Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

I.1

Tujuan Percobaan :
1.
2.
3.
4.

I.2

Menentukan kecepatan pelarutan suatu zat


Menggunakan alat-alat untuk penentuan kecepatan pelarutan suatu zat
Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat
Dapat membuat grafik kecepatan pelarutan suatu zat
Dasar Teori
Kecepatan pelarutan adalah ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat
terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan waktu. Proses pelarutan suatu zat
padat dikembangkan oeh Noyes dan Whitney dalam bentuk persamaan sebagai
berikut :

dc = K . S ( Cs C )
dt
Keterangan :
dc = Kecepatan pelarutan
dt
K = Konstanta kecepatan pelarutan
S = Luas permukaan zat
Cs = Kelarutan zat
C = Konsentrasi zat dalam larutan dalam waktu t

Harga konstanta K bergantung kepada harga koefisien difusi dari zat


terlarut dan tebal lapisan difusi.
K = D/h
Keterangan :
D = Koefisien difusi dalam cm2/detik
h = Tebal lapisan difusi dalam cm
Dapat membuat grafik kecepatan pelarutan suatu zat, yaitu :

Temperatur
Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat yang
endotermis serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut
Enstein, koefisien difusi dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai
berikut :
D = k . T/6..r
Keterangan :
D = Koefisien difusi
K = Konstanta Boltzman
T = Temperatur
r = Jari-jari molekul

= Viskosita pelarut
Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan pelarutan
suatu zat sesuai dengan persamaan Enstein. Naiknya temperatur juga
akan menurunkan viskositas sehingga memperbesar kecepatan

pelarutan.
Ph pelarut
Ph pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat
asam lemah atau basa lemah.
Untuk asam lemah :
dc = K.S.Cs.( 1 + Kw )
dt ( H+ )
Basa lemah :

dc = K.S.Cs.( 1 + ( H+ ) )
dt Kw
kalau ( H+ ) besar, atau pH kecil maka akan meningkatkan kelarutan

zat, sehingga kecepatan pelarutan besar.


Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi ( h ).
Bila pengadukannya cepat maka tebal lapisan difusi berkurang
sehingga menaikan kecepatan pelarutan, sebaliknya apabila
pengadukan lambat maka tebal lapisan difusi akan tetap atau akan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengurangi ketebalan pada

lapisan difusi.
Ukuran partikel
Bila partikel zat terlarut kecil maka luas permukaan efektif besar
sehingga menaikan kecepatan pelarutan, hal ini terjadi karena jika
ukuran partikel tersebut kecil maka partikel tersebut hanya
memerlukan tempat yang kecil sehingga luas permukaan yang tersisa
efektif akan lebih besar dibandingkan dengan partikel yang memiliki

ukuran partikel yang relatif lebih besar.


Polimorfis
Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfis, karena bentuk
kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda pula.
Kelarutan bentuk kristal yang meta stabil lebih besar dibandingkan

bentuk stabil, sehingga kecepatan pelarutannya besar.


Sifat Permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat
hidrofob. Dengan adannya surfaktan di dalam pelarut akan
menurunkan tegangan permukaan antara partikel zat dengan pelarut,
sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan pelarutan bertambah.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas kecepatan pelarutan
suatu zat aktif dari bentuk sediaannya dipengaruhi pula oleh faktor
formulasi dan teknik pembuatan sediaan tersebut penentuan kecepatan
pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode :
- Metode suspense
Pada metode ini bubuk zat padat ditambahkan pada pelarut tanpa
pengontrolan yang eksak terhadap luas permukaan partikelnya. Sample

diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut


ditentukan dengan cara yang sesuai.
- Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga
variabel perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya
zat dibuat tablet terlebih dahulu kemudian sampel ditentukan seperti
pada metode suspensi.
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu
dilakukan karena kecepatan pelarutan merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi absorpsi obat. Penentuan kecepatan suatu zat aktif
dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu :
1. Tahap pre formulasi
2. Tahap formulasi
3. Tahap produksi
Dalam percobaan penentuan kecepatan pelarutan digunakan alat
Collapse tester alat ini biasanya digunakan untuk penentuan waktu
hancur tablet tetapi dapat juga digunakan untuk penentuan kecepatan
pelarutan.

