Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL PENELITIAN

I.

Nama Peneliti

: Johannes Ephan Bagus Kurnia

NIM / Semester

: G0012101 / VI
II.

Judul Penelitian

: Pengaruh Bising Kereta Api

Terhadap Tingkat Kecemasan


III.
IV.

Bidang Ilmu

: Biomedik

Latar Belakang Masalah (alasan dan temuan/teori pendukung)


Kemajuan peradaban dan pemanfaatan teknologi ternyata tidak
hanya membawa dampak baik namun juga dapat menimbulkan berbagai
masalah lingkungan salah satunya adalah kebisingan. Kepmenkes nomor
1405/MENKES/SK/XI/2002 menyebutkan bising adalah terjadinya bunyi
yang tidak dikehendaki sehingga mengganggu atau membahayakan
kesehatan. Bising dapat berasal dari berbagai macam sumber, seperti
aktivitas manusia, penggunaan alat berat, kegiatan lalu lintas dan
transportasi.
Salah satu sumber bising adalah kereta api. Bising kereta api
merupakan bising yang timbul baik dari mesin kereta api maupun gesekan
roda dengan rel kereta api. Kebisingan kereta api sangat tergantung dari
kecepatan laju kereta api, tipe mesin, gerbong, roda, serta rel kereta
(WHO, 1999).
Kecemasan/ ansietas berasal dari bahasa latin, angere, yang berarti
tercekik atau tercekat. Menurut Maramis (2009), kecemasan adalah
ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul karena
dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, tetapi sumbernya
sebagian besar tidak diketahui. Kecemasan dapat dinilai dengan berbagai
macam instrument seperti Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS), Zung
Self-Rating Anxiety Scale (SAS), Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS),
dan lain lain.
1

Bising dapat memicu pelepasan dari hormon-hormon stres apabila


melewati batas intensitas yang diijinkan (Ising H dan Kruppa B, 2004).
Stres yang timbul selanjutnya dapat memicu perubahan baik secara akut
maupun kronis seperti gangguan pendengaran, hipertensi, takikardi,
insomnia, stres, penyempitan pembuluh darah yang menyebabkan
peningkatan insidensi penyakit kardiovaskular, tukak lambung, kelainan
neurosensoris dan motorik, serta gangguan mental dan emosional (Sing N
dan Davar S, 2004). Penelitian lain menyebutkan bising juga berpengaruh
negatif pada psikis dan fungsi mental seseorang seperti rasa jengkel, cepat
marah, rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi, sulit tidur, dan kecemasan
(Stansfeld et al., 2003).
Kelurahan Nusukan adalah salah satu kelurahan yang berada pada
Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Kelurahan ini memiliki jumlah
penduduk sebanyak 29.695 jiwa, dan terbagi menjadi 24 Rukun Warga
(RW) dan 143 Rukun Tetangga (RT). Sebagian penduduk kelurahan
Nusukan, 8 dari 24 RW, tinggal di bantaran rel kereta api sehingga banyak
penduduk yang terkena dampak dari kebisingan kereta api. Hal ini menjadi
dasar bagi penulis untuk memilih Kelurahan Nusukan Surakarta sebagai
tempat pengambilan sampel. Belum adanya ulasan yang mendalam
mengenai hubungan kebisingan kereta api dan tingkat kecemasan
masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran rel kereta api menjadi motivasi
bagi penulis untuk melakukan penelitian.
V.

Perumusan Masalah
Apakah bising kereta api berpengaruh terhadap tingkat kecemasan?

VI.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah bising kereta api
berpengaruh terhadap tingkat kecemasan.

VII.

Manfaat Penelitian
A. Manfaat Teoritis
1. Penelitan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
dampak paparan bising kereta api dari sisi kesehatan terutama
pengaruhnya terhadap tingkat kecemasan.
2. Penelitan ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti lain
yang akan melakukan penelitian tentang hubungan bising dan
tingkat kecemasan.
B. Manfaat Praktis
1. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran dampak kebisingan kereta api terhadap kesehatan
sehingga masyarakat lebih waspada terhadap dampak kebisingan.
2. Bagi Pemerintah Kota Surakarta, penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan acuan untuk dalam mengambil kebijakan
dan menciptakan tata ruang yang sehat dan nyaman bagi
masyarakat.
3. Bagi PT. Kereta Api Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi ilmiah mengenai dampak kebisingan kereta
api terhadap kesehatan sehingga dilakukan upaya meminimalisasi
dampak kebisingan kereta api.

VIII. Tinjauan Pustaka


A. Bising
1. Pengertian bising
Bunyi adalah sensasi yang timbul dari organ auditorik akibat
perubahan mekanik terhadap molekul zat gas, cair dan padat
berupa vibrasi/ getaran yang terkoordinasi sehingga menghasilkan
gelombang bunyi serta mentransmisikan energi bunyi. Telinga
manusia mampu menangkap bunyi dalam frekuensi 16-20.000 Hz
(Gabriel, 1996).
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
nomor Kep-48/MENLH/11/1996, kebisingan adalah bunyi yang
tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu
tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan
kenyamanan

lingkungan.

Seidman

dan

Standring

(2010)

mengartikan kebisingan sebagai suara yang tidak dikehendaki atau


kombinasi dari suara yang dapat menyebabkan efek samping pada
kesehatan. Tingkat kebisingan merupakan ukuran energi bunyi
yang dinyatakan dalam satuan Desibel atau disingkat dB.
2. Jenis kebisingan
Buchari (2007) menglasifikasikan bising berdasarkan sifat
dan spektrum frekuensinya serta pengaruhnya terhadap manusia.
a. Berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bising
1) Bising kontinyu dengan spektrum frekuensi luas
Bising ini terjadi secara menetap dengan batas
kurang lebih 5 dB selama 0,5 detik berturut-turut. Contoh
dari bising kontinyu dengan spectrum luas adalah bising
yang ditimbulkan mesin dan kipas angin.
2) Bising kontinyu dengan spectrum frekuensi sempit
Bising ini juga terjadi secara menetap namun dengan
frekuensi tertentu (500, 1000, dan 4000 Hz). Contohnya
adalah bising yang ditimbulkan oleh gergaji serkuler dan
katup gas.
4

3) Bising yang terputus putus


Bising ini tidak terjadi terus menerus namun terdapat
periode tenang. Contohnya adalah bising yang ditimbulkan
oleh lalu lintas dan lapangan terbang.
4) Bising impulsif
Bising impulsif merupakan bising dengan tekanan
melebihi 40 dB dan terjadi dalam waktu yang sangat cepat.
Contohnya adalah bising dari suara tembakan, ledakan, dan
meriam.
5) Bising impulsif berulang
Bising ini juga memiliki tekanan tinggi, namun
terjadi secara berulang. Contohnya adalah bising yang
ditimbulkan mesin tempa.
b. Berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia
1) Bising yang menganggu (irritating noise)
Bising jenis ini tidak memiliki intensitas yang keras,
namun sesuai namanya, lebih bersifat mengganggu.
Contohnya adalah bising yang ditimbulkan oleh orang yang
mendengkur.
2) Bising yang menutupi (masking noise)
Bising jenis ini menutupi pendengaran yang jelas,
sehingga dapat membahayakan kesehatan secara tidak
langsung. Contohnya adalah suara bising yang menutupi
teriakan atau instruksi pada lingkungan kerja.

3) Bising yang merusak (damaging/ injurious noise)


Bising jenis ini melampaui intensitas bising yang
diijinkan. Bising jenis ini bersifat menurunkan fungsi
pendengaran

dan

membahayakan

kesehatan

secara

langsung.
3. Sumber bising
Menurut WHO (1999) sumber bising dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Kebisingan industri
Industri bermesin dapat menyebabkan masalah bising
yang serius. Semua mesin industri berpotensi menghasilkan
bising, semakin besar mesinnya semakin besar pula potensinya
untuk menghasilkan bising. Bising yang terjadi berasal dari
gerakan

komponen

mesin

(contohnya

seperti

gerakan

menumbuk dan gesekan komponen mesin) atau aliran udara


yang bergerak dengan cepat (contohnya seperti kipas dan katup
uap). Pencegahan dan pengurangan dampak bising dapat
dilakukan dengan beberapa cara seperti memisahkan antara
area pemukiman dengan area industri, menggunakan sistem
peredam

suara,

dan

membatasi

frekuensi

dan

durasi

pengoperasian mesin industri.


b. Kebisingan transportasi
Kebisingan transportasi merupakan sumber utama dari
kebisingan lingkungan. Hal ini mencakup bising lalu lintas,
bising kereta api dan bising penerbangan. Kendaraan dengan
ukuran lebih besar dan lebih berat akan menimbulkan
kebisingan yang lebih daripada kendaraan yang kecil dan
ringan.
Bising lalu lintas umumnya berasal dari suara mesin dan
gesekan antara kendaraan dengan jalan dan udara. Umumnya
bising akibat gesekan antara kendaraan dengan jalan dapat
melampaui kebisingan mesin apabila kecepatan kendaraan
diatas 60 km/jam. Tingkat kebisingan lalu lintas ditentukan
oleh arus kendaraan, kecepatan kendaraan, proporsi kendaraan
6

berat, kondisi permukaan jalan serta kondisi topografi dan


meteorologis area yang bersangkutan.
Bising kereta api sangat tergantung dari kecepatan
kereta, tipe mesin, gerbong, rel maupun roda kereta. Rel yang
membelok, meningkatkan gesekan antara rel dan roda kereta
sehingga dapat menjadi sumber bising dengan intensitas dan
frekuensi

yang

sangat

tinggi.

Penemuan

kereta

api

berkecepatan tinggi mengakibatkan masalah bising yang serius.


