Anda di halaman 1dari 60

2.

PAPARAN SINGKAT HUKUM ADMINISTRASI*


Hukum administrasi menempati posisi dominan dalam penanganan
tindak pidana korupsi, baik preventif berupa pencegahan tindak pidana
korupsi maupun represif yaitu penanganan/penindakan tindak pidana
korupsi.
Dari sisi preventif, hukum administrasi merupakan instrumen
hukum utama berkaitan dengan tiga dimensi hukum administrasi, yaitu
norma

untuk,

oleh

dan

terhadap

pemerintah

(vide

Hukum

Administrasi dan Good Governance, h. 19).


Dari sisi represif, hukum administrasi sangat dominan karena tindak
pidana korupsi hanya mungkin terjadi dalam konteks kerugian keuangan
negara yang diakibatkan oleh maladministrasi dalam penggunaan
wewenang.

Bentuk

maladministrasi

yang

paling

utama

adalah

penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, kisi-kisi utama hukum
administrasi meliputi: 1. Wewenang, 2. Diskresi, 3. Tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, 4. Konsep penyalahgunaan wewenang.
Pada dasarnya 4 kisi-kisi hukum administrasi tersebut telah
dipaparkan dalam Hukum Administrasi dan Good Governance
(Penerbit Trisakti, 2010) namun dalam tulisan ini 4 kisi-kisi tersebut
dipaparkan secara khusus dalam konteks tindak pidana korupsi.
Namun demikian sebelum memaparkan 4 kisi-kisi tersebut secara
singkat dipaparkan hukum administrasi untuk pemahaman dasar.
Dengan latar belakang tersebut, paparan dan analisis meliputi:
a. Paparan singkat hukum administrasi
b. Konsep wewenang
c. Diskresi
d. Tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi
e. Konsep penyalahgunaan wewenang
Pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini merupakan bagian inti dari
kajian hukum administrasi yang meliputi: istilah, dimensi normatif
hukum administrasi, landasan hukum administrasi, kodifikasi hukum
administrasi.

Kajian tentang penggunaan istilah "hukum administrasi" penting,


karena ada bidang ilmu lain yang juga menggunakan istilah administrasi
negara yaitu ilmu administrasi negara.
Tidak tepatnya istilah dapat menimbulkan pemahaman yang tidak
tepat.
Kajian

tentang

dimensi

normatif

hukum

administrasi

umum

dimaksudkan untuk membangkitkan minat untuk menggali unsur- unsur


umum hukum administrasi dari hukum administrasi positif yang
sebagian terbesar masih bersifat sektoral.
Kajian tentang rechtmatig bestuur pada dasarnya merupakan kajian
tentang norma hukum pemerintahan. Kalau hal itu ditinjau dari segi
pemerintah

merupakan

landasan

legalitas

tindak

pemerintahan

sedangkan dari segi masyarakat akan dilihat sebagai alasan untuk


mengajukan gugatan (beroepsgronden) dan bagi hakim merupakan
dasar penilaian (toetsingsgronden).
Sesuai dengan sifat aktif pemerintah seperti yang digambarkan
dalam konsep "sturen", tindakan aktif pemerintah tidak hanya terbatas
pada tindakan pengaturan tetapi juga pemerintah aktif (bahkan sangat
aktif) dalam penegakan hukum administrasi. Mengingat arti penting
penegakan hukum administrasi baik dari segi pemerintah maupun dari
segi masyarakat, kajian hukum administrasi menyangkut penegakan
hukum akan sangat dibutuhkan.
Sejalan dengan landasan hukum administrasi yaitu prinsip negara
hukum, prinsip demokrasi dan karakter instrumenal, kajian tentang
perlindungan hukum bagi masyarakat merupakan bagian mutlak hukum
administrasi. Kajian hukum administrasi tanpa menyentuh perlindungan
hukum akan hambar. Negara yang tidak mengenal perlindungan hukum
bagi

masyarakat

sangat

diragukan

mampu

menerima

dan

mengembangkan hukum administrasi.


2.1. Bukan "Hukum Administrasi Negara"
Penggunaan istilah "hukum administrasi negara" perlu dikaji
kembali lebih-lebih kalau dikaitkan dengan penggunaan istilah itu oleh
disiplin ilmu yang lain seperti ilmu administrasi negara.
Arti administrasi dalam konsep hukum administrasi apakah sama
dengan arti administrasi dalam konsep ilmu administrasi negara? Kalau
administrasi dalam konsep hukum administrasi diberi kode Al dan

administrasi

dalam

ilmu

administrasi

negara

diberi

kode

A2,

persoalannya dapat dirumuskan sebagai berikut: Al = A2?


Untuk menelaah Al kiranya perlu diadakan penelusuran kepustakaan ilmu administrasi negara. Hasil kajian pustaka menunjukkan
bahwa Al dan A2 berbeda secara prinsip, baik dari segi pengertiannya,
ruang lingkup dan sifat disiplin keilmuannya.
Arti Al adalah pemerintahan sedangkan A2 berkonotasi manajemen. Dengan demikian dalam konteks hukum administrasi tidak perlu
menambahkan atribut "negara" karena pemerintahan dengan sendirinya
menunjuk negara. Tegasnya istilah yang digunakan adalah "hukum
administrasi" dan bukan "hukum administrasi negara" (cfr. Philipus
M. Hadjon et.al., Pengatur Hukum Administrasi Indonesia, h. 2).
Dengan'penegasan arti "administrasi" adalah "pemerintahan ",
dalam kajian hukum administrasi masalah "pemerintahan" menjadi
titik sentralnya. Dengan demikian kajian hukum administrasi menitikberatkan pada aspek hukum pemerintahan a. I. hukum mengenai
kewenangan, organisasi publik, prosedur pemerintahan dan lain-lain.
Dengan demikian dalam konteks hukum administrasi, makna administrasi bukan tata usaha (clrical work).
Sebagai perbandingan, dalam istilah asing tidak ada yang masih
menambah atribut yang mengandung arti "negara" seperti nampak
dalam istilah di bawah ini:
- Administratiefrechtlbestuursecht (Belanda)
- Droit administratif (Prancis)
-

Venvaltungsrecht (Jerman)

Administrative law (Inggris)

2.2. Dimensi Normatif Hukum Administrasi


Dalam konsep negara hukum kemasyarakatan (sociale recht- staat)
hukum

administrasi

didefinisikan

sebagai

instrumen

yuridis

yang

memungkinkan pemerintah mengendalikan kehidupan masyarakat dan


pada

sisi

lain

memungkinkan

masyarakat

berpartisipasi

dalam

pengendalian (pemerintahan) tersebut.


Rumusan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Dengan konsep tersebut, unsur-unsur pokok hukum administrasi
adalah:
1. Sturen (sturing: mengendalikan).

2. Partisipasi (peran serta).


3. Perlindungan hukum bagi masyarakat.
Unsur-unsur tersebut di atas sekaligus merupakan dimensi normatif
hukum administrasi, yang meliputi:
1. Hukum mengenai kekuasaan memerintah.
2. Hukum mengenai organisasi publik: organisasi dan instrumen.
3. Hukum mengenai perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap
kekuasaan pemerintahan.
Dari sisi isi norma dengan bertumpu pada kekuasaan pemerintahan,
tiga aspek utama hukum administrasi meliputi hukum untuk, oleh dan
terhadap

pemerintah

(vide Philipus

M. Hadjon,

et al.

Hukum

Administrasi dan Good Governance, 2010, h. 19).


Hukum

untuk

merupakan

norma

pemerintahan,

utamanya

menyangkut wewenang pemerintahan, hukum oleh utamanya berupa


tindak pemerintahan, baik yang sifatnya regulasi maupun yang kon- krit.
Hukum terhadap pada dasarnya berkaitan dengan perlindungan hukum
bagi rakyat.
2.3. Landasan Hukum Administrasi
Hukum administrasi sebagai hukum publik berlandaskan pada prinsipprinsip negara hukum (rechtsstaat) dan prinsip-prinsip demokrasi dan
sesuai dengan konsep hukum administrasi sebagai instrumen yuridis,
hukum administrasi juga mengandung karakter instrumenal. Dengan
demikian tiga landasan hukum administrasi adalah:
1.Negara hukum
2.Demokrasi
3.Karakter instrumenal
Landasan negara hukum menjamin perlindungan hukum terhadap
kekuasaan

pemerintahan.

Asas-asas

umum

negara

hukum

yang

langsung berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan adalah:
- Asas legalitas pelaksanaan pemerintahan (rechtmatigheid van bestuur.
meliputi kewenangan, prosedur dan substansi);
- Perlindungan hak asasi (,grondrehcten: hak klasik dan hak sosial);
- Pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan (machtsverdeling: a.l.
melalui desentralisasi fungsional maupun teritorial);
- Pengawasan oleh pengadilan {rechterlijke controle).

Landasan demokrasi terutama berkaitan dengan prosedur dan


substansi dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik berupa pengambilan keputusan maupun berupa perbuatan-perbuatan nyata. Prinsipprinsip demokrasi yang melandasi hukum administrasi adalah:
- Adanya badan perwakilan rakyat dan asas bahwa tidak ada jabatan
seumur hidup (afzetbaarheid van bestuur)-,
- Asas keterbukaan dalam pelaksanaan pemerintahan (openbaarheid:
aktif dan pasif -> catatan: di Belanda saat mi ada UU wet openbaarheid
van bestuur)-,
- Peran serta (inspraak).
Dengan konsep "sturen" hukum administrasi merupakan instrumen
yuridis. Persoalannya ialah bagaimanakah dengan instrumen tersebut
dapat tercapai tujuan pemerintahan. Dalam kaitan ini, landasan hukum
administrasi adalah:
-

Efektivitas (doeltreffenheid: hasil guna)

Efisiensi (doelmatigheid: daya guna)

2.4. Kodifikasi Hukum Administrasi Umum


Dalam tahap awal hukum administrasi tumbuh sebagai hukum
sektoral. Hukum administrasi sektoral sulit dikodifikasi. Melalui peradilan
administrasi
putusan

hukum

pengadilan,

administrasi
sehingga

dikembangkan

hukum

melalui

administrasi

lebih

putusanbanyak

merupakan hukum yurisprudensial.


Dalam perkembangan dewasa mi terdapat suatu kecenderungan
untuk mengembangkan hukum administrasi umum {general administrative law). Usaha ke arah itu dilakukan dengan menginventarisasi
unsur-unsur umum dari hukum administrasi sektoral yang dijadikan
sebagai bahan kodifikasi hukum administrasi umum (Undang-Undang
tentang Ketentuan Umum Hukum Administrasi).
Kebutuhan akan kodifikasi hukum administrasi umum dewasa mi
bagi

Indonesia

sifatnya

mutlak

dikaitkan

dengan

perkembangan

pemerintahan dan pembangunan dan secara khusus dikaitkan dengan


kebutuhan untuk mengefektifkan peradilan tata usaha negara secara
maksimal.
2.5.

Rechtmatig Bestuur

Rechtmatig bestuur adalah asas pemerintahan yang bertumpu atas


asas negara hukum, yaitu asas legalitas. Berdasarkan asas legalitas,

setiap tindak pemerintahan harus dilandaskan pada wewenang yang


sah, prosedur yang tepat dan substansi yang tepat. Sulit untuk
mencari istilah kita yang tepat untuk,rechtmatig bestuur tapi rechtmatigheid berarti legalitas atau keabsahan.
Parameter menguji legalitas atau keabsahan tindak pemerintahan
adalah

peraturan

perundang-undangan

dan

asas-asas

umum

pemerintahan yang baik (AUPB). AUPB dalam hukum administrasi kita


merupakan hal-baru.
Dalam Pasal 53 ayat 2 UU nomer 5 tahun 1986 tidak diatur secara
tegas tentang asas-asas umum pemerintahan yang baik padahal itu
sangat penting artinya baik sebagai norma pemerintahan, sebagai
alasan menggugat ataupun dasar penilaian.
Dalam

derap

langkah

Peradilan

Tata

Usaha

Negara

semula

penerapan asas-asas umum pemerintahan yang baik di lingkungan PTUN


berpedoman pada Juklak Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor
052/Td.TUN/III/1992 dan saat ini sudah diatur dalam Pasal 53 ayat 2
melalui UU No. 9 tahun 2004.
2.6. Penegakan Hukum Administrasi
Penegakan hukum administrasi berbeda dengan penegakan hukum
perdata dan hukum pidana.
Sarana penegakan hukum administrasi berupa pengenaan sanksi.
Dalam hukum administrasi ada sanksi administrasi, sanksi perdata
dan ada sanksi pidana.
Pengenaan sanksi administrasi langsung dilakukan oleh badan/
pejabat pemerintah taijpa harus melalui proses pengadilan. Penegakan
sanksi pidana dilakukan oleh pengadilan.
Sanksi administrasi yang dapat diterapkan berupa:
a. Paksaan administrasi

(bestuursdwang) a.l.

pengosongan

secara

paksa, bongkar paksa, penggusuran, dll.


b. Pengenaan uang paksa.
c. Penarikan/pencabutan KTUN yang menguntungkan.
d. Pengenaan denda administrasi.
2.7. Perlindungan Hukum
Ada dua macam perlindungan hukum, yaitu perlindungan hukum
preventif

dan

perlindungan

hukum

represif.

Perlindungan

hukum

preventif dilakukan melalui upaya peran serta (inspraak) ataupun dengar

pendapat. Dalam hubungan ini asas keterbukaan dalam pelaksanaan


pemerintahan sangat penting artinya. Arti penting perlindungan hukum
preventif ialah mencegah sengketa adalah lebih baik daripada
menyelesaikan sengketa. Pengaturan tentang sarana perlindungan
hukum preventif dalam hukum administrasi positif kita belum memadai.
Sehubungan dengan itu usaha kodifikasi hukum administrasi umum
berupa UU tentang ketentuan umum hukum administrasi akan sangat
menunjang hal tersebut di atas.
Dengan bertitik tolak dari UU nomor 5 tahun 1986, sarana
perlindungan hukum represif di Indonesia dewasa ini adalah:
a. Peradilan Tata Usaha Negara (khusus menyangkut keputusan tata usaha
negara: KTUN)
b. Peradilan Militer khusus untuk KTUN ABRI
c. Peradilan Umum
d. Pengadilan Pajak
Kompetensi

PTUN

adalah

sengketa

tata

usaha

negara

yang

obyeknya KTUN. Ciri-ciri khas peradilan tata usaha negara adalah:


a. Asas "vermoeden van rechtmatigheicT (praesumptio iustae causa)
b. Asas hakim sebagai "dominus litis" (keaktifan hakim)
c. Asas pembuktian bebas
d.

