Kepribadian Bangsa
Posted on November 23, 2008 by pondokbahasa
1. Pendahuluan
Pada hakikatnya, bahasa yang dimiliki dan digunakan oleh
manusia tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk. Seandainya ada
bahasa yang sudah mampu mengungkapkan sebagian besar pikiran dan
perasaan lebih dari bahasa yang lain, bukan karena bahasa itu lebih
baik tetapi karena pemilik dan pemakai bahasa sudah mampu menggali
potensi bahasa itu lebih dari yang lain. Jadi yang lebih baik bukan
bahasanya tetapi kemampuan manusianya. Semua bahasa hakikatnya
sama, yaitu sebagai alat komunikasi. Oleh karena itu, ungkapan bahwa
bahasa menunjukkan bangsa tidak dimaksudkan untuk menyatakan
bahwa bahasa satu lebih baik dari bahasa yang lain. Maksud dari
ungkapan itu adalah bahwa ketika seseorang sedang berkomunukasi
dengan bahasanya mampu menggali potensi bahasanya dan mampu
menggunakannya secara baik, benar, dan santun merpakan cermin dari
sifat dan kepribadian pemakainya.
Pendapat Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995) menyatakan
bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia memang ada
benarnya. Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata,
ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa
kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang
sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa
secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat
tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul
pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak
santun.
Begitu juga, ada orang yang berpura-pura halus dihadapan
orang lain tetapi sesungguhnya memiliki kepribadian buruk, pada suatu
saat berusaha tampil dengan bahasa yang halus agar nampak santun.
Namun, pada suatu saat orang itu tega menusuk orang lain dari
belakang dengan kata-kata yang isinya menjelek-jelekkan watak, sifat,
dan kepribadian orang lain. Karena sifat dan perilakunya hanya
berpura-pura, pada suatu saat kepribadian yang sesungguhnya
seseorang itu akan muncul melalui bahasanya.
Potret sederhana untuk memperlihatkan watak, sifat, dan
kepribadian seseorang dapat dilihat pada bahasa anak kecil. Orang tua
yang mendidik anak di rumah dengan bahasa yang santun, halus, dan
baik, ketika mereka berkomunikasi dengan orang lain di luar rumah,
mereka juga akan berbahasa santun, halus, dan baik. Perhatikan contoh
di bawah ini (Icak adalah anak seorang guru BP tinggal di Kalimantan
kata atau frasa kasar, seperti kata payah pada frasa pimpinan
memang payah dan kata penakut dalam frasa SBY penakut atau
presidennya penakut. Komunikasi dengan cara seperti itu dinilai
tidak santun karena dapat menyinggung perasaan mitra tutur yang
menjadi sasaran kritik.
b. Penutur didorong rasa emosi ketika bertutur
Ketika bertutur, penutur didorong rasa emosi yang berlebihan
ketika bertutur sehingga terkesan marah kepada mitra tutur. Perhatikan
data di bawah ini.
12) KPK tidak adil. Kalau dirasa perlu, ya jangan hanya DPR yang
digeledah. Pemda, Dinas, dan Departmen yang bersangkutan
juga digeledah (Agung Laksana, KR 02/08/2008: 28).
13) Tidak ada apa-apa, KPK kan tukang geledah (MS Kaban, KR
03/08/2008:31).
Tuturan di atas terkesan dikemukakan secara emosional.
Tuturan 22) terkesan bahwa penutur tidak rela jika kantor anak
buahnya digeledah oleh KPK. Tuturan 23) terkesan bahwa penutur
menuduh KPK sebagai tukang geledah.
c. Penutur protektif terhadap pendapatnya
Ketika bertutur, seorang penutur kadang-kadang protektif
terhadap pendapatnya. Hal demikian dimaksudkan agar tuturan mitra
tutur tidak dipercaya oleh pihak lain. Perhatikan data di bawah ini.
