September 2014
ISSN : 2337-5310
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Terbit setiap Maret dan September
PENGELOLA JURNAL DENTINO
Pelindung :
Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)
(Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)
Pembina :
Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS
(Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd
(Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes
(Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penasehat :
Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS
(Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Ketua :
drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Sekretaris :
drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penyunting :
drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit
Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.
M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra
Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);
Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;
drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)
Administratif :
Hastin Atas Asih, AMKg
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
ISSN : 2337-5310
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
110-114
115-119
120-124
125-129
130-133
134-137
138-143
144-149
150-154
155-161
162-166
167-173
174-178
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
179-183
184-188
189-195
196-199
200-204
205-209
110
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PENDAHULUAN
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001, 60% penduduk Indonesia
menderita penyakit gigi dan mulut, dan salah
satunya adalah penyakit periodontal sebesar
87,84%.1 Menurut Riskesdas tahun 2007, penduduk
bermasalah gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan
Selatan 29,2% dan khusus untuk kota Banjarbaru
yang mengalami masalah gigi dan mulut sebesar
15,9%.2 Peningkatan prevalensi ini terjadi seiring
dengan meningkatnya usia dan gejala yang
dijumpai pada seluruh populasi, dan salah satu
kelompok yang rentan terhadap masalah ini adalah
kelompok wanita hamil. Kehamilan adalah suatu
proses alamiah, yang melibatkan perubahan
fisiologi, anatomi dan hormonal. Efek perubahan
hormonal pada wanita hamil akan mempengaruhi
hampir semua sistem organ, termasuk rongga
mulut.1,3
Beberapa studi menyatakan bahwa efek
perubahan hormonal akan mempengaruhi kesehatan
gigi dan mulut wanita hamil, 27-100% wanita
hamil mengalami gingivitis dan 10% mengalami
granuloma piogenik. Lesi mukosa oral lebih sering
terjadi pada wanita hamil daripada wanita yang
tidak hamil.4 Penelitian yang dilakukan Apriasari
dan Hasbullah. di poli kebidanan RSUD Banjarbaru
tahun 2012, melaporkan wanita hamil dengan
gingivitis gravidarum 30,2 % dan epulis
gravidarum 7,5 % dari 53 wanita hamil.5 Pada
penelitian Wirawan pada tahun 2012 di RSUD
Banjarbaru, dilaporkan prevalensi gingivitis pada
wanita hamil sebesar 40,5% dari total 42 wanita
hamil.6 Hal ini disebabkan karena perubahan
hormonal dan vaskular yang menyertai dengan
kehamilan akan memperberat respon gingiva
terhadap plak bakteri. Pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut akan mengurangi insidensi gingivitis
selama kehamilan.4,7 Menurut penelitian yang
dilakukan Santoso dkk. tahun 2009, penyakit
periodontal seperti gingivitis yang tidak dirawat
pada wanita hamil merupakan salah satu faktor
resiko bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
kurang bulan. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa responden dengan kebersihan mulut kurang,
mempunyai risiko 2,55 kali melahirkan bayi BBLR
kurang bulan dibandingkan dengan responden
dengan kebersihan mulut baik.8
Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil
di Iran tahun 2008 didapatkan hanya 5,6% sampel
yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi,
30% sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan
dan 34,4% sampel yang memiliki perilaku
kesehatan yang baik (3). Hasil penelitian Diana di
Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa hanya
sedikit (38%) wanita hamil yang mengetahui
hubungan antara kehamilan dengan kesehatan gigi
dan mulut. Selebihnya (43%) wanita hamil
menjawab tidak ada hubungan antara kehamilan
111
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114
112
Gambar 1.
Kategorisasi
Data
Variabel
Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut
Gambar 2.
113
DAFTAR PUSTAKA
1.
114
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114
115
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
116
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119
PENDAHULUAN
Jaringan periodontal adalah suatu jaringan
yang mengelilingi dan mendukung gigi. Struktur
jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen
periodontal, tulang alveolar dan sementum. Gingiva
adalah bagian mukosa rongga mulut yang menutupi
tulang alveolar dan berfungsi melindungi jaringan
di bawahnya. Gingiva normal memiliki warna
merah muda, konsistensi yang kenyal dan tekstur
stippling atau seperti kulit jeruk. Ligamen
periodontal adalah jaringan konektif yang
mengelilingi gigi dan mengikatnya ke tulang.
Ligamen periodontal berfungsi melindungi
pembuluh darah dan saraf, perlekatan gigi terhadap
tulang dan pertahanan benturan keras akibat
tekanan oklusal. Tulang alveolar adalah jaringan
keras yang tersusun dari lapisan-lapisan tulang
yang berfungsi sebagai penyangga gigi. Sementum
adalah bagian yang menyelimuti akar gigi, bersifat
keras, tidak memiliki pembuluh darah dan
berfungsi sebagai perlekatan ligamen periodontal.1,2
Gingivitis dan periodontitis merupakan
penyakit periodontal yang sering ditemui.
Gambaran klinis dari gingivitis atau inflamasi
gingiva yaitu gingiva berwarna merah sampai
kebiruan dengan pembesaran kontur gingiva karena
edema dan mudah berdarah jika diberikan stimulasi
seperti saat makan dan menyikat gigi.3 Periodontitis
adalah suatu infeksi campuran dari mikroorganisme
yang menyebabkan infeksi dan peradangan jaringan
pendukung gigi, biasanya menyebabkan kehilangan
tulang dan ligamen periodontal. 4
Plak dan akumulasi kalkulus serta bakteri
merupakan penyebab utama terjadinya penyakit
periodontal.
Faktor
predisposisi
penyakit
periodontal yaitu merokok, sering mengkonsumsi
alkohol, dan stres.5,6 Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa peradangan pada peridodontal
akan semakin parah jika kondisi oral hygiene
buruk, dan mempunyai riwayat penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus.7,8
Kebiasaan
merokok
menyebabkan
perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva akibat
panas yang dihasilkan oleh asap rokok. Perubahan
vaskularisasi akibat merokok menyebabkan dilatasi
pembuluh darah kapiler dan infiltrasi agen-agen
inflamasi sehingga dapat terjadi pembesaran pada
gingiva. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya
jumlah limfosit dan makrofag. Tar yang terkandung
dalam rokok dapat mengendap pada gigi dan
menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar,
sehingga mudah dilekati plak dan bakteri. Invasi
kronis bakteri plak di bawah margin gingival
117
Kondisi Klinis
Frekuensi
(orang)
Persentase
(%)
Normal
16
35,6
Gingivitis
27
60,0
Periodontitis
4,4
Jumlah
45
100
118
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119
Normal
Gingivitis
Periodontitis
Total
Usia
20-30
31-40
tahun
tahun
n
%
n
%
16 35.6 0
0
21 46.7 6 13.3
0
0
2 4.4
37 82.2 8 17.8
Total
N
16
27
2
45
%
35.6
60
4.4
100
PEMBAHASAN
Menurut Tomar dan Asma (2000) dan Eddie
Kasim (2001) hubungan antara merokok dengan
terjadinya penyakit periodontal tergantung pada
dosis dan selang waktu merokok. Perokok yang
merokok 9 batang per hari beresiko 3 kali lebih
besar untuk terjadinya penyakit periodontal di
banding yang bukan merokok. Pada perokok yang
merokok lebih dari 30 batang per hari beresiko 6
kali lebih besar dibanding bukan perokok, sehingga
dapat dikatakan efek negatif dari merokok terhadap
jaringan periodontal dipengaruhi jumlah rokok
yang dikonsumsi.15
Dalam penelitian ini yang mengalami
periodontitis terdapat pada kisaran usia 31 sampai
40 tahun yakni sebanyak 4,4% atau 2 orang. Hal ini
dapat dihubungkan dengan lama dan jumlah
merokok yang lebih besar.15 Berdasarkan hasil
anamnesa responden yang mengalami periodontitis
mengkonsumsi rokok lebih dari satu kotak per hari
atau kira-kira berkisar antara 16 hingga 20 batang
per hari dan merokok dalam jangka waktu lebih
dari 5 tahun.
Dalam jurnal Mullaly (2004) memuat
tentang penelitian yang dilakukan oleh Hujoel
menyatakan bahwa terjadinya kasus penyakit
periodontal akibat merokok di Amerika lebih sering
terjadi pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun.
Arowojolu dan Nwokorie menemukan prevalensi
terjadinya penyakit periodontal di Nigeria berupa
periodontitis adalah sebanyak 1,6% pada usia 34
tahun. Mullaly juga menyatakan pada kasus
inflamasi gingiva karena merokok selain karena
119
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Alamsyah
R.M.
