Audit Investigasi
Audit Investigasi
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah korupsi bukan hal yang baru di Indonesia. Secara yuridis istilah korupsi
sudah dikenal sejak tahun 1957 dalam bentuk Peraturan Militer Angkatan Darat dan Laut
Republik Indonesia Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan Penguasa Militer dibuat karena
Undang-Undang Hukum Pidana yang dianggap tidak mampu lagi menanggulangi
permasalahan korupsi, pada saat itu korupsi dianggap sebagai penyakit masyarakat yang
menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pembangunan, merugikan perekonomian,
dan mengabaikan moral. Peraturan Penguasa Militer dapat dikatakan sebagai upaya awal bagi
Pemerintah untuk menanggulangi korupsi, sehingga saat ini dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
undangan tersebut belum mampu menekan angka korupsi yang semakin meningkat. Apalagi
di era orde baru, yang semula paling lantang menentang praktik korupsi, justru membuat
korupsi semakin tumbuh subur dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan
yang penuh dengan unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Menurut Arifin (2000, 2) mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah menyatu
menjadi sistem penyelenggaraan pemerintahan (sistemik), bahkan pemerintahan akan hancur
jika korupsi benar-benar diberantas.
Salah satu upaya Pemerintah untuk menanggulangi tindak korupsi adalah dengan
melaksanakan audit investigatif. BPK-RI sebagai lembaga yag dipercaya dan memiliki
kewenangan dalam melaksanakan audit investigatif serta terpercaya dalam memberantas
korupsi.
Sebelum memulai suatu investigasi, pimpinan atau lembaga perlu menetapkan apa
yang sesungguhnya ingin dicapai dari investigasi itu. Investigasi merupakan proses yang
panjang, mahal, dan bisa berdampak negative terhadap perusahaan atau stakeholdersnya.
Proses yang panjang dan lama, diikuti dengan banyaknya pihak (baik intern maupun
ekstern) yang terlibat atau dilibatkan, menyebabkan investigasi itu menjadi mahal.
Perusahaan juga harus menyediakan banyak sumber daya atau harus meng-commit sumber
daya yang akan disediakan.
Seminar Auditing
Page 1
Reputasi perusahaan juga bisa hancur jika pengungkapan investigasi ini tidak
dikomunikasikan dengan baik. Karena itu, tujuan dari suatu investigasi harus disesuaikan
dengan keadaan khusus yang dihadapi,dan ditentukan sebelum investigasi dimulai.
1.2 Tujuan
Tujuan Investigatif:
Dibawah ini disajikan bermacam-macam alternative mengenai tujuan investigasi:
1. Memberhentikan manajemen. Tujuan utamanya adalah sebagai teguran keras
bahwa manajemen
Page 2
menghadirkan orang luar sebagai panelis. Orang luar ini biasanya orang
terkemuka dan terpandang. Hal ini umumnya dilakukan apabila operasi tertutup
dan rahasia (covert operations) gagal mengungkapkan kecurangan yang
berdampak luas.
7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya. Ada dua
versi dari pendekatan ini. Pertama, lakukan penuntutan tanpa pandang bulu,
berapapun besar biayanya, siapapun pelakunya (penjahat besar maupun kecil). Hal
ini akan mengirimkan pesan kepada seluruh karyawan dan pihak luar, bahwa
perusahaan atau lembaga itu serius dalam mengejar si penjahat. Kedua, kejar si
penjahat untuk mengembalikan dana atau asset yang dicurinya, dan kemudian
minta dia mengundurkan diri atau diberhentikan. Pendekatan kedua, lebih
tenang, tak ada gembar-gembor.
8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan. Seperti pada butir diatas,
tujuan utamanya adalah menyingkirkan buah busuk agar buah segar tidak ikut
busuk. Pendekatannya adalah pendekatan disiplin perusahaan. Pembuktian
terhadap tindak kejahatan ini mungkin tidak akan lolos disidang pengadilan. Tapi
pembuktian disini diarahkan kepada penerapan peraturan intern perusahaan.
9. Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan.
Kecurangan menggerogoti sumber daya perusahaan, dan umumnya pemulihan
kerugian ini tidak ada atau sangat sedikit. Pendekatan ini menghentikan kerugian
lebih lanjut dan menutup celah-celah peluang (loopholes) terjadinya kejahatan.
10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan. Apakah investigasi akan
diperluas atau diperdalam, atau justru dibatasi lingkupnya. Kadang-kadang suatu
investigasi dilaksanakan secara tentative atau eksploratif dan bertahap. Dalam
investigasi ini laporan kemajuan memungkinkan evaluasi, apakah kita akan
melanjutkannya dan jika ya, bagaiman lingkupnya.
11. Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan perusahaan,
sesuai dengan buku pedoman. Tujuan semacam ini biasanya didasarkan atas
pengalaman buruk. Dimasa lalu, misalnya, tujuan dari pada investigasi adalah
untuk menangkap pelakunya. Ketika investigasi dilakukan secara gencar,
investigasinya kebablasan dan pelaksanaannya melanggar ketentuan.
12. Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan
keputusan mengenai keputusan mengenai investigasi ditahap berikutnya. Banyak
investigasi bersifat iterative, artinya suatu investigasi atas dugaan kejahatn
Seminar Auditing
Page 3
menghasilkan temuan baru yang melahirkan dugaan tambahan atau suatu dugaan
baru. Investigasi pertama diikuti dengan investigasi berikutnya, dan seterusnya,
secara iterative memperluas pemahaman invstigator mengenai berapa dalamnya
masalah yang dihadapi. Konsultasi, diskusi, dan presentasi dari temuan-temuan
secara berkala(mingguan, misalnya), merupakan ciri khas dari pendekatan ini.
13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum tindak
lanjut yang tepat dapat diambil. Ini biasanya merupakan tujuan investigasi dalam
hal pelaku tertangkap tangan seperti dalam kasus pencurian di supermarket.
Umumnya kejahatan ditempat kerja tidak memiliki cirri kasus ini karena
karyawan dikenal atau mempunyai identitas yang disimpan dalam pencatatan
perusahaan. Tetapi dalam kejahatan tertentu, misalnya penggelapan uang yang
melibatkan pihak-pihak diluar perusahaan, pendekatan ini sangat tepat.
14. Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan sumberdaya
dan terhentinya kegiatan perusahaaan seminimal mungkin. Pendekatan ini
berupaya mencari pemecahan yang optimal dalam kasus yang terjadi.
15. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan membuat
keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil. Hasil investigasi
seringkali ditindaklanjuti secara emosional. Jika karyawan itu disukai oleh atasan
atau rekan sekerjanya, pimpinan cenderung memaafkan perbuatannya dan tidak
memaanfaatkan peluang untuk memperbaiki sistem yang berhasil dijebolnya.
Sebaliknya, jika pimpinan atau rekan sekerjanya tidak menyukai si pelaku
kecurangan, pimpinan cenderung menghukumnya seberat-beratnya. Kedua sikap
tadi akan merugikan perusahaan. Dengan memperoleh gambaran yang layak (fair)
maka pimpinan secara sadar membuat keputusan tentang siapa yang melakukan
investigasi (harus seorang professional) dan bagaimana tindaklanjutnya.
16. Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik lisan
maupun tertulis baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk
menanggapinya secara tepat. Investigasi yang didasarkan pada tujuan ini, tidak
akan menelan mentah-mentah fakta yang diajukan dalam tuduhan itu. Fokusnya
adalah pada konteks tuduhan itu apakah tuduhan itu akan dianggap serius.
17. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik. Hal ini sangat penting
ketika morale kerja merupakan kunci keberhasilan dalam perusahaan atau tim
kerja.