Laju kereta api diatas 250 km/jam bahkan dapat menimbulkan
kebisingan yang menyerupai kebisingan pesawat jet. Bising
juga dapat berasal dari stasiun kereta api akibat suara mesin
dan klakson kereta api, serta pengunaan peluit dan pengeras
suara.
Bising penerbangan bersumber baik dari kegiatan
penerbangan militer maupun komersial. Secara umum bising
penerbangan diakibatkan oleh turbulensi antara udara buangan
mesin pesawat dan udara sekitar dan kipas turbin pesawat. Pada
saat lepas landas bising juga ditimbulkan dari getaran badan
pesawat sedangkan saat melakukan pendaratan bising juga
ditimbulkan dari roda-roda pesawat, pengaturan daya otomatis,
maupun dorongan balik dari pesawat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi besar bising penerbangan antara lain adalah
jumlah pesawat, jumlah lepas landas dan pendaratan pesawat
tipe pesawat, jalur terbang, dan kondisi atmosfer saat itu.
c. Bising akibat konstruksi bangunan
Konstruksi bangunan dan pekerjaan penggalian dapat
menghasilkan bising yang cukup signifikan. Alat konstruksi
yang tidak dipelihara dengan baik, tidak adanya sistem
peredam suara membuat dampak bising konstruksi ke
lingkungan semakin parah. Bising konstruksi utamanya berasal
dari suara penggunaan crane, semen mixer, pengelasan,
tumbukan palu, pengeboran dan pekerjaan lainnya.
7

d. Bising akibat kegiatan rumah tangga dan aktivitas lain


Di area pemikiman kebisingan dapat timbul dari suara
musik, kegiatan rumah tangga (seperti penggunaan vacuum
cleaner, pemotong rumput, dan peralatan rumah tangga
lainnya.), petasan atau kembang api dan kegiatan seperti pesta
atau perayaan yang lain. Selain itu bising juga dapat timbul
akibat kegiatan waktu luang seperti olahraga, terutama jenis
olah raga yang menimbulkan bising seperti balap motor, atau
menembak.
4. Pengaruh bising terhadap kesehatan
Pengaruh bising terhadap kesehatan dapat digolongkan
menjadi gangguan auditorik dan gangguan nonauditorik. Menurut
WHO (1999), terdapat beberapa dampak bising terhadap kesehatan
diantaranya:
a. Gangguan Pendengaran
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara
parsial atau total untuk mendengarkan suara pada salah satu
atau kedua telinga. Gangguan pendengaran dapat juga
didefinisikan sebagai peningkatan ambang batas pendengaran.
Peningkatan ambang batas dengar ini sering kali diikuti dengan
terdengarnya suara berdenging yang disebut tinnitus. Gangguan
pendengaran akibat bising dipengaruhi oleh tingkat kebisingan,
lama paparan, frekuensi bising, faktor genetik dan usia.
Gangguan pendengaran akibat bising disebut juga sebagai
noise-induced hearing loss (NIHL).
Gangguan pendengaran akibat bising dapat terjaadi
melalui dua mekanisme yang berbeda, tergantung pada
intensitas bising yang diterima. Bising dengan intensitas yang
sangat tinggi (>140dB) dapat mengakibatkan robeknya
membran timpani dan rusaknya sel-sel rambut organ corti di
telinga dalam yang mengakibatkan timbulnya gangguan
pendengaran yang permanen. Mekanisme ini disebut juga
8

trauma akustik. Trauma akustik dapat disebabkan oleh suara


ledakan bom, tembakan maupun petasan dalam jarak dekat.
Paparan bising dengan intensitas 90-140dB mengganggu
pendengaran dengan mekanisme yang berbeda. Pada awalnya
gangguan yang ditimbulkan bersifat sementara, namun apabila
masih terjadi paparan bising yang terus menerus proses
penyembuhan menjadi tidak sempurna sehingga dapat juga
terjadi gangguan yang bersifat permanen/ ketulian. Karena
sifatnya yang kumulatif dan progresif, efek ini sering sekali
diabaikan sehingga banyak orang masih menganggap remeh
efek gangguan pendengaran.
b. Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi

biasanya

disebabkan

oleh

masking effect yaitu keadaan dimana bunyi bising menutupi hal


yang ingin didengar serta meningkatkan ambang batas dengar
sehingga

komunikasi

terhambat

atau

sulit

dimengerti.

Keterhambatan komunikasi dapat menyebabkan perubahan


perilaku, penurunan produktivitas kerja, terbuangnya waktu
dan sumberdaya, penurunan kualitas pendidikan bahkan
menambah resiko terjadinya kecelakaan kerja. Kelancaran
komunikasi dalam kehidupan sehari hari dipengaruhi jelas
tidaknya pelafalan, jarak antara pembicara dan pendengar,
tingkat kebisingan, ketajaman pendengaran dan tingkat
konsentrasi.
c. Gangguan tidur
Tidur nyaman dan tanpa gangguan merupakan salah satu
persyaratan untuk menciptakan kondisi mental dan fisiologis
yang baik dari seseorang, di lain pihak gangguan tidur
merupakan salah satu efek utama dari kebisingan. Gangguan
tidur yang ditimbulkan dapat berupa gangguan primer yaitu
gangguan yang terjadi saat tidur, dan gangguan sekunder yaitu
gangguan yang dapat diamati setelah mengalami paparan
9

bising saat tidur. Gangguan tidur primer dapat berupa sulit


tidur,

sering

terbangun,

perubahan

kedalaman

tidur,

peningkatan tekanan darah dan nadi, vasokonstriksi, dan


peningkatan gerakan tubuh sedangkkan gangguan tidur
sekunder dapat berupa penurunan kualitas tidur, kelelahan,
depresi, dan penurunan performa kerja.
Gangguan tidur baik secara akut maupun kronis dapat
mempengaruhi homeostasis tubuh seperti menurunnya sekresi
dan sensitivitas insulin, serta meningkatnya tonus simpatik dan
disfungsi endotel. Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa
tidur yang kurang (<6 jam per malam) berkaitan dengan
peningkatan resiko obesitas, diabetes, hipertensi, dan penyakit
kardiovaskuler. Dampak dari kebisingan terhadap kualitas tidur
ditentukan oleh karakteristik bising maupun respon terhadap
paparan bising yang berbeda pada tiap individu (Munzel et al.,
2014).
d. Gangguan kardiovaskuler
Paparan bising menyebabkan gangguan kardiovaskuler
baik

sementara

dan

permanen.

Paparan

bising

akut

menyebabkan perubahan yang bersifat sementara seperti


peningkatan tekanan darah, nadi dan vasokonstriksi sementara,
paparan bising dalam jangka waktu yang lama dapat
meningkatkan resiko terjadinya gangguan kardiovaskuler yang
bersifat permanen seperti hipertensi, stroke, arteriosklerosis dan
penyakit jantung koroner (Munzel, 2014). Besar dan durasi
efek kardiovaskuler terkait dengan tingkat kebisingan, lama
paparan, gaya hidup, kondisi lingungan dan faktor individual.
e. Gangguan kognitif
Menurut Stansfeld (2003) paparan bising kronis pada
anak-anak berdampak pada gangguan perkembangan dan
fungsi kognitif. Pada anak yang terpapar bising kronis terjadi
penurunan kemampuan untuk mendengar, berbicara, membaca,
10

dan berkonsentrasi. Selain itu anak juga dapat mengalami


penurunan daya ingat yang berdampak pada performa siswa di
sekolah.
Penelitian lain membandingkan kemampuan membaca
siswa sekolah dasar yang terpapar bising kereta api dengan
siswa yang belajar di tempat tenang. Dalam penelitian tersebut
terdapat perbedaan yang cukup signifikan pada kedua
kelompok tersebut. Kelompok siswa yang terpapar bising
kereta api memiliki rata-rata kemampuan membaca 3-4 bulan
dibelakang kelompok siswa yang belajar pada tempat tenang.
f. Gangguan psikis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa paparan bising
kronis berpengaruh terhadap respons stres dan mempengaruhi
kondisi psikis seseorang (Stansfeld et al., 2000; Stansfeld dan
Matheson, 2003). Menurut Stansfeld (2000), paparan bising
dapat memberi efek terhadap kondisi psikologis, perilaku dan
somatis seseorang. Kebisingan menimbulkan perasaan jengkel
(annoyed) dan gangguan gangguan psikis lain yang dimediasi
oleh perasaan jengkel tersebut. Stansfeld dan Matheson (2003)
mengemukakan bahwa kebisingan dapat mempecepat dan
memperkuat perkembangan dari gangguan mental latent. Pada
pekerja yang secara teratur terpapar tingkat kebisingan yang
tinggi seperti di bandara dan pabrik tenun dilaporkan adanya
keluhan-keluhan seperti sakit kepala, mual, perubahan suasana
hati dan kecemasan. Survey masyarakat juga menemukan
bahwa terdapat peningkatan persentase terhadap keluhan sakit
kepala, gelisah saat malam, dan rasa tegang pada daerah
dengan tingkat kebisingan yang tinggi. Smith et al. (2001)
melaporkan adanya hubungan yang signifikan antara paparan
bising dengan kejadian depresi dan penurunan fungsi kognitif.
Devroey et al. (2002) melaporkan bahwa dari populasi
pasien dokter umum yang mengaitkan keluhan mereka dengan
11

paparan bising di sekitar bandara Belgia, didapatkan prevalensi


yang lebih tinggi untuk tinnitus (p=0,02), depresi (p<0,001),
kelelahan (p=0,02), sulit tidur (p=0,001), nyeri otot (p<0,001),
kecemasan, kegelisahan dan iritabilitas (p<0,001). Sebuah studi
di Sardinia (Hardoy et al. 2005) membandingkan subyek yang
tinggal di sekitar bandara dengan kontrol yang tinggal di area
lain yang sudah dicocokkan jenis kelamin, usia dan status
pekerjaannya. Hasilnya, subyek yang tinggal di dekat sebuah
bandara dilaporkan memiliki gangguan cemas menyeluruh
dan gangguan cemas lainnya yang tidak tergolongkan dengan
persentase yang lebih tinggi dibandingkan dengan subyek
kontrol yang tinggal lebih jauh dari bandara.
5. Nilai ambang batas kebisingan
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
nomor Kep-48/MENLH/11/1996 nilai ambang batas kebisingan
atau dapat disebut baku tingkat kebisingan merupakan batas
maksimal tingkat kebisingan yang dapat berada di suatu
lingkungan sehingga tidak menyebabkan gangguan kesehatan
manusia maupun merusak kenyamanan lingkungan. Nilai ambang
batas kebisingan berbeda-beda berdasarkan peruntukan kawasan
atau kegiatan lingkungan. Berikut ini tabel nilai ambang batas
kebisingan untuk tiap lingkungan.
Tabel 1
Nilai ambang batas kebisingan menurut Kep-48/MENLH/11/1996
No

