Anda di halaman 1dari 109

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya

hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan
sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk
Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15,3% pada tahun 2009 berdasarkan harga
berlaku. Kontribusi sektor pertanian masih relatif lebih besar dari pada sektorsektor lainnya, walaupun selama periode 2004 - 2009 pertumbuhannya sebesar
6.99 % dibandingkan dengan sektor lainnya terjadi penurunan (Lampiran 1).
Selanjutnya berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS)
tahun 2010, sektor pertanian menyumbang tenaga kerja sebanyak 42 juta orang
lebih dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan kerja
utama yang hampir mencapai 110 juta orang. Jika dilihat dari nilai absolutnya,
maka kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan jumlah yang besar,
sehingga seharusnya dapat dianalogikan bahwa petani seharusnya menerima
pendapatan yang memadai untuk dapat hidup sejahtera. Namun pada
kenyataannya, apabila dilihat melalui peta kemiskinan di Indonesia, kiranya dapat
dipastikan bahwa bagian terbesar penduduk yang miskin adalah yang bekerja di
sektor pertanian (Tambunan, 2003 : 23-24). Hal ini menyebabkan bidang
pertanian harus dapat memacu diri untuk dapat meningkatkan produk

pertaniannya, khususnya produk pertanian tanaman pangan. Salah satu komoditi


tanaman pangan potensial untuk dikembangkan adalah tanaman padi.
Sebagai salah satu pilar ekonomi negara, sektor pertanian diharapkan
dapat meningkatkan pendapatan terutama dari penduduk pedesaan yang masih di
bawah garis kemiskinan. Untuk itu, berbagai investasi dan kebijakan telah
dilakukan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan di sektor pertanian.
Investasi di sektor pertanian seringkali sangat mahal, ditambah lagi tingkat
pengembaliannya sangat rendah dan waktu investasinya juga panjang sehingga
tidak terlalu menarik swasta. Oleh sebab itu pembangunan irigasi, penyuluhan
pertanian dan berbagai bentuk investasi dalam bentuk subsidi dan lainnya pada
umumnya harus dilakukan oleh pemerintah.
Menurut Suparta, pembangunan pertanian penting dalam memaksimalkan
pemanfaatan geografi dan kekayaan alam Indonesia, memadukannya dengan
teknologi agar mampu memperoleh hasil sesuai dengan yang diharapkan. Sektor
pertanian berperan penting dalam menyediakan bahan pangan bagi seluruh
penduduk maupun menyediakan bahan baku bagi industri, dan untuk perdagangan
ekspor (Suparta, 2010 : 10). Hal ini diawali dengan meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia yang baik, dimana setiap individu dalam rumah tangga
mendapatkan asupan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi secara
berkelanjutan yang pada gilirannya akan meningkatkan status kesehatan dan
memberikan kesempatan agar setiap individu mencapai potensi maksimumnya.
Dengan demikian ketahanan pangan merupakan komponen yang tak terpisahkan

dari ketahanan nasional, dimana ketahanan nasional berkaitan erat dengan kualitas
sumber daya manusia.
Isu ketahanan pangan menjadi topik penting karena pangan merupakan
kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan
stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan.
(Ilham, dkk, 2006). Ketahanan pangan ini menjadi semakin penting karena pangan
bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need) tetapi juga merupakan hak
dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi. Oleh karena
pangan merupakan hak dasar itulah, maka negara berkewajiban untuk memastikan
bahwa setiap individu warga negara telah mendapatkan haknya atas pangan
(Hariyadi, dkk, 2009 : 1).
Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat di dalam negeri dari produksi pangan nasional.
Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat penting, terutama
bagi negara yang mempunyai jumlah penduduk sangat banyak seperti Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta jiwa pada tahun 2020
dan diproyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025 (Hanafie, 2010 : 272).
Sebagian besar petani padi merupakan masyarakat miskin atau
berpendapatan rendah, rata-rata pendapatan rumah tangga petani masih rendah,
yakni hanya sekitar 30% dari total pendapatan keluarga (Mardianto, 2001). Selain
berhadapan dengan rendahnya pendapatan yang diterima petani, sektor pertanian
juga dihadapkan pada penurunan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Hal
ini berkaitan erat dengan sulitnya produktivitas padi di lahan-lahan sawah irigasi

yang telah bertahun-tahun diberi pupuk input tinggi tanpa mempertimbangkan


status kesuburan lahan dan pemberian pupuk organik.
Untuk memecahkan masalah tersebut, pemerintah melancarkan dua
pendekatan

pembangunan

pertanian.

Pertama

pembangunan

pertanian

berwawasan agribisnis dan kedua, pembangunan pertanian tidak lagi dipandang


sebagai pembangunan parsial pengembangan komoditas tetapi di dalam
implementasinya sangat terkait dengan pembangunan wilayah.
Sesuai amanat dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, saat ini memasuki
periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahap ke-2
(2010-2014), setelah periode RPJMN tahap ke-1 (2005-2009) berakhir. Pada
RPJMN tahap ke-2 (2010-2014), pembangunan pertanian tetap memegang peran
yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut
digambarkan melalui kontribusi yang nyata melalui pembentukan kapital,
penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bio-energi, penyerap
tenaga kerja, sumber devisa negara, dan sumber pendapatan, serta pelestarian
lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan (Renstra
Kementerian Pertanian 2010-2014).
Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada
Undang -Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan
Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan

bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Secara makro pembangunan pertanian dituangkan pada visi pembangunan
pertanian 2025 yang pertama kali dicanangkan pada era pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Pada
seminar dan lokakarya nasional 12 Maret 2005 tentang Arah kebijakan
pembangunan pertanian nasional pada kabinet Indonesia bersatu, Menteri
Pertanian kala itu dijabat oleh Anton Apriyantono, menyampaikan pidato yang
menyatakan bahwa, pembangunan pertanian masih dihadapkan kepada sejumlah
kendala dan masalah yang harus dipecahkan, antara lain : (1) Keterbatasan dan
penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, (2) Sistem alih teknologi yang masih
lemah dan kurang tepat sasaran, (3) Keterbatasan akses terhadap layanan usaha,
terutama permodalan, (4) Rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran
yang belum adil, (5) Kualitas, mentalis, keterampilan sumberdaya petani rendah,
(6) Kelembagaan dan posisi tawar petani rendah, (7) Lemahnya koordinasi antar
lembaga terkait dan birokrasi, dan (8) Kebijakan makro ekonomi yang belum
berpihak kepada petani.
Sehingga memperhatikan permasalahan tersebut, maka visi pembangunan
pertanian sampai tahun 2025 adalah: Terwujudnya sistem pertanian industrial
berkelanjutan yang berdayasaing dan mampu menjamin ketahanan pangan
dan kesejahteraan petani. Secara lebih spesifik sasaran jangka panjang yang
perlu ditempuh adalah: (1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang
berdayasaing; (2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya

kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian; dan (4) Hapusnya masyarakat
petani miskin dan meningkatnya pendapatan petani.
Sedangkan target utama Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 yaitu:
(1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) Peningkatan
diversifikasi pangan, (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4)
Peningkatan kesejahteraan petani (Restra Kementerian Pertanian 2010-2014).
Implementasi dari pelaksanaan visi tersebut dituangkan dalam Program
Ketahanan Pangan Nasional 2005-2009 yaitu : Program Peningkatan
Ketahanan Pangan, Program Peningkatan Kesejahteraan Petani, dan
Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik. Selanjutnya program tahap
ke-2 yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2010-2014
sesuai dengan visi dan misi, tugas pokok dan fungsinya serta memperhatikan
permasalahan dan potensi ketahanan pangan; adalah Program Peningkatan
Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat (www.bkp.deptan.go.id).
Sedangkan secara mikro atau teknis, pembangunan pertanian dituangkan
dalam bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh Badan Penelitian Teknologi
Pertanian (BPTP). Untuk meningkatkan produksi padi nasional, Badan Litbang
Pertanian telah mengembangkan model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
padi sawah pada tahun 1999 hingga 2002 di 26 propinsi melalui Program
Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) (www.agrina-online.com). Hal ini
didasari oleh pendekatan agribisnis yang terkait erat dengan pembangunan
wilayah pedesaan dengan menggunakan sumber daya lokal dan budaya lokal.

Program P3T pada dasarnya mencakup empat kegiatan pokok, yaitu: (1)
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT),
(3) Penguatan kelembagaan tani melalui penguatan Kelompok Usaha Agribisnis
Terpadu (KUAT), dan (4) Pelayanan jasa keuangan model Kredit Usaha Mandiri
(KUM) (Sugiarto dan Hendiarto, 2003). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) adalah: (1) Meningkatkan produktivitas padi minimal
0,5 ton/ha, (2) Memperbaiki struktur tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3)
Meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan input, (4)
Memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5)
Mempercepat diseminasi teknologi inovatif (Mashur, dkk, 2002).
Pelaksanaan masing-masing komponen PTT, SIPT, KUAT, dan KUM
bersifat spesifik lokasi, yakni berdasar permasalahan di lokasi dimana komponen
tersebut diterapkan. Program ini merupakan program baru di bidang pertanian dan
dicanangkan secara simultan (berlanjut) dengan memberi dana kepada petani
secara bergilir untuk melaksanakan komponen kegiatan proyek.
Di Provinsi Bali khususnya, program P3T dilaporkan dapat meningkatkan
produktivitas padi. Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Distan)
Provinsi Bali, menunjukkan bahwa luas tanam dan panen padi cukup fluktuatif
dan cenderung agak menurun sangat tergantung dari ketersediaan irigasi dan juga
lahan. Dalam rangka mengantisipasi penurunan produksi sebagai akibat
penurunan luas tanam dan panen maka upaya-upaya peningkatan produktivitas
(produksi per satuan luas) terus diintensifkan pelaksanaannya melalui peningkatan
mutu intensifikasi yang didukung dengan adanya kebijakan subsidi, proteksi dan

pengembangan teknologi spesifik lokasi. Upaya-upaya tersebut terangkum dalam


komponen program P3T.
Khusus mengenai kebijakan subsidi pupuk petani merupakan salah satu
kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilaksanakan
pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Di
Indonesia, subsidi pertanian berupa subsidi harga input usahatani, yaitu subsidi
pupuk, benih dan bunga kredit.
Usaha peningkatan produksi padi ini diikuti oleh penyediaan penunjang
produksi, salah satunya adalah ketersediaan pupuk. Penggunaan pupuk berimbang
dalam usahatani padi sangat perlu dilakukan, namun disatu sisi harga pupuk
sangat mahal. Oleh karenanya, pemerintah melakukan kebijakan dengan
memberikan subsidi pupuk kepada petani padi sawah. Dengan program P3T
menunjukkan angka yang cukup signifikan bagi perkembangan produksi padi di
Bali. Secara rinci perkembangan luas tanam, panen, produktivitas dan produksi
Padi di Provinsi Bali tahun 2005 s/d 2009 yakni :
Tabel 1.1
Perkembangan Luas Tanam,Panen, Produktivitas dan Produksi Padi di Provinsi
Bali tahun 2005 s/d 2009
Tahun
PADI
Tanam (Ha)
Panen (Ha)
Produktivitas (Ku/Ha)
Produksi (Ton)

2005

2006

2007

2008

2009

152,887
142,356
55.28
786,961

145,795
150,557
55.85
840,891

154,724
145,030
57.90
839,775

158,726
143,999
58.37
840,465

151,764
150,283
58.47
878,764

Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali 2010

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian tahun 2010


(dalam ton), adalah sebagai berikut :
Tabel 1.2
Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian tahun 2010
Sub Sektor

UREA

SP-36/Superphos

ZA

NPK

Tanaman Pangan
3,640,000
576,708
404,253
1,237,100
Hortikultura
516,146
48,967
164,860
179,456
Perkebunan
1,235,574
301,156
378,633
547,445
Peternakan
16,538
1,349
2,255
Perikanan Budidaya
191,742
71,820
Cadangan Budidaya
400,000
200,000
JUMLAH
6,000,000
1,000,000
950,000
2,200,000
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010

ORGANIK
591,500
83,874
200,781
2,687
31,158
910,000

Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2010 menurut jenis dan jumlah
pupuk per bulan-nya untuk Provinsi Bali adalah :
Tabel 1.3
Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi tahun 2010 menurut Jenis dan Jumlah
Pupuk per Bulan Provinsi Bali
No
1
2
3
4
5

Jenis Pupuk
Urea
SP-36/Superphos
ZA
NPK
Organik

Jumlah (Ton)
57,000
5,500
11,649
33,333
60,667

Selanjutnya menurut data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian


Pertanian 2010, bahwa tahun 2010, Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk
bersubsidi di kios pengecer resmi, ditingkat kecamatan/desa ditetapkan sebagai
berikut :

10

Tabel 1.4
Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Tingkat Kecamatan/Desa
Jenis Pupuk
UREA
ZA
SP-36
Superphos
NPK Phonska
NPK Pelangi
NPK Kujang
Organik

Harga
(Rp/kg)
1,200
1,050
1,550
1,250
1,750
1,830
1,586
500

(Rp/Zak)
60,000 @50 kg
52,500 @50 kg
77,500 @50 kg
62,500 @50 kg
87,500 @50 kg
91,500 @50 kg
79,300 @50 kg
25,000 @50 kg
atau 10,000 @20 kg

Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010

Catatan :
1. HET pupuk bersubsidi tersebut dalam kemasan 50 kg atau 20 kg, yang
dibeli petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan atau gudang di kios
pengecer resmi secara tunai.
2. Jenis pupuk NPK bersubsidi dimaksud terdiri dari : a) pupuk NPK
Phonska (15 :15 :15) yang diproduksi oleh PT Petrokimia Gresik ; b)
pupuk NPK Pelangi (20 :10 :10) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kaltim ;
c) pupuk NPK Kujang (30 :6 :8) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kujang.
3. Untuk alokasi kebutuhan pupuk SP-36 dapat dipenuhi dengan pupuk
Superphos sampai dengan bulan Maret 2010 yang telah ditetapkan dalam
Permentan No. 22/Permentan/SR. 130/2/2010 tentang Perubahan
Permentan No. 50/Permentan/SR. 130/11/2009.
Berdasarkan data tersebut menggambarkan bahwa pemerintah melakukan
pemberian subsidi input dan dukungan harga bagi petani, yaitu subsidi yang
menitikberatkan pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan
mesin pertanian (input).
Kabupaten Tabanan, yang terletak di Provinsi Bali merupakan kabupaten
yang memiliki luas tanaman padi paling luas di Bali, dimana luas sawah di
Kabupaten Tabanan 22.465 hektare dari total 81.482 hektare sawah di Bali, jika
ditinjau dari produksi padi di daerah Tabanan tahun 2009 Kabupaten Tabanan

11

dapat menghasilkan gabah 242 ribu ton per tahun, dimana tiap hektare sawah
menghasilkan 5,98 ton gabah kering.(Bali Dalam Angka, 2010). Sampai saat ini
Tabanan menjadi penyumbang produksi padi tertinggi di Bali. Hal ini sesuai
dengan julukan kabupaten Tabanan sebagai lumbung beras di Bali. Kabupaten
Tabanan terdiri atas 10 kecamatan, dan salah satu kecamatan dengan luas tanam
dan luas panen terbesar adalah kecamatan Penebel yaitu berturut-turut 8.788 ha
dan 8.569, dengan produksi padi sawah sebesar 4.297.353,5 ton (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan, 2008).
Seperti halnya penggunaan benih berkualitas, orientasi petani pangan
adalah minimalisasi biaya produksi, belum ke arah maksilisasi keuntungan.
Disamping itu, teknologi pemupukan petani masih relatif rendah akibat
terbatasnya kemampuan permodalan petani atau tidak tersedianya pupuk pada saat
dibutuhkan petani. Oleh karena itu, pemberian subsidi pupuk yang diberikan
pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani menjadi
hal yang prioritas bagi ketahanan pangan Indonesia.
Hasil penelitian Kasiyati (2004) mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi
pupuk dapat meningkatkan pendapatan petani di Jawa Tengah. Ini berarti bahwa
kebijakan subsidi pupuk diduga dapat berdampak signifikan terhadap peningkatan
pendapatan petani didaerah lainnya juga, khususnya Tabanan.
Berdasarkan posisi yang strategis tersebut, usahatani padi seyogyanya
diusahakan dengan baik serta memiliki unggulan kompetitif dan dapat
meningkatkan keuntungan. Keadaan yang demikian akan menguntungkan bagi
ketahanan pangan, ekonomi nasional, bahkan stabilitas nasional. Dengan

12

demikian kebijakan subsidi pupuk dimaksudkan untuk membantu petani agar


dapat memperoleh pupuk dengan harga terjangkau sehingga proses usahatani
dapat berjalan secara berkesinambungan, memiliki keunggulan kompetitif serta
dapat meningkatkan keuntungan usahatani padi.
Sehingga perlu kajian terhadap pengaruh subsidi pupuk tersebut, karena
dampak yang ditimbulkan oleh adanya kebijakan subsidi pupuk tersebut akan
berpengaruh terhadap keunggulan kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani
padi.

1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukan bahwa akibat

dari adanya subsidi pupuk pada usahatani padi di Bali akan menimbulkan
berbagai dampak. Oleh karenanya permasalahan yang dihadapi sebagai berikut.
1. Apakah usahatani padi sawah masih merupakan usahatani yang memiliki
keunggulan kompetitif pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten
Tabanan.
2. Berapakah tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari
subsidi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan.

1.3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

13

1. Menganalisis keunggulan kompetitif usahatani padi sawah sebagai dampak


dari subsidi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten
Tabanan.
2. Menganalisis tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari
akibat adanya subsisi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di
Kabupaten Tabanan.

1.4

Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang ingin didapatkan

dari penelitian ini sebagai berikut :


1. Bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan dampak
kebijakan subsidi pupuk.
2. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai suatu acuan atau
referensi maupun informasi bagi penelitian lebih lanjut untuk pengembangan
sistem subsidi pupuk.
3. Bagi petani diharapkan mendapatkan ilmu pengetahuan agar bisa
meningkatkan keuntungan atau pendapatan.
4. Bagi pemerintah hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengambil kebijakan baru dalam sistem usahatani padi sawah di Kabupaten
Tabanan dalam rangka peningkatan pendapatan dan daya saing.

14

1.5

Ruang Lingkup Penelitian


Terkait dengan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis

bermaksud mengkaji dampak dari kebijakan subsidi pupuk terhadap keunggulan


kompetitif dan tingkat keuntungan usahatani padi sawah melalui pendekatan
Policy Analysis Matrix (PAM), yang dalam hal ini penulis batasi hanya kepada
petani padi yang menggunakan subsidi pupuk. Penelitian ini akan dilaksanakan di
subak terluas dari masing-masing kecamatan yang ada di Kabupaten Tabanan
Bali.

15

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Kerangka Analisis Kebijakan


Kerangka analisis (framework) adalah pendekatan atau metode yang

disusun dengan baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiranpemikiran yang jelas. Pemahaman tentang kerangka analisis kebijakan sangat
diperlukan oleh para pembuat kebijakan sebagai konskwensi logis dari kebijakan
yang ada. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah
berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian, misalnya
mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi
kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan
konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usaha tani atau
usaha peternakan.Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah,
dimaksudkan untuk merubah prilaku produsen dan konsumen. Analisis
merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah
perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian
dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang
mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk
pertanian (Pearson, dkk., 2005)
Komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas ada
empat yaitu tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan
strategi (strategies). Objektives merupakan tujuan yang diharapkan akan dicapai
oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan.

16

Contraints adalahsuatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai
menjadi terbatas. Kebijakan terdiri atas berbagai instrument yang bisa digunakan
pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang
efektif akan merubah prilaku produsen, pedagang, dan konsumen, serta
menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategies adalah
seperangkat instrument kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk
mencapai objectives yang telah ditetapkan.Setiap strategi dilaksanakan melalui
penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik.
Kerangka kebijakan digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti
arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut
di atas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang
dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi, sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh para pengambil keputusan atau pengambil kebijakan (Gambar 1).

