Anda di halaman 1dari 19

1

BAB II
PEMBAHASAN

Tempat Kerja

Sumber Bahaya

Identifikasi Bahaya

Tidak ada Identifikasi Bahaya

Penilaian Risiko

Tidak ada Penilaian Risiko

Penentuan tingkat Resiko

Tidak ada Pengendalian Risiko

Pengendalian Risiko

Kecelakaan dan Penyakit akibat Kerja

Kondisi Aman

(Gambar 1. Bagan Kerangka Konsep)


II.1 Tempat Kerja
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970[1] tentang Keselamatan
Kerja dalam pasal 1 tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan, tertutup

atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja atau yang
sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dimana terdapat
sumber atau sumber-sumber bahaya, termasuk tempat kerja adalah semua
ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagianbagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.
Oleh karena pada tiap tempat kerja terdapat sumber bahaya maka
pemerintah mengatur keselamatan kerja baik di darat, di tanah, di permukaan
air, di dalam air, maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum
Republik Indonesia. Tempat kerja sangat mendukung adanya suatu pekerjaan,
tempat kerja yang buruk dapat menurunkan derajat kesehatan dan juga daya
kerja para pekerja. Menurut UU No. 1970 tentang keselamatan kerja pengurus
perusahaan mempunyai kewajiban untuk menyediakan tenpat kerja yang
memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan.
II.2 Bahaya
a. Pengertian Bahaya
Bahaya adalah aktifitas, kondisi, kejadian, gejala, proses, material,
dan segala sesuatu yang ada di tempat kerja/ berhubungan dengan
pekerjaan yang menjadi/ berpotensi menjadi sumber kecelakaan/ cidera/
penyakit/ dan kematian. Bahaya pekerjaan adalah faktor-faktor dalam
hubungan pekerjaan yang dapat mendatangkan kecelakaan [2].
Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau
berpotensi terhadap terjadinya kejadian kecelakaaan berupa cedera,
penyakit, kematian, kerusakan atau kemampuan melaksanakan fungsi
operasional yang telah ditetapkan [3]
Bahaya adalah segala sesuatu termasuk situasi atau tindakan
yang berpotensi menimbulkan kecelakaan atau cidera pada manusia,
kerusakan atau gangguan lainnya. Karena hadirnya bahaya maka
diperlukan upaya pengendalian agar bahaya tersebut tidak menimbulkan
akibat yang merugikan [4].
b. Sumber Bahaya
Menurut Syukri Sahab (1997)

[5]

kecelakaan dan penyakit akibat kerja

terjadi karena adanya sumber-sumber bahaya di lingkungan kerja. Sumber


bahaya berasal dari :
1. Bahan

Menurut Syukri Sahab (1997)

[5]

, bahaya dari bahan meliputi berbagai

resiko sesuai dengan sifat bahan, antara lain:


1) Mudah terbakar
2) Mudah meledak
3) Menimbulkan alergi
4) Menyebabkan kanker
5) Bersifat racun
6) Radioaktif
7) Mengakibatkan kelainan pada janin
8) Menimbulkan kerusakan pada kulit dan jaringan tubuh
9) Sedangkan tingkat bahaya yang ditimbulkan tergantung pada :
1) Bentuk alami bahan atau energi yang terkandung
2) Berapa banyak terpapar bahan atau energy tersebut
3) Berapa lama terpapar bahan atau energi tersebut.
2. Proses
Dalam proses kadang menimbulkan asap, debu, panas, bising,
dan bahaya mekanis seperti terjepit, terpotong, atau tertimpa bahan. Hal
ini dapat mengakibatkan kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tingkat
bahaya dari proses ini tergantung pada teknologi yang digunakan. (Syukri
Sahab, 1997) [5].
3. Cara atau sikap kerja
Cara kerja berpotensi terhadap terjadinya bahaya atau kecelakaan
berupa tindakan tidak aman, misalnya:
1) Cara mengangkut yang salah
2) Posisi tidak benar
3) Tidak menggunakan APD
4) Lingkungan kerja
5) Menggunakan alat atau mesin yang tidak sesuai
c. Jenis Bahaya
Menurut Soehatman Ramli (2010) [4] jenis bahaya ada 5 (lima) yaitu :
a) Bahaya mekanis
Bahaya mekanis bersumber dari peralatan mekanis atau benda
bergerak dengan gaya mekanika baik yang digerakkan secara manual.
dengan penggerak. Misalnya : gerinda, bubut, potong, press, tempa
pengaduk. Bagian yang bergerak pada mesin mengandung bahaya
seperti gerakan mengebor, memotong, menempa, menjepit, menekan.
Gerakan mekanis ini dapat menimbulkan cedera atau kerusakan seperti
b)

tersayat, terjepit, terpotong, dan terkupas.