Seminar Auditing
Page 4
18. Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga. Tujuan dari investigasi ini
tentunya bukan untuk melindungi lembaga yang sebagian besar memang sudah
korup. Jika tujuan ini ditetapkan dalam kondisi semacam ini, maka yang tejadi
adalah persekongkolan jahat atau kolusi. Tujuan investigasi diatas sangat tepat
apabila kejahatan dilakukan oleh segelintir orang, padahal reputasi perusahaan
secara keseluruhan terancam.
19. Mengikuti seluruh kewajiban hokum dan mematuhi semua ketentuan mengenai
due diligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim asuransi).
20. Melaksanakan investigasi dalam koridor kode etik. Kita umumnya menyadari
akan perlunya ketentuan perundang-undangan dipatuhi, dan konsekuensi terhadap
pelanggarannya. Namun, lebih sulit mengikuti kewajiban etika. Dalam situasi
dimana pelaku kecurangan pasrah, ia seringkali mengikuti kehendak sang
investigator. Dalam kondisi seperti ini, si investigator lupa akan kode etiknya,
sekedar karena pada saat itu si terduga tidak mempertanyakan sikap dan tingkah
si investigator. Seringkali kepasrahan si terduga diikuti dengan arogansi si
investigator, menyuburkan praktek-praktek
Page 5
Seminar Auditing
Page 6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Investigatif
Pengertian investigasi dan pemeriksaan fraud digunakan silih berganti sebagai
sinonim. Idealnya ada kesamaan makna konsep-konsep auditing dan hukum; namun, dari
ssegi filsafat auditing dan filsafat hukum,hal itu tidaklah mungkin.
Ada sebab lain kenapa harmonisasi antara konsep-konsep hukum dan auditing tidak dapat
berjalan. Hukum Indonesia, khususnya hukum pidana dan hukum secara pidana, masih
berasal dari hukum Napoleonic. Sedangkan konsep-konsep akuntansi dan auditing kita adopsi
dari Amerika Serikat. Karena perbedaannya yang penting antara konsep-konsep auditing dan
hukum, pemeriksa fraud perlu memahami kedua-duanya.
Dalam filsafat auditing kita mengenal konsep due audit care, prudent auditor, seorang
professional yang berupaya menghindari tuntutan dengan tuduhan teledor (negligent) dalam
melaksanakan tugasnya. Untuk itu, pemeriksa fraud atau investigator perlu mengetahui tiga
aksioma dalam pemeriksaan fraud.
Suatu investigasi hanya dimulai apabila ada dasar yang layak, yang dalam investigasi
dikenal sebagai predication. Dengan landasan atau dasar ini, seorang investigator merekareka mengenai apa, bagaimana, siapa dan pertanyaan lain yang diduganya relevan dengan
pengungkapan kasusnya: ia membangun teori fraud (fraud theory).
Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya
pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku.
Aksioma Dalam Investigatif
Dalam melakukan investigasi ada beberapa aksioma. Aksioma adalah asumsi dasar
yang begitu gamblangnya sehingga tidak memerlukan pembuktian mengenai kebenarannya.
Tapi jangan remehkan kegamblangannya. Pemeriksa yang berpengalaman pun menghadapi
kesulitan ketika ia mengabaikan aksioma-aksioma ini.
Ada tiga aksioma dalam pemeriksaan fraud, yang dibahas berturut-turut dibawah. Ketiga
aksioma ini berkenaan dengan sifat fraud yang tersembunyi, pembuktian tentang fraud yang
dilakukan secara timbal balik, dan terjadinya fraud semata-mata merupakan kewenangan
pengadilan untuk memutuskannya.
Seminar Auditing
Page 7
Page 8
membuktikan fraud itu terjadi harus ada upaya pembuktian timbale balik atau reverse proof.
Kedua sisi fraud (terjadi dan tidak terjadi) harus diperiksa. Dalam hukum Amerika Serikat,
proof of fraud must preclude any explanation other than guilt artinya pembuktian fraud
harus mengabaikan setiap penjelasan, kecuali pengakuan kesalahan.