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan
Hubungannya Dengan Status Penyakit
Periodontal di Kota Medan. Skripsi. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. 2007.
Mealey L.B and Ocampo L.G. Diabetes
Mellitus and Periodontal Disease. Journal
Compilation 2007; 44:127-153.
Pejcic A, Obradovic R, Kesic L and Kojovic
D. Smoking and Periodontal Disease: A
review. Medicine and Biology 2007. 14(2): 53
9.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
Kalimantan Selatan: Laporan Hasil Kesehatan
Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. 2007.
Eley B.M and Manson J.D. Periodontics.
USA: Philadelphia. 2004. p10-11,124-5.
Gondodiputo S. Bahaya Tembakau dan
Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
2007.
Curry C.M. Tobacco Use and Periodontal
Disease. JCCC Honours Journal 2010; 1: 4-6.
Kusuma A.R.P. Pengaruh Merokok Terhadap
Kesehatan Gigi dan Mulut. Jurnal Sultan
Agung Unissula 2010; (online), jilid 1, 1-6,
(http// www.unissula.ac.id, diakses 25
Februari 2013).
Kasim E. Merokok Sebagai Faktor Risiko
Terjadinya Penyakit periodontal. Skripsi.
Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut.
Jakarta: Fakultas Trisakti. 2001.
Mullaly BH. The Influence of Tobacco
Smoking on the Onset of Periodontitis in
Young Person. Divisi of Periodontics.
Queens University of Belfast. North Ireland.
2004.
Gunsolley. A Meta Analysis of Six Month
Studies of Antiplaque and Antigingivitis
Agent. American Dental Association Journal
2006; 137:1-4.
Kusuma Ali D, Yuwono S.S dan Wulan N.S.
Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk
Rokok Kretek Filter yang Beredar di Nganjuk.
Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Malang: Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya. 2012.
Tirtosastro S dan Murdiyati A.S. Kandungan
Kimia Tembakau dan Rokok. Skripsi.
Malang: Universitas Tribuana Tunggadewi
Malang. 2010.
120
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
ABSTRACT
Background: Plaque control is an attempt to remove and prevent the plaque accumulation on the tooth
surface. Brushing teeth is an effective method in controlling plaque. Plaque control is equipped by additional
active ingredients in toothpaste form. The addition of herbal ingredients in toothpaste expected to inhibit the
growth of plaque because it has the ability to inhibit the growth of microbes Purpose: The purpose of this study
was to compare the effectiveness of herbal toothpaste and non herbal toothpaste in reducing plaque index.
Methods: This study was a quasi experimental design and used a nonrandomized control group pretest-posttest
design. Sampling was conducted by purposive sampling. Treatment was conducted by subject brushed their teeth
with non-herbal toothpaste twice a day for 5 days, then underwent washing periods for 7 weeks, and re-treated
brushed with herbal toothpaste for 5 days. Index plaque in each treatment was recorded by Patient Hygiene
Performance (PHP) methods. Results: The mean plaque index before treatment was 2.78 and the mean plaque
index after brushing the teeth with non-herbal toothpaste and herbal toothpaste respectively 2.19 and 1.47.
Mann-Whitney statistical test showed p=0.000 (p<0.05) that indicated a significant difference between the
reduction of plaque index after brushing with non herbal toothpaste and after brushing with herbal toothpaste.
Conclusion: Based on the research it can be concluded that there was differences in the effectiveness between
herbal toothpaste and non herbal toothpaste. Herbal toothpaste was more effective to reduce plaque index.
Key words: toothpaste, herbal, non-herbal, plaque index
ABSTRAK
Latar belakang: Pengendalian plak adalah upaya membuang dan mencegah penumpukan plak pada
permukaan gigi. Menyikat gigi merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak. Kontrol plak
dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif dalam bentuk pasta gigi. Penambahan herbal pada pasta gigi
diharapkan dapat menghambat pertumbuhan plak karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
mikroba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan
pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental
dan menggunakan rancangan nonrandomized control group pretest posttest design. Pengambilan sampel
dilakukan dengan purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah menyikat gigi menggunakan pasta gigi
non herbal dua kali sehari selama 5 hari, kemudian subjek penelitian menjalani washing periode selama 7
minggu, dan kembali diberi perlakuan menyikat gigi dengan pasta gigi herbal selama 5 hari. Indeks plak
masing-masing perlakuan dicatat dengan metode Patient Hygiene Performance (PHP). Hasil: Rerata indeks
plak sebelum perlakuan adalah 2,78 dan rerata indeks plak sesudah diberi perlakuan menyikat gigi dengan
pasta gigi non herbal dan pasta gigi herbal masing-masing 2,19 dan 1,47. Pada uji Mann-Whitney didapatkan
hasil p=0,000 (p<0,05) yang menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan indeks plak sesudah
menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal dan sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi herbal. Kesimpulan:
Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non
herbal, yaitu pasta gigi herbal lebih efektif menurunkan indeks plak
Kata Kunci : pasta gigi, herbal, non herbal, indeks plak
121
Korespondensi: Rizki Yulita Rahmah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: yulitarizki@gmail.com
PENDAHULUAN
Tingkat kebersihan rongga mulut merupakan
salah satu indikator kesehatan gigi dan mulut.
Kebersihan rongga mulut dapat dilihat dari ada
tidaknya deposit-deposit organik, seperti pelikel,
materi alba, sisa makanan, kalkulus, dan plak gigi.1
Saat ini prevalensi tertinggi penyakit gigi dan mulut
adalah karies dan penyakit periodontal yang
disebabkan adanya plak gigi.2 Plak merupakan
deposit lunak yang membentuk lapisan biofilm dan
melekat erat pada permukaan gigi dan gusi serta
permukaan keras lainnya dalam rongga mulut.3
Angka kejadian masalah kesehatan gigi dan
mulut di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun
2007, prevalensi nasional masalah gigi-mulut
adalah 23,4%. Terdapat 1,6% penduduk yang telah
kehilangan seluruh gigi aslinya. Penduduk yang
menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga
kesehatan gigi hanya 29,6% dari total penduduk
dengan masalah gigi-mulut.4
Penelitian Kazemnejad et al (2008)
menunjukkan 88,7% siswa di Tehran, Iran memiliki
tingkat kesehatan periodontal yang buruk.5
Penelitian Chuckpaiwong et al (2000) di Laos
menunjukkan dari 2453 responden, hanya 0,5%
yang memiliki gingiva yang sehat, dan ditemukan
deposit kalkulus pada 90% responden sejak
berumur 12 tahun.6 Carneiro et al (2012)
melaporkan bahwa dari 785 siswa pada suatu
sekolah di Tanzania, 74% memiliki plak
supraginggival dan 56,9% memiliki kalkulus.7
Prevalensi penyakit periodontal menurut kelompok
umur pada tahun 2004 di dua kecamatan di kota
medan yakni 97,62% pada usia 15-24 tahun,
93,88% pada usia 23-34 tahun, 94,64% pada usia
34-44 tahun, dan 100% pada usia 45-65 tahun.8
Pengendalian plak adalah upaya membuang
dan mencegah penumpukan plak pada permukaan
gigi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara
mekanis maupun kimiawi. Penyingkiran secara
mekanis merupakan metode yang efektif dalam
mengendalikan plak dan gingivitis. Penyingkiran
mekanis dapat meliputi penyikatan gigi dan
penggunaan benang gigi. Saat ini kontrol plak
dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif
yang mengandung bahan dasar alami ataupun
bahan sintetik sebagai bahan anti mikroba. Bahan
anti mikroba tersebut tersedia dalam bentuk larutan
kumur dan pasta gigi.9,10,11
Penelitian Almajed (1994) menunjukkan
pembersihan plak dengan menyikat gigi
menggunakan pasta gigi lebih efektif dibandingkan
dengan menyikat gigi tanpa pasta gigi.12 Pasta gigi
yang digunakan pada saat menyikat gigi berfungsi
untuk mengurangi pembentukan plak, memperkuat
122
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124
Indeks Plak
Sebelum
diberi
perlakuan
Sesudah
diberi
perlakuan
Penurunan
Rata-rata
Penggunaan
Penggunaan
Pasta Gigi
Pasta Gigi
Non Herbal
Herbal
2.78
2.78
2.19
1.47
0.59
1.31
123
membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan
gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak
sebagai bahan penyusun pasta gigi. Minyak aroma
alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang
dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau
tidak sedap. Enzim dapat mencegah pembentukan
plak yang merupakan penyebab radang gusi dan
penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.