Bahaya listrik
Bahaya listrik bersumber dari

energi

listrik

yang

dapat

mengkibatkan berbagai bahaya seperti kebakaran, sengatan listrik, dan


hubungan arus pendek. Di lingkungan kerja banyak ditemukan bahaya

listrik, baik dari jaringan listrik, maupun peralatan kerja atau mesin yang
menggunakan listrik.
c) Bahaya kimiawi
Bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan-bahan kimia antara
lain :
1. Keracunan oleh bahan kimia yang bersifat beracun (toxic).
2. Iritasi oleh bahan kimia yang memiliki sifat iritasi seperti asam
keras, cuka air aki.
3. Kebakaran dan peledakan. Beberapa jenis bahan kimia
memiliki sifat mudah terbakar dan mledakmisalnya golongan
senyawa hidrokarbon seperti minyak tanah, premium, LPG.
4. Polusi dan pencemaran lingkungan.
d) Bahaya Fisik
Bahaya yang berasal dari faktor fisis antara lain :
1. Bising yang dapat mengakibatkan bahaya ketulian tau kerusakan
2.
3.
4.
5.
6.

indera pendengaran.
Tekanan
Getaran
Suhu panas atau dingin.
Cahaya atau penerangan.
Radiasi dari bahan radioaktif, sinar ultra violet, dan sinar infra

merah.
e) Bahaya biologis
Di berbagai lingkungan kerja terdapat bahaya yang bersumber
dari unsur biologis seperti flora dan fauna yang terdapat di lingkungan
kerja atau berasal dari aktivitas kerja. Potensi bahaya ini ditemukan
dalam industri makanan, farmasi, pertanian dan kimia, pertambangan,
minyak dan gas bumi.

II.3

Identifikasi Bahaya
Identifikasi bahaya merupakan suatu proses yang dapat dilakukan
untuk mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai
penyebab terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin
timbul di tempat kerja. Suatu bahaya di tempat kerja mungkin tampak jelas
dan kelihatan, seperti: sebuah tangki berisi bahan kimia, atau mungkin juga
tidak tampak dengan jelas atau tidak kelihatan, seperti: radiasi, gas
pencemar di udara (Tarwaka, 2008)[3].
Identifikasi bahaya merupakan langkah awal dari suatu sistem
manajemen pengendalian risiko yang merupakan suatu cara untuk mencari

dan mengenali terhadap semua jenis kegiatan, alat, produk dan jasa yang
dapat menimbulkan potensi cidera atau sakit yang bertujuan dalam upaya
mengurangi dampak negative risiko yang dapat mengakibatkan kerugian
aset perusahaan, baik berupa manusia, material, mesin, hasil produksi
maupun finansial.
Identifikasi bahaya adalah proses determinasi terhadap apa yang
dapat terjadi, mengapa dan bagaimana (Rudi Suardi, 2005)[6]. Pada
umumnya kegiatan ini melakukan identifikasi terhadap sumber bahaya dan
area yang terkena imbasnya. Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan
mempertimbangkan :
1) Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya.
2) Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin dapat terjadi.
Kesuksesan ini dapat dilihat bila seluruh risiko di tempat kerja dapat
teridentifikasi dangan sempurna. Tujuan dilakukan identifikasi bahaya adalah
untuk mengenali seluruh macam bahaya yang ada di tempat kerja, sehingga
dapat dilakukan pengendalian terhadap bahaya tersebut.
Pengendalian terhadap sumber-sumber bahaya bertujuan untuk
mengurangi kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (Syukri Sahab,1997)

[5]

, kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan

ada dua macam, yaitu kerugian ekonomi dan kerugian non ekonomi.
Kerugian ekonomi berupa kerugian yang langsung dapat ditaksir dengan
menggunakan uang, kerugian non ekonomi antara lain adalah rusaknya citra
perusahaan.
Identifikasi bahaya merupakan suatu proses aktivitas yang dilakukan
untuk mengenali seluruh situasi atau kejadian yang berpotensi sebagai
penyebab terjadinya kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja yang
mungkin timbul di tempat kerja. Menurut Tarwaka (2008)[3] proses identifikasi
bahaya adalah :
1. Membuat daftar semua objek (mesin, peralatan kerja, bahan, proses
kerja, sistem kerja, kondisi kerja) yang ada di tempat kerja.
2. Memeriksa semua objek yang ada di tempat kerja dan sekitarnya.
3. Melakukan wawancara dengan tenaga kerja yang bekerja di tempat
kerja yang berhubungan dengan objek-objek tersebut.
4. Mereview kecelakaan, catatan P3K, dan informasi lainnya.
5. Mencatat seluruh hazard yang telah teridentifikasi.
Kegunaan identifikasi bahaya adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui bahaya-bahaya yang ada


b. Untuk mengetahui potensi bahaya tersebut, baik akibat maupun
frekuansi terjadinya
c. Untuk mengetahui lokasi bahaya
d. Untuk menunjukan bahwa bahaya-bahaya tersebut telah dapat
memberikan perlindungan
e. Untuk menunjukkan bawa bahaya tertentu tidak akan menimbulkan
f.

akibat kecelakaan, sehingga tidak diberikan perlindungan.


Untuk analisa lebih lanjut

Setelah bahaya-bahaya tersebut dianalisa akan memberikan keuntungan


antara lain :
1) Dapat ditentukan sumber atau penyebab timbulnya bahaya
2) Dapat ditentukan kualifikasi fisik dan mental seseorang yang diberi
tugas
3) Dapat ditentukan cara, prosedure, pergerakan, dan posisi-posisi yang
berbahaya kemudian dicari cara untuk mengatasinya
4) Dapat ditentukan lingkup yang harus dianalisa lebih lanjut.
II.4 Penilaian Risiko
Risiko adalah suatu kemungkinan terjadinya kecelakaan dan kerugian
pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu. Sedangkan tingkat
risiko merupakan perkalian antara tingkat kekerapan dan keparahan (severity)
dari suatu kejadian yang dapat menyebabkan kerugian, kecelakaan atau
cedera dan sakit yang mungkin timbul dari pemaparan suatu hazard di tempat
kerja (Tarwaka, 2008)[3].
Menurut Soehatman Ramli (2010) risiko K3 adalah risiko yang berkaitan
dengan sumber bahaya yang timbul dalam aktivitas bisnis yang menyangkut
aspek manusia, peralatan, material, dan lingkungan kerja. Umumnya risiko K3
dikonotasikan sebagai hal negatif (negative impact) antara lain :
1) Kecelakaan terhadap manusia dan asset perusahaan.
2) Kebakaran dan peledakan.
3) Penyakit akibat kerja.
4) Kerusakan sarana produksi.
5) Gangguan operasi.
Risiko adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan terjadinya kecelakaan
atau kerugian pada periode waktu tertentu atau siklus operasi tertentu. Setiap
bahaya yang sudah diidentifikasi harus dinilai risikonya. Penilaian risiko
terutama ditujukan untuk menyusun prioritas penanganan bahaya yang sudah
diidentifikasi. Semakin tinggi risiko yang dikandung suatu bahaya semakin

kritis sifat bahaya tersebut dan berarti menuntut tindakan perbaikan atau
penangganan yang semakin mendesak. Setelah diketahui berbagai potensi
bahaya yang ada di lingkungan pekerjaan selanjutnya perlu diadakan
penilaian risiko tersebut untuk menentukan tindakan pengendalian sesuai
prioritas apakah risiko tersebut cukup besar dan memerlukan pengendalian
langsung atau dapat ditunda.
Adapun tujuan dari penilaian risiko itu sendiri antara lain :
1. Untuk menentukan pengaruh atau akibat pemaparan potensi bahaya
yang digunakan sebagai landasan dalam melakukan tindakan
perbaikan mencegah terjadinya incident akibat bahaya tersebut.
2. Untuk menyusun prioritas pengendalian semua jenis risiko, akibat
yang bisa terjadi tingkat keparahan, frekuansi kejadian dan cara
pencegahan
Penilaian risiko pada hakikatnya merupakan proses untuk menentukan
pengaruh atau akibat pemaparan potensi bahaya yang dilaksanakan melalui
tahap atau langkah yang berkesinambungan. Oleh karenanya dalam
melakukan penilaian risiko terdapat 5 proses yaitu :
1. Mengestimasi tingkat kekerapan
Mengestimasi tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya atau
sakit akibat kerja, harus mempertimbangkan tentang berapa sering dan
berapa lama seorang tenaga kerja terpapar potensi bahaya. Tingkat
kekerapan atau frekuensi kecelakaan atau sakit dikategorikan menjadi 5
yaitu :

