Anda di halaman 1dari 121

STRATEGI PENGELOLAAN

LAHAN MARGINAL

Ikhtiar Mewujudkan Pertanian


Yang Berkelanjutan

M. Tufaila
Sitti Leomo
Syamsu Alam

Editor : Muhidin

Unhalu Press

STRATEGI

PENGELOLAAN TANAH MARGINAL


Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan

Penyusun

M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO

Editor

MUHIDIN

M. TUFAILA
SYAMSU ALAM
SITTI LEOMO
STRATEGI

PENGELOLAAN TANAH MARGINAL


Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan

Editor
MUHIDIN

Unhalu Press
Kendari, 2014

STRATEGI PENGELOLAAN TANAH MARGINAL :


Ikhtiar Mewujudkan Pertanian Yang Berkelanjutan
Penulis :
M. Tufaila, Syamsu Alam dan Sitti Leomo
Editor :
Muhidin
Desain Cover dan Tata Letak
La Mudi & Firmansyah Labir
Diterbitkan oleh Unhalu Press
Kampus Hijau Bumi Tridharma
Jalan H.E.A. Mokodompit, Kendari 93231
Email: unhalupress@uho.ac.id, press@uho.ac.id
Cetakan Pertama : Oktober 2014

Strategi Pengelolaan Tanah Marginal : Ikhtiar Mewujudkan


Pertanian Yang Berkelanjutan
M. Tufaila, Syamsu Alam, Sitti Leomo

xi + 110 hlm, 15,5 x 23 cm


ISBN : 978-602-8161-71-8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2
1.

Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72
1.

Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat
(1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan
dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2.

Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

iv

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Puji syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah sehingga penulis
dapat merampungkan karya buku yang berjudul Strategi Pengelolaan
Lahan Marginal : Ikhtiar Mewujudkan Pertanian yang
Berkelanjutan. Sholawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada
junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
Kerusakan sumberdaya lahan dari waktu ke waktu terus
mengalami peningkatan baik luasannya maupun tingkat kerusakannya.
Jika kondisi ini tidak segera dikelola dengan serius maka akan
berdampak buruk pada seluruh aspek kehidupan. Harapan pemenuhan
kebutuhan sumberdaya lahan yang berproduktivitas tinggi untuk
menopang kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang terus meningkat
menjadi semakin sulit untuk diwujudkan. Luas lahan yang
berproduktivitas memadai jumlahnya sangat terbatas ditambah lagi
dengan tingginya konflik kepentingan terhadap lahan tersebut sehingga
lahan yang subur menjadi barang langka. Pilihan bijak yang harus
dilakukan adalah mencari alternatif pemanfaatan lahan yang kurang
subur atau lahan marginal. Potensi lahan marginal di Indonesia sangat
tinggi diperkirakan lebih dari 100 juta hektar yang terdiri atas lahan
kering masam, lahan gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang
surut. Jika potensi lahan marginal tersebut dikelola dengan baik menjadi
lahan yang berproduktivitas memadai maka konstribusinya menjadi
sangat berarti dalam meningkatkan produksi pertanian untuk
mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Namun dalam pengelolaan
lahan marginal harus seminimal mungkin berdampak negatif terhadap
lingkungan sehingga produksi pertanian dapat diwujudkan secara
berkelanjutan.
Penulis menyadari sebagaimana ungkapan pepatah tiada gading
yang tak retak, buku ini pasti ada kekurangannya sehingga kritik dan
saran dari para pembaca sangatlah diharapkan agar tampilan berikutnya
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

vi

menjadi lebih baik. Namun demikian, penulis berharap buku ini dapat
digunakan oleh berbagai pihak sebagai sumber pengetahuan dalam
pengelolaan lahan marginal untuk mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan.
Penulis menyadari pula bahwa dalam merampungkan tulisan ini
begitu banyak pihak yang membantu. Pada kesempatan yang mulia ini,
penulis menyampaikan banyak ucapan terima kasih semoga amal baik
tersebut diberikan imbalan yang setimpal oleh Allah SWT. Semoga
buku ini dapat bermanfaat dan dapat menjadi sebagai amal ibadah
dihadapan Allah SWT. Amin.

Kendari,

September 2014

Penulis

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
II. KONSEP LAHAN MARGINAL DAN PERTANIAN
BERKELANJUTAN
A. Lahan Marginal
B. Pertanian Berkelanjutan
III. STRATEGI PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN
A. Zonasi Lahan
1. Zonasi lahan menurut LREP
2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi
3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan
B. Evaluasi Kesesuaian Lahan
1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan
2. Klasifikasi kesesuaian lahan
3. Metode evaluasi kesesuaian lahan
4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P)
IV. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING
A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering
B. Karakteristik Tanah
C. Pertanian di Lahan Kering
1. Pengelolaan air
2. Budidaya organik
V. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut
B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut
1. Pembentukan gambut
2. Klasifikasi gambut
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

v
vii
ix
x
1
3
3
4
7
7
8
9
13
14
15
15
17
18
22
22
24
27
29
30
39
39
40
40
42

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

C. Karakteristik Tanah Gambut


1. Krakteristik fisik
2. Karakteristik kimia
D. Pertanian di Lahan Gambut
1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut
2. Pengelolaan air
3. Pengelolaan kesuburan tanah
4. Jenis tanaman di lahan gambut
VI. STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SULFAT
MASAM
A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam
B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam
1. Pembentukan tanah sulfat masam
2. Klasifikasi tanah sulfat masam
C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam
1. Krakteristik fisik
2. Karakteristik kimia
D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam
1. Pengelolaan air
2. Pengelolaan kesuburan tanah
3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam
DAFTAR PUSTAKA
INDEKS

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

viii
45
45
46
48
48
49
56
58
71
71
72
72
74
77
77
78
79
79
82
84
88
99

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

ix

DAFTAR TABEL

Tabel
1.
Zona wilayah berdasarkan kelerengan
2.
Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman
Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan
3.
berdasarkan tingkat pengelolaannya
Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk
4.
menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya
5.
Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian
serta sebarannya di Indonesia
6.
Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan
lapisan, bahan di bawah gambut dan hidrologi
7.
Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada
Tanah gambut
8.
Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut
9.
Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan
gambut
10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut
11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut
12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah
rawa pasang surut
13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan
jeluk dan kondisi pirit
14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan
dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat
masam

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

12
18
20
21
40
49
58
60
62
63
66
75
76
86

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

DAFTAR GAMBAR

Gambar
1.
Penggunaan mulsa jerami (a) dan mulsa plastik (b) pada
pertanian lahan kering
2.
Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya
organik
3.
Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik
(setengah matang) (b)
4.
Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan
basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan
basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.
pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
5.
Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran
drainase
6.
Akar tanaman yang menggantung menunjukkan
Terjadinya subsiden (penurunan permukaan)
7.
Denah tata air sistem handil
8.
Pembuatan tabat pada handil
9.
Tata air sistem garpu UGM
10.
Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan
11.
Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan;
b. tampak samping)
12.
Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman
13.
Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan
gambut
14.
Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam
sistem aliran satu arah
15.
Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam
sistem aliran satu arah
16.
Denah sistem aliran satu arah
17.
Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat
masam
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

30
38
43
44

45
46
51
52
53
54
55
59
70
80
81
81
87

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

PENDAHULUAN

Jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 sekitar 237 juta jiwa dan
diperkirakan menjadi 380 juta jiwa pada tahun 2050 dengan laju
pertumbuan penduduk sekitar 1,5% per tahun atau terjadi pertambahan
penduduk 3,5 juta per tahun. Jumlah penduduk yang sedemikian
besarnya tersebut, termasuk peringkat ke empat jumlah penduduk
terbanyak dunia, satu sisi menunjukkan sedemikian besarnya potensi
sumberdaya manusia tetapi di sisi lain jika tidak mampu dikelola
dengan baik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya justru akan menjadi
bencana bagi bangsa Indonesia. Jumlah penduduk dengan peningkatan
sebesar itu harus didukung oleh sejumlah pangan yang cukup. Namun
produksi pangan saat ini masih jauh lebih rendah dari kebutuhan
konsumsi nasional. Sementara lahan pertanian yang produktif,
luasannya sangat terbatas dan semakin berkurang. Setiap tahunnya
sekitar 110.000 hektar beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian.
Jumlah sawah baru yang dicetak pemerintah (dengan dukungan dana
APBN) hanya mencapai 20.000 hingga 40.000 hektar per tahun, tidak
sebanding dengan lahan sawah yang terkonversi (Ihsan, 2013).
Akibatnya, produksi pangan semakin terbatas dibandingkan dengan
permintaan yang terus meningkat. Beberapa produk pangan strategis
seperti beras, kedelai, bawang merah, cabai, dan buah-buahan segar
semakin langka. Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil langkah
yang kurang bijak yaitu mengimpor berbagai komoditas pangan
strategis tersebut. Kebijakan seperti ini tidak sejalan dengan upaya
mewujudkan kedaulatan pangan nasional.
Jika hanya mengandalkan produksi pertanian pada lahan yang
subur maka dapat dipastikan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan
pangan nasional yang semakin meningkat. Pilihannya untuk
mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan adalah perluasan lahan
pertanian pada lahan-lahan marginal seperti pada lahan kering, lahan
gambut dan lahan sulfat masam atau lahan pasang surut. Hal ini sangat
dimungkinkan karena potensi lahan marginal di Indonesia cukup tinggi
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

yaitu dapat melebihi 100 juta hektar. Produksi pertanian pada lahan
marginal seperti tanaman padi dan palawija, tanaman perkebunan, dan
tanaman hortikultura cukup menjajikan dan telah memberikan
kontribusi yang sangat signifikan terhadap kebutuhan pangan nasional.
Pengelolaan lahan marginal untuk memenuhi kebutuhan
produksi pertanian harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian
karena dihadapkan dengan permasalahan lahan marginal yang
sedemikian kompleksnya. Kendalanya mencakup sifat fisik, kimia,
fisikokimia, biologi tanah, kehadiran bahan-bahan beracun baik
organik maupun anorganik, dan kondisi hidrologi lahan yang
memerlukan penataan khusus. Akibatnya lahan marginal sangat rentan
terhadap perubahan. Jika terjadi kesalahan atau kelalaian dalam
pengelolaannya maka akan berdampak besar terhadap kerusakan
lingkungan. Oleh karena itu untuk meningkatkan harkatnya menjadi
lahan yang berproduktivitas memadai diperlukan teknologi pertanian
yang bekerja serbacakup. Teknologi pertanian yang diandalkan selama
ini yaitu teknologi pertanian yang bertumpu pada prodak kimiawi dan
rekayasa lingkungan terbukti telah memberikan dampak yang
merugikan terhadap lingkungan. Teknologi pertanian di lahan marginal
yang diharapkan adalah teknologi yang mengedepankan pertimbangan
kualitas dan kelestarian lingkungan untuk mewujudkan pertanian yang
berkelanjutan. Teknologi pertanian yang dimaksud seperti teknologi
masukan rendah, budidaya organik, dan sistem gizi tanaman terpadu.
Pengelolaan lahan marginal seperti itu diharapkan sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan produksi pertanian dalam rangka mewujudkan
ketahanan dan kedaulatan pangan nasional yang berkelanjutan.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

KONSEP LAHAN MARGINAL DAN


PERTANIAN BERKELANJUTAN

II

A. Lahan Marginal
Lahan marginal adalah lahan yang mempunyai potensi rendah
sampai dengan sangat rendah untuk menghasilkan tanaman pertanian
atau dapat disebut sebagai lahan yang mempunyai mutu rendah karena
memiliki beberapa faktor pembatas. Menurut Strijker (2005)
menyebutkan bahwa lahan marginal dicirikan oleh penggunaan lahan
yang mempunyai kelayakan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Namun demikian dengan penerapan teknologi dan sistem pengelolaan
yang tepat guna, potensi lahan tersebut dapat ditingkatkan menjadi lebih
produktif.
Potensi yang sangat rendah pada lahan marginal ini disebabkan
oleh sifat tanah, lingkungan fisik, atau kombinasi dari keduanya yang
kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Lahan yang telah
mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biologi, yang
akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan pertanian serta
kehidupan sosial ekonomi masyarakat disebut dengan lahan kritis.
Pengertian lahan marginal dan lahan kritis pada dasarnya sama.
Istilah marginal digunakan untuk mengacu pada makna potensi dari
lahan. Adapun istilah kritis digunakan untuk menunjukkan aspek
kerusakan dan kerugian akibat perubahan yang terjadi dari sifat tanah
dan lingkungannya.
Di Indonesia lahan marginal dijumpai baik pada lahan basah
maupun lahan kering. Lahan basah berupa lahan gambut, lahan sulfat
masam dan rawa pasang surut seluas 24 juta ha, sementara lahan kering
berupa tanah ultisol 47,5 juta ha dan oxisol 18 juta ha (Suprapto, 2002).
Prospek lahan marginal ini cukup besar untuk pengembangan pertanian
namun sekarang ini belum dikelola dengan baik. Lahan-lahan tersebut
kondisi kesuburannya rendah, sehingga diperlukan inovasi teknologi
untuk memperbaiki produktivitasnya.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

Terbentuknya lahan marginal dapat secara alami atau sebagai


gejala geologis akibat letusan gunung berapi, gempa bumi, kebakaran,
longsor, dan banjir atau genangan. Namun yang banyak terjadi dan
sering dipermasalahkan adalah lahan marginal yang terbentuk sebagai
akibat penggunaan dan sistem pengelolaan lahan yang tidak
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan kelestarian lingkungan.
B. Pertanian Berkelanjutan
Paradigma pembangunan berkelanjutan menurut Bank Dunia
diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan
berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle)
yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.
Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa suatu
kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan
ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis berarti bahwa kegiatan
tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara
daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity). Keberlanjutan secara sosial
diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan
hasil-hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial, dan
pengembangan kelembagaan (Dahuri, 1998).
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) adalah
pemanfaatan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable
resources) dan sumberdaya tidak dapat diperbaharui (unrenewable
resources) untuk proses produksi pertanian dengan menekan dampak
negatif terhadap lingkungan seminimal mungkin. Keberlanjutan yang
dimaksud meliputi : penggunaan sumberdaya, kualitas dan kuantitas
produksi, serta lingkungannya. Proses produksi pertanian yang
berkelanjutan akan lebih mengarah pada penggunaan produk hayati
yang ramah terhadap lingkungan.
Pertanian berkelanjutan tidak identik dengan anti teknologi dan
kembali ke model pertanian tradisional. Pertania berkelanjutan tidak
menghendaki pupuk kimiawi dan pestisida karena kedua input bahan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

baku tersebut berasal dari sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui


dan telah terbukti berdampak buruk terhadap lingkungan serta
membahayakan kesehatan.
Pertanian berkelanjutan mempunyai beberapa prinsip (Budiasa,
2011) yaitu : (a) menggunakan sistem input luar yang efektif, produktif,
murah, dan membuang metode produksi yang menggunakan sistem
input dari industri, (b) memahami dan menghargai kearifan lokal serta
lebih banyak melibatkan peran petani dalam pengelolaan sumberdaya
alam dan pertanian, dan (c) melaksanakan konservasi sumberdaya alam
yang digunakan dalam sistem produksi.
Van der Heide et al. (1992) mengemukakan sistem pertanian
yang berkelanjutan memenuhi kriteri seperti berikut :
1. Dapat mempertahankan sumber alam sebagai penunjang produksi
tanaman untuk jangka panjang dengan cara : (a) mengontrol erosi
dan memperbaiki struktur tanah, (b) mempertahankan kesuburan
tanah dengan cara menjaga keseimbangan hara, dan (c)
mengusahakan diversifikasi tanaman di lahannya.
2. Dapat mempertahankan produktivitas lahan dengan tenaga kerja yang
cukup : swasembada penyediaan pangan, kayu bakar dan hasil
sampingan lainnya
3. Dapat mengatasi resiko gagal panen akibat musim yang kurang
cocok, hama, penyakit, gulma dan turunnya harga pasaran, melalui :
(a) mempertahankan diversifikasi (setiap komponen dengan
kelebihannya masing-masing); dan (b) mampu bertahan bila
mengalami kegagalan dalam berproduksi.
4. Dapat menyediakan dan memberikan peluang untuk perbaikan
pengembangan: (a) penelitian pada tingkat petani untuk mendapatkan
teknologi yang dibutuhkan; dan (b) paket teknologi yang cocok
untuk berbagai kondisi.
5. Tidak ada efek negatif terhadap lingkungan, misalnya : (a) tidak ada
erosi atau pengendapan dan pendangkalan pada sungai dan danau, (b)
tidak ada pencemaran air tanah maupun air permukaan, dan (c) tidak
terjadi pencemaran yang berkaitan dengan agroindustri.
6. Tidak terdapat lahan marginal (yang berkaitan dengan 1 dan 2) : tidak
ada perambahan terhadap sumberdaya hutan dan suaka alam.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

7. Tidak ada ketergantungan terhadap sarana produksi yang berasal dari


industri ataupun bahan impor.
8. Tidak menimbulkan masalah emisi gas yang dapat merubah
komponen iklim.
Berdasarkan kriteria yang dikemukakan Van der Heide et al.,
(1992) suatu sistem pengelolaan tanah masam dapat dikatakan
berkelanjutan atau sustainable apabila memenuhi beberapa tanda
berikut :
(1) menekan penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu;
(2) menekan gangguan gulma;
(3) menekan serangan hama dan penyakit;
(4) menekan erosi tanah; dan
(5) mempertahankan keberagaman tanaman (diversifikasi).

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

STRATEGI PERENCANAAN
PENGGUNAAN LAHAN

III

A. Zonasi Lahan
Lahan adalah bagian dari bentang alam yang mencakup
pengertian fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, geologi,
hidrologi, keadaan vegetasi alami bahkan hasil aktivitas manusia baik
saat sekarang maupun masa yang akan datang yang semuanya secara
potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976).
Pengertian ini menunjukkan bahwa berdasarkan konteks keruangan,
lahan sangat bervariasi sehingga dapat dibedakan zona lahan yang satu
dengan zona lahan yang lain. Zona lahan merupakan suatu kawasan
yang penggunaan utama dan penggunaan lahan yang diperbolehkan
adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuan lahan untuk
mendukung maksud-maksud penggunaannya secara berkelanjutan dan
sejalan dengan praktek pengelolaan lahan yang benar serta rumusan
kebijaksanaan
penggunaannya,
untuk
memenuhi
kebutuhan
pembangunan dan pelestariannya (LREP II, 1996; Hardjowigeno dan
Widiatmaka, 2007).
Untuk keperluan perencanaan penggunaan lahan sangat
diperlukan zonasi lahan. Zonasi lahan merupakan suatu proses untuk
mengidentifikasi lahan (zona lahan) yang memiliki kesamaan syaratsyarat dalam penggunaannya, guna menentukan langkah-langkah
pengelolaan lahan dan cara penggunaan lahan secara berkelanjutan
dalam arti memperhatikan kelestarian sumberdaya lahan serta
merumuskan langkah-langkah tindakan yang menjamin bahwa
penggunaan lahan dapat diawasi berdasarkan prinsip-prinsip
pengelolaan lahan yang benar.
Zonasi lahan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan
seperti: zonasi lahan menurut LREP (Land Resources Evaluation and
Planning), zonasi lahan berdasarkan agroekologi, dan zonasi lahan
berdasarkan karakteristik lahan.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

1. Zonasi lahan menurut LREP


Zonasi lahan menurut sistem ini dilakukan melalui identifikasi
zona lahan, pemberian batasan, dan penyajian secara spasial atas zona
lahan tersebut dan penetapan prosedur untuk mengawasi penggunaan
lahan yang akan terjadi dengan mempertimbangkan: (a) Kesesuaian
lahan untuk mendukung dan melestarikan produktivitas ataupun pola
hidup yang berlaku, melalui penerapan pengelolaan sumberdaya lahan
secara benar dan upaya-upaya pelestarian sumberdaya lahan dan
kehidupan di atasnya; (b) Kebijaksanaan nasional dan provinsi berkenan
dengan hak atas tanah dan prioritas untuk pelestarian dan
pengembangannya; (c) Pola penggunaan lahan saat ini, yaitu apakah
alokasi penggunaannya sudah disetujui secara resmi, atau adanya hak
atas tanah secara tradisional yang melekat, ataukah dirambah/dikuasai
secara ilegal; dan (d) Adat istiadat masyarakat setempat.
Zonasi lahan yang dilakukan diharapkan dapat berfungsi sebagai
alat untuk menjamin bahwa sumberdaya lahan yang digunakan dapat
terkendali serta menjamin kelestariannya. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, maka maksud dari zonasi lahan adalah untuk
mengelompokkan lahan-lahan yang mempunyai kemampuan yang sama
(dan oleh karena itu mempunyai kesamaan dalam persyaratan
pengelolaannya) dalam rangka menyusun pedoman penggunaan lahan
untuk memelihara kualitas dan karakter dari lahan-lahan tersebut.
Agar zonasi lahan dapat dilaksanakan secara efektif, langkahlangkah yang perlu dilakukan adalah : (1) menyusun daftar berbagai
kemungkinan penggunaan lahan yang ada dan memperoleh kesepakatan
diantara pihak-pihak yang terkait (melalui serangkaian diskusi); (2)
mengevaluasi kesesuaian lahan berkaitan dengan sistem pengelolaan
yang tepat untuk setiap penggunaan lahan; dan (3) merumuskan
kebijaksanaan penggunaan lahan dengan memperhatikan hal-hal
berikut: (a) prioritas penggunaan lahan, (b) keserasian penggunaan
lahan dengan kemampuannya, (c) mengatasi konflik penggunaan lahan;
dan (d) merumuskan prosedur untuk mendorong keserasian antara
kebijaksanaan penggunaan lahan dan hasil zonasi lahan.
Berdasarkan konsep bahwa zonasi lahan adalah mengidentifikasi
kawasan-kawasan yang paling tepat untuk satu atau beberapa
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

penggunaan lahan yang cocok atas dasar pertimbangan kesesuaian


lahannya, praktek-praktek pengelolaan yang diterapkan dan
kebijaksanaan pemerintah dalam penggunaan lahan, maka pendekatan
zonasi lahan akan menghasilkan : (a) peta-peta yang menggambarkan
distribusi zona lahan yang direkomendasikan; (b) peta-peta dengan
skala yang sama yang menggambarkan distribusi lahan yang
membutuhkan langkah-langkah perlindungan lingkungan, ataupun
adanya resiko-resiko tertentu atas kemungkinan penggunaannya
(investasi) dan bagi pihak-pihak yang menguasainya; (c) peta-peta yang
menunjukkan usulan penggunaan lahan pada masa yang akan datang
dan kawasan dimana diperlukan tindakan-tindakan untuk mengatasi
konflik penggunaan lahan, dan (d) dokumen yang merinci maksud dari
zona lahan yang dihasilkan, kegiatan penggunaan lahan yang mungkin
terjadi di dalam satu zona lahan dan mekanisme pengawasannya untuk
menjamin kelestarian penggunaan lahan yang diizinkan.
Selain hal yang tersebut di atas, manfaat lain yang dapat dipetik
dari zonasi lahan adalah : (a) menyediakan satu basis orientasi
kesesuaian lahan yang handal untuk memperbaiki dan meninjau kembali
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dimasa yang akan datang; (b)
adanya dasar acuan untuk menentukan lokasi-lokasi pembangunan
dimasa yang akan datang dan kemungkinan-kemungkinan pilihan
pembangunan yang sesuai untuk kawasan yang telah ditentukan; (c)
adanya kejelasan tentang tata batas kawasan lindung dan memberikan
indikasi tentang kebutuhan untuk menyesuaikan tata batas tersebut
berdasarkan kesesuaian lahan, penggunaan lahan dan kerawanan
lingkungannya; (d) memberikan indikasi tentang adanya kebutuhan data
untuk menunjang perencanaan yang lebih rinci dimasa yang akan
datang; dan (e) adanya satu basis untuk perumusan peraturan dan
kebijaksanaan pengelolaan sumberdaya lahan dan penetapan peraturan
(perundangannya) untuk mendorong penerapan kebijaksanaan yang
diambil.
2. Zonasi lahan berdasarkan agroekologi
Zona agroekologi (ZAE) merupakan pengelompokan suatu
wilayah kedalam satuan-satuan (zona-zona) yang kurang lebih seragam
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

10

dalam hal faktor-faktor fisik yang besar pengaruhnya terhadap produksi


tanaman. Pembuatan zona ini bertujuan untuk menjawab tantangan
yaitu dimana dan jenis penggunaan lahan apa yang akan memberikan
keuntungan maksimum sesuai dengan input yang diberikan
(Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).
Pemilihan wilayah kedalam zona-zona agroekologi ini juga akan
membantu penetapan paket teknologi untuk kondisi fisik lingkungan
tertentu. Penerapan paket teknologi sering kurang memperhatikan
keadaan fisik alam, disebabkan kurangnya informasi fisik yang detail
serta lemahnya pemahaman tentang hal tersebut, padahal setiap wilayah
memiliki kekhususan sifat fisik, sehingga memerlukan teknologi yang
spesifik pula.
Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau
bentuk wilayah dan tanah. Iklim merupakan unsur yang paling sulit
dimodifikasi dan merupakan peubah yang paling dominan, iklim
berhubungan erat dengan keragaan tanaman yaitu suhu dan kelengasan.
Di daerah tropis seperti Indonesia suhu dibagi menjadi : panas yang
biasanya berada pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut (dpl) dan
sejuk untuk ketinggian lebih dari 2000 m dpl (Amin, 1983).
Pertumbuhan suatu komoditas sangat dipengaruhi oleh iklim,
fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah. Zona agroekologi merupakan
suatu wilayah yang memiliki persamaan sifat yang hampir sama,
sehingga berdasarkan keragaan faktor fisik dan lingkungan diharapkan
dapat mendukung pengembangan komoditas pertanian tertentu karena
sesuai dengan persyaratan tumbuh yang diinginkan tanaman tersebut.
Bentuk wilayah lebih mudah dinyatakan dengan besarnya persentase
lereng (topografi), yang dikelompokkan menjadi datar, berombak,
bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin
meningkat pula.
Menurut FAO (1982), pelaksanaan kegiatan penyusunan peta
zonasi agroekologi dibagi dalam beberapa tahap yaitu :
(1) Tahap persiapan
Tahap persiapan yaitu kegiatan pengumpulan (kompilasi) data
sumberdaya lahan berupa peta tanah, peta geologi, peta rupa bumi,

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

11

peta wilayah administrasi, data iklim berupa curah hujan dan suhu
minimal selama 10 tahun terakhir.
(2) Tahap interpretasi dan pengolahan data
Tahap interpretasi dan pengolahan data yaitu menginterpretasi data
iklim dan sumberdaya lahan untuk mendapatkan zonasi agroekologi.
Zonasi agroekologi dibedakan berdasarkan perbedaan regim
iklim (suhu dan kelembaban) dan relief (kisaran lereng), dengan kriteria
sebagai berikut :
a. Regim suhu
Regim suhu yaitu perbedaan rata-rata suhu udara terpanas dan
terdingin. Regim suhu dapat menggunakan pendekatan ketinggian
tempat dari permukaan laut, yang dibedakan menjadi :
Panas yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian > 50C atau wilayah dengan ketinggian < 750 m dpl (a), regim
suhu ini disebut isohipertermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 750-2000 m dpl (b),
regim suhu ini disebut isotermik.
Sejuk yaitu perbedaan suhu udara rata-rata terpanas dan terdingin
harian < 50C atau wilayah dengan ketinggian > 2000 m dpl (c).
regim suhu ini disebut juga isotermik.
b. Regim kelembaban
Regim kelembaban suatu wilayah dibedakan berdasarkan jumlah
bulan kering (curah hujan rata-rata < 60 mm) dalam satu tahun, dengan
pembagian sebagai berikut :
Lembab yaitu jumlah bulan kering < 3 dalam satu tahun (x).
Agak kering yaitu jumlah bulan kering antara 4-7 dalam satu tahun
(y).
Kering yaitu jumlah bulan kering > 7 dalam satu tahun (z).
c. Relief (bentuk wilayah)
Relief suatu wilayah dibedakan berdasarkan kisaran kelerengan.
Parameter fisik lingkungan sumberdaya lahan yang digunakan sebagai
pembeda zonasi utama dalam sistem ini ialah relief yang tercermin
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

12

dalam kisaran kelas lerengnya. Berdasarkan pembeda zonasi utama


tersebut suatu wilayah dapat dikelompokkan menjadi 4 zona, yaitu :
Zona I lereng > 40%,
Zona II lereng 16-40%,
Zona III lereng 8-15%, dan
Zona IV lereng < 8%.
Selanjutnya khusus daerah dengan kelerengan < 8% dengan
jenis tanah gambut atau jenis tanah dengan kandungan garam atau sulfat
yang tinggi atau jenis tanah yang berkembang dari pasir kwarsa
dikelompokkan kedalam zonasi tersendiri yaitu masing-masing zona V,
VI, VII dan VIII.
Berdasarkan kriteria zona utama tersebut suatu wilayah dapat
dibagi menjadi delapan zona agroekologi dengan spesifikasi sistem
pertanian atau kehutanan sebagai berikut :
Tabel 1. Zona wilayah berdasarkan kelerengan
Zona

Kelerengan

Tipe Pemanfaatan Lahan (TPL)

I
II
III
IV
V

> 40%
15-40%
8-<15%
0-<8%
<3%

VI

<3%

VII

<3%

VIII

< 8%

Kehutanan
Perkebunan (budidaya tanaman tahunan)
Agroforestri (wana tani)
Tanaman pangan
Hortikultura (gambut dangkal ketebalan <1,5 m)
atau kehutanan (gambut dalam ketebalan >1,5 m).
Perikanan yang dipadukan dengan konservasi
pantai berupa tanaman kehutanan (mangrove).
Zona ini memiliki jenis tanah yang mempunyai
kandungan sulfat sangat tinggi (sulfat masam)
atau kandungan garam yang tinggi.
Kehutanan. Zona ini memiliki jenis tanah yang
berkembang dari pasir kwarsa (spodosol,
Quartzipsamments).
Peternakan (pengembalaan). Zona ini memiliki
jenis tanah dengan penampang solum yang sangat
dangkal dan berbatu.