Peruntukan Kawasan

Tingkat
Kebisingan

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perumahan dan Pemukiman


Perdagangan dan Jasa
Perkantoran dan Perdagangan
Ruang Terbuka Hijau
Industri
Pemerintahan dan Fasilitas Umum
Rekreasi
Rumah sakit atau sejenisnya
Sekolah atau sejenisnya

12

dB(A)
55
70
65
50
70
60
70
55
55

10
11

Tempat ibadah atau sejenisnya


Khusus
Bandar Udara
Stasiun Kereta Api
Pelabuhan Laut
Cagar Budaya
Keterangan: * disesuaikan dengan ketentuan dari Menteri Perhubungan

55
*
*
70
60

Batas kebisingan di perumahan/ pemukiman menurut


Kepmenkes nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 adalah 55 dB(A).
Sementara itu tingkat bising yang ditimbulkan akibat pergi dan
datangnya kereta pada radius 0-20 meter berkisar diantara 81,6592,54 dB(A) (Rahmawati, 2010). Intensitas bising yang melebihi
batas ini tentunya dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan
baik auditorik maupun non auditorik.
6. Metode pengukuran kebisingan
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
nomor Kep-48/MENLH/11/1996 pengukuran tingkat kebisingan
dapat dilakukan dengan cara sederhana maupun cara langsung.
Pengukuran

dengan

cara

sederhana

dilakukan

dengan

menggunakan sound level meter selama 10 menit untuk setiap


pengukuran. Pembacaan dilakukan setiap 5 detik. Pengukuran
langsung dilakukan dengan menggunakan integrating sound level
meter yang mempunyai fasilitas LTM5 dan Leq dengan waktu ukur
setiap 5 detik dan dilakukan pengukuran selama 10 menit.
Waktu pengukuran dilakukan selama aktivitas 24 jam (LSM)
dengan cara pada siang hari tingkat aktivitas yang paling tinggi
selama 16 jam (LS) pada selang waktu 06.00-22.00 dan aktivitas
malam hari selama 8 jam (LM) pada selang 22.00-06.00. nilai LSM
yang dihitung kemudian dibandingkan dengan nilai baku tingkat
kebisingan yang ditetapkan dengan toleransi + 3dB (A).
Keterangan:
a. Leq

= Equivalent continous noise level atau tingkat


kebisingan sinambung setara ialah nilai tingkat
kebisingan dari kebisingan yang berubah ubah
13

(fluktuatif) selama waktu tertentu yang setara


dengan tingkat kebisingan ajeg (steady) pada selang
b.
c.
d.
e.

LTM5
LSM
LS
LM

=
=
=
=

waktu yang sama.


Leq dengan waktu sampling tiap 5 detik.
Leq selama malam hari.
Leq selama siang hari.
Leq selama siang dan malam hari.

B. Kecemasan
1. Pengertian kecemasan
Kecemasan/ ansietas berasal dari bahasa latin, angere, yang
berarti tercekik atau tercekat. Menurut Maramis (2009), kecemasan
adalah ketegangan, rasa tidak aman dan kekhawatiran yang timbul
karena dirasakan akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan,
tetapi sumbernya sebagian besar tidak diketahui. Respon
kecemasan seringkali tidak berkaitan dengan ancaman yang nyata
namun tetap dapat membuat seseorang tidak mampu bertindak atau
bahkan menarik diri. Menurut Longo et al. (2012), kecemasan
adalah sebuah perasaan subyektif yang berbentuk kegelisahan,
kengerian, atau prasangka akan terjadinya sesuatu yang buruk yang
dapat mengindikasikan adanya reaksi terhadap suatu kejadian atau
sebuah gangguan psikatrik.
Kecemasan (anxiety) berbeda dengan ketakutan (fear)
dimana pada ketakutan perasaaan yang dirasakan merupakan
sebuah respon terhadap suatu ancaman yang dirasakan dan nyata,
sedang

pada

kecemasan

perasaan

yang

dirasakan

lebih

menitikberatkan pada prasangka ancaman di masa depan yang


tidak pasti (American Psychiatric Association, 2013).
2. Gejala kecemasan
Menurut Maramis (2009), gejala-gejela ansietas terdiri dari
dua komponen yaitu komponen psikis/mental dan komponen fisik.
Dari komponen psikis, gejala kecemasan dapat berupa rasa
kekhawatiran, was-was, gugup, tegang, cemas, rasa tak aman,
takut, dan lekas terkejut. Sedangkan dari komponen fisik, gejala
14

kecemasan
berlebihan

merupakan

manifestasi

(hyperarousal

dari

syndrome)

keterjagaan
seperti

yang

takikardi,

hiperventilasi, mulut kering, keluhan lambung, pusing, kesemutan


pada ekstremitas, dan spasme otot tangan dan kaki.
3. Etiologi kecemasan
Kaplan dan Sadock (2007) menyebutkan terdapat beberapa
macam penyebab kecemasan ditinjau dari beberapa bidang
keilmuan diantaranya:
a. Studi psikologis
1) Teori psikoanalitik
Freud menyatakan kecemasan merupakan sinyal
adanya sebuah ancaman yang dirasakan oleh alam bawah
sadar manusia. Sebagai respon dari sinyal ini, ego
mengambil tindakan defensive utuk mencegah pikiran dan
perasaan yang tidak dapat diterima muncul ke kesadaran.
Peran amigdala memunculkan respons rasa takut tanpa
melewati sistem memori dan kesadaran mendukung konsep
respon kecemasan bawah sadar Freud.
Dalam pandangan teori psikoanalitik, kecemasan
juga dikaitkan dengan gangguan perkembangan. Sebagai
contoh,

kecemasan

terhadap

pengebirian

(castration

anxiety) berhubungan dengan fase oedipal pada masa


perkembangan kepribadian pasien tersebut, dimana tokoh
orang tua yang kuat, biasanya sang ayah pernah melukai
alat kelamin pasien atau menyebabkan perlukaan yang lain.
Jenis kecemasan yang lain berkaitan dengan berbagai
masalah di berbagai tahapan perkembangan kepribadian.
2) Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan
merupakan respon terhadap stimulus lingkungan yang
spesifik. Sebagai contoh, seorang gadis yang dibesarkan
oleh ayah yang kasar dapat menjadi cemas segera setelah ia
melihat ayah yang kasar atau pria yang lain yang bersifat
15

kasar. Gadis tersebut selanjutnya dapat menjadi tidak


percaya terhadap semua pria melalui proses generalisasi.
3) Teori eksistensial
Konsep utama dari teori ini adalah ketika seseorang
mengalami perasaan bahwa mereka tinggal di alam semesta
yang tanpa tujuan. Kecemasan merupakan respon mereka
terhadap kehampaan tujuan dan keberadan manusia.
b. Studi biologis
1.) Sistem saraf otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala
pada berbagai sistem organ meliputi sistem kardiovaskuler
(takikardi), gastrointestinal (diare), dan respirasi (takipneu).
Pada sistem saraf otonom pasien dengan gangguan
kecemasan

menunjukkan

adanya

peningkatan

tonus

simpatik, adaptasi lambat terhadap rangsangan berulang


dan

peningkatan

respon

terhadap

rangsangan/

hiperresponsif.
2.) Neurotransmiter
Tiga neurotransmitter utama yang berhubungan
dengan kecemasan berdasarkan penelitian pada binatang
dan respon terhadap terapi obat adalah norepinefrin,
serotonin dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Gejala yang dialami oleh pasien dengan gangguan
kecemasan merupakan karakteristik dari peningkatan fungsi
noradrenergik. Teori tentang peran norepinefrin pada
gangguan kecemasan menyebutkan bahwa pasien dengan
gangguan

kecemasan

memiliki

sistem

pengaturan

noradrenergic yang buruk dengan peningkatan aktivitas


yang terjadi tiba tiba. Penelitan efek terapi obat pada
manusia menemukan bahwa pada pasien dengan gangguan
kecemasan, pemberian 2-agonis reseptor adrenergik seperti
isoprotenol dan 2-antagonis reseptor adrenergik seperti
yohimbine dapat memprovokasi terjadinya serangan panik.
16

Efektifitas dari buspirone, agonis serotonin dalam


pengobatan kecemasan menunjukkan adanya hubungan
yang erat antara serotonin dan kecemasan. Penelitian lain
menyebutkan

meta-chlorophenylpiperazine

(mCPP),

sebuah obat dengan efek serotonergic dan nonserotonergik,


dan

fenfluramine,

sebuah

obat

yang

meningkatkan

pelepasan serotonin menyebabkan peningkatan onset


kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.
Laporan lain menyebutkan halusinogen dan stimulant
serotonergik seperti lysergic acid diethylamide (LSD) dan
3,4-methylenedioxymethamphetamine