Tingkata

Kriteria

Penjelasan

n
1

Rarely

Suatu insiden yang jarang terjadi,


kemungkinan bisa terjadi dalam

Unlikely

jangka waktu 2 tahun sekali


Suatu insiden yang kadang
kadang bisa terjadi, kemungkinan
bisa terjadi dalam jangka waktu

Occasional

12 bulan sekali
Suatu insiden yang sesekali bisa
terjadi, kemungkinan bisa terjadi

dalam jangka waktu 6 bulan sekali


Suatu insiden yang acapkali

Frequent

terjadi, kemungkinan bisa terjadi


5

dalam jangka waktu 3 bulan sekali


Suatu insiden yang selalu bisa

Constant

terjadi, kemungkinan bisa terjadi


dalam jangka waktu 1 bulan sekali
(Sumber :Septia Wulandari, 2011)[7]
2. Mengestimasi tingkat keparahan (severity)

Tingkata

Kriteria

Penjelasan

n
1

Trivial

Cedera ringan {perawatan P3K (tindakan


medis

sederhana,

obatan

dengan

daftar

pemberian

berpedoman

obat esensial

atau

obatkepada

generik)},

kerugian materi sangat kecil (0-1 juta


2

Low

rupiah), tidak kehilangan waktu kerja.


Cedera ringan, memerlukan perawatan
P3K,{

tindakan

medis

sederhana,

bimbingan dan konsultasi kesehatan,


pemberian

obat-obatan

dengan

berpedoman kepada daftar obat esensial


atau generik, pemeriksaan laboratorium
sederhana,

pemeriksaan

dan

pengobatan
dokter umum} langsung dapat ditangani,
kerugian materi sedang ( 1 juta - 5 juta
rupiah) kehilangan waktu kerja 1x24 Jam
(berdasarkan Surat Keputusan Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan
Industrial

Dan

Pengawasan

Ketenagakerjaan Departemen Tenaga

Kerja RI No. Kep.84/BW/1998 tentang


cara pengisian formulir laporan dan
3

Minor

analisis statistik kecelakaan)


Cedera ringan, memerlukan perawatan
medis

(tindakan

medis

sederhana,

bimbingan dan konsultasi kesehatan,


pemberian

obat-obatan

dengan

berpedoman kepada daftar obat esensial


atau generik, pemeriksaan laboratorium
sederhana,

pemeriksaan

dan

pengobatan
dokter umum, pemeriksaan diagnosis
lanjutan, rujukan rawat inap di rumah
sakit

yang

ditunjuk

perusahaan),

kerugian materi cukup besar, kehilangan


4

Major

waktu kerja maksimal 2x24 jam


Cidera yang mengakibatkan cacat atau
hilang fungsi tubuh secara total, sakit
permanen,

memerlukan

perawatan

medis, (pemeriksaan dan pengobatan


oleh dokter spesialis, rawat inap di
rumah sakit yang
ditunjuk

perusahaan,

pemeriksaan

laboratorium, pemeriksaan radiologi) dan


perawtan

jangka

berkelanjutan

panjang

(rehabilitasi)}

{treatment
kerugian

materi besar (25 juta rupiah-50 juta


rupiah), kehilangan waktu kerja lebih dari
5

Fatality

2x24 jam.
Menyebabkan kematian, off-site release
bahan toksik dan efeknya merusak,
kerugian materi sangat besar (50 juta

10

rupiah -100 juta rupiah)


(Sumber : Septia Wulandari, 2011) [7].
3. Penentuan jumlah orang terkena paparan

Tingkata

Kriteria

n
1
2
3
4
5

1 2 orang
3 7 orang
8 15 orang
16 50 orang
Lebih dari 50 orang
(Sumber : Septia Wulandari, 2011) [7].

