Referat Anestesi Umum Intravena
Referat Anestesi Umum Intravena
Pembimbing :
dr. Firdaus , Sp.An
Disusun oleh :
Jatu Sarasanti
030.08.130
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa"
dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali
oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan
nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversible).
Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan
relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan
pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup
premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan
dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal
(biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas adalah mengenai anestesi
umum intravena.
Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,
baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan
bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah
pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek
samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang
diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang
lain.
Anestesi umum intravena ini penting untuk kita ketahui karena selain dapat digunakan
dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam keadaan gawat
darurat. Oleh karena itu sebagai dokter umum, sebaiknya kita mengetahu tentang anestessi
umum intravena.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1
untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang dilakukan
untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan
oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan 3)
pemulihan. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan
diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal
memiliki sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat
segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5)
cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7)
farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.(1)
Indikasi anestesi intravena antara lain untuk: 1) induksi anestesia; 2) induksi dan
pemeliharaan anestesi pada pembedahan singkat; 3) menambahkan efek hipnosis pada
anestesi inhalasi dan anestesi regional; 4) menambahkan sedasi pada tindakan medik(1)
Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi
atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang
untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari
dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi. (2)
Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap
dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk
tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk
memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya,
permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan
membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan
penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang
cepat. (1)(2)
Setelah dosis muatan, tingkat infus awalnya tinggi untuk menjelaskan redistribusi
harus digunakan dan kemudian dititrasi dengan tingkat infus terendah yang akan
mempertahankan anestesi yang memadai atau sedasi. Bila menggunakan opiat sebagai bagian
dari teknik nitrous-narkotika atau anestesi jantung, skema dosis yang tercantum di bawah
3
anestesi yang digunakan. Ketika candu tersebut digabungkan sebagai bagian dari anestesi
seimbang, dosis yang tercantum untuk analgesia diperlukan. (1)(2)
Jika laju infus terbukti tidak mencukupi untuk mempertahankan anestesi yang
memadai, baik suntikan tambahan (bolus) dosis dan peningkatan infus diperlukan untuk
secara cepat untuk meningkatkan konsentrasi obat. Berbagai intervensi juga membutuhkan
konsentrasi obat yang lebih besar, biasanya untuk periode singkat (misalnya, laringoskopi,
intubasi endotrakeal, sayatan kulit) Oleh karena itu, skema infus harus disesuaikan untuk
memberikan konsentrasi puncaknya selama periode singkat stimulasi intens. Tingkat obat
yang memadai untuk intubasi endotrakeal sering dicapai dengan dosis pemberian awal, tapi
untuk prosedur seperti sayatan kulit, dosis bolus lanjut mungkin diperlukan. (1)(2)
II.2
dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih
dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi, mengurangi biaya
operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. (3)
II.2.1 Penilaian pra bedah
II.2.1.A Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak
nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan lebih baik.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang
dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. (3)
rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system organ tubuh pasien. (3)
II.2.1.C Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan
darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada
usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks. (3)
II.2.1.D Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu
harus dihindari. (3)
II.2.1.E Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang
adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).
Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping
anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan. (2)(3)
Kelas I
: Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman kehidupannya
setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan
hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya untuk
transplantasi.
II.2.1.F Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada
pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
5
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.(3)
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi anestesia.
Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat
air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia. (3)
II.2.1.G Premedikasi
Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan
premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
adalah
alkaloid
(1)
(4)
Dosis dan sediaan. yang biasa digunakan ialah garam HCl, garam
sulfat, atau fosfat alkaloid morfin, dengan sediaan 1 amp 10mg/ml. dosis yang
digunakan 0,1 mg/KgBB. Efektivitas morfin peroral hanya 1/6-1/5 kali morfin
subkutan. Pemberian 60 mg morfin per oral memberi efek analgetik sedikit
lebih lemah dan masa kerja lebih panjang dari pada pemberian 8 mg morfin
IM. (1) (3)(4)
Efek samping. Morfin menyebabkan idiosinkrasi dan alergi yaitu
menyebabkan mual dan munta terutama pada wanita, urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin. Pada intoksikasi akut, pasien akan
tertidur sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat. Frekuensi nafas
terlambat, 2-4x/menit, pernafasan Cheyne Stokes, sianotik, muka merah agak
kebiruan, sampai terjadi syok, dan pin point pupils. (1) (4)(5)
b. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Petidin
atau
meperidin
merupakan derivat fenilpiperidin.
Secara kimia adalah etil-1metil4-fenilpiperidin-4-karboksilat.
