
Kepala Dearah dibidang pengawasan. Untuk menyelenggarakan fungsi ,
Inspektorat mempunyai tugas : a.
melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan pemerintahan; b.
melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan perekonomian; c.
melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan urusan kesejahteraan
sosial; d.
melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan urusan keuangan dan
asset; dan e.
melaksanakan kegiatan ketatausahaan. Uraian Kegiatan Pengawasan Sesuai
dengan Permendagri Nomor 70 tahun 2012, uraian kegiatan pengawasan
sebagai berikut: A. Pengawasan internal di lingkungan Pemerintah
Kabupaten/Kota 1.
Pemeriksaan kinerja/reguler OPD dengan titik berat terhadap
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) di
lingkungan Pemerintah Kabupaten/Kota;
25
2. Review Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah dalam rangka menuju dan/atau mempertahankan opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); \ 3. Pemeriksaan pengelolaan keuangan dan
aset; 4. Evaluasi Penerapan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP). 5.
Asistensi terhadap pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 tentang
Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun
2012-2025 Dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014; 6. Penanganan pengaduan
masyarakat; 7. Pemeriksaan bersama (joint audit) dengan BPKP terhadap
Program Penanggulangan Kemiskinan PNPM-MP; 8. Evaluasi Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) untuk mengetahui penerapan
Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP); 9. Evaluasi atas
peran Inspektorat Kabupaten/Kota sebagai quality assurance dan consulting; 10.
Melakukan pengawasan tertentu bersama dengan instansi terkait. 11. Asistensi
dalam penyusunan neraca aset pada unit kerja di lingkungan Pemerintah
Kabupaten/Kota; 12. Asistensi penerapan SPIP di lingkungan Pemerintah
Kabupaten/Kota; 13. Asistensi perencanaan dan penyusunan anggaran; 14.
Pemantauan Tindak Lanjut Hasil Pengawasan.
B. Pengawasan Urusan
Pemerintahan Desa.
Pengawasan Urusan Pemerintahan Desa dilakukan

terhadap administrasi pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan


pemerintahan di Pemerintahan Desa dengan melalui :
1. Pemeriksaan
reguler pada Pemerintah Desa;
2. Pemeriksaan pelakasanaan tugas
pembantuan dari pemerintah Pusat/Provinsi/Kabupaten/Kota sesuai hasil
koordinasi; dan
3. Pemeriksaan khusus terkait dengan adanya pengaduan yang
bersumber dari masyarakat maupun dari instansi pemerintah dalam rangka
membangun kepekaan terhadap perkembangan isu-isu aktual untuk tujuan
nasional dan pemerintah daerah.
26
Refosisi Kewenangan Inspektorat
Inspektorat daerah terbagi menjadi 2 (dua), yaitu: a. Insektorat Wilayah
Provinsi adalah instansi pengawasan yang melakukan pengawasan terhadap
akativitas pemerintah provinsi. Instansi ini bertanggung jawab kepada
Gubernur. Instansi ini mempunyai tugas melakukan pengawasan umum atas
aktivitas pemerintah daerah, baik yang bersifat rutin maupun yang bersifat
pembangunan agar dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan
perundang undangan yang berlaku dan melakukan pengawasan terhadap tugas
Departemen Dalam Negeri di provinsi. b.
Inspektorat Wilayah Kabupaten atau
Kotamadya adalah instansi yang melakukan pengawasan terhadap aktivitas
Pemerintah Daerah. Termasuk Kecamatan, Kelurahan atau Desa selain itu
Inspektorat Wilayah Kabupaten atau Kotamadya juga melakukan pengawasan
terhadap tugas departemen Dalam Negeri di Kabupaten atau Kotamadya.
Pengawasan pada hakekatnya merupakan fungsi yang melekat pada seorang
leader atau top manajemen dalam setiap organisasi, sejalan dengan fungsfungsi dasar manajemen lainnya yaitu perencanaan dan pelaksanaan.
Demikian halnya dalam organisasi pemerintah, fungsi pengawasan merupakan
tugas dan tanggung jawab seorang kepala pemerintahan, seperti di lingkup
pemerintah provinsi merupakan tugas dan tanggung jawab gubernur sedangkan
di pemerintah kabupaten dan kota merupakan tugas dan tanggung jawab bupati
dan walikota. Namun karena katerbatasan kemampuan seseorang, mengikuti
prinsip-prinsip organisasi, maka tugas dan tanggung jawab pimpinan tersebut
diserahkan kepada pembantunya yang mengikuti alur distribution of power
sebagaimana yang diajarkan dalam teori-teori organisasi modern. Maksud
pengawasan itu dalam rumusan yang sederhana adalah untuk memahami dan
menemukan apa yang salah demi perbaikan di masa mendatang. Hal itu
sebetulnya sudah disadari oleh semua pihak baik yang mengawasi maupun pihak
yang diawasi termasuk masyarakat awam. Sedangkan tujuan pengawasan itu
adalah untuk meningkatkan pendayagunaan aparatur negara dalam
melaksanakan tugas- tugas umum pemerintahan dan pembangunan menuju
terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih (good govenment and clean
government) Seiring dengan semakin kuatnya tuntutan dorongan arus reformasi
ditambah lagi dengan semakin kritisnya masyarakat dewasa ini, maka
rumusan pengawasan yang sederhana itu tidaklah cukup dan masyarakat
mengharapkan lebih dari sekedar memperbaiki atau mengoreksi kesalahan untuk
perbaikan dimasa datang, melainkan
27
terhadap kesalahan, kekeliruan
apalagi penyelewengan yang telah terjadi tidak hanya sekedar dikoreksi dan

diperbaiki akan tetapi harus diminta pertanggungjawaban kepada yang


bersalah. Kesalahan harus ditebus dengan sanksi/hukuman, dan bila memenuhi
unsur tindak pidana harus diproses oleh aparat penegak hukum, sehingga
membuat efek jera bagi pelaku dan orang lain berpikir seribu kali untuk
melakukan hal yang sama, sehingga praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) menjadi berkurang dan akhirnya hilang. Hal seperti itulah yang
menjadi cita-cita dan semangat bangsa Indonesia yang tercermin dalam
Undang-undang Nomor 28 tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan
yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Berdasarkan
pendapat yang sebagaimana dilakukan oleh Reksohadiprojo maka dalam
melakukan pengawasan, khususnya pada Inspektorat adalah lebih ditekankan
pada hasil pelaksanaan pekerjaan yang lebih akurat dalam melakukan tugas
pemerintahan dan pembangunan. Menilai efektifnya fungsi pengawasan maka
dalam menentukan indikator berpedoman pada teori pengawasan yang
sebagaimana dikemukakan oleh Sarwoto (2010, hal. 28) bahwa suatu pengawasan
yang efektif jika terdapat keakuratan data dalam fungsi pengawasan,
ketepatan waktu dalam pelaksanaan pengawasan, obyektif dan menyeluruh dan
adanya keakuratan data. Pengawasan pada dasarnya berfungsi menekankan
langkah-langkah pembenahan atau koreksi (corrective actions) jika dalam
suatu kegiatan terjadi kesalahan atau perbedaan dari tujuan atau sasaran
yang telah ditetapkan (Fayol, 1949; 1961; dan 1968). Langkah-langkah
pembenahan dari fungsi pengawasan sering kali lebih dititik beratkan pada
penanganan sumber- sumber dana (financial resources) agar sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan untuk lebih meningkatkan efektivitas dan
efisiensi kegiatan secara menyeluruh (Anthony, 1965). Mockler (1972)
menyatakan bahwa langkah-langkah pengawasan seyogyanya lebih ditekankan
pada hal-hal yang positif dan bersifat pencegahan. Untuk itu pengawasan
memerlukan suatu standar kinerja atau indikator yang dapat digunakan sebagai
pembanding atau referensi dari kinerja aktualnya. Penentuan standar kinerja
bagi pengawasan ini membutuhkan masukan dan peran serta para pelaksana
di lapangan sehingga dapat dihasilkan suatu standar yang realistik dan
akurat. Dengan dasar argumen yang sama, Literer (1973) juga menyarankan
penggunaan standar kinerja sebagai kerangka acuan (frame of reference)
kegiatan.
28
Oleh karena itu penyimpangan-penyimpangan dalam
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah mungkin saja dapat terjadi, dalam hal
ini pengawasan perlu dilakukan sehingga penyimpangan secara lebih dini
dapat segera diketahui, guna menghindari kerugian yang lebih besar.
Keberhasilan sebuah rencana biasa diukur menurut tingkat penyimpangan
antara yang telah direncanakan dan apa yang dicapai, baik dari sudut
pencapaian sasaran, waktu, manfaat, maupun aturannya. Johnson, Kast, dan
Rosenzweig (1973) juga menguraikan fungsi pengawasan dengan
mengidentifikasikan empat unsur pokok pengawasan. Unsur-unsur tersebut
meliputi : (1) Penentuan standar kinerja (2) Perumusan instrumen
pengawasan yang dapat dipergunakan dalam mengukur kinerja suatu kegiatan

(3) Pembandingan hasil aktual dengan kinerja yang diharapkan. (4)


Pengambilan langkah-langkah pembenahan atau koreksi. Pengawasan dengan
demikian mengandung makna penegakan hukum dan disiplin. Pengawasan
dapat menghasilkan keputusan untuk melakukan koreksi dan perbaikan dalam
penyelenggaraan pembangunan, dan dapat pula menghasilkan sanksi sesuai
hukum yang berlaku. Fungsi pengawasan tidak berdiri sendiri. Kast dan
Rosenzweig (1979), Albanese (1975), dan Gannon (1977) menekankan
pentingnya hubungan perencanaan dan pengawasan. Perencanaan memberikan
kerangka acuan bagi proses pengawasan, dan hasil dari pengawasan seperti
juga pemantauan merupakan umpan balik bagi proses perencanaan dan
pelaksanaan pada tahap berikutnya.
D. Kesimpulan
Pengawasan atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan
untuk menjamin agar Pemerintah Daerah berjalan secara efektif dan efisien
sesuai dengan rencana dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan penyelenggaraan fungsi pengawasan
terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Daerah meliputi aparatur petugas
yang memiliki skill, pengetahuan di bidang pekerjaan yang ditangani dan selain
itu tersedianya sarana dan prasarana yang mendukung pelaksanaan pengawasan
yang dilakukan oleh Kantor Inspektorat. Dalam pelaksanaan kinerjanya,
Inspektorat perlu memperhatikan hal-hal berikut ini yaitu:
29
1. Dalam
melaksanakan pengawasan fungsional dilaksanakan sesuai dengan prosedur
yang ada. Selain itu perlu dilakukan monitoring agar bisa berjalan sesuai dengan
program kerja yang sudah ditetapkan. 2.
Mengevaluasi dan memotivasi atas
koreksi dan rekomendasi terhadap objek yang diperiksa sehingga tujuan yang
diharapkan dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. 3.
Pengawasan
fungsional dalam koordinasi pengawasan harus dilakukan agar kinerja dapat
berjalan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. 4.
Dalam laporan
keuangan yang dilakukan seorang audit secara umum dan konsisten harus
secara objektif dan transparansi untuk pengambilan keputusan atau kebijakan.
Maka dari itu refosisi kewenangan inspektorat dalam melakukan pengawasan
Pemerintahan Daerah sangat berpengaruh dalam pencapain percepatan
Tujuan Nasional.
30
Daftar Pustaka
Abdul Rahman, Arifin. 1977. Kerangka Pokok-pokok Menejemen Umum. Balai
Pustaka: Jakarta. Ginandjar. Administrasi Pembangunan Perkembangan
Pemikiran dan Praktiknya di Indonesia. Jakarta : LP3ES. Handayaningrat,
Soewarno. Pengantar Ilmu Administrasi dan Manajemen. Gunung Agung:
Jakarta. Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen Edisi kedua. Balai Penerbit
Fakultas Ekonomi Gadjah Mada: Yogyakarta. Tjandra, W.R. 2006. Praktis Good
Governance. Yogyakarta. Pondok Edukasi. M Manullang, 2002. Dasar Dasar
Manajemen. Yogyakarta: Gajah Mada University Press M. Sitomorang, Victor dan
Jusuf Juhir. 1993. Aspek Hukum Pengawasan Melekat. Rineka Cipta: Jakarta.
Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya:
Bandung. Sujamto. 1987. Aspek-Aspek Pengawasan Di Indonesia. Cetakan
Pertama. Sinar Grafika: Jakarta. _______. 1994. Beberapa Pengertian di Bidang

Pengawasan. Ghalia Indonesia : Jakarta. Satoto, Sukamto. 2004. Pengaturan


Eksistensi dan Fungsi Kepegawaian Negara. Cetakan I, Hanggar Kreator:
Jogjakarta. Sukamto Satoto, Pengaturan Eksistensi dan Fungsi Badan
Kepegawaian Negara, Hangar Kreator, 2004 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah peraturan pemerintahan No. 20 Tahun 2001
tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah Peraturan Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 2007, Tentang Pedoman Tata
Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2007, Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2001, Tentang Tata Cara Pengewasan
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
23 Tahun 2007, Tentang Pedoman Tata Cara Atas Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah. Keputusan Menteri No. 41 Tahun 2001 tentang pengawasan represif
kebijakan daerah Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2007
Tentang Pedoman Teknis Organisasi Dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi
Kabupaten/Kota Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 tahun 2012
Tentang kegiatan pengawasan
31
PENGARUH IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
DAN KOORDINASI TERHADAP PELAYANAN PRIMA PENERBITAN AKTA KELAHIRAN DI
DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KABUPATEN BANDUNG Dr. ENDAH
CHRISTIANINGSIH ODANG MURDIKA Program Pascasarjana FISIP Universitas
Nurtanio
Abstrak : Istilah pelayanan prima sudah lama dikenal di Indonesia
termasuk di daerah-daerah. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
seperti membuat kebijakan, melakukan koordinasi, mengadakan pendidikan
dan latihan, seminar, merubah sistem, menyediakan sarana dan prasarana
dan sebagainya, demi menciptakan pelayanan yang dapat memuaskan para
penerima layanan. Namun demikian masih sering terdengar ketidakpuasan
karena lamabannya pelayaanan yang bisa saja terjadi sebagai akibat
implementasi kebijakan dan koordinasi yang dilakukan belum optimal.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, Peneliti tertarik untuk mengungkap
pengaruh implementasi kebijakan dan koordinasi terhadap pelayanan prima
penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Bandung. Sementara itu tujuan penelitian ini adalah : a) Untuk
mengetahui pengaruh implementasi kebijakan administrasi kependudukan
terhadap pelayanan prima penerbitan akta kelahiran d
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. b) Untuk
mengetahui pengaruh koordinasi terhadap pelayanan prima penerbitan akta
kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung.
c) Untuk mengetahui pengaruh implementasi kebijakan administrasi dan
koordinasi secara besama-sama dalam mewujudkan pelayanan prima
penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Bandung Pendekaatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif


dengan metode Explanatory survey. Adapun teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis jalur. Teknik pengumpulan data
menggunakan studi dokumentasi, dan studi lapangan yang terdiri dari observasi,
wawancara, dan angket. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi
kebijakan memberi pengaruh terhadap pelayanan prima sebesar 39,32%.
Sementara pengaruh koordinasi terhadap pelayanan prima sebesar 29,55%
dan secara bersama-sama memberikan pengaruh sebesar 68,87%, sedangkan
pengaruh variabel lain diluar penelitian sebesar 31,13%. Guna menciptakan
pelayanan prima perlu diterapkan pelayanan publik dengan pendekatan
berbasis masyarakat (right based approach), membuat standar dalam pelayanan
publik, transparansi biaya, melaksanakan koordinasi dengan berbagai pihak,
menciptakan budaya pelayanan (service delivery culture), Penerapan manajemen
sumber daya manusia berbasis kinerja serta mempercepat implementasi UndangUndang Pelayanan Publik secara konsisten. Kata kunci : Kebijakan publik,
Koordinasi, Pelayanan prima
32
A. Pendahuluan
Kependudukan dan
catatan sipil merupakan salah satu urusan wajib pemerintahan daerah yang
harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.
Pelayanan administrasi kependudukan yang terdiri dari pendaftaran penduduk
dan pelayanan pencatatan sipil merupakan sub bagian dari pelayanan publik
yang harus dilaksanakan dengan baik kepada masyarakat. Berdasarkan Undangundang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dijelaskan
bahwa instansi pelaksana administrasi kependudukan untuk wilayah
kabupaten/kota adalah Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang
berwenang memberikan pelayanan yang sama dan profesional kepada setiap
penduduk atas pelaporan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting.
Dalam menjalankan penyelenggaraan administrai kependudukan, maka
peristiwa penting kependudukan yang meliputi kelahiran, kematian, lahir mati,
perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak dan lain-lain harus di
catat ke dalam pencatatan sipil. Pendaftaran kelahiran dalam pendaftaran
penduduk dibuktikan dengan adanya akta kelahiran. Akta kelahiran adalah akta
catatan sipil hasil pencatatan terhadap peristiwa kelahiran seseorang. Jika
seorang anak belum punya akta kelahiran maka secara de jure
keberadaannya dianggap tidak ada oleh negara. Hal ini mengakibatkan anak yang
lahir tersebut tidak tercatat namanya, silsilah dan kewarganegaraannya serta
tidak terlindungi keberadaanya.
Kebijakan dan implementasi administrasi
kependudukan tersebut mencakup kegiatan pendaftaran kependudukan,
pencatatan sipil dan pengelolaan informasi kependudukan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah. Dalam prakteknya kebijakan dan
implementasi administrasi kependudukan tersebut dipengaruhi oleh aspek
landasan hukum, aspek kelembagaan dan sumber daya manusia, aspek
penerapan teknologi dan sistem pelayanan, aspek registrasi, aspek demografis
(kesadaran masyarakat), dan aspek pengolahan data penduduk.
Salah satu
bentuk pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat

adalah pelayanan dalam bidang kependudukan. Unsur kependudukan sangat


memegang peranan dalam berbagai segi, khususnya bidang pembangunan
Nasional sebagai bahan dasar dalam rangka perumusan strategis dibidang
kewarganegaraan, karena hampir semua kegiatan pembangunan baik yang
bersifat sektoral maupun lintas sektor terkait dengan kependudukan, atau
dengan kata lain penduduk harus menjadi subyek sekaligus
33
objek
pembangunan. Memperhatikan arti penting data kependudukan maka kegiatan
registrasi penduduk ini erat kaitannya dengan penerbitan akta catatan sipil.
Pencatatan dan penerbitan akta kelahiran merupakan bagian dari pelayanan
publik, akta kelahiran merupakan salah satu dokumen terpenting karena
menjadi bukti pengakuan legal kewarganegaraan seseorang. Setiap orang harus
mempunyai akta sebagai jaminan atas kedudukan dan status hukum
seseorang dalam negara.
Tugas pokok dan fungsi dari Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil tersebut, memerlukan adanya kerjasama antara pegawai
yang terlibat kegiatan organisasi dalam mengimplementasikan kebijakan,
khususnya Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, sehingga diharapkan tuntutan masyarakat atas pelayanan
kependudukan dan catatan sipil yang professional dapat dilaksanakan secara
optimal. Mengingat pelayanan prima merupakan suatu bentuk pelayanan
yang dilakukan pemerintah dalam memberikan barang dan jasa kepada
masyarakat. Agar pelayanan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan
prosedur kerja, maka aparatur pemerintah diharapkan dapat bekerja secara
rasional, efektif dan efisien. Hal ini sejalan dengan pendapat Kurniawan
dalam Sinambela (2006 : 5) mengemukakan pendapatnya : publik kan
melayani keperluan masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Dengan
demikian salah satu tugas dari suatu instansi pemerintahan adalah
memberikan pelayanan terbaik atau prima kepada masyarakat.
Pengelolaan
pendaftaran penduduk untuk wilayah Kabupaten Bandung merupakan
tanggung jawab pemerintah kabupaten, dimana Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung sebagai unsur pelaksana dalam bidang
kependudukan dan pencatatan sipil dalam melaksanakan pelayanan kepada
masyarakat mengenai administrasi kependudukan dan merupakan suatu
lembaga resmi Pemerintah Kabupaten Bandung yang bertugas untuk
mencatat, mendaftarkan serta membukukan selengkap mungkin setiap peristiwa
penting bagi status keperdataan seseorang.
Peristiwa kelahiran itu perlu
mempunyai bukti yang tertulis dan otentik berupa akta kelahiran untuk
membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah oleh Lembaga Catatan
Sipil. Kelahiran merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia.
Dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Perkawinan bahwa
Asal -usul seorang anak hanya
34
dapat dibuktikan dengan akta
kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang. engan alat
bukti itulah yang menyebabkan setiap orang merasa dapat memperoleh
kepastian hukum yang kuat tentang asal- usulnya. Apabila kita lihat di negara

Indonesia maka yang berhak mengeluarkan akta kelahiran seseorang adalah


Lembaga Catatan Sipil.
Sementara itu jumlah pemohon dan realisasi penerbitan
akta kelahiran di Dinas kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Bandung dapat dilihat pada tabel berikut ini : TABEL 01 JUMLAH PEMOHON
DENGAN REALISASI PENERBITAN AKTA KELAHIRAN DI DINAS KEPENDUDUKAN DAN
PENCATATAN SIPIL KABUPATEN BANDUNG
No. Bulan Jumlah pemohon
Terealisasi Tidak terealisasi Terealia- sasi (%) 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September 1.950
1.900 2.100 3.000 23.050 29.400 15.450 5.500 10.200 1.500 1.200
1.800 1.500 9.500 10.200 7.600 3.500 7.200
450
700
300
1.500
13.550
19.200
7.850
2.000
3.200 76.92 63.15 85.71
50.00 41.30 34.69 49.19 63.63 70.58 Sumber : Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung,
Tahun 2013.
Berdasarkan Tabel tersebut jumlah pemohon terbanyak pada bulan Juni namun
demikian yang terealisasi hanya 34 %. Apabilla dibandingkan dengan bulan
lainnya maka perolehan presentasinya tersebut adalah yang terkecil.
Sementara itu pemohon yang paling sedikit adalah bulan Agustus, dan
presentasi realisasi terbesar pada bulan Maret. Dengan demikian dapat
dikemukakan bahwa presentase realisasi tidak tergantung pada jumlah
pemohon.
Memperhatikan kondisi tersebut maka apabila dirata-ratakan
realisasi permohonan akta kelahiran hanya 59.46 %. Artinya pelayanan akta
kelahiran di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung
masih jauh dibawah 100%. Kenyataan ini tentunya perlu perhatian dari pihak
pemerintah
35
daerah untuk membenahi pelayanan, dengan
memperhatikan implemetasi kebijakan tentang administrasi kependuduksn dan
melakukan koordinasi dengan berbagai pihak. Degan demikan diharapkan akan
tercipta pelayanan prima yaitu pelayanan yang memberi kepusan kepada yang
dilayani.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan
terhadap pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung ? 2. Seberapa besar
pengaruh koordinasi terhdap pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung ? 3. Seberapa
besar pengaruh implementasi kebijakan dan koordinasi secara bersama-sama
terhadap pelayanan prima penerbitan akta di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui : 1. Pengaruh implementasi kebijakan terhadap
pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. 2. Pengaruh koordinasi terhdap
pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. 3. Pengaruh implementasi kebijakan dan
koordinasi secara bersama-sama terhadap pelayanan prima penerbitan akta
di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung.
D. Kajian
Pustaka 1. Kebijakan publik
Dalam berbagai sistem politik, kebijakan publik

diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut


melaksanakan pekerjaan- pekerjaan pemerintah dari hari ke hari yang
membawa dampak pada warga negaranya. Namun dalam praktinya badanbadan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat
dari Undang-Undang,
36
sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas
untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya
tidak dilakukan.
Lester dan Stewart dalam Winarno (2007 : 101-102) berpendapat
bahwa : Implementasi dipandang pengertian merupakan administrasi hukum
dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersamasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan diinginkan.
(2009 143) pendapatnya Implementor adalah yang resmi sebagai
individu/lembaga yang bertanggungjawab atas pelaksanaan program di
lapangan. dalam (2007 125 -126), mengemukakan bahwa implementasi
kebijakan adalah :
Tahap kebijakan pembentukan dan konsekuensikonsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya. Jika suatu
kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan
sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan
sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu,
suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan
jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para
pelaksana kebijakan.
Nugroho (2004 : 158) mendefinisikan implementasi
kebijakan sebagai berikut :
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara
agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak
kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, maka ada dua pilihan
langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk
program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau dari kebijakan
publik tersebut.
Berdasarkan pengertian implementasi yang dikemukakan
oleh para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi
kebijakan merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan
guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Akan tetapi pemerintah dalam
membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan
tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat.
Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan
masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Implementasi kebijakan
menunjuk aktivitas menjalankan kebijakan dalam ranah senyatanya, baik yang
dilakukan oleh organ pemerintah maupun para pihak yang telah ditentukan dalam
kebijakan.
37
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh
banyak variabel atau faktor, dan masing-masing variabel tersebut saling
berhubungan satu sama lain. Model implementasi kebijakan yang
dikemukakan Edwards dalam Subarsono (2007 : 90) menunjuk 4 (empat)
variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi
kebijakan, yaitu : "1. Komunikasi Komunikasi implementasi kebijakan
mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan,

sehinggga apabila membuat kebijakan tidak salah dalam membuat kebijakannya.


Selain itu juga dalam komunikasi implementasi kebijakan terdapat tujuan dan
sasaran kebijakan yang harus disampaikan kepada kelompok sasaran, hal tersebut
dilakukan agar meng-urangi kesalahan dalam pelaksanaan kebijakan 2. Sumber
daya
Sumber daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara
jelas dan konsisten, akan tetapi apabila implementor kekurangan sumber
daya untuk melaksanakan kebijakan maka tidak akan berjalan dengan efektif.
Sumber daya yang dapat mendukung pelaksanaan kebijakan dapat berwujud,
seperti sumber daya manusia, dan sumber daya finansial. Sumber daya ini
sangat berpengaruh terhadap pelaksaan kebijakan, tanpa sumber daya kebijakan
tidak akan berjalan dengan baik. 3. Disposisi
Komunikasi antar organisasi
terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan adalah watak atau karakteristik
yang dimiliki oleh pelaksana kebijakan, disposisi itu seperti komitmen,
kejujuran, dan sifat demokratik. Apabila pelaksana kebijakan mempunyai
karakteristik atau watak yang baik, maka dia akan melaksanakan kebijakan
dengan baik sesuai dengan sasaran tujuan dan keinginan pembuat kebijakan.
4. Struktur birokrasi Struktur organisasi, merupakan yang bertugas
melaksanakan kebijakan memiliki pengaruh besar terhadap pelaksanaan
kebijakan. Salah satu aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah
adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau
SOP). SOP ini merupakan pedoman bagi pelaksana kebijakan dalam bertindak
atau menjalankan tugasnya.
Sedangkan Meter dan Horn dalam Wahab
(79) mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan
suatu implementasi, yaitu : a. Ukuran dan tujuan kebijakan b. Sumbersumber kebijakan
38
c. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana d.
Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan e.
Sikap para pelaksana, f. Lingkungan ekonomi, sosial dan politik.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas mengenai implementasi kebijakan,
dapat diinterpretasikan bahwa implementasi kebijakan merupakan tahap
pembuatan keputusan diantara pembentukan sebuah kebijakan seperti halnya
pasal-pasal sebuah undang-undang legislatif, pengeluaran sebuah peraturan
eksekutif, pelolosan keputusan pengadilan, atau keluarnya standar peraturan
dan konsekuensi dari kebijakan bagi masyarakat yang mempengaruhi beberapa
aspek kehidupannya. Akan tetapi, walaupun kebijakan tersebut sudah tepat dan
mengikutsertakan masyarakat maka akan mengalami kegagalan yang diakibatkan
oleh kurang diimplementasikan oleh para pelaksana kebijakan. Oleh karena itu,
apabila suatu kebijakan dapat berhasil maka dalam prosesnya harus melibatkan
masyarakat dan juga dalam mengimplementasikan kebijakan harus maksimal
sehingga diperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan yang telah diharapkan.
Dengan demikian, yang berperan penting dalam suatu pencapaian
keberhasilan implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi, dimana faktor-faktor
tersebut sangat mempengaruhi terhadap suatu keberhasilan dalam pencapaian
implementasi kebijakan guna tercapainya suatu tujuan yang telah disepakati

bersama.
2. Koordinasi
Dalam sebuah organisasi setiap pimpinan perlu untuk
mengkoordinasikan kegiatan kepada anggota organisasi yang diberikan dalam
menyelesaikan tugas. Dengan adanya penyampaian informasi yang jelas,
pengkomunikasian yang tepat, dan pembagian pekerjaan kepada para
bawahan oleh manajer maka setiap individu bawahan akan mengerjakan
pekerjaannya sesuai dengan wewenang yang diterima. Tanpa adanya
koordinasi setiap pekerjaan dari individu karyawan maka tujuan perusahaan
tidak akan tercapai.
Mooney Sutarto : menyebutkan : adalah pengaturan
usaha sekelompok orang secara teratur untuk menciptakan tindakan dalam
mengusahakan tercapainya tujuan bersama. Sugandha (1991 : 22)
mengemukakan pengertian koordinasi sebagai berikut : Koordinasi adalah
penyatuan paduan gerak dari seluruh potensi dan unit-unit organisasi atau
39
organisasi-organisasi yang berbeda fungsi agar secara benar-benar
mengarah kepada sasaran yang sama guna memudahkan pencapaiannya dengan
efisiensi.
Handoko (2009 : 195) mengemukakan bahwa koordinasi adalah :
Proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-kegiatan pada satuansatuan yang terpisah (departemen-departemen atau bidang-bidang fungsional)
pada suatu organisasi untuk tujuan efisien. Stoner Sugandha (1991 : 12),
mengemukakan pengertian koordinasi adalah sebagai berikut : Proses
sasaran -sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian
atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai organisasi.
(1991 13) bahwa unsur-unsur yang terkandung dalam usaha koordinasi adalah :
"a. Unit-unit atau organisasi-organisasi. b. Sumber-sumber (potensi). c.
Kesatupaduan. d. Gerak kegiatan e. Keserasian f. Arah yang sama (sasaran).
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya
koordinasi memerlukan kesadaran setiap anggota organisasi atau satuan
organisasi untuk saling menyesuaikan diri atau tugasnya dengan anggota
atau satuan organisasi lainnya agar anggota atau satuan organisasi tersebut
tidak berjalan sendiri-sendiri. Oleh sebab itu, konsep kesatuan tindakan
adalah inti dari pada koordinasi. Kesatuan dari pada usaha, berarti bahwa
pemimpin harus mengatur sedemikian rupa usaha-usaha dari pada tiap
kegiatan individu sehingga terdapat adanya keserasian di dalam mencapai
hasil. Kesatuan tindakan ini adalah merupakan suatu kewajiban dari pimpinan
untuk memperoleh suatu koordinasi yang baik dengan mengatur jadwal
waktu dimaksudkan bahwa kesatuan usaha itu dapat berjalan sesuai dengan
waktu yang telah direncanakan.
Berdasarkan pengertian di atas, jelaslah
bahwa koordinasi adalah tindakan seorang pimpinan untuk mengusahakan
terjadinya keselarasan, antara tugas dan pekerjaan yang dilakukan oleh
seseorang atau bagian yang satu dengan bagian yang lain. Dengan koordinasi
ini diartikan sebagai suatu usaha ke arah keselarasan kerja antara anggota
organisasi sehingga tidak terjadi kesimpang siuran, tumpang tindih. Hal ini
berarti pekerjaan akan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Jadi dapat
disimpulkan bahwa koordinasi
40
merupakan proses pengintegrasian tujuan
dan aktivitas di dalam suatu perusahaan atau organisasi agar mempunyai

keselarasan di dalam mencapai tujuan yang ditetapkan, pengkoordinasian


dimaksudkan agar para manajer mengkoordinir sumber daya manusia dan
sumber daya lain yang dimiliki organisasi tersebut. Kekuatan suatu organisasi
tergantung pada kemampuannya untuk menyusun berbagai sumber daya dalam
mencapai suatu tujuan.
3. Palayanan Prima
Pelayanan pada dasarnya
adalah tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak
kepada pihak lain dan bersifat tidak kasat mata (intangible) serta tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Pelayanan merupakan salah satu produk
organisasi berupa jasa, sehingga pada dasarnya pelayanan tidak kasat mata,
diraba, dan dimiliki; melainkan hanya sebatas untuk digunakan, dirasakan, dibeli,
atau disewa. Sekalipun demikian, dalam kehidupan organisasi fungsi pelayanan
memiliki nilai strategis dibandingkan dengan fungsi organisasi lainnya. Ini karena
fungsi pelayanan sangat berpotensi dalam menentukan kelanggengan,
perkembangan, dan keunggulan bersaing organisasi di masa yang akan datang.
Salah satu tugas utama aparatur pemerintah adalah memberikan pelayanan
terbaik atau prima kepada masyarakat. Pelayanan prima pada dasarnya
merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membantu masyarakat dan dilakukan
dengan cara terbaik sehingga hasilnya lebih dari yang diharapkan. Hasibuan :
menyatakan : adalah pemberian jasa suatu pihak kepada pihak lainnya.
Pelayanan yang baik adalah pelayanan yang dilakukan secara ramah tamah,
adil, cepat, tepat dalam etika yang baik sehingga memenuhi kebutuhan dan
kepuasan bagi yang menerimanya. Kemudian Kotler dalam Hasibuan (2006 :
152) menyatakan bahwa : Pelayanan atau service adalah setiap kegiatan atau
manfaat yang dapat diberikan suatu pihak lain yang pada dasarnya tidak
berwujud dan tidak pula berakibat kepemilikan sesuatu dan produksinya dapat
atau tidak dapat dikaitkan dengan suatu produk fisik.
Dari definisi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya pelayanan itu adalah serangkaian
kegiatan yang diberikan seseorang kepada orang lain, yang merupakan suatu
proses untuk memuaskan orang lain. Sebagai proses pelayanan berlangsung
secara rutin dan berkesinambungan meliputi seluruh kehidupan orang dalam
masyarakat. Karena pelayanan berlangsung
41
secara rutin, maka perlu
diterapkan standar, baik dalam hal waktu yang diperlukan maupun hasilnya
pelayanan yang diberikan.
Menurut Barata (2006 : 26) pengertian pelayanan
prima yaitu : Pelayanan adalah konsep kepedulian kepada pelanggan
dengan memberikan terbaik. Sutopo : mengemukakan pendapatnya : prima
pelayanan aik yang dapat diberikan pelanggan. Swastika (2005 : 3)
mendefinisikan pelayanan prima tiga pokok, : pendekatan yang berkaitan
dengan kepedulian kepada pelanggan, upaya melayani dengan tindakan yang
terbaik dan ada tujuan untuk memuaskan pelanggan dengan berorientasi
pada standar layanan tertentu.
Untuk mencapai suatu pelayanan yang
prima pihak pelayan haruslah memiliki keterampilan tertentu, diantaranya
berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan gairah kerja
dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam bekerja, tidak tinggi hati
karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaannya baik tugas yang

berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu


berkomunikasi dengan baik, mampu mengerti dan memahami bahasa isyarat
(gesture) pelanggan serta memiliki kemampuan menangani keluhan pelanggan
secara profesional. Dengan demikian dapat dilihat bahwa untuk memberikan
sebuah pelayanan yang prima kepada pelanggan bukanlah pekerjaan yang
mudah. Tetapi bila beberapa hal yang tersebut di atas dapat dilakukan,
maka instansi yang bersangkutan akan dapat meraih manfaat yang besar,
terutama berupa kepuasan dan loyalitas pelanggan. Dalam memberikan
pelayanan yang prima sebagai usaha untuk mencapai kepuasan dan loyalitas
pelanggan, pihak penyedia jasa dapat berpedoman pada variabel pelayanan
prima (service excellence).
Barata (2006 : 31) mengemukakan bahwa
pelayanan prima (service excellence) terdiri dari 6 (enam) unsur pokok, antara
lain : 1. Kemampuan (ability) Adalah pengetahuan dan keterampilan tertentu
yang mutlak diperlukan untuk menunjang program layanan prima, yang
meliputi kemampuan dalam bidang kerja yang ditekuni, melaksanakan komunikasi
yang efektif, mengembangkan motivasi dan menggunakan public relation
sebagai instrumen dalam membina hubungan ke dalam dan ke luar
organisasi/ perusahaan.
42
2. Sikap (attitude) Adalah perilaku atau
perangai yang harus ditonjolkan ketika menghadapi pelanggan. 3. Penampilan
(appearance) Adalah penampilan seseorang baik yang bersifat fisik maupun non
fisik, yang mampu merefleksikan kepercayaan diri dan kredibilitas dari pihak
lain. 4. Perhatian (attention) Adalah kepedulian penuh terhadap pelanggan
baik yang berkaitan dengan perhatian akan kebutuhan dan keinginan
pelanggan maupun pemahaman atas saran dan kritiknya. 5. Tindakan (action)
Adalah berbagai kegiatan nyata yang harus dilakukan dalam memberikan layanan
kepada pelanggan 6. Tanggung jawab (accounttability) Adalah suatu sikap
keberpihakan kepada pelanggan sebagai wujud kepedulian untuk
menghindarkan atau meminimalkan kerugian atau ketidakpuasan pelanggan.
Sedangkan menurut Tjiptono (2008 : 58) pelayanan prima (service
excellence) terdiri dari 4 unsur pokok, antara lain: a. Kecepatan b. Ketepatan c.
Keramahan d. Kenyamanan
Nasution (2004 : 49) mengemukakan bahwa
pada dasarnya pelayanan prima mengandung tiga aspek, yakni "1.
Kemampuan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. 2. Pengembangan
database yang lebih akurat daripada pesaing, yang mencakup data
kebutuhan dan keinginan setiap segmen pelanggan dan perubahan kondisi
persaingan. 3. Pemanfaatan informasi yang diperoleh dari riset pasar.
Sinambela (2006 : 6) mengemukakan bahwa tujuan pelayanan publik pada
dasarnya adalah memuaskan masyarakat, untuk mencapai kepuasan itu
dituntut kualitas pelayanan publik yang tercermin dari : a. Transparansi
Adalah pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua
pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah
dimengerti. Transparansi meliputi keterbukaan proses
43
penyelenggaraan
pelayanan publik, peraturan dan prosedur pelayanan yang dapat dipahami,
dan kemudahan untuk memperoleh informasi mengenai berbagai aspek

penyelenggaraan pelayanan publik. b. Akuntabilitas Adalah pelayanan yang


dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Akuntabilitas dapat dilihat dari kinerja pelayanan publik, biaya pelayanan publik
dan produk pelayanan publik. c. Kondisional Adalah pelayanan yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan. Kemampuan
pemerintah dalam melayani masyarakat yang sesuai kondisi pemberi dan
penerima pelayanan. Kemampuan pemerintah dalam menghadapi kendalakendala yang terjadi dalam pelayanan yang diberikan kepada masyarakat.
Kondisional meliputi efisien dan efektif. d. Partisipatif Adalah pelayanan yang
dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan
publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
Partisipatif dapat dilihat dari identifikasi peran masyarakat, identifikasi metode
yang dapat digunakan untuk meningkatkan partisipasi, men-cocokan instrumen
partisipasi yang sesuai dengan peran masyarakat dalam proses penyelenggaraan
layanan publik, memilih instrumen partisipasi yang akan digunakan dan
mengimplementasikan strategi yang dipilih. e. Kesamaan hak Adalah
pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apa pun
khususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial, dan lain- lain. Pelayanan
yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dengan tidak membedabedakan status sosial dan lainnya. Kesamaan hak dapat dilihat dari keteguhan dan
ketegasan. f. Keseimbangan hak dan kewajiban Adalah pelayanan yang
mempertimbangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima pelayanan
publik. Pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dapat
menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban aparatur dan penerima
pelayanan. Keseimbangan hak dan kewajiban meliputi keadilan dan kejujuran.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa suatu layanan prima dapat memuaskan
penggunanya apabila dilakukan pengukuran mengenai profil pelayan yang
mencerminkan sikap senang, mengerti kebutuhan pengguna, ikhlas serta tulus
melayani pengguna, kualitas pelayanan yang diberikan, kemudahan
memperoleh informasi, biaya yang dikeluarkan sesuai dengan peraturan yang
44
berlaku, kenyaman serta keamanan yang diberikan pihak pelayan. Hal ini
perlu diperhatikan agar Dinas Kependudukan dan Pencacatan Sipil Kabupaten
Bandung memiliki layanan yang berkualitas atau pelayanan yang prima. Dilihat
dari kedua teori di atas maka dapat disimpulkan pelayanan prima merupakan
pelayanan yang berfokus kepada masyarakat (pengguna layanan), dan
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat sehingga merasa puas. Dari
semua uraian itu dapat disimpulkan bahwa makna pelayanan prima bukan hanya
memberikan bantuan alakadarnya. Pelayanan harus dilakukan dengan sepenuh
hati dengan tujuan semata-mata demi kepuasan pelanggan. Bagi para aparatur
pemerintah, sebagai abdi masyarakat, berkewajiban memberikan pelayanan
prima untuk kepentingan masyarakat adalah suatu keniscayaan. Pelayanan yang
diberikan semestinya mencakup berbagai aktivitas yang sedapat mungkin
melampaui standar baku, memiliki keistimewaan layanan, dan memenuhi atau
bahkan sedapat mungkin melebihi harapan masyarakat.
E. Hipotesis Hipotesis

dalam penelitian ini adalah : 1. Implementasi kebijakan berpengaruh terhadap


pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. 2. Koordinasi berpengaruh terhdap
pelayanan prima penerbitan akta kelahiran di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. 3. Implementasi kebijakan dan koordinasi
secara bersama-sama berpengaruh terhadap pelayanan prima penerbitan akta
di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung.
F.
Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuantitatif, yaitu suatu penelitian ilmiah yang sistematis mengenai
bagian-bagian dan fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuannya adalah
mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori
dan/atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena. Proses pengukuran
adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini
memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan
ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif.
45
Sementara
metoda yang digunakan adalah explanatory survey. Karena penelitian yang
dilakukan termasuk ke dalam kualifikasi ilmu non-eksak. Explanatory survey
yaitu memberi gambaran secara cermat dan utuh, serta apa adanya tentang
suatu obyek studi. Survei adalah penelitian yang diadakan untuk memproleh fakta
dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan secara faktual.
Populasi dalam penelitian ini adalah pihak-pihak yang terkait dalam
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi dalam
mewujudkan pelayanan prima penerbitan akta kelahiran pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung, sebanyak 44 orang.
Sedangkan untuk mengetahui tanggapan dari pemohon akta kelahiran
sebagai responden, penulis mempergunakan teknik insidental, yaitu teknik
penentuan sampel secara kebetulan yang dianggap cocok sebagai sumber
data yang dapat dipercaya yaitu para responden yang ditemui di lokasi
penelitian. Dengan demikian untuk mengetahui tanggapan dari pemohon
akta kelahiran, penulis dalam menentukan responden sebanyak 44 orang.
Menurut Sugiyono (2012 96) : ampling insidental adalah teknik penentuan
sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/insidental
bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang
orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data.
Teknik
penegumpulan data menggunakan studi dokumentasi, dan studi lapangan
yang terdiri dari observasi wawancara dan angket. Adapun teknik analisis
data yang digunakan analisis jalur.
Lokasi penelitian di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. Dinas ini merupakan unsur pelaksana
otonomi daerah di bidang pelayanan administratif yang mengurus tentang
kependudukan dan catatan sipil. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Bandung dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
No. 16 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kabupaten
Bandung No. 20 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bandung.
G. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Hasil Peneitian

a. Hasil analisis korelasi


Perhitungan analisis korelasi dengan menggunakan
korelasi person product momen, dilakukan guna mengetahui seberapa kuat
hubungan
46
antara beberapa variabel independen yang diteliti dalam
penelitian ini, hal ini dapat penulis sajikan pada Tabel 02 sebagai berikut :
TABEL 02 KORELASI ANTARA INPLEMENTASI KEBIJAKAN ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN DAN KOORDINASI DENGAN PELAYANAN PRIMA PENERBITAN
AKTA KELAHIRAN Dimensi Korelasi Keterangan Implementasi kebijakan 0.683
Kuat Koordinasi 0.658 Kuat
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Untuk
menafsirkan angka-angka yang diperoleh dari Tabel 02 tersebut di atas, digunakan
kriteria sebagai berikut : TABEL 03 KRITERIA PENAFSIRAN TINGKAT HUBUNGAN
ANTAR VARIABEL
Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00

Koefisien korelasi antara variabel implementasi kebijakan administrasi


kependudukan terhadap pelayanan prima r = 0.683, ini berarti terdapat hubungan
yang kuat antara variabel implementasi kebijakan administrasi kependudukan
dan koordinasi terhadap pelayanan prima. Karena r korelasinya > 0, artinya
terjadi hubungan yang linear positif, semakin besar nilai implementasi kebijakan
administrasi kependudukan maka semakin besar pelayanan prima. 2) Koefisien
korelasi antara variabel koordinasi terhadap pelayanan prima r = 0.658, ini
berarti terdapat hubungan yang kuat antara variabel
47
koordinasi
terhadap pelayanan prima. Karena r korelasinya > 0, artinya terjadi hubungan
yang linear positif, semakin besar nilai koordinasi maka semakin besar
pelayanan prima.
Berdasarkan matriks korelasi tersebut di atas, kemudian
dihitung matrik inversnya maka didapat matrik inversnya seperti yang terlihat
pada Tabel 04 sebagai berikut :
TABEL 04 MATRIK INVERS IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN DAN KOORDINASI
Variabel Implementasi kebijakan Koordinasi
Implementasi kebijakan 3.219 0.632 Koordinasi 0.632 1.219
Sumber :
Hasil Penelitian, 2013
b. Hasil Pengukuran Jalur
Berdasarkan hasil
perhitungan matriks korelasi dan matriks invers maka dapat dihitung koefisien
jalur, pengaruh langsung secara keseluruhan dari variabel implementasi
kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi serta koefisien jalur
variabel lainnya di luar variabel tersebut. Hasil analisis jalur untuk bagian ini
menggambarkan bagaimana hubungan antara implementasi kebijakan
administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap pelayanan prima secara
langsung maupun tidak langsung. 1) Pengaruh Secara Bersama-sama Antara
Implementasi Kebijakan administrasi kependudukan dan Koordinasi Terhadap
Pelayanan prima
Pengaruh secara bersama-sama antara variabel
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap
pelayanan prima dapat dijelaskan pada Tabel 05 sebagai berikut :
48
TABEL 05 PENGARUH SECARA BERSAMA-SAMA ANTARA VARIABEL IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN KOORDINASI TERHADAP
PELAYANAN PRIMA
Variabel Koefisien determinasi Faktor lain
Implementasi
kebijakan adminis- trasi kependudukan dan koordinasi
0.840
0.160
Sumber : Hasil Penelitian, 2013. Berdasarkan perhitungan koefisien determinasi
dari analisis jalur, pengaruh dari variabel implementasi kebijakan administrasi

kependuduk-an dan koordinasi terhadap pelayanan prima sebesar 84%,


sedangkan faktor lain 16%. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap
pelayanan prima sebesar 84% dan menunjukkkan pengaruh tersebut
dikategorikan kuat. Selain itu untuk dapat terwujudnya pelayanan prima masih
ada faktor-faktor lain yang tidak diteliti, namun dapat mempengaruhi pelayanan
prima. Faktor tersebut harus dikaji dan diteliti lebih lanjut selain faktor
implementasi kebijakan dan koordinasi yang telah diteliti oleh penulis atau
pengaruh faktor lain tersebut sebesar 16%. 2) Pengujian hipotesis
Langkah
selanjutnya setelah dilakukan pengujian persyaratan analisis dan hasilnya
sesuai dengan persyaratan yang ditentukan langkah berikutnya dilakukan
pengujian hipotesis. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan untuk
menarik suatu kesimpulan yang didukung oleh data empirik. Untuk pengujian
koefisien jalur secara keseluruhan, terlebih dahulu membuat hipotesis pengujian,
yaitu : H0 : P yxi = 0 Implementasi kebijakan administrasi kependudukan
dan koordinasi tidak berpengaruh signifikan terhadap pelayanan prima pada
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung
H 1 : P yxi
49
Statistik uji untuk menguji pengaruh secara keseluruhan dapat dilihat
pada Tabel 06 sebagai berikut : TABEL 06 STATISTIK UJI UNTUK PENGARUH
SECARA KESELURUHAN ANTARA VARIABEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN KOORDINASI TERHADAP PELAYANAN PRIMA
Variabel Fhitung F tabel
Implementasi kebijakan retribusi dan koordinasi
28.846 3.18
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Dari Tabel 06
diperoleh nilai F [0,05:2:80] = 28.846, Oleh karena nilai Fhitung = 28.846 >
Ftabel = 3.18 hipotesis nol ditolak, hal ini dapat disimpulkan bahwa untuk
variabel implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi
terhadap pelayanan prima. Dalam pengujian koefisien jalur secara
keseluruhan, tolak hipotesis jika F>F[0,05:2:80], dalam hal alinnya terima
hipotesis, berarti terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap
pelayanan prima.
Oleh karena hasil pengujian keseluruhan jalur signifikan, maka
dilanjutkan dengan pengujian signifikan masing-masing koefisien jalur, dengan
pasangan hipotesis dan alternatif serta statistik uji sebagai berikut : H0 :
Pyxi = 0 H1 : Pyxi 0
Berdasarkan hasil perhitungan jalur dan koefisien
determinasi, dapat dihitung statistik uji untuk setiap jalur sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel 07 sebagai berikut : TABEL 07 BESARNYA PENGUJIAN SECARA
PARSIAL ANTARA VARIABELINPLEMENTASI KEBIJAKAN ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN DAN KOORDINASI TERHADAP PELAYANAN PRIMA
Dimensi Uji t
hitung t Tabel (5%) Ketetangan Implementasi kebijakan 5.142 2.00 Signifikan
Koordinasi 4.274 Signifikan
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
50
Sedangkan untuk = 0,05 dan derajat bebas dari Tabel 07 distribusi t-tabel
diperoleh t [0,05:2:80]. Dari hasil pengujian koefisien jalur diperoleh keterangan
objektif, bahwa koefisien jalur dari variabel implementasi kebijakan
administrasi kependudukan dan koordinasi, secara bersama-sama

mempengaruhi terhadap pelayanan prima secara statistik adalah bermakna


artinya variabel implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan
koordinasi terhadap pelayanan prima nilai t hasil perhitungan semuanya
bermakna, karena t hitung lebih besar dari t tabel. a. Persamaan Analisis
Jalur Antara Variabel Implementasi Kebijakan administrasi kependudukan dan
Koordinasi Terhadap Pelayanan prima
Komponen persamaan akhir hasil
analisis jalur yang menyatakan hubungan antara variabel implementasi
kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi secara bersama-sama
mempengaruhi terhadap pelayanan prima. Model persamaan analisis jalur
yang terbentuk dinyatakan dalam Tabel 08 sebagai berikut : TABEL 08
BESARNYA NILAI KOEFISIEN JALUR
Dimensi Koefisien Jalur Implementasi
kebijakan 0.688 Koordinasi 0.512
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Untuk itu hasil hasil perhitungan tersebut maka dapat diinterprestasikan
adalah sebagai berikut : dari persamaan tersebut terlihat bahwa parameter
koefisien jalur untuk variabel implementasi kebijakan administrasi kependudukan
dan koordinasi adalah positif. Hal ini menunjukkan bahwa setiap terjadi
peningkatan implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi
maka pelayanan prima akan mengalami peningkatan.
51
GAMBAR 01
PARADIGMA PENELITIAN
X1
0.472
b. Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung Antara Variabel Implementasi
Kebijakan administrasi kependudukan dan Koordinasi Terhadap Pelayanan Prima
Pengaruh langsung dan tidak langsung antara variabel implementasi kebijakan
administrasi kependudukan dan koordinasi, secara bersama-sama
mempengaruhi terhadap pelayanan prima, dapat dijelaskan pada Tabel 09
sebagai berikut :
TABEL 09 PENGARUH LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG
VARIABEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN TERHADAP
PELAYANAN PRIMA
Pengaruh langsung ke Y 0.372 37,18% X1 Pengaruh tidak
langsung melalui X 2 ke Y 0.021 2.13 %
Jumlah pengaruh total 0.393
39.32 %
Sumber : Hasil Penelitian, 2013
Berdasarkan nilai koefisien
jalur, pengaruh secara langsung antara variabel implementasi kebijakan
administrasi kependudukan terhadap pelayanan prima sebesar 37,18% dan
pengaruh tidak langsung dimensi antara variabel implementasi kebijakan
administrasi kependudukan terhadap pelayanan prima sebesar 2.13%.
0.08 0.688 0.512
Y X 11 X

