KELOMPOK 2A
KELOMPOK 2B
Alvinda Heriza N
Brasti Eka P.
1506814904
Fathia Rahmi Z.
1506815011
Falda Septiana
1506814993
Ines Malinda
1506815144
Jaga Pramudita
1506815163
Lisna Andriani
1506815232
Merna Juannita
1506815264
Nindy Della P.
1506815314
Muhammad Idris
1506815296
Rika Chaerunisa
1506815440
Ratna Kusmawati
1506815421
1506814835
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
makalah berjudul Evaluasi Fungsi Hepar.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah
Farmakoterapi Terapan II. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dra.
Azizahwati, M.Si., Apt. sebagai dosen yang membimbing dalam penulisan
makalah ini.
Makalah ini berisi tentang pendahuluan mengenai anatomi dan fisiologi
hepar, parameter-parameter uji evaluasi fungsi hepar, serta evaluasi beberapa
kelainan fungsi hepar.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan
makalah ini sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca namun
penulis berharap makalah ini dapat berguna bagi setiap pembaca.
Tim Penulis,
2016
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................... 1
Kata Pengantar .............................................................................................. 2
Daftar Isi ......................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 4
BAB II. ISI ...................................................................................................... 5
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hepar ............................................................ 5
2.1.1 Anatomi Hepar ......................................................................... 5
2.1.2 Histologi ................................................................................... 7
2.1.3 Aliran dan Tekanan Darah di Hepar ........................................ 10
2.1.4. Fungsi Hepar ........................................................................... 12
2.2 Parameter Parameter Uji pada Evaluasi Fungsi Hepar .................. 18
2.2.1 Parameter Parameter Uji Laboratorium pada Evaluasi
Fungsi Hepar ............................................................................ 18
2.2.2 Pemeriksaan Radiologi ............................................................ 29
2.3 Evaluasi Kelainan Fungsi Hepar ....................................................... 40
2.3.1 Jaundice .................................................................................... 40
2.3.2 Perlemakan Hati ....................................................................... 46
2.3.2.1 Perlemakan Hati Alkoholik .......................................... 46
2.3.2.2 Perlemakan Hati Non Alkoholik .................................. 47
2.3.3 Hepatitis ................................................................................... 52
2.3.4 Fibrosis dan Sirosis .................................................................. 59
2.3.4.1. Fibrosis Hati ................................................................ 59
2.3.4.2 Sirosis Hati ................................................................... 59
2.3.5 Kanker Hati .............................................................................. 64
2.3.6 Asites ........................................................................................ 90
2.3.7 Hepatik Ensefalopati ................................................................ 95
2.3.8 Kolelitiasis ............................................................................... 103
2.3.9 Kolesistitis ................................................................................ 108
BAB III. PENUTUP ....................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 114
BAB I
PENDAHULUAN
Hepar merupakan organ metabolisme terpenting dalam proses sintesis,
penyimpanan, metabolisme dan klirens banyak senyawa endogen (Aslam dkk.,
2003). Salah satu fungsi hepar adalah detoksifikasi (menawarkan racun tubuh),
sehingga hepar sangat mudah menjadi sasaran utama ketoksikan (Husada, 1991),
akan tetapi hepar memiliki cadangan fungsional yanng cukup tinggi sehingga
hepar tetap dapat melaksanakan fungsinya walaupun sel parenkim hepar hanya
bersisa 10%. Oleh karena itu banyak kasus penyakit hepar yang ditemukan
setelah kerusakan sel parenkim heparl lebih dari 90%.
Penyakit hepar saat ini masih menjadi masalah kesehatan yang tidak hanya
penting di Amerika tetapi juga di seluruh dunia. Penyakit ini menempati urutan
ketiga diantara semua penyakit yang dilaporkan di Amerika dan menjadi endemi
di kebanyakan negara-negara di dunia.Mortalitas akibat penyakit hepar rendah,
tetapi sering dikaitkan dengan angka morbiditas dan kerugian ekonomi yang
besar. Di negara maju, penyakit hepar kronis merupakan penyebab kematian
terbesar ketiga pada pasien yang berusia 45 46 tahun (setelah Penyakit
kardiovaskuler dan kanker).
Di seluruh dunia penyakit hepar kronis menempati urutan ke tujuh
penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit
ini.
Penyakit yang umumnya berkaitan dengan hepar adalah hepatitis, sirosis,
fibrosis, jaundice, kolestasis, kolelitiasis, kolesistitis, non alchoholic fatty liver
dan kanker hepar, asites dan hepatik ensfalopati.
BAB II
ISI
2.1
Hepar normal
berwarna coklat kemerahan dan memiliki permukaan yang halus. Hepar memiliki
permukaan posterior berbentuk cekung dengan celah transversal sepanjang 5cm
dari system porta hepatis Berat hepar sebesar 2% dari berat badan orang dewasa
dengan berat sekitar 1400 g pada wanita dan 1800 g pada laki-laki. Secara
eksternal, hepar dibagi oleh ligamen falsiforme menjadi lobus kanan yang lebih
besar dan lobus kiri yang lebih kecil. Lobus kiri lebih kecil dibandingkan lobus
kanan dengan ukuran sekitar 1/6 dari total ukuran hepar. Lobus kanan memiliki
ukuran lebih besar yang terdiri dari 3 lobus kecil, yaitu lobus kanan atas, lobus
kaudatus dan lobus kuadratus yang terletak antara ligamentum falsiform dengan
kandung empedu. Lobus-lobus ini biasanya tertutup oleh vena kava inferior dan
legamentum venosum. Dalam hepar terdapat porta pada bagian bawah permukaan
hepar yang merupakan pintu atau gerbang bagi arteri hepatika dan vena portal
hepatik untuk masuk ke dalam hepar . Ligamen falsiforme melekatkan hepar ke
dinding abdomen anterior. Basisnya berisi ligamentum teres yang memiliki sisa
dari vena umbilikalis vestigial (Kumar, Abbas, & Fausto, 2005; Sibulesky, 2013;
Tortora and Derrickson, 2008).
empedu lalu duktus empedu. Duktus empedu bergabung dan membentuk duktus
hepatika kanan dan kiri, lalu menyatu dan keluar dari hepar sebagai duktus
hepatika umum. Duktus hepatika umum berhubungan dengan duktus sistikus dari
kandung empedu membentuk duktus empedu umum. Dari sini, empedu memasuki
usus halus.
c) Sinusoid Hepatika
Merupakan kapiler darah yang sangat permeabel diantara hepatosit yang
menerima darah kaya oksigen dari cabang arteri hepatika dan darah kaya nutrisi
dari cabang vena porta hepatika. Vena porta hepatika membawa darah vena dari
organ pencernaan dan limpa ke hepar. Sinusoid hepatika berkumpul dan
membawa darah ke vena pusat. Dari vena pusat darah mengalir ke vena hepatika,
lalu mengalir ke vena cava inferior. Berlawanan dengan darah yang mengalir
menuju vena pusat, empedu mengalir sebaliknya. Sinusoid hepatika juga
mengandung fagosit yang disebut sel stellate reticuloendothelial (Kupffer) yang
merusak sel darah putih dan sel darah merah yang sudah tidak berfungsi, bakteri,
dan benda asing lain di darah vena dari saluran pencernaan. Duktus empedu,
cabang arteri hepatika, dan cabang vena hepatika disebut portal triad.
Ada dua tipe sel yang terdapat pada hepar, yaitu sel hepar (hepatosit) dan
sel Ito. Hepatosit memenuhi sekitar 75% dari total sel yang berada pada hepar
manusia. Hepatosit merupakan sel berukuran besar berbentuk lempengan yang
memenuhi lobulus hepar dan memiliki aktivitas metabolisme xenobiotik yang
besar sehingga sel-sel ini sering menjadi target utama zat hepatotoksik. Unit yang
lebih fungsional dari hepar membentuk asinus yang dapat dibagi menjadi tiga
zona, yaitu zona 1 (periportal) merupakan zona yang melingkar langsung di
sekitar kanal portal, zona 2 (midzonal) yang merupakan zona antara periportal dan
zona perisentral, dan zona 3 (pusat) membentuk daerah melingkar di sekitar vena
sentralis (Robert, James, & Franklin, 2000).
Tiga zona fungsional tersebut berturut-turut letaknya makin dekat
dengan vena sentralis. Aliran darah digambarkan mengalir dari kanal portal yang
terdiri dari cabang-cabang arteria hepatika, vena porta hepatika, dan saluran
empedu, berdifusi secara radial melewati zona 1 menuju zona 2 kemudian zona 3
hingga akhirnya sampai ke vena sentralis untuk dialirkan menuju vena kava
inferior. Zona 1 pada hepatosit terletak lebih dekat dengan sinusoid yang
mengalirkan darah dari kanal portal sehingga akan terpapar oksigen pada
konsentrasi lebih tinggi sesuai dengan fungsinya, yaitu berperan aktif dalam
glukoneogenesis dan metabolisme energi oksidatif, serta dalam sintesis urea, yang
membutuhkan banyak oksigen dalam menjalankan fungsinya. Zona 2 pada
hepatosit terdiri dari sebagian sel-sel yang fungsinya sama dengan zona 1 dan
sebagian lagi sel-sel yang fungsinya sama dengan zona 3. Pada zona 3, hepatosit
lebih aktif dalam melakukan glikolisis dan lipogenesis. Kedua proses tersebut
tidak memerlukan oksigen dalam jumlah tinggi untuk menjalankan fungsinya.
Selain itu, hepar juga terdiri dari sel Ito atau sering disebut sel penyimpan lemak,
yang berada diantara hepatosit dengan sel endotelial. Sel ini penting dalam
memproduksi kolagen serta dalam metabolisme dan penyimpanan vitamin A
(Robert, James, & Franklin, 2000).
Vena porta hepatika menyalurkan darah yang kaya nutrien namun dengan
kadar oksigen yang rendah dari saluran cerna dan limpa langsung menuju ke
hepar sedangkan darah dari arteri hepatika membawa darah langsung dari jantung
menuju ke hepar dengan tekanan yang lebih tinggi daripada tekanan darah pada
vena porta dan juga memiliki kadar oksigen yang lebih tinggi. Selain membawa
10
nutrien, darah vena juga dapat membawa obat dan racun yang terabsorbsi pada
saluran cerna. Hormon-hormon pankreas juga mengalir ke vena porta sebelum
masuk ke dalam hepar melalui saluran vena pankreas. Saat mencapai hepar, vena
porta bercabang-cabang, menempel dan melingkari lobulus hepar kemudian
bercabang lagi menjadi vena-vena interlobularis yang berjalan diantara lobuluslobulus. Vena-vena tersebut selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan
diantara lempengan hepatosit dan bermuara di vena sentralis. Cabang-cabang
terhalus dari arteria hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid
sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteria hepatika dan darah vena dari
vena porta hepatika (Price & Wilson, 2005; McPhee, Lingappa, Ganong, &
Lange, 2000).
Setiap menitnya sekitar 30 % darah dari jantung dialirkan ke hepar
sehingga membuat hepar menjadi tempat penampungan/penyimpanan yang besar
untuk darah. Namun walau hepar memiliki volume dan aliran darah yang besar,
tekanan pada system porta tetap rendah yaitu sekitar 3mmHg. Hal ini karena hepar
dapat mengembang dan meningkatkan volumenya dengan batas yang sesuai
sebelum terjadi kenaikan tekanan porta.
Pada organ hati yang normal, tahanan perifer rendah, dengan tekanan
darah dibawah 5 mmHg pada vena porta dan vena hepatika. Tahanan perifer pada
organ hati menurut Rodes, Juan., et al (2007) diatur berdasarkan tiga bagian yang
berbeda, yaitu:
1. Arteri hepatika terminal, yang banyak disuplay pada sel otot polos,
untuk aliran arteri;
2. Arteri organ-organ splanchnic (lambung, ginjal, pankreas, usus halus,
usus besar) untuk aliran darah vena porta;
3. Sinusoid dan vena hepatika terminal untuk tahanan intrahepatik, yang
mempengaruhi total aliran darah pada organ hati dan distribusi aliran
pada organ hati.
Setiap menitnya sekitar 30 % darah dari organ jantung dialirkan ke organ
hati melalui arteri hepatik dan sekitar 70% darah dialirkan dari organ jantung
melalui organ-organ splanchnic kemudian ke organ hati melalui vena porta
11
Fungsi Metabolik
Organ hati berperan dalam memetabolisme 3 makronutrien dari
makanan. Bahan makanan tersebut adalah karbohidrat, protein, dan lemak.
Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1.
Metabolisme karbohidrat
Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan
glikogen dalam jumlah besar. Hepar menjaga kadar glukosa darah
normal. Hepar dapat mengkonversi glukosa menjadi glikogen
(glikogenesis) ketika kadar glukosa darah tinggi dan memecah
glikogen menjadi glukosa (glikegenolisis) ketika kadar glukosa darah
rendah. Hepar juga dapat mengkonversi asam amino dan asam laktat
menjadi glukosa (glukoneogenesis) ketika kadar glukosa darah rendah
(Robin et al., 2012).
2.
Metabolisme lemak
12
Metabolisme protein
Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam
amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan
tubuh, pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam
amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino.
Hepar menghilangkan gugus amina (NH2) dari asam amino
untuk produksi ATP. Lalu mengkonversi hasil ammonia (NH3) toksik
menjadi urea yang kurang toksik untuk diekskresi di urin. Sel hepar
mensintesis protein plasma seperti globulin alfa dan beta, albumin,
protrombin, dan fibrinogen (Robin et al., 2012).
4.
Lain-lain
Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat
penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam
bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk
koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau
mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.
Sekresi Empedu
Empedu sebagian merupakan produk ekskretori dan sebagian
merupakan sekresi pencernaan. Tiap hari sel hepar mensekresi 800-1000 ml
empedu yaitu cairan berwarna kuning atau hijau. pH-nya 7,6-8,6. Empedu
13
Fungsi Detoksifikasi
Dalam tubuh kita terdapat banyak sekali produk hasil metabolisme
yang jika secara terus menerus menumpuk dalam tubuh dapat bersifat
toksik. Sebagai fungsi detoksifikasi ini hati bekerja dengan menurunkan
aktivitas biologi suatu zat kimia dan kadarnya dalam darah untuk
mengurangi kemungkin zat kimia tersebut terakumulasi dan memberikan
efek toksik pada tubuh. Namun, hasil dari metabolisme beberapa zat kimia
tersebut dapat membentuk zat yang lebih reaktif atau metabolit intermediet,
yang terbentuk selama proses biotransformasi. Zat-zat tersebut dapat
mempengaruhi hati sebagai organ pertama tempat terbentuknya zat tersebut
(Robert, James, & Franklin, 2000). Contohnya adalah pada saat hati
mengubah produk hasil sisa metaolisme berupa ammonia dalam sirkulasi
darah tubuh menjadi urea yang lebih bersifat tidak toksik dan dapat
diekskresikan melalui sirkulasi dan dieliminasi dalam ginjal dan dibuang
dalam bentuk urin.
14
Pemecahan
Hepar merupakan tempat pemecahan insulin dan hormon lain. Hepar
meng-glukoronidasi bilirubin memungkinkan ekskresi melalui empedu.
Hepar memecah atau memodifikasi zat toksik (contohnya methylation) dan
terutama produk obat melalui proses metabolisme obat. Biasanya
menghasilkan toksikasi jika metabolitnya lebih toksik daripada
15
Fungsi Imunologis
Sel Kupffer pada hati membantu menghilangkan bakteri dan antigen
yang dapat menembus pertahanan lambung masuk ke dalam darah porta
dengan mekanisme fagositik. Sehingga hati disebut sebagai fungsi imun
tubuh. Selain itu, ammonia yang dihasilkan dari deaminasi asam amino
dimetabolisme dalam hepatosit menjadi senyawa yang lebih tidak toksik.
Hepatosit juga memproduksi glutation yang dapat mencegah kerusakan
oksidatif pada protein sel dan juga mengekspor glutation untuk digunakan
oleh jaringan lainnya (McPhee, Lingappa, Ganong, & Lange, 2000).
16
25-hidroksivitamin
D3-1-hidroksilase
(1-OHase),
25-
(24-OHase)
meningkat,
maka
24,25(OH)D3
dan
Nilai Normal
5 35 U/L
Deskripsi
18
Implikasi Klinik
Peningkatan kadar AST dapat terjadi pada MI, penyakit hati,
pankreatitis akut, trauma, anemia hemolitik akut, penyakit ginjal akut,
luka bakar parah dan penggunaan berbagai obat, misalnya: isoniazid,
eritromisin, kontrasepsi oral.
Penurunan kadar AST dapat terjadi pada pasien asidosis dengan
diabetes mellitus.
Obat-obat yang meningkatkan serum transaminase yaitu Asetominofen,
Co-amoksiklav, HMGCoA reductase inhibitors, INH, Antiinfl amasi
nonsteroid, Fenitoin, dan Valproat
Implikasi klinik:
19
Nilai Normal
Total 1,4 mg/dL atau SI = <24 mmol/L
Langsung 0,40 mg/dL atau SI = <7 mmol/L
Deskripsi:
Bilirubin terjadi dari hasil peruraian hemoglobin dan merupakan
produk antara dalam proses hemolisis. Bilirubin dimetabolisme oleh hati
dan diekskresi ke dalam empedu sedangkan sejumlah kecil ditemukan
dalam serum. Peningkatan bilirubin terjadi jika terdapat pemecahan sel
darah merah berlebihan atau jika hati tidak dapat mensekresikan bilirubin
yang dihasilkan.
Terdapat dua bentuk bilirubin:
a) tidak langsung atau tidak terkonjugasi (terikat dengan protein).
b) langsung atau terkonjugasi yang terdapat dalam serum.
Implikasi Klinik
Peningkatan bilirubin yang disertai penyakit hati dapat terjadi
pada gangguan hepatoseluler, penyakit sel parenkim, obstruksi
saluran empedu atau hemolisis sel darah merah.
20
karbamazepin,
kaptopril,
klorpropamid,
D. Albumin
Nilai Normal
3,5 5,0 g% SI: 35-50g/L
Deskripsi
Albumin disintesa oleh hati dan mempertahankan keseimbangan distribusi
air dalam tubuh (tekanan onkotik koloid). Albumin membantu transport
beberapa komponen darah, seperti: ion, bilirubin, hormon, enzim, obat.
Implikasi Klinik
Nilai meningkat pada keadaan dehidrasi
Nilai menurun pada keadaan: malnutrisi, sindroma absorpsi,
hipertiroid, kehamilan, gangguan fungsi hati, infeksi kronik, luka
21
Nilai Normal
Nilai normal: 10 15 detik (dapat bervariasi secara bermakna antar
laboratorium)
Deskripsi
Mengukur secara langsung kelainan secara potensial dalam sistem
tromboplastin ekstrinsik (fibrinogen, protrombin, faktor V, VII dan X).
Implikasi Klinik
Nilai Normal
Laki-laki 94 U/L atau SI : 1,5 kat/L
Perempuan 70 U/L atau SI: <1,12 kat/L
Deskripsi
GGT terutama terdapat pada hati, ginjal; terdapat dalam jumlah yang
lebih rendah pada prostat, limfa, dan jantung. Hati dianggap sebagai
sumber enzim GGT meskipun kenyataannya kadar enzim tertinggi
terdapat di ginjal. Enzim ini merupakan marker (penanda) spesifik untuk
fungsi hati dan kerusakan kolestatis dibandingkan ALP. GGT adalah
enzim yang diproduksi di saluran empedu sehingga meningkat nilainya
pada gangguan empedu. Enzim ini berfungsi dalam transfer asam amino
dan peptida. Laki-laki memiliki kadar yang lebih tinggi daripada
perempuan karena juga ditemukan pada prostat. Monitoring GGT berguna
22
Implikasi Klinik
Peningkatan kadar GGT dapat terjadi pada kolesistitis, koletiasis,
sirosis, pankreatitis, atresia billier, obstruksi bilier, penyakit ginjal
kronis,
diabetes
mellitus,
pengggunaan
barbiturat,
obat-obat
yang
menyebabkan
peningkatan
GGT
antara
lain
Nilai Normal
30 - 130 U/L
Deskripsi
Enzim ini berasal terutama dari tulang, hati dan plasenta. Konsentrasi
tinggi dapat ditemukan dalam kanakuli bilier, ginjal dan usus halus.
Pelepasan ini seperti juga indeks penyakit tulang, terkait dengan produksi
sel tulang dan deposisi kalsium pada tulang. Pada penyakit hati kadar
alkalin fosfatase darah akan meningkat karena ekskresinya terganggu
akibat obstruksi saluran bilier.
Implikasi Klinik:
Peningkatan ALP terjadi karena faktor hati atau non-hati.
Peningkatan ALP karena faktor hati terjadi pada kondisi :
obstruksi saluran empedu, kolangitis, sirosis, hepatitis metastase,
hepatitis, kolestasis, infiltrating hati disease
Peningkatan ALP karena faktor non-hati terjadi pada kondisi :
penyakit tulang, kehamilan, penyakit ginjal kronik, limfoma,
beberapa malignancy, penyakit infl amasi/infeksi, pertumbuhan
tulang, penyakit jantung kongestif
23
Nilai Normal
90-210 U/L atau SI : 1,5-3,5 kat/L
Deskripsi
LD merupakan enzim intraseluler, LD terdistribusi secara luas dalam
jaringan, terutama hati, ginjal, jantung, paru-paru, otot rangka. Enzim
glikolitik ini mengkatalisasi perubahan laktat dan piruvat. LD bersifat non
spesifik, tetapi membantu menegakkan diagnosis infark miokard atau
infark pulmonal bersamaan dengan data klinik lain. LD juga sangat
bermanfaat dalam mendiagnosa distropi otot atau anemia pernisiosa.
Penentuan yang lebih spesifik dapat dilakukan jika LD telah terurai
menjadi isoenzim. Oleh karena itu isoenzim spesifik diperlukan untuk
mendeteksi infark miokard.
Implikasi Klinik
Pada MI akut, LD meningkat dengan perbandingan LD1 : LD2 > 1,
kadar meningkat dalam 12-24 jam infark dan puncaknya terjadi 3-4
hari setelah infark miokard.
Pada infark pulmonal, LD meningkat dalam 24 jam setelah onset
nyeri.
Peningkatan kadar LD dapat terjadi pada infark miokard akut,
leukemia akut, nekrosis otot rangka, infark pulmonal, kelainan
kulit, syok, anemia megalobastik dan limfoma. Penggunaan
24
bermacam
obat-obatan
dan
status
penyakit
juga
dapat
Panel Hepatitis
Nilai Normal
Negatif
Deskripsi
Terdapat minimal empat jenis virus hepatitis. Bentuknya secara klinis
sama, tetapi berbeda dalam imunologi, epidemiologi, prognosis dan
profilaksis. Jenis virus hepatitis: (1) hepatitis A; infeksius hepatitis, (2)
hepatitis B; hepatitis serum /transfusi, (3) hepatitis D; selalu berhubungan
dengan hepatitis B, (4) Hepatitis C; dahulu non A atau non B. Orang yang
berisiko hepatitis: pasien dialisis, pasien onkologi/hematologi, pasien
hemofili, penyalahguna obat suntik, homoseksual.
Hepatitis A
Hepatitis B
25
J. Amonia
Nilai Normal
Dewasa :
Anak : 40 80 mcg/dl
Deskripsi
Ammonia diperoleh dari metabolisme asam amino dan asam nukleat.
Beberapa ammonia juga dihasilkan dari reaksi metabolik seperti
glutamine yang akan diubah oleh ezim glutaminase menjadi asam
glutamik dan ammonia.
Implikasi Klinik
Kadar ammonia meningkat pada sirosis hati dan hepatitis berat
Kadar ammonia menurun pada kondisi hiperornitinemia dan
hipertensi malignant yang esensial
Nilai Normal
Nilai normal : <130 mg/dL atau SI: < 3,36 mmol/L
Nilai batas : 130 - 159 mg/dL atau SI: 3,36 - 4,11 mmol/L
Risiko tinggi: 160 mg/dL atau SI: 4,13 mmol/L
26
Deskripsi
LDL adalah B kolesterol
Implikasi Klinik
Nilai LDL tinggi dapat terjadi pada penyakit pembuluh darah
koroner atau hiperlipidemia bawaan. Peninggian kadar dapat
terjadi pada sampel yang diambil segera. Hal serupa terjadi pula
pada hiperlipoproteinemia tipe Ha dan Hb, DM, hipotiroidism,
sakit kuning yang parah, sindrom nefrotik, hiperlipidemia bawaan
dan idiopatik serta penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung
estrogen.