Farmakokinetik: kadar puncak
dalam plasma biasanya dicapai
dalam 45 menit dan kadar yang
dicapai sangat bervariasi antar individu. Setelah pemberian lintas oral, sekitar
50% obat mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maksimal dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam, setelah pemberian secara IV, kadar dalam
plasma menurun secara cepat dalam 1-2 jam pertama, kemudian penurunan
berlangsung dengan lambat. Kurang lebih 6% petidin terikat dengan protein
dalam plasma. Petidin dimetabolisme didalam hati, dihidrolisis menjadi asam
meperidinat yang selanjutnya mengalami konjugasi. Masa paruhnya 3 jam.
Pada pasien sirosis hati bioavaibilitasnya meningkat menjadi 80%. Dan masa
paruhnya memanjang. (1) (4)
Farmakodinamik: petidin atau meperidin bekerja pada reseptor .
Pada susunan saraf pusat petidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi nafas, dan efek sentral lain. Efek analgesia petidin mulai timbul 15
menit setelah pemberian oral dan mencapai puncak dalam 2 jam. Efek
analgetik lebih cepat timbul dengan pemberian secara subkutan dan IM sekitar
10 menit, mencapai puncak dalam 1 jam dan masa kerjanya 3-5 jam.
9
didapatkan
dalam
sedasi
serta
kesadaran,
yang
penurunan
dan
kadang
11
efek
antiinflamasi
sedang.
Absorbsi oral dan intramuskular berlangsung cepat mencapai puncak dalam
30-50 menit. Biaavailabilitas oral 80% dan hampir seluruhnya terikat protein.
Ketorolak IM sebagai analgesik pasca bedah memeperlihatkan efektivitas
sebanding morfin/petidin dosis umum; masa kerja lebih panjang dan efek
samping lebih ringan. Dosis IM 30-60mg, IV 15-30 mg. efek sampingnya
berupa nyeri ditempat suntikan, gangguan saluran cerna, kantuk, pusing , dan
sakit kepala terjadi kira-kira 2 kali placebo. Karena ketorolak sangat selektif
menghambat COX-1, maka obat ini tidak dilanjur dipakai lebih dari 5 hari
karena kemungkinan tukak lambung. (1) (4)
b. Asam mefenamat
Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik terikat sangat kuat pada protein
plasma. Bekerja menghambat siklooksigenase. Digunakan untuk kerusakan
jaringan lunak, nyeri muskuloskeletal, dan disminorea. Asam mefenamat
diabsorpsi peroral, kadar puncaknya 2-4 jam, waktu paruhnya 2-4 jam dan
50% diekskresikan melalui urin. Efek samping pada saluran cerna sering
timbul misal dispepsia, diare sampai diare berdarah dan gejala iritasi lain
terhadap mukosa lambung. Dosisnya 2-3 kali 250-500mg sehari. Di Amerika
obat ini tidak diberikan pada anak-anak dan ibu hamil dan pemberian tidak
lebuh dari 7 hari. (1) (4)
c. Natrium diklofenak
Natrium diklofenak termasuk dalam klasifikasi selektivitas penghambat COX,
termasuk
kelompok
preferential COX 2
inhibitor.
Diklofenac
dapat
12
>
midazolam
>
diazepam.
berurutan seperti
Reseptor
spesifik
dan memperpanjang
efek
obat.
Midazolam
mengalami
mg/kg) terjadi dalam 3 menit dan berlangsung kurang lebih selama 60-120
menit. Waktu pemberian juga mempengaruhi onset depresi pernafasan,
semakin cepat obat diberikan, semakin cepat terjadi depresi pernafasan.