14) tidak perlu islah. Sudah jelas yang jahat dan yang benar. Ah
orang dia ndak punya legitimasi. Biar saja, mau bikin 100 SK ya
silakan (GD, KR 04/08/2008)
15) Silakan kalau mau banding. Kita nggak masalah. Sebab dari
awal Tomy tidak melakukan perbuatan melawan hukum (Elza
Sarif, KR 01/03/2008).
16) Saya jengkel mas. Saya janjikan setiap kali melayani untuk
memuaskan nafsunya saya akan dibayar Rp 300 ribu, tapi sampai
10 hari melayani nafsur birahinya hanya janji-janji doang (Gal,
KR 02/03/2008).
Data di atas memperlihatkan bahwa penutur terkesan protektif
terhadap apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dengan tuturan seperti
itu, penutur ingin meyakinkan kepada publik bahwa apa yang dia
lakukan benar dan yang dilakukan oleh mitra tutur salah. Namun, justru
dengan cara demikian, tuturan menjadi tidak santun.
d. Penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur dalam bertutur
Ketika bertutur, penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur
dalam bertutur. Dengan demikian, mitra tutur menjadi tidak berdaya.
Perhatikan data di bawah ini.
17) Selama ini, pemerintah cenderung bersikap santai saja dan
untuk orang yang lebih dhormati, (e) pergunakan kata minta maaf
untuk ucapan yang dimungkinkan dapat merugikan mitra tutur.
Selain bentuk verbal, pemakaian bahasa santun (dalam bahasa
lisan) dapat ditambah dengan pemakaian bahasa non-verbal, seperti
(a) memperlihatkan wajah ceria, (b) selalu tampil dengan tersenyum
ketika berbicara, (c) sikap menunduk ketika berbicara dengan mitra
tutur, (d) posisi tangan yang selalu merapat pada tubuh (tidak
berkecak pinggang). Pemakaian bahasa non-verbal seperti itu akan
dapat menimbulkan aura santun bagi mitra tutur.
d. Meskipun belum didukung dengan data yang cukup valid, beberapa
penanda pemakaian bahasa yang tidak santun dapat diidentifikasi
sebagai berikut 1) penutur menyatakan kritik secara langsung
(menohok mitra tutur) dan dengan kata-kata kasar, 2) penutur
didorong rasa emosi ketika bertutur, 3) penutur protektif terhadap
pendapatnya, 4) penutur sengaja ingin memojokkan mitra tutur
dalam bertutur, dan 5) penutur menyampaikan tuduhan atas dasar
kecurigaan terhadap mitra tutur.
DAFTAR PUSTAKA
Austin, J.L. 1978. How to Do Things with Words. Cambridge :
Harvards University Press.
Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness some Universals in
Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press.
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation dalam Cole; P&J.L
Morgan. 1975. Syntax and Semantics Vol 3 : Speech Acts . New
York: Akademic Press.
Gunarwan, Asim. 1992. Persepsi Kesantunan Direktif di dalam
Bahasa Indonesia di antara Beberapa Etnik di Jakarta, dalam
Kaswanti Purwo (ed.) Bahasa dan Budaya. Jakarta: PELBA 5.
Leech, G. 1989. Principle of Pragmatics. London : Longman.
Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge : Cambridge
University Press.
Pranowo, dkk. 2004. Kesantunan Berbahasa para Politisi di Media
Massa. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Searle, J.R. 1987. Speech Acts: An Eassey in the Philoshophy of
Language. Cambridge : Cambridge University Press.
17
Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: An Introduction to
Pragmatics. London & New York: Longman
Wahab, Abdul. 1995. Isu Linguistik Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Surabaya : Airlangga University Press.
18
BIODATA
1 . N a m a : Dr. Pranowo, M.Pd.
2. Tempat & Tgl. Lahir : Klaten, 25 Desember 1954
2. Pangkat/golongan ruang : Pembina Tk. I/ IVB