4. Penentuan Kemungkinan (likelihood)

Tingkatan
1

Kriteria
Penjelasan
Unlikely
(Hampir Suatu insiden mungkin dapat terjadi
tidak mungkin)

pada suatu kondisi yang khusus atau

Possible

luar biasa atau setelah bertahun-tahun.


Suatu kejadian mungkin terjadi pada

(Kemungkinan

beberapa kondisi tertentu, namun kecil

kecil)
Probable

kemungkinan terjadinya.
(Sedang Suatu kejadian akan terjadi pada

atau Mungkin terjadi)


4

Likely

terjadi)
Certain

beberapa kondisi

tertentu.
(Mungkin Suatu kejadian mungkin akan terjadi
pada hampir semua kondisi.
(Hampir Suatu kejadian akan terjadi pada

pasti)

semua kondisi atau setiap kegiatan


yang dilakukan.

(Sumber : Septia Wulandari, 2011)

[7]

5. Penentuan risk rating

Tingkatan
50>

Kriteria
Prioritas

Penjelasan
Harus segera dilakukan tindakan untuk

11

(Critical Priority)

mengurangi

risiko.

Aktivitas

atau

kegiatan bisa dihentikan sampai risiko


tersebut
10 50

<10

dihilangkan

atau

Prioritas

secara ketat dan tepat.


Diperlukan monitor dan kontrol untuk

(Monitor&Control)

memperkecil

Prioritas

risiko.
Tidak ada risiko atau risiko sudah dapat

(Tolerate)

dikendalikan dengan tepat.


[7].

II.5

(Sumber : Septia Wulandari, 2011)


Penentuan Tingkat Risiko
Penentuan tingkat risiko adalah dengan mengkombinasikan perhitungan
dari dampak risiko dan peluang risiko.
Risiko = Kekerapan X Keparahan

Konsekuensi
Sering 4

Kemungkinan
Agak
Jarang 2

Jarang

Bencan

20

sering 3
15

a
Fatal

mendesak
16

mendesak
12 tinggi

8 sedang

4 rendah

Cedera

mendesak
12 tinggi

9 sedang

6 sedang

3 rendah

Berat
Cedera

8 sedang

6 sedang

4 rendah

2 rendah

Ringan
Hampir

4 rendah

3 rendah

2 rendah

1 none

10 tinggi

Sekali
5 sedang

Cedera
(Sumber : Tawaka, 2008 )[3] .
Setelah melakukan pengukuran tingkat risiko, selanjutnya harus
dibuat skala prioritas resiko untuk setiap potensi yang di identifikasi dalam
upaya menyusun rencana pengendalian resiko.

TINGKAT RISIKO
TINGKAT BAHAYA
KLARIFIKASI
MENDESAK
Tingkat bahaya sangat Hazard Klas A
TINGGI

dikontrol

tinggi
Tingkat bahaya serius

Hazard Klas B

12

SEDANG
RENDAH
TIDAK ADA

Tingkat bahaya kecil


Hazard Klas C
Tingkat bahay kecil
Hazard Klas D
Hampir
tidak
ada Hazard Klas E
bahaya

(Sumber : Tawaka, 2008) [3].


II.6 Pengendalian Risiko
Pengendalian risiko menurut Tarwaka (2008)[3] ada 6 (enam), yaitu :
a. Eliminasi (elimination)
Eliminasi adalah suatu pengendalian risiko yang

