BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya
hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan
sektor yang memegang peranan penting dalam kesejahteraan kehidupan penduduk
Indonesia. Peranan sektor pertanian memiliki kontribusi bagi pembentukan
Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15,3% pada tahun 2009 berdasarkan harga
berlaku. Kontribusi sektor pertanian masih relatif lebih besar dari pada sektorsektor lainnya, walaupun selama periode 2004 - 2009 pertumbuhannya sebesar
6.99 % dibandingkan dengan sektor lainnya terjadi penurunan (Lampiran 1).
Selanjutnya berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS)
tahun 2010, sektor pertanian menyumbang tenaga kerja sebanyak 42 juta orang
lebih dari jumlah penduduk 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan kerja
utama yang hampir mencapai 110 juta orang. Jika dilihat dari nilai absolutnya,
maka kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merupakan jumlah yang besar,
sehingga seharusnya dapat dianalogikan bahwa petani seharusnya menerima
pendapatan yang memadai untuk dapat hidup sejahtera. Namun pada
kenyataannya, apabila dilihat melalui peta kemiskinan di Indonesia, kiranya dapat
dipastikan bahwa bagian terbesar penduduk yang miskin adalah yang bekerja di
sektor pertanian (Tambunan, 2003 : 23-24). Hal ini menyebabkan bidang
pertanian harus dapat memacu diri untuk dapat meningkatkan produk
dari ketahanan nasional, dimana ketahanan nasional berkaitan erat dengan kualitas
sumber daya manusia.
Isu ketahanan pangan menjadi topik penting karena pangan merupakan
kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumber daya manusia dan
stabilitas sosial politik sebagai prasyarat untuk melaksanakan pembangunan.
(Ilham, dkk, 2006). Ketahanan pangan ini menjadi semakin penting karena pangan
bukan hanya merupakan kebutuhan dasar (basic need) tetapi juga merupakan hak
dasar (basic right) bagi setiap umat manusia yang wajib dipenuhi. Oleh karena
pangan merupakan hak dasar itulah, maka negara berkewajiban untuk memastikan
bahwa setiap individu warga negara telah mendapatkan haknya atas pangan
(Hariyadi, dkk, 2009 : 1).
Program peningkatan ketahanan pangan diarahkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan pangan masyarakat di dalam negeri dari produksi pangan nasional.
Ketahanan pangan bagi suatu negara merupakan hal yang sangat penting, terutama
bagi negara yang mempunyai jumlah penduduk sangat banyak seperti Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 220 juta jiwa pada tahun 2020
dan diproyeksikan 270 juta jiwa pada tahun 2025 (Hanafie, 2010 : 272).
Sebagian besar petani padi merupakan masyarakat miskin atau
berpendapatan rendah, rata-rata pendapatan rumah tangga petani masih rendah,
yakni hanya sekitar 30% dari total pendapatan keluarga (Mardianto, 2001). Selain
berhadapan dengan rendahnya pendapatan yang diterima petani, sektor pertanian
juga dihadapkan pada penurunan produksi dan produktivitas hasil pertanian. Hal
ini berkaitan erat dengan sulitnya produktivitas padi di lahan-lahan sawah irigasi
pembangunan
pertanian.
Pertama
pembangunan
pertanian
bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Secara makro pembangunan pertanian dituangkan pada visi pembangunan
pertanian 2025 yang pertama kali dicanangkan pada era pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Pada
seminar dan lokakarya nasional 12 Maret 2005 tentang Arah kebijakan
pembangunan pertanian nasional pada kabinet Indonesia bersatu, Menteri
Pertanian kala itu dijabat oleh Anton Apriyantono, menyampaikan pidato yang
menyatakan bahwa, pembangunan pertanian masih dihadapkan kepada sejumlah
kendala dan masalah yang harus dipecahkan, antara lain : (1) Keterbatasan dan
penurunan kapasitas sumberdaya pertanian, (2) Sistem alih teknologi yang masih
lemah dan kurang tepat sasaran, (3) Keterbatasan akses terhadap layanan usaha,
terutama permodalan, (4) Rantai tata niaga yang panjang dan sistem pemasaran
yang belum adil, (5) Kualitas, mentalis, keterampilan sumberdaya petani rendah,
(6) Kelembagaan dan posisi tawar petani rendah, (7) Lemahnya koordinasi antar
lembaga terkait dan birokrasi, dan (8) Kebijakan makro ekonomi yang belum
berpihak kepada petani.
Sehingga memperhatikan permasalahan tersebut, maka visi pembangunan
pertanian sampai tahun 2025 adalah: Terwujudnya sistem pertanian industrial
berkelanjutan yang berdayasaing dan mampu menjamin ketahanan pangan
dan kesejahteraan petani. Secara lebih spesifik sasaran jangka panjang yang
perlu ditempuh adalah: (1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang
berdayasaing; (2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri; (3) Terciptanya
kesempatan kerja penuh bagi masyarakat pertanian; dan (4) Hapusnya masyarakat
petani miskin dan meningkatnya pendapatan petani.
Sedangkan target utama Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 yaitu:
(1) Pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) Peningkatan
diversifikasi pangan, (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4)
Peningkatan kesejahteraan petani (Restra Kementerian Pertanian 2010-2014).
Implementasi dari pelaksanaan visi tersebut dituangkan dalam Program
Ketahanan Pangan Nasional 2005-2009 yaitu : Program Peningkatan
Ketahanan Pangan, Program Peningkatan Kesejahteraan Petani, dan
Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik. Selanjutnya program tahap
ke-2 yang dilaksanakan oleh Badan Ketahanan Pangan pada tahun 2010-2014
sesuai dengan visi dan misi, tugas pokok dan fungsinya serta memperhatikan
permasalahan dan potensi ketahanan pangan; adalah Program Peningkatan
Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat (www.bkp.deptan.go.id).
Sedangkan secara mikro atau teknis, pembangunan pertanian dituangkan
dalam bentuk kebijakan yang dilahirkan oleh Badan Penelitian Teknologi
Pertanian (BPTP). Untuk meningkatkan produksi padi nasional, Badan Litbang
Pertanian telah mengembangkan model Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
padi sawah pada tahun 1999 hingga 2002 di 26 propinsi melalui Program
Peningkatan Produktivitas Padi Terpadu (P3T) (www.agrina-online.com). Hal ini
didasari oleh pendekatan agribisnis yang terkait erat dengan pembangunan
wilayah pedesaan dengan menggunakan sumber daya lokal dan budaya lokal.
Program P3T pada dasarnya mencakup empat kegiatan pokok, yaitu: (1)
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), (2) Sistem Integrasi Padi-Ternak (SIPT),
(3) Penguatan kelembagaan tani melalui penguatan Kelompok Usaha Agribisnis
Terpadu (KUAT), dan (4) Pelayanan jasa keuangan model Kredit Usaha Mandiri
(KUM) (Sugiarto dan Hendiarto, 2003). Tujuan utama kegiatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) adalah: (1) Meningkatkan produktivitas padi minimal
0,5 ton/ha, (2) Memperbaiki struktur tanah dengan penggunaan pupuk organik, (3)
Meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi penggunaan input, (4)
Memperkuat kelembagaan tani, khususnya dalam aspek agribisnis dan (5)
Mempercepat diseminasi teknologi inovatif (Mashur, dkk, 2002).
Pelaksanaan masing-masing komponen PTT, SIPT, KUAT, dan KUM
bersifat spesifik lokasi, yakni berdasar permasalahan di lokasi dimana komponen
tersebut diterapkan. Program ini merupakan program baru di bidang pertanian dan
dicanangkan secara simultan (berlanjut) dengan memberi dana kepada petani
secara bergilir untuk melaksanakan komponen kegiatan proyek.
Di Provinsi Bali khususnya, program P3T dilaporkan dapat meningkatkan
produktivitas padi. Menurut data Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Distan)
Provinsi Bali, menunjukkan bahwa luas tanam dan panen padi cukup fluktuatif
dan cenderung agak menurun sangat tergantung dari ketersediaan irigasi dan juga
lahan. Dalam rangka mengantisipasi penurunan produksi sebagai akibat
penurunan luas tanam dan panen maka upaya-upaya peningkatan produktivitas
(produksi per satuan luas) terus diintensifkan pelaksanaannya melalui peningkatan
mutu intensifikasi yang didukung dengan adanya kebijakan subsidi, proteksi dan
2005
2006
2007
2008
2009
152,887
142,356
55.28
786,961
145,795
150,557
55.85
840,891
154,724
145,030
57.90
839,775
158,726
143,999
58.37
840,465
151,764
150,283
58.47
878,764
UREA
SP-36/Superphos
ZA
NPK
Tanaman Pangan
3,640,000
576,708
404,253
1,237,100
Hortikultura
516,146
48,967
164,860
179,456
Perkebunan
1,235,574
301,156
378,633
547,445
Peternakan
16,538
1,349
2,255
Perikanan Budidaya
191,742
71,820
Cadangan Budidaya
400,000
200,000
JUMLAH
6,000,000
1,000,000
950,000
2,200,000
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010
ORGANIK
591,500
83,874
200,781
2,687
31,158
910,000
Alokasi kebutuhan pupuk bersubsidi tahun 2010 menurut jenis dan jumlah
pupuk per bulan-nya untuk Provinsi Bali adalah :
Tabel 1.3
Alokasi Kebutuhan Pupuk Bersubsidi tahun 2010 menurut Jenis dan Jumlah
Pupuk per Bulan Provinsi Bali
No
1
2
3
4
5
Jenis Pupuk
Urea
SP-36/Superphos
ZA
NPK
Organik
Jumlah (Ton)
57,000
5,500
11,649
33,333
60,667
10
Tabel 1.4
Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi di Tingkat Kecamatan/Desa
Jenis Pupuk
UREA
ZA
SP-36
Superphos
NPK Phonska
NPK Pelangi
NPK Kujang
Organik
Harga
(Rp/kg)
1,200
1,050
1,550
1,250
1,750
1,830
1,586
500
(Rp/Zak)
60,000 @50 kg
52,500 @50 kg
77,500 @50 kg
62,500 @50 kg
87,500 @50 kg
91,500 @50 kg
79,300 @50 kg
25,000 @50 kg
atau 10,000 @20 kg
Catatan :
1. HET pupuk bersubsidi tersebut dalam kemasan 50 kg atau 20 kg, yang
dibeli petani, pekebun, peternak, pembudidaya ikan atau gudang di kios
pengecer resmi secara tunai.
2. Jenis pupuk NPK bersubsidi dimaksud terdiri dari : a) pupuk NPK
Phonska (15 :15 :15) yang diproduksi oleh PT Petrokimia Gresik ; b)
pupuk NPK Pelangi (20 :10 :10) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kaltim ;
c) pupuk NPK Kujang (30 :6 :8) yang diproduksi oleh PT Pupuk Kujang.