Depresi pernafasan setelah pemberian midazolam akan tampak lebih nyata dan
berlangsung lebih lama pada pasien PPOK. Opioid dan benzodiazepine secara
sinergis memperkuat depresi pernafasan walaupun bekerja melalui mekanisme
yang berbeda.(6) Sistem otot rangka. Bekerja di tingkat supraspinal dan spinal,
menimbulkan penurunan tonus otot rangka, sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka. (1) (4)
Dosis. Benzodiazepin digunakan untuk tujuan sedasi sebagai
premedikasi, selama pemberian regional atau anestesi local, ataupun setelah
operasi. Selain itu juga untuk mengurangi kecemasan, efek amnesia dan
peningkatan ambang batas kejang, untuk keperluan ini benzodiazepine
diberikan secara titrasi. Dosis untuk induksi yang dianjurkan adalah 0.05-0.15
mg/kgBB untuk midazolam dengan dosis ulangan 0.05mg/kgBB bila
diperlukan,
0.3-0.5mg/kgBB
untuk
diazepam
dengan
dosis
ulangan
0.1mg/kgBB bila diperlukan, dan 0.1 mg/kgBB untuk lorazepam dengan dosis
ulangan 0.02mg/kgBB bila diperlukan. Untuk mendapatkan efek sedasi dosis
berulang yang dianjurkan untuk midazolam adalah 0.5-1mg, 2mg untuk
diazepam, dan 0.25mg untuk lorazepam. (1) (4)
Efek samping. Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat menyebabkan
iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine turut memperpanjang
waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse
dengan flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 1 mcg/kg/menit. (1) (4)
5. Antikolinergik
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
Atropin sebagai prototipe antimuskarinik. Bertujuan menurunkan sekresi
kelenjar saliva, keringat, dan lendir di mulut serta menurunkan efek
parasimpatolitik / paravasopagolitik sehingga menurunkan risiko timbulnya
refleks vagal. ((1) (4)
Farmakodinamik.
merangsang disusunan saraf pusat dan pada dosis toksik memperlihatkan efek
16
depresi setelah melampaui fase eksitasi yang berlebihan, depresi pusat tertentu
memberikan efek antitremor dan efek ini berguna sebagai antiparkinson,
atropin
merangsang
N. Vagus
sehingga denyut
jantung berkurang.
(1) (4)
bradikardi
intraoperatif.
Indikasi
khusus
antikolinergik
sekresi
cairan
lambung,
namun
tidak
disetujui
17
Antisialogogue.
Antikolinergik
telah
digunakan
secara
selektif
mengeringkan saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi
endotrakeal. Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan pada
pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas
sawar darah otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai
sedatif terutama bila dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau
diazepam, tidak semua pasien dapat berefek amnesia oleh pemberian
scopolamine.
Aksi vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik diperoleh melalui
blokade efek asetylkolin pada SA node. Atropin lebih potensial dibanding
glykopirolat dan scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna mencegah refleks
bradikardi selama operasi. Bradikardi bisa terjadi akibat traksi otot
ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus carotis, atau setelah pemberian
berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat diberikan intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering
diperlukan untuk mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative
antikolinergik tidak dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.
6. Anti emetic
a. Ondancentron
Antagonis 5HT3 yang sangat selektif yang dapat menekan mual dan muntah
karena sitostatika. Mekanisme kerjanya diduga dilangsungkan dengan
mengantagoniskan reseptor 5-HT yang terdapat pada chemoreceptor zone di
area posttrema otak dan mungkin juga pada aferen vagal saluran cerna. Pada
pemberian oral obat ini diabsorpsi secara cepat. Kadar maksimum tercapai
setelah 1-1.5 jam terikat protein plasma sebanyak 70-76% dan wktu paruhnya
3 jam. Dosisnya 0.1-0,2 mg/KgBB. (1) (4)
b. Simetidin dan Ranitidin
Farmakokinetik: bioavaibilitas simetidin sekitar 70% sama dengan
setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi
simetidin diperlambat dengan makanan, sehingga diberikan bersama atau
segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode
pascamakan. Absorpsi simetdidin terutama terjadi pada menit ke 60-90.
Simetidin masuk ke SSP. Sekitar 50-80% dari dosisIV, dan 40% oral, simetidin
18
diekskresikan dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar
2jam. (1) (4)
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan
meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada
orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien penyakit gagal
ginjal. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam 1-3jam setelah penggunaan
150mg ranitidin oral dan yang terikat protein pasma 15%. Metabolisme lintas
pertamanya di hepar. Diekskresikan terutama diginjal sisanya pada tinja. (1) (4)
Farmakodinamik. Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversible. Perangsangan reseptor H 2 akan merangsang
sekresi asam lambung sehingga pemberian simetidin atau ranitidin sekresinya
dihambat. Simetidin dan ranitidin juga mengganggu volurme dan
kadar
digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.)
obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada
neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin),
sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat anesthesia intravena, hanya
beberapa saja yang sering digunakan, yakni golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam. (2)
II.3.1 PROPOFOL
Propofol adalah salah satu dari kelompok
derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat
induksi. Propofol dikemas dalam cairan emulsi
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1% (1ml=10 mg).(7)
19
sehebat
tiopenton)
atau
bubuk
kuning,
belerang,
Oleh karena itu dapat membahayakan bagi pasien one day care yang masih harus
mengendarai mobil setelah sadar dari efek thiopental. (2) (4)
Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Seperti barbiturat yang lain, thiopental
menimbulkan sedasi, hipnosis, atau tertidur dan depresi pernafasan tergantung dosis
dan kecepatan pemberian. Efek analgetik sedikit dan terhadap SSP terlihat adanya
depresi dan kesadarannya menurun secara progresif. Kontak dengan lingkungan,
gerakan-gerakan, dan kemampuan menjawab pertanyaan pelan-pelan menghilang.(3) (4)
Kecepatan kerja dari thiopental bergantung pada penetrasi obat ke SSP yang
dipengaruhi oleh kadar obat dalam plasma dan ikatannya dengan protein plasma.