bersifat

permanen dan harus dicoba untuk diterapkan sebagai pilihan prioritas


pertama. Eliminasi dapat dicapai dengan memindahkan objek kerja atau
sistem kerja yang berhubungan dengan tempat kerja yang kehadirannya
pada batas yang tidak dapat diterima oleh ketentuan, peraturan atau
standar baku K3 atau kadarnya melampaui Nilai Ambang Batas (NAB)
diperkenankan. Eliminasi adalah cara pengendalian risiko yang paling
baik, karena risiko terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja
ditiadakan.
b. Substitusi (substitution)
Pengendalian ini dimaksudkan untuk menggantikan bahan- bahan
dan peralatan yang lebih berbahaya dengan yang kurang berbahaya atau
yang lebih aman, sehingga pemaparannya selalu dalam batas yang
masih diterima.
c. Rekayasa teknik (engineering control)
Pengendalian atau rekayasa teknik termasuk merubah struktur
objek kerja untuk mencegah tenaga kerja terpapar kepada potensi
bahaya, seperti pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan,
pembuatan struktur pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat
bantu mekanik, pemberian absorben suara pada dinding ruang mesin
yang menghasilkan kebisingan tinggi.
d. Isolasi (isolation)
Isolasi merupakan pengendalian risiko dengan cara memisahkan
seseorang dari objek kerja, seperti menjalankan mesin-mesin produksi
dari tempat tertutup (control room).
e. Pengendalian Administrasi (administration control)
Pengendalian administrasi dilakukan dengan menyediakan suatu
sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar
potensi bahaya. Metode pengendalian ini sangat tergantung dari perilaku

13

pekerjanya dan memerlukan pengawasan yang teratur untuk dipatuhinya


pengendalian administrasi ini. Metode ini meliputi rekruitmen tenaga kerja
baru sesuai jenis pekerjaan yang akan ditangani, pengaturan waktu kerja
dan waktu istirahat, rotasi kerja untuk mengurangi kebosanan dan
kejenuhan, penerapan prosedur kerja, pengaturan kembali jadwal kerja,
f.

training keahlian dan training K3.


Alat Pelindung Diri
Alat pelindung diri (APD) merupakan sarana pengendalian yang
digunakan untuk jangka pendek dan bersifat sementara jika system
pengendalian yang lebih permanen belum dapat diimplementasikan. APD
merupakan pilihan terakhir dari suatu sistem pengendalian risiko di
tempat kerja. Selain itu APD juga mempunyai beberapa kelemahan
antara lain:
a) APD tidak menghilangkan risiko bahaya yang ada, tetapi hanya
membatasi antara terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang
diterima. Bila penggunaan APD gagal, maka secara otomatis bahaya
yang ada akan mengenai tubuh pekerja.
b) Penggunaan APD dirasakan tidak nyaman, karena kekurang
leluasaan gerak pada waktu kerja dan dirasakan adanya beban
tambahan karena harus dipakai selama bekerja.
Dalam penggunaan APD tetap dibutuhkan pelatihan atau training
bagi tenaga kerja yang menggunakannya, termasuk pemeliharaannya.
Tenaga kerja juga harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak
menghilangkan bahaya yang akan terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi
jika ada kecelakaan.

II.7 Kecelakaan Kerja


Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03/MEN/1998 [8]
tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang
dimaksud dengan kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki
dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau
harta benda.
Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang jelas tidak dikehendaki
dan sering kali tidak terduga semula yang dapat menimbulkan kerugian baik
waktu, harta benda atau properti maupun korban jiwa yang terjadi di dalam

14

suatu proses kerja industri atau yang berkaitan dengannya. (Tarwaka, 2008)
[3]

.
Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak

diharapkan. Tak terduga oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat
unsure kesengajaan, lebih-lebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan
karena peristiwa kecelakaan tidak disertai kerugian material maupun
penderitaan dari yang paling ringan sampai yang paling berat (Sumamur,
1996)[2].
Secara umum kecelakaan selalu diartikan sebagai kejadian yang tidak
dapat diduga. Sebenarnya setiap kecelakaan kerja itu dapat diramalkan atau
diduga dari semula jika perbuatan dan kondisi tidak memenuhi persyaratan.
Oleh karena itu, kewajiban berbuat secara selamat dan mengatur peralatan
serta perlengkapan produksi sesuai dengan standar kewajiban oleh UU ini
(Bennet, Silalahi N.B 1984)[9].
Pada dasarnya kecelakaan disebabkan oleh dua hal yaitu tindakan
manusia yang tidak aman (unsafe act) dan keadaan lingkungan yang tidak
aman (unsafe condition). Dari data kecelakaan didapatkan bahwa 85% sabab
kecelakaan adalah faktor manusia. Oleh karena itu sumber daya manusia
dalam hal ini memegang peranan penting dalam penciptaan keselamatan dan
kesehatan kerja. Tenaga kerja yang mau membiasakan dirinya dalam
keadaan yang aman akan sangat membantu dalam memperkecil angka
kecelakaan kerja (Sumamur,1996) [2].
Adapun menurut H.W. Heinrich dengan teori dominonya yang
disempurnakan oleh Frank E. Bird menyatakan bahwa suatu kecelakaan tidak
datang dengan sendirinya, terjadinya kecelakaan merupakan suatu hasil dari
tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman dan kedua hal tersebut
selanjutnya tergantung pada seluruh macam gabungan dari berbagai faktor,
inilah dalam kaitan urutan tertentu akan mengakibatkan kecelakaan.