Sumber : FAO, 1982.

Pembagian selanjutnya kedalam sub zona dan pilihan kelompok


tanaman yang relefan dikembangkan pada setiap sub zona tersebut
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

13

terutama didasarkan pada regim kelembaban dan suhu (tinggi tempat).


Dengan demikian terdapat beberapa kemungkinan kombinasi sub zona.
Pada zona IV (untuk pengembangan tanaman pangan) dilakukan
pembagian lebih detail dari sub zona berdasarkan sifat-sifat tanah
terutama drainase tanahnya, yaitu :
Zona IV dengan drainase tanah buruk digunakan untuk
pengembangan padi sawah, diberi simbul 1 pada akhir kode zona.
Zona IV dengan drainase tanah baik digunakan untuk pengembangan
tanaman pangan lahan kering, diberi simbul 2 pada akhir kode
zona.
Kemudian data berupa relief/kelerengan, regim suhu dan regim
kelembaban tanah atau kondisi drainase tanah ditumpang susunkan akan
menghasilkan peta ZAE. Peta ZAE yang dihasilkan ditumpang
susunkan dengan peta penutupan lahan yang terbaru (present land use).
Apabila suatu wilayah mempunyai peruntukan yang sama antara peta
ZAE dengan peta penggunaan lahan maka dianjurkan untuk
intensifikasi (I). Akan tetapi bila peta penggunaan lahan masih
merupakan kawasan hutan (bukan hutan lindung) sementara peta ZAEnya sesuai untuk pertanian maka dianjurkan untuk ekstensifikasi (E).
Sedangkan bila wilayah tersebut menurut peta ZAE tidak sesuai untuk
pertanian/perikanan sementara peta penggunaan lahan telah berlangsung
usaha pertanian/perikanan maka disarankan dilakukan tindakan
konservasi (C) dan/atau rehabilitasi (R).
3. Zonasi lahan berdasarkan karakteristik lahan
Satuan lahan merupakan kelompok dari lokasi yang
berhubungan, mempunyai bentuk lahan tertentu di dalam sistem lahan,
dan seluruh satuan lahan yang sama yang tersebar akan mempunyai
asosiasi lokasi yang sama pula. Zonasi lahan berdasarkan satuan lahan
adalah mengelompokkan lahan atas kesamaan karakteristiknya.
Karakteristik lahan adalah ukuran kuantitatif dari komponen-komponen
lahan yang meliputi komponen geologi, iklim, tanah, hidrologi,
topografi, fisiografi/landform, dan penutupan lahan. Dengan demikian
yang dimaksud dengan satuan lahan adalah kesatuan lahan yang
memiliki kesamaan geologi, iklim, tanah,
hidrologi, topografi,
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

14

fisiografi/landform, dan penutupan lahan (Hardjowigeno dan


Widiatmaka, 2007).
Untuk keperluan evaluasi kesesuaian lahan, peta satuan lahan
dapat dibuat sampai skala yang lebih detail sesuai dengan intensitas
evaluasi lahan. Pada setiap satuan lahan yang memiliki kecocokan yang
sama dengan persyaratan pengembangan komoditas tertentu, akan
dikelompokkan kedalam zona komoditas yang sama.
Pembuatan zonasi lahan berdasarkan satuan lahan dilakukan
dengan cara tumpang susun antara peta-peta tematik komponenkomponen lahan. Satuan lahan yang dihasilkan digunakan sebagai dasar
dalam evaluasi lahan (kesesuaian lahan, kelayakan sosial ekonomi dan
sosial budaya).
Zonasi lahan atau pengelompokan lahan berdasarkan
karakteristik lahan akan menjadi lebih realistik karena lahan
dikelompokkan atas kesamaan karakteristik komponen-komponen
penyusunnya. Zonasi sistem ini lebih fleksibel tergantung dari tujuan
yang ingin dicapai dan dapat diterapkan sampai zonasi lahan pada skala
yang lebih detail. Namun zonasi sistem ini lebih memfokuskan pada
aspek biofisik lahan, kurang memperhatikan aspek kebijaksanaan
pemerintah dan sosial budaya setempat. Jika zonasi lahan LREP, zonasi
lahan agroekologi dipadukan dengan zonasi lahan berdasarkan
karakteristik akan dihasilkan zonasi lahan untuk pewilayahan komoditas
yang lebih detail, realistis dan komprehensif.
B. Evaluasi Kesesuaian Lahan
Evaluasi kesesuaian lahan menjadi hal utama yang harus
diketahui dan dilakukan dalam menyusun zonasi lahan yang tepat untuk
perencanaan penggunaan lahan. Perencanan penggunaan lahan yang
sesuai pada suatu zona lahan tertentu akan memberikan hasil yang
optimal dan dapat diminimalisir dapak kerusakan lingkungan yang akan
terjadi akibat pilihan penggunaan lahan.
Evaluasi kesesuaian lahan adalah penilaian tingkat kecocokan
sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu (Dent dan Young,
1981). Penilaian yang dimaksudkan adalah dalam hal anasir lahan yang
terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan atau drainase yang
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

15

sesuai untuk suatu komoditas tertentu yang produktif. Pangudiyatno


(1988) mendefinisikan lebih fokus lagi pada tanaman pertanian yaitu
kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu wilayah untuk budidaya
tanaman pertanian tertentu, sesuai dengan sifat tanah dan lingkungan
yang memenuhi persyaratan tumbuh tanaman sehingga akan
memberikan produksi yang optimal sesuai dengan yang diharapkan.
1. Tingkat evaluasi kesesuaian lahan
Evaluasi kesesuaian lahan dapat dibagi atas tiga intensitas
keterperincian kegiatan, yaitu : (1) Tingkat tinjau (Reconnaissance)
dengan skala peta 1 : 100.000-1 : 250.000, umumnya untuk skala
nasional atau provinsi. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk
perencanaan secara nasional dan dapat ditentukan skala prioritas
masing-masing daerah; (2) Tingkat semi detail dengan skala peta 1 :
25.000-1 : 100.000, untuk tujuan-tujuan yang lebih khusus, misalnya
studi kelayakan untuk suatu kegiatan ; dan (3) Tingkat detail dengan
skala peta 1 : 5000-1 : 25.000, merupakan survei untuk perencanaan
yang telah pasti, misalnya untuk pembuatan desain (Dent dan Young,
1981).
2. Klasifikasi kesesuaian lahan
Menurut FAO (1976), kerangka dari sistem klasifikasi
kesesuaian lahan terdiri atas empat kategori yang dikenal sebagai
berikut : (1) Ordo kesesuaian lahan (order) : menunjukkan jenis dari
kesesuaian, (2) Kelas kesesuaian lahan (class) : menunjukkan tingkat
kesesuaian lahan dalam ordo, (3) Sub-kelas kesesuaian lahan (sub-class)
: menunjukkan jenis pembatas, atau jenis perbaikan yang harus
dijalankan dalam kelas, dan (4) Satuan kesesuaian lahan (unit) :
menunjukkan perbedaan kecil persyaratan pengelolaan dalam sub-kelas.
Kesesuaian lahan tingkat ordo menunjukkan apakah lahan sesuai
atau tidak untuk suatu tipe penggunaan tertentu, dalam hal ini dibagi
dua yaitu : (1) Ordo S (sesuai) yaitu lahan yang dapat digunakan secara
berkesinambungan untuk suatu tujuan tertentu, tanpa resiko kerusakan
terhadap sumberdaya lahan, dan (2) Ordo N (tidak sesuai) yaitu lahan

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

16

yang kualitasnya memperlihatkan hambatan untuk menopang jenis


penggunaan yang berkesinambungan.
Kesesuaian lahan tingkat kelas dinyatakan dengan simbol nomor
urut, menunjukkan tingkat yang menurun didalam kelas, dalam hal ini
dibagi atas lima yaitu : (1) Kelas S1 (sangat sesuai) : lahan ini tidak
mempunyai pembatas yang berarti untuk menerapkan suatu penggunaan
atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti dan tidak akan
berpengaruh secara nyata terhadap produksi, (2) Kelas S2 (cukup
sesuai) : lahan ini mempunyai pembatas yang cukup serius untuk
menerapkan suatu penggunaan, pembatas akan mengurangi produksi
atau keuntungan dan akan meningkatkan masukan yang diperlukan, (3)
Kelas S3 (sesuai marginal) : lahan ini mempunyai pembatas yang serius
untuk menerapkan suatu penggunaan dan akan mengurangi produksi
atau keuntungan, atau lebih meningkatkan masukan yang diberikan, (4)
Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini) : lahan ini mempunyai pembatas
yang lebih serius, yang masih memungkinkan dapat diatasi dengan
tingkat pengelolaan bermodal tinggi, dan (5) Kelas N2 (tidak sesuai
permanen) : lahan ini mempunyai pembatas yang permanen yang
mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam
jangka panjang.
Kesesuaian lahan tingkat sub-kelas mencerminkan jenis
pembatas yang ada atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas
tersebut. Jenis pembatas ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang
diletakkan setelah simbol kelas, misalnya kelas S2 yang hanya
mempunyai pembatas media perakaran (r) maka menjadi sub-kelas S2r,
jika terdapat pula pembatas retensi hara (f) maka sub-kelasnya S2rf.
Pembatas dalam sub-kelas dapat berjumlah satu, dua, atau paling
banyak tiga simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan
ditulis paling depan.
Kesesuaian lahan tingkat unit merupakan pembagian lebih lanjut
dari sub-kelas, mempunyai tingkat yang sama dalam kelas dan
mempunyai pembatas yang sama pula dalam sub-kelas tetapi berbeda
dalam aspek simbolnya yaitu dibedakan oleh angka-angka arab yang
dicantumkan setelah simbol sub-kelas yang menunjukkan tingkat satuan
pengelolaannya, misalnya : S2n-1, S2n-2, dan S2n-3.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

17

3. Metode evaluasi kesesuaian lahan


Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman dilakukan dengan cara
membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan
kriteri tingkat kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan
tumbuh tanaman. Penentuan tingkat kesesuaian lahan dapat dilakukan
dengan berbagai metode seperti metode pembatas sederhana, pembatas
berdasarkan jumlah dan intensitas pembatas, dan metode parametrik
(Sys, 1991). Metode evaluasi kesesuaian lahan yang digunakan secara
luas dan cukup lama oleh Pusat Penelitian Tanah Bogor adalah metode
pembatas sederhana dan dilaporkannya bahwa aplikasi metode ini
sangat sesuai diterapkan di Indonesia terutama di daerah-daerah yang
memiliki keterbatasan data klimatologi. Metode pembatas sederhana
menentukan tingkat kesesuaian lahan berdasarkan hukum minimum,
tingkat kesesuaian lahan ditentukan oleh kondisi minimum yaitu
kualitas lahan dan karakteristik lahan yang memiliki pembatas terberat
dibandingkan dengan pembatas yang lainnya (PPTA, 1993; Sys, 1991).
Kualitas dan karakteristik lahan mempunyai pengertian yang
berbeda dalam evaluasi kesesuaian lahan. Kualitas lahan adalah sifatsifat atau atribut yang kompleks dari suatu lahan, dan masing-masing
kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) tertentu yang
berpengaruh terhadap kesesuaiannya untuk suatu tanaman tertentu,
seperti ketersediaan air, retensi dan ketersediaan hara. Kualitas lahan
dapat pula diestimasi secara langsung di lapangan, tetapi pada
umumnya ditetapkan melalui karakteristik lahan. Sedangkan
karakteristik lahan adalah sifat lahan yang dapat diukur atau diestimasi,
seperti curah hujan per tahun (mm.tahun-1), KPK, dan P tersedia. Setiap
karakteristik lahan yang digunakan secara langsung dalam evaluasi
lahan sering mempunyai interaksi satu sama lain. Oleh karena itu dalam
interpretasi perlu mempertimbangkan lahan dengan penggunaannya
dalam pengertian kualitas lahan (PPTA, 1993; Sys, 1991; Djaenudin
dan Basuni, 1994). Jenis kualitas dan karakteristik lahan yang
dipertimbangkan dalam evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman
(PPTA, 1993) disajikan pada Tabel 2.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

18

Tabel 2. Kualitas dan karakteristik lahan untuk tanaman


No.

Simbol

Kualitas Lahan

Karakteristik Lahan

1.

Rejim Temperatur

1.Suhu Rata-Rata Tahunan (0C)

2.

Ketersediaan air

1. Bulan Kering (<75 mm)


2. Curah Hujan Rata-rata Tahunan (mm)

3.

Media Perakaran

4.

Retensi hara

1. Drainase Tanah
2. Tekstur Tanah
3. Kedalaman Efektif
4. Kematangan Gambut
5. Ketebalan Gambut
1. KTK Tanah (m.e/100 g)
2. pH Tanah

5.

Kegaraman

1. Salinitas (mmhos/cm)

6.

Toksitas

1. Kejenuhan Al (%)
2. Kedalaman Sulfida (cm)

7.

Ketersediaan Hara

1. N Total
2. P2O5 Tersedia
3. K2O Tersedia

8.

Kemudahan Pengolahan

1. Tekstur Tanah
2. Struktur Tanah
3. Konsistensi Tanah

9.

Terrain (Potensi Mekanisasi)

1. Lereng (%)
2. Batuan Permukaan (%)
3. Singkapan Batuan (%)

10.

Bahaya Erosi

1. Tingkat Bahaya Erosi


(Rumus RUSLE)]

11.

Bahaya Banjir

1. Periode Banjir
2. Frekuensi Banjir

4. Kesesuaian lahan aktual (A) dan potensial (P)


Kesesuaian lahan aktual atau kesesuaian lahan pada saat ini
(current suitability) yaitu gambaran kesesuaian lahan yang dihasilkan
berdasarkan data yang ada pada saat ini, belum mempertimbangkan
asumsi atau usaha perbaikan dan tingkat pengelolaan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang
ada pada setiap satuan peta. Faktor pembatas dapat dibedakan menjadi
dua yaitu : (1) Faktor pembatas yang sifatnya permanen dan tidak
memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, seperti
temperatur udara dan curah hujan, dan (2) Faktor pembatas yang dapat
diperbaiki atau diatasi dan secara ekonomi masih menguntungkan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

19

dengan masukan teknologi yang tepat, seperti ketersediaan hara (Dent


dan Young, 1981; PPTA, 1993).
Kesesuaian lahan potensial (potential suitability) yaitu
kesesuaian lahan yang akan dicapai setelah dilakukan usaha-usaha
perbaikan lahan. Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang
diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan tingkat
pengelolaan yang akan diterapkan, sehingga dapat diduga tingkat
produktivitas suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnnya. Jenis
usaha perbaikan yang dapat dilakukan didasarkan pada sifat-sifat lahan
yang dapat diperbaiki (Dent dan Young, 1981; PPTA, 1993).
Untuk menentukan keputusan bentuk tingkat pengelolaan atau
tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk menjadi potensial
didasarkan pada beberapa kajian atau pertimbangan yaitu tujuan
penggunaan lahan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kelestarian
lingkungan dan pertimbangan ekonomis. Oleh karena itu data-data
untuk keperluan ini perlu dirangkum sedemikian rupa dan dikaji agar
ajukan usaha perbaikan dapat dilakukan dengan mudah oleh pengguna.
Masukan teknologi untuk memperbaiki sifat lahan yang dapat
diperbaiki ditentukan dengan mempertimbangkan padat teknologi dan
padat modal yang akan diterapkan pada setiap wilayah pengembangan
komoditi tertentu yang dilakukan melalui tiga tingkatan pengelolaan
yaitu :
a. Pengelolaan Rendah
Pengelolaan biasa (ordinary management) yaitu tindakan
pengelolaan yang dapat dilaksanakan oleh petani dengan biaya yang
relatif rendah.
b. Pengelolaan Sedang
Pengelolaan maju (improved management) yaitu tindakan
pengelolaan yang dapat dilaksanakan pada tingkat petani menengah
memerlukan modal menegah dan teknik pertanian sedang.
c. Pengelolaan Tinggi
Pengelolaan optimum (optimum management) yaitu tindakan
pengelolaan dengan metode-metode mutakhir untuk memperoleh
hasil tinggi, hanya dapat dilaksanakan dengan modal yang relatif

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

20

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar


atau menengah.
Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan aktual menjadi
potensial berdasarkan tingkat pengelolaan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis usaha perbaikan kualitas/karakteristik lahan
berdasarkan tingkat pengelolaannya
No.
1.
2.
3.

Kualitas/
Karakteristik lahan
Rejim Suhu
- Suhu Rata Tahunan
Ketersediaan Air
- Bulan Kering
- Curah Hujan
Media Perakaran
- Drainase
- Tekstur
- Kedalaman Efektif

-Gambut : Kematangan
Ketebalan
4.
5.

6.
7.

Retensi Hara
- KTK
- pH
Ketersediaan hara
- N Total
- P2O5 Tersedia
- K2O Tersedia
Kegaraman
- Salinitas
Toksisitas
- Kejenuhan Al
- Lapisan Pirit

Tingkat
Pengelolaan

- Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai)

Kemudahan Pengolahan

9.

Terrain/Potensi
Mekanisasi
Bahaya Erosi

S, T
S, T

- Perbaikan sistem drainase (C)


- Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai)
- Umumnya tidak dapat dilakukan
kecuali pada lapisan padas lunak dan
tipis dan membongkarnya pada waktu
pengolahan tanah (Di)
- Pengaturan Sistem drainase untuk
mempercepat proses pematangan
gambut (C)
- Dengan tekhnik pemadatan gambut,
teknik penanaman dan seleksi
varietas (E)

S, T
T

- Penggunaan kapur/bahan organik (F)


- Penggunaan kapur/bahan organik (F)

S, T
S, T

- Reklamasi (Ii)

S, T

- Penggunaan kapur /bahan organik (F)


- Pengaturan sistem tata air, tinggi
permukaan air tanah harus diatas
lapisan bahan sulfida (BC)
- Pengaturan Kelembaban Tanah untuk
mem permudah pengolahan tanah (J)
- Tidak dapat dilakukan perbaikan (Ai)

S, T
S, T

- Usaha pengurangan laju erosi, dengan


berbagai metode konservasi tanah dan
air (K)

S, T

Bahaya banjir
- Pembuatan tanggul penahan banjir (H)
- Periode
- Serta pembuatan saluran drainase untuk
- Frekuensi
mempercepat pengaturan air (C)
Keterangan : R = Rendah, S= Sedang, T = Tinggi

R, S, T
R, S, T
R, S, T

11.

M. Tufaila

- Sistem irigasi/pengairan (B)


- Sistem irigasi/pengairan (B)

- Pemupukan (G)
- Pemupukan (G)
- Pemupukan (G)

8.

10.

Jenis Usaha Perbaikan

Sitti Leomo

Syamsu Alam

S, T
-

T
T

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

21

Berdasarkan jenis usaha perbaikan dan jenis pengelolaan kualitas


lahan aktual untuk menjadi potensial, maka diajukan beberapa asumsi
dalam menentukan perubahan kelas kesesuaian lahan aktual menjadi
potensial sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Asumsi tingkat perbaikan kualitas lahan aktual untuk
menjadi potensial menurut tingkat pengelolaannya
No.

Kualitas / Karakteristik
Lahan

Tingkat Pengelolaan
Rendah
Sedang
Tinggi

1.

Rejim Suhu
- Suhu Rata Tahunan
2.
Ketersediaan Air
- Bulan Kering
+
++
- Curah Hujan
+
++
3.
Media Perakaran
- Drainase
+
++
- Tekstur
- Kedalaman Efektif
+
- Gambut : - Kematangan
+
+
- Ketebalan
4.
Retensi Hara
- KTK
+
++
- pH
+
++
5.
Ketersediaan hara
- N Total
+
++
+++
- P2O5 Tersedia
+
++
+++
- K2O Tersedia
+
++
+++
6.
Kegaraman
- Salinitas
+
++
7.
Toksisitas
- Kejenuhan Al
+
++
- Lapisan Pirit
+
++
8.
Kemudahan Pengolahan
+
+
9.
Terrain/Potensi mekanisasi
+
10.
Bahaya Erosi
+
++
11.
Bahaya banjir
- Periode
+
++
- Frekuensi
+
++
Keterangan :
Tidak dapat dilakukan perbaikan
+
Perbaikan dapat dilakukan dan akan dihasilkan kenaikan kelas satu tingkat lebih tinggi
++
Kenaikan kelas dua tingkat lebih tinggi
+++
Kenaikan kelas tiga tingkat lebih tinggi

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN KERING

22

IV

A. Pengertian dan Potensi Lahan Kering


Pengertian lahan kering di Indonesia belum ada kesepakatan
yang pasti. Ada yang menggunakan untuk padanan dengan istilah :
upland, dryland, atau unirrigated land. Kedua istilah terakhir
menyiratkan penggunaan lahan untuk pertanian tadah hujan. Pertanian
tadah hujan yang dijalankan di daerah iklim arid sampai ringkai semi
arid dalam bahasa Inggris disebut dryland farming atau dry farming
(Nelson and Nelson, 1973; Roy and Arora, 1973; Moore, 1977; Billy,
1981; Landon, 1984). Yang dijalankan di daerah iklim lebih basah
disebut rainfed farming. Akan tetapi ada yang menggunakan kedua
istilah tersebut secara sinonim (Chao, 1984; Chin, 1984)
Istilah upland secara umum mengandung arti nisbi terletak
lebih tinggi sebagai lawan istilah lowland yang diberi arti nisbi
terletak lebih rendah (Moore, 1977; Monkhouse and Small, 1978).
Karena letak nisbi demikian, kedua istilah itu menunjukkan keadaan
drainase (pengatusan) alamiah. Upland adalah daerah dengan
pengatusan alamiah baik, sedang lowland adalah daerah dengan
pengatusan alamiah kurang baik, bahkan dapat buruk. Konotasi
pengatusan alamiah kemudian diperluas hingga mengenai pula
pengatusan buatan sehubungan dengan pengelolaan air pada petak
pertanaman. Upland menunjukkan lahan pertanaman yang diusahakan
tanpa menggenangkan air di atas petak pertanaman, berarti pengatusan
dibuat normal. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu
disebut upland crop. Lowland menunjukkan pada lahan pertanaman
yang diusahakan dengan penggenangan air, berarti pengatusan dibuat
terhambat. Pertanaman yang diusahakan secara demikian lalu disebut
lowland crop. Dengan pengertian ini maka lowland menjadi sinonim
dengan wetland (Notohadiprawiro, 1989).
Untuk menghilangkan kerancuan penggunaan istilah lahan
kering dan pertanian lahan kering, perlu dibedakan pengertian kering
yang menunjukkan (Notohadiprawiro, 1989) yaitu:

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

23

1. Keadaan iklim yang kering dalam arti istilah Inggris arid land
menurut salah satu difinisi: (a) daerah dengan curah hujan tahunan
kurang dari 250 mm (USA), (b) daerah yang jumlah hujannya tidak
mencukupi untuk menghidupi vegetasi sedikitpun, (c) daerah yang
jumlah hujannya tidak mencukupi untuk memapankan (estabish)
pertanian tanpa irigasi, atau (d) daerah dengan jumlah evaporasi
potensial melebihi jumlah curahan (precipitation) aktual
(Monkhouse and Small, 1978).
2. Keadaan lahan yang berkaitan dengan pengatusan alamiah lancar
(bukan rawa, dataran banjir, lahan dengan air tanah dangkal, dan
lahan basah alamiah lain).
3. Lahan pertanaman yang diusahakan tanpa penggenangan.
Pengertian kering yang pertama terkait dengan istila daerah
kering atau kawasan iklim kering. Untuk pengertian yang kedua dapat
dipilih istilah lahan atasan (upland). Untuk pengertian yang ketiga dapat
diterapkan istilah lahan kering. Jadi, pertanian lahan kering ialah
pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan lahan garapan. Maka
padi sawah dan perikanan kolam (air tawar dan tambak) tidak termasuk,
akan tetapi padi gogo, palawija, perumputan pakan, perkebunan dan
pekarangan termasuk pertanian lahan kering. Ini berarti bahwa irigasi
tetap dapat diberikan, asal tidak dimaksudkan untuk menggenangi
lahan.
Pengertian lahan kering Notohadiprawiro (1988) mengajukan
postulat lahan tadah hujan (raindfed) yang dapat diusahakan secara
sawah (lowland/wetland) atau secara tegal atau ladang (upland).
Pengertian tersebut yang menjadi kriteria pokok adalah hujan sebagai
sumber asasi air yang membedakan dengan lahan irigasi. Lahan kering
adalah lahan yang dalam keadaan alami tidak jenuh air hampir
sepanjang tahun atau tidak tergenang. Kelengasan tanahnya hampir
sepanjang tahun selalu di bawah kapasitas lapang. Fluktuasi kelengasan
tanah dipengaruhi oleh cuaca, keadaan fisiografi, dan pengelolaan.
Diantara faktor tersebut, hujan merupakan faktor penentu utama. Proses
biologi dan kimia dalam tanah terjadi dalam keadaan aerob. Pendapat
lain mengatakan bahwa lahan kering adalah lahan yang pada periode
tertentu dalam tiap tahun terdapat curah hujan yang tidak mencukupi
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

24

kebutuhan air oleh tanaman. Pola penyebaran curah hujan di Indonesia


terkonsentrasi pada suatu periode, intensitas tinggi terjadi di musim
penghujan dan intensitas rendah pada musim kemarau. Pada musim
kemarau tidak cukup hujan untuk pertumbuhan tanaman secara normal
dan tanah menjadi terbuka yang menjadi penyebab terjadina erosi di
awal musim hujan berikutnya. Erosi ini diperparah dengan
meningkatnya kemiringan lereng dan sistem pertanaman tanpa kaidah
konservasi lahan. Akibatnya terjadi pendangkalan solum, penghanyutan
lapisan yang kaya dengan bahan organik dan merosotnya keharaan
tanah.
Luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, ternyata
102,8 juta ha di antaranya termasuk lahan kering masam, dan yang
sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan, perkebunan/tahunan
sekitar 55,8 juta ha. Sedangkan sisanya (47 juta ha) termasuk lahan
yang tidak sesuai secara kimia-fisik, dengan faktor utama berupa
kesuburan tanah rendah, lereng curam (>40%), solum tanah dangkal,
banyaknya batuan di permukaan tanah. Lahan-lahan tersebut diarahkan
untuk kawasan hutan baik itu sebagai hutan lindung, hutan sempadan
sungai atau hutan konservasi (Mulyani, 2006).
B. Karakteristik Tanah
Berdasarkan uraian sebelumnya menunjukkan bahwa sebagian
besar lahan kering didominasi lahan kering masam (70%). Lahan kering
masam seluas tersebut sebagian besar didominasi oleh tanah ultisol dan
mempunyai karakteristik (Buol et al., 2003; Buring, 1979; Certini and
Scalenghe, 2006; Faning and Faning, 1989; Tufaila et al., 2011);
sebagai berikut :
1. Mempunyai pH rendah, berarti kemasaman tinggi. Hal ini
menyebabkan ketersediaan hara pada umumnya menurun,
perombakan bahan organik terhambat sehingga proses humifikasi
kurang lancar, kegiatan biologi menurun, dan kemungkinan
peracunan Al, Fe, dan Mn meningkat.
2. Kejenuhan Al tinggi dan kemungkinan besar Fe dan Mn aktif juga
tinggi. Unsur-unsur ini dalam jumlah yang tinggi meracuni tanaman.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

