PENYUSUN:
Nor Amirah Nor Azman (112012281)
PEMBIMBING:
Dr. Dini Adriani, Sp.S
1 | Page
DAFTAR ISI
Bab 4 KESIMPULAN.
..........49
DAFTAR PUSTAKA.............50
2 | Page
Nama Mahasiswa
NIM
:112012281
Tanda Tangan:
Tanda Tangan:
Bab 1:
STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn.S
Umur
:70 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Status Perkahwinan : Menikah
Pekerjaan
: Tidak bekerja
Alamat
:Jl.Gelatik 7/152 Depok I, RT 001/RT012
No RM
:00169036
Dirawat Diruang
: Belladona 208
Tanggal Masuk
:21 May 2014
Tanggal Keluar
:22 May 2014
3 | Page
II.
SUBJEKTIF
Dilakukan alloanamnesa dan autoanamnesis pada tanggal 26 Mei 2014 Jam 1100.
Keluhan Utama:
Pusing kepala sejak 1 minggu SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 mingu SMRS pasien mengeluh nyeri kepala terutama bagian kiri depan dan apabila
semakin memberat, nyeri kepala akan menjalar ke arah belakang kepala. Nyeri kepala dirasakan
bertambah terutama saat batuk. Serangan nyeri kepala bersifat berdenyut-denyut dan tidak
menentu, bisa 1-4x dalam sehari dengan durasinya lebih kurang 1 jam setiap kalinya. Pasien
mengatakan nyeri kepalanya membaik dengan obat yang tidak diketahui namanya namun cuma
sebentar. Menurut pasien, nyeri kepalanya tidak sampai mengganggu aktivitasnya. Pasien
mengatakan sering berasa mual, namun tidak sampai muntah. Pasien menyangkal rasa pusing
berputar, kaku pada leher, kejang, gangguan cara berjalan dan memori yang sering lupa. Pasien
turut menyangkal rasa lemah, kebas, kesemutan dan kaku pada kedua-dua lengan dan
tungkainya. Nyeri kepala pada ketika mengubah posisi leher atau badan turut disangkal.
12 hari SMRS, pasien dirawat di Rumah Sakit Bakti Yudha selama 3 hari dengan keluhan
saat datang tiba-tiba lemas dan terjatuh di kamar mandi. Pasien tiba-tiba lemas kaki dan tangan
sewaktu mengambil ember di kamar mandi dan jatuh terduduk dan tidak bisa berdiri sendiri
sama sekali. Pasien ingat kejadiannya, dalam keadaan sadar, lalu teriak memanggil tetangganya
dan dibawa ke rumah sakit. Sebelum lemas, pagi dan malam kelmarinya pasien masih dapat
beraktivitas seperti biasa tetapi, mengeluh ada demam dan pusing kepala sejak 2 hari
sebelumnya. Demam yang dirasakan terus menerus, tinggi panas pagi sama dengan sore. Kerana
menganggap seperti demam biasa, pasien tidak berawat ke rumah sakit. Saat di bawa ke IGD
RSBY oleh tetangganya pasien sempat muntah 1x dengan volume sebanyak kurang lebih seper
empat gelas berisi makanan.Keluhan lumpuh di sebahagian badan, bicara pelo, nyeri kepala,kaku
di daerah leher saat itu disangkal oleh pasien. Pasien dirawat inap dengan diagnose obs drop
attack. Pasien telah melakukan pemeriksaan laboratorium, CT Scan, MRI, dan MRS pada hari
pertama dirawat. Hasil dari CT Scan,MRI dan MRS brain mendapatkan pasien mempunyai
meningoensefalitis tokso. Dari dokter dianjurkan untuk dilakukan lumbal pungsi tetapi pasien
belum siap dan meminta untuk pulang. Pasien datang ke rumah sakit saat ini kerana telah
memutuskan untuk lumbur punktur dan dan dirawat ke rumah sakit.
1 tahun sebelumnya , pasien sering berasa pusing yang hilang timbul, tidak berlaku setiap
hari, dan tidak menganggu sampai tidak bisa beraktivitas. Selain itu, pasien sering mengeluh
keringat pada saat malam hari terutama didaerah leher dan dada atas. Keluhan seperti berat
badan menurun, batuk yang lama lebih dari sebulan, dan demam yang lama lebih dari sebulan,
sariawan yang bercak putih di mulut dalam jangka waktu lama disangkal oleh pasien.
Riwayat Hipertensi
: (+)
: (-)
: (-)
Riwayat Stroke
: (-)
Riwayat Alergi
: (-)
: (-)
Riwayat Hipotensi
: (-)
Riwayat kejang
: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
Riwayat Stroke
: (-)
Tuberkulosis
: (-)
Riwayat kanker
III.
temannya ke rumah.
Os mengaku ada memelihara burung selama 2 bulan sejak beberapa bulan yang lalu.
OBJEKTIF
1. Status umum
Keadaan umum
Kesadaran
: Compos mentis
5 | Page
GCS
: E4M6V5 = 15
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi
: 84 x/menit
Suhu
: 37,3C
: Normocephali, simetris
Mata
Leher
Toraks
Pulmo
Abdomen
Ekstremitas
Berat Badan
: 61kg
Tinggi badan
: 160 cm
2. Status Psikis
Cara berpikir : Wajar; sesuai umur
Perasaan hati : Baik
Tingkah laku : Wajar; pasien sadar, pasif
Ingatan
Kecerdasan
: baik
3. Status Neurologis
a) Kepala
i)
Bentuk
: Normocephali
ii)
Nyeri tekan
: tidak ada
6 | Page
iii)
Simetris
: wajah simetris
iv)
Pulsasi
: normal
b) Leher
i)
Sikap
: Simetris
ii)
Pergerakan
: Normal
iii)
Kaku Kuduk
: tidak ada
ii)
iii)
: Tidak dilakukan
Kanan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
iv)
Kiri
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Pupil
Diameter
Bentuk
Posisi
Refleks cahaya langsung
Refleks cahaya tidak
langsung
Strabismus
Nistagmus
Nervus Trochlearis (N. IV)
Kanan
Terbuka
Kiri
Terbuka
Kanan
3 mm
Bulat
Sentral
+
+
Kiri
3 mm
Bulat
Sentral
+
+
7 | Page
v)
Bawah
Strabismus
Diplopia
Nervus Trigeminus (N. V)
vi)
Membuka mulut
Sensibilitas atas
Sensibilitas bawah
Refleks kornea
Refleks masseter
Trismus
Nervus Abducens (N. VI)
Kanan
Tidak ada kelainan
-
Kiri
Tidak ada kelainan
-
Kiri
Diplopia
Mengerutkan dahi
Kerutan kulit dahi
Menutup mata
Lipatan nasolabial
Sudut mulut
Meringis
Memperlihatkan gigi
Bersiul
Perasaan lidah bagian
2/3 depan
viii) Nervus Vestibulochoclearis (N. VIII)
Mendengar suara
berbisik
Test Rinne
Test Weber
Test Shwabach
ix)
Kiri
Tidak ada kelainan
Kerutan (+)
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Kanan
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Kiri
Tidak ada kelainan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
8 | Page
Arkus faring
Daya mengecap 1/3 belakang
Refleks muntah
Sengau
Tersedak
x)
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
xi)
Tidak dilakukan
Tidak ada kelainan
Deviasi (-)
Deviasi (-)
Tidak ada kelainan
Tidak ada kelainan
: negatif
: negatif
: negatif
: > 70o
: >135o
Motorik
i. Respirasi
ii. Duduk
: bebas
b. Sensibilitas
Kanan
Kiri
9 | Page
Taktil
Nyeri
Tidak dilakukan
Thermi
Tidak dilakukan
Diskriminasi
Tidak dilakukan
c. Refleks
Refleks kulit perut atas
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
: Tidak dilakukan
Refleks kremaster
: Tidak dilakukan
Kiri
Pergerakan
normal
normal
Kekuatan
4-4-4-4
Tonus
Normotonus
Normotonus
Atrofi
(-)
(-)
Kanan
Kiri
baik
baik
5-5-5-5
b. Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Tidak dilakukan
Thermi
Tidak dilakukan
Diskriminasi
Tidak dilakukan
c. Refleks
Kanan
Kiri
Biceps
++
++
Triceps
++
++
Brachioradialis
Hoffman-Tromner
Tidak dilakukan
(-)
(-)
Kanan
Kiri
Pergerakan
normal
normal
Kekuatan
4-4-4-4
Tonus
normotonus
normotonus
Atrofi
(-)
(-)
Kanan
Kiri
baik
baik
5-5-5-5
b. Sensibilitas
Taktil
Nyeri
Tidak dilakukan
Thermi
Tidak dilakukan
Diskriminasi
Tidak dilakukan
c. Refleks
Kanan
Kiri
Patella
++
++
Achilles
++
++
Babinski
(-)
(-)
Chaddock
Tidak dilakukan
Rossolimo
Tidak dilakukan
Mendel-Bechterev
Tidak dilakukan
Schaefer
Tidak dilakukan
Oppenheim
Tidak dilakukan
Gordon
Tidak dilakukan
Klonus kaki
Tidak dilakukan
Cara berjalan
: tidak dilakukan
Test Romberg
: tidak dilakukan
Disdiadokokinesia
: tidak dilakukan
Ataksia
: tidak dilakukan
Rebound phenomenon
: tidak dilakukan
11 | P a g e
Dismetria
: tidak dilakukan
Nistagmus test
: tidak dilakukan
Heel to knee
: terganggu kanan
g) Gerakan-gerakan Abnormal
Tremor
: (-)
Miokloni
: (-)
Khorea
: (-)
h) Alat Vegetatif
Miksi
: normal
Defekasi
: normal
4. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium hematologi ( tanggal 07 May 2014)