Asas putusan "erga omnes"'. Asas ini berarti putusan berlaku bagi
semua orang.
(Philipus M. Hadjon, et. al., Pengantar- Hukum Administrasi
' Indonesia, h. 313).
Peradilan umum menangani sengketa tata usaha negara yang tidak
termasuk kompetensi absolut PTUN maupun Peradilan Militer. Di Belanda
dianut asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi
kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan peradilan Tata Usaha
Negara. Atas dasar asumsi tersebut, peradilan umum menangani
sengketa-sengketa TUN berupa:

a.

Sengketa yang timbul dari perbuatan materiil atau timbul dari keputusan
yang berupa pengaturan yang bersifat umum;
b. Gugatan ganti rugi tambahan setelah proses PTUN;
c. Gugatan ganti rugi sehubungan dengan eksekusi putusan PTUN.
Apakah praktek di Belanda seperti tersebut di atas akan dilakukan
juga oleh peradilan umum kita kiranya memerlukan kajian lebih lanjut.

3.1. Istilah
Dalam hukum positif, kita temukan istilah wewenang antara am da
am UU no. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1.6;
Pasal 53 ayat 2 huruf C).
Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda Istilah itu
seringkah dipertukarkan dengan istilah kewenangan.
Istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan
istilah bevoegdheid" dalam istilah hukum Belanda.
Kalau kita kaji istilah hukum kita secara cermat, ada sedikit
perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah
bevoegdheid. Perbedaan terletak dalam karakter hukumnya. Istilah
Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik
maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan selalu dalam konsep
hukum publik.

Dengan perbedaan tersebut di atas, dalam tulisan singkat ini istilah


wewenang

atau

kewenangan

digunakan

sejajar

dengan

istilah

bevogdheid dalam konsep hukum publik.


3.2. Konsep Wewenang
Dalam kepustakaan hukum administrasi Belanda, soal wewenang
selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi
karena obyek hukum administrasi adalah wewenang pemerintahan
(bestuurs bevoegdheid).
Dalam konsep hukum publik, wewenang, merupakan suatu konsep
inti dalam hukum tata negara dan hukum administrasi (FAM Stromk, h.
26).

'''
Dalam hukum tata negara, wewenang {bevogdheid) dideskripsikan

sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum


publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan hukum (Henc van
Maarseveen, h. 47).
Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya tiga komponen, yaitu:
-

Pengaruh

Dasar hukum

Konformitas hukum

(Henc van Maarseveen, h. 49).

Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen
dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna
adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Dalam tulisan ini, konsep wewenang hanya dibatasi pada wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat
keputusan pemerintahan (besluit), tetapi juga semua wewenang dalam
rangka melaksanakan tugasnya.
3.3. Cara Memperoleh Wewenang
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama
untuk

memperoleh

wewenang

pemerintahan,

yaitu

atribusi

dan

delegasi. Kadang-kadang mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri.


Namun mandat bukan pelimpahan wewenang seperti delegasi.
Atribusi

Atribusi dikatakan sebagai cara normal untuk memperoleh


wewenang pemerintahan (Van Wijk/Konijnenbelt, h. 51). Juga dikatakan bahwa atribusi juga merupakan wewenang untuk membuat
keputusan {besluit) yang langsung bersumber kepada undang-undang
dalam arti materiil (Rapport, h. 11). Rumusan lain mengatakan bahwa
atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu. Yang dapat membentuk wewenang adalah
organ

yang

berwenang

berdasarkan

peraturan

perundang-

undangan.Pembentukan wewenang dan distribusi wewenang utamanya


ditetapkan dalam UUD. Pembentukan wewenang pemerintahan didasarkan pada wewenang yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan.
Dalam hukum administrasi positif ditemukan berbagai ketentuan
tentang atribusi. Dalam hukum positif kita, contoh tentang pembentukan
wewenang atribusi antara lain: Pasal 4 ayat (1) UUD 1945:
Presiden

Republik

Indonesia

memegang

kekuasaan

pemerintahan

menurut Undang-Undang Dasar.


Pasal 25 UU No. 32 th. 2004:
Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang:
(l)Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah
dst
Pasal 76 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup menentukan:
(l)Menteri,

Gubernur,

atau

Bupati/Walikota

menerapkan

sanksi

administratif kepada penanggung jawab usaha


.......................................dst
Dalam PERDA Bangunan kita temukan berbagai variasi rumusan
pemberian wewenang atribusi, misalnya: dilarang tanpa izin
Bupati untuk mendirikan bangunan di wilayah
Rumusan larangan tersebut sekaligus menetapkan wewenang
atribusi dari Bupati untuk menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Dalam UU Pajak ditetapkan wewenang penetapan pajak bagi petugas
pajak.
Delegasi
Hukum administrasi Belanda saat ini telah merumuskan pengertian
delegasi dalam wet Belanda yang terkenal dengan singkatan AWB

(Alegemen Wet Bestuursrecht). Buku-buku hukum administrasi Belanda


saat

ini mendasarkan pada

ketentuan pasal

10: 3

AWB untuk

menjelaskan pengertian delegasi. Ulasan tersebut kita jadikan titik tolak


perbandingan untuk mencoba memahami konsep delegasi.
Dalam artikel 10: 3 AWB, delegasi diartikan sebagai penyerahan
wewenang (untuk membuat "besluif) oleh pejabat pemerintahan kepada
pihak lain dan wewenang tersebut menjadi tanggung jawab pihak lain
tersebut. Yang memberi/melimpahkan wewenang disebut delegans dan
yang menerima wewenang disebut delegataris (J.B.J.M. ten Berge, h. 89).
Syarat-syarat Delegasi:
a. Delegasi harus definitif, artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu.
b. Delegasi

harus

berdasarkan

ketentuan

peraturan

perundang-un-

dangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan


untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.
c. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki
kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi,
d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang
tersebut.
e. Adanya peraturan kebijakan (beleidsregel) untuk memberikan instruksi
(petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut. (J.B.J.M. ten Berge,
h. 89-90)
Mandat
Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan. Penugasan
kepada bawahan misalnya untuk membuat keputusan a.n. pejabat yang
memberi mandat. Keputusan itu merupakan keputusan pejabat yang
memberi mandat. Dengan demikian tanggung jawab jabatan tetap pada
pemberi mandat.
Atas dasar itu penerima mandat tidak dapat menjadi tergugat
dalam sengketa tata usaha negara (Pasal 1.12 UU No. 5 th. 1986 jis UU
No. 9 th. 2004 dan UU No. 51 th. 2009).
Namun demikian atasan (pemberi mandat) tidak bertanggung
jawab atas maladministrasi yang dilakukan penerima mandat. Dalam hal
ini asas vicarious liability {superior respondeat) tidak berlaku.

4. DISKRESI* 4.1. Istilah


Dalam

kepustakaan

hukum

administrasi

istilah

yang

sering

digunakan adalah kekuasaan bebas. Dalam praktek sering terdengar


istilah kebijakan atau kebijaksanaan.
Sebagai perbandingan diketengahkan istilah yang digunakan dalam
berbagai sistem hukum administrasi. Dari paparan tersebut istilah
diskresi s'elayaknya dipopulerkan sesuai dengan hakekat diskresi
seperti terurai di bawah ini.
Hukum Administrasi Inggris: discretionary power
Hukum Administrasi Jerman: Ermessen (bukan uFreies Ermessen"), discretionaire be- voegdheden
Hukum Administrasi Belanda: Vrij bevoegdheid
Berdasarkan esensi dari istilah dan konsep-konsep tersebut, dalam
draft

RUU

tentang

Administrasi

Pemerintahan

digunakan

istilah

diskresi.
4.2. Hakekat
Istilah diskresi digunakan sebagai lawan dari wewenang terikat
(gebonden bevoegdheid)
Esensi: ada pilihan (choice) untuk melakukan tindakan pemerintahan
pilihan berkaitan dengan:
a.

rumusan norma

mis: - tersangka dapat ditahan ....


-

dalam keadaan tertentu ....

seharusnya ....

sepatutnya_....

demi kepentingan umum ... .dll.


b.

kondisi faktual

mis: - bencana
- keadaan darurat dll.
4.3. Parameter
Untuk menguji legalitas tindakan diskresi, parameter yang digunakan adalah:
a.

Peraturan perundang-undangan

b.

Asas-asas um^m pemerintahan yang baik

khususnya:
- larangan sewenang-wenang (parameter: rasionalitas)

- larangan penyalahgunaan wewenang (parameter: tujuan) ->


asas spesialitas
larangan menggunakan wewenang untuk tujuan lain daripada tujuan
yang ditetapkan untuk wewenang itu (larangan dtournement de
pouvoir)
5. TANGGUNG JAWAB JABATAN DAN TANGGUNG JAWAB PRIBADI*
5.1. Pengertian Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung Jawab
Pribadi
Tanggung jawab pejabat dalam melaksanakan fungsinya dibedakan
antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.
Tanggung jawab jabatan berkenaan dengan legalitas (keabsahan)
tindak pemerintahan. Dalam hukum administrasi, persoalan legalitas
tindak

pemerintahan

berkaitan

dengan

pendekatan

terhadap

kekuasaan pemerintahan.
Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan

fung-

sionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service.
Pembedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi atas tindak pemerintahan membawa konsekwensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan
tanggung gugat tata usaha negara (TUN).
Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi.
Dalam kaitan dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi
seorang pejabat berhubung dengan adanya maladministrasi.
Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan
berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat
unsur maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah
tanggung gugat jabatan.
5.2. Legalitas Tindak Pemerintahan
Ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi:
-

wewenang

prosedur

substansi

Wewenang dan substansi merupakan landasan bagi legalitas


formal. Atas dasar legalitas formal lahirlah asas praesumptio iustae
causa (vermoeden van rechtmatigheid: asas praduga tak bersalah), .
Atas dasar asas itulah ketentuan Pasal 67 ayat (1) UU no. 5 th. 1986
menyatakan:
Gugatan

tidak

menunda

atau

menghalangi

dilaksanakannya

Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang di gugat.


Tidak terpenuhinya tiga komponen legalitas tersebut mengakibatkan cacat yuridis suatu tindak pemerintahan. Cacat yuridis menyangkut wewenang, prosedur dan substansi.
Setiap tindak pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh melalui tiga sumber,
yaitu: atribusi, delegasi dan mandat.
Asas umum prosedur bertumpu atas tiga landasan utama hukum
administrasi, yaitu: asas negara hukum, asas demokrasi dan asas
instrumenal.
Asas negara hukum dalam prosedur utamanya berkaitan dengan
perlindungan hak-hak dasar, misalnya hak untuk tidak menyerahkan
dokumen

yang

sifatnya

privacy,

hak

untuk

tidak

menyebutkan

namanya atau identitas lainnya sehubungan dengan keberatan yang


diajukan terhadap suatu permohonan pihak lain atau atas suatu rancangan tindak pemerintahan.
Asas demokrasi dalam prosedur berkenaan dengan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas keterbukaan
mewajibkan pemerintah untuk secara aktif memberikan informasi
kepada masyarakat tentang suatu permohonan atau suatu rencana
tindak pemerintahan dan mewajibkan untuk memberikan penjelasan
kepada masyarakat atas hal yang diminta. Keterbukaan pemerintahan
memungkinkan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan.
Untuk itu dibutuhkan suatu sarana peran serta misalnya: sarana keberatan, sarana dengar pendapat, komisi pertimbangan (penasihatan) dan
lain-lain. Di samping itu asas keterbukaan mewajibkan pemerintah untuk
mengumumkan setiap keputusan pemerintahan.
Asas instrumenal meliputi asas efisiensi (doelmatigheid: daya
guna) dan asas efektivitas (doeltrefferiheid: hasil guna). Dewasa ini
mungkin masih banyak prosedur di bidang pemerintahan di Indonesia

yang masih belum berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hubungan itu
deregulasi di bidang pemerintahan khususnya menyangkut prosedur
pemerintahan masih sangat dibutuhkan. Hal kecil yang masih menunjukkan beberapa segi yang tidak efisien dan tidak efektif misalnya:
apakah masih perlu prosedur pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
dimulai dari tingkat Ketua Rukun Tetangga (RT), padahal setiap warga
yang mengurus KTP disyaratkan antara lain bahwa dia sudah terdaftar
dalam Kartu Keluarga (KK) dan bahkan sekarang ini sudah diatur Wajib
memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Apakah tidak cukup dengan
bekal kartu NIK dan KK seseorang bisa langsung mengurus KTP-nya
tanpa harus melalui suatu prosedur yang panjang?
Kekuasaan pemerintahan yang berisi wewenang pengaturan dan
pengendalian kehidupan masyarakat, dibatasi secara substansial.
Sebagai contoh misalnya: wewenang menetapkan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), secara substansial dibatasi pada luas tanah dan luas
bangunan dan tidak menyangkut isi rumah tersebut. Aspek substansial
menyangkut "apa" dan "untuk apa". Cacat substansial menyangkut
"apa"

merupakan

menyangkut

tindakan

"untuk

apa"

sewenang-wenang;
merupakan

cacat

tindakan

substansial

penyalahgunaan

wewenang.
5.3. Maladministrasi
Istilah maladministrasi sebagai istilah hukum dirumuskan dengan
berbagai variasi seperti contoh definisi maladministrasi menurut laporan
tahunan 1997 Ombudsman Eropa: Maladministration occurs when a
public body fail to act in accordance with the rule or principle which is
binding upon it (Anton Sujata, Ombudsman Indonesia di tengah
Ombudsman Internasional, h. 17-18).
E.I. Sykes et al, dalam bukunya General Principles of Administrative
Law, 1989 (p. 379) dalam memaparkan fungsi Ombudsman, menulis:
The most appropriate general description is that his works is directed at
the correction of case of maladministrationa term which has been
described as including bias, neglect, delay, inattention, incompetence,
ineptitude, perversity, turpitude and upbitrariness.
Anton

Sujata

nyimpangan

meneijemahkan
pejabat

publik

Ombudsman Internasional, h. 17).

maladministrasi,
(Ombudsman

dengan

Indonesia

di

pe-

tengah

Untuk menelaah makna yang tepat tentang maladministrasi,


pertama-tama sebaiknya dengan menelan arti kata maladministrasi
dan kedua, menelusuri konsep hukum administrasi melalui kajian
pustaka.
Menelaah arti kata maladministrasi, kata dasar mal dalam bahasa
Latin malum artinya jahat (jelek)" Kata administrasi asal katanya
administrare dalam bahasa Latin artinya melayani. Kalau dipadu
menjadi maladministrasi dengan pengertian dasar tadi, maladministrasi
adalah pelayanan yang jelek.
Dengan pengertian dasar tersebut, mal administrasi selalu dikaitkan dengan perilaku dalam pelayanan, dalam hal ini pelayanan yang
dilakukan

oleh

pejabat

publik.