52
TABEL 10 PENGARUH
LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG VARIABEL KOORDINASI TERHADAP PELAYANAN
PRIMA
Pengaruh langsung ke Y 0.274 27,41% X2 Pengaruh tidak langsung
melalui X 2 ke Y 0.021 2.13 %
Jumlah pengaruh total 0.295 29.55 %
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Berdasarkan nilai koefisien jalur, pengaruh
secara langsung antara variabel koordinasi terhadap pelayanan prima sebesar
27,41% dan pengaruh tidak langsung dimensi antara variabel koordinasi terhadap
pelayanan prima sebesar 2.13%
Berdasarkan hasil uji statistik tersebut di
atas, dapat diperoleh keterangan bahwa koefisien jalur P yx1 sebesar
39,32%, pengaruh implementasi kebijakan administrasi kependudukan cukup
berarti pada tingkat kepercayaan 95%. Dengan demikian, dapat dikatakan ada

pengaruh implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi


secara stimulan terhadap pelayanan prima di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. Hal ini mengandung arti bahwa
semakin besar efektif implementasi kebijakan administrasi kependudukan, maka
semakin tinggi pelayanan prima di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Bandung. Demikian juga mengenai koefisien jalur Pyx2 sebesar
29,55%, pengaruh koordinasi cukup bearti pada tingkat kepercayaan 95%.
Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh koordinasi terhadap pelayanan
prima di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung.
Kenyataan tersebut menggambarkan bahwa pelayanan prima di Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung akan optimal dan
memenuhi target apabila pelaksanaan implementasi kebijakan administrasi
kependudukan dan koordinasi dilaksanakan secara optimal.
Dari gambaran
tersebut, maka terlihat bahwa ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
pelayanan prima di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Bandung, yaitu berupa faktor pengawasan,
53
perencanaan, motivasi dan
lain-lain, yang berdasarkan hasil perhitungan statistik besarnya pengaruh
tersebut yaitu sebesar 31,13%
2. Pembahasan a. Pengaruh Implementasi
Kebijakan Administrasi Kependudukan Terhadap Pelayanan prima
Pengujian
statistik telah menunjukkan bahwa implementasi kebijakan administrasi
kependudukan telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelayanan
prima yang kemudian memberikan kontribusi pengaruh yang nyata dan
bermakna positif juga terhadap penerimaan retribusi izin gangguan yang
dilaksanakan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Bandung. Dengan demikian hipotesis penelitian yang mengatakan bahwa
semakin besar pengaruh dari variabel-variabel implementasi kebijakan, maka
akan semakin meningkat pula tingkat pelayanan prima tersebut diterima. Hal
ini mencerminkan bahwa pelaksanaan implementasi kebijakan administrasi
kependudukan yang dilakukan oleh aparat Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kabupaten Bandung dipandang penting terhadap pelayanan prima.
Adapun besarnya pengaruh implementasi kebijakan administrasi kependudukan
terhadap pelayanan prima pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Bandung sebesar 0.393 atau 39.32% sedangkan sisanya ditentukan
oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Berdasarkan uraian di
atas, penulis dapat mengemukakan bahwa variabel implementasi kebijakan
administrasi kependudukan baik secara teoritik mapun empirik telah
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelayanan prima pada Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung. Oleh karena itu,
variabel implementasi kebijakan administrasi kependudukan ini perlu juga
mendapat perhatian yang serius dari semua pihak terutama parea pelaksana
kebijakan khususnya yang terkait dengan masalah pelayanan prima. b.
Pengaruh Koordinasi Terhadap Pelayanan prima
Berdasarkan hasil perhitungan
statistik sebagaimana dijelaskan di atas, diperoleh hasil bahwa pelaksanaan
koordinasi telah memberikan kontribusi yang signifikan dan berpengaruh

terhadap pelayanan prima. Hal tersebut mengandung arti bahwa secara


kuantitatif bentuk hubungan
54
antara variabel telah sesuai dengan
hipotesis yang diajukan. Hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa semakin
besarnya pengaruh koordinasi, maka akan semakin meningkatnya pelayanan
prima pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung.
Adapun besarnya pengaruh antara variabel koordinasi terhadap pelayanan
prima pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung
sebesar 0.295 atau 29.55%, sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Pelaksanaan koordinasi sebagai salah
satu fungsi manajemen, dengan demikian koordinasi merupakan hasil dari
perwujudan kerjasama antar unit-unit organisasi dimana didalamnya terjadi
adanya saling membantu, saling menghormati dan saling menghargai antar
unit organisasi baik mengenai fungsi maupun tugas dari masing-masing unit
tersebut. Sebagai salah satu fungsi manajemen, koordinasi mempunyai fungsi
untuk menyerampakan, menyatupadukan kegiatan-kegiatan yang ada di
dalam suatu organisasi, sehingga pekerjaan itu bisa diselesaikan secara efektif
dan efisien. Dengan adanya koordinasi dalam suatu organisasi, maka tidak
akan terjadi kesalahpahaman, kesimpangsiuran dan tumpang tindih dalam
melaksanakan pekerjaan. Selain itu pula dengan adanya koordinasi akan
timbul keserasian, penyerempakan dalam penyelesaian kerja, sehingga
pekerjaan akan diwujudkan secara efektif dan efisien. Berdasarkan uraian di
atas, penulis dapat mengemukakan bahwa variabel koordinasi baik secara
teoritik mapun empirik telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
pelayanan prima pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Bandung. Oleh karena itu, variabel koordinasi perlu juga mendapat perhatian
yang serius dari semua pihak terutama parea pelaksana kebijakan khususnya
yang terkait dengan masalah pelayanan prima. Pelaksanaan koordinasi
merupakan suatu perwujudan dari kerjasama yang saling mendukung, saling
menghargai, saling menghayati akan tugas dan tanggung jawab serta fungsinya
masing- masing. Setiap unit kerja di dalam melaksanakan kegiatannya akan
tergantung atas kerjasama dan bantuan dari satuan-satuan unit kerja yang
lainnya.
55
c. Pengaruh Implementasi Kebijakan Administrasi
Kependudukan dan Koordinasi terhadap Pelayanan prima
Hasil uji statistik
sebagaimana telah dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa pengaruh
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi telah
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pelayanan prima. Hal ini
mencerminkan bahwa secara kuantitatif bentuk hubungan antar variabel telah
sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Adapun besarnya pengaruh
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap
pelayanan prima pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Bandung sebesar 0.688 atau 68.87% sedangkan sisanya sebesar 31,13%
ditentukan oleh faktor-faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
Pelaksanaan implementasi kebijakan dan koordinasi merupakan suatu aktivitas
yang harus terus menerus dilakukan oleh seluruh aparat yang ada di Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bandung, karena dalam


pelaksanaannya bertujuan untuk meningkatkan dan memperlancar aksi
terhadap kegiatan untuk mencapai target yang telah ditentukan. Dengan kata
lain, pelaksanaan implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan
koordinasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan pelayanan prima yang
ditetapkan dan digariskan dalam suatu kebijakan.
H. Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan uji t implementasi kebijakan administrasi
kependudukan dan koordinasi terhadap pelayanan prima terdapat pengaruh
yang kuat. Hal ini terlihat hari hasil uji t, dimana t hitung lebih besar dari t tabel,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat, sedangkan
pengujian secara keseluruhan variabel implementasi kebijakan administrasi
kependudukan dan koordinasi terhadap pelayanan prima terdapat pengaruh
yang kuat.
Secara secara bersama-sama terdapat pengaruh antara
implementasi kebijakan administrasi kependudukan dan koordinasi terhadap
pelayanan prima melalui perhitungan koefisien determinisi yang menunjukkan
implementasi kebijakan dan koordinasi memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap pelayanan prima. Namun pengaruh yang diberikan masih dalam
taraf yang
56
cukup optimal. Artinya untuk dapat terwujudnya pelayanan
prima masih banyak faktor-faktor lain yang harus dikaji didalam pemahamannya.
I. Rekomendasi Membuat standar dalam pelayanan publik. Ada standar
pelayanan, kualitas, juga standar mekanisme pengaduan. Setiap pelayanan
publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah harus memiliki standar
pelayanan minimal, yang bisa diukur. Salah satu contohnya adalah penetapan
batas waktu pengurusan pelayanan publik. Sehingga memudahkan pemerintah
daerah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi
secara periodik maupun insidentil.
Menciptakan budaya pelayanan (service
delivery culture). Budaya pelayanan adalah budaya yang berorientasi pada
pelayanan masyarakat. Dulu aparat beranggapan, mereka tidak mengabdi
pada masyarakat, tetapi pada atasan. Mereka tidak peduli kepentingan
masyarakat, tujuannya adalah kepentingan individu dan kepentingan
kelompoknya. Bagaimana mungkin orang akan memberikan pelayanan kepada
masyarakat, kalau paradigmanya masih paradigma lama seperti itu.
Paradigma lama yang menganggap masyarakat hanyalah obyek pelayanan
publik, harus direkonstruksi. Aparat bukan sebagai orang yang dilayani, tetapi
sebagai orang yang melayani kebutuhan masyarakat.
57
Daftar Pustaka Barata, Atep Adya. 2006. Dasar-dasar Pelayanan Prima.
Jakarta: PT Gramedia. Handoko, T. Hani. 2009. Manajemen Edisi Kedua,
Yogyakarta: BPFE. Hasibuan, Malayu, SP. 2006. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Bumi Aksara. Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik
Berbasis Dynamic Policy Analysis. Yogyakarta: Gava Media. Nasution, M.N.
2004. Manajemen Jasa Terpadu : Total Service Management. Bogor: Ghalia
Indonesia. Nugroho, Riant. 2004. Public Policy, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo.
Subarsono, AG. 2007. Analisis Kebijakan Publik : Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suganda, Dann.1991. Koordinasi Alat Pemersatu

Gerak Administrasi. Jakarta : Intermedia. Sinambela, Lijanpoltak. 2006.


Reformasi Pelayanan Publik : Teori, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta: PT.
Bumi Aksara. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi, Bandung, CV.
Alfabeta. Sutopo. 2004. Pelayanan Prima, Bahan Diklat Administrasi Umum.
Lembaga Adminis-trasi Negara. Sutarto. 2006. Dasar-dasar Organisasi.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Tjiptono, Fandy. 2008. Manajemen
Jasa. Yogyakarta : Andi Offset. Wahab, Solichin Abdul. 2012.Analisis Kebijakan :
Dari Formulasi ke Penyusunan Model-model Implementasi Kebijakan Publik.
Jakarta : Bumi Aksara. Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik : Teori dan Proses,
Yogyakarta : Media Press. Swastika. 2005. Pengaruh Pelayanan Prima (Service
Exellence) Terhadap Kepuasan Pelanggan. Jurnal Skripsi Ekonomi.
Sumber
bacaan lain :
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UndangUndang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Peraturan Daerah Kabupaten
Bandung No. 16 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Kabupaten
Bandung No. 20 Tahun 2007 Tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah
Kabupaten Bandung.
58
PELAYANAN PENDAFTARAN PENDUDUK AWAL
DARI KETERTIBAN ADMNISRASI KEPENDUDUKAN. DALAM UPAYA PENINGKATAN
PELAYANAN PRIMA KEPADA MASYARAKAT Oleh : S. MULIANINGSIH, MM.Pd.
A.
Latar Belakang
Pembangunan administrasi kependudukan dan pencatatan
sipil di Indonesia sebagai negara terbesar ke empat dari jumlah penduduk
setelah China, India dan USA, memiliki peran strategis dalam Pembangunan
Nasional, sehingga dalam rangka aktualisasi dan akurasi data serta kelengkapan
kepemiliki dokumen kependudukan dan legalitas catatan sipil diperlukan
pengelolaan administrasi kependudukan yang akurat, terkini dan dikelola
secara komprehensif, untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun
1945 telah mengamanatkan bahwa Hal -hal Warga Negara dan Penduduk diatur
dengan Undang-undang yang ditindaklanjuti dengan Undang-undang Nomor
23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan dan seperangkat
peraturan pelaksanaanya, antara lain Peraturan Presiden Nomor 26 tahun 2009
tentang penerapan Kartu Tanda Penduduk (KTP) berbasis Nomor Induk
Kependudukan (NIK) , sebagaiman telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 34 tahun 2010, maka Pemerintah dengan dudkungan DPR RI telah
menetapkan program strategis yang merupakan reformasi mendasar di bidang
kependudukan dan pencatatan siipil dengan cara merubah pola pikir (mindset)
dari aparat dan masyarakat.
Dalam rangka memberikan jaminan status
hukum perdata bagi penduduknya, penyediaan data kependudukan yang akurat
guna mensukseskan pemilu dan pemilukada, penyediaan data statistic yang valid
untuk perencanaan diberbagai bidang pembangunan, dan dalam rangka
membatasi ruang gerak terorisme yang akhir-akhir ini terus berkembang,
maka pembangunan administrasi kependudukan merupakan tugas besar dan
menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota, secara terkordinasi, konsisten dan

berkesinambungan.
Pemilikan Kartu Tanda Penduduk ganda yang cendrung
pada penyalahgunaan yang bersifat negatif menguntungkan seseorang dan
merugikan pihak lain seperti kejahatan, tumpang tindih dalam pemilikan tanah,
pencurian
59
kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Dengan adanya
Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan hal
tersebut diharapkan tidak akan terjadi lagi. Administrasi Kependudukan
adalah sebuah sistem yang terdiri dari sub sistem-sub sistem pendaftaran
penduduk, catatan sipil dan pengelolaan informasi administrasi kependudukan.
Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
bahwa, Pendaftaran Penduduk adalah pencatatan biodata penduduk,
pencatatan atas pelaporan peristiwa kependudukan dan pendataan penduduk
rentan administrasi kependudukan serta penerbitan dokumen penduduk
berupa identitas, kartu atau surat keterangan kependudukan. Peristiwa
Kependudukan adalah kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan
karena membawa implikasi terhadap penerbitan atau perubahan KK, KTP
dan/atau Surat Keterangan Kependudukan lainnya meliputi pindah datang,
perubahan alamat, tinggal sementara, serta status tinggal terbatas menjadi
tinggal tetap. Nomor Induk Kependudukan yang selanjutnya disingkat dengan NIK
adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan
melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Setiap
NIK yang dimiliki penduduk dicantumkan dalam setiap dokumen
kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), AktaAkta Catatan Sipil serta dokumen kependudukan. Dan data kependudukan
tersebut terekam dalam Bank Data Kependudukan Nasional, dengan demikian
dijadikan dasar penerbitan paspor, SIM, NPWP, polis asuransi, sertifikat hak atas
tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
Dalam Bab IV Peraturan
Pemerintah nomor 37 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
nomor 23 tahun 2006 dikatakan bahwa NIK ditetapkan secara nasional oleh
Menteri. NIK berlaku seumur hidup dan selamanya, diberikan oleh Pemerintah
dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana. Instansi Pelaksana adalah perangkat
pemerintah kabupaten/kota yang bertanggungjawab dan berwenang
melaksanakan pelayanan dalam urusan administras Kependudukan.
Pencatatan Sipil adalah Pencatatan Peristiwa Penting yang dialami oleh
seseorang pada register catatan sipil oleh Instansi Penyelenggara. Dan Peristiwa
Penting adalah kejadian yang dialami oleh seseorang meliputi kelahiran,
kematian, lahir mati, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan
anak, pengangkatan anak, perubahan nama dan perubahan status
kewarganegaraan.
60
Sistem Informasi Administrasi Kependudukan
selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi
Administrasi Kependudukan ditingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana
sebagai satu kesatuan.
Dengan pendaftaran penduduk tersebut dapat
diketahui keberadaan penduduk dalam berbagai hal, terutama usia dan
tempat tinggal, yang dalam konteks pemilu sangat penting didalam