Akibat perbedaan konsentrasi, konsentrasi obat yang lebih tinggi di plasma akan
menyebabkan difusi ke SSP dalam jumlah besar. 70% thiopental terikat albumin,
sedangkan hanya thiopental bebas yang dapat menembus blood brain barrier karena
itu ikatan dengan protein plasma dan kecepatan onset obat berbanding terbalik. (6)
Tiopental menurukan kebutuhan oksigen otak sehingga perfusi ke otak juga berkurang
yang ditandai dengan peningkatan resistensi vaskular otak, penurunan aliran darah ke
otak dan penurunan tekanan intrakranial. (5)
Sistem kardiovaskuler. Thiopental
mendepresi
pusat vasomotor
dan
ginekologi keci seperti curettage; 3.) sedasi pada analgesi regional; 4.) mengatasi
kejang-kejang pada eklampsia, tetanus, epilepsi, dan lain-lain.(3)
Efek samping. Larutan ini sangat alkalis dengan PH 10-11, sehingga suntikan
keluar vena akan menimbulkan rasa sakit, bengkak, kemerah-merahan, dapat terjadi
nekrosis. Untuk menghindari efek ini sebaiknya memakai larutan 2.5%. sedangkan
injeksi intraarteri akan menyebabkan rasa terbakar, terjadi spasme arteri dan
kemungkinan thrombosis. .(1)(4)
II.3.3 KETAMIN
Ketamin adalah suatu rapid acting non-barbiturate general anesthetic.
Pertama
kali
diperkenalkan
oleh
terbuka spontan, dilatasi pupil dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai
gerakan yang tidak disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami
amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda
khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan mimpi buruk dan halusinasi
pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami agitasi. Selain itu, ketamin
menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan
intrakranial. .(1)(4)
Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit menentukan
saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan kerjanya. Kontak
penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa menit setelah permulaan
tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi
tempat dan waktu, halusinasi dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .(1)(4)
Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik maupun
diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah semula mencapai
maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan turun kembali dalam 15 menit
kemudian. Denyut jantung juga meningkat. Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf
simpatis yang meningkat dan depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan
pemberian premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. .(1)(4)
Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya sementara,
kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan sebagai premedikasi.
Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat antagonis terhadap efek
konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik untuk penderita asma dan untuk
mengurangi spasme bronkus pada anesthesia umum yang masih ringan. .(1)(4)
Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa adalah 14mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit, sedangkan melalui
infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan untuk anak-anak terdapat
banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al (2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB
sedangkan menurut Harriet Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan
setengah dari dosis awal sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang
dianjurkan adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat diberikan bersama
dengan diazepam atau midazolam dengan dosis 0.1mg/kgBB intravena dan untuk
mengurangi salvias dapat diberikan sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)
25
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun sebagai induksi
pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana pengendalian jalan nafas sulit,
misalnya pada koreksi jaringan sikatriks daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic
pada bedah saraf atau radiologi (radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi;
4.) pada pasien dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi
vital; 5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi tidak
ada; 7.) pasien asma. .(1)(4)
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada: 1.) Pasien
hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan diastolic 100mmHg; 2.)
Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan decompensatio cordis. Penggunaan
ketamin juga harus hati-hati pada pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasioperasi pada daerah faring karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan mimpi buruk
sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24 jam pasca pemberian.
Namun efek samping ini dapat dihindari dengan pemberian opioid atau
benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4)
26
II.4
II.5
DAFTAR PUSTAKA
29
1. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012;
210-218.
2. Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71
3. Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.
Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81
4. Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for
Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208
5. Miller, Ronald D. MD, et. al. Millers anesthesia. Elseveir 2010. CDROOM. Accessed
on 4 Maret 2013.
6. Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl. Accessed
on 3 Maret 2013.
7. Propofol. Available
at:
http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-
Anesthesia.
May
2009.
Available
at
30