Strategi

Terdiri atas

Dilaksanakan
melalui

Evaluasi

Tujuan

Kebijakan

Mendukung atau
menghambat

Kendala

Gambar 2.1. Grafik alur kerangka kerja (framework) kebijakan (Pearson et al, 2003)

17

Penilaian dampak kebijakan terhadap pencapaian tujuan memungkinkan


untuk

melakukan

penyesuaian

strategi

yang

telah

ditetapkan

bila

diperlukan.Dalam hal ini pemerintah membuat strategi pembangunan pertanian


dengan menentukan seperangkat kebijakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan dengan mempertimbangkan berbagai kendala ekonomi pada sektor
pertanian.
2.1.1 Tujuan Dasar Analisis Kebijakan
Kebijakan pemerintah mempunyai tujuan utama yaitu efisiensi (eficiency),
pemerataan (equity), dan ketahanan (scurity). Efisiensi tercapai apabila alokasi
sumber daya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum,
serta alokasi barang dan jasa yang menghasilkan tingkat kepuasan konsumen
yang paling tinggi. Pemerataan diartikan sebagai distribusi pendapatan diantara
kelompok masyarakat atau wilayah yang menjadi target pembuat kebijakan.
Umumnya, pemerataan yang lebih baik akan dicapai melalui distribusi
pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Namun karena kebijakan
merupakan aktivitas pemerintah, maka para penentu kebijakanlah yang
menentukan definisi pemerataan tersebut.
Ketahanan pangan diartikan sebagai ketersediaan pangan pada tingkat
harga yang stabil dan terjangkau. Ketahanan pangan akan meningkat apabila
stabilitas politik dan ekonomi memungkinkan produsen ataupun konsumen
meminimumkan adjustment cost. Di dalam kerangka ini, setiap tujuan yang
dicapai oleh pemerintah akan terkait paling tidak dengan salah satu dari ketiga
tujuan dasar yang telah disebutkan yaitu efisiensi, pemerataan, dan ketahanan.

18

Menurut Pearson dan Gotsch (2003) trade-offs akan terjadi ketika salah satu
tujuan bisa dicapai dengan mengorbankan tujuan lainnya yaitu mencapai tujuan
yang satu, tetapi mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka
pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling
bertentangan itu, dengan mnentukan beberapa manfaat yang bisa diraih dari suatu
tujuan dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh tujuan lainnya dan
umumnya trade-offs selalu saja terjadi.
2.1.2 Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian
Kendala-kendala yang membatasi gerak sebuah kebijakan adalah
penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran (produksi nasional) dibatasi
oleh ketersediaan sumber daya (lahan, tenaga kerja dan modal), teknologi, harga
input, dan kemampuan manajemen. Parameter ini merupakan komponen dari
fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam
menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan (konsumsi nasional) dibatasi atau
dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output.
Parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga
mempengaruhi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk
pertanian. Selanjutnya harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara
internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang
untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supplay domestic dan
mengeksport dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga
parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan
merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta

19

alokasi sumberdaya. Kendala-kendala ekonomi bisa mengarah kepada terjadinya


trade-offs dalam pembuatan kebijakan (Monke dan Pearson, 1995; Bahri, 2005).
2.1.3

Kategori Kebijakan yang Mempengaruhi Pertanian.


Kebijakan-kebijakan

yang

mempengaruhi

sektor

pertanian

dapat

digolongkan pada tiga katagori yaitu kebijakan harga, kebijakan makro ekonomi,
dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan
kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap instrumen kebijakan harga
pertanian akan menimbulkan transfer dari produsen kepada konsumen terhadap
komoditas bersangkutan maupun anggaran pemerintah atau sebaliknya.
Kebijakan harga juga mempengaruhi input pertanian.
Produsen dan konsumen komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh
kebijakan makro ekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Kebijakan makro ekonomi
mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan ini
mempengaruhi seluruh komoditas.
Katagori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor
pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada
infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan teknologi. Kebijakan
investasi publik ini mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang
bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini

bisa mempengaruhi

berbagai kelompok, produsen, pedagang, dan konsumen, dengan dampak yang

20

berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi
itu terjadi (Pearson dkk.,2005).

2.2

Kebijakan Subsidi
Campur tangan pemerintah diperlukan untuk mempengaruhi keputusan

produsen, konsumen dan para pelaku pemasaran agar terlaksana pembangunan


pertanian sesuai dengan yang direncanakan. Campur tangan ini disebut sebagai
politik pertanian (agricultural policy) atau kebijakan pertanian (Hanafie,
2010 : 229).
Campur tangan pemerintah tersebut diperlukan untuk memutus rantai
lingkaran kemiskinan yang tak berujung pangkal, yang merupakan gambaran
hubungan keterkaitan timbal balik dari beberapa karakteristik negara berkembang
(seperti Indonesia) berupa sumber daya yang ada belum dikelola sebagaimana
mestinya, mata pencaharian penduduk yang mayoritas pertanian berlangsung
dalam kondisi yang kurang produktif, adanya dualisme ekonomi antara sektor
modern yang mengikuti ekonomi pasar dan sektor tradisional yang mengikuti
ekonomi subsisten, serta tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dengan
kualitas sumber daya manusianya yang masih relatif rendah (Hanafie, 2010 : 229).
Sedangkan kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan produksi
domestik suatu komoditas antara lain berupa kebijakan harga dan pedagangan
input dan output yang pada prinsipnya bertujuan untuk memperkuat atau
meningkatkan daya saing dari komoditas yang bersangkutan di pasar domestik.
Hal ini ditempuh agar produsen domestik terdorong untuk memanfaatkan

21

sumberdaya domestik secara intensif, sehingga diharapkan produsen yang


bersangkutan dapat beroperasi dengan nilai tambah yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
Di samping kebijaksanaan harga yang menyangkut hasil-hasil pertanian,
peningkatan pendapatan petani dapat dicapai dengan pemberian subsidi pada saranasarana produksi seperti pupuk atau pestisida. Subsidi ini mempunyai pengaruh untuk
menurunkan biaya produksi yang dalam teori ekonomi berarti menggeser kurva
penawaran ke kanan. Subsidi adalah pemberian pemerintah kepada produsen untuk
mengurangi biaya produksi yang ditanggung produsen. Subsidi dapat menurunkan
harga. Sampai dimana besarnya keuntungan yang diperoleh pembeli dengan adanya
subsidi adalah bergantung kepada besarnya penurunan harga yang berlaku
(Sukirno, 2005).

Subsidi diartikan sebagai pembayaran sebagian harga oleh pemerintah


sehingga harga dalam negeri lebih rendah daripada biaya rata-rata pembuatan
suatu komoditi atau harga internasionalnya. Ada 2 macam subsidi, yaitu subsidi
harga produksi dan subsidi harga faktor produksi (Hanafie, 2010 : 238).
a. Subsidi harga produksi
Subsidi ini bertujuan melindungi konsumen dalam negeri, artinya
konsumen dalam negeri dapat membeli barang yang harganya lebih rendah
daripada biaya rat-rata pembuatan suatu komoditas atau harga
internasionalnya. Untuk meningkatkan produksi hasil-hasil pertanian,
khususnya beras, pemerintah memberikan subsidi harga faktor produksi,
seperti pupuk, pestisida, dan bibit. Subsidi untuk usaha tani padi yang
ditanggung oleh pemerintah sangat besar, misalnya biaya yang ditanggung
oleh pemerintah untuk mengimpor atau memproduksi pupuk dalam negeri.
b. Subsidi harga faktor produksi
Untuk membeli pupuk yang harganya relatif mahal, seringkali petani tidak
memiliki uang tunai. Untuk itu, petani dapat memperoleh kredit dengan
bunga yang relatif rendah. Selisih antara bunga bank sesungguhnya

22

dengan bunga yang harus ditanggung petani, dibayarkan oleh pemerintah


dalam bentuk subsidi kepada petani.
Pengadaan pupuk bersubsidi akan meningkatkan efisiensi usaha tani, yaitu
berimplikasi pada peningkatan pemanfaatan lahan dan penggunaan benih yang
secara sinergis berpengaruh terhadap peningkatan produksi pertanian. Kemudian,
peningkatan produksi dengan biaya yang disubsidi dan harga output yang stabil
menyebabkan

pendapatan

petani

meningkat.

Kedua

hal

tersebut

akan

mempengaruhi aspek ketersediaan dan aksesibilitas, sehingga akan mempengaruhi


status ketahanan pangan.
2.2.1

Kebijakan Subsidi Pupuk


Pembangunan pertanian yang diarahkan untuk mewujudkan pertanian

yang tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan
pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu cara
untuk menciptakan pertanian yang tangguh adalah melalui peningkatan produksi
pertanian yang berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang dapat meningkatkan
produksi pertanian adalah melalui penerapan teknologi usahatani yaitu berupa
penggunaan pupuk sebagai salah satu input produksi. Teknologi pertanian yang
dimaksud adalah teknologi modern. Tanpa penggunaan teknologi modern maka
hasil panen tidak akan sebesar yang diharapkan (Ratna, 2000).
Dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah selalu berupaya
mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis.
Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi
pupuk, sehingga tercapai pasokan yang cukup dan juga dengan harga yang dapat
dijangkau oleh petani.

23

Namun sebagai bahan pangan pokok seperti padi dan palawija, umumnya
mempunyai kurva permintaan yang inelastis, sehingga perubahan produksi akan
sangat berpengaruh pada perubahan harga bahan pangan tersebut. Besarnya
investasi yang dikeluarkan untuk memproduksi pupuk dalam jumlah besar
tentunya mempunyai konsekuensi terhadap harga pupuk, dimana pupuk harus
dijual dengan harga yang diperhitungkan dengan biaya produksi agar produsen
pupuk tidak merugi dan tetap dapat melangsungkan kegiatan usahanya.
Melihat keadaan tersebut di atas, maka pemerintah merasa perlu
menerapkan kebijakan pemberian subsidi penyediaan pupuk kepada produsen
pupuk agar dapat menurunkan biaya produksi. Sedangkan untuk menjaga agar
harga pupuk terjangkau oleh petani, maka pemerintah juga menetapkan HET
(celling price) terhadap harga jual pupuk. Selanjutnya menurut Monke dan
Pearson (1995 : 45) menyatakan bahwa subsidi input mempunyai relevansi
langsung hanya kepada produsen output. Sehubungan dengan petani, maka petani
dapat dianggap sebagai produsen padi dan pupuk merupakan input pertanian,
sehingga dengan demikian subsidi pupuk merupakan subsidi input kepada petani.
Dengan adanya subsidi input ini maka biaya produksi padi akan berkurang,
sehingga produksi meningkat. Namun tidak bisa dihindari hilangnya efisiensi
ekonomi karena uang untuk subsidi tersebut dialokasikan ke sektor-sektor lain
yang lebih produktif. Hilangnya efisiensi tersebut merupakan biaya ekonomi
yang harus ditanggung oleh kas pemerintah dan secara tidak langsung berarti
ditanggung oleh masyarakat banyak sebagai pembayar pajak kepada kas
pemerintah.

24

Kombinasi penerapan kebijakan subsidi pupuk dan penetapan HET


(Harga Eceran Tertinggi) tersebut akan menimbulkan DWL (Dead Weight Loss),
yaitu manfaat yang hilang dalam sistem karena tidak dinikmati baik oleh
konsumen maupun produsen, dan oleh karenanya merupakan inefisiensi yang
menjadi biaya ekonomi yang harus ditanggung pemerintah.
Sampai saat ini tingkat produksi beberapa pangan utama masih dibawah
tingkat konsumsinya. Oleh karena itu, maka peningkatan kapasitas produksi
pangan nasional merupakan salah satu upaya memperkuat pilar ketahanan pangan
nasional. Salah satu faktor produksi penting dalam peningkatan kapasitas produksi
pangan utama seperti padi adalah pupuk. Penggunaan pupuk yang sesuai dengan
kebutuhan tanaman akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan
nasional. Ada dua aspek untuk melihat pentingnya subsidi pupuk bagi petani
yaitu : (1) kecenderungan peningkatan harga pupuk dunia dan (2) kecenderungan
penurunan laba usahatani (Dinas Pertanian Tabanan, 2005 ).
Subsidi pupuk di Indonesia dimulai pada tahun 1971, yaitu untuk
melengkapi introduksi varietas padi unggul baru. Varietas padi unggul baru
tersebut sangat responsif terhadap pupuk. Dengan menanam varietas padi unggul
baru,

produsen

dapat

meningkatkan

keuntungannya

dengan

menambah

penggunaan pupuk. Dengan adanya subsidi pupuk, diharapkan petani bersedia


menerapkan penggunaan pupuk sebagaimana yang direkomendasikan sehingga
produksi padi meningkat dan kebutuhan pangan dalam negeri tercukupi
(Hanafie, 2010 : 238-239).

25

Memasuki akhir dekade 1990-an pemerintah mengumumkan paket


kebijakan Desember 1998, yaitu : (1) menghapus perbedaan harga pupuk yang
dialokasikan untuk tanaman pangan maupun tanaman perkebunan, (2) menghapus
subsidi pupuk, (3) menghilangkan monopoli distribusi dan membuka peluang bagi
distributor baru (PT. Pusri tidak lagi menjadi distributor tunggal dalam penyaluran
pupuk), (4) menghapus holding company untuk mendorong berkembangnya
kompetisi yang sehat antar produsen pupuk , dan (5) menghapus quota ekspor dan
kontrol terhadap impor pupuk.
Dampak positif dari kebijakan tersebut terlihat dari : (a) tersedianya pupuk
dalam jumlah yang cukup di kios-kios, (b) harga eceran urea di tingkat petani
pada umumnya dibawah harga patokan KUT, dan (c) variasi harga eceran pupuk
SP-36 dan ZA yang sebagian berasal dari impor, masih mendekati harga plafon
KUT. Sementara itu, dampak negatif dari kebijakan tersebut adalah : (a) relatif
tingginya harga pupuk mendorong munculnya pupuk alternatif yang relatif murah,
namun dengan kualitas yang beragam dan kurang terjamin, dan (b) pasar pupuk
yang mengarah ke oligopolistik, dimana hanya distributor bermodal kuat yang
mampu membeli pupuk di Lini I dan II serta mampu menyalurkan pupuk ke
daerah yang bukan wilayah kerjanya. Peningkatan harga pupuk dunia akibat
peningkatan harga gas sejak tahun 2000 telah mendorong pemerintah kembali
memberikan subsidi pupuk pada tahun 2001.
Perhitungan subsidi pupuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
perhitungan subsidi atas biaya distribusi dan subsidi harga gas. Subsidi atas biaya
distribusi adalah konsep yang selama ini telah disusun, yang pada dasarnya

26

subsidi pemerintah kepada petani dihitung dari selisih antara Harga Eceran
Tertinggi (HET) dengan seluruh biaya yang terjadi mulai dari produksi sampai
dengan pupuk berada di Lini IV. Sedangkan subsidi harga gas dihitung dengan
melihat jumlah subsidi yang tersedia digunakan untuk menekan biaya gas di
masing-masing produsen, sedemikian rupa sehingga total biaya produksi
ditambah dengan marjin, biaya distribusi dari pabrik sampai dengan Lini IV
(termasuk PPN 10 persen), menghasilkan HET seperti yang telah ditetapkan
(Maulana, 2006).
Selama tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif
gas domestik (IGD) sebagai bahan baku utama untuk produksi pupuk Urea. Di sisi
lain, peningkatan harga pupuk dunia memaksa pemerintah untuk mengendalikan
harga pupuk domestik dalam rangka membantu petani dan mencegah dampak
negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Oleh karena itu, sejak tahun 2003
pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak saja subsidi gas untuk
Urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP-36, ZA dan NPK). Namun
demikian, kebijakan subsidi pupuk tersebut mengandung kelemahan yang
membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET, yang diindikasikan oleh : (a)
relatif lebih tingginya harga pupuk eceran di tingkat petani dibanding HET pupuk
yang berlaku, (b) volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan, dan
(c) wilayah tanggung-jawab distribusi tidak dapat dipisah secara tegas (wilayah
tanggung-jawab pabrik pupuk didasarkan pada wilayah provinsi yang tidak
mungkin diisolir) (Rachman, 2009).

27

2.3

Keunggulan Kompetitif
Abad ke-21 atau disebut era milenium ketiga ini menunjukkan bahwa

tingkat persaingan di berbagai sektor semakin tajam sehingga setiap unit yang
ingin menang dalam persaingan tersebut harus memiliki keunggulan kompetitif
(competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan pesaingnya (Mujiati, 2008).
Keunggulan kompetitif bisa dibentuk melalui berbagai cara, seperti
menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi, desain
organisasi, dan utilisasi sumber daya manusia. Pengelolaan organisasi atau
perusahaan untuk membentuk keunggulan bersaing melalui cara-cara seperti itu
pada masa yang akan datang akan menjadi tema penting bagi manajemen. Hal itu
disebabkan oleh perubahan lingkungan ekonomi, politik, dan teknologi yang cepat
serta efek persaingan global, yang pada akhirnya bermuara pada perubahan
kebutuhan. Perubahan kebutuhan adalah perubahan terhadap kualitas produk,
desain produk, dan kualitas pelayanan. Konsep tentang keunggulan kompetitif
atau keunggulan bersaing merupakan salah satu fokus perhatian yang penting bagi
manajemen. Hal itu merupakan upaya untuk meletakkan organisasi atau
perusahaan pada posisi persaingan pasar yang lebih kuat melalui kompetensi
organisasi yang khas (distinctive competence) dibandingkan dengan kompetensi
yang dimiliki perusahaan-perusahaan pesaing.
Kemampuan bersaing organisasi melalui SDM berarti meletakkan peran
orang dalam perusahaan untuk selalu melakukan peningkatan kualitas dan inovasi,
baik terhadap proses, sistem, maupun produk. Melalui cara ini perusahaan atau
pihak manapun diharapkan mampu mempertahankan, meningkatkan market share,

28

atau memperluas pasar dibandingkan dengan kekuatan pesaing dalam industri.


Semua faktor keunggulan untuk bersaing, seperti desain produk, teknologi, dan
organisasi

pada

akhirnya

bertumpu

pada

dukungan

SDM.

Menurut

Benardin dan Russel (1993), ada dua prinsip untuk menciptakan keunggulan
kompetitif, yaitu nilai yang diterima oleh pasar serta keunikan-keunikan produk
dan jasa yang ditawarkan organisasi. Keunggulan kompetitif akan terbentuk bila
customers merasa memperoleh nilai tambah dari transaksi yang mereka lakukan
dengan organisasi.
Demikian pula dengan keunikan yang ditawarkan, keunggulan kompetitif
dapat dipertahankan melalui penciptaan barang dan jasa yang tidak mudah ditiru
oleh pesaing. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dalam usahatani,
keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama
mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi. Sebagai
contoh bahwa padi ladang memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung dan
ubi kayu, tetapi tidak kompetitif terhadap ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Hal
ini salah satu penyebabnya karena faktor harga jual jagung yang relatif rendah,
sehingga walaupun produksinya lebih tinggi dibandingkan kacang tanah,
penerimaan dan keuntungannya tetap rendah (Hendayana, 2003). Keunggulan
kompetitif beranjak dari pandangan bahwa semua keunggulan, baik dalam bentuk
produk, teknologi, sistem, maupun proses bermuara pada kualitas SDM. Faktorfaktor yang inherent (terpadu) dalam pengertian keunggulan SDM, seperti
kompetensi, komitmen, kecerdasan intelektual, kepribadian, dan motivasi
merupakan human capital yang perlu dibangun terus-menerus kualitasnya, baik

29

melalui pendekatan lunak maupun pendekatan keras dalam upaya meningkatkan


profitabilitas dan memenuhi kepentingan customers. Keunggulan Kompetitif
muncul bila pelanggan merasa bahwa mereka menerima nilai lebih dari transaksi
yang dilakukan dengan sebuah organisasi pesaingnya. Sehingga keunggulan
kompetitif

adalah

keunggulan

yang

dimiliki

oleh

organisasi,

dimana

keunggulannya dipergunakan untuk berkompetisi dan bersaing dengan organisasi


lainnya, untuk mendapatkan sesuatu sesuai dengan keunggulan yang dimilikinya.