(MDMA)

dapat

menimbulkan efek gangguan kecemasan baik akut dan


kronis pada pengguna kedua obat tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan adanya keterkaitan erat antara
serotonin dengan kecemasan.
Peranan GABA pada gangguan kecemasan secara
kuat didukung oleh keberhasilan benzodiazepin, sebuah
obat

yang

bekerja

meningkatkan

aktivitas

GABA,

mengobati berbagai gangguan kecemasan. Benzodiazepin


dengan potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam
terbukti efektif dalam pengobatan gangguan panik.
Antagonis

benzodiazepin

seperti

flumazenil

dapat

menyebabkan terjadinya serangan panik pada pasien


dengan gangguan panik.
c. Studi pencitraan otak (brain imaging studies)
Dalam sebuah studi magnetic resonance imaging (MRI)
kelainan pada bagian lobus temporal kanan terdeteksi pada
pasien-pasien dengan gangguan panik. Studi lain menyebutkan
kelainan terdeteksi hanya pada hemisfer kanan namun tidak
pada hemisfer kiri, penemuan ini mengindikasikan bahwa
beberapa

jenis

kelainan
17

asimetri

otak

penting

dalam

perkembangan gejala gangguan kecemasan pada pasien


tertentu. Penelitian pencitraan yang lain melaporkan terdapat
kelainan pada korteks frontalis, oksipitalis dan temporalis pada
pasien dengan gangguan kecemasan, girus parahipokampus
pada pasien dengan gangguan panik, nukleus kaudatus pada
pasien obsessive compulsive disorder (OCD), dan amigdala
pada pasien dengan posttraumatic stress disorder (PTSD). Dari
penemuan-penemuan berikut ini dapat disimpulkan bahwa
beberapa gangguan kecemasan berasal dari kelainan fungsi
serebral.
d. Studi genetik
Studi genetik menghasilkan bukti yang kuat bahwa
setidaknya terdapat komponen genetik yang turut berkontribusi
terhadap

perkembangan

gangguan

kecemasan.

Hampir

setengah dari semua pasien dengan gangguan panik setidaknya


memiliki satu kerabat yang menderita gangguan yang sama.
Gangguan kecemasan yang lain juga menunjukkan terdapat
angka kejadian gangguan kecemasan yang lebih tinggi pada
kerabat tingkat pertama pasien dengan gangguan kecemasan
daripada kerabat tingkat pertama orang yang tidak mengalami
gangguan kecemasan. Laporan lain menyebutkan salah satu
faktor genetik yang berhubungan dengan kecemasan adalah
adanya polimorfisme pada gen yang mengatur transporter
serotonin. Orang dengan polimorfisme tersebut memiliki
jumlah transporter serotonin yang lebih sedikit dan tingkat
kecemasan yang lebih tinggi.
e. Studi neuroanatomis
Selain

menerima

persarafan

noradrenergik

dan

serotonergik, sistem limbik juga memiliki konsentrasi reseptor


GABAA yang tinggi. Studi ablasi dan stimulasi pada primata
menunjukkan

bahwa
18

sistem

limbik

berperan

terhadap

munculnya respon kecemasan dan rasa takut. Korteks frontalis


terhubung dengan regio parahipocampus, gyrus singulatus, dan
hipotalamus yang mana terlibat dalam gangguan kecemasan.
Korteks temporalis juga dianggap terlibat dalam terhadap
munculnya respon kecemasan.
4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kecemasan
Menurut Ralph dan Taylor (2011), terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi munculnya kecemasan diantaranya, pubertas,
stres, gaya hidup (merokok dan minum-minuman beralkohol)
perubahan lingkungan, penggunaan obat-obatan psikoaktif, dan
hubungan antara anggota keluarga yang kurang baik.
Menurut Weiten (2013) dukungan sosial (social support)
berperan penting dalam meningkatkan daya tahan terhadap stres.
Dukungan sosial berfungsi sebagai peredam (buffer) yang
melindungi individu selama menghadapi stres, serta mengurangi
efek negatif dari stressor. Dukungan sosial juga dapat mengubah
penilaian/ persepsi terhadap stressor (Cohen dan Wills, 1985),
mengurangi reaktivitas terhadap stres fisiologis dan mencegah
timbulnya respons stres yang berkepanjangan (Ochsner dan Gross,
2005), mengurangi tingkah laku yang merusak kesehatan seperti
merokok dan minum-minuman beralkohol dan mendorong coping
mechanism yang lebih konstruktif (Weiten et al., 2009).
Dimensi dukungan sosial sangatlah luas, namun dukungan
sosial yang berasal dari keluarga dan kerabat/ lapis terdekat
seseorang adalah dukungan sosial yang dianggap paling penting
dan berperan penting dalam menghadapi kondisi stres (Myers,
2014). Hubungan antara anggota keluarga, kondisi kedekatan dan
keintiman keluarga merupakan faktor yang berperan penting bagi
seseorang dalam menghadapi stres.
Hawari (1997) mengemukakan bahwa seseorang yang
dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang kurang baik
19

lebih beresiko mengalami gangguan kepribadian dan berperilaku


menyimpang dibandingkan dengan orang yang dibesarkan dalam
lingkungan harmonis.
Kriteria keluarga yang tidak sehat diantaranya adalah:
a. Keluarga yang tidak utuh (broken home by death or
separation).
b. Kesibukan orang tua, ketidakberadaan dan ketidakbersamaan
orang tua dan anak di rumah.
c. Hubungan interpersonal antara anggota keluarga (ayah, ibu,
dan anak) yang tidak baik sehingga terjadi suasana yang tegang
dan dingin.
5. Klasifikasi kecemasan
Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders

edisi

lima

(DSM-V)

gangguan

kecemasan

diklasifikasikan menjadi sebelas macam yaitu:


a. Gangguan kecemasan perpisahan masa kanak
b. Mutisme elektif
c. Fobia khas
d. Gangguan kecemasan sosial
e. Gangguan panik
f. Agorafobia
g. Gangguan cemas menyeluruh
h. Gangguan cemas akibat penggunaan zat
i. Gangguan cemas organik
j. Gangguan cemas lainnya yang ditentukan
k. Gangguan cemas lainnya yang tidak tergolongkan
6. Tingkat kecemasan
Menurut Stuart (2013), kecemasan dapat dibagi menjadi 4
tingkatan yaitu:
a. Kecemasan ringan
Kecemasan jenis ini sering terjadi akibat tantangan hidup
sehari-hari. Pada kecemasan ringan terjadi peningkatan
kewaspadaan, persepi, dan perhatian terhadap lingkungan
sekitar. Kecemasan semacam ini sering bersifat memotivasi,
meningkatkan produktivitas dan kreativitas.
b. Kecemasan sedang
20

Pada kecemasan sedang, seseorang memfokuskan


perhatiannya hanya pada masalah yang mendesak/ yang perlu
segera

diselesaikan

sehingga

seringkali

menyebabkan

penurunan persepsi terhadap lingkungan. Seseorang dengan


kecemasan sedang dapat memblok rangsangan yang tidak
diinginkan namun dapat juga meningkatkan perhatian terhadap
rangsangan lain apabila diarahkan.
c. Kecemasan berat
Kecemasan berat ditandai dengan penurunan persepsi
terhadap lingkungan secara signifikan. Seseorang dengan
kecemasan berat cenderung untuk fokus pada detail tertentu
dan mengabaikan semua hal yang lain. Perilakunya ditujukan
untuk mengurangi rasa cemas.
d. Panik
Panik dikatikan dengan rasa takut dan terror. Seseorang
dengan kecemasan tingkat panik tidak dapat melakukan hal
apapun bahkan dengan arahan. Gejala-gejala panik meliputi
peningkatan aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,
dan hilangnya akal sehat. Seseorang yang panik tidak dapat
berkomunikasi dan berfungsi secara efektif. Panik yang tidak
ditangani dalam waktu lama dapat menyebabkan kelelahan
bahkan kematian.
C. Hubungan Bising Terhadap Tingkat Kecemasan
Kebisingan merupakan salah satu faktor lingkungan yang
dianggap sebagai polutan dan stressor lingkungan. Setiap stimulus
yang memacu respon stres disebut sebagai stressor. Stansfeld (2000)
mengemukakan bahwa kebisingan menyebabkan gangguan aktivitas,
komunikasi serta perasaan jengkel yang mengakibatkan timbulnya
respon stres dan bahkan penyakit terkait stres seperti mual, sakit
kepala, perubahan mood, penurunan gairah seksual dan kecemasan.
Respons stres yang timbul terhadap kebisingan bergantung pada
21

karakteristik kebisingan yang didalamnya termasuk intensitas,


frekuensi, kompleksitas bising, dan durasi kebisingan. Hubungan
kebisingan dengan tingkat kecemasan dapat dilihat melalui dua sudut
pandang yaitu:
1. Sudut pandang biologis
a. Fase akut
Ketika tubuh terpapar stressor bising tubuh akan
berusaha untuk melawan stressor agar kondisi homeostasis
dalam tubuh tetap terjaga. Proses ini disebut sebagai respon
stres atau General Adaptation Syndrome (GAS). Respon
terhadap stres ini terdiri dari 3 tahapan yakni respon fight-orflight, reaksi resistensi, dan kelelahan (Tortora dan Derickson,
2011).
Respon fight-or-flight diawali dengan adanya impuls
saraf dari hipotalamus menuju sistem saraf otonom simpatis
yang