3. Untuk alokasi kebutuhan pupuk SP-36 dapat dipenuhi dengan pupuk
Superphos sampai dengan bulan Maret 2010 yang telah ditetapkan dalam
Permentan No. 22/Permentan/SR. 130/2/2010 tentang Perubahan
Permentan No. 50/Permentan/SR. 130/11/2009.
Berdasarkan data tersebut menggambarkan bahwa pemerintah melakukan
pemberian subsidi input dan dukungan harga bagi petani, yaitu subsidi yang
menitikberatkan pada sarana produksi, seperti pupuk, benih, maupun alat dan
mesin pertanian (input).
Kabupaten Tabanan, yang terletak di Provinsi Bali merupakan kabupaten
yang memiliki luas tanaman padi paling luas di Bali, dimana luas sawah di
Kabupaten Tabanan 22.465 hektare dari total 81.482 hektare sawah di Bali, jika
ditinjau dari produksi padi di daerah Tabanan tahun 2009 Kabupaten Tabanan
11
dapat menghasilkan gabah 242 ribu ton per tahun, dimana tiap hektare sawah
menghasilkan 5,98 ton gabah kering.(Bali Dalam Angka, 2010). Sampai saat ini
Tabanan menjadi penyumbang produksi padi tertinggi di Bali. Hal ini sesuai
dengan julukan kabupaten Tabanan sebagai lumbung beras di Bali. Kabupaten
Tabanan terdiri atas 10 kecamatan, dan salah satu kecamatan dengan luas tanam
dan luas panen terbesar adalah kecamatan Penebel yaitu berturut-turut 8.788 ha
dan 8.569, dengan produksi padi sawah sebesar 4.297.353,5 ton (Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Kabupaten Tabanan, 2008).
Seperti halnya penggunaan benih berkualitas, orientasi petani pangan
adalah minimalisasi biaya produksi, belum ke arah maksilisasi keuntungan.
Disamping itu, teknologi pemupukan petani masih relatif rendah akibat
terbatasnya kemampuan permodalan petani atau tidak tersedianya pupuk pada saat
dibutuhkan petani. Oleh karena itu, pemberian subsidi pupuk yang diberikan
pemerintah untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani menjadi
hal yang prioritas bagi ketahanan pangan Indonesia.
Hasil penelitian Kasiyati (2004) mengindikasikan bahwa kebijakan subsidi
pupuk dapat meningkatkan pendapatan petani di Jawa Tengah. Ini berarti bahwa
kebijakan subsidi pupuk diduga dapat berdampak signifikan terhadap peningkatan
pendapatan petani didaerah lainnya juga, khususnya Tabanan.
Berdasarkan posisi yang strategis tersebut, usahatani padi seyogyanya
diusahakan dengan baik serta memiliki unggulan kompetitif dan dapat
meningkatkan keuntungan. Keadaan yang demikian akan menguntungkan bagi
ketahanan pangan, ekonomi nasional, bahkan stabilitas nasional. Dengan
12
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dikemukan bahwa akibat
dari adanya subsidi pupuk pada usahatani padi di Bali akan menimbulkan
berbagai dampak. Oleh karenanya permasalahan yang dihadapi sebagai berikut.
1. Apakah usahatani padi sawah masih merupakan usahatani yang memiliki
keunggulan kompetitif pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten
Tabanan.
2. Berapakah tingkat keuntungan usahatani padi sawah sebagai dampak dari
subsidi pupuk pada dua musim tanam yang berbeda di Kabupaten Tabanan.
1.3
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan dari
13
1.4
Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat yang ingin didapatkan
14
1.5
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
disusun dengan baik dan konsisten dalam rangka menghasilkan pemikiranpemikiran yang jelas. Pemahaman tentang kerangka analisis kebijakan sangat
diperlukan oleh para pembuat kebijakan sebagai konskwensi logis dari kebijakan
yang ada. Sebuah framework dirancang sedemikian rupa agar mampu menelaah
berbagai hubungan yang terjadi dalam sebuah sistem perekonomian, misalnya
mengapa aktivitas yang dilakukan oleh satu kelompok masyarakat mempengaruhi
kelompok lainnya. Masalah pertanian berhubungan dengan masalah produksi dan
konsumsi dari berbagai komoditas, sebagai hasil dari sebuah usaha tani atau
usaha peternakan.Sebuah kebijakan adalah sebuah intervensi pemerintah,
dimaksudkan untuk merubah prilaku produsen dan konsumen. Analisis
merupakan evaluasi dari berbagai keputusan pemerintah yang merubah
perekonomian. Oleh karena itu, sebuah framework analisis kebijakan pertanian
dapat diartikan sebagai sebuah sistem untuk menganalisis kebijakan publik yang
mempengaruhi produsen, pedagang, dan konsumen dari berbagai produk
pertanian (Pearson, dkk., 2005)
Komponen utama dari framework kebijakan pertanian yang dibahas ada
empat yaitu tujuan (objectives), kendala (constraints), kebijakan (policies), dan
strategi (strategies). Objektives merupakan tujuan yang diharapkan akan dicapai
oleh sebuah kebijakan ekonomi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan.
16
Contraints adalahsuatu keadaan (ekonomi) yang membuat apa yang bisa dicapai
menjadi terbatas. Kebijakan terdiri atas berbagai instrument yang bisa digunakan
pemerintah untuk merubah outcome perekonomian. Sebuah kebijakan yang
efektif akan merubah prilaku produsen, pedagang, dan konsumen, serta
menciptakan outcome baru dari sebuah perekonomian. Strategies adalah
seperangkat instrument kebijakan yang digunakan oleh pemerintah untuk
mencapai objectives yang telah ditetapkan.Setiap strategi dilaksanakan melalui
penerapan berbagai kebijakan yang terkoordinasi dengan baik.
Kerangka kebijakan digambarkan seperti sebuah alur lingkar (mengikuti
arah jarum jam) dari sejumlah hubungan kausal dari keempat komponen tersebut
di atas. Strategi para pengambil kebijakan terdiri atas seperangkat kebijakan yang
dimaksudkan untuk meningkatkan outcome ekonomi, sebagaimana yang telah
ditetapkan oleh para pengambil keputusan atau pengambil kebijakan (Gambar 1).
Strategi
Terdiri atas
Dilaksanakan
melalui
Evaluasi
Tujuan
Kebijakan
Mendukung atau
menghambat
Kendala
Gambar 2.1. Grafik alur kerangka kerja (framework) kebijakan (Pearson et al, 2003)
17
melakukan
penyesuaian
strategi
yang
telah
ditetapkan
bila
18
Menurut Pearson dan Gotsch (2003) trade-offs akan terjadi ketika salah satu
tujuan bisa dicapai dengan mengorbankan tujuan lainnya yaitu mencapai tujuan
yang satu, tetapi mengorbankan tujuan lainnya. Apabila terjadi trade-offs, maka
pembuat kebijakan harus memberikan bobot atas setiap tujuan yang saling
bertentangan itu, dengan mnentukan beberapa manfaat yang bisa diraih dari suatu
tujuan dibandingkan dengan kerugian yang diderita oleh tujuan lainnya dan
umumnya trade-offs selalu saja terjadi.
2.1.2 Kendala-kendala yang Membatasi Kebijakan Pertanian
Kendala-kendala yang membatasi gerak sebuah kebijakan adalah
penawaran, permintaan, dan harga dunia. Penawaran (produksi nasional) dibatasi
oleh ketersediaan sumber daya (lahan, tenaga kerja dan modal), teknologi, harga
input, dan kemampuan manajemen. Parameter ini merupakan komponen dari
fungsi produksi sehingga membatasi kemampuan perekonomian dalam
menghasilkan komoditas pertanian. Permintaan (konsumsi nasional) dibatasi atau
dipengaruhi oleh jumlah penduduk, pendapatan, selera, dan harga output.
Parameter ini merupakan komponen dari fungsi permintaan sehingga
mempengaruhi kemampuan perekonomian dalam mengkonsumsi produk-produk
pertanian. Selanjutnya harga dunia, untuk komoditas yang diperdagangkan secara
internasional baik input maupun output, menentukan dan membatasi peluang
untuk mengimpor dalam rangka meningkatkan supplay domestic dan
mengeksport dalam rangka memperluas pasar bagi produk domestik. Ketiga
parameter ekonomi ini menentukan pasar bagi sebuah komoditas pertanian dan
merupakan kekuatan utama dalam mempengaruhi terbentuknya harga serta
19
yang
mempengaruhi
sektor
pertanian
dapat
digolongkan pada tiga katagori yaitu kebijakan harga, kebijakan makro ekonomi,
dan kebijakan investasi publik. Kebijakan harga komoditas pertanian merupakan
kebijakan yang bersifat spesifik komoditas. Setiap instrumen kebijakan harga
pertanian akan menimbulkan transfer dari produsen kepada konsumen terhadap
komoditas bersangkutan maupun anggaran pemerintah atau sebaliknya.
Kebijakan harga juga mempengaruhi input pertanian.
Produsen dan konsumen komoditas pertanian sangat dipengaruhi oleh
kebijakan makro ekonomi meskipun seringkali mereka tidak terlibat dalam proses
pembuatan kebijakan yang bersifat nasional ini. Kebijakan makro ekonomi
mencakup seluruh wilayah dalam satu negara, sehingga kebijakan ini
mempengaruhi seluruh komoditas.
Katagori ketiga dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi sektor
pertanian adalah investasi publik dalam bentuk barang-barang modal pada
infrastruktur, sumberdaya manusia, serta penelitian dan teknologi. Kebijakan
investasi publik ini mengalokasikan pengeluaran investasi (modal) yang
bersumber dari anggaran belanja negara. Kebijakan ini
bisa mempengaruhi
20
berbeda karena dampak tersebut bersifat spesifik pada wilayah dimana investasi
itu terjadi (Pearson dkk.,2005).
2.2
Kebijakan Subsidi
Campur tangan pemerintah diperlukan untuk mempengaruhi keputusan
21
22
pendapatan
petani
meningkat.
Kedua
hal
tersebut
akan
yang tangguh dan efisien memerlukan kebijakan yang berkaitan langsung dengan
pertumbuhan, stabilitas, dan pemerataan pembangunan ekonomi. Salah satu cara
untuk menciptakan pertanian yang tangguh adalah melalui peningkatan produksi
pertanian yang berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang dapat meningkatkan
produksi pertanian adalah melalui penerapan teknologi usahatani yaitu berupa
penggunaan pupuk sebagai salah satu input produksi. Teknologi pertanian yang
dimaksud adalah teknologi modern. Tanpa penggunaan teknologi modern maka
hasil panen tidak akan sebesar yang diharapkan (Ratna, 2000).