Pemeriksaan
Nilai
Nilai normal
Hemoglobin
14,1
12-18
Hematokrit
41
38-47
Leukosit
17,4
5.000-10.000
Unit
g/dl
%
/ul
Trombosit
LED
Diff
Basofil
Eosinofil
240,000
10
150.000-450.000
<20
/ul
mm/jam
0
1
0-1
1-3
%
%
Neutrophil stab
3-5
Neutrophil
segmen
80
54-62
Lymphosite
Monosit
15
3
25-33
3-7
%
%
12 | P a g e
Unit
mmHg
U/L
U/L
MEQ/l
MEQ/l
MEQ/l
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
Mg/dl
%
Unit
13 | P a g e
Unit
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
mg/dl
sel/ul
LPB
LPB
LPB
Unit
Unit
g/dl
%
/ul
Trombosit
LED
Diff
Basofil
Eosinofil
308,000
20
150.000-450.000
<20
/ul
mm/jam
0
0
0-1
1-3
%
%
Neutrophil stab
3-5
Neutrophil
segmen
75
54-62
Lymphosite
Monosit
Kimia darah
Gula darah
sewaktu
20
5
198
25-33
3-7
<180
%
%
Mg/dl
5. Pemeriksaan radiologi.
PEMERIKSAAN FOTO THORAX
Tanggal 07 May 2014
Cor
: besar dan bentuk normal.
Aorta tampak normal
Pulmones
: tampak bercak di parahiler dan paracardial kedua paru.
Corakan bronkovaskuer meningkat.
Diafragma normal.
Sinus costophrenikus kanan dan kiri tajam.
Tulang2
: tak tampak kelainan.
Kesan
16 | P a g e
-Terlihat multiple area upnormal disubkortikal kedua hemisfer selebri. Pasca upministrasi
contrast gadolinium terlihat multiple lesi yang menyangat kontras di area tersebut. Yang
terbesar terlihat di lobus temporal kiri.
-Sekwen T2 memperlihatkan edema hebat di sekitar lesi-lesi tersebut.
-Tidak terlihat deviasi Falx dan ventrikel tidak melebar. Multiple lesi yang menyangat
kontras juga terlihat di sereblum.
-MRS dengan referensi lesi di lobus temporal kiri memperlihatkan signal metabolic CHO
sementara Cr dan Naa masih terlihat normal.
-Tidak terlihat signal Lactat dan Lipit.
Kesimpulan: Brain dan Spectroscopy tampaknya sesuai dengan infeksi serebri oleh
Tokso.
IV.
RESUME
Subjektif:
Pasien laki-laki,Tn.S berumur 70 tahun dibawa ke RSBY dengan keluhan nyeri
kepala seperti berdenyut-denyut di semua daerah kepala yang dirasakan semakin
bertambah buruk dari hari ke hari sejak seminggu yang lalu. Pasien cuba minum obat
yang tidak diketahui namanya, namun tidak berkurang. 12 hari SMRS, pasien dirawat di
Rumah Sakit Bakti Yudha selama 3 hari dengan keluhan awal tiba-tiba lemas dan terjatuh
di kamar mandi. Pasien ingat kejadiannya, dalam keadaan sadar, lalu teriak memanggil
tetangganya. Sebelum lemas, paginya pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa tetapi,
mengeluh ada demam dan pusing kepala sejak 2 hari sebelumnya. Pasien dirawat inap
dengan diagnose obs drop attack. Hasil dari CT Scan, MRI dan MRS brain saat rawat
inap mendapatkan pasien mempunyai meningoensefalitis tokso. Dari dokter dianjurkan
untuk dilakukan lumbur punktur tetapi pasien belum siap dan meminta untuk pulang. 7
hari SMRS, pasien memutuskan untuk lumbur punktur dan dan dirawat ke rumah sakit.
1 tahun sebelumnya , pasien sering berasa pusing yang hilang timbul namun tidak
menganggu sampai tidak bisa beraktivitas. Selain itu, pasien sering mengeluh keringat
pada saat malam hari terutama didaerah leher dan dada atas. Keluhan seperti berat badan
menurun, batuk yang lama lebih dari sebulan,sariwan bercak putih dalam jang waktu
yang lama dan demam yang lama lebih dari sebulan disangkal oleh pasien.
Objektif:
17 | P a g e
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan kesadaran Compos Mentis, GCS E4M6V5 dengan
tanda-tanda vital tekanan darah 150/90 mmHg, frekuensi nadi 84 kali per menit,
frekuensi nafas 18 kali per menit, suhu 37,3 0C. Pemeriksaan status neurologis baik, Pada
pemeriksaan motorik di kedua ekstremitas kiri atas bawah didapatkan 5555 manakala
ekstremitas kanan atas bawah didapatkan 4444 , refleks fisiologis keempat ekstremitas
(+), refleks patologis babinski negatif di kaki kanan dan kiri, ransang meningeal (kaku
kuduk negatif, kernig negatif, laseq negatif), test koordinasi tes heel to knee terganggu.
Pada pemeriksaan penunjang (Lab) didapatkan Hb:14,1g/dl, Leukosit: 17,4 ribu/mm, Ht:
41%, Trombosit 240,000, LED : 10. Pada Analisa cairan otak didapatkan, glukosa: 91
mg/dL, protein 96 mg/dL, none positif, pandi positif, jumlah sel 17/uL, mono 83 %, poli
17%, warna tidab berwarna, kejernihan :jernih.
bronkopneumonia.
Pada CT Scan, terdapat gambaran lesi iskemik multiple. DD/ inflamasi proses /abses :
lesi metastasis.
Pada MRI +MRS brain didapatkan kesimpulan adalah brain dan spectroscopy tampaknya
sesuai dengan infeksi serebri oleh Tokso.
V.
VI.
DIAGNOSA
1 Klinis
: nyeri kepala
2 Topis
: meningens
3 Patologis : inflamasi
4 Etiologi : infeksi ec meningoensefalitis toksoplasmosis dan tbc.
RENCANA AWAL
1. Pantau airway, breathing, circulation
2. Pro LP
3. IVFD RL 20 tpm (+ Ketesse 1 amp/12 jam)
4. Manitol 4x 100mg
5. INH 1X400mg
6. Rifampisin 1x600mg
7. Pirazinamide 1x100mg
8. Etambutol 1x1000 mg
9. Cortidex inj 4x1
10. Ranitidin 2x1
11. Clindamisin 4x600mg
12. Pirimetamin 3x1 tab
13. Vit B6 2x1
18 | P a g e
VII.
PROGNOSIS
Ad vitam
:dubia bonam
Ad functionam
: bonam
Ad sanationam
: bonam
VIII. FOLLOW UP
22 MEI 2014
21 MEI 2014
S: kesadaran baik, keluhan (-)
O: CM
GCS: E4M6V5(15)
N: 88 x/menit
RR: 20 x/menit
S: 36,5oC
Pupil: OS bulat 4mm/
RCL +/+
Saraf kranialis: parese (-)
Motorik
4444
5555
5555
4444
5555
3333
5555
3333
RF:
++
++
RF:
++
++
RP:
-
RP:
-
A:
Meningoensefalitis toxo susp/ tbc
A:
Meningoensefalitis tb + toxo
Susp HIV
P:
Cek CD4 +HIV rapid test.