Dikaitkan

dengan

norma

hukum

administrasi, maladministrasi masuk kategori norma perilaku aparat


dalam pelayanan publik (bandingkan general principles of good administrative behavior dalam Code of Good Administrative Behaviour
European Communities).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 3 UU No. 37 tahun 2008,
maladministrasi adalah:
Maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum,
melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik
yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang
menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan
orang perseorangan.
5.4. Perbandingan antara Tanggung Jawab Jabatan dan Tanggung
Jawab Pribadi
Perbandingan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Tanggung Jawab Jabatan Tanggung
a.

Fokus:

Jawab

Pribadi
legalitas
Fokus: maladministrasi

(keabsahan) tindakan

Perilaku

jelek

aparat

Wewenang

dalam

pelaksanaan

Prosedur

tugas

Substansi

tercela Antara lain: -

perbuatan

sewenang-wenang

penyalahgunaan
wewenang

b. Parameter:
Peraturan

Parameter:
Perundang- Peraturan

undangan

undangan
umum Asas-asas

Asas-asas

Perundang-

pemerintahan yang baik

umum

pemerintahan

yang

baik
3. Code

of

good

administrative
behavior

(Uni

Eropa)
Tanggung Jawab Jabatan
c. Pertanyaan hukum:
Adakah

cacat

yuridis Adakah maladministrasi dalam

menyangkut:
-

Wewenang

Prosedur

Tanggung Jawab Pribadi


Pertanyaan hukum:
tindakan tersebut"?

Substansi
d. Asas praesumptio iustse Berkaitan
causa
Setiap

pidana:
tindakan

dengan

asas

tindak

praduga

tak

pemerintahan bersalah

harus dianggap sah sampai ada


pencabutan atau pembatalan
e. Asas vicarious liability: Asas
berlaku
f.
Sanksi:
perdata

vicarious

liability:

tidak berlaku
administrasi, Sanksi: administrasi, perdata,
pidana

6. KONSEP PENYALAHGUNAAN WEWENANG*


Penyalahgunaan wewenang dalam konsep hukum administrasi
selalu diparalelkan dengan konsep dtournement de pouvoir. Dalam
Verklarend Woordenboek OPENBAAR BESTUUR dirumuskan sebagai: het
oneigenlijk gebruik maken van haar bevoegdheid door de overheid.
Hiervan is sprake indien een overheidsorgaan zijn bevoegdheid kennelijk
toi een ander doel heeft gebruikt dan tot doeleinden waartoe die

bevoegdheid

is

gegeven.

De

overheid

schendt

aldus

het

specialiteitsbeginsel [p. 163] (penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan
kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas
spesialitas).
Konsep penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi kita
pada dasarnya sesuai dengan rumusan yang pernah ada dalam Pasal 53
ayat (2) butir b UU No. 5 th. 1986, yaitu:
.......... menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) butir b: dasar pembatalan ini sering
disebut penyalahgunaan wewenang.
Dalam mengukur apakah telah teijadi penyalahgunaan wewenang,
haruslah dibuktikan bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu
kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu
mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi yang negatif,
baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Ada
tidaknya pengalihan tujuan harus dibuktikan. A Contrario sepanjang
tidak ada bukti menyangkut pengalihan tujuan berarti tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaan inti:
Dalam konteks tindak pidana korupsi, pertanyaan inti menyangkut
penyalahgunaan wewenang:
1.

Apakah tindakan tersebut dilakukan dengan sengaja (ada

niat: met opzet)?


2. Apakah tujuan utama pengambilan tindakan tersebut?
3.

Apakah' tujuan tersebut tidak menyimpang dari ratio legis

penetapan/pemberian wewenang tersebut?


1. PENDAHULUAN
Di dalam UU No. 25 Th 2009 tentang Pelayanan Publik dalam
bagian menimbang butir b dinyatakan:

Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan


publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan
kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan
seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan
publik.
Dalam kaitan tersebut, reformasi birokrasi pemerintahan muncul
pertama kali karena adanya keinginan pemerintah untuk memberikan
pelayanan terbaik kepada masyarakat seperti yang ditentukan oleh UUD
NRI 1945. Peningkatan pelayanan publik harus mendapatkan perhatian
utama dari pemerintah, karena pelayanan publik {public service)
merupakan hak-hak sosial dasar dari masyarakat {social rights). Social
rights adalah merupakan human rights ataupun fundamental rights,
oleh karena istilah HAM dan hak-hak dasar manusia, tercakup dua istilah
secara bersama-sama, yaitu human rights atau fundamental rights
(Philipus M. Hadjon, 1985, h. 52).
Mengenai hak-hak sosial dasar ini sebagai fundamental rights
ataukah human rights, ditegaskan oleh Bradley:... The first task is to
determine what is meant by human rights: there is a great deal of
terminological inconsistency in this area, with a number of terms
frequently used-human rights, civil liberties, fundamental rights often
referring the same thing. (A.W. Bradley & K. D. Ewing, 2003 h. 403).
Pelayanan publik dalam kaitan hak sosial dasar warga negara
{social rights) merupakan the rights to receive, hak-hak untuk menerima dari pemerintah seperti hak untuk mendapatkan pendidikan dan
pengajaran, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, jaminan hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum, jaminan sosial, dsb.
Landasan pelayanan publik atas hak-hak sosial dasar tersebut
antara lain diatur dalam ketentuan Pasal 18 A ayat ( 2) dan Pasal 34 ayat
(3) UUD NRI 1945.
- Pasal 18 A ayat (2) menyatakan:
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
- Pasal 34 ayat (3) menyatakan:

Negara

bertanggung

jawab

atas

penyediaan

fasilitas

pelayanan

kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.


Dengan demikian undang-undang dasar mengatur secara tegas
tentang pelayanan publik sebagai wujud hak sosial dasar (the rights to
receive). Penolakan atau penyimpangan pelayanan publik adalah
bertentangan dengan UUD NRI 1945.
Pelaksanaan public service sebagai hak-hak sosial dasar masyarakat, di dalam realita masih banyak hambatan atau penyimpangan.
Sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dan bahkan kasus-kasus
maladministrasi, dan KKN yang bisa berakibat yuridis pada pengenaan
sanksi pidana.
Menurut

Komisi

Ombudsman

Nasional

RI

penyimpangan-pe-

nyimpangan dan hambatan-hambatan yang dilaporkan oleh masyarakat


atas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dan tahun ke
tahun mengalami peningkatan.
- Tahun 2001 dari 511 kasus yang dilaporkan, 78 kasus adalah merupakan
kasus KKN.
- Tahun 2002 dari 396 kasus yang dilaporkan, 37 adalah kasus KKN.
- Tahun 2003 dari 372 kasus yang dilaporkan, 15 kasus adalah kasus KKN.
- Tahun 2004 dari 363 kasus yang dilaporkan 14 kasus adalah KKN.
- Tahun 2005 dari 914 kasus yang dilaporkan, 33 kasus merupakan kasus
KKN. (laporan tahunan 2001, 2002, 2003, 2004, 2005).
- Tahun 2006 sampai tahun 2010 terdapat 847 kasus yang dilaporkan
pada Ombudsman R.I.
Dari laporan tersebut ternyata kasus-kasus maladministrasi masih
terjadi terutama berkaitan dengan gratifikasi atau kolusi, ataupun
tindakan-tindakan

yang

dapat

dikualifikasi

sebagai

tindak

pidana

korupsi.
Dalam sistem hukum Belanda, pelaksanaan pelayanan publik
dilakukan dengan mengikuti norma-norma perilaku aparat. Ombudsman
Nasional Belanda melakukan pengawasan pelayanan publik atas dasar
Code of Conduct (algemene normen van goed overheidgedrag). Dalam
kaitan dengan korupsi, Belanda lebih menekankan aspek represif
daripada upaya pencegahan korupsi. Dalam realita hanya kasus-kasus
besar korupsi yang dibawa ke pengadilan dan sangat sedikit jumlahnya
(Henk Addink, Gio. Ten Berge, 2007).

Sistem hukum Prancis mengembangkan pelayanan pemerintahan


pada aspek public service dan civil service. Idea public service
menentukan tindakan-tindakan yang tepat bagi para pegawai pemerintah dan para menteri, sebagaimana halnya di dalam pemerintah
daerah dan badan-badan non pemerintah.
Dalam konteks ini John Bell menyatakan:
"As part of our political morality, the idea of public service, provide
an ideal of conduct for civil servants and ministers, as well as their
homologues in local government and non-governmental bodies" (John
Bell et. al, 1998-P. 167).
Civil service muncul pada era ancient regime ketika negara aktif
mencampuri perkembangan ekonomi dan sosial dalam kaitan dengan
pelanggaran pelayanan publik dan hal tersebut merupakan suatu
tanggung

jawab

pribadi

(individual

responsibility).

Peran

hakim

administrasi dalam kaitan ini tidak dominan. Hal ini dikarenakan doktrin
dalam hukum pidana Prancis membedakan: The legal component
{Velement legal), The material component (Velement material), dan
moral component (J'element moral).
Moral component jarang diperhatikan oleh karena suatu kejahatan hanya berkaitan dengan pelanggaran yang dapat dibuktikan
secara objektif dari norma hukum, .... A crime is merely an objectively
verifiable breach of a legal norm (John Bell, et. al, 1998-P. 206).
Sistem hukum Inggris mengenal pelayanan pemerintah atas public
service dan civil service.
Dalam pelayanan publik sistem hukum Inggris menekankan peran
doktrin "ultra vires" dalam mengukur kesalahan dalam pelayanan publik.
Di

samping

itu

juga

mendasarkan

pada

pendekatan

perilaku.

Berdasarkan rekomendasi dari "The Parliamentary Ombudsman" (Act.


1967). kesalahan dalam pelayanan publik bisa menjadi tanggung jawab
pidana. Dari sisi hukum administrasi perhatian ditekankan pada tindakan
maladministrasi.
Civil service sebagaimana dikemukakan oleh Elder:
The civil sen'ice of the state, as including evety person who sen>e
the crown in a civil capacity, other than the holder of judicial or political
office, and whose remuneration is paid wholly and directly out of
moneys and provided by parlement (John Elder, 2005, h. 343- 344).'

Pelayanan sipil dari negara, termasuk setiap orang yang melayani


kerajaan dalam kapasitas sipil, selain dari pemegang kekuasaan yudisial
atau kantor politik, yang pemberian gajinya dibayar secara keseluruhan
dan secara langsung keuangannya dikeluarkan dan ditentukan oleh
parlemen.
Istilah sipil dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah militer,
di mana angkatan perang merupakan pegawai kerajaan {Crown
Servant) yang digaji dari dana-dana parlemen, dan merupakan subjek
dari rezim hukum yang berbeda. Adapun public service merupakan
bentuk pelayanan dari pemerintah yang berawal tahun 1991 dan
bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang terbaik. Dari
uraian di atas, tulisan ini dibagi dalam lima bab yaitu:
1. Pendahuluan
2. Konsep dan Landasan Yuridis Pelayanan Publik
3. Maladministrasi dalam Pelayanan Publik
4. Penutup
2. KONSEP DAN LANDASAN YURIDIS PELAYANAN PUBLIK
2.1. Konsep Pelayanan Publik
Dalam Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, ditegaskan dalam Pasal 1 butir 1:
yang dimaksud pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian
kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk
atas

barang,

jasa,

dan/atau

pelayanan

administratif

yang

diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik.


Dari ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 25 tahun 2009
tersebut dengan tegas disebutkan tentang pelayanan publik dilakukan
atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif, seperti halnya yang
diatur dalam ketentuan Pasal. 5, yang menyatakan bahwa ruang lingkup
pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta
administratif yang diatur berdasarkan undang- undang.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksana pelayanan publik adalah:
Pejabat, pegawai, petugas dan setiap orang yang bekerja di dalam
organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan atau
serangkaian tindakan pelayanan publik (Pasal 1.5).

Dalam kajian Hukum Administrasi, konsep pelayanan publik (public


service) dikemukakan oleh John Bell:
"The public service was an activity of the state (later extended to
local government and public corporations). In brave public service is a
legal structure by which a need of public interest is satisfied" (John Bell,
et. al, 1998, - h. 168).
Ada 4 elemen penting dalam pelayanan publik yaitu: - The purpose
for which an activity is under taken (the public interest).
-

The institution which decides it of to be under taken (the state or


another public body).

The mechanism by which this is under taken (the use of public


power, la puissance publique, or contract).

And those who are involved in providing the sendee (the civil
sendee, la function publique, or private person), (ibid)
Pelayanan publik (public service) menentukan tindakan-tindakan

yang tepat bagi para pegawai dan para menteri seperti halnya hal yang
sama yang ada dalam pemerintahan daerah dan badan-badan swasta.
Dalam sistem hukum administrasi Prancis dalam melaksanakan fungsi
pelayanan publik (mission de sendee public) dilandasi oleh Rolland
principles

yang

meliputi:

continueity,

adaptability,

equality

dan

neutrality (Ibid h. 169-170).


1. Continueity:
Adalah

kontinuitas

dalam

ketentuan

hukum

tentang

pelayanan,

mengikuti tindakan yang diperlukan dalam kepentingan publik. Apabila


hal tersebut benar-benar merupakan kepentingan publik, masyarakat
diberi pengharapan bahwa pelayanan publik telah tersedia.
2. Adaptability.
Adaptability mensyaratkan bahwa pejabat pemerintah harus dapat
merubah spesifikasi pelayanan sesuai dengan perubahan-perubahan
kepentingan publik. Dalam perjanjian-perjanjian privat, kesucian kontrak
atau persetujuan-persetujuan adalah nilai-nilai yang dominan, dan ini
berarti bahwa merubah suatu konstruksi kontrak atau suatu persetujuan
pelayanan harus dibuat berdasarkan kesepakatan. Dalam hukum publik,
kepentingan publik adalah yang paling utama, sehingga persyaratanpersyaratan tentang hal tersebut dapat dipaksakan pada kontraktor.

Kasus CE.10 Januari 1902, compact nie nouvelle du Gaz de deville-lesrouen.

