LAHAN MARGINAL
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Editor : Muhidin
Unhalu Press
STRATEGI
Penyusun
M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO
Editor
MUHIDIN
M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO
STRATEGI
Editor
MUHIDIN
Unhalu Press
Kendari, 2014
Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.
Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat
(1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2.
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
iv
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah sehingga penulis
dapat merampungkan karya buku yang berjudul Strategi Pengelolaan
Lahan Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian yang
Berkelanjutan. Sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Kerusakan sumberdaya lahan dari waktu ke waktu terus
mengalami peningkatan baik luasannya maupun tingkat kerusakannya.
Jika kondisi ini tidak segera dikelola dengan serius maka akan
berdampak buruk pada seluruh aspek kehidupan. Harapan pemenuhan
kebutuhan sumberdaya lahan yang berproduktivitas tinggi untuk
menopang kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang terus meningkat
menjadi semakin sulit untuk diwujudkan. Luas lahan yang
berproduktivitas memadai jumlahnya sangat terbatas ditambah lagi
dengan tingginya konflik kepentingan terhadap lahan tersebut sehingga
lahan yang subur menjadi barang langka. Pilihan bijak yang harus
dilakukan adalah mencari alternatif pemanfaatan lahan yang kurang
subur atau lahan marginal. Potensi lahan marginal di Indonesia sangat
tinggi diperkirakan lebih dari 100 juta hektar yang terdiri atas lahan
kering masam, lahan gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang
surut. Jika potensi lahan marginal tersebut dikelola dengan baik menjadi
lahan yang berproduktivitas memadai maka konstribusinya menjadi
sangat berarti dalam meningkatkan produksi pertanian untuk
mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Namun dalam pengelolaan
lahan marginal harus seminimal mungkin berdampak negatif terhadap
lingkungan sehingga produksi pertanian dapat diwujudkan secara
berkelanjutan.
Penulis menyadari sebagaimana ungkapan pepatah tiada gading
yang tak retak, buku ini pasti ada kekurangannya sehingga kritik dan
saran dari para pembaca sangatlah diharapkan agar tampilan berikutnya
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
vi
menjadi lebih baik. Namun demikian, penulis berharap buku ini dapat
digunakan oleh berbagai pihak sebagai sumber pengetahuan dalam
pengelolaan lahan marginal untuk mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan.
Penulis menyadari pula bahwa dalam merampungkan tulisan ini
begitu banyak pihak yang membantu. Pada kesempatan yang mulia ini,
penulis menyampaikan banyak ucapan terima kasih semoga amal baik
tersebut diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah SWT. Semoga
buku ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sebagai amal ibadah
dihadapan Allah SWT. Amin.
Kendari,
September 2014
Penulis
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
vii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
II. KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN
BERKELANJUTAN
A. Lahan Marginal
B. Pertanian Berkelanjutan
III. STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
A. Zonasi Lahan
1. Zonasi lahan menurut LREP
2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi
3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan
B. Evaluasi Kesesuaian Lahan
1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan
2. Klasifikasi kesesuaian lahan
3. Metode evaluasi kesesuaian lahan
4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P)
IV. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering
B. Karakteristik Tanah
C. Pertanian di Lahan Kering
1. Pengelolaan air
2. Budidaya organik
V. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut
B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut
1. Pembentukan gambut
2. Klasifikasi gambut
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
v
vii
ix
x
1
3
3
4
7
7
8
9
13
14
15
15
17
18
22
22
24
27
29
30
39
39
40
40
42
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
viii
45
45
46
48
48
49
56
58
71
71
72
72
74
77
77
78
79
79
82
84
88
99
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
1.
Zona wilayah berdasarkan kelerengan
2.
Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman
Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan
3.
berdasarkan tingkat pengelolaannya
Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk
4.
menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya
5.
Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian
serta sebarannya di Indonesia
6.
Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan
lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi
7.
Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada
Tanah gambut
8.
Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut
9.
Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan
gambut
10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut
11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut
12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah
rawa pasang surut
13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan
jeluk dan kondisi pirit
14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan
dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat
masam
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
12
18
20
21
40
49
58
60
62
63
66
75
76
86
DAFTAR GAMBAR
Gambar
1.
Penggunaan mulsa jerami (a) dan mulsa plastik (b) pada
pertanian lahan kering
2.
Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya
organik
3.
Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik
(setengah matang) (b)
4.
Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan
basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan
basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.
pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
5.
Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran
drainase
6.
Akar tanaman yang menggantung menunjukkan
Terjadinya subsiden (penurunan permukaan)
7.
Denah tata air sistem handil
8.
Pembuatan tabat pada handil
9.
Tata air sistem garpu UGM
10.
Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan
11.
Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan;
b. tampak samping)
12.
Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman
13.
Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan
gambut
14.
Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam
sistem aliran satu arah
15.
Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam
sistem aliran satu arah
16.
Denah sistem aliran satu arah
17.
Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat
masam
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
30
38
43
44
45
46
51
52
53
54
55
59
70
80
81
81
87
PENDAHULUAN
Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa dan
diperkirakan menjadi 380 juta jiwa pada tahun 2050 dengan laju
pertumbuan penduduk sekitar 1,5% per tahun atau terjadi pertambahan
penduduk 3,5 juta per tahun. Jumlah penduduk yang sedemikian
besarnya tersebut, termasuk peringkat ke empat jumlah penduduk
terbanyak dunia, satu sisi menunjukkan sedemikian besarnya potensi
sumberdaya manusia tetapi di sisi lain jika tidak mampu dikelola
dengan baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya justru akan menjadi
bencana bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk dengan peningkatan
sebesar itu harus didukung oleh sejumlah pangan yang cukup. Namun
produksi pangan saat ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan
konsumsi nasional. Sementara lahan pertanian yang produktif,
luasannya sangat terbatas dan semakin berkurang. Setiap tahunnya
sekitar 110.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana
APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, tidak
sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi (Ihsan, 2013).
Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan
permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis
seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, dan buah-buahan segar
semakin langka. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil langkah
yang kurang bijak yaitu mengimpor berbagai komoditas pangan
strategis tersebut. Kebijakan seperti ini tidak sejalan dengan upaya
mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Jika hanya mengandalkan produksi pertanian pada lahan yang
subur maka dapat dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan
pangan nasional yang semakin meningkat. Pilihannya untuk
mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah perluasan lahan
pertanian pada lahan-lahan marginal seperti pada lahan kering, lahan
gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Hal ini sangat
dimungkinkan karena potensi lahan marginal di Indonesia cukup tinggi
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
yaitu dapat melebihi 100 juta hektar. Produksi pertanian pada lahan
marginal seperti tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan, dan
tanaman hortikultura cukup menjajikan dan telah memberikan
kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan nasional.
Pengelolaan lahan marginal untuk memenuhi kebutuhan
produksi pertanian harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian
karena dihadapkan dengan permasalahan lahan marginal yang
sedemikian kompleksnya. Kendalanya mencakup sifat fisik, kimia,
fisikokimia, biologi tanah, kehadiran bahan-bahan beracun baik
organik maupun anorganik, dan kondisi hidrologi lahan yang
memerlukan penataan khusus. Akibatnya lahan marginal sangat rentan
terhadap perubahan. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam
pengelolaannya maka akan berdampak besar terhadap kerusakan
lingkungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan harkatnya menjadi
lahan yang berproduktivitas memadai diperlukan teknologi pertanian
yang bekerja serbacakup. Teknologi pertanian yang diandalkan selama
ini yaitu teknologi pertanian yang bertumpu pada prodak kimiawi dan
rekayasa lingkungan terbukti telah memberikan dampak yang
merugikan terhadap lingkungan. Teknologi pertanian di lahan marginal
yang diharapkan adalah teknologi yang mengedepankan pertimbangan
kualitas dan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan. Teknologi pertanian yang dimaksud seperti teknologi
masukan rendah, budidaya organik, dan sistem gizi tanaman terpadu.
Pengelolaan lahan marginal seperti itu diharapkan sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
II
A. Lahan Marginal
Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah
sampai dengan sangat rendah untuk menghasilkan tanaman pertanian
atau dapat disebut sebagai lahan yang mempunyai mutu rendah karena
memiliki beberapa faktor pembatas. Menurut Strijker (2005)
menyebutkan bahwa lahan marginal dicirikan oleh penggunaan lahan
yang mempunyai kelayakan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Namun demikian dengan penerapan teknologi dan sistem pengelolaan
yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih
produktif.
Potensi yang sangat rendah pada lahan marginal ini disebabkan
oleh sifat tanah, lingkungan fisik, atau kombinasi dari keduanya yang
kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan yang telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biologi, yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan pertanian serta
kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut dengan lahan kritis.
Pengertian lahan marginal dan lahan kritis pada dasarnya sama.
