untuk,
oleh
dan
terhadap
pemerintah
(vide
Hukum
Bentuk
maladministrasi
yang
paling
utama
adalah
penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, kisi-kisi utama hukum
administrasi meliputi: 1. Wewenang, 2. Diskresi, 3. Tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi, 4. Konsep penyalahgunaan wewenang.
Pada dasarnya 4 kisi-kisi hukum administrasi tersebut telah
dipaparkan dalam Hukum Administrasi dan Good Governance
(Penerbit Trisakti, 2010) namun dalam tulisan ini 4 kisi-kisi tersebut
dipaparkan secara khusus dalam konteks tindak pidana korupsi.
Namun demikian sebelum memaparkan 4 kisi-kisi tersebut secara
singkat dipaparkan hukum administrasi untuk pemahaman dasar.
Dengan latar belakang tersebut, paparan dan analisis meliputi:
a. Paparan singkat hukum administrasi
b. Konsep wewenang
c. Diskresi
d. Tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi
e. Konsep penyalahgunaan wewenang
Pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini merupakan bagian inti dari
kajian hukum administrasi yang meliputi: istilah, dimensi normatif
hukum administrasi, landasan hukum administrasi, kodifikasi hukum
administrasi.
tentang
dimensi
normatif
hukum
administrasi
umum
merupakan
landasan
legalitas
tindak
pemerintahan
masyarakat
sangat
diragukan
mampu
menerima
dan
administrasi
dalam
ilmu
administrasi
negara
diberi
kode
A2,
Venvaltungsrecht (Jerman)
administrasi
didefinisikan
sebagai
instrumen
yuridis
yang
sisi
lain
memungkinkan
masyarakat
berpartisipasi
dalam
pemerintah
(vide Philipus
M. Hadjon,
et al.
Hukum
untuk
merupakan
norma
pemerintahan,
utamanya
pemerintahan.
Asas-asas
umum
negara
hukum
yang
langsung berkaitan dengan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan adalah:
- Asas legalitas pelaksanaan pemerintahan (rechtmatigheid van bestuur.
meliputi kewenangan, prosedur dan substansi);
- Perlindungan hak asasi (,grondrehcten: hak klasik dan hak sosial);
- Pembagian kekuasaan di bidang pemerintahan (machtsverdeling: a.l.
melalui desentralisasi fungsional maupun teritorial);
- Pengawasan oleh pengadilan {rechterlijke controle).
hukum
pengadilan,
administrasi
sehingga
dikembangkan
hukum
melalui
administrasi
lebih
putusanbanyak
Indonesia
sifatnya
mutlak
dikaitkan
dengan
perkembangan
Rechtmatig Bestuur
peraturan
perundang-undangan
dan
asas-asas
umum
derap
langkah
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
semula
(bestuursdwang) a.l.
pengosongan
secara
dan
perlindungan
hukum
represif.
Perlindungan
hukum
PTUN
adalah
sengketa
tata
usaha
negara
yang
Asas putusan "erga omnes"'. Asas ini berarti putusan berlaku bagi
semua orang.
(Philipus M. Hadjon, et. al., Pengantar- Hukum Administrasi
' Indonesia, h. 313).
Peradilan umum menangani sengketa tata usaha negara yang tidak
termasuk kompetensi absolut PTUN maupun Peradilan Militer. Di Belanda
dianut asas bahwa peradilan biasa (peradilan umum kita) mengisi
kekosongan perlindungan hukum yang ditinggalkan peradilan Tata Usaha
Negara. Atas dasar asumsi tersebut, peradilan umum menangani
sengketa-sengketa TUN berupa:
a.
Sengketa yang timbul dari perbuatan materiil atau timbul dari keputusan
yang berupa pengaturan yang bersifat umum;
b. Gugatan ganti rugi tambahan setelah proses PTUN;
c. Gugatan ganti rugi sehubungan dengan eksekusi putusan PTUN.
Apakah praktek di Belanda seperti tersebut di atas akan dilakukan
juga oleh peradilan umum kita kiranya memerlukan kajian lebih lanjut.
3.1. Istilah
Dalam hukum positif, kita temukan istilah wewenang antara am da
am UU no. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 1.6;
Pasal 53 ayat 2 huruf C).
Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda Istilah itu
seringkah dipertukarkan dengan istilah kewenangan.
Istilah wewenang atau kewenangan sering disejajarkan dengan
istilah bevoegdheid" dalam istilah hukum Belanda.
Kalau kita kaji istilah hukum kita secara cermat, ada sedikit
perbedaan antara istilah wewenang atau kewenangan dengan istilah
bevoegdheid. Perbedaan terletak dalam karakter hukumnya. Istilah
Belanda bevoegdheid digunakan baik dalam konsep hukum publik
maupun dalam konsep hukum privat. Dalam hukum kita, istilah kewenangan atau wewenang seharusnya digunakan selalu dalam konsep
hukum publik.
atau
kewenangan
digunakan
sejajar
dengan
istilah
'''
Dalam hukum tata negara, wewenang {bevogdheid) dideskripsikan
Pengaruh
Dasar hukum
Konformitas hukum
Komponen pengaruh ialah bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subyek hukum. Komponen
dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar
hukumnya dan komponen konformitas hukum, mengandung makna
adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).
Dalam tulisan ini, konsep wewenang hanya dibatasi pada wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang untuk membuat
keputusan pemerintahan (besluit), tetapi juga semua wewenang dalam
rangka melaksanakan tugasnya.