nantinya

akan

memacu

medula

adrenal

untuk

mensekresikan epinefrin dan norepinefrin. Hal ini bertujuan


untuk meningkatkan pasokan glukosa dan oksigen pada organorgan yang berperan penting dalam melawan stres, yaitu otak,
otot rangka, dan jantung. Sebaliknya, fungsi sistem organ yang
tidak berperan dalam perlawanan terhadap stres seperti
reproduksi, pencernaan, dan saluran kemih akan dihambat.
Tahap kedua tubuh dalam menghadapi stres adalah reaksi
resistensi. Pada reaksi ini di hipotalamus akan mengeluarkan
berbagai hormon seperti Corticotropin-releasing hormone
(CRH), Growth hormone-releasing hormone (GHRH), dan
Thyrotropin-releasing hormone (TRH). Akibat ketiga hormon
diatas, terjadi peningkatan asam lemak, glukosa, dan asam
amino bertujuan untuk meningkatkan produksi adenosin
trifosfat (ATP) dan perbaikan sel yang rusak. Respon stres akan
berhenti pada tahap reaksi resistensi dan tubuh akan kembali
22

pada kondisi normal ketika stressor berhasil ditangani. Ketika


terjadi kegagalan dalam melawan stressor tubuh akan masuk
dalam tahap yang ketiga, di mana cadangan fisiologis tubuh
telah habis sehingga tidak bisa melanjutkan reaksi resistensi
lagi dan terjadilah kelelahan.
Norepinefrin selain befungsi sebagai hormon stres, juga
dapat berfungsi sebagai neurotransmitter yang utamanya di
otak

diproduksi

oleh

lokus

seroleus.

Lokus

seroleus

dihubungkan oleh sistem neurotransmitter dengan bagian otak


yang lain yang terkait dengan patofisiologi kecemasan seperti
amigdala, hipokampus, dan korteks serebri (Stuart GW, 2013).
Studi pencitraan otak menyatakan bahwa terdapat peningkatan
aktivitas amigdala pada pasien dengan gangguan cemas
(Breiter et al., 1996). Studi lain pada pasien post-traumatic
stress disorder (Bremner et al., 2005; Liberzon et al., 1999)
menemukan bahwa terdapat peningkatan aliran darah di
amigdala ketika pasien PTSD distimulasi dengan stressor.
b. Fase kronis
Cannabis sativa dan turunannya sudah digunakan untuk
tujuan terapeutik dan rekreasional di seluruh dunia selama
ribuan tahun. Baru di awal abad ke-20 ditemukan bahwa tubuh
dapat menghasilkan zat yang serupa yang juga berperan dalam
mekanisme adaptasi stres yang disebut endokanabinoid (eCB).
Endokanabinoid berfungsi mengurangi eksitabilitas neuron
presinaptik

sehingga

menghambat

pelepasan

dari

neurotransmitter. Ketika tubuh terpapar stressor, terjadi


peningkatan aktivitas sistem saraf simpatik sistem untuk
memberikan respons stres. Peningkatan aktivitas simpatik ini
akan memicu pelepasan norepinefrin sebagai hormon stres
yang meningkatkan aktivitas neuron glutamatergik di amigdala.
Studi

pencitraan

otak
23

telah

menggambarkan

bahwa

peningkatan aktivitas sirkuit limbik yang terdiri dari amigdala,


korteks prefrontal dan hipokampus mendasari patofisiologi
kondisi kecemasan (Etkin et al., 2009).
Ketika respon stres diaktifkan maka terjadi peningkatan
pelepasan glutamat oleh neuron presinaptik glutamatergik di
amigdala yang menimbulkan depolarisasi dari neuron post
sinaptik dan terjadilah impuls saraf. Pelepasan glutamat yang
meningkat atau berkepanjangan, seperti yang ditimbulkan oleh
efek stressor, akan mengaktifkan reseptor metabotropik
glutamat (mGluR). Aktivasi dari mGluR akan mengaktifkan
sinyal transduksi intraseluler yang selanjutnya akan memicu
sintesis dari eCB. eCB yang diproduksi di neuron post-sinaptik
kemudian akan keluar dan berjalan kembali menuju neuron
presinaptik dan mengaktifkan reseptor endokanabinoid (CB1).
Aktivasi CB1 selanjutnya akan mememblok influks ion kalsium
di neuron presinaptik sehingga pelepasan neurotransmitter
glutamat akan terhambat, aktivitas amigdala menurun dan
respon stres melemah. Hal ini merupakan salah satu bentuk
reaksi umpan balik negatif (negative feedback) untuk
mencegah hiperaktivasi dari neuron glutamatergik di amigdala
oleh efek stressor (Moreira dan Wotjak, 2010).

24

Gambar 1: Mekanisme kerja sistem endokanabinoid. (a) Pelepasan


glutamat (glu) menyebabkan terjadinya excitatory post synaptic potential
(EPSP) (b) Pelepasan glutamat berlebihan mengaktifkan G-protein coupled
metabolic glutamate receptors (mGluR) yang merangsang sintesis
endokanabinoid (eCB). (c) eCB berjalan menuju neuron presinaptik dan
mengaktifkan reseptor CB1 (d) Aktivasi reseptor CB1 menghentikan influks
kalsium pada neuron presinaptik, terjadi penurunan pelepasan glutamat dan
EPSP (Riebe dan Wotjak, 2011).

Seperi sudah kita ketahui bahwa produksi eCB terkait


dengan aktivasi reseptor glutamat (mGluR), utamanya adalah
mGluR5 (Maccarrone et al., 2008; Maejima et al., 2005; Zhu
and Lovinger, 2005). Fosforilasi dari tirosin pada mGluR5
diperlukan untuk mencapai keadaan aktivasi yang maksimal,
sehingga dengan kata lain penurunan proses fosforilasi akan
menyebabkan penurunan aktivitas mGluR5 yang berpengaruh
pada proses produksi endokanabinoid. Penelitian oleh Pandley
et al. (2013; 2014) menemukan bahwa protein palmitoylated
LIM domain only 4 (LMO4) yang merupakan inhibitor dari
25

enzim protein tirosin fosfatase 1B (PTP1B) berperan dalam


mengatur proses fosforilasi mGluR5. Peningkatan aktivitas
enzim PTP1B akan mendefosforilasi mGluR5, menurunkan
produksi eCb yang selanjutnya akan meningkatkan aktivitas
amigdala dan menyebabkan munculnya gangguan cemas.
Beberapa penelitian (Hill et al., 2013; Marsicano et al., 2002;
McEwen, 2005) menunjukkan bahwa pada model tikus dengan
penurunan ekspresi protein LMO4 didapatkan adanya efek
yang menyerupai efek yang diakibatkan oleh paparan stres
kronik atau kegagalan sistem endokanabinoid. Penelitan lain
mengonfirmasi bahwa paparan stres kronik dapat menimbulkan
efek pada kondisi psikis, emosi dan perilaku yang disebabkan
oleh kegagalan sistem endokanabinoid (Hill et al., 2013;
Lomazzo et al., 2015; Sumislawski et al., 2011; Zhong et al.,
2014). Secara lebih spesifik Qin et al. (2015) menemukan
bahwa paparan stres kronis menghambat proses palmitolasi
dari LMO4, sehingga menghambat interaksi antara LMO4 dan
PTP1B yang berefek pada meningkatnya aktivitas PTP1B.
Aktivitas

PTP1B

yang

meningkat

akan

menyebabkan

defosforilasi reseptor mGluR5 dan menurunkan produksi dari


endokanabinoid. Penurunan produksi endokanabinoid akan
menggagalkan fungsi sistem endokanabinoid sebagai peredam
respon stres akibatnya terjadilah peningkatan pelepasan
hormon-hormon stres yang dapat mengarah ke keadaan
patologis seperti kecemasan.

26

Gambar 2: Model kaskade CORT-LMO4-PTP1B-mGluR5-eCB pada


kecemasan yang diinduksi stres. Pada model yang tidak cemas (kiri) LMO4
menghambat aktifitas enzim PTP1B dan memelihara fungsi mGluR5
sehingga terjadi rilis dan produksi eCB. Kortikosteron (CORT) yang
terinduksi oleh stres kronis menghambat proses palmitolasi dari LMO4
sehingga LMO4 tidak dapat berinteraksi dengan PTP1B. PTP1B selanjutnya
mendefosforilasi mGluR5 dan mengganggu produksi eCB (Qin et al.,
2015).