Istilah marginal digunakan untuk mengacu pada makna potensi dari
lahan. Adapun istilah kritis digunakan untuk menunjukkan aspek
kerusakan dan kerugian akibat perubahan yang terjadi dari sifat tanah
dan lingkungannya.
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah
maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat
masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering
berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).
Prospek lahan marginal ini cukup besar untuk pengembangan pertanian
namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut
kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi
untuk memperbaiki produktivitasnya.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Sitti Leomo
Syamsu Alam
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
STRATEGI PERENCANAAN
PENGGUNAAN LAHAN
III
A. Zonasi Lahan
Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup
pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, geologi,
hidrologi, keadaan vegetasi alami bahkan hasil aktivitas manusia baik
saat sekarang maupun masa yang akan datang yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).
Pengertian ini menunjukkan bahwa berdasarkan konteks keruangan,
lahan sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan zona lahan yang satu
dengan zona lahan yang lain. Zona lahan merupakan suatu kawasan
yang penggunaan utama dan penggunaan lahan yang diperbolehkan
adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan untuk
mendukung maksud-maksud penggunaannya secara berkelanjutan dan
sejalan dengan praktek pengelolaan lahan yang benar serta rumusan
kebijaksanaan
penggunaannya,
untuk
memenuhi
kebutuhan
pembangunan dan pelestariannya (LREP II, 1996; Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
Untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan sangat
diperlukan zonasi lahan. Zonasi lahan merupakan suatu proses untuk
mengidentifikasi lahan (zona lahan) yang memiliki kesamaan syaratsyarat dalam penggunaannya, guna menentukan langkah-langkah
pengelolaan lahan dan cara penggunaan lahan secara berkelanjutan
dalam arti memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan serta
merumuskan langkah-langkah tindakan yang menjamin bahwa
penggunaan lahan dapat diawasi berdasarkan prinsip-prinsip
pengelolaan lahan yang benar.
Zonasi lahan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan
seperti: zonasi lahan menurut LREP (Land Resources Evaluation and
Planning), zonasi lahan berdasarkan agroekologi, dan zonasi lahan
berdasarkan karakteristik lahan.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Sitti Leomo
Syamsu Alam
10
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
11
peta wilayah administrasi, data iklim berupa curah hujan dan suhu
minimal selama 10 tahun terakhir.
(2) Tahap interpretasi dan pengolahan data
Tahap interpretasi dan pengolahan data yaitu menginterpretasi data
iklim dan sumberdaya lahan untuk mendapatkan zonasi agroekologi.
Zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan regim
iklim (suhu dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng), dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Regim suhu
Regim suhu yaitu perbedaan rata-rata suhu udara terpanas dan
terdingin. Regim suhu dapat menggunakan pendekatan ketinggian
tempat dari permukaan laut, yang dibedakan menjadi :
Panas yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian > 50C atau wilayah dengan ketinggian < 750 m dpl (a), regim
suhu ini disebut isohipertermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 750-2000 m dpl (b),
regim suhu ini disebut isotermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 2000 m dpl (c).
regim suhu ini disebut juga isotermik.
b. Regim kelembaban
Regim kelembaban suatu wilayah dibedakan berdasarkan jumlah
bulan kering (curah hujan rata-rata < 60 mm) dalam satu tahun, dengan
pembagian sebagai berikut :
Lembab yaitu jumlah bulan kering < 3 dalam satu tahun (x).
Agak kering yaitu jumlah bulan kering antara 4-7 dalam satu tahun
(y).
Kering yaitu jumlah bulan kering > 7 dalam satu tahun (z).
c. Relief (bentuk wilayah)
Relief suatu wilayah dibedakan berdasarkan kisaran kelerengan.
Parameter fisik lingkungan sumberdaya lahan yang digunakan sebagai
pembeda zonasi utama dalam sistem ini ialah relief yang tercermin
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
12
Kelerengan
I
II
III
IV
V
> 40%
15-40%
8-<15%
0-<8%
<3%
VI
<3%
VII
<3%
VIII
< 8%
Kehutanan
Perkebunan (budidaya tanaman tahunan)
Agroforestri (wana tani)
Tanaman pangan
Hortikultura (gambut dangkal ketebalan <1,5 m)
atau kehutanan (gambut dalam ketebalan >1,5 m).
Perikanan yang dipadukan dengan konservasi
pantai berupa tanaman kehutanan (mangrove).
Zona ini memiliki jenis tanah yang mempunyai
kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam)
atau kandungan garam yang tinggi.
Kehutanan. Zona ini memiliki jenis tanah yang
berkembang dari pasir kwarsa (spodosol,
Quartzipsamments).
Peternakan (pengembalaan). Zona ini memiliki
jenis tanah dengan penampang solum yang sangat
dangkal dan berbatu.
Sitti Leomo
Syamsu Alam
13
Sitti Leomo
Syamsu Alam
14
Sitti Leomo
Syamsu Alam
15
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
16
Sitti Leomo
Syamsu Alam
17
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
18
Simbol
Kualitas Lahan
Karakteristik Lahan
1.
Rejim Temperatur
2.
Ketersediaan air
3.
Media Perakaran
4.
Retensi hara
1. Drainase Tanah
2. Tekstur Tanah
3. Kedalaman Efektif
4. Kematangan Gambut
5. Ketebalan Gambut
1. KTK Tanah (m.e/100 g)
2. pH Tanah
5.
Kegaraman
1. Salinitas (mmhos/cm)
6.
Toksitas
1. Kejenuhan Al (%)
2. Kedalaman Sulfida (cm)
7.
Ketersediaan Hara
1. N Total
2. P2O5 Tersedia
3. K2O Tersedia
8.
Kemudahan Pengolahan
1. Tekstur Tanah
2. Struktur Tanah
3. Konsistensi Tanah
9.
1. Lereng (%)
2. Batuan Permukaan (%)
3. Singkapan Batuan (%)
10.
Bahaya Erosi
11.
Bahaya Banjir
1. Periode Banjir
2. Frekuensi Banjir
Sitti Leomo
Syamsu Alam
19
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
20
Kualitas/
Karakteristik lahan
Rejim Suhu
- Suhu Rata Tahunan
Ketersediaan Air
- Bulan Kering
- Curah Hujan
Media Perakaran
- Drainase
- Tekstur
- Kedalaman Efektif
-Gambut : Kematangan
Ketebalan
4.
5.
6.
7.
Retensi Hara
- KTK
- pH
Ketersediaan hara
- N Total
- P2O5 Tersedia
- K2O Tersedia
Kegaraman
- Salinitas
Toksisitas
- Kejenuhan Al
- Lapisan Pirit
Tingkat
Pengelolaan
Kemudahan Pengolahan
9.
Terrain/Potensi
Mekanisasi
Bahaya Erosi
S, T
S, T
S, T
T
S, T
S, T
- Reklamasi (Ii)
S, T
S, T
S, T
S, T
Bahaya banjir
- Pembuatan tanggul penahan banjir (H)
- Periode
- Serta pembuatan saluran drainase untuk
- Frekuensi
mempercepat pengaturan air (C)
Keterangan : R = Rendah, S= Sedang, T = Tinggi
R, S, T
R, S, T
R, S, T
11.
M. Tufaila
- Pemupukan (G)
- Pemupukan (G)
- Pemupukan (G)
8.
10.
Sitti Leomo
Syamsu Alam
S, T
-
T
T
21
Kualitas / Karakteristik
Lahan
Tingkat Pengelolaan
Rendah
Sedang
Tinggi
1.
Rejim Suhu
- Suhu Rata Tahunan
2.
Ketersediaan Air
- Bulan Kering
+
++
- Curah Hujan
+
++
3.
Media Perakaran
- Drainase
+
++
- Tekstur
- Kedalaman Efektif
+
- Gambut : - Kematangan
+
+
- Ketebalan
4.
Retensi Hara
- KTK
+
++
- pH
+
++
5.
Ketersediaan hara
- N Total
+
++
+++
- P2O5 Tersedia
+
++
+++
- K2O Tersedia
+
++
+++
6.
Kegaraman
- Salinitas
+
++
7.
Toksisitas
- Kejenuhan Al
+
++
- Lapisan Pirit
+
++
8.
Kemudahan Pengolahan
+
+
9.
Terrain/Potensi mekanisasi
+
10.
Bahaya Erosi
+
++
11.
Bahaya banjir
- Periode
+
++
- Frekuensi
+
++
Keterangan :
Tidak dapat dilakukan perbaikan
+
Perbaikan dapat dilakukan dan akan dihasilkan kenaikan kelas satu tingkat lebih tinggi
++
Kenaikan kelas dua tingkat lebih tinggi
+++
Kenaikan kelas tiga tingkat lebih tinggi
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
22
IV
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
23
1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land
menurut salah satu difinisi: (a) daerah dengan curah hujan tahunan
kurang dari 250 mm (USA), (b) daerah yang jumlah hujannya tidak
mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang
jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan (estabish)
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi
potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual
(Monkhouse and Small, 1978).