BAB II
METODELOGI

II.1

Alat dan Bahan


II.1.1 Alat-alat yang digunakan :

Erlenmeyer
Bejana 900 ml
Pipet gondok dan tetes
Buret
Statip
Bulp
Gelas ukur
Beker glass
Termometer suhu
Motor penggerak
Stopwatch
Kaki tiga
Bunsen
Collapse tester

II.1.2 Bahan-bahan yang digunakan

II.2

Asam salisilat 2 gram


Aquadest
PP
NaOH 0,05 N

Cara Kerja
1) Bejana di isi dengan 900 ml air

2) Termostat dipasang pada suhu 25C dan dimasukan 2 gram asam


salisilat dan motor penggerak dijalankan dengan kecepatan 20 RPM
dam 30 RPM
3) 20 ml larutan tersebut diambil setiap selang waktu 1,5,10,15,20,25,30
menit setelah dilakukan pengocokan.
4) Air yang hilang diganti dengan air yang baru sebanyak 20 ml
5) Dientukan kadar asam salisilat yang larut dalam masing masing sampel
dengan cara titrasi asam basa menggunakan NaOH 0.05N dan indicator
fenolftalein.
6) Dilakukan percobaan yang sama untuk temperature 30C, 40C, 45C
7) Dibuat table dari hasil yang diperoleh
8) Dibuat grafik antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan
waktu untuk masing masing temperatur

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. DATA PENGAMATAN
1. Pengaruh temperatur terhadap kecepatan pelarutan zat
Suhu 35 C-20 RPM

Suhu 40 C- 20 RPM

Waktu (menit)
1
5
10
15
20
25
30

Waktu (menit)
1
5
10
15
20
25
30

Volume (ml)
0,2
0,1
0,3
0,2
0,2
0,3
0,3

Volume (ml)
0,2
0,2
0,3
0,4
0,3
0,4
0,4

2. Pengaruh keceatan pengadukan terhadap kecepatan pelarutan zat


RPM 20
Waktu (menit)
1
5
10
15
20
25
30

Volume (ml)
0,2
0,6
0,8
1,2
1,5
1,7
2,1

RPM 30
Waktu (menit)
1
5
10
15
20
25
30

Volume (ml)
0,1
0,4
0,6
0,9
1,1
1,4
1,8

1. Perhitungan konsentrasi asam salisilat


Suhu 35 C, 20 RPM
1 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,02. 0,05
N1= 0,00005
5 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,1 . 0,05
N1 = 0.00025
10 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,3 . 0,05
N1 = 0,00075
15 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,2 . 0,05
N1 = 0,0005
20 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,2 . 0,05
N1 = 0,0005
25 menit = v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 0,3 . 0,05


N1 = 0.00075

30 menit = v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 0,3 . 0,05


N1 = 0,00075
-

40 C,20 RPM

1 menit : v1.n1 = v2.n2


20. N1 = 0,2 . 0,05
N1 = 0,0005
5 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,2 . 0,05
N1 = 0,0005
10 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,3 . 0,05
N1 = 0,00075
15 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,4 . 0,05
N1 = 0,001
20 menit : v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 0,3 . 0,05


N1 = 0,00075
25 menit = v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,4 . 0,05
N1 = 0,001
30 menit = v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 0,4 . 0,05


N1 = 0,001
2. Pengaruh keceatan pengadukan terhadap kecepatan pelarutan zat
-

20C / 20 RPM

1 menit : v1.n1 = v2.n2


20. N1 = 0,2 . 0,05
N1 = 0,0005
5 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,,6 . 0,05
N1 = 0,0015
10 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,8 . 0,05
N1 = 0,002
15 menit : v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 1,2 . 0,05