3.3. Cara Memperoleh Wewenang
Dalam kepustakaan hukum administrasi terdapat dua cara utama
untuk
memperoleh
wewenang
pemerintahan,
yaitu
atribusi
dan
yang
berwenang
berdasarkan
peraturan
perundang-
Republik
Indonesia
memegang
kekuasaan
pemerintahan
Gubernur,
atau
Bupati/Walikota
menerapkan
sanksi
ketentuan pasal
10: 3
AWB untuk
harus
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-un-
kepustakaan
hukum
administrasi
istilah
yang
sering
RUU
tentang
Administrasi
Pemerintahan
digunakan
istilah
diskresi.
4.2. Hakekat
Istilah diskresi digunakan sebagai lawan dari wewenang terikat
(gebonden bevoegdheid)
Esensi: ada pilihan (choice) untuk melakukan tindakan pemerintahan
pilihan berkaitan dengan:
a.
rumusan norma
seharusnya ....
sepatutnya_....
kondisi faktual
mis: - bencana
- keadaan darurat dll.
4.3. Parameter
Untuk menguji legalitas tindakan diskresi, parameter yang digunakan adalah:
a.
Peraturan perundang-undangan
b.
khususnya:
- larangan sewenang-wenang (parameter: rasionalitas)
pemerintahan
berkaitan
dengan
pendekatan
terhadap
kekuasaan pemerintahan.
Tanggung jawab pribadi berkaitan dengan pendekatan
fung-
sionaris atau pendekatan perilaku dalam hukum administrasi. Tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service.
Pembedaan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab
pribadi atas tindak pemerintahan membawa konsekwensi yang berkaitan dengan tanggung jawab pidana, tanggung gugat perdata dan
tanggung gugat tata usaha negara (TUN).
Tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi.
Dalam kaitan dengan tindak pemerintahan, tanggung jawab pribadi
seorang pejabat berhubung dengan adanya maladministrasi.
Tanggung gugat perdata dapat menjadi tanggung gugat jabatan
berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa. Tanggung gugat perdata menjadi tanggung gugat pribadi apabila terdapat
unsur maladministrasi. Tanggung gugat TUN pada dasarnya adalah
tanggung gugat jabatan.
5.2. Legalitas Tindak Pemerintahan
Ruang lingkup legalitas tindak pemerintahan meliputi:
-
wewenang
prosedur
substansi
tidak
menunda
atau
menghalangi
dilaksanakannya
yang
sifatnya
privacy,
hak
untuk
tidak
menyebutkan
yang masih belum berdaya guna dan berhasil guna. Dalam hubungan itu
deregulasi di bidang pemerintahan khususnya menyangkut prosedur
pemerintahan masih sangat dibutuhkan. Hal kecil yang masih menunjukkan beberapa segi yang tidak efisien dan tidak efektif misalnya:
apakah masih perlu prosedur pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
dimulai dari tingkat Ketua Rukun Tetangga (RT), padahal setiap warga
yang mengurus KTP disyaratkan antara lain bahwa dia sudah terdaftar
dalam Kartu Keluarga (KK) dan bahkan sekarang ini sudah diatur Wajib
memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). Apakah tidak cukup dengan
bekal kartu NIK dan KK seseorang bisa langsung mengurus KTP-nya
tanpa harus melalui suatu prosedur yang panjang?
Kekuasaan pemerintahan yang berisi wewenang pengaturan dan
pengendalian kehidupan masyarakat, dibatasi secara substansial.
Sebagai contoh misalnya: wewenang menetapkan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), secara substansial dibatasi pada luas tanah dan luas
bangunan dan tidak menyangkut isi rumah tersebut. Aspek substansial
menyangkut "apa" dan "untuk apa". Cacat substansial menyangkut
"apa"
merupakan
menyangkut
tindakan
"untuk
apa"
sewenang-wenang;
merupakan
cacat
tindakan
substansial
penyalahgunaan
wewenang.
5.3. Maladministrasi
Istilah maladministrasi sebagai istilah hukum dirumuskan dengan
berbagai variasi seperti contoh definisi maladministrasi menurut laporan
tahunan 1997 Ombudsman Eropa: Maladministration occurs when a
public body fail to act in accordance with the rule or principle which is
binding upon it (Anton Sujata, Ombudsman Indonesia di tengah
Ombudsman Internasional, h. 17-18).
E.I. Sykes et al, dalam bukunya General Principles of Administrative
Law, 1989 (p. 379) dalam memaparkan fungsi Ombudsman, menulis:
The most appropriate general description is that his works is directed at
the correction of case of maladministrationa term which has been
described as including bias, neglect, delay, inattention, incompetence,
ineptitude, perversity, turpitude and upbitrariness.
Anton
Sujata
nyimpangan
meneijemahkan
pejabat
publik
maladministrasi,
(Ombudsman
dengan
Indonesia
di
pe-
tengah
oleh
pejabat
publik.
Dikaitkan
dengan
norma
hukum
Fokus:
Jawab
Pribadi
legalitas
Fokus: maladministrasi
(keabsahan) tindakan
Perilaku
jelek
aparat
Wewenang
dalam
pelaksanaan
Prosedur
tugas
Substansi
perbuatan
sewenang-wenang
penyalahgunaan
wewenang
b. Parameter:
Peraturan
Parameter:
Perundang- Peraturan
undangan
undangan
umum Asas-asas
Asas-asas
Perundang-
umum
pemerintahan
yang
baik
3. Code
of
good
administrative
behavior
(Uni
Eropa)
Tanggung Jawab Jabatan
c. Pertanyaan hukum:
Adakah
cacat
menyangkut:
-
Wewenang
Prosedur
Substansi
d. Asas praesumptio iustse Berkaitan
causa
Setiap
pidana:
tindakan
dengan
asas
tindak
praduga
tak
pemerintahan bersalah
vicarious
liability:
tidak berlaku
administrasi, Sanksi: administrasi, perdata,
pidana
bevoegdheid
is
gegeven.
