Anda di halaman 1dari 118

Farmakoterapi Terapan II

EVALUASI FUNGSI HEPAR

KELOMPOK 2A

KELOMPOK 2B

Adelina Palmarum S. 1506814803

Alvinda Heriza N

Brasti Eka P.

1506814904

Avelia Devina C.N. 1506814886

Fathia Rahmi Z.

1506815011

Falda Septiana

1506814993

Ines Malinda

1506815144

Jaga Pramudita

1506815163

Lisna Andriani

1506815232

Merna Juannita

1506815264

Nindy Della P.

1506815314

Muhammad Idris

1506815296

Rika Chaerunisa

1506815440

Ratna Kusmawati

1506815421

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016

1506814835

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul Evaluasi Fungsi Hepar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Farmakoterapi Terapan II. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dra.
Azizahwati, M.Si., Apt. sebagai dosen yang membimbing dalam penulisan
makalah ini.
Makalah ini berisi tentang pendahuluan mengenai anatomi dan fisiologi
hepar, parameter-parameter uji evaluasi fungsi hepar, serta evaluasi beberapa
kelainan fungsi hepar.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca namun
penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi setiap pembaca.

Tim Penulis,

2016

DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... 1
Kata Pengantar .............................................................................................. 2
Daftar Isi ......................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 4
BAB II. ISI ...................................................................................................... 5
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar ............................................................ 5
2.1.1 Anatomi Hepar ......................................................................... 5
2.1.2 Histologi ................................................................................... 7
2.1.3 Aliran dan Tekanan Darah di Hepar ........................................ 10
2.1.4. Fungsi Hepar ........................................................................... 12
2.2 Parameter Parameter Uji pada Evaluasi Fungsi Hepar .................. 18
2.2.1 Parameter Parameter Uji Laboratorium pada Evaluasi
Fungsi Hepar ............................................................................ 18
2.2.2 Pemeriksaan Radiologi ............................................................ 29
2.3 Evaluasi Kelainan Fungsi Hepar ....................................................... 40
2.3.1 Jaundice .................................................................................... 40
2.3.2 Perlemakan Hati ....................................................................... 46
2.3.2.1 Perlemakan Hati Alkoholik .......................................... 46
2.3.2.2 Perlemakan Hati Non Alkoholik .................................. 47
2.3.3 Hepatitis ................................................................................... 52
2.3.4 Fibrosis dan Sirosis .................................................................. 59
2.3.4.1. Fibrosis Hati ................................................................ 59
2.3.4.2 Sirosis Hati ................................................................... 59
2.3.5 Kanker Hati .............................................................................. 64
2.3.6 Asites ........................................................................................ 90
2.3.7 Hepatik Ensefalopati ................................................................ 95
2.3.8 Kolelitiasis ............................................................................... 103
2.3.9 Kolesistitis ................................................................................ 108
BAB III. PENUTUP ....................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114

BAB I
PENDAHULUAN
Hepar merupakan organ metabolisme terpenting dalam proses sintesis,
penyimpanan, metabolisme dan klirens banyak senyawa endogen (Aslam dkk.,
2003). Salah satu fungsi hepar adalah detoksifikasi (menawarkan racun tubuh),
sehingga hepar sangat mudah menjadi sasaran utama ketoksikan (Husada, 1991),
akan tetapi hepar memiliki cadangan fungsional yanng cukup tinggi sehingga
hepar tetap dapat melaksanakan fungsinya walaupun sel parenkim hepar hanya
bersisa 10%. Oleh karena itu banyak kasus penyakit hepar yang ditemukan
setelah kerusakan sel parenkim heparl lebih dari 90%.
Penyakit hepar saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang tidak hanya
penting di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Penyakit ini menempati urutan
ketiga diantara semua penyakit yang dilaporkan di Amerika dan menjadi endemi
di kebanyakan negara-negara di dunia.Mortalitas akibat penyakit hepar rendah,
tetapi sering dikaitkan dengan angka morbiditas dan kerugian ekonomi yang
besar. Di negara maju, penyakit hepar kronis merupakan penyebab kematian
terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah Penyakit
kardiovaskuler dan kanker).
Di seluruh dunia penyakit hepar kronis menempati urutan ke tujuh
penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit
ini.
Penyakit yang umumnya berkaitan dengan hepar adalah hepatitis, sirosis,
fibrosis, jaundice, kolestasis, kolelitiasis, kolesistitis, non alchoholic fatty liver
dan kanker hepar, asites dan hepatik ensfalopati.

BAB II
ISI

2.1

Anatomi dan Fisiologi Hepar

2.1.1 Anatomi Hepar


Hepar terletak inferior dari diafragma dan menempati sebagian besar
hipokondriak kanan dan bagian epigastrik rongga abdomen

Hepar normal

berwarna coklat kemerahan dan memiliki permukaan yang halus. Hepar memiliki
permukaan posterior berbentuk cekung dengan celah transversal sepanjang 5cm
dari system porta hepatis Berat hepar sebesar 2% dari berat badan orang dewasa
dengan berat sekitar 1400 g pada wanita dan 1800 g pada laki-laki. Secara
eksternal, hepar dibagi oleh ligamen falsiforme menjadi lobus kanan yang lebih
besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Lobus kiri lebih kecil dibandingkan lobus
kanan dengan ukuran sekitar 1/6 dari total ukuran hepar. Lobus kanan memiliki
ukuran lebih besar yang terdiri dari 3 lobus kecil, yaitu lobus kanan atas, lobus
kaudatus dan lobus kuadratus yang terletak antara ligamentum falsiform dengan
kandung empedu. Lobus-lobus ini biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan
legamentum venosum. Dalam hepar terdapat porta pada bagian bawah permukaan
hepar yang merupakan pintu atau gerbang bagi arteri hepatika dan vena portal
hepatik untuk masuk ke dalam hepar . Ligamen falsiforme melekatkan hepar ke
dinding abdomen anterior. Basisnya berisi ligamentum teres yang memiliki sisa
dari vena umbilikalis vestigial (Kumar, Abbas, & Fausto, 2005; Sibulesky, 2013;
Tortora and Derrickson, 2008).

Gambar 2.1 Organ Hepar

Berdasarkan klasifikasi Couinaud, hepar dibagi menjadi delapan segmen


fungsional independen. Setiap segmen memiliki portal pedicle yang terdiri dari
cabang arteri hepatika, cabang portal, dan saluran empedu dengan cabang vena
hepatika terpisah yang mengalirkan darah keluar. Penomoran segmen adalah
dengan cara searah jarum jam. Segmen II dan III yang dikenal sebagai segmen
anterior dan posterior dari lobus kiri juga dikenal sebagai segmen lateral kiri hepar
dan lobus kiri topografi. Segmen IV adalah segmen medial dari lobus kiri.
Segmen II, III, dan IV secara kolektif membentuk lobus kiri fungsional hepar.
Lobus kanan fungsional hepar terdiri dari segmen V dan VIII, segmen anterior,
dan segmen VI dan VII, segmen posterior. Segmen I adalah lobus caudatus
terletak di posterior (Sibulesky, 2013).

Gambar 2.2 Segmen Hepar


2.1.2 Histologi
Secara histologi, hepar terdiri dari beberapa komponen (Tortora and
Derrickson, 2008):
a) Hepatosit
Hepatosit adalah sel fungsional utama hepar dan melakukan fungsi
metabolik, sekretori, dan endokrin. Terdiri dari sel epitel khusus yang mengisi
80% dari volume hepar. Hepatosit membentuk susunan kompleks tiga dimensi
yang disebut lamina hepatika. Lamina hepatika adalah lapisan hepatosit satu sel
tebal berbatasan di kedua sisi dengan ruang vaskular berlapis endotel disebut
sinusoid hepatika. Lamina hepatika bercabang-cabang dengan struktur yang tidak
teratur. Berlekuk-lekuk di membran sel di antara hepatosit menyediakan ruang
untuk kanalikuli dimana hepatosit mensekresi empedu. Empedu yaitu cairan
kuning, kecoklatan, atau kehijauan yang disekresi hepatosit dan merupakan
produk ekskretori dan sekresi pencernaan.
b) Kanalikuli Empedu
Merupakan duktus kecil antara hepatosit yang mengumpulkan empedu
yang diproduksi hepatosit, dari kanalikuli empedu, empedu melewati duktul

empedu lalu duktus empedu. Duktus empedu bergabung dan membentuk duktus
hepatika kanan dan kiri, lalu menyatu dan keluar dari hepar sebagai duktus
hepatika umum. Duktus hepatika umum berhubungan dengan duktus sistikus dari
kandung empedu membentuk duktus empedu umum. Dari sini, empedu memasuki
usus halus.
c) Sinusoid Hepatika
Merupakan kapiler darah yang sangat permeabel diantara hepatosit yang
menerima darah kaya oksigen dari cabang arteri hepatika dan darah kaya nutrisi
dari cabang vena porta hepatika. Vena porta hepatika membawa darah vena dari
organ pencernaan dan limpa ke hepar. Sinusoid hepatika berkumpul dan
membawa darah ke vena pusat. Dari vena pusat darah mengalir ke vena hepatika,
lalu mengalir ke vena cava inferior. Berlawanan dengan darah yang mengalir
menuju vena pusat, empedu mengalir sebaliknya. Sinusoid hepatika juga
mengandung fagosit yang disebut sel stellate reticuloendothelial (Kupffer) yang
merusak sel darah putih dan sel darah merah yang sudah tidak berfungsi, bakteri,
dan benda asing lain di darah vena dari saluran pencernaan. Duktus empedu,
cabang arteri hepatika, dan cabang vena hepatika disebut portal triad.

Gambar 2.3 Histologi Hepar

Ada dua tipe sel yang terdapat pada hepar, yaitu sel hepar (hepatosit) dan
sel Ito. Hepatosit memenuhi sekitar 75% dari total sel yang berada pada hepar
manusia. Hepatosit merupakan sel berukuran besar berbentuk lempengan yang
memenuhi lobulus hepar dan memiliki aktivitas metabolisme xenobiotik yang
besar sehingga sel-sel ini sering menjadi target utama zat hepatotoksik. Unit yang
lebih fungsional dari hepar membentuk asinus yang dapat dibagi menjadi tiga
zona, yaitu zona 1 (periportal) merupakan zona yang melingkar langsung di
sekitar kanal portal, zona 2 (midzonal) yang merupakan zona antara periportal dan
zona perisentral, dan zona 3 (pusat) membentuk daerah melingkar di sekitar vena
sentralis (Robert, James, & Franklin, 2000).
Tiga zona fungsional tersebut berturut-turut letaknya makin dekat
dengan vena sentralis. Aliran darah digambarkan mengalir dari kanal portal yang
terdiri dari cabang-cabang arteria hepatika, vena porta hepatika, dan saluran
empedu, berdifusi secara radial melewati zona 1 menuju zona 2 kemudian zona 3
hingga akhirnya sampai ke vena sentralis untuk dialirkan menuju vena kava
inferior. Zona 1 pada hepatosit terletak lebih dekat dengan sinusoid yang
mengalirkan darah dari kanal portal sehingga akan terpapar oksigen pada
konsentrasi lebih tinggi sesuai dengan fungsinya, yaitu berperan aktif dalam
glukoneogenesis dan metabolisme energi oksidatif, serta dalam sintesis urea, yang
membutuhkan banyak oksigen dalam menjalankan fungsinya. Zona 2 pada
hepatosit terdiri dari sebagian sel-sel yang fungsinya sama dengan zona 1 dan
sebagian lagi sel-sel yang fungsinya sama dengan zona 3. Pada zona 3, hepatosit
lebih aktif dalam melakukan glikolisis dan lipogenesis. Kedua proses tersebut
tidak memerlukan oksigen dalam jumlah tinggi untuk menjalankan fungsinya.
Selain itu, hepar juga terdiri dari sel Ito atau sering disebut sel penyimpan lemak,
yang berada diantara hepatosit dengan sel endotelial. Sel ini penting dalam
memproduksi kolagen serta dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin A
(Robert, James, & Franklin, 2000).

2.1.3 Aliran dan Tekanan Darah Di Hepar


Hepar menerima suplai darah dari dua sumber yaitu 80% dari vena porta
yang kaya nutrisi berasal dari limpa dan usus halus, dan 20% darah yang kaya
oksigen dari arteri hepatik. Vena porta dibentuk oleh vena limpa dan vena
mesenterika superior dengan vena mesenterika inferior mengalir ke vena limpa.
Dalam sebagian besar kasus, arteri hepatik umum adalah cabang dari arteri celiac
bersama dengan arteri limpa dan arteri lambung kiri. Terkadang, arteri hepatik
memiliki pembuluh aksesori atau pembuluh pengganti yang menyuplai darah ke
hepar. Arteri aksesori atau arteri hepatika kanan pengganti adalah cabang arteri
proksimal mesenterika superior, sementara arteri aksesori atau arteri hepatika kiri
pengganti adalah cabang yang meninggalkan arteri lambung kiri. Kecepatan aliran
darah vena porta adalah 1000 ml/menit. Berkebalikan dengan darah vena porta,
darah arteri hepatika memiliki waktu kecepatan aliran darah yang lebih lambat,
yaitu 500 ml/menit (McPhee, Lingappa, Ganong, & Lange, 2000; Sibulesky,
2013).

Gambar 2.4 Aliran darah Hepar

Vena porta hepatika menyalurkan darah yang kaya nutrien namun dengan
kadar oksigen yang rendah dari saluran cerna dan limpa langsung menuju ke
hepar sedangkan darah dari arteri hepatika membawa darah langsung dari jantung
menuju ke hepar dengan tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan darah pada
vena porta dan juga memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi. Selain membawa

10

nutrien, darah vena juga dapat membawa obat dan racun yang terabsorbsi pada
saluran cerna. Hormon-hormon pankreas juga mengalir ke vena porta sebelum
masuk ke dalam hepar melalui saluran vena pankreas. Saat mencapai hepar, vena
porta bercabang-cabang, menempel dan melingkari lobulus hepar kemudian
bercabang lagi menjadi vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lobuluslobulus. Vena-vena tersebut selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan
diantara lempengan hepatosit dan bermuara di vena sentralis. Cabang-cabang
terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid
sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatika dan darah vena dari
vena porta hepatika (Price & Wilson, 2005; McPhee, Lingappa, Ganong, &
Lange, 2000).
Setiap menitnya sekitar 30 % darah dari jantung dialirkan ke hepar
sehingga membuat hepar menjadi tempat penampungan/penyimpanan yang besar
untuk darah. Namun walau hepar memiliki volume dan aliran darah yang besar,
tekanan pada system porta tetap rendah yaitu sekitar 3mmHg. Hal ini karena hepar
dapat mengembang dan meningkatkan volumenya dengan batas yang sesuai
sebelum terjadi kenaikan tekanan porta.
Pada organ hati yang normal, tahanan perifer rendah, dengan tekanan
darah dibawah 5 mmHg pada vena porta dan vena hepatika. Tahanan perifer pada
organ hati menurut Rodes, Juan., et al (2007) diatur berdasarkan tiga bagian yang
berbeda, yaitu:
1. Arteri hepatika terminal, yang banyak disuplay pada sel otot polos,
untuk aliran arteri;
2. Arteri organ-organ splanchnic (lambung, ginjal, pankreas, usus halus,
usus besar) untuk aliran darah vena porta;
3. Sinusoid dan vena hepatika terminal untuk tahanan intrahepatik, yang
mempengaruhi total aliran darah pada organ hati dan distribusi aliran
pada organ hati.
Setiap menitnya sekitar 30 % darah dari organ jantung dialirkan ke organ
hati melalui arteri hepatik dan sekitar 70% darah dialirkan dari organ jantung
melalui organ-organ splanchnic kemudian ke organ hati melalui vena porta

11

sehingga membuat organ hati menjadi tempat penampungan atau penyimpanan


yang besar untuk darah. Meskipun organ hati memiliki volume dan aliran darah
yang besar, tekanan pada sistem porta tetap rendah yaitu sekitar 3 mmHg. Hal ini
karena hati dapat mengembang dan meningkatkan volumenya dengan batas yang
sesuai sebelum terjadi kenaikan tekanan porta (Price dan Walson, 2005; McPhee,
Lingappa, Ganong, dan Lange, 2000).

2.1.4 Fungsi hepar


Organ hati merupakan bagian dari tubuh manusia yang memiliki fungsi
yang beraneka ragam. Fungsi hati secara umum adalah:
a. Memproduksi dan mensekresi empedu
b. Mengeluarkan zat-zat yang beracun (detoksifikasi)
c. Berperan penting dalam memetabolisme makanan, yaitu: karbohidrat,
protein, dan lemak.
d. Memproduksi protein plasma yang penting bagi tubuh.

Fungsi Metabolik
Organ hati berperan dalam memetabolisme 3 makronutrien dari
makanan. Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat, protein, dan lemak.
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1.

Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan
glikogen dalam jumlah besar. Hepar menjaga kadar glukosa darah
normal. Hepar dapat mengkonversi glukosa menjadi glikogen
(glikogenesis) ketika kadar glukosa darah tinggi dan memecah
glikogen menjadi glukosa (glikegenolisis) ketika kadar glukosa darah
rendah. Hepar juga dapat mengkonversi asam amino dan asam laktat
menjadi glukosa (glukoneogenesis) ketika kadar glukosa darah rendah
(Robin et al., 2012).

2.

Metabolisme lemak

12

Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara


lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi
tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan
lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.
Hepar menyimpan trigliserida yang dipecah menjadi asam
lemak menjadi asetil koenzim-A melalui proses oksidasi dan
mengkonversi kelebihan asetil koenzim-A menjadi badan keton
(ketogenesis) yang mensintesis lipoprotein. Sel hepar mensintesis
kolesterol dan menggunakan kolesterol untuk membuat garam
empedu (Robin et al., 2012).
3.

Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam
amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan
tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam
amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.
Hepar menghilangkan gugus amina (NH2) dari asam amino
untuk produksi ATP. Lalu mengkonversi hasil ammonia (NH3) toksik
menjadi urea yang kurang toksik untuk diekskresi di urin. Sel hepar
mensintesis protein plasma seperti globulin alfa dan beta, albumin,
protrombin, dan fibrinogen (Robin et al., 2012).

4.

Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat
penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam
bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk
koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

Sekresi Empedu
Empedu sebagian merupakan produk ekskretori dan sebagian
merupakan sekresi pencernaan. Tiap hari sel hepar mensekresi 800-1000 ml
empedu yaitu cairan berwarna kuning atau hijau. pH-nya 7,6-8,6. Empedu

13

terutama mengandung air, garam empedu, kolesterol, fosfolipid yang


disebut lecithin, pigmen empedu dan beberapa ion. Pigmen empedu utama
adalah bilirubin. Saat sel darah merah yang sudah tidak berfungsi pecah,
besi, globin, dan bilirubin dilepaskan (Robin et al., 2012).

Fungsi Detoksifikasi
Dalam tubuh kita terdapat banyak sekali produk hasil metabolisme
yang jika secara terus menerus menumpuk dalam tubuh dapat bersifat
toksik. Sebagai fungsi detoksifikasi ini hati bekerja dengan menurunkan
aktivitas biologi suatu zat kimia dan kadarnya dalam darah untuk
mengurangi kemungkin zat kimia tersebut terakumulasi dan memberikan
efek toksik pada tubuh. Namun, hasil dari metabolisme beberapa zat kimia
tersebut dapat membentuk zat yang lebih reaktif atau metabolit intermediet,
yang terbentuk selama proses biotransformasi. Zat-zat tersebut dapat
mempengaruhi hati sebagai organ pertama tempat terbentuknya zat tersebut
(Robert, James, & Franklin, 2000). Contohnya adalah pada saat hati
mengubah produk hasil sisa metaolisme berupa ammonia dalam sirkulasi
darah tubuh menjadi urea yang lebih bersifat tidak toksik dan dapat
diekskresikan melalui sirkulasi dan dieliminasi dalam ginjal dan dibuang
dalam bentuk urin.

Fungsi Perlindungan dan Klirens


Pada hati juga terjadi biotransformasi, yang bertujuan untuk
mengubah suatu obat atau zat kimia yang bersifat hidrofobik menjadi suatu
zat yang lebih hidrofilik sehingga lebih mudah diekskresikan.
Biotransformasi berlangsung melalui dua fase. Fase I meliputi oksidasi,
reduksi, dan hidrolisis sedangkan fase II meliputi konjugasi atau pengikatan
secara kovalen antara obat dengan molekul pembawa larut air (Price &
Wilson, 2005; McPhee, Lingappa, Ganong, & Lange, 2000).

Kontrol Glukosa Darah

14

Gambar. 2.5 Skema Peran Hati dalam Kontrol Glukosa Darah


Glikolisis yang terjadi di otot rangka dan eritrosit akan menghasilkan
laktat yang kemudian dibawa ke hati dan ginjal dimana laktat tersebut
diubah kembali menjadi glukosa lalu dibawa melalui sirkulasi darah untuk
oksidasi di jaringan (Siklus asam laktat). Pada keadaan puasa, otot rangka
mengeluarkan lebih banyak alanin, yang dibentuk melalui transaminase
piruvat yang dihasilkan oleh glikolisis glikogen otot, yang kemudian
diekspor ke hati dan diubah kembali menjadi piruvat di hati. Piruvat yang
dihasilkan kemudian menjadi substrat bagi proses gluconeogenesis (siklus
glukosa-alanin). Siklus ini merupakan cara tidak langsung dari pemanfaatan
glikogen otot untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam keadaan
puasa (Murray, Granner, Mayes, & Rodwell, 2003).
Pengaturan kadar glukosa dalam darah agar stabil melibatkan hati,
jaringan ekstrahepatik,dan beberapa hormon. Berbeda dengan pada sel hati,
sel dari jaringan ekstrahepatik (misal: sel otot) relatif tidak permeabel
terhadap glukosa sehingga transporter glukosa pada jaringan ekstrahepatik
diatur oleh hormon insulin (Murray, Granner, Mayes, & Rodwell, 2003).