Penurunan LDL dapat terjadi pada pasien dengan hipoproteinemia
atau alfa-beta-lipoproteinemia
L. High Density lipoprotein (HDL)
Nilai Normal
Dewasa: 30 - 70 mg/dL atau SI = 0,78 - 1,81 mmol/L
Deskripsi
HDL merupakan produk sintetis oleh hati dan saluran cerna serta
katabolisme
Trigliserida
Implikasi Klinik
Terdapat hubungan antara HDL kolesterol dan penyakit
arteri koroner
Peningkatan HDL dapat terjadi pada alkoholisme, sirosis
bilier primer, tercemar racun industri atau poliklorin
hidrokarbon. Peningkatan kadar HDL juga dapat terjadi
pada pasien yang menggunakan klofibrat, estrogen, asam
nikotinat, kontrasepsi oral dan fenitoin
Penurunan HDL terjadi dapat terjadi pada kasus fibrosis
sistik, sirosis
hati, DM, sindrom nefrotik, malaria dan beberapa infeksi
akut. Penurunan HDL juga dapat terjadi pada pasien yang
27
M. Trigliserida
Nilai Normal
Pria : 40 - 160 mg/dL atau SI: 0,45 - 1,80 mmol/L
Wanita : 35 - 135 mg/dL atau SI: 0,4 - 1,53 mmol/L
Deskripsi
Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam bentuk
kilomikron dan VLDL (very low density lipoproteins)
Implikasi Klinik
Trigliserida meningkat dapat terjadi pada pasien yang
mengidap sirosis
alkoholik, alkoholisme, anoreksia nervosa, sirosis bilier,
obstruksi bilier,
trombosis cerebral, gagal ginjal kronis, DM, Sindrom Downs,
hipertensi,
hiperkalsemia, idiopatik, hiperlipoproteinemia (tipe I, II, III,
IV, dan V), penyakit penimbunan glikogen (tipe I, III, VI),
gout, penyakit iskemia hati
hipotiroidism, kehamilan, porfiria akut yang sering kambuh,
sindrom sesak nafas, talasemia mayor, hepatitis viral dan
sindrom Werner.
Kolestiramin, kortikosteroid, estrogen, etanol, diet karbohidrat,
mikonazol IV, kontrasepsi oral dan spironolakton dapat
meningkatkan trigliserida
Penurunan trigliserida dapat terjadi pada obstruksi paru kronis,
hiperparatiroidism,
hipolipoproteinemia,
limfa
ansietas,
28
B. Kolesistografi
Kini tidak lagi secara luas digunakan namun dapat digunakan untuk menilai
fungsi kandung empedu.
Indikasi
Tumor, penyempitan saluran empedu, batu empedu, dan jaundice.
Deskripsi tes
ERCP menggunakan endoskop fiberoptik yang memberikan
gambaran radiografi dari saluran empedu dan pankreas. ERCP sangat
berguna pada pemeriksaan jaundice. Lesi dapat terlihat jika terdapat
obstruksi sebagian atau keseluruhan dari saluran tersebut. Stone, kanker,
dan kista dapat diidentifikasi. Hanya ERCP dan percutaneous transhepatic
29
Pankreatitis akut.
Komplikasi potensial
-
Sepsis.
Pankreatitis.
Prosedur
-
30
E. Kolangiogram Transhepatik
Jarum kecil dimasukkan langsung ke dalam duktus bilier di dalam hati di
bawah pengaruh anatesi lokal. Kontras disuntikkan untuk memvisualisasikan
seluruh sister bilier. Tujuannya untuk mencoba dan menemukan penyebab jaudice
obstruktif. Teknik ini digunakan sebelum pemasangan stent bilier untuk
menvisualisasi sistem bilier jika ERCP tidak berhasil.
31
Citra
yang
dinamis
diperoleh
dengan
metode
fluoroskopi.
Pasien tidur telentang dan dianestesi lokal. Beri waktu agar anestesi
bereaksi.
Gambar diambil.
H. Kolesitogram Oral
Pemeriksaan penunjang ini kini jarang dilakukan. Medium kontras oral
iodin diminumkan satu malam sebelum pemeriksaan film pada kuadran atas kanan
pada hari berikutnya menunjukkan adanya kandung empedu yang mengalami
aposifikasi. Apoksifikasi tidak terjadi jika ada obstruksi duktus sistikus atau
pasien mengalami jaudice. Kalkuli terlihat sebagai efek pengisian, film yang
dibuat setelah konsumsi lemak menenjukkan perluasan dari kontraksi kandung
empedu.
32
I. Paracentesis
Temuan normal
Indikasi
Asites.
Deskripsi tes
Menyedot cairan rongga peritoneal menggunakan spuit atau kateter untuk
menganalisa penyebabnya. Dasar penentuan penyebab cairan pada rongga
peritoneal menggunakan cairan transudat dan eksudat seperti yang tertera
pada tabel dibawah.
33
J. Electroencephalography
Temuan normal
Frekuensi, amplitudo, dan karakteristik gelombang otak yang normal.
Indikasi
Ensefalopati hepatik.
Deskripsi tes
Perekaman aktivitas elektrik spontan dari otak selama periode tertentu
dari elektroda yang dipasang di kulit kepala dengan cara mengukur
fluktuasi tegangan yang dihasilkan oleh arus ion di dalam neuron otak.
K. Liver Biopsy
Temuan normal
Jaringan normal pada hati.
Indikasi
Liver biopsy adalah metode yang aman dan mudah untuk pemeriksaan
terkait kondisi hepar. Misal pada tumor, kanker, abses, kista, hepatitis,
sirosis, dan lain-lain.
Deskripsi tes
Pada pemeriksaan ini, jarum dimasukkan ke dinding abdomen
hingga ke hati. Jaringan hepar diambil menggunakan jarum untuk
pemeriksaan. Liver biopsy secara perkutan digunakan untuk mendiagnosa
berbagai gangguan pada fungsi hepar seperti sirosis, hepatitis, dan tumor.
Biopsy diindikasikan pada pasien yang tidak dapat diidentifikasi dengan
tes lain dan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit.
34
Komplikasi potensial
-
Prosedur
-
L. Liver Scanning
Temuan normal
35
Ukuran, bentuk, serta posisi yang normal pada hati dan limpa tanpa
kerusakan.
Indikasi
Tes ini memperlihatkan hepar dan limpa. Diindikasikan pada pasien
kanker untuk menghilangkan kanker hati atau yang kemungkinan
bermetastasis, kista, abses hati, sirosis, hematoma, hipertensi portal, atau
pasien dengan enzim hati yang abnormal.
Deskripsi tes
Isotop yang digunakan pada liver and spleen scanning adalah koloid sulfur
berlabel Tc. Prosedur radionuklida ini digunakan untuk mendeteksi
perubahan struktur pada hati dan limpa. Sebuah radionuklida diberikan i.v.
kemudian, sintilator sinar gamma ditempatkan di atas kanan dan kiri
kuadran perut yang akan mencatat distribusi partikel radioaktif yang
dipancarkan dari hati dan limpa. Gambar diperoleh dan dicatat secara
digital. Karena scan hanya dapat menunjukkan kecacatan dengan baik
bpada diameter lebih dari 2 cm, hasil negatif palsu pada pasien dapat
terjadi yang memiliki lesi besarnya kurang dari 2 cm.
Prosedur
-
36
M. Abdominal Ultrasonography
Temuan normal
Normal hepar.
Indikasi
Mendeteksi kista, abses, dan tumor pada hati. Pada tumor umumnya hasil
ultrasonografi terlihat ekogenik sedangkan abses dan kista tidak dapat
dibedakan secara pasti.
Deskripsi tes
Ultrasonografi memberikan gambaran akurat dari hati melalui
penggunaan gelombang suara frekuensi tinggi yang dihasilkan oleh kristal
piezo-elektrik. Dengan transduser yang sama, selain mengirimkan suara,
juga menerima suara yang dipantulkan dan mengubah sinyal menjadi arus
listrik yang kemudian diproses menjadi gambar skala abu-abu. Citra yang
bergerak didapatkan saat transduser digerakkan pada tubuh. Potonganpotongan dapat diperoleh pada setiap bidang dan kemudian ditampilkan
pada monitor.
Keuntungan pada metode ini yaitu biaya peralatan yang lebih murah,
peralatan yang mudah dibawa ke sisi tempat tidur pasien, dan tidak
menggunakan radiasi sehingga lebih aman pada pasien alergi dan ibu
hamil. Namun, pencitraan buruk saat melewati tulang dan udara karena
merupakan konduktor suara yang buruk sedangkan cairan memiliki
kemampuan menghantarkan suara dengan sangat baik. Penyebaran
gelombang suara saat melalui lemak menghasilkan citra yang buruk pada
pasien obesitas.
Prosedur
-
37
O. CT Abdomen
Temuan normal
Tidak ada bukti kelainan.
Indikasi
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama, namun
jika
tidak
berhasil
diusulkan
menggunakan
CT.
CT
dapat
38
Pasien diiinjeksi zat kontras iodine secara oral atau i.v. agar hasil
pencitraan lebih baik. Setelah melakukan injeksi zat kontras maka
wajah akan nampak merah dan terasa agak panas pada seluruh badan,
dan hal ini merupakan hal yang normal dari reaksi obat tersebut.
39
2.3
2.3.1 Jaundice
a. Definisi
Merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya perubahan warna kulit,
sklera mata atau jaringan lainnya, yang disebabkan karena ekskresi bilirubin yang
tidak sempurna di hati sehingga menyebabkan terjadinya hiperbilirubinemia
(Randall, 2009). Bilirubin yang tidak tereksresi masuk ke dalam cairan
ekstraselular (bilirubin bebas atau bilirubin terkonjugasi) dengan konsentrasi lebih
dari 1.5 mg/dl (normal 0.5 mg/dl) (Guyton, 2006). Jaundice pertama kali terlihat
di konjungtiva atau membran mukosa oral seperti langit-langit mulut atau di
bawah lidah
40
41
c. Tipe Jaundice
1. Jaundice Prehepatik (Jaundice Hemolitik)
Jaundice hemolitik disebabkan oleh lisis (penguraian) sel darah merah
yang berlangsung cepat dan hati tidak dapat mengonjugasikan (sehingga tubuh
tidak dapat mengekskresi), bilirubin secara cepat (Guyton, 2006). Bisa
disebabkan oleh hemolisis (anemia hemolitis), eritropoiesis inadekuat (anemia
megaloblastik), transfusi, malaria dapat menyebabkan jaundice, dll. Pada
jaundice
yang
disebabkan
hemolisis,
peningkatan
produksi
bilirubin
42
Ikterus
Ikterus Hepatik
Prehepatik
Bilirubin total
Ikterus Post
Hepatik
Normal/meningkat
Meningkat
Meningkat
Normal
Meningkat
Meningkat
Normal/meningkat
Meningkat
Normal
Urobilinogen
Normal/meningkat
Meningkat
Menurun/negatif
Warna Urin
Normal
Hitam
Hitam
Bilirubin
terkonjugasi
Bilirubin
tak
terkonjugasi
43
(urobilinogen)
(urobilinogen +
(bilirubin
bilirubin
terkonjugasi)
terkonjugasi)
Warna feaces
Normal
Normal
Pucat
Alkaline
Normal
Meningkat
Meningkat
ALT/AST
Normal
Meningkat
Meningkat
Biliribun
Tidak ditemukan
Ada
Ada
Fosfat
terkonjugasi di
urin
44
d. Imaging Test
1. Pemeriksaan Sonografi, CT Scan dan MRI
Sonografi : pemeriksaan ini menggunakan gelombang suara untuk
memeriksa bagian hati, kandung empedu, dan pancreas. Pemeriksaan ini
bersifat aman, tidak ada rasa sakit
CT Scan : pemeriksaan ini mirip dengan pemeriksaan menggunakan sinar
X.
pemeriksaan
ini
untuk
memeriksakan
adanyak
batu
empedu,
e. Neonatal Jaundice
Penyakit ikterus pada bayi biasanya bersifat tidak berbahaya, dan sering
terjadi sekitar hari kedua bayi tersebut lahir dan berlangsung hingga 8-14 hari.