De
overheid
schendt
aldus
het
specialiteitsbeginsel [p. 163] (penggunaan wewenang tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal ini pejabat menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain yang menyimpang dari tujuan yang telah diberikan
kepada wewenang itu. Dengan demikian pejabat melanggar asas
spesialitas).
Konsep penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi kita
pada dasarnya sesuai dengan rumusan yang pernah ada dalam Pasal 53
ayat (2) butir b UU No. 5 th. 1986, yaitu:
.......... menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya wewenang tersebut.
Penjelasan Pasal 53 ayat (2) butir b: dasar pembatalan ini sering
disebut penyalahgunaan wewenang.
Dalam mengukur apakah telah teijadi penyalahgunaan wewenang,
haruslah dibuktikan bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain.
Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu
kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu
mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenang itu.
Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi yang negatif,
baik untuk kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Ada
tidaknya pengalihan tujuan harus dibuktikan. A Contrario sepanjang
tidak ada bukti menyangkut pengalihan tujuan berarti tidak ada penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaan inti:
Dalam konteks tindak pidana korupsi, pertanyaan inti menyangkut
penyalahgunaan wewenang:
1.
Negara
bertanggung
jawab
atas
penyediaan
fasilitas
pelayanan
Komisi
Ombudsman
Nasional
RI
penyimpangan-pe-
yang
dapat
dikualifikasi
sebagai
tindak
pidana
korupsi.
Dalam sistem hukum Belanda, pelaksanaan pelayanan publik
dilakukan dengan mengikuti norma-norma perilaku aparat. Ombudsman
Nasional Belanda melakukan pengawasan pelayanan publik atas dasar
Code of Conduct (algemene normen van goed overheidgedrag). Dalam
kaitan dengan korupsi, Belanda lebih menekankan aspek represif
daripada upaya pencegahan korupsi. Dalam realita hanya kasus-kasus
besar korupsi yang dibawa ke pengadilan dan sangat sedikit jumlahnya
(Henk Addink, Gio. Ten Berge, 2007).
jawab
pribadi
(individual
responsibility).
Peran
hakim
administrasi dalam kaitan ini tidak dominan. Hal ini dikarenakan doktrin
dalam hukum pidana Prancis membedakan: The legal component
{Velement legal), The material component (Velement material), dan
moral component (J'element moral).
Moral component jarang diperhatikan oleh karena suatu kejahatan hanya berkaitan dengan pelanggaran yang dapat dibuktikan
secara objektif dari norma hukum, .... A crime is merely an objectively
verifiable breach of a legal norm (John Bell, et. al, 1998-P. 206).
Sistem hukum Inggris mengenal pelayanan pemerintah atas public
service dan civil service.
Dalam pelayanan publik sistem hukum Inggris menekankan peran
doktrin "ultra vires" dalam mengukur kesalahan dalam pelayanan publik.
Di
samping
itu
juga
mendasarkan
pada
pendekatan
perilaku.
barang,
jasa,
dan/atau
pelayanan
administratif
yang
And those who are involved in providing the sendee (the civil
sendee, la function publique, or private person), (ibid)
Pelayanan publik (public service) menentukan tindakan-tindakan
yang tepat bagi para pegawai dan para menteri seperti halnya hal yang
sama yang ada dalam pemerintahan daerah dan badan-badan swasta.
Dalam sistem hukum administrasi Prancis dalam melaksanakan fungsi
pelayanan publik (mission de sendee public) dilandasi oleh Rolland
principles
yang
meliputi:
continueity,
adaptability,
equality
dan
kontinuitas
dalam
ketentuan
hukum
tentang
pelayanan,
The
commune,
berwenang
untuk
merubah
persyaratan-
lain
dapat
menyediakan.
Sudah tentu
terhadap
kontraktor
pemasok (supplier) gas diberi ganti rugi, tetapi eksistensi kontrak tidak
untuk mencegah pejabat setempat yang berwenang untuk memberikan
efek kepada kepentingan publik.
3. Equality of users :
Equality of users adalah aspek umum ketatanegaraan mengenai
prinsip persamaan dalam pelayanan publik. Dalam hal suatu tindakan
dilakukan atas barang-barang yang keseluruhannya adalah barang
publik, dan semuanya relevan dengan publik harus mengakses pada
persamaan pelayanan dan diperlakukan secara sama untuk itu.
4. Neutrality.
Netralitas merefleksikan cara negara liberal yang tidak sekadar mencari
untuk menentukan idea kehidupan yang baik bagi warga negara, tetapi
lebih jauh lagi adalah untuk memfasilitasi pilihan- pilihan tentang
perbedaan cara hidup.
Dalam hal ini sistem hukum Prancis mengenal tindakan pemerintahan
dengan landasan "Les principes Gnraux du droi" yang dikembangkan
oleh "Counceil d'Etat" untuk mengukur keabsahan tindakan (lgalit)
yaitu meliputi: larangan untuk bertindak Le inexsistance, incompetence,
vis de forma, violation de la loi, dtournement de pouvoir (L. Neville
Brown & John S. Bell, 1998, h.240-245).
Adapun tindakan pemerintahan dalam melakukan fungsi pelayanan
publik atau mission de service public, dilandasi oleh Rolland
principles.