Pemecahan
Hepar merupakan tempat pemecahan insulin dan hormon lain. Hepar
meng-glukoronidasi bilirubin memungkinkan ekskresi melalui empedu.
Hepar memecah atau memodifikasi zat toksik (contohnya methylation) dan
terutama produk obat melalui proses metabolisme obat. Biasanya
menghasilkan toksikasi jika metabolitnya lebih toksik daripada
15

prekursornya. Toksin akan terkonjugasi untuk membantu ekskresi di


empedu atau urin. Hepar mengkonversi ammonia menjadi urea (siklus urea)
(Robin et al., 2012).

Pembentukan Protein Plasma


Bagian dari protein plasma (seperti albumin, fibrinogen, protrombin,
dan heparin) disintesis pada organ hati. Sintesis albumin hanya terjadi pada
organ hati. Pada manusia yang dalam keadaan sehat kecepatan albumin
disintesis adalah 194 mg/kgBB/hari (12 25 gram/hari). Pada keadaan
normal hanya 20 30 % hepatosit yang memproduksi albumin (Evans,
T.W., 2002).

Pembentukan Faktor Pembekuan Darah


Faktor faktor dalam pembekuan darah adalah glikoprotein, yang
kebanyakan diproduksi di hati dan disekresi ke sirkulasi darah. Beberapa
faktor faktor pembekuan darah disintesis di organ hati, seperti faktor II,
VII, IX, dan X, begitu juga faktor XI, XII, XIII, dan faktor V. Sebagian
besar faktor faktor pembekuan darah ada dalam plasma, pada keadaan
normal ada dalam bentuk inaktif dan nantinya akan diubah menjadi bentuk
enzim yang aktif atau bentuk kofaktor selama koagulasi (Root, RK., 1991).

Fungsi Imunologis
Sel Kupffer pada hati membantu menghilangkan bakteri dan antigen
yang dapat menembus pertahanan lambung masuk ke dalam darah porta
dengan mekanisme fagositik. Sehingga hati disebut sebagai fungsi imun
tubuh. Selain itu, ammonia yang dihasilkan dari deaminasi asam amino
dimetabolisme dalam hepatosit menjadi senyawa yang lebih tidak toksik.
Hepatosit juga memproduksi glutation yang dapat mencegah kerusakan
oksidatif pada protein sel dan juga mengekspor glutation untuk digunakan
oleh jaringan lainnya (McPhee, Lingappa, Ganong, & Lange, 2000).

16

Penyimpanan Vitamin dan Mineral


Hepatosit dalam hati dapat merubah gula dalam darah dan
menyimpannya dalam bentuk glikogen. Hepatosi-hepatosit hati ini juga
dapat menyimpan vitamin A, D, E, K, dan zat besi. Vitamin K dalam hati
merupakan suatu kofaktor enzim mikrosom hati yang penting untuk aktifasi
prekusor pembekuan darah, dengan merubah residu asam glutamate menjadi
residu -karboksilglutamil. Dimana pembentukan ini akan mengikat ion
kalsium yang berperan dalam pembentukan tulang.
Hepatosit juga membantu mengontrol kadar gula dalam darah. Selain
sebagai penyimpanan vitamin maupun mineral, hati juga berperan dalam
proses pengubahan nutrisi dalam tubuh. Dalam fungsi ini, hati dapat
merubah beberapa nutrisi menjadi bentuk lain. Seperti pada kasus seseorang
yang sedang menjalankan program diet, orang tersebut mengalami
kelebihan kadar protein dan asam amino, sedangkan disisi lain orang
tersebut kekurangan asupan lemak dan karbohidrat, maka hati akan
memecah asam amino dan melalui proses metabolisme akan dapat
digunakan untuk menghasilkan lemak dan glukosa yang dibutuhkan oleh
tubuh.

Berfungsi dalam Penyempurnaan sintesis vitamin D

Gambar.2.6 Peran hati dalam sintesis vitamin D


17

Selain fungsi-fungsi hati yang telah disebutkan, hati juga berperan


dalam penyempurnaan sintesis vitamin D. Awalnya di kulit, terjadi sintesis
fotokimia vitamin D3 (kolekalsiferol, D3), dimana pro-vitamin D3 (7dehidrokolesterol) diubah menjadi pre-vitamin D3 (pre-D3) dengan bantuan
paparan sinar UV B dari sinar matahari. Vitamin D3, yang diperoleh dari
isomerisasi pre-vitamin D3 pada lapisan epidermis basal atau yang berasal
dari penyerapan makanan dan suplemen di usus, diikat oleh protein pengikat
vitamin D (vitamin D-binding protein; DBP) di dalam aliran darah
kemudian di angkut ke hati. Di hati, D3 di hidroksilasi oleh 25-hidroksilase
(25-OHase) menghasilkan 25-hidroksikolekalsiferol (25(OH)D3) kemudian
oleh

25-hidroksivitamin

D3-1-hidroksilase

(1-OHase),

25-

hidroksikolekalsiferol (25(OH)D3) di hidroksilasi pada posisi 1 oleh ginjal


menghasilkan 1,25(OH)2D3 (kalsitriol) yang memiliki efek-efek yang
berbeda pada berbagai target jaringan.
Pada usus, fungsi kalsitriol adalah dapat meningkatkan absorbsi Ca2+
dan Pi. Di tulang, kalsitriol meningkatkan proses mineralisasi tulang. Selain
itu juga berfungsi meningkatkan differensiasi sel-sel imun, inhibisi
proliferasi dan angiogenesis pada sel tumor. Sintesis 1, 25(OH)2D3 dari
25(OH)D3 dirangsang oleh hormon paratiroid (parathyroid hormone; PTH)
dan ditekan oleh adanya Ca2+ dan Pi, serta kadar 1,25(OH)2D3 sendiri di
dalam tubuh. Apabila laju degradasi 25(OH)D3 dan 1,25(OH)2D3 menjadi
24,25(OH)2D3 dan 1,24,25(OH)2D3 oleh 25-hidroksivitamin D,24hidroksilase

(24-OHase)

meningkat,

maka

24,25(OH)D3

dan

1,24,25(OH)2D3 akan diekskresikan.


2.2. Parameter Parameter Uji pada Evaluasi Fungsi Hepar
2.2.1 Parameter Parameter Uji Laboratorium pada Evaluasi Fungsi Hepar
A. Aspartat Aminotransferase (AST)

Nilai Normal
5 35 U/L

Deskripsi
18

Dahulu namanya serum glutamate oxaloacetate transaminase (SGOT).


AST adalah enzim yang memiliki aktivitas metabolisme yang tinggi,
ditemukan di jantung, hati, otot rangka, ginjal, otak, limfa, pankreas dan
paru-paru. Penyakit yang menyebabkan perubahan, kerusakan atau
kematian sel pada jaringan tersebut akan mengakibatkan terlepasnya enzim
ini ke sirkulasi.

Implikasi Klinik
Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati,
pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut,
luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid,
eritromisin, kontrasepsi oral.
Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan
diabetes mellitus.
Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase yaitu Asetominofen,
Co-amoksiklav, HMGCoA reductase inhibitors, INH, Antiinfl amasi
nonsteroid, Fenitoin, dan Valproat

B. Alanin Aminotransferase (ALT)


Nilai normal
5-35 U/L
Deskripsi
Dahulu namanya serum glutamate pyruvate transaminase (SPGT).
Konsentrasi enzim ALT yang tinggi terdapat pada hati. ALT juga terdapat
pada jantung, otot dan ginjal. ALT lebih banyak terdapat dalam hati
dibandingkan jaringan otot jantung dan lebih spesifik menunjukkan fungsi
hati daripada AST. ALT berguna untuk diagnosa penyakit hati dan memantau
lamanya pengobatan penyakit hepatik, sirosis postneurotik dan efek
hepatotoksik obat.

Implikasi klinik:

19

Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada penyakit hepatoseluler,


sirosis aktif, obstruksi bilier dan hepatitis.
Banyak obat dapat meningkatkan kadar ALT.
Nilai peningkatan yang signifikan adalah dua kali lipat dari nilai
normal.
Nilai juga meningkat pada keadaan: obesitas, preeklamsi berat, acute
lymphoblastic leukemia (ALL)
C. Bilirubin

Nilai Normal
Total 1,4 mg/dL atau SI = <24 mmol/L
Langsung 0,40 mg/dL atau SI = <7 mmol/L

Deskripsi:
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan
produk antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati
dan diekskresi ke dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan
dalam serum. Peningkatan bilirubin terjadi jika terdapat pemecahan sel
darah merah berlebihan atau jika hati tidak dapat mensekresikan bilirubin
yang dihasilkan.
Terdapat dua bentuk bilirubin:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b) langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.

Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi lebih sering terjadi akibat


peningkatan pemecahan eritrosit, sedangkan peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi lebih cenderung akibat disfungsi atau gangguan fungsi hati.

Implikasi Klinik
Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi
pada gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi
saluran empedu atau hemolisis sel darah merah.

20

Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dapat terjadi pada


anemia hemolitik, trauma disertai dengan pembesaran hematoma
dan infark pulmonal.
Bilirubin terkonjugasi tidak akan meningkat sampai dengan
penurunan fungsi hati hingga 50%
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat terjadi pada kanker
pankreas dan kolelitiasis
Peningkatan kadar keduanya dapat terjadi pada metastase hepatik,
hepatitis, sirosis dan kolestasis akibat obat obatan.
Pemecahan bilirubin dapat menyamarkan peningkatan bilirubin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan bilirubin: obat yang bersifat
hepatotoksik dan efek kolestatik, antimalaria (primakuin, sulfa,
streptomisin, rifampisin, teofilin, asam askorbat, epinefrin,
dekstran, metildopa)
Obat-obat yang meningkatkan serum bilirubin dan ALP :
Allopurinol,

karbamazepin,

kaptopril,

klorpropamid,

siproheptadin, diltiazem, eritromisin, co-amoxiclav, estrogen,


nevirapin, quinidin, TMPSMZ

D. Albumin

Nilai Normal
3,5 5,0 g% SI: 35-50g/L

Deskripsi
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi
air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport
beberapa komponen darah, seperti: ion, bilirubin, hormon, enzim, obat.

Implikasi Klinik
Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi
Nilai menurun pada keadaan: malnutrisi, sindroma absorpsi,
hipertiroid, kehamilan, gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka

21

bakar, edema, asites, sirosis, nefrotik sindrom, SIADH, dan


perdarahan.
E. Prothrombin Time

Nilai Normal
Nilai normal: 10 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar
laboratorium)

Deskripsi
Mengukur secara langsung kelainan secara potensial dalam sistem
tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan X).

Implikasi Klinik

Nilai meningkat pada defisiensi faktor tromboplastin ekstrinsik,


defisiensi vit.K, DIC (disseminated intravascular coagulation),
hemorrhragia pada bayi baru lahir, penyakit hati, obstruksi bilier,
absorpsi lemak yang buruk, lupus, intoksikasi salisilat. Obat yang
perlu diwaspadai: antikoagulan (warfarin, heparin)

Nilai menurun apabila konsumsi vit.K meningkat

F. Gamma Glutamil Transferase (GGT)

Nilai Normal
Laki-laki 94 U/L atau SI : 1,5 kat/L
Perempuan 70 U/L atau SI: <1,12 kat/L

Deskripsi
GGT terutama terdapat pada hati, ginjal; terdapat dalam jumlah yang
lebih rendah pada prostat, limfa, dan jantung. Hati dianggap sebagai
sumber enzim GGT meskipun kenyataannya kadar enzim tertinggi
terdapat di ginjal. Enzim ini merupakan marker (penanda) spesifik untuk
fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah
enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat nilainya
pada gangguan empedu. Enzim ini berfungsi dalam transfer asam amino
dan peptida. Laki-laki memiliki kadar yang lebih tinggi daripada
perempuan karena juga ditemukan pada prostat. Monitoring GGT berguna
22

untuk mendeteksi pecandu alkohol akut atau kronik, obstruksi jaundice,


kolangitis dan kolesistitis.

Implikasi Klinik
Peningkatan kadar GGT dapat terjadi pada kolesistitis, koletiasis,
sirosis, pankreatitis, atresia billier, obstruksi bilier, penyakit ginjal
kronis,

diabetes

mellitus,

pengggunaan

barbiturat,

obat-obat

hepatotoksik (khususnya yang menginduksi sistem P450). GGT sangat


sensitif tetapi tidak spesifik. Jika terjadi peningkatan hanya kadar GGT
(bukan AST, ALT) bukan menjadi indikasi kerusakan hati.
Obat-obat

yang

menyebabkan

peningkatan

GGT

antara

lain

karbamazepin, barbiturat, fenitoin, serta obat yang menginduksi sistem


sitokrom P450.
G. Alkalin Fosfatase (ALP)

Nilai Normal
30 - 130 U/L

Deskripsi
Enzim ini berasal terutama dari tulang, hati dan plasenta. Konsentrasi
tinggi dapat ditemukan dalam kanakuli bilier, ginjal dan usus halus.
Pelepasan ini seperti juga indeks penyakit tulang, terkait dengan produksi
sel tulang dan deposisi kalsium pada tulang. Pada penyakit hati kadar
alkalin fosfatase darah akan meningkat karena ekskresinya terganggu
akibat obstruksi saluran bilier.

Implikasi Klinik:
Peningkatan ALP terjadi karena faktor hati atau non-hati.
Peningkatan ALP karena faktor hati terjadi pada kondisi :
obstruksi saluran empedu, kolangitis, sirosis, hepatitis metastase,
hepatitis, kolestasis, infiltrating hati disease
Peningkatan ALP karena faktor non-hati terjadi pada kondisi :
penyakit tulang, kehamilan, penyakit ginjal kronik, limfoma,
beberapa malignancy, penyakit infl amasi/infeksi, pertumbuhan
tulang, penyakit jantung kongestif
23

Peningkatan kadar ALT dapat terjadi pada obstruksi jaundice, lesi


hati, sirosis hepatik, penyakit paget, penyakit metastase tulang,
osteomalasis,hiperparatiroidisme, infus nutrisi parenteral dan
hiperfosfatemia.
Penurunan kadar ALT dapat terjadi pada hipofosfatemia,
malnutrisi dan hipotiroidisme.
Setelah pemberian albumin IV, seringkali terjadi peningkatan
dalam jumlah sedang alkalin fosfatase yang dapat berlangsung
selama beberapa hari.
H. Laktat dihidrogenase (LD)

Nilai Normal
90-210 U/L atau SI : 1,5-3,5 kat/L

Deskripsi
LD merupakan enzim intraseluler, LD terdistribusi secara luas dalam
jaringan, terutama hati, ginjal, jantung, paru-paru, otot rangka. Enzim
glikolitik ini mengkatalisasi perubahan laktat dan piruvat. LD bersifat non
spesifik, tetapi membantu menegakkan diagnosis infark miokard atau
infark pulmonal bersamaan dengan data klinik lain. LD juga sangat
bermanfaat dalam mendiagnosa distropi otot atau anemia pernisiosa.
Penentuan yang lebih spesifik dapat dilakukan jika LD telah terurai
menjadi isoenzim. Oleh karena itu isoenzim spesifik diperlukan untuk
mendeteksi infark miokard.

Implikasi Klinik
Pada MI akut, LD meningkat dengan perbandingan LD1 : LD2 > 1,
kadar meningkat dalam 12-24 jam infark dan puncaknya terjadi 3-4
hari setelah infark miokard.
Pada infark pulmonal, LD meningkat dalam 24 jam setelah onset
nyeri.
Peningkatan kadar LD dapat terjadi pada infark miokard akut,
leukemia akut, nekrosis otot rangka, infark pulmonal, kelainan
kulit, syok, anemia megalobastik dan limfoma. Penggunaan

24

bermacam

obat-obatan

dan

status

penyakit

juga

dapat

meningkatkan kadar LD.


Penurunan kadar LD menggambarkan respon yang baik terhadap
terapi kanker.
I.

Panel Hepatitis

Nilai Normal
Negatif

Deskripsi
Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis. Bentuknya secara klinis
sama, tetapi berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan
profilaksis. Jenis virus hepatitis: (1) hepatitis A; infeksius hepatitis, (2)
hepatitis B; hepatitis serum /transfusi, (3) hepatitis D; selalu berhubungan
dengan hepatitis B, (4) Hepatitis C; dahulu non A atau non B. Orang yang
berisiko hepatitis: pasien dialisis, pasien onkologi/hematologi, pasien
hemofili, penyalahguna obat suntik, homoseksual.
Hepatitis A

HAV-ab/IgM; dideteksi 4 6 minggu setelah terinfeksi dan


menunjukkan tahap hepatitis A akut.

HAV-ab/IgG; dideteksi setelah 8 - 12 minggu setelah terinfeksi


dan menunjukkan pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A.

Hepatitis B

HBs-Ag merupakan antigen permukaan hepatitis B yang


ditemukan pada 4-12 minggu setelah infeksi. Hasil positif
menunjukkan hepatitis B akut (infeksi akut dan kronik)

Hbe-Ag ditemukan setelah 4 - 12 minggu setelah terinfeksi. Hasil


yang positif menunjukkan tahapan aktif akut (sangat infeksius)

Hbc-Ag (antibodi inti hepatitis B) ditemukan setelah 6 14


minggu terinfeksi. Hasil yang positif menujukkan infeksi yang
sudah lampau. Merupakan penanda jangka panjang.

HbeAb antibodi ditemukan 8-16 minggu sesudah terinfeksi,


menunjukkan perbaikan infeksi akut.

25

Hasil positif antibodi HBs-Ab terhadap antigen permukaan


hepatitis B, terjadi setelah 2-10 bulan infeksi. Menunjukkan
pasien sebelumnya telah terinfeksi /terpapar hepatitis B tetapi
tidak ditemukan pada tipe hepatitis yang lain. Merupakan
indikator perbaikan klinik, juga dapat ditemui pada individu yang
telah berhasil diimunisasi dengan vaksin hepatitis B.

Pengukuran DNA virus dengan PCR dapat digunakan untuk


memonitor terapi HBV dengan obat anti virus.

J. Amonia

Nilai Normal
Dewasa :
Anak : 40 80 mcg/dl

Deskripsi
Ammonia diperoleh dari metabolisme asam amino dan asam nukleat.
Beberapa ammonia juga dihasilkan dari reaksi metabolik seperti
glutamine yang akan diubah oleh ezim glutaminase menjadi asam
glutamik dan ammonia.

Pada keadaan normal, ammonia akan

ditransformasikan menjadi urea kemudian akan diekskresikan melalui


ginjal atau kolon. Tanpa fungsi hati ini, terjadi penimbunan ammonia
dalam darah yang dapat menimbulkan disfungsi saraf, koma atau
kematian (enselofati hepatic).

Implikasi Klinik
Kadar ammonia meningkat pada sirosis hati dan hepatitis berat
Kadar ammonia menurun pada kondisi hiperornitinemia dan
hipertensi malignant yang esensial

K. Low Density lipoprotein (LDL)

Nilai Normal
Nilai normal : <130 mg/dL atau SI: < 3,36 mmol/L
Nilai batas : 130 - 159 mg/dL atau SI: 3,36 - 4,11 mmol/L
Risiko tinggi: 160 mg/dL atau SI: 4,13 mmol/L
26

Deskripsi
LDL adalah B kolesterol

Implikasi Klinik
Nilai LDL tinggi dapat terjadi pada penyakit pembuluh darah
koroner atau hiperlipidemia bawaan. Peninggian kadar dapat
terjadi pada sampel yang diambil segera. Hal serupa terjadi pula
pada hiperlipoproteinemia tipe Ha dan Hb, DM, hipotiroidism,
sakit kuning yang parah, sindrom nefrotik, hiperlipidemia bawaan
dan idiopatik serta penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen.
Penurunan LDL dapat terjadi pada pasien dengan hipoproteinemia
atau alfa-beta-lipoproteinemia
L. High Density lipoprotein (HDL)

Nilai Normal
Dewasa: 30 - 70 mg/dL atau SI = 0,78 - 1,81 mmol/L

Deskripsi
HDL merupakan produk sintetis oleh hati dan saluran cerna serta
katabolisme
Trigliserida

Implikasi Klinik
Terdapat hubungan antara HDL kolesterol dan penyakit
arteri koroner
Peningkatan HDL dapat terjadi pada alkoholisme, sirosis
bilier primer, tercemar racun industri atau poliklorin
hidrokarbon. Peningkatan kadar HDL juga dapat terjadi
pada pasien yang menggunakan klofibrat, estrogen, asam
nikotinat, kontrasepsi oral dan fenitoin
Penurunan HDL terjadi dapat terjadi pada kasus fibrosis
sistik, sirosis
hati, DM, sindrom nefrotik, malaria dan beberapa infeksi
akut. Penurunan HDL juga dapat terjadi pada pasien yang
27

menggunakan probucol, hidroklortiazid, progestin dan infus


nutrisi parenteral.

M. Trigliserida

Nilai Normal
Pria : 40 - 160 mg/dL atau SI: 0,45 - 1,80 mmol/L
Wanita : 35 - 135 mg/dL atau SI: 0,4 - 1,53 mmol/L

Deskripsi
Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam bentuk
kilomikron dan VLDL (very low density lipoproteins)

Implikasi Klinik
Trigliserida meningkat dapat terjadi pada pasien yang
mengidap sirosis
alkoholik, alkoholisme, anoreksia nervosa, sirosis bilier,
obstruksi bilier,
trombosis cerebral, gagal ginjal kronis, DM, Sindrom Downs,
hipertensi,
hiperkalsemia, idiopatik, hiperlipoproteinemia (tipe I, II, III,
IV, dan V), penyakit penimbunan glikogen (tipe I, III, VI),
gout, penyakit iskemia hati
hipotiroidism, kehamilan, porfiria akut yang sering kambuh,
sindrom sesak nafas, talasemia mayor, hepatitis viral dan
sindrom Werner.
Kolestiramin, kortikosteroid, estrogen, etanol, diet karbohidrat,
mikonazol IV, kontrasepsi oral dan spironolakton dapat
meningkatkan trigliserida
Penurunan trigliserida dapat terjadi pada obstruksi paru kronis,
hiperparatiroidism,

hipolipoproteinemia,

limfa

ansietas,

penyakit parenkim hati, malabsorbsi dan malnutrisi.


Vitamin C, asparagin, klofibrat dan heparin dapat menurunkan
konsentrasi serum trigliserida.