2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar
(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan
lahan basah alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Pengertian kering yang pertama terkait dengan istila daerah
kering atau kawasan iklim kering. Untuk pengertian yang kedua dapat
dipilih istilah lahan atasan (upland). Untuk pengertian yang ketiga dapat
diterapkan istilah lahan kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka
padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk,
akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan
pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi
tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi
lahan.
Pengertian lahan kering Notohadiprawiro (1988) mengajukan
postulat lahan tadah hujan (raindfed) yang dapat diusahakan secara
sawah (lowland/wetland) atau secara tegal atau ladang (upland).
Pengertian tersebut yang menjadi kriteria pokok adalah hujan sebagai
sumber asasi air yang membedakan dengan lahan irigasi. Lahan kering
adalah lahan yang dalam keadaan alami tidak jenuh air hampir
sepanjang tahun atau tidak tergenang. Kelengasan tanahnya hampir
sepanjang tahun selalu di bawah kapasitas lapang. Fluktuasi kelengasan
tanah dipengaruhi oleh cuaca, keadaan fisiografi, dan pengelolaan.
Diantara faktor tersebut, hujan merupakan faktor penentu utama. Proses
biologi dan kimia dalam tanah terjadi dalam keadaan aerob. Pendapat
lain mengatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang pada periode
tertentu dalam tiap tahun terdapat curah hujan yang tidak mencukupi
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
24
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
25
Sitti Leomo
Syamsu Alam
26
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
27
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
28
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
29
Sitti Leomo
Syamsu Alam
30
(a)
(b)
Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) (http://alamtani.com/pupukhijau.html) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan
kering
(http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/carapengolah-an-lahan-budidaya-melon.html)
2. Budidaya organik
Penyelesaian tanah berkedala ganda diperlukan teknologi yang
mempunyai kemampuan ganda pula. Budidaya organik adalah teknologi
produksi pertanian semacam itu. Semua upaya yang diperlukan untuk
menanggulangi berbagai kendala lahan kering masam seperti tanah
ultisol tersedia dalam budidaya organik. Selain itu, yang lebih penting
lagi ialah semua upaya tersebut saling bernasabah dalam bentuk suatu
sistem. Hal ini berbeda sama sekali dengan budidaya kimiawi yang
sampai saat sekarang diandalkan sebagai teknologi produksi pertanian
utama. Untuk dapat menyelesaikan kedala ganda tanah, budidaya
kimiawi mencampurkan sejumlah kimiawi yang pada asasnya tidak
saling bernasabah secara sistem. Misalnya, pengapuran diterapkan
untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Akan tetapi
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
31
Sitti Leomo
Syamsu Alam
32
Sitti Leomo
Syamsu Alam
33
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
34
Sitti Leomo
Syamsu Alam
35
Sitti Leomo
Syamsu Alam
36
Sitti Leomo
Syamsu Alam
37
Sitti Leomo
Syamsu Alam
38
(a)
(b)
Gambar 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya
organik (http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/ budidaya-cabai-organik.html;http://mitrapetani.blogspot.com/2012/
10/ mitra-petani-potensi-pertanian-organik.html)
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
39
Sitti Leomo
Syamsu Alam
40
Sumatra
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kalimantan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Papua dan Papua Barat
Total
6.244.101
4.043.600
716.839
1.483.662
5.072.249
3.010.640
1.729.980
331.629
7.001.239
18.317.589
Layak untuk
pertanian (ha)
2.253.733
774.946
333.936
1.144.851
1.530.256
672.723
694.714
162.819
2.273.160
6.057.149
Sitti Leomo
Syamsu Alam
41
Sitti Leomo
Syamsu Alam
42
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
43
(a)
(b)
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
44
Sitti Leomo
Syamsu Alam
45
Sitti Leomo
Syamsu Alam
46
Sitti Leomo
Syamsu Alam
47
Sitti Leomo
Syamsu Alam
48
Sitti Leomo
Syamsu Alam
49
pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut
yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan
aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan
kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan,
bahan di bawah gambut dan hidrologi
No.
1.
Ketebalan
(cm)
<50
Bahan di bawah
lapisan gambut
Mineral lempung
Pasir/granit
2.
50-100
Mineral lempung
Pasir/granit
3.
100-200
Mineral lempung
Pasir/granit
4.
>200
Mineral
lempung/pasir/
granit
Hidrologi
Peruntukan
Bermasalah
Padi atau
palawija,
usaha
tambak
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah
Padi atau
palawija,
usaha
tambak
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah
Komoditas
perkebunan
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
2. Pengelolaan air
Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air
di lahan rawa bertujuan tidak hanya untuk menghindari terjadinya
banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga untuk
menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping
untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya
kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang
hanya dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
50
Sitti Leomo
Syamsu Alam
51
buahan untuk menahan erosi. Handil dan saluran tersebut ketika pasang
berfungsi sebagai saluran irigasi dan ketika surut berfungsi sebagai
saluran drainase. Denah air sistem handil disajikan pada Gambar 7.
Parit cacing
Parit
Parit kongsi
Tanggul/
pematang
Tabat
Semak belukar
Sungai
Sungai
Tanggul
sungai
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
52
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
53
Sitti Leomo
Syamsu Alam
54
Keterangan :
A : Saluran drainase tersier B : Saluran irigasi kuarter
D : Saluran kolektor
E : Saluran cacing
Gambar 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan
(Najiyati et al., 2005)
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
(a)
55
(b)
Gambar 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak
samping) (Najiyati et al., 2005)
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
56
lurus saluran kolektor. Saluran ini dibuat setiap jarak 9-10 m dengan
ukuran lebar 30 cm dan dalam 25-30 cm.
3. Pengelolaan kesuburan tanah
Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan
upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media
perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa
pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dosis anjuran dan manfaat
amelioran pada tanah gambut disajikan pada Tabel 7 (Subiksa et al,
1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup
ditingkatkan sampai pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al
yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat
memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam
organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahanbahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti
terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999;
Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario,
2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Hal ini
sejalan dengan yang disampaikan oleh Sri Ratmini (2012) bahwa
pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara
lain tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik
yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan
menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen
seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kahat unsur hara untuk memberikan hasil
yang optimal pada sistem usahatani dapat dilakukan dengan tindakan
ameliorasi dan pemupukan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa
bahwa ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga
dapat memacu emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan
akan memacu dekomposisi gambut. Dengan demikian pemanfaatan
lahan gambut harus berdasarkan pada pertimbangan yang rasional
antara keuntungan ekonomi yang didapat dengan kerugian lingkungan
yang akan diderita (Widyati, 2011).
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
57
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
58
Jenis amelioran
Kapur
1-2
Pupuk kandang
5-10
Terak baja
2-5
Tanah mineral
10-20
Abu
10-20
Lumpur sungai
10-20
Manfaat
Meningkatkan basa-basa
dan pH tanah
Memperkaya unsur hara
makro / mikro
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
efisiensi pupuk P
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
kadar hara makro/mikro
Meningkatkan basa-basa,
dan pH tanah
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
basa-basa, unsur hara
Sitti Leomo
Syamsu Alam
59
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
60
Pemanfaatan
Keterangan
Bengkoang
(Pachyrrhizus
erosus L)
Papilonaceae
Jagung
(Zea may L.)
Gramineae
Ganyong
(Cana
edulie Ker)
Cannaceae
Gembili
(Coleus
parviflorus Benth)
Labiatae
Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
(setelah direbus)
Kacang tanah
(Arachis hypogaea
L)
Leguminoceae
Kedelai
(Glycine max L)
Leguminoceae
Padi
(Oryza sativa)
Gramineae
Sagu (Metroxylem
sagu Rottb)
Arecaceae
M. Tufaila
Batangnya mengandung
karbohidrat, merupakan
bahan baku industri
tepung sagu
Sitti Leomo
Syamsu Alam
61
Tabel 8. Lanjutan
Jenis Tanaman
Pemanfaatan
Keterangan
Sorgum (Sorguhm
bicolor Moench)
Gramineae
Nama lain : cantel
(jawa).
Bijinya merupakan
bahan makanan dan
pakan ternak. Daunnya
untuk pakan ternak
dan pupuk hijau.
Singkong
(Manihot
esculenta Crantz)
Eurphorbiaceae
Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
dan bahan baku industri
tapioka. Daunnya dapat
digunakan sebagai
sayuran.
Buahnya digunakan
sebagai bahan pangan.
Berupa tanaman pohon.
Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan.