Pada saat dikandungan, bilirubin yang terbentuk oleh janin akan melewati
plasenta, lalu di ekskresikan oleh hati ibu,. Setelah bayi tersebut lahir, bilirubin
45
tidak lagi dieksresikan oleh ibu, namun oleh hati bayi itu sendiri. Pada saat itu
metabolis dan psikologis dari bayi pada minggu pertama belum stabil, sehingga
konsentrasi bilirubin plasma meningkat lebih dari 1 mg/dl (rata-rata 5 mg/dl
selama 3 hari pertama). Ikterus pada bayi ditandain dengan adanya warna kuning
pada kulit dan sklera mata. Namun, ikterus pada bayi bisa berbahaya apabila tidak
ditangani dengan benar, seperti kecacatan permanen (Guyton, 2006). Terapi yang
dapat diberikan, yaitu :
1. Fototerapi
Digunakan untuk menurunkan kadar bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin
menyerap sinar pada panjang gelombang 450 460 nm. Fototerapi dilakukan
dengan radiasi sinar biru-hijau spectrum 460 490 nm, 30 40 W/cm2/nm
(diukur pada kulit bayi secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi)
dan diarahkan ke permukaan kulit bayi.
2. Pemberian ASI
AAP (American Academic of Pedriatric) merekomendasikan pemberian ASI
setidaknya 8 12 kali perhari selama beberapa hari dimana pemberian ASI
dapat
menurunkan
kadar
bilirubin
(hiperbilirubinemia).
AAP
tidak
menyarankan penggantian ASI dengan susu formula, air biasa atau air yang
mengandung gula, karena tidak dapat menurunkan kadar bilirubin.
46
utamanya
dimetabolisme
dehydrogenase (ADH)
di
hepar.
Alkohol
dioksidasi
oleh
alcohol
2.3.2.2 Perlemakan Hati Non Alkoholik (Non Alcoholic Fatty Liver Disease
/NAFLD)
Perlemakan hati non alkoholik merupakan kondisi yang semakin disadari
dapat berkembang menjadi penyakit hati lanjut. Spektrum penyakit perlemakan
hati ini mulai dari perlemakan hati sederhana sampai pada perlemakan hati non
alkoholik, fibrosis dan sirosis hati.
Kriteria lain yang penting adalah pengertian non alkoholik. Batasan nilai
atas dari non alkoholik adalah jumlah konsumsi alkohol untuk wanita 20
gram/hari dan untuk laki-laki 30 gram/hari.
Definisi Non-alcoholic Fatty terjadi pada seseorang bukan peminum
alkohol, dengan spektrum kelainan hati meliputi perlemakan hati saja, perlemakan
dengan keradangan hati, sampai dengan fibrosis dan sirosis. Dalam bahasa
Indonesia istilah NAFLD diterjemahkan sebagai penyakit perlemakan hati nonalkoholik.
Etiologi
Berbagai jenis kondisi dan zat dapat berhubungan dengan terjadinya
NAFLD. Secara umum, penyebab NAFLD dibagi menjadi dua kategori, obatobatan & toksin serta kelainan metabolik, baik yang didapat atau kongenital. Halhal yang berpotensi sebagai penyebab NAFLD, antara Lain:
47
Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien dengan perlemakan hati non alkoholik tidak
menunjukkan gejala maupun tanda- tanda adanya penyakit hati. Beberapa pasien
melaporkan adanya rasa lemah, malaise, keluhan tidak enak dan seperti
mengganjal di perut kanan atas. Pada kebanyakan pasien, hepatomegali
merupakan satu-satunya kelainan fisis yang didapatkan. Umumnya pasien dengan
perlemakan hati non alkoholik ditemukan secara kebetulan pada saat dilakukan
pemeriksaan lain, misalnya dalam medical check up. Sebagian lagi datang dengan
komplikasi sirosis seperti asites, perdarahan varises, atau bahkan sudah
berkembang menjadi hepatoma.
Patofisiologi
Pengetahuan mengenai patogenesis perlemakan hati non alkoholik masih
belum memuaskan. Dua kondisi yang sering berhubungan dengan perlemakan hati
non alkoholik adalah obesitas dan diabetes melitus, serta dua abnormalitas
metabolik yang sangat kuat kaitannya dengan penyakit ini adalah peningkatan
suplai asam lemak ke hati serta resistensi insulin. Hipotesis yang sampai saat ini
banyak diterima adalah the two hit theory yang diajukan oleh Day dan James.
48
Pemeriksaan Laboratorium
49
Parameter
Nilai normal
Keterangan
Terkadang terjadi
(menjadi parameter
U/L
nilai normal.
fungsi hepar)
Rasio (AST: ALT)
AST : ALT = 1
GGT
Alkaline phosphatase
Laki-laki 94 U/L
Perempuan 70 U/L
harga normal)
30 - 130 U/L
Trigliserida
Dislipidemia ditemukan
Wanita : 35 - 135
mg/dL
biasanya berupa
peningkatan konsentrasi
trigliserida.
Peningkatan
ringan
sampai
sedang,
konsentrasi
aspartase
50
waktu
protrombin
yang
memanjang,
hipoalbuminemia,
dan
Pemeriksaan Radiologi
Biopsi hati merupakan baku emas (gold standard) pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis dan sejauh ini masih menjadi satu- satunya metoda
untuk membedakan perlemakan hati non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau
disertai inflamasi. Hasil biopsi hati tidak dapat digunakan untuk membedakan
antara NAFLD dengan penyakit perlemakan hati alkoholik karena keduanya
memiliki gambaran histologi yang sama.
Metode pencitraan yang umum digunakan untuk mendeteksi NAFLD
adalah ultrasonografi (USG), computerized tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI). Untuk diagnosis NAFLD, pemeriksaan USG hati
adalah pilihan pencitraan yang umum dan paling banyak digunakan dalam praktek
klinik dan penelitian di masyarakat. Hal ini dikarenakan mudah dikerjakan, biaya
relatif murah, tidak invasive, banyak tersedia dan mempunyai nilai akurasi yang
baik. Untuk mendeteksi steatosis, pemeriksaan USG mempunyai sensitivitas
sebesar 89% dan spesifisitas 93%. Pada pemeriksaan USG, perlemakan hati
memberikan gambaran peningkatan ekogenik difus yang disebut bright liver
dengan atenuasi posterior dibandingkan dengan ekhogenitas ginjal. Pada
umumnya perlemakan hati bersifat difus, tetapi pada beberapa kasus dapat bersifat
setempat (localized) yang mengenai sebagian parenkhim hati.
51
2.3.3 Hepatitis
Semua jenis penyakit peradangan atau pembengkakan hati (liver) yang
disebabkan oleh virus. Hepatitis dapat dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan
virus penyebabnya yaitu, hepatitis A, B, C, D, dan E
A. Hepatitis A (HAV)
Penularan infeksi HAV terutama melalui transmisi fecal-oral,
orang ke orang, atau dengan menelan makanan atau minuman yang
terkontaminasi. Kejadian HAV berhubungan dengan status sosial-ekonomi
rendah, kondisi sanitasi yang buruk, dan kepadatan penduduk penyakit
endemis di beberapa negara berkembang. Selain itu, hepatitis ini bersifat
ringan, akut, sembuh secara spontan/sempurna tanpa gejala sisa dan tidak
menyebabkan infeksi kronik. Penyakit ini terbagi ke dalam tiga fase,
inkubasi (rata-rata 28 hari, dengan rentang waktu 15-50 hari), Hepatitis
akut (umumnya berlangsung 2 bulan), dan penyembuhan. HAV tidak
menyebabkan infeksi kronis (Wells, dkk. 2015)
Diagnosa infeksi HAV akut berdasarkan kriteria klinik, kelelahan, nyeri
perut, kehilangan nafsu makan, mual intermeten dan muntah, sakit kuning
atau kadar serum aminotransferase meningkat, dan serologi pengujian
untuk immunoglobulin (ig) G anti-HAV. Pencegahannya melalui
kebersihan lingkungan, terutama terhadap makanan dan minuman, dan
melakukan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
52
B. Hepatitis B
HBV (Hepatitis B Virus)
53
surface antigen (HbsAg) dan HBcAg dantiter serum tinggi DNA HBV
selama lebih dari 6 bulan memiliki HBV kronis.
54
Pada infeksi kronik, HBsAg dan HBeAg akan tetap terdeteksi selama lebih
dari 36 minggu dan kadarnya menetap, diikuti dengan anti HBc dan anti
HBe yang juga menatap.
C. Hepatitis C
HCV adalah virus RNA untai tunggal yang merupakan penyebab
hepatitis C. HCV adalah patogen yang paling umum masuk melalui darah.
HCV paling sering didapat melalui penggunaan obat IV, hubungan
seksual, hemodialisa, perinatal. Mayoritas pasien (sampai 85%) infeksi
HCV akut akan berlanjut menjadi infeksi HCV kronis ditandai dengan
terdeteksinya HCV RNA selama 6 bulan atau lebih. Pasien dengan infeksi
HCV akut kerap kali asimptomatik dan tidak terdiagnosa, gejala yang
ditimbulkan berupa kelelahan, lemah, jaundice, nyeri perut dan urin
berwarna gelap. Diagnosa infeksi HCV dilakukan dengan reactive enzyme
immunoassay untuk anti-HCV. Serum transaminase meningkat pada
minggu keempat sampai minggu keduabelas setelah terpapar.
55
ALT meningkat mulai terpapar pada bulan pertama sampai bulan ketiga
kemudian menurun dan menetap pada nilai normal setelah bulan keenam.
D. Hepatitis D
Hepatitis D merupakan virus RNA defektif yang menyebabkan
hepatitis hanya pada pasien yang mengalami infeksi hepatitis B dan
khususnya hanya pada keberadaan HBsAg. Penularan HDV sama dengan
HBV, yaitu melalu jalur parenteral.
HDV dapat menginfeksi bersamaan dengan HBV atau superinfeksi
pada pasien dengan penyakit hepatitis B kronis. HDV yang terjadi
bersamaan dengan infeksi HBV memiliki tingkat infeksi yang sama
dengan infeksi HBV akut sendiri. Pada HBV kronis, super infeksi oleh
HDV muncul dan menyebabkan keadaan yang lebih parah dan dapat
dengan cepat menyebabkan sirosis (Anonim.2012).
Pada uji serologi Anti-HDV dideteksi 12-32 minggu setelah
terinfeksi. Terdeteksi 50% pada pasien yg terinfeksi HDV
56
E. Hepatitis E
Hepatitis E merupakan virus RNA dengan periode inkubasi ratarata adalah 40 hari (13 56 hari). Penularan HEV, sama dengan HAV
yaitu melalui fecal oral. Air minum yang tercemar tinja merupakan media
penularan yang paling umum. Infeksi HEV selalu bersifat akut.
Diagnosis pada pasien dapat dideteksi lebih awal dengan pengujian
antibody IgM dan IgG terhadap hepatitis E (anti-HEV). IgA anti-HEV
juga dapat digunakan untuk mendiagnosis hepatitis E akut untuk pasien
yang menunjukkan hasil negatif pada IgM anti-HEV.
57
IgG anti-HEV; dideteksi 3-4 minggu setelah terinfeksi dan kadarnya tetap
minggu setelahnya
Inkubasi
Transmisi
Hepatitis B
Hepatitis C
Hepatitis D
Hepatitis E
15-50 hari
4-10 minggu
14-180 hari
37
3 8 minggu
(CDC)
(pharmacotheraphy (rata-rata 45
minggu
(WHO)
handbook)
hari) (CDC)
(WHO)
fecal oral,
Parenteral, seksual,
Parenteral,
Seksual,
fecal oral,
makanan/air,
perinatal, darah
seksual,
penggunaan
makanan/air,
sanitasi
perinatal,
jarum
sanitasi buruk
buruk
darah
suntik
bersamasama,
perkutan,
permukosa
Infeksi
Tidak
Ya, ada
Ya, ada
Ya, Ada
Tidak
Kronis
Gejala
Gejala yang ditimbulkan dari tiap hepatitis hampir sama dan bisa terdapat
satu/lebih gejala :
Demam, lelah, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, nyeri pada perut, jaundince
58
Serologi
IgM anti-
HBsAg
HCV
IgM anti-
IgM anti-HEV
Test
HAV,
HBeAg
Anti-HCV
HDV
IgG anti-HEV,
IgG anti-
ALT
Infeksi akut
ALT
HAV
anti HBs
meningkat
ALT
meningkat
Infeksi akut
anti Hbe
ALT
ALT meningkat
meningkat
meningkat
Etiologi
Onset fibrosis hati biasanya tidak terdeteksi dan kebanyakan morbiditas
dan mortalitas yang berkaitan terjadi setelah terjadi sirosis. Pada kebanyakan
pasien, progresi menjadi sirosis terjadi setelah interval 15 - 20 tahun. Fibrosis hati
berkembang cepat menjadi sirosis pada beberapa keadaan klinis, termasuk episode
59
Diagnosis
Diagnosis yang akurat terhadap luas fibrosis perlu sebagai dasar
60
Etiologi
Penyakit infeksi
Skistosomiasis
Virus Hepatitis (Hepatitis B, Hepatitis C, Hepatitis D)
Penyakit Keturunan dan Metabolik
Defisiensi 1- antitripsin
Sindrom Fanconi
Galaktosemia
Penyakit Gaucher
Hemokromatosis
Penyakit Wilson
Obat dan Toksin
Alkohol
Amiodaron
Arsenik
Obstruksi bilier
Penyebab lain
Penyakit usus inflamasi kronik
Fibrosis kistik
Sarkoidosis
Di negara barat paling sering disebabkan alkoholik sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B dan C.