25

3. Lempung beraktivitas rendah dan bermuatan terubahkan. Hal ini


menyebabkan tanah mempunyai daya sanggah kimiawi lemah,
berarti sifat dan perilaku kimiawi dan fisiokimiawi tidak mantap,
daya simpan hara kation rendah, yang menyebabkan efisiensi
pemupukan rendah karena hara kation mudah terlindi, dan pH sukar
diperbaiki.
4. Daya semat fosfat tinggi. Hal ini menyebabkan ketersediaan fosfat
tanah rendah dan efisiensi fosfat rendah.
5. Kejenuhan basa rendah, berarti tanah miskin hara, K, Ca, Mg, dan
Na. Kandungan hara mikro juga rendah meskipun kadarnya cukup
akan tetapi tidak terjangkau oleh akar tanaman semusim.
6. Kadar organik rendah dan ini pun terlonggok dalam lapisan tanah
permukaan tipis. Dengan demikian kadar N, S, dan P juga menjadi
rendah dan keberadaannya terbatas dalam hal lapisan tanah
permukaan tipis itu. Bahan organik tanah menjadi sumber utama
ketiga unsur hara tersebut mengingat bahwa lebih dari 98% N, 6095%S, dan 25-60% P terdapat dalam senyawa organik (Schroeder,
1984). Dengan terkumpulnya bahan organik, N, S, dan P yang sedikit
itu di bagian atas tanah, berarti bahan-bahan tersebut justru berada
dalam bagian tanah yang paling rentan erosi, jadi mudah sekali
hilang.
7. Daya simpan air terbatas, berarti tanah mudah mengalami kekeringan
walaupun kelembaban cuaca menurun sedikit saja. Oleh karena
penyampaian zat hara dari tanah ke akar kebanyakan berlangsung
dengan air sebagai media (aliran masa, difusi), kemudahan
mengalami kekurangan air menyebabkan efektivitas tanah
menyampaikan hara kepada tanaman menjadi mudah berubah.
8. Jeluk efektif tanah terbatas karena telah mempunyai horison
longgokan lempung yang secara nisbih dangkal. Horison ini
membatasi pasokan air yang cenderung meningkatkan aliran limpas
yang pada gilirannya memperbesar kemungkinan terjadinya erosi.
Air perkolasi yang terhambat oleh horison longgokan lempung
cenderung mengumpul di atas bidang permukaan horison yang
bersangkutan yang mengakibatkan bidang tersebut licin.
Pengumpulan air perkolasi di dalam tanah yang berada di atas
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

26

horison longgokan lempung menyebabkan bobot masa tanah naik


dan rentan longsor sepanjang bidang permukaan horison longgokan
lempung yang licin. Jeluk efektif yang terbatas menyebabkan volume
tanah yang dapat dijangkau akar berkurang. Ini berarti akar tidak
dapat memanfaatkan seluruh persediaan hara yang ada dalam tanah.
Akar tumbuh dan berkembang secara terbatas di lapisan tanah
permukaan yang rentan kehilangan air karena penguapan, sehingga
tanaman mudah mengalami kekahatan air. Untuk tanaman yang
berkanopi tinggi dan mempunyai biomasa trubus berat, kedangkalan
akar juga menyebabkan tanaman mudah tumbang.
9. Derajat agregasi zarah-zarah debu dan lempung rendah serta
kemantapan agregatnya lemah, yang menambah kerentanan tanah
terhadap erosi di lahan berlereng, dan menyebabkan tanah rentan
terhadap pemampatan oleh penggunaan alat dan mesin berat.
Struktur tanah yang kurang berkembang dan lemah tersebut tadi
menyebabkan tanah mudah membentuk kerak permukaan karena
benturan tetesan air hujan. Lapisan kerak menghambat
perkecambahan biji, peresapan air infiltrasi, difusi O2 ke dalam tanah
untuk pernafasan akar dan jasad renik, dan difusi CO2 sisas
pernapasan dan perombakan bahan organik ke luar tanah.
Tanah ultisol berkendala ganda yang berkenaan dengan segala
sifatnya, yaitu fisik, fisikokimia, kimia, biologi dan morfologi. Maka
untuk mengelola tanah semacam ini, yang bertujuan meningkatkan
harkatnya dari marginal menjadi berproduktivitas memadai secara
berkelanjutan, diperlukan sustu teknologi yang dapat bekerja secara
serbacakup (comprehensive). Ini berarti suatu teknologi yang dapat
menyelesaikan semua persoalan sekaligus. Teknologi yang diterapkan
sekarang, yang terdiri atas komponen-komponen pupuk buatan dengan
kandungan hara konsentrasi tinggi dan cepat tersedia, kapur pertanian
takaran tinggi, pengolahan tanah intensif, intensif tanaman semusim,
dan jenis unggul berpotensi hasil panen tinggi yang lahap hara, tidak
sesuai untuk tanah-tanah berkendala ganda. Hasil panen tinggi tidak
akan bertahan lama karena teknologi semacam itu tidak berasaskan
ekologi, sehingga tanah secara berangsur akan mengalami degradasi.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

27

Meskipun potensi tanahnya rendah, akan tetapi karena potensi


luasnya sangat besar, lahan kering bagaimanapun juga harus dipandang
sebagai suatu aset nasional yang perlu diperhatikan dan dimanfaatkan.
Perhatian dan pemanfaatannya lebih perlu lagi jika diingat bahwa lahan
bawahan yang berpotensi baik sudah semakin penuh tergunakan, tidak
hanya untuk pertanian akan tetapi juga untuk keperluan bukanpertanian.
C. Pertanian di Lahan Kering
Pertanian di lahan kering harus menyusun strategi yang dapat
menjamin kehadirannya secara mantap sebagai salah satu eksponen
pembangunan nasional yang tangguh tanpa lewat jalan konfrontasi.
Strategi tersebut dapat ditempuh dengan dua jalur. Jalur pertama ialah
meningkatkan efisiensi usahatani dan penggunaan sumberdaya lahan
bawahan, sehingga dapat tetap berdaya produksi baik meskipun luas
lahan berkurang. Jurus kedua ialah berkubu di lahan-lahan atasan dan
yang kurang atau yang tidak diminati pihak lain, seperti rawa pasang
surut di lahan bawahan. Pertanian harus mampu menciptakan sendiri
prospek yang cerah bagi pengusahaan lahan-lahan piasan (marginal),
inkonvesional dan yang tidak menarik bagi pihak lain, termasuk bagi
pengusahaan lahan kering.
Untuk menciptakan prospek cerah, khusus bagi pengusahaan
lahan kering, diperlukan teknologi sepadan (apprioritas), baik bagi
lingkungan biofisik maupun bagi lingkungan sosial ekonomi.Teknologi
ini berasaskan LISA (Low Input Sustainabla Agriculture) yang
terjabarkan menjadi tiga rakitan teknik pokok, yaitu: `
1. Memadu kemampuan alamiah sistem tanah-tanaman-atmosfer dalam
mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi produk berguna
bagi manusia.
2. Adaptasi tanaman dan ternak pada lingkungan hidup setempat lewat
seleksi, pemuliaan konvensional atau rekayasa genetik.
3. Membangun kelembagaan yang mendukung rasionalitas usahatani,
pemberian nilai tambah pada hasil nilai pertanian, dan pelancaran
pemasaran hasil usahatani.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

28

Ketiga rakitan ini dimaksudkan untuk:


1. Membatasi ketergantungan pertanian pada masukan komersial,
seperti pupuk pabrik, bahan kimia pembenah tanah (chemical soil
amendments), pestisida, subsidi dan kredit.
2. Membatasi usikan kegiatan atas lingkungan, berarti mengurangi
dampak negatif atas lingkungan.
3. Mengokohkan usahatani sebagai eksponen ekonomi nasional.
Berdasarkan pertimbangan LISA, kendala-kendala tanah, sifat
timbulan, keadaan iklim, dan nasabah antara tanah, timbulan dan iklim
yang menjadi penentu kemampuan lahan, maka berikut ini disenaraikan
(listed) bentuk-bentuk penggunaan lahan kering yang dapat dipilih.
Senarai disusun berurut mulai dari bentuk penggunaan yang dapat
dianjurkan pertama-tama :
1. Perkebunan.
2. Peternakan dengan penggembalaan bergilir (paddock system).
3. Pertanian pangan dengan sistem hutantani (agroforestry).
4. Pertanian pangan dengan pemeliharaan ternak yang dikandang.
5. Pertanian pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah.
Pengurutan senerai memperlihatkan dari atas ke bawah adaptasi
yang makin kurang, pengelolaan yang makin rumit dan mutu lahan yang
diminta makin tinggi. Memilih bentuk penggunaan tentu masih
memerlukan tinjauan ekonomi, dan apabila mengenai pertanian rakyat
juga perlu mempertimbangkan faktor sosial dan budaya (selera,
kebiasaan, kepercayaan dan tradisi).
Bentuk apa pun yang dipilih, teknik konservasi tanah dan air
harus menjadi komponen pokok sistem pengelolaan. Dalam hal
peternakan dengan penggembalaan bergilir, pertanian pangan dengan
sistem hutantani, dan sampai tingkat tertentu perkebunan, termasuk
mencakup konservasi tanah dan air.
Jika dikehendaki dapat saja dibuat gabungan dua atau lebih
bentuk penggunaan lahan. Misalnya, perkebunan dan pertanaman
pangan dengan menerapkan bioteknologi tanah, tanaman perkebunan
dan tanaman rumput pakan ditanam dengan sistem penanaman lorong
(alley cropping).

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

29

Bentuk pengelolaan yang dapat berperan penting dalam


pengembangan pertanian lahan kering dan dapat menjamin
keberlanjutan pertanian lahan kering di lahan-lahan bertanah piasan
(marginal) adalah budidaya organik.
1. Pengelolaan air
Konservasi lengas tanah menjadi faktor yang paling menentukan
keberhasilan pertanian di lahan kering. Air hujan harus
ditransformasikan terlebih dahulu menjadi lengas tanah agar dapat
dimanfaatkan atau diserap akar tanaman. Proses transformasi tersebut
berlangsung di dalam tanah dan efektifitasnya ditentukan oleh tekstur
tanah, struktur tanah, macam mineral lempung, kandungan bahan
organik tanah, dan jeluk mampan tubuh tanah. Konservasi lengas tanah
berarti menahan lengas tanah lebih lama dalam tanah dengan jalan
menekan kehilangan air lewat evaporasi dan atau perkolasi. Jumlah air
limpasan juga perlu dikendalikan untuk memperbesar jumlah hujan
efektif, yaitu bagian air hujan yang meresap ke dalam tanah. Dengan
kata lain memperbesar bagian air hujan yang tersedia untuk
ditransformasikan menjadi lengas tanah.
Beberapa teknik pengendalian erosi juga efektif menekan laju
aliran limpas, berarti meningkatkan hujan efektif, yaitu menahan dengan
pola pagar resah garis tinggi, penanaman berjalur, dan teras.
Penekanan evaporasi dapat dilakukan dengan mulsa (Gambar
1a). Bahan mulsa yang paling mudah diperoleh adalah limbah pertanian,
tetapi ada kemungkinan pertentangan kepentingan penggunaan limbah
ini. Suatu cara yang efektif namun mahal adalah menutup permukaan
tanah dengan lembaran plastik (Gambar 1b). Laju evaporasi dapat
ditekan juga dengan mengolah lapisan tanah atasan menjadi bongkahbongkah kasar atau menerapkan sistem pengolahan tanah minimum.
Jumlah evaporasi dapat dikurangi dengan jalan melancarkan
infiltrasi air ke dalam tanah dan menahan air dalam bagian tubuh tanah
yang tidak terlalu dekat dengan permukaan tanah. Lebih baik lagi bila
sebagian besar air tersipan dalam mintakan utama perakaran tanaman
untuk memudahkan tanaman memperoleh air. Melancarkan infiltrasi ini
harus diikuti dengan memperbesar kemampuan tubuh tanah menyimpan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

30

air dan mengurangi laju perkolasi dalam tubuh tanah. Meningkatkan


daya serap dan jerap tanah terhadap air dengan sendirinya berguna pula
membatasi perkolasi air ke luar tubuh tanah yang berarti pula
membatasi pelindian hara terlarutkan. Infiltrasi air dapat dilancarkan
dengan melonggarkan struktur lapisan tanah atasan. Pembenaman atau
penggunaan bahan organik bermanfaat untuk memperbesar kapasitas
tanah menyimpan air, sekaligus mengurangi perkolasi air dalam tubuh
tanah.

(a)
(b)
Gambar 1. Penggunaan mulsa jerami (a) (http://alamtani.com/pupukhijau.html) dan mulsa plastik (b) pada pertanian lahan
kering
(http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/carapengolah-an-lahan-budidaya-melon.html)
2. Budidaya organik
Penyelesaian tanah berkedala ganda diperlukan teknologi yang
mempunyai kemampuan ganda pula. Budidaya organik adalah teknologi
produksi pertanian semacam itu. Semua upaya yang diperlukan untuk
menanggulangi berbagai kendala lahan kering masam seperti tanah
ultisol tersedia dalam budidaya organik. Selain itu, yang lebih penting
lagi ialah semua upaya tersebut saling bernasabah dalam bentuk suatu
sistem. Hal ini berbeda sama sekali dengan budidaya kimiawi yang
sampai saat sekarang diandalkan sebagai teknologi produksi pertanian
utama. Untuk dapat menyelesaikan kedala ganda tanah, budidaya
kimiawi mencampurkan sejumlah kimiawi yang pada asasnya tidak
saling bernasabah secara sistem. Misalnya, pengapuran diterapkan
untuk menanggulangi persoalan peracunan Al, Fe, dan Mn. Akan tetapi
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

31

akibat sampingannya ialah justru memperberat persoalan kekahatan P,


Cu, Zn dan bahan organik, pelindian hara kation, dan kerentanan tanah
terhadap erosi dan pemampatan. Pemupukan dengan pupuk buatan
hanya dapat menyelesaikan persoalan kekahatan hara, jika tidak
dipolakan secara cermat justru dapat mendatangkan persoalan baru
berupa ketimpangan ketersediaan hara dalam tanah. Pengapuran
mengakibatkan efisiensi pemupukan N, P, dan K menurun, padahal
pengapuran diperlukan untuk menanggulangi persoalan peracunan Al,
Fe, dan Mn.
Budidaya organik merupakan suatu sistem produksi yang
menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk pabrik,
pestisida, zat pengatur tumbuh dan aditif pakan. Sampai tingkat
maksimum yang dimungkinkan, sistem budidaya organik bersandar
pada pergiliran pertanaman, sisa pertanaman, pupuk kandang atau
kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usahatani,
penyiangan mekanik, batuan mengandung mineral, dan gatra
pengendalian hama secara biologi, untuk mempertahankan produktivitas
dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk
mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan yang lain
(Youngherg and Buttel, 1984). Contoh tanaman hasil budidaya organik
disajikan paga Gambar 2.
Budidaya organik dapat disebut sebagai suatu sistem produksi
pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Menurut
Herwood Cit. Papendick dan Elliott, 1984 ada tiga ragam pendauran
hara yang diminati petani budidaya organik, yaitu (1) pendauran hara di
dalam usahatani dengan sumber-sumber yang berasal dari luar
usahatani, (2) pendauran hara di dalam usahatani dengan sumbersumber yang berasal dari usahatani sendiri berupa sisa pertanaman, dan
(3) pendauran hara di dalam petak pertanaman.
Pendauran ragam pertama berguna menambahkan hara ke dalam
tanah dan luar usahatani. Cara ini mirip dengan pemupukan
konvensional dengan pupuk kimiawi buatan. Namun ada perbedaan
besar dalam hal daya pengaruh dan konsekuensinya. Pupuk kimiawi
buatan memasok hara tertentu berupa senyawa anorganik berkadar
tinggi dan mudah larut. Pemberian berulang kali dapat membahayakan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

32

flora dan fauna tanah alami, mendatangkan ketimpangan hara dalam


tanah, dan dengan sistem pengelolaan hara yang biasa dilakukan waktu
ini dapat menyebabkan pencemaran bekalan-bekalan air, khususnya air
tanah. Pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama berupa
senyawa organik berkonsentrasi rendah yang tidak mudah larut
sehingga pupuk organik tidak akan dapat menimbulkan ketimpangan
hara dalam tanah, bahkan dapat memperbaiki neraca hara. Pasokan
bahan organik dapat menyehatkan kehidupan flora dan fauna tanah
alami, yang pada gilirannya dapat meningkatkan dan memelihara
produktivitas tanah. Terkait dengan tanah mineral masam seperti ultisol,
bahan organik yang diberikan pada tanah dapat sekaligus
menanggulangi bahaya peracunan Al, Fe, dan Mn; memperbaiki daya
tanah menyimpan lengas, dan meningkatkan derajat agregasi zarahzarah debu dan lempung serta kemantapan agregat, yang berarti
menurunkan kerentanan tanah terhadap erosi dan pemampatan. Oleh
karena zat-zat hara berada dalam bentuk senyawa organik yang
pelepasannya berlangsung secara berangsur, pupuk organik tidak
mendatangkan pencemaran atas bekalan-bekalan air.
Pendauran hara kedua tidak menambahkan hara ke dalam tanah,
hanya mengembalikan hara yang tidak terangkut ke luar bersama
dengan hasil panen. Kandungan hara dalam tanah secara berangsur tetap
berkurang karena setiap kali ada yang terbawa ke luar bersama dengan
hasil panen. Meskipun demikian manfaatnya tetap besar karena
memasok bahan organik. Pendauran lewat ternak menyebabkan jumlah
hara yang terkembalikan pada tanah lebih berkurang lagi karena
sebagian terpakai untuk pertumbuhan badan hewan. Oleh karena unsur
hara yang hilang dari tanah hanya terangkut ke luar bersama dengan
hasil panen, persediaan hara dalam tanah dapat digunakan secara lebih
hemat dan dapat memenuhi kebutuhan untuk waktu yang lebih lama.
Pendauran ragam ketiga biasanya melibatkan tanaman legum
untuk memenuhi bagian besar atau seluruh kebutuhan hara N
pertanaman pokok. Tanaman legum dapat ditanam secara bergilir
dengan tanaman pokok di petak yang sama, atau ditanam berjajar
dengan tanaman pokok di petak yang terpisah menurut sistem
pertanaman lorong. Tanaman yang ditanam secara bergilir dengan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

33

tanaman pokok dapat berupa tanaman legum yang juga menghasilkan


komoditas yang penting (kacang tanah, kedelai), atau tanaman legum
yang khusus menghasilkan pupuk hijau. Tanaman yang ditanam dengan
sistem pertanaman lorong adalah legum pohon yang daunnya dipungut
sebagai pupuk hijau atau mulsa.
Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan
atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan risiko yang
ditimbulkannya. Hal itu mencakup:
1. Menghemat penggunaan hara tanah, berarti memperpanjang umur
produktif tanah.
2. Melindungi tanah terhadap kerusakan karena erosi dan mencegah
degradasi tanah karena kerusakan struktur (pemampatan).
3. Menghindarkan terjadinya ketimpangan hara dalam tanah, bahkan
dapat memperbaiki neraca hara dalam tanah.
4. Memperbaiki penyediaan lengas tanah, sehingga membatasi resiko
kekeringan pada pertanaman dan memperbaiki ketersediaan hara
tanah dan hara pupuk mineral, berarti meningkatkan efisiensi
penggunaannya dan menghemat penggunaan pupuk buatan yang
mahal.
5. Melindungi pertanaman terhadap cekaman oleh unsur-unsur yang ada
dalam tanah (Al, Fe, Mn) atau yang masuk ke dalam tanah dari
bahan-bahan pencemar (logam-logam berat).
6. Tidak membahayakan kehidupan flora dan fauna tanah, bahkan dapat
menyehatkannya, berarti berdaya memelihara ekosistem tanah.
7. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas
bekalan-bekalan air, karena zat-zat kimia yang dikandungnya
berkadar rendah dan berbentuk senyawa yang tidak mudah larut.
8. Berharga murah karena pupuk organik terutama dihasilkan dari
bahan-bahan yang tersediakan di dalam usahatani sendiri dan pupuk
hayati hanya diperlukan dalam jumlah sedikit, sehingga menekan
biaya produksi usahatani.
9. Merupakan teknologi berkemampuan ganda, sehingga cocok sekali
untuk diterapkan pada tanah-tanah yang berpersoalan ganda yang
terdapat luas sekali di Indonesia (seperti tanah ultisol dan oksisol).

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

34

Ciri lain dari budidaya organik ialah penggunaan pupuk hayati


(biofertilizers). Pupuk hayati ialah sediaan organik yang peran
ameliorasinya barasal dari kandungan jasad renik aktif. Pupuk hayati
dipilahkan menurut macam unsur hara yang ditanganinya. Salah satu
pupuk hayati N yang sudah dikenal baik di Indonesia ialah inokulum
rhizobium untuk kedelai. Pupuk hayati N yang lain ialah sediaan jasad
renik penambat N2 udara non-simbiotik (Azotobacter, Azospirillum).
Hasil penelitian Purwaningsih et al. (2012) menunjukkan bahwa (1)
inokulasi rhizobium meningkatkan fiksasi nitrogen dan hasil biji.
Kultivar kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Anjasmara, Sibayak,
Surya, Gepak Kuning, Galunggung, Argomulyo dan Baluran; (2)
inokulasi rhizobium menyebabkan fiksasi nitrogen meningkat tetapi
tidak diikuti dengan peningkatan hasil biji. Kultivar kedelai yang
termasuk kriteria ini adalah Tanggamus; (3) inokulasi rhizobium tidak
meningkatkan fiksasi nitrogen tetapi meningkatkan hasil biji. Kultivar
kedelai yang termasuk kriteria ini adalah Malabar, Seulawah dan Petek;
dan (4) inokulasi rhizobium tidak meningkatkan fiksasi nitrogen dan
hasil biji. Kultivar yang termasuk kriteria ini adalah Ijen, Sinabung,
Wilis, Grobogan, dan Garut.
Pupuk hayati yang lain ialah sediaan atau inokulan seperti
sediaan jasad renik pelarut fosfat, sediaan jasad renik penambat N2
udara yang hidup bebas dalam tanah, sediaan jasad renik pengurai
bahan organik, dan biakan cacing tanah untuk memperbaiki keadaan
fisik dan kimiawi tanah serta pengurai bahan organik.
Inokulum mikorisa digolongkan dalam pupuk hayati P karena
dapat melancarkan serapan P oleh tanaman. Perkembangan mikorisa
yang subur membentuk benang-benang hifa yang rapat, menjulur dari
permukaan akar ke dalam tanah. Karena halusnya, hifa dapat menembus
pori-pori tanah yang tidak dapat ditembus oleh akar-akar rambut yang
terhalus sekalipun. Dengan demikian volum efektif tanah yang
terjangkau akar meningkat sekali dan efektivitas penyerapan air dan
hara menjadi sangat meningkat. Tanaman menjadi lebih tegar
menghadapi risiko kekeringan dan dapat hidup lebih baik di tanah-tanah
yang semula dinilai miskin hara. Mikorisa juga berdaya meningkatkan
serapan hara mikro Zn dan Cu serta meningkatkan kemampuan tanaman
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

35

menyerap air. Fungus ini juga berguna melawan peracunan tanaman


oleh unsur-unsur logam berat seperti Mn dan Cd (FAO, 1990). Ada
yang memperkirakan mikorisa dapat memperluas sistem perakaran
tanaman sampai 1000 kali. Maka mikorisa juga berkemampuan
mengurangi kerentanan tanah terhadap erosi.
Sediaan jasad renik pelarut fosfat yang lain seperti
Pseudomonas, Bacillus, Aspergillus, dan Penicillium yang berguna
meningkatkan kadar P tersediakan dalam tanah atau meningkatkan
keterlarutan P dalam pupuk fosfat alam. Inokulasi jasad renik pelarut
fosfat, pemupukan fosfat cukup dikerjakan dengan bahan fosfat alam
yang murah, tidak perlu dengan pupuk buatan TSP atau SP yang mahal.
Maka kebutuhan akan pupuk P buatan, berarti ketergantungan pada
industri petrokimia, dapat sangat dibatasi atau bahkan dapat ditiadakan.
Hal ini akan sangat meringankan beban biaya produksi petani,
khususnya petani kecil. Menurut pengalaman di India, penggunaan
jasad renik penambat N dan pelarut fosfat secara gabungan dapat
meningkatkan hasil panen padi dan "chikpea" (Cicer arietinum) secara
nyata dan dapat memotong kebutuhan pupuk N buatan sampai
setengahnya dan mengganti pupuk P buatan dengan batuan fosfat alam
(FAO, 1990).
Hasil penelitian Masruroh et al. (2013) menunjukkan bahwa
pemberian agen hayati tanah berupa cacing tanah, rhizobium,
azotobacter, bakteri pelarut P, dan fungi pelarut P tidak terlihat
pengaruh yang nyata terhadap indikator kesuburan tanah, kecuali pada
permeabilitas tanah, kemantapan agregat, dan perkembangan cacing
tanah. Pengaruh nyata dari aplikasi agen hayati tanah terjadi pada
parameter permeabilitas dan agregat tanah pada kedalaman 15-30 cm.
Interaksi dan hubungan adannya aplikasi agen hayati tanah terhadap
indikator kesuburan lahan terletak pada sifat biologi tanah, yaitu pada
bobot basah cacing tanah dan perkembangan makro fauna permukaan
tanah pada awal tanam. Namun hubungan ini masih menghasilkan
peningkatan bobot cacing tanah sebesar 2,64%. Aplikasi agen hayati
tanah tidak berpengaruh terhadap hasil produksi kedelai. Namun, agen
hayati tanah rhizobium, cacing tanah, dan bakteri pelarut P mampu
meningkatkan hasil produksi kedelai sebesar 25,68%.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

36

Pupuk hayati C ialah inokulum untuk mempercepat


pengomposan dan memperbaiki mutu kompos (Trichoderma).
Penelitian di Thailand membuktikan bahwa pengomposan dengan cara
ini memperbaiki ketersediaan N dalam bahan organik dan pemberian
komposnya kepada tanah meningkatkan N tersediakan dalam tanah
(FAO, 1990). Kompos yang dibuat dengan cacing tanah (vermicompost)
akhir-akhir ini medapat perhatian luas sebagai pupuk hayati penting.
Penebaran biakan cacing tanah dalam tanah dapat memperbaiki sifat
fisik dan kimiawi tanah serta dapat memacu kegiatan jasad renik tanah.
Biakan Trichoderma sp. digunakan untuk mempercepat
pengomposan. Pemberian kompos yang dibuat dengan aktivator
Trichoderma sp. dan ditambah hanya dengan setengah takaran pupuk
buatan yang biasa diberikan dapat meningkatkan hasil panen sampai
20% dibandingkan dengan yang dipupuk dengan takaran penuh pupuk
buatan. Hasil penelitian Tufaila et al. (2014a) dan Tufaila et al. (2014b)
menunjukkan bahwa penggunaan kompos dapat memperbaiki
kesuburan tanah masam dan dapat meningkatkan hasil tanaman padi
dan mentimun.
Pupuk organik dan hayati mempunyai beberapa keunggulan
nyata dibandingkan dengan pupuk mineral. Pupuk organik dengan
sendirinya merupakan keluaran setiap kegiatan pertanian, sehingga
merupakan sumber hara makro dan mikro yang boleh dikatakan cumacuma. Pupuk hayati secara nisbih murah. Dengan pengelolaan yang
baik, tanah yang pernah diinokulasi dengan rhizobium atau mikorisa
dan ditanam dengan tanaman yang sama biasanya tidak memerlukan
inokulasi ulang. Biakan cacing tanah yang disebar dalam tanah yang
sesuai secara ekologis akan berkembang dengan sendirinya. Pupuk
organik dan hayati berdaya ameliorasi ganda dengan berbagai proses
yang saling mendukung, bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus
menyehatkan tanah sebagai suatu ekosistem dan memperkuat daya
tahan tanah terhadap degradasi, dan menghindarkan terjadinya
pencemaran lingkungan. Akan tetapi dalam penerapannya terdapat
kendala ketersediaan pupuk organik, takaran harus banyak, dan dapat
memenuhi persaingan dengan kepentingan lain dalam memperoleh sisa
pertanaman atau limbah organik secara cukup.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

37

Pupuk hayati masih berada pada awal pengembangan. Pada


waktu ini keberhasilan penggunaannya masih terbatas, terutama karena
produksinya belum dapat memenuhi jumlah kebutuhan. Untuk
mencukupi kebutuhan, pupuk hayati perlu diproduksi secara industri
sebagaimana yang dikerjakan orang di negara-negara maju. Di
Indonesia belum diprioritaskan secara serius karena kebijakan
pembangunan pertanian masih mementingkan budidaya kimiawi. Maka
bioteknologi yang menjadi dasar pengembangan pupuk hayati belum
memperoleh perhatian sebagaimana mestinya.
Budidaya organik belum dapat diterapkan secara murni
mengingat kendala-kendala tersebut tadi. Disamping itu di tanah-tanah
yang sangat miskin hara pupuk organik dan hayati perlu dilengkapi
dengan pupuk mineral, khusus pada tahap awal pembudidayaannya.
Pupuk mineral diperlukan agar supaya takaran pupuk organik tidak
menjadi terlalu banyak menyulitkan pengelolaannya. Sejalan dengan
proses pembangunan kesuburan tanah oleh pupuk organik dan hayati,
secara berangsur kebutuhan pupuk mineral yang berkadar hara tinggi
dapat dikurangi. Penggabungan budidaya organik dengan budidaya
kimia disebut sistem gizi tanaman terpadu (integrated plant nutrition
system, IPNS) yang sekarang sedang dikembangkan secara luas di
negara-negara Asia dan Pasifik oleh prakarsa FAO. Di dalam IPNS
penggunaan pupuk organik dan hayati bertujuan jangka panjang untuk
membangun sistem bekalan hara (nutrient supply system) dalam tanah
yang baik dan mantap. Penggunaan pupuk kimia bertujuan jangka
pendek untuk memasok hara secara segera sambil menunggu
berfungsinya sistem bekalan hara yang efektif secara berkelanjutan.
Hasil penelitian Magdalena et al. (2013) yang mengkombinasikan pupuk anorganik, pupuk kandang dan pupuk hijau untuk
mengurangi ketergantungan terhadap pupuk anorganik menunjukkan
bahwa perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk kandang 20 ton
ha-1 dan perlakuan pupuk anorganik 75% dengan pupuk hijau Crotalaria
juncea 20 ton ha-1 tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk
anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha -1 disertai pupuk hijau
C. Juncea 10 ton ha-1, sehingga perlakuan pupuk anorganik 75% dengan
pupuk kandang 20 ton ha-1 dan pupuk anorganik 75% dengan pupuk
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

38

hijau C. Juncea 20 ton ha-1 dapat mengurangi kebutuhan pupuk


anorganik. Perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk hijau C.
juncea 20 ton ha-1 dan perlakuan pupuk anorganik 100% dengan pupuk
kandang 20 ton ha-1 memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan dengan
pupuk anorganik 100% dengan pupuk kandang 10 ton ha -1 disertai
pupuk hijau C. Juncea 10 ton ha-1.