Perkembangan di Inggris, konsep baru public service berawal dari
tahun 1991, didasarkan atas Citizen^s Charter yang dipelopori oleh
Perdana Menteri Inggris, sebagai kristalisasi tentang proses transformasi
negara dalam hubungan dengan warga negara, yang dengan cepat
berkembang ke arah negara kesejahteraan, sehingga mencipta- kan
struktur manajemen bagi pelaksanaan pelayanan publik.
Citizens Charter menegaskan prinsip-prinsip tentang public service:
memberikan
penjelasan
atau
meminta
maaf
apabila
ada
terdapat
dalam
"citizen's
charter".
Untuk
menilai
perilaku
covenant
untuk
mengingatkan
mengikuti
piagam
pada
PBB
negara-negara
untuk
memajukan
akan
dan
covenant
menetapkan
tentang
kewajiban
negara
untuk
mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam kovenan ini dan memastikan
pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apapun. Negaranegara berkembang dapat memperhatikan HAM dan perekonomian
nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh negara-negara
tersebut akan menjamin hak-hak ekonominya, dan untuk itu diperlukan
pengaturan ekonomi lebih lanjut.
2. Undang-undang No. 12 Th 2005 tentang Pengesahan Covenant on Civil
and Political Rights.
Dalam pertimbangan disebutkan:
a. Bahwa HAM merupakan hak-hak dasar yang bersifat kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu
harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan,
dikurangi atau dirampas oleh siapapun.
b. Bahwa
Indonesia
sebagai
bagian
dari
masyarakat
internasional,
negara
berkewajiban
melayani
setiap
warga
negara
dan
setiap
warga
negara
dan
penduduk
dari
penyalahgunaan
kaitan
dengan
pelayanan
publik
Ombudsman
merupakan
disebut
Ombudsman
adalah
lembaga
negara
yang
yang
diselenggarakan
oleh
penyelenggara
negara
dan
publik
tertentu
yang
sebagian
atau
seluruh
dananya
dan
pencegahan
praktek-praktek
maladministrasi,
budaya
hukum
nasional,
kesadaran
hukum
ma-
dalam
rangka
usaha
mencapai
tujuan
nasional
untuk
melaksanakan
tugas
secara
profesional
dan
ber-
menjual,
membeli,
menggadaikan,
menyewakan,
atau
anggota
keluarga,
kroni,
golongan
tertentu,
atau
kelompok
kepentingan
umum,
dan
meresahkan
sekelompok
lama
20
(dua
puluh)
tahun
dan
denda
paling
sedikit
MALADMINISTRASI
DAN
PERAN
PENGAWASAN
DALAM
PELAYANAN PUBLIK
3.1. Pengawasan terhadap Pemerintah dalam Pelayanan Publik
Dalam kajian hukum administrasi, pelayanan publik dan pemerintah
(termasuk badan pemerintah lain) merupakan dua aspek yang saling
terkait.
Pemerintah
dalam
karakter
aktifnya
dituntut
untuk
terhadap
penggunaan
wewenang
yang
tujuannya
untuk
menjelaskan
tentang
wewenang
pemerintahan,
dan
is,
not
surprisingly,
considerable
diversity
of
opinion
wewenang
pemerintah,
pengawasan
penggunaan
tak
van
het
recht
is.
Dat
object
is,
kort
gezegd,
de
H.B.
Jacobini
mengemukakan
pandangannya
tentang
hukum administrasi:
Definitions of administrative law contain several or all of the
following components: control of administration, the legal rides, both
internal and external, emerging from administrative agencies, the
concerns and procedures pertinent to remedying legal injury to
individuals caused by government entities and their agents, and court
decisions pertinent to all or to parts of these. (Jacobini, 1991, h. 1).
Jacobini menjelaskan tentang pentingnya pengawasan atau kontrol
penggunaan wewenang pemerintah, prosedur yang tepat bagi upaya
hukum
terhadap
individu
yang
mengalami
penderitaan
karena
tidak
setiap
konsep
hukum
administrasi
yang
di-
Komisi
Ombudsman
Nasional
RI
penyimpangan-pe-
yang
dapat
dikualifikasi
sebagai
tindak
pidana
korupsi.
Kasus-kasus korupsi di atas sebagai satu bentuk maladministrasi,
yang dilakukan dalam pelayanan publik merupakan hambatan yang
perlu ditanggulangi. Oleh karena tindak pidana korupsi tidak hanya
mengganggu
pelaksanaan
pelayanan
publik
dan
merupakan
maladministrasi di atas
dinyatakan oleh Sir William Wade yang diintrodusir dari "The Parliementary Commision for Administration" Inggris, bahwa: bad dcision
are bad administration, and bad administration are maladministration....
bad dcision goes bad rules, fallacy statutoiy rgulation. (Sir William
Wade, 2000, h. 97, bandingkan G.H. Addink, 2000, h. 14).
Kasus
kegagalan
dalam
menjalankan
peraturan
hukum
dan
dan
nepotisme
pengawasan
yang
(KKN).
Hal
optimal,
ini
untuk
memerlukan
menghindari
kontrol
atau
terjadinya
penyimpangan.
3.2.
Penyalahgunaan
Wewenang
dan
Sewenang-wenang
Dalam
Pelayanan Publik
Tindakan Penyalahgunaan Wewenang
Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Inggris adalah abuse of
power, merupakan konsep yang sama dengan dtournement de
pouvoir dalam sistem hukum Prancis yang artinya adalah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat dengan menyimpang dari ketentuan
undang-undang yang berlaku. Larangan untuk melakukan abuse of
power atau larangan untuk melakukan tindakan dtournement de
pouvoir merupakan satu asas yang ada dalam asas umum pemerintahan
yang baik (Algemene Beginselen Van Belioorlijk Bestuur), atau
Les Principes Gnraux Du Droi.