28

2.2.2 Pemeriksaan Radiologi


A. Film Polos
Memvisualisasikan sekitar 10% kalkulus yang radiopak. Kalkulus tersebut
mungkin memiliki permukaan dengan lapisan multipel.

B. Kolesistografi
Kini tidak lagi secara luas digunakan namun dapat digunakan untuk menilai
fungsi kandung empedu.

C. MRCP (Magnetic Resonance Cholangiopancreatigrafi)


Teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat kontras,
instrument dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai
struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal yang rendah karena
dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal yang tinggi, oleh karena itu metode ini
cocok untuk mendiagnosis batu pada saluran empedu. Manfaat terbesar metode ini
adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan
instrumenisasi, zat kontras, dan radiasi.

D. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography)


Temuan normal
-

Ukuran normal pada saluran empedu dan pankreas.

Tidak ada obstruksi pada saluran empedu dan pankreas.

Indikasi
Tumor, penyempitan saluran empedu, batu empedu, dan jaundice.
Deskripsi tes
ERCP menggunakan endoskop fiberoptik yang memberikan
gambaran radiografi dari saluran empedu dan pankreas. ERCP sangat
berguna pada pemeriksaan jaundice. Lesi dapat terlihat jika terdapat
obstruksi sebagian atau keseluruhan dari saluran tersebut. Stone, kanker,
dan kista dapat diidentifikasi. Hanya ERCP dan percutaneous transhepatic
29

cholangiography (PTHC) yang dapat memberikan gambaran radiografi


secara langsung terhadap saluran empedu dan pankreas. Namun,
morbiditas pada ERCP lebih rendah daripada PTHC. Pemberian barium
akan meningkatkan hasil pencitraan pada saluran empedu.
Kontraindikasi
-

Tidak kooperatif karena proses ERCP mengharuskan pasien untuk


diam.

Baru melakukan operasi saluran cerna.

Pankreatitis akut.

Komplikasi potensial
-

Perforasi esofagus, lambung, atau usus.

Sepsis.

Pankreatitis.

Prosedur
-

Jelaskan prosedur kepada pasien. Setelah memperoleh informed


consent, prosedur dapat dilakukan.

Pasien tidur miring lalu dilakukan anestesi.

Disemprotkan lidokain pada faring untuk kenyamanan pasien.

Endoskop fiberoptik dimasukkan melewati mulut, faring, esofagus,


lambung, dan duodenum.

Glukagon diberikan i.v. untuk mengurangi spasme duodenum dan


meningkatkan visualisasi ampula Vater. Simetikon diberikan untuk
mengurangi gelembung dalam saluran cerna yang dapat menghambat
penglihatan.

Kateter kecil dilewatkan menuju saluran empedu atau pankreas lalu


hasill pencitraan diambil oleh ahli radiologi.

Proses biasanya berlangsung dalam waktu satu jam dengan dokter


terlatih.

30

E. Kolangiogram Transhepatik
Jarum kecil dimasukkan langsung ke dalam duktus bilier di dalam hati di
bawah pengaruh anatesi lokal. Kontras disuntikkan untuk memvisualisasikan
seluruh sister bilier. Tujuannya untuk mencoba dan menemukan penyebab jaudice
obstruktif. Teknik ini digunakan sebelum pemasangan stent bilier untuk
menvisualisasi sistem bilier jika ERCP tidak berhasil.

F. EUS (Endoscopy Ultrasonography)


Metode pemeriksaan dengan menggunakan instrumen gastrostop dengan
echoprobe diujung scop yang dapat terus berputar. Dibandingkan dengan
ultrasonografi metode ini memberikan gambar yg lebih jelas karena echoprobenya diletakkan didekat organ. Metode ini dalam mendiagnosis dan menyingkirkan
koledokolitiasis memiliki aktivitas yang sama dengan ERCP. EUS dan ERCP
tidak menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitifitas spesifisitas, nilai
prediktif negatif maupun positif namun, angka kejadian komplikasi ERCP lebih
tinggi dibandingkan EUS.

G. PTHC (Percutaneous Transhepatic Cholangiography)


Temuan normal
Kandung dan saluran empedu normal.
Indikasi
Prosedur ini memungkinkan pencitraan pada saluran hati dan empedu
sehingga dapat digunakan untuk mengetahui tumor, penyempitan, serta
batu empedu.
Deskripsi tes
Tes x-ray yang digunakan untuk mengidentifikasi hambatan, baik
dalam hati atau saluran empedu, yang memperlambat atau menghentikan
aliran empedu dari hati ke sistem pencernaan. Agen kontras iodine
disuntikkan pada area hepar. Hal ini sangat membantu terutama pada
pasien jaundice.

31

Citra

yang

dinamis

diperoleh

dengan

metode

fluoroskopi.

Fluoroskopi merupakan istilah yang digunakan ketika pancaran sinar-X


berkekuatan rendah diberikan secara berkesinambungan pada pasien.
Namun, ERCP lebih sering digunakan karena komplikasi yang lebih kecil
dan pencitraan pada saluran empedu yang lebih baik daripada PTHC.
Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu peritonitis, sepsis, dan kolangitis.
Prosedur
-

Pastikan pasien tidak memiliki alergi iodine.

Pasien tidur telentang dan dianestesi lokal. Beri waktu agar anestesi
bereaksi.

Dengan menggunakan fluoroskopi, jarum dimasukkan ke ZAdalam


hati melalui kulit.

Media kontras disuntikkan ketika cairan empedu dari hati masuk ke


spuit.

Gambar diambil.

H. Kolesitogram Oral
Pemeriksaan penunjang ini kini jarang dilakukan. Medium kontras oral
iodin diminumkan satu malam sebelum pemeriksaan film pada kuadran atas kanan
pada hari berikutnya menunjukkan adanya kandung empedu yang mengalami
aposifikasi. Apoksifikasi tidak terjadi jika ada obstruksi duktus sistikus atau
pasien mengalami jaudice. Kalkuli terlihat sebagai efek pengisian, film yang
dibuat setelah konsumsi lemak menenjukkan perluasan dari kontraksi kandung
empedu.

32

I. Paracentesis

Temuan normal

Indikasi
Asites.

Deskripsi tes
Menyedot cairan rongga peritoneal menggunakan spuit atau kateter untuk
menganalisa penyebabnya. Dasar penentuan penyebab cairan pada rongga
peritoneal menggunakan cairan transudat dan eksudat seperti yang tertera
pada tabel dibawah.

33

J. Electroencephalography
Temuan normal
Frekuensi, amplitudo, dan karakteristik gelombang otak yang normal.

Indikasi
Ensefalopati hepatik.

Deskripsi tes
Perekaman aktivitas elektrik spontan dari otak selama periode tertentu
dari elektroda yang dipasang di kulit kepala dengan cara mengukur
fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak.

K. Liver Biopsy

Temuan normal
Jaringan normal pada hati.

Indikasi
Liver biopsy adalah metode yang aman dan mudah untuk pemeriksaan
terkait kondisi hepar. Misal pada tumor, kanker, abses, kista, hepatitis,
sirosis, dan lain-lain.

Deskripsi tes
Pada pemeriksaan ini, jarum dimasukkan ke dinding abdomen
hingga ke hati. Jaringan hepar diambil menggunakan jarum untuk
pemeriksaan. Liver biopsy secara perkutan digunakan untuk mendiagnosa
berbagai gangguan pada fungsi hepar seperti sirosis, hepatitis, dan tumor.
Biopsy diindikasikan pada pasien yang tidak dapat diidentifikasi dengan
tes lain dan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit.
34

Biopsy dapat digunakan dengan blind stick atau dengan computed


tomography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) scan,
ultrasound, atau laparoscopy. Blind stick digunakan jika area yang akan
diperiksa tidak spesifik sedangkan yang lainnya digunakan untuk area
spesifik untuk pengambilan jaringan (misal: tumor). Tes ini dilakukan
setidaknya selama 15 menit.

Komplikasi potensial
-

Perdarahan yang disebabkan oleh tusukan jarum.

Peritonitis yang disebabkan oleh tusukan jarum.

Pneumotoraks disebabkan oleh penempatan yang tidak tepat dari


biopsi jarum ke dalam rongga dada yang berdekatan.

Prosedur
-

Jelaskan prosedur kepada pasien. Setelah memperoleh informed


consent, prosedur dapat dilakukan.

Pasien telentang dan disuntikkan anestesi dulu pada area di sekitar


suntikan biopsy.

Pasien diminta untuk menghembuskan napas dan tahan sehingga hati


turun dan mengurangi kemungkinan pneumotoraks.

Selama pasien menahan napas, dokter memasukkan jarum biopsy ke


dalam hepar dan mengambil jaringannya. Seringkali proses ini
memerlukan CT untuk area yang spesifik.

L. Liver Scanning
Temuan normal

35

Ukuran, bentuk, serta posisi yang normal pada hati dan limpa tanpa
kerusakan.
Indikasi
Tes ini memperlihatkan hepar dan limpa. Diindikasikan pada pasien
kanker untuk menghilangkan kanker hati atau yang kemungkinan
bermetastasis, kista, abses hati, sirosis, hematoma, hipertensi portal, atau
pasien dengan enzim hati yang abnormal.
Deskripsi tes
Isotop yang digunakan pada liver and spleen scanning adalah koloid sulfur
berlabel Tc. Prosedur radionuklida ini digunakan untuk mendeteksi
perubahan struktur pada hati dan limpa. Sebuah radionuklida diberikan i.v.
kemudian, sintilator sinar gamma ditempatkan di atas kanan dan kiri
kuadran perut yang akan mencatat distribusi partikel radioaktif yang
dipancarkan dari hati dan limpa. Gambar diperoleh dan dicatat secara
digital. Karena scan hanya dapat menunjukkan kecacatan dengan baik
bpada diameter lebih dari 2 cm, hasil negatif palsu pada pasien dapat
terjadi yang memiliki lesi besarnya kurang dari 2 cm.
Prosedur
-

Radionuklida diberikan secara i.v.

Tiga puluh menit setelah injeksi, detektor sinar gamma ditempatkan di


atas kuadran kanan perut.

Pasien ditempatkan dalam posisi telentang sehingga semua permukaan


hati dapat divisualisasikan.

Gambar radionuklida dicatat secara digital.

Prosedur ini dilakukan selama 1 jam oleh ahli terlatih.

36

M. Abdominal Ultrasonography
Temuan normal
Normal hepar.
Indikasi
Mendeteksi kista, abses, dan tumor pada hati. Pada tumor umumnya hasil
ultrasonografi terlihat ekogenik sedangkan abses dan kista tidak dapat
dibedakan secara pasti.
Deskripsi tes
Ultrasonografi memberikan gambaran akurat dari hati melalui
penggunaan gelombang suara frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh kristal
piezo-elektrik. Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara,
juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi arus
listrik yang kemudian diproses menjadi gambar skala abu-abu. Citra yang
bergerak didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh. Potonganpotongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan kemudian ditampilkan
pada monitor.
Keuntungan pada metode ini yaitu biaya peralatan yang lebih murah,
peralatan yang mudah dibawa ke sisi tempat tidur pasien, dan tidak
menggunakan radiasi sehingga lebih aman pada pasien alergi dan ibu
hamil. Namun, pencitraan buruk saat melewati tulang dan udara karena
merupakan konduktor suara yang buruk sedangkan cairan memiliki
kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik. Penyebaran
gelombang suara saat melalui lemak menghasilkan citra yang buruk pada
pasien obesitas.

Prosedur
-

Pasien diletakkan telentang atau tergantung organ yang akan diperiksa.

Gel lubrikan diaplikasikan pada kulit untuk membantu meningkatkan


transmisi dan penerimaan gelombang suara.

Transduser diletakkan pada kulit .

37

N. CT Photogram (Computed Tomography Photogram)


CT scan pada hati kurang akurat untuk mengidentifikasi tumor yang lebih
kecil dari 2 cm. CT potogram dapat dengan akurat mengidentifikasi abnormalitas
hati yang sangat kecil 5 mm. perbedaan antara CT scan dan CT potogram pada
hati adalah cara dimana pewarna kontras disuntikkan. Pada CT scan biasa
pewarna diinjeksikan melalui vena perifer. Pada CT potograpy pewarna
disuntikkan melalui cateter pada arteri limpa. Tumor hati dan kista tidak
menerima pewarna. Pada potogram lesi ini terlihat seperti bagian yang hitam
dihati.
Penggunaan tes ini memiliki sedikit identifikasi pada diduga danya
neoplasma kecil dihati. Ini digunakan pada pasien kanker yang diduga mengalami
metastatis pada hati. Kontra indikasi pada CT potogram adalah pada pasien
dengan kecenderungan mengalami perdarahan, yang dapat memicu terjadinya
perdarahan pada arteri yang dilakukan injeksi.

O. CT Abdomen
Temuan normal
Tidak ada bukti kelainan.
Indikasi
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama, namun
jika

tidak

berhasil

diusulkan

menggunakan

CT.

CT

dapat

mendemonstrasikan keseluruhan penyakit pada hati termasuk sirosis,


tumor, abses, dan petunjuk pada biopsi tumor.
Deskripsi tes

38

Computed tomography (CT) menggunakan pancaran sinar-X


terkolimasi pada pasien untuk mendapatkan citra potongan tubuh pasien.
Sebagai pengganti pancaran pada film sinar-x, digunakan sistem deteksi
yang lebih sensitif dengan tabung fotomultiplier. Tabung sinar-X berputar
mengelilingi pasien beberapa kali. Citra didapatkan dari pembacaan digital
tabung fotomultiplier yang diproses oleh komputer dan analisis pola
penyerapan tiap jaringan.
Setiap gambar mewakili suatu potongan tubuh dengan ketebalan
bervariasi dari 1 hingga 10 mm. Jaringan yang berada di atas atau dibawah
potongan ini tidak tercakup sehingga diambil satu seri potongan untuk
mencakup daerah tertentu. Dengan pemindaian spiral, seluruh abdomen
dapat digambarkan hanya dalam beberapa detik. Namun, biaya untuk
peralatan dan pemindaian cukup tinggi dan menimbulkan radiasi ionisasi
dosis tinggi pada setiap pemeriksaan.
Prosedur
-

Pasien diiinjeksi zat kontras iodine secara oral atau i.v. agar hasil
pencitraan lebih baik. Setelah melakukan injeksi zat kontras maka
wajah akan nampak merah dan terasa agak panas pada seluruh badan,
dan hal ini merupakan hal yang normal dari reaksi obat tersebut.

Pasien berbaring diatas CT table. Posisi terlentang dengan tangan


terkendali.

Pasien ditempatkan pada encircling body scanner (gantry). X-ray tube


berputar mengelilingi gantry dan mengambil gambar abdomen.

Pada ruangan terpisah, teknisi menjalankan CT table dan menentukan


area abdomen yang di scan. Melalui audio komunikasi, pasien
diinstruksikan untuk menahan napas selama paparan x-ray.

39

2.3

Evaluasi Kelainan Fungsi Hepar

2.3.1 Jaundice
a. Definisi
Merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perubahan warna kulit,
sklera mata atau jaringan lainnya, yang disebabkan karena ekskresi bilirubin yang
tidak sempurna di hati sehingga menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia
(Randall, 2009). Bilirubin yang tidak tereksresi masuk ke dalam cairan
ekstraselular (bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi) dengan konsentrasi lebih
dari 1.5 mg/dl (normal 0.5 mg/dl) (Guyton, 2006). Jaundice pertama kali terlihat
di konjungtiva atau membran mukosa oral seperti langit-langit mulut atau di
bawah lidah

Gambar Manifestasi Jaundice


b. Metabolisme Bilirubin Normal
Bilirubin adalah produk penguraian hem; sebagian besar (85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dilepaskan ke plasma, dan
akan berikatan dengan albumin. Bilirubin tak terkonjugasi ini di ambil oleh
protein Z atau ligandin (protein Y) untuk di transpor ke hati. Protein tersebut
terkonjugasi ke berbagai macam glikosida netral (glukosa, silosa). Bilirubin harus
berubah ke bentuk bilirubin terkonjugasi terlebih dahulu sebelum di ekskresikan
ke empedu (bentuk konjugasi lebih larut air) dan dieksresikan kembali di
kanalikuli empedu.
Bilirubin hasil ekskresi dari empedu dikeluarkan, lalu masuk ke usus halus
bersamaan dengan garam empedu dan natrium. Di usus, enzim dari bakteri akan
mengkonjugasi kembali (deconjugated) bilirubin dan merubahnya menjadi

40

urobilinogen. Urobilinogen akan diserap kembali (10%) ke hati atau dihancurkan


(90%) menjadi urobilin dan stercobilin, yang akan dikeluarkan melalui feses.
Urobilinogen yang diabsorbsi kembali, masuk melalui vena portal, lalu
diekskresikan kembali dan dikeluarkan melalui urin.
Bilirubin terkonjugasi juga dapat masuk ke sirkulasi dari difusi keluar dari
hepatosit. Saat berada di sirkulasi, bilirubin disaring oleh glomerulus dan
kemudian diabsorbsi sehingga tidak ada bilirubin direct yang diekskresikan dalam
kondisi normal. Ketika beban filtrasi bilirubin direct melebihi daya absorbsi
tubular, bilirubin direct ada dalam urin. Sehingga filtrasi glomerulus berperan
dalam menentukan kadar serum bilirubin direct, dan pasien yang memiliki
penyakit hepar dan gagal ginjal dapat memiliki kadar bilirubin yang sangat tinggi.
Di laboratorium, bilirubin terkonjugasi adalah fraksi yang bereaksi langsung
dengan reagen.Sehingga disebut sebagai bilirubin direct.Fraksi tak terkonjugasi
membutuhkan penambahan senyawa akselerator disebut sebagai bilirubin indirect
(Wheatley and Heilpern, 2008).

Gambar Metabolisme Normal Bilirubin

41

Gambar Algoritma Pemeriksaan Ikterus pada Dewasa (Roche, 2004)

c. Tipe Jaundice
1. Jaundice Prehepatik (Jaundice Hemolitik)
Jaundice hemolitik disebabkan oleh lisis (penguraian) sel darah merah
yang berlangsung cepat dan hati tidak dapat mengonjugasikan (sehingga tubuh
tidak dapat mengekskresi), bilirubin secara cepat (Guyton, 2006). Bisa
disebabkan oleh hemolisis (anemia hemolitis), eritropoiesis inadekuat (anemia
megaloblastik), transfusi, malaria dapat menyebabkan jaundice, dll. Pada
jaundice

yang

disebabkan

hemolisis,

peningkatan

produksi

bilirubin

menyebabkan peningkatan produksi urin-urobilinogen. Bilirubin biasanya tidak


ditemukan di urin karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut air, sehingga
kombinasi peningkatan urin-urobilinogen dengan tidak adanya bilirubin di urin
menunjukkan terjadinya jaundice hemolitik.
2. Jaundice Intraheaptik (Jaundice Hepatik)

42

Disebabkan oleh penurunan ambilan atau sekresi bilirubin di empedu


kanalikuli, sehingga bilirubin terkonjugasi meningkat. Jaundice ini disebabkan
oleh adanya gangguan hati, seperti virus hepatitis, konsumsi alkohol, efek
samping obat (isoniazid, fenitoin), sepsis, dll (Silbernagl, 2000). Nekrosis sel
mengurangi kemampuan hepar untuk memetabolisme dan mengekskresi
bilirubin menyebabkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi di darah.
3. Jaundice Posthepatik (Jaundice Obstruktif)
Jaundice ini disebabkan oleh adanya obstruksi saluran empedu (paling
sering disebabkan oleh gallstone atau kanker yang menyebabkan aliran
empedu tertutup). Penyebab lainnya adalah penyempitan duktus empedu,
atresia empedu, cholangiocarcinoma, pankreatitis, dan pancreatic pseudocyst.
Penyebab yang jarang adalah sindroma Mirizzi.
Laju pembentukan bilirubinnya normal, tetapi bilirubin tidak dapat masuk
ke aliran darah yang menuju ke usus. Bilirubin bebas masuk ke dalam sel hati
dan berubah ke dalam bentuk konjugasi seperti keadaan normal (Guyton,
2006). Apabila obstruksi tersebut tidak diatasi, maka kanlikulus biliaris di hati
mengalami kongesti dan ruptur sehingga empedu tumpah ke limfe dan aliran
darah. Ikterus ini bisa disebabkan oleh gallstone, tumor, pancreatitis, kolangitis
(Silbernagl, 2000).

Tabel Tes Diagnostik (Constantin, 2011)


Test Fungsi

Ikterus

Ikterus Hepatik

Prehepatik
Bilirubin total

Ikterus Post
Hepatik

Normal/meningkat

Meningkat

Meningkat

Normal

Meningkat

Meningkat

Normal/meningkat

Meningkat

Normal

Urobilinogen

Normal/meningkat

Meningkat

Menurun/negatif

Warna Urin

Normal

Hitam

Hitam

Bilirubin
terkonjugasi
Bilirubin

tak

terkonjugasi

43

(urobilinogen)

(urobilinogen +

(bilirubin

bilirubin

terkonjugasi)

terkonjugasi)
Warna feaces

Normal

Normal

Pucat

Alkaline

Normal

Meningkat

Meningkat

ALT/AST

Normal

Meningkat

Meningkat

Biliribun

Tidak ditemukan

Ada

Ada

Fosfat

terkonjugasi di
urin

Tabel Gambaran Klinis

44

d. Imaging Test
1. Pemeriksaan Sonografi, CT Scan dan MRI
Sonografi : pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara untuk
memeriksa bagian hati, kandung empedu, dan pancreas. Pemeriksaan ini
bersifat aman, tidak ada rasa sakit
CT Scan : pemeriksaan ini mirip dengan pemeriksaan menggunakan sinar
X.

pemeriksaan

ini

untuk

memeriksakan

adanyak

batu

empedu,

mengidentifikasi ketidaknormalan hati, pancreas dan organ perut lainnya.