2.4

Tingkat Keuntungan Usaha Tani (Keuntungan Finansial dan Sosial)


Keuntungan finansial (private profitability atau PP) adalah perbedaaan

antara penerimaan (A) dengan biaya-biaya (B+C) dalam sistem pertanian atau PP
= D = (A B C). Dengan demikian keuntungan privat yang terdapat pada baris
pertama matrik dihitung berdasarkan penerimaan dan biaya sesungguhnya yang
diterima dan dibayarkan oleh petani, pedagang atau pengolah hasil dalam sistem
pertanian. Harga-harga yang terjadi adalah harga yang telah dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Keuntungan privat merupakan ukuran
daya saing dalam harga pasar aktual. Jika PP negatif (D < 0), artinya usaha itu
rugi dan dengan begitu dapat dipakai untuk estimasi apakah kegiatannya
dihentikan. Apabila sama dengan nul (D = 0) berarti usahatani tersebut
memperoleh keuntungan normal (normal profit). Apabila PP positif (D > 0)
menunjukkan keadaan yang lebih daripada tingkat pengembalian normal dan
dapat meningkatkan investasi di waktu yang akan datang. Suatu usaha layak

30

diteruskan jika selisih antara penerimaan dan seluruh biaya minimal sama dengan
nul (Astawa, 2006 : 18).
Penerimaan merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang
diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula diartikan
sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan
jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat
pemakaian barang modal yang dimilikinya. Penerimaan usahatani dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor
usahatani (gross income). Penerimaan usahatani dipengaruhi oleh produksi fisik
yang dihasilkan, dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam
suatu proses produksi dalam kegiatan usahatani selama satu musim tanam.
Penerimaan usahatani akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah
dan sebaliknya akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang.
Disamping itu, bertambah atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan input pertanian (Soekartawi, dkk, 1986). Peningkatan
produksi dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan
berimbang. Hal ini berarti petani secara rasional melakukan usahatani dengan
tujuan meningkatkan produksi untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan
maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal,
artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi
secara tepat dan berimbang Oleh karena itu pengaruh pemakaian input produksi
terhadap pendapatan petani perlu diketahui sehingga petani dapat mengambil

31

sikap

untuk

mengurangi

atau

menambah

input

produksi

tersebut

(Sahara, dkk, 2006).


Keuntungan finansial merupakan hasil analisis yang mudah dimengerti.
Apabila penerimaan lebih besar dari biaya, keuntungan finansial akan menjadi
positif. Dalam analisis PAM, keuntungan merupakan excess profit (return to
management) yaitu nilai lebih setelah semua biaya diperhitungkan termasuk biaya
modal. Apabila suatu sistem usahatani memperoleh keuntungan finansial yang
positif berarti sistem usahatani tersebut mampu bersaing pada tingkat harga aktual
termasuk didalamnya dampak dari kebijakan dan kegagalan pasar.
Sedangkan keuntungan sosial (social profitability atau SP) adalah
perbedaan antara penerimaan ekonomi (E) dengan biaya ekonomi (F + G) atau SP
= H = (E F G). Sehingga keuntungan sosial dihitung dari perbedaan
penerimaan dan biaya dengan menggunakan harga sosial. SP merupakan ukuran
efisiensi karena output dan input dinilai dalam harga yang menunjukkan nilai
kelangkaan (biaya oportunitas ekonomi). Untuk output dan inpout yang
diperdagangkan secara internasional ditentukan dari harga dunia. Input (faktor
ekonomi, G) yaitu service faktor produksi domestik (lahan, tenaga kerja, dan
kapital) tidak mempunyai harga dunia, maka ditentukan oleh pasar domestik.
Keuntungan ekonomi merupakan hasil analisis PAM yang menarik. Keuntungan
ekonomi sistem usahatani yang tinggi sangat menarik perhatian pemerintah yang
mementingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Investasi baru harus
memberikan keuntungan yang tinggi bila ingin memaksimalkan pertumbuhan
ekonomi. Manfaat penggunaan teknologi baru atau investasi publik dapat dihitung

32

dengan membandingkan tingkat keuntungan ekonomi pada sistem usahatani yang


ada saat ini dengan keuntungan ekonomi yang diharapkan akan diperoleh setelah
penerapan teknologi baru atau setelah investasi publik itu dimanfaatkan. Namun
terkadang sistem usahatani yang memiliki keuntungan finansial dan ekonomi
tidak dapat berkembang dengan cepat dilapangan. Pada kondisi ini, diperlukan
pemahaman tentang kendala yang menyebabkan komoditas tersebut tidak
berkembang sebelum melakukan investasi publik memberikan bantuan teknis atau
mengambil kebijakan harga yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan sektor
pertanian. Beberapa kendala tersebut yaitu investasi (asing dan domestik)
khawatir dengan masalah keamanan di Indonesia, tidak adanya kepastian hukum,
ketidakpastian harga internasional akibat proteksi negara kaya seperti USA
(Astawa, 2006).

2.5

Policy Analysis Matrix (PAM) untuk Kebijakan Pertanian


Produktivitas pertanian, baik di pemerintahan pusat, provinsi, maupun

kabupaten dapat ditingkatkan melalui investasi pada sektor pertanian dengan


menggunakan instrument kebijakan harga, kebijakan makroekonomi,dan
kebijakan investasi publik. Kebijakan makroekonomi hanya bisa diterapkan pada
tingkat pusat dan memerlukan analisis tersendiri oleh para ahli ekonomi makro.
Sementara di pihak lain, para ahli ekonomi pertanian melakukan penkajian
tentang pengaruh kebijakan harga dan kebijakan investasi. Namun demikian,
dampak kebijakan harga dan kebijakan investasi pertanian dapat dikaji melalui
pendekatan yang sama, yaitu Policy Analysis Matrix (PAM). Hasil analsis PAM

33

ini dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga
dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan baseline information yang
penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian
(Pearson dkk., 2005)
Transfer kebijakan dapat dihitung dari baris ketiga matrik PAM yaitu
perbedaan antara lain yang diperoleh pada baris pertama dengan baris kedua. Nilai
ini menunjukkan besarnya kegagalan pasar dan insentif kebijakan pemerintah.
Jika kegagalan pasar dianggap tidak begitu berpengaruh, maka analisis tentang
pengaruh insentif kebijakan pemerintah dapat dilakukan. Beberapa analisis yang
dapat digunakan matriks PAM untuk melihat insentif pengaruh kebijakan
pemerintah adalah sebagai berikut.
1. NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) yaitu rasio yang
menunjukkan dampak dari insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan
terjadinya perbedaan nilai output yang diukur pada harga privat dan harga
sosial. NPCO = penerimaan privat dibagi penerimaan sosial, merupakan
indikator dari transfer output. Jika nilai NPCO lebih besar dari satu
(NPCO<1) berarti terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga
privat lebih besar dari harga pasaran dunia, dengan kata lain ada kebijakan
pemerintah yang menghambat masuknya barang impor.
2. NPCI (Normal Protection Coefficient on Input ) merupakan rasio dari biaya
input yang dapat diperdagangkan pada harga social. Jika nilai NPCI lebih
dari satu (NPCI> 1) menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input,
sehingga sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan karena tingginya

34

biaya produksi. Jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) menunjukkan
terdapatnya hambatan eksport input atau subsidi input yang berarti
mendorong produsen di dalam negeri untuk menggunakan input tersebut.
3. EPC (Effective Protection Coefficient) yaitu rasio antara nilai privat output
dikurangi nilai privat input tradable (penerimaan privat biaya input tradable
privat) dengan nilai social output dikurangi dengan nilai social input tradable
(penerimaan sosial biaya input tradable sosial). Rasio ini merupakan
indicator untuk mengetahui apakah suatu sector produksi dilindungi atau
tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah. Jika nilai EPC >1 berarti
kebijakan pemerintah tidak menimbulkan hambatan untuk berproduksi, dan
jika EPC<1 berarti kebijakan pemerintah menimbulkan hambatan untuk
berproduksi.
4. PC (Profitability Coefficient) yaitu rasio antara keuntungan berdasarkan
harga privat dengan keuntungan berdasarkan harga social, PC = (penerimaan
privat

biaya

input

tradable

privat

biaya

faktor

domestic

privat)/(penerimaan social biaya input tradable soaial biaya factor


domestic social) atau keuntungan privat dibagi keuntungan sosial.
5. SRP (Subsidy Ratio on Producer) adalah rasio antara transfer bersih dengan
penerimaan social atau SRP = transfer bersih/penerimaan social. Rasio ini
menunjukkan proporsi ransfer terhadap nilai output tanpa gangguan
kegagalan pasar atau kebijakan pemerintah.
Dampak kebijakan input yang dilakukan pemerintah terhadap konsumen
input, baik input tradable maupun domestic factors dapat diterangkan dengan alat

35

analisis Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI), Nominal Protection


Rate on Input (NPRI), Transfer Input (Input Transfer atau IT) dan Transfer
Faktor (FT). Transfer input (IT) adalah perbedaan total biaya input tradable
dalam harga finansial (B) dengan total biaya input tradable dalam harga ekonomi
(F). Apabila harga finansial input lebih besar daripada harga ekonomi berarti
kebijakan itu memberikan transfer positif. Hal ini mengakibatkan sistem produksi
menghasilkan keuntungan finansial yang lebih tinggi, atau dapat menutup biaya
finansial lebih besar daripada jika tanpa bantuan kebijakan (Astawa, 2006).
Transfer positif yang menguntungkan produsen juga mempunyai tanda positif
pada baris PAM. Subsidi pada satu atau lebih input-input tradable menyebabkan
produksi lebih menguntungkan bagi produsen. Subsidi input ini akan ditandai
dengan nilai negatif pada PAM. Subsidi-subsidi tersebut akan menambah secara
langsung pada transfer output yang positif dengan mengurangi biaya negatif.
Subsidi-subsidi negatif, yaitu berbagai pajak pada input tradable adalah transfer
negatif dan akan terkurangi dari transfer output yang positif. Dengan demikian
memudahkan pengertian secara keseluruhan dari dampak perbedaan, rangkaian
pengaruh output, input Tradable, dan faktor-faktor.
Nilai nominal protection coefficient on input (NPCI) merupakan rasio
antara harga privat dari input yang diperdagangkan dengan harga sosialnya.
Nilai NPCI > 1 mengukur dampak proteksi terhadap produsen input ataupun
terhadap yang menggunakan input tersebut. Sedangkan nilai NPCI < 1
mengukur dampak hambatan ekspor input atau subsidi input terhadap konsumen
input. Dampak dari kebijakan yang terakhir menyebabkan meningkatnya

36

pemakaian input dalam negeri. Apabila nilai dari dampak kebijakan input
(NPCI) < 1 berarti kebijakan pemerintah terhadap input berpihak kepada petani.
Sebaliknya jika nilai dari kebijakan output (NPCO) < 1 berarti kebijakan
pemerintah terhadap output tidak berpihak pada petani (Mira, 2007).
Sedangkan besarnya persentase dampak kebijakan pemerintah terhadap
input ditunjukkan oleh nilai NPRI sebesar {(NPCI 1) x 100%}. Pada komoditi
input yang non tradable dampak intervensi pemerintah berupa halangan
perdagangan tidak tampak karena input Non Tradable hanya diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah dilakukan dalam bentuk
kebijakan subsidi, baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak). Akan
tetapi kebijakan ini akan mempengaruhi produsen dan konsumen, tidak seperti
kebijakan subsidi pada input yang Tradable.
2.5.1 Tujuan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix)
Analisis PAM, secara umum mempunyai tiga tujuan. Tujuan pertama
adalah membantu pembuat keputusan atau pengambil kebijakan, baik di tingkat
pusat, maupun di tingkat daerah, selanjutnya mengkaji tiga isu utama analisis
kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan, apakah sebuah
system usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang
ada?. Apakah petani, pedagang dan pengolah mendapat keuntungan pada tingkat
harga aktual?. Sebuah kebijakan akan merubah nilai output atau biaya input dan
dengan sendirinya keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan
sesudah kebijakan menunjukkan pengauh perubahan kebijakan atas daya sauing
pada tingkat harga actual. Isu kedua adalah dampak investasi public, dalam

37

bentuk pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem


usahatani.Tingkat efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial (social
profitability), yakni tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga
efisiensi. Investasi publik dalam bentuk jaringan irigasi atau transportasi akan
meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan
sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan peningkatan
keuntungan social.Isu ketiga terkait erat dengan isu kedua, yakni dampak
investasi baru, dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap efisiensi
sistem usahatani. Sebuah investasi publik dalam bentuk penemuan benih baru,
teknik budidaya, atau teknologi pengolahan hasil akan meningkatkan hasil
usahatani atau hasil pengolahan, dan dengan sendirinya akan meningkatkan
pendapatan atau menurunkan biaya. Perbedaan keuntungan social sebelum dan
sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi
tersebut. Jadi tujuan pertama dari analisis PAM ini pada hakekatnya adalah
memberikan informasi dan analisis

untuk membantu pengambil kebijakan

pertanian dalam ketiga isu tersebut. Melalui sebuah tabel PAM untuk suatu
usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat
atau ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga actual atau harga pasar.
Tujuan kedua analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan social
sebuah usahatani dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga
efisiensi (social opportunity cost). Dengan melakukan hal yang sama untuk
berbagai system usahatani lainnya memungkinkan untuk membuat urutan tingkat
efisiensi dari beberapa usahatani. Perhitungan tingkat keuntungan sosial

38

ditempatkan pada baris kedua dari table PAM. Hasil perhitungan ini dapat
digunakan sebagai informasi dasar (baseline information) untuk perhitungan
analisis keuntungan social (social benefit analysis) pada tingkat harga efisiensi.
Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effect,
sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan
biaya (untuk selanjutnya disebut budget), sebelum dan sesudah penerapan
kebijakan, selanjutnya dapat ditentukan dampak dari kebijakan tersebut.
Jadi tujuan dari analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan
pemerintah terhadap profitabilitas privat dan social, system pertanian dan
efisiensi terhadap sumber daya. Profitabilitas privat (privat profitability) dan
daya saing (competitiveness) mungkin menjadi penting dalam pikiran yang
peduli dengan pendapatan pertanian. Profitabilitas social dan efisiensi sering
ditekankan oleh para perencana ekonomi yang mengalokasikan sumber daya
antar sector dan pertumbuhan pendapatan agregat dalam perekonomian.
Pendekatan PAM sangat cocok untuk analisis empirik dari kebijakan harga
pertanian dan pendapatan usahatani, kebijakan investasi publik, efisiensi,
kebijakan riset pertanian dan perubahan teknologi (Monke dan Pearson, 1995;
dalam Suyatna dan Antara, 2004).
2.5.2 Identitas Matrik Dalam PAM
Policy Analysis Matrix mempunyai dua identitas yaitu identitas tingkat
keuntungan (profitability identity), dan identitas penyimpangan (divergences
identity).

39

Identitas keuntungan pada sebuah tabel PAM adalah hubungan


perhitungan lintas kolom dari tabel (sering juga disebut matrik) tersebut.
Keuntungan didefinisikan sebagai pendapatan dikurangi biaya-biaya. Semua
angka di bawah kolom bernama profits dengan sendirinya identik dengan
selisih antara kolom yang berisi revenue dan kolom yang berisi cost
(termasuk di dalamnya biaya input tradable dan factor domestic). Oleh karena
itu keuntungan privat pada PAM adalah selisih dari pendapatan privat dengan
biaya privat. Perhitungan keuntungan privat, dari budget usahatani dan
pengolahan hasil, dilakukan untuk mengukur daya saing. Oleh karenanya, salah
satu dampak penting dari kebijakan pertanian dapat ditunjukkan oleh baris
pertama tabel PAM (Tabel 2.1). Selanjutnya untuk membandingkan sistem
usahatani yang berbeda digunakan rasio. Untuk membandingkan daya saing
sistem usahatani yang berbeda dihitung privat benefit cost ratio (PBCR) untuk
setiap system, dan selanjutnya kedua rasio tersebut dibandingkan. Jadi PBCR
adalah pendapatan privat dibagi dengan biaya privat atau PBCR = A/(B+C)
Pendapatan dan biaya pada tingkat harga sosial (simbol E,F, dan G) pada
Tabel 2.1, didasarkan pada estimasi the social opportunity cost dari komoditas
yang diproduksi dan input yang digunakan. Jadi keuntungan social adalah selisih
antara penerimaan social dengan biaya social, dan ini dilakukan untuk mengukur
tingkat efisiensi usahatani.
Harga sosial (harga efisiensi) untuk factor domestic (lahan, tenaga kerja,
dan modal) juga diestimasi dengan prinsip social opportunity cost. Namun
karena factor domestic tidak diperdagangkan secara internasional, sehingga tidak

40

memiliki harga internasional, maka social opportunity cost-nya diestimasi


melalui pengamatan lapangan atas pasar domestic di pedesaan. Tujuannya adalah
untuk mengetahui berapa besar output atau pendapatan yang hilang karena factor
domestic yang digunakan untuk memproduksi komoditas tersebut (misalnya
padi) dibandingkan dengan apabila digunakan untuk komoditas lainnya (the next
best alternative commodity) seperti kedelai. Untuk membandingkan tingkat
efisiensi komoditas yang berbeda dihitung social benfit cost ratio (SBCR) untuk
setiap usahatani, dan selanjutnya membandingkannya. Jadi SBCR adalah rasio
antara pendapatan sosial dengan biaya sosial, atau SBCR = E /(F+G)
Tabel 2.1
Identitas Keuntungan dan Divergensi dalam PAM
Uraian
1
Harga privat
Harga sosial
Efek Divergensi

Penerimaan
2
A
E
I

Biaya-biaya
Input Tradable
Faktor Domestik
3
4
B
C
F
G
J
K

Keuntungan
5
D
H
L

Keterangan:
Baris harga privat:
A = harga output x produksi; B = Biaya privat input tradable, C = Biaya privat input factor
domestic;
D = A (B + C) (keuntungan privat).
Baris harga social:
E = harga output social x produksi; F = biaya social input tradable; G = biaya social input factor
domestic; H = E (F + G) (keuntungan social)
Baris efek divergensi:
I = A E (output transfer); J = B F (input tradable transfer); K = C G (factor domestic
transfer); L = I (J + K) atau D - H (transfer bersih)

Identitas Penyimpangan (divergences identity) adalah hubungan lintas


baris dari matrik. Divergensi disebabkan oleh harga privat suatu komoditas
dengan harga sosialnya. Divergensi meningkat, baik oleh karena pengaruh
kebijakan distortif, yang menyebabkan harga privat berbeda dengan harga

41

sosialnya atau karena kegagalan pasar menghasilkan harga efisiensi. Semua


angka pada baris ketiga dari tabel PAM didefinisikan sebagai effect of
divergences dan sama dengan selisih antara angka pada baris pertama, yang
dinilai dengan harga privat (private prices), serta angka pada baris kedua, yang
dinilai dengan harga social (social prices) Pearson, dkk. 2005). Identitas
keuntungan dan identitas divergensi dapat dilihat pada tabel 2.1.
Salah satu penyebab terjadinya divergensi adalah kegagalan pasar (market
failure). Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang
bersaing, yang mencerminkan social opportunity cost, yang menciptakan alokasi
sumberdaya maupun produk yang efisien. Kebijakan yang efisien adalah
intervensi

pemerintah

untuk

memperbaiki

kegagalan

pasar

sehingga

menghapuskan divergensi. Misalnya, regulasi monopoli untuk menurunkan harga


penjual (seller price), menyebabkan harga privat dan harga social yang sama,
dan meningkatkan pendapatan.
Penyebab kedua dari divergensi adalah kebijakan pemerintah yang
distortif. Kebijakan distortif diterapkan untuk mencapai tujuan yang bersifat nonefisien (yaitu pemerataan dan ketahanan pangan), akan menghambat terjadinya
alokasi sumberdaya yang efisien dan dengan sendirinya akan menimbulkan
divergensi. Misalnya, tarif impor beras bisa diterapkan untuk meningkatkan
pendapatan petani (tujuan pemerataan) dan meningkatkan produksi beras dalam
negeri (untuk ketahanan pangan). Namun, hal ini menimbulkan kerugian efisiensi
(efficiency losses) bila beras impor yang digantikannya ternyata lebih murah dari

42

biaya sumberdaya domestik yang digunakan untuk memproduksi bersa dalam


negeri sehingga timbul trade off.
Secara teori, kebijakan yang paling efisien dapat dicapai apabila
pemerintah mampu menciptakan kebijakan yang mampu menghapuskan
kegagalan pasar, dan apabila pemerintah mampu mengesampingkan tujuan nonefisiensi dan menghapuskan kebijakan yang distortif. Apabila kedua hal tersebut
menerapkan kebijakan yang efisien dan menghilangkan kebijakan distortif dapat
dilaksanakan, divergensi dapat dihilangkan dan efek divergensi (nilai yang ada
pada baris ketiga) akan menjadi nol (Pearson, dkk, 2003).
Jika keuntungan privat yang diperoleh positif atau minimal sama dengan
nol, berarti usahatani tersebut memperoleh keuntungan di atas normal. Jika
keuntungan privat sama dengan nol, berarti usahatani tersebut memperoleh
keuntungan normal (normal profit). Jika keuntungan privat bernilai negative
maka usaha tani tersebut tidak menguntungkan. Dari perhitungan harga privat
maka dapat dihitung besarnya rasio PCR (Privat Cost Ratio) yang besarnya sama
dengan rasio antara biaya faktor domestik dengan nilai tamah pada harga privat,
yaitu perbedaan antara nilai output dengan biaya produksi yang diperdagangkan.
Jadi besarnya PCR = faktor domestik privat (penerimaan privat-input tradable
privat). Untuk mendapat keuntungan maksimum maka selalu diusahakan
meminimunkam rasio PCR dengan cara meminimumkan biaya domestik atau
memaksimumkan nilai tambah.