Abuse of power dapat teijadi karena:
1. Menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi atau tujuan politik.
2. Menggunakan wewenang bertentangan dengan undang-undang yang
memuat dasar hukum wewenang yang diberikan.
3. Menjalankan wewenang untuk tujuan lain dari yang nyata-nyata
dikehendaki oleh undang-undang dengan wewenang tersebut (P.M.
Hadjon, 1980, h. 18-19).
kefanatikan (sikap keras dalam memegang pendirian), sangat berprasangka buruk, perubahan pikiran yang tiba-tiba (tanpa alasan yang
nyata), tolol atau perasaan rendah diri yang berlebihan.
Lord Diplock menggunakan istilah irrationality yang memiliki
pengertian sama dengan unreasonableness, dan digunakan para
hakim untuk memutus, seperti dijelaskan sebagai berikut:
"It applies to a decision which is so outrageous in its defiance of
logic or of accepted moral standards that no sensible person who had
applied his mind to the question to be decided could have arrived at its.
Whether a decicion falls with in this categoiy is a question that judges by
their training and experience should be well equipped to answer, or else
their would be something badly wrong without judicial system ".
Irasional berimplikasi pada suatu keputusan yang sangat menyakitkan hati atau memalukan, kotor, yang menyimpang dari akal
sehat atau standar moral yang diterima bahwa tidak seorang pun yang
berpikiran sehat menggunakan pikirannya untuk sampai pada memutuskan seperti itu. Apakah suatu keputusan akan jatuh pada
kategori ini, adalah suatu pertanyaan. Bahwa para hakim dengan pelatihan-pelatihan dan pengalaman-pengalaman akan melengkapi dengan
baik untuk menjawabnya, atau jika tidak akan menjadi sesuatu yang
jelek dalam sistem peradilan. (Andrew Le Sueur, at. ai, 1999, h. 228).
Tidak mudah untuk menentukan rasionalitas (rationality) suatu
tindakan atau diskresi. Rationality erat kaitannya dengan proportionality, sehingga suatu diskresi yang rasional harus proporsional.
Proporsionalitas adalah keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
atau tujuan, dan yang mewujudkan kesadaran tentang hubungan yang
tepat antara penyebab dan hasil akhirnya. Proporsionalitas dapat
diterapkan dalam tiga situasi yaitu: proportionality and rights, proportionality and penalties, proportionality and the excersice of administrative discretion. (P.P. Craig, 2003, h. 621-622).
Di dalam Cambridge Health Authority Case, diuraikan tentang
diskresi yang diambil berkaitan dengan rasionalitas dan proporsionalitas:
The applicant, B, was a 10-year old girl who was extremely
ill. She had received a bone marrow transplant but the
treatment had not proven to be effective. The hospital, acting
on the advice of specialists, decided that B had only a short time
to live and that further mayor therapy should not be given. B's
father sought the opinion of two further specialists, who
thought that a second bone marrow transplant might have some
chance of success. Such treatment could, however, only be
administered privately because there were no beds in the
National Health Sendee within a hospital which could cany out
such therapy. The proposed treatment would take place in two
stages, the first of which would cost 15,000 and have a 10 to
20 per cent chance of success; the second stage would cost
60,000 with a similar 10 to 20 per cent chance of success, B s
father requested the health authority to allocate the funds
necessary for this therapy. It refused to do so, given the limited
nature of the funds at its disposal and the small likelihood that
the treatment would be effective. B s father then sought judicial
review of this decision, but failed before the Court of Appeal. Sir
Thomas Bingham M.R. recognized the tragic nature of B's
situation, but stressed that the courts were not the arbiters of
the merits in such cases. It was not for the courts to express
any opinion as to the likely success or not of the relevant
medical treatment. The court should, confine themselves to the
lawfulness of the decision under scrutiny. The basic rationale for
the health authority's refusal to press further with treatment for
B was scarcity of resources. The court's role in the respect was
perforce limited. (P.P. Craig, 2003, h. 608-609).
Pemohon, B, seorang gadis berusia 10 tahun sakit keras, telah
menerima trasplantasi tulang sumsum, namun pengobatan terbukti
tidak efektif. Pihak rumah sakit telah bertindak sesuai advis dokter ahli
yang memutuskan bahwa B hanya akan hidup singkat, selanjutnya
terapi secara umum tidak diberikan. Ayah B mencari pendapat dua
dokter ahli lain yang berpendapat bahwa transplantasi tulang sumsum
berpeluang untuk berhasil. Rencana pengobatan dilakukan dalam dua
tahap, tahap pertama menghabiskan 15,000 dengan kemungkinan keberhasilan 10-20%, tahap kedua mencapai 60,000 dengan kemungkinan keberhasilan yang sama 10-20%.
Ayah B memohon kepada pejabat kesehatan yang berwenang untuk
mengalokasikan dana yang diperlukan untuk kepentingan pengobatan,
ook
in publiekrechtelijke vorm kunnen lagere overheden samenwerken met
pavticulieren...., worden gesloten tussen een bestuurorgaan van een
provincie of gemeente. (Van wij'k - Konijnenbeh, 1984, h. 135).