Pemeriksaan ini lebih murah dan efek radiasi lebih rendah (aman untuk
kehamilan).
MRI : pemeriksaan ini menggunakan magnetik, dan dapat memberikan
gambaran lebih jelas terhadap saluran empedu.
Hepatobiliary Iminodiacetic Acid (HIDA)
Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP)
2. Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)
Pemeriksaan ini menggunakan endoskopi, yaitu tube yang dilengkapi
dengan kamera pada ujungnya, yang dimasukkan ke dalam saluran pencernaan
melalui mulut. Lalu, pewarna dimasukkan ke dalam kandung empedu dan
dilakukan X-Ray. Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi
batu empedu, tumor, dll.
3. Biopsi Hati
Pemeriksaan ini digunakan biasanya untuk menambahkan informasi untuk
prognosis, dan juga diagnosis serum dan pemeriksaan lain belum ditegakkan.
Biopsi hati dapat digunakan untuk mendiagnosis hepatitis autoimun atau
penyakit saluran empedu lainnya (sirosis empedu primer).

e. Neonatal Jaundice
Penyakit ikterus pada bayi biasanya bersifat tidak berbahaya, dan sering
terjadi sekitar hari kedua bayi tersebut lahir dan berlangsung hingga 8-14 hari.
Pada saat dikandungan, bilirubin yang terbentuk oleh janin akan melewati
plasenta, lalu di ekskresikan oleh hati ibu,. Setelah bayi tersebut lahir, bilirubin
45

tidak lagi dieksresikan oleh ibu, namun oleh hati bayi itu sendiri. Pada saat itu
metabolis dan psikologis dari bayi pada minggu pertama belum stabil, sehingga
konsentrasi bilirubin plasma meningkat lebih dari 1 mg/dl (rata-rata 5 mg/dl
selama 3 hari pertama). Ikterus pada bayi ditandain dengan adanya warna kuning
pada kulit dan sklera mata. Namun, ikterus pada bayi bisa berbahaya apabila tidak
ditangani dengan benar, seperti kecacatan permanen (Guyton, 2006). Terapi yang
dapat diberikan, yaitu :
1. Fototerapi
Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin
menyerap sinar pada panjang gelombang 450 460 nm. Fototerapi dilakukan
dengan radiasi sinar biru-hijau spectrum 460 490 nm, 30 40 W/cm2/nm
(diukur pada kulit bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi)
dan diarahkan ke permukaan kulit bayi.
2. Pemberian ASI
AAP (American Academic of Pedriatric) merekomendasikan pemberian ASI
setidaknya 8 12 kali perhari selama beberapa hari dimana pemberian ASI
dapat

menurunkan

kadar

bilirubin

(hiperbilirubinemia).

AAP

tidak

menyarankan penggantian ASI dengan susu formula, air biasa atau air yang
mengandung gula, karena tidak dapat menurunkan kadar bilirubin.

2.3.2 Perlemakan Hati


Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5 % dari berat
hati atau mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perletmakan hati ini sering
berpotensi menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat
timbul karena mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut AFLD (Alcoholic Fatty
Liver Disease), maupun bukan karena alkohol, disebut NAFLD (Non Alcoholic
Fatty Liver Disease).

2.3.2.1 Perlemakan Hati Alkoholik (Alcoholic Fatty Liver Disease /AFLD)


Perlemakan hati akibat alkohol bersifat reversible. Perlemakan hati terjadi
pada individu yang mengkonsumsi lebih dari 60 gram alkohol per hari. Alkohol

46

utamanya

dimetabolisme

dehydrogenase (ADH)

di

hepar.

Alkohol

dioksidasi

oleh

alcohol

membentuk acetaldehyde. Selanjutnya, acetaldehyde

dioksidasi oleh aldehyde dehydrogenase menjadi asam acetat, yang akhirnya


dioksidasi menghasilkan karbon dioksida dan air. Proses ini menghasilkan
NADH, dan meningkatkan rasio NADH/NAD+. Jika konsentrasi NADH tinggi
dapat menginduksi sintesis asam lemak dan konsentrasi NAD+ menurun
menyebabkan penurunan oksidasi asam lemak. Karena oksidasi asam lemak
terhambat menyebabkan kadar asam lemak dalam darah tinggi sehingga terjadi
peningkatan esterifikasi asam lemak menjadi trigliserida. Trigliserida yang
terbentuk ada menunpuk di sel hepatosit dan menyebabkan terjadiya perlemakan
hati.

2.3.2.2 Perlemakan Hati Non Alkoholik (Non Alcoholic Fatty Liver Disease
/NAFLD)
Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari
dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan
hati ini mulai dari perlemakan hati sederhana sampai pada perlemakan hati non
alkoholik, fibrosis dan sirosis hati.
Kriteria lain yang penting adalah pengertian non alkoholik. Batasan nilai
atas dari non alkoholik adalah jumlah konsumsi alkohol untuk wanita 20
gram/hari dan untuk laki-laki 30 gram/hari.
Definisi Non-alcoholic Fatty terjadi pada seseorang bukan peminum
alkohol, dengan spektrum kelainan hati meliputi perlemakan hati saja, perlemakan
dengan keradangan hati, sampai dengan fibrosis dan sirosis. Dalam bahasa
Indonesia istilah NAFLD diterjemahkan sebagai penyakit perlemakan hati nonalkoholik.

Etiologi
Berbagai jenis kondisi dan zat dapat berhubungan dengan terjadinya

NAFLD. Secara umum, penyebab NAFLD dibagi menjadi dua kategori, obatobatan & toksin serta kelainan metabolik, baik yang didapat atau kongenital. Halhal yang berpotensi sebagai penyebab NAFLD, antara Lain:

47

Kelainan metabolik; seperti diabetes melitus, dislipidemia (gangguan


metabolisme lemah), kwashiorkor dan marasmus (malnutrisi kalori dan
protein), obesitas, dan penderita kelaparan.
Obat-obatan sitotoksik dan sitostatik, seperti obat-obatan untuk kemoterapi
Toksin dan obat-obatan lainnya; seperti estrogens (obat-obatan hormonal)
Logam-logam; seprti antimon, garam barium, krom
Kelainan metabolisme bawaan, seperti aberalipoproteinemina, famililal
hepatosteatosis, penyakit wilson.
Prosedur bedah, seperti gastric bypass, reseksi usus halus
Kondisi lain-lain; seperti terpapar bahan industri petrokimia, penyakit
peradangan usus, lipodistrofi parsial, diverticulosis jejunum dengan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan, anemia berat dan total parental
nutrition (iv).

Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati non alkoholik tidak

menunjukkan gejala maupun tanda- tanda adanya penyakit hati. Beberapa pasien
melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan seperti
mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien, hepatomegali
merupakan satu-satunya kelainan fisis yang didapatkan. Umumnya pasien dengan
perlemakan hati non alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya dalam medical check up. Sebagian lagi datang dengan
komplikasi sirosis seperti asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah
berkembang menjadi hepatoma.

Patofisiologi
Pengetahuan mengenai patogenesis perlemakan hati non alkoholik masih

belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan perlemakan hati
non alkoholik adalah obesitas dan diabetes melitus, serta dua abnormalitas
metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan
suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini
banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day dan James.

48

Hit pertama terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit yang dapat


terjadi karena berbagai keadaan, seperti dislipidemia, diabetes melitus, dan
obesitas. Seperti diketahui bahwa dalam keadaan normal, asam lemak bebas
dihantarkan memasuki organ hati lewat sirkulasi darah arteri dan portal. Di dalam
hati, asam lemak bebas akan mengalami metabolisme lebih lanjut, seperti proses
re-esterifikasi menjadi trigliserida atau digunakan untuk pembentukan lemak
lainnya. Adanya peningkatan massa jaringan lemak tubuh, khususnya pada
obesitas sentral, akan meningkatkan penglepasan asam lemak bebas yang
kemudian menumpuk di dalam hepatosit. Bertambahnya asam lemak bebas di
dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak. Proses
ini terfokus dimitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan mengakibatkan
kerusakan mitokondria itu sendiri. Inilah yang disebut sebagai hit kedua.
Peningkatan stres oksidatif sendiri dapat juga terjadi karena resistensi insulin,
peningkatan konsentrasi endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling
protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P-450 2E1, peningkatan
cadangan besi dan menurunnya aktivitas antioksidan. Ketika stress oksidatif yang
terjadi di hati melebih kemampuan perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel
stelata dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan inflamasi progresif,
pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta
fibrosis. Meskipun teori two-hit sangat popular dan dapat diterima, agaknya
penyempurnaan akan terus dilakukan karena banyak yang berpendapat bahwa
yang terjadi sesungguhnya lebih dari dua hit.

Pemeriksaan Laboratorium

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang bisa secara akurat membedakan


steatosis dengan steatohepatitis, atau perlemakan hati non alkoholik dengan
perlemakan hati alkoholik.

49

Parameter

Nilai normal

Keterangan

AST dan ALT

Nilai normal : 5-35

Terkadang terjadi

(menjadi parameter

U/L

peningkatan sampai 4 kali

awal dari evaluasi

nilai normal.

fungsi hepar)
Rasio (AST: ALT)

AST : ALT = 1

AST: ALT < 1


AST: ALT >1
(menunjukkan fibrosis
yang berlebih dan penyakit
yang lebih progresif)

GGT

Alkaline phosphatase

Laki-laki 94 U/L

meningkat (hingga dua kali

Perempuan 70 U/L

harga normal)

30 - 130 U/L

meningkat (hingga dua kali


harga normal)

Trigliserida

Pria : 40 - 160 mg/dL

Dislipidemia ditemukan

Wanita : 35 - 135

pada 21-83% pasien dan

mg/dL

biasanya berupa
peningkatan konsentrasi
trigliserida.

Peningkatan

ringan

sampai

sedang,

konsentrasi

aspartase

aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), atau keduanya


merupakan kelainan hasil pemeriksaan laboratorium yang paling sering
didapatkan pada pasien- pasien dengan perlemakan hati non alkoholik. Beberapa
pasien datang dengan enzim hati yang normal. Pada umumnya dengan rasio antara
AST : ALT adalah <1. Jika rasio AST : ALT berubah menjadi >1, hal ini
menunjukkan fibrosis yang berlebih dan penyakit yang lebih progresif. Perlu
menjadi perhatian beberapa studi yang melaporkan bahwa konsentrasi AST dan
ALT tidak memiliki korelasi dengan aktivitas histologis, bahkan konsentrasi
enzim dapat tetap normal pada penyakit hati yang sudah lanjut.

50

Pemeriksaan laboratorium lain seperti alkaline phosphatase, Gamma


Glutamyl Transferase (GGT), feritin darah atau saturasi transferin juga dapat
meningkat,

waktu

protrombin

yang

memanjang,

hipoalbuminemia,

dan

hiperbilirubinemia biasanya temukan pada pasien yang sudah menjadi sirosis.


Kadar feritin meningkat pada 20-50 % kasus sebagai respon fase akut.
Autoantibodi teridentifikasi pada 23-36% kasus NAFLD dan berhubungan dengan
fibrosis yang lebih lanjut. Dislipidemia ditemukan pada 21-83% pasien dan
biasanya berupa peningkatan konsentrasi trigliserida. Karena diabetes merupakan
salah satu faktor resiko perlemakan hati non alkoholik, maka tidak jarang terdapat
pula peningkatan konsentrasi gula darah.

Pemeriksaan Radiologi
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang

untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu- satunya metoda
untuk membedakan perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau
disertai inflamasi. Hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara NAFLD dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya
memiliki gambaran histologi yang sama.
Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD
adalah ultrasonografi (USG), computerized tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI). Untuk diagnosis NAFLD, pemeriksaan USG hati
adalah pilihan pencitraan yang umum dan paling banyak digunakan dalam praktek
klinik dan penelitian di masyarakat. Hal ini dikarenakan mudah dikerjakan, biaya
relatif murah, tidak invasive, banyak tersedia dan mempunyai nilai akurasi yang
baik. Untuk mendeteksi steatosis, pemeriksaan USG mempunyai sensitivitas
sebesar 89% dan spesifisitas 93%. Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati
memberikan gambaran peningkatan ekogenik difus yang disebut bright liver
dengan atenuasi posterior dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal. Pada
umumnya perlemakan hati bersifat difus, tetapi pada beberapa kasus dapat bersifat
setempat (localized) yang mengenai sebagian parenkhim hati.

51

Pada pemeriksaan CT-scan non-kontras, perlemakan hati tampak hipodens


dan tampak lebih gelap daripada limpa. Pembuluh darah hepatik terlihat yang
relatif cerah, dan dapat terjadi kesalahan diagnosis apabila pemeriksaan CT-scan
dengan injeksi kontras. Ketiga teknik pencitraan di atas (USG, CT-scan dan MRI)
terbukti memiliki sensivitas yang baik untuk mendeteksi perlemakan hati lebih
dari 30%. Akan tetapi tidak ada metode pencitraan ini yang dapat membedakan
antara perlemakan hati alkoholik dan perlemakan hati non alkoholik atau
menunjukkan tahap fibrosis.

2.3.3 Hepatitis
Semua jenis penyakit peradangan atau pembengkakan hati (liver) yang
disebabkan oleh virus. Hepatitis dapat dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan
virus penyebabnya yaitu, hepatitis A, B, C, D, dan E
A. Hepatitis A (HAV)
Penularan infeksi HAV terutama melalui transmisi fecal-oral,
orang ke orang, atau dengan menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Kejadian HAV berhubungan dengan status sosial-ekonomi
rendah, kondisi sanitasi yang buruk, dan kepadatan penduduk penyakit
endemis di beberapa negara berkembang. Selain itu, hepatitis ini bersifat
ringan, akut, sembuh secara spontan/sempurna tanpa gejala sisa dan tidak
menyebabkan infeksi kronik. Penyakit ini terbagi ke dalam tiga fase,
inkubasi (rata-rata 28 hari, dengan rentang waktu 15-50 hari), Hepatitis
akut (umumnya berlangsung 2 bulan), dan penyembuhan. HAV tidak
menyebabkan infeksi kronis (Wells, dkk. 2015)
Diagnosa infeksi HAV akut berdasarkan kriteria klinik, kelelahan, nyeri
perut, kehilangan nafsu makan, mual intermeten dan muntah, sakit kuning
atau kadar serum aminotransferase meningkat, dan serologi pengujian
untuk immunoglobulin (ig) G anti-HAV. Pencegahannya melalui
kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan minuman, dan
melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

52

Gambar Grafik Uji Serologi HAV (CDC, 2015)


Pada grafik tersebut, terdapat uji serologi :

IgM anti-HAV : dideteksi 4 6 minggu setelah terinfeksi atau 5 10 hari


sebelum muncul gejala tahap hepatitis A akut.

IgG anti-HAV : dideteksi setelah 8 - 12 minggu setelah terinfeksi


pasien sebelumnya pernah terpapar hepatitis A.

ALT : meningkat pada minggu ke 3 - 5

Gejala : puncaknya pada 28 hari setelah terinfeksi

Viremia : muncul setelah terinfeksi, namun biasanya tidak digunakan


untuk diagnose

B. Hepatitis B
HBV (Hepatitis B Virus)

merupakan Virus DNA berselubung

ganda penyebab utama dari hepatitis konis, sirosis, dan hepatoseluler


karsinoma. Penularan HBV melalui hubungan seksual, parenteral dan
perinatal. Infeksi HBV dibagi menjadi 3 fase. Fase pertama adalah fase
inkubasi selama 4-10 minggu dimana pasien sangat infektif. Selanjutnya
diikuti dengan fase simtomatik ditandai dengan meningkatkatnya kadar
aminotransferase serum. Tahap akhir adalah serokonversi ke anti-hepatitis
B core antigen (anti-HbcAg). Pasien yang terus terdeteksi hepatitis B

53

surface antigen (HbsAg) dan HBcAg dantiter serum tinggi DNA HBV
selama lebih dari 6 bulan memiliki HBV kronis.

Grafik hasil serologi infeksi hepatitis B akut

Berdasarkan grafik di atas hasil uji serologi menunjukan :

HBsAg adalah penanda pertama yg dapat dideteksi mulai dari minggu


keempat, diikuti dengan adanya IgM anti HBc pada minggu kedelapan.
HbsAg akan menghilang beberapa bulan pada infeksi yg sembuh sendiri,
selanjutnya akan muncul anti HBs dan anti Hbe menetap

HBeAg terdeteksi mulai dari minggu keempat sampai minggu ke dua


belas, kemudian akan menghilang dan selanjutnya muncul anti HBe yang
menetap

Grafik hasil serologi infeksi Hepatitis B Kronik

54

Pada infeksi kronik, HBsAg dan HBeAg akan tetap terdeteksi selama lebih
dari 36 minggu dan kadarnya menetap, diikuti dengan anti HBc dan anti
HBe yang juga menatap.

C. Hepatitis C
HCV adalah virus RNA untai tunggal yang merupakan penyebab
hepatitis C. HCV adalah patogen yang paling umum masuk melalui darah.
HCV paling sering didapat melalui penggunaan obat IV, hubungan
seksual, hemodialisa, perinatal. Mayoritas pasien (sampai 85%) infeksi
HCV akut akan berlanjut menjadi infeksi HCV kronis ditandai dengan
terdeteksinya HCV RNA selama 6 bulan atau lebih. Pasien dengan infeksi
HCV akut kerap kali asimptomatik dan tidak terdiagnosa, gejala yang
ditimbulkan berupa kelelahan, lemah, jaundice, nyeri perut dan urin
berwarna gelap. Diagnosa infeksi HCV dilakukan dengan reactive enzyme
immunoassay untuk anti-HCV. Serum transaminase meningkat pada
minggu keempat sampai minggu keduabelas setelah terpapar.

Grafik hasil uji serologi infeksi HCV akut


Hasil uji serologi infeksi HCV akut menunjukkan,

HCV terdeteksi mulai dari bulan pertama sampai bulan keenam.

55

ALT meningkat mulai terpapar pada bulan pertama sampai bulan ketiga
kemudian menurun dan menetap pada nilai normal setelah bulan keenam.

Anti HCV meningkat titernya sampai bulan keenam dan menetap.

Grafik hasil uji serologi infeksi HCV kronik


Pada infeksi kronik HCV RNA tetap terdeteksi selama ebih dari 6 bulan.
Nilai ALT pada infeksi kronik HCV fluktuatif.

D. Hepatitis D
Hepatitis D merupakan virus RNA defektif yang menyebabkan
hepatitis hanya pada pasien yang mengalami infeksi hepatitis B dan
khususnya hanya pada keberadaan HBsAg. Penularan HDV sama dengan
HBV, yaitu melalu jalur parenteral.
HDV dapat menginfeksi bersamaan dengan HBV atau superinfeksi
pada pasien dengan penyakit hepatitis B kronis. HDV yang terjadi
bersamaan dengan infeksi HBV memiliki tingkat infeksi yang sama
dengan infeksi HBV akut sendiri. Pada HBV kronis, super infeksi oleh
HDV muncul dan menyebabkan keadaan yang lebih parah dan dapat
dengan cepat menyebabkan sirosis (Anonim.2012).
Pada uji serologi Anti-HDV dideteksi 12-32 minggu setelah
terinfeksi. Terdeteksi 50% pada pasien yg terinfeksi HDV

56

Gambar Grafik Uji Serologi HDV (CDC, 2015)

E. Hepatitis E
Hepatitis E merupakan virus RNA dengan periode inkubasi ratarata adalah 40 hari (13 56 hari). Penularan HEV, sama dengan HAV
yaitu melalui fecal oral. Air minum yang tercemar tinja merupakan media
penularan yang paling umum. Infeksi HEV selalu bersifat akut.
Diagnosis pada pasien dapat dideteksi lebih awal dengan pengujian
antibody IgM dan IgG terhadap hepatitis E (anti-HEV). IgA anti-HEV
juga dapat digunakan untuk mendiagnosis hepatitis E akut untuk pasien
yang menunjukkan hasil negatif pada IgM anti-HEV.

Gambar Grafik Uji Serologi HEV (CDC, 2015)

57

Pada grafik uji serologi tersebut, terdapat :

IgM anti-HEV; dideteksi 3-4 minggu setelah terinfeksi,lalu kadarnya akan


menurun minggu-minggu setelahnya, dan tidak terdeteksi pada minggu ke30

IgG anti-HEV; dideteksi 3-4 minggu setelah terinfeksi dan kadarnya tetap
minggu setelahnya

Inkubasi

Transmisi

ALT meningkat; dideteksi 4-5 minggu setelah terinfeksi


Hepatitis A

Hepatitis B

Hepatitis C

Hepatitis D

Hepatitis E

15-50 hari

4-10 minggu

14-180 hari

37

3 8 minggu

(CDC)

(pharmacotheraphy (rata-rata 45

minggu

(WHO)

handbook)

hari) (CDC)

(WHO)

fecal oral,

Parenteral, seksual,

Parenteral,

Seksual,

fecal oral,

makanan/air,

perinatal, darah

seksual,

penggunaan

makanan/air,

sanitasi

perinatal,

jarum

sanitasi buruk

buruk

darah

suntik
bersamasama,
perkutan,
permukosa

Infeksi

Tidak

Ya, ada

Ya, ada

Ya, Ada

Tidak

Kronis
Gejala

Gejala yang ditimbulkan dari tiap hepatitis hampir sama dan bisa terdapat
satu/lebih gejala :
Demam, lelah, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri pada perut, jaundince

58

Serologi

IgM anti-

HBsAg

HCV

IgM anti-

IgM anti-HEV

Test

HAV,

HBeAg

Anti-HCV

HDV

IgG anti-HEV,

IgG anti-

IgM anti HBc

ALT

Infeksi akut

ALT

HAV

anti HBs

meningkat

ALT

meningkat

Infeksi akut

anti Hbe

ALT

ALT meningkat

meningkat

meningkat

2.3.4 Fibrosis dan Sirosis


2.3.4.1 Fibrosis Hati
Fibrosis hati mengarah pada akumulasi jaringan parut fibrosa pada hati.
Pembentukan jaringan parut merupakan respon normal tubuh terhadap luka, tetapi
pada fibrosis proses penyembuhannya salah. Ketika hepatosit (sel fungsional hati)
terluka karena infeksi virus, konsumsi alkohol berlebihan, toksin, trauma, atau
faktor lainnya. Sistem imunitas teraktivasi untuk memperbaiki kerusakan. Luka
atau kematian (nekrosis) hepatosit merangsang inflamasi, sel imun melepaskan
sitokin, faktor pertumbuhan, dan zat kmia lainnya. Zat kimia messenger ini secara
langsung mendukung sel di hati disebut sel hepatik stellate untuk aktivasi dan
produksi kolagen, glikoprotein (seperti fibronektin), proteoglikan, dan substansi
lainnya. Substansi ini disimpan di dalam hati, menyebabkan terbentuknya matriks
ekstraselular (jaringan penghubung nonfungsional). Pada waktu yang sama,
proses penguraian atau degradasi kolagen yang terganggu. Pada hati yang sehat,
sintesis (fibrogenesis) dan penguraian (fibrolisis) dari jaringan matriks seimbang.
Fibrosis terjadi jika jaringan parut yang terbentuk lebih cepat dibandingkan
diuraikan dan dibuang dari hati.