The

commune,

berwenang

untuk

merubah

persyaratan-

persyaratan penerangan (lampu) jalan dari gas ke listrik. Perusahaan


yang ada tidak dapat menyediakan hal tersebut, sedangkan perusahaan
yang

lain

dapat

menyediakan.

Sudah tentu

terhadap

kontraktor

pemasok (supplier) gas diberi ganti rugi, tetapi eksistensi kontrak tidak
untuk mencegah pejabat setempat yang berwenang untuk memberikan
efek kepada kepentingan publik.
3. Equality of users :
Equality of users adalah aspek umum ketatanegaraan mengenai
prinsip persamaan dalam pelayanan publik. Dalam hal suatu tindakan
dilakukan atas barang-barang yang keseluruhannya adalah barang
publik, dan semuanya relevan dengan publik harus mengakses pada
persamaan pelayanan dan diperlakukan secara sama untuk itu.
4. Neutrality.
Netralitas merefleksikan cara negara liberal yang tidak sekadar mencari
untuk menentukan idea kehidupan yang baik bagi warga negara, tetapi
lebih jauh lagi adalah untuk memfasilitasi pilihan- pilihan tentang
perbedaan cara hidup.
Dalam hal ini sistem hukum Prancis mengenal tindakan pemerintahan
dengan landasan "Les principes Gnraux du droi" yang dikembangkan
oleh "Counceil d'Etat" untuk mengukur keabsahan tindakan (lgalit)
yaitu meliputi: larangan untuk bertindak Le inexsistance, incompetence,
vis de forma, violation de la loi, dtournement de pouvoir (L. Neville
Brown & John S. Bell, 1998, h.240-245).
Adapun tindakan pemerintahan dalam melakukan fungsi pelayanan
publik atau mission de service public, dilandasi oleh Rolland
principles.
Perkembangan di Inggris, konsep baru public service berawal dari
tahun 1991, didasarkan atas Citizen^s Charter yang dipelopori oleh
Perdana Menteri Inggris, sebagai kristalisasi tentang proses transformasi
negara dalam hubungan dengan warga negara, yang dengan cepat
berkembang ke arah negara kesejahteraan, sehingga mencipta- kan
struktur manajemen bagi pelaksanaan pelayanan publik.
Citizens Charter menegaskan prinsip-prinsip tentang public service:

1. The setting and improvement of standards (perumusan dan perbaikan


standar pelayanan).
2. The creation of greater openness and the provision of public information
(pembentukan keterbukaan yang luas dan peraturan tentang informasi
publik).
3. The provision of choice by the public sector whenever practicable
(pilihan aturan hukum yang dapat diterapkan).
4. The observance of the non discrimination principle (prinsip ketaatan
pada asas tanpa ada diskriminasi).
5. Accessibility of services (akses pelayanan).
6. The charter requires public service providers to give a good explanation,
or an apology when things go wrong, and to have a well publicized
and readily complaints procedure (piagam tersebut mengharuskan
untuk

memberikan

penjelasan

atau

meminta

maaf

apabila

ada

kekeliruan, dan menyediakan publikasi yang baik dan suatu prosedur


pengaduan yang mudah).
Prinsip Citizen s Charter tersebut kemudian merubah pola pendekatan hukum administrasi di Inggris, dari pendekatan kekuasaan ke
arah pendekatan hak asasi (rights based approach), yang melahirkan
The Principle of Proper Administration (Due principles of Proper
administration) dan The Principles of Administrative Behaviour.
Dalam sistem hukum Inggris untuk keabsahan tindakan pemerintahan termasuk dalam pelayanan publik bertumpu pada "doktrin ultra
vires" di samping itu dalam pelayanan publik berlandaskan pada prinsip
yang

terdapat

dalam

"citizen's

charter".

Untuk

menilai

perilaku

menyimpang dalam pelayanan publik menitikberatkan adanya tindakan


"maladministrasi".
2.2. Aturan Hukum Pelayanan Publik dan Pencegahan Korupsi
Telah diuraikan sebelumnya bahwa pelayanan publik merupakan
hak sosial dasar (the right to receive), seperti diatur dari UUD NRI 1945
dalam Pasal 18 A ayat (2), serta Pasal 34 ayat (2).
Di samping ketentuan Undang-undang Dasar, beberapa undangundang dan aturan hukum lain yang mengatur pelayanan publik dan
pencegahan korupsi antara lain:

1. Undang-undang No. 11 Th 2005 tentang pengesahan Internasional


Covenant on Economic, Social, Cultural Right (kovenan internasional
tentang hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya).
Pembukaan
kewajiban

covenant
untuk

mengingatkan

mengikuti

piagam

pada
PBB

negara-negara

untuk

memajukan

akan
dan

melindungi HAM (Hak Asasi Manusia).


Pasal

covenant

menetapkan

tentang

kewajiban

negara

untuk

mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dan memastikan
pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apapun. Negaranegara berkembang dapat memperhatikan HAM dan perekonomian
nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh negara-negara
tersebut akan menjamin hak-hak ekonominya, dan untuk itu diperlukan
pengaturan ekonomi lebih lanjut.
2. Undang-undang No. 12 Th 2005 tentang Pengesahan Covenant on Civil
and Political Rights.
Dalam pertimbangan disebutkan:
a. Bahwa HAM merupakan hak-hak dasar yang bersifat kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
b. Bahwa

Indonesia

sebagai

bagian

dari

masyarakat

internasional,

menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan


piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM.
3. Undang-undang No. 25 Th 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam
ketentuan penimbang butir a disebutkan bahwa:
Bahwa

negara

berkewajiban

melayani

setiap

warga

negara

dan

penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam


kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat UUD 1945.
Butir d menyebutkan:
Bahwa sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin
penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan
bagi

setiap

warga

negara

dan

penduduk

dari

penyalahgunaan

wewenang. Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik, diperlukan


pengaturan hukum yang mendukungnya.

4. Undang-undang No. 13 Th 2008 tentang Ombudsman RI


Dalam

kaitan

dengan

pelayanan

publik

Ombudsman

merupakan

lembaga pengawas yang bersifat mandiri. Hal ini disebutkan dalam


ketentuan Pasal 1 butir 1: Ombudsman Republik Indonesia yang
selanjutnya

disebut

Ombudsman

adalah

lembaga

negara

yang

mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik


baik

yang

diselenggarakan

oleh

penyelenggara

negara

dan

pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik


Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta
badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan
pelayanan

publik

tertentu

yang

sebagian

atau

seluruh

dananya

bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau


anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Tujuan Ombudsman diatur dalam Pasal 4 yaitu:
a. Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan sejahtera.
b. Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang efektif dan
efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
c. Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar setiap
warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa aman, dan
kesejahteraan yang semakin baik.
d. Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya pemberantasan

dan

pencegahan

praktek-praktek

maladministrasi,

diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme.


e. Meningkatkan

budaya

hukum

nasional,

kesadaran

hukum

ma-

syarakat,dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.


5. Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian jo
Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
atas Undang-undang No. 8 Tahun 1974.
Dalam Undang-undang No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Undang-undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian di
bagian menimbang huruf a dan b disebutkan:
a. Bahwa

dalam

rangka

usaha

mencapai

tujuan

nasional

untuk

mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berpera- daban


modern, demokratis, makmur, adil, dan bermoral tinggi, diperlukan
Pegawai Negeri yang merupakan unsur aparatur negara yang bertugas

sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil


dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan penuh
kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
b. Bahwa untuk maksud tersebut, diperlukan Pegawai Negeri yang
berkemampuan

melaksanakan

tugas

secara

profesional

dan

ber-

tanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan


pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme.
Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil, mengatur tentang kewajiban, larangan dan sanksi apabila
kewajiban tidak ditaati dan larangan dilanggar oleh pegawai negeri sipil.
Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 3 tentang kewajiban pegawai
negeri sipil, Pasal 4 tentang larangan yang diperuntukkan bagi pegawai
negeri sipil dan Pasal 5 menyangkut hukuman disiplin bagi pegawai
negeri sipil.
Pasal 4 PP No. 53 Tahum 2010 menyebutkan tentang larangan
yang diperuntukkan bagi pegawai negeri sipil antara lain:
a. Menyalahgunakan wewenangnya.
b. Menjadi perantara untuk mendapat keuntungan pribadi dan/ atau orang
lain dengan menggunakan kewenangan orang lain.
c. Tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain
dan/atau lembaga internasional.
d. Memiliki,

menjual,

membeli,

menggadaikan,

menyewakan,

atau

meminjamkan barang-barang baik bergerak maupun tidak


bergerak, dokumen, atau surat-surat berharga milik negara secara tidak
sah.
e. Melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan,
atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan
tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan negara.
f. Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari siapapun
juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
g. Membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang diketahui
karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan, atau
pihak lain.

h. Memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya


dalam ruang lingkup kekuasaannya.
Undang-undang No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam kaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
di dalam Pasal 28 mengatur tentang larangan bagi kepala daerah
dan wakil kepala daerah, yaitu:
a. Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi
diri,

anggota

keluarga,

kroni,

golongan

tertentu,

atau

kelompok

politiknya yang bertentangan dengan peraturan peundang-undangan,


merugikan

kepentingan

umum,

dan

meresahkan

sekelompok

masyarakat, atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan


masyarakat lain.
b. Turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik
negara/daerah, atau dalam yayasan bidang apa pun.
c. Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan
dengan daerah yang bersangkutan.
d. Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan menerima uang, barang
dan/jasa dari pihak lain yang mempengaruhi keputusan atau tindakan
yang akan dilakukannya.
e. Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan
selain yang dimaksud dalam Pasal 25 huruf f.
f. Menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya.
g. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, sebagai anggota
DPRD sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan.
Pasal 31 ayat (1) menyatakan:
Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara
oleh Presiden tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan
tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, dan/atau tindak
pidana terhadap keamanan Negara
7. Undang-undang No. 28 Th 1999 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Undang-undang ini berisi pengaturan mengenai penyelenggara negara
yang bersih, seperti ditentukan dalam Pasal 1 butir 2:

Penyelenggara Negara yang bersih adalah penyelenggara Negara yang


mentaati asas-asas umum penyelenggaraan Negara dan bebas dari
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, serta perbuatan tercela yang lain.
8. Undang-undang No. 31 Th 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang dirubah dengan Undang-undang No. 20 Th 2001, diatur di
dalam Pasal 1 dan Pasal 2.
Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan:
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling

lama

20

(dua

puluh)

tahun

dan

denda

paling

sedikit

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp


1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Undang-undang dan peraturan pemerintah yang diuraikan di atas
merupakan aturan hukum yang melandasi pelayanan publik dan upaya
pemerintah untuk mencegah para pejabat ataupun para pegawai
pelayanan publik untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Dalam
hal masih banyaknya pelaku tindak pidana korupsi, adalah suatu problem yuridis tersendiri yang memerlukan langkah penegakan hukum
{legal enforcement), baik dari segi pengawasan maupun penjatuhan
sanksi hukum.
3.

MALADMINISTRASI

DAN

PERAN

PENGAWASAN

DALAM

PELAYANAN PUBLIK
3.1. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam Pelayanan Publik
Dalam kajian hukum administrasi, pelayanan publik dan pemerintah
(termasuk badan pemerintah lain) merupakan dua aspek yang saling
terkait.

Pemerintah

dalam

karakter

aktifnya

dituntut

untuk

menyelenggarakan tugas-tugas pemerintahan (pelayanan publik) yang


semakin beragam dan rumit, sesuai dengan wewenang yang dimiliki. Hal
tersebut merupakan keharusan, oleh karena hakekat hukum administrasi
adalah hukum yang berkaitan dengan wewenang pemerintah, dan
kontrol

terhadap

penggunaan

wewenang

yang

tujuannya

untuk

melindungi individu atau masyarakat. Berbagai definisi tentang hukum


administrasi

menjelaskan

tentang

wewenang

pemerintahan,

dan

bagaimana pengawasan terhadap penggunaan wewenang pelayanan


publik dilakukan.
Dalam konteks ini dikemukakan oleh P.P. Craig:
There

is,

not

surprisingly,

considerable

diversity

of

opinion

concerning the nature and purpose of administrative law. Description


and prescription are not easily separated. For some it is the law relating
to the control of government power, the main object of which is to
protect individual rights. (P.P. Craig, 2003, h. 3).
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan yang
ada tentang diskripsi hukum administrasi bukan merupakan hal yang
istimewa. Beberapa diskripsi menyatakan bahwa hukum administrasi
menyangkut

wewenang

pemerintah,

pengawasan

penggunaan

wewenang oleh pemerintah dan perlindungan hukum oleh pemerintah


(bandingkan Hadjon, hukum untuk, oleh dan terhadap pemerintah).
Willem Konijnenbelt menyatakan tentang hukum administrasi sebagai
berikut:
Wat administratief recht of bestuursrecht is, valt niet gemak- kelijk
in een formule of in een defmitie weer te geven. Het lijk vooralsnog
voldoende, aan te duiden waar dat recht over gaat, wat het object van
deze

tak

van

het

recht

is.

Dat

object

is,

kort

gezegd,

de

bestuursactiviteit, de handelingen van het openbare bestuur, alsmede


de relatie tussen bestuursorganen en "bestuurden ". (Willem Konijnenbelt, 1997, h. 13).
Selanjutnya,

H.B.

Jacobini

mengemukakan

pandangannya

tentang

hukum administrasi:
Definitions of administrative law contain several or all of the
following components: control of administration, the legal rides, both
internal and external, emerging from administrative agencies, the
concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to
individuals caused by government entities and their agents, and court
decisions pertinent to all or to parts of these. (Jacobini, 1991, h. 1).
Jacobini menjelaskan tentang pentingnya pengawasan atau kontrol
penggunaan wewenang pemerintah, prosedur yang tepat bagi upaya
hukum

terhadap

individu

yang

mengalami

penderitaan

karena

penggunaan wewenang, dan putusan pengadilan yang pantas terhadap


hal tersebut.