INH 1X400MG
Rifampisin 1x600mg
Pirazinamid 1x1000mg
Etambutol 1x1000mg
Cortidex 4x1 amp iv
Ranitidin 2 x1 amp
P:
LAPORAN LP:
o Pasien duduk menunduk.
o Asepsis dan antiseposis
o Anestesi dengan lidokain 1 amp
o LP dilakukan dengan jarum no
20 pada L3-L4 , tampak LCS
mengalir tampak jernih.
19 | P a g e
o
o
o
o
o
o
o
Clindamisin 4x600mg
Pirimetamin 3x1 tab
Vit B6 2x1
Bab 2:
MENINGITIS
20 | P a g e
2.1 NEUROANATOMI
Anatomi Menigen
Meningen craniales (pembungkus-pembungkus meningeal otak) terdiri dari tiga lapis yaitu
durameter, arachnoidea mater , dan pia mater.
1. Durameter
Secara konvensional, dura meter otak digambarkan terdiri dari dua lapis, yaitu
lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Lapisan tersebut bersatu dengan erat, kecuali
pada garis-garis tertentu, tempat mereka berpisah untuk membentuk sinus venosus. 1
Lapisan endosteal merupakan periosteum yang menutupi permukaan dalam tulang
tengkorak. Pada foramen magnum, lapisan ini tidak bersambung dengan durameter
medulla spinalis. Di sekitar pinggir semua foramina di dalam tengkorak, lapisan ini
menyambung dengan periosteum pada permukaan luar tulang tengkorak. Pada suturasutura, lapisan endosteal berlanjut dengan ligamentum sutura. Lapisan endosteal melekat
paling kuat pada tulang-tulang di atas basis cranii. 1
Lapisan meningeal adalah lapisan dura mater yang sebenarnya merupakan
membrane fibrosa yang kuat dan padat yang meliputi otak serta bersambung dengan dura
mater medulla spinalis melalui foramen magnum. Lapisan meningeal ini membentuk
selubung tubular untuk saraf kranial saat saraf kranial tersebut melintasi foramina di
tengkorak. Di luar cranium, selubung ini menyatu dengan epineurium saraf. 1
Lapisan meningeal membentuk empat serta septa ke arah dalam yang membagi
rongga cranium menjadi ruang-ruang yang dapat berhubungan secara bebas dan
merupakan tempat bagian-bagian otak. Fungsi septa-septa ini adalah untuk membatasi
pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat kepala digerakkan. 1
Falx cerebri adalah lipatan durameter yang berbentuk bulan sabit yang terletak di
garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri. Ujung anteriornya yang sempit
melekat pada crista frontalis interna dan crista galli. Bagian posteriornya yang lebar
bergabung di garis tengah dengan permukaan atas tentorium inferior berjalan pada
pinggir bawah yang bebas dan berbentuk konkaf, serta sinus rectus berjalan di sepanjang
perlekatannya dengan tentorium cerebelli.1
Tentorium cerebella merupakan sebuah lipatan yang lebar dan berbentuk bulan
sabit memisahkan kedua hemisfera cerebri dari cerebellum. Falx cerebri melekat pada
tentorium cerebelli dan menentukan kedudukannya. Tentorium cerebelli kearah posterior
melekat pada os occipital sepanjang alur-alur untuk sinus-sinus transversus. Tepi
21 | P a g e
anteromedial tentorium yang cekung adalah bebas, dan dengan demikian membentuk
sebuah celah, incisura tentoria untuk mesencephalon. 2
Falx cerebelli, merupakan sebuah lipatan posterior lekuk cranial posterior,
memisahkan kedua hemispherium cerebelli serta terhadap yang lain. 2
Diaphragm sellae, lembar dura yang sirkulasi dan kecil, membentuk atap fossa
hypophysealis. Diaphragm sellae ini menutupi hypohysis (glandula pituitary) dan
padanya terdapat lubang untuk memberi jalan kedapa fundibulum dan vena-vena
hipofiseal. 2
Persarafan duramater
Cabang-cabang nervus tigeminus, nerver vagus, dan tiga nervus cervicalis bagian
atas serta cabang-cabang truncus symphaticus berjalan menuju durameter. Duramater
memiliki banyak ujung-ujung saraf sensori yang peka terhadap regangan yang
menimbulkan sensasi nyeri kepala. Stimulasi ujung-ujung sensori nervus trigeminus di
atas tingkat tentorium cerebelli menimbulkan nyeri alih ke daerah kuit kepala sisi yang
sama. Stimulasi ujung-ujung saraf sensoris duramater di bawah tingkat tentorium
menimbulkan nyeri alih ke daerah tengkuk dan belakang kulit kepala di sepanjang
persarafan nervus occipitalis major. 1
Vaskularisasi duramater.
Berbagai arteria memperdarahi duramater, yaitu arteria carotis interna, arteria
maxillaris, arteria pharyngea ascendens, arteria occipitalis, dan arteri vertebralis. Dari
sudut pandang klinis, arteria yang paling penting adalah arteri meningea media yang
dapat mengalami kerusakan akibat cedera kepala. Arteri meningea media berasal dari
arteria maksillaris di dalam fossa infratemporalis. Arteria ini masuk rongga tengkorak
melalui foramen spinosum, dan terletak di antara lapisan meningeal dan lapian endosteal
duramater. Selanjutnya , arteri ini berjalan ke depan dan lateral di dalam sebuah
sulcus,pada permukaan atas pars squamosal os temporale. Ramus anterior terletak di
dalam sulcus atau saluran pada angulus anterior-inferior os parietale dan perjalanannya
dianggap sesuai dengan jalur gyrus precentralis otak yangada di bawahnya. Ramus
posterior melengkung ke belakang dan mempersarafi bagian posterior dura mater. 1
2. Arachnoidea
Arachnoidea mater bentuknya seperti jaring laba-laba. Terdiri atas jaringan ikat
tanpa pembuluh darah. Permukaannya dilapisi oleh epitel selapis gepeng. Memiliki 2
22 | P a g e
komponen, yaitu lapisan yang berkontak dengan dura mater dan sebuah sistem trabekel
yang menghubungkan lapisan itu dengan pia mater.
otak. Ke bawah,duramater berakhir pada filum terminale setinggi tepi bawah vertebra
sacralis II. Selubung dura terletak longgar di dalam canalis vetebralis dan dipisahkan dari
dinding canalis oleh ruang ekstradural. Ruang ini berisi jaringan areolar jarang dan
plexus venosus vertebralis interna. 1
2. Arachnoidea mater
Arachnoidea mater merupakan membrane impermeabel yang halus, yang meliputi
medulla spinalis, serta terletak di antara pia mater disebelah dalam dan duramater di
sebelah luar. Membrane ini dipisahkan dari piamaer oleh spatium yang lebar disebut
spatium subarachnoideum yang berisi cairan serebrospinalis.1
3. Pia mater
Piamater suatu membrane vascular yang menutupi medulla spinalis dengan erat pada
masing-masing sisi di antara radiks saraf menebal membentuk ligamentum denticulatum
yang berjalan ke lateral untuk saling melekat dengan arachnoidea dan dura mater. Dengan
cara ini, medulla spinalis tergantung ditengah-tengah dua kantong duramater. Pia mater
meluas pada setiap radiks saraf dan dilanjutkan oleh jaringan ikat yang mengelilingi
setiap safar spinal.1
24 | P a g e
lembaran horizontal yang menjorok ke depan di antara cerebrum dan cerebellum. Selain itu,
berperan membatasi gerakan berlebihan otak di dalam tengkorak.
Arachnoidea mater merupakan membrane impermeable yang lebih tipis dan meliputi otak
secara longgar . ruangan di antara arachnoidea dan piameter yaitu spatium subarachnoideum diisi
oleh cairan cerebrospinalis. Cairan serebrospinalis memberikan daya apung pada otak dan
melindungi jaringan saraf dari tekanan mekanik yang mengenai tengkorak. Pia mater merupakan
suatu membran vascular yang melekat dengan erat serta menyokong otak dan medulla spinalis.
Cairan Serebro Spinalis (CSS)
Cairan serebrospinal terdapat di dalam ventrikel otak serta di ruang subarachnoid di
sekeliling otak dan medulla spinalis. Cairan ini jernih dan tidak berwarna. Mengandung larutan
garam-garam anorganik yang sama dengan yang terdapat di dalam plasma darah. Kadar glukosa
kira-kira dua pertiga kadar glukosa yang ada di dalam darah dan hanya sedikit protein. Hanya
terdapat sedikit sel dan sel-sel tersebut adalah limfosit. Jumlah limfosit normal adalah 0 sampai 3
sel per millimeter kubik. Tekanan cairan serebrospinal dipertahankan konstan. Pada posisi
decubitus lateral, tekanan yang diukur saat fungsi lumbal berkisar antara 60 dan 150mm air.