2. Sudut pandang Psikososial


Seseorang dapat mengatasi stres dan kecemasan dengan
mengaktifkan coping resource seperti asset keuangan, kemampuan
pemecahan masalah, dukungan sosial dan kepercayaan terhadap
agama dan budaya untuk membantu mengintegrasikan stressor
dalam kehidupan mereka dan membentuk mekanisme pertahanan
(coping mechanism) yang berfungsi optimal. Ketika rasa cemas
meningkat seseorang akan menggunakan mekanisme pertahanan
yang bervariasi untuk meringkankan rasa cemasnya. Gagalnya
mekanisme pertahanan untuk mengatasi rasa cemas secara
konstruktif inilah yang merupakan penyebab utama munculnya
kecemasan sebagai masalah psikologis. Mekanisme pertahanan
berbeda beda tergantung dari tingkat kecemasan yang dialami oleh
seseorang. Kecemasan derajat ringan yang disebabkan oleh
27

masalah hidup sehari hari mekanisme pertahanan yang mungkin


muncul dapat berupa menangis, tidur, makan, menguap, tertawa,
mengumpat-umpat, melakukan aktivitas fisik, melamun, merokok,
dan minum minuman beralkohol. Kecemasan derajat sedang, berat,
dan panik menimbulkan ancaman yang lebih besar terhadap ego
sehingga membutuhkan lebih banyak energi untuk menghadapi
ancaman dan memiliki mekanisme pertahanan yang berbeda
dengan kecemasan derajat ringan. Mekanisme pertahanan tersebut
dapat dikategorikan menjadi mekanisme pertahanan yang terkait
masalah dan tugas (problem or tasked focused coping mechanism)
dan mekanisme pertahanan yang terkait emosi atau ego (emotion
or ego focused coping mechanism).
a. Mekanisme pertahanan yang mengacu masalah atau tugas
(problem/ task oriented)
Mekanisme pertahanan yang mengacu masalah atau
tugas bersifat memecahkan masalah, menyelesaikan konflik
dan memuaskan kebutuhan. Mekanisme ini bertujuan untuk
memenuhi tuntutan situasi stres yang telah dinilai secara
objektif. Mekanisme ini mencakup perilaku menyerang,
menarik diri, dan kompromi.
Pada perilaku menyerang, seseorang akan berusaha
untuk menghilangkan atau melampaui hambatan untuk
memenuhi kebutuhannya. Terdapat dua pola dalam perilaku
menyerang yaitu pola destruktif dan pola konstruktif. Perilaku
menyerang yang destruktif biasanya diikuti dengan kemarahan
dan

permusuhan

yang

hebat.

Pola

destruktif

dapat

bermanifestasi menjadi perilaku yang agresif, melanggar hakhak dan kesejahteraan orang lain. Perilaku menyerang yang
berpola konstruktif mencerminkan pemecahan maslah. Pola
konstruktif akan bermanifestasi menjadi sifat percaya diri dan
menghormati orang lain.
28

Perilaku menarik diri dapat diekspresikan secara fisik


maupun

psikologis.

Secara

fisik,

penarikan

diri

akan

menghilangkan diri dari sumber ancaman. Reaksi ini berlaku


bagi stressor biologis seperti asap, bising, radiasi atau kontak
dengan penyakit menular. Penarikan diri secara psikologis
dilakukan dengan cara mengalah, menjadi apatis, atau
menurunkan aspirasi. Perilaku menarik diri dapat menimbulkan
masalah baru ketika penarikan diri mengganggu hubungan
antar manusia dan kemampuan untuk beraktivitas.
Kompromi melibatkan perubahan cara

pandang

seseorang, pergantian tujuan, atau mengorbankan kebutuhan


pribadi. Kompromi diperlukan dalam menyelesaikan suatu
masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui perilaku
menyerang dan menarik diri. Kompromi tidak selamanya
menyelesaikan masalah, ketika seseorang menyadari hal ini
maka ia akan berusaha mencari solusi lain atau mengadopsi
mekanisme pertahanan yang berbeda.
b. Mekanisme pertahanan yang mengacu emosi atau ego
(emotion/ ego oriented)
Mekanisme pertahanan yang mengacu emosi atau ego
melindungi seseorang dari perasaan tidak mampu, tidak
berharga dan mencegah kecemasan muncul ke kesadaran.
Mekanisme pertahanan ini memiliki beberapa kelemahan
diantaranya mekanisme pertahanan ego beroperasi pada tingkat
bawah sadar. Seseorang hanya memiliki sedikit kesadaran dan
kontrol tentang apa yang terjadi. Selain itu mekanisme
pertahanan ini dapat bersifat mendistorsi kenyataan dan
mengelabuhi diri sendiri, sehingga mekanisme ini biasanya
tidak mengatasi masalah secara realistis. Contoh dari
mekanisme pertahanan terkait emosi atau ego adalah
kompensasi, proyeksi, rasionalisasi, represi, dan supresi.
29

Gambar 3: Model adaptasi stres Stuart (Stuart stress adaptation model) terkait
dengan respon kecemasan (Stuart GW, 2013)

30

IX.

Kerangka Pemikiran
Paparan bising kereta api
Stressor

Respon biologis

Fase akut

Respon psikis

Fase kronis

Penilaian Stressor

Rangsang simpatis
Peningkatan aktivitas enzim PTP1B
Coping mechanism/ mekanisme pertahanan

General Adaptation Syndrome (GAS)


Defosforilasi reseptorProblem/
mGluR5 task oriented
Emotion/ ego oriented

Sekresi norepinefrinPenurunan produksi eCBKonstruktif

Respons cemas

Peningkatan aktivitas amigdala

Keintiman keluarga

Keterangan:

Destruktif

Tingkat kecemasan

: Variabel yang diukur


Variabel perancu

31

: variabel yang tidak diukur

X.

Hipotesis
Hipotesis dari penelitan ini adalah paparan bising kereta api dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan orang yang tinggal di bantaran rel
kereta api Nusukan.

XI.

Metode Penelitian
A Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bersifat analitik,
karena mengaitkan aspek paparan (sebab) dengan efek. Pada penelitian
cross sectional, penulis mencari hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat dengan melakukan pengukuraan sesaat
(Sastroasmoro dan Ismael, 2011).
B Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di rumah penduduk yang tinggal
di bantaran rel kereta api kelurahan Nusukan, kecamatan Banjarsari,
Surakarta.
C Subjek Penelitian
1 Populasi sasaran
Populasi sasaran adalah masyarakat yang tinggal di sekitar
2

bantaran rel kereta api.


Populasi sumber/terjangkau
Populasi sumber adalah masyarakat yang tinggal di sekitar

bantaran rel kereta api Nusukan, Surakarta.


Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah masyarakat yang tinggal di bantaran rel
kereta api Nusukan dan memenuhi kriteria inklusi serta eksklusi

yang telah ditentukan oleh penulis.


Kriteria inklusi
a Wanita.
b Berusia 20-50 tahun.
c Bersedia menjadi subjek penelitian dan menandatangani
d

informed consent.
Tinggal di bantaran rel kereta api Nusukan selama minimal 1

tahun.
Kriteria eksklusi
a Menderita sakit telinga atau tuli.
b Perokok aktif.
32

c Menderita penyakit kronis.


d Memakai obat anti ansietas.
Teknik pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah
purposive sampling. Purposive sampling merupakan teknik
pemilhan sampel dimana pemilihan subjek dilakukan berdasarkan
ciri-ciri tertentu yang berkaitan dengan karakteristik populasi

(Taufiqurochman, 2008).
Besar sampel
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini
menyesuaikan dengan analisis yang digunakan yaitu analisis
multivariat. Dalam menentukan ukuran sampel untuk analisis
multivariat, rasio yang digunakan untuk ukuran sampel dan jumlah
variabel bebas adalah: n=15 hingga 20 subyek per variabel bebas
(Murti, 2010). Variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini
adalah 2 variabel sehingga ukuran yang dibutuhkan adalah 30-40
subjek penelitian.

33

D Rancangan Penelitian
Populasi

Sampel

Terpapar Bising dibawah NAB (55dB)


Terpapar Bising diatas NAB (>55dB)

Mengisi kuesioner HARS

Mengisi kuesioner HARS

Skor Kuesioner HARS

Skor Kuesioner HARS

Gambar 4. Rancangan Penelitian


E Identifikasi Variabel
1 Variabel bebas
2 Variabel terikat
3 Variabel perancu
a Terkendali
b Tak terkendali

: Kebisingan kereta api


: Skor tingkat kecemasan
Analisis Data
: Umur, keintiman keluarga
: Herediter, status ekonomi

34

F Definisi Operasional Variabel Penelitian


1 Kebisingan kereta api
a. Definisi

: Kebisingan

kereta

api

merupakan

kebisingan yang bersumber dari aktivitas


kereta api yang melintas disepanjang rel

kereta api Nusukan.


b. Alat ukur
: Sound level meter
c. Skala variabel : Dikotomi
Tingkat Kecemasan
a. Definisi

: Kecemasan

adalah

sebuah

perasaan

subyektif yang berbentuk kegelisahan,


kengerian atau prasangka akan terjadinya
sesuatu

yang

buruk

yang

dapat

mengindikasikan adanya reaksi terhadap


suatu kejadian atau sebuah gangguan
b. Alat ukur

psikatrik (Longo et al., 2012)


: Kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale

(HARS)
c. Skala variabel : Interval
Keintiman keluarga
a. Definisi

: Keintiman

keluarga

adalah

kedekatan

seorang anggota keluarga dengan anggota


keluarga lainnya.
b. Alat ukur
: Kuesioner Instrumen keintiman keluarga
c. Skala variabel : Dikotomi
G Intrumen Penelitian
1 Sound level meter
Sound level meter merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur intensitas suara antara 30-130 dB dan dari frekuensi 202
3

20.000 Hz. Alat ini dikalibrasi dengan sound calibrator.


Informed consent dan data pribadi.
Kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)
Kuesioner HRSA merupakan suatu skala untuk mengetahui
tingkat kecemasan seseorang. Kuesioner HRSA terdiri dari 14
pertanyaan/ kelompok gejala dimana pada setiap kelompok
35

terdapat 5 kelompok penilaian masing-masing dengan skor tertentu


yaitu: 0: Tidak ada gejala sama sekali, 1: Ringan/ satu dari gejala
yang ada, 2: Sedang/ dua dari gejala yang ada, 3: Berat/ lebih dari
gejala yang ada, kadang kadang mengganggu aktivitas sehari
hari dan 4: Sangat berat/ semua gejala ada dan mengganggu
aktivitas sehari-hari. Hasil penilaian tersebut kemudian dijumlah
dan digunakan untuk menentukan tingkat kecemasan dengan

interpretasi sebagai berikut:


a Tidak ada kecemasan: Jumlah skor < 14
b Kecemasan ringan: Jumlah skor antara 14-20
c Kecemasan sedang: Jumlah skor antara 21-27
d Kecemasan berat: Jumlah skor antara 28-41
e Kecemasan sangat berat: jumlah skor antara 42-56
Kuesioner Instrumen keintiman keluarga
Kuesioner instrumen keintiman keluarga merupakan
instrumen yang digunakan untuk mengetahui kedekatan/ keintiman
responden dengan keluarganya. Kuesioner ini berisi 11 butir
pertanyaan dengan 5 buah pilihan jawaban (sangat tidak setuju,
tidak setuju, ragu-ragu, setuju dan sangat setuju). Derajat
keintiman keluarga dinilai dari rata rata:
jumlah skor tertinggi+ jumlah skor terendah
2
Individu dengan skor dibawah rata-rata dinyatakan
memiliki derajat keintiman keluarga yang rendah sedangkan
individu dengan skor diatas rata-rata dinyatakan memiliki derajat

keintiman keluarga yang tinggi.