Uraian di atas cukup memberikan penjelasan bahwa pemahaman


tentang hukum administrasi yang menyangkut penggunaan kewenangan dalam menjalankan tugas untuk pelayanan publik.
Memang

tidak

setiap

konsep

hukum

administrasi

yang

di-

kemukakan oleh para yuris mengandung unsur-unsur yang sama, namun


umumnya selalu terdapat unsur tentang wewenang, kontrol atau
pengawasan penggunaan wewenang dan perlindungan hukum.
Pengawasan sebagai suatu instrumen hukum administrasi harus
mendapat perhatian dalam pelayanan publik. Penggunaan wewenang
pemerintahan tanpa suatu pengawasan, potensial terhadap penyimpangan yang berakibat pada tindak pidana korupsi. Dengan demikian
peran pengawasan adalah sebagai sarana pencegahan tindak pidana
korupsi dalam pelayanan publik. Dalam kaitan pengawasan di atas,
dapat dikatakan hukum administrasi merupakan ujung tombak dalam
rangkaian kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Meski dalam penyelenggaraan pemerintahan ataupun pelayanan
publik telah ada prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (AUPB) ataupun
good governance di samping landasan peraturan perundang- undangan,
namun dalam penggunaan wewenang pemerintahan masih sering teijadi
kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan, seperti korupsi,
kolusi, nepotisme dan bentuk-bentuk maladministrasi yang lain. Realita
ini menunjukkan bahwa peran pengawasan belum mendapat perhatian
seperti yang dikehendaki oleh peraturan perundangan yang ada.
Menurut

Komisi

Ombudsman

Nasional

RI

penyimpangan-pe-

nyimpangan dan hambatan-hambatan yang dilaporkan oleh masyarakat


atas pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan:
- Tahun 2001 dari 511 kasus yang dilaporkan, 78 kasus adalah merupakan
kasus KKN.
- Tahun 2002 dari 396 kasus yang dilaporkan, 37 adalah kasus KKN.
- Tahun 2003 dari 372 kasus yang dilaporkan, 15 kasus adalah kasus KKN.
- Tahun 2004 dari 363 kasus yang dilaporkan 14 kasus adalah KKN.
- Tahun 2005 dari 914 kasus yang dilaporkan, 33 kasus merupakan kasus
KKN (laporan tahunan 2001, 2002, 2003, 2004, 2005). Tahun 2006
sampai tahun 2010 ada 847 kasus seperti diuraikan di bawah:

Dari laporan tersebut ternyata kasus-kasus maladministrasi masih


terjadi terutama berkaitan dengan gratifikasi atau kolusi, ataupun
tindakan-tindakan

yang

dapat

dikualifikasi

sebagai

tindak

pidana

korupsi.
Kasus-kasus korupsi di atas sebagai satu bentuk maladministrasi,
yang dilakukan dalam pelayanan publik merupakan hambatan yang
perlu ditanggulangi. Oleh karena tindak pidana korupsi tidak hanya
mengganggu

pelaksanaan

pelayanan

publik

dan

merupakan

penyimpangan terhadap hak asasi manusia, namun juga menyebabkan


kerugian negara, yang dampaknya pada keterpurukan perekonomian
nasional.
Maladministrasi (pelayanan yang jelek, atau pemerintahan yang
jelek) terjadi dikarenakan adanya suap, gratifikasi, berburuk sangka,
penundaan berlarut dan sebagainya (lihat Tatiek Djatmiati, 2010, h. 7680).
Dalam konteks hukum administrasi, lingkup maladministrasi tidak
semata-mata terjadi karena perilaku menyimpang seperti diuraikan di
atas, namun dalam pengertian yang luas dapat terjadi karena ide yang
tidak benar atau tidak bagus ataupun pertimbangan yang tidak rasional.
Hal ini terkait dengan kemampuan atau kecakapan pejabat dalam
menilai rasionalitas tindakan pemerintahan ataupun dalam membuat
keputusan.
Beberapa contoh tentang hal tersebut misalnya:
- Gagal dalam mengambil pertimbangan-pertimbangan yang relevan.
- Gagal dalam menjalankan peraturan-peraturan hukum yang ada.
- Gagal dalam meletakkan atau menguji prosedur pemerintahan yang
ada.
- Gagal membuat suatu aturan hukum yang baik atau suatu kebijakan
yang baik.
Dalam kaitan dengan bentuk-bentuk

maladministrasi di atas

dinyatakan oleh Sir William Wade yang diintrodusir dari "The Parliementary Commision for Administration" Inggris, bahwa: bad dcision
are bad administration, and bad administration are maladministration....
bad dcision goes bad rules, fallacy statutoiy rgulation. (Sir William
Wade, 2000, h. 97, bandingkan G.H. Addink, 2000, h. 14).

Kasus

kegagalan

dalam

menjalankan

peraturan

hukum

dan

prosedur yang ada, sistem hukum Prancis menyebutkan bahwa hal


tersebut merupakan kesalahan berat (faute lourde) oleh karena hal
tersebut termasuk kegagalan dalam pengawasan aturan hukum, yang
berarti gagal pula dalam penegakan hukum. Demikian juga dengan
kegagalan dalam meletakkan prosedur yang ada merupakan bentuk
kesalahan yang besar, oleh karena bidang ini mensyaratkan pengujian
secara khusus terhadap pertimbangan-pertimbangan dan pendapat
pegawai dan pejabat pemerintah. (Neville Brown and John S. Bell, 1998,
h. 191-192).
Dalam pendekatan fungsional maladministrasi merupakan rumusan
negatif, dalam menentukan apakah dalam pelayanan publik telah teijadi
penyimpangan-penyimpangan yang berakibat pada tindakan korupsi,
kolusi,

dan

nepotisme

pengawasan

yang

(KKN).

Hal

optimal,

ini

untuk

memerlukan
menghindari

kontrol

atau

terjadinya

penyimpangan.
3.2.

Penyalahgunaan

Wewenang

dan

Sewenang-wenang

Dalam

Pelayanan Publik
Tindakan Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Inggris adalah abuse of
power, merupakan konsep yang sama dengan dtournement de
pouvoir dalam sistem hukum Prancis yang artinya adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dengan menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang berlaku. Larangan untuk melakukan abuse of
power atau larangan untuk melakukan tindakan dtournement de
pouvoir merupakan satu asas yang ada dalam asas umum pemerintahan
yang baik (Algemene Beginselen Van Belioorlijk Bestuur), atau
Les Principes Gnraux Du Droi.
Abuse of power dapat teijadi karena:
1. Menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau tujuan politik.
2. Menggunakan wewenang bertentangan dengan undang-undang yang
memuat dasar hukum wewenang yang diberikan.
3. Menjalankan wewenang untuk tujuan lain dari yang nyata-nyata
dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang tersebut (P.M.
Hadjon, 1980, h. 18-19).

Dalam sistem hukum Prancis penyalahgunaan wewenang atau


dtournement de pouvoir, digunakan sebagai salah satu parameter
keabsahan (legality) wewenang.
Hal ini dinyatakan oleh Neville Brown:
it may be said there has been a dtournement de pouvoir, or abuse
of power, if an administrative power or discretion has been exercised for
some object other than for which power or discretion was conferred by
the statute. (Neville Brown and John S. Bell, 1997, h. 246-247).
(Terdapat suatu penyalahgunaan wewenang atau abuse of power
atau dtournement de pouvoir, apabila suatu wewenang atau kebijakan
pemerintah yang telah dilakukan atas beberapa hal, melampaui
wewenang atau kebijakan yang ada yang telah diberikan oleh undangundang).
Beberapa contoh tentang penyalahgunaan wewenang atau dtournement de pouvoir dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan
di Prancis misalnya:
1. Kasus CE 17 Mei 1907 (SOCIETE PHILHARMONIQUE LIBRE DE
FUMAY)
In purported exercise of his police powers a major refused permission for local band to parade and play in the streets at the funeral of
one of its members; the refusal was quashed when his reason was found
to be, not a threat to public order, but the fact that he favoured another
band subsidized by the commune, and unlike the plaintiffs, well
disposed toward his administration.
(Dengan maksud melaksanakan wewenangnya, seorang kepala
daerah atau Bupati menolak permohonan izin terhadap suatu band
musik daerah untuk berparade dan bermain musik di jalanan pada saat
pemakaman seorang anggota mereka; penolakan izin dibatalkan ketika
alasan yang ditemukan tidak untuk menjamin ketertiban umum tapi
dalam kenyataannya Bupati lebih menghargai grup musik yang lain,
yang disubsidi oleh kelompok Bupati tersebut, dan tidak seperti halnya
penggugat yang beritikat baik terhadap pemerintah daerah).
2. Kasus C E 12 April 1935 (COMMISSION DEPARTEMEN- TALE DU
BAS-RHIN)
In the case of an act inspired by party political motives, for
example, the granting of a subsidy to a free school, not in the interests

of education, but as a protest against the religious teaching being given


in the local state school.
(Dalam kasus mengenai tindakan yang dilatarbelakangi oleh motifmotif politik, jaminan mengenai subsidi terhadap kemandirian sekolah,
bukan untuk kepentingan pendidikan, namun sebagai protes terhadap
pengajaran agama yang diberikan di sekolah-sekolah setempat).
3. Kasus cf. Wheeler v. Leicester City Council [1985] AC 1054
Where the act was inspired by some public interest others than that
for which the power was conferred; provide a good example of this, as
there was no suggestion in that case that the major was in any way
acting to his personal advantage.
(Kasus tindakan yang dilatarbelakangi oleh kepentingan publik
melampaui dari wewenang yang telah diberikan, adalah merupakan
suatu contoh yang sangat menarik bahwa Bupati telah melakukan
tindakan demi keuntungan pribadinya).
Tindakan Sewenang-Wenang (Unreasonableness)
Tindakan sewenang-wenang atau unreasonableness, sebelumnya
dalam hukum administrasi Belanda dikenal istilah Willekeur yang
kemudian dikenal dengan istilah kennelijke on redelijke.
Unreasonableness menentukan hal yang prinsip: if a decision is in
such extreme defiance of logic that no reasonable authority could reach
it, it is conclusive evidence that the decision is improper [Andrew Arden
QC, at. all, 2008 h. 345],
Unreasonableness menyisakan suatu prinsip awal apabila suatu
keputusan sangat meyimpang dari logika, hal tersebut dapat dikatakan
sebagai wewenang yang tidak masuk akal.
Dalam kaitan ini dikatakan oleh Lord Hailsham:
Unreasonableness can include anything which can objectively be
adjudged to Unreasonable. It is not confined to culpability- or callous
indifference. It can include, when carried to excess, sentiment- tality,
romanticism, bigotiy, wild prejudice, caprice, fatuousness or excessive
lack of common sense. (Ibid)
Sewenang-wenang dapat termasuk sesuatu yang secara objektif
ditetapkan sebagai tidak rasional. Hal tersebut bukanlah untuk menentukan adanya Kulpa atau tidak berperasaan secara berbeda. Sewenangwenang dapat meliputi: bila menyebabkan ekses, sentimen, romantis,

kefanatikan (sikap keras dalam memegang pendirian), sangat berprasangka buruk, perubahan pikiran yang tiba-tiba (tanpa alasan yang
nyata), tolol atau perasaan rendah diri yang berlebihan.
Lord Diplock menggunakan istilah irrationality yang memiliki
pengertian sama dengan unreasonableness, dan digunakan para
hakim untuk memutus, seperti dijelaskan sebagai berikut:
"It applies to a decision which is so outrageous in its defiance of
logic or of accepted moral standards that no sensible person who had
applied his mind to the question to be decided could have arrived at its.
Whether a decicion falls with in this categoiy is a question that judges by
their training and experience should be well equipped to answer, or else
their would be something badly wrong without judicial system ".
Irasional berimplikasi pada suatu keputusan yang sangat menyakitkan hati atau memalukan, kotor, yang menyimpang dari akal
sehat atau standar moral yang diterima bahwa tidak seorang pun yang
berpikiran sehat menggunakan pikirannya untuk sampai pada memutuskan seperti itu. Apakah suatu keputusan akan jatuh pada
kategori ini, adalah suatu pertanyaan. Bahwa para hakim dengan pelatihan-pelatihan dan pengalaman-pengalaman akan melengkapi dengan
baik untuk menjawabnya, atau jika tidak akan menjadi sesuatu yang
jelek dalam sistem peradilan. (Andrew Le Sueur, at. ai, 1999, h. 228).
Tidak mudah untuk menentukan rasionalitas (rationality) suatu
tindakan atau diskresi. Rationality erat kaitannya dengan proportionality, sehingga suatu diskresi yang rasional harus proporsional.
Proporsionalitas adalah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
atau tujuan, dan yang mewujudkan kesadaran tentang hubungan yang
tepat antara penyebab dan hasil akhirnya. Proporsionalitas dapat
diterapkan dalam tiga situasi yaitu: proportionality and rights, proportionality and penalties, proportionality and the excersice of administrative discretion. (P.P. Craig, 2003, h. 621-622).
Di dalam Cambridge Health Authority Case, diuraikan tentang
diskresi yang diambil berkaitan dengan rasionalitas dan proporsionalitas:
The applicant, B, was a 10-year old girl who was extremely
ill. She had received a bone marrow transplant but the
treatment had not proven to be effective. The hospital, acting
on the advice of specialists, decided that B had only a short time

to live and that further mayor therapy should not be given. B's
father sought the opinion of two further specialists, who
thought that a second bone marrow transplant might have some
chance of success. Such treatment could, however, only be
administered privately because there were no beds in the
National Health Sendee within a hospital which could cany out
such therapy. The proposed treatment would take place in two
stages, the first of which would cost 15,000 and have a 10 to
20 per cent chance of success; the second stage would cost
60,000 with a similar 10 to 20 per cent chance of success, B s
father requested the health authority to allocate the funds
necessary for this therapy. It refused to do so, given the limited
nature of the funds at its disposal and the small likelihood that
the treatment would be effective. B s father then sought judicial
review of this decision, but failed before the Court of Appeal. Sir
Thomas Bingham M.R. recognized the tragic nature of B's
situation, but stressed that the courts were not the arbiters of
the merits in such cases. It was not for the courts to express
any opinion as to the likely success or not of the relevant
medical treatment. The court should, confine themselves to the
lawfulness of the decision under scrutiny. The basic rationale for
the health authority's refusal to press further with treatment for
B was scarcity of resources. The court's role in the respect was
perforce limited. (P.P. Craig, 2003, h. 608-609).
Pemohon, B, seorang gadis berusia 10 tahun sakit keras, telah
menerima trasplantasi tulang sumsum, namun pengobatan terbukti
tidak efektif. Pihak rumah sakit telah bertindak sesuai advis dokter ahli
yang memutuskan bahwa B hanya akan hidup singkat, selanjutnya
terapi secara umum tidak diberikan. Ayah B mencari pendapat dua
dokter ahli lain yang berpendapat bahwa transplantasi tulang sumsum
berpeluang untuk berhasil. Rencana pengobatan dilakukan dalam dua
tahap, tahap pertama menghabiskan 15,000 dengan kemungkinan keberhasilan 10-20%, tahap kedua mencapai 60,000 dengan kemungkinan keberhasilan yang sama 10-20%.
Ayah B memohon kepada pejabat kesehatan yang berwenang untuk
mengalokasikan dana yang diperlukan untuk kepentingan pengobatan,