Etiologi
Onset fibrosis hati biasanya tidak terdeteksi dan kebanyakan morbiditas

dan mortalitas yang berkaitan terjadi setelah terjadi sirosis. Pada kebanyakan
pasien, progresi menjadi sirosis terjadi setelah interval 15 - 20 tahun. Fibrosis hati
berkembang cepat menjadi sirosis pada beberapa keadaan klinis, termasuk episode

59

berulang hepatitis alkoholik akut berat, hepatitis subfulminan dan kolestasis


fibrosis pada pasien dengan reinfeksi hepatitis virus C (HCV) setelah transplantasi
hati.

Diagnosis
Diagnosis yang akurat terhadap luas fibrosis perlu sebagai dasar

penatalaksanaan dan menilai prognosis penderita dengan penyakit hati kronis.


Diagnosis histologis terhadap spesimen biopsi hati masih merupakan gold
standard untuk menentukan derajat meskipun semakin banyak tersedia metode
non invasif. Diagnosis dengan cara metode non invasif ini dimaksudkan agar
pengambilan sampel dapat lebih sering dilakukan serta untuk menghindari risiko
biopsi per kutan.
Telah dilakukan usaha yang baik untuk mengidentifikasi penanda serum
sebagai cara noninvasif untuk diagnosis fibrosis hati. Meskipun akurasi serta nilai
prediktifnya membaik, penanda penanda tersebut belum dapat menggantikan
analisis hati secara langsung. Penanda fibrosis yang ideal merupakan salah satu
yang spesifik, berbasis biologis, non-invasif, mudah diulang pada semua pasien,
berhubungan baik dengan beratnya penyakit serta outcome, serta tidak
dipengaruhi oleh komorbiditas ataupun obat. Meskipun pemeriksaan yang ideal
ini belum tercapai, perkembangan pemeriksaan dapat diantisipasi berdasarkan
perkembangan saat ini dan ketertarikan yang intens terhadap perkembangan ini.
Strategi ini sekarang meliputi usaha untuk menilai aktivitas metabolik sel,
untuk mencitrakan jaringan parut hati, dan atau untuk mencitrakan atau
menghitung sel fibrogenik secara tidak langsung. Yang paling baik dikembangkan
adalah peralatan non-invasif (FibroScan) yang mirip dengan USG yang mengukur
elastisitas hati jika digunakan di kuadran kanan atas. Akurasi tes akan terganggu
jika terdapat jaringan lemak pelapis yang bermakna, karena jaringan tersebut
dapat menjadi kasus pada pasien NAFLD. Studi terbaru menunjukkan
kemampuan yang baik untuk membedakan sirosis dari stadium yang lebih awal.
Akurasinya dapat ditingkatkan jika dikombinasi dengan assay serum non-invasif.
Meskipun demikian, tidak ada bukti bahwa perubahan fibrosis seiring waktu dapat
dideteksi pada setiap pasien.

60

2.3.4.2 Sirosis Hati


Sirosis adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi
dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenereratif. Sirosis hati secara
klinis dibagi menjadi sirosis hati kompensata yang berarti belum adanya gejala
klinis yang nyata dan sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala- gejala dan
tanda klinis yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari proses
hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat perbedaannya secara klinis.

Etiologi

Penyakit infeksi
Skistosomiasis
Virus Hepatitis (Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis D)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi 1- antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyebab lain
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Sarkoidosis
Di negara barat paling sering disebabkan alkoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C.

61

Manifestasi Klinis
Gejala dan akibat yang ditimbulkan dapat disebabkan oleh sirosis hati atau

karena komplikasinya. Gejala dapat berkembang secara bertahap, atau mungkin


tidak terlihat gejala sama sekali. Ketika timbul gejala, dapat meliputi:

Pembengkakan atau penumpukan cairan pada kaki (edema) dan pada perut
(ascites).

Hipogonadisme, dengan gejala seperti impotensi, infertilitas, hilangnya


dorongan seksual, dan atrofi testis (mengecilnya buah zakar).

Gynecomastia, proliferasi (pembesaran) jaringan kelenjar payudara pada


pria, terlihat seperti karet atau padat yang meluas secara konsentris dari
puting. Hal ini disebabkan oleh peningkatan estradiol sebagai akibat
sekunder dari sirosis.

Spider angiomata atau spider nevi, lesi vaskular terdiri dari arteriola pusat
yang dikelilingi oleh pembuluh yang lebih kecil (seperti laba laba)
biasanya pada daerah dada dan punggung.

Jaundice, yaitu menguningnya kulit, mata, dan selaput lendir karena


bilirubin yang meningkat. Urin juga terlihat menjadi lebih gelap seperti air
teh.

Gejala lain seperti: Kebingungan atau keterlambatan dalam berpikir,


lemah, warna tinja pucat / tinja menjadi hitam, kehilangan nafsu makan,
mual & muntah darah, mimisan & gusi berdarah, kehilangan berat badan.

62

Klasifikasi

Pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi


Adanya sirosis dicurigai bila ada kelainan pemeriksaan laboratorium pada

waktu seseorang memeriksakan kesehatan rutin, atau waktu skrining untuk


evaluasi keluhan spesifik. Tes fungsi hati ini meliputi aminotransferase, alkali
fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, bilirubin, albumin, dan waktu
protrombin. Aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamil oksalo asetat
(SGOT) dan alanin aminotransferase (ALT) atau serum glutamil piruvat
transaminase (SGPT) meningkat tetapi tidak begitu tinggi. Namun pemeriksaan
AST dan ALT ini tidak dapat dijadikan parameter utama pada penyakit sirosis.
Alkali fosfatase, meningkat kurang dari 2 sampai 3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi bisa ditemukan pada pasien kolangitis sklerosis primer
dan sirosis bilier primer. Gamma-glutamil transpeptidase (GGT), konsentrasinya
seperti halnya alkali fosfatase pada penyakit hati. Konsentrasinya tinggi pada
penyakit alkoholik kronik, karena alkohol selain menginduksi GGT mikrosomal
hepatik, juga bisa menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit. Bilirubin

63

konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi dii jaringan hati,
konsentrasinya

menurun

sesuai

dengan

perburukan

sirosis.

Globulin,

konsentrasinya meningkat pada sirosis. Waktu protromin mencerminkan


derajat/tingkatan disfungsi sintesis hati, sehingga pada sirosis waktu protrombin
memanjang. Natrium serum menurun terutama pada sirosis dengan asites,
dikaitkan dengan ketidakmampuan eksresi air bebas.
Pemeriksaan radiologis barium meal dapat melihat varises untuk
mengkonfirmasi adanya hipertensi porta. Ultrasonografi (USG) sudah secara rutin
digunakan karena pemeriksaannya non invasif dan mudah digunakan, namun
sensitifitasnya kurang. Pemeriksaan hati yang bisa dilihat dengan USG meliputi
sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas dan massa hati. Pada sirosis
lanjut, hati mengecil dan nodular, permukaan regular, dan ada peningkatan
eksogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga bisa melihat asites, splenomegali,
trombosis vena porta dan skrining adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
Computerized Tomography, informasinya sama dengan USG, jarang digunakan
karena biayanya relatif mahal. Magnetic resonance imaging, peranannya tidak
jelas dalam mendiagnosis sirosis hati.

2.3.5 Kanker Hati


Kanker Hepar adalah pertumbuhan sel yang abnormal, cepat, dan
tidak terkendali pada hepar sehingga merusak bentuk dan fungsi organ
hepar. Dalam keadaan normal sel hepar akan membelah diri jika ada penggantian
sel-sel hepar yang telah mati dan rusak. Sebaliknya sel kanker akan
membelah terus sehingga terjadi penumpukan sel baru yang menimbulkan
desakan dan merusak jaringan normal pada hepar. Karsinoma hepatoseluler
(KHS) adalah salah satu jenis keganasan hati primer yang paling sering ditemukan
dan banyak menyebabkan kematian. Dari seluruh keganasan hati, 80-90% adalah
KHS.
Kanker hepar dapat memiliki pola pertumbuhan yang berbeda:

64

Beberapa mulai sebagai tumor tunggal yang tumbuh lebih besar. Pada
stadium lanjut menyebar ke bagian lain dari hati.

Tipe kedua banyak nodul kecil kanker di seluruh hati, bukan hanya tumor
tunggal. Sering terjadi pada orang dengan (kerusakan hati kronis) sirosis
dan ini merupakan yang paling umum terlihat di Amerika Serikat.

A. Karsinoma hepatoselular (Hepatocellular Carcinoma)


Karsinoma hepatoselular (hepatocellular carcinoma=HCC) merupakan
tumor ganas hati primer yang berasal dari hepatosit, demikian pula dengan
karsinoma fibrolamelar dan hepatoblastoma (tumor ganas yang berasal dari
jaringan pembuluh darah, terjadi pada anak-anak umur <4tahun) . Tumor ganas
hati lainnya, kolangiokarsinoma (Cholangiocarcinoma= CC, merupakan tumor
ganas yang berasal dari epitel saluran empedu) dan sistoadenokarsinoma berasal
dari sel epitel bilier, sedangkan angiokarsinoma dan leimiosarkoma berasal dari
sel mesenkim. Dari seluruh tumor ganas hati yag pernah didiagnosis, 85%
merupakan HCC; 10% CC; dan 5% adalah jenis lainnya. Hepar merupakan tempat
yang lazim bagi metastasis kanker yang berasal dari gastrointestinal, terutama dari
daerah kolorektal (BudiHusodo, 2008).

B. Epidemilogi
HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta
menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan
sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan ketiga dari kanker sistem saluran
cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio
antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah
kanker pankreas. Secara geografis,di dunia terdapat tiga kelompok wilayah tingkat
kekerapan HCC, yaitu tingkat kekerapan rendah (kurang dari tiga kasus);
menegah (tingga ingga sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari sepuluh kasus per
100.000 penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia timur dan

65

Tenggara serta di Afrika Tengah, sedangkan yang terendah di Eropa Utara;


Amerika Tengah; Australia dan Selandia Baru (Tabel 1).

Tabel. Angka Insidens Kanker Hati per 100.000 Penduduk Berdasarkan


Jenis Kelamin Serta Wilayah Geografis
Wilayah Geografis

Angka Insidens
Laki-laki

Perempuan

Global

14,97

5,51

Afrika Timur

14,44

6,02

Afrika Tengah

24,21

12,98

Afrika Utara

4,95

2,68

Afrika Selatan

6,16

2,07

Afrika Barat

13,51

6,16

Asia Timur

35,46

12,6

Asia Tenggara

18,35

5,70

Asia Tengah Selatan

2,77

1,45

Asia Barat

5,60

2,04

Kepulauan Pasifik

12,98

6,38

Eropa Timur

5,8

2,55

Eropa Utara

2,61

1,39

Eropa Selatan

9,84

3,45

Eropa Barat

5,85

1,61

Karibea

7,58

4,17

Amerika Tengah

2,06

1,64

Amerika Selatan

4,80

3,68

4,11

1,68

3,60

1,19

Amerika Serikat dan


Kanada
Australia dan Selandia
Baru
(BudiHusodo, 2008)

66

Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di negara berkembang seperti
Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah (Sub-Sahara), yang diketahui
sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Di negara maju dengan
tingkat kekerapan HCC rendah atau menengah, prevalensi infeksi HCV
berkolerasi baik dengan angka kekerapan HCC. HCC jarang ditemukan pada usia
muda, kecuali di wilayah yang endemik infeksi HBV serta banyak terjadi
transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan HCC tinggi,
umur pasien HCC 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien HCC di wilayah
dengan angka kekerapan HCC rendah. Hal ini dapat dijelaskan antara lain karena
di wilayah dengan angka kekerapan tinggi, infeksi HBV sebagai salah satu
penyebab terpenting HCC, banyak ditularkan pada masa perinatal atau masa
kanak-kanak, kemudian terjadi HCC sesudah dua-tiga dasawarsa. Pada semua
populasi, kasus HCC laki-laki jauh lebih banyak (dua-empat kali lipat) daripada
kasus HCC perempuan. Di wilayah dengan angka kekerapan HCC tinggi, rasio
kasus laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki terhadap
timbulnya tumor, atau karena laki-laki lebih banyak terpejan oleh faktor risiko
HCC seperti virus hepatitis dan alkohol (BudiHusodo, 2008).

C. Faktor Risiko

Virus Hepatitis B (HBV)


Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya HCC terbukti

kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Umur saat terjadi
infeksi merupakan faktor risiko penting, karena infeksi HBV pada usia dini
berakibat akan terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenisitas HBV terhadap
hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein
spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit
dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.

67

Koinsidensi infeksi HBV dengan pejanan agen ongkogenik lain seperti aflatoksin
dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada hati non
sirotik). Transaktifasi beberapa promoter seluler atau viral tertentu oleh gen-x
HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi
protein yang disandi HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit.
Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme
protektif dari apoptosis sel. Genotipe HBV ditengarai memiliki kemampuan yang
berbeda dalam mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis
genotipe HBV semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan
genotipe C, genotipe B dihubungkan dengan serokonversi HBsAg yang lebih
awal, progresi ke sirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi
HCC (BudiHusodo, 2008).

Virus Hepatitis C (HCV)


Di wilayah dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan faktor

risiko penting dari HCC. Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis HCC
pada pasien yang bukan pengidap HBV. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi
HCV diduga melalui aktifitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati. Inflamasi
kronis oleh sebab infeksi HCV meningkatkan risiko HCC dengan pemicuan
fibrogenesis hati yang pada akhirnya berujung sirosis, melalui pengaktifan
transforming growth factor (TGF)-, di samping adanya kemungkinan induksi
transformasi ganas pada hepatosit sendiri oleh mutasi pada gen yang instabil
dalam kondisi inflamasi kronis tersebut (BudiHusodo, 2008).

Sirosis hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor risiko utama HCC di dunia dan

melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Sebagian besar HCC muncul dari
sirosis yang diinduksi baik oleh hepatitis kronis viral, penyakit hati alkoholik,
steatohepatitis non-alkoholik, hemokromatosis, ataupun gangguan metabolik.
Sirosis merupakan stadium akhir dari inflamasi kronis hati akibat berbagai
etiologi tadi. Inflamasi kronis yang meliputi kerusakan, regenerasi maupun

68

proliferasi sel ini memberi tempat bagi mutasi maupun ketidakstabilan gen, yang
pada gilirannya dapat memunculkan HCC (BudiHusodo, 2008).

Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur

Aspergillus. Dari percobaan binatang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.


Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen pertama dari
kelompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya ialah kemampuan AFB1
menginduksi mutasi pada kodon 249 dari gen supresor tumor p53. Toksisitas
AFB1 menyebabkan nekrosis hati dan proliferasi duktus biliaris Beberapa
penelitian menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan, Swaziland,
Cina dan Taiwan menunjukkan bahwa ada kolerasi kuat antara pajanan aflatoksin
pada diet dengan morbiditas dan mortilitas HCC (BudiHusodo, 2008).

Obesitas
Suatu penelitian kohort pospektif pada lebih dari 900.000 individu di

Amerika Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan


terjadinya peningkatan angka mortalitas sebesar 5 kali akibat kanker hati pada
kelompok individu dengan berat badan tertinggi (Indeks masa tubuh: IMT 35-40
Kg/m2) dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti
diketahui, obesitas merupakan faktor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver
disease (NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi HCC
(BudiHusodo, 2008).

Diabetes Melitus (DM)


Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan faktor risiko baik untuk

penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan
setatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan Insulinlike growth factors (IGFs) yang merupakan

69

faktor promotif potensial untuk kanker. Penelitian kohort besar oleh El Serag,
dkk. yang melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM
menemukan bahwa insidensi HCC pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan insidensi HCC kelompok bukan DM (BudiHusodo, 2008).

Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat

alkohol (>50-70g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita HCC


melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek karsinogenik
langsung dari alkohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko terjadinya sirosis
hati dan HCC pada pengidap infeksi HBV atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis
alkoholik terjadinya terjadinya HCC juga meningkat bermakna pada pasien
dengan HbsAg-positif atau anti HCV-positif. Ini menunjukkan adanya peran
sinergistik alkohol terhadap infeksi HBV maupun infeksi HCV. Efek hepatotoksik
alkohol bersifat dose-dependent, sehingga asupan sedikit alkohol tidak
meningkatkan terjadinya risiko HCC (BudiHusodo, 2008).

Faktor Risiko Lain


Selain yang telah disebutkan di atas, bahan atau kondisi lain yang

merupakan faktor risiko HCC tetapi lebih jarang dibicarakan/ditemukan, antara


lain: 1) penyakit hati autoimun (hepatitis autoimun; PBC/Sirosis bilier primer); 2)
penyakit hati metabolik (hemokromatosis genetik; defisiensi antitripsin-alfa1;
penyakit wilson); 3) kontrasepsi oral; 4) senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida;
nitrosamin; insektisida organoklorin; asam tanik); 5) tembakau (masih
kontroversial) (BudiHusodo, 2008).

D. Patogenesis Molekular HCC


Patogenesis

pasti

HCC

tidak

diketahui.

Namun

jelas

bahwa

hepatokarsinogenesis merupakan suatu proses bertingkat yang melibatkan


interaksi antara faktor eksogen dan faktor endogen, mekanisme karsinogen

70

langsung (misalnya bahan kimia tertentu dan karsinogenesis virus (HBV)) dan
karsinogenik tidak langsung (misalnya nekroinflamasi kronis; lihat Gambar 1).
Proses nekroinflamasi kronis ditandai oleh destruksi berulang parenkim hepar
yang disertai stimulasi regenerasi dan remodelling hepar yang terus-menerus.
Bahan-bahan sitokin dan imunomodulator seperti interleukin, interferon, tumor
necrosis factor-, protease, dan faktor-faktor pertumbuhan dilepaskan dan dapat
memicu timbulnya fokus-fokus praganas dari hepatosit yang mengalami displasia
yang dapat berujung pada transformasi ganas. Patogenesis molekuler HCC
tidaklah seragam. HCC adalah tumor yang secara genetik sangat heterogen,
dengan abnormalitas kromosom yang multipel walaupun tidak semuanya
terekspresi pada suatu HCC. Mutasi gen DNA, modifikasi epigenetik dari gen
supresor tumor, kerentanan genetik akibat polimorfisme genetik dalam enzimenzim yang memetabolisme obat, berbagai faktor pertumbuhan (seperti misalnya
insulin-like growth factors, epidermal growth factors/EGF, transforming growth
factor-/TGF-)

tampaknya

memiliki

peran

dalam

patogenesis

HCC

(BudiHusodo, 2008).
Apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi
melalui peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera
(injury) dengan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan keruskan oksidartif
DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan
kromosom, aktivasi onkogen seluler atau inaktivasi gen supresor tumor, yang
mungkin bersama dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi
telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis
virus kronik, alkohol dan penyakit hati metabolik seperti hemokromatosis dan
defisiensi antitripsin-alfa1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui
jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Dilaporkan bahwa HBV dan
mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu juga berperan langsung pada
patogenesis molekular HCC. Aflatoksin dapat menginduksi mutasi pada gen
supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berperan
pada tingkat molekular untuk berlangsungnya proses hepato karsinogenesis
(BudiHusodo, 2008).

71

Skema patogenesis HCC merupakan proses bertingkat (Dancygier H.


Clinical Hepatology Vol.2, 2010).

E. Manifestasi Klinis
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC ditemukan tersering pada
median umur antara 50 dan 60 tahun, dengan predominasi pada laki-laki. Rasio
antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6:1. Manifestasi klinisnya
sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas
dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau
perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen. Pasien sirosis hati yang
makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas; atau
teraba pembengkakan lokal di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian
pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma
setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg
atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga
harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu,
penurunan berat badan dengan atau tanpa demam (BudiHusodo, 2008).
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau
diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan
diafragma, atau karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar pasien HCC
sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompenasai, maupun

72

yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia,


penurunan berat badan dan ikterus (BudiHusodo, 2008).
Temuan fisi tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa
bruit hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari
pasien yang dirujuk ke rumah sakit krena perdarahan varises esofagus atau
peritonitis bakteri spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu
laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita
asites hemoragi, yang jarang ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10%
hingga 40% pasien dapat ditemukan hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya
produksi enzim beta-hidroksimetilglutaril koenzim-A reduktase, karena tiadanya
kontrol umpan balik yang normal pada sel hepatoma (BudiHusodo, 2008).

F. Pemeriksaan Kanker Hepar


Untuk menegakkan diagnosis kanker hepar diperlukan pemeriksaan yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti misalnya
imaging test menggunakan ultrasound, computed tomography (CT), Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Bisa juga menggunakan test dan prosedur lain seperti
laparoscopy dan biopsy serta pemeriksaan laboratorium.

Anamnesis

Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul,terus-menerus,
kadang-kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada
pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut
membuncit karena adanya asites. Dan keluhan yang paling umum yaitu merasa
badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang.

Pemeriksaan Fisik

Bila pada palpasi abdomen teraba hepar membesar, keras yang berbenjolbenjol, tepi tumpul lebih diperkuat, bila pada auskultasi terdengar bising
pembuluh darah maka dapat diduga sebagai kanker hepar.