Anti Decay Agent (zat anti pembusukan) dan
Antigermal System bertindak seperti Penicilin yang
menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah
terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut
merangsang produksi saliva. Saliva merupakan
organik mulut yang melindungi dan membersihkan
mulut.23
Siwak dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri rongga mulut terutama
spesies Streptococcus. Tannin (asam tanan) yang
terkandung di dalam siwak dapat mengurangi
perlekatan bakteri pada permukaan gigi.
Mekanisme tannin dalam menghambat dan
mengurangi terbentuknya plak adalah dengan cara
menghambat enzim glukosil transferase yang
diproduksi
oleh
Streptococcus
mutans.
Streptococcus mutans dapat membuat polisakarida
ekstraseluler dari sukrosa salah satunya glukan
(dekstran) yang tidak larut dalam air yaitu perekat
pelikel yang disintesis oleh glukosil transferase.
Glukan ini berperan dalam menimbulkan koloni
bakteri pada permukaan gigi. Terhambatnya enzim
glukosil transferase akan menghambat proses
perlekatan bakteri ke pelikel gigi, sehingga
mencegah
proses
kolonisasi
awal
pada
pembentukan plak gigi.19
Penelitian lain dengan menjadikan serbuk
siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi
menunjukkan prosentase hasil terbaik bagi
kesehatan gigi secara sempurna, karena mampu
menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan
mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih
berkumpul pada sela-sela gigi. Hal ini yang
mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di
dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk
pasta gigi mereka. World Health Organization
(WHO) turut menjadikan siwak sebagai salah satu
komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan
dibudidayakan.23
Hasil penelitian menyatakan terdapat
perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta
gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak.
Penggunaan pasta gigi herbal dapat menurunkan
indeks plak lebih besar. Penggunaan pasta gigi
yang mengandung herbal disarankan untuk
disebarluaskan
sebagai
alternatif
dalam
menurunkan akumulasi plak, serta dapat dijadikan
alternatif formulasi konvensional untuk individu
yang tertarik pada produk alami.
124
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124
DAFTAR PUSTAKA
1.
125
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
126
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129
Korespondensi: Haluanry Doane Santoso, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: Haluanry16@gmail.com
PENDAHULUAN
Candida albicans merupakan mikroflora
normal rongga mulut yang seringkali menyebabkan
infeksi opurtunistik pada pasien yang mengalami
penurunan pertahanan tubuh akibat penuaan,
penyakit diabetes dan AIDS, serta faktor
iatrogenik.1,2,3
Spesies
tersebut
seringkali
berkolonisasi dalam rongga mulut yaitu sebesar
30% - 60% dan permukaan gigi tiruan yang tidak
pas sebesar 60% - 100%.4,5 Invasi C. albicans pada
jaringan lunak rongga mulut, dapat menyebabkan
terjadinya Kandidiasis oral.
Prevalensi kandidiasis oral di Indonesia pada
pasien yang dirawat di RSCM sebesar 84% sampai
tahun 2009.5 Terapi yang diberikan pada lesi
rongga mulut akibat infeksi tersebut adalah berupa
pemberian obat obatan antijamur, tetapi saat ini
banyak dilaporkan beberapa jamur yang resisten
terhadap obat obatan antijamur tersebut, sehingga
perlu dilakukan penelitian mengenai terapi
antijamur alternatif. Salah satu obat topikal umum
yang digunakan sebagai terapi antijamur alternatif
dalam rongga mulut adalah Chlorhexidine
gluconate.6
Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah
antiseptik bisbiguanida yang aktif melawan bakteri
dan jamur.7,8 Obat ini digunakan untuk
meningkatkan kebersihan mulut dan penyembuhan
luka secara topikal dalam rongga mulut.
Chlorhexidine gluconate 0,2% terbukti dapat
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme secara
signifikan serta mempunyai daya hambat yang
sama dengan nistatin terhadap beberapa spesies
jamur terutama terhadap Candida albicans.6,9
Penggunaan Chlorhexidine dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman pada pemakainya. Rasa tidak
nyaman tersebut diakibatkan karena iritasi mukosa,
ulserasi, perubahan indra perasa, dan perubahan
warna gigi dan lidah.10, karena penggunaan
Chlorhexidine menimbulkan rasa yang tidak
nyaman pada pemakainya maka dilakukan
penelitian tanaman obat tradisional yang mampu
melawan pertumbuhan C. albicans yang nantinya
dapat menjadi obat alternatif yang lebih murah,
mudah didapat, dan banyak terdapat di masyarakat.
Tanaman obat dapat menghasilkan metabolit
sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas
biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi
yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat
berbagai penyakit. Menurut perkiraan badan
kesehatan dunia WHO 80% penduduk dunia masih
menggantungkan kesehatan pada pengobatan
tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal
dari tanaman. Salah satu tanaman obat yang banyak
127
128
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129
2.
3.
4.
5.
129
15. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA.
Jawetz,
Melnick,
Adelberg's
Medical
Microbiology 24th Edition.. Kentucky. USA:
McGraw-Hill. 2007; Hal: 691, 357.
16. Ali WM. et al. Evaluation of Antibacterial
Effect of Ginger Extract When Used as One
Component of the Root Canal Sealer. 2012.
8(2)
17. Arif T, Bhosale JD, Kumar N, Mandal TK,
Bendre RS, Lavekar GS, Dabur R. Natural
Products - Antifungal Agents Derived from
Plants. Journal of Asian Natural Products
Research 2009; 11(7): 621-638.
18. Sulistiyawati D, Mulyati S. Uji Aktivitas
Antijamur Ekstrak Daun Jambu Mete
(Anacardium occidantale Linn.) terhadap
Candida albicans. Biomedika 2009; 2(1): 4751.
19. Hernawan UE, Setyawan AD. Review:
Ellagitanin; Biosintesis, isolasi, dan Aktivitas
Biologi. Biofarmasi 2003; 1(1): 25.
20. Vadma V, A.D Cristie S, K.M Rankumar.
Journal : Induction of Apoptosis by Ginger in
Hep 2 Cell-line is Mediated by Reactive
Oxygen Species. Basic Clinical Pharmacoloy
Toxicology. India. 2007. 100(5): 302-307.
21. Griffin H.D. Fungal Physiology. New York:
John Wiley and Son, Inc. 1994.
22. Pramitha SR. Perbandingan Efek Fungisidal
Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium
occidentale L.) 12,5% dan Chlorhexidine
gluconate 0,2% terhadap Candida albicans.
2012.
23. Mathur S, Mathur T, Srivastava R, Khatri R.
Chlorhexidine: The Gold Standard in
Chemical Plaque Control. National Journal of
Physiology, Pharmacy & Pharmacology 2011;
1(2): 45-50.
24. Lorian V. Antibiotics in Laboratory Medicine,
5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Canada.
USA
2005.
Hal:
622.
130
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
131
PENDAHULUAN
132
Gambar 1
Gambar 2
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 130 - 133
Gambar 3
Gambar 4
PEMBAHASAN
Gigi berjejal itu sendiri diartikan sebagai
sebuah ketidakharmonisan antara panjang lengkung
basal yang tersedia dengan panjang lengkung yang
diharapkan untuk letak atau barisan gigi yang
baik.10 Etiologi gigi berjejal masih belum diketahui
secara pasti. Peneliti menyatakan bahwa penyebab
gigi berjejal adalah faktor herediter (keturunan).
Peneliti lain mengatakan bahwa faktor lingkungan
(misalnya makanan lunak dan kehilangan panjang
lengkung
yang disebabkan
karies)
lebih
berpengaruh daripada faktor herediter.6 Ukuran
gigi, panjang lengkung, lebar dimensi merupakan
beberapa dari sekian banyak faktor herediter yang
berkontribusi terjadinya gigi berjejal.11 Hamid
(2005) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa
panjang lengkung yang ditemukan antara kelompok
gigi berjejal dan tidak berjejal memiliki
perbedaan.12
Hasil penelitian Olmez (2011) menyatakan
bahwa bentuk lengkung yang memiliki frekuensi
paling tinggi terjadinya makloklusi Angle adalah
tapered atau bisa disamakan dengan bentukan
narrow13. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang ada bahwa lebih dari separuh (80%) dari
jumlah sampel dengan bentukan lengkung rahang
bawah narrow memiliki susunan gigi berjejal.
Berdasarkan Gambar 2, sesuai klasifikasi
berdasarkan diskrepansi ukuran lengkung, 23
133
4.
DAFTAR PUSTAKA
10.
1.
2.
3.
5.
6.
7.
8.
9.
11.
12.
13.