43

BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK DAN HIPOTESIS

3.1

Kerangka Pemikiran Teoritik


Komoditas padi / beras merupakan komoditas strategis dalam kehidupan

soaial ekonomi nasional, mengingat bahwa sekitar 95% penduduk Indonesia


mengkonsumsi beras sebagai bahan pokoknya dan sekitar 21 juta rumah tangga
petani pendapatannya bersumber dari usahatani padi. Beras hingga kini masih
merupakan salah satu komoditi pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan
merupakan komoditi strategis bagi pembangunan nasional. Pengalaman pada
periode-periode awal pembangunan di tanah air menunjukkan bahwa kekurangan
beras sangat mempengaruhi kestabilan pembangunan nasional. Bahkan hingga
kini, bukan saja pada tingkat nasional, daerah, dan rumah tangga tetapi juga
tingkat internasional dimana terlihat besarnya dampak yang ditimbulkan akibat
kekurangan persediaan pangan beras (Tambunan, 2007).
Sarana produksi yang dimiliki petani dipengaruhi oleh mekanisme harga
pasar yang berlaku di masyarakat. Mekanisme pasar menentukan besar kecilnya
harga-harga dari sarana produksi, seperti harga pupuk, harga sewa alat mesin
pertanian, dan harga sewa lahan maupun sewa tenaga kerja. Sebagai salah satu
faktor input dari produkstifitas petani, penggunaan pupuk sebagai sarana produksi,
mempunyai peranan yang strategis dalam peningkatan keunggulan kompetitif dan
tingkat keuntungan usahatani bagi petani.
Dalam rangka membantu petani untuk mendapatkan pupuk dengan harga
terjangkau, pemerintah menetapkan pemberian subsidi penyediaan pupuk yang

44

dimaksudkan untuk membantu petani agar dapat memperoleh pupuk dengan harga
terjangkau

sehingga

proses

usahatani

dapat

berlangsung

secara

berkesinambungan. Kebijakan pemerintah mengenai subsidi pupuk, dilandasi


pemikiran bahwa pupuk merupakan faktor kunci dalam meningkatkan
produktivitas, dan subsidi dengan harga pupuk yang lebih murah akan mendorong
peningkatan penggunaan input tersebut. Selain itu, subsidi pupuk juga
dimaksudkan untuk merespons kecenderungan kenaikan harga pupuk di pasar
internasional dan penurunan tingkat keuntungan usaha tani. Selanjutnya,
kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk memenuhi prinsip enam tepat dalam
penyaluran pupuk, yaitu tepat jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, dan
produktivitas dan produksi pangan nasional serta meningkatkan kesejahteraan
petani. Sejak itu, subsidi pupuk terus diberikan dalam bentuk harga eceran
tertinggi atau HET (Susila, 2010).
Disamping itu akibat terjadinya krisis ekonomi, kemampuan daya beli
petani menurun sehingga kesulitan bila harus membeli pupuk dengan harga pasar.
Dengan harga jual sesuai kemampuan petani, sulit bagi produsen pupuk untuk
menjaga kelangsungan usaha dan kemampuannya dalam menjamin pemenuhan
kebutuhan pupuk nasional. Agar harga pupuk terjangkau petani dan menjaga
kelangsungan industri pupuk, pemerintah perlu menyediakan subsidi pupuk
(Maulana, 2006).
Oleh karena itu kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi mekanisme
pasar dan menghasilkan sekumpulan harga yang berbeda dengan harga pasar
bebas. Akibatnya harga input dan output relatif di dalam dan/atau antar wilayah

45

berubah, dengan demikian mempengaruhi pola insentif produksi dan alokasi


sumber daya. Faktor input produksi usahatani ada yang tradable seperti pupuk
kimia, benih, pestisida dan lain-lain, dan ada yang non tradable seperti tenaga
kerja, lahan dan modal. Komposisi dan faktor input yang digunakan dalam
produksi akan menentukan biaya usahatani, selanjutnya akan menentukan juga
kualitas dan kuantitas output-nya. Dengan harga pupuk yang tersubsidi tersebut
akan memberikan pengaruh bagi biaya produksi kemudian secara signifikan
berpengaruh pula pada produktifitas yang secara simultan saling berperan
terhadap daya saing (keunggulan kompetitif) dan tingkat keuntungan usahatani
padi.
Berdasarkan posisi yang strategis tersebut, usahatani padi seyogyanya
diusahakan dengan baik serta memiliki unggulan kompetitif dan dapat
meningkatkan keuntungan. Namun kenyataannya, bila timbul kendala seperti
adanya gejolak harga beras, maka akan berdampak negatif terhadap usahatani,
kesejahteraan petani dan buruh tani, serta konsumen beras terutama kelompok
miskin. Hal ini akan berdampak pada gairah petani untuk berusahatani padi dan
pada gilirannya produksi padi akan menurun, dan impor beras akan naik. Keadaan
yang demikian jelas tidak menguntungkan bagi ketahanan pangan, ekonomi
nasional, bahkan stabilitas nasional.
Peningkatan

produksi

pertanian

dan

pendapatan

petani

akan

mempengaruhi status ketahanan pangan, karena dengan meningkatnya produksi


maka ketersediaan pangan juga meningkat. Di samping itu terwujud aksesibilitas
ekonomi dimana daya beli petani menjadi lebih tinggi dan skala usaha taninya

46

juga dapat ditingkatkan dengan mengoptimalkan keunggulan kompetitif dan


tingkat keuntungan usahatani. Kerangka konseptual penelitian tersebut disajikan
pada Gambar 3.1.

Subsidi pupuk

Harga pupuk

Sarana
Produksi

Harga
tersubsidi

Daya Saing
(Keunggulan
Kompetitif) dan
Tingkat
Keuntungan

Harga sewa alat


mesin pertanian

Biaya
produksi

Harga input lain


(sewa lahan, sewa
tenaga kerja)

Produktivitas

Gambar 3.1. Kerangka Konsep/Pemikiran Mekanisme Pengaruh Subsidi Pupuk terhadap


Keunggulan Kompetitif dan Tingkat Keuntungan Usahatani Padi

3.2

Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian ditetapkan hipotesis sebagai berikut.

1.

Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan


kompetitif (PCR <1)

2.

Usahatani padi di Kabupaten Tabanan mempunyai tingkat keuntungan

47

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di seluruh kecamatan kabupaten Tabanan dengan

masing-masing subak terluasnya. Penentuan lokasi penelitian ini dilakukan secara


purposive sampling, yaitu penentuan lokasi penelitian yang dilakukan secara
sengaja dengan beberapa pertimbangan sebagai berikut.
1. Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentra produksi tanaman padi
sawah terbesar di Bali yang memiliki keadaan tanah dan iklim yang cocok di
samping potensi lainnya.
2. Subak terluas di Tabanan merupakan subak yang paling banyak mendapatkan
subsidi pupuk.
3. Kabupaten Tabanan memiliki luas lahan sawah terbesar di Bali.
4. Pemerintah Kabupaten Tabanan sampai saat ini masih memberikan perhatian
yang besar pada komoditas tanaman padi sawah, dengan direalisasikannya
beberapa proyek pertanian berkenaan dengan upaya peningkatan daya saing
dan menguntungkan usahatani padi sawah
Dengan demikian diharapkan pemilihan Kabupaten Tabanan cukup
representatif dan lebih mudah memperoleh data serta informasi untuk menunjang
penelitian, sehingga secara keseluruhan dapat menggambarkan keadaan usahatani
padi sawah di Kabupaten Tabanan.

48

Penelitian lapangan untuk memperoleh data dan informasi tentang biaya


dan penerimaan sampai impor pada tahun 2010 akan dilakukan sekitar bulan
Maret 2011.

4.2

Populasi dan Pengambilan Sampel


Populasi atau keseluruhan objek pengamatan dalam penelitian ini adalah

petani padi sawah yang terdapat di subak terluas pada masing-masing kecamatan
kabupaten Tabanan. Tabanan memiliki 10 kecamatan dengan masing-masing
subak terluasnya yang terlihat pada tabel 4.1

Tabel 4.1
Subak terluas pada masing-masing Kecamatan di Kabupaten Tabanan
No

Kecamatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Selemadeg
Selemadeg Barat
Selemadeg Timur
Kerambitan
Tabanan
Kediri
Marga
Baturiti
Penebel
Pupuan

Subak
Lanyah Bajra I
Soko
Lanyah Delod Jalan
Meliling
Gubug II
Bengkel
Guama
Poyan
Jatiluwih
Yeh Saba

Luas Baku
(ha)
209
305
247
290
245
375
184
301
303
132

Sumber : Data Primer, 2010

Penentuan populasi dalam penelitian ini menggunakan metode purposive


random sampling, yaitu pemilihan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan
subak terluas, sehingga jumlah populasi seluruhnya adalah 4547 orang petani.
Untuk menentukan ukuran sampel yang akan diambil tergantung pada variasi

49

populasinya. Semakin besar dispersi atau variasi suatu populasi maka semakin
besar pula ukuran sampel yang diperlukan agar estimasi terhadap parameter
populasi dapat dilakukan dengan akurat dan presisi. Selanjutnya Riduwan (2006)
menyebutkan sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri
keadaan tertentu yang akan diteliti. Dalam penelitian ini pengambilan ukuran
sampel dengan menggunakan rumus:
N
n =
N.d2 + 1
Di mana:
N = ukuran populasi
n = sampel
d2 = = presisi yang ditetapkan
Pada penelitian ini tingkat ketelitian atau keyakinan yang dikehendaki adalah
90 % atau dengan tingkat presisi yang diharapkan 10 % atas dasar pertimbangan
bahwa untuk penelitian sosial tingkat kesalahan masih dapat ditolerir sampai dengan
10 %. Sehingga besarnya sampel yang diperoleh dari populasi sebanyak 4547 orang
adalah sebesar 98 orang. Jumlah sampel tersebut selanjutnya diambil secara
proportional random sampling. Sampel yang diambil pada masing-masing
kecamatan terdistribusi seperti Tabel 4.2

50

Tabel 4.2
Sebaran Sampel di Kabupaten Tabanan
Tahun 2010
No

Kecamatan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Subak

Selemadeg
Lanyah Bajra I
Selemadeg Barat
Soko
Selemadeg Timur
Lanyah Delod Jalan
Kerambitan
Meliling
Tabanan
Gubug II
Kediri
Bengkel
Marga
Guama
Baturiti
Poyan
Penebel
Jatiluwih
Pupuan
Yeh Saba
Jumlah
Sumber: Data Primer (diolah)
4.3

Jumlah Petani*
Ukuran
(orang)
Sampel (orang)
210
4
400
9
450
10
993
21
300
7
849
18
200
4
500
11
395
9
250
5
4547
98

Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data


Jenis data yang dibutuhkan untuk mendukung penelitian ini adalah data

kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang diukur dengan
suatu alat ukur tertentu, yang diperlukan untuk keperluan analisis secara
kuantitatif yang berbentuk angka-angka seperti jumlah produksi, jumlah bibit,
jumlah pupuk, jumlah obat-obatan, biaya bibit, biaya pupuk, biaya tenaga kerja,
serta biaya lainnya. Sedangkan data kualitatif adalah jenis data yang tidak
berbentuk angka-angka, (data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar)
tetapi berupa penjelasan yang berhubungan dengan objek penelitian seperti
potensi padi sawah dan perkembangan produktivitas padi sawah.
Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder.

51

1. Data primer merupakan data yang dikumpulkan langsung dari lapangan


dengan metode wawancara dengan menggunakan kuesioner yang telah
disiapkan sebelumnya. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama
(responden) yang telah ditentukan dalam hal ini bersumber dari petani padi
sawah.
2. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari sumber tidak langsung
(sumber kedua) umumnya diperoleh melalui badan/dinas/instansi yang
bergerak dalam proses pengumpulan data baik instansi pemerintah maupun
swasta. Data sekunder dalam penelitian ini bersumber dari BPPS (Badan Pusat
Statistik), Departemen Pertanian, Departemen Perdagangan, Dinas pertanian
Tanaman Pangan Kabupaten dan Provinsi Bali, dan lembaga lainnya yang
terkait dengan objek penelitian.
Metode pengumpulan data merupakan bagian instrument pengumpulan
data yang menentukan berhasil tidaknya suatu penelitian (Antara, 2006). Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan :
a. Observasi lapangan, yaitu mengadakan pengamatan langsung terhadap obyek
yang diteliti, sehingga dapat diharapkan diperoleh gambaran yang lebih jelas
tentang kegiatan usahatani.
b. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab langsung kepada responden
(petani) dengan menggunakan instrumen / menggunakan kuesioner terstruktur
yang telah disiapkan.

52

c. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari dokumendokumen atau segala sumber terkait dengan cara studi kepustakaan serta
pengambilan gambar berupa foto-foto.

4.4

Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer

yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut.


1. Struktur input dan output fisik (tradable input, faktor domestik, dan output)
2. Harga privat (tradable input, harga faktor domestik, dan harga output di
tingkat petani)
Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Perkembangan luas area, produksi produktivitas, konsumsi, ekspor dan impor
komoditas beras.
2. Perkembangan produksi, konsumsi dan harga beras dunia.
3.

Perkembangan ekspor dan impor komoditas beras dunia

4.

Budidaya, pengolahan dan pemasaran beras

5.

Perkembangan nilai tukar dolas US terhadap rupiah

6.

Nilai pemilahan kandungan komponen input

7.

Faktor konversi harga pasar aktual (privat) ke harga bayangan (sosial)

8.

Perkembangan harga dasar dan harga impor pupuk kimia

53

4.5

Definisi Operasional Variabel


Batasan operasional dan asumsi yang digunakan dalam analisis PAM

adalah sebagai berikut.


1. Harga pasar adalah harga yang benar-benar diterima petani atau produsen
dan didalamnya terdapat kebijakan pemerintah
2. Harga bayangan adalah harga pada pasar persaingan sempurna yang
mewakili biaya imbangan sosial yang sesungguhnya. Pada komoditas
tradable, harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional.
3. Output bersifat tradable dan input dapat dipisahkan ke dalam input tradable
dan faktor domestik (input non tradable)
4. Input tradable adalah input produksi yang dapat diperdagangkan secara
internasional (seperti pupuk kimia, benih, obat-obatan, alat produksi)
5. Input non tradable atau faktor domestik adalah input produksi yang tidak
diperdagangkan di pasar internasional (seperti tenaga kerja, lahan, modal)
6. Output fisik adalah produksi usahatani padi sawah, dalam hal ini adalah
gabah kering panen.
7. Harga privat input adalah harga aktual dari input produksi yang dibayar
petani padi sawah.
8.

Harga faktor domestik adalah harga input non tradable yang dibayar oleh
petani padi sawah berdasarkan harga yang berlaku di pasar domestik.

54

Asumsi tersebut memberikan arti bahwa pada harga-harga input dan


output komoditas yang dianalisis terdapat gangguan yang berupa peraturanperaturan atau pembatasan dari pemerintah maupun kegagalan pasar. Oleh karena
itu, harga yang terjadi tidak mencerminkan yang sesungguhnya atau nilai
kelangkaannya. Output yang dihasilkan merupakan barang-barang yang
diperdagangkan (traded goods), yaitu suatu komoditas yang harganya ditentukan
oleh impor atau ekspornya. Input yang digunakan dalam proses sistem komoditas
tersebut terdiri atas faktor domestik yang tidak diperdagangkan (non tradable
input) dan faktor produksi yang diperdagangkan (tradable input) Faktor domestik
non tradable adalah input produksi yang harganya ditentukan oleh pasar
domestik. Input non tradable adalah lahan, tenaga kerja, dan modal. Disamping
itu tidak terdapat dampak negatif dan positif kepada pihak lain yang tidak terlibat
langsung dalam sistem komoditas yang dianalisis.

4.6

Metode Analisis Data


Analisis penelitian menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix).

Dengan menggunakan metode PAM, ukuran-ukuran koefisien keunggulan


komparatif (DRC) dan keunggulan kompetitif (PCR), tingkat keuntungan pada
nilai finansial dan ekonomi usahatani padi, kebijakan pemerintah dapat dihitung
sekaligus secara menyeluruh dan sistematis (Monke dan Pearson, 1995).
Indikator intervensi pemerintah antara lain kebijakan transfer harga output dan
input produksi, proteksi pada output dan input (NPCO dan NPCI), koefisien

55

proteksi efektif (EPC), profitabilitas (PC) dan subsidi kepada produsen (SRP).
Secara rinci Tabel PAM yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3
Uraian

Penerimaan

Harga privat
Harga sosial
Efek Divergensi

Keterangan:
1. Keuntungan privat
2. Keuntungan social
3. Out tranfer
4. Input transfer
5. Faktor transfer
6. Transfer bersih
4.6.1

Input Tradable

A
E
I

B
F
J

:
:
:
:
:
:

Input
Faktor Domestik
C
G
K

Keuntungan
D
H
L

D=ABC
H=EFG
I =AE
J =BF
K=C -G
L = D H atau L = I J K

Profitabilitas.

1. Privat Profitability (D) = A- (B+C)


Keuntungan privat merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari
sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai input, biaya input dan trasnfer
kebijakan yang ada. Apabila D> 0, berarti sistem komoditas memperoleh
provit atas biaya normal yang mempunyai implikasi bahwa komoditas itu
mampu ekspasi, kecuali apabila sumberdaya terbatas atau adanya komoditas
alternatif yang lebih menguntungkan.
2. Social provitability (H) = E (F + G).
Keuntungan sosial merupakan indikator keunggulan komparetif (comparative
advantage) dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi baik
akibat kebijakan pemerintah maupun distorsi pasar. Apabila H > 0, berarti

56

sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan
mempunyai keuntungan komparatif.
4.6.2

Keunggulan Kompetitif dan Komparatif

1. Privat Cost Ratio (PCR) = C/(A B)


PCR yaitu profitabilitas privat yang menunjukkan kemampuan system
untuk membayar biaya sumberdaya domestic dan tetap kompetitif. Sistem
bersifat kompetitif jika PCR < 1.
2. Domestik Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E F)
DRCR yaitu indicator keunggulan komparatif, yang menunjukkan
sumberdaya domestic yang dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit
devisa. Sistem mepunyai keunggulan komparatif jika DRCR < 1.Semakin
kecil nilai DRCR maka system semakin efisien dan mempunyai
keunggulan komparatif makin tinggi.
4.6.3

Kebijakan Pemerintah

1. Kebijakan Input
a. Transfer Input : IT = B F : Transfer input adalah selisih antara biaya
input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang
dapat diperdagangkan pada harga social. Jika nilai IT > 0, menunjukkan
transfer dari petani produksen kepada produsen input tradable.
b. Nominal Protection Coefficien on Input (NPCI) = B/F : yaitu indicator
yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input
pertanian domestic. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai
NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable.