Pemeriksaan Penunjang

73

Pemeriksaan Laboratorium
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang
disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran
gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL.
Kadar AFP meningkat pada 60% samapi 70% dari pasien HCC, dan kadar
lebih dari 400ng/mL adalah diagnostik atau sangat sugestif untuk HCC.
Nilai normal dapat ditemukan juga pada HCC stadium lanjut. Hasil
positif-palsu dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada
kehamilan (20-150ng/mL).
Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy
prothrombin(DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat hingga 91%
pada pasien HCC, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Kadar normalnya <
7,5ng/mL. Ada beberapa lagi penanda HCC, seperti AFP-L3 (suatu
subfraksi AFP) yang meningkat 10% pada pasien HCC, alfa-Lfucosidase serum, dll., tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitifitas
& spesifitas melibihi AFP, AFP-L3, dan PIVKA-2 (BudiHusodo, 2008).
Imaging test
a) Ultrasonografi Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis
hati dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk
tumor kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada
AFP serum berulang. Sensitifitas USG untuk neoplasma hati berkisar
antara 70% hingga 80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil
adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (berhalo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta
penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor metastasis, HCC dengan
diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin
yang khas. USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC
dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas-belakang lobus

74

kanan mungkin tidak dapat terdeksi oleh USG. Demikian juga yang
berukuran terlalu kecil dan isoekoik. (BudiHusodo, 2008).

b) Computed Tomography Scan


CT Scan adalah pemeriksaan kanker dengan menggunakan
prinsip daya tembus sinar-X digunakan untuk mendeteksi ukuran, jumlah
tumor, lokasi dan sifat kanker hepar dengan tepat. Pemeriksaan dengan CT
scann letak kanker dengan jaringan tubuh sekitarnya terlihat jelas, dan
kanker yang paling kecil pun sudah dapat terdeteksi.
CT-scan telah banyak digunakan untuk melakukan karakterisasi
lebih lanjut dari tumor hati yang dideteksi melalui ultrasonografi. CT-scan
dan angiografi dapat mendeteksi tumor hati yang berdiameter 2 cm.
Walaupun ultrasonografi lebih sensitif dari angiografi dalam mendeteksi
karsinoma hati, tetapi angiografi dapat lebih memberikan kepastian
diagnostik oleh karena adanya hipervaskularisasi tumor yang tampak pada
angiografi. Dengan media kontras lipoidol yang disuntikkan ke dalam
arteria hepatika, zat kontras ini dapat masuk ke dalam nodul tumor hati.
Dengan melakukan arteriografi yang dilanjutkan dengan CT-scan,
ketepatan diagnostik tumor akan menjadi lebih tinggi.

c) Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI

adalah

pemeriksaan

kanker

dengan

menggunakan

gelombang magnet (nonradiasi). Pemeriksaan dengan MRI dilakukan bila


ada gambaran CT scann yang masih meragukan atau pada penderita ada
risiko bahaya radiasi sinar-X. MRI dapat menampilkan dan membuat
peta pembuluh darah kanker hepar serta menampilkan saluran empedu
dalam hepar, memperlihatkan struktur internal jaringan hepar dan
kanker hepar.
Magnetic resonance (MR) imaging umum digunakan secara rutin
untuk screening penderita-penderita dengan sirosis. Pada studi yang
dilakukan oleh Krinsky dkk

menguji sensitivitas dan spesifisitas dari

75

sarana tes ini untuk KHS dan nodul displastik pada sirosis hati. Hasil studi
menunjukkan sensitivitas untuk diagnosis KHS dilaporkan hanya sebesar
53% saja. Hal ini disebabkan karena lesi-lesi yang tidak terdeteksi tersebut
kebanyakan mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3 cm. Sebaliknya,
nodul displastik derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun
terdiagnosis sebagai KHS karena adanya arterial phase enhancement.
Dengan demikian, diperlukan kriteria lain selain arterial phase
enhancement untuk membedakan nodul displastik dari KHS yang kecil.
Pemeriksaan Lainnya
a) Laparoscopy
Pada prosedur ini dokter memasukkan tabung kecil dan bercahaya
dengan kamera video kecil di ujung, melalui sayatan kecil pada perut
untuk melihat hati dan organ internal lainnya. Laparoscopy dapat
membantu dalam perencanaan operasi dan treatment lainnya dan dapat
membantu dokter untuk menentukan stadium pada kanker.

b) Biopsy
Merupakan prosedur mengambil sampel dari jaringan untuk dilihat
apakah ada sel

kanker. Namun dalam beberapa kasus, dokter tidak

membutuhkan biopsy jika hasil tes pada CT scan dan MRI sudah cukup
meyakinkan jika pasien menderita kanker hepar.

c) Strategi Skrining dan Surveilans


Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostik
pada populasi umum, sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang
pemeriksaan diagnostik pada populasi yang berisiko untuk suatu penyakit
sebelum ada bukti bahwa penyakit tersebut sudah terjadi. Karena sebagain
dari pasien HCC, dengan atau tanpa sirosis, adalah tanpa gejala, untuk
mendeteksi dini HCC diperlukan strategi khusus terutama bagi pasien
sirosis hati dengan HbsAg atau anti-HCV positif. Berdasarkan atas
lamanya waktu penggandaan (doubling time) diameter HCC yang berkisar

76

antara 3 sampai 12 bulan (rerata 6 bulan), dianjurkan untuk melakukan


pemeriksaan AFP serum dan USG abdomen setiap 3 hingga 6 bulan bagi
pasien sirosis maupun hepatitis kronik B atau C. Cara ini di Jepang
terbukti dapat menurunkan jumlah pasien HCC yang terlambat dideteksi
dan sebaliknya meningkatkan identifikasi tumor kecil (dini). Namun
hingga kini masih belum jelas apakah dengan demikian juga terjadi
penurunan mortalitas (liver-related mortality) (BudiHusodo, 2008).

Kelompok yang dianjurkan untuk diperiksa (surveilans) kadar AFP


serum dan USG abdomen setiap enam bulan (Dancygier H. Clinical
Hepatology Vol.2, 2010).

G. Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebih dari 2 cm, adanya penyakit hati
kronik, hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT scan atau MRI) serta
kadar AFP serum 400ng/mL adalah diagnostik untuk HCC (Tabel 2). Diagnosis
histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi berdiameter > 2 cm)
dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi. Untuk tumor
berdiameter < 2cm, sulit menegakkan diagnosis secara non-invasif karena berisiko

77

tinggi terjadinya diagnosis negatif palsu akibat belum matangnya vaskularisasi


arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan biopsi tidak diperoleh diagnosis
definitif, sebaiknya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan imaging serial setiap 3
bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan.

Tabel 11. Kriteria Diagnostik HCC Menurut Barcelona EASL Conference


Kriteria sito-histologis
Kriteria non-invasif (khusus untuk pasien sirosis hati):
Kriteria radiologis: koinsidensi 2 cara imaging (USG/CT-spiral/MRI/angiografi)

Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial

Kriteria kombinasi: satu cara imaging dengan kadar AFP serum

Lesi fokal > 2 cm dengan hipervaskularisasi arterial

Kadar AFP serum 400ng/Ml

H. Sistem Staging
Dalam staging klinis HCC terdapat pemilihan pasien atas kelompokkelompok yang prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi
dan radiologi pilihan yang tersedia. Sistem staging yang ideal seharusnya juga
mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan
umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien
sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan
untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah
sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (Gamber 3.), tetapi sistem ini tidak
ditujukan untuk penilaian sistem staging HCC. Beberapa sistem yang dapat
dipakai untuk staging HCC adalah:
-

Tumor-Node-Metastases (TNM) Staging System

Okuda Staging System

Cancer of The Liver Italian Program (CLIP) Scoring System

Chinese University Prognostic Index (CUPI)

Barcelona Clinic Liver Cancer (BCLC) Staging System


78

Sistem staging menurut BCLC ( Lau WY, A Book on Hepatocellular


Carcinoma,2008)

Berdasarkan cancer.org, tingkat penyakit (stadium) kanker hepar terdiri dari :

Stadium I
Satu fokal tumor berdiameter 3 cm yang terbatas hanya pada salah satu
segmen.

Stadium II
Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm, tumor terbatas pada segmen I
atau multifokal tumor terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hepar.

Stadium III
Tumor pada segmen I meluas ke lobus kiri (segmen IV) atau ke lobus
kanan segmen V dan VIII atau tumor dengan invasi periferal ke
sistem pembuluh darah atau pembuluh empedu tetapi hanya terbatas
pada lobus kanan atau lobus kiri hepar.

Stadium IV

79

Multifokal tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hepar atau
invasi tumor ke dalam pembuluh darah hepar ataupun pembuluh
empedu atau invasi tumor ke pembuluh darah di luar hepar seperti
pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior atau
adanya metastase keluar dari hepar.

I. Terapi
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan
multi-nodularitas, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu kanker ini
juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan
terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor,
serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem skor ChildPugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Telaah
mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya
penelitian dengan kontrol yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi
ablatif lokoregional, di samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok
kontrol pada berbagai penelitian individual. Berikut adalah algoritma terapi dalam
penatalaksanaan HCC:

80

BCLC Staging system and Treatment Strategy (EASL-EORTC Clinical


Practice Guidelines, 2012).
Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai
fungsi hati normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatik. Namun untuk
pasien sirosis diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya
gagal hati yang dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat
digunaan untuk seleksi adalah Child-Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar
bilirubin serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal
tanpa hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup 5 tahunnya dapat mencapai
70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik, HCC
difus atau multifokal, sirosis stadium lanjut dan penyakit penyerta yang dapat
mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi (BudiHusodo, 2008).
Transplantasi Hati
Bagi pasien HCC dan sirosis hati, transplantasi hati memberikan
kemunginan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan parenkim hati yang
mengalami disfungsi. Kematian pasca transplantasi tersering disebabkan oleh

81

rekurensi tumor di dalam maupun di luar transplan. Rekurensi tumor bahkan


mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan. Tumor yang
beridameter <3cm lebih jarang kambuh dibandingkan dengan tumor yang
diameternya >5cm. Untuk seleksi pasien HCC calon penerima transplan, secara
umum digunakan kriteria Milan, yaitu pasien dengan lesi tunggal berukuran 5
cm, atau lesi kurang dari 3 buah dan masing-masing berukuran 3 cm. Di Eropa,
Barcelona Clinic Liver Cancer Staging and Treatment Approach telah menyusun
bagan alur klasifikasi HCC beserta penatalaksanaannya, seperti tampak pada
Gambar 8. Berdasarkan kriteria ini, pasien HCC dibagi menjadi stadium sangat
dini, dini, menengah, lanjut, dan terminal. Transplantasi hati diperuntukkan pasien
HCC stadium sangat dini dengan peningkatan tekanan vena porta dan stadium
dini tanpa penyulit. Pasien HCC penerima transplantasi hati sesuai algoritma ini
dilaporkan memiliki angka survival lima tahun sebesar 60-70% (BudiHusodo,
2008).
Ablasi Tumor Perkutan
Destruksi dari sel neoplastik dapat dicapai dengan bahan kimia (alkohol,
asam asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave,
laser, dan cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih
untuk tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah, dan relati
murah. Dasar kerjanya adalah dengan menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi
vaskular dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter <5cm) pada pasien sirosis
Child-Pugh A, kesintasan 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk
pasien dengan tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis
hati non-Child A.
Radiofrequency Ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang
lebih tinggi daipada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang >3cm, namun
tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu, RFA lebih
mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI. Guna
mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik selama 12
bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi pada bulan ke-38 secara

82

bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo (kelompok plasebo 49%;


kelompok terapi PEI atau reseksi kuratif 22%) (BudiHusodo, 2008).
TACE(Transarterial Chemoembolization)
Sebagian besar pasien HCC didiagnosis pada stadium menengah-lanjut
yang tidak ada terapi standarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini
hanya TAE/TACE (transarterial embolization/chemo embolization) saja yang
menunjukkan penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan
hidup pasien dengan HCC yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3-4 kali
setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik serta tumor
multinodular asimtomatik tanpa invasi vaskuler atau penyebaran ekstrahepatik,
yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya pada pasien yang dalam
keadaan gagal hati, serangan iskemik akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek
samping yang berat.
Kemoembolisasi Transarterial (=Transarterial Chemoembolization/TACE)
HCC adalah suatu tumor yang kaya vaskularisasi, terutama dari arteria hepatika
yang mengalirkan sekitar 80-90% suplai darah HCC (sisanya oleh vena porta).
Sebaliknya parenkim hati non-tumor mendapatkan mayoritas suplai darah dari
vena porta. Berdasarkan pemahaman ini, dikembangkan terapi TACE yang
menggunakan kateterisasi selektif arteria hepatika untuk memasukkan kemoterapi
regional, kemudian mengembolisasi arteria yang memberi suplai darah bagi tumor
(tumor-feeding artery). Pemberian kemoterapi secara selektif ini bertujuan untuk
meningkatkan konsentrasi bahan kemoterapi pada tumor dan untuk mengurangi
paparan sistemik. Kemoterapi (yang sering digunakan adalah preparat cisplatin,
doxorubicin, mitomycin C, atau kombinasi dari bahan-bahan ini) Untuk
kemoembolisasi yang aman, suplai darah bagi jaringan hati non-tumor dari vena
porta haruslah adekuat. Karena itu, adanya trombosis cabang utama vena porta
merupakan kontraindikasi. Kontraindikasi lain meliputi metastasis ekstrahepatik,
tumor hati yang besar (>50% ukuran hepar), sirosis hati yang lanjut, dan kondisi
umum yang buruk (skor Child-Pugh 8, kadar bilirubin serum >50 mol/L).
Keluhan pasien yang mengikuti tindakan embolisasi meliputi sindroma yang

83

terdiri atas nyeri abdomen, demam, keluhan yang menyerupai flu, kelemahan
umum, ataupun mual, yang biasanya membaik spontan dalam 2 4 hari,
walaupun pada beberapa pasien dapat berlanjut menjadi abses hati. Komplikasi
meliputi komplikasi pada tempat injeksi (<5% tindakan, meliputi hematoma,
perdarahan, trombosis) dan komplikasi terkait tindakan (1-5% tindakan, meliputi
infeksi/abses, gagal hati akut, netropenia) (BudiHusodo, 2008).

Terapi Sistemik
Banyak studi yang meneliti terapi sistemik untuk HCC, khususnya pada

pasien yang inoperabel, dan banyak pula yang hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Terapi kemoterapi sistemik yang diberikan dapat digolongkan
ke dalam beberapa kelompok, antara lain:
1. Kemoterapi sitotoksik
Meliputi etoposide, doxorubicin, epirubicin, cisplatin, 5-fluorouracil,
mitoxantrone, fludarabine, gemcitabine, irinotecan, nolatrexed).
2. Terapi hormonal
Estrogen secara in vitro terbukti memiliki efek merangsang proliferasi
hepatosit, dan secara in vivo bisa memicu pertumbuhan tumor hepar. Obat
antiestrogen, tamoxifen, dipakai karena bisa menurunkan jumlah reseptor
estrogen di hepar. Namun hasil studi random fase III yang dilakukan oleh
Barbare ternyata tidak menunjukkan peningkatan survival.
3. Terapi somatostatin (ocreotide, lanreotide)
Somatostatin memiliki aktivitas antimitosis terhadap berbagai tumor nonendokrin, dan sel-sel HCC memiliki reseptor somatostatin. Karena itu
analog somatostatin dipakai untuk menangani pasien dengan HCC yang
lanjut. Sebuah penelitian random awal oleh Kouroumalis dkk. menunjukkan
perbaikan survival pada pasien yang diberi terapi ocreotide secara subkutan,
namun studi lainnya oleh Becker dkk. menunjukkan tidak ada peningkatan
survival pada pemberian ocreotide aksi lama (lanreotide).
4. Terapi dengan thalidomide (sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan
epirubicin atau interferon)

84

Thalidomide yang awalnya dikembangkan pada tahun 1960-an sebagai


sedatif, baru-baru ini dievaluasi ulang perannya untuk obat antikanker.
Penggunaannya pada pasien HCC lanjut terutama berdasarkan efek antiangiogeniknya. Studi fase II telah dibuat untuk mengukur kemangkusan
thalidomide sebagai terapi tunggal atau dalam kombinasi dengan epirubicin
atau dengan interferon menunjukkan aktivitas yang terbatas pada
pengobatan HCC.
5. Terapi interferon
Interferon yang biasa dipakai untuk terapi hepatitis viral telah dicobakan
untuk pengobatan HCC. Mekanisme terapinya ada beberapa, meliputi efek
langsung antivirus, efek imunomodulasi, serta efek antiproliferasi langsung
maupun tak langsung.Beberapa studi awal menunjukkan pemberian
interferon dosis tinggi meningkatkan angka survival, namun ada toksisitas
karena obat pada penerimanya. Penelitian lain menunjukkan bahwa
pemberian interferon dosis rendah tidak menunjukkan efek perbaikan yang
bermakna.
6. Molecularly targeted therapy
Erlotinib yang merupakan inhibitor tirosin-kinase yang bekerja pada
reseptor EGF (epidermal growth factor), menunjukkan kemangkusan
sebagai pengobatan HCC lanjut. Sunitinib adalah inhibitor tirosin-kinase
multitarget dengan kemampuan antiangiogenesis pula. Sebuah studi fase II
memperlihatkan pemberian sunitinib pada pasien HCC yang inoperabel
memberikan hasil survival keseluruhan sebesar 9,8 bulan.Sorafenib adalah
inhibitor multi-kinase oral yang menghambat proliferasi sel tumor dengan
membidik jalur sinyal intrasel pada tingkat Raf-1 dan B-raf serin-treoninkinase dan juga menghasilkan efek anti-angiogenik dengan membidik
reseptor EGF (endothelial growth factor) 1, 2, dan 3 serta reseptor platelet
derived growth factor dari tirosin-kinase beta. Obat ini cukup mahal, namun
manfaat klinisnya masih sangat terbatas. (Lau, 2008)

85

J. Komplikasi Yang Mungkin Terjadi Pada Penderita Kelainan Fungsi


Hepar

Mual dan muntah


Mual muntah pada pasien kelainan fungsi hepar diperantarai oleh
gangguan siklus urea di hati, yang menyebabkan tingginya kadar amonia
di darah. Amonia merupakan salah satu hasil penguraian protein didalam
tubuh yang bersifat toksik apabila terakumulasi didalam tubuh. Pada
kondisi normal, amonia diubah menjadi urea dan dieksresikan melalui
ginjal (McPhee et al., 2000). Proses biotransformasi amonia menjadi urea
terjadi di hati dengan beberapa bantuan enzim yang dihasilkan hepatosit.
Biotransformasi amonia terjadi di hepatosit, tepatnya di matriks
mitokondria (reaksi 1 oleh karbamoil fosfat sintase I dan reaksi 2 oleh
ornitin transkarbamoilase) dan sitosol (reaksi 3 : asam argininosuksinat
sintetase, reaksi 4 : argininosuksinase, reaksi 5 : arginase) (Murray et al.,
2003). Pada kondisi Hepatocellular carcinoma terjadi perubahan
histofisiologi hepatosit, sehingga proses biotransformasi amonia menjadi
urea terganggu. Akibatnya, terjadi kenaikan kadar amonia yang berada di
darah. Amonia merupakan senyawa lipofilik yang dapat menembus sawar
darah otak. Kemudian, amonia yang menembus sawar darah otak tersebut
akan mengaktivasi CTZ (Chemoreceptor Trigger Zone) yang berada di di
area postrema pada lantai ventrikel keempat susunan saraf pusat. Aktivasi
CTZ menyebabkan rangsangan mual, apabila hal ini terjadi berulangkali
maka akan memberikan rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre)
sehingga memicu muntah (Cagnon et al., 2007). Oleh karena itu, pasien
sering merasa mual dan ingin muntah.

Batu empedu (cholelithiasis)


Batu empedu

merupakan massa inorganik yang terbentuk di dalam

kandung empedu, kadang-kadang terdapat dalam duktus koledokus atau


duktus hepatikus. Batu empedu dapat menyebabkan sakit secara tibatiba pada bagian kanan atas perut (kolik bilier) saat batu empedu

86

menghambat pada saluran empedu. Batu empedu terbentuk karena


ketidakseimbangan zat yang ada dalam empedu yaitu tingginya
kolesterol dan bilirubin serta kurangnya garam empedu.
Jenis Batu Empedu
1. Batu Kolesterol
Merupakan jenis batu yang terbanyak dan mengandung lebih dari 50%
kolesterol (51-99%), sisanya kalsium karbonat, fosfat, bilirubinat,
fosfolipid, glikoprotein, dan mukopolisakarida. Ada 3 mekanisme
utama yang berperan dalam pembentukan batu kolesterol yaitu
perubahan

komposisi

empedu,

nukleasi

(pembentukan

inti)

kolesterol dan gangguan fungsi kandung empedu.


2. Batu Pigmen
Jenis batu empedu yang komponen

utamanya berupa kalsium

bilirubinat (40-60%) sedangkan kadar kolesterolnya kurang dari 30%.


Terdiri dari batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat. Batu Pigmen
Hitam terbentuk dari kalsium bilirubinat atau garam kalsium

dan

glikoprotein musin. Intinya mengandung belerang dan tembaga


dalam kadar yang tinggi. Batu pigmen coklat terbentuk dari garam
kalsium dari billirubin tak terkonjugasi dengan sedikit kolesterol dan
protein. Batu empedu ini sering terdapat pada saluran empedu
disebabkan obstruksi dan biasanya ditemukan pada kondisi dimana
terdapat infeksi empedu.

Ascites
Asites biasa disebut sebagai kantung air atau kantung anggur yang
merupakan patofisiologi dari akumulasi cairan limfa didalam ruang
peritoneal. Asites adalah komplikasi paling awal pada sirosis. Mekanisme
terjadinya asites adalah multifaktorial. Hipertensi portal berat dan
insufisiensi hepatik menyebabkan vasodilatasi ateri splanchnic dan
menurunkan resistensi periferal. Hasil dari hipotensi sistemik tersebut
menyebabkan aktivitas dari sistem syaraf simpatis dan sistem renin-

87

angiotensin-aldosteron (RAAS), yang menyebabkan peningkatan retensi


sodium dan air serta peningkatan produksi vasokonstriktor. Kenaikan
resitensi pembuluh darah menyebabkan pelepasan vasokontriktor.
Sebaliknya pembuluh darah splanikus mengalami vasodilatasi dan
menyebabkan aliran darah cepat dari arteri menuju hepar dan organ
splanik

lainnya.