Sebagai satu contoh dalam konteks perjanjian ini, hukum kita
menentukan bentuk perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah (pemerintah daerah), berkaitan dengan penggunaan aset pemerintah, seperti
diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara atau Daerah. PP tersebut antara lain mengatur tentang perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak
swasta mengenai Bangun Guna Serah dan Bangun Serah Guna,
dalam jangka waktu 30 tahun dengan persyaratan-persyaratan:
1. Pengguna barang memerlukan bangunan dan fasilitas bagi penyelenggaraan pemerintahan.
2. Tidak tersedia dana dalam APBN/APBD untuk penyediaan bangunan dan
fasilitas yang dimaksud.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 PP tersebut penetapan mitra
bangun guna serah dan mitra bangun serah guna dilaksanakan melalui
tender, dengan mengikutsertakan sekurang-kurangnya lima peserta/
peminat.
Selama pengoperasian mitra bangun serah guna dan bangun guna
serah yang telah ditentukan harus memenuhi kewajibannya untuk
membayar kontribusi ke rekening kas umum negara atau daerah
setiap tahun.
Pengelolaan aset negara atau aset daerah atas dasar peijanjian
bangun serah guna bangun guna serah di atas, dalam praktek rawan
adanya penyalahgunaan wewenang oleh karena itu memerlukan kehatihatian dalam bertindak, tidak hanya bagi pengelola barang tetapi juga
pada mitra bangun guna serah dan bangun serah guna.
Dalam pengelolaan aset yang sudah disepakati tersebut, BPK dapat
melakukan pemeriksaan untuk hal-hal yang bernilai ekonomi mulai awal
yaitu tentang pelaksanaan tender, apakah ketentuan-ketentuan Pasal 29
ayat 2 sudah diikuti.
Kemudian nilai bangunan, menjadi sasaran pemeriksaan BPK untuk
mengetahui ada tidaknya penyimpangan. Pemeriksaan juga dilakukan
terhadap nilai retribusi yang dibayar pada rekening kas negara atau kas
daerah setiap tahun.
Pemeriksaan dilakukan untuk pencegahan tindakan yang menyimpang atau jika ada dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) ataupun tindakan sewenang-wenang (unreasonableness) dalam
pengelolaan aset negara atau daerah. Dalam hal ada bukti penggunaan
wewenang untuk tujuan pribadi atau tujuan lain dari wewenang
dasarnya, kemudian terdapat tindakan yang irrational, maka telah
terjadi maladministrasi.
Dengan demikian oleh karena ada tindakan maladministrasi,
terpenuhi unsur perbuatan melawan hukum sebagai dasar untuk
menentukan suatu tindak pidana korupsi .
Dalam
perbandingan
adalah
kasus
yang
berkaitan
dengan
menurut
undang-undang
perumahan
dan
menuntut
lain
yang
berkaitan
dengan
kasus
penyalahgunaan
wewenang {abuse of power) dan sewenang-wenang {unreasonableness) yang ada dalam sistem hukum kita. Dalam kasus No. Reg
Perkara: PDS/04/T.1.15/Ft. 1/06/2009. Sekda Kabupaten Merauke didakwa melakukan abuse of power (penyalahgunaan wewenang) dalam
pembangunan asrama murid SMK 1 Sota dan barak guru di SMK 1 Sota,
serta barak guru SMP Negeri 11 Sota.
Dalam dakwaan disebutkan bahwa pembangunan proyek tersebut
dilakukan secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara oleh karena:
1. Tidak melalui proses tender akan tetapi melalui penunjukan langsung.
2. Keuangan kas daerah tidak mencukupi.
3. Pembangunan asrama belum dianggarkan dalam APBD.
Dalam menganalisis kasus tersebut harus dilakukan secara hatihati terutama berkaitan dengan tujuan yang akan dicapai dalam pembangunan tersebut (dalam hukum administrasi dikenal asas specialiteit
khusus,
yang
dalam
hal
ini
pemerintah
daerah
yang
berkompeten untuk menentukan keadaan tersebut, dan yang mengetahui kebutuhan-kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Dari
kondisi
kebutuhan
mendesak
inilah
kemudian
muncul
diskresi
atau
dalam
mengeluarkan
diskresi
menimbulkan
kajian
hukum
administrasi,
apabila
kesalahan
atau
Pendahuluan.
2.
4.
Kesimpulan.
2.
ANALISIS
TERHADAP
PERDA
APBD
DAN
PELAKSANAANNYA
pada
ayat
(3)
Kepala
daerah
harus
memberhentikan
atau
seluruhnya,
putusan
Mahkamah
Agung
tersebut
Dalam Negeri kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak diterimanya rancangan dimaksud.
(2)
APBD
sudah
sesuai
dengan
kepentingan
umum
dan
APBD
bertentangan
dengan
kepentingan
umum
dan
Pengawasan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
huruf
(2)
tentang
APBD
Penjabaran
peraturan
dan
APBD
rancangan
sudah
Peraturan
sesuai
perundang-undangan
menetapkan
rancangan
dengan
yang
dimaksud
Bupati/Walikota
kepentingan
tentang
umum
dan
lebih
tinggi,
Bupati/Walikota
menjadi
Perda
dan
Peraturan
Bupati/Walikota.
(4)
tentang
APBD
dan
rancangan
Peraturan
Bupati/Walikota
tentang
menjadi
Perda
dan
Peraturan
Bupati/Walikota,
Gubernur
Gubernur
menyampaikan
hasil
evaluasi
rancangan
Perda
ketentuan
Pasal
145,
185,
186
dan
Pasal
218
Pertanyaan 2:
Apakah penyimpangan dalam penyusunan APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
Berkaitan dengan pertanyaan kedua tersebut di atas, pertanyaan
yang muncul:
Andaikata ada penyalahgunaan wewenang dalam substansi (khususnya
anggaran DPRD) pembentukan PERDA APBD dan PERDA tersebut
merugikan keuangan negara, siapakah yang bertanggung j awab?