57

c. Transfer factor : FT = C G: Transfer factor merupakan nilai yang


menunjukkan perbedaan harga privat dengan harga sosialnya yang
diterima produsen untuk pembayaran factor-faktor produksi yang tidak
diperdagangkan. Nilai FP > 0, mengandung arti bahwa ada transfer dari
petani produsen kepada produsen input non tradable.
2. Kebijakan Input Output
a. Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B)/(E-F). : yaitu indicator
yang menujukkan tingkat proteksi simultan terhadap output dan input
tradable. Kebijakan masih bersifat positif jika nilai EPC> 1.
b. Net Transfer : NT = D H : Transfer bersih merupakan selisih antara
keuntungan

bersih

yang

benar-benar

diterima

produsen

dengan

keuntungan bersih sosialnya. Nilai NT > 0, menunjukkan tambahan


surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang
diterapkan pada input dan output.
c. Profitability Coefficient : PC = D/H. : Koefisien keuntungan adalah
perbandingan antara keuntungan bersih yang benar-benar diterima
produsen dengan keuntungan bersih sosialnya. Jika PC > 0, maka secara
keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen.
d. Subsidy Ratio to Producer (SRP) = L/E = (D H)/E, yaitu indicator yang
menunjukkan proporsi penerimaan pada harga social yang diperlukan
apabila subsidi atau pajak digunakan sebagai pengganti kebijakan.

58

4.6.4

Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara

sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila
terdapat kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan-perkiraan yang dibuat
di dalam perencanaan. Suatu analisis kepekaan dikerjakan dengan mengubah
suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur, kemudian menentukan
pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis. Ada beberapa kemungkinan
yang dapat terjadi di masa datang yang dapat merubah rasio-rasio PAM. Namun
kemungkinan tersebut sangat banyak maka analisis kepekaan dibatasi hanya
terhadap kemungkinan perubahan yang memiliki pengaruh yang besar terhadp
hasil analisis, khususnya pada usahatani padi sawah. Pada analisis ini diasumsikan
usahatani terjadi suatu kondisi yang tidak menguntungkan seperti berikut.
(1) Terjadi penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen. Penurunan
harga bayangan output ini didasarkan pada asumsi bahwa harga bayangan
output sangat berfluktuatif dan cepat berubah dalam periode tertentu.
(2) Subsidi pupuk Urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan menjadi 0
persen, yang dapat menyebabkan petani menerima harga pupuk dalam nilai
finansial sesuai dengan harga bayangannya. Asumsi ini didasarkan pada
pemikiran bahwa sejak Tahun 1994 subsidi pupuk mulai dihilangkan
utamanya terhadap pupuk KCl. Selanjutnya subsidi terhadap jenis pupuk
lainnya setiap tahun dilakukan pengurangan secara bertahap dan pada
akhirnya akan dihapus hingga 0 persen sehingga usaha pertanian diharapkan
dilakukan melalui pasar bersaingan sempurna.

59

(3) Ada

kecenderungan

bahwa

produktivitas

gabah

menurun

karena

penggunaan benih padi bukan kualitas F1 (generasi pertama) tetapi


turunannya berdasarkan sistem jalur benih antar lapang (jabal) dan adanya
serangan hebat hama/penyakit. Turunnya produktivitas gabah akan
menurunkan keuntungan privat dan pada akhirnya menurunkan daya saing
usahatani padi sawah. Kalau teknologi produksi tidak berkembang, hasil
gabah akan berkurang sampai 20%. Kasus ini dijumpai dibeberapa daerah
produksi di Kabupaten Tabanan, yang menyebabkan petani menderita
kerugian.
(4) Rupiah menguat (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00 per US $. Asumsi ini
didasarkan pada kenyataan bahwa mata uang Rupiah mengalami penguatan
(apresiasi) terhadap Dollar Amerika Serikat.
4.6.5

Analisis Titik Impas (Break Event Point)


Analisis ini sering disebut juga dengan cost volume profit analysis. Karena

analisa ini diperlukan untuk mengetahui hubungan antara volume produksi,


volume penjualan, harga jual, biaya produksi, biaya lainnya dan juga laba atau
rugi. Hasil penjualan yang diperoleh untuk periode tertentu sama besarnya dengan
keseluruhan biaya yang telah dikeluarkan sehingga perusahaan tidak memperoleh
keuntungan atau menderita kerugian. Pada titik impas ini, keseluruhan hasil
penjualan, setelah dikurangi dengan keseluruhan biaya variabel, hanya cukup
untuk menutup keseluhan biaya tetap saja, tidak terdapat sisa yang merupakan
keuntungan. Bagian hasil pengurangan biaya variable dari hasil penjualan disebut
contribution margin atau marginal income. Contribution margin ini disediakan

60

untuk menutup biaya tetap. Impas terjadi bila contribution margin sama dengan
biaya tetap. Laba terjadi bila contribution margin melebihi biaya tetapnya, dan
terjadi rugi bila contribution margin lebih kecil daripada biaya tetap
(wordpress.com/2010/11/30/)

61

BAB V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1

Kondisi Geografis dan Agroklimat


Kabupaten Tabanan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bali, Indonesia,

terletak sekitar 35 km di sebelah barat kota Denpasar, yang secara geografis


berada pada posisi 81430 - 83007 Lintang Selatan, 1145452 - 1151257
Bujur Timur. Tabanan berbatasan dengan Kabupaten Buleleng di sebelah utara,
Kabupaten Badung di timur, Samudra Indonesia di selatan dan Kabupaten
Jembrana di barat. Keadaan topografi Kabupaten Tabanan dapat digambarkan
dengan adanya dataran tinggi di wilayah Tabanan bagian utara yang merupakan
daerah pegunungan dengan ketinggian maksimal di puncak Gunung Batukaru
2.276 meter dpl. Sedangkan daerah selatan merupakan daerah pantai atau dataran
rendah. Topografi berpengaruh terhadap suhu di masing-masing kecamatan dan
perbedaan suhu berpengaruh pada tingkat curah hujan yang pada gilirannya
berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Curah hujan yang tertinggi di tahun 2009 terjadi pada bulan Januari hingga
Maret, Bulan Mei dan Desember. Hal tersebut artinya pada bulan-bulan
bersangkutan, frekuensi curah hujannya tinggi. Dari delapan stasiun pencatat
curah hujan yang aktif, rata-rata curah hujan per stasiun pencatat di Kabupaten
Tabanan tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 5.1.

62

Tabel 5.1
Rata-rata Curah Hujan Per Stasiun Pencatat di Kabupaten Tabanan Tahun 2010
Stasiun Pencatat
No

Bulan

Selemadeg

Kerambitan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Januari
364
322
Februari
314
455
Maret
273
352
April
149
177
Mei
222
303
Juni
2
49
Juli
98
104
Agustus
September
251
208
Oktober
179
175
November
87
126
Desember
341
289
Jumlah
2,280
2,560
Rata-rata
190
213.33
Sumber: BPS, Provinsi Bali, 2010

Kediri

Baturiti

Penebel

Pupuan

Selemadeg
Barat

Selemadeg
Timur

640
682
410
203
105
58
59
2,157
179.75

268
290
356
157
343
28
6
205
270
201
264
2,386
198.83

324
592
212
212
343
59
149
385
341
193
425
3,235
269.58

412
442
245
245
285
41
44
4
109
334
470
206
2,833
236.08

226
468
247
247
343
18
175
251
179
88
341
2,583
215.25

475
381
187
187
313
19
959
6
197
160
92
145
3,113
259.42

Luas Kabupaten Tabanan sebesar 839.33 Km2 atau 14,90 persen dari luas
Propinsi Bali (5.632,86 Km2). Bila dilihat dari penguasaan lahannya, dari luas
wilayah yang ada, sekitar 22,465 Km2 (26,77 %) wilayah Kabupaten Tabanan
merupakan lahan persawahan dan 61,468 Km2 (73,23 %) merupakan lahan bukan
sawah. Dari 73,23 persen lahan bukan sawah, 99,95 persen diantaranya
merupakan lahan kering yang sebagian besar berupa tegal, kebun dan hutan
negara, sisanya 0,05 persen adalah lahan lainnya seperti kolam, tambak dan rawa
(BPS, 2010). Secara administratif, kabupaten Tabanan terdiri dari 10 kecamatan,
113 desa, 729 banjar adat dan 333 desa adat (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Kecamatan-kecamatannya adalah:

Baturiti = 99,17 km
Kediri = 53,60 km
Kerambitan = 42,39 km

63

Marga = 44,79 km
Penebel = 141,98 Km
Pupuan = 179,02 km
Selemadeg = 57,51 km
Selemadeg Barat = 104,25 km
Selemadeg Timur = 65,22 km
Tabanan = 51,40 km

5.2

Demografi Kabupaten Tabanan


Jumlah penduduk di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 tercatat

sejumlah 419.992 jiwa dengan laju pertumbuhan alaminya sebesar 0,29 persen per
tahun. Dari 419.992 jiwa, 208.427 (49,63 %) diantaranya merupakan penduduk
laki-laki dan 211.565 (50,37 %) merupakan penduduk perempuan. Kabupaten
Tabanan dengan luas wilayah sebesar 839 km2 dan jumlah penduduk sebanyak
419.992 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 502 jiwa per km2. Apabila dilihat
dari tingkat kepadatan penduduk per kecamatan, persebaran penduduk di
Kabupaten Tabanan tidak merata. Terdapat beberapa kecamatan yang tingkat
kepadatan penduduknya jauh di atsa rata-rata, antara lain Kecamatan Kediri
(1.265 jiwa per km2), Tabanan (1.229 jiwa per km2), Marga (965 jiwa per km2),
dan Kerambitan (928 jiwa per km2), sedangkan lainnya tingkat kepadatan
penduduknya 500 jiwa per km2 kebawah. Untuk jumlah anggota keluarga rumah
tangga perkeluarga rata-rata sebanyak 4 orang (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2009,
angkatan kerja di Kabupaten Tabanan sebanyak 261.534 jiwa. Dari angkatan kerja
yang ada 254.402 jiwa (97,27 %) diantaranya adalah penduduk yang bekerja dan
sisanya 7.132 (2,73 %) merupakan pengangguran terbuka. Penduduk angkatan

64

kerja yang berada di kabupaten Tabanan, penduduknya bekerja di sektor pertanian


yaitu sekitar 43,96 %. Penduduk angkatan kerja yang bekerja di sektor
perdagangan terdapat 44.250 jiwa (17,39 %), di sektor industri sebanyak 35.313
jiwa (13,88 %), dan sisanya tersebar di keenam sektor lainnya. Sedangkan jumlah
penduduk yang bukan angkatan kerja sebanyak 82.354 jiwa, dimana 19.249 jiwa
(23,37 %) karena masih bersekolah, 48.697 jiwa (59,13 %) mengurus rumah
tangga dan 14.408 (17,05 %) karena alasan lainnya. Sebagai daerah agraris maka
mata pencaharian utama penduduknya adalah sektor pertanian yaitu sebesar
50,16%, sedangkan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan merupakan mata
pencaharian terbesar kedua dengan prosentase 15,16%, selebihnya bergerak
disektor industri rumah tangga dan pengolahan sebesar 11,27% dan sektor jasa
10,93% (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Salah satu indikator yang dipakai untuk mengukur keadaan ekonomi suatu
daerah adalah PDRB. PDRB suatu daerah dapat dihitung melalui dua pendekatan
yaitu PDRB atas dasar harga konstan dan PDRB atas dasar harga berlaku. PDRB
Kabupaten Tabanan tahun 2008 atas dasar harga berlaku mencapai 4,040,232.90
juta rupiah. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan sebesar 2,221,759.97 juta
rupiah atau meningkat 110,296.61 juta rupiah dibanding dengan tahun 2007.
Dengan kata lain laju pertumbuhan PDRB Kabupaten Tabanan pada tahun 2008
sebesar 5,22 %. Pendapatan regional Kabupaten Tabanan masih didominasi oleh
sektor tersier. Sektor tersier memberikan sumbangan terhadap pendapatan
regional Kabupaten Tabanan sebesar 53,70 %, kemudian disusul oleh sektor
primer sebesar 34,14 % dan sektor sekunder sebesar 12,16 %. Hal ini

65

mengakibatkan peran sektor primer dalam pembentukan PDRB mulai mengalami


pergeseran ke sektor sekunder dan tersier. Sedangkan PDRB perkapita Kabupaten
Tabanan atas dasar harga berlaku tahun 2008 adalah sebesar Rp 9.802.084,27.
Jadi rata-rata penghasilan penduduk Kabupaten Tabanan sebesar Rp 9.802.084,27
per tahun atau sebesar Rp 122.526,05 setiap bulannya (BPS, 2010). Hal ini
menunjukkan kinerja ekonomi Kabupaten Tabanan mengalami perbaikan seiring
dengan semakin pulihnya kondisi keamanan yang merupakan faktor penting
pendukung sektor pariwisata Kabupaten Tabanan (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Perbankan, koperasi, dan pegadaian merupakan bagian penting dalam
perekonomian dan sangat menunjang mobilitas ekonomi suatu daerah. Jumlah
Koperasi Unit Desa (KUD) sampai keadaan akhir tahun 2009 sebanyak 18 buah
dan 414 buah koperasi non KUD, dengan anggota secara keseluruhan 93.302
orang. Jika dibandingkan dengan jumlah anggota KUD tahun sebelumnya, jumlah
anggota KUD pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 57,91 %.

5.3

Potensi Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan


Kabupaten Tabanan merupakan salah satu sentral produksi tanaman

pangan di Propinsi Bali dan memiliki jumlah produksi tanaman pangan terbesar.
Tanaman pangan di Kabupaten Tabanan dikelompokkan ke dalam empat
kelompok yaitu padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Luas garapan
petani berkisar antara 0,15 1,15 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan petani di
lahan sawah adalah padi-padi-palawija. Umumnya padi ditanam pada bulan

66

Juni/Juli dan Oktober/November sedangkan palawija ditanam pada bulan


Maret/April.
Pada tahun 2010 luas panen di Kabupaten Tabanan mengalami penurunan
sebesar 0,54 % menjadi 40.468 Ha. Namun jika ditinjau dari sisi jumlah
produksinya, jumlah produksi padi sawah mengalami peningkatan sebesar 2,91 %.
Hal ini berarti produktifitas sawah di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010 telah
terjadi peningkatan. Di sisi lain jumlah produksi tanaman palawija pada tahun
2010 nilainya bervariasi , sebagian ada yang mengalami peningkatan, namun ada
pula yang jumlah produksinya mengalmi penurunan. Tanaman palawija yang
jumlah produksinya mengalami peningkatan antara lain ketela pohon, ubi jalar,
dan kacang hijau, sedangkan yang mengalami penurunan adalah jagung, kacang
tanah dan kedelai.
Jumlah produksi sayur-sayuran pada tahun 2010 adalah sebesar 772.156
ton. Secara umum produksi sayur-sayuran di Kabupaten Tabanan pada tahun 2010
masih didominasi oleh komoditi kubis yaitu sebesar 197.059 ton. Untuk produksi
buah-buahan sebesar 103.307 ton, dimana sebagian besar produksi buah-buahan
masih didominasi oleh komoditi pisang yaitu sebesar 60.901 ton (58,95 %)
dengan nilai produksi sebesar Rp 16.005.287.000 (BPS, Provinsi Bali, 2010).

67

BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pemerintah

dapat

mengintervensi

sektor

pertanian

dalam

upaya

meningkatkan produktivitas pertanian dengan menggunakan tiga bentuk


kebijakan, yakni kebijakan harga, kebijakan investasi publik, dan kebijakan
ekonomi makro. Secara khusus, dampak kebijakan harga, kebijakan investasi
pertanian, dan kebijakan ekonomi makro dianalisis melalui pendekatan Policy
Analysis Matrix (PAM).
Fokus penelitian ini adalah menganalisis dampak kebijakan subsidi input
terhadap keunggulan kompetitif dan efisiensi sistem usahatani padi sawah pada
dua musim tanam yang berbeda, yaitu musim kemarau dan musim hujan.
Perbedaan musim kemarau dan musim hujan akan berdampak pada penggunaan
input
Penentuan awal musim tanam padi pada musim kering di Kabupaten
Tabanan jatuh pada bulan Maret s/d Juni 2010, sedangkan awal tanam pada
musim hujan jatuh pada bulan Nopember 2010 s/dPebruari 2011. Pengolahan
tanah umumnya bisa dilakukan lebih awal sebelum jadwal penanaman karena
dibantu dengan pengairan irigasi.
6.1

Asumsi Makro
Asumsi makro ekonomi yang digunakan adalah tingkat suku bunga

nominal (persen per tahun), tingkat suku bunga sosial (persen per tahun), dan nilai
tukar (Rp per US Dollar) yang disajikan pada Tabel 6.1.

68

Tingkat suku bunga nominal (nominal interest rate) diperoleh dari


informasi tingkat bunga kredit formal (bank persero, bank pemerintah daerah,
bank swasta nasional, bank asing dan bank campuran, bank umum, dan lembaga
kredit lainnya). Dalam penelitian ini digunakan tingkat bunga nominal, bukan
tingkat bunga riil karena seluruh komponen biaya bukan modal dalam bujet PAM
telah mencerminkan dampak inflasi sehingga akan tidak konsisten seandainya
dampak inflasi dihilangkan hanya pada komponen modal dengan menggunakan
tingkat bunga riil. Tingkat suku bunga nominal yang digunakan adalah rata-rata
tingkat bunga privat untuk modal yang bersumber dari lembaga kredit formal
yang ada di lokasi penelitian, yakni sebesar 21,60 %. per tahun (BI, 2010).
Tingkat suku bunga sosial (social interest rate) merupakan penjumlahan
dari social opportunity cost of capital yang diasumsikan sebesar 15 % per tahun
ditambah dengan laju inflasi nasional pada tahun penelitian. Hal ini sesuai dengan
pengalaman historis negara-negara di Asia Tenggara ketika berada pada tahap
pembangunan yang sama dengan Indonesia saat ini. Pemerintah memprediksikan
bahwa laju inflasi tahun 2011 tetap sama dengan tahun 2010 yakni sebesar 5,3 %,
dengan demikian tingkat suku bunga sosial berada pada besaran 20,30 % per
tahun atau 6,77 % per musim (Monke and Pearson, 1995 dan Kementerian
Keuangan RI, 2011).
Nilai tukar yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan asumsi
APBN, yaitu pada tahun 2010 sebesar Rp 9.200,00 per US dollar dan tahun 2011
sebesar Rp 9.250,00 (Kementerian Keuangan RI, 2011).

69

Tabel 6.1
Asumsi Ekonomi Makro
Asumsi Ekonomi Makro

Jumlah

Tingkat suku bunga nominal (persen per tahun)


21,60 %
Tingkat suku bunga nominal (persen per musim)
7,20 %
Tingkat suku bunga sosial (persen per tahun)
20,30 %
Tingkat suku bunga sosial (persen per musim)
6,77 %
Nilai tukar rupiah (Rp/$)
Asumsi APBN 2010
9.200,00
Asumsi APBN 2011
9.250,00
Sumber : Bank Indonesia (2010) dan Kementerian Keuangan RI (2011).
6.2

Struktur Input Output Fisik


Struktur input-output fisik di tingkat petani terbagi menjadi empat bagian.

Pertama, input tradable (barang-barang input yang diperdagangkan) meliputi


benih, pupuk kimia seperti pupuk urea, SP 36, ZA, NPK Phonska, pupuk organik,
pestisida, dan herbisida. Kedua, peralatan yang digunakan. Ketiga, penggunaan
tenaga kerja, modal kerja, pajak lahan, dan sewa tanah. Keempat, produksi
(output) yang dihasilkan. Berikut ini kajian tentang struktur input-output fisik
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan di Kabupaten
Tabanan.
a.

Benih
Penggunaan benih pada usahatani padi sawah, baik musim kemarau

maupun musim hujan di Kabupaten Tabanan sesuai rekomendasi teknis yang


dianjurkan dalam usahatani padi sawah sistem tanam pindah. Rata-rata
penggunaan benih padi pada musim kemarau dan musim hujan di lokasi
penelitian masing-masing sebesar 26,59 kg/ha dan 26,51 kg/ha. Berdasarkan
rekomendasi teknis usahatani padi sawah pada sistem tanam pindah, penggunaan

70

benih padi yang dianjurkan adalah sebanyak 25 kg/ha (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan. 2010). Sebagian besar varietas padi yang ditanam di Kabupaten Tabanan,
baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah Ciherang (92,10 %),
Cigelis (6,58 %), dan Imfari (1,32 %).
b.