Sukun
(Artocarpus
communis Forst)
Moraceae
Ubi jalar (Ipomeoa
batatas L.)
Convulvulaceae
Yam/Uwi
(Dioscorea spp)
Diocoreaceae
Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
(setelah direbus)
b. Tanaman perkebunan
Tanaman perkebunan adalah tanaman yang umumnya
diusahakan oleh perusahaan perkebunan dalam skala luas. Pada
kenyataannya, tanaman perkebunan juga banyak diusahakan oleh
rakyat, tetapi produksinya dipasarkan ke perusahaan untuk diproses
lebih lanjut. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di lahan
gambut diantaranya adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Hal yang
perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut
adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai
ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
62
Kelapa (Cocos
nucifera L.)
Arecaceae/Palmae
Tebu (Saccarum
officinarum L.)
Gramineae
Pemanfaatan
Keterangan
Daging buahnya
digunakan sebagai
bahan sayur, bahan
baku kopra dan industri
minyak kelapa.
Bijinya sebagai bahan
baku industri minuman
(kopi).
Batangnya digunakan
sebagai bahan baku
industri gula pasir, atau
bahan pembuatan
minuman.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
63
Tabel 9. Lanjutan
Jenis Tanaman
Teh (Cemellia
sinensis L.)
Theaceae
Pemanfaatan
Keterangan
c. Tanaman sayuran
Tanaman sayuran adalah tanaman yang produksinya biasa
dikonsumsi manusia sebagai sayuran. Sebagian besar tanaman sayuran
tergolong semusim. Sebagian sayuran juga diproduksi oleh tanaman
tahunan, diantaranya adalah keluwih dan petai. Bagian yang digunakan
untuk sayuran berupa batang, daun, atau buah. Jenis sayuran yang dapat
diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut
Jenis Tanaman
Pemanfaatan
Bawang merah
(Allium
asculonicum)
Liliaceae
Umbinya digunakan
untuk bumbu sayur.
Bawang daun
(Allium
sp) Liliaceae
Bawang kucai
(Allium
odorum L.)
Liliaceae
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal yang diberi kapur hingga
pH lebih dari 4,5 dan berdrainase
baik tetapi tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui umbi.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal, berdrainase baik, dan
diberi kapur atau abu dan pupuk
kandang hingga pH lebih dari 4,5.
Tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui stek tunas/
anakan.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal, berdrainase baik, dan
diberi kapur atau abu dan pupuk
kandang hingga pH lebih dari 4,5.
Tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui biji, stek
tunas/ anakan.
Syamsu Alam
64
Pemanfaatan
Bayam
(Amaranthus
hybridus L.)
Amaranthaceae
Cabe merah
(Capsicum annum
L.)
Solanaceae
Cabe rawit
(Capsicum
frutescens L.)
Solanaceae
Buahnya sangat
pedas, digunakan
untuk bumbu sayuran
Kacang panjang
(Vigna sinensis
L.)
Papilionaceae
Katuk (Sauropus
androgynus
Blume.)
Euphorbiaceae
Kemangi
(Ocimum
amecanum L.)
Lamiacae
Kenikir (Cosmos
caudatus HBK)
Asteraceae
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, agak
toleran terhadap pH rendah dan air
tanah yang dangkal. Ditanam
menggunakan benih/biji.
Merupakan tanaman herbal
semusim, tumbuh baik di gambut
dangkal hingga sedang yang
berdrainase baik, kurang toleran
pada pH rendah. Tanaman ini
memerlukan pupuk yang cukup
banyak untuk berproduksi dengan
baik. Diperbanyak dengan benih/
biji.
Merupakan herbal tahunan, tumbuh
baik di gambut dangkal hingga
sedang yang berdrainase baik,
toleran pada pH rendah.
Diperbanyak dengan benih/biji.
Tanaman herba merambat atau
tegak. Tumbuh baik di gambut
dangkal atau sedang yang
berdrainase baik serta diberi abu
dan pupuk kandang. Diperbanyak
dengan benih/biji.
Tanaman perdu yang umumnya
dibudidayakan di pekarangan untuk
konsumsi sendiri atau dipasarkan
terbatas. Ditanam menggunakan
stek batang, dipanen dengan
memangkas pucuk batang.
Tanaman perdu tahunan, tumbuh di
gambut dangkal hingga dalam,
biasanya dibudidayakan dalam
skala terbatas. Dibiakkan dengan
benih.
Tanaman herba, tumbuh pada
gambut dangkal hingga sedang
yang beraerasi baik. Dibiakkan
dengan benih.
Syamsu Alam
65
Pemanfaatan
Kubis (Brassica
oleraceae L.)
Brassicaceae
Daunnya digunakan
sebagai bahan sayuran
Labu, waluh
(Cucurbita
moscata Duch.
Labu siem, timun,
labu air, gambas,
pare, blewah)
Cucurbitaceae
Lobak (Raphanus
sativus L.)
Umbelliferae
Buahnya digunakan
untuk sayuran (labu
siem, timun, labu air,
gambas, pare), sumber
karbohidrat (waluh
/labu parang), bahan
minuman (blewah)
Umbi akar dan daunnya
digunakan untuk
sayuran
Pakis (Pleopeltis
longistema
Moore)
Polipodiaceae
Petai (Parkia
spesiosa Hassk.)
Mimosaceae/
Leguminoceae
Daun muda
digunakan untuk
sayuran
Petsai (Brassica
chinensis)
Brassicaceae
Ranti (Solanum
nigrum L.)
Solanaceae
Seledri (Apium
gravuiolens L.)
Umbelliferae
Buahnya digunakan
untuk sayuran
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal yang berdrainase baik,
tidak toleran terhadap pH rendah.
Biasanya tumbuh baik di dataran
tinggi. Varietas KK Cross dan KY
Cross tumbuh baik di dataran
rendah (100-200 m dpl) tetapi
hasilnya tidak sebaik di dataran
tinggi. Ditanam dengan
menggunakan benih.
Tumbuhan herba merambat,
tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tumbuh baik pada tanah lembab
yang berdrainase baik,
membutuhkan pupuk dan kapur.
Diperbanyak dengan benih yang
diproduksi di dataran tinggi.
Banyak tumbuh di hutan rawa-rawa
gambut, baik gambut dangkal
maupun dalam.
Tanaman tahunan berbentuk pohon,
tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga sedang, toleran
terhadap pH rendah, dan air tanah
lebih dari 40 cm.
Tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih.
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga sedang yang diberi
kapur dan pupuk. Dibiakkan dengan
benih.
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga dalam yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Diperbanyak
melalui benih.
Syamsu Alam
66
Pemanfaatan
Keterangan
Selada (Lactuca
sativa L.)
Brassicaceae
Terong (Solanum
melongena L.)
Solanaceae
Buahnya digunakan
sebagai bahan
sayuran
Tomat
(Lycopersicon
esculentum Mill.)
Solanaceae
Buahnya digunakan
untuk sayuran atau
bahan baku
pembuatan saus
d. Tanaman buah-buahan
Tanaman buah-buahan adalah tanaman yang menghasilkan buah
untuk dikonsumsi manusia dalam keadaan segar atau diolah terlebih
dahulu, sebagai sumber vitamin dan serat. Dalam kelompok ini, terdapat
tanaman buah sebanyak 22 jenis. Sebagian besar tanaman tersebut
merupakan tanaman tahunan, dan hanya tiga jenis yaitu nenas, melon
dan semangka yang merupakan tanaman semusim. Jenis tanaman buahbuahan yang diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut
Jenis Tanaman
Alpukat (Persea
amecicana
Miller)
Lauraceae
Pemanfaatan
Buahnya mengandung
banyak lemak, protein,
dan mineral; dapat
dikonsumsi dalam
bentuk segar atau
sebagai bahan baku
industri kosmetika.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Tahan pada pH rendah hingga 4,
membutuhkan kelembaban tanah
tinggi tetapi peka terhadap
genangan. Umumnya tidak
dibudidayakan secara intensif,
tetapi responsif terhadap
pemupukan N, P,K dan pupuk
mikro.
Syamsu Alam
67
Delima (Punica
granatum L.)
Punicaceae
Duku (Lansium
domesticum Corr)
Meliaceae
Pemanfaatan
Keterangan
Durian (Durio
Zibhethinus
domesticum
Murr)
Bombacaceae
Buahnya dikonsumsi
sebagai buah segar atau
bahan baku industri
makanan (dibuat
lempok) dan sele.
Gandaria (Bouea
macrophylla
Griff.)
Anacardiaceae
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.
Jambu air
(Syzigium aqueum
Merr & Perry)
Myrtaceae
Jambu biji
(Psidium guajava
L.) Myrtaceae
Kedondong
(Spondias
cytherea SONN.)