Hanya Pengadilan yang Menetapkan Bahwa Fraud Memang Terjadi
Pemeriksa fraud berupaya membuktikan fraud memang terjadi. Hanya pengadilan
yang mempunyai kewenangan untuk menetapkan hal itu. Di Amerika Serikat wewenang itu
ada pada pengadilan (majelis hakim) dan para jury.
Diatas dikatakan: pemeriksa Fraud harus menolak memberikan pernyataan bahwa
hasil pemeriksaannya membuktikan tidak ada fraud. Disini harus ditegaskan: pemeriksa fraud
harus menolak memberikan pernyataan bahwa pemeriksanya membuktikan adanya fraud.
Dalam upaya menyelidiki adanya fraud, pemeriksa membuat dugaan mengenai
apakah seseorang bersalah (guilty) atau tidak (innocent). Bersalah atau tidaknya seseorang
merupakan dugaan atau bagian dari teori, sampai pengadilan memberikan keputusannya.
Metodologi Investigatif
Kembali ke contoh pembobolan bank diatas. Dalam pembobolan oleh perampok,
identitas perampok tidak diketahui dan ini yang ingin diungkapkan. Dalam penjarahan bank
oleh pejabatnya yang bersekongkol dengan pelanggan, identitas mereka bukan masalahnya.
Masalahnya adalah membuktikan apakah perbuatan mereka dapat dianggap fraud.
Kemahiran si pemeriksa dalam menguasai konsep keuangan dalam kasus yang dihadapinya
dan kemampuannya menarik kesimpulan dari penerapan konsep tersebut (secara benar atau
menyimpang) akan membantunya dalam mengungkapkan apakah perbuatan itu merupakan
fraud (kejahatan atau pelanggaran) menurut hukum. Dalam contoh L/C fiktif,si pemeriksa
harus memahami dengan baik segala seluk beluk (konsep) mengenai L/C dan celah-celah,
bahkan tipologi, dari kejahatan dengan modus operandi L/C fiktif.
Yang tidak kalah penting adalah kemahiran si pemeriksa untuk menyampaikan konsepkonsep penting itu secara sederhana, sehingga mudah dicerna oleh hakim yang harus
memutus dan jaksa atau pengacara pembela yang harus diyakinkan. Diagram yang
menunjukkan arus uang dari hasil kejahatan kepada pelaku yang merupakan otak kejahatan,
merupakan contoh dari kemampuan menyajikan sesuatu yang rumit secara sederhana.
Fraud Examiners Manual (2006) menjelaskan predication sebagai berikut:
Seminar Auditing
Page 9
Predication adalah keseluruhan dari peristiwa, keadaan pada saat peristiwa itu, dan
segala hal yang terkait atau berkaitan yang membawa seseorang yang cukup terlatih dan
berpengalaman dengan kehati-hatian yang memadai, kepada kesimpulan bahwa fraud telah,
sedang atau akan berlangsung. Predication adalah dasar untuk memulai investigasi.
Investigasi atau pemeriksaan fraud jangan dilaksanakan tanpa adanya predication yang tepat.
Setiap investigasi dimulai dengan keinginan atau harapan bahwa kasus ini berakhir
dengan suatu litigasi. Padahal ketika memulai investigasi, pemeriksa belum memiliki bukti
yang cukup. Ia baru mempunyai dugaan atas dasar predication yang dijelaskan di atas.
Keadaan ini tidak berbeda dengan ilmuwan yang membuat dugaan atas dasar
pengamatannya terhadap berbagai fakta, kemudian dugaan ini diujinya. Seperti hipotesis
yang harus diuji oleh seorang ilmuwan, pemeriksa fraud membuat teori tentang bagaimana
fraud itu terjadi selanjutnya akan disebut teori fraud. Teori ini tidak lain dari rekaan atau
perkiraan yang harus dibuktikan.
Seminar Auditing
Page 10
Seminar Auditing
Page 11
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri
Memanggil dan memeriksa saksi, yang keterangannya dituangkan dalam berita acara
pemeriksaan saksi.
Mendatangkan ahli untuk memperoleh keterangan ahli yang dapat juga diberikan
dalam bentuk laporan ahli.