namun pejabat tersebut menolak untuk melakukan hal itu dengan


memberikan batasan tentang hakekat pemberian dana dan kecilnya
kemungkinan bahwa pengobatan akan efektif. Ayah B melakukan uji
materi atas keputusan tersebut tetapi gagal sebelum ke pengadilan
banding. Thomas Bingham M.R. mengakui situasi yang tragis dari B, tapi
ditekankan bahwa pengadilan bukanlah wasit yang tepat dalam kasus
tersebut. Bukan pengadilan yang memberikan opini tentang berhasil
atau tidaknya relevansi pengobatan kedokteran. Pengadilan menyatakan
bahwa mereka sendiri yang menentukan ke- putusan menurut hukum
dengan pemeriksaan yang cermat.
Dasar rationalitas penolakan pejabat kesehatan yang berwenang
untuk menekankan pengobatan lebih jauh adalah langka sumbernya.
Peran pengadilan dalam hal ini adalah terbatas.
Dalam konteks tindak pidana korupsi abuse of power (penyalahgunaan wewenang) atau unreasonableness (sewenang-wenang),
keduanya merupakan parameter yang utama ada tidaknya penyimpangan dalam penggunaan wewenang pemerintahan tentunya di samping asas-asas hukum administrasi yang lain. Dalam hal terdapat unsur
penyalahgunaan wewenang dan sewenang-wenang, maka terdapat
unsur maladministrasi dan tentu ada unsur perbuatan melawan hukum,
dan perbuatan itu menjadi tanggung jawab pribadi pejabat yang
melakukannya. Abuse of power lebih luas pengertiannya daripada
unreasonableness, namun dalam kajian hukum administrasi keduanya
sangat diperlukan untuk menentukan ada tidaknya korupsi
pejabat.
Abuse of power dan itrational juga sering terjadi dalam hal
kerjasama pemerintahan, yang kemudian dituangkan dalam bentuk
perjanjian. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, terdapat dua peranan pemerintah, yaitu sebagai pelaku hukum publik yang diberi wewenang publik dan pelaku hukum keperdataan. Dalam peran tersebut
pemerintah dapat melakukan kerjasama baik di antara pemerintah
sendiri maupun dengan pihak swasta.
Van Wijk-Konijnenbelt dalam kaitan dengan ketjasama pemerintah
menyatakan:
Lagere overheden mciken eveneens van privaatrechtelijke

rechtsvormen gebruik om met particidieren scimen te werken

ook
in publiekrechtelijke vorm kunnen lagere overheden samenwerken met
pavticulieren...., worden gesloten tussen een bestuurorgaan van een
provincie of gemeente. (Van wij'k - Konijnenbeh, 1984, h. 135).
Sebagai satu contoh dalam konteks perjanjian ini, hukum kita
menentukan bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah (pemerintah daerah), berkaitan dengan penggunaan aset pemerintah, seperti
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah. PP tersebut antara lain mengatur tentang perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak
swasta mengenai Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna,
dalam jangka waktu 30 tahun dengan persyaratan-persyaratan:
1. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan.
2. Tidak tersedia dana dalam APBN/APBD untuk penyediaan bangunan dan
fasilitas yang dimaksud.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 PP tersebut penetapan mitra
bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanakan melalui
tender, dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/
peminat.
Selama pengoperasian mitra bangun serah guna dan bangun guna
serah yang telah ditentukan harus memenuhi kewajibannya untuk
membayar kontribusi ke rekening kas umum negara atau daerah
setiap tahun.
Pengelolaan aset negara atau aset daerah atas dasar peijanjian
bangun serah guna bangun guna serah di atas, dalam praktek rawan
adanya penyalahgunaan wewenang oleh karena itu memerlukan kehatihatian dalam bertindak, tidak hanya bagi pengelola barang tetapi juga
pada mitra bangun guna serah dan bangun serah guna.
Dalam pengelolaan aset yang sudah disepakati tersebut, BPK dapat
melakukan pemeriksaan untuk hal-hal yang bernilai ekonomi mulai awal
yaitu tentang pelaksanaan tender, apakah ketentuan-ketentuan Pasal 29
ayat 2 sudah diikuti.
Kemudian nilai bangunan, menjadi sasaran pemeriksaan BPK untuk
mengetahui ada tidaknya penyimpangan. Pemeriksaan juga dilakukan

terhadap nilai retribusi yang dibayar pada rekening kas negara atau kas
daerah setiap tahun.
Pemeriksaan dilakukan untuk pencegahan tindakan yang menyimpang atau jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) ataupun tindakan sewenang-wenang (unreasonableness) dalam
pengelolaan aset negara atau daerah. Dalam hal ada bukti penggunaan
wewenang untuk tujuan pribadi atau tujuan lain dari wewenang
dasarnya, kemudian terdapat tindakan yang irrational, maka telah
terjadi maladministrasi.
Dengan demikian oleh karena ada tindakan maladministrasi,
terpenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagai dasar untuk
menentukan suatu tindak pidana korupsi .
Dalam

perbandingan

adalah

kasus

yang

berkaitan

dengan

ketentuan Pasal 3.3 AWB Belanda:


The prohibition against dtournement de pouvoir (abuse of power)
holds that an administrative may not use a power to make an order for
purposes different- from that for which the power is conferred.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 3.3 AWB di atas, contoh kasus
dtournement de pouvoir adalah yang terdapat di dalam:
ABRS 31 Oktober 1996, AB 1997
There is a shortage of affordable housing in many cities. The
municipal administration has the important task of dividing this housing
in as fair manner as is possible. In Amsterdam, this is done by means of
waiting list. Those who stand at the top of the list are recommended for
vacant housing by municipal administration. In this case, the municipal
administration recommended a candidate that the housing owner had
objections to. The new occupant was supposedly unreliable with
payments. The municipality made use of power in the housing act and
claimed the housing space. Stating that with the compensation for
taking that the municipality paid to the owner of the house on the basis
of the housing act, the owner coidd compensate any possible back rent
from the new occupant. The Administrative Law Division of the Council
of state ruled that this use of the housing act was improper. The taking
and the legal compensation were not used to fairly divided housing
space, but to solve a potential (civil law) problem between the owner
and the renter.

Terdapat kekurangan dalam penyediaan perumahan di beberapa


kota. Pemerintah daerah mempunyai tugas yang penting dalam
pembagian perumahan yang sebisa mungkin dilakukan dengan cara
yang fair. Di Amsterdam hal ini dilakukan dengan melalui waiting list.
Jadi siapa yang ada di urutan atas direkomendasikan untuk menempati
rumah. Dalam kasus ini pemerintah daerah telah merekomendasikan
seorang calon, yang ditolak oleh pemilik perumahan. Penghuni baru
diduga tidak mampu membayar. Pemerintah Daerah menggunakan
wewenang

menurut

undang-undang

perumahan

dan

menuntut

penempatan rumah. Pembayaran kompensasi dilakukan pemda kepada


pemilik perumahan berdasar undang-undang perumahan, dan pemilik
juga dapat meminta pengembalian kompensasi yang memungkinkan
dari penyewa yang baru. Divisi hukum administrasi dewan daerah
menentukan bahwa penggunaan undang-undang perumahan tidak
patut.
Pengambilan dan panentuan kompensasi tidak digunakan untuk
membagi housing space secara fair, tetapi lebih tepat untuk menyelesaikan kasus yang terjadi antara pemilik dan penyewa menurut hukum
sipil.
Contoh

lain

yang

berkaitan

dengan

kasus

penyalahgunaan

wewenang {abuse of power) dan sewenang-wenang {unreasonableness) yang ada dalam sistem hukum kita. Dalam kasus No. Reg
Perkara: PDS/04/T.1.15/Ft. 1/06/2009. Sekda Kabupaten Merauke didakwa melakukan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) dalam
pembangunan asrama murid SMK 1 Sota dan barak guru di SMK 1 Sota,
serta barak guru SMP Negeri 11 Sota.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa pembangunan proyek tersebut
dilakukan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara oleh karena:
1. Tidak melalui proses tender akan tetapi melalui penunjukan langsung.
2. Keuangan kas daerah tidak mencukupi.
3. Pembangunan asrama belum dianggarkan dalam APBD.
Dalam menganalisis kasus tersebut harus dilakukan secara hatihati terutama berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembangunan tersebut (dalam hukum administrasi dikenal asas specialiteit

beginsel). Langkah yang diambil oleh Sekda adalah merupakan suatu


diskresi, karena kondisi yang mendesak atau darurat, yang tujuannya
untuk mengatasi ketiadaan asrama murid dan barak guru yang
tempatnya terpencil, jauh di pelosok desa.
Berkaitan dengan pelelangan proyek, dalam Kepres No. 80 tahun
1983 tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa yang di- rubah
dengan Perpres No. 61 tahun 2004, memang pelaksanaan proyek harus
melalui pelelangan umum, namun berdasar ketentuan Pasal 17 ayat
(5) jo Pasal 22 ayat (5) diperbolehkan dengan cara penunjukan
langsung.
Penunjukan langsung dapat dilakukan dalam keadaan tertentu dan
keadaan

khusus,

yang

dalam

hal

ini

pemerintah

daerah

yang

berkompeten untuk menentukan keadaan tersebut, dan yang mengetahui kebutuhan-kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Dari
kondisi

kebutuhan

mendesak

inilah

kemudian

muncul

diskresi

berdasarkan alasan-alasan yang rasional {reasonableness).


Karakter pemerintah adalah aktif, sehingga dalam keadaan mendesak diperlukan langkah-langkah konkrit, proaktif sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku {rechmatigheit van bestuur).
Berkaitan dengan pembiayaan proyek yang belum dianggarkan
APBD, harus dilihat apakah dalam penggunaan dana proyek ada unsur
penyalahgunaan wewenang dan unsur perbuatan sewenang-wenang,
misalnya untuk tujuan pribadi yang menyebabkan kerugian negara atau
tidak. Dalam hal tidak ada penyalahgunaan wewenang dan tidak
terdapat perbuatan sewenang-wenang maka tidak ada unsur maladministrasi, sehingga tidak ada unsur perbuatan melawan hukum yang
menjadi dasar adanya suatu tindak pidana korupsi.
4. PENUTUP
Pemerintah mempunyai tugas yang luas dalam pelayanan publik,
bersamaan dengan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, pemerintah dalam karakter
aktifnya sesuai dengan asas rechtmatigheid van bestuur, harus
mengambil tindakan atau menentukan suatu diskresi untuk memenuhi
tuntutan kepentingan publik. Seringkah dalam melakukan tindakan
pemerintahan

atau

dalam

mengeluarkan

diskresi

menimbulkan

kesalahan, yang bahkan bisa dikualifikasikan sebagai suatu tindak

pidana korupsi. Oleh karena itu diperlukan pengawasan penggunaan


wewenang dalam pelayanan publik untuk mencegah terjadinya kesalahan ataupun penyimpangan.
Dalam

kajian

hukum

administrasi,

apabila

kesalahan

atau

penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat pelayanan publik berupa


abuse of power dan unreasonableness (penyalahgunaan wewenang
dan tindakan sewenang-wenang), maka telah terjadi suatu maladministrasi. Tindakan maladministrasi terkait dengan tindak pidana
korupsi dan merupakan kesalahan pribadi, serta menjadi tanggung
jawab pribadi pejabat pelayanan publik yang melakukan tindak pidana
korupsi tersebut.
Akhirnya, supremasi hukum yang dicanangkan oleh pemerintah
dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, memerlukan penegakan
hukum dengan mengedepankan prinsip good governance. Inovasi
hukum perlu dilakukan dengan meningkatkan peran hukum administrasi
sebagai garda terdepan dalam rangkaian tindakan pemberantasan
tindak pidana korupsi.
1. PENDAHULUAN
Tahun 2004 menjadi tahun yang sangat mengejutkan bagi pimpinan
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di seluruh
Indonesia. Hal ini disebabkan banyak di antara mereka yang ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi dana APBD, bahkan di- antaranya ada
yang telah dipidana oleh pengadilan. Beberapa kasus korupsi tersebut
antara lain adalah kasus korupsi oleh pimpinan dan anggota DPRD
Sumatera Barat, DPRD Sidoarjo, DPRD Bogor, DPRD Cirebon dan DPRD
Kota Depok.
Keseluruhan kasus tersebut memiliki benang merah. Para pimpinan
dan anggota DPRD tersebut menjadi tersangka tindak pidana korupsi,
antara lain: menyusun dan menetapkan anggaran belanja DPRD tahun
2001 menyimpang dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000
tentang Kedudukan Keuangan DPRD.
Dari sudut pandang hukum tata negara, APBD merupakan dasar
pengelolaan keuangan daerah dan dari sudut pandang hukum administrasi berkaitan dengan penggunaan wewenang pengelolaan keuangan
daerah.

Dari aspek ini dikategorikan dua jenis perbuatan yaitu: Pertama,


perbuatan yang merupakan perbuatan yuridis ketatanegaraan berupa
penetapan Peraturan Daerah (Perda) Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah. Kedua, perbuatan yang merugikan keuangan daerah, baik
secara melawan hukum maupun karena menyalahgunakan wewenang
(Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999).
Di samping isu hukum dan analisis berkaitan dengan dua jenis
perbuatan tersebut, secara khusus dilakukan analisis atas putusan
pengadilan dalam tindak pidana korupsi APBD oleh DPRD Kota Depok.
Tulisan ini merupakan suatu bentuk legal opinion (LO). Atas dasar itu
tulisan ini disusun dengan sistematika berikut:
1.

Pendahuluan.

2.

Analisis terhadap PERDA APBD dan pelaksanaannya dalam konteks

tindak pidana korupsi.


3.

Analisis terhadap putusan pengadilan atas kasus APBD Kota Depok.

4.

Kesimpulan.

2.