61
Manifestasi Klinis
Gejala dan akibat yang ditimbulkan dapat disebabkan oleh sirosis hati atau
Pembengkakan atau penumpukan cairan pada kaki (edema) dan pada perut
(ascites).
Spider angiomata atau spider nevi, lesi vaskular terdiri dari arteriola pusat
yang dikelilingi oleh pembuluh yang lebih kecil (seperti laba laba)
biasanya pada daerah dada dan punggung.
62
Klasifikasi
63
konsentrasinya bisa normal pada sirosis hati kompensata, tetapi bisa meningkat
pada sirosis yang lanjut. Albumin, sintesisnya terjadi dii jaringan hati,
konsentrasinya
menurun
sesuai
dengan
perburukan
sirosis.
Globulin,
64
Beberapa mulai sebagai tumor tunggal yang tumbuh lebih besar. Pada
stadium lanjut menyebar ke bagian lain dari hati.
Tipe kedua banyak nodul kecil kanker di seluruh hati, bukan hanya tumor
tunggal. Sering terjadi pada orang dengan (kerusakan hati kronis) sirosis
dan ini merupakan yang paling umum terlihat di Amerika Serikat.
B. Epidemilogi
HCC meliputi 5,6% dari seluruh kasus kanker pada manusia serta
menempati peringkat kelima pada laki-laki dan kesembilan pada perempuan
sebagai kanker tersering di dunia, dan urutan ketiga dari kanker sistem saluran
cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio
antara mortalitas dan insidensi) HCC juga sangat tinggi, di urutan kedua setelah
kanker pankreas. Secara geografis,di dunia terdapat tiga kelompok wilayah tingkat
kekerapan HCC, yaitu tingkat kekerapan rendah (kurang dari tiga kasus);
menegah (tingga ingga sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari sepuluh kasus per
100.000 penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia timur dan
65
Angka Insidens
Laki-laki
Perempuan
Global
14,97
5,51
Afrika Timur
14,44
6,02
Afrika Tengah
24,21
12,98
Afrika Utara
4,95
2,68
Afrika Selatan
6,16
2,07
Afrika Barat
13,51
6,16
Asia Timur
35,46
12,6
Asia Tenggara
18,35
5,70
2,77
1,45
Asia Barat
5,60
2,04
Kepulauan Pasifik
12,98
6,38
Eropa Timur
5,8
2,55
Eropa Utara
2,61
1,39
Eropa Selatan
9,84
3,45
Eropa Barat
5,85
1,61
Karibea
7,58
4,17
Amerika Tengah
2,06
1,64
Amerika Selatan
4,80
3,68
4,11
1,68
3,60
1,19
66
Sekitar 80% dari kasus HCC di dunia berada di negara berkembang seperti
Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah (Sub-Sahara), yang diketahui
sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Di negara maju dengan
tingkat kekerapan HCC rendah atau menengah, prevalensi infeksi HCV
berkolerasi baik dengan angka kekerapan HCC. HCC jarang ditemukan pada usia
muda, kecuali di wilayah yang endemik infeksi HBV serta banyak terjadi
transmisi HBV perinatal. Umumnya di wilayah dengan kekerapan HCC tinggi,
umur pasien HCC 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien HCC di wilayah
dengan angka kekerapan HCC rendah. Hal ini dapat dijelaskan antara lain karena
di wilayah dengan angka kekerapan tinggi, infeksi HBV sebagai salah satu
penyebab terpenting HCC, banyak ditularkan pada masa perinatal atau masa
kanak-kanak, kemudian terjadi HCC sesudah dua-tiga dasawarsa. Pada semua
populasi, kasus HCC laki-laki jauh lebih banyak (dua-empat kali lipat) daripada
kasus HCC perempuan. Di wilayah dengan angka kekerapan HCC tinggi, rasio
kasus laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lebih rentannya laki-laki terhadap
timbulnya tumor, atau karena laki-laki lebih banyak terpejan oleh faktor risiko
HCC seperti virus hepatitis dan alkohol (BudiHusodo, 2008).
C. Faktor Risiko
kuat, baik secara epidemiologis, klinis maupun eksperimental. Umur saat terjadi
infeksi merupakan faktor risiko penting, karena infeksi HBV pada usia dini
berakibat akan terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenisitas HBV terhadap
hati mungkin terjadi melalui proses inflamasi kronik, peningkatan proliferasi
hepatosit, integrasi HBV DNA ke dalam DNA sel penjamu, dan aktifitas protein
spesifik HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit
dari kondisi inaktif menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferatif merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu oleh
ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.
67
Koinsidensi infeksi HBV dengan pejanan agen ongkogenik lain seperti aflatoksin
dapat menyebabkan terjadinya HCC tanpa melalui sirosis hati (HCC pada hati non
sirotik). Transaktifasi beberapa promoter seluler atau viral tertentu oleh gen-x
HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya HCC, mungkin karena akumulasi
protein yang disandi HBx mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit.
Dalam hal ini proliferasi berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme
protektif dari apoptosis sel. Genotipe HBV ditengarai memiliki kemampuan yang
berbeda dalam mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis
genotipe HBV semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan
genotipe C, genotipe B dihubungkan dengan serokonversi HBsAg yang lebih
awal, progresi ke sirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi
HCC (BudiHusodo, 2008).
risiko penting dari HCC. Infeksi HCV berperan penting dalam patogenesis HCC
pada pasien yang bukan pengidap HBV. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi
HCV diduga melalui aktifitas nekroinflamasi kronik dan sirosis hati. Inflamasi
kronis oleh sebab infeksi HCV meningkatkan risiko HCC dengan pemicuan
fibrogenesis hati yang pada akhirnya berujung sirosis, melalui pengaktifan
transforming growth factor (TGF)-, di samping adanya kemungkinan induksi
transformasi ganas pada hepatosit sendiri oleh mutasi pada gen yang instabil
dalam kondisi inflamasi kronis tersebut (BudiHusodo, 2008).
Sirosis hati
Sirosis hati (SH) merupakan faktor risiko utama HCC di dunia dan
melatarbelakangi lebih dari 80% kasus HCC. Sebagian besar HCC muncul dari
sirosis yang diinduksi baik oleh hepatitis kronis viral, penyakit hati alkoholik,
steatohepatitis non-alkoholik, hemokromatosis, ataupun gangguan metabolik.
Sirosis merupakan stadium akhir dari inflamasi kronis hati akibat berbagai
etiologi tadi. Inflamasi kronis yang meliputi kerusakan, regenerasi maupun
68
proliferasi sel ini memberi tempat bagi mutasi maupun ketidakstabilan gen, yang
pada gilirannya dapat memunculkan HCC (BudiHusodo, 2008).
Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Obesitas
Suatu penelitian kohort pospektif pada lebih dari 900.000 individu di
penyakit hati kronik maupun untuk HCC melalui terjadinya perlemakan hati dan
setatohepatitis non-alkoholik (NASH). Di samping itu, DM dihubungkan dengan
peningkatan kadar insulin dan Insulinlike growth factors (IGFs) yang merupakan
69
faktor promotif potensial untuk kanker. Penelitian kohort besar oleh El Serag,
dkk. yang melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM
menemukan bahwa insidensi HCC pada kelompok DM lebih dari dua kali lipat
dibandingkan dengan insidensi HCC kelompok bukan DM (BudiHusodo, 2008).
Alkohol
Meskipun alkohol tidak memiliki kemampuan mutagenik, peminum berat
pasti
HCC
tidak
diketahui.
Namun
jelas
bahwa
70
langsung (misalnya bahan kimia tertentu dan karsinogenesis virus (HBV)) dan
karsinogenik tidak langsung (misalnya nekroinflamasi kronis; lihat Gambar 1).
Proses nekroinflamasi kronis ditandai oleh destruksi berulang parenkim hepar
yang disertai stimulasi regenerasi dan remodelling hepar yang terus-menerus.
Bahan-bahan sitokin dan imunomodulator seperti interleukin, interferon, tumor
necrosis factor-, protease, dan faktor-faktor pertumbuhan dilepaskan dan dapat
memicu timbulnya fokus-fokus praganas dari hepatosit yang mengalami displasia
yang dapat berujung pada transformasi ganas. Patogenesis molekuler HCC
tidaklah seragam. HCC adalah tumor yang secara genetik sangat heterogen,
dengan abnormalitas kromosom yang multipel walaupun tidak semuanya
terekspresi pada suatu HCC. Mutasi gen DNA, modifikasi epigenetik dari gen
supresor tumor, kerentanan genetik akibat polimorfisme genetik dalam enzimenzim yang memetabolisme obat, berbagai faktor pertumbuhan (seperti misalnya
insulin-like growth factors, epidermal growth factors/EGF, transforming growth
factor-/TGF-)
tampaknya
memiliki
peran
dalam
patogenesis
HCC
(BudiHusodo, 2008).
Apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi
melalui peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera
(injury) dengan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan keruskan oksidartif
DNA. Hal ini dapat menimbulkan perubahan genetik seperti perubahan
kromosom, aktivasi onkogen seluler atau inaktivasi gen supresor tumor, yang
mungkin bersama dengan kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi
telomerase, serta induksi faktor-faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis
virus kronik, alkohol dan penyakit hati metabolik seperti hemokromatosis dan
defisiensi antitripsin-alfa1, mungkin menjalankan peranannya terutama melalui
jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan sirosis). Dilaporkan bahwa HBV dan
mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu juga berperan langsung pada
patogenesis molekular HCC. Aflatoksin dapat menginduksi mutasi pada gen
supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan juga berperan
pada tingkat molekular untuk berlangsungnya proses hepato karsinogenesis
(BudiHusodo, 2008).
71
E. Manifestasi Klinis
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC ditemukan tersering pada
median umur antara 50 dan 60 tahun, dengan predominasi pada laki-laki. Rasio
antara kasus laki-laki dan perempuan berkisar antara 2-6:1. Manifestasi klinisnya
sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala dan tandanya sangat jelas
dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau
perasaan tak nyaman di kuadran kanan-atas abdomen. Pasien sirosis hati yang
makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di kuadran kanan atas; atau
teraba pembengkakan lokal di hepar patut dicurigai menderita HCC. Demikian
pula bila tidak terjadi perbaikan pada asites, perdarahan varises atau pre-koma
setelah diberi terapi yang adekuat; atau pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg
atau anti-HCV positif yang mengalami perburukan kondisi secara mendadak. Juga
harus diwaspadai bila ada keluhan rasa penuh di abdomen disertai perasaan lesu,
penurunan berat badan dengan atau tanpa demam (BudiHusodo, 2008).
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau
diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan
diafragma, atau karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar pasien HCC
sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompenasai, maupun
72
Anamnesis
Sebagian besar penderita yang datang berobat sudah dalam fase lanjut dengan
keluhan nyeri perut kanan atas. Sifat nyeri ialah nyeri tumpul,terus-menerus,
kadang-kadang terasa hebat apabila bergerak. Di samping keluhan nyeri perut ada
pula keluhan seperti benjolan di perut kanan atas tanpa atau dengan nyeri, perut
membuncit karena adanya asites. Dan keluhan yang paling umum yaitu merasa
badan semakin lemah, anoreksia, perasaan lekas kenyang.
Pemeriksaan Fisik
Bila pada palpasi abdomen teraba hepar membesar, keras yang berbenjolbenjol, tepi tumpul lebih diperkuat, bila pada auskultasi terdengar bising
pembuluh darah maka dapat diduga sebagai kanker hepar.
Pemeriksaan Penunjang
73
Pemeriksaan Laboratorium
Alfa-fetoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang
disintesis oleh sel hati fetal, sel yolk-sac dan sedikit sekali oleh saluran
gastrointestinal fetal. Rentang normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL.