Anacardiaceae
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
68
Pemanfaatan
Mangga
(Mangifera Spp)
Anacardiaceae
Manggis
(Garcinia
mangostana L.)
Guttiferaceae
Melinjo (Gnetum
gnemon L.)
Gnetaceae
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.
Melon (Cucumis
melo L.)
Cucurbitaceae
Nenas (Ananas
comosus Merr.)
Bromeliaceae
Buahnya digunakan
sebagai buah segar,
buah kaleng, ataubahan
baku industri makanan
(dibuat sele).
Nangka
(Artocarpus
heterophyllus
Lam.) Moraceae
Buah matang
digunakan sebagai
buah segar. Buah
muda digunakan
sebagai bahan sayuran.
Bijinya dapat direbus
dan dikonsumsi.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Mangga umumnya menghendaki
bulan kering lebih dari 3 bulan. Di
daerah dengan bulan basah yang
panjang, banyak terdapat Mangga
bancang dan kuweni yang rasanya
asam. Tumbuh baik pada gambut
dangkal, berdrainase baik dan
kurang tahan pH rendah. Di
Kalimantan Selatan dan Tengah,
Mangga kesturi sangat umum
dijumpai tumbuh di lahan gambut.
Banyak terdapat di hutan alami
tetapi juga dibudiayakan secara
tidak intensif.
Tumbuh baik pada gambut dangkal
hingga sedang yang diberi pupuk
dan kapur.
Tumbuhan herba menjalar, tumbuh
baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal hingga dalam yang
berdrainase baik, relatif toleran
terhadap pH rendah. Dibudidayakan
secara intensif atau non intensif.
Rekomendasi pemupukan per
hektar 45 - 80 kg N, 45 - 80 kg
P2O5, 80 - 120 kg K2O. Pada
gambut dalam, perlu tambahan
pupuk mikro.
Biasanya tidak dibudidayakan
secara intensif, untuk konsumsi
sendiri atau dijual. Tumbuh baik di
gambut dangkal hingga sedang
yang berdrainase baik. Pada gambut
dalam, mudah tumbang.
Diperbanyak dengan biji.
Syamsu Alam
69
Rambutan
(Nephelium
lappaceum L.)
Sapindaceae
Salak (Salacca
edulis Reinw)
Palmae
Sawo (Manilkara
achras Fosberg)
Sapotaceae
Semangka
(Citrullus
vulgaris
Schrad)
Cucurbitaceae
Pemanfaatan
Buah muda dan daun
untuk sayuran. Buah
matang untuk buah
segar. Batang dan
daunnya mengandung
papain dapat sebagai
bahan baku industri
kosmetik.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar atau
dikalengkan.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.
Buah dapat dimakan
dalam bentuk segar.
Getahnya dapat disadap
seperti karet, dan
digunakan untuk bahan
baku pembuatan
permen karet.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.
Sirsak (Anona
muricata L.)
Anonaceae
M. Tufaila
Sitti Leomo
Keterangan
Agak toleran terhadap pH rendah
dan gambut sedang, tetapi tidak
tahan air tanah dangkal.
Diperbanyak dengan biji yang
ditanam langsung atau disemaikan
terlebih dahulu.
Syamsu Alam
70
e. Tanaman lainnya
Tanaman lainnya yang dapat diusahakan di lahan gambut
seperti:
(1) Tanaman rempah dan minyak aksiri : cengkeh, jahe, kayu manis,
kunyit, kencur, mint, nila, pala, pinang, lada, serai, dan temu lawak.
(2) Tanaman serat : kapas, pisang abaka, agave, rami, kapuk randu,
kenaf, dan rosela.
(3) Tanaman bunga matahari, jarak, jelutung, kesumba, mengkudu,
meranti rawa, pulai, rengas manuk, belangeran, ramin, sungkai,
kemiri, rotan, murbei, lantoro, turi, saga, pacar kuku, purun tikus,
dan sengon.
Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut
sebagaimana disajikan pada Gambar 13.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
71
VI
Sitti Leomo
Syamsu Alam
72
hektar di pulau Kalimantan, dan 625 ribu hektar di pulau Papua. Hasil
survei yang dilakukan oleh PPT-Bogor tahun 1990 menyatakan bahwa
luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70 juta hektar atau 20%
dari luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari luas
lahan basah (Noor, 2004).
B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam
1. Pembentukan tanah sulfat masam
Tanah sulfat masam merupakan endapan marin yang dapat
dicirikan oleh salah satu atau beberapa hal berikut (Dent, 1986; Noor,
2004) : (1) bahan sulfida atau pirit, (2) lapisan (horison) sulfurik, (3)
bercak jarosit, dan (4) bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa
tertukar lainnya.
a. Bahan sulfidik (pirit)
Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. Pirit
terbentuk melalui serangkain proses kimia, geokimia, dan biokimia
secara bertahap. Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut
oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan
sebagian menjorok memasuki mintakan pasang surut. Besi yang
merupakan penyusun mineral lempung silikat dalam bahan induk tanah
bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat
dan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004).
Menurut Dent (1986) pembentukan pirit dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2)
suasana anaerob, (3) jumlah kecukupan sulfat terlarut, dan (4) kadar
besi terlarut. Bahan organik merupakan sumber energi atau makanan
bagi mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan
reduksi oksida pada tanah sulfat masam. Suasana anaerob merupakan
kondisi alami dari lahan rawa umumnya. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya proses reduksi sulfat (SO42-) menjadi sulfida (H2S) dan ferri
(Fe3+) oleh bakteri pereduksi Desulfovibrio sp. dan Desulfotomaculum
sp. pada kondisi redoks (Eh) antara 200-300mV. Reaksi keseluruhan
pembentukan pirit adalah :
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
73
FeS2
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
74
4/3 SO42- + 3 H+
d. Bahan penetral karbonat atau basa-basa tertukar
Senyawa karbonat, basa-basa tertukar, dan mineral silikat yang
mudah lapuk sangat penting sebagai sumber penetral kemasaman pada
lahan sulfat masam yang dihasilkan oleh oksida pirit. Keragaman
jumlah dan susunan senyawa penetral ini dipengaruhi oleh mintakan
iklim. Kandungan penetral berupa karbonat yang berada dalam
mintakan iklim sedang, semiarid dan arid lebih besar sampai >15%
dibandingkan yang berada dalam lingkungan air tawar dan payau di
mintakan iklim tropika basah. Hal inilah yang menyebabkan tanah sulfat
masam di kawasan tropika bersifat masam, sedangkan di kawasan iklim
sedang cenderung bersifat netral. Menurut Driessen dan
Soepraptohardjo (1974) adanya mineral hijau seperti khlorit dan
glaukopit yang cukup tinggi di beberapa daerah seperti di Sulawesi dan
Papua telah mencegah terbentuknya tanah sulfat masam.
2. Klasifikasi tanah sulfat masam
Sebagian besar lahan sulfat masam di Indonesia berada di
wilayah pasang surut. Berdasarkan tipe luapannya, lahan sulfat masam
dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe A, B, C, dan D (Widjaya-Adhi,
1986) sebagaimana disajikan pada Tabel 12.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
75
Tabel 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa
pasang surut
No.
Karakteristik
Tipe Luapan
1.
Tipe A
2.
Tipe B
3.
Tipe C
4.
Tipe D
Tanah
sulfat
masam
berdasarkan
karakteristiknya
dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) tanah sulfat masam potensial dan
(2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial
(sulfaquent) dicirikan antara lain lapisan pirit pada jeluk >50 cm dari
permukaan tanah, berwarna kelabu, masih mentah (n > 0,7) dan
kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Tanah sulfat masam
potensial menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam
Typic / Haplic / Thapto-Histic Sulfaquents, Typic / Aeric Hydraquents /
Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts atau Sulfic Hydraquents /
Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts. Tanah sulfat masam aktual
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
76
Jeluk pirit*)
(cm)
< 50
1.
Aluvial bersulfida
dangkal
2.
Aluvial
bersulfida
dalam
Aluvial
bersulfida
sangat dalam
50-100
4.
Aluvial bersulfat-1
< 100
5.
Aluvial bersulfat-2
< 100
6.
Aluvial bersulfat-3
> 100
3.
*)
Tipologi lahan
> 100
Kondisi
Menunjukkan adanya
bahan sulfida/pirit, pH
3,5-4,0.
Menunjukkan adanya
bahan sulfida, pH >4,0.
Menunjukkan adanya
bahan sulfida, pH >4,04,5.
Belum ada ciri horison
sulfurik, pH > 3,5 dan
tanpak bercak pirit.
Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.
Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
77
Sitti Leomo
Syamsu Alam
78
tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al, Fe, dan Mn
dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K. Kemasaman yang tinggi
di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap peningkatan kelarutan Al, Fe, asam-asam organik, dan diiringi dengan kahat P,
Cu, dan Zn. Lahan sulfat masam yang terletak dengan muara sungai
atau pesisir pantai umumnya mengandung salinitas tinggi. Kelarutan
sulfat yang dihasilkan dari oksida pirit pada lahan yang telah
direklamasi akan diikuti oleh peningkatan salinitas (Noor, 2004).
Kadar Al pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi
pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral
alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih
banyak (Notohadiprawiro, 1998). Kelarutan Al tanah sulfat masam
selain dalam bentuk kation yang dapat tukar (Al3+), juga dalam bentuk
koloidal sebagai hidroksil atau basic sulfat. Kadar Al meningkat pada
pH 4,0-4,5 (Dent, 1986). Hasil penelitian Breemenn (1976)
menunjukkan aktivitas Al3+ meningkat hampir 10 kali lipat dengan
penurunan satuan unit pH.
Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan
masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe 2+) yang menyebabkan keracunan
bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Kadar Fe 2+ dan
Mn2+ pada tanah sulfat masam tergenang (tereduksi) mempunyai
kisaran sangat lebar antara 0,007 sampai 6.600 ppm Fe dan 1 sampai
100 ppm Mn. Kadar Fe2+ dipengaruhi oleh pH, bahan organik, kadar
Fe3+, dan reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma, 1977). Pada tanah sulfat
masam tua sebagian berubah bentuk menjadi mudah teroksidasi menjadi
besi bermartabat tiga atau ferri (Fe 3+) yang menimbulakn kerak karatan
pada permukaan tanah.
Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat
menimbulkan keracunan, terutama pada padi dengan kondisi tanah
tergenang. Keracunan H2S berasosiasi dengan kadar bahan organik
tinggi dan besi rendah. Bakteri pereduksi sulfat tidak bekerja pada
kondisi masam sehingga keracunan H2S hanya muncul apabila
penggenangan menaikan pH mencapai 5 (Dent, 1986).
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
79
Sitti Leomo
Syamsu Alam
80
Gambar 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem
aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)
2) Bagian muara saluran drainese tersier (yang berhubungan dengan
saluran kuarter) diberi pintu stoplog yang bisa diputar dan diatur
menjadi dua posisi. Posisi pertama, pintu hanya bisa membuka keluar
sehingga air drainase dapat keluar tetapi air pasang tidak dapat
masuk. Posisi ini diperlukan pada musim hujan terutama pada pasang
besar sehingga kelebihan air harus dikeluarkan. Posisi kedua,
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
81
diperoleh bila pintu diputar. Pada posisi ini, pintu akan menutup
sehingga air bisa ditahan di dalam lahan. Posisi ini diambil ketika
musim kemarau atau musim pasang kecil. Alternatif lainnya
menggunakan pintu otomatis yang membuka ketika surut dan
menutup ketika pasang. Pintu air otomatis pada saluran drainase
tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 15.
Gambar 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam
sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)
Sitti Leomo
Syamsu Alam
82
Sitti Leomo
Syamsu Alam
83
Sitti Leomo
Syamsu Alam
84
Sitti Leomo
Syamsu Alam
85
Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka fotoperiod. Sifat padi lokal
ini disenangi petani karena antara lain (1) mudah mendapatkan bibitnya
karena petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya
dari panen sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa
nasi yang pera (karau) banyak disenangi oleh masyarakat setempat
seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Aceh,
dan Biak, (3) memerlukan pupuk sedikit bahkan jarang dan
pemeliharaan mini antara lain penyiangan hanya seadanya, (4) tidak
mudah rontok, berdaun lebar dan terkulai, menyebabkan hama burung
pipit sukar bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbih lebih tinggi (140170 cm) sehingga memudahkan memanen. Panen umumnya masih
menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produktivitas padi varietas lokal
ini rata-rata hanya mencapai 2-3 ton gabah keringgiling per hektar
dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 2004).
Adapun padi varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR 50, IR
64, IR 66 dan sejenisnya kurang disenangi petani lokal rawa karena
selain sukar dipasarkan (harga lebih murah) juga dikenal manja karena
memerlukan pupuk nisbih lebih banyak dan perawatan lebih intensif
termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak dibandingkan
varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas
unggul instroduksi memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan poduktivitas
lebih tinggi (4,5-5,5 ton.ha-1) (Noor, 2004).
Beberapa hasil penyaringan dan seleksi khususnya tanamn
pangan (padi dan palawija) telah mendapatkan varietas-varietas padi
unggul baru spesifik lahan sulfat masam yang sudah dilepas ke petani.
Varietas padi unggul rawa yang sudah dilepas melebihi 18 varietas.
Varietas Margasari dan Martapura merupakan hasil persilangan antara
varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas
unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) menunjukkan preferensi rasa
sedang dan hasil nisbi tinggi dibandingkan varietas lokal pada
umumnya.
Varietas kedelai yang dilepas untuk lahan pasan surut yaitu
varietas Lawit dan Manyapa dengan rata-rata umur 82 hari dan hasil
sekitar 2,0-2,4 ton biji kering per hektar. Varietas unggul jagung untuk
lahan pasang surut yaitu varietas Sukmaraga dan Padmaraga dengan
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
86
rata-rata umur 90 hari dan hasil 4,0-5,0 ton pipilan kering per hektar.
Berikut disajikan jenis dan varietas tanaman palawija, sayur, buahbuahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
(Balitra, 2003) sebagimana disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan
tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
Jenis tanamn
Varietas
M. Tufaila
Sitti Leomo
Ketahanan
Hasil
(ton.ha-1)
Sedang
4,0-5,0
Sedang
1,5-2,4
Tahan
1,8-3,5
Tahan
Tahan
Tahan
1,5
13-25
14-25
Sedang
10-15
Sedang
4-6
Tahan
30-40
Sedang
Tahan
20-25
15-28
Sedang
6-8
Sedang
Sedang
34-40
4-8
Tahan
15-20
Sedang
Sedang
12-15
10-12
Syamsu Alam
87
Varietas
Sedang
Sedang
Tahan
Sedang
Hasil
(ton.ha-1)
25-30
15-25
40
12-30
Sedang
Sedang
Tahan
Tahan
Tahan
3-4
20-24
2,5-4,1
19
1,7-2,0
Ketahanan
Kangkung
LP-1, LP-2, dan Sutera
Semangka
Sugar Baby dan New Dragon
Nenas
Madu, Bangk, dan Paun
Pepaya
Tanaman Industri
Lada
Petaling-I, Petaling-II, dan LDK
Jahe
Merah
Kelapa
Dalam Riau
Kelapa sawit
Kopi
Exelsa dan Arabika
Sumber : Balitra (2003)
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
88
DAFTAR PUSTAKA
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
89
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
90
Sitti Leomo
Syamsu Alam
91
Sitti Leomo
Syamsu Alam
92
Sitti Leomo
Syamsu Alam
93
Moormann, E.N. and N.V. Breemen, 1976. Rice, soil, water and land.
IRRI. Philippines.
Moore, W.G., 1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books
Ltd. Harmondsworth.
Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar
Tani.
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai, 1991.
Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia.
Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May
1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005.
Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian
berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Nelson, A. , and K.D. Nelson, 1973. Dictionary of water and water
engineering. The Butterworth Group. London.
Nelvia, 2009. Kandungan fosfor tanaman padi dan emisi karbon tanah
gambut yang diaplikasi dengan amelioran Fe3+ dan fosfat alam
pada beberapa tingkat pemberian air. J. Tanah Trop. 14(3):195204.
Noor, M., 2001. Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit
Kanisius. Jakarta.
Noor, A., 2013. Teknologi budidaya di lahan pasang surut. BPTP
Kalimantan Selatan. http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/
index.php?option=com_content&view=article&id=81:tanaman&
catid=4:info-aktual (Diakses tanggak 7 September 2014).
Noor, M., 2004. Lahan rawa : sifat dan pengelolaan tanah bermasalah
sulfat masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia:
Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya. Lokakarya
Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija
SFCDPUSAID. Bogor.
Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
94
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
95
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
96
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
97
Tie, Y.L. and J.S. Esterle, 1991. Formation of lowland peat domes in
Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical
Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tie, Y.L. and J.S. Lim, 1991. Characteristics and classification of
organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on
tropical peatland. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah
dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan
Tengah. IPB. Bogor.
Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011.
Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for
extensification of oil palm in Langgikima, North Konawe,
Southeast Sulawesi. J. Agrivita 33 (1):93-102.
Tufaila, M., Yusrina dan S. Alam, 2014a. Pengaruh pupuk bokasi
kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah
pada ultisol Puosu Jaya Kecamatan Konda, Konawe Selatan.
Agroteknos 4(1):18-25.