H Cara Kerja Penelitian
Penelitian dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1 Melaksanakan pengukuran kebisingan dengan sound level meter
2 Menetapkan subjek penelitian atau populasi dan sampel
3 Melakukan wawancara dengan responden yang tinggal di bantaran rel
kereta api Nusukan
a Memperkenalkan diri kepada responden.
b Memberikan penjelasan kepada responden mengenai tujuan,
manfaat, serta prosedur penelitian.
36

c
4

Meminta persetujuan dari responden dengan penandatanganan

informed consent.
Memberikan kuesioner data pribadi, kuesioner Hamilton Anxiety
Rating Scale (HARS), dan kuesioner instrumen keintiman keluarga
kepada seluruh responden yang memenuhi kriteria dalam populasi

sebagai subjek penelitian


a Memberikan penjelasan kepada responden
b Mendampingi responden dalam pengisian kuesioner
c Mempersilakan responden bertanya apabila menemui kesulitan
Mengolah data untuk mendapatkan informasi sebagai berikut :
a Distribusi pada kelompok terpapar bising dan tidak terpapar bising
b Distribusi sampel berdasarkan usia
c Distribusi sampel berdasarkan lama tinggal di bantaran rel kereta
d

api
Perbandingan tingkat kecemasan pada masyarakat yang terpapar

bising kereta api diatas NAB dan yang tidak


Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik
dengan uji regresi linier ganda. Uji regresi linier ganda adalah
instrumen statistik yang sangat kuat untuk menganalisis hubungan
antara sebuah paparan dan penyakit dengan serentak mengontrol
sejumlah faktor pengganggu potensial (Murti, 2010). Pada regresi
linear ganda, persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Y = a + b1 X1 + b2 X2

Keterangan :
1
2
3
4

Y
a
b1 b2
X1

: Tingkat kecemasan
: Konstanta
: Koefisien regresi variabel bebas
: Paparan bising (0 = tidak terpapar ; 1 = terpapar bising)
5 X2
: Keintiman keluarga (0 = keintiman keluarga
rendah ; 1 = keintiman keluarga tinggi)

37

Kekuatan hubungan untuk variabel bebas berskala dikotomi


dapat dikonversikan menjadi Odds Ratio (OR) berdasarkan rumus :
OR = exp (b)
Keterangan:
1 OR = Odds Ratio paparan terhadap penyakit
2 b
= Koefeisien regresi variabel bebas
3 exp = Exponential atau inverse dari ln
Interpretasi Odds Ratio (OR) sebagai berikut :
1

OR = 1, artinya variabel bebas tidak berhubungan dengan variabel

terikat.
OR > 1, artinya variabel bebas meningkatkan kemungkinan

variabel terikat.
1/~ < OR < 1, artinya variable bebas menurunkan kemungkinan
variabel terikat.

XII.
N
o
1
2
3
4
5
6

Jadwal Penelitian

Kegiatan

1 2 3

U
B

4 5

Jadwal Penelitian
KK
1
6 7 8 9
N
0

Pembimbingan
usulan proposal
Ujian proposal
Revisi
proposal
(apabila ada)
Pengumpulan data
Penulisan skripsi
Ujian skripsi
XIII. Daftar pustaka
American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and statistical
manual of mental disorders 5th ed. Arlington, American Psychiatric
Publishing, p.189.

38

Breiter HC, Etcoff NL, Whalen PJ, Kennedy WA, Rauch SL, Randy LB,
Strauss MM, et al. (1996) Response and habituation of the human
amygdala during visual processing of facial expression. Neuron,
17(5): 875-887.
Bremner JD, Vermetten E, Schmal C, Vaccarino V, Vythlingam M, Afzal
N, Grillon C, et al. (2005) Positron emission tomographic imaging of
neural correlates of a fear acquisition and extinction paradigm in
women with childhood sexual-abuse-related post-traumatic stress
disorder. Psychological Medicine, 35(6): 791-806.
Buchari (2007). Kebisingan industri dan hearing conservation program.
Universitas Sumatera Utara.
Cohen S, Wills TA (1985). Stress, social support, and the buffering
hypothesis. Psychol Bull; 93: 310357.
Devroey D, Betz W, Coigniez P (2002). Influence of noise on the patients'
health perception: An epidemiological registration. Tijdschr Geneesk,
58: 1392-1397.
Etkin A, Prater KE, Schatzberg AF, Menon V, Greicius MD (2009).
Disrupted amygdalar subregion functional connectivity and evidence
of a compensatory network in generalized anxiety disorder. Arch.
Gen. Psychiatry, 66: 13611372.
Gabriel JF (1996). Fisika kedokteran. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, pp: 65-72.
Hardoy MC, Carta MG, Marci AR, Carbone F, Cadeddu M, Kovess V,
Dell'Osso L, et al. (2005). Exposure to aircraft noise and risk of
psychiatric disorders: the Elmas survey-aircraft noise and psychiatric
disorders. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol ,40: 24-26.
Hardoy MC, Carta, MG, Marci AR, Carbone F, Cadeddu M, Kovess V,
Carpiniello B (2005). Exposure to aircraft noise and risk of
psychiatric disorders: the Elmas survey. Social Psychiatry and
Psychiatric Epidemiology, 40(1): 2426.
Hawari D. (1997). Kecemasan dalam keluarga. Jakarta, Balai penerbitan
FKUI, p: 67.
Hill MN, Kumar SA, Filipski SB, Iverson M, Stuhr KL, Keith JM, Cravatt
BF, et al. (2013). Disruption of fatty acid amide hydrolase activity
prevents the effects of chronic stress on anxiety and amygdalar
microstructure. Molecular Psychiatry, 18: 11251135.
39

Hill MN, Patel S (2013). Translational evidence for the involvement of the
endocannabinoid system in stress-related psychiatric illnesses.
Biology Mood Anxiety Disorder, 3: 19.
Ising H, Kruppa B (2004). Health effects caused by noise: evidence in the
literature from the past 25 years. Noise Health, Jan-Mar; 6(22): 5-13.
Liberzon I, Taylor SF, Amdur R, Jung TD, Chamberlain KR, Minoshima
S, Koeppe RA, et al. (1999) Brain activation in PTSD in response to
trauma-related stimuli. Biological Psychiatry, 45(7): 817-26.
Lomazzo E, Bindila L, Remmers F, Lerner R, Schwitter C, Hoheisel U,
Lutz B (2015). Therapeutic potential of inhibitors of endocannabinoid
degradation for the treatment of stress-related hyperalgesia in an
animal model of chronic pain. Neuropsychopharmacology, 40: 488
501.
Longo DL (ed), Fauci AS (ed), Kasper DL(ed), Hauser SL (ed), Jameson
JL (ed), Loscalzo J (ed) (2012). Harrisons principles of internal
medicine 18th ed. New York, The McGraw Hill Companies,Inc., pp:
3529-3545.
Maccarrone M, Rossi S, Bari M, De Chiara V, Fezza F, Musella A, Gasperi
V, et al. (2008). Anandamide inhibits metabolism and physiological
actions of 2-arachidonoylglycerol in the striatum. Nat. Neurosci., 11:
152159.
Maejima T, Oka S, Hashimotodani Y, Ohno-Shosaku T, Aiba A, Wu D,
Waku K, et al. (2005). Synaptically driven endocannabinoid release
requires Ca2+-assisted metabotropic glutamate receptor subtype 1 to
phospholipase Cbeta4 signaling cascade in the cerebellum. J.
Neurosci., 25: 68266835.
Maramis WF, Maramis AA (2009). Catatan ilmu kedokteran jiwa edisi 2.
Surabaya, Airlangga University Press, pp: 307-324.
Marsicano G, Wotjak CT, Azad SC, Bisogno T, Rammes G, Cascio MG,
Hermann H, et al. (2002). The endogenous cannabinoid system
controls extinction of aversive memories. Nature, 418: 530534.
McEwen BS (2005). Glucocorticoids, depression, and mood disorders:
structural remodeling in the brain. Metabolism, 54 (5, Suppl 1): 20
23.
40

Menteri Negara Lingkungan Hidup (1996). Keputusan menteri Negara


lingkungan hidup No.Kep-48/MENLH/11/1996. http://web.ipb.ac.id/
~tml_atsp/test/Kepmen%20LH%2048%20Tahun%201996.pdf