134
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
135
PENDAHULUAN
Gigi impaksi merupakan gigi yang
menghalangi jalan
normalnya erupsi pada
lengkung gigi karena kurangnya ruang pada
lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi gigi.
Gigi molar ke tiga maksila dan mandibula, kaninus
maksila dan insisif sentral maksila merupakan gigi
yang paling sering terjadi impaksi. Kebanyakan
gigi molar ke tiga yang impaksi atau tidak erupsi
dapat erupsi dengan normal dan tidak menyebabkan
masalah secara klinis.1 Gigi molar ke tiga rahang
bawah impaksi dapat mengganggu fungsi kunyah
dan sering menyebabkan berbagai komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa resorbsi
patologi gigi yang berdekatan, terbentuknya kista
folikular, rasa sakit neuralgik, perikoronitis, bahaya
fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan
berdesakan gigi anterior akibat tekanan gigi
impaksi ke anterior. Akibat lainnya adalah terjadi
periostitis, neoplasma dan komplikasi lainnya.2
Menurut penelitian Naosherwan dkk. yang
dilakukan di Poli Gigi Rumah Sakit Penang di
Malaysia pada tahun 2000 sampai 2005 dengan
jumlah pasien yang dirawat sebanyak 15.076 orang,
terdapat 261 kasus impaksi molar ke tiga mandibula
sedangkan pada kasus impaksi molar ke tiga
maksila hanya ditemukan 11 kasus. Pada kasus
yang didapat, impaksi gigi lebih banyak terjadi
pada laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 137
kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun, 102
kasus terdapat diantara usia 25 tahun sampai 35
tahun, dan 25 kasus terdapat pada usia diatas 35
tahun. Kebanyakan kasus impaksi molar ke tiga
yang datang ke rumah sakit mengeluhkan adanya
sakit serta bengkak, dan lainnya datang dengan
tujuan orthodonti.1
Chandha dkk melakukan penelitian pada
suku Bugis dan suku Toraja, menyimpulkan bahwa
impaksi yang terjadi dilihat secara genetik
disebabkan faktor lingkungan dan faktor keturunan.
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan itu
sendiri adalah jenis makanan. Secara umum,
makanan suku Toraja memerlukan kekuatan
kunyah yang lebih besar. Proses evolusi sejalan
dengan berkembangannya peradaban manusia
sehingga ukuran rahang berkurang, sehingga
impaksi gigi lebih mudah terjadi. Secara faktor
keturunan, Suku Toraja yang menikah dengan suku
lain yang secara genetik memiliki rahang yang
kecil, sehingga menghasilkan keturunan yang
mengalami impaksi gigi.3
Suku Banjar memiliki kebiasaan memakan
makanan yang tidak keras dan memasak
makanannya dengan cara merebus dan berkuah
seperti gangan, dan cara yang paling khas seperti
memais dan menuup.4 Suku Banjar itu sendiri
memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak
keras sehingga lengkung rahang tidak berkembang
secara maksimal. Suku Banjar merupakan hasil
136
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 134 - 137
Tabel 2
137
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
138
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
139
Korespondensi: Muhammad Fauzan Anshary, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: fauzanshary@gmail.com
PENDAHULUAN
Edentulous (kehilangan gigi sebagian atau
seluruhnya) merupakan indikator kesehatan mulut
dari suatu populasi. Hal ini merupakan cerminan
keberhasilan berbagai pencegahan dan pengobatan
yang diberlakukan oleh suatu pelayanan kesehatan.
Banyak pasien menganggap edentulous sebagai
sebuah alasan untuk mendapat perawatan gigi (1).
Weintraub dan Burt menyatakan bahwa kelompok
sosio-ekonomi yang lebih rendah mengalami
edentulous dalam tingkat yang lebih tinggi daripada
kelompok sosio-ekonomi yang lebih tinggi (2).
Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan
lepasnya satu atau lebih gigi dari soketnya atau
tempatnya. Kejadian hilangnya gigi, biasa terjadi
pada anak-anak mulai usia 6 tahun yang mengalami
hilangnya gigi sulung dan kemudian digantikan
oleh gigi permanen. Kehilangan gigi permanen
pada orang dewasa sangatlah tidak diinginkan
terjadi, biasanya kehilangan gigi terjadi akibat
penyakit periodontal, trauma, dan karies (3).
Sebagian besar penelitian menyatakan
bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan
penyebab utama terjadinya kehilangan gigi.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 pengalaman karies di Kalimantan Selatan
adalah 83,4% (4). Kehilangan gigi dapat
disebabkan oleh karies, penyakit periodontal,
trauma, dan atrisi yang berat. Sebagian besar
penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit
periodontal merupakan penyebab utama terjadinya
kehilangan gigi. Faktor penyakit seperti karies dan
penyakit
periodontal
yang
menyebabkan
kehilangan gigi berhubungan dengan meningkatnya
usia. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan
faktor bukan penyakit seperti faktor sosio
demografi, perilaku dan gaya hidup juga
berpengaruh terhadap kehilangan gigi (1).
Kehilangan gigi biasanya disebabkan oleh
karies dan penyakit periodontal yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Persentase keterlibatan
kehilangan gigi akibat karies dan penyakit
periodontal tergantung pada usia di mana
kehilangan gigi pada usia lanjut kebanyakan
disebabkan oleh penyakit periodontal sedangkan
kehilangan gigi pada usia muda biasanya
disebabkan oleh karies. Kehilangan gigi juga
dipengaruhi oleh merokok yang berpengaruh
terhadap terjadinya periodontitis dan karies gigi (3).
Karies gigi berasal dari bahasa latin yang
artinya lubang gigi dan ditandai oleh rusaknya
email dan dentin secara progresif yang disebabkan
oleh aktivitas metabolisme bakteri dan plak. Karies
gigi timbul karena empat faktor yaitu host yang
meliputi gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat,
serta waktu atau lamanya proses interaksi antar
140
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143
141
Kelas III
13
15
Kelas IV
11
Jumlah
30
30
60
Tabel 2
Pola Kehilangan
Gigi Sebagian
Jumlah
Kelas I
17
Kelas II
17
Kelas III
15
Kelas I
Pendidikan
Dasar
(Tidak
Sekolah
dan SD)
13
Kelas IV
11
Kelas II
Jumlah
60
Tabel 1
Umur
>65
Tahun
15
Jumlah
Kelas I
25-65
Tahun
2
Kelas II
10
17
17
Pendidikan
Menengah
(SMP dan
SMA)
Jumlah
17
11
17
Kelas III
10
15
Kelas IV
11
Jumlah
38
22
60
Tabel 3
142
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
143
10. Silva HD, Filho PM, Piva M. Denture-related
Oral Mucosal Lesions among Farmers in A
Semi-Arid Northeastern Region Of Brazil.
Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16
(6):e740-4.
11. Rusli. Olahraga Lanjut Usia. Jurnal ILARA
2012; 3(1): 11 19.
12. Prabhu N, Kumar S, Dsouza M, Hegde V.
Partial Edentulousness in a Rural Population
Based on Kennedys Classification: An
Epidemiological Study. J Prosthodont 2009; 9:
18-23.
13. Galagali G, Mahoorkar S. Critical Evaluation
of Classification Systems of Partially
Edentulous Arches. International Journal of
Dental Clinics 2010; 2(3): 45-52.
14. Islas-Granillo H, Borges-Yanez SA, LucasRincon SE, dkk. Edentulism Risk Indicators
among Mexican Elders 60-Year-Old and
Older. Archives of Gerontology and Geriatrics
53 (2011) 258262.
15. Khazae S, Firouzei MS, Sadeghpour S, dkk.
Edentulism and Tooth Loss in Iran: Sepahan.
International Journal of Preventive Medicine,
Special Issue, 2012; 6: 42-47.
16. Fabiola I. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Angka Kunjungan Masyarakat ke
Kinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Gajah Mada. Jurnal PDGI 2006; 56(1): 37-8.
17. Situmorang N. Perilaku Sakit: Suatu Tinjauan
Sosial Kultural. Dentika Dent J 2003; 2(8):
265.