(a)
(b)
Gambar 2. Tanaman cabai (a) dan tanaman kubis (b) hasil budidaya
organik (http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/ budidaya-cabai-organik.html;http://mitrapetani.blogspot.com/2012/
10/ mitra-petani-potensi-pertanian-organik.html)

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

39

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT

A. Pengertian dan Potensi Lahan Gambut


Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya
bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih.
Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman
yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan
miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah
rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya
buruk.
Luas lahan gambut di dunia diperkirakan sekitar 400 juta ha.
Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut
terluas di dunia, yaitu sekitar 17,2 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta
ha, Uni Soviet seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha
(Euroconsult, 1984). Namun demikian, dari berbagai laporan, Indonesia
sesungguhnya merupakan negara dengan kawasan gambut tropika
terluas di dunia, yaitu antara 13,5-26,5 juta ha (rata-rata 20 juta ha). Jika
luas gambut Indonesia adalah 20 juta ha, maka sekitar 50% gambut
tropika dunia yang luasnya sekitar 40 juta ha berada di Indonesia.
Lahan gambut tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua
(BB Litbang SDLP, 2008). Namun karena variabilitas lahan ini sangat
tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun
kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal
pertanian. Dari 18,3 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama
Indonesia, hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Luas
lahan gambut yang layak untuk pertanian serta sebarannya di Indonesia
(BB Litbang SDLP., 2008) disajikan pada Tabel 5.
Potensi lahan gambut yang sedemkian besarnya tersebut
sehingga perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa provinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau,
Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Antara tahun 1982 sampai
2007 telah dikonversi seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan
gambut seluas 3,2 juta ha di Provinsi Riau. Laju konversi lahan gambut
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

40

cenderung meningkat dengan cepat, sedangkan untuk lahan non gambut


peningkatannya relatif lebih lambat (WWF, 2008).
Tabel 5. Luas total lahan gambut dan yang layak untuk pertanian serta
sebarannya di Indonesia
Pulau/Provinsi

Luas total (ha)

Sumatra
Riau
Jambi
Sumatera Selatan
Kalimantan
Kalimantan Tengah
Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan
Papua dan Papua Barat
Total

6.244.101
4.043.600
716.839
1.483.662
5.072.249
3.010.640
1.729.980
331.629
7.001.239
18.317.589

Layak untuk
pertanian (ha)
2.253.733
774.946
333.936
1.144.851
1.530.256
672.723
694.714
162.819
2.273.160
6.057.149

Catatan: Apabila lahan gambut di Provinsi Naggroe Aceh Darussalam, Sumatera


Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Kalimantan Timur diperhitungkan, maka luas
total lahan gambut di Indonesia adalah sekitar 21 juta ha.

B. Pembentukan dan Klasifikasi Gambut


1. Pembentukan gambut
Gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dicirikan
oleh adanya akumulasi bahan organik yang berlangsung dalam kurun
waktu lama. Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi
dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik yang terdapat di
lantai hutan lahan basah. Proses pembentukan gambut hampir selalu
terjadi pada hutan dalam kondisi tergenang dengan produksi bahan
organik dalam jumlah yang banyak (Najiyati at al., 2005).
Pembentukan gambut diduga terjadi antara 10.000-5.000 tahun
yang lalu (pada periode holosin) dan gambut di Indonesia terjadi antara
6.800-4.200 tahun yang lalu (Andriesse, 1994). Gambut di Serawak
yang berada di dasar kubah terbentuk 4.300 tahun yang lalu (Tie and
Esterle, 1991), sedangkan gambut di Muara Kaman Kalimantan Timur
umurnya antara 3.850 sampai 4.400 tahun (Diemont and Pons, 1991).
Siefermann et al. (1988) menunjukkan bahwa berdasarkan carbon
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

41

dating (penelusuran umur gambut menggunakan teknik radio isotop)


umur gambut di Kalimantan Tengah lebih tua lagi yaitu 6.230 tahun
pada kedalaman 100 cm sampai 8.260 tahun pada kedalaman 5 m. Dari
salah satu lokasi di Kalimantan Tengah, Page et al. (2002) menampilkan
sebaran umur gambut sekitar 140 tahun pada kedalaman 0-100 cm, 5005.400 tahun pada kedalaman 100-200 cm, 5.400-7.900 tahun pada
kedalaman 200-300 cm, 7.900-9.400 tahun pada kedalaman 300-400
cm, 9.400-13.000 tahun pada kedalaman 400-800 cm dan 13.00026.000 tahun pada kedalaman 800-1.000 cm.
Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa pembentukan
gambut memerlukan waktu yang sangat panjang. Gambut tumbuh
dengan kecepatan antara 0-3 mm tahun-1. Di Barambai Delta Pulau
Petak, Kalimantan Selatan laju pertumbuhan gambut sekitar 0,05 mm
dalam satu tahun, sedangkan di Pontianak sekitar 0,13 mm tahun-1. Di
Sarawak Malaysia, laju pertumbuhan berjalan lebih cepat yaitu sekitar
0,22 0,48 mm per tahun (Noor, 2001).
Secara umum, pembentukan dan pematangan gambut berjalan
melalui tiga proses yaitu pematangan fisik, pematangan kimia dan
pematangan biologi. Kecepatan proses tersebut dipengaruhi oleh iklim
(suhu dan curah hujan), susunan bahan organik, aktivitas organisme,
dan waktu (Andriesse, 1988).
Pematangan gambut melalui proses pematangan fisik, kimia, dan
biologi dapat digambarkan sebagai berikut:
(1) Pematangan fisik terjadi dengan adanya pelepasan air (dehidrasi)
karena drainase, evaporasi (penguapan), dan dihisap oleh akar.
Proses ini ditandai dengan penurunan dan perubahan warna tanah;
(2) Pematangan kimia terjadi melalui peruraian bahan-bahan organik
menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana. Proses pematangan
ini akan melepaskan senyawa-senyawa asam-asam organik yang
beracun bagi tanaman dan membuat suasana tanah menjadi asam.
Gambut yang telah mengalami pematangan kimia secara sempurna
akhirnya akan membentuk bahan organik baru yang disebut sebagai
humus; dan
(3) Pematangan biologi merupakan proses yang disebabkan oleh
aktivitas mikroorganisme tanah. Proses ini biasanya akan lebih cepat
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

42

terjadi setelah pembuatan drainase karena tersedianya oksigen yang


cukup menguntungkan bagi pertumbuhan mikroorganisme.
Tanah gambut dalam klasifikasi tanah dikenal sebagai histosols
yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat volume
(BV) dalam keadaan lembab < 0,1 g cm-3 dengan tebal > 60 cm atau
lapisan organik dengan BV > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil
Survey Staff, 2010).
2. Klasifikasi gambut
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut
pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan
dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya,
gambut dibedakan menjadi:
(1) Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut
dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam,
dan bila diremas kandungan seratnya < 15%.
(2) Gambut hemik (setengah matang) adalah gambut setengah lapuk,
sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan
bila diremas bahan seratnya 15-75%. Contoh gambut hemik (Agus
dan Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3a.
(3) Gambut fibrik (mentah) adalah gambut yang belum melapuk, bahan
asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas
>75% seratnya masih tersisa. Contoh gambut fibrik (Agus dan
Subiksa, 2008) disajikan pada Gambar 3b.
Berdasarkan lingkungan pembentukannya (Gambar 4), gambut
dibedakan atas:
(1) Gambut ombrogen yaitu gambut yang terbentuk pada lingkungan
yang hanya dipengaruhi oleh air hujan.
(2) Gambut topogen yaitu gambut yang terbentuk di lingkungan yang
mendapat pengayaan air pasang. Dengan demikian gambut topogen
akan lebih kaya mineral dan lebih subur dibandingkan dengan
gambut ombrogen.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

43

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

(a)

(b)

Gambar 3. Contoh gambut fibrik (mentah) (a) dan gambut hemik


(setengah matang) (b) (Agus dan Subiksa, 2008)
Berdasarkan kedalamannya gambut dibedakan menjadi:
(1) Gambut dangkal (50-100 cm),
(2) Gambut sedang (100-200 cm),
(3) Gambut dalam (200-300 cm), dan
(4) Gambut sangat dalam (> 300 cm)
Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut dibagi
menjadi:
(1) Gambut pantai adalah gambut yang terbentuk dekat pantai laut dan
mendapat pengayaan mineral dari air laut.
(2) Gambut pedalaman adalah gambut yang terbentuk di daerah yang
tidak dipengaruhi oleh pasang surut air laut tetapi hanya oleh air
hujan.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

44

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

(3) Gambut transisi adalah gambut yang terbentuk di antara kedua


wilayah tersebut, yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh air
pasang laut.

Gambar 4. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan


basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan
basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c.
pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen
(Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982)
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

45

C. Karakteristik Tanah Gambut


1. Karakteristik fisik
Mekipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat atau
kemerahan tetapi setelah dekomposisi muncul senyawa-senyawa yang
berwarna gelap sehingga gambut umumnya berwarna coklat sampai
kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu indikator kematangan
gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik
berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam.
Dalam keadaan basah, warna gambut biasanya semakin gelap.
Kadar air tanah gambut berkisar antara 100-1.300% dari berat
keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu
menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Kadar air berdasarkan
kematangan gambut, gambut saprik <450%, hemik 450-850% dan fibrik
>850% (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Dengan demikian, sampai batas
tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya
(Gambar 5). Kadar air yang tinggi menyebabkan BV menjadi rendah,
gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho,
et al, 1997; Widjaja-Adhi, 1997). BV tanah gambut lapisan atas
bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g.cm-3 tergantung pada tingkat
dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah
memiliki BV lebih rendah dari 0,1 g.cm-3, tapi gambut pantai dan
gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BV > 0,2 g.cm-3 (Tie and
Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.

Gambar 5. Air mengalir dari kubah gambut melalui saluran drainase


(Agus dan Subiksa, 2008)
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

46

Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase,


sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena
penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses
dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut
didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya
laju subsiden sekitar 2-6 cm.tahun-1 tergantung kematangan gambut dan
kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar
tanaman yang menggantung (Gambar 6). Penurunan air permukaan
akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut
mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gambut yang sudah
mengalami kekeringan yang ekstrim, akan sulit menyerap air kembali.
Gambut yang telah mengalami kekeringan ekstrim ini memiliki bobot
isi yang sangat ringan sehingga mudah hanyut terbawa air hujan,
strukturnya lepas-lepas seperti lembaran seresah, mudah terbakar, dan
sulit ditanami kembali.

Gambar 6. Akar tanaman yang menggantung menunjukkan terjadinya


subsiden (penurunan permukaan) (Agus dan Subiksa, 2008)
2. Karakteristik kimia
Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan
oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di
dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral
gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

47

bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat


sekitar 10-20% dan sebagian besar lainnya adalah senyawa lignin,
selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, dan protein.
Friesher dalam Driessen dan Soepraptohardjo (1974) membagi
gambut dalam tiga tingkatan kesuburan yaitu eutropik (subur),
mesotropik (sedang), dan oligotropik (tidak subur). Secara umum
gambut topogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai
umumnya tergolong gambut mesotropik sampai eutropik sehingga
mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut
ombrogen (kesuburan hanya terpengaruh oleh air hujan) yang sebagian
besar oligotropik.
Lahan gambut umumnya mempunyai tingkat kemasaman yang
relatif tinggi dengan kisaran pH 3-5. Gambut oligotropik yang memiliki
substratum pasir kuarsa di Berengbengkel, Kalimantan Tengah memiliki
kisaran pH 3,25-3,75 (Halim, 1987; Salampak, 1999). Sementara itu
gambut di sekitar Air Sugihan Kiri, Sumatera Selatan memiliki kisaran
pH yang lebih tinggi yaitu antara 4,1 sampai 4,3 (Hartatik et.al., 2004).
Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan,
mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat
rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa
yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin
masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Kandungan unsur mikro,
khususnya Cu, Bo dan Zn, sangat rendah, namun kandungan besi (Fe)
cukup tinggi. Di sisi lain kapasitas pertukaran kation (KPK) gambut
tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah.
Tim Institut Pertanian Bogor (1974) melaporkan bahwa tanah gambut
pedalaman di Kalampangan, Kalimantan Tengah mempunyai nilai KB
kurang dari 10%, demikian juga gambut di pantai Timur Riau (Suhardjo
dan Widjaja-Adhi, 1976).
Muatan negatif (yang menentukan KPK) pada tanah gambut
seluruhnya adalah muatan tergantung pH (pH dependent charge),
dimana KPK akan naik bila pH gambut ditingkatkan. Muatan negatif
yang terbentuk adalah hasil disosiasi hidroksil pada gugus karboksilat
atau fenol. Oleh karenanya penetapan KPK menggunakan pengekstrak
amonium acetat pH 7 akan menghasilkan nilai KPK yang tinggi,
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

48

sedangkan penetapan KPK dengan pengekstrak amonium klorida (pada


pH aktual) akan menghasilkan nilai yang lebih rendah. KPK tinggi
menunjukkan kapasitas jerapan (sorption capacity) gambut tinggi,
namun kekuatan jerapan (sorption power) lemah, sehingga kationkation K, Ca, Mg dan Na yang tidak membentuk ikatan koordinasi akan
mudah tercuci.
Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah
karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam
asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun
demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang
menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara.
Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia
gambut.
Untuk mengurangi pengaruh buruk asam-asam organik yang
beracun dapat dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan yang
banyak mengandung kation polivalen seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kationkation tersebut membentuk ikatan koordinasi dengan ligan organik
membentuk senyawa komplek/khelat. Oleh karenanya bahan-bahan
yang mengandung kation polivalen tersebut bisa dimanfaatkan sebagai
bahan amelioran gambut (Sabiham et al., 1997; Saragih, 1996).
D. Pertanian di Lahan Gambut
1. Kriteria pemanfaatan lahan gambut
Kegagalan pemanfaatan gambut tidak lain disebabkan banyak
faktor yang tidak dipertimbangkan sebagai kriteria dalam
pemanfaatannya. Dasar pemanfaatan lahan gambut yang selama ini
hanya mengandalkan KEPPRES No. 32 Tahun 1990 yang menyatakan
bahwa ketebalan gambut lebih dari 3 meter untuk dikonservasi atau
untuk kehutanan dan kurang dari 3 meter dapat dijadikan kawasan
produksi, tampaknya harus ditinjau kembali. Mengacu dari pertemuan
Tim Ad Hoc di BAPPENAS, Limin et al (2003) menyatakan bahwa
KEPPRES No. 23/1990 ditetapkan tidak berdasarkan hasil riset dan
fakta lapangan, melainkan hanya mengakomodir pendapat para peserta
rapat yang hadir dalam penetapannya. Tetap memberlakukan KEPPRES
No. 32/1990 tersebut dipastikan akan menyebabkan kerusakan hebat
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

49

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

pada lahan gambut yang tersisa, dan menyulitkan restorasi lahan gambut
yang telah rusak. Oleh karena itu, selain harus mempertimbangkan
aspek budaya masyarakat dan aspek pasar, Limin (2000) mengajukan
kriteria pemanfaatan gambut seperti diperincikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria pemanfaatan gambut berdasarkan ketebalan lapisan,
bahan di bawah gambut dan hidrologi
No.
1.

Ketebalan
(cm)
<50

Bahan di bawah
lapisan gambut
Mineral lempung

Pasir/granit
2.

50-100

Mineral lempung

Pasir/granit
3.

100-200

Mineral lempung
Pasir/granit

4.

>200

Mineral
lempung/pasir/
granit

Hidrologi

Peruntukan

Bermasalah

Padi atau
palawija,
usaha
tambak
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah
Padi atau
palawija,
usaha
tambak
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah
Komoditas
perkebunan
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah
Bermasalah/tak Konservasi
bermasalah

2. Pengelolaan air
Pengelolaan air (water management) atau sering disebut tata air
di lahan rawa bertujuan tidak hanya untuk menghindari terjadinya
banjir/genangan yang berlebihan di musim hujan tetapi juga untuk
menghindari kekeringan di musim kemarau. Hal ini penting disamping
untuk memperpanjang musim tanam, juga untuk menghindari bahaya
kekeringan lahan sulfat masam dan lahan gambut. Pengelolaan air yang
hanya dimaksudkan untuk mengendalikan banjir di musim hujan dengan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

50

membuat saluran drainase saja akan menyebabkan kekeringan di musim


kemarau. Pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan (Najiyati et al.,
2005) untuk:
(a) Mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di
musim kemarau;
(b) Mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya
di dalam tanah;
(c) Mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman;
(d) Mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence)
terlalu cepat;
(e) Mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit;
(f) Memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan
tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah.
a. Tata air makro
Tata air makro adalah pengelolaan air dalam suatu kawasan
yang luas dengan cara membuat dan mengatur jaringan reklamasi
sehingga keberadaan air bisa dikendalikan. Pada kawasan lahan rawa
yang luas, pembangunan dan pemeliharaannya tidak dilaksanakan
secara perorangan melainkan oleh pemerintah, badan usaha swasta, atau
oleh masyarakat secara kolektif. Kegiatan pembangunan sarana tata air
makro sering disebut sebagai reklamasi lahan. Beberapa model yang
sering dikembangkan antara lain sistem handil dan sistem garpu.
Sistem Handil
Sistem handil atau sistem parit sudah dikembangkan sejak lama
oleh petani lahan gambut pasang surut di Kalimantan dan Sumatera.
Handil dibuat tegak lurus sungai selebar 5-7 m dan semakin menyempit
ke arah hulu.
Panjang handil berkisar antara 0,5 km hingga 4 km atau sampai
kedalaman gambut maksimum 1 meter. Handil ini sering pula
digunakan sebagai prasarana transportasi air, karena jalan darat
umumnya tidak tersedia. Selanjutnya dibuat saluran yang lebih kecil dan
tegak lurus handil. Saluran ini sering menjadi batas kepemilikan lahan.
Pada kanan kiri handil dan saluran dibuat tanggul dan ditanami buahM. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

51

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

buahan untuk menahan erosi. Handil dan saluran tersebut ketika pasang
berfungsi sebagai saluran irigasi dan ketika surut berfungsi sebagai
saluran drainase. Denah air sistem handil disajikan pada Gambar 7.

Parit cacing

Parit

Parit kongsi

Tanggul/
pematang
Tabat

Semak belukar
Sungai

Sungai

Tanggul
sungai

Gambar 7. Denah tata air sistem handil (Najiyati et al., 2005)


Sistem handil mempunyai kelebihan, yaitu biaya pembuatannya
murah. Kelemahannya antara lain adalah :
a. Hanya dapat dibuat pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sungai.
Maksimum panjang 4 km, agar air pasang masih dapat menjangkau
lahan garapan;
b. Keluar masuknya air terjadi pada saluran yang sama, sehingga air
didrainase yang mengandung senyawa-senyawa beracun bercampur
dengan air pasang. Akibatnya, senyawa-senyawa terakumulasi di
dalam saluran dan lahan sehingga kurang baik untuk pertumbuhan
tanaman.
Tabat atau bendungan dibuat di ujung handil (dekat sungai)
dengan ketentuan sebagai berikut (Gambar 8) :

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

52

a. Ketinggian tabat lebih rendah dari tanggul handil sehingga pada


waktu hujan, air masih dapat melintasi bagian atas tabat dan tidak
menerobos tanggul;
b. Ketinggian tabat lebih rendah dari ketinggian air pasang kecil ketika
musim kemarau. Dengan demikian, air pasang masih dapat masuk ke
handil melintasi bagian atas tabat.

Gambar 8. Pembuatan tabat pada handil (Najiyati et al., 2005)


Sistem Garpu
Pengaturan tata air dengan sistem garpu dikembangkan oleh
Universitas Gajah Mada pada lahan pasang surut dengan membuat
saluran yang dilengkapi dengan pintu-pintu air. Saluran primer,
sekunder, dan tersier dibuat saling tegak lurus sehingga menyerupai
gambar garpu. Pintu air dibuat otomatis (flapgate) yang ketika pasang
dapat membuka lalu menutup ketika surut. Sistem garpu disajikan pada
Gambar 9.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

53

Gambar 9. Tata air sistem garpu UGM (Najiyati et al., 2005)


b. Tata air mikro
Tata air mikro adalah pengelolaan air pada skala petani (Gambar
10). Dalam hal ini, pengelolaan air dimulai dari pengelolaan saluran
tersier serta pembangunan dan pengaturan saluran kuarter dan saluran
lain yang lebih kecil. Saluran tersier umumnya dibangun oleh
pemerintah tetapi pengelolaannya diserahkan kepada petani.
Pengelolaan air di tingkat petani bertujuan untuk:
a. Mengatur agar setiap petani memperoleh air irigasi dan membuang
air drainase secara adil. Untuk itu, diperlukan organisasi pengatur air
di tingkat desa;
b. Menciptakan kelembaban tanah di lahan seoptimum mungkin bagi
pertumbuhan tanaman serta mencegah kekeringan lahan sulfat
masam dan lahan gambut.
Saluran kuarter merupakan cabang saluran tersier dan
berhubungan langsung dengan lahan. Jika jarak antara saluran tersier
dengan lahan cukup jauh, saluran tersier tidak langsung berhubungan
dengan saluran kuarter. Kedua saluran tersebut dihubungkan oleh yang
sering disebut sebagai saluran kuinter.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

54

Saluran kuarter dibuat tegak lurus saluran tersier. Saluran ini


sering pula dijadikan sebagai batas kepemilikan lahan bila luas
kepemilikan lahan terbatas (1-3 ha per orang). Cara membuat saluran ini
sebagai berikut:
a. Saluran drainase dan irigasi dibuat berseling. Dengan demikian,
setiap kavling lahan berhubungan dengan saluran irigasi dan saluran
drainase;
b. Saluran irigasi kuarter dibuat pada sepanjang batas kepemilikan lahan
dengan cara membuat tanggul pada sisi kanan-kiri saluran. Tanah
tanggul berasal dari lahan dan bukan dari galian saluran. Dengan
demikian, ketinggian dasar saluran minimal sama dengan ketinggian
lahan, agar air irigasi dapat masuk ke lahan. Ujung hulu saluran
irigasi dipasang pintu stoplog (Gambar 11);
c. Saluran drainase kuarter dibuat dengan cara menggali tanah selebar
0,5-0,6 m sedalam 0,4-0,6 m di sepanjang batas kavling lahan pada
sisi lain saluran irigasi. Hasil galiannya ditimbun di kanan-kiri
saluran sebagai pematang/tanggul. Ujung muara (hilir) saluran
dipasang pintu stoplog.

Keterangan :
A : Saluran drainase tersier B : Saluran irigasi kuarter
D : Saluran kolektor
E : Saluran cacing

C : Saluran drainase kuarter


F : Pintu air drainase stoplog

Gambar 10. Contoh tata air mikro pada lahan sawah dan tegalan
(Najiyati et al., 2005)
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

(a)

55

(b)

Gambar 11. Pintu stoplog di saluran tersier (a. tampak depan; b. tampak
samping) (Najiyati et al., 2005)

Kuarter merupakan saluran di luar pertanaman yang paling kecil.


Di dalam lahan, dibuat saluran saluran kolektor dan saluran cacing.
Saluran ini berfungsi untuk mempercepat pencucian senyawa beracun
dan meratakan distribusi air irigasi. Posisi saluran kolektor dan saluran
cacing tergantung pada penataan lahan. Pada lahan yang ditata dengan
sistem caren dan surjan, saluran dibuat setelah selesai pembuatan caren
dan surjan. Pada lahan yang ditata dengan sistem sawah dan tegalan,
pembuatan saluran dilakukan setelah pengolahan tanah.
Saluran kolektor dibuat mengelilingi lahan dan tegak lurus
saluran kuarter pada setiap jarak 25-30 m. Ukuran saluran kolektor 40 x
40 cm dengan kedalaman 5-10 cm lebih dangkal dari pada saluran
kuarter. Saluran kolektor yang berhubungan dengan saluran irigasi
diberi pintu pada bagian hulu. Saluran kolektor yang berhubungan
dengan saluran drainase diberi pintu pada bagian hilir. Pintu cukup
dibuat dengan cara menggali tanggul, dan dapat ditutup sewaktu
diperlukan dengan menimbunnya kembali. Saluran cacing dibuat tegak

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

56

lurus saluran kolektor. Saluran ini dibuat setiap jarak 9-10 m dengan
ukuran lebar 30 cm dan dalam 25-30 cm.
3. Pengelolaan kesuburan tanah
Tanah gambut bereaksi masam. Dengan demikian diperlukan
upaya ameliorasi untuk meningkatkan pH sehingga memperbaiki media
perakaran tanaman. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa
pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk
meningkatkan pH dan basa-basa tanah. Dosis anjuran dan manfaat
amelioran pada tanah gambut disajikan pada Tabel 7 (Subiksa et al,
1997; Mario, 2002; Salampak, 1999).
Tidak seperti tanah mineral, pH tanah gambut cukup
ditingkatkan sampai pH 5 saja karena gambut tidak memiliki potensi Al
yang beracun. Peningkatan pH sampai tidak lebih dari 5 dapat
memperlambat laju dekomposisi gambut. Pengaruh buruk asam-asam
organik beracun juga dapat dikurangi dengan menambahkan bahanbahan amelioran yang banyak mengandung kation polivalen seperti
terak baja, tanah mineral laterit atau lumpur sungai (Salampak, 1999;
Sabiham et al, 1997). Pemberian tanah mineral berkadar besi tinggi
dapat meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman padi (Mario,
2002; Salampak, 1999; Suastika, 2004; Subiksa et al., 1997). Hal ini
sejalan dengan yang disampaikan oleh Sri Ratmini (2012) bahwa
pengembangan pertanian di lahan gambut menghadapi kendala antara
lain tingginya asam-asam organik. Pengaruh buruk asam-asam organik
yang beracun dapat dikurangi dengan teknologi pengelolaan air dan
menambahkan bahan-bahan yang banyak mengandung kation polivalen
seperti Fe, Al, Cu dan Zn. Kahat unsur hara untuk memberikan hasil
yang optimal pada sistem usahatani dapat dilakukan dengan tindakan
ameliorasi dan pemupukan. Namun yang perlu diperhatikan bahwa
bahwa ameliorasi untuk memperbaiki kesuburan tanah gambut juga
dapat memacu emisi, karena ameliorasi akan menurunkan rasio C/N dan
akan memacu dekomposisi gambut. Dengan demikian pemanfaatan
lahan gambut harus berdasarkan pada pertimbangan yang rasional
antara keuntungan ekonomi yang didapat dengan kerugian lingkungan
yang akan diderita (Widyati, 2011).
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

57

Pemupukan sangat dibutuhkan karena kandungan hara gambut


sangat rendah. Jenis pupuk yang diperlukan adalah yang mengandung
N, P, K, Ca dan Mg. Walaupun KPK gambut tinggi, namun daya
pegangnya rendah terhadap kation yang dapat dipertukarkan sehingga
pemupukan harus dilakukan beberapa kali (split application) dengan
dosis rendah agar hara tidak banyak tercuci. Penggunaan pupuk yang
tersedianya lambat seperti fosfat alam akan lebih baik dibandingkan
dengan SP36, karena akan lebih efisien, harganya murah dan dapat
meningkatkan pH tanah (Subiksa et al., 1991). Penambahan kation
polivalen seperti Fe dan Al akan menciptakan tapak jerapan bagi ion
fosfat sehingga bisa mengurangi kehilangan hara P melalui pencucian
(Rachim, 1995).
Peningkatan kandungan P tanaman semakin besar bila
pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti dengan pemberian
amelioran Fe3+. Semakin tinggi kandungan air tanah dan kadar Fe dalam
fosfat alam semakin besar kontribusinya dalam menekan kehilangan
karbon, rata-rata kehilangan karbon dari tanah gambut pertahun dapat
ditekan sebesar: 64% (1,7 Mg C ha-1.tahun-1) pada kondisi tergenang 5
cm, diikuti dengan kondisi dua kali kapasitas lapang sebesar 58% (1,3
Mg C ha-1.tahun-1) dan kondisi kapasitas lapang sebesar 41% (1,0 Mg C
ha-1tahun-1), bila pemberian fosfat alam berkadar Fe tinggi diikuti
dengan pemberian amelioran Fe3+. Untuk menekan kehilangan karbon
dan mempertahankan stabilitas tanah gambut disarankan menggunakan
bahan berkadar Fe tinggi sebagai amelioran dan fosfat alam berkadar Fe
tinggi pada kondisi tergenang (Nelvia, 2009).
Tanah gambut juga kahat unsur mikro karena dikhelat (diikat)
oleh bahan organik (Rachim, 1995). Oleh karenanya diperlukan
pemupukan unsur mikro seperti terusi, magnesium sulfat dan seng sulfat
masing-masing 15 kg.ha-1.tahun-1, mangan sulfat 7 kg.ha-1.tahun-1,
sodium molibdat dan borax masing-masing 0,5 kg.ha-1.tahun-1.
Kekurangan unsur mikro dapat menyebabkan kehampaan pada tanaman
padi, tongkol kosong pada jagung atau polong hampa pada kacang
tanah.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

58

Tabel 7. Dosis anjuran dan manfaat pemberian amelioran pada tanah


gambut
Dosis
(ton.ha-1)

Jenis amelioran
Kapur

1-2

Pupuk kandang

5-10

Terak baja

2-5

Tanah mineral

10-20

Abu

10-20

Lumpur sungai

10-20

Manfaat
Meningkatkan basa-basa
dan pH tanah
Memperkaya unsur hara
makro / mikro
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
efisiensi pupuk P
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
kadar hara makro/mikro
Meningkatkan basa-basa,
dan pH tanah
Mengurangi fitotoksik asam
organik, meningkatkan
basa-basa, unsur hara

Keterangan: Beberapa amelioran dapat menggantikan fungsi amelioran lainnya.