mencatat para calon pemilih. Diharapkan pelaksanaan pendaftaran penduduk


pada masa yang akan datang di Indonesia berjalan dengan baik.
B.
Pendaftaran Penduduk
Walaupun undang-undang Kependudukan masih
berumur muda, namun bukan berarti bahwa pendaftaran penduduk merupakan
hal yang baru. Peraturan pendaftaran penduduk ini sudah ada sejak jaman
penjajahan Belanda, yang seharusnya sudah berjalan dengan baik dan lancar.
Pendaftaran penduduk ini terkesan hanya sebagai aktifitas administratif saja ,
tapi jauh dari pada itu apabila ditelaah lebih mendalam, pendaftaran penduduk
memiliki dimensi yang sangat luas, baik bagi pelaksana pemerintahan maupun
bagi individu penduduk itu sendiri selaku warga negara. Sebagaimana disebutkan
diatas, dalam konteks pemilu, pendaftaran penduduk akan dapat menentukan
hak seseorang apakah sudah pantas menjadi pemilih atau tidak? Dengan
pendaftaran penduduk yang benar, yang untuk penduduk dewasa (17 tahun
keatas dan sudah menikah) ditandai dengan kepemilikan kartu tanda
penduduk (KTP) dan dengan asumsi bahwa pembuatan KTP dilaksanakan
secara benar, dimana tidak ada lagi penduduk yang terdaftar berulang kali.
Dengan KTP yang dimiliki secara benar, maka tidak perlu dibuat tahapan
pendaftaran pemilih yang banyak menghabiskan dana. Parapemilih datang ke
TPS, cukup dengan memperlihatkan KTP masing-masing. Sebagai dokumen
yang menunjukkan seseorang sebagai warga Negara, pemberian KTP harus
dilakukan secara ketat dengan melengkapi dokumen yang
iperlukan. Kemudahan pembuatan KTP selama ini telah menyebabkan
disalahgunakan untuk kejahatan. Hal lainnya terjadi penyalahgunaan dalam
umur perkawinan, pemilikan tanah, perencanaan pembangunan, penghitungan
income perkapita, perencanaan sumberdaya manusia, pemungutan pajak dan
sebagainya.
Undang-Undang Administrasi Kependudukan nomor 23 tahun
2006 mengharuskan setiap penduduk memiliki Nomor Induk Kependudukan
(NIK)
61
dicantumkan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) maupun dalam
Kartu Keluarga (KK).
NIK terdiri dari (16) enam belas digit yang penetapan
nomornya menggunakan variabel kode wilayah, tanggal kelahiran dan nomor
seri yang dikreasi oleh sistem, yaitu:
6 (enam) digit pertama merupakan
kode wilayah, 2 (dua) digit kode wilayah propinsi, 2 (dua) digit kode wilayah
kabupaten/kota, 2 (dua) digit kode wilayah kecamatan; 6 (enam) digit kedua
merupakan tanggal lahir pemegang NIK, 2 (dua) digit tanggal kelahiran (khusus
perempuan tanggal kelahiran ditambah 40), 2 (dua) digit bulan kelahiran, 2
(dua) digit tahun kelahiran; 4 (empat) digit terakhir merupakan nomor
urut/seri yang dikreasi oleh sistem (create by system).
Dasar pertimbangan
NIK berjumlah 16 digit, dimaksudkan: Sebagai kunci akses data, untuk
verifikasi dan validasi, dan sebagai sarana pengendali serta sarana untuk
mencegah pemalsuan dokumen (dokumen ganda). Formulasi NIK harus
bersifat unik, tunggal dan berlaku sepanjang masa. NIK diterbitkan setelah
dilakukan pencatatan biodata penduduk sebagai dasar penerbitan KK dan KTP
pada instansi pelaksana tempat domisili yang bersangkutan.
Beberapa hal yang

perlu dipahami mengenai Kartu keluarga (KK) adalah: pertama setiap


penduduk dicatat hanya dalam 1 satu Kartu Keluarga; kedua nomor KK
diterbitkan secara otomatis melalui proses komputerisasi Sistem Informasi
Administrasi Kependudukan (SIAK), merupakan milik dari KK dan merupakan
bukti bahwa data keluarga telah dihimpun di Bank Data Kependudukan
Nasional; ketiga KK diterbitkan pemerintah kabupaten/kota, ditandatangani
oleh pejabat yang ditunjuk/diberi kewenangan oleh Bupati/Walikota dan
Gubernur untuk Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Nomor KK juga terdiri
dari 16 digit dan penetapan nomor KK dilakukan dengan menggunakan kombinasi
variabel kode wilayah, tanggal pencatatan dan nomor seri keluarga. Komposisi
nomor KK diatur sebagai berikut:
Pertama 6 (enam) digit pertama
merupakan kode wilayah penerbitan Nomor KK: a) kode wilayah propinsi
sejumlah 2 (dua) digit, yaitu digit ke ke-1 dan ke-2 adalah nomor urut propinsi; b)
kode wilayah kabupaten/kota sejumlah 2 (dua) digit ke-3 dan ke-4, dua digit
tersebut merupakan nomor urut kabupaten/kota dalam suatu propinsi, dengan
rincian kode wilayah kabupaten yang dimulai dari 01 sampai dengan 69 dan kode
wilayah kota yang dimulai dari 71 sampai 99; c)
62
kode wilayah kecamatan
sejumlah 2 (dua) digit, yaitu digit ke-5 dan ke-6, dua dijit tersebut merupakn
nomor urut kecamatan dalam suatu kabupaten/kota.
Kedua 6 (enam) dijit
kedua merupakan tanggal perekaman pemohon (tanggal pencatatan) Nomor
KK: a) tanggal pemasukan data sejumlah 2 (dijit) yaitu dijit ke-7 dan ke-8; b)
bulan pemasukan data sejumlah 2 (dua) dijit yaitu dijit ke- 9 dan ke-10, c)
tahun pemasukan data sejumlah 2 (dua) dijit yaitu digit ke 11 dan ke-12.
Ketiga 4 (empat) dijit terakhir merupakan nomor urut penerbitan KK yang
diproses secara otomatis dengan komputer.
Nomor KK diberikan oleh
pemerintah setelah biodata Kepala Keluarga direkam dalam bank data
kependudukan nasional menggunakan Sistem Informasi Administrasi
Kependudukan.
Pendaftaran penduduk menggunakan KK, dimulai dari surat
keterangan lahir yang merupakan suatu rantai awal dari suatu rangkaian
yang akan bermuara pada social, ekonomi, pemerintahan dan sebagainya. Dari
surat keterangan lahir seseorang akan dapat akte kelahiran, dengan akte kelahiran
seseorang akan bisa masuk sekolah, apabila sudah berumur 17 tahun bisa
mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dengan KTP seseorang bisa
mendapatkan Surat Ijijn Mengemudi (SIM), serta hal-hal lain yang terkait
dengan seluruh aktifitas kehidupan. Dengan demikian, apabila seseorang
melalaikan pendaftaran penduduk, maka seluruh aktifitas kehidupan
terganggu. Dengan KTP pula seseorang dapat mendaftar untuk suatu pekerjaan,
setelah mendapat pekerjaan gaji yang diterima harus dilaporkan, untuk dipotong
pajaknya dan juga sebagai bahan pertimbangan untuk perpanjangan KTP
selanjutnya. Apabila seseorang tidak mau melaporkan gajinya karena takut
dipotong pajak, orang tersebut akan beresiko untuk tidak dapat diperpanjang
KTP. Untuk mendapat surat pindah harus memiliki KTP didaerah asal, untuk
memiliki sesuatu misalnya kendaraan bermotor, rumah, tanah dan lain
sebagainya harus memiliki KTP yang merupakan urat nadi kehidupan (social,

ekonomi, budaya, agama, masyarakat, pemerintahan dan sebagainya).


Dalam bab II undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan dikatakan hak dan kewajiban penduduk sebagai berikut: dalam
pasal 2 dinyatakan bahwa setiap penduduk mempunyai hak untuk memperoleh
dokumen penduduk, pelayanan yang sama dalam pendaftaran penduduk dan
63
pencatatan sipil, pelindungan atas data pribadi, kepastian atas
kepemilikan dokumen, informasi mengenai data hasil pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil atas dirinya dan/atau keluarganya, dan ganti rugi dan pemulihan
nama baik sebagai akibat kesalahan dalam pendaftaran penduduk dan
pencatatan sipil serta penyalahgunaan data pribadi oleh instansi pelaksana.
Sedangkan dalam pasal 3 dan 4 adalah kewajiban penduduk, yaitu :
Setiap
penduduk wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting
yang dialaminya kepada instansi pelaksana dengan memenuhi persyaratan
yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil;
Warga
Negara Indonesia yang berada diluar wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia wajib melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang
dialaminya kepada instansi pelaksana pencatatan sipil negara setempat
dan/atau kepada perwakilan Republik Indonesia dengan memenuhi persyaratan
yang diperlukan dalam pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Selanjutnya
setiap penduduk wajib memiliki nomor induk kependudukan (NIK), yang berlaku
seumur hidup dan selamanya, yang diberikan oleh pemerintah dan diterbitkan
oleh instansi Pelaksana kepada setiap penduduk setelah dilakukan pencatatan
biodata. NIK dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dijadikan
dasar penerbitan paspor, surat ijin mengemudi, nomor pokok wajib pajak, polis
asuransi, sertifikat hak atas tanah, dan penerbitan dokumen identitas lainnya
Berdasarkan pertimbangan tingkatan pemerintahan dan kewenangan undangundang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 13 dan
14, urusan administrasi kependudukan (kependudukan dan catatan sipil)
merupakan urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah.
Penduduk Indonesia saat ini diperkirakan berjumlah kurang lebih 230 juta jiwa
(angka prediksi dari sensus 2000 penduduk Indonesia 206.264.595, dengan laju
pertumbuhan penduduk Indonesia masih sekitar 1,49 %) yang tersebar di 17.508
pulau, 33 Propinsi, 457 Kabupaten/Kota dengan luas wilayah 1.860.359,67 km2
Oleh karenanya sangat diperlukan kode wilayah yang menggambarkan struktur
NIK tersebut.
C. Penutup
Dari kajian tersebut diatas sangat nyata
terlihat bahwa pendaftaran penduduk merupakan ujung tombak dari ketertiban
administrasi kependudukan karena satu nomor berupa Nomor Induk
kependudukan (NIK) adalah satu
64
identitas yang berlaku sepanjang masa
bagi setiap penduduk Indonesia baik yang berada didalam negeri maupun yang
berada diluar negeri. Untuk mewujudkan amanat undang-undang nomor 23
tahun 2006 tentang administrasi kependudukan tersebut diperlukan kemauan
dan disiplin yang tinggi bagi penduduk sendiri secara pribadi maupun aparat
pelaksananya.
65
PENANGANAN MASALAH ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN
DALAM UPAYA PENINGKATAN PELAYANAN MASYARAKAT Oleh : Dra. Bertha Lubis,

M.Si
ABSTRAK
Kewarganegaraan dan sumber daya manusia sebagai salah
satu bagian integral dari pembangunan nasional mendapatkan perhatian khusus
bertujuan untuk memberdayakan masyarakat , tumbuh inisiatif , kreativitas
dan meningkatkan partisipasi masyarakat . Juga menegaskan pentingnya
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin membaik
, pengembangan kehidupan demokrasi , keadilan dan kesetaraan . Sebuah
dinamika yang luar biasa dari politik lokal , masalah asli yang sering muncul pada
pemilihan kepala daerah , peningkatan 110 kabupaten / kota sejak konstitusi
Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan , masalah kewarganegaraan yang berdimensi
luas dan bervariasi, variasi konsep dan implementasi kewarganegaraan
kebijakan dan singkatan unclearly dan pelaksanaan kewarganegaraan dan
kebijakan sumber daya manusia oleh karena itu perlu untuk mengadakan
repotition peran dan reactuation sekali lagi dalam pelaksanaan kewenangan
di lapangan kewarganegaraan . Penulisan ini mencoba untuk memberikan
singkatan alternatif pada pengambilan kebijakan untuk masalah di atas.
A.
PENDAHULUAN
Kependudukan dan sumber daya manusia sebagai salah
satu bagian integral pembangunan nasional, nampak mendapat perhatian
khusus dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Hal ini dapat diketahui
dari tujuan yang ingin dicapai yaitu memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa, kreativitas, dan meningkatkan peran serta masyarakat.
Disamping itu ditegaskan juga tentang pentingnya peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan
demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Dari rumusan yang terserak dalam
beberapa bagian undang-undang tersebut menunjukkan bahwa kependudukan
dan sumber daya manusia merupakan sentral perhatian penyelenggaraan
pemerintahan.
Dalam berbagai dokumen perencanaan pembangunan, sector
kependudukan dan sumber daya manusia juga menjadi prioritas, bernilai
strategis tinggi dan bahkan dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan
pembangunan. Gambaran tersebut sekaligus mencerminkan rumitnya
permasalahan
66
kependudukan dan sumber daya manusia serta tujuan yang
ingin dicapai dalam pembangunan nasional.
Hal ini semakin jelas bila
menelusuri makna dan substansi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000
tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Bidang kependudukan secara eksplisit merupakan salah satu bidang
kewenangan pemerintah.
Kendati terbatas karena hanya meliputi enam
kewenangan dan cakupannya seputar penetapan pedoman, fasilitas, dan
penetapan kebijakan, namun maknanya begitu mendasar. Untuk itu tidak tepat
bila dikatakan bahwa bidang- bidang kewenangan yang lain tidak ada sangkut
pautnya dengan kependudukan dan sumber daya manusia, sebab bila
direntang dan diurai secara implisit memperlihatkan bahwa kewenangan
pemerintah di 24 bidang lainnya dan 20 bidang kewenangan propinsi pada
akhirnya bermuara pada aspek-aspek mendasar dalam pembangunan bidang
kependudukan dan sumber daya manusia.
Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 juga menegaskan bahwa kebijakan perencanaan dan pengendalian

pembangunan makro nasional serta pembinaan dan pemberdayaan sumber daya


manusia merupakan kewenangan pemerintah (Pusat). Formulasi seperti itu
merupakan kebijakan yang selaras dengan salah satu tujuan otonomi daerah
yakni memperkuat ikatan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik. Alasannya, pengertian daerah (Daerah Otonom) termasuk
penduduk yang ada di daerah. Secara kumulatif berjenjang, merupakan
penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan salah satu syarat
eksistensi negara adalah adanya penduduk.
Untuk itu kewenangan bidang
kependudukan menyangkut seputar penetapan pedoman, fasilitas, dan
penetapan kebijakan, merupakan alat kendali yang memang lebih tepat berada
di pusat. Namun perlu diderivasi dan diterjemahkan dalam kebijakan teknis,
sektoral, struktural, dan kewilayahan.
Hal ini penting diprioritaskan sebab
upaya memperkuat dan memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah bukannya tanpa masalah. Fenomena disharmoni
sekarang ini tidak hanya mencuat dalam pengertian antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah namun juga antar
penduduknya. Untuk itu tidak berlebihan bila dikatakan bahwa negara kita
sedang menghadapi masalah besar yang bisa mengancam integrasi nasional.
Ketika kesenjangan dan disparitas antara pusat
67
dan daerah, antar
daerah, antar desa, antara desa-kota, antara Jawa dan luar Jawa masih tetap
berlangsung malahan semakin diperkaya dengan tumbuh suburnya egoisme
antar daerah. Kecenderungan baru tersebut jelas ikut mewarnai pelaksanaan
otonomi daerah. Tidak mustahil dalam jangka panjang bukannya semakin
dekat dengan tujuan yang ingin dicapai. Bisa jadi malah sebaliknya karena
sebagian masyarakat juga melengkapi kerumitan tersebut dengan cara
memanfaatkan sebagai sarana efektif meraih tujuan kelompok padahal tanpa
sadar telah ikut menebarkan virus etnonasionalisme" dan gerak sentrifugal
lainnya.
Adapun pokok permasalahan kegiatan penyusunan pedoman
kebijakan penanganan kependudukan dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintahan umum adalah : 1. Semakin meningakatnya jumlah kabupaten/kota
sejak Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 diterapkan sampai akhir tahun 2013
bukanlah fenomena dinamika politik lokal yang wajar. Demikian pula isu putra
daerah yang acap kali muncul dalam pemilihan kepala daerah, digunakannya
isu yang sama untuk menyingkirkan lawan politik dan dipakai oleh sebagian
yang lain sebagai senjata untuk memperlancar karier dalam birokrasi,
merupakan berita yang nyaris tanpa henti. Padahal substansi keduanya
adalah untuk memperbesar peluang meraih jabatan tanpa bersusah payah
padahal itu tidak lebih sebagai cerminan ketidaksiapan untuk berkompetisi
secara terbuka. Kesemuanya merupakan dimensi baru yang terkait dengan bidang
kependudukan dan sumber daya manusia. Tindakan kontraproduktif dan tidak
menguntungkan pembangunan tersebut tidak akan berhenti walaupun
pelaksanaan otonomi daerah semakin bertambah usia; 2. Bila diurai maka hal ini
muncul tidak lepas dari perubahan mendasar tentang pembagian, pembentukan,

dan susunan daerah sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 32 Tahun