Kadar AFP meningkat pada 60% samapi 70% dari pasien HCC, dan kadar
lebih dari 400ng/mL adalah diagnostik atau sangat sugestif untuk HCC.
Nilai normal dapat ditemukan juga pada HCC stadium lanjut. Hasil
positif-palsu dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada
kehamilan (20-150ng/mL).
Penanda tumor lain untuk HCC adalah des-gamma carboxy
prothrombin(DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat hingga 91%
pada pasien HCC, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Kadar normalnya <
7,5ng/mL. Ada beberapa lagi penanda HCC, seperti AFP-L3 (suatu
subfraksi AFP) yang meningkat 10% pada pasien HCC, alfa-Lfucosidase serum, dll., tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitifitas
& spesifitas melibihi AFP, AFP-L3, dan PIVKA-2 (BudiHusodo, 2008).
Imaging test
a) Ultrasonografi Abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis
hati dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk
tumor kecil pada pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitif dari pada
AFP serum berulang. Sensitifitas USG untuk neoplasma hati berkisar
antara 70% hingga 80%. Tampilan USG yang khas untuk HCC kecil
adalah gambaran mosaik, formasi septum, bagian perifer sonolusen (berhalo), bayangan lateral yang dibentuk oleh pseudokapsul fibrotik, serta
penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor metastasis, HCC dengan
diameter kurang dari dua sentimeter mempunyai gambaran bentuk cincin
yang khas. USG color Doppler sangat berguna untuk membedakan HCC
dari tumor hepatik lain. Tumor yang berada di bagian atas-belakang lobus
74
kanan mungkin tidak dapat terdeksi oleh USG. Demikian juga yang
berukuran terlalu kecil dan isoekoik. (BudiHusodo, 2008).
adalah
pemeriksaan
kanker
dengan
menggunakan
75
sarana tes ini untuk KHS dan nodul displastik pada sirosis hati. Hasil studi
menunjukkan sensitivitas untuk diagnosis KHS dilaporkan hanya sebesar
53% saja. Hal ini disebabkan karena lesi-lesi yang tidak terdeteksi tersebut
kebanyakan mempunyai diameter kecil yaitu rata-rata 1,3 cm. Sebaliknya,
nodul displastik derajat tinggi meskipun dapat dideteksi namun
terdiagnosis sebagai KHS karena adanya arterial phase enhancement.
Dengan demikian, diperlukan kriteria lain selain arterial phase
enhancement untuk membedakan nodul displastik dari KHS yang kecil.
Pemeriksaan Lainnya
a) Laparoscopy
Pada prosedur ini dokter memasukkan tabung kecil dan bercahaya
dengan kamera video kecil di ujung, melalui sayatan kecil pada perut
untuk melihat hati dan organ internal lainnya. Laparoscopy dapat
membantu dalam perencanaan operasi dan treatment lainnya dan dapat
membantu dokter untuk menentukan stadium pada kanker.
b) Biopsy
Merupakan prosedur mengambil sampel dari jaringan untuk dilihat
apakah ada sel
membutuhkan biopsy jika hasil tes pada CT scan dan MRI sudah cukup
meyakinkan jika pasien menderita kanker hepar.
76
G. Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebih dari 2 cm, adanya penyakit hati
kronik, hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT scan atau MRI) serta
kadar AFP serum 400ng/mL adalah diagnostik untuk HCC (Tabel 2). Diagnosis
histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi berdiameter > 2 cm)
dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan terapi. Untuk tumor
berdiameter < 2cm, sulit menegakkan diagnosis secara non-invasif karena berisiko
77
H. Sistem Staging
Dalam staging klinis HCC terdapat pemilihan pasien atas kelompokkelompok yang prognosisnya berbeda, berdasarkan parameter klinis, biokimiawi
dan radiologi pilihan yang tersedia. Sistem staging yang ideal seharusnya juga
mencantumkan penilaian ekstensi tumor, derajat gangguan fungsi hati, keadaan
umum pasien serta keefektifan terapi. Sebagian besar pasien HCC adalah pasien
sirosis yang juga mengurangi harapan hidup. Sistem yang banyak digunakan
untuk menilai status fungsional hati dan prediksi prognosis pasien sirosis adalah
sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (Gamber 3.), tetapi sistem ini tidak
ditujukan untuk penilaian sistem staging HCC. Beberapa sistem yang dapat
dipakai untuk staging HCC adalah:
-
Stadium I
Satu fokal tumor berdiameter 3 cm yang terbatas hanya pada salah satu
segmen.
Stadium II
Satu fokal tumor berdiameter > 3 cm, tumor terbatas pada segmen I
atau multifokal tumor terbatas pada lobus kanan atau lobus kiri hepar.
Stadium III
Tumor pada segmen I meluas ke lobus kiri (segmen IV) atau ke lobus
kanan segmen V dan VIII atau tumor dengan invasi periferal ke
sistem pembuluh darah atau pembuluh empedu tetapi hanya terbatas
pada lobus kanan atau lobus kiri hepar.
Stadium IV
79
Multifokal tumor yang mengenai lobus kanan dan lobus kiri hepar atau
invasi tumor ke dalam pembuluh darah hepar ataupun pembuluh
empedu atau invasi tumor ke pembuluh darah di luar hepar seperti
pembuluh darah vena limpa (vena lienalis) atau vena cava inferior atau
adanya metastase keluar dari hepar.
I. Terapi
Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan
multi-nodularitas, resektabilitas HCC sangat rendah. Di samping itu kanker ini
juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif. Pilihan
terapi ditetapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran tumor,
serta derajat pemburukan hepatik. Untuk menilai status klinis, sistem skor ChildPugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Telaah
mengenai terapi HCC menemukan sejumlah kesulitan karena terbatasnya
penelitian dengan kontrol yang membandingkan efikasi terapi bedah atau terapi
ablatif lokoregional, di samping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok
kontrol pada berbagai penelitian individual. Berikut adalah algoritma terapi dalam
penatalaksanaan HCC:
80
81
82
83
terdiri atas nyeri abdomen, demam, keluhan yang menyerupai flu, kelemahan
umum, ataupun mual, yang biasanya membaik spontan dalam 2 4 hari,
walaupun pada beberapa pasien dapat berlanjut menjadi abses hati. Komplikasi
meliputi komplikasi pada tempat injeksi (<5% tindakan, meliputi hematoma,
perdarahan, trombosis) dan komplikasi terkait tindakan (1-5% tindakan, meliputi
infeksi/abses, gagal hati akut, netropenia) (BudiHusodo, 2008).
Terapi Sistemik
Banyak studi yang meneliti terapi sistemik untuk HCC, khususnya pada
pasien yang inoperabel, dan banyak pula yang hasilnya tidak terlalu
menggembirakan. Terapi kemoterapi sistemik yang diberikan dapat digolongkan
ke dalam beberapa kelompok, antara lain:
1. Kemoterapi sitotoksik
Meliputi etoposide, doxorubicin, epirubicin, cisplatin, 5-fluorouracil,
mitoxantrone, fludarabine, gemcitabine, irinotecan, nolatrexed).
2. Terapi hormonal
Estrogen secara in vitro terbukti memiliki efek merangsang proliferasi
hepatosit, dan secara in vivo bisa memicu pertumbuhan tumor hepar. Obat
antiestrogen, tamoxifen, dipakai karena bisa menurunkan jumlah reseptor
estrogen di hepar. Namun hasil studi random fase III yang dilakukan oleh
Barbare ternyata tidak menunjukkan peningkatan survival.
3. Terapi somatostatin (ocreotide, lanreotide)
Somatostatin memiliki aktivitas antimitosis terhadap berbagai tumor nonendokrin, dan sel-sel HCC memiliki reseptor somatostatin. Karena itu
analog somatostatin dipakai untuk menangani pasien dengan HCC yang
lanjut. Sebuah penelitian random awal oleh Kouroumalis dkk. menunjukkan
perbaikan survival pada pasien yang diberi terapi ocreotide secara subkutan,
namun studi lainnya oleh Becker dkk. menunjukkan tidak ada peningkatan
survival pada pemberian ocreotide aksi lama (lanreotide).
4. Terapi dengan thalidomide (sebagai terapi tunggal atau kombinasi dengan
epirubicin atau interferon)
84
85
86
komposisi
empedu,
nukleasi
(pembentukan
inti)
dan
Ascites
Asites biasa disebut sebagai kantung air atau kantung anggur yang
merupakan patofisiologi dari akumulasi cairan limfa didalam ruang
peritoneal. Asites adalah komplikasi paling awal pada sirosis. Mekanisme
terjadinya asites adalah multifaktorial. Hipertensi portal berat dan
insufisiensi hepatik menyebabkan vasodilatasi ateri splanchnic dan
menurunkan resistensi periferal. Hasil dari hipotensi sistemik tersebut
menyebabkan aktivitas dari sistem syaraf simpatis dan sistem renin-
87
lainnya.
Tekanan
hidrostatik
meningkat
menyebabkan
Anemia hemolitik
Hepar merupakan organ yang penting dalam tubuh yang turut
mempertahankan sistem hemopoesis. Apabila fungsi hepar terganggu,
maka sistem hemopoesis akan terganggu juga, sehingga dalam kondisi
sirosis, anemia dapat terjadi. Anemia sering ditemukan pada pasien dengan
sirosis hepar sekitar 60-75%. Etiologinya bermacam-macam antara lain
defisiensi asam folat, hemolisis, hipersplenisme, kegagalan sumsum tulang
dan faktor penyakit hepar sendiri. Pada beberapa penelitian, sering
ditemukan masa hidup eritrosit memendek pada penderita sirosis hepar.
Pada kondisi sirosis, terjadi perubahan yang khas pada lipid
membran eritrosit dimana rasio kolesterol dan fosfolipid membran eritrosit
berubah dan sebagai akibatnya terbentuk kelainan morfologi eritrosit
berupa makrosit (eritrosit yang berukuran lebih dari 8 um) yang tipis,
target sel dan makrosit tebal. Saat penyakit semakin parah, penimbunan
kolesterol dalam membran eritrosit tanpa disertai penimbunan lesitin
(komponen fosfolipida utama berbagai membrane sel,) mengakibatkan
terbentuknya spur sel sehingga umur eritrosit memendek karena terjadi
hemolisis. Hal ini menandakan penyakit sudah semakin parah dan
prognosisnya jelek. Selain itu, hemolisis juga terjadi akibat abnormalitas
metabolisme eritrosit,serta adanya hipersplenisme yang mengakibatkan
umur eritrosit memendek. Anemia hemolitik merupakan anemia yang
88
Defisiensi Vitamin D
Defisiensi vitamin D juga kerap sekali terjadi pada penderita
gangguan hepar. Vitamin D dari makanan setelah diserap bagian
proksimal usus halus. Setelah diserap, vitamin D digabungkan dengan
kilomikron dan diangkut dalam sistem limfatik. Dari sistem limfatik,
89
tersebut,
vitamin
ditransportasikan
ke
hati
dan
oleh
di
ginjal
menjadi
kalsitriol.
Kalsitriol
berperan
dalam
Defisiensi vitamin K
Vitamin K adalah koenzim dalam proses sintesis faktor pembekuan
darah antara lain II, VII, IX dan X.Vit. K merupakan senyawa yang
bersifat lipofil dan agar ia dapat diabsorbsi perlu bantuan empedu
untuk emulsifikasi. Tetapi, empedu tidak dapat terbentuk karena
empedu berasal dari metabolisme kolesterol. Sedangkan sel-sel hepar
tidak dapat melakukan metabolisme tsb. sehingga pada akhirnya vit. K
tidak dapat diabsorbsi dan faktor II, VII, IX dan X tidak terbentuk. Faktor
pembekuan darah diproduksi oleh hepar, jika hepar mengalami kerusakan
maka faktor pembekuan darah tidak akan terbentuk.
2.3.6 Asites
Asites merupakan penimbunan cairan secara abnormal pada rongga
peritoneum. Penimbunan cairan di rongga peritoneum dapat terjadi melalui
dua mekanisme, yaitu transudasi dan eksudasi. Asites yang berhubungan
90
dengan sirosis dan hipertensi porta terjadi melalui proses transudasi. Asites
melalui proses transudasi paling sering dijumpai di Indonesia (Hirlan, 2006).