Tekanan ini dapat meningkat kerana regangan, batuk atau tekanan pada vena jugularis di daerah
leher. Volume total cairan serebrospinal di dalam ruang subarachnoid dan didalam ventrikel
adalah sekitar 130ml.
Fungsi cairan serebrospinal yang membasahi permukaan internal dan eksternal otak serta
medulla spinalis berfungsi bantalan antara susunan saraf pusat dan tulang-tulang yang
mengelilinginya. Oleh kerana itu, cairan ini melindungi otak dari trauma mekanik. Cairan ini
memberikan daya apung mekanik dan menyangga otak kerana densitas otak hanya sedikit lebih
besar daripada densitas cairan serebrospinal. Hubungan erat cairan serebrospinal dengan jaringan
saraf dan darah memungkinkan cairan tersebut berperan sebagai tempat penampungan dan
membantu regulasi isi cranium. Misalnya, jika volume otak atau volume volume darah
meningkat, volume cairan serebrospinal berkurang. Cairan ini mungkin berperan aktif dalam
pemberian nutrisi kepada jaringan saraf kerana cairan serebrospinal merupakan substrat
fisiologis yang ideal, serta cairan ini juga mengangkut zat-zat hasil metabolism neuron.
25 | P a g e
Kemungkinan sekret glandula pinealis juga mempengaruhi aktivitas kelenjar hipofisis dengan
cara bersirkulasi melalui cairan serebrospinal di dalam ventrikulus tertius. 1
Nervus optikus dikelilingi oleh sarung yang berasal dari piamater, arachnoidea mater, dan
duramater. Terdapat pelebaran ruang subarachnoid intracranial kearah depan disekitar nervus
optikus sampai ke belakang bola mata. Peningkatan tekanan intracranial cairan serebrospinal
yang disebabkan oleh tumor intracranial akan menekan dinding vena retina yang tipis yaitu saat
vena tersebut berjalan di daerah pelebaran ruang sbarakhnoid untuk memasuki nervus optikus.
Keadaan ini menimbulkan bendungan vena retina, discus opticus menonjol ke depan, dan edema
diskus kondisi terakhir ini disebut papilledema. Oleh kerana kedua pelebaran ruang subarachnoid
bersambung dengan ruang subarachnoid intracranial, kedua mata akan menunjukkan tanda-tanda
papilledema. Papilledema persisten akan menimbulkan atrofi optic dan kebutaan. 1
Hidrosefalus adalah peningkatan volume cairan serebrospinal di dalam tengkorak yan
abnormal. Jika hidrosefalus disertai dengan peningkatan tekanan cairan serebrospinal, keadaan
ini dapat disebabkan oleh 1)peningkatan produksi cairan serebrospinal yang abnormal 2)
blockade sirkulasi cairan serebrospinal, atau 3) berkurangnya absorbsi cairan serebrospinal.
Hidrosefalus jarang ditemukan bersama dengan tekanan cairan serebrospinal yang normal dan
pada pasien ini terdapat hypoplasia kompensatori atau atrofi jaringan otak. 1
Cairan otak dibentuk dalam ventrikel I dan ventrikel II melalui proses filtrasi plasma dan
sekresi oleh pleksus choroideus. Selanjutnya melalui foramen Monro , cairan otak akan masuk
ke dalam ventrikel III. Dari ventirkel III cairan otak akan masuk ke dalam ventrikel IV melalui
aquaductus Sylvii dan selanjutnya akan masuk ke dalam ruang subarachnoid untuk menuju
medulla spinalis melalui foramen Luschka atau foramen Magendi.2
Ada dua variasi hidrosefalus komunikans dan non komunikans. Pada hidrosefalus non
komunikans, peningkatan tekanan cairan serebrospinal terjadi akibat blockade pada suatu tempat
di antara tempat produksinya di tempat plexus choroideus dan tempat pengeluarannya melalui
foramina di atap vemtrikulus quartus. Pada hidrosefalus komunikans, tidak terdapat sumbatan di
dalam atau pada aliran keluarnya dari system ventrikulus, cairan serebrospinal bebas mencapai
ruang subarachnoid dan terjadi peningkatan tekanan.1
26 | P a g e
27 | P a g e
2.2 DEFINISI
Infeksi ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam jaringan tubuh.
Infeksi susunan saraf ialah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam susunan
28 | P a g e
saraf. Jadi, infeksi intracranial adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
cranial (intracranial), yaitu mulai dari korteks cerebri sampai dengan medulla oblongata. Infeksi
intrakranial termasuk dalam infeksi yang menyerang sistem saraf pusat.
Klasifikasi menurut organ yang terkena peradangan, tidak memberikan pegangan klinis
yang berarti. Radang pada saraf tepi dinamakan neuritis, pada meningens disebut meningitis,
pada jaringan medulla spinalis dinamakan myelitis dan pada otak dikenal sebagai ensefalitis.
Maka menigoensefalitis merupakan peradangan pada jaringan otak dan selaput otak.
Klasifikasi meningitis
Meninigitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. 3
Meningitis serosa adalah radang selaput otak arachnoid dan piamater yang disertai cairan
otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lain
seperti lues, virus, Toxoplasmosis Gondhii, Ricketsia. Meningitis purulenta adalah radang
bernanah arachnoid dan piamater yang meliputi otak dan medulla spinalis. Penyebab antara lain
adalah
Dilococcus
pneumonia
Neisseria
menigitidis,
Streptococcus
haemolyticus,
Infeksi viral
Infeksi bakteri
Infeksi spiroketa
Infeksi fungus
Infeksi protozoa
29 | P a g e
6. Infeksi metazoa
Yang akan lebih dibahaskan dalam makalah ini adalah meningoensefalitis tuberkulosa dan
toksoplasmosis.
2.3 MENIGOENSOFALITIS TUBERKULOSIS
Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk
komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paruparu dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru,
seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram
positif, berukuran 0,4 3 , mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, serta lambat yang bersifat intracellular pathogen pada hewan dan
manusia. Ada dua tipe, yaitu: (1) Mycobacterium tuberculosis hominis; (2) Mycobacterium
tuberculosis bovis (5%).4 Selain itu spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis
adalah Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti.4
Etiologi meningoensefalitis tuberculosis.
Insidens meningitis tuberkulosa sangat bervariasi dan bergantung kepada tingkat sosioekonomi dan kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta factor genetic yang menentukan
respon imun seseorang. Sejak tahun 1930-1953, Koch dan Carson menemukan 23 % kasus
meningitis tuberkulosa dari 248 kasus meningitis bacterial. Menurut Auerbach, insidens
meningitis tuberkulosa sebanyak 42,2 % dari 97 anak yang meninggal karena tuberculosis.
Di Indonesia, meningitis tuberkulosa masih banyak ditemukan karena morbiditas
tuberculosis anak masih tinggi. Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan
anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih rendah.
Di Inggris pada tahun 1978-1979, insidens meningitis tuberkulosa sekitar 12%,
sedangkan penelitian menemukan sekitar 7-12%. Penyakit ini dapat menyerang semua umur
tetapi jarang ditemukan pada usia di bawah 6 bulan dan hamper tidak pernah pada usia di bawah
30 | P a g e
3 bulan, insidens tertinggi pada usia 6 bulan-6 tahun, peneliti lain ada yang menemukan insidens
tertinggi pada usia 6-24 bulan. Peneliti Eropa menemukan insidens tertinggi pada musim semi,
yaitu antara bulan April sampai Juni. Infeksi morbili dan pertusis serta trauma kepala sering
mendahului timbulnya meningitis tuberkulosa.
Insidensi berkaitan dengan banyaknya kasus TB, WHO (2003) mencatat 8 juta orang
terjangkit TB dengan 2 juta meninggal. Meningitis TB terutama terjadi pada anak dengan usia 04 tahun pada daerah prevalensi TB tinggi, dan lebih sering terjadi pada dewasa pada daerah
prevalensi TB rendah. Menurut Departemen Neurologi RS Cipto Mangunkusumo, tahun 1996
terdapat 15 kasus dengan kematian 40%, tahun 1997 ada 13 kasus dengan kematian 50.85% dan
tahun 1998 dilaporkan 13 kasus dengan kematian 46,15%. WHO pada tahun 2009 menyatakan
meningitis tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus tuberkulosis dimana 83% diantaranya berasal
dari tuberkulosis pulmonal.4
Patofisiologi meningoensefalitis tuberculosis.
Meningitis tuberkulosis pada umumnya muncul sebagai penyebaran tuberkulosis primer.