2004, namun disikap oleh sebagian masyarakat tidak proporsional bahkan
distroti ; 3. Dari sifatnya, sebagian permasalahan berjangka pendek bahkan
sesaat manifes dan relatif mudah diselesaikan. Sedangkan yang lain
cenderung berjangka panjang, laten, relatif sulit dideteksi dan diatasi karena
dampak langsung dalam jangka pendek tidak begitu dirasakan sehingga
kurang menjadi perhatian dan prioritas daerah, Padahal dalam kurun waktu
lama akan menjadi manifes, menciptakan kesulitan dan kerumitan kumulatif,
multidimensional, melemahkan daya tahan dan daya saing sebagai bangsa.
68
Kata kunci untuk memahami hal tersebut adalah terletak pada kejelasan
kebijakan normatif dan tehnis dalam pembagian kewenangan bidang
kependudukan. Konteks kewenangan pemerintahan bidang kependudukan
secara substantive bisa dilihat dari aspek sumber daya manusia sebagal
modal, potensi, dan nilai strategis pembangunan. Mustahil bahwa perencanaan
pembangunan pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sector lainnya akan
terumuskan secara baik tanpa didukung oleh kompilasi data kependudukan yang
valid dan komprehensif. Dari dimensi politik kompilasi data kependudukan
tersebut merupakan input utama dalam pembangunan politik agar tercipta
pemerintahan yang legitimed, aspiratif, dan demokratis. Tanpa adanya
kejelasan jumlah penduduk dan memilih. Niscaya kebijakan pembangunan
politik sulit dirumuskan, pendidikan, sosialisasi, dan partisipasi politik, sarana
dan media yang dibutuhkan serta proses pelembagaan politik melalui pemilu
yang luber dan jurdil sebagai agenda politik nasional dan ajang seleksi
kepemimpinan, pergantian aktor politik secara regulatif, siklus kepemimpinan
secara periodik, proses politik yang lebih berbudaya dan bermartabat akan
semakin sulit diwujudkan; 4. Begitu luas cakupan dan beragamnya dimensi
yang menjadi perhatian bidang kependudukan dan sumber daya manusia,
menjadikan pemerintah, propinsi, dan kabupaten/kota perlu melakukan reposisi
dan reaktualisasi peran dalam penyelenggaraan kewenangan
bidangkependudukan. Untuk itu identitikasi dan telaah normatif, kepustakaan dan
empirik tentang kebijakan kependudukan dalam kerangka penyelenggaraan
pemerintahan umum perlu dirumuskan; 5. Adanya keanekaragaman konsep
dan implementasi kebijakan kependudukan dan sumber daya manusia yang
semakin mengarah pada penguatan kepentingan sektoral, namun
menimbulkan duplikasi dan memperlemah tujuan pembangunan kependudukan
dan sumber daya manusia; 6. Kurang jelasnya perumusan dan implementasi
kebijakan pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan umum bidang
kependudukan yang dilakukan pemerintah, propinsi, dan kabupaten/kota.
Untuk
mempertegas, memperjelas, dan memperkuat peran gubernur, bupati/walikota
beserta jajarannya dalam pelaksanaan penyelenggaraan masalah
kependudukan.
69
Hasil kegiatan penanganan kependudukan dalam
kerangka pelayanan masyarakat adalah: 1. Sebagai input perumusan kebijakan
agar diperoleh ketepatan format, ruang lingkup, proses dan mekanisme
kebijakan penanganan masalah kependudukan, sesuai dengan kebutuhan

sekarang dan masa mendatang khususnya dalam penyelenggaraan


pemerintahan; 2. Sebagai salah satu upaya untuk reposisi dan reaktualisasi peran
pemerintah, propinsi, dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan penyelenggaraan
kewenangan bidang kependudukan; 3. Sebagai tindak lanjut untuk memperkuat
kebijakan nasional bidang kependudukan dan sumber daya manusia dalam
pembangunan yang mengarah pada keserasian hubungan antara pusat dan
daerah serta antara daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Transformasi global mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar dan
menyeluruh, yang mengharuskan pemerintah mengkaji peranannya kembali
(Kettl, 2000) Salah satu strategi yang ditempuh pemerintah adalah dengan
melakukan devolusi, yang dalam lingkungan lembaga-lembaga pemerintah
dimanifestasikan dalam kebijakan otonomi.
Kebijakan publik (public policies)
dirumuskan oleh Richard Rose (Dunn, 1998:109) merupakan rangkaian pilihan
yang kurang lebih saling berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk
bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah. Kemudian Denhart
(1995:35) merumuskan kebijakan publik sebagai pernyataan resmi dari
pejabatpejabat pemerintah yang legitimite tentang permasalahan publik.
Sementara itu Dye (1978:4) mengemukakan bahwa kebijakan public adalah
sejumlah aktivitas pemerintah, baik secara langsung maupun melalui pejabatpejabatnya yang bertujuan untuk mempengaruhi kehidupan warga negaranya.
Jadi pada dasarnya kebijakan public merupakan kebijakan pemerintah yang
dilakukan untuk mencapai tujuantujuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah,
yaitu merespon isu publik, mengatur sesuatu dan menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi masyarakat. Kebijakan permasalahan
kependudukan merupakan bagian integral dari kebijakan publik secara
nasional. Hal itu dapat diamati dari deklarasi yang dihasilkan sejak
konferensi kependudukan sedunia tahun 1974 di Bucharest, dilanjutkan di
Mexico City tahun 1984 sampai dengan di Kairo pada tahun 1994 yang
secara
70
konsisten menekankan bahwa integrasi kebijakan kependudukan
dan kebijakan lain secara nasional merupakan hal yang penting.
Berkaitan
dengan intregasi kebijakan penanganan masalah kependudukan ke dalam
kebijakan nasional, argumentasi yang paling dasar dapat dilacak dari alasan
rasional mengapa diperlukan kebijakankebijakan masalah kependudukan :
Pertama, salah satu fungsi pemerintah adalah menciptakan kesejahteraan
masyarakat bagi seluruh penduduknya. Ini merupakan tujuan paling mendasar
dari setiap kebijakan nasional. Kedua, perilaku demografi (demographic
behavior) terdiri dari sejumlah tindakan individu. Ketiga, tindakan tersebut
merupakan usaha untuk memaksimalkan utilitas atau kesejahteraan individu.
Keempat, kesejahteraan masyarakat tidak selalu merupakan penjumlahan dari
kesejahteraan individu. Kelima, oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung
jawab untuk berusaha mengubah situasi dan kondisi sehingga mempengaruhi
persepsi tentang kesejahteraan individu dan pada akhirnya kesejahteraan
Masyarakat sama dengan penjumlahan dari kesejahteraan individu (Sukamdi,
1999). Perlu dipahami bahwa kebijakan kependudukan hanya salah satu dari

seperangkat kebijakan publik lainnya dalam rangka menciptakan kondisi yang


kita inginkan. Oleh karena itu kebijakan kependudukan harus diletakkan
sebagai bagian integral dari kebijakan pembangunan pada umumnya.
Kebijakan publik bidang kependudukan dalam konteks tulisan ini merupakan
usaha pemerintah untuk mengubah kondisi sosial kependudukan tertentu yang
diperkirakan akan mempunyai akibat yang kurang menguntungkan dalam
kerangka menciptakan stabilitas nasional yang pada akhirnya memberikan
kontribusi yang sangat berarti dalam mewujutkan kesejahteraan masyarakat
secara menyeluruh. Misalnya masalah pergeseran paham yang berdampak
mengemukanya sifat kesukuan secara fanatik, yang akan berakibat
terciptanya keadaan chaos yang menimpa sebagian wilayah Indonesia yang
berakibat lanjut terusirnya sebagian penduduk kewilayah lain. Contoh lain,
kecenderuang bermigrasi kedaerah lain, yang menurut teori klasik bahwa
alasan utama penduduk bermigrasi adalah disebabkan ekspansi dan ekonomi,
sedangkan menurut teori migrasi kontemporer pada umumnya migrasi
penduduk berkaitan erat dengan faktor pendorong dan factor penarik.
71
1.
Faktor penarik : a. Adanya daya tarik (superior) di tempat daerah tujuan untuk
memperoleh kesempatan kerja seperti yang diinginkan; b. Kesempatan untuk
mendapatkan pendapatan yang lebih baik; c. Kesempatan memperoleh
pendidikan yang lebih baik sesuai yang diinginkan; d. Kondisi daerah tujuan
yang lebih unggul/menyenangkan, iklim, sekolah, perumahan, dan fasilitas lain;
Daya tarik aktivitas daerah tujuan, tempat hiburan, wisata, dan lain lain. 2.
Faktor pendorong : a. Makin berkurangnya sumber daya alam dan kebutuhan akan
bahan; baku di daerah asal, melimpahnya sumber daya alam dan bahan
baku di daerah tujuan; b. Berkurangnya kesempatan kerja di daerah asal; c.
Adanya tekanan-tekanan di daerah asal (etnis, agama, dan keamanan); d.
Bencana alam, wabah penyakit.
Ruang lingkup penanganan masalah
kependudukan dalam kerangka pelayanan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam kajian ini adalah bagaimana bentuk keanekaragaman konsep dan
implementasi kebijakan kependudukan, deskripsi ketidakjelasan peran
pemerintah, propinsi, kabupaten/kota dalam bidang kependudukan, sebab
ketidak-efektifan pusat dalam implementasi kebijakan kependudukan, sebab
ketidakjelasan proses dan mekanisme-mekanisme penyusunan, kompilasi, dan
pelaporan masalah kependudukan, serta aspek-aspek ketidakjelasan ruang
lingkup dan sebab ketidaksesuaian dengan kebutuhan pembangunan dan
tantangan ke depan.
Pembahasan pada metode tulisan ini lebih diarahkan
pada pemilihan lokasi yang dapat mewakili keadaan penduduk yang
berbedabeda di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengumpulan
data primer dan sekunder, serta diskusi kelompok terfokus dari bagian yang
menangani masalah-maslah sektoral. Analisis data dilakukan dengan metode
diskriptif kualitatif dengan mempelajari gejala kependudukan yang tampak
untuk selanjutnya analisa diarahkan untuk menemukan dan menentukan
kebijakan yang tepat tentang format dan ruang lingkup serta serta proses
dan mekanisme penanganan kependudukan yang lebih sesuai dengan kebutuhan

sekarang dan mendatang.


72
B. PEMBAHASAN 1. Kevakuman
Perundangan Bidang Kependudukan
Sampai saat ini administrasi
kependudukan dan catatan sipil masih menggunakan aturan lama dari
statblad jaman Belanda yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan
jaman. Meski ada peraturan yang lebih rendah yakni Kepmen, tetapi paying
perundangannya belum ada. Aturan statblad dinilai masih sangat diskrimanif,
misalnya terlihat pada pencatatan kelahiran yang tidak tepat waktu (akta
terlambat). Bagi WNI pribumi dan WNI keturunan terdapat perbedaan
persyaratan. Perbedaan tersebut nampak kasus : da ketentuan bahwa setiap
warga negara wajib akte Namun dalam terdapat diskriminasi antara WNI
keturunan dan WNI pribumi. Untuk WNI keturunan, yang terlambat mendaftar
akta harus meminta putusan pengadilan yang disahkan dengan Kepmendagri
lebih dahulu, sedang untuk WNI pribumi yang terlambat mendaftar hanya
cukup dengan keputusan walikota, yang biasanya kurang lebih hanya diperlukan
waktu 2 mingguan.
Selain terdapat kelemahan tersebut, untuk tertib tata
urutan perundangan, memang diperlukan payung yang kuat dalam
pengurusan kependudukan. Oleh karena itu daerah memandang perlu
diterbitkannya Undang-Undang Administrasi Kependudukan. a. Lingkup
Kewenangan dan Tupoksi Bidang Kependudukan yang Bervariatif
Sejak
disahkan Undang-Undang Pemerintah Daerah yakni UU No. 22 Tahun 1999 dan
PP No. 25 Tahun 2000 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004,
semangat otonomi mengemuka di persada nusantara. Dengan PP 84 Tahun
2000 dan PP 8 Tahun 2003 nomenklatur kelembagaan di setiap daerah
menjadi sangat beragam. Masalah tidak terdapat pada keragaman ini, tetapi
lebih pada operasionalisasi lingkup urusan kependudukan serta koordinasi
antar instansi dan antar daerah, baik sesama kabupaten/kota atau antara
propinsi dan kabupaten/kota. Identifikasi kewenangan bidang kependudukan
mulai dari pusat, propinsi sampai kabupaten/kota terlihat sebagai berikut : 1)
Pusat : Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 kewenangan
pemerintah dalam bidang kependudukan :
73
a) Penetapan pedoman
mobilitas kependudukan; b) Penetapan kebijakan, pengendalian angka
kelahiran dan penurunan angka kematian ibu, bayi, dan anak; c) Penetapan
pedoman dan fasilitasi peningkatan kesetaraan dan keadilan gender; d)
Penetapan pedoman pengembangan kualitas keluarga; e) Penetapan pedoman
perlindungan dan penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, anak,
dan remaja. 2) Propinsi : Kewenangan bidang kependudukan untuk tingkat
propinsi secara umum didasarkan pada Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, yakni : pelayanan kependudukan dan catatan
sipil.
Jabaran tugas pokok dan fungsi biro pemerintahan bidang
kependudukan terlihat pada sub bagian administrasi kependudukan yang
memiliki tugas : (1) Mengumpulkan dan menganalisa data administrasi
kependudukan, perumusan kebijaksanaan sistem informasi kependudukan
serta identitas penduduk; (2) Mengumpulkan bahan perumusan petunjuk
pelaksanaan catatan sipil di bidang standardisasi dan spesifikasi administrasi

dan pemrosesan ijin domisili sementara WNA; (3) Mengumpulkan bahan


perumusan petunjuk pengangkatan juru nikah/pembantu pegawai pencatat
perkawinan dan pengambilan sumpah notaris; (4) Mengumpulkan bahan
pemantauan dan pelaporan dibidang kependudukan; (5) Melaksanakan tugastugas lain yang diberikan oleh kepala bagian pemerintahan umum; a)
Propinsi Ada 3 kelembagaan yang mengurusi masalah kependudukan di
propinsi, yakni : Biro Pemerintahan dan Humas, Dinas Kependudukan dan
Transmigrasi serta Badan Pengolahan Data Elektronik. Berikut gambaran dari
tugas masing-masing unit kerja tersebut.
74
(1) Biro Pemerintahan dan
Humas : Bagian Pemerintahan Umum dan Otronomi Daerah pada Biro
Pemerintahan dan Humas ini terdiri dari : (a) Sub Bagian Pemerintahan Umum
(b) Sub Bagian Otonomi Daerah (c) Sub Bagain Tata Usaha Biro (1) Sub
Bagian Pemerintahan Umum mempunyai tugas melaksanakan pekerjaan dan
kegiatan yang berkenaan dengan pembinaan pengembangan, pengangkatan
dan pemberhentian perangkat daerah, pemekaran wilayah, survey, pemetaan
dan penetapan Tata Batas wilayah antar propinsi dan antar kabupaten/kota,
menyelesaikan sengketa batasan wilayah, tugas umum pemerintahan
(keamanan, ketentraman masyarakat, pertanahan, kependudukan, dan catatan
sipil). (2) Dinas Kependudukan dan Transmigrasi :
Jabaran dari kewenangan
bidang kependudukan di Dinas Kependudukan dan Transmigrasi Propinsi
masih belum menampakkan cakupan kewenangan bidang kependudukan pada
tingkat propinsi. Pada Sub Din Kependudukan terdapat 4 seksi, yakni : (a)
Sie Pengumpulan dan Analisa Data (b) Sie Administrasi dan Sistem Informasi Data
Kependudukan (c) Sie Mobilitas dan Masalah Penduduk (d) Sie Persebaran dan
Penataan Penduduk.
Kegiatan yang berupa fasilitasi masalah kependudukan
pada Kabupaten/Kota justru sangat kurang. (3) Badan Pengolahan Data
Elektronik :
Salah satu seksi di Badan yakni : SEKSI ADMINISTRASI
KEPENDUDUKAN juga menangani masalah kependudukan terutama pendataan.
Awalnya menduplikasi kerja Dinas, namun akhir-akhir ini sudah berkoordinasi,
sehingga data base tetap di Dinas, sedang BPDE ikut memanfaatkan.
Akibat
penataan organisasi di era otda, nomenklatur lembaga tingkat propinsi dan
kabupaten/kota tidak seragam. Hal ini juga dikarenakan, pemahaman lingkup
kerja dan penamaan unit organisasi beragam/(tidak ada kesepahaman).
Kondisi ini
75
mengakibatkan terjadinya perbedaan lingkup tupoksi dari
setiap dinas dan juga urusan. Di Propinsi urusan kependudukan (baik
umum/manajerial maupun keadministrasian ditangani oleh beberapa pihak,
yakni : (a) Biro Pemerintahan dan Hubungan Masyarakat (b) Dinas
Kependudukan dan Transmigrasi (c) Badan Pengolahan Data Elektronik
(d)
Kabupaten/Kota :
Sementara itu, di setiap kota/kabupaten juga terdapat
ketidak konsistenan nomenklatur dengan propinsi, sehingga mempersulit
koordinasi. Ketidakjelasan lingkup ini mempengaruhi cakupan tupoksi urusan
kependudukan di tiap kabupaten/kota. Di Kota/kab, penamaan dinas yang
mengurus kependudukan menyempit menjadi DINAS PENDAFTARAN
PENDUDUK. Padahal lingkup kependudukan tidak hanya pendaftaran/registrasi