Diakses September 2015


Moreira FA, Wotjak CT (2010). Cannabinoids and anxiety. Curr Top
Behav Neurosci, 2: 429450.
Munzel T, Gori T, Babisch W, Basner M (2014) Cardiovascular effects of
environmental noise exposure. European Heart Journal, 35: 829-836.
Murti B (2010). Desain dan ukuran sampel untuk penelitian kuantitatif
dan kualitatif di bidang kesehatan. Edisi ke 2. Yogyakarta : UGM
Press, pp:118-121.
Myers DG (2014). Exploring Psychology 9th ed. New York, Worth
Publishers, p: 405.
Ochsner KN, Gross JJ (2005). The cognitive control of emotion. Tr Cog
Sci; 9: 242249.
Pandey NR, Zhou X, Qin Z, Zaman T, Gomez-Smith M, Keyhanian K,
Anisman H, et al. (2013). The LIM domain only 4 protein is a
metabolic responsive inhibitor of protein tyrosine phosphatase 1B that
controls hypothalamic leptin signaling. J. Neurosci., 33: 12647
12655.
Pandey NR, Zhou X, Zaman T, Cruz SA, Qin Z, Lu M, Keyhanian K, et
al. (2014). LMO4 is required to maintain hypothalamic insulin
signaling. Biochem.Biophys.Res.Commun., 450: 666672.
Qin Z, Pandey NR, Zhou X, Stewart CA, Hari A, Huang H, Stewart AF, et
al (2015). Functional properties of Claramine: A novel PTP1B
inhibitor and insulin-mimetic compound. Biochem. Biophys. Res.
Commun., 27; 458(1): 21-7.
Qin Z, Zhou X, Pandey NR, Vecchiarelli HA, Stewart CA, Zhang X, Chen
HH (2015). Chronic Stress Induces Anxiety via an Amygdalar
Intracellular Cascade that Impairs Endocannabinoid Signaling.
Neuron, 85(6): 13191331.
Ralph SS, Taylor CM (2011). Sparks and Taylors nursing diagnosis
pocket guide. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, pp: 16-17.
Riebe CJ, Wotjak CT (2011). Endocannabinoids and stress. Stress
(Amsterdam, Netherlands), 14(4): 384397.
41

Sadock BJ (2007). Kaplan & Sadocks Synopsis of psychiatry: Behavioral


sciences/ clinical psychiatry 10th ed., Philadelphia, Lippincott
Williams & Wilkins, pp: 580-588.
Sastroasmoro S, Ismael S. (2011) Dasar-dasar metodologi klinis. Jakarta,
Sagung Seto.
Seidman MD, Standring RT (2010). Noise and quality of life.
International Journal of Environmental Research and Public Health,
7(10): 37303738.
Singh N, Davar S (2004). Noise pollution-sources, effects and control. J.
Hum. Ecol, 16(3): 181187.
Smith A, Hayward S, Heatherley S, Diamond I (2001). Aircraft noise,
noise sensitivity, sleep and health. Proceedings of the 17th
International Congress of Acoustics, Roma.
Stansfeld SA (2003). Noise pollution: non-auditory effects on health.
British Medical Bulletin, 68(1): 243257.
Stansfeld SA, Haines M, Brown B (2000). Noise and health in the urban
environment. Reviews on Environmental Health, 15(1-2): 4382.
Stuart GW (2013). Principles and practice of psychiatric nursing 10th ed.
Missouri, Mosby Elsevier, pp: 216-243.
Sumislawski JJ, Ramikie TS, Patel S (2011). Reversible gating of
endocannabinoid plasticity in the amygdala by chronic stress: a
potential role for monoacylglycerol lipase inhibition in the prevention
of stress-induced behavioral adaptation. Neuropsychopharmacology,
36: 27502761.
Taufiqurochman MA (2008). Pengantar metodologi penelitian untuk ilmu
kesehatan. Surakarta: UNS Press, pp: 62-63.
Tortora GJ, Derrickson B (2011). Principles of anatomy & physiology 13th
ed. New Jersey, John Wiley & Sons Pte Ltd., pp: 680-727.
Weiten W (2013). Psychology: themes and variations 9th ed. Belmont,
Wadsworth, pp: 583-584.

42

Weiten W, Lloyd MA, Dunn DS, Hammer EY (2009). Psychology applied


to modern life: Adjustment in the 21st century 9th ed. Belmont,
Wadsworth, pp: 93-94.
WHO (1999). Guidelines for community noise. London, WHO Press, pp:
1-65.
Zhong P, Wang W, Pan B, Liu X, Zhang Z, Long JZ, Zhang HT, et al.
(2014). Monoacylglycerol lipase inhibition blocks chronic stressinduced depressive-like behaviors via activation of mTOR signaling.
Neuropsychopharmacology, 39: 17631776.
Zhu PJ, Lovinger DM (2005). Retrograde endocannabinoid signaling in a
postsynaptic neuron/synaptic bouton preparation from basolateral
amygdala J. Neurosci., 25: 61996207.

43

Lampiran 1
Pengaruh Bising Kereta Api Terhadap Tingkat Kecemasan
A. Surat Persetujuan (Informed Consent)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Umur
:
tahun
Pekerjaan :
Alamat :
Dengan ini, menyatakan bahwa saya telah mendapatkan informasi mengenai
tujuan, manfaat serta pentingnya penelitian ini. Setelah mengerti hal-hal
tersebut, saya bersedia untuk menjadi subjek penelitian Pengaruh Bising
Kereta Api Terhadap Tingkat Kecemasan dan memberikan kepercayaan
kepada Johannes Ephan Bagus Kurnia untuk mengolah data ini sebagai data
penelitian.
Surakarta, _________________ 2015
Yang menyetujui,

44

B. Lembar Data
1. Identitas
a. Nama Lengkap :
b. Usia
:
tahun
c. Jenis kelamin:
d. Pekerjaan
:
e. Alamat
:
2. Kondisi umum
a. Apakah saat ini anda tinggal di daerah yang dekat dengan keramaian?
Ya
Tidak
b. Apakah anda menderita sakit telinga, tuli atau gangguan pendengaran
yang lain?
Ya
Tidak
c. Apakah anda seorang perokok aktif?
Ya
Tidak
d. Apakah anda sedang mengonsumsi obat tertentu?
Jika YA, obat apa yang sedang anda konsumsi?
..................................................................................................................
e. Apakah saat ini anda sedang menderita suatu penyakit?
Jika YA, penyakit apa yang sedang anda derita dan sudah berapa lama
anda menderita penyakit tersebut?
..................................................................................................................

45

C. Kuesioner Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)


Petunjuk: Berilah tanda () jika pertanyaan ini sesuai dengan perasaan dan
keadaan anda dengan skor 0 sampai 4 dengan ketentuan:
0 = Tidak ada gejala sama sekali
1 = Ringan/ satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ dua dari gejala yang ada
3 = Berat/ lebih dari gejala yang ada, kadang kadang mengganggu aktivitas
sehari-hari
4 = Sangat berat, semua gejala ada dan mengganggu aktivitas sehari-hari
NO

Daftar Peristiwa/ Keadaan


0

Saya merasa cemas, firasat buruk,


takut akan pikiran sendiri, mudah

tersinggung
Saya merasa tegang, gelisah, gemetar,

mudah terganggu dan lesu


Saya takut terhadap gelap, terhadap
orang asing, bila tinggal sendiri dan

takut pada binatang besar


Saya suka memulai tidur, terbangun
pada malam hari, tidur tidak pulas dan

mimpi buruk
Saya mengalami
ingat,

mudah

konsentrasi
Saya merasa

penurunan
lupa

dan

kehilangan

daya
sulit
minat,

berkurangnya kesenangan pada hobi,


sedih
7

dan

perasaan

tidak

menyenangkan sepanjang hari


Saya merasa nyeri pada otot otot dan
kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil

dan kedutan otot


Saya
merasa

ditusuk-tusuk,
46

Skor
2

penglihatan kabur, muka merah dan


9

pucat, serta merasa lemah


Saya merasa jantung saya berdegup
kencang, nyeri dada, denyut nadi
mengeras dan detak jantung hilang

10

dalam sekejap
Saya merasa

tertekan

di

dada,

perasaan tercekik, sering menarik


napas panjang dan menarik napas
11

pendek
Saya merasa sulit menelan, susah
buang air besar (BAB), berat badan
menurun, mual dan muntah, nyeri
lambung sebelum dan sesudah makan

12

dan perasaan panas di perut


Saya sering kencing, tidak dapat
menahan kencing, siklus haid tidak

13

teratur, ereksi lemah atau impotensi


Saya merasa mulut kering, mudah
berkeringat, muka merah, bulu roma

14

berdiri dan pusing atau sakit kepala


Ketika mengisi kuesioner ini saya
merasa

gelisah,

jari-jari

gemetar,

mengerutkan dahi atau kening, muka


tegang, otot menegang dan napas
pendek dan cepat

47

D. Kuesioner Instrumen keintiman keluarga


Petunjuk: Berilah tanda silang pada kolom jawaban yang dianggap sesuai
Jawaban:
STS: Sangat tidak setuju
TS: Tidak setuju
RR: Ragu-ragu
S: Setuju
SS: Sangat setuju
NO

Daftar Peristiwa/ Keadaan


STS

Keluarga saya penuh perhatian atas

kesulitan saya
Saya merasa dekat dengan keluarga

saya
Saya mengetahuhi setiap kegiatan

sosial keluarga saya


Keluarga saya akrab dengan teman-

teman dekat saya


Saya merasa bebas sewaktu berdiskusi

dengan keluarga saya


Keluarga saya dapat

memperjelas ide/ pemikiran saya


Saya senang pergi bersama keluarga

saya
Keluarga saya mempunyai waktu

bersenda gurau bersama saya


Keluarga saya dapat memahami dan

membantu

penuh pengertian terhadap saya


10

Saya berbahagia mempunyai keluarga

11

seperti keluarga saya


Keluarga saya menerima keluh kesah
saya ketika saya menghadapi masalah
48

Jawaban
TS
RR S

SS

Anda mungkin juga menyukai