Seminar Auditing
Page 12
Apabila dari bukti-bukti yang terkumpul diperoleh persesuaian antara yang satu
dengan yang lainnya, dan dari persesuaian itu diyakini bahwa memang telah terjadi tindak
pidana dan tersangka itulah yang melakukannya, maka penyidik menyerahkan hasil
penyidikannya kepada Penuntut Umum. Hasil penyidikan ini tertuang dalam berkas perkara
yang didalamnya terdapat bukti-bukti.
Dalam hal Penyidik (Kepolisian atau Kejaksaan) berpendapat bahwa dari bukti-bukti
yang dikumpulkan secara maksimal ternyata tidak cukup bukti atau terbukti tapi bukan
merupakan tindak pidana (korupsi) maka mereka berwenang menghentikan penyidikan. KPK
tidak dibenarkan menghentikan penyidikannya, karena kewenangannya ada pada penghentian
penyelidikan.
3. Pra penuntutan
Prapenuntutan
adalah
tindakan
jaksa
(Penuntut
Umum)
untuk
memantau
Seminar Auditing
Page 13
5. Pemeriksaan di pengadilan
Seperti pada tahap-tahap sebelumnya, acara pemeriksaan di sidang pengadilan utidak
lain berkenaan dengan pembuktian. Bukti-bukti yang diperoleh di tingkat penyidikan
diperiksa kembali di sidang pengadilan untuk dijadikan alat bukti:
Ahli yang telah memberikan keterangan di penyidikan atau yang telah membuat
laporan ahli, dipanggil kembali untuk didengar pendapatnya atau dibacakan
laporannya di sidang pengadilan, agar diperoleh alat bukti keterangan ahli.
Surat dan barang bukti yang telah disita oleh penyidik diajukan ke sidang pengadilan
untuk dijadikan alat bukti surat dan petunjuk.
Itulah cara memperoleh alat bukti di sidang pengadilan. Hanya alat bukti yang sah yang
diperoleh di sidang pengadilan, yang dapat meyakinkan hakim tentang kesalahan terdakwa.
Alat bukti yang sah ini terdiri atas:
Keterangan saksi
Keterangan ahli
Surat
Keterangan terdakwa
Petunjuk
Pemeriksaan di sidang pengadilan mempunyai satu tujuan saja, yaitu mencari alat bukti yang
membentuk keyakinan hakim tentang bersalah atau tidaknya terdakwa.
6. Putusan Pengadilan
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah. Kesalahan terdakwa
ditentukan oleh keyakinan hakim, namun keyakinan itu harus didasarkan atas sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, yang harus ada persesuaian satu dengan yang lain.
Berdasarkan alat bukti yang diperoleh di sidang pengadilan, hakim menjatuhkan putusan:
Seminar Auditing
Page 14
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apabila pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana atau terbukti akan tetapi terdakwa tidak dapat
dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya.
7. Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima
putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi, atau hak terpidana
untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali, atau hak Jaksa Agung untuk
mengajukan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal seta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Upaya hukum ada dua macam, yaitu Upaya Hukum Biasa dan Upaya Hukum Luar
Biasa. Upaya Hukum Biasa terdiri atas Pemeriksaan Tingkat Banding dan Pemeriksaan
Kasasi. Upaya Hukum Luar Biasa Terdiri atas Pemeriksaan Kasasi Demi Kepentingan
Hukum dan Peninjauan Kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
2.4 Bukti Dan Pembuktian, Auditing Dan Hukum
Dari penjelasan di bagian terdahulu, jelas bahwa keenam tahapan dalam KUHAP
(mulai tahap Penyelidikan sampai Tahap Upaya Hukum baik upaya hukum biasa maupun
upaya hukum luar biasa) berkenaan dengan pembuktian. Juga penjelasan Mengenai Fraud
Theory tidak lain dari proses mengumpulkan bukti yang dapat diterima di pengadilan.