Biasanya fokus infeksi primer ada di paru-paru, namun dapat juga ditemukan di abdomen
(22,8%), kelenjar limfe leher (2,1%) dan tidak ditemukan adanya fokus primer (1,2%). Dari
fokus primer, kuman masuk ke sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe
regional, dan dapat menimbulkan infeksi berat berupa tuberkulosis milier atau hanya
menimbulkan beberapa fokus metastase yang biasanya tenang.5
Tuberkulosis pada sistem saraf pusat bisa dalam bentuk meningitis, tuberkuloma atau
abses otak dan proses penyakit ini bisa terjadi sebagai isolated disease atau bagian dari
tuberkulosis diseminata.Meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke
meningen. Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich tahun 1951.
Terjadinya meningitis tuberkulosis diawali oleh pembentukan tuberkel di otak, selaput otak atau
medula spinalis, akibat penyebaran kuman secara hematogen selama masa inkubasi infeksi
primer atau selama perjalanan tuberkulosis kronik walaupun jarang.5
Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula terbentuk lesi di otak
atau meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran
secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
31 | P a g e
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi
permulaan di otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang
subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 36 bulan setelah infeksi primer. Bila penyebaran
hematogen terjadi dalam jumlah besar, maka akan langsung menyebabkan penyakit tuberkulosis
primer seperti TB milier dan meningitis tuberkulosis. Meningitis tuberkulosis juga dapat
merupakan reaktivasi dari fokus tuberkulosis (TB pasca primer). 5
Meningitis TB terjadi akibat reaktivasi lambat suatu infeksi pada daerah otak dan paruparu. Akibat reaktivasi terjadi perjalaran kuman tuberkulosis ke susunan saraf pusat melalui
bakteremia. Kuman tuberkulosis yang dominan di dalam paru-paru akan kembali aktif jika
terdapat infeksi dan imunitas yang menurun. Tahap kedua dalam perkembangan meningitis
tuberkulosis adalah peningkatan saiz fokus Rich sehingga fokus tersebut pecah. Kuman
kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Tumpahan protein kuman
tuberkulosis ke ruang subarakhnoid akan merangsang reaksi hipersensitivitas yang hebat dan
selanjutnya akan menyebabkan reaksi radang yang paling banyak terjadi di basal otak.
Selanjutnya meningitis yang menyeluruh akan berkembang.5
Keadaan dan luas lesi pada meningitis tuberkulosis tergantung dari jumlah dan virulensi
kuman serta keadaan kekebalan penderita. Bilamana jumlah kuman sedikit dan daya tahan tubuh
penderita cukup baik, maka reaksi peradangan terbatas pada daerah sekitar tuberkel perkijuan.
Pada penderita immunocompromised dapat terjadi meningitis tuberkulosis yang luas disertai
dengan peradangan hebat dan nekrosis akibat daya tahan tubuhnya yang menurun atau lemah.5
BTA masuk tubuh
Multiplikasi
Penyebaran homogen
32 | P a g e
meningens
Membentuk tuberkel
Meningitis
Bagan.1 patofisiologi meningitis TB
paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian III dan IV, sehingga akan timbul gejala
diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik
dan timbul gejala penglihatan kabur bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila
mengenai saraf kranial VIII akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya radang
obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan sekuele neurologis
bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri cerebri media atau arteri karotis
interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis.
Pada pemeriksaan histologis arteri yang terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan
degenerasi. Pada tunika adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa
pembentukan tuberkel dan nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya
infiltrasi sel yang ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa
infiltrasi subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena
adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis interna. Vena
selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan menyebabkan
trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis tidak jelas, diduga
hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear dan perubahan fibrin .4
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis.
Gambaran patologi yang terjadi pada meningitis tuberkulosis ada 4 tipe, yaitu:4
1.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan meningitis yang
difus;
3. Acute inflammatory caseous meningitis
a. Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks Difus, dengan
eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif
a. Terlokalisasi, pada selaput otak
b. Difus dengan gambaran tidak jelas
34 | P a g e
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap pasien.
Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur, berat dan lamanya
sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang diberikan, virulensi dan jumlah
kuman juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
Pemeriksaan Fisik.
Gejala klinis meningitis TB disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat yaitu 5:
1. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen menyebabkan gejala perangsangan meningen,
gangguan saraf otak dan hidrosefalus.
2. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak menyebabkan gejala penurunan kesadaran,
kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal.
3. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal
4. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan tinggi
intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.
1. Stadium I : penderita dengan sedikit atau tanpa gejala klinis atau tanpa defisit fokal.
Tidak didapatkan kelumpuhan dan sadar penuh. Penderita tampak tidak sehat, suhu
subfebris dan nyeri kepala.
2. Stadium II : selain gejala diatas bisa didapatkan gejala defisit neurologi fokal
3. Stadium III : disertai dengan penurunan kesadaran yaitu GCS 10.5
Stadium ini berlangsung selama 1 3 minggu dan terdiri dari keluhan umum
seperti :
Nyeri kepala
Gejala TIK seperti edema papil, kejang kejang, penurunan kesadaran sampai
koma, posisi dekortikasi atau deserebrasi.
36 | P a g e
Tes tuberkulin
Tes tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum penderita
buruk.
2.
Tes Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein.
Pada pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman
mycobacterium tuberkulosis.
Bila beberapa cc CSS dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24 jam akan terbentuk
endapan fibrin berupa sarang laba laba.
Pungsi lumbal
Tujuan: Pemeriksaan cairan serebrospinal mengukur & mengurangi tekanan cairan serebrospinal
menentukan ada tidaknya darah pada cairan serebrospinal mendeteksi adanya blok subarakhnoid
spinal memberikan antibiotic intrathekal ke dalam kanalis spinal terutama kasus infeksi.
Indikasi:
Kejang
Pasien koma
Tuberkolosis milier
Kontra Indikasi:
Hidrosefalus obstruksi
Masa di posterior
Komplikasi:
Sakit kepala
Infeksi
Herniasi
LCS
Warna
Normal
Jernih
Bakteri
Keruh/purulen
Virus
jernih
TBC
Jernih-
Toxoplasma
jernih
Jamur
Jernih
sel
Sel dominan
Tekanan
<4
L
70- 180
100-10.000
PMN
M
N
keruh
10-500
L/M
N/
M
N/
25-500
M
(mmH2o)
Protein
<50
N/
sedikit
N/
(mg/dl)
Glukosa
50-75
(mg/dl)
Keadaan normal dan beberapa kelainan cairan serebrospinal dapat diketahui dengan
memperhatikan:
1. Warna
Normal cairan serebrospinal warnamya jernih dan patologis bila berwarna:
kuning,santokhrom, cucian daging, purulenta atau keruh. Warna kuning muncul dari
38 | P a g e
protein. Peningkatan protein yang penting dan bermakna dalam perubahan warna adalah
bila lebih dari 1 g/L. Cairan serebrospinal berwarna pink berasal dari darah dengan
jumlah sel darah merah lebih dari 500 sdm/cm3. Sel darah merah yang utuh akan
memberikan warna merah segar. Eritrosit akan lisis dalam satu jam danakan memberikan
warna cucian daging di dalam cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal tampak
purulenta bila jumlah leukosit lebih dari 1000 sel/ml.
2. Tekanan
Tekanan CSS diatur oleh hasil kali dari kecepatan pembentukan cairan dan tahanan
terhadap absorpsi melalui villi arakhnoid. Bila salah satu dari keduanya naik, maka
tekanan naik, bila salah satu dari keduanya turun, maka tekanannya turun. Tekanan CSS
tergantung pada posisi, bila posisi berbaring maka tekanan normal cairan serebrospinal
antara 8-20 cm H2O pada daerahh lumbal, siterna magna dan ventrikel, sedangkan jika
penderita duduk tekanan cairan serebrospinal akan meningkat 10-30 cm H2O. Kalau
tidak ada sumbatan pada ruang subarakhnoid,maka perubahan tekanan hidrostastik akan
ditransmisikan melalui ruang serebrospinalis. Pada pengukuran dengan manometer,
normal tekanan akan sedikit naik pada perubahan nadi dan respirasi, juga akan berubah
pada penekanan abdomen dan waktu batuk.. Bila terdapat penyumbatan pada
subarakhnoid, dapat dilakukan pemeriksaan Queckenstedt yaitu dengan penekanan pada
kedua vena jugularis. Pada keadaan normal penekanan vena jugularis akan meninggikan
tekanan 10-20 cm H2O dan tekanan kembali ke asal dalam waktu 10 detik. Bila ada
penyumbatan, tak terlihat atau sedikit sekali peninggian tekanan. Karena keadaan rongga
kranium kaku, tekanan intrakranial juga dapat meningkat, yang bisa disebabkan oleh
karena peningkatan volume dalam ruang kranial, peningkatan cairan serebrospinal atau
penurunan absorbsi, adanya masa intrakranial dan oedema serebri. Kegagalan sirkulasi
normal CSS dapat menyebabkan pelebaran ven dan hidrocephalus. Keadaan ini sering
dibagi menjadi hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus obstruktif. Pada hidrosefalus
komunikans terjadi gangguan reabsorpsi CSS, dimana sirkulasi CSS dari ventrikel ke
ruang subarachnoid tidak terganggu. Kelainan ini bisa disebabkan oleh adanya infeksi,
perdarahan subarakhnoid, trombosis sinus sagitalis superior, keadaan-keadaan dimana
viscositas CSS meningkat danproduksi CSS yang meningkat. Hidrosefalus obstruktif
terjadi akibat adanya ganguan aliran CSS dalam sistim ventrikel atau pada jalan keluar ke
ruang subarakhnoid. Kelainan ini dapat disebabkan stenosis aquaduktus serebri, atau
39 | P a g e
penekanan suatu msa terhadap foramen Luschka for Magendi ventrikel IV, aq. Sylvi dan
for. Monroe. Kelainan tersebut bis aberupa kelainan bawaan atau didapat.