144
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
145
Korespondensi: Amelia Nurfalah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: amelianurfalah@yahoo.co.id
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut sudah
menjadi perhatian yang sangat penting dalam
lingkungan kesehatan. Salah satu sebabnya adalah
rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap
gangguan kesehatan gigi.1 Menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2001
terdapat 76,2% anak Indonesia pada kelompok usia
12 tahun (kira-kira 8 dari 10 anak) mengalami gigi
berlubang. SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa
prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara
85%-99%.2 Prevalensi karies aktif di Kalimantan
Selatan sendiri memiliki persentase 49,3%.3
Salah satu penyebab timbulnya masalah
kesehatan gigi dan mulut dalam masyarakat adalah
faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan
gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi dengan
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
mulut serta perawatannya. Kesadaran seseorang
akan pentingnya kesehatan gigi dapat dilihat dari
pengetahuan yang dimiliki. Ketika seseorang
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi maka
perhatian untuk melakukan perawatan terhadap gigi
dan mulutnya juga tinggi.4
Tingginya tingkat karies di Indonesia
membuat pemerintah bekerja sama dengan
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk
mengantisipasi masalah kesehatan gigi di Indonesia
dengan mengupayakan penanganannya melalui
program pemeriksaan gratis enam bulan sekali.
Pemerintah juga membuat program kegiatan Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) di setiap sekolah
untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi.
Salah satu pengajaran yang diberikan oleh UKGS
adalah teknik menyikat gigi yang baik dan benar
serta memberikan penyuluhan mengenai kesehatan
gigi dan mulut di sekolah-sekolah.5
Penyuluhan atau Pendidikan Kesehatan Gigi
(PKG) adalah suatu proses belajar yang ditujukan
kepada individu dan kelompok masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan gigi yang setinggitingginya. Pemilihan metode yang tepat dalam
proses penyampaian materi penyuluhan sangat
membantu pencapaian usaha mengubah tingkah
laku sasaran. Secara garis besar, hanya ada dua
jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi,
yaitu metode satu arah (One Way Method) yang
menitikberatkan pendidik yang aktif sedangkan
pihak sasaran tidak diberi kesempatan untuk aktif
dan metode dua arah (Two Way Method) yang
menjamin adanya komunikasi dua arah antara
pendidik
dan
sasaran.
Pada
penyuluhan
146
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 147
- 149
148
Nurfalah
: Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video
Hasil pre test dan post test dihitung rerata
skoringnya untuk melihat peningkatan pengetahuan
penyikatan gigi yang terjadi. Hasil rerata skoring
nilai pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Rerata
Nilai
Skoring
Kuesioner
Pengetahuan Penyikatan Gigi Sebelum dan
Sesudah Diberikan Penyuluhan Dengan
Metode Peragaan dan Video Pada Anak
Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7
Martapura
Skoring
Kuesioner
Pre
Post
Test
Test
Metode
Penyuluhan
Metode
Peragaan
Metode
Video
Peningkatan
Pengetahuan
(Post-Pre)
16,27
22,37
6,1
16,67
21,97
5,3
Tabel
1
menunjukkan
terjadinya
peningkatan pengetahuan pada kedua kelompok
penyuluhan. Pada kelompok metode peragaan
terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 6,1 dan
pada metode video terjadi peningkatan pengetahuan
sebesar 5,3. Uji T berpasangan dilakukan untuk
mengetahui apakah ada perbedaan antara pre test
dan post test dalam peningkatan pengetahuan pada
kedua metode penyuluhan. Hasil uji T berpasangan
pada metode peragaan diperoleh nilai p = 0,001
(p<0,05) dan metode video diperoleh nilai p =
0,001 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan antara hasil pre test dan hasil post test
pada metode peragaan dan metode video. Hasil uji
T tidak berpasangan yang didapatkan nilai p= 0,365
(p>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok
penyuluhan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
metode peragaan dan metode video dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi pada
anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Warni pada siswa-siswi kelas IV dan V di dua
Sekolah Dasar (SD) Negeri Medan yang
menunjukkan bahwa penyuluhan dan pelatihan
menyikat gigi seperti metode peragaan dapat
meningkatkan pengetahuan siswa-siswi tersebut
dengan berkurangnya indeks plak gigi.1 Begitu juga
dengan penelitian Leal SC dan Bezzera pada tahun
2002 mengenai perbandingan efektifitas metode
pengajaran cara menyikat gigi pada anak usia 3-6
tahun yang diambil dari 50 anak dalam sebuah
147
private nursery di Brazil, pengajaran dengan
menggunakan metode audiovisual ternyata juga
dapat meningkatkan pengetahuan anak karena
indeks plak giginya pun turun.8
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua
metode
penyuluhan
dapat
meningkatkan
pengetahuan kepada anak yang menghasilkan nilai
post test yang lebih tinggi dari nilai pre test. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan otak dan
memorinya. Otak menyimpan informasi dengan
cara masukan yang diterima oleh sensor diteruskan
ke otak dan disimpan di memori jangka pendek,
beberapa informasi akan diteruskan ke memori
jangka panjang yang ditentukan oleh perhatian
terhadap masukan informasi tersebut. Perhatian,
motivasi, dan kaitan suatu informasi terhadap
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak
adalah faktor paling berpengaruh terhadap
penyimpanan informasi di memori jangka
panjang.13 Dalam prinsip pembuatan alat peraga
dan media penyuluhan menyatakan bahwa
pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima
atau ditangkap oleh panca indra. Semakin banyak
panca indra yang digunakan semakin banyak dan
semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan
yang diperoleh.14 Metode peragaan dan metode
video membuat anak menggunakan panca indranya
lebih dari satu, sehingga pengetahuan yang
diberikan dalam metode penyuluhan baik peragaan
maupun video dapat diterima dengan baik.
Menurut Piaget, proses kognitif anak
terbentuk dari skema yang dibuat oleh anak itu
sendiri. Skema adalah konsep atau kerangka yang
eksis di dalam pemikiran individu yang dipakai
untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan
informasi. Ada dua proses yang bertanggung jawab
atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi
skema mereka yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan
pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang
sudah ada, sedangkan akomodasi terjadi ketika
anak menyesuaikan diri dengan informasi yang
baru.10 Pada pemberian pengetahuan penyikatan
gigi baik dengan metode peragaan maupun metode
video terjadi proses asimilasi pada anak. Anak
sudah dikenalkan dan diajarkan orang tuanya
tentang penyikatan gigi, sehingga anak sudah
memiliki pengetahuan tentang penyikatan gigi
sebelumnya. Pemberian pengetahuan penyikatan
gigi yang baik dan benar, akan memacu anak untuk
memasukkan pengetahuan baru tersebut ke dalam
pengetahuan yang sudah ada, dan saat itulah proses
kognitif berlangsung kemudian terjadi peningkatan
pengetahuan pada anak. Proses akomodasi pun
terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan
pengetahuan penyikatan gigi yang baru.
Pengetahuan yang didapatkan anak sebelum
diberikan penyuluhan kemungkinan belum atau
kurang tepat, dengan diberikannya penyuluhan
148
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149
149
pengaruh terhadap meningkatnya pengetahuan,
dimana warna berpengaruh kuat pada memori
jangka pendek dan perhatian visual.18
Rangkaian gambar kartun yang disajikan
dalam bentuk video juga dapat menarik perhatian
anak saat penyuluhan. Hal ini sesuai dengan
penelitian Reny Dwy Rahayu yang menyatakan
bahwa video yang berisikan kartun dapat
membantu meningkatkan perkembangan kognitif
anak yang dilihat dari nilai tes sebelum dan tes
sesudah diberikan video. Media pengajaran yang
dapat memotivasi minat dan tindakan anak adalah
media pengajaran yang direalisasikan dengan
teknik hiburan seperti metode video, oleh karena itu
metode video dapat meningkatkan pengetahuan
anak karena mampu meningkatkan motivasi minat
dan
tindakan
anak
ketika
penyuluhan
berlangsung.19
Menurut Piaget, tahap perkembangan
kognitif anak usia 9-12 memasuki tahap
operasional konkret dan tahap operasional formal
yang dimulai sekitar umur tujuh tahun sampai lima
belas tahun. Pada tahap ini anak sudah dapat
melakukan penalaran logika, memiliki kemampuan
untuk menggolong-golongkan sesuatu serta sudah
mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman
konkret dan memikirkannya secara lebih abstrak,
idealis, dan logis. Hal ini boleh jadi membuat
metode peragaan dan metode video dapat diterima
dengan baik oleh anak sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan giginya.
Dengan berkembanganya aspek kognitif, anak
menunjukkan proses belajar yang mereka terima
melalui penyuluhan dan pengajaran cara menyikat
gigi yang diberikan.10,20 Dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan efektivitas antara metode
peragaan dan metode video terhadap pengetahuan
penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN
Keraton 7 Martapura, kedua metode dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi referensi bahan penyuluhan penyikatan
gigi untuk anak usia sekolah dasar dan dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak
baik dengan menggunakan metode peragaan
maupun dengan metode video. Diharapkan pula
agar perencanaan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi
Sekolah) dapat dilakukan dengan matang untuk
setiap sekolah agar dapat memberikan motivasi
terhadap anak dalam menjaga kesehatan gigi dan
mulut. Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan
penelitian
lanjut
dengan
membandingkan
efektivitas metode peragaan dan metode video
terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak
usia pra sekolah, mengikutsertakan peran orang tua,
atau dapat membandingkan metode penyuluhan
lainnya
terhadap
peningkatan
pengetahuan
penyikatan gigi.