Dalam rangka mencapai tujuan ini, pemerintah selalu berupaya
mendorong petani untuk memanfaatkan pupuk secara tepat waktu dan tepat dosis.
Konsekuensinya adalah pemerintah juga harus berupaya meningkatkan produksi
pupuk, sehingga tercapai pasokan yang cukup dan juga dengan harga yang dapat
dijangkau oleh petani.
23
Namun sebagai bahan pangan pokok seperti padi dan palawija, umumnya
mempunyai kurva permintaan yang inelastis, sehingga perubahan produksi akan
sangat berpengaruh pada perubahan harga bahan pangan tersebut. Besarnya
investasi yang dikeluarkan untuk memproduksi pupuk dalam jumlah besar
tentunya mempunyai konsekuensi terhadap harga pupuk, dimana pupuk harus
dijual dengan harga yang diperhitungkan dengan biaya produksi agar produsen
pupuk tidak merugi dan tetap dapat melangsungkan kegiatan usahanya.
Melihat keadaan tersebut di atas, maka pemerintah merasa perlu
menerapkan kebijakan pemberian subsidi penyediaan pupuk kepada produsen
pupuk agar dapat menurunkan biaya produksi. Sedangkan untuk menjaga agar
harga pupuk terjangkau oleh petani, maka pemerintah juga menetapkan HET
(celling price) terhadap harga jual pupuk. Selanjutnya menurut Monke dan
Pearson (1995 : 45) menyatakan bahwa subsidi input mempunyai relevansi
langsung hanya kepada produsen output. Sehubungan dengan petani, maka petani
dapat dianggap sebagai produsen padi dan pupuk merupakan input pertanian,
sehingga dengan demikian subsidi pupuk merupakan subsidi input kepada petani.
Dengan adanya subsidi input ini maka biaya produksi padi akan berkurang,
sehingga produksi meningkat. Namun tidak bisa dihindari hilangnya efisiensi
ekonomi karena uang untuk subsidi tersebut dialokasikan ke sektor-sektor lain
yang lebih produktif. Hilangnya efisiensi tersebut merupakan biaya ekonomi
yang harus ditanggung oleh kas pemerintah dan secara tidak langsung berarti
ditanggung oleh masyarakat banyak sebagai pembayar pajak kepada kas
pemerintah.
24
produsen
dapat
meningkatkan
keuntungannya
dengan
menambah
25
26
subsidi pemerintah kepada petani dihitung dari selisih antara Harga Eceran
Tertinggi (HET) dengan seluruh biaya yang terjadi mulai dari produksi sampai
dengan pupuk berada di Lini IV. Sedangkan subsidi harga gas dihitung dengan
melihat jumlah subsidi yang tersedia digunakan untuk menekan biaya gas di
masing-masing produsen, sedemikian rupa sehingga total biaya produksi
ditambah dengan marjin, biaya distribusi dari pabrik sampai dengan Lini IV
(termasuk PPN 10 persen), menghasilkan HET seperti yang telah ditetapkan
(Maulana, 2006).
Selama tahun 2001-2002, subsidi pupuk diberikan dalam bentuk insentif
gas domestik (IGD) sebagai bahan baku utama untuk produksi pupuk Urea. Di sisi
lain, peningkatan harga pupuk dunia memaksa pemerintah untuk mengendalikan
harga pupuk domestik dalam rangka membantu petani dan mencegah dampak
negatifnya terhadap kinerja sektor pertanian. Oleh karena itu, sejak tahun 2003
pemerintah meningkatkan dan memperluas subsidi, tidak saja subsidi gas untuk
Urea tetapi juga subsidi harga untuk pupuk lainnya (SP-36, ZA dan NPK). Namun
demikian, kebijakan subsidi pupuk tersebut mengandung kelemahan yang
membuat kebijakan tidak efektif menjamin HET, yang diindikasikan oleh : (a)
relatif lebih tingginya harga pupuk eceran di tingkat petani dibanding HET pupuk
yang berlaku, (b) volume penyaluran pupuk bersubsidi tidak dapat dipastikan, dan
(c) wilayah tanggung-jawab distribusi tidak dapat dipisah secara tegas (wilayah
tanggung-jawab pabrik pupuk didasarkan pada wilayah provinsi yang tidak
mungkin diisolir) (Rachman, 2009).
27
2.3
Keunggulan Kompetitif
Abad ke-21 atau disebut era milenium ketiga ini menunjukkan bahwa
tingkat persaingan di berbagai sektor semakin tajam sehingga setiap unit yang
ingin menang dalam persaingan tersebut harus memiliki keunggulan kompetitif
(competitive advantage) tertentu dibandingkan dengan pesaingnya (Mujiati, 2008).
Keunggulan kompetitif bisa dibentuk melalui berbagai cara, seperti
menciptakan produk dengan desain yang unik, penggunaan teknologi, desain
organisasi, dan utilisasi sumber daya manusia. Pengelolaan organisasi atau
perusahaan untuk membentuk keunggulan bersaing melalui cara-cara seperti itu
pada masa yang akan datang akan menjadi tema penting bagi manajemen. Hal itu
disebabkan oleh perubahan lingkungan ekonomi, politik, dan teknologi yang cepat
serta efek persaingan global, yang pada akhirnya bermuara pada perubahan
kebutuhan. Perubahan kebutuhan adalah perubahan terhadap kualitas produk,
desain produk, dan kualitas pelayanan. Konsep tentang keunggulan kompetitif
atau keunggulan bersaing merupakan salah satu fokus perhatian yang penting bagi
manajemen. Hal itu merupakan upaya untuk meletakkan organisasi atau
perusahaan pada posisi persaingan pasar yang lebih kuat melalui kompetensi
organisasi yang khas (distinctive competence) dibandingkan dengan kompetensi
yang dimiliki perusahaan-perusahaan pesaing.
Kemampuan bersaing organisasi melalui SDM berarti meletakkan peran
orang dalam perusahaan untuk selalu melakukan peningkatan kualitas dan inovasi,
baik terhadap proses, sistem, maupun produk. Melalui cara ini perusahaan atau
pihak manapun diharapkan mampu mempertahankan, meningkatkan market share,
28
pada
akhirnya
bertumpu
pada
dukungan
SDM.
Menurut
Benardin dan Russel (1993), ada dua prinsip untuk menciptakan keunggulan
kompetitif, yaitu nilai yang diterima oleh pasar serta keunikan-keunikan produk
dan jasa yang ditawarkan organisasi. Keunggulan kompetitif akan terbentuk bila
customers merasa memperoleh nilai tambah dari transaksi yang mereka lakukan
dengan organisasi.
Demikian pula dengan keunikan yang ditawarkan, keunggulan kompetitif
dapat dipertahankan melalui penciptaan barang dan jasa yang tidak mudah ditiru
oleh pesaing. Sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Dalam usahatani,
keunggulan kompetitif terjadi manakala dalam suatu luasan lahan yang sama
mampu dihasilkan produk yang menghasilkan pendapatan relatif tinggi. Sebagai
contoh bahwa padi ladang memiliki keunggulan kompetitif terhadap jagung dan
ubi kayu, tetapi tidak kompetitif terhadap ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Hal
ini salah satu penyebabnya karena faktor harga jual jagung yang relatif rendah,
sehingga walaupun produksinya lebih tinggi dibandingkan kacang tanah,
penerimaan dan keuntungannya tetap rendah (Hendayana, 2003). Keunggulan
kompetitif beranjak dari pandangan bahwa semua keunggulan, baik dalam bentuk
produk, teknologi, sistem, maupun proses bermuara pada kualitas SDM. Faktorfaktor yang inherent (terpadu) dalam pengertian keunggulan SDM, seperti
kompetensi, komitmen, kecerdasan intelektual, kepribadian, dan motivasi
merupakan human capital yang perlu dibangun terus-menerus kualitasnya, baik
29
adalah
keunggulan
yang
dimiliki
oleh
organisasi,
dimana
2.4
antara penerimaan (A) dengan biaya-biaya (B+C) dalam sistem pertanian atau PP
= D = (A B C). Dengan demikian keuntungan privat yang terdapat pada baris
pertama matrik dihitung berdasarkan penerimaan dan biaya sesungguhnya yang
diterima dan dibayarkan oleh petani, pedagang atau pengolah hasil dalam sistem
pertanian. Harga-harga yang terjadi adalah harga yang telah dipengaruhi oleh
kebijakan pemerintah dan kegagalan pasar. Keuntungan privat merupakan ukuran
daya saing dalam harga pasar aktual. Jika PP negatif (D < 0), artinya usaha itu
rugi dan dengan begitu dapat dipakai untuk estimasi apakah kegiatannya
dihentikan. Apabila sama dengan nul (D = 0) berarti usahatani tersebut
memperoleh keuntungan normal (normal profit). Apabila PP positif (D > 0)
menunjukkan keadaan yang lebih daripada tingkat pengembalian normal dan
dapat meningkatkan investasi di waktu yang akan datang. Suatu usaha layak
30
diteruskan jika selisih antara penerimaan dan seluruh biaya minimal sama dengan
nul (Astawa, 2006 : 18).
Penerimaan merupakan total penerimaan dari kegiatan usahatani yang
diterima pada akhir proses produksi. Penerimaan usahatani dapat pula diartikan
sebagai keuntungan material yang diperoleh seorang petani atau bentuk imbalan
jasa petani maupun keluarganya sebagai pengelola usahatani maupun akibat
pemakaian barang modal yang dimilikinya. Penerimaan usahatani dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan bersih usahatani dan penerimaan kotor
usahatani (gross income). Penerimaan usahatani dipengaruhi oleh produksi fisik
yang dihasilkan, dimana produksi fisik adalah hasil fisik yang diperoleh dalam
suatu proses produksi dalam kegiatan usahatani selama satu musim tanam.
Penerimaan usahatani akan meningkat jika produksi yang dihasilkan bertambah
dan sebaliknya akan menurun bila produksi yang dihasilkan berkurang.
Disamping itu, bertambah atau berkurangnya produksi juga dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan input pertanian (Soekartawi, dkk, 1986). Peningkatan
produksi dapat diperoleh dengan mengalokasikan input produksi secara tepat dan
berimbang. Hal ini berarti petani secara rasional melakukan usahatani dengan
tujuan meningkatkan produksi untuk memaksimumkan keuntungan. Keuntungan
maksimum diperoleh apabila produksi per satuan luas pengusahaan dapat optimal,
artinya mencapai produksi yang maksimal dengan menggunakan input produksi
secara tepat dan berimbang Oleh karena itu pengaruh pemakaian input produksi
terhadap pendapatan petani perlu diketahui sehingga petani dapat mengambil
31
sikap
untuk
mengurangi
atau
menambah
input
produksi
tersebut
32
2.5
33
ini dapat menunjukkan pengaruh individual maupun kolektif dari kebijakan harga
dan kebijakan faktor domestik. PAM juga memberikan baseline information yang
penting bagi Benefit-Cost Analysis untuk kegiatan investasi di bidang pertanian
(Pearson dkk., 2005)
Transfer kebijakan dapat dihitung dari baris ketiga matrik PAM yaitu
perbedaan antara lain yang diperoleh pada baris pertama dengan baris kedua. Nilai
ini menunjukkan besarnya kegagalan pasar dan insentif kebijakan pemerintah.