Tekanan

hidrostatik

meningkat

menyebabkan

permeabilitas tinggi sehingga terjadi produksi getah bening yang


berlebihan dan mengakibatkan kebocoran. Cairan bocor terakumulasi
dalam rongga perut, membentuk ascites.

Anemia hemolitik
Hepar merupakan organ yang penting dalam tubuh yang turut
mempertahankan sistem hemopoesis. Apabila fungsi hepar terganggu,
maka sistem hemopoesis akan terganggu juga, sehingga dalam kondisi
sirosis, anemia dapat terjadi. Anemia sering ditemukan pada pasien dengan
sirosis hepar sekitar 60-75%. Etiologinya bermacam-macam antara lain
defisiensi asam folat, hemolisis, hipersplenisme, kegagalan sumsum tulang
dan faktor penyakit hepar sendiri. Pada beberapa penelitian, sering
ditemukan masa hidup eritrosit memendek pada penderita sirosis hepar.
Pada kondisi sirosis, terjadi perubahan yang khas pada lipid
membran eritrosit dimana rasio kolesterol dan fosfolipid membran eritrosit
berubah dan sebagai akibatnya terbentuk kelainan morfologi eritrosit
berupa makrosit (eritrosit yang berukuran lebih dari 8 um) yang tipis,
target sel dan makrosit tebal. Saat penyakit semakin parah, penimbunan
kolesterol dalam membran eritrosit tanpa disertai penimbunan lesitin
(komponen fosfolipida utama berbagai membrane sel,) mengakibatkan
terbentuknya spur sel sehingga umur eritrosit memendek karena terjadi
hemolisis. Hal ini menandakan penyakit sudah semakin parah dan
prognosisnya jelek. Selain itu, hemolisis juga terjadi akibat abnormalitas
metabolisme eritrosit,serta adanya hipersplenisme yang mengakibatkan
umur eritrosit memendek. Anemia hemolitik merupakan anemia yang

88

disebabkan oleh pemecahan eritrosit yang meningkat. Biasanya pada


pasien sirosis, tipe anemia inilah yang sering terjadi. Masa hidup sel
eritrosit normalnya dalam sirkulasi darah berkisar antara 100-120 hari.
Setelah 120 hari, eritrosit mengalami penghancuran oleh sistem
RE(Retikulo Endotel) 9 m terutama di limpa. Proses penghancuran yang
lebih cepat dari rentang waktu normalnya, mengakibatkan umur eritrosit
lebih pendek. Hal ini terjadi pada pasien sirosis disertai dengan kondisi
hipersplenisme, dimana banyak darah yang masuk dalam limfa dan
eritrosit dihancurkan disana mengakibatkan umur eritrosit lebih pendek
dan ditemukan splenomegali diakibatkan karena absorbsi sel darah
yang telah mati secara berlebihan oleh limpa. Selain itu, ketidakmampuan
sumsum tulang meningkatkan produksi eritrosit yang cukup sebagai
kompensasi dari umur eritrosit yang memendek mengakibatkan terjadinya
anemia hemolitik. Apabila sumsum tulang normal, maka sumsum tulang
akan mampu untuk mengompensasi berkurangnya umur eritrosit 4-6 kali
dan mencegah terjadinya anemia disebut hemolitik kompensasi.
Pada pasien sirosis disertai dengan kondisi hipertensi portal maka
akan terjadi penambahan volume plasma yang mengakibatkan hemodilusi.
Sedangkan pada pasien sirosis hepar akibat konsumsi alkohol, terjadi
penekanan hemopoesis karena alkohol bersifat toksik terhadap sumsum
tulang. Konsumsi alkohol secara kronis menyebabkan gangguan
metabolisme asam folat (defisiensi asam folat) ditandai dg adanya anemia
megaloblastik yaitu kekurangan vitamin B12, asam folat dan gangguan
sintesis DNA, terjadinya pendarahan dan umur eritrosit yang pendek
(anemia hemolitik).

Defisiensi Vitamin D
Defisiensi vitamin D juga kerap sekali terjadi pada penderita
gangguan hepar. Vitamin D dari makanan setelah diserap bagian
proksimal usus halus. Setelah diserap, vitamin D digabungkan dengan
kilomikron dan diangkut dalam sistem limfatik. Dari sistem limfatik,

89

vitamin D dilepaskan, dari kilomikron dan masuk ke saluran darah. Di


dalam plasma darah, vitamin D diikat oleh suatu protein pentransport,
yaitu vitamin D-binding protein (DBP) atau globulin. Melalui saluran
darah

tersebut,

vitamin

ditransportasikan

ke

hati

dan

oleh

mikrosom/mitokondria hati, vitamin D3 dihidroksilasi pada posisi ke-25,


menjadi kalsidiol (calcidiol, atau 25-hidroksi-kolekalsiferol/ 25-hidroksi
vitamin D3 ) dengan bantuan enzim 25-D3-hidroksilase yang selanjutnya
diubah

di

ginjal

menjadi

kalsitriol.

Kalsitriol

berperan

dalam

meningkatkan uptake kalsium dan fosfor yang dibutuhkan untuk


meneralisasi tulang. Ketika terjadi gangguan hepar tentunya mekanisme
ini tidak berlangsung seperti semestinya, kalsidiol tidak terbentuk
sehingga tidak dapat diubah menjadi kalsitriol sehingga penderita
gangguan hepar mengalami gangguan mineralisasi tulang yang akan
meningkatkan resiko terjadinya riketsia pada anak-anak, dan pada orang
dewasa dapat terjadi osteomalasia dan osteoporosis.

Defisiensi vitamin K
Vitamin K adalah koenzim dalam proses sintesis faktor pembekuan
darah antara lain II, VII, IX dan X.Vit. K merupakan senyawa yang
bersifat lipofil dan agar ia dapat diabsorbsi perlu bantuan empedu
untuk emulsifikasi. Tetapi, empedu tidak dapat terbentuk karena
empedu berasal dari metabolisme kolesterol. Sedangkan sel-sel hepar
tidak dapat melakukan metabolisme tsb. sehingga pada akhirnya vit. K
tidak dapat diabsorbsi dan faktor II, VII, IX dan X tidak terbentuk. Faktor
pembekuan darah diproduksi oleh hepar, jika hepar mengalami kerusakan
maka faktor pembekuan darah tidak akan terbentuk.

2.3.6 Asites
Asites merupakan penimbunan cairan secara abnormal pada rongga
peritoneum. Penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui
dua mekanisme, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang berhubungan

90

dengan sirosis dan hipertensi porta terjadi melalui proses transudasi. Asites
melalui proses transudasi paling sering dijumpai di Indonesia (Hirlan, 2006).

Patofisiologi
Patofisiologi asites transudasi terdiri dai beberapa teori, yaitu underfilling,
overfilling, dan peripheral vasodilatation. Menurut teori underfilling berawal
dari

cairan

plasma

yang

menurun

karena

hipertensi

porta

dan

hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningkatkan hidrostatik venosa dan


hipoalbuminemia akan menyebabkan transudasi. Hal tersebut menyebabkan
cairan intravascular menurun. Oleh karena itu, ginjal akan melakukan
reabsorbsi air dan garam melalui mekanisme neurohormonal. Tapi teori ini
tidak sesuai dengan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pasien
sirosis

hati

terjadi vasodilatasi

perifer, peningkatan volume

cairan

intravascular, dan curah jantung (Hirlan, 2006).


Menurut teori overfilling asites dimulai dari ekspansi cairan plsma akibat
reabsorbsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi ini terjadi akibat peningkatan
aktifitas hormone antidiuretik (ADH) dan penurunan aktifitas hormone
natriuretik karena penurunan fungsi hati. Namun, teori ini gagal menjelaskan
gangguan neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites (Hirlan,
2006).
Evolusi dari kedua teori di atas adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut
teori ini, faktor patogenesis pembentukan asites adalah hipertensi porta disebut
sebagai factor local dan gangguan fungsi ginjal disebut sebagai factor
sistemik. Hipertensi porta terjadi karena resistensi system porta akibat
vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid.

Peningkatan resistensi vena porta

yang diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilator endogen.


Peningkatan resistensi system porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah
akibat vasodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi
menetap. Hipertensi porta akan meningkatkan transudasi terutama di sinusoid
dan selanjutnya kapiler usus. Transudate akan terkumpul pada rongga
peritoneum. Vasodilator endogen yang dicurigai berperan, antara lain:
glucagon, nitric oxide (NO), calcitonine gene related peptide (CGRP),

91

endotelin, factor natriuretic atrial (ANF), polipeptida vasoaktif intestinal


(VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan tumor necrosis factor (TNF)
(Hirlan, 2006).
Vasodilator endogen akan mempengaruhi sirkulasi aterial sistemik,
terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga terjadi proses underfilling
relative. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktifitas system syaraf
simpatik, system renin-angiotensin-aldosteron dan arginine vasopressin.
Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorbsi air dan garam oleh ginjal
dan peningkatan indeks jantung (Hirlan, 2006).
Sirosis/ hipertensi porta

Nitric oxide

Vasodilatasi sistemik/splangnik

volume arteri

Aktivasi system renin angiotensin aldosteron

Sirkulasi hiperdinamik

Retensi natrium dan air

Vasokonstriksi renal

Asites

Bagan patofisiologi asites (Dipiro, 2014)


Hipertensi porta dan insufisiensi hepar mendorong terjadinya vasodilatasi
arteri splangnik dan menurunkan tahan resisten perifer. Hasil dari hipotensi
sistemik tersebut menyebabkan aktivitas dari system syaraf simpatis dan
system

rening

angiotensin

aldosterone

(RAAS),

yang

menyebabkan

peningkatan retensi sodium dan air serta peningkatan produksi vasokonstriktor.

92

Kenaikan resistensi pembuluh darah meningkat pada area yang banyak


pembuluh darah (ginjal, otak, kulit, dan otot) menyebabkan pelepasan
vasokonstriktor. Sebaliknya pembuluh darah splanikus mengalami vasodilatasi
dan menyebabkan aliran darah cepat dari arteri menuju hepar dan organ splanik
lainnya. Tekanan hidrostatik yang meningkat menyebabkan permeabilitas
tinggi sehingga terjadi produksi getah bening yang berlebihan dan
mengakibatkan kebocoran. Cairan akibat kebocoran terakumulasi dalam rongga
perut, membentuk asites (Dipiro, 2014).

Diagnosis
Pada pemeriksaan pasien dengan asites akan tampak perut membuncit
seperti perut katak. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan
intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan
terjadi shiffting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan
tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya
dengan puddle sign untuk menentukan asites. Pemeriksaan penunjang yang
dapat memberikan informasi untuk mendeteksi asites adalah ultrasonografi.
Untuk menegakkan diagnosis asites, ultrasonografi mempunyai ketelitian yang
tinggi (Hirlan, 2006).
Pemeriksaan cairan asites, misalnya (Hirlan, 2006):
Gambaran makroskopik
Cairan asites hemoragik sering dihubungkan dengan keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat
rupture kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda rupture
pembuluh limfe, sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum.
Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites albumin gradient)
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati
bahwa gradient dikatakan tinggi bila nilainya >1,1 gram/dL. Kurang dari
niali itu disebut rendah. Gradient tinggi terdapat pada asites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradient rendah

93

lebih sering terdapat pada asites eksudat. Nilai akurasi dari pemeriksaan
ini sekitar 40%.
Hitung sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk
menilai asal infeksi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang
meningkat lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan,
sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis
tuberkulosa atau karsinomatosis.
Biakan kuman
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang
dicurigai terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan
menghasilkan kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan
akan menghasilkan kuman monomikroba. Metoda pengambilan sampel
untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk
biakan kuman dari darah yakni, bed side inoculation blood culture bottle.
Pemeriksaan sitology
Pada kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitology asites
dengan cara yang baik memberikan true positive hampir 100%. Sampel
untuk pemeriksaan sitology harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk
meningkatkan sensitivitas. Harus diingat banyak tumor penghasil asites
tidak melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat
dipastikan melalui pemerikasaan sitology asites. Tumor itu misalnya:
karsinoma hepatoseluler massif, tumor hati metastasis, limfoma yang
menekan aliran limfe.

94

Hasil ultrasonografi dari asites, yaitu (Ennis, 2014)


2.3.7 Hepatik Ensefalopati

Definisi
Ensefalopati hepatik adalah neuropsychiatric syndrome yang terjadi pada
disfungsi hepar. Pasien dengan Ensefalopati hepatik menunjukkan berbagai
gangguan neurologi seperti gangguan kognisi dan orientasi. Ensefalopati
hepatik diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan penyebab
gangguan hepar (Ki Tae Suk, 2012).
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan
pada pasien sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas
hidup, namun juga memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis
hepar. EH merupakan kejadian penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan
merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien dengan acute on
chronic liver failure (Caropeboka, 2013).
EH dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tipe A EH terjadi karena
induksi dari acute liver failure, tipe B hasil dari portal systemic bypass tanpa
ada hubungan dengan gangguan hepar intrinsic, dan tipe C adalah EH yang
terjadi pada pasien sirosis. Durasi dan karakteristik EH diklasifikasikan
sebagai episode, persisten, dan minimal. Episode terjadi secara spontan atau
dipercepat adanya factor klinik seperti perdarahan gastrointestinal. EH
berulang didefinisikan sebagai dua episode dari spontan atau dipercepat dalam
1 tahun, dan tanda persisten EH adalah deficit kognitif kronik yang dapat

95

menurunkan kualitas hidup pasien. EH minimal berhubungan dengan pasien


sirosis (Dipiro, 2008).

Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien
gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif
dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises
esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia,
hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan
narkotika), infeksi (Pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan
lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan
EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal
berupa pecahnya varises esophagus (Hasan, 2014).
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran
darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan molekul toksik
terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena
kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar
berikut (Hasan, 2014)

96

Gambar patofisilogi ensefalopati hepatic (Frederick, 2011)


Seperti yang digambarkan pada gambar, amonia diproduksi oleh berbagai
organ. Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas
enzim urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae,
Proteus dan Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi
amonia dan karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus
besar melalui glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi
usus) menjadi glutamate dan ammonia. Pada individu sehat, amonia juga
diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara fisiologis, amonia akan dimetabolisme
menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan ginjal juga akan mendetoksifikasi
amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka memegang peranan utama
dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia menjadi glutamin via
glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi amonia,
terutama

dipengaruhi

oleh

keseimbangan

asam-basa

tubuh.

Ginjal

memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin


menjadi glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal
dikeluarkan melalui urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun
diserap kembali ke dalam tubuh yang dipengaruholeh pH tubuh. Dalam

97

kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui
urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus
dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh
sehingga menyebabkan hiperamonia (Hasan 2014; Frederick, 2011).
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses
detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati
periportal yang memetabolisme ammonia menjadi urea melalui siklus KrebsHenseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan
digabungkan kembali menjadi glutamin (Hasan, 2014).
Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat
menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya
shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung ammonia
masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.Peningkatan kadar amonia dalam
darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar
darah otak untuk ammonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia
terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui
kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada
EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul
osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara
langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui
peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria
dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein
kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas
sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan
intraselular (Hasan, 2014).
Beberapa hipotesis yang dikemukakan pada pathogenesis EH, yaitu
(Zubir, 2006):
Hipotesis amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam
lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati

98

ammonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi
glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang masuk
ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh
otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan
terjadi gangguan metabolism ammonia sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi ammonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa ammonia secara invitro akan mengubah loncatan klorida melalui
membrane neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
syaraf. Disamping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan
eksitasi transmitter asam amino, aspartate, dan glutamate (Zubir, 2006).
Hipotesis toksisitas sinergik
Neurotoksin yang mempunyai efek sinergis dengan amonia adalah
merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lainnya.
Merkaptan dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid
mempunyai efek metabolic seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan
penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktifitas NaK-ATP-ase
sehingga dapat mengakibatkan koma hepatic reversible. Fenol sebagai
hasil metabolism tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan
enzim

hati monoamine oksidase, laktat

dehydrogenase, suksinat

dehydrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti


amonia mengakibatkan hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan
memperkuat sifat neurotoksisitas dari amonia (Zubir, 2006).
Hipotesis neurotransmitter palsu
Pada keadaan normal di otak terdapat neurotransmitter dopamine dan
noradrenalin. Sedangkan pada gangguan fungsi hati, neurotransmitter otak
akan diganti oleh neurotransmitter palsu seperti oktapamin dan
feniletanolamin, yang lebih lemah disbanding dopamine dan noradrenalin
(Zubir, 2006).
Beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu (Zubir, 2006)

99

1. Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan


produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke
sirkulasi otak.
2. Pada gagal hati seperti pda sirosis hati akan terjadi penurunan asam
amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin, dan
isoleusin, yang mengakibatkan peningkatan asam amino aromatic
(AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan
ambilan hati (hepatic-uptake). Rasio antara BCAA dan AAA nomal
antara 3-3,5 akan menjadi lebih kecil dari 1,0. Keseimbangan kedua
kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena akan
menggambarkan konsentrasi neurotransmitter pada susunan syaraf
(Zubir, 2006).
Hipotesis GABA dan Benzodiazepin
Ketidak seimbangan antara asam amino neurotransmitter yang merangsang
dan menghambat fungsi otak merupakan factor yang berperan terhadap
terjadinya EH. Terjadinya penurunan transmitter yang memiliki efek
merangsang

seperti

glutamate,

aspartate,

dan

dopamine

sebagai

meningkatnya amonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat


transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena influx yang
meningkat ke dalam otak tetapi akibat perubahan reseptor GABA dalam
otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepine (benzodiazepinelike substance) (Zubir, 2006).

Gambaran Klinis
Pada EH gambaran gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam
mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai
dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat
diperiksa dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka
(UHA), dengan menghubungkan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur
lamanya penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik (Zubir, 2006).

100

Tingkat
Prodromal

Gejala

afektif hilang,
eufori, depresi,
kelakuan tidak
wajar, perubahan
kebiasaan tidur
Koma
kebingungan,
mengancam disorientasi,
mengantuk
Koma
Kebingungan
ringan
nyata, dapat
bangun dari
tidur, bereaksi
terhadap
rangsangan
Koma
Tidak sadar,
dalam
hilang reaksi
rangsangan

Tanda
asteriksis,
kesulitan
bicara,
kesulitan
menulis
asteriksis, fetor
hepatik
asteriksis, fetor
hepatic, lengan
kaku,
hipereflek,
klonus, reflek
menggenggam
Fetor hepatic,
tonus otot
hilang

Elektroensefalografi
(EEG)
(+)

(++)

(+++)

(++++)

Diagnosis
EH secara umum menyertai gangguan hepar berat, oleh karena itu,
kelemahan otot, jaundice, asites, palmar eritema, edema, spider telangiectasias
dapat ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Selain itu, juga diperiksa
perdarahan gastrointestinal, uremia, penggunakan anti-psikosis atau diuretic,
infeksi, konstipasi, dehidrasi, keseimbangan elektrolit, dan lainnya. Gejala
yang sering muncul, yaitu gangguan konsentrasi, gangguan tidur, gangguan
gerak, termasuk letargi atau koma. Tingkat keparahan EH dapat dievaluasi
dengan West Haven (Ki Tae Suk, 2011).

101

Pemeriksaan radiologis berupa magnetic resonance imaging (MRI) serta


elektroensefalografi (EEG) dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk
menyingkirkan

kelainan

lain

pada

otak.

Elektroensefalografi

akan

menunjukkan perlambatan (penurunan frekuensi gelombang alfa) aktivitas


otak pada pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai
sebagai alat diagnosis pasti EH. Peningkatan kadar amonia dalam darah (>
100 mg/100 ml darah) dapat menjadi parameter keparahan pasien dengan EH.
Pemeriksaan kadar amonia darah belum menjadi pemeriksaan standar di
Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat dilakukan pada setiap
rumah sakit di Indonesia (Hasan, 2014).
Pemeriksaan penunjang pada EH, antara lain (Zubir, 2006):
Elektroensefalografi (EEG)
Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitude dan menurunnya
jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari
gelombang normal Alfa (8-12 Hz).
Tes Psikometri
Cara ini membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang
mengalami koma hepatic subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan
mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak
mahal. Tes ini dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatic terutama
pada pasien sirosis hati yang rawat jalan.
Pemeriksaan Amonia Darah
Amonia merupakan hasil akhir dari metabolism asam amino baik yang
berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamin pada
usus dari hasil katabolisme protein otot. Pada kerusakan sel hati seperti
sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi amonia darah karena
gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi amonia serta adanya pintas
(shunt) porto-sistemik.
Tingkat Ensefalopati
Tingkat 0

Kadar amonia darah dalam g/dL


<150

102

Tingkat 1

151-200

Tingkat 2

201-250

Tingkat 3

251-300

Tingkat 4

>300

2.3.8 Kolelitiasis
A. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam
kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada kedua-duanya (Aru, et
al, 2008). Batu empedu berbentuk lingkaran, oval dan facet ditemukan pada
saluran empedu. Batu empedu mengandung kolesterol, kalsium karbonat, kalsium
bilirubinat atau gabungan elemen-elemen ini (Sjamsuhidajat, 2005). Batu empedu
umum ditemukan dan terjadi pada sekitar 10%populasi dengan perbandingan
wanita : pria adalah 4:1. Batu empedu dibedakan atas 3 jenis yaitu :

Batu empedu kolesterol

Batu pigmen coklat ( batu kalsium bilirubinat)

Batu pigmen hitam kaya akan residu hitam tak tereksitasi.

B. Prevalensi dan faktor resiko


Populasi tertentu jauh lebih rentan dibandingkan yang lainnya untuk mengalami
batu ginjal. Berikut ini adalah beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan
batu empedu.