ANALISIS

TERHADAP

PERDA

APBD

DAN

PELAKSANAANNYA

DALAM KONTEKS TINDAK PIDANA KORUPSI


Pertanyaan Hukum
Berdasarkan klasifikasi dua macam perbuatan sebagaimana yang
telah dipaparkan di atas, isu hukum dari sudut pandang hukum tata
negara dan hukum administrasi adalah:
1. Apakah Perda sebagai salah satu bentuk legislasi dapat dinilai oleh
hakim?
2. Apakah penyimpangan dalam penyusunan APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
3. Apakah pelaksanaan APBD sesuai PERDA APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
Analisis Pertanyaan 1:
Apakah Perda sebagai salah satu bentuk legislasi dapat dinilai oleh
hakim?
Analisis atas pertanyaan tersebut didasarkan pada ketentuan UU
pemerintahan daerah yang mengatur tentang pengawasan berkaitan
dengan penetapan PERDA, khususnya PERDA APBD.
Peraturan Daerah pada masa UU No. 22 Tahun 1999 tunduk pada
ketentuan pengawasan yang diatur dalam Pasal 113 dan Pasal 114.

Berdasarkan ketentuan tersebut, yang berwenang membatalkan Perda


adalah Pemerintah. Keberatan atas pembatalan tersebut pada akhirnya
dapat diajukan kepada Mahkamah Agung. Saat ini di bawah UU No. 32
Tahun 2004, hal itu diatur dalam Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004.
PASAL 145
1. Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan.
2. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
3. Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari
sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
4. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana
dimaksud

pada

ayat

(3)

Kepala

daerah

harus

memberhentikan

pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah


mencabut Perda dimaksud.
5. Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan alasan yang
dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.
6. Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikabulkan
sebagian

atau

seluruhnya,

putusan

Mahkamah

Agung

tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai


kekuatan hukum.
7. Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perda dimaksud
dinyatakan berlaku.
Pengawasan preventif terhadap rancangan PERDA APBD diatur
dalam Pasal 185 dan Pasal 186.
PASAL 185
(1)

Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui

bersama dalam rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran


APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.Hasil
evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri

Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(2)

Apabila Meteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan

Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang


penjabaran

APBD

sudah

sesuai

dengan

kepentingan

umum

dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur menetapkan


rancangan dimaksud menjadi Perda dan Peraturan Gubernur.
(3)

Apabila Menteri Dalam Negeri menyatakan hasil evaluasi rancangan

Perda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur tentang


penjabaran

APBD

bertentangan

dengan

kepentingan

umum

dan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Gubernur bersama


DPRD melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diterimanya hasil evaluasi.
(4) Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur dan DPRD,
dan Gubernur tetap menetapkan rancangan Perda tentang APBD dan
rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD menjadi Perda
dan Peraturan Gubernur, Menteri Dalam Negeri membatalkan Perda dan
Peraturan Gubernur dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu
APBD sebelumnya.
PASAL 218
1. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksanakan
oleh Pemerintah meliputi:
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala
daerah.
(2)

Pengawasan

sebagaimana

dimaksud

pada

ayat

(1)

huruf

dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintah sesuai peraturan


perundang-undangan.
Ketentuan tersebut Pasal 145 pada dasarnya berisi wewenang
pengawasan represif. Di samping itu secara umum tentang Pengawasan
diatur dalam Pasal 218. PASAL 186
(1)

Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui

bersama dan rancangan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD


sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari
disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

(2)

Hasil evaluasi disampaikan oleh Gubernur kepada Bupati/Walikota

paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan


Perda kabupaten/kota dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang
Penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3)

Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

tentang

APBD

Penjabaran
peraturan

dan

APBD

rancangan

sudah

Peraturan

sesuai

perundang-undangan

menetapkan

rancangan

dengan
yang

dimaksud

Bupati/Walikota
kepentingan

tentang

umum

dan

lebih

tinggi,

Bupati/Walikota

menjadi

Perda

dan

Peraturan

Bupati/Walikota.
(4)

Apabila Gubernur menyatakan hasil evaluasi rancangan Perda

tentang

APBD

dan

rancangan

Peraturan

Bupati/Walikota

tentang

penjabaran APBD tidak sesuai dengan kepentingan umum dan peraturan


perundang-undangan yang lebih tinggi, Bupati/Walikota bersama DPRD
melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
hasil evaluasi.
(5)

Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Bupati/Walikota dan

DPRD, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan Perda tentang


APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran
APBD

menjadi

Perda

dan

Peraturan

Bupati/Walikota,

Gubernur

membatalkan Perda dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus


menyatakan berlakunya pagu APBD tahun sebelumnya.
(6)

Gubernur

menyampaikan

hasil

evaluasi

rancangan

Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota


tentang Penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri.
Berdasarkan

ketentuan

Pasal

145,

185,

186

dan

Pasal

218

Pembentukan PERDA APBD berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 telah


melalui tahapan yang panjang sampai dapat disahkan menjadi PERDA
APBD dan berdasarkan ketentuan Pasal 145 PERDA APBD dapat
dibatalkan.
Dengan demikian a contrario terhadap PERDA APBD yang tidak
pernah dibatalkan dinyatakan tetap berlaku (Pasal 145 ayat (7) UU No. 3
th. 2004) sesuai asas praesumptio iustae causa (vermoeden van
rehtmatigheid: praduga sah).
Atas dasar itu hakim (pengadilan) tidak berwenang menilai
legalitas (keabsahan) PERDA APBD.

Pertanyaan 2:
Apakah penyimpangan dalam penyusunan APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
Berkaitan dengan pertanyaan kedua tersebut di atas, pertanyaan
yang muncul:
Andaikata ada penyalahgunaan wewenang dalam substansi (khususnya
anggaran DPRD) pembentukan PERDA APBD dan PERDA tersebut
merugikan keuangan negara, siapakah yang bertanggung j awab?
Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan berikut:
a. Apakah bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenangnya?
b. Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut?
c. Apakah semua anggota DPRD bertanggung jawab atas penyalahgunaan
wewenang tersebut?
d. Andaikata ada substansi yang tidak rasional tapi PERDA APBD tersebut
telah melalui proses evaluasi (Pasal 186 UU No. 32 tahun 2004) dan
tidak pernah dibatalkan (Pasal 145 UU No. 32 tahun 2004) apakah hal
tersebut menjadi tanggung jawab pimpinan maupun anggota DPRD?
Dari rangkaian sub pertanyaan tersebut pertanyaan a harus menjadi titik tolak adanya penyalahgunaan wewenang tersebut. Tindakan
yang menetapkan anggaran DPRD di atas plafond sesuai ketentuan yang
berlaku, tidak dengan sendirinya merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang. Harus dibuktikan bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut.
Dalam hal ini pertama-tama dikaji aspek rasionalitas dalam
pembahasan dan pengesahan APBD. Aspek rasionalitas adalah parameter menguji tindakan sewenang-wenang. Dalam hal terdapat unsur
sewenang-wenang, ada peluang penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaan 3:
Apakah pelaksanaan APBD sesuai PERDA APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
Menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan asas umum APBD
yang ditentukan dalam Pasal 16 PP No. 58 th. 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah:

PASAL 16
(1)APBD

disusun

penyelenggaraan

sesuai

dengan

pemerintahan

dan

kebutuhan
kemampuan

pendapatan daerah.
(2)Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)

berpedoman

kepada

RKPD

dalam

rangka

mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk


tercapainya tujuan bernegara.
(3)APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi dan stabilisasi.
(4)APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD setiap tahun ditetapkan dengan
peraturan daerah.
Penjelasan Pasal 16 ayat (3):
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan;
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan;
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman

untuk

menilai

apakah

kegiatan

penyelenggaraan

pemerintahan daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;


Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan keij a/mengurangi pengangguran dan
pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian;
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan;
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian daerah.
Dengan berdasarkan pada fungsi otorisasi APBD harusnya tidak
ada tanggung jawab pidana dalam hal pelaksanaan APBD sesuai PERDA
APBD.

Yang

menjadi

masalah

adalah

misalnya

PERDA

APBD

bertentangan dengan PP No. 37 tahun 2005 dan PP No. 21 tahun 2007

sebagai contoh uang tunjangan peramahan jabatan pimpinan atau


rumah dinas anggota DPRD sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (3) PP No. 24
tahun 2004 jis PP No. 37 tahun 2005 dan PP No. 21 tahun 2007.
Pertanyaan yang muncul:
Andaikata dinilai uang tunjangan tersebut bertentangan dengan asas
kepatutan,

kewajaran

dan

rasionalitas

serta

standar

harga

setempat yang berlaku apakah hal tersebut menjadi tanggung jawab


pidana pimpinan dan/atau anggota DPRD yang bersangkutan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan suatu lingkaran yang
ruwet kalau pertama kita beranjak dari proses pembahasan, evaluasi
dan pengesahan PERDA APBD. Memang patut dicatat berkaitan dengan
pengawasan, di bawah UU No. 22 tahun 1999 tidak ada proses
pengawasan preventif sebagaimana halnya proses pengawasan
preventif dan represif yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004.
Dengan demikian kalau kita bertumpu atas asas legalitas yang
melahirkan asas praesumptio iustae causa nampaknya tidak mudah
untuk menjawab pertanyaan yang telah diajukan yaitu apakah pelaksanaan APBD sesuai PERDA APBD yang notabene bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku, dapat melahirkan tanggung
jawab pidana bagi pengguna anggaran?
Dari pembahasan tersebut penyelesaian kerugian negara berkaitan
dengan ketentuan PERDA APBD yang cacat, pertama-tama bukan
melalui upaya hukum pidana tetapi utamanya upaya hukum tata negara
(pembaiatan PERDA APBD) dan upaya hukum administrasi dan upaya
hukum perdata menyangkut penyelesaian kerugian negara.
Dalam konteks penyelesaian kerugian keuangan negara, hendaknya
upaya hukum pidana merupakan ultimum remedium.
Dalam -hal ada unsur maladministrasi yang merupakan bestanddeel (unsur utama) pi'dana yang berperan.
3. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN ATAS
KASUS KORUPSI APBD KOTA DEPOK
a. Kasus posisi (disarikan dari Varia Peradilan tahun XII No. 263
Oktober 2007, h. 47-107)
Bahwa dalam rangka penyusunan dan pengajuan Anggaran Belanja
Rutin DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok T. A. 2002 Panitia
Anggaran DPRD telah mengajukan Daftar Rancangan Anggaran Belanja

untuk DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok T.A. 2002 yang diajukan
ke Walikota Depok dengan Surat No. 172/1099-Setwan tanggal 24
Desember 2001 yang ditandatangani oleh Terdakwa II. H. NAMING D
BOTHIN;
Bahwa kemudian Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD yang
dimasukkan dalam RAPBD Kota Depok T.A. 2002 untuk selanjutnya
dibahas bersama oleh Panitia Anggaran Eksekutif dan Panitia Legislatif
Kota Depok guna mendapat persetujuan dan pengesahan;
Bahwa setelah melalui tahapan-tahapan pembahasan maka pada Sidang
Paripurna tanggal 22 Januari 2002, RAPBD Kota Depok T.A. 2002
disahkan menjadi APBD Kota Depok T.A. 2002 dengan PERDA Kota Depok
No. 1 tahun 2002;
Bahwa PERDA No. 1 tahun 2002 tentang APBD Kota Depok T.A. 2002,
memuat Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok T.A.
2002.
Bahwa terhadap PERDA Kota Depok No. 1 tahun 2002 tanggal 22 Januari
2002 tentang APBD Kota Depok T.A. 2002 yang di- dalamnya juga
memuat Anggaran Belanja Rutin DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok
T.A. 2002, selanjutnya setelah
mendengar masukan dan saran dari Sekretaris Dewan, Komisi dan
Fraksi, kemudian oleh para Terdakwa bersama-sama dengan Panitia
Anggaran Dewan lainnya yang antara lain terdiri dari BAMBANG
SUTOPO, M.B.A., Ir. BAMBANG PRI- HANTO, M.M.. MAZHAB H.M., Drs.
MANSURIA, RAFIE AHMAD, Drs. H. MAHRUP AMAN bin AMAN, Hj. RATNA
NURYANA, B.B.A., Drs. SASONO, Drs. H. DAMANHURI, KUSD1HARTO,
HIRAS TONY HUTAPEA, H. AGUS SU- TONDO, CHRISTIAN POLTAK SLAMET
SILABAN dan H. HARIYONO, S.E., dilakukan pembahasan untuk penjabarannya, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Pimpinan
DPRD Kota Depok No. 01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002
tentang Penjabaran Anggaran DPRD Kota Depok dan Sekretariat DPRD
Kota Depok T.A. 2002, yang ditandatangani oleh para Terdakwa, di mana
materi yang dimuat dalam Keputusan Pimpinan DPRD Kota Depok No.
01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002.
Bahwa perbuatan para Terdakwa yang telah menandatangani Keputusan
Pimpinan DPRD No. 01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002 dan
No.

11.2/Kpts-Pimp/2002

tanggal

05

September

2002

tentang

Penjabaran Perubahan APBD Kota Depok tahun 2002 telah memperkaya


para Terdakwa dan Anggota DPRD Kota Depok lainnya dengan rincian
tambahan penghasilan.
Perbuatan para Terdakwa I. SUTADI, M.M., II. H. NAMING D. BOTHIN.
S.Sos dan III. M. HASBULLAH R S.Pd., M. Hum, merupakan tindak pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55
ayat (1) ke-I KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
b. Putusan Pengadilan
Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No. 420/Pid.B/2005/ PN Cbn
tanggal 24 Januari 20'05:

Menyatakan bahwa para Terdakwa masing-masing tidak terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dalam


dakwaan primair.

Membebaskan para Terdakwa dari dakwaan tersebut;

Menyatakan bahwa para Terdakwa I, II, III; terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara


bersama-sama

yang

dilakukan

beberapa

kali

sebagai

perbuatan

berlanjut;
Menjatuhkan terhadap para Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
masing-masing selama 2 (dua) tahun; dan denda masing-masing
sebesar Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) subsidir 3 (tiga) bulan
kurungan;
Menyatakan pidana yang dijatuhkan kepada para Terdakwa dikurangkan
sepenuhnya selama para Terdakwa berada dalam tahanan;

Menghukum para Terdakwa untuk membayar uang pengganti masingmasing:


Terdakwa I : sebesar Rp 386.925.480,-

II

: sebesar Rp 378.655.594,-

III

: sebesar Rp 378.913.553,-

Menyatakan bahwa barang bukti berupa.......dst.


Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No. 11 l/Pid.B/2006/PT Bds
tanggal 13 Juli006:

Memperbaiki

putusan

Pid.B/2005/PN.Cbn.

Pengadilan

tanggal

24

Negeri

Januari

Cibinong

2006;

sekedar

No.