Jika kegagalan pasar dianggap tidak begitu berpengaruh, maka analisis tentang
pengaruh insentif kebijakan pemerintah dapat dilakukan. Beberapa analisis yang
dapat digunakan matriks PAM untuk melihat insentif pengaruh kebijakan
pemerintah adalah sebagai berikut.
1. NPCO (Nominal Protection Coefficient on Output) yaitu rasio yang
menunjukkan dampak dari insentif kebijakan pemerintah yang menyebabkan
terjadinya perbedaan nilai output yang diukur pada harga privat dan harga
sosial. NPCO = penerimaan privat dibagi penerimaan sosial, merupakan
indikator dari transfer output. Jika nilai NPCO lebih besar dari satu
(NPCO<1) berarti terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan harga
privat lebih besar dari harga pasaran dunia, dengan kata lain ada kebijakan
pemerintah yang menghambat masuknya barang impor.
2. NPCI (Normal Protection Coefficient on Input ) merupakan rasio dari biaya
input yang dapat diperdagangkan pada harga social. Jika nilai NPCI lebih
dari satu (NPCI> 1) menunjukkan adanya proteksi terhadap produsen input,
sehingga sektor yang menggunakan input tersebut dirugikan karena tingginya
34
biaya produksi. Jika nilai NPCI kurang dari satu (NPCI<1) menunjukkan
terdapatnya hambatan eksport input atau subsidi input yang berarti
mendorong produsen di dalam negeri untuk menggunakan input tersebut.
3. EPC (Effective Protection Coefficient) yaitu rasio antara nilai privat output
dikurangi nilai privat input tradable (penerimaan privat biaya input tradable
privat) dengan nilai social output dikurangi dengan nilai social input tradable
(penerimaan sosial biaya input tradable sosial). Rasio ini merupakan
indicator untuk mengetahui apakah suatu sector produksi dilindungi atau
tidak dilindungi oleh kebijakan pemerintah. Jika nilai EPC >1 berarti
kebijakan pemerintah tidak menimbulkan hambatan untuk berproduksi, dan
jika EPC<1 berarti kebijakan pemerintah menimbulkan hambatan untuk
berproduksi.
4. PC (Profitability Coefficient) yaitu rasio antara keuntungan berdasarkan
harga privat dengan keuntungan berdasarkan harga social, PC = (penerimaan
privat
biaya
input
tradable
privat
biaya
faktor
domestic
35
36
pemakaian input dalam negeri. Apabila nilai dari dampak kebijakan input
(NPCI) < 1 berarti kebijakan pemerintah terhadap input berpihak kepada petani.
Sebaliknya jika nilai dari kebijakan output (NPCO) < 1 berarti kebijakan
pemerintah terhadap output tidak berpihak pada petani (Mira, 2007).
Sedangkan besarnya persentase dampak kebijakan pemerintah terhadap
input ditunjukkan oleh nilai NPRI sebesar {(NPCI 1) x 100%}. Pada komoditi
input yang non tradable dampak intervensi pemerintah berupa halangan
perdagangan tidak tampak karena input Non Tradable hanya diproduksi dan
dikonsumsi di dalam negeri. Intervensi pemerintah dilakukan dalam bentuk
kebijakan subsidi, baik subsidi positif maupun subsidi negatif (pajak). Akan
tetapi kebijakan ini akan mempengaruhi produsen dan konsumen, tidak seperti
kebijakan subsidi pada input yang Tradable.
2.5.1 Tujuan Analisis PAM (Policy Analysis Matrix)
Analisis PAM, secara umum mempunyai tiga tujuan. Tujuan pertama
adalah membantu pembuat keputusan atau pengambil kebijakan, baik di tingkat
pusat, maupun di tingkat daerah, selanjutnya mengkaji tiga isu utama analisis
kebijakan pertanian. Isu pertama berkaitan dengan pertanyaan, apakah sebuah
system usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang
ada?. Apakah petani, pedagang dan pengolah mendapat keuntungan pada tingkat
harga aktual?. Sebuah kebijakan akan merubah nilai output atau biaya input dan
dengan sendirinya keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan
sesudah kebijakan menunjukkan pengauh perubahan kebijakan atas daya sauing
pada tingkat harga actual. Isu kedua adalah dampak investasi public, dalam
37
pertanian dalam ketiga isu tersebut. Melalui sebuah tabel PAM untuk suatu
usahatani memungkinkan seseorang untuk menghitung tingkat keuntungan privat
atau ukuran daya saing usahatani pada tingkat harga actual atau harga pasar.
Tujuan kedua analisis PAM adalah menghitung tingkat keuntungan social
sebuah usahatani dihasilkan dengan menilai output dan biaya pada tingkat harga
efisiensi (social opportunity cost). Dengan melakukan hal yang sama untuk
berbagai system usahatani lainnya memungkinkan untuk membuat urutan tingkat
efisiensi dari beberapa usahatani. Perhitungan tingkat keuntungan sosial
38
ditempatkan pada baris kedua dari table PAM. Hasil perhitungan ini dapat
digunakan sebagai informasi dasar (baseline information) untuk perhitungan
analisis keuntungan social (social benefit analysis) pada tingkat harga efisiensi.
Tujuan ketiga dari analisis PAM adalah menghitung transfer effect,
sebagai dampak dari sebuah kebijakan. Dengan membandingkan pendapatan dan
biaya (untuk selanjutnya disebut budget), sebelum dan sesudah penerapan
kebijakan, selanjutnya dapat ditentukan dampak dari kebijakan tersebut.
Jadi tujuan dari analisis PAM adalah mengukur dampak kebijakan
pemerintah terhadap profitabilitas privat dan social, system pertanian dan
efisiensi terhadap sumber daya. Profitabilitas privat (privat profitability) dan
daya saing (competitiveness) mungkin menjadi penting dalam pikiran yang
peduli dengan pendapatan pertanian. Profitabilitas social dan efisiensi sering
ditekankan oleh para perencana ekonomi yang mengalokasikan sumber daya
antar sector dan pertumbuhan pendapatan agregat dalam perekonomian.
Pendekatan PAM sangat cocok untuk analisis empirik dari kebijakan harga
pertanian dan pendapatan usahatani, kebijakan investasi publik, efisiensi,
kebijakan riset pertanian dan perubahan teknologi (Monke dan Pearson, 1995;
dalam Suyatna dan Antara, 2004).
2.5.2 Identitas Matrik Dalam PAM
Policy Analysis Matrix mempunyai dua identitas yaitu identitas tingkat
keuntungan (profitability identity), dan identitas penyimpangan (divergences
identity).
39
40
Penerimaan
2
A
E
I
Biaya-biaya
Input Tradable
Faktor Domestik
3
4
B
C
F
G
J
K
Keuntungan
5
D
H
L
Keterangan:
Baris harga privat:
A = harga output x produksi; B = Biaya privat input tradable, C = Biaya privat input factor
domestic;
D = A (B + C) (keuntungan privat).
Baris harga social:
E = harga output social x produksi; F = biaya social input tradable; G = biaya social input factor
domestic; H = E (F + G) (keuntungan social)
Baris efek divergensi:
I = A E (output transfer); J = B F (input tradable transfer); K = C G (factor domestic
transfer); L = I (J + K) atau D - H (transfer bersih)
41
pemerintah
untuk
memperbaiki
kegagalan
pasar
sehingga
42
43
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIK DAN HIPOTESIS
3.1
44
dimaksudkan untuk membantu petani agar dapat memperoleh pupuk dengan harga
terjangkau
sehingga
proses
usahatani
dapat
berlangsung
secara
45
produksi
pertanian
dan
pendapatan
petani
akan
46
Subsidi pupuk
Harga pupuk
Sarana
Produksi
Harga
tersubsidi
Daya Saing
(Keunggulan
Kompetitif) dan
Tingkat
Keuntungan
Biaya
produksi
Produktivitas
3.2
Hipotesis
Berdasarkan tujuan penelitian ditetapkan hipotesis sebagai berikut.
1.
2.
47
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1
48
4.2
petani padi sawah yang terdapat di subak terluas pada masing-masing kecamatan
kabupaten Tabanan. Tabanan memiliki 10 kecamatan dengan masing-masing
subak terluasnya yang terlihat pada tabel 4.1
Tabel 4.1
Subak terluas pada masing-masing Kecamatan di Kabupaten Tabanan
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Selemadeg
Selemadeg Barat
Selemadeg Timur
Kerambitan
Tabanan
Kediri
Marga
Baturiti
Penebel
Pupuan
Subak
Lanyah Bajra I
Soko
Lanyah Delod Jalan
Meliling
Gubug II
Bengkel
Guama
Poyan
Jatiluwih
Yeh Saba
Luas Baku
(ha)
209
305
247
290
245
375
184
301
303
132
49
populasinya. Semakin besar dispersi atau variasi suatu populasi maka semakin
besar pula ukuran sampel yang diperlukan agar estimasi terhadap parameter
populasi dapat dilakukan dengan akurat dan presisi. Selanjutnya Riduwan (2006)
menyebutkan sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri
keadaan tertentu yang akan diteliti. Dalam penelitian ini pengambilan ukuran
sampel dengan menggunakan rumus:
N
n =
N.d2 + 1
Di mana:
N = ukuran populasi
n = sampel
d2 = = presisi yang ditetapkan
Pada penelitian ini tingkat ketelitian atau keyakinan yang dikehendaki adalah
90 % atau dengan tingkat presisi yang diharapkan 10 % atas dasar pertimbangan
bahwa untuk penelitian sosial tingkat kesalahan masih dapat ditolerir sampai dengan
10 %. Sehingga besarnya sampel yang diperoleh dari populasi sebanyak 4547 orang
adalah sebesar 98 orang. Jumlah sampel tersebut selanjutnya diambil secara
proportional random sampling. Sampel yang diambil pada masing-masing
kecamatan terdistribusi seperti Tabel 4.2
50
Tabel 4.2
Sebaran Sampel di Kabupaten Tabanan
Tahun 2010
No
Kecamatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Subak
Selemadeg
Lanyah Bajra I
Selemadeg Barat
Soko
Selemadeg Timur
Lanyah Delod Jalan
Kerambitan
Meliling
Tabanan
Gubug II
Kediri
Bengkel
Marga
Guama
Baturiti
Poyan
Penebel
Jatiluwih
Pupuan
Yeh Saba
Jumlah
Sumber: Data Primer (diolah)
4.3
Jumlah Petani*
Ukuran
(orang)
Sampel (orang)
210
4
400
9
450
10
993
21
300
7
849
18
200
4
500
11
395
9
250
5
4547
98
kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif adalah data yang diukur dengan
suatu alat ukur tertentu, yang diperlukan untuk keperluan analisis secara
kuantitatif yang berbentuk angka-angka seperti jumlah produksi, jumlah bibit,
jumlah pupuk, jumlah obat-obatan, biaya bibit, biaya pupuk, biaya tenaga kerja,
serta biaya lainnya. Sedangkan data kualitatif adalah jenis data yang tidak
berbentuk angka-angka, (data yang berbentuk kata, kalimat, skema dan gambar)
tetapi berupa penjelasan yang berhubungan dengan objek penelitian seperti
potensi padi sawah dan perkembangan produktivitas padi sawah.
Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder.
51
52
c. Dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data dengan mencari dokumendokumen atau segala sumber terkait dengan cara studi kepustakaan serta
pengambilan gambar berupa foto-foto.
4.4
Variabel Penelitian
Variabel penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer
4.
5.
6.
7.
8.
53
4.5
Harga faktor domestik adalah harga input non tradable yang dibayar oleh
petani padi sawah berdasarkan harga yang berlaku di pasar domestik.
54
4.6
55
proteksi efektif (EPC), profitabilitas (PC) dan subsidi kepada produsen (SRP).
Secara rinci Tabel PAM yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.3
Tabel 4.3
Uraian
Penerimaan
Harga privat
Harga sosial
Efek Divergensi
Keterangan:
1. Keuntungan privat
2. Keuntungan social
3. Out tranfer
4. Input transfer
5. Faktor transfer
6. Transfer bersih
4.6.1
Input Tradable
A
E
I
B
F
J
:
:
:
:
:
:
Input
Faktor Domestik
C
G
K
Keuntungan
D
H
L
D=ABC
H=EFG
I =AE
J =BF
K=C -G
L = D H atau L = I J K
Profitabilitas.
56
sistem komoditas memperoleh profit atas biaya normal dalam harga sosial dan
mempunyai keuntungan komparatif.
4.6.2
Kebijakan Pemerintah
1. Kebijakan Input
a. Transfer Input : IT = B F : Transfer input adalah selisih antara biaya
input yang dapat diperdagangkan pada harga privat dengan biaya yang
dapat diperdagangkan pada harga social. Jika nilai IT > 0, menunjukkan
transfer dari petani produksen kepada produsen input tradable.
b. Nominal Protection Coefficien on Input (NPCI) = B/F : yaitu indicator
yang menunjukkan tingkat proteksi pemerintah terhadap harga input
pertanian domestic. Kebijakan bersifat protektif terhadap input jika nilai
NPCI < 1, berarti ada kebijakan subsidi terhadap input tradable.
57
bersih
yang
benar-benar
diterima
produsen
dengan
58
4.6.4
Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas adalah suatu teknik analisis untuk menguji secara
sistematis apa yang terjadi pada kapasitas penerimaan suatu proyek apabila
terdapat kejadian-kejadian yang berbeda dengan perkiraan-perkiraan yang dibuat
di dalam perencanaan. Suatu analisis kepekaan dikerjakan dengan mengubah
suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur, kemudian menentukan
pengaruh dari perubahan tersebut pada hasil analisis. Ada beberapa kemungkinan
yang dapat terjadi di masa datang yang dapat merubah rasio-rasio PAM. Namun
kemungkinan tersebut sangat banyak maka analisis kepekaan dibatasi hanya
terhadap kemungkinan perubahan yang memiliki pengaruh yang besar terhadp
hasil analisis, khususnya pada usahatani padi sawah. Pada analisis ini diasumsikan
usahatani terjadi suatu kondisi yang tidak menguntungkan seperti berikut.
(1) Terjadi penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen. Penurunan
harga bayangan output ini didasarkan pada asumsi bahwa harga bayangan
output sangat berfluktuatif dan cepat berubah dalam periode tertentu.
(2) Subsidi pupuk Urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan menjadi 0
persen, yang dapat menyebabkan petani menerima harga pupuk dalam nilai
finansial sesuai dengan harga bayangannya. Asumsi ini didasarkan pada
pemikiran bahwa sejak Tahun 1994 subsidi pupuk mulai dihilangkan
utamanya terhadap pupuk KCl. Selanjutnya subsidi terhadap jenis pupuk
lainnya setiap tahun dilakukan pengurangan secara bertahap dan pada
akhirnya akan dihapus hingga 0 persen sehingga usaha pertanian diharapkan
dilakukan melalui pasar bersaingan sempurna.
59
(3) Ada
kecenderungan
bahwa
produktivitas
gabah
menurun
karena
60
untuk menutup biaya tetap. Impas terjadi bila contribution margin sama dengan
biaya tetap. Laba terjadi bila contribution margin melebihi biaya tetapnya, dan
terjadi rugi bila contribution margin lebih kecil daripada biaya tetap
(wordpress.com/2010/11/30/)
61
BAB V
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
5.1
62
Tabel 5.1
Rata-rata Curah Hujan Per Stasiun Pencatat di Kabupaten Tabanan Tahun 2010
Stasiun Pencatat
No
Bulan
Selemadeg
Kerambitan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Januari
364
322
Februari
314
455
Maret
273
352
April
149
177
Mei
222
303
Juni
2
49
Juli
98
104
Agustus
September
251
208
Oktober
179
175
November
87
126
Desember
341
289
Jumlah
2,280
2,560
Rata-rata
190
213.33
Sumber: BPS, Provinsi Bali, 2010
Kediri
Baturiti
Penebel
Pupuan
Selemadeg
Barat
Selemadeg
Timur
640
682
410
203
105
58
59
2,157
179.75
268
290
356
157
343
28
6
205
270
201
264
2,386
198.83
324
592
212
212
343
59
149
385
341
193
425
3,235
269.58
412
442
245
245
285
41
44
4
109
334
470
206
2,833
236.08
226
468
247
247
343
18
175
251
179
88
341
2,583
215.25
475
381
187
187
313
19
959
6
197
160
92
145
3,113
259.42
Luas Kabupaten Tabanan sebesar 839.33 Km2 atau 14,90 persen dari luas
Propinsi Bali (5.632,86 Km2). Bila dilihat dari penguasaan lahannya, dari luas
wilayah yang ada, sekitar 22,465 Km2 (26,77 %) wilayah Kabupaten Tabanan
merupakan lahan persawahan dan 61,468 Km2 (73,23 %) merupakan lahan bukan
sawah. Dari 73,23 persen lahan bukan sawah, 99,95 persen diantaranya
merupakan lahan kering yang sebagian besar berupa tegal, kebun dan hutan
negara, sisanya 0,05 persen adalah lahan lainnya seperti kolam, tambak dan rawa
(BPS, 2010). Secara administratif, kabupaten Tabanan terdiri dari 10 kecamatan,
113 desa, 729 banjar adat dan 333 desa adat (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Kecamatan-kecamatannya adalah:
Baturiti = 99,17 km
Kediri = 53,60 km
Kerambitan = 42,39 km
63
Marga = 44,79 km
Penebel = 141,98 Km
Pupuan = 179,02 km
Selemadeg = 57,51 km
Selemadeg Barat = 104,25 km
Selemadeg Timur = 65,22 km
Tabanan = 51,40 km
5.2
sejumlah 419.992 jiwa dengan laju pertumbuhan alaminya sebesar 0,29 persen per
tahun. Dari 419.992 jiwa, 208.427 (49,63 %) diantaranya merupakan penduduk
laki-laki dan 211.565 (50,37 %) merupakan penduduk perempuan. Kabupaten
Tabanan dengan luas wilayah sebesar 839 km2 dan jumlah penduduk sebanyak
419.992 jiwa, kepadatan penduduknya mencapai 502 jiwa per km2. Apabila dilihat
dari tingkat kepadatan penduduk per kecamatan, persebaran penduduk di
Kabupaten Tabanan tidak merata. Terdapat beberapa kecamatan yang tingkat
kepadatan penduduknya jauh di atsa rata-rata, antara lain Kecamatan Kediri
(1.265 jiwa per km2), Tabanan (1.229 jiwa per km2), Marga (965 jiwa per km2),
dan Kerambitan (928 jiwa per km2), sedangkan lainnya tingkat kepadatan
penduduknya 500 jiwa per km2 kebawah. Untuk jumlah anggota keluarga rumah
tangga perkeluarga rata-rata sebanyak 4 orang (BPS, Provinsi Bali, 2010).
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2009,
angkatan kerja di Kabupaten Tabanan sebanyak 261.534 jiwa. Dari angkatan kerja
yang ada 254.402 jiwa (97,27 %) diantaranya adalah penduduk yang bekerja dan
sisanya 7.132 (2,73 %) merupakan pengangguran terbuka. Penduduk angkatan
64
65
5.3
pangan di Propinsi Bali dan memiliki jumlah produksi tanaman pangan terbesar.
Tanaman pangan di Kabupaten Tabanan dikelompokkan ke dalam empat
kelompok yaitu padi, palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Luas garapan
petani berkisar antara 0,15 1,15 ha. Pola tanam yang biasa dilakukan petani di
lahan sawah adalah padi-padi-palawija. Umumnya padi ditanam pada bulan
66
67
BAB VI
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pemerintah
dapat
mengintervensi
sektor
pertanian
dalam
upaya
Asumsi Makro
Asumsi makro ekonomi yang digunakan adalah tingkat suku bunga
nominal (persen per tahun), tingkat suku bunga sosial (persen per tahun), dan nilai
tukar (Rp per US Dollar) yang disajikan pada Tabel 6.1.
68
69
Tabel 6.1
Asumsi Ekonomi Makro
Asumsi Ekonomi Makro
Jumlah
Benih
Penggunaan benih pada usahatani padi sawah, baik musim kemarau
70
benih padi yang dianjurkan adalah sebanyak 25 kg/ha (Dinas Pertanian Tanaman
Pangan. 2010). Sebagian besar varietas padi yang ditanam di Kabupaten Tabanan,
baik pada musim kemarau maupun musim hujan adalah Ciherang (92,10 %),
Cigelis (6,58 %), dan Imfari (1,32 %).
b.
Pupuk
Jenis pupuk yang digunakan pada usahatani padi sawah musim kemarau
dan musim hujan adalah Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan pupuk organik.
Petani di Kabupaten Tabanan menggunakan rata-rata dosis pupuk yang berbeda
pada kondisi musim tanam yang berbeda, di mana penggunaan dosis pupuk
cenderung lebih tinggi pada musim hujan dibandingkan musim kemarau.
Penggunaan dosis pupuk kedua musim tanam di atas selengkapnya disajikan
seperti berikut.
