OLEH:
MAHASISWA B17
1. Definisi
Dalam buku Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis menjelaskan
bahwa tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberkulosis yang dapat menular secara langsung. Predileksi utama
adalah organ paru, tetapi bisa juga menyerang organ lainnya (Kemenkes RI, 2011).
Menurut Somantri (2009) tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang
menyerang parenkim paru-paru, disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal,
tulang dan nodus limfe.
Penyakit TB Paru adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularan utama penyakit TB Paru adalah
bakteri yang terdapat dalam droplet yang dikeluarkan penderita sewaktu bersin
bahkan bicara (Muttaqin, 2007).
Hemaptoe (batuk darah) adalah darah berdahak yang dibatukkan yang berasal
dari saluran pernafasan bagian bawah. Dikatakan batuk darah massif apabila jumlah
darah yang keluar 600 ml dalam waktu 24 jam. Hemaptoe (hemoptysis) adalah batuk
dengan sputum yang mengandung darah yang berasal dari paru atau percabangan
bronkus (Kusmiati & Laksmi, 2011). Hemaptoe diklasifikasikan menjadi: hemaptoe
massif (perdarahan lebih dari 200cc/24 jam), hemaptoe moderate (perdarahan
<200cc/24jam), hemaptoe ringan (sputum dengan bercak darah).
2. Etiologi
Penyebab penyakit TB Paru adalah bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri atau kuman ini berbentuk batang, dengan ukuran panjang 1-4m dan tebal
0,3-0,6m. Sebagian besar kuman berupa lemak/lipid, sehingga kuman tahan terhadap
asam dan lebih tahan terhadap kimia atau fisik. Sifat lain dari kuman ini adalah aerob
yang menyukai daerah dengan banyak oksigen, dan daerah yang memiliki kandungan
oksigen tinggi yaitu apikal/apeks paru. Daerah ini menjadi predileksi pada penyakit
TB Paru (Somantri,2009).
3. Patofisiologi
Menurut Somantri (2009) seseorang yang dicurigai basil Mycobaterium
tuberculosis akan menjadi terinfeksi. Bakteri menyebar melalui jalan napas ke alveoli,
dimana pada daerah tersebut bakteri bertumpuk dan berkembang biak. Penyebaran
basil ini bisa juga melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal,
tulang, korteks serebri) dan area lain dari paru-paru (lobus atas).
Sistem kekebalan tubuh berespons dengan melalukan reaksi inflamasi.
Neutrofil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri. Limfosit yang spesifik
terhadap tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi
jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli dan terjadilah
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu minggu
setelah terpapar (Somantri, 2009).
Massa jaringan baru disebut granuloma, yang berisi gumpalan basil yang
hidup dan yang sudah mati, dikelilingi oleh makrofag yang membentuk dinding.
Garnuloma berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa
tersebut disebut Ghon Tubercle. Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri
menjadi nekrotik, membentuk perkijuan (necrotizing caseosa). Setelah itu akan
terbentuk klasifikasi, membentuk jaringan kolagen. Bakteri menjadi non-aktif
(Somantri, 2009).
Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respons
sistem imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akibat infeksiu
ulang atau aktifnya kembal;i bakteri yang tidak aktif. Pada kasus ini terjadi ulserasi
pada ghon tubercle, dan akhirnya menjadi perkijuan. Tuberkel yang ulserasi
mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan parut. Paru-paru yang terinfeksi
kemudian meradang, mengakibatkan bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan
seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini
berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga
menyebar melalui kelenjar getah bening. Makrofag yang mengadakan infiltrasi
menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis
serta jaringan granulasi yang dikelilingi oleh sel epiteloid dan fibroblast akan
menimbulkan respons berbeda dan akhirnya membentuk suatu kapsul yang dikelilingi
oleh tuberkel (Somantri, 2009).
4. Manifestasi Klinis
Gejala utama pasien tuberkulosis paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak napas, badan lemas, nafsu makan menurun, malaise, berkeringat
malam hari tanpa kegiatan fisik, demam, meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI,
2007).
5. Klasifikasi
Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006) klasifikasi TB Paru yaitu:
1) Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB Paru dibagi atas:
(1)
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
b. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
c. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan
positif
(2)
tuberculosis.
2) Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
(1)
(2)
(4)
pengobatan.
(5)
Kasus kronik
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik
(6)
Kasus Bekas TB:
a. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung
b. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat
pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi
6. Komplikasi
Komplikasi berikut sering terjadi pada penderita stadium lanjut (Depkes RI,
2007):
1) Hempotisis
berat
(perdarahan
dari
saluran
napas
bawah)
yang
dapat
1) Pemeriksaan Jasmani
Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang
terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.