Para auditor yang berlatar belakang pendidikan akuntansi mengenal istilah bukti
audit. Mereka bahkan mengira bahwa pengertian bukti dalam auditing sama dengan
pengertian yang digunakan di pengadilan atau dalam bidang hukum.
Berikut ini kami sajikan dengan tabel, sekilas karakter signifikan antara investigatif
hukum dengan ilmi audit investigatif :
Seminar Auditing
Page 15
Significant Characteristics
Law
Special purpose of area to Maintenance of justice
Auditing
Protection
readers
of
and places
statement
Statement
propositions
parties
Rational
inference
independent party
Rationalization
collection or development
Nature of rules governing Logical presumptions
the study of evidence
Professional standards
Importance
of
time
in A controlling factor
A controlling factor
in
of Persuasive
judgement
formation
Dalam bidang mereka sendiri para akuntan dan auditor di Indonesia sering terkecoh dengan
bukti dan sesuatu yang mengandung unsur-unsur pembuktian (evidential matter).
Page 16
Kata investigasi dalam akuntansi forensic umumnya berarti audit investigasi atau
investgatif (investigative audit). Karena itu secara alamiah, diantara beberapa teknik
investigasi ada teknik-teknik yang berasal dari teknik-teknik audit (audit techniques).
Banyak auditor yang sudah berpengalamanpun, merasa ragu untuk terjun dalam
bidang investigasi. Padahal, teknik-teknik audit yang mereka kuasai, memadai untuk
dipergunakan dalam audit investigasi.
Teknik audit adalah cara-cara yang dipakai dalam mengaudit kewajaran penyajian
laporan keuangan. Hasil dari penerapan teknik audit adalah bukti audit. Ada tujuh teknik,
yang dirinci dalam bentuk kata kerja bahasa Indonesia, dengan jenis bukti auditnya dalam
kurung (kata benda bahasa Inggris), yakni:
1. Memeriksa fisik (physical examination)
2. Meminta konfirmasi (confirmation)
3. Memeriksa dokumen (documentation)
4. Review analitikal (analytic review atau analytical review)
5. Menghitung Kembali (reperformance)
Jika teknik-teknik audit itu diterapkan dalam audit umum, maka bukti audit yang
berhasil dihimpun akan mendukung pendapat auditor independent. Dalam audit investigative,
teknik-teknik audit tersebut bersifat eksplorative, mencari wilayah garapan, atau probing
(misalnya dalam review analitikal) maupun pedalaman (misalnya dalam confirmation dan
documentation).
Teknik-teknik audit relative sederhana untuk diterapkan dalam audit investigative.
Sederhana, namun ampuh. Tema kesederhanaan dalam pemilihan teknik audit (termasuk
audit investigative).
1. Memeriksa Fisik dan Mengamati
Memeriksa fisik atau physical examination lazimnya diartikan sebagai penghitungan
uang tunai (baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing), kertas berharga, persediaan
barang, aktiva tetap, dan barang berwujud (tangible assets) lainnya.
Mengamati sering diartikan sebagai pemanfaatan indera kita untuk mengetahui
sesuatu. Jika kita melakukan kunjungan pabrik, kita melihat luasnya pabrik, peralatan yang
ada, kegiatan yang dilakukan, banyaknya dan beragamnya tenaga kerja.
2. Meminta Informasi dan Konfirmasi
Seminar Auditing
Page 17
Meminta informasi baik lisan maupun tertulis kepada auditan, merupakan prosedur
yang biasa dilakukan auditor. Pertanyaannya, apakah dalam investigasi hal itu perlu
dilakukan? Apakah sebaiknya kita tidak meminta informasi, supaya yang diperiksa tidak
mengetahui apa yang kita cari? Yang bersangkutan juga mempunyai kepentingan dan peluang
untuk berbohong.
Seperti dalam audit juga dalam investigatif, permintaan informasi harus dibarengi,
diperkuat, atau dikolaborasi dengan informasi dari sumber lain atau diperkuat (substantiated)
dengan cara lain. Permintaan informasi sangat penting, dan juga merupakan prosedur y4. ang
normal dalam suatu investigatif.