Loss
Accident

Lock of control

Immediate
Basic couse Cause

Manusia
Kontak denganHarta
energibenda Proses Produksi

Faktor
Tindakan
Tidak memadainya program stand and programpribadi
perumusan standart
tidak aman
Faktor Kondisi tidak aman
pekerjaan

15

(Gambar 2. Model penyebab kerugian)


Berdasarkan teori dari Heinrich tersebut, Bird dan Germain (1986) dalam
Tarwaka (2008)[3] memodifikasi teori domino dengan merefleksikan kedalam
hubungan manajemen secara langsung dengan sebab akibat kerugian
kecelakaan. Model penyebab kerugian melibatkan 5 (lima) faktor penyebab
secara berentetan. Kelima faktor tersebut adalah
a) Kurangnya Pengawasan
Dalam urutan domino, kurangnya pengawasan merupakan urutan
pertama

menuju

suatu

kejadian

yang

mengakibatkan

kerugian.

Pengawasan dalam hal ini ialah salah satu dari empat fungsi manajemen
yaitu

perencanaan

(planning),

pengorganisasian

(organizing),

kepemimpinan (leading) dan pengendalian (controlling). Teori Domino


yang pertama akan jatuh karena kelemahan pengawas dan pihak
manajemen yang tidak merencanakan dan mengorganisasi pekerja
dengan benar serta tidak mengarahkan para pekerjanya untuk terampil
dalam melaksanakan pekerjaannya.
b) Faktor dasar
Menurut Boediono Sugeng (2003)[10] adalah penyebab nyata yang
dibelakang atau melatarbelakangi penyebab langsung yang mendasari
terjadinya kecelakaan, terdiri dari dua unsur yaitu:
1. Faktor manusia atau pribadi, antara lain karena : berkurangnya
kemampuan fisik, mental, dan psikologis kurangnya atau lemahnya
pengetahuan dan ketrampilan atau keahlian, stress motivasi yang
tidak cukup atau salah.
2. Faktor kerja atau lingkungan, antara lain karena : tidak cukup
kepemimpinan

dan

atau

pengawasan

tidak

cukup

rekayasa

(engineering) tidak cukup pembelian atau pengadaan barang, tidak

16

cukup perawatan (maintenance), tidak cukup alat-alat, perlengkapan


dan barang-barang atau bahan-bahan, tidak cukup standar-standar
kerja penyalahgunaan.
c) Penyebab langsung
1. Kondisi berbahaya (unsafe conditions atau kondisi-kondisi yang tidak
standar) yaitu tindakan yang akan menyebabkan kecelakaan,
misalnya :
a. Peralatan pengaman atau pelindung atau rintangan yang tidak
memadai atau tidak memenuhi syarat.
b. Bahan, alat alat atau peralatan rusak, terlalu sesak atau
sempit.
c. Sistem-sistem tanda peringatan yang kurang mamadai.
d. Bahaya-bahaya kebakaran dan ledakan.
e. Kerapihan atau tata-letak (housekeeping) yang buruk.
f. Lingkungan berbahaya atau beracun : gas, debu, asap, uap.
g. Bising.
h. Paparan radiasi.
i. Ventilasi dan penerangan yang kurang.
2. Tindakan berbahaya (unsafe act atau tindakan-tindakan yang tidak
standar) adalah tingkah laku, perbuatan yang akan menyebabkan
kecelakaan, misalnya :
a. Mengoperasikan alat atau peralatan tanpa wewenang.
b. Gagal untuk memberi peringatan.
c. Gagal untuk mengamankan.
d. Bekerja dengan kecepatan yang salah.
e. Menyebabkan alat-alat keselamatan tidak berfungsi.
f. Memindahkan alat-alat keselamatan.
g. Menggunakan alat yang rusak.
h. Menggunakan alat dengan cara yang salah.
i. Kegagalan memakai alat pelindung atau keselamatan diri secara
benar.
d) Insiden
Insiden yang mengakibatkan cidera fisik atau kerusakan harta
benda, tipe kecelakaan kerja antara lain : terbentur, terjatuh ke bawah
atau pada permukaan yang sama, terjepit, terperangkap, terpeleset,
panas,

dingin,

radiasi,

kebisingan,

kontak

dengan

bahan-bahan

berbahaya dan beban kerja yang berlebihan.