Misalnya, dengan pemberian kapur, pemberian abu dapat dikurangi dan sebaliknya.

4. Jenis tanaman di lahan gambut


Lahan gambut merupakan habitat beraneka ragam tanaman yang
memiliki nilai ekonomi dan bermanfaat bagi manusia. Dari sejumlah
tanaman yang ada di lahan gambut beberapa diantaranya dibudidayakan
secara intesif, secara non intensif, atau tumbuh secara liar di hutan.
Budidaya secara intensif adalah budidaya tanaman dalam skala ekonomi
dengan pemeliharaan dan pemupukan yang teratur sesuai kebutuhan.
Sedangkan budidaya non intensif adalah budidaya dengan pemeliharaan
terbatas, biasanya tanpa pemupukan, dan dalam skala terbatas karena
produksinya untuk konsumsi sendiri atau dipasarkan di pasar lokal.
Berdasarkan hasil penelitian mendalam di sejumlah lokasi
gambut tropis, Driessen dan Sudewo (1976), telah mendeskripsikan
puluhan jenis tanaman. Informasi yang disajikan dalam bagian ini
sebagian besar disarikan dari buku tersebut dan ditampilkan dengan
format yang berbeda.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

59

Untuk mempermudah pemahaman, jenis tanaman disajikan


dalam bentuk tabel dan dikategorikan berdasarkan pemanfaatan
komoditas yang dihasilkan. Pengelompokan tersebut yaitu tanaman
pangan, tanaman perkebunan, tanaman sayuran, tanaman rempah,
tanaman serat, tanaman buah, dan tanaman lainnya. Penulisan nama
tanaman diikuti dengan nama latin dan nama familinya. Persiapan lahan
gambut untuk budidaya tanaman sebagaimana disajikan pada Gambar
12.

Gambar 12. Persiapan lahan gambut untuk budidaya tanaman


(Supriyanto, 2013)
a. Tanaman pangan
Tanaman pangan adalah tanaman yang hasil/produksinya
merupakan bahan konsumsi manusia sebagai sumber karbohidrat atau
protein. Dari jenis tersebut, yang banyak dibudidayakan secara intensif
di lahan gambut antara lain jagung, kacang tanah, kedele, padi,
singkong, dan bengkoang. Sedangkan jenis lainnya dipelihara untuk
sekedar mencukupi kebutuhan sendiri atau diambil dari tumbuhan liar di
hutan. Dalam kelompok ini, juga terdapat jenis tanaman pangan tahunan
yaitu sagu yang umumnya belum dibudidayakan secara intensif di lahan
gambut. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut
disajikan pada Tabel 8.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

60

Tabel 8. Jenis dan pemanfaatan tanaman pangan di lahan gambut


Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Keterangan

Bengkoang
(Pachyrrhizus
erosus L)
Papilonaceae

Umbinya dapat dimakan


dalam keadaan segar

Jagung
(Zea may L.)
Gramineae

Bijinya digunakan untuk


bahan pangan, makanan
ternak, bahan baku
minyak
Umbi akarnya dapat
dimakan atau dibuat
tepung

Membutuhkan tanah dengan


drainase baik. Diperbanyak
dengan biji yang di tanam pada
guludan kecil. Dipanen pada
umur 8-9 bulan.
Diusahakan di lahan gambut
dangkal hingga sedang,
diperbanyak melalui biji. pH
tanah optimum 4,5-5,5.
Merupakan tanaman herba.
Umumnya tidak diusahakan
dalam skala ekonomi.
Diperbanyak dengan rizom,
dipanen umur 4-12 bulan. Tahan
pada tanah asam tetapi tidak
tahan genangan.
Merupakan tanaman herba
merambat. Umumnya tidak
diusahakan dalam skala
ekonomi.
Diperbanyak dengan rizom.
Tahan asam tetapi tidak tahan
genangan.
Tanaman perdu semusim, kurang
tahan pada tanah masam dan
tidak tahan genangan.

Ganyong
(Cana
edulie Ker)
Cannaceae

Gembili
(Coleus
parviflorus Benth)
Labiatae

Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
(setelah direbus)

Kacang tanah
(Arachis hypogaea
L)
Leguminoceae

Bijinya untuk bahan


pangan, makanan ternak,
bahan baku industri
minyak. Daunnya untuk
makanan ternak
Bijinya untuk bahan
pangan, bahan baku
industri (tahu, tempe,
minyak kedele)
Bijinya untuk bahan
pangan

Kedelai
(Glycine max L)
Leguminoceae
Padi
(Oryza sativa)
Gramineae
Sagu (Metroxylem
sagu Rottb)
Arecaceae

M. Tufaila

Batangnya mengandung
karbohidrat, merupakan
bahan baku industri
tepung sagu

Sitti Leomo

Kurang tahan pada pH rendah


(pH optimum 5-5,5), relatif tahan
air tanah dangkal pada masa
pertumbuhan vegetatif.
Padi sawah ditanam di lahan
bergambut atau gambut dengan
kedalam <75 cm. Padi varietas
lokal relatif tahan keasaman.
Tanaman berbentuk pohon,
biasanya tumbuh liar, dapat
diperbanyak melalui biji.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

61

Tabel 8. Lanjutan
Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Keterangan

Sorgum (Sorguhm
bicolor Moench)
Gramineae
Nama lain : cantel
(jawa).

Bijinya merupakan
bahan makanan dan
pakan ternak. Daunnya
untuk pakan ternak
dan pupuk hijau.

Membutuhkan tanah berdrainase


baik, relatif toleran pada
keasaman (4,5 - 5). Ditanam
dengan menggunakan biji.

Singkong
(Manihot
esculenta Crantz)
Eurphorbiaceae

Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
dan bahan baku industri
tapioka. Daunnya dapat
digunakan sebagai
sayuran.
Buahnya digunakan
sebagai bahan pangan.
Berupa tanaman pohon.

Relatif tahan asam. Merupakan


tanaman pioner di lahan gambut
yang baru dibuka. Tidak tahan
genangan terutama setelah umur
satu bulan. Diperbanyak dengan
bantang.
Diperbanyak dengan stek akar
atau sambung. Tidak tahan asam
dan genangan.

Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan.

Relatif tahan asam. Merupakan


tanaman pioner di lahan gambut
yang baru dibuka. Tidak tahan
genangan terutama setelah umur
satu bulan. Diperbanyak dengan
bantang.
Merupakan tanaman herba
merambat. Umumnya tidak
diusahakan dalam skala
ekonomi.
Diperbanyak dengan rizom.
Tahan asam tetapi tidak tahan
genangan.

Sukun
(Artocarpus
communis Forst)
Moraceae
Ubi jalar (Ipomeoa
batatas L.)
Convulvulaceae

Yam/Uwi
(Dioscorea spp)
Diocoreaceae

Umbinya digunakan
sebagai bahan makanan
(setelah direbus)

b. Tanaman perkebunan
Tanaman perkebunan adalah tanaman yang umumnya
diusahakan oleh perusahaan perkebunan dalam skala luas. Pada
kenyataannya, tanaman perkebunan juga banyak diusahakan oleh
rakyat, tetapi produksinya dipasarkan ke perusahaan untuk diproses
lebih lanjut. Tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di lahan
gambut diantaranya adalah kelapa sawit, karet, dan kelapa. Hal yang
perlu diperhatikan dalam penanaman tanaman tersebut di lahan gambut
adalah kemungkinan tanaman mudah tumbang setelah mencapai
ketinggian tertentu, terutama pada lahan gambut tebal. Hal ini terjadi
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

62

karena daya dukung lahan yang rendah dan penurunan permukaan


gambut (subsidence) sesudah direklamasi. Jenis tanaman perkebunan
yang dapat diusahakan pada lahan gambut sebagaimana disajikan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Jenis dan pemanfaatan tanaman perkebunan di lahan gambut
Jenis Tanaman
Karet (Hevea
brasiliensis
Muell.)
Euphorbiaceae
Kelapa sawit
(Elaeis
guineenis Jacg)
Arecceae/Palmae

Kelapa (Cocos
nucifera L.)
Arecaceae/Palmae

Kopi (Coffea spp)


Rubiaceae

Tebu (Saccarum
officinarum L.)
Gramineae

Pemanfaatan

Keterangan

Getah yang disadap


dari kulit batangnya
digunakan sebagai
bahan baku industri
karet
Buah dan bijinya
merupakan bahan baku
industri. Daunnya dapat
digunakan untuk pakan
ternak.

Tumbuh baik pada gambut dangkal.


Pada gambut dalam, mudah
tumbang. Memerlukan air tanah
yang dalam. Diperbanyak dengan
biji atau okulasi.
Umumnya diusahakan secara
besarbesaran oleh perusahaan atau
rakyat. Penanaman hanya dilakukan
bila ada jaminan yang menampung
tandan buah segar (TBS) Kelapa
sawit karena buah tidak dapat
disimpan lama. Diperbanyak
dengan menggunakan benih yang
disemaikan di dalam polybag atau
melalui kultur jaringan.
Pohon Kelapa di lahan gambut
dalam mudah tumbang. Relatif
toleran terhadap salinitas air tanah.

Daging buahnya
digunakan sebagai
bahan sayur, bahan
baku kopra dan industri
minyak kelapa.
Bijinya sebagai bahan
baku industri minuman
(kopi).

Batangnya digunakan
sebagai bahan baku
industri gula pasir, atau
bahan pembuatan
minuman.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Jenis Liberika dan Robusta tumbuh


di lahan gambut dangkal hingga
sedang yang berdrainase baik.
Tanaman ini membutuhkan
naungan, tumbuh optimum pada pH
5,5 tetapi agak toleran pada pH
rendah. Kerapatan tanaman 10001500 pohon/ha. Diperbanyak
melalui okulasi atau cangkok
Pernah diusahakan di lahan gambut
berdrainase baik, tetapi saat ini
hanya untuk mencukupi kebutuhan
sendiri atau dipasarkan di pasar
lokal sebagai bahan pembuatan
minuman segar. Diperbanyak
dengan stek batang.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

63

Tabel 9. Lanjutan
Jenis Tanaman
Teh (Cemellia
sinensis L.)
Theaceae

Pemanfaatan

Keterangan

Daunnya sebagai bahan


baku indutri bahan
minuman.

Jarang dibudidayakan di lahan


gambut tropis dataran rendah, tetapi
telah diuji coba di Malaysia dan
mutunya kurang baik. Dapat
tumbuh di lahan gambut dangkal
hingga sedang yang berdrainase
baik. Diperbanyak melalui stek
batang.

c. Tanaman sayuran
Tanaman sayuran adalah tanaman yang produksinya biasa
dikonsumsi manusia sebagai sayuran. Sebagian besar tanaman sayuran
tergolong semusim. Sebagian sayuran juga diproduksi oleh tanaman
tahunan, diantaranya adalah keluwih dan petai. Bagian yang digunakan
untuk sayuran berupa batang, daun, atau buah. Jenis sayuran yang dapat
diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Jenis dan pemanfaatan tanaman sayuran di lahan gambut
Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Bawang merah
(Allium
asculonicum)
Liliaceae

Umbinya digunakan
untuk bumbu sayur.

Bawang daun
(Allium
sp) Liliaceae

Daun dan batangnya


untuk sayuran.

Bawang kucai
(Allium
odorum L.)
Liliaceae

Daunnya untuk bumbu


sayur.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal yang diberi kapur hingga
pH lebih dari 4,5 dan berdrainase
baik tetapi tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui umbi.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal, berdrainase baik, dan
diberi kapur atau abu dan pupuk
kandang hingga pH lebih dari 4,5.
Tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui stek tunas/
anakan.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal, berdrainase baik, dan
diberi kapur atau abu dan pupuk
kandang hingga pH lebih dari 4,5.
Tidak tahan kekeringan.
Diperbanyak melalui biji, stek
tunas/ anakan.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

64

Tabel 10. Lanjutan


Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Bayam
(Amaranthus
hybridus L.)
Amaranthaceae

Batang muda dan


daunnya digunakan
sebagai sayuran.

Cabe merah
(Capsicum annum
L.)
Solanaceae

Buahnya untuk bumbu

Cabe rawit
(Capsicum
frutescens L.)
Solanaceae

Buahnya sangat
pedas, digunakan
untuk bumbu sayuran

Kacang panjang
(Vigna sinensis
L.)
Papilionaceae

Buah dan daun muda


digunakan untuk
sayuran. Biji sebagai
bahan makan sumber
protein

Katuk (Sauropus
androgynus
Blume.)
Euphorbiaceae

Daun dan batang


mudanya digunakan
sebagai bahan
sayuran

Kemangi
(Ocimum
amecanum L.)
Lamiacae

Batang dan daun


muda digunakan
sebagai bahan
sayuran lalapan

Kenikir (Cosmos
caudatus HBK)
Asteraceae

Batang muda dan


daun digunakan
sebagai sayur atau
bumbu.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, agak
toleran terhadap pH rendah dan air
tanah yang dangkal. Ditanam
menggunakan benih/biji.
Merupakan tanaman herbal
semusim, tumbuh baik di gambut
dangkal hingga sedang yang
berdrainase baik, kurang toleran
pada pH rendah. Tanaman ini
memerlukan pupuk yang cukup
banyak untuk berproduksi dengan
baik. Diperbanyak dengan benih/
biji.
Merupakan herbal tahunan, tumbuh
baik di gambut dangkal hingga
sedang yang berdrainase baik,
toleran pada pH rendah.
Diperbanyak dengan benih/biji.
Tanaman herba merambat atau
tegak. Tumbuh baik di gambut
dangkal atau sedang yang
berdrainase baik serta diberi abu
dan pupuk kandang. Diperbanyak
dengan benih/biji.
Tanaman perdu yang umumnya
dibudidayakan di pekarangan untuk
konsumsi sendiri atau dipasarkan
terbatas. Ditanam menggunakan
stek batang, dipanen dengan
memangkas pucuk batang.
Tanaman perdu tahunan, tumbuh di
gambut dangkal hingga dalam,
biasanya dibudidayakan dalam
skala terbatas. Dibiakkan dengan
benih.
Tanaman herba, tumbuh pada
gambut dangkal hingga sedang
yang beraerasi baik. Dibiakkan
dengan benih.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

65

Tabel 10. Lanjutan


Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Kubis (Brassica
oleraceae L.)
Brassicaceae

Daunnya digunakan
sebagai bahan sayuran

Labu, waluh
(Cucurbita
moscata Duch.
Labu siem, timun,
labu air, gambas,
pare, blewah)
Cucurbitaceae
Lobak (Raphanus
sativus L.)
Umbelliferae

Buahnya digunakan
untuk sayuran (labu
siem, timun, labu air,
gambas, pare), sumber
karbohidrat (waluh
/labu parang), bahan
minuman (blewah)
Umbi akar dan daunnya
digunakan untuk
sayuran

Pakis (Pleopeltis
longistema
Moore)
Polipodiaceae
Petai (Parkia
spesiosa Hassk.)
Mimosaceae/
Leguminoceae

Daun muda
digunakan untuk
sayuran

Petsai (Brassica
chinensis)
Brassicaceae

Batang muda dan


daun untuk sayuran

Ranti (Solanum
nigrum L.)
Solanaceae

Daun muda dan buah


untuk sayuran

Seledri (Apium
gravuiolens L.)
Umbelliferae

Batang dan daun


mudanya digunakan
sebagai sayuran

Buahnya digunakan
untuk sayuran

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal yang berdrainase baik,
tidak toleran terhadap pH rendah.
Biasanya tumbuh baik di dataran
tinggi. Varietas KK Cross dan KY
Cross tumbuh baik di dataran
rendah (100-200 m dpl) tetapi
hasilnya tidak sebaik di dataran
tinggi. Ditanam dengan
menggunakan benih.
Tumbuhan herba merambat,
tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tumbuh baik pada tanah lembab
yang berdrainase baik,
membutuhkan pupuk dan kapur.
Diperbanyak dengan benih yang
diproduksi di dataran tinggi.
Banyak tumbuh di hutan rawa-rawa
gambut, baik gambut dangkal
maupun dalam.
Tanaman tahunan berbentuk pohon,
tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga sedang, toleran
terhadap pH rendah, dan air tanah
lebih dari 40 cm.
Tumbuh baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih.
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga sedang yang diberi
kapur dan pupuk. Dibiakkan dengan
benih.
Tumbuh baik di lahan gambut
dangkal hingga dalam yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Diperbanyak
melalui benih.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

66

Tabel 10. Lanjutan


Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Keterangan

Selada (Lactuca
sativa L.)
Brassicaceae

Batang muda dan


daun untuk sayuran

Tumbuh baik di lahan gambut yang


berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih.

Terong (Solanum
melongena L.)
Solanaceae

Buahnya digunakan
sebagai bahan
sayuran

Tomat
(Lycopersicon
esculentum Mill.)
Solanaceae

Buahnya digunakan
untuk sayuran atau
bahan baku
pembuatan saus

Tumbuh baik di lahan gambut yang


berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tanaman herba semusim, sesuai
pada lahan gambut dangkal yang
berdrainase baik tetapi tidak kering.
Pemupukan dan pengapuran sangat
diperlukan. Beberapa varietas yang
sesuai untuk dataran rendah adalah
ratna, mutiara, intan, dan berlian.

d. Tanaman buah-buahan
Tanaman buah-buahan adalah tanaman yang menghasilkan buah
untuk dikonsumsi manusia dalam keadaan segar atau diolah terlebih
dahulu, sebagai sumber vitamin dan serat. Dalam kelompok ini, terdapat
tanaman buah sebanyak 22 jenis. Sebagian besar tanaman tersebut
merupakan tanaman tahunan, dan hanya tiga jenis yaitu nenas, melon
dan semangka yang merupakan tanaman semusim. Jenis tanaman buahbuahan yang diusahakan di lahan gambut sebagaimana disajikan pada
Tabel 11.
Tabel 11. Jenis dan pemanfaatan tanaman buah di lahan gambut
Jenis Tanaman
Alpukat (Persea
amecicana
Miller)
Lauraceae

Pemanfaatan
Buahnya mengandung
banyak lemak, protein,
dan mineral; dapat
dikonsumsi dalam
bentuk segar atau
sebagai bahan baku
industri kosmetika.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Tahan pada pH rendah hingga 4,
membutuhkan kelembaban tanah
tinggi tetapi peka terhadap
genangan. Umumnya tidak
dibudidayakan secara intensif,
tetapi responsif terhadap
pemupukan N, P,K dan pupuk
mikro.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

67

Tabel 11. Lanjutan


Jenis Tanaman
Belimbing
(Averrhoa spp.)
Oxalidaceae

Delima (Punica
granatum L.)
Punicaceae

Duku (Lansium
domesticum Corr)
Meliaceae

Pemanfaatan

Keterangan

Buah belimbing manis


dikonsumsi dalam
bentuk buah segar.
Buah belimbing wuluh
untuk sayuran.
Buahnya sebagai buah
segar atau bahan baku
pembuatan jus. Kulit
kayunya digunakan
untuk obat cacing.
Buahnya dikonsumsi
sebagai buah segar.

Tumbuh baik di lahan gambut


pesisir dengan kedalaman gambut
dangkal hingga sedang, meskipun
tanpa pupuk dan kapur. Ditanam
melalui biji atau cangkok.
Kurang sesuai untuk gambut tropis
dataran rendah. Diperbanyak
dengan stek batang. Umumnya
tidak dibudidayakan secara intensif.

Durian (Durio
Zibhethinus
domesticum
Murr)
Bombacaceae

Buahnya dikonsumsi
sebagai buah segar atau
bahan baku industri
makanan (dibuat
lempok) dan sele.

Gandaria (Bouea
macrophylla
Griff.)
Anacardiaceae

Buahnya digunakan
sebagai buah segar.

Jambu air
(Syzigium aqueum
Merr & Perry)
Myrtaceae

Buahnya untuk buah


segar.

Jambu biji
(Psidium guajava
L.) Myrtaceae

Buahnya untuk buah


segar, dibuat manisan,
dan sebagai bahan baku
industri minuman.
Daunnya untuk obat
diare, buahnya untuk
obat demam berdarah
(jambu getas).
Buahnya dimakan
sebagai buah segar atau
dibuat manisan.

Kedondong
(Spondias
cytherea SONN.)
Anacardiaceae

M. Tufaila

Sitti Leomo

Pertumbuhan duku di lahan gambut


relatif lambat dan hasilnya relatif
rendah kecuali pada lahan gambut
dangkal.
Tumbuh baik pada gambut dangkal
hingga sedang dengan air tanah
lebih dari 75 cm. Di lahan gambut,
biasanya dibudidayakan secara non
intensif. Diperbanyak melalui biji
atau okulasi.
Tanaman bertentuk pohon, tumbuh
baik pada gambut dangkal hingga
sedang. Umumnya tidak dibudi
dayakan secara intensif.
Biasanya ditanam di pekarangan
untuk konsumsi sendiri, hanya
sebagian kecil yang dijual.
Diperbanyak dengan biji, okulasi,
atau cangkok.
Di lahan gambut, biasanya ditanam
di pekarangan untuk konsumsi
sendiri, hanya sebagian kecil yang
dijual. Diperbanyak dengan biji,
okulasi, atau cangkok.

Biasanya ditanam di pekarangan


dan tidak dibudidayakan secara
intensif. Tumbuh baik di gambut
dangkal hingga sedang. iperbanyak
dengan biji atau cangkok.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

68

Tabel 11. Lanjutan


Jenis Tanaman

Pemanfaatan

Mangga
(Mangifera Spp)
Anacardiaceae

Buah muda untuk


rujak, buah matang
sebagai buah segar
atau untuk ramuan
sambal.

Manggis
(Garcinia
mangostana L.)
Guttiferaceae
Melinjo (Gnetum
gnemon L.)
Gnetaceae

Buahnya digunakan
sebagai buah segar.

Melon (Cucumis
melo L.)
Cucurbitaceae

Daun muda untuk


sayuran, bijinya
sebagai bahan baku
pembuatan emping.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.

Nenas (Ananas
comosus Merr.)
Bromeliaceae

Buahnya digunakan
sebagai buah segar,
buah kaleng, ataubahan
baku industri makanan
(dibuat sele).

Nangka
(Artocarpus
heterophyllus
Lam.) Moraceae

Buah matang
digunakan sebagai
buah segar. Buah
muda digunakan
sebagai bahan sayuran.
Bijinya dapat direbus
dan dikonsumsi.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Mangga umumnya menghendaki
bulan kering lebih dari 3 bulan. Di
daerah dengan bulan basah yang
panjang, banyak terdapat Mangga
bancang dan kuweni yang rasanya
asam. Tumbuh baik pada gambut
dangkal, berdrainase baik dan
kurang tahan pH rendah. Di
Kalimantan Selatan dan Tengah,
Mangga kesturi sangat umum
dijumpai tumbuh di lahan gambut.
Banyak terdapat di hutan alami
tetapi juga dibudiayakan secara
tidak intensif.
Tumbuh baik pada gambut dangkal
hingga sedang yang diberi pupuk
dan kapur.
Tumbuhan herba menjalar, tumbuh
baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tumbuh baik pada lahan gambut
dangkal hingga dalam yang
berdrainase baik, relatif toleran
terhadap pH rendah. Dibudidayakan
secara intensif atau non intensif.
Rekomendasi pemupukan per
hektar 45 - 80 kg N, 45 - 80 kg
P2O5, 80 - 120 kg K2O. Pada
gambut dalam, perlu tambahan
pupuk mikro.
Biasanya tidak dibudidayakan
secara intensif, untuk konsumsi
sendiri atau dijual. Tumbuh baik di
gambut dangkal hingga sedang
yang berdrainase baik. Pada gambut
dalam, mudah tumbang.
Diperbanyak dengan biji.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

69

Tabel 11. Lanjutan


Jenis Tanaman
Pepaya (Carica
papaya L.)
Caricaceae

Rambutan
(Nephelium
lappaceum L.)
Sapindaceae

Salak (Salacca
edulis Reinw)
Palmae
Sawo (Manilkara
achras Fosberg)
Sapotaceae

Semangka
(Citrullus
vulgaris
Schrad)
Cucurbitaceae

Pemanfaatan
Buah muda dan daun
untuk sayuran. Buah
matang untuk buah
segar. Batang dan
daunnya mengandung
papain dapat sebagai
bahan baku industri
kosmetik.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar atau
dikalengkan.

Buahnya digunakan
sebagai buah segar.
Buah dapat dimakan
dalam bentuk segar.
Getahnya dapat disadap
seperti karet, dan
digunakan untuk bahan
baku pembuatan
permen karet.
Buahnya digunakan
sebagai buah segar.

Sirsak (Anona
muricata L.)
Anonaceae

Buahnya sebagi buah


segar atau bahan baku
minuman.

Sri kaya (Anona


squamosa L.)
Anaonaceae

Buahnya sebagai buah


segar atau bahan baku
industri minuman.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Keterangan
Agak toleran terhadap pH rendah
dan gambut sedang, tetapi tidak
tahan air tanah dangkal.
Diperbanyak dengan biji yang
ditanam langsung atau disemaikan
terlebih dahulu.

Tumbuh baik di lahan gambut


dangkal hingga sedang yang
berdrainase baik, tanpa kapur dan
pupuk. Umumnya masih
dibudidayakan untuk konsumsi
sendiri atau dijual di pasar lokal.
Diperbanyak dengan cangkokkan
atau okulasi.
Banyak dibudidayakan di lahan
gambut di Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah.
Tumbuh baik di hutan gambut
dangkal dan sedang. Jarang
dibudidayakan secara intensif.
Tanpa pemupukan, buah berukuran
kecil.

Tumbuhan herba menjalar, tumbuh


baik di lahan gambut yang
berdrainase baik dan subur, tidak
tahan pH rendah. Ditanam
menggunakan benih yang
disemaikan terlebih dahulu.
Tumbuh baik pada gambut dangkal
hingga sedang yang berdrainase
baik. Ditanam dengan menggunakan biji, cangkok, atau okulasi.
Tumbuh baik pada gambut dangkal
hingga dalam yang berdrainase
baik. Ditanam dengan menggunakan biji, cangkok, atau okulasi.

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

70

e. Tanaman lainnya
Tanaman lainnya yang dapat diusahakan di lahan gambut
seperti:
(1) Tanaman rempah dan minyak aksiri : cengkeh, jahe, kayu manis,
kunyit, kencur, mint, nila, pala, pinang, lada, serai, dan temu lawak.
(2) Tanaman serat : kapas, pisang abaka, agave, rami, kapuk randu,
kenaf, dan rosela.
(3) Tanaman bunga matahari, jarak, jelutung, kesumba, mengkudu,
meranti rawa, pulai, rengas manuk, belangeran, ramin, sungkai,
kemiri, rotan, murbei, lantoro, turi, saga, pacar kuku, purun tikus,
dan sengon.
Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut
sebagaimana disajikan pada Gambar 13.