2) Pemeriksaan Bakteriologik
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti
yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage), urin,
faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus)
3) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
4) Pemeriksaan khusus
(1)Pemeriksaan BACTEC
(2)Polymerase chain reaction (PCR):
(3)Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda a.1:
a. Enzym linked immunosorbent assay (ELISA)
b. ICT
c. Mycodot
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
5) Pemeriksaan Penunjang lain
(1)Analisis Cairan Pleura
(2)Pemeriksaan histopatologi jaringan
(3)Pemeriksaan darah
(4)Uji tuberkulin
8. Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terdiri dari 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4-7 bulan). Obat Tuberkulosis (OAT) yang digunakan terdiri dari obat utama
dan obat tambahan. Obat utama atau bisa disebut lini pertama terdiri dari rifampisim
(R), isoniazid (H), etambutol (E), pirazinamid (Z) dan streptomisin (S). Sedangkan
obat tambahan lainnya (lini kedua) yaitu kanamisin, amikasin, kuinolon, dan lain-lain
(Kemenkes RI, 2011).
Tabel 2.1 Dosis obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama
Obat
Dosis
(Mg/ Kg
Dosis
Maks
(Kg)
BB/hari)
R
H
Z
E
S
Harian
(Mg/KgBB/hari)
Intermitten
(Mg/KgBB/hari)
10
5
25
15
15
10
10
35
30
15
8-12
4-6
20-30
15-20
15-18
(Mg)
600
300
10000
<40
40-60
300
150
750
750
Sesuai
450
300
1000
1000
750
>60
600
450
1500
1500
1000
BB
Kasus
TB Paru BTA+,
-Kambuh
-Gagal Pengobatan
TB paru lalai
resistensi atau
2HZES/1RHZE/5R3H3E3
Sesuai lama pengobatan
berobat
II
Keterangan
Bila sterptomisi
dapat diganti
kanamisin
III
TB paru BTA
negatif lesi minimal
IV
Kronik
IV
MDR TB
Suhu tubuh
MK :
Hipertermi
Terhirup
Masuk ke alveoli
Reaksi Inflamasi
Sekresi bradikinin,
histamin, prostaglandin
MK : Nyeri
Akut
MK : Gangguan
konsolidasi paru
Pertukaran Gas
Berkurangnya oksigenasi darah
Gangguan pemenuhan ADL
MK : Intoleransi
Aktivitas
MK : Defisit
Perawatan Diri
Ekspansi paru
kapasitas paru
Sesak napas
Produksi sekret
Batuk produktif
Hemoptoe
Penurunan kemampuan
pertukaran O2 dan CO2
MK : Gangguan
Pertukaran Gas
MK : Ketidakefektifan
Bersihan Jalan Napas
Tekanan O2 dan
CO2
MK : Pola Napas
Tidak Efektif
Perdarahan masif
Anemia
MK : Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Perifer
A. PENGKAJIAN
Pengkajian dengan TB Paru pada klien dewasa, meliputi :
1. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
2.
hanya
Demam, timbul pada sore atau malam hari mirip demam influenza, hilang
timbul, dan semakin lama semakin panjang serangannya, sedangkan masa
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan. Sekilas pandang klien dengan TB paru biasanya
tampak kurus sehingga terlihat adanya penurunan proporsi diameter bentuk dada anteroposterior dibandingkan proporsi diameter lateral. Apabila ada penyulit dari TB paru seperti
adanya efusi pleura yang masif, maka terlihat adanya ketidaksimetrian rongga dada, pelebar
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. TB paru yang disertai atelektasis paru membuat
bentuk dada menjadi tidak simetris, yang membuat penderitanya mengalami penyempitan
intercostals space (ICS) pada sisi yang sakit. Pada klien dengan TB paru minimal dan tanpa
komplikasi, biasanya gerakan pernapasan tidak mengalami perubahan. Meskipun demikian,
jika terdapat komplikasi yang melibatkan kerusakan luas pada parenkim paru biasanya klien
akan terlihat mengalami sesak napas, peningkatan frekuensi napas, dan menggunakan otot
bantu napas.
Batuk dan sputum. Saat melakukan pengkajian batuk pada klien dengan TB paru, biasanya
didapatkan batuk produktif yang disertai adanya peningkatan produksi secret dan sekresi
sputum yang purulen. Periksa jumlah produksi sputum, terutama apabila TB paru disertai
adanya brokhiektasis yang membuat klien akan mengalami peningkatan produksi sputum
yang sangat banyak. Perawat perlu mengukur jumlah produksi sputum per hari sebagai
penunjang evaluasi terhadap intervensi keperawatan yang telah diberikan.
Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ekskrusi pernapasan. TB paru tanpa komplikasi pada saat
dilakukan palpasi, gerakan dada saat bernapas biasanya normal seimbang antara bagian kanan
dan kiri. Adanya penurunan gerakan dinding pernapasan biasanya ditemukan pada klien TB
paru dengan kerusakan parenkim paru yang luas.
Getaran suara (fremitus vokal). Getaran yang terasa ketika perawat meletakkan tangannya di
dada klien saat klien berbicara adalah bunyi yang dibangkitkan oleh penjalaran dalam laring
arah distal sepanjang pohon bronchial untuk membuat dinding dada dalam gerakan resonan,
teerutama pada bunyi konsonan. Kapasitas untuk merasakan bunyi pada dinding dada disebut
taktil fremitus.