Meminta konfirmasi adalah meminta pihak lain (dari yang diinvestigasi) untuk
menegaskan kebenaran atau tidak keebenaran suatu informasi. Dalam audit, teknik ini
umumnya diterapkan untuk mendapat kepastian mengenai saldo utang-piutang. Tapi
sebenarnya ia dapat diterapkan untuk berbagai informasi, keuangan maupun non keuangan.
3. Memeriksa Dokumen
Teknik ini tidak memerlukan pembahasan khusus. Tak ada investigasi tanps
pemeriksaan dokumen. Hanya saja, dengan kemajuan teknologi, definisi dokumen menjadi
luas, termasuk informasi yang diolah, disimpan dan dipindahkan secara elektronis/digital.
4. Review Analitikal
Dalam review analitikal yang penting bukannya perangkat lunaknya, tetapi
semangatnya, Pada dasarnya seorang invvestigator secara intuitif terobsesi dengan sesuatu
yang melenceng dan bahwa something must be wrong because it appears so. Karena itu ia
memerlukan patokan atau benchmark untuk membandingkannya dengan apa yang
dihadapinya. Patokan inilah yang dirumuskan Stringer dan Stewart sebagai results that may
reasonably be expected.
Membandingkan anggaran dengan realisasi
Membandingkan data anggaran dan realisasi dapat mengindikasikan adanya fraud.
Yang perlu dipahami di sini adalah mekanisme pelaksanaan anggaran, evaluasi atas
pelaksanaan anggaran, dan insentif (keuangan maupun non keuangan) yang terkandung
dalam sistem anggarannya.
Seminar Auditing
Page 18
Seminar Auditing
Page 19
BAB III
STUDI KASUS
3.1 Studi Kasus Korupsi Kabupaten Badung di Bali
Audit Investigatif atas kasus korupsi di kabupaten Badung merupakan salah satu
contoh dari banyak kasus korupsi yang ada di Indonesia. Korupsi di kabupaten Badung Bali
terungkap dari dari hasil laporan pemeriksaan keuangan semester pertama pada tahun 2005,
kasus ini bermula dari adanya tekanan dewan kepada Bupati Badung, pada saat itu dewan
meminta bantuan keuangan kepada Bupati Badung, jika permintaan dewan tidak dipenuhi,
maka Dewan akan mengancam memberhentikan Bupati sebelum masa jabatannya berakhir
dengan
membentuk
tim
audit
investigatif
berdasarkan
Surat
tugas
Nomor
Page 20
Seminar Auditing
Page 21
BAB IV
KESIMPULAN
Praktik korupsi bisa dikatakan menjadi rutinitas atau kebiasaan sebagian besar
mesyarakat Indonesia, mulai dari struktur pemerintah daerah sampai pemerintah pusat. Jika
korupsi menjadi suatu praktek yang lazim maka sebenarnya masyarakat telah dihegemoni
oleh sebuah struktur atau pola yang sejak lama dan terulang. Apalagi besarnya pengaruh
lingkungan sosial terhadap organisasi BPK-RI sendiri menjadikan auditor tidak siap
mengadapi dunia sosial yang terlanjur salah kaprah, menganggap suap sebagai suatu hal yang
lumrah, terdapat ketidakadilan, dan berlakunya hukum rimba siapa yang kuat/berkuasa, dia
yang akan menang. Pengaruh yang demikian akan mengurangi integritas, independensi,
serta profesionalitas auditor BPK-RI, untuk itu teori strukturasi yang diperkenalkan oleh
Giddens maka memberikan angin segar bagi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
strukturasi secara jelas memberikan gambaran kepada auditor BPK-RI bahwa segala tindakan
direfleksikan bentuk kesadaran dan individu memiliki kekuatan dalam menciptakan
kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai nilai-nilai yang ada pada struktur organisasi BPK-RI,
sehingga tercipta pola strukturasi.