penduduk. Dari namanya tidak termasuk di dalamnya urusan penataan


penduduk dan kebijakan kependudukan yang lain. Bila disepakati Dinas
Kependudukan dan Transmigrasi menginginkan lingkup tugas kependudukan
pada dinas-dinas di kabupaten/kota meliputi : (a) Pendaftaran penduduk (b)
Pencatatan sipil (c) Bank data kependudukan (d) Fungsi-fungsi penataan
kependudukan lainnya. (e) Lemahnya Kelembagaan Kependudukan.
Pengurusan kependudukan di Indonesia ditangani oleh kelembagaan atau
instansi yang sangat beragam, dimana masingmasing kelembagaan tersebut
belum mempunyai keterpaduan dalam kepengurusan. Sebagai contoh misalnya
dalam penyelenggaraan pendaftaran penduduk, pencatatan sipil serta
pengelolaan informasi dalam kerangka Sistem Administrasi Kependudukan
(SAK) ditangani secara terpisah-pisah oleh beberapa instansi belum diarahkan
untuk penghimpunan data penduduk yang terpadu.
Dapat diidentifikasi disini
dari sisi instansi/kelembagaan di tingkat kabupaten/kota yang menangani
administrasi kependudukan: (a) Dinas Kependudukan di pemerintah
kabupaten/kota, menangani pendaftaran kejadian pindah datang internal.
76
(b) Kantor Imigrasi, menangani pindah datang internasional (c) Kantor Catatan
Sipil, pencatatan kelahiran dan kematian. (d) Kantor Urusan Agama, pencatatan
perkawinan dan perceraian penduduk yang beragama Islam.
Kelembagaan
tersebut masih ditambah dengan kelurahan atau desa untuk peristiwa lahir
mati pada peristiwa yang tidak dikukuhkan dengan akte kelahiran. Kelembagaan
di tingkat pusat untuk pengelolaan administrasi kependudukan tertuang
dalam Keputusan Presiden Nomor 102 dan 109 tahun 2001 tentang Susunan
Organisasi Departemen dan Eselon I.
Berdasarkan Kepres tersebut di
Departemen Dalam Negeri telah dibentuk Direktorat Jendral Administrasi
Kependudukan.
Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan sesuai
Kepmendagr No. 40 tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Dalam Negeri bertugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan
serta standarisasi teknis di bidang administrasi kependudukan. Tugas ini diperinci
lagi ke dalam fungsi-fungsi mulai dari menyiapkan perumusan kebijakan,
pelaksanaan kebijakan serta perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan
prosedur di bidang pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan
informasi, perkembangan/dinamika serta proyeksi dan penyerasian kebijakan
kependudukan.
Perlu ditekankan bahwa pemerintah pusat sesuai dengan
Undang- Undang No 32 tahun 2004 kewenangannya terbatas pada penetapan
pedoman administrasi kependudukan, yang dalam pelaksanaannya diserahkan
kepada Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan.
Selain Ditjen
Administrasi Kependudukan, pada level pemerintah pusat kepengurusan
kependudukan juga ditangani oleh Ditjen Pemerintahan Umum, yang
kewenangannya di luar dari apa yang telah dimiliki oleh Ditjen Administrasi
Kependudukan.
Dilihat dari aspek kelembagaan terdapat kelemahan dalam
pengurusan kependudukan di Indonesia. Dari sisi sejarah dapat dilihat
kelembagaan bidang kependudukan di tingkat pusat yang jatuh bangun,
dimulai adanya Kementerian Kependudukan sampai bentuk Badan

Kependudukan yang akhirnya sekarang hanya pada tingkat Direktorat Jendral. Dari
sisi kepentingan pengembangan kepengurusan kependudukan baik dari sisi
kuantitas maupun kualitas sudah semestinya kelembagaan yang sekarang adalah
pada tingkat Departemen.
77
C. KASUS-KASUS KHUSUS :
Pendatang
(migran). Adanya kemajuan teknologi, penyebaran informasi dan revolusi
transportasi menyebabkan semakin banyaknya akses yang dimiliki penduduk
untuk melakukan mobilitas. Semakin maju suatu negara, mobilitas penduduk
akan semakin meningkat pula karena orang akan memiliki banyak akses
informasi ke mana harus melakukan perpindahan. Mobilitas penduduk
memerlukan fasilitas dan informasi, seperti pada kasus komposisi persebaran
penduduk yang masih berpusat di kawasan barat indonesia. Mobilitas tidak akan
bermakna tanpa diikuti oleh adanya kekuatan penarik (pull factors) seperti pada
aspek ekonomi dan investasi (Nurdin, 2000:13).
Masalah migrasi penduduk
merupakan masalah yang akan terus terjadi selama terjadi ketimpangan
pembangunan antara satu wilayah dengan wialyah lain. Migrasi masuk ke kotakota besar akan menyebabkan daya dukung kota yang bersangkutan akan
menjadi berkurang, sehingga muncul berbagai masalah yang perlu mendapatkan
penanganan, seperti meningkatnya kriminalitas, munculnya pemukiman kumuh
dan sebagainya.
Migran masuk yang tidak terkendali merupakan fenomena
yang terjadi dalam kota-kota besar. Dampak yang ditimbulkan oleh migran
masuk diantaranya menyebabkan daya dukung kota yang berkurang,
meningkatnya kriminalitas dan rusaknya lingkungan kota.
Permasalahan
urbanisasi/migrasi masuk penduduk ke kota besar belum dapat diatasi oleh
pemerintah kota setempat, karena pelarangan pemerintah kota setempat
kepada penduduk untuk memasuki wilayah kotanya berarti melanggar HAM.
Undang-Undang Hak Azasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999 yang menyatakan
bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak,
berpindah dan bertempat tinggal dalam wilayah kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan UU tersebut maka Pemerintah daerah tidak boleh melarang
seseorang untuk berpindah tempat, pihak daerah hanya mengatur tata tertib dan
persyaratan administratif, meskipun demikian Pemerintah Daerah sangat sulit
untuk mencatat/merekam dan mengidentifikasi secara akurat volume, arus
migrasi, dan sifat migran.
Kebijakan yang ditempuh adalah melakukan kerja
sama dengan Pemerintah Propinsi (Biro Pemerintahan Umum). Pemerintah
propinsi mengundang pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan,
kemudian pemerintah kota yang menjadi daerah tujuan bagi kaum migran
memberikan
78
penjelasan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penduduk
yang ingin masuk ke kota tersebut.
Pemerintah propinsi melakukan fasilitasi
kepada pemerintah kota yang ingin memberikan penjelasan tentang
persyaratan yang diperlukan bagi penduduk luar daerah yang ingin bekerja di
kota tersebut.
Kebijakan yang perlu diterapkan untuk mengarahkan mobilitas
penduduk ini lebih difokuskan pada mengarahkan arus migrasi dari daerah padat
penduduk ke daerah kurang padat. Usaha ini dapat juga dilakukan dengan
mengurangi push factors di pedesaan. Sementara itu masalah administrasi

yang berkait dengan pendatang ini antara lain terlihat dari banyaknya
pendatang tanpa dilengkapi persyaratan yang telah ditentukan daerah tujuan,
antara lain : surat pindah, Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan uang
penjaminan yang ditetapkan pemda setempat.
1. pengungsi dan eksodan eks
transmigran dari daerah konflik. Pada dasarnya dalam pandangan admiistrasi
kependudukan (registrasi penduduk), pengungsi adalah pendatang yang
umumnya tidak dilengkapi dengan persyaratan sebagaimana persyaratan
pendatang baru. Tanpa dilengkapi persyaratan pindah, para pengungsi
tersebut mempersulit proses pencatatannya. Kasus ini menunjukkan bahwa
umumnya mereka masih belum tersentuh pengaturan pencatatan dengan
aturan baku. Yang dilakukan oleh pemda umumnya sharing antara
pemerintah Kabupaten / Kota dengan Pemerintah Propinsi dalam hal bantuan
kesejahteraan. Bila para pengungsi bersdia dimukimkan, Pemerintah Propinsi
memberikan bantuannya. Sampai saat ini sebenarnya belum ada kejelasam
peran pemerintah pusat, propinsi dan Kabupaten / Kota dan pengurusan
pengungsi, baik kesejahteraannya maupun administrasi kependudukannya. Konflik
timor timur yang berakhir dengan lepasnya propinsi tersebut dari NKRI
mensisakan masalah berupa pengungsi yang terdiri dari para para bekas
transmigran, demikian pula konflik Aceh sampai saat penelitian masih
mendatangkan pengungsi mantan trasmigran ke daerah-daerah sekitarnya.
Bagaimana bentuk pembagian peran dan prosedur administrasinya bagi
daerah masih merupakan suatu pekerjaan yang belum jelas dan dirasa perlu
dilakukan. Sementara itu secara nasional mestinya harus segera mendapat
pengaturan yang baik, mengingat keberadaan mobilitas mereka mengganggu
sistem administrasi kependudukan (tidak tercatat atau pencatatan ganda).
79
2. pengawasan orang asing, bertujuan untuk menunjang tetap
terpeliharanya stabilitas dan kepentingan nasional, kedaulatan negara,
keamanan dan ketertiban umum dan kewaspadaan terhadap segala dampak
negatif yang timbul akibat perlintasan orang antar negara, keberadaan dan
kegiatan orang asing di wilayah Negara Republik Indonesia (UU No. 9 tahun
1992). Bentuk pengawasan pada orang asing meliputi 2 hal, yakni : a.
Pengawasan administratif yaitu pengawasan yang dilakukan melalui penelitian
surat-surat atau dokumen, berupa pencatatan, pengumpulan, pengolahan data
dan penyajian maupun penyebaran informasi keberadaan dan kegiatan orang
asing, dan b. Pengawasan lapangan, yakni pengawasan yang dilakukan
berupa pemantauan, patroli, razia dengan mengumpulkan bahan keterangan,
pencarian orang dan alat bukti yang berhubungan dengan tindak pidana
keimigrasian. c. Pelaksanaan pengawasan administratif dilakukan oleh pejabat
imigrasi dalam rangka pemberian pelayanan keimigrasian, terdiri dari : 1)
Pemberian visa di perwakilan Republik Indonesia 2) Pemberian ijin masuk di
tempat pemeriksaan imigrasi 3) Pemberian ijin masuk kembali 4) Pemberian
tanda bertolak 5) Pemberian ijin keimigrasian, perpanjangan dan alih status
ijin keimigrasian 6) Pemberian kemudahan khsusus keimigrasian (Dahsuskim)
7) Pemberian surat keterangan keimigrasian d. Pengawasan lapangan yaitu suatu

bentuk pengawasan represif berupa kegiatan pengawasan tindak lanjut dari


pengawasan administratif, berupa : 1) Pemantauan keimigrasian 2)
Pemeriksaan, sebagai tindak lanjut dari pemantauan keimigrasian 3) Pengawasan
4) Pembututan 5) Penyusupan e. Dalam rangka pengawasan lapangan
berupa pemantauan, pejabat imigrasi berwenang : 1) mendapatkan keterangan
dari masyarakat atau instansi pemerintah
80
2) mendatangi tempat-tempat
atau bangunan yang diduga dapat ditemukan bahan keterangan mengenai
keberadaan dan kegiatan orang asing dan atau memeriksa surat perjalanan
atau dokumen keimigrasian orang asing.
Terhadap orang yang memberikan
kesempatan menginap di tempat kediamannhya, mempunyai kewajiban
melaporkan ke kantor polisi setempat, dan bagi penanggungjawab
penginapan wajib membuat buku tamu dan daftar isian orang asing.
Berkait
dengan pengawasan orang asing ini di beberapa lokasi penelitian kurang
terdapat pembagian peran dan tugas yang jelas antara pihak imigrasi dan
pemerintah daerah sampai ke keluarahan atau RW/ RT. 3. batas wilayah pada
permukiman transmigran di kawasan hutan di antara dua wilayah
adiminstratif.. Eforia otonomi daerah memberikan implikasi resistensi daerah
pada kepentingan yang bersifat antar daerah, Khususnya pada kawasan
permukiman transmigrasi yang berupa hutan seringkali dijumpai batas
wilayah yang kurang jelas. Masalah muncul ketika para transmigran yang
disatukan dalam satu kawasan permukiman harus diadakan pemisahan akibat
batas wilayah. Masalah ini kemudian menyulitkan pengadministrasian
penduduk, sementara pada umumnya mereka sulit untuk dipisah per batas
wilayah administrasi seperti kasus di perbatasan.
D. Kesimpulan
Pada
dasarnya masalah kependudukan dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) dimensi,
yakni : 1. Dimensi umum kependudukan, meliputi : a. Jumlah, distribusi dan
pertumbuhan penduduk b. Perkembangan fertilitas, mortalitas dan mobilitas c.
Komposisi penduduk d. Ketenagakerjaan e. Kualitas penduduk 2. Dimensi baru
kependudukan, antara lain : a. Perundangan, kewenangan dan kelembagaan b.
Perundangan : masih dirasa perlu adanya paying perundangan yang
mengatur secara nasional, yakni Undang-undang Kependudukan.
81
c.
Kewenangan yang secara eksplisit nampak pada tugas pokok dan fungsi (tupoksi)
dari unit-unit kerja dari berbagai tingkatan pemerintahan masih memperlihatkan
keanekaragaman lingkup yang mengakibatkan kekaburan lingkup tugas
kependudukan pada setiap instansi yang menangani. d. Kelembagaan :
selain masih ada kerancuan tupoksi antar instansi yang menangani, masalah
kependudukan juga masih ditangani oleh berbagai pihak yang kurang
terintegrasi dalam gerak langkahnya. 3. Kasus-kasus spesifik : a. Pendatang :
Pendatang yang tidak melengkapi diri dengan persyaratan seperti ketentuan
daerah asal masih sulit ditolak dan diadakan penagakan aturan. Sementara
itu masalah administrasi yang berkait dengan pendatang ini antara lain
terlihat dari banyaknya pendatang tanpa dilengkapi persyaratan yang telah
ditentukan daerah tujuan, antara lain : surat pindah, surat keterangan catatan
kepolisian (SKCK) dan uang penjaminan yang ditetapkan pemda setempat. b.

Pengungsi dan eks transmigran dari wilayah konflik : baik umum maupun
pengungsi dari bekas warga transmigran yang terpaksa harus keluar dari
wilayahnya karena alas an politik dan keamanan, masih belum optimal
penanganannya terutama pada aspek administrasinya. Dalam hal penanganan
kesejahteraannyapun masih terdapat ketidakjelasan peran pemerintah dari tiap
tingkatannya. c. pengawasan orang asing, : belum ada mekanisme baku
yang mengatur koordinasi antara imigrasi, kepolisian, pemda dan masyarakat. d.
batas wilayah pada permukiman transmigran di kawasan hutan : masih
terdapat kekaburan deliniasi batas wilayah administratif pada permukiman
transmigrasi terutama yang terdapat di kawasan hutan. e. batas wilayah pada
tanah oloran (pendangkalan sungai) : masih belum ada aturan baku
bagaimana menetapkan batas wilayah dari pendangkalan sungai (tanah
oloran) yang kemudian berubah fungsi jadi pemukiman. f. Sistem Administrasi
Kependudukan : masih belum operasionalnya SIAK menyebabkan
permasalahan administraasi kependudukan berlarut-larut. Sementara daerah
akan mengembangkan sistem sendiri masih gamang, selain harga yang
mahal juga kekawatiran bila tidak dapat terintegrasi dengan sistem yang akan
dikembangkan secara nasional.
82
g. Kesadaran masyarakat dalam
administrasi kependudukan : masih rendahnya kesadaran masyarakat akan
arti pentingnya pengadministrasian proses kependudukan (lahir, mati, pindah
dsb.)
E. Saran 1. Terhadap masalah yang disebabkan oleh dimensi umum
kependudukan perlu tetap dikembangkan 5 kebijakan kependudukan berikut : a.
Kebijakan pengendalian kependudukan yang dilakukan dengan pengaturan
kelahiran, peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan, peningkatan
pendapatan keluarga serta pengendalian migrasi masuk b. Kebijakan untuk
membangun social security bagi kelompok rentan dalam masyarakat
(keluarga miskin, masyarakat marginal, balita, anak dan remaja, wanita dan
lansia) c. Kebijakan untuk mendorong pemberdayaan ekonomi kerakyatan
yang berbasis desa dan sumber daya local d. Kebijakan pengaturan pelayanan
kependudukan, ketenagakerjaan, perijinan usaha, pemilikan lahan, serta
penggunaan ruang melalui pendekatan kependudukan, e. Kebijakan untuk
mendukung pembangunan transmigrasi yang mampu memberikan nilai tambah,
serta dapat meminimalisir konflik. 2. Terhadap masalah yang ditimbulkan oleh
dimensi baru kependudukan yang bersifat spesifik, diperlukan langkah sebagai
berikut a. Perundangan : perlu adanya payung perundangan yang mengatur
secara nasional, yakni Undang-undang Kependudukan, mengingat adanya
kekosongan dan masih digunakannya aturan statblad yang tidak sesuai lagi
dengan perkembangan jaman. b. Kewenangan : mengingat masih terdapat
kekaburan lingkup kewenangan dan tugas pokok serta fungsi dari urusan
kependudukan, diperlukan penegasan kembali aturan tersebut. Aturan di tingkat
pusat masih meliputi : 1) Penetapan pedoman mobilitas kependudukan 2)
Penetapan kebijakan, pengendalian angka kelahiran dan penurunan angka
kematian ibu, bayi dan anak. 3) Penetapan pedoman dan fasilitasi peningkatan
kesetaraan dan keadilan gender. 4) Penetapan pedoman pengembangan