Gambar 13. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan gambut


(Purbiati, 2010; Agus dan Subiksa, 2008; http://teguhsetioutomo.blogspot.com/)

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN


SULFAT MASAM

71

VI

A. Pengertian dan Potensi Lahan Sulfat Masam


Lahan sulfat masam adalah ungkapan yang menunjukkan
interaksi tanah sulfat masam dengan lingkungannya. Untuk kejelasannya diberikan batasan istilah tentang tanah sulfat masam. Tanah sulfat
masam dikenal dengan sebutan cat clay yang diambil dari asal kata
katteklei (bahasa Belanda) yang berarti lempung yang berwarna seperti
pada bulu kucing yaitu warna kelabu dengan bercak kuning pucat
(jerami). Bercak kuning pucat ini merupakan senyawa hasil oksidasi
pirit yang sering disebut dengan jarosit. Istilah tanah sulfat masam
digunakan karena berkaitan dengan adanya bahan sulfida (pirit) dalam
tanah ini yang apabila teroksidasi menghasilkan asam sulfat sehingga
menyebabkan tanah menjadi masam sampai sangat masam (pH 2-3)
(Noor, 2004).
Luas lahan sulfat masam di dunia ditaksir antara 12-19 juta
hektar (Beek et al., 1980; Langenhoff, 1986; Seiler, 1992). Hasil survei
tanah yang lebih baru memperkirakan luas lahan sulfat masam di dunia
sekitar 24 juta hektar (Mensvoort, 1996; Bosch et al., 1998).
Berdasarkan data kompilasi dari berbagai sumber diperkirakan luas
lahan sulfat masam di dunia adalah 19,35 juta hektar, di antaranya
sekitar 10 juta hektar berada di kawasan tropika. Selain itu, masih
terdapat 20 juta hektar lahan berpotensi sulfat masam yang masih
tertutup lahan gambut atau endapan lain bukan sulfidik (Breemen,
1980). Kawasan terluas yang mempunyai lahan sulfat masam adalah
Asia dan Afrika.
Luas sulfat masam di Indonesia tersebar meliputi daerah
sepanjang pantai timur dan utara pulau Sumatra, pantai selatan dan
timur pulau Kalimatan, pantai barat dan timur pulau Sulawesi, dan
pantai selatan pulau Papua. Berdasarkan survei yang dilakukan
Euroconsult (1984), luas lahan sulfat masam ditaksir 2,0 juta hektar,
masing-masing 800 ribu hektar tersebar di pulau Sumatra, 575 ribu
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

72

hektar di pulau Kalimantan, dan 625 ribu hektar di pulau Papua. Hasil
survei yang dilakukan oleh PPT-Bogor tahun 1990 menyatakan bahwa
luas lahan sulfat masam di Indonesia sekitar 6,70 juta hektar atau 20%
dari luas lahan rawa pasang surut dan rawa lebak atau 10% dari luas
lahan basah (Noor, 2004).
B. Pembentukan dan Klasifikasi Tanah Sulfat Masam
1. Pembentukan tanah sulfat masam
Tanah sulfat masam merupakan endapan marin yang dapat
dicirikan oleh salah satu atau beberapa hal berikut (Dent, 1986; Noor,
2004) : (1) bahan sulfida atau pirit, (2) lapisan (horison) sulfurik, (3)
bercak jarosit, dan (4) bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa
tertukar lainnya.
a. Bahan sulfidik (pirit)
Bahan sulfidik (pirit) merupakan hasil endapan marin. Pirit
terbentuk melalui serangkain proses kimia, geokimia, dan biokimia
secara bertahap. Ion-ion sulfat yang banyak terkandung dalam air laut
oleh ayunan pasang diendapkan pada dataran-dataran pantai dan
sebagian menjorok memasuki mintakan pasang surut. Besi yang
merupakan penyusun mineral lempung silikat dalam bahan induk tanah
bersenyawa dengan sulfat. Pada dasarnya, persenyawaan antara sulfat
dan besi inilah yang membentuk pirit (Noor, 2004).
Menurut Dent (1986) pembentukan pirit dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain (1) tingginya kandungan bahan organik, (2)
suasana anaerob, (3) jumlah kecukupan sulfat terlarut, dan (4) kadar
besi terlarut. Bahan organik merupakan sumber energi atau makanan
bagi mikroorganisme yang mempunyai peranan penting dalam kegiatan
reduksi oksida pada tanah sulfat masam. Suasana anaerob merupakan
kondisi alami dari lahan rawa umumnya. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya proses reduksi sulfat (SO42-) menjadi sulfida (H2S) dan ferri
(Fe3+) oleh bakteri pereduksi Desulfovibrio sp. dan Desulfotomaculum
sp. pada kondisi redoks (Eh) antara 200-300mV. Reaksi keseluruhan
pembentukan pirit adalah :

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

73

Fe2O3(s) + 4 (SO4)2-(aq) + 8 CH2O + O2(g)


bahan organik

2 FeS2(s) + 8 HCO3(aq) + 4 H2O(l)


pirit

Reaksi pembentukan pirit dapat secara langsung, yaitu (1)


pengendapan atau (2) reaksi padat, dengan formula berikut :
(1) Fe2+ + S22- FeS2
(2) FeS + S

FeS2

b. Lapisan (horison) sulfurik


Pirit bersifat stabil dalam kondisi anaerob, apabila kondisi
berubah menjadi aerob akibat penyingkapan, maka pirit bersifat labil
dan mudah teroksidasi. Secara gradual lapisan pirit akan mengalami
pematangan, sekaligus pemasaman sehingga membentuk lapisan yang
disebut lapisan sulfurik. Lapisan sulfurik merupakan cerminan keadaan
tanah yang telah mengalami perkembangan sehingga dalam taksonomi
tanah di kelompokkan ke dalam ordo inceptisol. Jika pirit terbentuk
pada tingkat kondisi netral pH sekitar 7,18 dan potensi redoks (Eh)
200 mV, maka lapisan sulfurik yang ditandai dengan adanya bercak
jerosit terbentuk dalam kondisi sangat masam (pH < 4) dan potensial
redoks tinggi (Eh > 400 mV) (Noor, 2004). Menurut Maas (2003) pirit
stabil pada Eh < -200 mV, oksidasi lemah meningkatkan Eh > 100
100 mV sehingga terbentuk asam sulfat dan fero sulfat yang
menyebabkan terjadinya pemasaman pH < 3,5.
c. Jarosit
Jarosit adalah senyawa yang dihasilkan dari oksidasi pirit. Jadi
adanya jarosit memberikan gambaran suatu keadaan sekaligus proses
kimiawi dalam tanah yang berkaitan dengan terjadinya sentuhan oleh
udara atau reaksi oksigen terhadap lapisan pirit. Oksidasi pirit selain
menghasilkan jarosit juga menghasilkan ion-ion H+ dan asam sulfat
(SO42-) yang menyebabkan pemasaman tanah.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

74

Rumus kimia jarosit secara umum adalah KFe3(SO4)2(OH)6.


Bentuk ini merupakan bentuk yang terdapat di lapisan tanah sulfat
masam pada umumnya. Bentuk jarosit lainnya adalah natro jarosit,
apabila K diganti oleh Na sehingga menjadi NaFe3(SO4)2(OH)6, dan
hydronium jarosit apabila K diganti oleh H2O sehingga menjadi (H2O)
Fe3(SO4)2(OH)6. Selain itu, unsur Fe adakalanya diganti oleh Al
(Breemen, 1982). Berikut ini menunjukkan reaksi pembentukan jarosit
sebagai hasil oksidasi pirit.
FeS2 + 15/4 O2 + 5/2 H2O + 1/3 K+ 1/3 K Fe3(SO4)2(OH)6 +
jarosit

4/3 SO42- + 3 H+
d. Bahan penetral karbonat atau basa-basa tertukar
Senyawa karbonat, basa-basa tertukar, dan mineral silikat yang
mudah lapuk sangat penting sebagai sumber penetral kemasaman pada
lahan sulfat masam yang dihasilkan oleh oksida pirit. Keragaman
jumlah dan susunan senyawa penetral ini dipengaruhi oleh mintakan
iklim. Kandungan penetral berupa karbonat yang berada dalam
mintakan iklim sedang, semiarid dan arid lebih besar sampai >15%
dibandingkan yang berada dalam lingkungan air tawar dan payau di
mintakan iklim tropika basah. Hal inilah yang menyebabkan tanah sulfat
masam di kawasan tropika bersifat masam, sedangkan di kawasan iklim
sedang cenderung bersifat netral. Menurut Driessen dan
Soepraptohardjo (1974) adanya mineral hijau seperti khlorit dan
glaukopit yang cukup tinggi di beberapa daerah seperti di Sulawesi dan
Papua telah mencegah terbentuknya tanah sulfat masam.
2. Klasifikasi tanah sulfat masam
Sebagian besar lahan sulfat masam di Indonesia berada di
wilayah pasang surut. Berdasarkan tipe luapannya, lahan sulfat masam
dibagi menjadi empat tipe yaitu tipe A, B, C, dan D (Widjaya-Adhi,
1986) sebagaimana disajikan pada Tabel 12.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

75

Tabel 12. Tipe luapan lahan sulfat masam yang berada di wilayah rawa
pasang surut
No.

Karakteristik

Tipe Luapan

1.

Tipe A

2.

Tipe B

3.

Tipe C

4.

Tipe D

Wilayah pasang surut yang selalu mendapat


luapan pasang, baik pasang tunggal
(purnama) maupun pasang ganda (perbani)
serta mengalami pengatusan secara harian.
Wilayah tipe luapan ini meliputi pesisir
pantai dan sepanjang tepian sungai.
Wilayah pasang surut yang mendapat
luapan hanya ada saat pasang tunggal
(purnama), tetapi mengalami pengatusan
secara harian. Wilayah tipe luapan ini
meliputi wilayah ke pedalaman sejauh <
50-100 km dari tepian sungai.
Wilayah pasang surut yang tidak mendapat
luapan pasang dan mengalamai pengatusan
secara permanen. Pengaruh ayunan pasang
diperoleh hanya melalui resapan dan
mempunyai muka air tanah pada jeluk < 50
cm dari permukaan tanah.
Wilayah pasang surut yang tidak mendapat
pengaruh ayunan pasang sama sekali dan
mengalami pengatusan secara terbatas.
Muka air tanah mencapai jeluk > 50 cm
dari permukaan tanah.

Tanah
sulfat
masam
berdasarkan
karakteristiknya
dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) tanah sulfat masam potensial dan
(2) tanah sulfat masam aktual. Tanah sulfat masam potensial
(sulfaquent) dicirikan antara lain lapisan pirit pada jeluk >50 cm dari
permukaan tanah, berwarna kelabu, masih mentah (n > 0,7) dan
kemasaman sedang sampai masam (pH 4,0). Tanah sulfat masam
potensial menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam
Typic / Haplic / Thapto-Histic Sulfaquents, Typic / Aeric Hydraquents /
Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts atau Sulfic Hydraquents /
Fluvaquents / Endoaquents / Endoaquepts. Tanah sulfat masam aktual
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

76

(sulfaquept) dicirikan antara lain kecoklatan pada permukaan, cukup


matang (n < 0,7) dan sangat masam atau pH < 3,5. Tanah sulfat masam
aktual menurut Soil Survey Staff (1998) diklasifikasikan ke dalam
Sulfaquepts, Sulfic Endoaquepts, dan Sulfic Hydraquents / Flufaquents
/Endoaquents (Breemen dan Pons, 1978; Moormann dan Breemen,
1976; Suriadikarta dan Sutriadi, 2007).
Menurut Widjaja-Adhi et al. (1992) berdasarkan kendala dan
sifat tanahnya yaitu pirit dan kondisinya, lahan sulfat masam dapat
dipilih atas enam tipologi lahan yaitu (1) aluvial bersulfida dangkal, (2)
aluvial bersulfida dalam, (3) aluvial bersulfida sangat dalam, (4) aluvial
bersulfat-1, (5) aluvial bersulfat-2, dan (6) aluvial bersulfat-3. Kriteria
dan tipologi lahan sulfat masam disajikan pada Tabel 13 (Widjaja-Adhi
dan Alihamsyah, 1998).
Tabel 13. Kriteria dan tipologi lahan sulfat masam berdasarkan jeluk
dan kondisi pirit
No.

Jeluk pirit*)
(cm)
< 50

1.

Aluvial bersulfida
dangkal

2.

Aluvial
bersulfida
dalam
Aluvial
bersulfida
sangat dalam

50-100

4.

Aluvial bersulfat-1

< 100

5.

Aluvial bersulfat-2

< 100

6.

Aluvial bersulfat-3

> 100

3.

*)

Tipologi lahan

> 100

Kondisi
Menunjukkan adanya
bahan sulfida/pirit, pH
3,5-4,0.
Menunjukkan adanya
bahan sulfida, pH >4,0.
Menunjukkan adanya
bahan sulfida, pH >4,04,5.
Belum ada ciri horison
sulfurik, pH > 3,5 dan
tanpak bercak pirit.
Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.
Menunjukkan adanya ciri
horison sulfurik, pH <
3,5.

Diukur dari permukaan tanah mineral

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

77

C. Karakteristik Tanah Sulfat Masam


Permasalah pengembangan pertanian di lahan sulfat masam
pada dasarnya terletak pada karakteristik yang melekat pada tanah yang
bersifat marginal. Mengingat banyak dan kompleksnya masalah yang
dihadapi dalam pengembangan tanah bermasalah sulfat masam, maka
pemahaman secara benar mutlak diperlukan agar terhindar dari
kesalahan-kesalaman dalam pengelolaan tanah tersebut.
1. Karakteristik fisik
Warna tanah sulfat masam umumnya coklat gelap untuk lapisan
atas dan abu-abu (grey) untuk lapisan bawah yang menunjukkan adanya
pirit. Warna coklat gelap menunjukkan tingginya kandungan bahan
organik sedangkan warna abu-abu menunjukkan tingginya kadar
mineral kaolinit (Breemen, 1982). Warna abu-abu gelap kehijauan
menunjukkan adanya pirit dan warna semakin gelap menunjukkan kadar
pirit yang semakin tinggi (Noor, 2004).
Nilai n (kematangan) tanah sulfat masam umumnya berkisar
antara < 0,7 (matang) dan > 2,0 (mentah). Tanah sulfat masam
mempunyai tekstur tanah yang bersifat lempungan, struktur tanah pejal
dan konsistensi tanah lekat apabila basah/lembab dan teguh apabila
kering. Oleh karena itu permeabilitas tanah sulfat masam umunya
lambat sampai sangat lambat. Pada kasus tertentu, seperti pada tanah
sulfat masam potensial yang mempunyai banyak saluran besar bekas
akar dan lubang-lubang bekas hewan, maka permeabilitas tanah nisbih
tinggi. Demikian juga tanah sulfat masam yang bersifat pasiran dan
bergambut mempunyai permeabilitas nisbi tinggi. Pelumpuran dapat
menurunkan permeabilitas tanah, tetapi tidak mungkin dilakukan pada
tanah yang bersifat pasiran dan bergambut.
2. Karakteristik kimia
Reaksi tanah sulfat masam tergolong masam sampai luar biasa
masam, berkisar pada pH 4 (untuk ordo entisol) dan pH < 3,5 (ordo
inceptisol). Kemasaman merupakan kendala paling hakiki dalam
pengembangan pertanian di lahan sulfat masam. Tanaman tumbuh
normal umumnya pada pH 5,5 untuk tanah gambut dan pH 6,5 untuk
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

78

tanah mineral karena pada pH < 4,5 terjadi peningkatan Al, Fe, dan Mn
dan pada pH < 6,5 terjadi kahat Ca, Mg, dan K. Kemasaman yang tinggi
di lahan sulfat masam setelah reklamasi mengimbas terhadap peningkatan kelarutan Al, Fe, asam-asam organik, dan diiringi dengan kahat P,
Cu, dan Zn. Lahan sulfat masam yang terletak dengan muara sungai
atau pesisir pantai umumnya mengandung salinitas tinggi. Kelarutan
sulfat yang dihasilkan dari oksida pirit pada lahan yang telah
direklamasi akan diikuti oleh peningkatan salinitas (Noor, 2004).
Kadar Al pada tanah sulfat masam berkaitan dengan oksidasi
pirit. Suasana yang sangat masam mempercepat pelapukan mineral
alumino-silikat dengan membebaskan dan melarutkan Al yang lebih
banyak (Notohadiprawiro, 1998). Kelarutan Al tanah sulfat masam
selain dalam bentuk kation yang dapat tukar (Al3+), juga dalam bentuk
koloidal sebagai hidroksil atau basic sulfat. Kadar Al meningkat pada
pH 4,0-4,5 (Dent, 1986). Hasil penelitian Breemenn (1976)
menunjukkan aktivitas Al3+ meningkat hampir 10 kali lipat dengan
penurunan satuan unit pH.
Besi (Fe) dalam tanah sulfat masam yang sering menimbulkan
masalah adalah dalam bentuk ferro (Fe 2+) yang menyebabkan keracunan
bagi tanaman, khususnya dalam kondisi tergenang. Kadar Fe 2+ dan
Mn2+ pada tanah sulfat masam tergenang (tereduksi) mempunyai
kisaran sangat lebar antara 0,007 sampai 6.600 ppm Fe dan 1 sampai
100 ppm Mn. Kadar Fe2+ dipengaruhi oleh pH, bahan organik, kadar
Fe3+, dan reaktivitas Fe3+ (Ponnamperuma, 1977). Pada tanah sulfat
masam tua sebagian berubah bentuk menjadi mudah teroksidasi menjadi
besi bermartabat tiga atau ferri (Fe 3+) yang menimbulakn kerak karatan
pada permukaan tanah.
Asam sulfida (H2S) sebagai hasil dari reduksi sulfat dapat
menimbulkan keracunan, terutama pada padi dengan kondisi tanah
tergenang. Keracunan H2S berasosiasi dengan kadar bahan organik
tinggi dan besi rendah. Bakteri pereduksi sulfat tidak bekerja pada
kondisi masam sehingga keracunan H2S hanya muncul apabila
penggenangan menaikan pH mencapai 5 (Dent, 1986).

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

79

D. Pertanian di Lahan Sulfat Masam


1. Pengelolaan air
a. Tata air makro
Pengelolaan air di lahan sulfat masam serupa dengan
pengelolaan air pada lahan gambut pasang surut. Secara umum
pengelolaan air di lahan sulfat masam dibedakan atas tata air makro dan
tata air mikro. Tata air makro yang umum di kembangkan pada lahan
gambut pasang surut termasuk lahan sulfat masam adalah sistem satu
arah.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan air
satu arah pada lahan sulfat masam memberikan hasil yang lebih baik
terhadap kualitas lahan dan hasil tanaman. Hasil pemantauan pada
wilayah pengembangan lahan sulfat masam Karang Aung, Sumatera
Selatan yang menerapkan pengelolaan air satu arah menunjukkan
perubahan mutu air dan pH 4,2 dan Fe2+ larut sebesar 430 ppm pada
keadaan awal menjadi pH 4,8 dan Fe2+ larut sebesar 160 ppm pada saat
tanam, dan pH meningkat lagi menjadi 5,4 pada saat panen (WidjajaAdhi dan Alihamsyah, 1998).
Sistem Satu Arah
Di lahan pasang surut atau pasang surut peralihan, saluran irigasi
dan drainase sering disatukan untuk menghemat biaya. Ketika surut,
saluran berfungsi sebagai saluran drinase. Ketika pasang, saluran
berfungsi sebagai irigasi. Keuntungan sistem aliran satu arah adalah
terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar,
endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa
beracun dapat dikurangi. Kelemahan sistem ini Najiyati et al. (2005)
adalah:
(1) Senyawa-senyawa beracun hasil pencucian lahan tidak dapat
terdrainase secara tuntas, tetapi bercampur dengan air bersih dan
menyebar ke lahan lain;
(2) Saluran cepat mengalami pendangkalan dan ini akan mempengaruhi
kualitas dan kuantitas air yang keluar/masuk ke dalam lahan;
(3) Pada musim kemarau, air pasang tidak bisa sampai ke lahan
sehingga lahan mengalami kekeringan. Hal ini disamping akan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

80

membatasi musim tanam juga berbahaya bagi lahan gambut dan


sulfat masam.
Untuk mengurangi bahaya tersebut di atas, maka sebaiknya
minimal pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus
terpisah. Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah.
Oleh Widjaja-Adhi (1995), cara ini disebut sebagai sistem aliran satu
arah (Gambar 14, 15, dan 16). Cara pengaturan aliran sistem satu arah
pada saluran tersier dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Bagian hulu saluran irigasi tersier (yang berhubungan dengan saluran
sekunder) diberi pintu air otomatis (flapgate) yang membuka ke arah
dalam. Pada waktu pasang, pintu secara otomatis akan membuka.
Pada waktu surut akan menutup. Pintu air otomatis pada saluran
irigasi tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar
14.

Gambar 14. Pintu air otomatis pada saluran irigasi tersier dalam sistem
aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)
2) Bagian muara saluran drainese tersier (yang berhubungan dengan
saluran kuarter) diberi pintu stoplog yang bisa diputar dan diatur
menjadi dua posisi. Posisi pertama, pintu hanya bisa membuka keluar
sehingga air drainase dapat keluar tetapi air pasang tidak dapat
masuk. Posisi ini diperlukan pada musim hujan terutama pada pasang
besar sehingga kelebihan air harus dikeluarkan. Posisi kedua,
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

81

diperoleh bila pintu diputar. Pada posisi ini, pintu akan menutup
sehingga air bisa ditahan di dalam lahan. Posisi ini diambil ketika
musim kemarau atau musim pasang kecil. Alternatif lainnya
menggunakan pintu otomatis yang membuka ketika surut dan
menutup ketika pasang. Pintu air otomatis pada saluran drainase
tersier dalam sistem aliran satu arah disajikan pada Gambar 15.

Gambar 15. Pintu air otomatis pada saluran drainase tersier dalam
sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)

Gambar 16. Denah sistem aliran satu arah (Widjaja-Adhi, 1995)


M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

82

b. Tata air mikro


Penataan air pada lahan sulfat masam dilakukan serupa dengan
tata air mikro pada lahan gambut dengan maksud agar tanah tidak
kering melebihi kedalaman pirit, atau agar tanah tetap tergenang. Selain
itu sulfida yang bersifat racun bagi tanaman, Al, H, Fe(III) dan Mn
dapat tercuci dan semakin berkurang. Tata air mikro berfungsi untuk
mencukupi kebutuhan evapotranspirasi tanaman, mencegah pertumbuhan gulma, menjaga tinggi muka air, menjaga kualitas air di petakan dan
saluran, serta mencegah terbentuknya bahan beracun bagi tanaman,
memperlancar keluar masuknya air pada petakan lahan yang sekaligus
untuk mencuci bahan beracun.
Pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan
pengelolaan tata air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai
dengan kebutuhan tanaman dan sekaligus memperlancar pencucian
bahan beracun. Saluran kuarter biasanya dibuat di setiap batas
pemilikan lahan. Saluran cacing di dalam petakan dibuat dengan jarak
3-12 m serta di sekeliling petakan. Semakin tinggi tingkat keracunan,
semakin rapat pula jarak saluran cacing tersebut. Penataan air di lahan
petani dilakukan dengan sistem satu arah dan system aliran bolak balik.
Sistem aliran satu arah berjalan efektif jika kondisi saluran
tersier, sekunder dan primer dalam kondisi baik dan arah aliran tidak
bolak-balik. Saluran irigasi dan drainase dirancang secara terpisah.
Pintu klep dipasang berlawanan arah. Pintu air dapat berupa stoplog
maupun pintu ayun atau pintu engsel.
2. Pengelolaan kesuburan tanah
Tahana (status) tanah sulfat masam tergolong rendah bahkan
sangat rendah. Gejala kahat hara N, K, dan terutama P dan B sering
dialami tanaman budidaya. Pertumbuhan tanaman budidaya merana dan
kerdil akibat kemasaman dan keracunan ion Al dan Fe yang tinggi. Pada
kondisi tergenang tanaman mengalami keracunan Fe 2+, H2S, CO2, dan
asam-asam organik.
Teknologi penggunaan bahan amelioran telah terbukti mampu
meningkatkan produktivitas tanah sulfat masam. Bahan organik (BO)
dapat berperan sebagai sumber asam-asam organik yang mampu
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

83

mengontrol kelarutan logam dalam tanah ataupun berperan sebagai


sumber hara bagi tanaman. Asam-asam organik yang terdapat dalam BO
mampu mengkelat unsur-unsur meracun dalam tanah sehingga menjadi
tidak berbahaya bagi tanaman (Stevenson, 1994). Asam-asam organik
mampu menurunkan jumlah fosfat yang difiksasi oleh Fe dan Al melalui
mekanisme pengkelatan sehingga P tersedia bagi tanaman (Barker dan
Pilbeam, 2007).
Hasil penelitian di tanah sulfat masam menunjukkan bahwa
pemberian pupuk berpengaruh positif terhadap hasil tanaman.
Keragaman tanaman yang diberi pupuk lengkap (N, P, dan K)
menunjukkan hasil yang lebih baik. Pengaruh pupuk lebih signifikan
jika dikombinasikan dengan pemberian bahan amelioran seperti kapur,
dolomit, dan batuan fosfat alam (Noor, 2004).
Hasil penelitian Fahmi et al. (2009) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik jerami padi dengan C/N yang masih cukup tinggi
dapat menurunkan ketersediaan fosfat, menurunkan pH tanah dan meningkatkan kelarutan Fe2+. Peningkatan kelarutan Fe2+ akibat terjadinya
reduksi tidak selalu diikuti oleh peningkatan pH tanah sulfat masam.
Pemberian bahan organik yang mengalami perombakan lebih lanjut
(C/N rendah) dapat menurunkan kelarutan Fe2+ di tanah sulfat masam.
Pemberian kapur, dolomit, dan batuan fosfat alam banyak
disarankan untuk menetralisir kondisi kemasaman dan keracunan oleh
H+, Al3+, dan atau Fe3+. Pemberian kapur atau dolomit tidak mesti untuk
mencapai pH 5,5, karena apabila ditunjukkan untuk menaikan pH
mencapai 5,5 diperlukan jumlah kapur yang besar sekali antara 15-20
ton kapur per hektar. Berdasarkan kadar pirit, untuk menetralkan 1%
pirit yang apabila terdegradasi menghasilkan potensi kemasaman setara
dengan 35 cmol(+).kg-1, diperlukan sekitar 50 ton kapur per hektar.
Pada hal, kadar pirit tertinggi di tanah sulfat masam antara 5-7%
sehingga untuk menetralkannya diperlukan 200-400 ton kapur per
hektar (Sutrisno, 1990; Mass, 2003). Hasil simposium internasional
tanah sulfat masam kedua di Bangkok, Thailand (1982)
merekomendasikan bahwa pemberian kapur cukup hanya beberapa ton
saja untuk perbaikan kondisi kemasaman dan status hara tanah yang
rendah.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

84

Hasil penelitian Yenni (2012) menunjukkan bahw pemberian


kapur dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman
bawang merah. Pemberian takaran kapur 3 ton.ha-1 pada tanah sulfat
masam menghasilkan pertumbuhan dan hasil umbi tanaman bawang
merah tertinggi sedangkan kadar senyawa atsiri umbi bawang tertinggi
pada perlakuan kapur 2 ton.ha-1.
Hasil penelitian Tambunan et al. (2013) menunjukkan bahwa
pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit nyata meningkatkan pH
tanah dan reduksi Fe2+ tanah, C-Organik tanah, jumlah anakan dan
bobot kering gabah. Pemberian pupuk SP36 tidak berpengaruh nyata
dalam meningkatkan P tersedia dan tinggi tanaman padi. Kombinasi
antara perlakuan pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit dan
pupuk SP36 berpengaruh nyata dalam meningkatkan jumlah anakan dan
bobot kering gabah.
3. Jenis tanaman di lahan sulfat masam
Pengembangan pertanian di lahan sulfat masam dapat ditempuh
melalui perbaikan genetik. Sekalipun cara-cara ini memakan waktu
yang lama dan biaya yang nisbi tinggi, tetapi dari segi lingkungan hidup
lebih aman dan sehat dibandingkan cara-cara lain.
Pemilihan tanaman untuk dikembangkan di lahan sulfat masam
sudah sejak ratusan tahun silam dilakukan petani tradisional. Ini dapat
dilihat dari keberhasilan petani-petani pionir dalam pengembangan
kelapa, karet, kelapa sawit, lada, nanas, tebu, rambutan, cokelat, dan
padi. Tanaman-tanaman ini dikenal sebagai tanaman yang tahan atau
toleran dengan kondisi rawa seperti genangan, kemasaman, salinitas,
dan keracunan besi. Cara-cara budidaya dan pengelolaan lahan ini
kemudian diikuti oleh migran pendatang yang menempati kawasan rawa
(Collier et al., 1982; Watson dan Willis, 1984; Sarwani et al., 1994).
Lahan pasang surut mempunyai banyak sumber keragaman
hayati dan plasma nutfah. Tanaman yang disenangi dan banyak ditanam
adalah padi. Padi kebanyakan dibudidayakan secara turun temurun. Para
petani tradisional setempat umumnya membudidayakan varietasvarietas lokal yang berumur panjang. Jenis varietas lokal ini berjumlah
ratusan jenis, antara lain dikenal sebagai padi Bayar, Pandak dan Siam.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