Patofisiologi
Patofisiologi asites transudasi terdiri dai beberapa teori, yaitu underfilling,
overfilling, dan peripheral vasodilatation. Menurut teori underfilling berawal
dari
cairan
plasma
yang
menurun
karena
hipertensi
porta
dan
hati
terjadi vasodilatasi
cairan
91
Nitric oxide
Vasodilatasi sistemik/splangnik
volume arteri
Sirkulasi hiperdinamik
Vasokonstriksi renal
Asites
rening
angiotensin
aldosterone
(RAAS),
yang
menyebabkan
92
Diagnosis
Pada pemeriksaan pasien dengan asites akan tampak perut membuncit
seperti perut katak. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan
intraabdomen yang meningkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan
terjadi shiffting dullness. Asites yang masih sedikit belum menunjukkan
tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan cara pemeriksaan khusus misalnya
dengan puddle sign untuk menentukan asites. Pemeriksaan penunjang yang
dapat memberikan informasi untuk mendeteksi asites adalah ultrasonografi.
Untuk menegakkan diagnosis asites, ultrasonografi mempunyai ketelitian yang
tinggi (Hirlan, 2006).
Pemeriksaan cairan asites, misalnya (Hirlan, 2006):
Gambaran makroskopik
Cairan asites hemoragik sering dihubungkan dengan keganasan. Warna
kemerahan dapat juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat
rupture kapiler peritoneum. Chillous ascites merupakan tanda rupture
pembuluh limfe, sehingga cairan limfe tumpah ke peritoneum.
Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites albumin gradient)
Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat. Disepakati
bahwa gradient dikatakan tinggi bila nilainya >1,1 gram/dL. Kurang dari
niali itu disebut rendah. Gradient tinggi terdapat pada asites transudasi dan
berhubungan dengan hipertensi porta sedangkan nilai gradient rendah
93
lebih sering terdapat pada asites eksudat. Nilai akurasi dari pemeriksaan
ini sekitar 40%.
Hitung sel
Peningkatan jumlah sel leukosit menunjukkan proses inflamasi. Untuk
menilai asal infeksi lebih tepat digunakan hitung jenis sel. Sel PMN yang
meningkat lebih dari 250/mm3 menunjukkan peritonitis bakteri spontan,
sedangkan peningkatan MN lebih sering terjadi pada peritonitis
tuberkulosa atau karsinomatosis.
Biakan kuman
Biakan kuman sebaiknya dilakukan pada setiap pasien asites yang
dicurigai terinfeksi. Asites yang terinfeksi akibat perforasi usus akan
menghasilkan kuman polimikroba sedangkan peritonitis bakteri spontan
akan menghasilkan kuman monomikroba. Metoda pengambilan sampel
untuk biakan kuman asites sebaiknya disamakan dengan sampel untuk
biakan kuman dari darah yakni, bed side inoculation blood culture bottle.
Pemeriksaan sitology
Pada kasus karsinomatosis peritoneum, pemeriksaan sitology asites
dengan cara yang baik memberikan true positive hampir 100%. Sampel
untuk pemeriksaan sitology harus cukup banyak (kira-kira 200 ml) untuk
meningkatkan sensitivitas. Harus diingat banyak tumor penghasil asites
tidak melalui mekanisme karsinomatosis peritoneum sehingga tidak dapat
dipastikan melalui pemerikasaan sitology asites. Tumor itu misalnya:
karsinoma hepatoseluler massif, tumor hati metastasis, limfoma yang
menekan aliran limfe.
94
Definisi
Ensefalopati hepatik adalah neuropsychiatric syndrome yang terjadi pada
disfungsi hepar. Pasien dengan Ensefalopati hepatik menunjukkan berbagai
gangguan neurologi seperti gangguan kognisi dan orientasi. Ensefalopati
hepatik diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan penyebab
gangguan hepar (Ki Tae Suk, 2012).
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan komplikasi yang sering ditemukan
pada pasien sirosis hepar. EH tidak hanya menyebabkan penurunan kualitas
hidup, namun juga memberikan prognosis buruk pada pasien dengan sirosis
hepar. EH merupakan kejadian penting dalam perjalanan penyakit sirosis dan
merupakan prediktor mortalitas independen pada pasien dengan acute on
chronic liver failure (Caropeboka, 2013).
EH dikategorikan ke dalam tiga kelompok, yaitu tipe A EH terjadi karena
induksi dari acute liver failure, tipe B hasil dari portal systemic bypass tanpa
ada hubungan dengan gangguan hepar intrinsic, dan tipe C adalah EH yang
terjadi pada pasien sirosis. Durasi dan karakteristik EH diklasifikasikan
sebagai episode, persisten, dan minimal. Episode terjadi secara spontan atau
dipercepat adanya factor klinik seperti perdarahan gastrointestinal. EH
berulang didefinisikan sebagai dua episode dari spontan atau dipercepat dalam
1 tahun, dan tanda persisten EH adalah deficit kognitif kronik yang dapat
95
Patofisiologi
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien
gangguan hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif
dalam tubuh (asupan protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises
esofagus dan konstipasi), gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia,
hipokalemia, asidosis dan alkalosis), penggunaan obat-obatan (sedasi dan
narkotika), infeksi (Pneumonia, infeksi saluran kemih atau infeksi lain) dan
lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering yang mencetuskan
EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan gastrointestinal
berupa pecahnya varises esophagus (Hasan, 2014).
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran
darah yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan molekul toksik
terhadap sel yang diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena
kadarnya meningkat pada pasien sirosis hati. Beberapa studi lain juga
mengemukakan faktor pencetus lain penyebab EH seperti pada gambar
berikut (Hasan, 2014)
96
dipengaruhi
oleh
keseimbangan
asam-basa
tubuh.
Ginjal
97
kondisi asidosis, ginjal akan mengeluarkan ion amonium dan urea melalui
urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis, penurunan laju filtrasi glomerulus
dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan ion amonium dalam tubuh
sehingga menyebabkan hiperamonia (Hasan 2014; Frederick, 2011).
Amonia akan masuk ke dalam hati melalui vena porta untuk proses
detoksifiaksi. Metabolisme oleh hati dilakukan di dua tempat, yaitu sel hati
periportal yang memetabolisme ammonia menjadi urea melalui siklus KrebsHenseleit dan sel hati yang terletak dekat vena sentral dimana urea akan
digabungkan kembali menjadi glutamin (Hasan, 2014).
Pada keadaan sirosis, penurunan massa hepatosit fungsional dapat
menyebabkan menurunnya detoksifikasi amonia oleh hati ditambah adanya
shunting portosistemik yang membawa darah yang mengandung ammonia
masuk ke aliran sistemik tanpa melalui hati.Peningkatan kadar amonia dalam
darah menaikkan risiko toksisitas amonia. Meningkatnya permebialitas sawar
darah otak untuk ammonia pada pasien sirosis menyebabkan toksisitas amonia
terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan metabolisme amonia melalui
kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang ditimbulkan pada
EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan molekul
osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara
langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui
peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria
dan kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi
mitokondria. Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein
kinase untuk mitogenesis yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas
sitokin dan repson inflamasi sehingga mengganggu aktivitas pensignalan
intraselular (Hasan, 2014).
Beberapa hipotesis yang dikemukakan pada pathogenesis EH, yaitu
(Zubir, 2006):
Hipotesis amoniak
Amonia berasal dari mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam
lumen usus dan dari bakteri yang mengandung urease. Dalam hati
98
ammonia diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi
glutamin pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang masuk
ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Glutamin juga diproduksi oleh
otot (50%), hati, ginjal, dan otak (7%). Pada penyakit hati kronis akan
terjadi gangguan metabolism ammonia sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi ammonia sebesar 5-10 kali lipat. Beberapa peneliti melaporkan
bahwa ammonia secara invitro akan mengubah loncatan klorida melalui
membrane neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel
syaraf. Disamping itu, amonia dalam proses detoksikasi akan menekan
eksitasi transmitter asam amino, aspartate, dan glutamate (Zubir, 2006).
Hipotesis toksisitas sinergik
Neurotoksin yang mempunyai efek sinergis dengan amonia adalah
merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lainnya.
Merkaptan dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan
menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid
mempunyai efek metabolic seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan
penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktifitas NaK-ATP-ase
sehingga dapat mengakibatkan koma hepatic reversible. Fenol sebagai
hasil metabolism tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan
enzim
dehydrogenase, suksinat
99
seperti
glutamate,
aspartate,
dan
dopamine
sebagai
Gambaran Klinis
Pada EH gambaran gangguan mental mungkin berupa perubahan dalam
mengambil keputusan dan gangguan konsentrasi. Keadaan ini dapat dinilai
dengan uji psikomotor atau pada pasien dengan intelektual cukup dapat
diperiksa dengan membuat gambar-gambar atau dengan uji hubung angka
(UHA), dengan menghubungkan angka-angka dari 1-25, kemudian diukur
lamanya penyelesaian oleh pasien dalam satuan detik (Zubir, 2006).
100
Tingkat
Prodromal
Gejala
afektif hilang,
eufori, depresi,
kelakuan tidak
wajar, perubahan
kebiasaan tidur
Koma
kebingungan,
mengancam disorientasi,
mengantuk
Koma
Kebingungan
ringan
nyata, dapat
bangun dari
tidur, bereaksi
terhadap
rangsangan
Koma
Tidak sadar,
dalam
hilang reaksi
rangsangan
Tanda
asteriksis,
kesulitan
bicara,
kesulitan
menulis
asteriksis, fetor
hepatik
asteriksis, fetor
hepatic, lengan
kaku,
hipereflek,
klonus, reflek
menggenggam
Fetor hepatic,
tonus otot
hilang
Elektroensefalografi
(EEG)
(+)
(++)
(+++)
(++++)
Diagnosis
EH secara umum menyertai gangguan hepar berat, oleh karena itu,
kelemahan otot, jaundice, asites, palmar eritema, edema, spider telangiectasias
dapat ditemukan pada saat pemeriksaan fisik. Selain itu, juga diperiksa
perdarahan gastrointestinal, uremia, penggunakan anti-psikosis atau diuretic,
infeksi, konstipasi, dehidrasi, keseimbangan elektrolit, dan lainnya. Gejala
yang sering muncul, yaitu gangguan konsentrasi, gangguan tidur, gangguan
gerak, termasuk letargi atau koma. Tingkat keparahan EH dapat dievaluasi
dengan West Haven (Ki Tae Suk, 2011).
101
kelainan
lain
pada
otak.
Elektroensefalografi
akan
102
Tingkat 1
151-200
Tingkat 2
201-250
Tingkat 3
251-300
Tingkat 4
>300
2.3.8 Kolelitiasis
A. Definisi
Kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan didalam
kandung empedu atau didalam duktus koledokus atau pada kedua-duanya (Aru, et
al, 2008). Batu empedu berbentuk lingkaran, oval dan facet ditemukan pada
saluran empedu. Batu empedu mengandung kolesterol, kalsium karbonat, kalsium
bilirubinat atau gabungan elemen-elemen ini (Sjamsuhidajat, 2005). Batu empedu
umum ditemukan dan terjadi pada sekitar 10%populasi dengan perbandingan
wanita : pria adalah 4:1. Batu empedu dibedakan atas 3 jenis yaitu :
Tempat tinggal
Usia
Obesitas
Gallbladder stasis
Sindrom hiperlipidemia
103
nukleatin
-
Batu pigmen
Batu empedu pigmen adalah campuran kompleks dari kelainan
Tempat tinggal
Infeksi bilier
Kelainan gastrointestinal
104
C. Patogenesis
Patogenesis kolelitiasis sebagai berikut (Sjamsuhidajat, 2005) :
Batu kolesterol
ketidakseimbangan
dalam
empedu
antara
memproduksi -glukuronidase
Batu campuran
atas yang menjalar ke sekitar batas iga kanan dengan atau tanpa muntah.
Terdapat periodisitas waktu, seringkali muncul pada malam hari yang hilang
spontan setelah beberapa jam.
Kolesistitis kronis
diagnosis
yang
tidak
pasti
yang
ditunjukkan oleh nyeri abdomen bagian atas yang samar-samar dan hilang
timbul, kembung, flatulens dan intoleransi makanan berlemak.
Kolesistitis obstruktif akut
pireksia, mual dengan atau tanpa ikterus. Nyeri tekan pada kuadran kanan atas
dengan tanda Murphy positif.