3. Jumlah sel
Jumlah sel leukosit normal tertinggi 4-5 sel/mm3, dan mungkin hanya terdapat 1 sel
polymorphonuklear saja, Sel leukosit junlahnya akan meningkat pada proses inflamasi.
Perhitungan jumlah sel harus sesegera mungkin dilakukan, jangan lebih dari 30 menit
setelah dilakukan lumbal punksi. Bila tertunda maka sel akan mengalami lisis,
pengendapan dan terbentuk fibrin. Keadaaan ini akan merubah jumlah sel secara
bermakna. Leukositosis ringan antara 5-20 sel/mm3 adalah abnormal tetapi tidak spesifik.
Pada meningitis bakterial akut akan cenderung memberikan respon perubahan sel yang
lebih besar terhadap peradangan dibanding dengan yang meningitis aseptik. Pada
meningitis bakterial biasanya jumlah sel lebih dari 1000 sel/mm3, sedang pada meningitis
aseptik jarang jumlah selnya tinggi. Jika jumlah sel meningkat secara berlebihan (500010000 sel /mm3), kemungkinan telah terjadi rupture dari abses serebri atau perimeningeal
perlu dipertimbangkan. Perbedaan jumlah sel memberikan petunjuk ke arah penyebab
peradangan. Monositosis tampak pada inflamasi kronik oleh L. monocytogenes.
Eosinophil relatif jarang ditemukan dan akan tampak pada infeksi cacing dan penyakit
parasit lainnya termasuk Cysticercosis, juga meningitis tuberculosis, neurosiphilis,
lympoma susunan saraf pusat, reaksi tubuh terhadap benda asing.
4. Glukosa
Normal kadar glukosa berkisar 45-80 mg%. Kadar glukosa cairan serebrospinal
sangat bervariasi di dalam susunan saraf pusat, kadarnya makin menurun dari mulai
tempat pembuatannya di ventrikel, sisterna dan ruang subarakhnoid lumbar. Rasio normal
kadar glukosa cairan serebrospinal lumbal dibandingkan kadar glukosa serum adalah
>0,6. Perpindahan glukosa dari darah ke cairan serebrospinal secara difusi difasilitasi
transportasi membran. Bila kadar glukosa cairan serebrospinalis rendah, pada keadaan
hipoglikemia, rasio kadar glukosa cairan serebrospinalis, glukosa serum tetap terpelihara.
Hypoglicorrhacia menunjukkan penurunan rasio kadar glukosa cairan serebrospinal,
glukosa serum, keadaan ini ditemukan pada derjat yang bervariasi, dan paling umum
pada proses inflamasi bakteri akut, tuberkulosis, jamur dan meningitis oleh carcinoma.
Penurunan kadar glukosa ringan sering juga ditemukan pada meningitis sarcoidosis,
40 | P a g e
infeksi parasit misalnya, cysticercosis dan trichinosis atau meningitis zat khemikal.
Inflamasi pembuluh darah semacam lupus serebral atau meningitis rheumatoid mungkin
juga ditemukan kadar glukosa cairan serebrospinal yang rendah. Meningitis viral, mump,
limphostic khoriomeningitis atau herpes simplek dapat menurunkan kadar glukosa ringan
sampai sedang.
5. Protein
Kadar protein normal cairan serebrospinal pada ventrikel adalah 5-15 mg%. pada
sisterna 10-25 mg% dan pada daerah lumbal adalah 15-45 ,g%. Kadar gamma globulin
normal 5-15 mg% dari total protein. Kadar protein lebih dari 150 mg% akan
menyebabkan cairan serebrospinal berwarna xantokrom, pada peningkatan kadar protein
yang ekstrim lebih dari 1,5 gr% akan menyebabkan pada permukaan tampak sarang labalaba (pellicle) atau bekuan yang menunjukkan tingginya kadar fibrinogen. Kadar protein
cairan serebrospinal akan meningkat oleh karena hilangnya sawar darah otak (blood barin
barrier), reabsorbsi yang lambat atau peningkatan sintesis immunoglobulin loka. Sawar
darah otak hilang biasanya terjadi pada keadaan peradangan,iskemia baktrial trauma atau
neovaskularisasi tumor, reabsorsi yang lambat dapat terjadi pada situasi yang
berhubungan dengan tingginya kadar protein cairan serebrospinal, misalnya pada
meningitis atau perdarahan subarakhnoid. Peningkatan kadar immunoglobulin cairan
serebrospinal ditemukan pada multiple sklerosis, acut inflamatory polyradikulopati, juga
ditemukan pada tumor intra kranial dan penyakit infeksi susunan saraf pusat lainnya,
termasuk ensefalitis, meningitis, neurosipilis, arakhnoiditis dan SSPE (sub acut sclerosing
panensefalitis). Perubahan kadar protein di cairan serebrospinal bersifat umum tapi
bermakna sedikit, bila dinilai sendirian akan memberikan sedikit nilai diagnostik pada
infeksi susunan saraf pusat.
6. Elektrolit
Kadar elektrolit normal CSS adalah Na 141-150 mEq/L, K 2,2-3,3 mRq, Cl 120-130
mEq/L, Mg 2,7 mEq/L. Kadar elektrolit ini dalam cairan serebrospinal tidak
menunjukkan perubahan pada kelainan neurologis, hanya terdpat penurunan kadar Cl
pada meningitis tapi tidak spesifik.
7. Osmolaritas
Terdapat osmolaritas yang sama antara CSS dan darah (299 mosmol/L0. Bila terdapat
perubahan osmolaritas darah akan diikuti perubahan osmolaritas CSS.
8. PH
41 | P a g e
Diagnosa.
Kriteria diagnosis menurut Medical Research Council of Great Britain ( 1984 ):7
Kelainan CSS seperti pleositosis dengan dominan limfosit, peninggian kadar protein dan
penurunan kadar gula serta natrium klorida. Pada isolasi dapat ditemukan kuman
tuberkulosis.
Kontak dengan penderita tuberkulosis positif
42 | P a g e
Sedangkan kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk dalam Journal of
Infectious Disease 2005 adalah:7
1. Definitif :
Pewarnaan BTA + pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur + untuk M.
Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.
2. Probable
3. Possible
skor
36
<36
0
43 | P a g e
Leukosit darah / ml
15.000
<15.000
Riwayat nyeri (hari)
-5
<6
Leukosit CSS / ml
900
<900
% Neutrofil
75
<75
0
Total skor 4 suspek meningitis TB
Total skor >4 bukan meningitis TB
Penatalaksanaan
44 | P a g e
Semua pasien (termasuk mereka yg terinfeksi HIV) yang belum pernah diobati harus diberi
paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional:7
: 10mg/kgBB/hari
Isoniazid
: 5 mg/kgBB/hari
Pyrazinamid : 25 mg/kgBB/hari
Etambutol
: 20 mg/kgBB/hari
Minggu I
: 0,3 mg/kgBB/hari iv
Minggu II
: 0,2 mg/kgBB/hari iv
Minggu I
: 0,4 mg/kgBB/hari iv
Minggu II
Minggu III
: 0,2 mg/kgBB/hari iv
45 | P a g e
Minggu IV
: 0,1 mg/kgBB/Hari iv
Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada meningitis tuberkulosis :
Oftalmoplegia
Hidrosefalus
Arachnoiditis
Komplikasi jangka panjang dari ensefalitis berupa sekuele neurologikus yang nampak pada
30 % anak dengan berbagai agen penyebab, usia penderita, gejala klinik, dan penanganan selama
perawatan. Perawatan jangka panjang dengan terus mengikuti perkembangan penderita dari
dekat merupakan hal yang krusial untuk mendeteksi adanya sekuele secara dini. Walaupun
sebagian besar penderita mengalami perubahan serius pada susunan saraf pusat (SSP),
komplikasi yang berat tidak selalu terjadi. Komplikasi pada SSP meliputi tuli saraf, kebutaan
kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia muskulorum, ataksia, epilepsi, retardasi mental
dan motorik, gangguan belajar, hidrosefalus obstruktif, dan atrofi serebral.1,3-7
Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis.
Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of
Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan
intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul
proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal
seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular otak) disebabkan oleh
pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar
darah otak).
47 | P a g e
Transmisi pada manusia terutama terjadi bila makan daging babi atau domba yang
mentah yang mengandung oocyst. Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi atau kontak
langsung dengan feces kucing. Selain itu dapat terjadi transmisi lewat transplasental, transfusi
darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang imunokompeten biasanya
asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari
infeksi laten. yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di otak.
Tissue cyst menjadi ruptur dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini akan
menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis.
48 | P a g e
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor untuk
validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4 < 200 sel/mL
kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi. Oportunistik infeksi yang mungkin
terjadi pada penderita dengan CD4 < 200 sel/mL adalah pneumocystis carinii, CD4 <100 sel/mL
adalah toxoplasma gondii, dan CD4 < 50 adalah M. avium Complex, sehingga diindikasikan
untuk pemberian profilaksis primer. M. tuberculosis dan candida species dapat menyebabkan
infeksi oportunistik pada CD4 > 200 sel/mL.
Manifestasi klinis toxoplasmosis pada penderita AIDS dapat berupa Toxoplasma
ensefalitis, Toxoplasma pneumonitis dan toxoplasma chorioretinitis. Dari ketiga manifestasi ini,
ensefalitis lebih sering terjadi pada penderita AIDS .
Imunitas seluler yang diperantarai oleh sel T, makrofag dan aktivitas dari sitokin tipe 1
(interleukin [IL]-12 dan interferon [IFN]-gamma) berperan penting dalam infeksi T gondii
kronis. Interleukin 12 diproduksi oleh antigen presenting cells seperti sel dendrit dan makrofag.
IL-12 akan menstimulasi produksi dari IFN-gamma, suatu mediator mayor untuk proteksi
pejamu melawan intraseluler patogen. IFN-gamma kemudian akan menstimulasi anti aktivitas Tgondii, tidak hanya dari makrofag tapi juga dari sel nonfagositosis. Produksi dari IL-12 dan IFNgamma distimulasi oleh CD-154 (juga dikenal sebagai ligand CD40) pada infeksi T.gondii pada
manusia. CD 154 (primer diekspresi pada aktivasi CD4 T sel) bekerja dengan diperantarai oleh
sel dendrit dan makrofag untuk mengsekresi IL-12, yang akan kembali meningkatkan produksi
dari IFN-gamma oleh sel T. TNF-alfa adalah sitokin esensial lain untuk mengendalikan infeksi
kronis T gondii.
Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis
sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan IFNgamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara in vitro dan penurunan ekspresi
dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii. Hal ini memainkan peranan yang penting dari
perkembangan toxoplasmosis dihubungkan dengan infeksi HIV.
Ensefalitis toxolasma biasanya terjadi pada penderita yang terinfeksi virus HIV dengan
CD4 T sel < 100/mL. Ensefalitis toxoplasma ditandai dengan onset yang subakut. Manifestasi
klinis yang timbul dapat berupa defisit neurologis fokal (69%), nyeri kepala (55%), bingung /
kacau (52%), dan kejang (29%)9. Pada suatu studi didapatkan adanya tanda ensefalitis global
49 | P a g e
dengan perubahan status mental pada 75 % kasus, adanya defisit neurologis pada 70% kasus,
Nyeri kepala pada 50 % kasus, demam pada 45 % kasus dan kejang pada 30 % kasus. 5 Defisit
neurologis yang biasanya terjadi adalah kelemahan motorik dan gangguan bicara. Bisa juga
terdapat abnormalitas saraf otak, gangguan penglihatan, gangguan sensorik, disfungsi serebelum,
meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan serologi, biopsy jaringan, isolasi T
gondii dari cairan tubuh atau darah dan pemeriksaan DNA parasit.
Pada pemeriksaan serologi didapatkan seropositif dari anti-T gondii IgG dan IgM.
Pemeriksaan yang sudah menjadi standar emas untuk mendeteksi titer IgG dan IgM T gondii
yang biasa dilakukan adalah dengan Sabin-Feldman dye test, tapi pemeriksaan ini tidak tersedia
di Indonesia. Deteksi antibodi juga dapat dilakukan dengan indirect fluorescent antibody (IFA),
agglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Titer IgG mencapai puncak
dalam 1-2 bulan setelah infeksi kemudian bertahan seumur hidup. Anti bodi IgM hilang dalam
beberapa minggu setelah infeksi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada penderita ensefalitis toxoplasma menunjukkan
adanya pleositosis ringan dari mononuclear predominan dan elevasi protein. 7
Pemeriksaan Polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi DNA T gondii dapat
berguna untuk diagnosis toxoplasmosis. Sensitifitas PCR pada cairan serebrospinal bervariasi
dari 12-70% (biasanya 50-60%) dan spesifisitasnya hampir 100%. PCR untuk T gondii dapat
juga positif pada cairan bronkoalveolar dan cairan vitreus atau aqueous humor dari penderita
toxopasmosis yang terinfeksi HIV. Adanya PCR yang positif pada jaringan otak tidak berarti
terdapat infeksi aktif karena tissue cyst dapt bertahan lama berada di otak setelah infeksi akut.
PCR pada darah mempunyai sensitifitas yang rendah untukdiagnosis pada penderita AIDS.
Toxoplasmosis juga dapat didiagnosis dengan isolasi T gondii dari kultur cairan tubuh
atau spesimen biopsy jaringan. Tapi diperlukan waktu lebih dari 6 minggu untuk mendapatkan
hasil kultur. Diagnosis pasti dari ensefalitis toxoplasma adalah dengan biopsi otak, tapi karena
keterbatasan fasilitas, waktu dan dana sering biosi otak ini tidak dilakukan.
AAN Quality Standards subcommittee (1998) merekomendasikan penggunaan terapi
empirik pada pasien yang diduga ensefalitis toxoplasma selama 2 minggu, kemudian dimonitor
lagi setelah 2 minggu, bila ada perbaikan secara klinis maupun radiologi, diagnosis adanya
ensefalitis toxoplasma dapat ditegakkan dan terapi ini dapat di teruskan. Lebih dari 90% pasien
50 | P a g e
menunjukkan perbaikan klinis dan radiologik setelah diberikan terapi inisial selama 10-14 hari.
Jika tidak ada perbaikan lesi setelah 2 minggu, diindikasikan untuk dilakukan biopsi otak.
Terapi ensefalitis toxoplasma yang direkomendasikan adalah kombinasi pirimetamin 50100 mg perhari yang dikombinasikan dengan sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam. Pada pasien yang
alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari dengan
clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam. Disamping itu perlu pemberian asam folinic 5-10 mg perhari
untuk mencegah depresi sumsum tulang. Bila pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat
diganti dengan Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau atovaquone
750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3 minggu setelah perbaikan gejala
klinis.7
Pemeriksaan CT scan menunjukkan adanya lesi hipodens, multiple, bilateral dan
menyangat setelah pemberian kontras, seperti ringlike pattern pada 70-80% kasus. Lesi ini
berpredileksi di ganglia basalis dan hemispheric corticomedullary junction. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif dibanding CT Scan. Ditemukannya lesi pada pemeriksaan CT Scan ataupun MRI
tidak patognomonik untuk ensefalitis toxoplasma. Lesi ini harus didiagnosis banding dengan
limfoma SSP dan criptococcus.7
Penatalaksanaan
1) Pengobatan fase akut (3-6 minggu)
Pirimetamin :
BB < 50 kg : 2x25 mg/hari p.o
BB > 50 kg : 3x 25 mg/hari p.o
Klindamisin : 4x 600 mg/hari p.o
2) fase rumatan
Pirmetamin dan klindamisin dengan dosis dari doss fase4 akut atau menggunakan
kotrimoksazol 2x1. Fase rumatan diteruskan hngga pasen mencapai nilai CD4 >200
Kriteria diagnostic presumptive untuk indicator AIDS:
1. Kandidiasis esophagus: nyeri retrosternal saat menelan dan bercak putih di atas dasar
kemerahan.