Bentuk kesadaran auditor yang diupayakan dalam bentuk kesadaran praktis, dimana
agar nantinya pemberantasan korupsi oleh auditor bukan sebagi bentuk formalitas melainkan
menjadi sesuatu kebiasaan. Kesadaran diskursif dicontohkan dengan tindakan auditor dalam
menolak segala bentuk suap. Kesadaran tersebut timbul karena menganggap suap merupakan
bagian dari korupsi dan tindakan menerima suap berarti melanggar undang-undang, serta ada
sanksi hukumnya.
menghadapi segala bentuk ancaman dan tantangan, secara sadar sebenarnya auditor
mengetahui bahwa tugas yang diembannya begitu berat, dan sulit rasanya untuk diselesaikan,
namun berkat keberanian yang dimiliki maka praktik audit investigatif dapat terselesaikan.
Kesadaran etis dicontohkan dengan keyakinan dan keimanan yang dimiliki Pak Kardi dengan
anggota timnya dalam menghadapi tantangan dan ancaman selama pelaksanaan audit
investigatif.
Pemberantasan korupsi bisa terwujud jika masing-masing auditor secara
komprehensif melakukan revolusi kesadaran. Kesadaran praktis yang diwujudkan dengan
ketaatan terhadap peraturan merupakan imperatif kesadaran yang bersifat internal. Kesadaran
yang dimiliki auditor seharusnya mendapat supporting dari eksternal berupa penegakan
hukum. Semuanya akan bisa terlaksana jika masing-masing masyarakat Indonesia, tidak
Seminar Auditing
Page 22
hanya auditor BPK-RI memiliki kemampuan untuk intropeksi dan mawas diri, yang
diperlukan saat ini adalah merubah pola pikir yang telanjur menganggap korupsi merupakan
suatu hal yang wajar menjadi suatu perbuatan yang tercela. Dengan membangun kesadaran
global anti korupsi dan harus ditegakkan secara terus menerus serta diperjuangkan, sehingga
masyarakat Indonesia dengan penuh kesadaran akan merasa malu jika melakukan korupsi,
dan menemukan struktur yang baru menuju bangsa yang lebih bermartabat.
Seminar Auditing
Page 23
DAFTAR PUSTAKA
Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht, (2003), Fraud Examination, South Western, a
division Thomson Learning, United States of America
Arifin, Johan, (2000), Korupsi dan Upaya Pemberantasannya Melalui Strategi Auditing:
Audit Forensik, Media Akuntansi, No.13 Th VII, September, hlm II-IX
Chazawi, Adami. 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. PT. Alumni, Bandung
Daniel, (1995), IQ, EQ, dan SQ, artikel, (http://www.kecerdasanindividu.htm, diakses tanggal
2 Februari 2008)
Giddens, A, (2003), The Constitution of Society; Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Penerbit PT Pedati, Pasuruan. Diterjemahkan dari judul asli The Consequences of
Modernity, Stanford University Press UK, 1995
Grahani, Irma, (2006), Pengaruh Independensi, Locus Of Control, dan Pengembangan Moral
Auditor Terhadap Fraud Auditing, Skripsi, Malang: Fakultas Ekonomi Jurusan
Akuntansi Universitas Brawijaya
Hartanti, Evi, (2006), Tindak Pidana Korupsi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta
Hardjapamekas, E.R, (1999), Audit Forensik Skandal Bank Bali, Majalah Tempo,
No.28/XXVIII/13-19 September hlm 1-3
Hardjapamekas, E.R, (2001), Skandal Akuntan: Kecelakaan Atau Keserakahan, Majalah
Tempo, N0.20/XXXI/15-21 Juli hlm 1-3
IAI, (2001), Standar Profesional Akuntan Publik Per Januari 2001, Penerbit Salemba Empat,
Jakarta; 20000.1-20000.6
Irianto, Gugus, (2003), Skandal Korporasi Dan Akuntan, Lintasan Ekonomi, Volume XX,
Nomor 2, Juli, hlm 104-114
Seminar Auditing
Page 24