149
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
150
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 151
- 149
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Oral health of Indonesian people still be things that must have serious attention from the
health service, including dentist or dental nurse. Based on the report basic health research (RISKESDAS) 2007
The Department of health released in 2009 revealed that proportion of people with problems with the teeth and
mouth in South Borneo province as much 29.2%. Plaque have an important role to the formation caries and
plaque cannot removed by simply gargle but needs to be done by mechanical cleaning is brushing teeth. In
general population in various district province south kalimantan brush teeth every day 94,4 %. The prevalence
of the population who behaves true rubbing teeth in the province of South Borneo as many 10.3 %. Purpose:
This research aimed to find out effectivity brushing method horizontal, vertical and roll to decrease plaque
children ages 9-11 years SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Methods: The type of this research was a Quasi
Experimental with Pre-Post Test One Group Design. Using disclosing agent to identify plaque on the teeth
before and after treatment and used index measurement personal hygiene performance of modified (phpm).
Results: There was significant difference between the effectiveness brushing method of horizontal, roll and
vertical. Conclusion: Horizontal brushing method was more effective clean plaque.
Keywords: Brushing effectiveness, Plaque, Method Horizontal, Method Vertical, Method Roll.
ABSTRAK
Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi. Berdasarkan hasil
laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan yang dirilis pada 2009
mengungkapkan bahwa proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan
Selatan sebanyak 29,2%. Plak sangat berperan terhadap terbentuknya karies, dan plak tidak dapat dihilangkan
hanya dengan berkumur tetapi perlu dilakukan pembersihan secara mekanik yaitu menyikat gigi. Pada
umumnya penduduk di berbagai kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan yang menggosok gigi setiap hari
94,4%. Prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di provinsi Kalimantan Selatan sebanyak
10,3%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan metode
horizontal, vertikal dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Metode: Jenis
penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.
Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.
Menggunakan disclosing agent untuk mengidentifikasi plak pada gigi sebelum dan sesudah perlakuan dan
menggunakan indeks pengukuran Personal Hygniene Performance Modified (PHPM). Hasil: Terdapat
perbedaan bermakna antara menyikat gigi metode horizontal, vertikal, dan roll. Kesimpulan: Berdasarkan
penelitian tersebut metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menghilangkan plak.
Kata-kata kunci: Efektivitas menyikat gigi, Plak, Metode horizontal, Metode vertikal, Metode roll.
152
Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi
151
Korespondesi: Destiya Dewi Haryanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
destiya_dewi@yahoo.com
PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut masyarakat
Indonesia masih merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan,
baik dokter gigi maupun perawat gigi, hal ini
terlihat bahwa penyakit gigi dan mulut masih
diderita oleh 90% penduduk Indonesia.1
Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan
mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh
empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku,
dan pelayanan kesehatan. Perilaku memegang
peranan yang penting dalam mempengaruhi status
kesehatan gigi dan mulut.2
Karies merupakan penyakit jaringan gigi
yang ditandai dengan kerusakan jaringan, mulai
dari permukaan gigi hingga meluas ke arah pulpa. 3
Menurut penelitian di negara-negara Eropa,
Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia, 80%-90%
anak-anak dibawah umur 18 tahun terserang karies
gigi.4 Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan
yang dirilis pada 2009 mengungkapkan bahwa
proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi
dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak
29,2%, hasil ini tertinggi di Kabupaten Barito
Kuala dan Banjarmasin.5 Prevalensi menggosok
gigi terendah ada di Hulu Sungai Selatan.
Prevalensi penduduk yang berperilaku benar
menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan
sebanyak 10,3%.5
Menyikat gigi dengan menggunakan sikat
gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara
mekanis. Saat ini telah banyak tersedia sikat gigi
dengan berbagai ukuran, bentuk, tekstur, dan desain
dengan berbagai derajat kekerasan dari bulu sikat.
Salah satu penyebab banyaknya bentuk sikat gigi
yang tersedia adalah adanya variasi waktu menyikat
gigi, gerakan menyikat gigi, tekanan, bentuk dan
jumlah gigi pada setiap orang.6
Terdapat 5 metode menyikat gigi yaitu,
Bass, S Stillman, Horizontal, Vertical, dan Roll.
Metode Bass dan Roll yang paling sering
direkomendasikan.7 Metode yang umum digunakan
adalah meode horizontal, metode roll, dan metode
vertical. Metode horizontal dilakukan dengan cara
semua permukaan gigi disikat dengan gerakan ke
kiri dan ke kanan. Permukaan bukal dan lingual
disikat dengan gerakan ke depan dan ke belakang.8
Metode horizontal terbukti merupakan cara yang
sesuai dengan bentuk anatomis permukaan oklusal.
Metode ini lebih dapat masuk ke sulkus interdental
dibanding dengan metode lain.9 Metode ini cukup
152
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 153
- 154
HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan judul Efektivitas
Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical dan
Roll terhadap Penurunan Plak pada Anak Usia 9-11
Tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin
telah dilakukan perlakuan terhadap 90 sampel yang
terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok
menyikat gigi metode horizontal, kelompok
menyikat gigi metode vertical dan kelompok
menyikat gigi metode roll.
Tabel 1 Hasil Pengukuran Rata-Rata Indeks Plak
Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Metode
Horizontal
Vertical
Roll
Sebelum
menyikat
gigi
70,83
60,08
65,54
Sesudah
menyikat
gigi
26,82
30,86
31,27
Jumlah
siswa
(orang)
30
30
30
Std.
Deviasi
Jumlah
Sampel
0,63436
0,55781
0,65217
0,63462
30
30
30
90
154
Haryanti
: Efektivitas Menyikat Gigi
hasil tersebut didapatkan kesimpulan bahwa metode
menyikat gigi horizontal lebih efektif menurunkan
plak dibangdingkan dengan metode yang lain.
PEMBAHASAN
Menyikat gigi sebagai salah satu kebiasaan
dalam upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut.
Berbagai teknik atau metode menyikat gigi yang
pernah dianjurkan, antara lain horizontal, vertical,
dan roll. Ketiga metode ini dianggap dapat
membersihkan plak dengan baik terutama pada
anak-anak pada masa sekolah.
Menyikat gigi dengan menggunkan sikat
gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara
mekanis.10 Banyak metode atau teknik menyikat
gigi yang diperkenalkan para ahli, dan kebanyakan
metodenya dikenal dengan namanya sendiri seperti
metode Bass, Stillman, Charters, atau disesuaikan
dengan gerakannya. Pada prinsipnya terdapat empat
pola dasar gerakan, yaitu metode vertical,
horizontal, roll, dan bergetar (vibrasi). Tujuan
menyikat gigi untuk menyingkirkan plak atau
mencegah
terjadinya
pembentukan
plak,
membersihkan sisa-sisa makanan, debris atau stein.
Metode menyikat gigi yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu, horizontal, vertical dan roll.11
Hasil penelitian tentang efektivitas menyikat gigi
metode horizontal, vertical dan roll terhadap
penurunan plak pada anak usia 9-11 tahun di SDN
Pemurus Dalam 6 Banjarmasin menunjukkan
bahwa penyikatan gigi dengan metode horizontal
dapat menurunkan indeks plak lebih besar
dibandingkan metode vertical dan roll. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa metode menyikat
gigi horizontal lebih efektif menurunkan plak
dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil
penelitian ini didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Anaise dan pendapat dari Tan
HH yang menyatakan bahwa teknik horizontal
dianggap
sebagai
teknik
terbaik
untuk
menghilangkan plak dan mudah ditiru atau
dipelajari oleh anak.3 Menurut penelitian dari Sarika
Sarma (2012) menyatakan bahwa metode menyikat
gigi horizontal cocok digunakan pada anak-anak.12
Penelitian dari Natalia Ekaputri dan Sri Lestari
tentang perbedaan efektifitas penyikatan gigi antara
metode roll dan horizontal terhadap penyingkiran
plak pada anak menunjukkan penurunan indeks
plak pada metode roll lebih besar dari teknik
horizontal.11 Metode vertical dan roll tidak dapat
menurunkan indeks plak lebih besar dibandingkan
dengan metode horizontal karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kemampuan untuk melakukan
teknik menyikat gigi secara baik dan benar sesuai
yang di ajarkan pada setiap anak berbeda-beda,
tekanan yang diberikan pada saat menyikat gigi
berbeda-beda,dan kebiasaan menyikat gigi yang
berbeda.10
153
Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua
proses yang bertanggungjawab atas cara anak
menggunakan dan mengadaptasi skema mereka;
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika
seseorang anak memasukkan pengetahuan baru
kedalam penetahuan yang sudah ada. Dalam
asimilasi, anak mengasimilasikan lingkungan
kedalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika
anak menyesuaikan diri pada informasi baru.