2. Retinitis virus sitomegalovirus.
3. Mikrobakteriosis
51 | P a g e
4. Sarcoma Kaposi : bercak merah atau ungu pada kulit atau selaput mukosa.
5. Pneumonia pnemosistis karinii : riwayat sesak nafas /batuk non produktif dalam 3 bulan
terakhir.
6. Toksoplasmosis otak
Infeksi opportunistic
1. Sitomegalovirus pada HIV : pada funduskopi terdapat retinitis sitomegalovirus.
Gansiklovir 5mg/kgBB dua kali sehari paraenteral selama 14-21 hari selanjutnya
5mg/kgBB sekali sehari dianjurkan sampai CD4 lebih dari 100sel/ml
2. Ensefalitis toksoplasma : Pirimetamin 50-75 mg perhari dengan sulfadiazine
100mg/kgBB/Asam Folat 10-20 mg perhari. Atau Fansidar 2-3 tablet per hari dan
Klindamisin 4x600 mg perhari. Disertai leukovorin. Fansidar mengandungi pirimetamin
25mg dan sulfadoksin 500mg. untuk mencegah kekambuhan diberikan kotrikmoksazol 2
tab perhari.
3. Meningitis cryptoccocus : terapi primer fase akut yaitu dengan Amfoterisin B 0,7
mg/kgBB/hari iv 2 minggu. Selanjutnya Fluconazole 400mg per hari peroral selama 810 minggu. Terapi pencegahan kekambuhan dengan Flucnazole 100 mg perhari
seterusnya selama jumlah sel CD4 masih dibawah 300 sel/ml.
Diagnosis Banding
1.Meningitis bakterial
Meningitis bacterial merupakan salah satu penyakit infeksi yang menyerang susunan saraf
pusat, mempunyai resiko tinggi dalam menimbulkan kematian, dan kecacatan. Diagnosis yang
cepat dan tepat merupakan tujuan dari penanganan meningitis bakteri
Meningitis bakterial selalu bersifat purulenta. Pada umumnya meningitis purulenta timbul
sebagai komplikasi dari septikemia. Pada meningitis meningokokus, prodomnya ialah infeksi
nasofaring, oleh karena invasi dan multiplikasi meningokokus terjadi di nasofaring. Meningitis
purulenta dapat menjadi komplikasi dari otitis media akibat infeksi kuman-kuman tersebut.
Biasanya pada meningitis bakteri didapatkan tekanan suhu yang meningkat.3 Terapi Ceftriakson
2x2 gr iv5
52 | P a g e
2.Meningitis viral
Disebut juga dengan meningitis aseptik, terjadi sebagai akibat akhir / sequel dari berbagai
penyakit yang disebabkan oleh virus seperti campak, mumps, herpes simpleks, dan herpes
zooster. Pada meningitis virus ini tidak terbentuk eksudat dan pada pemeriksaan cairan
serebrospinal (CSS) tidak ditemukan adanya organisme. Inflamasi terjadi pada korteks serebri,
white matter, dan lapisan menigens. Terjadinya kerusakan jaringan otak tergantung dari jenis sel
yang terkena. Pada herpes simpleks, virus ini akan mengganggu metabolisme sel, sedangkan
jenis virus lain bisa menyebabkan gangguan produksi enzim neurotransmiter, dimana hal ini
akan berlanjut terganggunya fungsi sel dan akhirnya terjadi kerusakan neurologis. Kombinasi
Stavudin 2x30 mg-Lamifudin 2x300 mg-Nevirapin 2x200 mg
3.Meningitis jamur
Meningitis oleh karena jamur merupakan penyakit yang relatif jarang ditemukan, namun dengan
meningkatnya pasien dengan gangguan imunitas, angka kejadian meningitis jamur semakin
meningkat. Problem yang dihadapi oleh para klinisi adalah ketepatan diagnosa dan terapi yang
efektif. Sebagai contoh, jamur tidak langsung dipikirkan sebagai penyebab gejala penyakit /
infeksi dan jamur tidak sering ditemukan dalam cairan serebrospinal (CSS) pasien yang
terinfeksi oleh karena jamur hanya dapat ditemukan dalam beberapa hari sampai minggu
pertumbuhannya. Terapi minggu 1-2 Ampoterisin-B 0.7-1 mg/kg/hari, Flukonazol 800 mg/hari.
Minggu ke 3-10 Flukonazol 800 mg/ hari
53 | P a g e
Pembahasan
Pasien didiagnosa dengan meningitis TB hal ini sesuai berdasarkan anamnesa didapatkan
riwayat lemas seluruh badan yang merupakan gejala utama pada meningitis toksoplasmosis,
nyeri kepala disertai riwayat demam 2 hari sebelum dirawat pertama kali. Menurut skoring
meningitis TB juga, pasien ini sudah sugestif meningitis tuberculosis karena usia
(+2). Durasi sakit
36 tahun
hari (-5), jumlah sel di CSS < 900 (0) dan neutrofil pada CSS < 75%
(0). Jumlah leukosit pasien 15 000/mm 3 (0), jumlah skor adalah -3 dan hasil skor
4 sugestif
untuk meningitis TB. Berdasarkan kriteria diagnostik dari meningitis TB, pasien tergolong
54 | P a g e
possible meningitis TB kerana ada deficit neurologis yaitu lemas seluruh badan tanpa disertai
dengan bicara pelo, adanya nyeri kepala, dan riwayat demam selama 2 hari saat pertama kali
dirawat. Hasil analisa CSS tidak normal, sakit > 5 hari, adanya dominasi mononuclear, none (+),
pandy (+), Test Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein yang
merupakan criteria dari meningitis TB yaitu peningkatan protein. Selain itu pada cairan
serebrospinal kemudian juga didapatkan hasil glukosa menurun . Pada pasien didapatkan hasil
rontgen thorax sesuai gambaran brokopneumonia. Untuk mengevaluasi infeksi pada sistem saraf
pusat, prosedur yang paling penting dilakukan adalah pungsi lumbal. Pada pasien ini dilakukan
pungsi lumbal. Sebelum prosedur ini dilakukan, ada beberapa persiapan yang harus dilakukan
karena tindakan ini bersifat invasif dan harus menyingkirkan kontraindikasi pungsi lumbal.
Sebelum prosedur dilakukan, pasien telah diminta untuk melakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui apakah pasien mempunyai gangguan hemostasis atau tidak dan juga untuk
mengetahui fungsi ginjal pasien sebelum dilakukan pemeriksaan CT Scan dengan kontrast.
Pada pemeriksaan CT Scan pasien didapatkan kelainan berupa sesusai gambaran lesi
iskemik multiple dd/inflamasi proses/abses : lesi metastasis.
meningitis tuberculosis namun CT Scan tidak mandatory dalam menegakkan probable atau
definite meningitis tuberkulosis. Diagnose meningoensefalitis toksoplasma diperkuatkn lagi
dengan hasil MRI dan MRS pasien dengan adanya multiple ring enhancement sesuai gambaran
infeksi serebri oleh Tokso. Namun begitu, CT Scan pada meningitis berguna untuk menegakkan
diagnosa sekiranya ada kelainan pada pencitraan seperti hidrocephalus, infrak atau tuberkuloma.
BAB III
KESIMPULAN
Infeksi pada sistem syaraf pusat dan pada jaringan disekitarnya merupakan kondisi yang
mengancam jiwa. prognosis tergantung pada identifikasi tempat dan jenis pathogen yang
menyebabkan terjadinya inflamasi sehingga bisa diberikan pengobatan anti biotic yang
55 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA.
1. Meningens otak dan medulla spinalis, Neuroanatomi Klinik Ricahard S. Snell M.D Ph.D,
hal 475-513.
2. Cairan otak, Hematologi, Urinnalisis, Cairan tubuh, Bagian patologi Klinikhal 88-89
3. Menigitis, Kapita selekta kedokteran Jilid III , hal 11-16
4. Ramachandran
T.S,
tuberculous
meningitis,
diunduh
dari
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview#a0104
5. Workshop Neuro-Infeksi 1 Hand out workshop Neuro-infeksi. Jakarta: Perhimpunan
dokter spesialis saraf. Feb 2011.
6. Meninigitis tbc,
http://ifan050285.wordpress.com/2010/02/28/meningitis-tbc/ diunduh
56 | P a g e
7. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. PERDOSSI. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta, 1996; 161-167.
57 | P a g e