Pupuk
Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani padi sawah musim kemarau

dan musim hujan adalah Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan pupuk organik.
Petani di Kabupaten Tabanan menggunakan rata-rata dosis pupuk yang berbeda
pada kondisi musim tanam yang berbeda, di mana penggunaan dosis pupuk
cenderung lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan musim kemarau.
Penggunaan dosis pupuk kedua musim tanam di atas selengkapnya disajikan
seperti berikut.
Tabel 6.2
Dosis Pupuk Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan Pupuk Organik Usahatani Padi
Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
No.

Jenis Pupuk

Dosis (kg/ha)
Musim Kemarau
Musim Hujan
198,11
214,93

Pertumbuhan
(%)
8,49

1.

Urea

2.

SP-36

6,46

5,15

-20,28

3.

ZA

3,29

2,43

-26,14

4.

NPK Phonska

191,36

211,89

10,73

5.

Pupuk Organik

234,87

271,25

15,49

Sumber : Data Primer,2011.

71

c.

Pestisida dan herbisida


Petani juga menggunakan pestisida dan herbisida dalam pemeliharaan

tanaman

padi.

Hanya

sedikit

petani

yang

menerapkan

prinsip-prinsip

Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Satuan pestisida dan herbisida dihitung


berdasarkan paket.
d.

Peralatan dan mesin pertanian


Pengolahan lahan dengan maksud rotari lahan menggunakan jasa traktor.

Selain itu petani juga menggunakan peralatan pertanian lain seperti cangkul, sabit,
dan alat semprot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan
peralatan pertanian oleh petani, baik musim kemarau maupun musim hujan seperti
cangkul sebanyak 2 unit, sabit sebanyak 2 unit, dan alat semprot (hand sprayer)
sebanyak 1 unit. Rata-rata umur ekonomis peralatan pertanian yang digunakan
petani sekitar 5 tahun.
e.

Tenaga kerja
Dalam usahatani tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari

keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri dan
anak-anak itu sendiri. Anak-anak berumur 15 tahun misalnya sudah dapat
merupakan tenaga kerja produktif bagi usahatani. Mereka dapat membantu
mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah atau membantu
penggarapan sawah. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani itu merupakan
sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah
dinilai dalam uang.

72

Pada daerah-daerah dengan pertumbuhan perekonomian baik/maju,


keberadaan tenaga kerja sektor pertanian sebagai faktor produksi menjadi terbatas
jumlahnya jika dibandingkan dengan tanah dan modal. Keefektifan tenaga kerja
diukur dengan tingginya produktivitas tenaga kerja. Dalam keadaan seperti ini
mulai ditemukan penggunaan mesin-mesin pertanian (traktor, theresher dan mesin
pemanen padi) dan berkembangnya tenaga kerja upahan. Apabila permintaan
(demand) atau kebutuhan akan tenaga kerja menjadi tinggi dalam waktu yang
hampir bersamaan maka tak jarang diantara petani kerap terjadi persaingan dalam
memperoleh tenaga kerja. Hal ini cenderung berimplikasi terhadap upah/ongkos
tenaga kerja (buruh tani) menjadi meningkat, yang berujung pada peningkatan
biaya produksi.
Dalam kaitan ini, analisis tenaga kerja untuk hari orang kerja (HOK)
menjadi salah satu faktor yang menentukan dalam proses usahatani padi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penyerapan tenaga kerja ini
tersegmentasi berdasarkan jenis kegiatan dalam usahatani padi, yakni: (1)
persiapan lahan dan pembibitan, (2) penanaman, (3) pemeliharaan, (4) panen, dan
(5) penjemuran. Pada usahatani padi sawah, rata-rata jumlah tenaga kerja yang
terserap pada musim kemarau sebanyak 89,82 HOK/ha dan pada musim hujan
sebanyak 91,19 HOK/ha. Rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam
usahatani padi berdasarkan jenis kegiatannya pada musim kemarau dan musim
hujan seperti Table 6.3 berikut.

73

Tabel 6.3
Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja menurut Jenis Kegiatan dan Masa Tanam
pada Usahatani Padi di Kabupaten Tabanan Tahun 2010
Kegiatan
1. Persiapan Lahan
2. Penanaman
3. Pemeliharaan Tanaman
3.1. Pengairan
3.2. Penyiangan
3.3. Pemupukan
3.4. Pengendalian Hama
4. Panen
5. Penjemuran
Total
Sumber : Data Primer, 2011.
f.

Tenaga Kerja (HOK)


Musim Kemarau
Musim Hujan
19,33
19,31
16,35
16,32
3,47
15,60
3,56
3,70
17,17
10,64
89,82

3,13
15,56
3,56
3,95
17,17
12,19
91,19

Modal kerja, pajak, sewa lahan, dan lain-lain keluaran


Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar modal kerja (working

capital) yang digunakan oleh petani dalam usahatani padi baik pada musim
kemarau maupun musim hujan adalah modal kerja sendiri melalui lembaga kredit
formal yang ada di lokasi penelitian. Rata-rata tingkat suku bunga privat
(nominal interest rate) sebesar 21,60 % per tahun atau 7,20 % per musim tanam.
Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepemilikan lahan yang
digunakan petani untuk usahatani padi adalah milik sendiri dan tidak menyewa,
namun dalam analisis usahatani, keluaran berupa pajak, aci-aci (biaya upacara di
sawah dan subak), iuran subak dan sewa lahan tetap diperhitungkan
(Mubyarto, 1995).

74

g.

Produksi
Pola tanam yang umum diterapkan di lahan sawah beririgasi semi-teknis di

Kabupaten Tabanan adalah padi-padi-palawija. Waktu panen tergantung kepada


beberapa faktor, antara lain varietas, iklim, dan pemeliharaan. Panen dilakukan
setelah tanaman padi memasuki fase menguning (80 % gabah telah masak), sebab
pada fase ini hasilnya adalah tertinggi. Selain itu juga mengurangi rontoknya
gabah, daripada dipanen pada fase lewat masak. Kadar air gabah kering panen
adalah 24 s/d 25 % (Soemartono dkk., 1992).
Rata-rata produktivitas padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten
Tabanan adalah 6.587,14 kg gabah kering panen (GKP) per hektar sedangkan
rata-rata produktivitas padi sawah pada musim hujan adalah 6.688,43 kg gabah
kering panen (GKP) per hektar.
6.3

Harga Privat dan Harga Sosial

6.3.1

Harga Privat
Ukuran nilai dari suatu barang-barang dan jasa-jasa adalah harga. Harga

merupakan faktor ekonomi yang sangat penting karena berhubungan dengan


prilaku petani baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen. Penetapan harga
dapat mempengaruhi pendapatan total dan biaya total, maka setiap keputusan dan
strategi penetapan harga memegang peranan penting dalam setiap usahatani.
Dalam konteks ini, harga privat didasarkan pada harga aktual yang didapat dari
usahatani petani sampel selaku responden di lokasi penelitian.
Harga benih padi lebih mahal dari gabah itu sendiri karena untuk dijadikan
benih, usahatani padi sawah harus dipersiapkan dengan perlakuan yang berbeda

75

dengan usahatani padi sawah untuk konsumsi. Hasil penelitian menunjukkan


bahwa benih padi yang digunakan dalam usahatani padi, menggunakan benih padi
berlabel atau bersertifikat. Harga benih padi bersertifikat yang digunakan adalah
Rp 5.460,53 per kg.
Harga pupuk pada musim kemarau Urea Rp 1.682,89 per kg, SP-36 Rp
2.083,33 per kg, ZA Rp 1.400,00 per kg, NPK Phonska Rp 2.340,67 per kg dan
pupuk organik (petrogenik) Rp 715,15 per kg, sedangkan pada musim hujan Urea
Rp 1.682,89 per kg, SP-36 Rp 2.100,00 per kg, ZA Rp 1.400,00 per kg, NPK
Phonska Rp 2.340,13 per kg dan pupuk organik (petrogenik) Rp 714,93 per kg.
Untuk nilai pestisida yang digunakan dalam pemeliharaan tanaman padi pada
musim kemarau dan musim hujan berkisar Rp 213.060,50/paket dan Rp
287.898,50/paket, penggunaan pestisida pada musim hujan lebih besar
dibandingkan musim kemarau.
Besarnya nilai sewa/jasa traktor baik musim kemarau maupun musim
hujan rata-rata Rp 1.042.763,16/ha. Upah tenaga kerja untuk jenis kegiatan
persiapan lahan, pengairan, pemupukan, pengendalian hama, dan panen pada
musim

kemarau

dan

musim

hujan

di

Kabupaten

Tabanan

sekitar

Rp 49.078,95/hari, sedang upah tenaga kerja untuk jenis kegiatan penanaman,


penyiangan dan penjemuran pada musim kemarau dan musim hujan sekitar Rp
47.828,95/hari.
Besarnya transportasi yang digunakan dalam pengangkutan hasil usahatani
padi dari lahan petani sampai rumah tempat tinggal pada musim kemarau sekitar
Rp 25.797,24/paket dan pada musim hujan sekitar Rp 27.113,02/paket.

76

Penyusutan

alat-alat

pertanian

pada

musim

kemarau

sebesar

Rp

20.907,46/paket/musim sedangkan pada musim hujan Rp 21.039,04/paket/musim.


Nilai aci-aci baik pada musim kemarau maupun musim hujan sekitar Rp
25.796,05/paket. Besarnya pajak dan iuran subak baik pada musim kemarau
maupun musim hujan adalah sama, yaitu Rp 66.529,96/musim dan Rp
275.996,41/musim. Sedangkan nilai sewa lahan dalam satu musim tanam pada
musim kemarau sebesar Rp 6.613.915,11/ha/musim, dan pada musim hujan
sebesar Rp 6.830.595,54/ha/musim.
Untuk hasil gabah, umumnya petani menjual separoh atau seluruh
gabahnya secara tebasan pada saat panen dengan harga rata-rata Rp 3.015,49/kg
GKP di tingkat petani (pada musim kemarau) dan Rp 3.067,12/kg GKP di tingkat
petani (pada musim hujan). Harga jual gabah kering panen tingkat petani di atas,
tidak termasuk biaya panen dan ongkos angkut sampai tepi jalan, ongkos angkut
dari tepi jalan ke penggilingan, biaya karung dan margin penebas sehingga harga
gabah kering panen tersebut, di atas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk
gabah kering panen per kilogram di tingkat petani. Harga pembelian pemerintah
untuk gabah kering panen dalam negeri kadar air 25% per kilogram di tingkat
petani menurut Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2009 adalah Rp 2.640,00
(Sekretaris Kabinet, 2009).
6.3.2

Harga Sosial
Harga sosial atau harga bayangan adalah harga dunia atau harga

internasional yang sesuai (harga CIF untuk komoditas yang diimpor dan harga
FOB untuk komoditas yang diekspor) untuk mengestimasi harga efisiensi, baik

77

untuk output maupun input yang tradabel. Menentukan harga dunia (output dan
input tradabel) yang komparabel dengan komoditas yang sedang dianalisis
merupakan hal yang paling rumit. Sebagian besar masalah terjadi akibat pemilihan
harga dunia (dalam US $) yang tidak tepat. Harga sosial harus ditentukan pada
waktu, bentuk/kualitas, dan lokasi yang sama. Proses memperoleh harga dunia
yang tepat akan senantiasa merupakan tantangan bagi keberhasilan analisis PAM.
Perhitungan harga paritas harus mempertimbangkan biaya pengiriman
barang dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat (dari lokasi penelitian),
mengkonversi nilai barang dari barang olahan menjadi barang yang belum diolah.
Ini dilakukan kalau harga dunia yang diperoleh adalah harga barang olahan,
sedangkan komoditas yang diteliti adalah komoditas belum terolah. Biaya
penyimpanan juga perlu dipertimbangkan jika harga dunia yang diperoleh adalah
harga pada saat yang berbeda dengan harga pada saat komoditas yang diteliti itu
diperoleh.
Harga sosial benih padi baik pada musim kemarau maupun musim hujan
adalah harga aktual ditambah subsidi sebesar Rp. 400,00/kg. Oleh karena
Indonesia adalah negara net importir SP-36, ZA dan NPK serta net eksportir Urea,
maka harga sosial untuk SP-36, ZA, NPK dan beras adalah harga paritas impor,
sedangkan harga sosial Urea adalah harga paritas ekspor. Untuk harga sosial
pupuk organik, pestisida dan herbisida, bentuk cair maupun padat digunakan
harga privat aktual di lokasi penelitian, dikurangi tarif impor sebesar 10 persen
dan pajak pertambahan nilai 10 persen.

78

Perhitungan efisiensi nasional sebuah negara, seperti Indonesia, ditentukan


oleh nilai opportunity cost of imports (atau opportunity cost of revenue from
exports) yang secara nyata terjadi, walaupun harga dunia mengalami distorsi.
Harga internasional (shadow prices) menunjukkan biaya yang dikeluarkan
Indonesia untuk mengimpor satu unit tambahan barang yang diimpor atau
penerimaan yang diperoleh oleh Indonesia untuk setiap tambahan satu unit barang
yang diekspor.
Upaya untuk mengkoreksi harga aktual internasional karena adanya
anggapan bahwa harga tersebut telah terdistorsi (harga suatu komoditas lebih
rendah dari yang seharusnya akibat kebijakan perdagangan negara-negara kaya
yang memberi subsidi dan proteksi pada sektor pertanian mereka yang tidak
efisien) adalah hal yang tidak benar. Koreksi tersebut dapat dilakukan bila sudah
diyakini (lewat perundingan) bahwa negara kaya akan mengubah kebijakan yang
distorsif tersebut.
Harga sosial tenaga kerja diasumsikan sama dengan harga privat (tingkat
upah aktual di lokasi penelitian) karena tidak ditemui distorsi kebijakan maupun
kegagalan pasar di pedesaan. Dengan kata lain, tidak ada divergensi di pasar
tenaga kerja yang tidak terampil di pedesaan.
Harga sosial traktor dan power thresher dihitung dengan menggunakan
nilai sewa aktual yang berlaku di lokasi penelitian, sedangkan harga bayangan
peralatan (sabit, cangkul, dll) diproksi dari nilai penyusutan aktual per musim.
Tingkat bunga sosial (social interest rate) diasumsikan 20,30 % per tahun
atau 6,77 % per musim tanam (empat bulan). Asumsi ini didasarkan pada

79

pengalaman historis negara-negara di Asia Tenggara ketika mereka berada pada


tahap pembangunan yang sama dengan Indonesia saat ini, yakni penjumlahan dari
social opportunity cost of capital sebesar 15 % ditambah inflasi nasional tahun
2010 dan atau tahun 2011 sebesar 5,30 %.
Harga sosial lahan (Social Opportunity Cost of Land) merupakan
keuntungan kotor sebelum dikurangi sewa lahan dari komoditas alternatif terbaik
(the next best alternative commodity), yaitu komoditas jagung. Berdasarkan hasil
perhitungan diperoleh harga sosial lahan pada musim kemarau adalah sebesar Rp
3.640.122,47 per hektar dan pada musim hujan sebesar Rp 7.598.318,37 per
hektar. Harga dunia gabah pada musim kemarau, berdasarkan perhitungan paritas
impor adalah Rp 2.143,50/kg sedangkan harga dunia gabah pada musim hujan,
berdasarkan perhitungan paritas impor adalah Rp 2.507,52/kg.

6.4

Budget Privat dan Budget Sosial

6.4.1

Budget Privat
Budget privat diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output fisik

per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga privat (Lampiran 2) per unit masingmasing komponen. Data budget privat usahatani padi pada musim kemarau dan
musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pada budget privat, total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi pada
musim hujan lebih besar dibandingkan musim kemarau, namun dengan
produktivitas dan harga gabah yang lebih tinggi menyebabkan keuntungan bersih
yang diperoleh pada musim hujan lebih besar daripada musim kemarau.

80

6.4.2

Budget Sosial
Untuk budget sosial diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output

fisik per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga sosial (Lampiran 4) per unit
masing-masing komponen. Data budget sosial usahatani padi pada musim
kemarau dan musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Total biaya (tidak termasuk lahan) adalah penjumlahan biaya input
tradabel dan faktor domestik. Keuntungan bersih (termasuk lahan) adalah selisih
antara total penerimaan dengan total biaya (tidak termasuk lahan) dan Social
opportunity cost of land usahatani padi. Social opportunity cost of land usahatani
padi merupakan keuntungan sosial (tidak termasuk lahan) komoditas jagung
sebagai komoditas alternatif terbaik dari padi.

6.5

Tingkat Keuntungan Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Tabanan


Pada bagian ini dibahas dua aspek keuntungan, yaitu Keuntungan privat

(finansial) dan Keuntungan sosial (ekonomi). Keuntungan adalah selisih antara


penerimaan dan biaya-biaya. Dalam analisis keuntungan finansial, maka
penerimaan dan biaya (input) didasarkan pada tingkat harga pasar atau harga
aktual yang diperoleh dari usahatani maupun pengolahan hasil. Harga tersebut
sudah dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti subsidi, bunga modal,
proteksi dan bea masuk. Sehingga subsidi, bunga modal, proteksi dan bea masuk
merupakan biaya dan keuntungan usaha. Keuntungan finansial diharapkan
mempunyai nilai positif dan meningkat dari waktu ke waktu. Sedangkan
keuntungan ekonomi dihitung jika terjadi pada pasar persaingan sempurna,

81

dimana tidak ada kegagalan pasar dan campur tangan atau kebijakan pemerintah.
Pada analisis keuntungan ekonomi, penerimaan dan biaya (input) didasarkan pada
tingkat harga sosial atau harga bayangan (shadow price), maka pajak dan subsidi
dianggap sebagai suatu pembayaran aliran sehingga tidak mempengaruhi arus
biaya dan penerimaan.
Suatu usahatani yang menguntungkan secara finansial belum tentu
menguntungkan secara ekonomi. Hal tersebut dimungkinkan, misalnya karena
terdapat subsidi pada input produksi sehingga keuntungan finansial akan
meningkat, namun keuntungan ekonomi tetap atau mengalami penurunan. Apabila
tidak disertai peningkatan produktivitas dan atau harga output, maka secara
ekonomi kebijakan subsidi tersebut tidak akan meningkatkan keuntungan
ekonomi.
6.5.1

Analisis Keuntungan Finansial


Untuk mengetahui efisiensi suatu usahatani maka cara yang paling

sederhana adalah mengetahui nilai keuntungan. Suatu usaha akan terus dijalankan
apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dari nul atau telah mencapai
keuntungan normal. Indikator efisiensi yang lebih tepat adalah nilai efisiensi
ekonomi (sosial) daripada efisiensi finansial (privat). Efisiensi finansial atau
keuntungan finansial merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Dari
Tabel 6.4 menunjukkan bahwa keuntungan finansial usahatani padi sawah pada
musim kemarau sebesar Rp 5.625.704,23 per hektar, sedangkan keuntungan
finansial pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42 per hektar atau terjadi
perbedaan keuntungan relatif tipis yakni sebesar 3,15%.

82

Tabel 6.4
Keuntungan Finansial Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau
Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Total penerimaan
Total biaya

Musim Kemarau
(Rp)
19.863.444,52

Musim Hujan
(Rp)
20.514.205,48

14.237.740,29

14.711.542,07

5.625.704,23

5.802.663,42

1,40

1,39

Keuntungan finansial
PBCR (private benefitcost ratio)
Sumber : Lampiran 2, 3 dan 4.

Sistem usahatani padi masing-masing memberikan nilai R/C atau PBCR


sebesar 1,40 untuk sistem usahatani padi sawah pada musim kemarau dan 1,39
untuk sistem usahatani padi sawah pada musim hujan. Dapat dikatakan bahwa
usahatani padi sawah di atas secara finansial layak, karena rasio R/C atau PBCR
lebih besar dari satu. Menurut Monke dan Pearson (1995) suatu aktivitas ekonomi
yang mempunyai keuntungan finansial diatas normal merupakan indikator bahwa
pengembangan aktivitas ekonomi tersebut masih dimungkinkan.
6.5.2

Analisis Keuntungan Ekonomi


Pendapat Grey et al. (1985), menyebutkan bahwa analisis keuntungan

ekonomi merupakan analisis yang menilai suatu aktivitas ekonomi atas manfaat
bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang memberi dan siapa
yang menerima manfaat dari aktivitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka
pada analisis keuntungan ekonomi tidak dibedakan antara keuntungan ditingkat
petani dan keuntungan ditingkat pedagang. Dengan demikian analisis keuntungan

83

ekonomi baik output maupun input yang digunakan berdasarkan harga sosial atau
harga bayangan (shadow price).
Berdasarkan tabel 6.5 menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi (sosial)
usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan
musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha. Usahatani padi sawah pada musim
kemarau ternyata memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi daripada
usahatani padi sawah pada musim hujan. Data dan hasil analisis keuntungan
ekonomi usahatani padi sawah dapat dilihat pada Lampiran 2, 5 dan 6. Informasi
secara keseluruhan mendapatkan harga bayangan tercatat pada Lampiran 10, 11,
12, 13 dan 14.
Tabel 6.5
Keuntungan Ekonomi Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau
Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Total penerimaan
Total biaya
Keuntungan ekonomi
SBCR (social benefitcost ratio)
Sumber : Lampiran 2, 5 dan 6.