kualitas keluarga
83
5) Penetapan pedoman perlindungan dan
penghapusan tindak kekerasan terhadap perempuan, anak dan remaja.
Sedangkan untuk Propinsi dan Kabupaten / Kota belum ada penjelasan dari
Undang-undang 32 Tahun 2004 yang hanya enyebutkan pelayanan dan sipil.
karenanya diperlukan Pengaturan lebih lanjut setingkat
Peraturan Pemerintah
yang memberikan kejelasan yang dapat membedakan peran propinsi dan
kabupaten / kota dalam masalah kependudukan dengan mengacu pada
semangat perundangan yang berlaku. 6) Kelembagaan : diperlukan
kelembagaan yang kuat dan terintegrasi dari instansi yang menangani masalah
kependudukan mulai dri tingkat pusat , propinsi sampai Kabupaten/ kota. 7)
Diperlukan pengaturan yang disusun dengan melibatkan stakeholders dari
masing-masing kasus spesifik berikut :Pendatang : a) Kebijakan yang ditempuh
adalah melakukan kerja sama dengan Pemerintah Propinsi (Biro Pemerintahan
Umum). Pemerintah propinsi mengundang pemerintah kabupaten/kota yang
bersangkutan, kemudian pemerintah kota yang menjadi daerah tujuan bagi kaum
migrant memberikan penjelasan persyaratan yang harus dipenuhi oleh penduduk
yang ingin masuk ke kota tersebut. b) Pemerintah propinsi melakukan fasilitasi
kepada pemerintah kota yang ingin memberikan penjelasan tentang
persyaratan yang diperlukan bagi penduduk luar daerah yang ingin bekerja di
kota tersebut. c) Kebijakan yang perlu diterapkan untuk mengarahkan mobilitas
penduduk ini lebih difokuskan pada mengarahkan arus migrasi dari daerah padat
penduduk ke daerah kurang padat. Usaha ini dapat juga dilakukan dengan
mengurangi push factors di pedesaan. d) pengungsi, baik umum maupun
pengungsi dari bekas warga transmigran yang terpaksa harus keluar dari
wilayahnya karena alasan politik dan keamanan mengingat masih belum
optimal penanganannya terutama pada aspek administrasinya. Dalam
84
hal penanganan kesejahteraannyapun masih terdapat ketidakjelasan peran
pemerintah dari tiap tingkatannya. e) pengawasan orang asing, dengan
mengingat belum ada mekanisme baku yang mengatur koordinasi antara
imigrasi, kepolisian, pemda dan masyarakat.
85
PRODUK PEMBELAJARAN
MATA DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH PADA DIKLAT P2UP PUSDIKLAT KEMENDAGRI
REGIONAL BANDUNG DIBINA OLEH : Dr. Asep Iwa Hidayat, M.Pd.
BIODATA
PESERTA DIKLAT P2UPD :
1. A. TOHIR, S.IP
NIP. 19630102 198603 1
001 Pengawas Pemerintahan Madya Inspektorat Kabupaten Lampung Timur HP.
081379702780
2. R. EDI WAHYU NOVIYANTO, S.H
NIP. 19731127 200604 1
006 Pengawas Pemerintahan Pertama Inspektorat Kabupaten Lampung Timur
HP. 085279564900 Email. Wahyu4864@gmail.com
PELAKSANAAN
PENERAPAN JABATAN FUNGSIONAL P2UPD PADA INSPEKTORAT KABUPATEN
LAMPUNG TIMUR
Pendahuluan Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor
41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Pasal 50 ayat (1)
menyebutkan bahwa perangkat daerah yang di dukung oleh kelompok
jabatan fungsional. Maka salah satu upaya reformasi birokrasi daerah yang
bertujuan untuk mewujudkan good governance, dengan memperhatikan sumber
daya, cost efektif agar tujuan tidak hanya terbatas pada output tapi juga outcome

dan good governance.


Untuk mewujudkan pemerintah yang baik (good
governance), mengacu pada Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut : 1.
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 15 Tahun
2009 tentang Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya.
86
2.
Peraturan Bersama Mendagri dan Kepala BKN Nomor : 22 Tahun 2010 dan
Nomor : 03 Tahun 2010 tentang Juklak Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka
Kreditnya. 3. Permendagri Nomor 47 Tahun 2010 tentang Juknis Jabatan
Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya.
Maka dipandang perlu Aparat
Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP)
di Kabupaten, adalah instansi pemerintah yang dibentuk dengan tugas
melaksanakan pengawasan intern di lingkungan pemerintah daerah yang terdiri
dari Inspektorat Kabupaten. Kemudian untuk tugas pengawasan ini telah
ditetapkan dalam Jabatan Fungsional Auditor dan Jabatan Fungsional P2UPD.
Jabatan Fungsional P2UPD adalah Jabatan Fungsional yang mempunyai ruang
lingkup, tugas, tanggungjawab, dan wewenang untuk melakukan kegiatan
pengawasan atas penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah, di
luar pengawasan keuangan sesuai dgn per-UU diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil.
Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah yg selanjutnya
disebut P2UPD adl PNS yg diberi tugas, tanggungjawab, wewenang, dan hak secara
penuh oleh pejabat yg berwenang unt melakukan kegiatan WAS atas
penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah sesuai dgn peraturan
Per- UU-an. Tugas pokok Pengawas Pemerintahan Melaksanakan pengawasan
atas penyelenggaraan teknis urs. Pemerintahan di daerah di luar pengawasan
keuangan yang meliputi: Pengawasan atas pembinaan pelaksanaan urs pem
Pengawasan atas pelaksanaan urs pem Pengawasan atas PERDA dan Per.
Kepala Daerah Pengawasan atas Dekon dan TP Pengawasan untuk tujuan
tertentu, dan Evaluasi Penyelenggaraan Teknis Pemerintahan di daerah
Dengan pelaksanaan kegiatan pengawasan ini, yaitu dalam rangka untuk
melaksanakan kegiatan melalui suatu pendekatan keilmuan yang sistematis,
untuk meningkatkan efektifitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses
tata kelola sehingga dapat memberikan yang terbaik dalam pencapaian tujuan
pemerintah dan pembangunan.
87
Permasalahan Bagaimanakah
pelaksanaan penerapan Jabatan Fungsional P2UPD di INSPEKTORAT
KABUPATEN LAMPUNG TIMUR sesuai dengan Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 15 Tahun 2009 tentang Jabatan
Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya telah berjalan dengan baik atau belum..
Kondisi Saat Ini A. Keadaan Aparatur INSPEKTORAT KABUPATEN LAMPUNG TIMUR
1. Keadaan Aparatur Inspektorat Kabupaten Lampung Timur a. Jumlah Pejabat
Eselon II : 1 Orang b. Jumlah Pejabat Eselon III : 5 Orang c. Jumlah Pejabat
Eselon IV : 3 Orang e. Jumlah JF Auditor : 11 Orang f. Jumlah JF P2UPD : 12
Orang g. Jumlah Staf PNS :
8 Orang f. Jumlah Staf Honorer :
6 Orang
Jumlah : 46 Orang
Dengan rincian sebagai berikut : 1. Inspektur 2.
Sekretaris Inspektorat, terdiri dari : Kasubbag Evaluasi dan Pelaporan

Kasubbag Umum dan Kepegawaian Kasubbag Perencanaan 3. Inspektur


Pembantu Wilayah I, terdiri dari : JF P2UPD JF Auditor 4. Inspektur
Pembantu Wilayah II terdiri dari : JF P2UPD JF Auditor
5. Inspektur Pembantu Wilayah III, terdiri dari : JF P2UPD JF Auditor 6.
Inspektur Pembantu Wilayah IV, terdiri dari : JF P2UPD JF Auditor
88
B. Keadaan Diklat P2UPD Inspektorat Kabupaten Lampung Timur baru
melakukan inpassing ke JF P2UPD dan disetujui oleh Kementerian Dalam
Negeri bulan Oktober 2013, disahkan oleh Bupati selaku Pembina PNS di daerah
pada bulan Desember 2013 dan baru pada tahun 2014 ini berjalan tugasnya
selaku Pejabat Fungsional P2UPD. Pada saat ini Pejabat Fungsional P2UPD
Inspektorat Kabupaten Lampung Timur berjumlah 13 (tiga belas) baru
mengikuti Diklat Pembentukan JF P2UPD sebanyak 6 (enam) orang dan masih
terdapat 7 (tujuh) orang yang belum mengikuti Diklat.
Kesimpulan
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka dapat kami simpulkan sebagai berikut :
1. Di Inspektorat Kabupaten Lampung Timur belum pernah dilakukan
sosialisasi Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan aparatur Negara Nomor :
Nomor : 15 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya,
Peraturan Bersama Mendagri dan Kepala BKN Nomor : 22 Tahun 2010 dan
Nomor : 03 Tahun 2010 tentang Juklak Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka
Kreditnya, Permendagri Nomor 47 Tahun 2010 tentang Juknis Jabatan
Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya, sehingga Pejabat P2UPD masih banyak
belum memahami tentang P2UPD mengakibatkan tupoksi Pejabat P2UPD belum
berjalan maksimal. 2. Ada 7 (tujuh) orang Pejabat P2UPD yang sudah
memenuhi syarat untuk mengikuti Diklat Pembentukan P2UPD, tetapi belum
mengikuti Diklat.
Saran Dapat kami sampaikan beberapa penyelesaian masalah
sebagai berikut : 1. Agar supaya dilakukan sosialisasi terhadap Peraturan
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 15 Tahun
2009 tentang Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya, Peraturan
Bersama Mendagri dan Kepala BKN Nomor : 22 Tahun 2010 dan Nomor : 03 Tahun
2010 tentang Juklak Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya,
Permendagri Nomor 47 Tahun 2010 tentang Juknis Jabatan Fungsional P2UPD
dan Angka Kreditnya, yaitu dengan mendatangkan seorang tenaga
ahli/narasumber yang membidangi JF P2UPD untuk memberikan sosialisasi,
sehingga seluruh Pejabat P2UPD diharapkan benar-benar memahami dan
mengerti apa Jabatan Fungsional P2UPD, tugas pokok dan fungsinya, sehingga
tugas pokok dan fungsi wilayah kerja inspektorat
89
dibidang pengawasan
dapat berjalan dengan lancar dan optimal. Agar diperoleh seorang Pengawas
Pemerintahan yang berpengalaman, berorientasi etika yang tinggi, dan
mempunyai komitmen profesional, sehingga akan segera terwujud tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance). 2. Mengirim Pejabat P2UPD untuk
mengikuti pendidikan dan lathan (DIKLAT).
Daftar Pustaka 1. Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : 15 Tahun 2009
tentang Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya. 2. Peraturan Bersama

Mendagri dan Kepala BKN Nomor : 22 Tahun 2010 dan Nomor : 03 Tahun
2010 tentang Juklak Jabatan Fungsional P2UPD dan Angka Kreditnya. 3.
Permendagri Nomor 47 Tahun 2010 tentang Juknis Jabatan Fungsional P2UPD
dan Angka Kreditnya.
90
PESERTA : 1. UPARMAN, S.Ip
(INSPEKTORAT KAB CIAMIS) 2. SUPARNO, SH. (INSPEKTORAT KAB CIAMIS) 3. DIDI
SH. (INSPEKTORAT KAB CIAMIS)
PERAN P2UPD DALAM PEMERINTAHAN
PENDAHULUAN P2UPD adalah salah satu aparat pengawas intern pemerintah yang
dibentuk berdasarkan Perturan Menteri Negara Pendayagunaan Apratur
Negara Nomor 15 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Pengawas
Penyelenggara Urusan Pemerintahan di Daerah dan Angka Kreditnya. Jabatan
Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah yang mempunyai
ruang lingkup, tugas, tanggung jawab dan wewenang untuk melakukan kegiatan
pengawasan atas penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah, di luar
pengawasan keuangan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang
diduduki oleh pegawai negeri sipil. Dalam pelaksanaan tugasnya Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD) diharapkan mampu
bekerja bersama-sama dengan aparat fungsional lainnya yaitu Auditor untuk
mengemban tuags, fungsi dan tanggung jawab dalam membawa pemerintahan
yang bersih dan bertanggung jawab, sehingga pemerintah di daerah lebih baik lagi
di mata masyarakat.
PEMBAHASAN Tugas pokok Pengawas Penyelenggaraan
Urusan Pemerintahan di Daerah (P2UPD) adalah melaksanakan pengawasan
atas penyelenggaraan teknis urusan pemerintahan di daerah di luar
pengawasan keuangan, yang meliputi pengawasan atas pembinaaan
pelaksanaan urusan pemerintahan, pengawasan peraturan daerah dan peraturan
kepala daerah, pengawasan atas dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
pengawasan untuk tujuan tertentu dan melaksanakan evaluasi
penyelenggraan teknis pemerintahan di daerah. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
Anatara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota, urusan pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang
menjadi hak dan kewajiban setian tingkatan dan/atau susunan pemerintahan
untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi
91
kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan
mensejahterakan masyarakat. Urusan pemerintahan terdiri atas urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan
pemerintahan. Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah tidak
termasuk urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah yang meliputi urusan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional,
serta agama. Urusan Wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
hak dan pelayanan dasar warga negara yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan kepala daerah untuk perlindungan hak
kontitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, serta ketentraman
dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan NKRI serta pemenuhan

komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi


internasional. Berdasarakan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa dalam urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah di luar urusan pemerintahan, pemerintah
dapat menyelenggarakan sendiri sebagai urusan pemerintahan, melimpahkan
urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau
menugaskan sebagian urusan kepada pemeritahan daerah dan/atau
pemerintahan desa berdasarkan tugas pembantuan. Kriteria pengawasan
pelaksanaan kegiatan urusan pemerintah yang bersifat wajib yang dapat
digunakan adalah peraturan perundang undangan yang berlaku, ketentuan
internal yang harus ditaati/dilaksanakan, standar dan norma/kaidah. Kriteria yang
dijadikan tolok uukur atau pembanding dengan kondisi yang dijumpai
haruslah ditentukan, dianalisis dan disepakati dengan penanggung jawab
kegiatan. Penentuan kriteria sangat berkorelasi dengan sasaran pengawasan
yang telah ditentukan. Dalam melaksanakan tugas pokoknya pengawasan
pemerintahan harus mendapatkan penugasan secara tertulis dari pi
nan unit kerja yang bersangkutan.
Jenjang jabatan pengawas pemerintahan
dari
yang
terendah
sampai
yang
tertinggi yaitu :
a.
Pengawas
pemerintahan pertama
b.
Pengawas pemerintahan muda
c.
Pengawas
pemerintahan madya dan
d.
Pengawas pemerintahan utama.
92
Jenjang pangkat pemerintahan sebagaimana yang dimaksud di atas sesuai
dengan jenjang jabatannya yaitu :
a.
Pengawas pemerintahan pertama :
1.
Penata muda, golngan ruang III/a dan
2.
Penata muda Tk. I,
golongan ruang III/b
b.
Pengawas pemerintahan muda :
1.
Penata,
golongan ruang III/c dan
2.
Penata Tk. I, golongan ruang III/d
c.
Pengawas pemerintahan madya :
1.
Pembina, golongan ruang IV/a
2.
Pembina Tk. I, golongan ruang IV/b dan
3.
Pembina utama muda, golongan
ruang IV/c
d. Pengawas pemerintahan utama :
1.
Pembina utama madya,
golongan ruang IV/d dan
2.
Pembina utama, golongan ruang IV/c.
Penetapan
jenjang
jabatan
pengawas
pemerintahan
untuk
pengangkatan
dalam jabatan ditetapkan berdasarkan jumlah angka kredit yang dimiliki
setelah
ditetapkan
oleh
pejabat
yang
berwenang
menetapkan
angka
kredit,
sehingga
dimungkinkan jabatan dan pangkat tidak sesuai dengan
jabatan dan pangkat sesuai
dimaksud tersebut di atas.
Tunjangan jabatan
fungsional
Pengawas
Penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan
di
Daerah
(P2UPD)
ditetapkan
berdasarkan
Peraturan
Presiden
Republin Indonesia
Nomor 4 Tahun 2012 sebagai berikut :
1. Jabatan Pengawas Pemerintahan
Madya
besaran
tunjangannya
sebesar
Rp.
900.000,-.
2.
Jabatan
Pengawas
Pemerintahan
Muda
besaran
tunjangannnya
sebesar
Rp.
600.000,-.
3.
Jabatan
Pengawas
Pemerintahan
Pertama
besaran
tunjangannya
sebesar
Rp. 300.000,-.
Dengan jabatan dan tunjangan yang
diberikan oleh pemerintah tersebut di
atas
diharapkan
Pengawas
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di Daerah
(P2UPD) dapat exsis dalam
melaksanakan kewajibannya.
Dalam pelaksanaan tugasnya dilapangan Pengawas
Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Daerah (P2UPD) selalu terkait dengan
kebijakan-kebijakan yang di
terbitkan oleh Kepala Daerah sehingga ruang
lingkup
pengawasannya
lebih
luas
dibandingkan dengan pengawas lainnya
yaitu Auditor.
93
Tidak sedikit hasil pengawasn dan pemeriksaan
yang dilakukan oleh
Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan di
Daerah (P2UPD) dalam
pengungkapan kebijakan-kebijakan pemerintah daerah
berbenturan
dengan
keinginan
dari
atasan
yang
lebih
tinggi.

KESIMPULAN DANA SARAN


KESIMPULAN
Pengawas Penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan di Daerah (P2UPD)
adalah salah satu pejabat fungsional yang
melaksanakan pengkajian-pengkajian,
analisis dan evaluasi terhadap
kebijakan-kebijakan yang diluncurkan oleh Kepala
Daerah baik dalam bentuk
Peraturan Daerah, Peraturan Bupati maupun aturan- aturan lainnya.
SARAN
Pengawas
Penyelenggaraan
Urusan
Pemerintahan
di
Daerah
(P2UPD)
mengemban tugas yang cukup luas cakupannya disarankan agar tunjangan
P2UPD
lebih ditingkatkan untuk menunjang kinerja yang lebih baik lagi

Anda mungkin juga menyukai