Pertanyaan tersebut melahirkan pertanyaan berikut:
a. Apakah bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenangnya?
b. Siapakah yang melakukan perbuatan tersebut?
c. Apakah semua anggota DPRD bertanggung jawab atas penyalahgunaan
wewenang tersebut?
d. Andaikata ada substansi yang tidak rasional tapi PERDA APBD tersebut
telah melalui proses evaluasi (Pasal 186 UU No. 32 tahun 2004) dan
tidak pernah dibatalkan (Pasal 145 UU No. 32 tahun 2004) apakah hal
tersebut menjadi tanggung jawab pimpinan maupun anggota DPRD?
Dari rangkaian sub pertanyaan tersebut pertanyaan a harus menjadi titik tolak adanya penyalahgunaan wewenang tersebut. Tindakan
yang menetapkan anggaran DPRD di atas plafond sesuai ketentuan yang
berlaku, tidak dengan sendirinya merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang. Harus dibuktikan bentuk perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut.
Dalam hal ini pertama-tama dikaji aspek rasionalitas dalam
pembahasan dan pengesahan APBD. Aspek rasionalitas adalah parameter menguji tindakan sewenang-wenang. Dalam hal terdapat unsur
sewenang-wenang, ada peluang penyalahgunaan wewenang.
Pertanyaan 3:
Apakah pelaksanaan APBD sesuai PERDA APBD dapat melahirkan
tanggung jawab pidana?
Menjawab pertanyaan tersebut perlu diperhatikan asas umum APBD
yang ditentukan dalam Pasal 16 PP No. 58 th. 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah:
PASAL 16
(1)APBD
disusun
penyelenggaraan
sesuai
dengan
pemerintahan
dan
kebutuhan
kemampuan
pendapatan daerah.
(2)Penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berpedoman
kepada
RKPD
dalam
rangka
untuk
menilai
apakah
kegiatan
penyelenggaraan
Yang
menjadi
masalah
adalah
misalnya
PERDA
APBD
kewajaran
dan
rasionalitas
serta
standar
harga
untuk DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok T.A. 2002 yang diajukan
ke Walikota Depok dengan Surat No. 172/1099-Setwan tanggal 24
Desember 2001 yang ditandatangani oleh Terdakwa II. H. NAMING D
BOTHIN;
Bahwa kemudian Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD yang
dimasukkan dalam RAPBD Kota Depok T.A. 2002 untuk selanjutnya
dibahas bersama oleh Panitia Anggaran Eksekutif dan Panitia Legislatif
Kota Depok guna mendapat persetujuan dan pengesahan;
Bahwa setelah melalui tahapan-tahapan pembahasan maka pada Sidang
Paripurna tanggal 22 Januari 2002, RAPBD Kota Depok T.A. 2002
disahkan menjadi APBD Kota Depok T.A. 2002 dengan PERDA Kota Depok
No. 1 tahun 2002;
Bahwa PERDA No. 1 tahun 2002 tentang APBD Kota Depok T.A. 2002,
memuat Anggaran Belanja DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok T.A.
2002.
Bahwa terhadap PERDA Kota Depok No. 1 tahun 2002 tanggal 22 Januari
2002 tentang APBD Kota Depok T.A. 2002 yang di- dalamnya juga
memuat Anggaran Belanja Rutin DPRD dan Sekretariat DPRD Kota Depok
T.A. 2002, selanjutnya setelah
mendengar masukan dan saran dari Sekretaris Dewan, Komisi dan
Fraksi, kemudian oleh para Terdakwa bersama-sama dengan Panitia
Anggaran Dewan lainnya yang antara lain terdiri dari BAMBANG
SUTOPO, M.B.A., Ir. BAMBANG PRI- HANTO, M.M.. MAZHAB H.M., Drs.
MANSURIA, RAFIE AHMAD, Drs. H. MAHRUP AMAN bin AMAN, Hj. RATNA
NURYANA, B.B.A., Drs. SASONO, Drs. H. DAMANHURI, KUSD1HARTO,
HIRAS TONY HUTAPEA, H. AGUS SU- TONDO, CHRISTIAN POLTAK SLAMET
SILABAN dan H. HARIYONO, S.E., dilakukan pembahasan untuk penjabarannya, yang kemudian dituangkan dalam bentuk Keputusan Pimpinan
DPRD Kota Depok No. 01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002
tentang Penjabaran Anggaran DPRD Kota Depok dan Sekretariat DPRD
Kota Depok T.A. 2002, yang ditandatangani oleh para Terdakwa, di mana
materi yang dimuat dalam Keputusan Pimpinan DPRD Kota Depok No.
01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002.
Bahwa perbuatan para Terdakwa yang telah menandatangani Keputusan
Pimpinan DPRD No. 01.1/Kpts-Pimp/2002 tanggal 23 Januari 2002 dan
No.
11.2/Kpts-Pimp/2002
tanggal
05
September
2002
tentang
yang
dilakukan
beberapa
kali
sebagai
perbuatan
berlanjut;
Menjatuhkan terhadap para Terdakwa tersebut dengan pidana penjara
masing-masing selama 2 (dua) tahun; dan denda masing-masing
sebesar Rp 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) subsidir 3 (tiga) bulan
kurungan;
Menyatakan pidana yang dijatuhkan kepada para Terdakwa dikurangkan
sepenuhnya selama para Terdakwa berada dalam tahanan;
II
: sebesar Rp 378.655.594,-
III
: sebesar Rp 378.913.553,-
Memperbaiki
putusan
Pid.B/2005/PN.Cbn.