Musim Kemarau
(Rp)
14.119.502,17

Musim Hujan
(Rp)
16.771.345,78

11.066.795,70

15.537.199,38

3.052.706,47

1.234.146,40

1,28

1,08

Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem usahatani padi sawah baik
pada musim kemarau maupun pada musim hujan layak secara ekonomi, karena
memberikan rasio R/C atau SBCR lebih besar dari 1.
Karena keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi kedua usahatani
padi sawah adalah positif, maka usahatani padi sawah tersebut memiliki

84

keuntungan kompetitif dan keuntungan komparatif dalam menggunakan


sumberdaya ekonomi.

6.6

Keunggulan Kompetitif Usahatani Padi Sawah di Kabupaten


Tabanan
Rasio biaya privat (Privat Cost Ratio atau PCR) adalah perbandingan

antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradabel
pada harga privat (finansial). Nilai PCR merupakan ukuran daya saing atau
efisiensi pada nilai finansial atau keunggulan kompetitif. Rasio ini dapat
digunakan sebagai indikator untuk mencapai tujuan dari kegiatan usahatani yaitu
memperoleh keuntungan maksimum. Supaya diperoleh nilai keuntungan
maksimum maka petani selalu berusaha meminimumkan nilai PCR, misalnya
dengan meminimumkan pengeluaran biaya faktor domestik atau dengan cara
memaksimumkan nilai tambah, yaitu dengan cara meminimumkan input tradabel.
Itu berarti keunggulan kompetitif akan dicapai jika nilai PCR lebih kecil dari satu
(PCR < 1), sebaliknya tidak mempunyai keunggulan kompetitif jika PCR > 1.
Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM)
menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan merupakan
sistem usahatani yang menguntungkan dan memiliki keunggulan kompetitif,
karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada
musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah 0,70 dan 0,69. Itu berarti
usahatani padi sawah di atas bisa diusahakan, karena untuk menghasilkan satu
unit nilai tambah memerlukan biaya domestik yang lebih kecil dari satu unit.
Perhitungan nilai PCR selengkapnya seperti Tabel 6.6 berikut.

85

Tabel 6.6
Analisis PCR dan DRC Sistem Komoditas Padi Sawah Pada Musim Kemarau
dan Musim Hujan Di Kabupaten Tabanan
Penerimaan
Musim
Kemarau
Privat
Sosial
Divergensi
Musim
Hujan
Privat
Sosial
Divergensi

Biaya-biaya
Input
Faktor
Tradabel
Domestik

Keuntungan

PCR

DRC

19.863.444,52
14.119.502,17
5.743.042,35

1.325.602,16
1.157.694,53
167.907,63

12.912.138,13
9.909.101,17
3.003.036,96

5.625.704,23
3.052.706,47
2.572.997,76

0,70

0,76

20.514.205,48
16.771.345,78
3.742.859,70

1.498.361,21
1.586.578,84
-88.217,63

13.213.180,85
13.950.620,54
-737.439,69

5.802.663,42
1.234.146,40
4.568.517,01

0,69

0,92

Sumber : Lampiran 15 dan 16


Untuk mengetahui daya saing secara internasional atau keunggulan
komparatif suatu komoditas adalah dengan menggunakan rasio Domestic
Resourse Cost (DRC), yaitu rasio antara biaya domestik dengan nilai tambah
output dari biaya input yang dapat diperdagangkan pada harga sosial.
Analisis daya saing secara internasional atau keunggulan komparatif
merupakan suatu analisis untuk menilai suatu aktifitas ekonomi (layak atau tidak
layak) ditinjau dari segi pemanfaatan sumberdaya domestik yang digunakan.
Usahatani suatu komoditas dikatakan mempunyai daya saing secara internasional
jika rasio DRC < 1, artinya komoditas tersebut lebih menguntungkan jika
diusahakan didalam negeri dari pada diimpor. Sebaliknya jika rasio DRC > 1
berarti usahatani suatu komoditas tidak mempunyai daya saing internasional atau
secara ekonomi tidak layak untuk diusahakan karena terjadi pemborosan
sumberdaya

domestik.

Sehingga

pada

kondisi

seperti

ini

akan

lebih

86

menguntungkan jika komoditas tersebut diimpor daripada diusahakan di dalam


negeri.
Nilai DRC memainkan fungsi yang sama seperti PCR, hanya berbeda
dalam dasar penilaian harga. Jika PCR dinilai dalam harga privat (finansial) yang
sudah dipengaruhi kebijakan pemerintah, maka DRC dinilai berdasarkan harga
sosial (ekonomi). Berdasarkan perhitungan seperti pada Tabel 6.6 di atas, maka
nilai rasio sumberdaya domestik atau Domestic Resourse Cost (DRC) usahatani
padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan di Kabupaten Tabanan adalah
0,76 dan 0,92. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa untuk mendapatkan 1 unit
nilai tambah diperlukan biaya domestik sebesar 0,76 unit pada usahatani padi
sawah pada musim kemarau, sedangkan usahatani padi sawah pada musim hujan
sebesar 0,92 unit. Dalam kaitan perdagangan internasional maka nilai rasio DRC
usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar 0,76 artinya bahwa setiap 1 $
US devisa negara yang dikeluarkan untuk mengimpor padi, jika diproduksi di
dalam negeri hanya dibutuhkan biaya sebesar 0,76 $ US, sedangkan pada
usahatani padi sawah pada musim hujan dibutuhkan biaya sebesar 0,92 $ US.
Berdasarkan uraian di atas, untuk memenuhi kebutuhan beras nasional
yang tiap tahun nilai impornya cukup besar dan untuk menghemat devisa negara
dari sektor non-migas, maka Kabupaten Tabanan sangat cocok jika dijadikan
sebagai salah satu sentra pengembangan usahatani padi nasional. Tabel 6.6 di atas
juga menginformasikan bahwa seluruh usahatani padi sawah yang dianalisis
mempunyai rasio DRC < 1, hal ini berarti usahatani padi sawah baik pada musim
kemarau maupun musim hujan di Kabupaten Tabanan mempunyai daya saing

87

secara internasional. Dengan kata lain, faktor domestik digunakan secara efisien,
sehingga usahatani padi ini layak dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.
Berdasarkan hasil analisis PCR dan DRC pada semua usahatani padi
sawah di atas menunjukkan bahwa nilai PCR < 1 dan DRC < 1, dengan demikian
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif. Selain itu juga diketahui bahwa nilai PCR pada
usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan
mempunyai nilai yang lebih rendah daripada nilai DRC-nya, atau PCR < DRC.
Keadaan ini memberi arti bahwa tanpa adanya kebijakan pemerintah, untuk
menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan faktor domestik yang lebih besar
dibandingkan dengan adanya kebijakan. Dengan kata lain masih diperlukan
kebijakan pemerintah untuk menunjang keunggulan komparatif. Kebijakan
pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa tarifikasi dan
akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kebijakan
pemerintah mengenai tarif impor (spesifik) beras yang masih dilaksanakan hingga
saat ini adalah sebesar Rp 430,00/kilogram beras.

6.7

Analisis Dampak Kebijakan Subsidi Pupuk


Subsidi pupuk diberikan sejak masa pemerintahan orde baru, yaitu sejak

dimulainya rencana pembangunan lima tahun tahap I (REPELITA I). Adanya


subsidi tersebut harga pupuk yang dibayar petani menjadi lebih rendah dari harga
ekonomisnya. Kesuksesan subsidi pupuk mendorong peningkatan penggunaan
pupuk, sehingga terjadi peningkatan produksi gabah/padi nasional. Respon positif

88

petani terhadap subsidi pupuk ini membawa konsekuensi pembengkakan anggaran


pemerintah untuk subsidi pupuk.
Pemerintah mulai melakukan kebijakan pengurangan subsidi atas input
utama, dan pada Tahun 1994 subsidi pupuk KCl telah dihapus. Selanjutnya
berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 17/Permentan/SR.130/5/2006
tanggal 16 Mei 2006, pemerintah melakukan kebijakan pengurangan subsidi atas
pupuk lagi atau menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk sehingga harga
pupuk urea naik menjadi Rp 1.200,00/kg (14,29 persen), SP-36 menjadi Rp
1.550,00/kg (10,71 persen), ZA menjadi Rp 1.050,00/kg (10,53 persen), NPK
menjadi Rp 1.750,00/kg (9,30 persen) dan PONSKA menjadi Rp 1.750,00/kg.
Peraturan

Menteri

Pertanian

telah

mengalami

beberapa

koreksi

diantaranya Peraturan Menteri Pertanian No. 50/Permentan/SR.130/11/2009,


Peraturan Menteri Pertanian No. 22/Permentan/SR.130/2/2010 dan terakhir adalah
Peraturan Menteri Pertanian No. 32/Permentan/SR.130/4/2010 tanggal 8 April
2010, pemerintah melakukan penyesuaian kembali atas kebutuhan dan harga
eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk sektor pertanian Tahun Anggaran
2010, sehingga harga pupuk urea naik menjadi Rp 1.600,00/kg, SP-36 menjadi Rp
2.000,00/kg, ZA menjadi Rp 1.400,00/kg, NPK Phonska menjadi Rp 2.300,00/kg
dan Pupuk Organik Rp 700/kg. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya biaya
produksi, dan semakin tidak kondusifnya bagi pengembangan usahatani padi.
Penghapusan subsidi pupuk tersebut dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan
petani membeli pupuk yang disebabkan menurunnya nilai tukar hasil petani
terhadap harga sarana produksi (Sudaryanto et al., 1999; Dinas Pertanian

89

Tanaman Pangan, 2006). Padahal pupuk merupakan faktor pembatas bagi


optimalisasi produksi komoditas pertanian terutama yang berbasis lahan
(land base agriculture).
Analisis dampak kebijakan pada penelitian ini dilakukan untuk melihat
sampai sejauh mana kebijakan pemerintah memberikan perlindungan terhadap
petani domestik, baik kebijakan harga input maupun kebijakan harga output.
Besarnya dampak kebijakan dilihat dari tingkat proteksi yang diterima petani
domestik dalam menjalankan usahanya. Dampak yang diberikan dapat saja positif
atau negatif terhadap masing-masing pelaku sistem tersebut. Dampak kebijakan
juga bisa meningkatkan atau menurunkan produksi atau produktivitas suatu
usahatani. Dengan menggunakan beberapa indikator dari analisis dengan metoda
Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix atau PAM) dapat diketahui
berapa besar dampak kebijakan pemerintah tersebut.
6.7.1

Divergensi
Pada dasarnya, PAM dimaksudkan sebagai alat analisis kebijakan dan

dampak kebijakan tersebut, yang tersembunyi dalam divergensi. Setiap


divergensi, baik yang disebabkan oleh distorsi kebijakan atau kegagalan pasar,
seyogyanya dapat dijelaskan secara meyakinkan, kalau tidak ingin memunculnya
anggapan bahwa telah terjadi kesalahan data.
Adanya perbedaan nilai privat (output dan input) dibandingkan dengan
nilai-nilai sosialnya mungkin disebabkan oleh adanya kebijakan yang terdistorsi
(distorting policy) atau pasar berjalan tidak sempurna sehingga gagal menciptakan
pasar

yang

efisien

(market

failure)

yang

menyebabkan

harga

privat

90

(harga

pasar

aktual)

berbeda

dengan

harga

sosialnya

(harga efisiensi atau social opportunity cost).


Kebijakan yang terdistorsi tersebut dapat berupa penerapan pajak atau
subsidi, hambatan perdagangan atau intervensi lain, sedangkan kegagalan pasar
berupa monopoli atau monopsoni, eksternalitas atau tidak berkembangnya pasar
sumberdaya domestik. Adanya kecurigaan bahwa divergensi disebabkan oleh
distorsi kebijakan atau kegagalan pasar, harus dapat dibuktikan secara
meyakinkan. Apabila hal tersebut tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan maka
dilakukan pemeriksaan ulang terhadap asumsi yang digunakan atau data yang
berkaitan dengan pasar komoditas. Di sektor pertanian, kegagalan pasar sangat
jarang terjadi (di pasar output maupun input tradabel) karena produsen mudah
keluar masuk pasar (easy to entry/exit). Kegagalan pasar banyak terjadi di pasar
sumberdaya domestik pedesaan negara-negara sedang berkembang, utamanya di
pasar modal dan pasar lahan.
Berdasarkan Tabel 6.6 menunjukkan bahwa divergensi dalam penerimaan
(revenue) pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan
masing-masing sebesar Rp 5.743.942,35 dan Rp 3.742.859,70 disebabkan oleh
perbedaan harga privat yang diterima petani dengan harga sosialnya. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat transfer penerimaan dari konsumen kepada
produsen (petani) atau konsumen membeli dan produsen (petani) menerima
dengan harga yang lebih tinggi dari harga seharusnya. Dampak kebijakan
pemerintah mengenai output (harga gabah) baik pada musim kemarau maupun
musim hujan menguntungkan produsen (petani) atau terdapat subsidi yang dapat

91

meningkatkan pendapatan. Nilai divergensi dalam penerimaan (output transfer)


juga memberi implikasi dalam perdagangan internasional. Jika komoditas
beras/padi merupakan komoditas impor dan divergensi bernilai positif, maka
pemerintah dapat menetapkan salah satu pembatasan perdagangan internasional
dengan cara pengenaan tarif atau membatasi jumlah (kuota) impor.
Divergensi input yang diperdagangkan (tradable) pada usahatani padi
sawah pada musim kemarau sebesar Rp 167.907,63 juga disebabkan oleh
perbedaan harga privat yang dikeluarkan petani dengan harga sosialnya. Dari hasil
analisis tersebut nilai divergensi input tradabel positif artinya terdapat kebijakan
yang menghasilkan harga privat yang lebih tinggi atau petani sebagai konsumen
membayar harga input secara keseluruhan lebih mahal daripada harga sosialnya
(pasar internasional). Nilai positif pada divergensi input tradabel menunjukkan
bahwa secara umum terjadi kebijakan subsidi negatif atau pajak. Namun hasil
analisis mendalam terhadap input tradabel disebutkan bahwa petani sebagai
konsumen menerima subsidi input tradabel berupa benih, urea dan SP-36,
sedangkan untuk input tradabel lainnya seperti pupuk ZA, NPK Phonska, pupuk
organik dan pestisida petani menerima subsidi negatif atau pajak dari pemerintah.
Sebaliknya divergensi input tradabel pada musim hujan sebesar - Rp 88.217,63
(negatif). Itu berarti terdapat kebijakan yang menghasilkan harga privat yang lebih
rendah atau petani sebagai konsumen membayar harga input secara keseluruhan
lebih murah daripada harga sosialnya (pasar internasional). Nilai negatif pada
divergensi input tradabel menunjukkan adanya kebijakan subsidi. Hal ini berarti
bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan menerima

92

subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang diterima petani pada usahatani
padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk Urea, dan SP-36.
Input faktor domestik adalah input produksi yang harganya ditentukan
oleh pasar domestik. Perbedaan harga finansial dan harga ekonomi tidak sematamata disebabkan oleh kebijakan pajak atau subsidi, tetapi juga adanya unsur
perbedaan penilaian pada faktor domestik. Penilaian upah tenaga kerja, biaya
modal (kapital) pada nilai finansial, penyusutan alat pertanian, aci-aci dan sewa
lahan tidak dimasukkan dalam perhitungan nilai ekonomi. Dari Tabel 6.6 dapat
diketahui bahwa divergensi faktor domestik pada usahatani padi sawah pada
musim kemarau sebesar Rp 3.003.036,96. Nilai divergensi faktor domestik yang
positif mencerminkan telah berkembangnya nilai sewa lahan di atas harga sosial
lahan (Social Opportunity Cost of Land) dari komoditas alternatif terbaik (the next
best alternative commodity), yaitu komoditas Jagung. Sebaliknya divergensi
faktor domestik pada usahatani padi sawah pada musim hujan menunjukkan nilai
negatif, sebesar Rp 737.439,69. Nilai divergensi faktor domestik yang negatif
menunjukkan adanya perbedaan penilaian yang lebih rendah pada harga finansial,
karena tidak berkembangnya sistem sewa lahan.
Divergensi tenaga kerja pada usahatani padi sawah baik pada musim
kemarau maupun musim hujan sama dengan nul, karena tidak ada perbedaan
biaya tenaga kerja privat (finansial) dan sosial (ekonomi). Sedangkan divergensi
pada biaya modal (kapital) timbul sebagai akibat dari biaya modal (tingkat bunga)
sosial lebih rendah dari tingkat bunga privatnya.

93

Divergensi biaya-biaya lain (seperti penyusutan alat pertanian, aci-aci,


pajak dan lain-lain biaya) sama dengan nul, karena tidak ada perbedaan biayabiaya lain baik dalam nilai privat (finansial) maupun sosial (ekonomi).
Divergensi biaya lahan disebabkan oleh perbedaan nilai sewa lahan privat
(finansial) dengan nilai keuntungan yang mungkin dicapai seandainya lahan
tersebut digunakan untuk usahatani jagung. Nilai divergensi biaya lahan yang
positif dari usahatani padi pada musim kemarau mencerminkan sebagai sistem
sewa lahan telah berkembang dengan baik. Sedangkan nilai divergensi yang
negatif dari biaya lahan usahatani padi sawah pada musim hujan disebabkan
karena besarnya selisih nilai sewa lahan privat (finansial) dengan nilai sosial
lahan. Keadaan ini mencerminkan sebagai kurang berkembangnya sistem sewa
lahan.
Divergensi keuntungan bersih (net profit) usahatani padi sawah pada
musim kemarau sebesar Rp 2.572.997,76/ha, sedangkan pada musim hujan
sebesar Rp 4.568.517,01/ha. Kedua sistim usahatani padi sawah ini menunjukkan
nilai divergensi keuntungan bersih (net profit) yang positif, berarti bahwa terdapat
kebijakan insentif pada usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan, membuat
surplus pada produsen (petani) bertambah atau kebijakan insentif membuat
usahatani padi sawah menjadi efisien.
6.7.2

Tingkat proteksi
Analisis dampak kebijakan pemerintah dengan menggunakan metode

PAM, selain dapat dianalisis berdasarkan divergensi atas perbedaan harga privat
dengan harga sosialnya (transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer

94

bersih), juga dapat pula dilihat melalui rasio antara nilai pada baris pertama (harga
privat) dengan nilai pada baris kedua (harga sosial). Nilai rasio lebih sering
digunakan karena bisa digunakan untuk membandingkan berbagai sistem
usahatani dengan output yang berbeda.
Ada tujuh rasio yang digunakan untuk menduga distorsi kebijakan pada
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan. Rasio-rasio ini diperoleh dari nilainilai yang disajikan pada Lampiran 15 (Tabel PAM). Dua rasio telah disebutkan
di atas, yaitu PCR dan DRC untuk menilai keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif sistem komoditas, sedangkan yang berhubungan dengan tingkat
proteksi disajikan pada Tabel 6.7 berikut.
Tabel 6.7
Rasio PAM Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan
di Kabupaten Tabanan

No.

Rasio

1.