e) Kerugian
Akibat rentetan faktor sebelumnya akan mengakibatkan kerugian
pada manusia itu sendiri, harta benda atau properti. Kerugian-kerugian
yang penting dan tidak langsung adalah terganggunya proses produksi
yang berakibat menurunnya produktivitas.

17

BAB III
PENUTUP
III.1

Simpulan
Hazard identification dan Risk assessment merupakan dasar
pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja modern, program
keselamatan dan kesehatan kerja disusun berdasarkan tingkat risiko yang
ada di lingkungan kerja. Setiap bahaya dengan kondisi risiko bagaimana
pun diharapkan dapat dihilangkan atau diminimalkan sampai pada batas
yang dapat diterima, baik dari kaidah keilmuan maupun tuntunan hukum.
Identifikasi bahaya terhadap semua kegiatan kerja merupakan
salah satu cara untuk mengetahui potensi-potensi bahaya atau faktor
bahaya yang mungkin timbul di tempat kerja. Ketika skenario penting
tersebut dapat diidentifikasi dan dianalisis secara benar, sistem
manajemen yang baik yang didukung oleh komitmen manajemen akan
memastikan tindakan yang tepat yang harus diambil untuk mencegah
terjadinya kecelakaan serta mengurangi akibatnya.
Identifikasi faktor dan potensi bahaya merupakan faktor penting
dalam menciptakan kondisi aman di suatu tempat kerja. Oleh karena itu
perlu dilaksanakan analisis faktor atau potensi bahaya yang ada pada

18

semua sarana kerja dan juga semua kegiatan kerja agar faktor atau
potensi bahaya yang ada dapat dikendalikan dan tepat sasaran.
III.2 Saran
1. Hasil Identifikasi Bahaya dan Penilaian Risiko harus diinformasikan, dan
disosialisasikan kepada seluruh karyawan.
2. Sebelum melakukan identifikasi bahaya dan penilaian risiko, semua
tenaga kerja diberikan training tentang identifikasi bahaya dan penilaian
risiko agar tidak terjadi kesulitan pemahaman.
3. Pemakaian Alat Pelindung Diri harus lebih ditertibkan dan perlu adanya
sanksi yang lebih tegas bagi pelanggar serta bila perlu dibuat peraturan
khusus mengenai hal tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. 2007.
Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: Depnakertrans RI
2. Sumamur, 1996. Higiene Perusahaan dan Keselamatan Kerja. Jakarta.
PT. Gunung Agung.
3. Tarwaka, 2008. Manajemen dan Implementasi K3 Di Tempat Kerja.
4.

Surakarta: Harapan Press.


Ramli, Soehatman. (2010).

Sistem Manajemen Keselamatan &

Kesehatan Kerja OHSAS 18001 . Jakarta : Dian Rakyat


5. Sahab Syukri, 1997. Tehnik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: PT. Bina Sumber Daya Manusia.
6. Suardi Rudi, 2005. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: PT. Bina Sumber Daya Manusia.
7. Wulandari, Septia. 2011. Identifikasi Bahaya,

Penilaian,

dan

Pengendalian Risiko Area Produksi Line 3 Sebagai Upaya Pencegahan


Kecelakaan Kerja Di Pt. Coca Cola Amatil Indonesia Central Java. Dalam
Skripsi Program Studi Diploma Iii Hiperkes Dan Keselamatan Kerja
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta
8. Depnakertrans RI. 2007. Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Ketenaga kerjaan. Jakarta.

19

9. Silalahi, Bennet N.B dan rumondang B. Silalahi. 1984. Menejemen


Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT. Pustaka Binaman
Pressindo.
10. Budiono, Sugeng. A. M. 2003. Bunga Rampai Hiperkes & Keselamatan
Kerja. Semarang : UNDIP.

Anda mungkin juga menyukai