Yakni, anak menjesuaikan skema mereka dengan
lingkungannya.13
Melalui observasinya, Piaget juga meyakini
bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat
tahap. Masing-masing tahap berhubungan dengan
usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbedabeda. Tahapan Piaget terbagi menjadi empat
tahapan yaitu, fase sensorimotor, praoperasional,
operasional konkret, dan operasional formal.13
Tahap sensorimotor. Tahap ini yang
berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua tahun.
Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia
dengan mengkoordinasikan pengalaman indera
(sensory) mereka seperti melihat dan mendengar
dengan gerakan motor (otot) mereka, dari sanalah
diistilahkan sebagai sensorimotor.13
Tahap praoperasional. Tahap ini adalah
tahap kedua pada teori Piaget. Tahap ini
berlangsung kurang lebih mulai dari usia dua tahun
samapai tujuh tahun. Ini adalah tahap pemikiran
yang lebih simbolis daripada tahap sensorimotor
tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Pada
tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia
dengan kata dan gambar.13
Tahap operasional konkret. Ini adalah
tahap perkembangan kognitif ketiga dari teori
Piaget, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun
sampai sekitar sebelas tahun. Pemikiran operasional
konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran
logika, kemampuan untuk menggolong-golongkan
sudah ada, tetapi tidak bisa memecahkan problemproblem abstrak.pada tahap ini anak kini bisa
menalar secara logis tentang kejadian-kejadian dan
mampu mengklasifikasikan objek dalam kelompok
yang berbeda-beda.13
Tahap operasional formal. Tahap ini yang
muncul antara usia sebelas tahun sampai lima belas
tahun, adalah tahap keempat menurut teori Piaget
dan tahap kognitif terakhir. Pada tahap ini, individu
sudah mulai memikirkan pengalaman dan remaja
sudah mulai berpikir secara lebih abstrak, idealistis,
dan logis.13
Penelitian ini rata-rata murid di SDN
Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang diteliti berada
pada tahap operasional konkret dengan umur 9-11
tahun. Anak sudah dapat menalar dengan
logikanya. Anak mulai dapat beradaptasi dan
mengerti pada setiap metode yang diajarkan. Jenis
kelamin pada penelitian ini tidak berpengaruh
karena pada tahap ini anak baru bisa menalar secara
logis dan masih rendahnya kesadaran akan
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 -155
154
154
5.
6.
7.
8.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
9.
10.
11.
12.
13.
156
Haryanti
: Efektivitas Menyikat Gigi
155
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
TINGKAT NURSING MOUTH CARIES ANAK 2-5 TAHUN
DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARMASIN
ABSTRACT
Background: Nursing Mouth Caries (NMC) is a caries lesion with unique pattern in infants, toddlers,
and preschool children which caused by the provision of formula milk, breastmilk or other sweet liquid in a long
period. Dental caries is still one of the most frequent problems occur in Indonesia society, not only in adults but
also in children. Purpose: The aims of this research are to investigate how the NMC level which is seen from the
age of the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and also their mother's level of education and
knowledge. Methods: This research used a purely descriptive method. Data taken by purposive sampling of 100
children aged 2-5 years old with interview procedures on the child's mother and child clinical examination of the
oral cavity. Results: The results of this research was high level NMC which reached 96%, seen from the age of
the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and mother's level of education and knowledge.
Conclusion: Based on conducted research, it can be concluded that lacking of mother's knowledge of children's
oral health was causing high rates of NMC. The higher the age of the child, tend to be higher rates of NMC
expansion that occurs in children. The children who drank formula milk have the greater risk on NMC than
children only drank breast milk exclusively. Children brushing habits were also contribute in the formation of
the NMC, while the level of education of the mother allegedly did not much contribute in the occurrence of NMC
in children.
Keywords: NMC, breastmilk, formula milk, rate of accidence.
ABSTRAK
Latar Belakang: Nursing Mouth Caries (NMC) merupakan karies dengan pola lesi yang unik pada
bayi, balita, dan anak prasekolah yang disebabkan oleh pemberian susu formula, ASI ataupun cairan manis
lainnya dalam jangka waktu yang panjang. Karies gigi masih menjadi salah satu masalah yang paling sering
terjadi pada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk melihat terjadinya NMC yang dilihat dari usia anak, kebiasaan pemberian susu
pada anak, kebiasaan menyikat gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Metode: Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif murni. Data diambil secara purposive sampling pada 100 orang anak usia 2-5
tahun dengan prosedur wawancara pada ibu anak dan pemeriksaan klinis rongga mulut anak. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan tingginya NMC pada anak mencapai 96% dari 100 orang anak, yang dikelompokkan
lagi tingkat perluasan NMC berdasarkan usia anak, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan menyikat
gigi pada anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan masih kurangnya tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak
yang menyebabkan tingginya tingkat NMC yang terjadi. Semakin tinggi usia anak, cenderung makin tinggi juga
tingkat perluasan NMC yang terjadi pada anak. Serta anak yang meminum susu formula memiliki resiko lebih
besar terkena NMC dibandingkan anak yang hanya meminum ASI eksklusif. Kebiasaan menyikat gigi anak juga
berperan dalam pembentukan NMC, sedangkan tingkat pendidikan ibu tidak berperan banyak dalam terjadinya
NMC pada anak.
156
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 157
- 161
Korespondensi: Rosihan Adhani, Nadya Novia Sari, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran
Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
rosihan_adhani@yahoo.co.id nadnovia@yahoo.com
PENDAHULUAN
Karies gigi masih menjadi salah satu
masalah yang paling sering terjadi pada masyarakat
Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi
juga pada anak-anak. Proses perkembangan karies
dapat terjadi dimulai pada saat gigi anak pertama
erupsi. Karies sangat berhubungan erat dengan
kebersihan rongga mulut, terlebih pada anak-anak.
Anak yang tidak dibiasakan melakukan penyikatan
gigi sejak dini dari orang tua dapat mengakibatkan
kesadaran dan motivasi anak kurang dalam
menjaga kesehatan dan kebersihan rongga
mulutnya. Keadaan ini memudahkan anak terkena
resiko penyakit gigi dan mulut, khususnya pada
anak usia di bawah 6 tahun .1
Karies dengan pola yang khas dan sering
terjadi pada anak usia di bawah 6 tahun biasa
disebut Nursing Mouth Caries (NMC). Definisi
NMC menurut The American Academy of Pediatric
Dentistry (AAPD) adalah adanya satu atau lebih
karies (kavitas atau non kavitas), adanya gigi yang
hilang karena karies pada gigi desidui anak usia 071 bulan. Biasanya anak dengan NMC mempunyai
kebiasaan minum Air Susu Ibu (ASI) ataupun susu
botol setiap hari dalam waktu yang lama dan
kadang dibiarkan sampai anak tertidur sepanjang
malam. NMC biasanya membutuhkan perawatan
yang lama dan apabila tidak diobati dapat merusak
gigi anak dan berpengaruh pada kesehatan umum
anak.1,2 Gambaran klinis NMC adalah khas,
kerusakan yang paling parah pada jenis karies ini
biasanya terjadi pada keempat gigi insisivus atas
maksila karena posisi lidah pada saat anak
menghisap susu meluas menutupi gigi anterior
mandibula sehingga pada regio insisivus mandibula
karies ini jarang terjadi. 3
Prevalensi NMC di beberapa negara masih
cukup tinggi. Jose dan lainnya4 melaporkan di
Karala, India 44% anak usia 8-48 bulan menderita
NMC. Martens et al5 melaporkan prevalensi anak di
pedesaan Cina dengan NMC mencapai 85,5%,
sedangkan Kumar6 melaporkan 11-53% anak di
USA menderita NMC, dan 6,8-12% di UK.