Leukositosis
kasus
yang
tidak
sembuh
dapat
105
Pankreatitis
F. Pemeriksaan Laboratorium
Kenaikan bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu didalam
duktus koledokus, kadar fosfotase serum dan kadar amilase serum meningkat
(Grace, et al, 2006)
G. Pemeriksaan Penunjang
Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan ultrasonografi juga dapat dilihat
106
dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem karena
peradangan maupun sebab lain (Grace, et al, 2006)
Endoscopic Ultrasonography (EUS)
Suatu metode pemeriksaan dengan memakai instrumen gastroskop
dengan enchoprobe di ujung skop yang dapat terus berputar, dibandingkan dengan
ultrasonografi metode ini memberikan gambar yg lebih jelas karena echoprobenya diletakkan didekat organ. Metode ini dalam mendiagnosis dan menyingkirkan
koledokolitiasis memiliki aktivitas yang sama dengan ERCP. EUS dan ERCP
tidak menunjukkan perbedaan dalam hal nilai sensitifitas spesifisitas, nilai
prediktif negatif maupun positif namun, angka kejadian komplikasi ERCP lebih
tinggi dibandingkan EUS (Grace, et al, 2006).
Endoscopic retrogade cholangiopancreatography (ERCP)
Suatu metode pengangkatan batu atau pemasangan stent sebagai
pintas untuk menghindari terjadinya obstruksi akibat batu. Nilai diagnosis
ulatrasonografi dalam mendiagnosisn batu saluran empedu telah dibandingkan
dengan ERCP sebagai mketode standar kolangigrafi direk. ERP memiliki
sensitifitas, spesifikasi dan akurasi yang blebih tinggi. Namun prosedur ini invasif
dan dapat menimbulkan komplikasi pankreatitis dan kolangitis dan berakibat fatal
(Sjamsuhidajat, 2005).
Magnetic Resonance cholangiopancreatography (MRCP)
Teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrument dan radiasi ion. Pada MCRP saluran empedu akan terlihat
sebagai struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi,
sedangkan batu saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang
dikelilingi empedu dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok
untuk mendiagnosis batu saluran empedu, manfaat terbesar metode ini adalah
pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan dengan instrumenisasi
, zat kontras dan radiasi (Grace, et al, 2006).
Foto polos abdomen
107
Biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 1015% batu kandung empedu yang bersifat radioopak (tidak tembus sinar rontgen)
(Aru, et al, 2008).
Kolesistografi oral, kolesistografi IV
Jika ultrasonografi tidak mungkin dilakukan, misalnya pada pasien
obesitas) (Sjamsuhidajat, 2005).
2.3.9 Kolesistitis
Kasus kolestitis hampir 90% berkaitan dengan batu empedu. Kolestitis
muncul ketika batu mengganggu saluran empedu dan terjadi peradangan yang
akan berkembang menjadi obstruksi (McPhee dan Papadakis, 2010). Penyebab
terjadinya kolestitis selain batu empedu adalah pasca operasi didaerah empedu
dan liver, kecelakaan, terbakar, kegagalan fungsi organ, sepsis, hiperalimentasi
intravena dalam waktu lama, atau setelah melahirkan (Kumar et al, 2005).
Acalculous kolestitis terjadi ketika pasien mengalami demam yang tidak diketahui
penyebabnya atau rasa sakit disekitar perut kanan atas selama 2-4 minggu setelah
operasi atau pasien kritis yang puasa dalam waktu yang cukup lama, atau
kegagalan beberapa organ terjadi. Kolesistitis dibagi menjadi dua yaitu :
Kolesistitis akut dan kolesistitis kronik.
108
A. Kolesistitis akut
Definisi
Reaksi inflamasi akut dinding kandung empedu yang disertai dengan
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan demam (Grace, et al, 2006).
Kolesititis akut disebabkan oleh infeksi (cytomegalovirus, cryptosporidiosis, atau
microsporidiosis) yang muncul pada pasien AIDS (McPhee dan Papadakis, 2010).
109
jaringan kelenjar empedu. Hal ini akan memudahkan bakteri menginvasi daerah
mukosa kelenjar empedu. Acute acalcolous cholecystitis diduga akibat terjadinya
iskemi pada jaringan kelenjar empedu (Kumar et al, 2005).
Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik
perut disebalah kanan atas epigastrum dan nyeri tekan serta kenaikan suhu tubuh.
Kadang-kadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat
berlangsung sampai 60 menit tanpa reda. Berat ringannya keluhan sangat
bervariasi tergantung dari adanya kelainan inflamasi yang ringan sampai dengan
gangren atau perforasi kandung empedu (Grace, et al, 2006).
B. Kolesistitis Kronis
Definisi
Kolestitis kronik terjadi akibat kolestitis akut atau iritasi kronis pada
kelenjar empedu yang berulang terjadi akibat batu. Pada 4-5% kasus, villi dari
kelenjar empedu akan mengalami pembesaran polypoid akibat deposisi kolesterol
yang terlihat kasat mata (strawberry gallbladder, kolesterolosis). Hiperplasia
dari seluruh atau sebagian dinding kelenjar empedu akan ditandai dengan adanya
myoma (adenomyomatosis). Kolestitis akut disertai dengan obstruksi saluran
sistik, akan mengakibatkan tegangan pada kelenjar empedu dengan cairan
mukoid. Batu yang berada pada ujung saluran kelenjar empedu akan menekan
saluran kelenjar dan menyebabkan jaundice. Xanthoganilomatous kolestitis
merupakan varian yang jarang dari kolestitis kornis, terdapat bintik abu-abu
kuning, makrofag lipid-laden pada dinding kelenjar empedu (Pridady, 2006).
Gejala Klinis
Diagnosis kolesistitis kronik sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya
sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrum
dan nausea khususnya setelah makan makanan berlemak tinggi yang kadangkadang hilang setelah bersendawa. Riwayat penyakit batu empedu di keluarga,
110
ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal didaerah kandung empedu disertai Murphy
positif, dapat menyokong menegakkan diagnosis (Aru, et al, 2008).
C. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
Teraba masa kandung empedu, nyeri tekan disertai dengan tanda-tanda peritonitis
lokal (tanda Murphy) (Grace, et al, 2006).
Pemerikaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium meliputi (Pridady, 2006):
Leukositosis (12.000-15.000/mcL)
serum AST dan ALT meningkat (> 300 unit/mL)
serum bilirubin 1-4 mg/dL
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi :
Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi memperlihatkan gambaran batu
didalam kandung empedu, lumpur empedu, dan penebalan dinding kandung
empedu. Ultrasonografi juga dapat memperlihatkan gangren dengan
gambaran destruksi dinding dan nanah atau cairan sekitar kandung empedu
pada komplikasi abses perikolestitis (Aru, et al, 2008).
Skintigrafi
Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zar radioaktif HIDA.
Terlihat gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung
empedu pada pemeriksaan kolesistografi oral atau scintigrafi sangat
menyokong kolestitis akut (Aru, et al, 2008).
111
Pemeriksaan CT scan
Pemeriksaan ini memperlihatkan adanya abses perikolesistik yang
masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG, tetapi
kurang sensitif dan mahal (Pridady, 2006)
Pencitraan Tc Hepatobiliary
Pencitraan Tc Hepatobiliary ( menggunakan senyawa asam
iminodacetic), yang juga dikenal dengan Hepatic Iminodiacetic Acid
(HIDA) Scan berguna untuk menggambarkan kondisi obstruksi dari saluran
kelenjar, yang merupakan penyebab utama dari kolestitis pada pasien.
Pengujian ini dipercaya bila serum bilirubin <5 mg/dL (Sensitivitas 98%
dan Spesifisitas 81% untuk kolestitis akut). Hasil positif palsu dapat terjadi
disertai dengan puasa yang lama, penyakit liver, kolestitis kronik, dan
spesifisitasnya bisa ditingkatkan dengan pemberian morfin yang dapat
memicu spasme pada spingter Oddi (Pridady, 2006).
Endoscopic retrogade cholangiopancreatography (ERCP)
Memperlihatkan adanya batu di kandung empedu dan duktus
koledokus (Aru, et al, 2008).
112
BAB III
PENUTUP
EUS,
Electroencephalography,
PTHC,
Liver
Kolesistogram
Biopsy,
Liver
Oral,
Scanning,
Paracentesis,
Abdominal
Pre-Hepatic
Jaundice
Hepatic
Jaundice
Bilirubin G
G
T
N/
N
A
L
P
N
A
S
T
N
A
L
T
N
N
/
N
/
Post-Hepatic
Jaundice
Kolestasis
Kolelitiasis
Kolestistitis
Hepatomegali
Hepatitis
Fibrosis
Sirosis
Ascites
Keterangan : N = Normal
L
D
H
Albumin Imunoglo
bulin
A
M
A
P L
T A
P
N
N/
N/
(+)
(+)
113
DAFTAR PUSTAKA
Animated Pancreas Patient. Diakses 13 Maret 2016. Understanding ERCP
(Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography). https://www.you
tube.com/watch?v=5VgoDJ3 _0.
Anom, S., dan I Dewa Nyoman W. (2010). Pendekatan Diagnosis dan Terapi
Fibrosis Hati. Journal of internal medicine. 1(11):57-61.
Anonim.
(2009).
Alcoholic
Liver
https://en.wikipedia.org/wiki/Alcoholic_liver_disease.
Disease.
Diakses
pada
114
115
116
Pagana KD, Pagana TJ, Pagana TN, et al. Mosbys Diagnostik and Laboratory
Test Reference. Elsevier Mosby. Ed 12. United States of America
Pagana, K., D. And Pagana, T.J.P. 2014. Mosbys Manual of Diagnostic and
Laboratory Tests, 5th Ed. Missouri: Elsevier.
Patel, P.R. 2007. Lecture Notes: Radiologi, Ed.2. Jakarta: Erlangga Medical
Series. Hal. 2-13; 136-9.
Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. (2013). http://pphi-online.org/alpha/?p=570.
Artikel Umum. Diakses pada tanggal 11 Maret 2016.
Price, S.A. & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 472, 475 477.
Pridady. 2006. Kolestitis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Randal, Michael., Neil, Karen E.2009. A Disease Management A Guide to
Clinical Pharmacology Second Edition. London. Pharmaceutical Press
Robert, S. M., James, R. C., & Franklin, M. R. (2000). Hepatotoxicity: Toxic
Effect on the Liver. In P. L. Williams, R. C. James & A. M. Roberts (Ed.).
Principles of Toxicology (hal. 111-127). New York: John Wiley & Sons.
Robin S, Sunil K, Rana AC, Nidhi S. Different Models of Hepatotoxicity and
Related Liver Disease: A Review. International Research Journal of
Pharmacy, 2012; 3 (7): 86-95.
Roche, Sean P., Kobos, Rebecca. 2004. Jaundice in the Adult Patient. American
Academy of Family Physicians. Vol 69 (2)
Saro, G.A. (2012). Penyakit Perlemakan Hati Non-Alkoholik pada Sindroma
Metabolik
Dewasa.
Karya
Tulis
Ilmiah.Semarang:
Universitas
Diponegoro.
Sibulesky L. Normal liver anatomy. Clinical Liver Disease, 2013; 2 (1): 1-3.
Silbernagl, Stefan., Lang, Florian. 2000. Color Atlas of Pathophysiology. New
York. Thieme.
Sjamsuhidajat, R., dan Wim D.J. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarata :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
117
Sudoyo, A. W., Setyohadi, B., dan Alwi, I. (2009). Buku Ajar: Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi Kelima. Jilid II. Jakarta: Interna Publishing.
Tageldin Abogroun. Diakses 13 Maret 2016. How to use the ultrasound probe.
https://www.youtube.com/watch?v=ABrHkFWcvUI.
Theedexitvideo. Diakses 20 Maret 2016. Paracentesis. https://www.youtube.com/
watch?v =F1ZLWR_mYy8
Tortora GJ and Derrickson BH. 2008. Principles of Anatomy and Phisiology 12th
edition. John Wiley & Sons.
WA Career Centre. Diakses 13 Maret 2016. Nuclear Medicine Technologist-Try
it for 5. https://www.youtube.com/watch?v=X7CmvdVMXeE.
Wells, Barbara G., dkk. 2015. Pharmacotherapy Handbook Ninth Edition. USA.
McGraw-Hills Education
Wheatley M and Heilpern KL. Jaundice: an emergency department approach to
diagnosis and management. Emergency Medicine Practice, 2008; 10 (3):
1-24
Widjaja, Felix Firyanto, Teguh Karjadi. (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang
pada Pasien Sirosis Hati. Artikel Pengembangan Pendidikan Keprofesian.
www.cdc.gov/hepatitis diakses pada 16 April 2016, 18.30
Zubir, N. 2006. Koma Hepatikum pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Aru, W
S. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
118