Batu empedu kolesterol


Factor resiko yang dapat menyebabkan batu empedu kolesterol adalah :

Tempat tinggal

Usia

Hormon sex wanita (jenis kelamin, kontrasepsi oral, kehamilan)

Obesitas

Gallbladder stasis

Kelainan bawaan lahir dari metabolisme asam empedu

Sindrom hiperlipidemia
103

Kolesterol yang diberikan akan larut dalam empedu melalui agregasi


dengan yang larut air pada garam empedu dan kyang tidak larut air dalam lesitin,
keduanya berperan dalam pembersih. Ketika konsentrasi kolesterol melebihi
kapasitas kemampuan melarutkan dari empedu (supersaturasi) kolesterol tidak
bias lagi bertahan dan nekleasi menjadi Kristal monohidrat kolesterol. Bati
empedu kolesterol dapat menstimulasi empat kerusakan yaitu:
-

Empedu harus dijenuhkan dengan kolesterol

Kandung kemih dengan motilitas rendah akan mengeluarkan

nukleatin
-

Nukleatin kolesterol pada empedu akan diakselerasi

Hipersekresi mucus pada kandung kemih menjebak Kristal,


memungkinkan agregasinya menjadi batu.

Supersaturasi dari empedu dengan kolesterol adalah hasil dari hipersekresi


hepatoseluler dari kolesterol. Ini akan muncul sebagai dampak primer, diprakarsai
oleh regulasi yang abnormal daridari mekanisme hati dalam mengirimkan
kolesterol kepada empedu.

Batu pigmen
Batu empedu pigmen adalah campuran kompleks dari kelainan

ketidaklarutan dari garam kalium oleh karena tidak terkonjugasinya bilirubin


bersamaan dengan garam kalsium anorganik. Bilirubin yang tidak terkonjugasi
biasanya secara normal merupakan komponen kecil dari empedu tetapi meningkat
ketika terjadi infeksi pada saluran bilier mengarah pada pelepasan microbial betaglukuronidase, yang menghidrolisis bilirubin glukuronid.
Factor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya batu empedu pigmen
adalah :
-

Tempat tinggal

Sindrom hemolitik kronis

Infeksi bilier

Kelainan gastrointestinal

104

C. Patogenesis
Patogenesis kolelitiasis sebagai berikut (Sjamsuhidajat, 2005) :
Batu kolesterol

ketidakseimbangan

dalam

empedu

antara

kolesterol, garam empedu, dan fosfolipid, menghasilkan empedu


litogenik. Keadaan ini berhubungan dengan penyakit inflamasi kronik
Batu bilirubinat

: Hemolisis kronis, infeksi dengan bakteri yang

memproduksi -glukuronidase
Batu campuran

: Berhubungan dengan kelainan anatomi, stasis,

pembedahan sebelumnya, infeksi sebelumnya.

D. Gejala Batu Kandung empedu


Pasien dengan batu empedu dapat dibagi menjadi tiga kelompok : pasien
dengan batu asimtomatik, pasien dengan batu empedu simtomatik dan pasien
dengan komplikasi batu empedu (kolesistitis akut, ikterus, kolangitis, dan
pankreatitis) (Aru, et al, 2008).
Gambaran klinisnya meliputi (Sjamsuhidajat, 2005) :
90% batu empedu kemungkinan bersifat asimtomatis
Kolik empedu

: nyeri kolik yang berat pada perut bagian

atas yang menjalar ke sekitar batas iga kanan dengan atau tanpa muntah.
Terdapat periodisitas waktu, seringkali muncul pada malam hari yang hilang
spontan setelah beberapa jam.
Kolesistitis kronis

diagnosis

yang

tidak

pasti

yang

ditunjukkan oleh nyeri abdomen bagian atas yang samar-samar dan hilang
timbul, kembung, flatulens dan intoleransi makanan berlemak.
Kolesistitis obstruktif akut

: nyeri hipokondrial kanan yang menetap,

pireksia, mual dengan atau tanpa ikterus. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas
dengan tanda Murphy positif.
Leukositosis

kasus

yang

tidak

sembuh

dapat

menyebabkan empieme pada kandung kemih


Kolangitis

: nyeri abdomen, demam tinggi/menggigil,

ikterus obstruktif, nyeri tekan hebat pada kuadran kanan atas.

105

Pankreatitis

: nyeri pada pusat atau epigastrum, nyeri

punggung, demam, takikardia, nyeri tekan epigastrum.


E. Pemeriksaan fisik
Batu kandung empedu
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di
daerah letak anatomi kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik napas panjang karena kandung empedu
yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
napas (Grace, et al, 2006)
Batu saluran empedu
Pada pemeriksaan tidak menimbulkan gejala atau tanda dalam fase tenang.
Kadang teraba hati agak membesar dan sklera ikterik. Apabila timbul serangan
kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yangs
sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai
sedang biasanya kolangitis bakterial nonpiogenik yang ditandai dengan trias
Charcot yaitu demam dan mengigil, nyeri di daerah hati, dan ikterus. Apabila
terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul
lima gejala berupa tiga gejala trias Charcot ditambah syok dan kekacauan mental
atau penurunan kesadaran sampai koma (Grace, et al, 2006)

F. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam
duktus koledokus, kadar fosfotase serum dan kadar amilase serum meningkat
(Grace, et al, 2006)

G. Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat

106

dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena
peradangan maupun sebab lain (Grace, et al, 2006)
Endoscopic Ultrasonography (EUS)
Suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop
dengan enchoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar, dibandingkan dengan
ultrasonografi metode ini memberikan gambar yg lebih jelas karena echoprobenya diletakkan didekat organ. Metode ini dalam mendiagnosis dan menyingkirkan
koledokolitiasis memiliki aktivitas yang sama dengan ERCP. EUS dan ERCP
tidak menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitifitas spesifisitas, nilai
prediktif negatif maupun positif namun, angka kejadian komplikasi ERCP lebih
tinggi dibandingkan EUS (Grace, et al, 2006).
Endoscopic retrogade cholangiopancreatography (ERCP)
Suatu metode pengangkatan batu atau pemasangan stent sebagai
pintas untuk menghindari terjadinya obstruksi akibat batu. Nilai diagnosis
ulatrasonografi dalam mendiagnosisn batu saluran empedu telah dibandingkan
dengan ERCP sebagai mketode standar kolangigrafi direk. ERP memiliki
sensitifitas, spesifikasi dan akurasi yang blebih tinggi. Namun prosedur ini invasif
dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis dan berakibat fatal
(Sjamsuhidajat, 2005).
Magnetic Resonance cholangiopancreatography (MRCP)
Teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrument dan radiasi ion. Pada MCRP saluran empedu akan terlihat
sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi,
sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang
dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu, manfaat terbesar metode ini adalah
pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrumenisasi
, zat kontras dan radiasi (Grace, et al, 2006).
Foto polos abdomen

107

Biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 1015% batu kandung empedu yang bersifat radioopak (tidak tembus sinar rontgen)
(Aru, et al, 2008).
Kolesistografi oral, kolesistografi IV
Jika ultrasonografi tidak mungkin dilakukan, misalnya pada pasien
obesitas) (Sjamsuhidajat, 2005).

2.3.9 Kolesistitis
Kasus kolestitis hampir 90% berkaitan dengan batu empedu. Kolestitis
muncul ketika batu mengganggu saluran empedu dan terjadi peradangan yang
akan berkembang menjadi obstruksi (McPhee dan Papadakis, 2010). Penyebab
terjadinya kolestitis selain batu empedu adalah pasca operasi didaerah empedu
dan liver, kecelakaan, terbakar, kegagalan fungsi organ, sepsis, hiperalimentasi
intravena dalam waktu lama, atau setelah melahirkan (Kumar et al, 2005).
Acalculous kolestitis terjadi ketika pasien mengalami demam yang tidak diketahui
penyebabnya atau rasa sakit disekitar perut kanan atas selama 2-4 minggu setelah
operasi atau pasien kritis yang puasa dalam waktu yang cukup lama, atau
kegagalan beberapa organ terjadi. Kolesistitis dibagi menjadi dua yaitu :
Kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.

108

A. Kolesistitis akut
Definisi
Reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai dengan
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam (Grace, et al, 2006).
Kolesititis akut disebabkan oleh infeksi (cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau
microsporidiosis) yang muncul pada pasien AIDS (McPhee dan Papadakis, 2010).

Etiologi dan Patogenesis


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (Grace, et al, 2006). Acute
calcolous cholecystitis diakibatkan dari iritasi dan inlamasi pada kelenjar empedu.
Lapisan mukosa glikoprotein rusak, sehingga jaringan mukosa epitel terpapar oleh
garam empedu. Prostaglandin dilepaskan pada dinding kelenjar empedu sehingga
memicu terjadinya radang mukosa dan mural. Kekakuan dan penegangan kelenjar
empedu serta peningkatan tekanan intraluminal akan menghalangi aliran darah ke

109

jaringan kelenjar empedu. Hal ini akan memudahkan bakteri menginvasi daerah
mukosa kelenjar empedu. Acute acalcolous cholecystitis diduga akibat terjadinya
iskemi pada jaringan kelenjar empedu (Kumar et al, 2005).
Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut disebalah kanan atas epigastrum dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan
gangren atau perforasi kandung empedu (Grace, et al, 2006).

B. Kolesistitis Kronis
Definisi
Kolestitis kronik terjadi akibat kolestitis akut atau iritasi kronis pada
kelenjar empedu yang berulang terjadi akibat batu. Pada 4-5% kasus, villi dari
kelenjar empedu akan mengalami pembesaran polypoid akibat deposisi kolesterol
yang terlihat kasat mata (strawberry gallbladder, kolesterolosis). Hiperplasia
dari seluruh atau sebagian dinding kelenjar empedu akan ditandai dengan adanya
myoma (adenomyomatosis). Kolestitis akut disertai dengan obstruksi saluran
sistik, akan mengakibatkan tegangan pada kelenjar empedu dengan cairan
mukoid. Batu yang berada pada ujung saluran kelenjar empedu akan menekan
saluran kelenjar dan menyebabkan jaundice. Xanthoganilomatous kolestitis
merupakan varian yang jarang dari kolestitis kornis, terdapat bintik abu-abu
kuning, makrofag lipid-laden pada dinding kelenjar empedu (Pridady, 2006).
Gejala Klinis
Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya
sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrum
dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi yang kadangkadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga,

110

ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal didaerah kandung empedu disertai Murphy
positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis (Aru, et al, 2008).

C. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai dengan tanda-tanda peritonitis
lokal (tanda Murphy) (Grace, et al, 2006).
Pemerikaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi (Pridady, 2006):
Leukositosis (12.000-15.000/mcL)
serum AST dan ALT meningkat (> 300 unit/mL)
serum bilirubin 1-4 mg/dL
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi :
Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan gambaran batu
didalam kandung empedu, lumpur empedu, dan penebalan dinding kandung
empedu. Ultrasonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan
gambaran destruksi dinding dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu
pada komplikasi abses perikolestitis (Aru, et al, 2008).
Skintigrafi
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zar radioaktif HIDA.
Terlihat gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolestitis akut (Aru, et al, 2008).

111

Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan ini memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang
masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG, tetapi
kurang sensitif dan mahal (Pridady, 2006)
Pencitraan Tc Hepatobiliary
Pencitraan Tc Hepatobiliary ( menggunakan senyawa asam
iminodacetic), yang juga dikenal dengan Hepatic Iminodiacetic Acid
(HIDA) Scan berguna untuk menggambarkan kondisi obstruksi dari saluran
kelenjar, yang merupakan penyebab utama dari kolestitis pada pasien.
Pengujian ini dipercaya bila serum bilirubin <5 mg/dL (Sensitivitas 98%
dan Spesifisitas 81% untuk kolestitis akut). Hasil positif palsu dapat terjadi
disertai dengan puasa yang lama, penyakit liver, kolestitis kronik, dan
spesifisitasnya bisa ditingkatkan dengan pemberian morfin yang dapat
memicu spasme pada spingter Oddi (Pridady, 2006).
Endoscopic retrogade cholangiopancreatography (ERCP)
Memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus
koledokus (Aru, et al, 2008).

112

BAB III
PENUTUP

Pemeriksaan klinik menyediakan beberapa tes untuk penilaian fungsi hepar.


Pada pemeriksaan laboratorium, terdapat beberapa evaluasi fungsi hepar yakni
AST, ALT, Bilirubin, Albumin, Prothrombin time, GGT, ALP, LD, Panel
Hepatitis, Amonia, LDL, HDL, dan Trigliserida. Pemeriksaan radiologi dilakukan
untuk membantu dalam menentukan diagnose pasien selain menggunakan
evaluasi diatas, yakni film polos, Kolesistografi, MRCP, ERCP, Kolangiogram
Transhepatik,

EUS,

Electroencephalography,

PTHC,
Liver

Kolesistogram
Biopsy,

Liver

Oral,
Scanning,

Paracentesis,
Abdominal

Ultrasonography, CT Photogram, dan CT Abdomen.

Pre-Hepatic
Jaundice
Hepatic
Jaundice

Bilirubin G
G
T
N/
N

A
L
P
N

A
S
T
N

A
L
T
N

N
/

N
/

Post-Hepatic
Jaundice
Kolestasis
Kolelitiasis

Kolestistitis
Hepatomegali

Hepatitis

Fibrosis

Sirosis
Ascites
Keterangan : N = Normal

L
D
H

Albumin Imunoglo
bulin

A
M
A

P L
T A
P
N

N/

N/

(+)

(+)

113

DAFTAR PUSTAKA
Animated Pancreas Patient. Diakses 13 Maret 2016. Understanding ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography). https://www.you
tube.com/watch?v=5VgoDJ3 _0.
Anom, S., dan I Dewa Nyoman W. (2010). Pendekatan Diagnosis dan Terapi
Fibrosis Hati. Journal of internal medicine. 1(11):57-61.
Anonim.

(2009).

Alcoholic

Liver

https://en.wikipedia.org/wiki/Alcoholic_liver_disease.

Disease.
Diakses

pada

tanggal 16 April 2016.


Anonim.2012. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. Jakarta. Direktorat
Jenderal Kementrian Kesehatan.
Aru, W. S, Bambang S, Idrus A, Marcellus S. K, Siti S. (2008). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Edisi 4-Jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Berkelanjutan. Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.
Binfar, 2011, Pedoman Interpretasi Data Klinik, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
Budihusodo, U., 2008, Karsinoma Hati dalam Sudoyo,A.W., Setiyohadi, B., Alwi,
I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I
Edisis IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI,
Jakarta, 455-459.
Cagnon, L. and Braissant, O. 2007. Hyperammonemia-induced toxicity for the
developing centralnervous system. Brain Res.Rev.56:183-197.
Caropeboka. Ensefalopati Hepatikum Pada Pasien Sirosis Hepatis. Medula, 2013.
1(4): 108-116.
CCRadassoc1. Diakses 13 Maret 2016. A CT Scan at Radiology Associates:
What to Expect. https://www.youtube.com/watch?v=e-QwyZVMLSo.
Constantin, Tirziu. 2011. Jaundice Obstructive Syndrom. Current Healt Science
Journal. University of Medicine and Pharmacy of Craiova. Vol 37 (2)
Dancygier H., Gross Anatomy In Dancygier H. Clinical Hepatology Principles
and Practice of Hepatobiliary Diseases Vol.1., Springer-Verlag,
Berlin, 2010; P 11-14.

114

Dipiro, J.T., et al. 2008. Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, 7th


Edition. The McGraw Hill Companies, Inc.
Dipiro, J.T., et al. 2014. Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, 9th
Edition. The McGraw Hill Companies, Inc.
Ennis, J. Geoffrey, S., Phillips, P., Sarah, W., Laleh, G., Diku, M. Ultrasound for
Detection of Ascites and for Guidance of the Paracentesis Procedure:
Technique and Review of the Literature. International Journal of Clinical
Medicine, 2014, 5, 1277-1293.
European Association for the Study of the Liver, European Organisation for
Research and Treatment of Cancer, 2012, EASLEORTC clinical
practice guidelines: management of hepatocellular carcinoma, J
Hepatol, 56:908943.
Frederick, R T. Current Concepts in the Pathophysiologi and Management of
Hepatic Encephalophaty. Gastroenterologi Hepatology, 2011. 7(4): 222233.
Grace, A. P., dan Neil, R. B. (2006). At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta
: Penerbit Erlangga.
Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC
Guyton, Arthur C.2006. Textbook of Medical Physiology Eleventh Edition.
Missisippi. Elsevier Saunders
Hasan, I., Abirianty P A. Ensefalopati Hepatik: Apa, Mengapa dan Bagaimana?.
Medicinus, 2014. 27(3):1-8.
Highleyman, L., & Francius, A. (2011). Disease Progression: What is Fibrosis?.
HCSP version 3. www.hcvadvocate.org. Diakses pada tanggal 11 Maret
2016.
Hirlan. 2006. Asites pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru, W S. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

115

John Hopkins Medicine. Diakses 20 Maret 2016. Electroencephalogram.


http://www.hopkinsmedicine.org/healthlibrary/test_procedures/neurological
/electroencephalogram_eeg_92,P07655/
John Hopkins University and Medicine. Diakses 20 Maret 2016. Hepatocellular
Carcinoma.https://gi.jhsps.org/GDLDisease.aspx?CurrentUDV=31&GDL_
Cat_ID=551CDCA7-A3C1-49E5-B6A0-C19DE1F94871&GDLDisease
ID=A349F0EC-5C87-4A52-9F2E-69AFDB80C3D1
Ki Tae Suk, Soon Koo Baik, et al. Rivision and Update on Clinical Practice
Guideline for liver Cirrhosis. The Korean Journal of Hepatology, 2012.
18(1): 1-21.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto, N. 2005. Robbins and Cotran Pathologic Basis
of Disease 7thed. Pennsylvania : Elsevier Inc.
Lau, W.Y., 2008, Hepatocellular Carcinoma, A Book on Hepatocellular
Carcinoma, 1st ed., World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd.,
Singapore, P 1-24.
Liver simtics. Diakses 13 Maret 2016. Ultrasound Training. https://www.you
tube.com/watch?v=7Y6wFXfmuvg.
McPhee, J.S., Lingappa, R.V., Ganong, F.W. & Lange, D.J. (2000).
Pathophysiology of Disease : An Introduction to Clinical Medicine 3rd
Edition. United States of America: McGraw-Hill.
McPhee, S.J., Papadakis, M.A. 2010. Current Medical Diagnosis & Treatment
49th ed. New York : McGraw-Hill Companies, Inc.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., & Rodwell, V.W. (2003). Harpers
Illustrated Biochemistry (26th Edition). New York: McGraw-Hill.
Norfolk Nuclear Medicine. Diakses 20 Maret 2016. Liver and Spleen.
http://www.norfolknuclear.com/patients/liver_scan.htm
Nucleus Medical Media. Diakses 13 Maret 2016. Coronary Angiography
(Cardiac Catheterization). https://www.youtube.com/watch?v=kY5gKdF
WT3k.
Nucleus Medical Media. Diakses 13 Maret 2016. Liver Biopsy. https://www.
youtube.com/watch?v=mnHPx5XEvfQ.

116

Pagana KD, Pagana TJ, Pagana TN, et al. Mosbys Diagnostik and Laboratory
Test Reference. Elsevier Mosby. Ed 12. United States of America
Pagana, K., D. And Pagana, T.J.P. 2014. Mosbys Manual of Diagnostic and
Laboratory Tests, 5th Ed. Missouri: Elsevier.
Patel, P.R. 2007. Lecture Notes: Radiologi, Ed.2. Jakarta: Erlangga Medical
Series. Hal. 2-13; 136-9.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. (2013). http://pphi-online.org/alpha/?p=570.
Artikel Umum. Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472, 475 477.
Pridady. 2006. Kolestitis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Randal, Michael., Neil, Karen E.2009. A Disease Management A Guide to
Clinical Pharmacology Second Edition. London. Pharmaceutical Press
Robert, S. M., James, R. C., & Franklin, M. R. (2000). Hepatotoxicity: Toxic
Effect on the Liver. In P. L. Williams, R. C. James & A. M. Roberts (Ed.).
Principles of Toxicology (hal. 111-127). New York: John Wiley & Sons.
Robin S, Sunil K, Rana AC, Nidhi S. Different Models of Hepatotoxicity and
Related Liver Disease: A Review. International Research Journal of
Pharmacy, 2012; 3 (7): 86-95.
Roche, Sean P., Kobos, Rebecca. 2004. Jaundice in the Adult Patient. American
Academy of Family Physicians. Vol 69 (2)
Saro, G.A. (2012). Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik pada Sindroma
Metabolik

Dewasa.

Karya

Tulis

Ilmiah.Semarang:

Universitas

Diponegoro.
Sibulesky L. Normal liver anatomy. Clinical Liver Disease, 2013; 2 (1): 1-3.
Silbernagl, Stefan., Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New
York. Thieme.
Sjamsuhidajat, R., dan Wim D.J. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarata :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

117

Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., dan Alwi, I. (2009). Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing.
Tageldin Abogroun. Diakses 13 Maret 2016. How to use the ultrasound probe.
https://www.youtube.com/watch?v=ABrHkFWcvUI.
Theedexitvideo. Diakses 20 Maret 2016. Paracentesis. https://www.youtube.com/
watch?v =F1ZLWR_mYy8
Tortora GJ and Derrickson BH. 2008. Principles of Anatomy and Phisiology 12th
edition. John Wiley & Sons.
WA Career Centre. Diakses 13 Maret 2016. Nuclear Medicine Technologist-Try
it for 5. https://www.youtube.com/watch?v=X7CmvdVMXeE.
Wells, Barbara G., dkk. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. USA.
McGraw-Hills Education
Wheatley M and Heilpern KL. Jaundice: an emergency department approach to
diagnosis and management. Emergency Medicine Practice, 2008; 10 (3):
1-24
Widjaja, Felix Firyanto, Teguh Karjadi. (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang
pada Pasien Sirosis Hati. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian.
www.cdc.gov/hepatitis diakses pada 16 April 2016, 18.30
Zubir, N. 2006. Koma Hepatikum pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru, W
S. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

118

Anda mungkin juga menyukai