Perkusi
Pada klien dengan TB paru minimal tanpa komplikasi, biasanya akan didapatkan resonan atau
sonor pada seluruh lapang paru. Pada klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti
efusi pleura akan didapatkan bunyi redup sampai pekak pada sisi yang sesuai banyaknya
akumulasi cairan di rongga pleura. Apabila disertai pneumothoraks, maka didapatkan bunyi
hiperresonan terutama jika pneumothoraks ventil yang mendorong posisi paru ke sisi yang
sehat.
Auskultasi
Pada klien dengan TB paru didapatkan bunyi napas tambahan (ronkhi) pada sisi yang sakit.
Penting bagi perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil auskultasi di daerah mana
didapatkan adanya ronkhi. Bunyi yang terdengar melalui stetoskop ketika klien berbica
disebut sebagai resonan vokal. Klien dengan TB paru yang disertai komplikasi seperti efusi
pleura dan pneumopthoraks akan didapatkan penurunan resonan vocal pada sisi yang sakit.
B2 (Blood)
Pada klien dengan TB paru pengkajian yang didapat meliputi:
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
didapatkan.
B3 (Brain)
Kesadaran biasanya compos mentis, ditemukan adanya sianosis perifer apabila gangguan
perfusi jaringan berat. Pada pengkajian objektif, klien tampak dengan meringis, menangis,
merintih, meregang, dan menggeliat. Saat dilakukan pengkajian pada mata, biasanya
didapatkan adanya kengjungtiva anemis pada TB paru dengan gangguan fungsi hati.
B4 (Bladder)
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan. Oleh karena itu, perawat
perlu memonitor adanya oliguria karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok. Klien
diinformasikan agar terbiasa dengan urine yang berwarna jingga pekat dan berbau yang
menandakan fungsi ginjal masih normal sebagai ekskresi karena meminum OAT terutama
fifampisin.
B5 (Bowel)
Klien biasanya mengalami mual, penurunan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
B6 (Bone)
Aktivitas sehari-hari berkurang banyak pada klien dengan TB paru. Gejala yang muncul
antara lain kelemahan, kelelahan, insomnia, pola hidup menetap, jadwal olahraga menjadi tak
teratur.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
C. INTERVENSI
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, tidak ada gangguan pada
bersihan jalan napas.
Kriteria Hasil:
1. RR Normal = 16 20x /m
2. Tidak ada batuk darah, tidak ada sekret
3. Tidak ada suara napas tambahan: ronchi, crackless, dll
Suara napas = vesikuler
Intervensi:
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg atau posisi kepala lebih rendah dari posisi
kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien, dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dengan kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan pemberian terapi koagulan
2. Gangguan pertukaran gas
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, pertukaran gas tidak
terganggu.
Kritera Hasil:
1.
2.
3.
1. Pertahankan posisi pasien trendelenburg: posisi kepala lebih rendah dari posisi kaki
2. Kaji irama napas pasien, apakah cepat dan dalam, apakah kusmaul, ataukah
termasuk normal atau tidak, dokumentasikan temuan
3. Kaji suara napas, dokumentasikan temuan
4. Kaji kebutuhan oksigen pasien dg saturasim dokumentasikan temuan
5. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen yang sesuai dg kebutuhan pasien
6. Kolaborasikan untuk melakukan pemeriksaan BGA
7. Anjurkan pasien untuk tidak banyak melakukan aktivitas, sehingga dapat berfokus
pada kebutuhan pemenuhan istirahat.
3. Pola napas tidak efektif
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 8x24 jam, intoleransi aktivitas
teratasi.
Kriteria Hasil:
1.
TTV dan pernapasan dalam batas normal :
TD = 100 130 / 70 90 mmHg
N = 60 100x /m
S = 360 C 37,50 C
RR = 16-20x/menit
2.
Hb meningkat dan mencapai rentang normal : 10 g /dl
Pasien tidak tampak lemah, konjungtiva tidak anemis
Intervensi
1. Kaji TTV, termasuk inspeksi konjungtiva dan Hb.
2. Bantu pasien dalam pemenuhan ADL.
3. Tingkatkan keterlibatan keluarga dalam pemenuhan ADL pasien.
4. Berikan terapi latihan ambulasi untuk pasien sesuai kemampuan dan batas
toleransi aktivitas: miring kanan kiri.
5. Kolaborasikan pemberian obat anti perdarahan dan transfusi darah.
6. Kolaborasikan pemberian terapi oksigen.
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M, et al. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). USA: Mosby Inc.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi 2. Jakarta: Gerdunas-TB. 2007
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses: Definition
and Classification 2015-2017. Oxford: Wiley Blackwell.
Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyakit
Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Moorhead, Sue et al. 2013.
Muttaqin, Arif. 2007. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.
PDPI. 2006. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia
Somantri, I. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan,
Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika, hal.67