Tufaila, M., Dewi D. L., dan S. Alam, 2014b. Aplikasi kompos kotoran
ayam untuk meningkatkan hasil tanaman mentimum (Cucumis
sativus L.) di tanah masam. Agroteknos 4(2): 119 - 126.
Van der Heide, J., S. Setijono, E.N. Syekhfani, Flach, K. Hairiah, S.
Ismunandar, S.M. Sitompul, M. Van Noordwijk, 1992. Can low
external input cropping systems on acid upland soils in the humid
tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen
management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan,
Kotabumi N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia).Agrivita 15:1-10.
Waston, G., and M. Willis, 1985. Famers local and traditional rice crop
protection techniques: some examples from coastal swamps,
Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7) 1&2:25-30.
Widjaja-Adhi, I P.G., 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan
lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama,
1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan
pemanfaatannya. In Partohardhono dan M. Syam (Ed.).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut
dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
98
M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam
99
INDEKS
A
abu, 56, 58, 63, 64, 77
Aceh, 40, 85
Adat istiadat, 8
Aeric Hydraquents, 75
aerob, 23, 73
Agak kering, 11
agave, 70
agen hayati, 35
agregasi, 26, 32
agregat, 32, 35
agroekologi, 7, 9, 10, 11, 12, 14,
88
Agroforestri, 12
agroindustri, 5
air limpasan, 29
air tanah, 32
akar, 25, 26, 29, 34, 41, 46, 61,
65, 77
alami, 4, 7, 23, 32, 47, 68, 72
aliran limpas, 25, 29
aliran masa, 25
alley cropping, 28
Alpukat, 66
aluvial bersulfat-1, 76
aluvial bersulfat-2, 76
aluvial bersulfat-3, 76
aluvial bersulfida, 76
amelioran, 48, 56, 57, 58, 82,
83, 91, 93, 95, 96
ameliorasi, 36, 56
amonium acetat, 47
amonium klorida, 48
anaerob, 72, 73
ani-ani, 85
M. Tufaila
Anjasmara, 34
anorganik, 2, 31, 37, 92
APBN, 1
Argomulyo, 34
arid, 22, 23, 74, 88
asam, 41, 48, 50, 56, 58, 60, 61,
68, 71, 73, 78, 82, 95
asam organik, 41, 48, 56, 82
Aspergillus, 35
asumsi, 18, 21
atmosfer, 27
Azospirillum, 34
Azotobacter, 34, 35
B
Bacillus, 35
back swamp, 39
bahan induk, 72
bahan organik, 25, 31, 32, 34,
40, 41, 83
bahan sulfida, 20, 71, 72, 76
bakteri, 35, 72
Baluran, 34
banjir, 4, 20, 21, 23, 49, 50
basic sulfat, 78
basis, 9
batuan fosfat, 35
Bawang daun, 63
Bawang kucai, 63
Bawang merah, 1, 63, 84, 86, 98
Bayam, 64, 86
Bayar, 84
belangeran, 70
Belimbing, 67
Bengkoang, 59, 60
Sitti Leomo
Syamsu Alam
100
cengkeh, 70
class, 15
cokelat, 84
comprehensive, 26
C-organik, 39
Crotalaria juncea, 37, 92
cuaca, 23, 25
cukup sesuai, 16
curah hujan, 11, 17, 18, 23, 41
current suitability, 18
D
daging sapi, 1
dangkal, 12, 23, 24, 25, 43, 44,
47, 55, 60, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 76
datar, 10
daya dukung, 4, 62
daya sanggah, 25
Daya semat, 25
Daya simpan, 25
debu, 26, 32
degradasi, 26, 33
dehidrasi, 41
dekomposisi, 40, 45, 46, 56
Delima, 67
dependent charge, 47
Desulfotomaculum sp., 72
Desulfovibrio sp., 72
difusi, 25, 26
dikhelat, 57
diperbaharui, 4, 5
disosiasi, 47
ditransformasikan, 29
diversifikasi, 5, 6
dolomit, 83
drainase tanah, 13
dry farming, 22
dryland, 22, 88, 89
dryland farming, 22
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Duku, 67
Durian, 67
Flufaquents, 76
Fluvaquents, 75
fosfat, 25, 34, 35, 57, 83, 90, 91,
93
fosfat alam, 35, 57
fotoperiod, 85
fungi, 35
Fungus, 35
E
efektivitas, 25, 34
efisiensi usahatani, 27
ekologi, 4, 26
ekonomi, 3, 4, 14, 18, 19, 27,
28, 56, 58, 60, 61
ekosistem, 4, 33, 36, 40
ekstensifikasi, 13
emisi, 6, 56, 93
endapan lumpur, 79
Endoaquents, 75
Endoaquepts, 75
entisol, 77
erosi, 5, 6, 20, 24, 25, 26, 29,
31, 32, 33, 35, 46, 51
eutropik, 47
evaluasi, 14, 15, 17, 90, 94
evaporasi, 23, 29, 41
evapotranspirasi, 82
F
fauna, 32, 33, 35
fenol, 47
fero sulfat, 73
ferri (Fe3+), 72, 78
fibrik (mentah), 42, 43
fiksasi, 34
fisik, 2, 3, 7, 10, 11, 24, 26, 34,
36, 41, 45, 77
fisika, 3
fisikokimia, 2, 26
fisiografi, 10, 13, 23
fisiokimiawi, 25
flapgate, 52, 80
fleksibel, 14
flora, 32, 33
M. Tufaila
101
gagal panen, 5
Galunggung, 34, 86
gambut, 12, 20, 39, 40, 41, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 77,
79, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
98
Gambut pantai, 43
Gambut pedalaman, 43
Gambut transisi, 44
gambut tropika, 39
Gandaria, 67
Ganyong, 60
garam, 12, 50
Garut, 34
Gembili, 60
gempa bumi, 4
genangan, 4, 49, 60, 61, 66, 84
geokimia, 72
geologi, 7, 10, 13
geologis, 4
Gepak Kuning, 34
glaukopit, 74
granit, 49
Grobogan, 34
gulma, 5, 6, 31, 82
gunung berapi, 4
Sitti Leomo
Syamsu Alam
H
hama, 5, 6, 31, 85
Haplic, 75
hara, 5, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34,
36, 37, 39, 48, 50, 56, 57, 58,
82, 83
hara mikro, 25, 34
hayati, 4, 31, 33, 34, 35, 36, 37,
84
hemik (setengah matang), 42,
43
hemiselulosa, 47
hidroksil, 47, 78
hidrologi, 2, 7, 13, 14, 49
hifa, 34
hilir, 54, 55
histosols, 42
holosin, 40
horison, 25, 72, 73, 76
Hortikultura, 12
hujan efektif, 29
humifikasi, 24
humus, 41
hutan, 5, 13, 24, 39, 40, 58, 59,
65, 68, 69, 92
hutan lindung, 13, 24
hutan sempadan, 24
hutantani, 28
hydronium jarosit, 74
I
identitas sosial, 4
Ijen, 34
ikatan koordinasi, 48
iklim, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 22,
23, 28, 41, 74, 88, 98
impor, 6
improved management, 19
M. Tufaila
102
inceptisol, 73, 77
indikator, 35, 45
industri, 5, 6, 35, 37, 60, 61, 62,
66, 67, 68, 69, 86, 96
infiltrasi, 26, 29
inkonvesional, 27
inokulan, 34
inovasi, 3
input, 4, 5, 10, 97
insektisida, 85
integritas, 4
intensifikasi, 13
intensitas, 14, 15, 17, 24, 85
intesif, 58
introduksi, 85
irigasi, 20, 23, 51, 53, 54, 55,
79, 80, 82
isohipertermik, 11
isotermik, 11
J
jagung, 57, 59, 60, 85, 86, 92
jahe, 70, 87
Jambu air, 67
Jambu biji, 67
jarak, 53, 55, 70, 82
jaringan, 50, 62
jarosit, 71, 72, 73, 74
jasad, 26, 31, 34, 35, 36
jasad renik, 26, 34, 35, 36
Jeluk, 25, 76
Jeluk efektif, 26
jeluk mampan, 29
jelutung, 70
jenis mineral, 46
jenis unggul, 26
jenuh air, 23, 39
jerosit, 73
Sitti Leomo
Syamsu Alam
K
Kacang hijau, 86
Kacang panjang, 64, 86
Kacang tanah, 86
kahat, 57, 78, 82
Kalimantan, 39, 40, 41, 47, 50,