N1 = 0,003
20 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 1,5 . 0,05
N1 = 0,00375
25 menit = v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 1,7 . 0,05
N1 = 0,00425

30 menit = v1.n1 = v2.n2


20. N1 = 2,1 . 0,05
N1 = 0,00525

20c / 30 RPM

1 menit : v1.n1 = v2.n2


20. N1 =0,1 . 0,05
N1 = 0,00025
5 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,4 . 0,05
N1 = 0,001
10 menit : v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 0,6 . 0,05


N1 = 0,0015
15 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 0,9 . 0,05
N1 = 0,00225
20 menit : v1.n1 = v2.n2
20. N1 = 1,1 . 0,05
N1 = 0,00275

25 menit = v1.n1 = v2.n2

20. N1 = 1,4 . 0,05


N1 = 0,0035
30 menit = v1.n1 = v2.v2
20. N1 = 1,8 . 0,05
N1 = 0,0045

Grafik Pengaruh Temperature terhadap Kecepatan Pelarutan Zat

Grafik Pengaruh Kecepatan Pengadukan Terhadap Kecepatan Pelarutan Zat

III.2 Pembahasan
Pada percobaan kali ini mengenai kecepatan pelarut bagian pengaruh
temperatur terhadap kecepatan pelarutan zat, seperti yang kita ketahui bahwa factor
yang mempengaruhi kecepatan kelarutan salah satunya adalah temperature atau suhu.
Pada percobaan kali ini akan digunakan suhu 30 C, 35C, dan 40C yang digunakan.
Semakin besar suhu yang digunakan semakin cepat pula kelarutannya, maka
konsentrasi asam salisilat yang dibutuhkan sedikit. Apabila suhu yang digunakan
semakin rendah maka akan sulit pula ia melarut dan konsentrasi asam salisilat yang
dibutuhkan

tinggi.

Dari

percobaan

tentang

kecepatan

pelarutan

yaitu

temperature/suhu, pengadukan, pH pelarut, ukuran partikel, polimorfis dan sifat


permukaan zat.
Pada percobaan selanjutnya pengaruh kecepatan pengadukan terhadap
kecepatan pelarutan zat, yang berperan penting selain suhu pada motor penggeraknya
atau seberapa besar RPM nya. RPM yang digunakan adalah 20 dan 30. Dengan suhu
30C yang digunakan . Ternyata semakin cepat putaran pengaduk hasil titrasi yang
didapatkan berbeda,pada pengadukan 20RPM pada kenaikan waktu yang stabil
didapatkan data kenaikan dan turunya banyaknya titrasi yang mencolok, bisa naik
sebesar 0,3 dan turun 0,3. Tapi pada pengaduk yang bergerak dengan putaran 30RPM
kenaikan dan turunya volume titrasi tidak terlalu mencolok, hanya sekitar 0,1. Ini
sudah sangat jelas membuktikan bahwa kecepatan putaran pengaduk berpengaruh
terhadap kecepatan pelarutan.

BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kecepata
pelarutan sangat dipengaruhi oleh : ph, kecepatan pengadukan (semakin cepat
pengadukan semakin cepat pela pelarutnya sebaliknya semakin lambat pengadukan
semakin lambat pula kecepatan pelarutnya), suhu (semakin tinggi suhu semakin cepat
pula kecepatan pelarutnya sebalinya semakin rendah suhunya semakin lambat pula
kecepatan pelarutnya.

SARAN
Perlu diperhatikan metode percobaan dan penggunaan alat dissolution tester
dengan tepat agar tidak terjadi kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA

Sadiah Siti, S. Si., Apt; Drs. Muztabadihardja, Apt; Rustiani Erni, S. Si.,

Apt. :Penuntun Praktikum Farmasi Fisika.


R. Voight. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Kelima.

Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press


Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen

Kesehatan RI
Erni Rustiana,M.Farm,Apt. Penuntun Praktikum FarFis. Unpak. Bogor. 2011

Anda mungkin juga menyukai