Tabel 6.2
Dosis Pupuk Urea, SP-36, ZA, NPK Phonska dan Pupuk Organik Usahatani Padi
Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
No.
Jenis Pupuk
Dosis (kg/ha)
Musim Kemarau
Musim Hujan
198,11
214,93
Pertumbuhan
(%)
8,49
1.
Urea
2.
SP-36
6,46
5,15
-20,28
3.
ZA
3,29
2,43
-26,14
4.
NPK Phonska
191,36
211,89
10,73
5.
Pupuk Organik
234,87
271,25
15,49
71
c.
tanaman
padi.
Hanya
sedikit
petani
yang
menerapkan
prinsip-prinsip
Selain itu petani juga menggunakan peralatan pertanian lain seperti cangkul, sabit,
dan alat semprot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata penggunaan
peralatan pertanian oleh petani, baik musim kemarau maupun musim hujan seperti
cangkul sebanyak 2 unit, sabit sebanyak 2 unit, dan alat semprot (hand sprayer)
sebanyak 1 unit. Rata-rata umur ekonomis peralatan pertanian yang digunakan
petani sekitar 5 tahun.
e.
Tenaga kerja
Dalam usahatani tenaga kerja yang digunakan sebagian besar berasal dari
keluarga petani sendiri yang terdiri atas ayah sebagai kepala keluarga, isteri dan
anak-anak itu sendiri. Anak-anak berumur 15 tahun misalnya sudah dapat
merupakan tenaga kerja produktif bagi usahatani. Mereka dapat membantu
mengatur pengairan, mengangkut bibit atau pupuk ke sawah atau membantu
penggarapan sawah. Tenaga kerja yang berasal dari keluarga petani itu merupakan
sumbangan keluarga pada produksi pertanian secara keseluruhan dan tidak pernah
dinilai dalam uang.
72
73
Tabel 6.3
Jumlah Penyerapan Tenaga Kerja menurut Jenis Kegiatan dan Masa Tanam
pada Usahatani Padi di Kabupaten Tabanan Tahun 2010
Kegiatan
1. Persiapan Lahan
2. Penanaman
3. Pemeliharaan Tanaman
3.1. Pengairan
3.2. Penyiangan
3.3. Pemupukan
3.4. Pengendalian Hama
4. Panen
5. Penjemuran
Total
Sumber : Data Primer, 2011.
f.
3,13
15,56
3,56
3,95
17,17
12,19
91,19
capital) yang digunakan oleh petani dalam usahatani padi baik pada musim
kemarau maupun musim hujan adalah modal kerja sendiri melalui lembaga kredit
formal yang ada di lokasi penelitian. Rata-rata tingkat suku bunga privat
(nominal interest rate) sebesar 21,60 % per tahun atau 7,20 % per musim tanam.
Berdasarkan hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepemilikan lahan yang
digunakan petani untuk usahatani padi adalah milik sendiri dan tidak menyewa,
namun dalam analisis usahatani, keluaran berupa pajak, aci-aci (biaya upacara di
sawah dan subak), iuran subak dan sewa lahan tetap diperhitungkan
(Mubyarto, 1995).
74
g.
Produksi
Pola tanam yang umum diterapkan di lahan sawah beririgasi semi-teknis di
6.3.1
Harga Privat
Ukuran nilai dari suatu barang-barang dan jasa-jasa adalah harga. Harga
75
kemarau
dan
musim
hujan
di
Kabupaten
Tabanan
sekitar
76
Penyusutan
alat-alat
pertanian
pada
musim
kemarau
sebesar
Rp
Harga Sosial
Harga sosial atau harga bayangan adalah harga dunia atau harga
internasional yang sesuai (harga CIF untuk komoditas yang diimpor dan harga
FOB untuk komoditas yang diekspor) untuk mengestimasi harga efisiensi, baik
77
untuk output maupun input yang tradabel. Menentukan harga dunia (output dan
input tradabel) yang komparabel dengan komoditas yang sedang dianalisis
merupakan hal yang paling rumit. Sebagian besar masalah terjadi akibat pemilihan
harga dunia (dalam US $) yang tidak tepat. Harga sosial harus ditentukan pada
waktu, bentuk/kualitas, dan lokasi yang sama. Proses memperoleh harga dunia
yang tepat akan senantiasa merupakan tantangan bagi keberhasilan analisis PAM.
Perhitungan harga paritas harus mempertimbangkan biaya pengiriman
barang dari pelabuhan ke pedagang besar terdekat (dari lokasi penelitian),
mengkonversi nilai barang dari barang olahan menjadi barang yang belum diolah.
Ini dilakukan kalau harga dunia yang diperoleh adalah harga barang olahan,
sedangkan komoditas yang diteliti adalah komoditas belum terolah. Biaya
penyimpanan juga perlu dipertimbangkan jika harga dunia yang diperoleh adalah
harga pada saat yang berbeda dengan harga pada saat komoditas yang diteliti itu
diperoleh.
Harga sosial benih padi baik pada musim kemarau maupun musim hujan
adalah harga aktual ditambah subsidi sebesar Rp. 400,00/kg. Oleh karena
Indonesia adalah negara net importir SP-36, ZA dan NPK serta net eksportir Urea,
maka harga sosial untuk SP-36, ZA, NPK dan beras adalah harga paritas impor,
sedangkan harga sosial Urea adalah harga paritas ekspor. Untuk harga sosial
pupuk organik, pestisida dan herbisida, bentuk cair maupun padat digunakan
harga privat aktual di lokasi penelitian, dikurangi tarif impor sebesar 10 persen
dan pajak pertambahan nilai 10 persen.
78
79
6.4
6.4.1
Budget Privat
Budget privat diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output fisik
per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga privat (Lampiran 2) per unit masingmasing komponen. Data budget privat usahatani padi pada musim kemarau dan
musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3.
Pada budget privat, total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi pada
musim hujan lebih besar dibandingkan musim kemarau, namun dengan
produktivitas dan harga gabah yang lebih tinggi menyebabkan keuntungan bersih
yang diperoleh pada musim hujan lebih besar daripada musim kemarau.
80
6.4.2
Budget Sosial
Untuk budget sosial diperoleh dengan mengalikan kuantitas input-output
fisik per hektar (Lampiran 1) dengan tabel harga sosial (Lampiran 4) per unit
masing-masing komponen. Data budget sosial usahatani padi pada musim
kemarau dan musim hujan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
Total biaya (tidak termasuk lahan) adalah penjumlahan biaya input
tradabel dan faktor domestik. Keuntungan bersih (termasuk lahan) adalah selisih
antara total penerimaan dengan total biaya (tidak termasuk lahan) dan Social
opportunity cost of land usahatani padi. Social opportunity cost of land usahatani
padi merupakan keuntungan sosial (tidak termasuk lahan) komoditas jagung
sebagai komoditas alternatif terbaik dari padi.
6.5
81
dimana tidak ada kegagalan pasar dan campur tangan atau kebijakan pemerintah.
Pada analisis keuntungan ekonomi, penerimaan dan biaya (input) didasarkan pada
tingkat harga sosial atau harga bayangan (shadow price), maka pajak dan subsidi
dianggap sebagai suatu pembayaran aliran sehingga tidak mempengaruhi arus
biaya dan penerimaan.
Suatu usahatani yang menguntungkan secara finansial belum tentu
menguntungkan secara ekonomi. Hal tersebut dimungkinkan, misalnya karena
terdapat subsidi pada input produksi sehingga keuntungan finansial akan
meningkat, namun keuntungan ekonomi tetap atau mengalami penurunan. Apabila
tidak disertai peningkatan produktivitas dan atau harga output, maka secara
ekonomi kebijakan subsidi tersebut tidak akan meningkatkan keuntungan
ekonomi.
6.5.1
sederhana adalah mengetahui nilai keuntungan. Suatu usaha akan terus dijalankan
apabila keuntungan yang diperoleh lebih besar dari nul atau telah mencapai
keuntungan normal. Indikator efisiensi yang lebih tepat adalah nilai efisiensi
ekonomi (sosial) daripada efisiensi finansial (privat). Efisiensi finansial atau
keuntungan finansial merupakan ukuran daya saing dalam harga pasar aktual. Dari
Tabel 6.4 menunjukkan bahwa keuntungan finansial usahatani padi sawah pada
musim kemarau sebesar Rp 5.625.704,23 per hektar, sedangkan keuntungan
finansial pada musim hujan sebesar Rp 5.802.663,42 per hektar atau terjadi
perbedaan keuntungan relatif tipis yakni sebesar 3,15%.
82
Tabel 6.4
Keuntungan Finansial Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau
Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Total penerimaan
Total biaya
Musim Kemarau
(Rp)
19.863.444,52
Musim Hujan
(Rp)
20.514.205,48
14.237.740,29
14.711.542,07
5.625.704,23
5.802.663,42
1,40
1,39
Keuntungan finansial
PBCR (private benefitcost ratio)
Sumber : Lampiran 2, 3 dan 4.
ekonomi merupakan analisis yang menilai suatu aktivitas ekonomi atas manfaat
bagi masyarakat secara keseluruhan tanpa melihat siapa yang memberi dan siapa
yang menerima manfaat dari aktivitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka
pada analisis keuntungan ekonomi tidak dibedakan antara keuntungan ditingkat
petani dan keuntungan ditingkat pedagang. Dengan demikian analisis keuntungan
83
ekonomi baik output maupun input yang digunakan berdasarkan harga sosial atau
harga bayangan (shadow price).
Berdasarkan tabel 6.5 menunjukkan bahwa keuntungan ekonomi (sosial)
usahatani padi sawah pada musim kemarau sebesar Rp 3.052.706,47/ha dan
musim hujan sebesar Rp 1.234.146,40/ha. Usahatani padi sawah pada musim
kemarau ternyata memberikan keuntungan ekonomi yang lebih tinggi daripada
usahatani padi sawah pada musim hujan. Data dan hasil analisis keuntungan
ekonomi usahatani padi sawah dapat dilihat pada Lampiran 2, 5 dan 6. Informasi
secara keseluruhan mendapatkan harga bayangan tercatat pada Lampiran 10, 11,
12, 13 dan 14.
Tabel 6.5
Keuntungan Ekonomi Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau
Dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Total penerimaan
Total biaya
Keuntungan ekonomi
SBCR (social benefitcost ratio)
Sumber : Lampiran 2, 5 dan 6.
Musim Kemarau
(Rp)
14.119.502,17
Musim Hujan
(Rp)
16.771.345,78
11.066.795,70
15.537.199,38
3.052.706,47
1.234.146,40
1,28
1,08
Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem usahatani padi sawah baik
pada musim kemarau maupun pada musim hujan layak secara ekonomi, karena
memberikan rasio R/C atau SBCR lebih besar dari 1.