NPCO (Nominal Protection Coefficient on


Output)
2. NPCI (Nominal Protection Coefficient on Input)
3. EPC (Effective Protection Coefficient)
4. PC (Profitability Coefficient)
5. SRP (Subsidy Ratio to Producers)
Sumber : Lampiran 16

Nilai
Musim
Musim
Kemarau Hujan
1,41
1,22
1,15
1,43
1,84
0,18

0,94
1,25
4,70
0,27

6.7.2.1 Dampak Kebijakan Output


Rasio yang digunakan untuk mengukur divergensi dalam penerimaan
(output transfers) disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO).
Nilai NPCO usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan
adalah 1,41 atau petani menerima harga output (privat) lebih tinggi sebesar 41 %

95

dibanding harga paritas impor. Sedangkan nilai NPCO usahatani padi sawah pada
musim hujan adalah 1,22. Nilai ini menunjukkan bahwa petani menerima harga
output (privat) 22 % lebih tinggi dari harga paritas impor (harga dunia). Dapat
dikatakan bahwa petani di Kabupaten Tabanan dalam melakukan usahatani padi
sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan telah menikmati
proteksi/perlindungan output dari pemerintah.
Nilai NPCO yang lebih besar dari satu akan menghambat ekspor bahkan
padi (beras) sebagai komoditas yang diperdagangkan secara internasional
(komoditas impor) tanpa campur tangan pemerintah dapat menyebabkan arus
masuknya komoditas tersebut. Hal ini disebabkan harga beras di pasar
internasional yang lebih rendah daripada harga beras di dalam negeri, akan
menyebabkan tertekannya harga beras di dalam negeri. Untuk melindungi
produsen (petani) diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat membatasi atau
menghambat impor, misalnya dengan melakukan tarif impor beras. Menurut
Maksum (2000 dalam Rachman dkk., 2004) dalam tataniaga beras dan upaya
mengatasi semakin rendahnya harga beras di pasar dunia, maka instrumen bea
masuk impor dinilai sangat tepat guna merangsang petani berproduksi. Sejalan
dengan upaya melindungi petani padi domestik dari semakin terpuruknya harga
beras di pasar internasional, pemerintah memberlakukan tarif impor beras spesifik
sebesar Rp 430,00 per kg.
Sedangkan besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan juga menyebabkan
perbedaan harga output, antara harga output finansial dengan harga output

96

ekonomi. Dengan demikian kebijakan pemerintah tentang harga output (privat)


yang lebih tinggi dari harga paritas impor (harga dunia) tersebut memberi dampak
melindungi (subsidi) kepada produsen dalam negeri dan merangsang impor jika
tidak terdapat pembatasan.
6.7.2.2 Dampak Kebijakan Input
Rasio yang digunakan untuk mengukur divergensi input tradabel (input
transfers) disebut Nominal Protection Coefficient on Input (NPCI). Nilai NPCI
untuk usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten Tabanan adalah
1,15. Nilai NPCI yang lebih besar dari satu menunjukkan bahwa petani membayar
15 % lebih mahal dari seharusnya. Mahalnya input tradabel tersebut disebabkan
regulasi impor, distribusi benih dan pupuk, tarif impor pestisida (sampai 1 % dan
20 %) serta pajak distribusi lokal. Sehingga untuk memperoleh keringanan atau
pembebasan tarif impor, importir benih harus menjadi importir produsen
(Kepmenkeu No. 135/1997), sedangkan impor dan distribusi pupuk dalam negeri
dikuasai oleh produsen pupuk nasional (Pupuk Kaltim). Sedangkan nilai NPCI
untuk usahatani padi sawah pada musim hujan adalah 0,94. Nilai NPCI yang lebih
kecil dari satu menunjukkan bahwa terdapat proteksi terhadap produsen input
tradabel, dan sektor yang menggunakan input tersebut yaitu produsen (petani)
pelaku usahatani padi sawah diuntungkan dengan rendahnya harga input tradabel.
Itu berarti petani membayar 6 % lebih murah dari harga sosialnya. Murahnya
input tradabel tersebut disebabkan oleh subsidi dari pemerintah berupa benih dan
pupuk.

97

Subsidi harga benih padi sebesar Rp 400,00 per kg atau sekitar 0,66 % dari
total biaya produksi, ternyata mampu menyumbang sekitar 22,32 % terhadap total
penerimaan sosial. Besarnya nilai NPCI usahatani padi sawah pada musim hujan
(0,94) lebih rendah daripada usahatani padi sawah pada musim kemarau (1,15),
hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan tersebut
menggunakan sedikit lebih banyak input tradabel yang mendapat subsidi dari
pemerintah, termasuk penggunaan pupuk urea dan SP-36.
6.7.2.3 Transfer Gabungan
Rasio yang digunakan untuk mengukur dampak gabungan policy tranfers
dari input dan output tradable disebut Effective Protection Coefficient (EPC). EPC
adalah rasio nilai tambah dalam nilai finansial dengan nilai tambah dalam nilai
ekonomi. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana seluruh kebijakan pemerintah
yang ada bersifat melindungi atau menghambat suatu sistem komoditas. Dengan
demikian besarnya proteksi efektif yang dinikmati petani sangat tergantung dari
kombinasi transfer output dan transfer input.
Pada Tabel 6.7 nilai EPC usahatani padi sawah pada musim kemarau dan
musim hujan di Kabupaten Tabanan masing-masing adalah 1,43 dan 1,25. Kedua
sistim usaha tani padi menunjukkan rasio lebih besar dari satu. Dengan kata lain,
nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial, atau terdapat insentif
positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut. Ini berarti petani padi
pada musim kemarau memperoleh nilai tambah sebesar 143 % dari nilai tambah
pasar persaingan sempurna. Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada
usahatani padi sawah pada musim kemarau tersebut dikarenakan walaupun petani

98

membayar input tradabel 15 % lebih mahal dari harga sosialnya, namun dari harga
output petani menerima harga sebesar 41 % lebih tinggi dari harga yang
seharusnya. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah pada musim hujan lebih
besar dari satu, yaitu sebesar 1,25. Nilai ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, baik petani maupun sistem komoditas di Kabupaten Tabanan
diproteksi sebesar 25 %. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input
secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas, karena nilai
tambah dalam nilai finansial lebih besar dari nilai tambah dalam nilai sosial.
Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada
musim hujan tersebut dikarenakan selain petani membayar input tradabel 6 %
lebih murah dari harga sosialnya, juga petani menerima harga output (privat)
sebesar

22

lebih

tinggi

dari

harga

yang

seharusnya

(paritas impor atau harga internasional).


6.7.2.4 Transfer Bersih
Net tranfers merupakan inti dari hasil sebuah analisis PAM. Nilai ratio
yang berhubungan dengan net transfer adalah Profitability Coefficient (PC). PC
mengukur dampak seluruh transfer terhadap keuntungan privat, dengan perkataan
lain nilai PC merupakan ukuran relatif transfer bersih yang mengakibatkan
keuntungan finansial lebih besar atau lebih kecil dari keuntungan ekonomi. PC
juga merupakan pengembangan dari EPC dengan memasukkan biaya faktor
domestik. Nilai PC untuk usahatani padi sawah pada musim kemarau di
Kabupaten Tabanan adalah 1,84. Nilai ini menunjukkan keuntungan privat
(finansial) yang jauh lebih besar, yaitu lebih dari 1,84 kali lipat dari keuntungan

99

sosial (ekonomis). Sedangkan nilai PC untuk usahatani padi sawah pada musim
hujan adalah 4,70. Itu berarti keuntungan finansial yang dicapai lebih besar, yaitu
lebih dari 4,70 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Berdasarkan nilai PC ini
dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan pemerintah yang
diterapkan pada usahatani padi sawah (sistem komoditas beras) mengakibatkan
keuntungan (surplus) bertambah.
Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh
transfer effects yang terjadi. Ratio ini merupakan perbandingan antara nilai net
transfer dengan nilai output (penerimaan) yang dihitung pada tingkat harga dunia
(penerimaan sosial atau social revenue). Dengan demikian SRP menunjukkan
sejauh mana penerimaan (revenue) meningkat atau menurun karena terjadinya
transfer. Nilai SRP usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan
masing-masing adalah 0,18 dan 0,27. Artinya, divergensi antara keuntungan
finansial dan ekonomi pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan
musim hujan masing-masing sekitar 18 % dan 27 % dari pendapatan kotor (gross
profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa
secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan
dampak yang menguntungkan bagi petani padi sawah, karena petani padi sawah
menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.

6.8

Analisis Titik Impas Harga Ekonomi


Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan akan mencapai titik impas,

yaitu pada keuntungan ekonomi nul, ketika harga gabah internasional pada

100

usahatani padi sawah pada musim kemarau Rp 1.680,06/kg dan pada musim hujan
Rp 2.323,00/kg. Analisis titik impas selengkapnya seperti pada Tabel 6.8 berikut.
Tabel 6.8
Analisis Titik Impas Harga Ekonomi Usahatani Padi Sawah
Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Produksi (kg/ha)
Total biaya ekonomi (Rp/ha)
Harga ekonomi (Rp/kg)

Musim Kemarau

Musim Hujan

6.587,14

6.688,43

11.066.795,70

15.537.199,38

1.680,06

2.323.00

Sumber : Lampiran 2 dan 16.


Sedangkan harga ekonomi gabah yang diterima produsen (petani)
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing
adalah Rp 2.143,50/kg dan Rp 2.507,52/kg lebih tinggi dari titik impas. Tingginya
harga ekonomi ini, mencerminkan risk premium yang ditanggung oleh importir
jauh di atas titik impas dan menunjukkan tingginya keuntungan ekonomi yang
diterima petani.

6.9

Analisis Sensitivitas
Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa penurunan harga bayangan output

sebesar 20 % menyebabkan harga gabah bayangan pada musim kemarau menjadi


Rp 1.739,6/kg gabah kering panen dan harga bayangan gabah pada musim hujan
menjadi Rp 2.030,90/kg gabah kering panen. Pada kondisi ini usahatani padi
sawah di musim kemarau akan terjadi peningkatan nilai NPCO, DRC, EPC, PC
dan SRP sedangkan nilai NPCI dan PCR tidak berubah (tetap). Keadaan ini
menunjukkan bahwa usahatani padi sawah pada musim kemarau di Kabupaten

101

Tabanan tetap memiliki daya saing pada nilai finansial dan ekonomis (PCR dan
DRC < 1), namun keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis)
melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai DRC meningkat menjadi 0,96.
Sementara itu penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen pada usahatani
padi sawah di musim hujan, akan meningkatkan nilai NPCO, DRC, EPC dan SRP,
sedangkan nilai NPCI dan PCR tetap, selanjutnya nilai PC menjadi negatif. Itu
berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan masih tetap memiliki daya
saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi
memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis), karena nilai
DRC meningkat menjadi 1,16. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat
penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen di Kabupaten Tabanan
disajikan pada Tabel 6.9.
Tabel 6.9
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Harga Bayangan Output
Turun 20 Persen di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio

Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 12 dan 16.

Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27

Harga Bayangan Output


Turun 20 Persen
Musim
Musim Hujan
Kemarau
1,73
1,51
1,15
0,94
0,70
0,69
0,96
1,16
1,80
1,59
14,34
-2,97
0,46
0,57

Jika subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan
menjadi 0 %, menyebabkan usahatani padi sawah pada musim kemarau

102

menghasilkan nilai NPCI dan PCR yang semakin rendah, nilai NPCO dan DRC
tetap dan nilai EPC, PC dan SRP semakin meningkat. Nilai NPCI sebesar 1,06
merupakan nilai yang masih di atas satu, berarti petani masih membayar input 6 %
lebih mahal dari seharusnya yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan
pestisida. Nilai PCR yang semakin menurun berarti usahatani padi pada musim
kemarau semakin memiliki keunggulan kompetitif. Namun berdasarkan dampak
gabungan policy tranfers dari input dan output tradabel menghasilkan nilai EPC
1,44. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan dihilangkannya subsidi pupuk urea,
SP-36, ZA, dan NPK Phonska menjadi 0 %, baik petani maupun sistem komoditas
di Kabupaten Tabanan masih menerima proteksi sebesar 44 %. Sedangkan nilai
PC sebesar 1,87 menunjukkan bahwa terdapat keuntungan privat (finansial) yang
lebih besar, yaitu lebih dari 1,87 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Secara
keseluruhan dari transfer effects yang terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah
dan distorsi pasar yang ada masih memberikan subsidi dibandingkan jika tidak
ada kebijakan pemerintah (nilai SRP = 0,19). Demikian pula pada sistim usahatani
padi sawah di musim hujan, menghilangkan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan
NPK Phonska menjadi 0 %, menyebabkan nilai NPCI meningkat menjadi 1,05.
Pada kondisi ini petani masih membayar input 5 % lebih mahal dari seharusnya
yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan pestisida. Nilai PCR juga
meningkat menjadi 0,70 namun nilai masih di bawah satu. Itu berarti usahatani
padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan masih memiliki keunggulan
kompetitif. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat dihilangkannya subsidi
pupuk menjadi 0 persen di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.10.

103

Tabel 6.10
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Subsidi 0 Persen
di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio

Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 13, 14 dan 16

Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27

Subsidi Pupuk
0 Persen
Musim
Musim
Kemarau
Hujan
1,41
1,22
1,06
1,05
0,69
0,70
0,76
0,92
1,44
1,24
1,87
4,59
0,19
0,26

Penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % akan meningkatkan nilai


PCR, DRC, EPC, PC dan SRP sedangkan nilai NPCO dan NPCI tetap, pada
usahatani padi sawah di musim kemarau. Itu berarti bahwa usahatani padi sawah
masih tetap memiliki daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan
ekonomis (keunggulan komparatif) karena nilai PCR dan DRC < 1. Namun
tingkat daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) dan ekonomis
(keunggulan komparatif) semakin melemah dibandingkan sebelumnya, karena
nilai PCR dan DRC usahatani padi sawah meningkat masing-masing menjadi 0,89
dan 0,92. Dengan perkataan lain penurunan produktivitas gabah sebesar 20 %
akan membuat usahatani padi sawah kehilangan daya saing pada nilai finansial
(keunggulan kompetitif) dan ekonomis (keunggulan komparatif). Sedangkan
usahatani padi sawah pada musim hujan, meningkatnya nilai PCR dan DRC selain
memperlemah daya saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif) juga
usahatani sudah tidak lagi memiliki daya saing pada nilai ekonomis (keunggulan

104

komparatif), karena nilai PCR dan DRC masing-masing berubah menjadi 0,89 dan
1,18. Penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % menghasilkan nilai EPC 1,26.
Itu berarti baik petani maupun sistem komoditas masih menerima proteksi sebesar
26 %. Menurunnya nilai PC sebesar hingga 0,80 (negatif) menunjukkan bahwa
keuntungan privat (finansial) menurun atau berkurang sebesar 0,80 kali lipat dari
keuntungan ekonomis. Namun secara keseluruhan dari transfer effects yang
terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang ada
memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani, karena petani masih
menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah
dimana nilai SRP meningkat menjadi 0,28. Hasil analisis sensitivitas usahatani
padi jika produktivitas turun sebesar 20 % di Kabupaten Tabanan disajikan pada
Tabel 6.11.
Tabel 6.11
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Jika Produktivitas Turun
Sebesar 20 Persen di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio

Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 2 dan 16.

Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27

Produktivitas Turun
20 Persen
Musim
Musim
Kemarau
Hujan
1,41
1,22
1,15
0,94
0,89
0,89
0,98
1,18
1,44
1,26
7,22
-0,80
0,13
0,28

Menguatnya nilai tukar rupiah (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00/US$


menyebabkan sistim usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan

105

bertambah baik. Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan tetap memiliki


keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif. Dari hasil analisis di atas
tampak bahwa tingkat proteksi efektif yang ditunjukkan dengan nilai EPC
semakin besar (EPC pada musim kemarau 1,55 dan EPC pada musim hujan 1,37).
Artinya dengan semakin menguatnya nilai tukar rupiah maka semakin besar
kemungkinan petani untuk memperoleh insentif (proteksi) pemerintah.
Nilai tukar juga mempengaruhi perubahan harga sosial output dan harga
sosial input. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya nilai NPCO, NPCI, PC dan
SRP usahatani padi sawah dengan menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar
Amerika (US$), Hasil analisis sensitivitas usahatani padi jika nilai tukar rupiah
menguat (apresiasi) menjadi Rp 8.500,00/US$ di Kabupaten Tabanan disajikan
pada Tabel 6.12.
Tabel 6.12
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Nilai Tukar Rp 8.500,00/US$
di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio

Musim
Musim
Kemarau
Hujan
NPCO
1,41
1,22
NPCI
1,15
0,94
PCR
0,70
0,69
DRC
0,76
0,92
EPC
1,43
1,25
PC
1,84
4,70
SRP
0,18
0,27
Sumber : Tabel 6.1 dan Lampiran 16.

Nilai Tukar
Rp 8.500,00/US$
Musim
Musim Hujan
Kemarau
1,52
1,33
1,20
1,00
0,70
0,69
0,77
0,92
1,55
1,37
2,02
5,28
0,22
0,30

106

6.10

Implikasi Penelitian
Penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga

menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun tetap 21,60 %,
laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
menguat atau berkisar Rp 8.500,00/US$ hingga Rp 9.250,00/US$ menyebabkan
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan baik pada musim kemarau maupun
musim hujan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif. Bahkan penurunan subsidi pupuk di atas, menyebabkan baik petani
maupun sistem komoditas masih menerima insentif (proteksi) dari pemerintah,
dan masih memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dari keuntungan
ekonomisnya.

107

BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini
diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut.
7.1
1.

Simpulan
Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan
kompetitif, karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masingmasing adalah 0,70 dan 0,69. Disamping itu usahatani padi sawah juga
memiliki keunggulan komparatif karena rasio sumberdaya domestik
(DRC) pada musim kemarau dan musim hujan adalah 0,76 dan 0,92.

2.

Tingkat keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim kemarau


di Kabupaten Tabanan sebesar Rp 5.625.704,23/ha dengan nilai PBCR =
1,40, sedangkan keuntungan finansial usahatani padi sawah pada musim
hujan sebesar Rp 5.802.663,42/ha dengan nilai PBCR = 1,39. Sedangkan
keuntungan ekonomi usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar
Rp 3.052.706,47/ha dan musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha, dengan
nilai SBCR masing-masing 1,28 dan 1,08.

3.

Dampak kebijakan subsidi pupuk pada usahatani padi sawah di Kabupaten


Tabanan adalah sebagai berikut:
a. Terjadi kebijakan pajak terhadap input tradabel usahatani padi sawah pada
musim kemarau, hal ini ditunjukkan dengan divergensi input tradable

108

sebesar Rp 167.907,63. Dari hasil analisis mendalam diketahui bahwa


pajak dari pemerintah tersebut diterima petani terhadap input tradabel
seperti pupuk ZA, NPK Phonska, pupuk organik dan pestisida. Sedangkan
input tradabel lainnya berupa benih, urea dan SP-36 diterima petani
sebagai subsidi. Sebaliknya divergensi input tradabel pada musim hujan
sebesar - Rp 88.217,63 (negatif), menunjukkan adanya kebijakan subsidi.
Hal ini berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan di
Kabupaten Tabanan menerima subsidi input. Subsidi input dari pemerintah
yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada musim hujan adalah
benih, pupuk Urea, dan SP-36.
b. Ternyata petani membayar komponen input tradable usahatani padi sawah
pada musim kemarau lebih mahal dari harga sosialnya sebesar 15 %,
sebaliknya pada musim hujan petani terproteksi dengan membayar 6 %
lebih murah dari harga sosialnya. Hal ini didasarkan pada nilai Nominal
Protection Coefficient on Input (NPCI) usaha tani padi sawah di musim
kemarau dan musim hujan masing-masing bernilai 1,15 dan 0,94.
c. Usahatani padi sawah baik musim kemarau maupun musim hujan samasama menerima insentif positif dari pemerintah. Besarnya insentif positif
(nilai tambah) dari usahatani padi pada musim kemarau adalah 143 % dari
nilai tambah pasar persaingan sempurna, sedangkan usahatani padi sawah
pada musim hujan sebesar 125 %. Hal ini didasarkan pada nilai EPC usaha
tani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masing-masing
bernilai 1,43 dan 1,25.

109

7.2
1.

Saran
Oleh karena penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska
hingga menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun
tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tetap Rp 9.250,00/US$ masih memberikan
insentif (proteksi) kepada petani dan sistem komoditas di Kabupaten
Tabanan maka kebijakan penurunan subsidi pupuk di atas masih relevan
dilaksanakan, apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
menguat hingga Rp 8.500,00/US$.

2.

Diperlukan adanya perbaikan teknologi budidaya padi sawah, penggunaan


benih bermutu, dan melaksanakan prinsip pengendalian hama terpadu.

Anda mungkin juga menyukai