85

Varietas-varietas padi lokal ini bersifat peka fotoperiod. Sifat padi lokal
ini disenangi petani karena antara lain (1) mudah mendapatkan bibitnya
karena petani masing-masing membibitkan sendiri dan menyimpannya
dari panen sebelumnya, (2) mudah memasarkan hasilnya karena rasa
nasi yang pera (karau) banyak disenangi oleh masyarakat setempat
seperti Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, Aceh,
dan Biak, (3) memerlukan pupuk sedikit bahkan jarang dan
pemeliharaan mini antara lain penyiangan hanya seadanya, (4) tidak
mudah rontok, berdaun lebar dan terkulai, menyebabkan hama burung
pipit sukar bertengger, dan (5) bentuk tanaman nisbih lebih tinggi (140170 cm) sehingga memudahkan memanen. Panen umumnya masih
menggunakan ani-ani. Hanya saja hasil produktivitas padi varietas lokal
ini rata-rata hanya mencapai 2-3 ton gabah keringgiling per hektar
dengan intensitas tanam sekali setahun (Noor, 2004).
Adapun padi varietas unggul introduksi seperti IR 42, IR 50, IR
64, IR 66 dan sejenisnya kurang disenangi petani lokal rawa karena
selain sukar dipasarkan (harga lebih murah) juga dikenal manja karena
memerlukan pupuk nisbih lebih banyak dan perawatan lebih intensif
termasuk penggunaan pestisida, insektisida lebih banyak dibandingkan
varietas lokal peka fotoperiod. Hanya saja keuntungan dari varietas
unggul instroduksi memiliki umur pendek (3-4 bulan) dan poduktivitas
lebih tinggi (4,5-5,5 ton.ha-1) (Noor, 2004).
Beberapa hasil penyaringan dan seleksi khususnya tanamn
pangan (padi dan palawija) telah mendapatkan varietas-varietas padi
unggul baru spesifik lahan sulfat masam yang sudah dilepas ke petani.
Varietas padi unggul rawa yang sudah dilepas melebihi 18 varietas.
Varietas Margasari dan Martapura merupakan hasil persilangan antara
varietas lokal peka fotoperiod (Siam Unus) dengan padi sawah varietas
unggul introduksi (Cisokan dan Dodokan) menunjukkan preferensi rasa
sedang dan hasil nisbi tinggi dibandingkan varietas lokal pada
umumnya.
Varietas kedelai yang dilepas untuk lahan pasan surut yaitu
varietas Lawit dan Manyapa dengan rata-rata umur 82 hari dan hasil
sekitar 2,0-2,4 ton biji kering per hektar. Varietas unggul jagung untuk
lahan pasang surut yaitu varietas Sukmaraga dan Padmaraga dengan
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

86

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

rata-rata umur 90 hari dan hasil 4,0-5,0 ton pipilan kering per hektar.
Berikut disajikan jenis dan varietas tanaman palawija, sayur, buahbuahan dan tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
(Balitra, 2003) sebagimana disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14. Jenis dan varietas tanamn palawija, sayur, buah-buahan dan
tanaman industri dan ketahanannya di lahan sulfat masam
Jenis tanamn

Varietas

Palawija dan umbi-umbian


Jagung
Arjuna, Kalingga, wiyawa, Bisma,
Bayu, Antasena, C-3, C-5, Semar,
H6, Bisi Dua, dan Sukmaraga
Kedelai
Wilis, Rinjani, Lokon, Dempo,
Galunggung, Slamet, Lawit, dan
Manyapa
Kacang tanah
Gajah, Pelandak, Kelinci, Singa,
Jerapah, Komodo, dan Mahesa
Kacang hijau
Betel, Walet, dan Gelatik
Ubi kayu
Anjir (lokal)
Ubi jalar
Kiyai (lokal)
Tanaman Sayur-buahan
Tomat
Intan, Permata, Berlian, Mirah, AV22, dan Ratna
Cabai
Tanjung-1,-2, Barito, Bengkulu,
Tampar, Keriting, Rawit Hijau, dan
Rawit Putih
Terong
Mustang, Kopek Ungu, Ungu
Panjang, dan No. 4000 KK
Kubis
Cros, KY Cross, dan Grand 33
Kacang panjang
Super King, Pontianak, KP-1, dan
KP-2
Buncis
Horti-1, Horti-2, Prosesor, Farmer
early, dan Green Leaf
Timun
Saturnus, Mars, dan Pluto
Bawang merah
Ampenan, Bima, Menteng,
Sumenep, dan Kuning
Sawi
Asveg, Sangihe, Talaud, Tosakan,
Putih Jabng, Sawi Hijau, Sawi
Huma, dan No. 82-157
Selada
New Grand Rapid
Bayam
Maestro, Giti Hijau dan Merah,
Cimangkok, dan Kakap Hijau

M. Tufaila

Sitti Leomo

Ketahanan

Hasil
(ton.ha-1)

Sedang

4,0-5,0

Sedang

1,5-2,4

Tahan

1,8-3,5

Tahan
Tahan
Tahan

1,5
13-25
14-25

Sedang

10-15

Sedang

4-6

Tahan

30-40

Sedang
Tahan

20-25
15-28

Sedang

6-8

Sedang
Sedang

34-40
4-8

Tahan

15-20

Sedang
Sedang

12-15
10-12

Syamsu Alam

87

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

Tabel 14. Lanjutan


Jenis tanamn

Varietas

Sedang
Sedang
Tahan
Sedang

Hasil
(ton.ha-1)
25-30
15-25
40
12-30

Sedang
Sedang
Tahan
Tahan
Tahan

3-4
20-24
2,5-4,1
19
1,7-2,0

Ketahanan

Kangkung
LP-1, LP-2, dan Sutera
Semangka
Sugar Baby dan New Dragon
Nenas
Madu, Bangk, dan Paun
Pepaya
Tanaman Industri
Lada
Petaling-I, Petaling-II, dan LDK
Jahe
Merah
Kelapa
Dalam Riau
Kelapa sawit
Kopi
Exelsa dan Arabika
Sumber : Balitra (2003)

Contoh tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat


masam sebagaimana disajikan pada Gambar 17 (Saragih, 2013).

Gambar 17. Tanaman pertanian yang dibudidayakan di lahan sulfat


masam (Saragih, 2013)

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

88

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan I.G. M. Subiksa, 2008. Lahan gambut: potensi untuk


pertanian dan aspek lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan
World Agroforestry Centre (ICRAF). Bogor. Indonesia.
Amin, L.I., 1983. Karakterisasi dan analisis zona agroekologi.
Pembahasan pemantapan metodologi karakterisasi zona
agroekologi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (PPTA).
Bogor.
Andriesse, J.P., 1994. Constrainsts and opportunities for alternative use
options of tropical peat land. In B.Y. Aminuddin (Ed.). Tropical
peat; Proceedings of International Symposium on Tropical
Peatland, 6-10 May 1991. Kuching, Sarawak, Malaysia.
Balittra, 2003. Lahan rawa pasang surut: pendukung ketahanan pangan
dan sumber pertumbuhan agribisnis. Balittra. Banjarbaru.
Barker, A.V. and D. J. Pilbeam, 2007. Hand book of plant nutrition.
CRC Press. New York.
BB Litbang SDLP (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian), 2008. Laporan tahunan 2008,
Konsorsium penelitian dan pengembangan perubahan iklim pada
sektor pertanian. Balai Pesar Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Beek, K.J., W.A. Blokhois, P.M. Driessen, N.V. Breemen, dan L.J.
Pons, 1980. Problem soils: reclamation and management. In
Land reclamation and water management. ILRI Publ. 27
Wageningen. The Netherland.
Billy, B., 1981. Water harvesting for dryland and floodwater farming on
the Navajo Indian Reservation. In G.R. Dutt, C.F. Hutchinson, &
M.A. Garduno (ed), Rainfall collection for agriculture in arid
and semi-arid regions. Prod. Workshop Univ. Arizona USAChapingo Postgard. College, Commonwealth Agr. Bur. UK.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

89

Bosch, H.V. den, Ho Long Phi, Michaelsem, K. Nugroho, 1998.


Evaluation of water management strategies for sustainable land
use of aid sulphate soils in coastal low lands in the tropics.
Report 157. DLO-Strarting Centrum, Wageningen. The
Netherlands.
Breemen, N.V., 1976. Genesis and solution chemistry of acid sulphate
soil in Thailand. Ph.D. Thesis. Centre Agric. Publ. Duc.
Wageningen.
Breemen, N.V. and Pons, L.J., 1978. Acid sulfate soils and rice. In
IRRI. Soil & Rice. IRRI. Philippines.
Breemen, N.V., 1982. Genesis, morphology and cassification of acid
sulphate soils in coastal plains. In SSSA. Acid sulphate
weathering. SSSA Special Publ. No. 10. Madison, Wisconsin.
Budiasa, I.W., 2011. Pertanian berkelanjutan : Teori dan Permodelan.
Denpasar : Udayana University Press.
Buol, S.W., R.J. Southard, R.C. Graham, and P.A. Mcdaniel, 2003. Soil
genesis and classification. The Iowa State University Press.
Ames.
Buring, 1979. Introduction to the study of soil in tropical, and
subtropica regions. Edisi Indonesia : Pengantar pengajian tanahtanah wilayah tropika dan subtropika tahun 1991. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Certini, G. and R. Scalenghe, 2006. Soil : Basic concepts and future
challenger. Cambridge University Press.
Chao, Chih-Kang, 1984. Development of dryland farming in Taiwan. In
Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for
Agriculture and Resources Research and Development. Los
Banos.
Chin, Ching Wei, 1984. Dryland farming of sugarcane fields in Taiwan.
In Rainfed agriculture in perspective. Philippine Council for
Agriculture and Resource and Development. Los Banos.
Collier, W.L., 1979. Social and economics aspects of tidal swampland
development in Indonesia. Occasional Paper No. 15.
Development Studies Centre, Australian National University.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

90

Dahuri, R., 1998. Pembangunan pertanian berkelanjutan : dalam


Persperktif Ekonomi, Sosial, dan Ekologi. Agrimedia. 4(1):5-11.
Dent, D. and A. Young, 1981. Soil survey and land evaluation school
and environmental science. University of East Anglea. Norwich.
London.
Dent, D., 1986. Acid sulphate soils : a baseline for research and
development. ILRI. Wageningen. Publ. No. 39 The Netherland.
Diemont, W.H. and L.J. Pons, 1991. A preliminary note on peat
formation and gleying in Mahakam inland floodplain, East
Kalimantan, Indonesia. Proc. International Symposium on
Tropical Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Djaenudin, D. dan Basuni, 1994. Materi latihan evaluasi lahan.
Departemen Pertanian Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian
dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Driessen, P.M. dan Soepraptohardjo, 1974. Soil for agricultura:
expansion in Indonesia. Soil Res. Inst. Bogor.
Driessen, P.M., and Soepraptohardjo, 1974. Organic Soils. In Soils for
agricultural expansion in Indonesia. ATA 106 Bulletin 1. Soil
Research Institute. Bogor.
Driessen, P.M., dan H. Suhardjo, 1976. On the defective grain
formation of sawah rice on peat. Soil Res. Inst. Bull. 3: 20 44.
Bogor.
Driessen, P.M., and P. Sudewo, 1976. A review of crops and crop
performance on Southeast Asian lowland peats. Bulletin 4. Soil
Research Institute. Bogor.
Euroconsult, 1984. Nationwide study of coastal and near coastal
swampland in Sumatra, Kalimantan, and Irian Jaya. Vol. I and
II. Arnhem.
Fahmi, A., B. Radjagukguk, dan B. H. Purwanto, 2009. Kelarutan fosfat
dan ferro pada tanah sulfat masam yang diberi bahan organik
jerami padi. J. Tanah Trop. 14(2): 119-125.
Faning, D.S. and M.C.B. Faning, 1989. Soil morphology, genesis, and
classification. John Wiley & Sons, Inc. USA.
FAO, 1976. A Framework for land evaluation. FAO. Soil Bulletin. No.
32/I/ILRI Publication. No. 22. Rome. Italy.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

91

FAO,1982. A study of agroclimatology of the humid tropics of south


East Asia. FAO / Unesco / WMO. Intragency Project on
Agroclimatology. Rome.
FAO, 1990. Organic recycling in Asia and the Pacific. RAPA Bull. Vol.
6. FAO.
Halim, A., 1987. Pengaruh pencampuran tanah mineral dan basa dengan
tanah gambut pedalaman Kalimantan Tengah dalam budidaya
tanaman kedelai. Disertasi Fakultas Pascasarjana, IPB. Bogor.
Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka, 2007. Kesesuaian lahan dan
perencanaan tataguna lahan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hartatik, W., K. Idris, S. Sabiham, S. Djuniwati, dan J.S. Adiningsih,
2004. Pengaruh pemberian fosfat alam dan SP-36 pada tanah
gambut yang diberi bahan amelioran tanah mineral terhadap
serapan P dan efisiensi pemupukan P. Prosiding Kongres
Nasional VIII HITI. Universitas Andalas. Padang.
http://budidayausaha.blogspot.com/2014/04/cara-pengolahan-lahanbudidaya-melon.html (Diakses tanggal 06 September 2014).
http://alamtani.com/pupuk-hijau.html (Diakses tanggal 06 September
2014).
http://patih-madrim.blogspot.com/2011/08/budidaya-cabai-organik.html
(Diakses tanggal 06 September 2014).
http://mitrapetani.blogspot.com/2012/10/mitra-petani-potensi-pertanianorganik.html (Diakses tanggal 06 September 2014).
http://teguh-setioutomo.blogspot.com/(Diakses tanggal 06 September
2014).
Ihsan, 2013. IMF: Indonesia Mesti Tingkatkan Produktivitas Sektor
Pertanian. http://wartaekonomi.co.id/berita15795/imf-indonesiamesti-ting-katkan-produktivitas-sektor-pertanian.html (Diakses
tanggal 8 September 2014).
Landon, J.R., 1984. Booker tropical soil manual. Booker Agr. Int. Ltd.
London.
Langenhoff, R., 1986. Distribution, mapping, classification and use of
acid sulphate soil in the tropics: a literature study. STIBOKA,
Wageningen. The Netherland.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

92

Limin, S. H., Tampung N. Saman., Patricia E. Putir., Untung Darung,


dan Layuniyati, 2000. Konsep pemanfaatan hutan rawa gambut
di Kalimantan Tengah. Disampaikan pada Seminar nasional
pengelolaan hutan rawa gambut dan ekspose hasil Penelitian di
Lahan Basah, diselenggarakan oleh Balai Teknologi Reboisasi
Banjarbaru, Istana Barito Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Limin, S.H., 2006. Pemanfaatan lahan gambut dan permasalahannya.
Centre for International Cooperation in Management of Tropical
Peatland (CIMTROP). Kerjasama antara Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT)dan Kementerian Koordinator
Kesejahteraan Rakyat.
LREP II, 1996. Metodologi zonasi lahan. Pedoman Bagi Staff Bappeda
LREP II, Part D. Dirjen Pembangunan Daerah.
ULG
Consultants Berasosiasi dengan PT Intersys Kelola Maju.
Jakarta.
Maas, A., 2003. Peluang dan konsekuensi pemanfaatan lahan rawa pada
masa mendatang. Makalah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Magdalena, f., sudiarso, t. Sumarni, 2013. Penggunaan pupuk kandang
dan pupuk hijau Crotalaria juncea L. untuk mengurangi
penggunaan pupuk anorganik pada tanaman jagung (Zea mays
L.). Jurnal Produksi Tanaman vol. 1 no. 2.
Mario, M.D., 2002. Peningkatan produktivitas dan stabilitas tanah
gambut dengan pemberian tanah mineral yang diperkaya oleh
bahan berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Masruroh, W., Budi Prasetya, Zaenal Kusuma, dan Subowo, 2013.
Efektivitas Agen Hayati Tanah pada Budidaya Kedelai (Glycine
max L.) untuk Meningkatkan Kesuburan Ultisol Di Lebak,
Banten. Jurnal Tanah Vol.1 No.2.
Mensvoort, M.E.F., R.S. Lantin, R. Brinkman, N.V. Breemen, 1985.
Toxicites of wetland soils. In IRRI. Wetland Soils:
Characterization, classification, and utilization. IRRI.
Philippines.
Monkhouse, F.J., and J. Small, 1978. Dictionary of the natural
envirorment. Edward Arnold (publ.) Ltd. Laondon.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

93

Moormann, E.N. and N.V. Breemen, 1976. Rice, soil, water and land.
IRRI. Philippines.
Moore, W.G., 1977. Adictionary of geography. Fifth Ed. Penguin Books
Ltd. Harmondsworth.
Mulyani, A., 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Sinar
Tani.
Mutalib, A.A., J.S. Lim, M.H. Wong and L. Koonvai, 1991.
Characterization, distribution and utilization of peat in Malaysia.
Proc. International Symposium on tropical peatland. 6-10 May
1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Najiyati, S., Lili Muslihat dan I Nyoman N. Suryadiputra, 2005.
Panduan pengelolaan lahan gambut untuk pertanian
berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in
Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan
Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia.
Nelson, A. , and K.D. Nelson, 1973. Dictionary of water and water
engineering. The Butterworth Group. London.
Nelvia, 2009. Kandungan fosfor tanaman padi dan emisi karbon tanah
gambut yang diaplikasi dengan amelioran Fe3+ dan fosfat alam
pada beberapa tingkat pemberian air. J. Tanah Trop. 14(3):195204.
Noor, M., 2001. Pertanian lahan gambut: potensi dan kendala. Penerbit
Kanisius. Jakarta.
Noor, A., 2013. Teknologi budidaya di lahan pasang surut. BPTP
Kalimantan Selatan. http://kalsel.litbang.pertanian.go.id/ind/
index.php?option=com_content&view=article&id=81:tanaman&
catid=4:info-aktual (Diakses tanggak 7 September 2014).
Noor, M., 2004. Lahan rawa : sifat dan pengelolaan tanah bermasalah
sulfat masam. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Notohadiprawiro, T., 1989. Pertanian lahan kering di Indonesia:
Potensi, prospek, kendala dan pengembangannya. Lokakarya
Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija
SFCDPUSAID. Bogor.
Notohadiprawiro, T., 1998. Tanah dan lingkungan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

94

Notohadiprawiro, T., 1992. Budidaya organik. Kuliah Studium General


yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Pertanian
UMG. Yogyakarta.
Nugroho, K., G. Gianinazzi and IPG. Widjaja-Adhi, 1997. Soil hidraulic
properties of Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability
of tropical peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan.
UK.
Page, S.E., F. Siegert, J.O. Rieley, H-D.V. Boehm, A. Jaya, S.H. Limin,
2002. The amount of carbon released from peat and forest fires
in Indonesia during 1997. Nature, 420, 61-65.
Papendick, R.I., and L.F. Elliott, 1984. Tillage and cropping systems
for erosion control and efficient nutrient utilization. In Organic
Farming: Current Technology and Its Role in a Sustainable
Agriculture. ASA Spec. Publ. (46): 69-81.
Ponnamperuma, E.N., 1976. Spesific soil chemical characteristics for
rice production in Asia. IRRI Res. Paper Series. 2 Des 1976.
PPTA., 1993. Petunjuk teknis evaluasi lahan. Pusat Penelitian Tanah
dan Agroklimat Kerjasama Dengan Proyek Pembangunan
Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Purbiati, T., 2010. Sayur organik di lahan gambut di Kota Pontianak.
BPTP Kalimantan Barat. http://kalbar.litbang.pertanian.go.
id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=95:org
anik&catid=13:info-aktual (Diakses tanggal 7 September 2014).
Purwaningsih, O., D. Indradewa, S. kabirun, dan D. Shiddiq, D., 2012.
Tanggapan tanaman kedelai terhadap inokulasi rhizobium.
AGROTROP, 2(1): 25-32.
Roy, K., and D.R. Arora, 1973. Technology of agricultural land
development and water management. Satya Prakashan. New
Delhi.
Sabiham, S., TB, Prasetyo and S. Dohong, 1997. Phenolic acid in
Indonesian peat. In Biodiversity and sustainability of tropical
peat and peatland. Samara Publishing Ltd. Cardigan. UK.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

95

Salampak, 1999. Peningkatan produktivitas tanah gambut yang


disawahkan dengan pemberian bahan amelioran tanah mineral
berkadar besi tinggi. Disertasi Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Saragih, E.S., 1996. Pengendalian asam-asam organik meracun dengan
penambahan Fe (III) pada tanah gambut Jambi, Sumatera. Tesis
S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Saragih, S., 2013. Empat kunci sukses pengelolaan lahan rawa pasang
surut untuk usaha pertanian berkelanjutan. Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA). http://balittra.blogspot.
com/ (Diakses tanggal 8 September 2014).
Sarwani, M., M. Noor, dan M.Y. Maamun, 1994. Pengelolaan air dan
produktivitas lahan pasang surut: pengalaman dari Kalimantan
Selatan dan Tengah. Balittan Banjarbaru.
Sasongko Putra, Purwanto, dan Kismartini, 2013. Perencanaan
pertanian berkelanjutan Di Kecamatan Selo. Prosiding Seminar
Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.
Seiler, E., 1992. Acid sulphate soils-their formation and agricultural use.
Natural, resouces, and development Vol. 35:92-110. Inst. For Sci
Co-Tubingen.
Soil Survey Staff, 1998. Keys to soil taxonomy. United States
Department Agricultural Natural Resources Conservation
Service.
Soil Survey Staff, 2010. Keys to soil taxonomy. United States
Departement of Agriculture, Natural Resources Conservation
Service.
Sri Ratmini, N.P., 2012. Karakteristik dan pengelolaan lahan gambut
untuk pengembangan pertanian. Jurnal Lahan Suboptimal
1(2):197-206.
Stevenson, F. J., 1994. Humus chemistry: genesis, composition,
reaction. John Wiley and Son Inc. New York. USA.
Strijke, D., 2005. Marginal lands in Europe - causes of decline. Basic
and Applied Ecology 6: 99-106.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

96

Suastika, I W., 2004. Efektivitas amelioran tanah mineral berpirit yang


telah diturunkan kadar sulfatnya pada peningkatan produktivitas
tanah gambut. Tesis S2. Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Subiksa, IGM., Didi Ardi dan IPG. Widjaja-Adhi, 1991. Pembandingan
pengaruh palam dan TSP pada tanah sulfat masam (Typic
Sulfaquent) Karang Agung Ulu Sumatera Selatan. Prosiding
Pertemuan Pembahasan Hasil Penelitian Tanah, 3-5 Juni 1991.
Cipayung, Jawa Barat.
Suhardjo, H. and I P.G. Widjaja-Adhi, 1976. Chemical characteristics of
the upper 30 cm of peat soils from Riau. ATA 106. Bull. 3: 7492. Soil Res. Inst. Bogor.
Suprapto, A., 2002. Land and water resources development in
Indonesia. In FAO : Investment in Land and Water. Proceedings
of the Regional Consultation.
Supriyanto, B., 2013. Lahan Gambut Kalbar: Tanah Terlantar Itu Kini
Dipenuhi Buah dan Sayur. http://industri.bisnis.com/read
/20130316/99/3845/lahan-gambut-kalbar-tanah-terlantar-itukini-dipenuhi-buah-sayur (Diakses tanggal 5 Oktober 2014).
Suriadikarta, D.A. dan M. T. Sutriadi, 2007. Jenis-jenis lahan
berpotensi untuk pengembangan pertanian di lahan rawa. Jurnal
Litbang Pertanian 26(3).
Sutrisno, 1990. Genesis, klasifikasi tanah sulfat masam Delta Pulau
Petak, Kalimantan Selatan/Tengah. Tesis pada Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Sys, C., E.V. Ranst, and F. Beernaert, 1993. Land evaluation part I:
principles in ;and evaluation and crop production calculations.
Agricultural Publications No. 7. International Training Centre
for Post-Graduate Soil Scientists University Ghent. Belgium.
Tambunan, S.W., Fauzi, P. Marpaung, 2013. Kajian sifat kimia tanah,
pertumbuhan dan produksi padi pada tanah sulfat masam
potensial akibat pemberian kompos tandan kosong kelapa sawit
dan pupuk SP-36. Jurnal Online Agroekoteknologi 1(4):13911401.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

97

Tie, Y.L. and J.S. Esterle, 1991. Formation of lowland peat domes in
Serawak, Malaysia. Proc. International Symposium on Tropical
Peatland. 6-10 May 1991. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tie, Y.L. and J.S. Lim, 1991. Characteristics and classification of
organic soils in Malaysia. Proc. International Symposium on
tropical peatland. Kuching, Serawak, Malaysia.
Tim Institut Pertanian Bogor, 1974. Laporan survai produktivitas tanah
dan pengembangan pertanian daerah Palangka Raya, Kalimantan
Tengah. IPB. Bogor.
Tufaila, M., B.H. Sunarminto, D. Shiddieq, and A. Syukur, 2011.
Characteristics of soil derived from ultramafic rocks for
extensification of oil palm in Langgikima, North Konawe,
Southeast Sulawesi. J. Agrivita 33 (1):93-102.
Tufaila, M., Yusrina dan S. Alam, 2014a. Pengaruh pupuk bokasi
kotoran sapi terhadap pertumbuhan dan produksi padi sawah
pada ultisol Puosu Jaya Kecamatan Konda, Konawe Selatan.
Agroteknos 4(1):18-25.
Tufaila, M., Dewi D. L., dan S. Alam, 2014b. Aplikasi kompos kotoran
ayam untuk meningkatkan hasil tanaman mentimum (Cucumis
sativus L.) di tanah masam. Agroteknos 4(2): 119 - 126.
Van der Heide, J., S. Setijono, E.N. Syekhfani, Flach, K. Hairiah, S.
Ismunandar, S.M. Sitompul, M. Van Noordwijk, 1992. Can low
external input cropping systems on acid upland soils in the humid
tropics be sustainable? Backgrounds of the Unibraw/IB Nitrogen
management project in Bunga Mayang (Sungkai Selatan,
Kotabumi N. Lampung, S. Sumatera, Indonesia).Agrivita 15:1-10.
Waston, G., and M. Willis, 1985. Famers local and traditional rice crop
protection techniques: some examples from coastal swamps,
Kalimantan Indonesia. IARD Journal (7) 1&2:25-30.
Widjaja-Adhi, I P.G., 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan
lebak. J. Litbang Pertanian 5. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama,
1992. Sumber daya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan
pemanfaatannya. In Partohardhono dan M. Syam (Ed.).
Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut
dan Lebak. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor.
M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

98

Widjaja-Adhi, I P.G., 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam


pengembangan sumber daya lahan rawa untuk usaha tani
berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan. Makalah
disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan
Pertanian di Daerah Pasang Surut, Karang Agung Ulu, Sumatera
Selatan.
Widjaja-Adhi, IPG., 1997. Developing tropical peatlands for
agriculture. In Rieley, J.O., and S.E. Page (ed.). Biodiversity
and Sustainibility of Tropical Peatlands. Proceed. Int. Symp. on
Biodiversity, Environmental Importance, and Sustainability of
Tropical Peat and Peatlands. Palangka Raya.
Widjaja-Adhi, I P.G. dan T. Alihamsyah, 1998. Pengembangan lahan
pasang surut: Potensi, prospek dan kendala serta teknologi
pengelolaannya untuk pertanian. Prosiding Seminar Nasional
dan Pertemuan Tahunan Komisariat Daerah Himpunan Ilmu
Tanah.
Widyati, E., 2011. Kajian optimasi pengelolaan lahan gambut dan Isu
perubahan iklim. Tekno Hutan Tanaman 4(2):57-68.
WWF, 2008. Deforestation, forest degradation, biodiversity loss and
CO2 emision in Riau, Sumatera, Indonesia: one Indonesian
propinves forest and peat soil carbon loss over a quarter century
and its plans for the future. WWF Indonesia Tecnical Report.
www.wwf.or.id.
Yenni, 2012. Ameliorasi tanah sulfat masam potensial untuk budidaya
tanaman bawang merah (Allium ascalonicum L.). Jurnal Lahan
Suboptimal 1(1):40-49.
Youngberg, I.G., and F.H. Buttel, 1984. Public policy and sociopolitical factors affecting the future of sustainable farming
systems. Dalam : Organic farming : current technology and its
role in a sustainable agriculture. Ch. 14. ASA-CSSA-SSSA.
ASA Spec. Publ. No. 46:167-185.