Karena keuntungan finansial dan keuntungan ekonomi kedua usahatani
padi sawah adalah positif, maka usahatani padi sawah tersebut memiliki
84
6.6
antara biaya faktor domestik dengan nilai tambah output dari biaya input tradabel
pada harga privat (finansial). Nilai PCR merupakan ukuran daya saing atau
efisiensi pada nilai finansial atau keunggulan kompetitif. Rasio ini dapat
digunakan sebagai indikator untuk mencapai tujuan dari kegiatan usahatani yaitu
memperoleh keuntungan maksimum. Supaya diperoleh nilai keuntungan
maksimum maka petani selalu berusaha meminimumkan nilai PCR, misalnya
dengan meminimumkan pengeluaran biaya faktor domestik atau dengan cara
memaksimumkan nilai tambah, yaitu dengan cara meminimumkan input tradabel.
Itu berarti keunggulan kompetitif akan dicapai jika nilai PCR lebih kecil dari satu
(PCR < 1), sebaliknya tidak mempunyai keunggulan kompetitif jika PCR > 1.
Hasil analisis dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM)
menunjukkan bahwa usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan merupakan
sistem usahatani yang menguntungkan dan memiliki keunggulan kompetitif,
karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem usahatani padi sawah pada
musim kemarau dan musim hujan masing-masing adalah 0,70 dan 0,69. Itu berarti
usahatani padi sawah di atas bisa diusahakan, karena untuk menghasilkan satu
unit nilai tambah memerlukan biaya domestik yang lebih kecil dari satu unit.
Perhitungan nilai PCR selengkapnya seperti Tabel 6.6 berikut.
85
Tabel 6.6
Analisis PCR dan DRC Sistem Komoditas Padi Sawah Pada Musim Kemarau
dan Musim Hujan Di Kabupaten Tabanan
Penerimaan
Musim
Kemarau
Privat
Sosial
Divergensi
Musim
Hujan
Privat
Sosial
Divergensi
Biaya-biaya
Input
Faktor
Tradabel
Domestik
Keuntungan
PCR
DRC
19.863.444,52
14.119.502,17
5.743.042,35
1.325.602,16
1.157.694,53
167.907,63
12.912.138,13
9.909.101,17
3.003.036,96
5.625.704,23
3.052.706,47
2.572.997,76
0,70
0,76
20.514.205,48
16.771.345,78
3.742.859,70
1.498.361,21
1.586.578,84
-88.217,63
13.213.180,85
13.950.620,54
-737.439,69
5.802.663,42
1.234.146,40
4.568.517,01
0,69
0,92
domestik.
Sehingga
pada
kondisi
seperti
ini
akan
lebih
86
87
secara internasional. Dengan kata lain, faktor domestik digunakan secara efisien,
sehingga usahatani padi ini layak dan masih dimungkinkan untuk dikembangkan.
Berdasarkan hasil analisis PCR dan DRC pada semua usahatani padi
sawah di atas menunjukkan bahwa nilai PCR < 1 dan DRC < 1, dengan demikian
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan mempunyai keunggulan kompetitif
dan keunggulan komparatif. Selain itu juga diketahui bahwa nilai PCR pada
usahatani padi sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan
mempunyai nilai yang lebih rendah daripada nilai DRC-nya, atau PCR < DRC.
Keadaan ini memberi arti bahwa tanpa adanya kebijakan pemerintah, untuk
menghasilkan satu unit nilai tambah memerlukan faktor domestik yang lebih besar
dibandingkan dengan adanya kebijakan. Dengan kata lain masih diperlukan
kebijakan pemerintah untuk menunjang keunggulan komparatif. Kebijakan
pemerintah yang sesuai dengan ketentuan WTO antara lain berupa tarifikasi dan
akses pasar tanpa mengurangi perlindungan terhadap petani. Kebijakan
pemerintah mengenai tarif impor (spesifik) beras yang masih dilaksanakan hingga
saat ini adalah sebesar Rp 430,00/kilogram beras.
6.7
88
Menteri
Pertanian
telah
mengalami
beberapa
koreksi
89
Divergensi
Pada dasarnya, PAM dimaksudkan sebagai alat analisis kebijakan dan
yang
efisien
(market
failure)
yang
menyebabkan
harga
privat
90
(harga
pasar
aktual)
berbeda
dengan
harga
sosialnya
91
92
subsidi input. Subsidi input dari pemerintah yang diterima petani pada usahatani
padi sawah pada musim hujan adalah benih, pupuk Urea, dan SP-36.
Input faktor domestik adalah input produksi yang harganya ditentukan
oleh pasar domestik. Perbedaan harga finansial dan harga ekonomi tidak sematamata disebabkan oleh kebijakan pajak atau subsidi, tetapi juga adanya unsur
perbedaan penilaian pada faktor domestik. Penilaian upah tenaga kerja, biaya
modal (kapital) pada nilai finansial, penyusutan alat pertanian, aci-aci dan sewa
lahan tidak dimasukkan dalam perhitungan nilai ekonomi. Dari Tabel 6.6 dapat
diketahui bahwa divergensi faktor domestik pada usahatani padi sawah pada
musim kemarau sebesar Rp 3.003.036,96. Nilai divergensi faktor domestik yang
positif mencerminkan telah berkembangnya nilai sewa lahan di atas harga sosial
lahan (Social Opportunity Cost of Land) dari komoditas alternatif terbaik (the next
best alternative commodity), yaitu komoditas Jagung. Sebaliknya divergensi
faktor domestik pada usahatani padi sawah pada musim hujan menunjukkan nilai
negatif, sebesar Rp 737.439,69. Nilai divergensi faktor domestik yang negatif
menunjukkan adanya perbedaan penilaian yang lebih rendah pada harga finansial,
karena tidak berkembangnya sistem sewa lahan.
Divergensi tenaga kerja pada usahatani padi sawah baik pada musim
kemarau maupun musim hujan sama dengan nul, karena tidak ada perbedaan
biaya tenaga kerja privat (finansial) dan sosial (ekonomi). Sedangkan divergensi
pada biaya modal (kapital) timbul sebagai akibat dari biaya modal (tingkat bunga)
sosial lebih rendah dari tingkat bunga privatnya.
93
Tingkat proteksi
Analisis dampak kebijakan pemerintah dengan menggunakan metode
PAM, selain dapat dianalisis berdasarkan divergensi atas perbedaan harga privat
dengan harga sosialnya (transfer output, transfer input, transfer faktor dan transfer
94
bersih), juga dapat pula dilihat melalui rasio antara nilai pada baris pertama (harga
privat) dengan nilai pada baris kedua (harga sosial). Nilai rasio lebih sering
digunakan karena bisa digunakan untuk membandingkan berbagai sistem
usahatani dengan output yang berbeda.
Ada tujuh rasio yang digunakan untuk menduga distorsi kebijakan pada
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan. Rasio-rasio ini diperoleh dari nilainilai yang disajikan pada Lampiran 15 (Tabel PAM). Dua rasio telah disebutkan
di atas, yaitu PCR dan DRC untuk menilai keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif sistem komoditas, sedangkan yang berhubungan dengan tingkat
proteksi disajikan pada Tabel 6.7 berikut.
Tabel 6.7
Rasio PAM Usahatani Padi Sawah Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan
di Kabupaten Tabanan
No.
Rasio
1.
Nilai
Musim
Musim
Kemarau Hujan
1,41
1,22
1,15
1,43
1,84
0,18
0,94
1,25
4,70
0,27
95
dibanding harga paritas impor. Sedangkan nilai NPCO usahatani padi sawah pada
musim hujan adalah 1,22. Nilai ini menunjukkan bahwa petani menerima harga
output (privat) 22 % lebih tinggi dari harga paritas impor (harga dunia). Dapat
dikatakan bahwa petani di Kabupaten Tabanan dalam melakukan usahatani padi
sawah baik pada musim kemarau maupun musim hujan telah menikmati
proteksi/perlindungan output dari pemerintah.
Nilai NPCO yang lebih besar dari satu akan menghambat ekspor bahkan
padi (beras) sebagai komoditas yang diperdagangkan secara internasional
(komoditas impor) tanpa campur tangan pemerintah dapat menyebabkan arus
masuknya komoditas tersebut. Hal ini disebabkan harga beras di pasar
internasional yang lebih rendah daripada harga beras di dalam negeri, akan
menyebabkan tertekannya harga beras di dalam negeri. Untuk melindungi
produsen (petani) diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat membatasi atau
menghambat impor, misalnya dengan melakukan tarif impor beras. Menurut
Maksum (2000 dalam Rachman dkk., 2004) dalam tataniaga beras dan upaya
mengatasi semakin rendahnya harga beras di pasar dunia, maka instrumen bea
masuk impor dinilai sangat tepat guna merangsang petani berproduksi. Sejalan
dengan upaya melindungi petani padi domestik dari semakin terpuruknya harga
beras di pasar internasional, pemerintah memberlakukan tarif impor beras spesifik
sebesar Rp 430,00 per kg.
Sedangkan besarnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika pada
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan juga menyebabkan
perbedaan harga output, antara harga output finansial dengan harga output
96
97
Subsidi harga benih padi sebesar Rp 400,00 per kg atau sekitar 0,66 % dari
total biaya produksi, ternyata mampu menyumbang sekitar 22,32 % terhadap total
penerimaan sosial. Besarnya nilai NPCI usahatani padi sawah pada musim hujan
(0,94) lebih rendah daripada usahatani padi sawah pada musim kemarau (1,15),
hal ini menunjukkan bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan tersebut
menggunakan sedikit lebih banyak input tradabel yang mendapat subsidi dari
pemerintah, termasuk penggunaan pupuk urea dan SP-36.
6.7.2.3 Transfer Gabungan
Rasio yang digunakan untuk mengukur dampak gabungan policy tranfers
dari input dan output tradable disebut Effective Protection Coefficient (EPC). EPC
adalah rasio nilai tambah dalam nilai finansial dengan nilai tambah dalam nilai
ekonomi. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana seluruh kebijakan pemerintah
yang ada bersifat melindungi atau menghambat suatu sistem komoditas. Dengan
demikian besarnya proteksi efektif yang dinikmati petani sangat tergantung dari
kombinasi transfer output dan transfer input.