68, 69, 72, 85, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 97
kapas, 70
kapasitas jerapan, 48
kapasitas lapang, 23, 57
kapital, 4
kapuk randu, 70
kapur, 20, 26, 58, 63, 65, 67, 68,
69, 83, 84
karakteristik lahan, 7, 13, 14, 17
karboksilat, 47
karbonat, 72, 74
karet, 61, 62, 69, 84
kation, 25, 31, 47, 48, 56, 57, 78
katteklei, 71
Katuk, 64
kawasan, 7, 8, 9, 13, 23, 24, 39,
48, 50, 71, 74, 84
kawasan lindung, 9
kayu manis, 70
keanekaragaman hayati, 4
kearifan, 5
kebakaran, 4, 50
kebijaksanaan, 7, 8, 9, 14
kecocokan, 14
kedalaman, 35, 41, 42, 46, 50,
55, 67, 82
kedaulatan pangan, 1
kedelai, 1, 33, 34, 35, 59, 60,
85, 86, 91, 92, 94
Kedondong, 67
kehutanan, 12, 48
kejenuhan basa (KB), 47
kekahatan, 26, 31
M. Tufaila
103
Sitti Leomo
Syamsu Alam
104
Sitti Leomo
Syamsu Alam
Manggis, 68
mangrove, 12
Manyapa, 85, 86
marginal, 1, 2, 3, 4, 5, 16, 26,
27, 29, 77
masam, 6, 24, 30, 32, 36, 47,
56, 60, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85,
86, 87, 90, 93, 96, 97, 98
masukan rendah, 2
masyarakat setempat, 8, 85
melestarikan, 8
melinjo, 68
melon, 30, 66, 68, 91
memapankan (estabish), 23
mendukung, 7, 8, 10, 27, 36
menetralisir, 83
mengkelat, 83
mengkudu, 70
meranti, 70
mesotropik, 47
mikorisa, 34, 36
mikro, 36, 47, 53, 54, 57, 58,
66, 68, 79, 82
mikroorganisme, 41, 72
mineral, 29, 31, 32, 33, 36, 37,
42, 43, 45, 46, 56, 58, 66, 72,
74, 76, 77, 78, 91, 92, 95, 96
mint, 70
mobilitas sosial, 4
mulsa, 29, 30, 33
mulsa plastik, 30
murbei, 70
musim pasang, 81
musim tanam, 49, 80
mutu, 3, 28, 36, 79
N
Nangka, 68
nasional, 1, 2, 8, 15, 27, 28, 92
M. Tufaila
105
natro jarosit, 74
nenas, 66, 68, 87
neraca hara, 32, 33
Nilai n, 77
nilai tambah, 27
nitrogen, 34
non gambut, 40
non intensif, 58, 68
non-pertanian, 1
nutrient supply system, 37
O
oksidasi, 50, 71, 73, 74, 78
oligotropik, 47
ombrogen, 42, 44, 47
optimal, 14, 15, 56
optimum management, 19
order, 15
ordinary management, 19
Ordo, 15
organik, 2, 20, 24, 25, 26, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38,
39, 40, 41, 42, 47, 48, 50, 56,
57, 58, 72, 73, 77, 78, 82, 83,
90, 91, 94, 95
P
P tersedia, 17, 83
pacar kuku, 70
padi, 2, 13, 23, 35, 36, 49, 56,
57, 59, 60, 78, 83, 84, 85, 90,
93, 96, 97
Padmaraga, 85
Pakis, 65
pala, 70
palawija, 2, 23, 49, 85, 86
panas, 10
Pandak, 84
Sitti Leomo
Syamsu Alam
106
penghujan, 24
pengolahan tanah, 26, 29
pengomposan, 36
penguapan, 26, 41
Penicillium, 35
penyakit, 5, 6
Pepaya, 69, 87
pera (karau), 85
peracunan Al, Fe, dan Mn, 24,
30, 32
perambahan, 5
peraturan, 9
perbani, 75
perencanaan, 7, 9, 14, 15, 91
Perikanan, 12
Perkebunan, 12, 28
perkolasi, 25, 29, 30
perluasan lahan, 1
permanen, 16, 18, 75
permeabilitas, 35, 77
perombakan, 24, 26, 83
persiapan, 10
pertanaman lorong, 32
pertanian, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 12,
13, 15, 19, 22, 23, 24, 26, 27,
28, 29, 30, 36, 37, 38, 39, 40,
56, 70, 77, 84, 87, 88, 90, 91,
93, 94, 95, 96, 97, 98
pestisida, 4, 28, 31, 85
peta, 9, 10, 13, 14, 15, 18
petai, 63, 65
petani, 5, 19, 31, 35, 38, 50, 53,
82, 84, 85, 91
Petek, 34
petrokimia, 35
Petsai, 65
pH, 18, 20, 21, 24, 25, 47, 56,
57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66,
68, 69, 71, 73, 75, 76, 77, 78,
79, 83, 84
Sitti Leomo
Syamsu Alam
piasan, 27, 29
pinang, 70
pintu otomatis, 81
pirit, 50, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
77, 78, 82, 83
pisang abaka, 70
polivalen, 48, 56, 57
posisi pembentukannya, 42
potensi, 1, 3, 27, 38, 47, 56, 73,
83, 88, 91, 93, 97
potensial, 7, 18, 19, 20, 21, 23,
73, 75, 77, 96, 98
potential suitability, 19
precipitation, 23
present land use, 13
primer, 52, 82
produksi, 1, 2, 4, 5, 6, 10, 15,
16, 19, 27, 30, 31, 33, 35, 40,
48, 56, 96, 97
produktif, 1, 3, 5, 15, 33
produktivitas, 5, 8, 19, 31, 32,
82, 85, 91, 92, 95, 96, 97
protein, 47, 59, 64, 66
provinsi, 8, 15, 39
Pseudomonas, 35
pulai, 70
pupuk, 4, 26, 28, 30, 31, 33, 34,
35, 36, 37, 56, 57, 58, 61, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84,
85, 91, 92, 96, 97
pupuk anorganik, 37
pupuk hayati, 34, 36, 37
pupuk hijau, 31, 33, 37, 61, 92
pupuk kandang, 31, 37, 56, 63,
64, 92
pupuk mineral, 37
pupuk organik, 32, 36, 37
purnama, 75
purun tikus, 70
M. Tufaila
107
R
radio isotop, 41
rainfed farming, 22
ramah, 4
rambutan, 69, 84
rami, 70
ramin, 70
Ranti, 65
rasional, 56
rawa, 3, 23, 27, 39, 49, 50, 65,
70, 72, 75, 84, 85, 88, 92, 93,
95, 96, 97, 98
realistik, 14
Reconnaissance, 15
redoks, 72, 73
reduksi, 72, 78, 83, 84
Regim suhu, 11
rehabilitasi, 13
rekayasa, 2, 27
reklamasi, 50, 78
relief, 11, 13
renewable resources, 4
rengas manuk, 70
rentan, 2, 25, 26
resin, 47
restorasi, 49
rhizobium, 34, 35, 36, 94
rosela, 70
rotan, 70
RTRW, 9
rumusan, 7
S
saga, 70
sagu, 59, 60
Salak, 69
salinitas, 62, 78, 84
saluran cacing, 55, 82
saluran kolektor, 55
Sitti Leomo
Syamsu Alam
sangat dalam, 76
saprik (matang), 42
Satuan kesesuaian, 15
satuan lahan, 13, 14
sawah, 1, 13, 23, 54, 55, 60, 85,
90, 97
Sawi, 86
Sawo, 69
sedang, 19, 22, 37, 43, 47, 60,
62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 74,
75, 85
sejuk, 10
sekunder, 52, 80, 82
Selada, 66, 86
Seledri, 65
selulosa, 47
semangka, 66, 69,87
semi arid, 22
semi detail, 15
seng sulfat, 57
sengon, 70
serai, 70
seratnya, 42
Serawak, 40, 90, 93, 97
serbacakup, 2, 26
sesuai, 7, 9, 10, 13, 14, 15, 16,
17, 19, 24, 26, 36, 58, 66, 67,
82
Seulawah, 34
Siam, 84, 85
Sibayak, 34
silikat, 72, 74, 78
Sinabung, 34
singkong, 59
Singkong, 61
Sirsak, 69
sistem garpu, 50, 52, 53
sistem gizi tanaman terpadu, 2,
37
sistem handil, 50, 51
M. Tufaila
108
Sitti Leomo
Syamsu Alam
109
Sitti Leomo
Syamsu Alam
unrenewable resources, 4
unsur mikro, 57
upland, 22, 23, 97
upland crop, 22
usahatani, 27, 28, 31, 33, 56
110
Yam/Uwi, 61
variabilitas, 39
varietas lokal, 84, 85
varietas unggul, 85
vegetasi, 7, 23, 44
vermicompost, 36
volume tanah, 26
W
water management, 49, 88, 89,
94
M. Tufaila
ZAE, 9, 13
zarah, 26, 32
zona, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 88
zona lahan, 7, 8, 9
zonasi, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14,
92
zonasi agroekologi, 10
zonasi lahan, 7, 8, 9, 14
Sitti Leomo
Syamsu Alam
ISBN 978-602-8161-71-8