M. Tufaila

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

99

INDEKS

A
abu, 56, 58, 63, 64, 77
Aceh, 40, 85
Adat istiadat, 8
Aeric Hydraquents, 75
aerob, 23, 73
Agak kering, 11
agave, 70
agen hayati, 35
agregasi, 26, 32
agregat, 32, 35
agroekologi, 7, 9, 10, 11, 12, 14,
88
Agroforestri, 12
agroindustri, 5
air limpasan, 29
air tanah, 32
akar, 25, 26, 29, 34, 41, 46, 61,
65, 77
alami, 4, 7, 23, 32, 47, 68, 72
aliran limpas, 25, 29
aliran masa, 25
alley cropping, 28
Alpukat, 66
aluvial bersulfat-1, 76
aluvial bersulfat-2, 76
aluvial bersulfat-3, 76
aluvial bersulfida, 76
amelioran, 48, 56, 57, 58, 82,
83, 91, 93, 95, 96
ameliorasi, 36, 56
amonium acetat, 47
amonium klorida, 48
anaerob, 72, 73
ani-ani, 85
M. Tufaila

Anjasmara, 34
anorganik, 2, 31, 37, 92
APBN, 1
Argomulyo, 34
arid, 22, 23, 74, 88
asam, 41, 48, 50, 56, 58, 60, 61,
68, 71, 73, 78, 82, 95
asam organik, 41, 48, 56, 82
Aspergillus, 35
asumsi, 18, 21
atmosfer, 27
Azospirillum, 34
Azotobacter, 34, 35
B
Bacillus, 35
back swamp, 39
bahan induk, 72
bahan organik, 25, 31, 32, 34,
40, 41, 83
bahan sulfida, 20, 71, 72, 76
bakteri, 35, 72
Baluran, 34
banjir, 4, 20, 21, 23, 49, 50
basic sulfat, 78
basis, 9
batuan fosfat, 35
Bawang daun, 63
Bawang kucai, 63
Bawang merah, 1, 63, 84, 86, 98
Bayam, 64, 86
Bayar, 84
belangeran, 70
Belimbing, 67
Bengkoang, 59, 60

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

beracun, 2, 41, 48, 50, 51, 55,


56, 79, 82
beras, 1
berat volume (BV), 42
berbatu, 12
berbukit, 10
bergelombang, 10
bergunung, 10
berkelanjutan, 2, 4, 5, 6, 7, 26,
37, 89, 90, 93, 95, 98
bermuatan terubahkan, 25
berombak, 10
berproduktivitas, 2, 26
biakan, 34, 36
biodiversity, 4, 98
biofertilizers, 34
biofisik lahan, 14
biokimia, 72
biologi, 2, 3, 23, 24, 26, 31, 35,
41
borax, 57
buah-buahan, 1, 51, 66, 86
budaya, 14, 28, 49
budidaya kimiawi, 30
budidaya organik, 2, 30, 31, 37
bulan kering, 11, 68
Buncis, 86
bunga matahari, 70
burung pipit, 85
C
C/N, 56, 83
cabai, 1, 38, 86, 91
Cabe merah, 64
Cabe rawit, 64
cacing tanah, 34, 35, 36
carbon dating, 41
caren, 55
cat clay, 71
cekaman, 33
M. Tufaila

100

cengkeh, 70
class, 15
cokelat, 84
comprehensive, 26
C-organik, 39
Crotalaria juncea, 37, 92
cuaca, 23, 25
cukup sesuai, 16
curah hujan, 11, 17, 18, 23, 41
current suitability, 18
D
daging sapi, 1
dangkal, 12, 23, 24, 25, 43, 44,
47, 55, 60, 62, 63, 64, 65, 66,
67, 68, 69, 76
datar, 10
daya dukung, 4, 62
daya sanggah, 25
Daya semat, 25
Daya simpan, 25
debu, 26, 32
degradasi, 26, 33
dehidrasi, 41
dekomposisi, 40, 45, 46, 56
Delima, 67
dependent charge, 47
Desulfotomaculum sp., 72
Desulfovibrio sp., 72
difusi, 25, 26
dikhelat, 57
diperbaharui, 4, 5
disosiasi, 47
ditransformasikan, 29
diversifikasi, 5, 6
dolomit, 83
drainase tanah, 13
dry farming, 22
dryland, 22, 88, 89
dryland farming, 22

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

Duku, 67
Durian, 67

Flufaquents, 76
Fluvaquents, 75
fosfat, 25, 34, 35, 57, 83, 90, 91,
93
fosfat alam, 35, 57
fotoperiod, 85
fungi, 35
Fungus, 35

E
efektivitas, 25, 34
efisiensi usahatani, 27
ekologi, 4, 26
ekonomi, 3, 4, 14, 18, 19, 27,
28, 56, 58, 60, 61
ekosistem, 4, 33, 36, 40
ekstensifikasi, 13
emisi, 6, 56, 93
endapan lumpur, 79
Endoaquents, 75
Endoaquepts, 75
entisol, 77
erosi, 5, 6, 20, 24, 25, 26, 29,
31, 32, 33, 35, 46, 51
eutropik, 47
evaluasi, 14, 15, 17, 90, 94
evaporasi, 23, 29, 41
evapotranspirasi, 82

F
fauna, 32, 33, 35
fenol, 47
fero sulfat, 73
ferri (Fe3+), 72, 78
fibrik (mentah), 42, 43
fiksasi, 34
fisik, 2, 3, 7, 10, 11, 24, 26, 34,
36, 41, 45, 77
fisika, 3
fisikokimia, 2, 26
fisiografi, 10, 13, 23
fisiokimiawi, 25
flapgate, 52, 80
fleksibel, 14
flora, 32, 33
M. Tufaila

101

gagal panen, 5
Galunggung, 34, 86
gambut, 12, 20, 39, 40, 41, 42,
43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 77,
79, 88, 91, 92, 93, 94, 95, 96,
98
Gambut pantai, 43
Gambut pedalaman, 43
Gambut transisi, 44
gambut tropika, 39
Gandaria, 67
Ganyong, 60
garam, 12, 50
Garut, 34
Gembili, 60
gempa bumi, 4
genangan, 4, 49, 60, 61, 66, 84
geokimia, 72
geologi, 7, 10, 13
geologis, 4
Gepak Kuning, 34
glaukopit, 74
granit, 49
Grobogan, 34
gulma, 5, 6, 31, 82
gunung berapi, 4

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

H
hama, 5, 6, 31, 85
Haplic, 75
hara, 5, 16, 17, 18, 19, 20, 21,
24, 25, 26, 30, 31, 32, 33, 34,
36, 37, 39, 48, 50, 56, 57, 58,
82, 83
hara mikro, 25, 34
hayati, 4, 31, 33, 34, 35, 36, 37,
84
hemik (setengah matang), 42,
43
hemiselulosa, 47
hidroksil, 47, 78
hidrologi, 2, 7, 13, 14, 49
hifa, 34
hilir, 54, 55
histosols, 42
holosin, 40
horison, 25, 72, 73, 76
Hortikultura, 12
hujan efektif, 29
humifikasi, 24
humus, 41
hutan, 5, 13, 24, 39, 40, 58, 59,
65, 68, 69, 92
hutan lindung, 13, 24
hutan sempadan, 24
hutantani, 28
hydronium jarosit, 74
I
identitas sosial, 4
Ijen, 34
ikatan koordinasi, 48
iklim, 6, 7, 10, 11, 13, 14, 22,
23, 28, 41, 74, 88, 98
impor, 6
improved management, 19
M. Tufaila

102

inceptisol, 73, 77
indikator, 35, 45
industri, 5, 6, 35, 37, 60, 61, 62,
66, 67, 68, 69, 86, 96
infiltrasi, 26, 29
inkonvesional, 27
inokulan, 34
inovasi, 3
input, 4, 5, 10, 97
insektisida, 85
integritas, 4
intensifikasi, 13
intensitas, 14, 15, 17, 24, 85
intesif, 58
introduksi, 85
irigasi, 20, 23, 51, 53, 54, 55,
79, 80, 82
isohipertermik, 11
isotermik, 11
J
jagung, 57, 59, 60, 85, 86, 92
jahe, 70, 87
Jambu air, 67
Jambu biji, 67
jarak, 53, 55, 70, 82
jaringan, 50, 62
jarosit, 71, 72, 73, 74
jasad, 26, 31, 34, 35, 36
jasad renik, 26, 34, 35, 36
Jeluk, 25, 76
Jeluk efektif, 26
jeluk mampan, 29
jelutung, 70
jenis mineral, 46
jenis unggul, 26
jenuh air, 23, 39
jerosit, 73

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

K
Kacang hijau, 86
Kacang panjang, 64, 86
Kacang tanah, 86
kahat, 57, 78, 82
Kalimantan, 39, 40, 41, 47, 50,
68, 69, 72, 85, 90, 91, 92, 93,
94, 95, 96, 97
kapas, 70
kapasitas jerapan, 48
kapasitas lapang, 23, 57
kapital, 4
kapuk randu, 70
kapur, 20, 26, 58, 63, 65, 67, 68,
69, 83, 84
karakteristik lahan, 7, 13, 14, 17
karboksilat, 47
karbonat, 72, 74
karet, 61, 62, 69, 84
kation, 25, 31, 47, 48, 56, 57, 78
katteklei, 71
Katuk, 64
kawasan, 7, 8, 9, 13, 23, 24, 39,
48, 50, 71, 74, 84
kawasan lindung, 9
kayu manis, 70
keanekaragaman hayati, 4
kearifan, 5
kebakaran, 4, 50
kebijaksanaan, 7, 8, 9, 14
kecocokan, 14
kedalaman, 35, 41, 42, 46, 50,
55, 67, 82
kedaulatan pangan, 1
kedelai, 1, 33, 34, 35, 59, 60,
85, 86, 91, 92, 94
Kedondong, 67
kehutanan, 12, 48
kejenuhan basa (KB), 47
kekahatan, 26, 31
M. Tufaila

103

kekeringan, 25, 33, 34, 46, 49,


50, 53, 63, 79
kekuatan jerapan, 48
kelapa, 61, 62, 84, 87, 96
kelapa sawit, 61, 62, 84, 87, 96
Kelas, 15, 16
kelayakan ekonomi, 3
kelembaban, 11, 13, 25, 50, 53,
66
kelengasan, 10, 23
kelestarian, 2, 4, 7, 9, 19
keluwih, 63
kemampuan, 7, 8, 27, 28, 29,
30, 34, 48
Kemangi, 64
kemarau, 24, 49, 50, 52, 79, 81
kemasaman, 24, 47, 74, 75, 82,
83, 84
kematangan, 39, 42, 45, 46, 77
kemiri, 70
kenaf, 70
kencur, 70
Kenikir, 64
kerawanan, 9
Kering, 11, 18, 20, 21, 22, 27
keruangan, 7
kesehatan, 5
kesepakatan, 8, 22
kesesuaian lahan, 8, 9, 14, 15,
17, 18, 19, 21
kesuburan tanah, 5, 24, 35, 36,
37, 42, 47, 48, 56, 82
kesumba, 70
ketahanan, 1, 2, 88
ketebalan, 12, 39, 46, 48, 49
keterlarutan, 35
keuntungan, 10, 16, 56, 85
khelat, 48
khlorit, 74

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

kimia, 2, 3, 23, 24, 26, 28, 33,


37, 41, 46, 48, 72, 74, 77, 96
kimiawi, 2, 4, 25, 30, 31, 33, 34,
36, 37, 73
kohesi sosial, 4
kolektif, 50
komoditas, 1, 10, 14, 15, 33, 59
kompos, 36, 84, 96, 97
komprehensif, 14
konservasi, 4, 5, 12, 13, 20, 24,
28
konsistensi tanah, 77
konversi, 39
Kopi, 62, 87
kotoran ternak, 31
KPK, 17, 47, 57
kualitas lahan, 17, 79
kuantitatif, 13
kuarter, 53, 54, 55, 80, 82
kubis, 38, 65, 86
kuning pucat, 71
kunyit, 70
kwarsa, 12
L
Labu, waluh, 65
lada, 70, 84, 87
ladang, 23
lahan, 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10,
11, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,
20, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28,
29, 30, 35, 39, 40, 44, 46, 48,
49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56,
58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65,
66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74,
75, 76, 77, 79, 81, 82, 84, 85,
86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 95,
96, 97, 98
lahan basah, 3, 23, 40, 44, 72
M. Tufaila

104

lahan gambut, 1, 3, 39, 40, 46,


49, 53, 56, 59, 61, 63, 71, 79,
80, 82
lahan kering, 1, 3, 22, 23, 24,
27, 28, 29
lahan kritis, 3
lahan marginal, 1, 2, 3, 4
lahan pasang sutut, 1
lahan sulfat masam, 1, 3, 49, 53,
71, 72, 74, 76, 78, 79, 86
landform, 13
lantoro, 70
lapuk, 42, 74
Lawit, 85, 86
legum, 31, 32
Lembab, 11
lempung, 25, 26, 29, 32, 49, 71,
72
lengas, 29, 32, 33
lestari, 16
ligan, 48
lignin, 47
lilin, 47
limbah organik, 31, 36
lingkungan, 2, 3, 4, 5, 9, 10, 11,
14, 15, 19, 27, 28, 33, 36, 39,
42, 56, 74, 84, 88, 93, 98
LISA, 27, 28
Lobak, 65
logam berat, 33, 35
longsor, 4, 26
lowland, 22, 23, 90, 97
LREP, 7, 8, 14, 92
lumpur sungai, 56
M
makro, 35, 36, 50, 58, 79
Malabar, 34
mangan sulfat, 57
Mangga, 68

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

Manggis, 68
mangrove, 12
Manyapa, 85, 86
marginal, 1, 2, 3, 4, 5, 16, 26,
27, 29, 77
masam, 6, 24, 30, 32, 36, 47,
56, 60, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 85,
86, 87, 90, 93, 96, 97, 98
masukan rendah, 2
masyarakat setempat, 8, 85
melestarikan, 8
melinjo, 68
melon, 30, 66, 68, 91
memapankan (estabish), 23
mendukung, 7, 8, 10, 27, 36
menetralisir, 83
mengkelat, 83
mengkudu, 70
meranti, 70
mesotropik, 47
mikorisa, 34, 36
mikro, 36, 47, 53, 54, 57, 58,
66, 68, 79, 82
mikroorganisme, 41, 72
mineral, 29, 31, 32, 33, 36, 37,
42, 43, 45, 46, 56, 58, 66, 72,
74, 76, 77, 78, 91, 92, 95, 96
mint, 70
mobilitas sosial, 4
mulsa, 29, 30, 33
mulsa plastik, 30
murbei, 70
musim pasang, 81
musim tanam, 49, 80
mutu, 3, 28, 36, 79
N
Nangka, 68
nasional, 1, 2, 8, 15, 27, 28, 92
M. Tufaila

105

natro jarosit, 74
nenas, 66, 68, 87
neraca hara, 32, 33
Nilai n, 77
nilai tambah, 27
nitrogen, 34
non gambut, 40
non intensif, 58, 68
non-pertanian, 1
nutrient supply system, 37
O
oksidasi, 50, 71, 73, 74, 78
oligotropik, 47
ombrogen, 42, 44, 47
optimal, 14, 15, 56
optimum management, 19
order, 15
ordinary management, 19
Ordo, 15
organik, 2, 20, 24, 25, 26, 29,
30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38,
39, 40, 41, 42, 47, 48, 50, 56,
57, 58, 72, 73, 77, 78, 82, 83,
90, 91, 94, 95
P
P tersedia, 17, 83
pacar kuku, 70
padi, 2, 13, 23, 35, 36, 49, 56,
57, 59, 60, 78, 83, 84, 85, 90,
93, 96, 97
Padmaraga, 85
Pakis, 65
pala, 70
palawija, 2, 23, 49, 85, 86
panas, 10
Pandak, 84

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

pangan, 1, 2, 5, 12, 13, 24, 28,


59, 60, 61, 85, 88
Papua, 39, 40, 71, 74
Paradigma, 4
partisipasi masyarakat, 4
pasang, 1, 3, 27, 42, 43, 44, 50,
51, 52, 72, 74, 75, 79, 80, 84,
85, 88, 93, 95, 97, 98
pasang surut, 3, 27, 43, 50, 52,
72, 74, 75, 79, 84, 85, 88, 93,
95, 97, 98
pasar, 49, 58, 62, 69
payau, 74
pelarut fosfat, 35
pelestarian, 8
pelindian, 30, 31
Pelumpuran, 77
pemampatan, 26, 31, 32, 33
pematangan, 20, 41, 73
pembangunan, 4, 7, 9, 27, 37,
50, 53
pemberdayaan masyarakat, 4
pemerataan, 4
penambat N2, 34
penanaman berjalur, 29
pencemaran, 5, 32, 33, 36
pencemaran air, 5
penelitian, 5, 34, 35, 36, 37, 58,
78, 79, 83, 84, 88
pengapuran, 30, 66
pengatusan, 22, 23, 75
pengelolaan, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,
15, 16, 18, 19, 20, 21, 22, 23,
28, 29, 32, 36, 50, 53, 56, 77,
79, 82, 84, 92, 93, 95, 98
pengelolaan air, 53, 79
pengembalaan, 12
pengembangan kelembagaan, 4
penggunaan lahan, 3, 7, 8, 9, 13,
14, 16, 19, 22, 28
M. Tufaila

106

penghujan, 24
pengolahan tanah, 26, 29
pengomposan, 36
penguapan, 26, 41
Penicillium, 35
penyakit, 5, 6
Pepaya, 69, 87
pera (karau), 85
peracunan Al, Fe, dan Mn, 24,
30, 32
perambahan, 5
peraturan, 9
perbani, 75
perencanaan, 7, 9, 14, 15, 91
Perikanan, 12
Perkebunan, 12, 28
perkolasi, 25, 29, 30
perluasan lahan, 1
permanen, 16, 18, 75
permeabilitas, 35, 77
perombakan, 24, 26, 83
persiapan, 10
pertanaman lorong, 32
pertanian, 1, 2, 3, 4, 5, 10, 12,
13, 15, 19, 22, 23, 24, 26, 27,
28, 29, 30, 36, 37, 38, 39, 40,
56, 70, 77, 84, 87, 88, 90, 91,
93, 94, 95, 96, 97, 98
pestisida, 4, 28, 31, 85
peta, 9, 10, 13, 14, 15, 18
petai, 63, 65
petani, 5, 19, 31, 35, 38, 50, 53,
82, 84, 85, 91
Petek, 34
petrokimia, 35
Petsai, 65
pH, 18, 20, 21, 24, 25, 47, 56,
57, 58, 60, 62, 63, 64, 65, 66,
68, 69, 71, 73, 75, 76, 77, 78,
79, 83, 84

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

piasan, 27, 29
pinang, 70
pintu otomatis, 81
pirit, 50, 71, 72, 73, 74, 75, 76,
77, 78, 82, 83
pisang abaka, 70
polivalen, 48, 56, 57
posisi pembentukannya, 42
potensi, 1, 3, 27, 38, 47, 56, 73,
83, 88, 91, 93, 97
potensial, 7, 18, 19, 20, 21, 23,
73, 75, 77, 96, 98
potential suitability, 19
precipitation, 23
present land use, 13
primer, 52, 82
produksi, 1, 2, 4, 5, 6, 10, 15,
16, 19, 27, 30, 31, 33, 35, 40,
48, 56, 96, 97
produktif, 1, 3, 5, 15, 33
produktivitas, 5, 8, 19, 31, 32,
82, 85, 91, 92, 95, 96, 97
protein, 47, 59, 64, 66
provinsi, 8, 15, 39
Pseudomonas, 35
pulai, 70
pupuk, 4, 26, 28, 30, 31, 33, 34,
35, 36, 37, 56, 57, 58, 61, 63,
64, 65, 66, 67, 68, 69, 83, 84,
85, 91, 92, 96, 97
pupuk anorganik, 37
pupuk hayati, 34, 36, 37
pupuk hijau, 31, 33, 37, 61, 92
pupuk kandang, 31, 37, 56, 63,
64, 92
pupuk mineral, 37
pupuk organik, 32, 36, 37
purnama, 75
purun tikus, 70

M. Tufaila

107

R
radio isotop, 41
rainfed farming, 22
ramah, 4
rambutan, 69, 84
rami, 70
ramin, 70
Ranti, 65
rasional, 56
rawa, 3, 23, 27, 39, 49, 50, 65,
70, 72, 75, 84, 85, 88, 92, 93,
95, 96, 97, 98
realistik, 14
Reconnaissance, 15
redoks, 72, 73
reduksi, 72, 78, 83, 84
Regim suhu, 11
rehabilitasi, 13
rekayasa, 2, 27
reklamasi, 50, 78
relief, 11, 13
renewable resources, 4
rengas manuk, 70
rentan, 2, 25, 26
resin, 47
restorasi, 49
rhizobium, 34, 35, 36, 94
rosela, 70
rotan, 70
RTRW, 9
rumusan, 7
S
saga, 70
sagu, 59, 60
Salak, 69
salinitas, 62, 78, 84
saluran cacing, 55, 82
saluran kolektor, 55

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

sangat dalam, 76
saprik (matang), 42
Satuan kesesuaian, 15
satuan lahan, 13, 14
sawah, 1, 13, 23, 54, 55, 60, 85,
90, 97
Sawi, 86
Sawo, 69
sedang, 19, 22, 37, 43, 47, 60,
62, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 74,
75, 85
sejuk, 10
sekunder, 52, 80, 82
Selada, 66, 86
Seledri, 65
selulosa, 47
semangka, 66, 69,87
semi arid, 22
semi detail, 15
seng sulfat, 57
sengon, 70
serai, 70
seratnya, 42
Serawak, 40, 90, 93, 97
serbacakup, 2, 26
sesuai, 7, 9, 10, 13, 14, 15, 16,
17, 19, 24, 26, 36, 58, 66, 67,
82
Seulawah, 34
Siam, 84, 85
Sibayak, 34
silikat, 72, 74, 78
Sinabung, 34
singkong, 59
Singkong, 61
Sirsak, 69
sistem garpu, 50, 52, 53
sistem gizi tanaman terpadu, 2,
37
sistem handil, 50, 51
M. Tufaila

108

Sistem Satu Arah, 79


sodium molibdat, 57
Soil Survey Staff, 42, 75, 95
solum, 12, 24
Sorgum, 61
sorption capacity, 48
sorption power, 48
sosial, 3, 4, 14, 19, 27, 28
spodosol, 12
Sri kaya, 69
stoplog, 54, 55, 80, 82
strategis, 1
struktur tanah, 5, 29, 77
suaka alam, 5
sub zona, 12
sub-class, 15
suberin, 47
Sub-kelas, 15
subsiden, 46
substratum, 46, 47
subur, 1, 34, 42, 47, 64, 65, 66,
68, 69
suhu, 10, 11, 13, 41
Sukmaraga, 85, 86
Sukun, 61
Sulawesi, 71, 74, 97
sulfaquent, 75
sulfaquept, 76
sulfat, 1, 3, 12, 49, 53, 57, 71,
72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79,
80, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 90,
93, 96, 98
sulfat masam, 12, 71, 72, 74,
75, 77, 78, 79, 83
sulfat masam aktual, 75
sulfat masam potensial, 75, 96,
98
Sulfic Endoaquepts, 76
Sulfic Hydraquents, 75
sulfida, 72, 78, 82

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

sulfurik, 72, 73, 76


Sumatera, 39, 40, 47, 50, 79, 95,
96, 97, 98
sumberdaya, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10,
11, 15, 27
sumberdaya alam, 4, 5
sungkai, 70
surjan, 55
surut, 51, 52, 79, 80, 81, 85
Surya, 34
sustainable, 4, 6, 89, 97, 98
swasembada, 5
swasta, 50
T
Tabat, 51
tadah hujan, 22, 23
Tahana (status), 82
tak balik, 46
tanah mineral laterit, 56
Tanah sulfat masam, 71, 75
tanaman buah, 59, 66
tanaman hortikultur, 2
tanaman perkebunan, 2, 28, 59,
61, 62
tanaman rempah, 59
tanaman sayuran, 59, 63
tanaman serat, 59
Tanggamus, 34
tanggul, 20, 50, 52, 54, 55
tannin, 47
tapak jerapan, 57
tata air, 20, 49, 50, 51, 52, 54,
79, 82
tata batas, 9
tebu, 62, 84
tegal, 23
tegalan, 54, 55
Teh, 63
M. Tufaila

109

teknologi, 2, 3, 4, 5, 10, 19, 26,


27, 30, 33, 56, 98
tekstur tanah, 29, 77
temu lawak, 70
tenaga kerja, 5
tepat guna, 3
terak baja, 56
teras, 29
terkendali, 8
teroksidasi, 71, 73, 78
Terong, 66, 86
tersediakan, 33, 35, 36
tersier, 52, 53, 54, 55, 80, 81, 82
terusi, 57
Thapto-Histic Sulfaquents, 75
tidak dapat diperbaharui, 4
tidak sesuai, 13, 15, 16, 24
Timun, 86
tinjau, 15
Tipe luapan, 75
tipologi lahan, 76
toleran, 61, 62, 64, 65, 68, 69,
84
Tomat, 66, 86
topogen, 42, 44, 47
topografi/relief, 7
transformasi, 29
transportasi, 50
Trichoderma, 36
trubus, 26
tumpang susun, 14
turi, 70
Typic, 75, 96
U
Ubi jalar, 61, 86
Ubi kayu, 86
ultisol, 3, 24, 26, 30, 32, 33, 97
unirrigated land, 22
unit, 15, 16, 78

Sitti Leomo

Syamsu Alam

STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN MARGINAL

unrenewable resources, 4
unsur mikro, 57
upland, 22, 23, 97
upland crop, 22
usahatani, 27, 28, 31, 33, 56

110

wetland, 22, 23, 92


wilayah, 9, 10, 11, 12, 13, 15,
19, 44, 74, 75, 79, 89
Wilis, 34, 86
Y

Yam/Uwi, 61

variabilitas, 39
varietas lokal, 84, 85
varietas unggul, 85
vegetasi, 7, 23, 44
vermicompost, 36
volume tanah, 26

W
water management, 49, 88, 89,
94

M. Tufaila

ZAE, 9, 13
zarah, 26, 32
zona, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 88
zona lahan, 7, 8, 9
zonasi, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14,
92
zonasi agroekologi, 10
zonasi lahan, 7, 8, 9, 14

Sitti Leomo

Syamsu Alam

M. Tufaila. Lahir di Dompu-NTB pada tanggal 5 Juli 1966.


Mendapat gelar sarjana dari Fakultas Pertanian Universitas M ataram
tahun 1990 pada program studi Ilmu Tanah. Tahun 1993-1996
melanjutkan pendidikan S2 di Program Pascasarjana UGM program
studi Ilmu Tanah, dan tahun 2007-2011 melanjutkan pendidikan S3
juga di Program Pascasarjana UGM program studi Ilmu Tanah. Pada
tahun 1997-2005 dipercayakan sebagai ketua Program Studi Ilmu
Tanah di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo (UHO) dan tahun 2013-sekarang
menjadi ketua Program Studi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Program
M agister Pascasarjana UHO. Mengajar pada jenjang S1, S2, dan S3 di Universitas
Halu Oleo. Mengampu mata kuliah seperti Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Klasifikasi tanah
dan Pedogenesis, Konservasi Tanah dan Air, Survei Tanah dan Pemetaan Lahan,
Geologi dan Mineralogi Tanah, Geomorfoogi dan Analisis Landskap, dan Perencanaan
W ilayah Pedesaan dan Pertanian. Buku yang pernah ditulis diantaranya Panduan
Survei Tanah, M etode Inventarisasi Komponen Lingkungan, Pedogenesis dan
beberapa judul buku lainnya yang digunakan dalam lingkup Universitas Halu Oleo.
Sitti Leomo.
Lulus Sarjana Pertanian dari Fakultas Pertanian
Universitas Hasanuddin
(UNHAS)
tahun 1986. Kemudian
melanjutkan pendidikan pada Institut Pertanian Bogor (IPB) dan
mendapat gelar M .Si dalam bidang Ilmu Tanah minat konservasi
tanah dan air dalam tahun 1998. Saat ini sedang mengikuti pendidikan
Program Doktor pada Pascasarjana UHO.M ulai tahun 1988 sampai
sekarang mengajar di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. M engasuh mata
kuliah Dasar-dasar Ilmu Tanah; Dasar-dasar Agronomi; Konservasi Tanah dan Air;
Analisis Tanah, Air dan Jaringan Tanaman; M anagemen Agroekosistem; Reklamasi
Lahan dan Bioremediasi Tanah. Tahun 1998-2000 menjadi Kaprodi Agronomi
program Kelas Sore. Tahun 2000-2008 menjadi Ketua Program Kelas Sore, dalam
tahun 2008-2012 menjadi Ketua Unit Jaminan M utu. Tahun 2012-sekarang menjadi
Pembantu Dekan II Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo Kendari.
Syam su Alam. Lahir di Kendari pada tanggal 13 Juni 1980.
Pendidikan formal yang pernah diikuti adalah : Sekolah Dasar di
SDN 2 Punggolaka (1992); Sekolah Menengah Pertama di M TsN 1
Kendari (1995); Sekolah Menengah Atas di SMU 4 Kendari (1998);
Sarjana Pertanian (UHO, 2003); M agister of Science (UGM, 2011).
Pekerjaannya sebagai akademisi dimulai pada tahun 2003 sebagai
dosen luar biasa dan sejak April 2006 diangkat menjadi Dosen
Tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo. Sejak
Desember 2012 diangkat menjadi Sekretaris Jurusan Agroteknologi
FP-UHO dan hingga saat ini tetap aktif dalam keanggotaan organisasi profesi
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). M ata kuliah yang diampu diantaranya Dasadasar Ilmu Tanah, Geologi dan M ineralogi Tanah, Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis,
Kesuburan Tanah dan Teknik Pemupukan, Pengelolaan Tanah dan Air. Buku yang
pernah ditulis sebelumnya diantaranya Geologi dan Mineralogi Tanah, Pengelolaan
Tanah dan Air, dan beberapa judul buku lainnya yang digunakan dalam lingkup
Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.

ISBN 978-602-8161-71-8

Anda mungkin juga menyukai