Pada Tabel 6.7 nilai EPC usahatani padi sawah pada musim kemarau dan
musim hujan di Kabupaten Tabanan masing-masing adalah 1,43 dan 1,25. Kedua
sistim usaha tani padi menunjukkan rasio lebih besar dari satu. Dengan kata lain,
nilai tambah privat lebih besar dari nilai tambah sosial, atau terdapat insentif
positif dari pemerintah pada sistem komoditas tersebut. Ini berarti petani padi
pada musim kemarau memperoleh nilai tambah sebesar 143 % dari nilai tambah
pasar persaingan sempurna. Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada
usahatani padi sawah pada musim kemarau tersebut dikarenakan walaupun petani
98
membayar input tradabel 15 % lebih mahal dari harga sosialnya, namun dari harga
output petani menerima harga sebesar 41 % lebih tinggi dari harga yang
seharusnya. Sedangkan nilai EPC usahatani padi sawah pada musim hujan lebih
besar dari satu, yaitu sebesar 1,25. Nilai ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan, baik petani maupun sistem komoditas di Kabupaten Tabanan
diproteksi sebesar 25 %. Itu berarti adanya kebijakan terhadap output dan input
secara keseluruhan menguntungkan petani dan sistem komoditas, karena nilai
tambah dalam nilai finansial lebih besar dari nilai tambah dalam nilai sosial.
Tingginya proteksi efektif yang diterima petani pada usahatani padi sawah pada
musim hujan tersebut dikarenakan selain petani membayar input tradabel 6 %
lebih murah dari harga sosialnya, juga petani menerima harga output (privat)
sebesar
22
lebih
tinggi
dari
harga
yang
seharusnya
99
sosial (ekonomis). Sedangkan nilai PC untuk usahatani padi sawah pada musim
hujan adalah 4,70. Itu berarti keuntungan finansial yang dicapai lebih besar, yaitu
lebih dari 4,70 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Berdasarkan nilai PC ini
dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan berbagai kebijakan pemerintah yang
diterapkan pada usahatani padi sawah (sistem komoditas beras) mengakibatkan
keuntungan (surplus) bertambah.
Subsidy Ratio to Producers (SRP) adalah ukuran dari gabungan seluruh
transfer effects yang terjadi. Ratio ini merupakan perbandingan antara nilai net
transfer dengan nilai output (penerimaan) yang dihitung pada tingkat harga dunia
(penerimaan sosial atau social revenue). Dengan demikian SRP menunjukkan
sejauh mana penerimaan (revenue) meningkat atau menurun karena terjadinya
transfer. Nilai SRP usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan
masing-masing adalah 0,18 dan 0,27. Artinya, divergensi antara keuntungan
finansial dan ekonomi pada usahatani padi sawah pada musim kemarau dan
musim hujan masing-masing sekitar 18 % dan 27 % dari pendapatan kotor (gross
profit). Besarnya transfer positif (positive transfers) di atas menunjukkan bahwa
secara umum kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan
dampak yang menguntungkan bagi petani padi sawah, karena petani padi sawah
menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah.
6.8
yaitu pada keuntungan ekonomi nul, ketika harga gabah internasional pada
100
usahatani padi sawah pada musim kemarau Rp 1.680,06/kg dan pada musim hujan
Rp 2.323,00/kg. Analisis titik impas selengkapnya seperti pada Tabel 6.8 berikut.
Tabel 6.8
Analisis Titik Impas Harga Ekonomi Usahatani Padi Sawah
Pada Musim Kemarau dan Musim Hujan di Kabupaten Tabanan
Uraian
Produksi (kg/ha)
Total biaya ekonomi (Rp/ha)
Harga ekonomi (Rp/kg)
Musim Kemarau
Musim Hujan
6.587,14
6.688,43
11.066.795,70
15.537.199,38
1.680,06
2.323.00
6.9
Analisis Sensitivitas
Berdasarkan analisis dapat diketahui bahwa penurunan harga bayangan output
101
Tabanan tetap memiliki daya saing pada nilai finansial dan ekonomis (PCR dan
DRC < 1), namun keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis)
melemah dibandingkan sebelumnya, karena nilai DRC meningkat menjadi 0,96.
Sementara itu penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen pada usahatani
padi sawah di musim hujan, akan meningkatkan nilai NPCO, DRC, EPC dan SRP,
sedangkan nilai NPCI dan PCR tetap, selanjutnya nilai PC menjadi negatif. Itu
berarti bahwa usahatani padi sawah pada musim hujan masih tetap memiliki daya
saing pada nilai finansial (keunggulan kompetitif), namun sudah tidak lagi
memiliki keunggulan komparatif (daya saing pada nilai ekonomis), karena nilai
DRC meningkat menjadi 1,16. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat
penurunan harga bayangan output sebesar 20 persen di Kabupaten Tabanan
disajikan pada Tabel 6.9.
Tabel 6.9
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Harga Bayangan Output
Turun 20 Persen di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio
Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 12 dan 16.
Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27
Jika subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska dihilangkan
menjadi 0 %, menyebabkan usahatani padi sawah pada musim kemarau
102
menghasilkan nilai NPCI dan PCR yang semakin rendah, nilai NPCO dan DRC
tetap dan nilai EPC, PC dan SRP semakin meningkat. Nilai NPCI sebesar 1,06
merupakan nilai yang masih di atas satu, berarti petani masih membayar input 6 %
lebih mahal dari seharusnya yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan
pestisida. Nilai PCR yang semakin menurun berarti usahatani padi pada musim
kemarau semakin memiliki keunggulan kompetitif. Namun berdasarkan dampak
gabungan policy tranfers dari input dan output tradabel menghasilkan nilai EPC
1,44. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan dihilangkannya subsidi pupuk urea,
SP-36, ZA, dan NPK Phonska menjadi 0 %, baik petani maupun sistem komoditas
di Kabupaten Tabanan masih menerima proteksi sebesar 44 %. Sedangkan nilai
PC sebesar 1,87 menunjukkan bahwa terdapat keuntungan privat (finansial) yang
lebih besar, yaitu lebih dari 1,87 kali lipat dari keuntungan ekonomis. Secara
keseluruhan dari transfer effects yang terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah
dan distorsi pasar yang ada masih memberikan subsidi dibandingkan jika tidak
ada kebijakan pemerintah (nilai SRP = 0,19). Demikian pula pada sistim usahatani
padi sawah di musim hujan, menghilangkan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan
NPK Phonska menjadi 0 %, menyebabkan nilai NPCI meningkat menjadi 1,05.
Pada kondisi ini petani masih membayar input 5 % lebih mahal dari seharusnya
yang disebabkan oleh benih, pupuk organik dan pestisida. Nilai PCR juga
meningkat menjadi 0,70 namun nilai masih di bawah satu. Itu berarti usahatani
padi sawah pada musim hujan di Kabupaten Tabanan masih memiliki keunggulan
kompetitif. Hasil analisis sensitivitas usahatani padi akibat dihilangkannya subsidi
pupuk menjadi 0 persen di Kabupaten Tabanan disajikan pada Tabel 6.10.
103
Tabel 6.10
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Pada Subsidi 0 Persen
di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio
Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 13, 14 dan 16
Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27
Subsidi Pupuk
0 Persen
Musim
Musim
Kemarau
Hujan
1,41
1,22
1,06
1,05
0,69
0,70
0,76
0,92
1,44
1,24
1,87
4,59
0,19
0,26
104
komparatif), karena nilai PCR dan DRC masing-masing berubah menjadi 0,89 dan
1,18. Penurunan produktivitas gabah sebesar 20 % menghasilkan nilai EPC 1,26.
Itu berarti baik petani maupun sistem komoditas masih menerima proteksi sebesar
26 %. Menurunnya nilai PC sebesar hingga 0,80 (negatif) menunjukkan bahwa
keuntungan privat (finansial) menurun atau berkurang sebesar 0,80 kali lipat dari
keuntungan ekonomis. Namun secara keseluruhan dari transfer effects yang
terjadi, maka dampak kebijakan pemerintah dan distorsi pasar yang ada
memberikan dampak yang menguntungkan bagi petani, karena petani masih
menerima subsidi positif dibandingkan jika tidak ada kebijakan pemerintah
dimana nilai SRP meningkat menjadi 0,28. Hasil analisis sensitivitas usahatani
padi jika produktivitas turun sebesar 20 % di Kabupaten Tabanan disajikan pada
Tabel 6.11.
Tabel 6.11
Analisis Sensitivitas Usahatani Padi Sawah Jika Produktivitas Turun
Sebesar 20 Persen di Kabupaten Tabanan.
Nilai Basis
Rasio
Musim
Kemarau
NPCO
1,41
NPCI
1,15
PCR
0,70
DRC
0,76
EPC
1,43
PC
1,84
SRP
0,18
Sumber : Lampiran 2 dan 16.
Musim
Hujan
1,22
0,94
0,69
0,92
1,25
4,70
0,27
Produktivitas Turun
20 Persen
Musim
Musim
Kemarau
Hujan
1,41
1,22
1,15
0,94
0,89
0,89
0,98
1,18
1,44
1,26
7,22
-0,80
0,13
0,28
105
Musim
Musim
Kemarau
Hujan
NPCO
1,41
1,22
NPCI
1,15
0,94
PCR
0,70
0,69
DRC
0,76
0,92
EPC
1,43
1,25
PC
1,84
4,70
SRP
0,18
0,27
Sumber : Tabel 6.1 dan Lampiran 16.
Nilai Tukar
Rp 8.500,00/US$
Musim
Musim Hujan
Kemarau
1,52
1,33
1,20
1,00
0,70
0,69
0,77
0,92
1,55
1,37
2,02
5,28
0,22
0,30
106
6.10
Implikasi Penelitian
Penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska hingga
menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun tetap 21,60 %,
laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
menguat atau berkisar Rp 8.500,00/US$ hingga Rp 9.250,00/US$ menyebabkan
usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan baik pada musim kemarau maupun
musim hujan masih tetap memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif. Bahkan penurunan subsidi pupuk di atas, menyebabkan baik petani
maupun sistem komoditas masih menerima insentif (proteksi) dari pemerintah,
dan masih memperoleh keuntungan privat yang lebih besar dari keuntungan
ekonomisnya.
107
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini
diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut.
7.1
1.
Simpulan
Usahatani padi sawah di Kabupaten Tabanan memiliki keunggulan
kompetitif, karena besarnya rasio biaya privat (PCR) untuk sistem
usahatani padi sawah pada musim kemarau dan musim hujan masingmasing adalah 0,70 dan 0,69. Disamping itu usahatani padi sawah juga
memiliki keunggulan komparatif karena rasio sumberdaya domestik
(DRC) pada musim kemarau dan musim hujan adalah 0,76 dan 0,92.
2.
3.
108
109
7.2
1.
Saran
Oleh karena penurunan subsidi pupuk urea, SP-36, ZA, dan NPK Phonska
hingga menjadi 0 % dengan asumsi tingkat suku bunga nominal per tahun
tetap 21,60 %, laju inflasi per tahun tetap 5,3 % dan nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika tetap Rp 9.250,00/US$ masih memberikan
insentif (proteksi) kepada petani dan sistem komoditas di Kabupaten
Tabanan maka kebijakan penurunan subsidi pupuk di atas masih relevan
dilaksanakan, apalagi jika nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika
menguat hingga Rp 8.500,00/US$.
2.