420/

mengenai

pidananya dan pidana pengganti (dan hukuman) uang pengganti;


Putusan Mahkamah Agung: No. 2929K/Pid/2006 tanggal 28 Maret
2007:
Mengabulkan permohonan kasasi dari pada pemohon kasasi: I. Sutadi,
S.H., M.M., II. H. Nammg D. Bothin, S.Sos., III. M. Hasbullah R. SPd.,
MHum, tersebut;
Membatalkan

putusan

Pengadilan

Tinggi

Bandung,

No.

111/

Pid.B/2006/PT Bdg. tanggal 13 Juli 2006 yang memperbaiki putusan


Pengadilan Negeri Cibinong No. 420/Pid.B/2005/PN. Cbn. tanggal 24
Januari 2006;
Mengadili sendiri
Menyatakan Terdakwa I. Sutadi, S.H., M.M., II. H. Naming D. Bothin,
S.Sos., III. M. Hasbullah R. SPd., M.Hum terbukti melakukan perbuatan
yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut
bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran; Melepaskan
pada Terdakwa dari segala tuntutan hukum; Memulihkan hak para
Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;
Menyatakan barang bukti berupa. .dst.
Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan
kepada Negara;
c. Analisis
Analisis difokuskan pada pertimbangan Mahkamah Agung in
casu.
Pertimbangan Mahkamah Agung
Menimbang,

bahwa

alasan-alasan

tersebut

Mahkamah

Agung

berpendapat:
Mengenai alasan ke-I:
Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong telah salah menerapkan
hukum.
Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,
Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan
Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong, bahwa para lerdakwa
dalam perkara a quo telah terbukti melakukan perbuatan yang

didakwakan kepadanya dalam dakwaan Subsidair, yaitu melakukan


perbuatan yang bertentangan dengan pedoman pengelolaan dan
pertanggung)awaban Keuangan Daerah, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000;
Bahwa meskipun demikian, perbuatan yang lelah terbukti dilakukan
oleh para Terdakwa tersebut tidak dapat dipidana, oleh karena
perbuatan para Terdakwa seperti diuraikan dalam surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum baik dalam dakwaan Pnmair maupun Subsidair justru
mengadu pada Peraturan Pemerintah No. 110 tahun 2000 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD, dan berdasarkan putusan perkara Hak Uji
Materiil Mahkamah Agung RI No. 04/G/Hum/2001 peraturan pemerintah
mi sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena telah
dinyatakan bertentangan (tegen gesteld) dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi yakni Undang- undang No. 22 tahun 1999;
Bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan di atas maka menurut
hukum para Terdakwa haruslah dinyatakan

terbukti melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut


bukan

merupakan

kejahatan

maupun

pelanggaran,

sehingga

berdasarkan Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara


Pidana para Terdakwa harus dilepaskan dan segala tuntutan hukum
(ontslag van alle rechtsvervolging), dan oleh karena itu nula berdasarkan Pasal 97 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana para Terdakwa berhak memperoleh rehabilitasi.
Pertimbangan Mahkamah Agung in casu pada prinsipnya menerima
alasan pemohon kasasi sehingga permohonan kasasi dikabulkan dan
Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Atas dasar itu analisis dilakukan terhadap alasan pemohon kasasi
khususnya alasan ke-5 dan alasan ke-I. Alasan ke-5 pemohon kasasi
dianhsis karena alasan tersebut tidak dipertimbangkan Mahkamah
Agung karena pertimbangan Mahkamah Agung m casu menyatakanmenimbang, bahwa karena alasan ke-I dapat dibenarkan, maka
alasan-alasan lainnya tidak perlu dipertimbangkan Saul
Untuk itu pertama-tama dilakukan analisis terhadap alasan ke-5
pemohon kasasi dan pertimbangan Mahkamah Agung in casu terhadap
alasan ke-1.

Analisis terhadap alasan ke-5 pemohon kasasi:


Bahwa Pengadilan Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong
selain tidak cermat karena keliru dalam menerapkan peraturanperaturan sebagai dasar pertimbangan hukumannya, ternyata peraturan
a quo tidak lengkap karena tidak mengikutsertakan 25 orang lainnya sebagai anggota DPRD Depok periode 1999-2004 bersama-sama
dengan para Pemohon Kasasi/para Terkdakwa yang juga telah menerima
hak/tunjangan yang sama dengan para Pemohon Kasasi/Terdakwa
(termasuk beberapa anggota DPRD sebagai Ketua Fraksi dan Anggota
Fraksi) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam surat
dakwaan

Jaksa

Penuntut

Umum,

maka

terbukti

jelas

bahwa

pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri


Cibinong telah tidak lengkap dan telah menyimpang dari rasa keadilan
bagi para Pemohon Kasasi/para Terdakwa, mengingat bahwa anggaran
DPRD Kota Depok tahun 2002 adalah merupakan anggaran institusi
dan bukan anggaran personal, dengan demikian tindakan para
Pemohon
kolektif,

Kasasi/para
maka

Terdakwa

tersebut

merupakan

tindakan

adalah

collective

pertanggungjawabannya

responsibility (pertanggungjawaban kolektif). Selain itu kepemimpinan


di

DPRD

tidak

mengenal

sistem

hubungan

struktural

melainkan

kepemimpinan kolegial, oleh karena itu Pimpinan DPRD dan Panitia


Anggaran legislatif bukan merupakan representatif DPRD Kota Depok
yang dapat mengambil keputusan berapa besarnya anggaran untuk
DPRD Kota Depok, karena semua itu ditentukan oleh 2 (dua) institusi
yaitu legislatif dan eksekutif yang sangat berperan dalam menentukan
anggaran DPRD tahun 2002 sebagaimana dimaksud dalam dakwaan
Jaksa Penuntut Umum yang telah dijadikan alasan dalam pertimbangan
hukum Pengadilan Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong
untuk menghukum para Pemohon Kasasi/para Terdakwa.
Pertanyaan hukum
Berdasarkan alasan tersebut pertanyaan hukum yang diajukan: 1.
Apakah yang diartikan dengan anggaran personal?
2. Apakah yang dimaksudkan dengan collective responsibility?
3. Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan
tentang besarnya anggaran untuk institusi DPRD?
Pertanyaan 1:

Apakah yang diartikan dengan anggaran personal?


Istilah' anggaran personal dilawankan dengan anggaran institusi,
Pembedaan istilah itu in casu untuk mendalihkan tanggung jawab in
casu adalah tanggung jawab kolektif (collective responsibility).
Dari sisi hukum administrasi perbedaan seperti itu tidak relevan
dalam konteks tanggung jawab pidana in casu tindak pidana korupsi
(vide collective responsibility dalam Hukum Administrasi dan Good
Governance, h. 102).
Berkaitan dengan tanggung jawab pidana, pertanyaan hukum
administrasi yang utama adalah: adakah maladministrasi khususnya
penyalahgunaan wewenang dalam pengambilan keputusan?
Dengan demikian bentuk maladministrasi berupa penyalahgunaan
wewenang harus dibuktikan.
Pertanyaan 2:
Apakah yang dimaksudkan dengan collective responsibility?
Hukum administrasi membedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan berkaitan dengan legalitas (keabsahan) in casu keabsahan PERDA Kota
Depok No. 01 tahun 2002 tanggal 22 Januari 2002 tentang APBD Kota
Depok T.A. 2002.
Andaikata ada cacat yuridis dalam PERDA a quo (mis. cacat
substansi), upaya hukum yang tersedia pada waktu itu adalah upaya
pembatalan PERDA APBD berdasarkan ketentuan Pasal 113 dan Pasal
114 UU No. 22 tahun 1999. Dalam UU No. 32 tahun 2004 diatur dalam
Pasal 145.
Tanggung

jawab

pribadi

berkaitan

dengan

maladministrasi,

utamanya penyalahgunaan wewenang. Dengan demikian juga tidak


relevan untuk mengklasifikasikan tanggung jawab kolektif in casu.
Kalaupun keputusan yang diambil sifatnya kolektif, kalau ada unsur
maladministrasi tetap merupakan tanggung jawab pribadi.
Sebagai ilustrasi misalnya seorang atau unsur pimpinan dengan
intimidasi ataupun janji tertentu mempengaruhi pengambilan keputusan, maka perbuatan intimidasi ataupun memberi janji tertentu
merupakan maladministrasi dan menjadi tanggung jawab pribadi.

Pertanyaan 3:
Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan
tentang besarnya anggaran untuk institusi DPRD?
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004,
PERDA ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD (cfr.
Pasal 69 UU No. 22 tahun 1994).
PERDA APBD memiliki ciri khas yaitu sebagai PERDA berkaitan
dengan fungsi legislasi dan APBD berkaitan dengan fungsi anggaran.
Sebagai PERDA maka ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuanDPRD. Sebagai APBD Pasal 185, 186 UU No. 32 tahun 2004
harus melalui proses evaluasi hirarkis. Sayangnya ketentuan seperti itu
tidak ada dalam UU No. 22 tahun 1999.
Menjawab pertanyaan: siapakah yang bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan tentang besarnya anggaran untuk DPR? Harus
dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.
Tidak ada masalah menyangkut tanggung jawab jabatan. Tanggung
jawab pribadi pada prinsipnya berkaitan dengan maladministrasi.
Analisis terhadap Pertimbangan Mahkamah Agung

in casu

terhadap alasan ke-I Pemohon Kasasi

Bahwa

dari

fakta-fakta

hukum

yang

terungkap

di

persidangan,

Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan


Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong, bahwa para Terdakwa
dalam perkara a quo telah terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya dalam dakwaan subsidair, yaitu melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan pedoman pengelolaan dan
pertanggungjawaban Keuangan Daerah, sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 2000;

Bahwa meskipun demikian, perbuatan yang telah terbukti dilakukan oleh


para Terdakwa tersebut tidak dapat dipidana, oleh karena perbuatan
para Terdakwa seperti yang diuraikan dalam surat dakwaan Jaksa
Penuntut Umum baik dalam dakwaan primair maupun subsidair, justru
mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 110 tahun 2000 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD. dan berdasarkan putusan perkara Hak Uji
Materiil Mahkamah Agung RI No. 04/G/ Hum/2001, peraturan pemerintah
ini sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena telah
dinyatakan bertentangan (tegen gestld) dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi yakni Undang-undang No. 22 tahun 1999;


Bahwa berdasarkan uraian dan pertimbangan di atas, maka menurut
hukum

para

Terdakwa

haruslah

dinyatakan

terbukti

melakukan

perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut


bukan

merupakan

kejahatan

maupun

pelanggaran,

sehingga

berdasarkan Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara


Pidana para Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum
(ontslag van alle rechtsven'olging), dan oleh karena itu pula berdasarkan
Pasal 97 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
para Terdakwa berhak memperoleh rehabilitasi.
Pertanyaan hukum
Terhadap

pertimbangan

Mahkamah

Agung

tersebut

diajukan

pertanyaan berikut:
a. Apakah relevansi PP No. 105 tahun 2000?
b. Apakah relevansi PP No. 110 tahun 2000?
c. Apakah orang dapat dipidana karena melanggar PP?
PP No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara sedangkan PP No. 110 tahun 2000 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD.
PP No. 105 tahun 2000 relevan dengan pelaksanaan PERDA APBD
sedangkan PP No. 110 tahun 2000 relevan baik terhadap penyusunan
RAPBD berkaitan dengan DPRD maupun dengan pelaksanaan APBD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1). KUHP kiranya jelas bahwa orang
tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan PP. hal ini perlu dipahami
bahwa asas indium dellictum nulla poena sine praevia lege
poenali jelas bahwa tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang
karena lex artinya Undang-undang. Dalam hukum Belanda dikenal
dengan istilah wet yang dalam Pasal 1 Wethoek van Strafrecht
digunakan rumusan wettelijk voorschriften.
Sayangnya dalam KUHP terjemahan banyak digunakan rumusan:
ketentuan

peraturan

perundang-undangan

atau

ketentuan

perundang-undangan sehingga menimbulkan salah tafsir dengan


merujuk makna peraturan perundangan yang dulu diatur dalam TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966 dan sekarang UU No. 10 tahun 2004.
Kesalahpahaman terjadi karena dengan merujuk kamus tentang arti kata
wettelijk. Wet maupun wettelijk mempunyai makna yang sama yaitu

undang-undang (lex). Perbedaan hanya pada jenis kata yaitu wet kata
benda

dan

wettelijk

kata

sifat.

Terjemahan

wettelijk

dengan

perundang-undangan adalah terjemahan yang keliru.


Ratio legis asas indium dellictum nulla poena sine praevia lege
poenali berkaitan dengan hakekat pidana. Pidana pada dasarnya merampas hak kodrat yaitu: life, liberty dan property. Hakekat hak kodrat
adalah inalinable (tidak dapat dirampas). Dalam hidup bernegara
dibangun

konstruksi

hukum

menyangkut

perampasan

hak

dalam

konteks tindak pidana. Konstruksi yang dibangun atas dalil: hak kodrat
hanya dapat dirampas atas persetujuan rakyat.
Instrumen hukum yang dibuat dengan persetujuan rakyat adalah
lex (wet, undang-undang). Atas dasar semangat (jiwa) tersebut dirumuskan dasar ketentuan pidana seperti dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek
van Strafrecht (yang banyak terj emahan keliru dalam KUHP).
Dalam konteks tindak pidana korupsi terdapat peluang tindak
pidana dengan adanya unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU
T1PIKOR). Penyalahgunaan wewenang tidak harus dengan parameter
undang-undang.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung in casu, unsur penyalahgunaan wewenang tidak nampak dalam pertimbangan. Pertimbangan Mahkamah Agung hanya didasarkan pada PP No. 105 tahun
2000 dan mengkaitkan substansi dakwaan dengan PP No. 110 tahun
2000. Karena PP No. 110 tahun 2000 telah dibatalkan melalui putusan
Mahkamah Agung No. 04/G/Hum/2001, perbuatan terdakwa bukan
merupakan kejahatan atau pelanggaran.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Penetapan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah merupakan produk
yuridis

ketatanegaraan

berupa

peraturan

perundang-undangan.

Perbuatan ini tidak bisa dijadikan objek tindak pidana secara pribadi.
b. Penggunaan uang secara nyata sebagai pelaksanaan APBD dapat
menjadi objek tindak pidana.
c.

Mengukur penyalahgunaan wewenang dalam konteks penetapan PERDA


APBD d,an pelaksanaanya hendaklah dengan mendasarkan pada fungsi
APBD dan asas spesialitas dalam pengelolaan anggaran.

Anda mungkin juga menyukai