Pengadilan
tanggal
24
Negeri
Januari
Cibinong
2006;
sekedar
No.
420/
mengenai
putusan
Pengadilan
Tinggi
Bandung,
No.
111/
bahwa
alasan-alasan
tersebut
Mahkamah
Agung
berpendapat:
Mengenai alasan ke-I:
Bahwa alasan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Pengadilan
Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong telah salah menerapkan
hukum.
Bahwa dari fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,
Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan
Tinggi Bandung dan Pengadilan Negeri Cibinong, bahwa para lerdakwa
dalam perkara a quo telah terbukti melakukan perbuatan yang
terbukti melakukan
merupakan
kejahatan
maupun
pelanggaran,
sehingga
Jaksa
Penuntut
Umum,
maka
terbukti
jelas
bahwa
Kasasi/para
maka
Terdakwa
tersebut
merupakan
tindakan
adalah
collective
pertanggungjawabannya
DPRD
tidak
mengenal
sistem
hubungan
struktural
melainkan
jawab
pribadi
berkaitan
dengan
maladministrasi,
Pertanyaan 3:
Siapakah yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan
tentang besarnya anggaran untuk institusi DPRD?
Berdasarkan ketentuan Pasal 136 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004,
PERDA ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD (cfr.
Pasal 69 UU No. 22 tahun 1994).
PERDA APBD memiliki ciri khas yaitu sebagai PERDA berkaitan
dengan fungsi legislasi dan APBD berkaitan dengan fungsi anggaran.
Sebagai PERDA maka ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
persetujuanDPRD. Sebagai APBD Pasal 185, 186 UU No. 32 tahun 2004
harus melalui proses evaluasi hirarkis. Sayangnya ketentuan seperti itu
tidak ada dalam UU No. 22 tahun 1999.
Menjawab pertanyaan: siapakah yang bertanggung jawab dalam
pengambilan keputusan tentang besarnya anggaran untuk DPR? Harus
dibedakan antara tanggung jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi.
Tidak ada masalah menyangkut tanggung jawab jabatan. Tanggung
jawab pribadi pada prinsipnya berkaitan dengan maladministrasi.
Analisis terhadap Pertimbangan Mahkamah Agung
in casu
Bahwa
dari
fakta-fakta
hukum
yang
terungkap
di
persidangan,
para
Terdakwa
haruslah
dinyatakan
terbukti
melakukan
merupakan
kejahatan
maupun
pelanggaran,
sehingga
pertimbangan
Mahkamah
Agung
tersebut
diajukan
pertanyaan berikut:
a. Apakah relevansi PP No. 105 tahun 2000?
b. Apakah relevansi PP No. 110 tahun 2000?
c. Apakah orang dapat dipidana karena melanggar PP?
PP No. 105 tahun 2000 tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Negara sedangkan PP No. 110 tahun 2000 tentang
Kedudukan Keuangan DPRD.
PP No. 105 tahun 2000 relevan dengan pelaksanaan PERDA APBD
sedangkan PP No. 110 tahun 2000 relevan baik terhadap penyusunan
RAPBD berkaitan dengan DPRD maupun dengan pelaksanaan APBD.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1). KUHP kiranya jelas bahwa orang
tidak dapat dipidana berdasarkan ketentuan PP. hal ini perlu dipahami
bahwa asas indium dellictum nulla poena sine praevia lege
poenali jelas bahwa tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang
karena lex artinya Undang-undang. Dalam hukum Belanda dikenal
dengan istilah wet yang dalam Pasal 1 Wethoek van Strafrecht
digunakan rumusan wettelijk voorschriften.
Sayangnya dalam KUHP terjemahan banyak digunakan rumusan:
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
atau
ketentuan
undang-undang (lex). Perbedaan hanya pada jenis kata yaitu wet kata
benda
dan
wettelijk
kata
sifat.
Terjemahan
wettelijk
dengan
konstruksi
hukum
menyangkut
perampasan
hak
dalam
konteks tindak pidana. Konstruksi yang dibangun atas dalil: hak kodrat
hanya dapat dirampas atas persetujuan rakyat.
Instrumen hukum yang dibuat dengan persetujuan rakyat adalah
lex (wet, undang-undang). Atas dasar semangat (jiwa) tersebut dirumuskan dasar ketentuan pidana seperti dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek
van Strafrecht (yang banyak terj emahan keliru dalam KUHP).
Dalam konteks tindak pidana korupsi terdapat peluang tindak
pidana dengan adanya unsur penyalahgunaan wewenang (Pasal 3 UU
T1PIKOR). Penyalahgunaan wewenang tidak harus dengan parameter
undang-undang.
Dalam pertimbangan Mahkamah Agung in casu, unsur penyalahgunaan wewenang tidak nampak dalam pertimbangan. Pertimbangan Mahkamah Agung hanya didasarkan pada PP No. 105 tahun
2000 dan mengkaitkan substansi dakwaan dengan PP No. 110 tahun
2000. Karena PP No. 110 tahun 2000 telah dibatalkan melalui putusan
Mahkamah Agung No. 04/G/Hum/2001, perbuatan terdakwa bukan
merupakan kejahatan atau pelanggaran.
4. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Penetapan APBD dalam bentuk Peraturan Daerah merupakan produk
yuridis
ketatanegaraan
berupa
peraturan
perundang-undangan.
Perbuatan ini tidak bisa dijadikan objek tindak pidana secara pribadi.
b. Penggunaan uang secara nyata sebagai pelaksanaan APBD dapat
menjadi objek tindak pidana.
c.