Nursing Mouth Caries merupakan penyakit
multi faktorial. Faktor-faktor penyebab NMC
termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,
157
Sari
158: Tingkat Nursing Mouth Caries
Banjarmasin. Bahan yang digunakan adalah alkohol
70%, kapas dan tisu. Alat yang digunakan adalah
alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker,
senter, alat tulis, formulir informed consent dan
lembar pemeriksaan untuk karies serta lembar
kuesioner untuk wawancara.
Populasi pada penelitian ini adalah ibu beserta
anaknya yang berusia 2-5 tahun pengunjung
Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Sampel pada
penelitian ini diambil dengan purposive sampling.
Sampel adalah anak berusia 2-5 tahun yang masih
mengkonsumsi ASI maupun susu formula di
Puskesmas Cempaka Banjarmasin dan memenuhi
kriteria inklusi. Kriteria inklusinya adalah anak
berusia 2-5 tahun, anak masih mengkonsumsi ASI
ataupun susu formula, bersedia menjadi responden
(kooperatif) dan menandatangani informed consent.
Nursing Mouth
Caries
Ada
Tidak
Jumlah
96
4
Presentase
96%
4%
Jumlah
100
100%
Kriteria eksklusinya adalah pasien yang tidak
bersedia menjadi responden (tidak kooperatif).
Variabel bebas yang diteliti pada penelitian
ini umur anak, kebiasaan menyikat gigi anak,
kebiasaan anak meminum susu, dan tingkat
pendidikan serta pengetahuan orang tua (ibu).
Variabel terikat pada penelitian ini adalah NMC.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin dengan prosedur ibu dan anak yang
berusia 2-5 tahun didatangi oleh peneliti. Pasien
dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian
yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar
informed consent sebagai tanda persetujuan
menjadi subyek penelitian, kemudian dilakukan
wawancara terhadap ibu anak terkait dengan
kebiasaan menyikat gigi anak, kebiasaan anak
meminum susu, dan pertanyaan yang akan melihat
tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu
serta dilakukan pemeriksaan klinis secara langsung
pada rongga mulut anak untuk melihat tingkat
perluasan NMC yang terjadi pada anak. Kebiasaan
menyikat gigi pada anak dibagi menjadi 2
kelompok yaitu yaitu frekuensi benar dan salah,
serta waktu menyikat gigi yang benar dan salah.
Frekuensi menyikat gigi yang benar apabila anak
menyikat gigi setiap hari sebanyak 2 atau 3 kali
sehari, frekuensi menyikat gigi yang salah apabila
anak tidak menyikat gigi setiap hari, atau menyikat
gigi hanya 1 kali sehari. Waktu menyikat gigi yang
158
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 159
- 161
Gambar 4
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Frekuensi Anak Meminum
Susu dalam Sehari pada Anak Usia 2-5
Tahun
di
Puskesmas
Cempaka
Banjarmasin (n=100)
Gambar 2
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Jenis Susu yang Dikonsumsi
Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 3
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Kebiasaan Anak Meminum
Susu Sebagai Pengantar Tidur pada Anak
Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin (n=100)
Gambar 6
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Pada
Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)
Gambar 7
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu
Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 100 subjek penelitian anak usia 2-5
tahun di Puskesmas Cempaka Banrmasin, sebesar
96% (96 orang anak) mengalami NMC. Persentase
ini sangat tinggi karena hampir mencapai
keseluruhan dari total subjek penelitian. Tingginya
tingkat kejadian NMC ini bisa disebabkan oleh
banyak sekali faktor. Faktor utama penyebab karies
seperti host, bakteri, substrat dan waktu sudah pasti
berperan besar dalam penyebab terjadinya karies
pada anak ini. Faktor-faktor lain seperti tingkat
pendidikan dan pengetahuan ibu, kebiasaan
pemberian
susu
pada
anak,
kebiasaan
membersihkan gigi anak dan usia anak pun juga
dapat berperan dalam menyebabkan tingginya
angka kejadian NMC disini. Hal ini sesuai dengan
data mengenai angka karies gigi berdasarkan
RISKESDAS8 tahun 2007 yang menyatakan angka
karies gigi di Kalimantan Selatan sangat tinggi
yaitu 50,7% karies aktif dan 83,4% pengalaman
karies. Selain itu data mengenai angka kejadian
karies juga dapat dilihat pada hasil Studi Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT)8 pada tahun 2001 yang
diperoleh hasil sebanyak 81,3% anak berusia 5
tahun memiliki gigi yang berlubang. Hal ini juga
bisa terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat
untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya,
karena kesehatan gigi dan mulut masih menjadi hal
yang dianggap kurang penting bagi masyarakat
sekarang ini. 9
Nursing Mouth Caries merupakan
penyakit multi faktorial. Faktor-faktor penyebab
NMC termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,
tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme
seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta
waktu. Nursing Mouth Caries yang dibiarkan dan
tidak diobati dapat menyebabkan rasa sakit pada
anak, bakteremia, berkuranganya kemampuan
159
mengunyah anak, maloklusi pada gigi permanen,
masalah fonetik, dan kurangnya rasa percaya diri
pada anak. Selain itu karies gigi juga dilaporkan
dapat mengurangi kemampuan seorang anak untuk
menambah berat badan.11 Banyak faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya NMC seperti usia anak,
kebiasaan meminum susu anak, kebiasaan menyikat
gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan
orang tua khususnya ibu anak.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
dari Gambar 1, persentase NMC yang dilihat
berdasarkan usia anak menunjukkan semakin
bertambah usia anak cenderung semakin tinggi pula
tingkat perluasan NMC yang terjadi. Hal ini sesuai
dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Febriana Setiawati pada tahun 2012 di DKI Jakarta
yang menyatakan peningkatan usia anak
meningkatkan resiko kejadian NMC. Pada anak
yang diberikan susu lebih dini, kemungkinan
akumulasi karbohidrat dalam susu yang diberikan
akan lebih tinggi sehingga menyebabkan gigi
menjadi lebih rentan terserang karies. Makin
bertambah usia anak, makin tinggi resiko kejadian
NMC.10
Pada Gambar 2, 3 dan 4 didapatkan data
persentase NMC yang dilihat dari kebiasaan
meminum susu pada anak, dijumpai anak yang
meminum susu formula sebagian besar telah
menderita NMC, dan hanya 1 orang anak yang
ditemukan bebas karies. Begitu pula pada anak
yang meminum kombinasi ASI dan susu formula,
100% menderita NMC. Pada anak yang hanya
mengkonsumi ASI eksklusif, ditemukan 3 orang
bebas karies dan tingkat perluasan tertinggi masih
berada pada tipe II. Anak yang mengkonsumsi susu
sebagai pengantar tidur, 100% telah menderita
NMC. Dilihat dari frekuensi anak meminum susu
dalam sehari, pada anak yang mengkonsumsi susu
lebih dari 9 kali sehari tingkat perluasan karies
tertinggi sudah berada pada tipe III dan tipe IV.
Hal ini didukung oleh teori dari American
Academy of Pediatric Dentistry14 yang menyatakan
bahwa pemberian ASI sebenarnya merupakan
nutrisi yang ideal untuk anak. Pemberian ASI yang
berkepanjangan juga dapat menjadi resiko potensial
terjadinya NMC. Apabila ASI dan susu formula
beresiko besar terhadap kejadian NMC, maka hal
itu juga dapat terjadi pada anak yang
mengkonsumsi kombinasi ASI dan susu formula.
Kebiasaan pemberian susu pada anak yang
dikaitkan dengan kebiasaan anak meminum susu
sebagai pengantar tidur, dapat terlihat tingkat NMC
yang tinggi pada anak yang mengkonsumsi susu
sebagai pengantar tidur yang mana tingkat
perluasan NMC sudah berada pada tipe III
(moderate) dan tipe IV (severe), dan dari 83 anak
yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur
tidak ada anak yang bebas karies. Pada anak yang
tidak mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur
ditemukan 4 orang anak bebas karies, 5 orang
160
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 161
- 161
161
11.
12.
1.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
162
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 163
- 159
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya) 100% TERHADAP WAKTU
PENYEMBUHAN LUKA
Tinjauan Studi pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)
ABSTRACT
Background: Leaves of papaya (Carica papaya) are parts of one of the plants that can be used as a herbal
medicine that can accelerate wound healing. Papaya leaves contain saponins which are useful to trigger the
formation of collagen which plays a role in the wound healing process, papain which is useful as an antiinflammatory and antiedema, and the leaves also contain flavonoids and fenol which have activity as an
antiseptic, prevent the formation of free radicals and minimize injury due to oxidation reactions. Purpose: This
research aimed to find out whether the ethanol extract 100% papaya leaves could accelerate wound healing
period in the oral mucosa of mice. Methods: The type of this research was a pure experimental study which used
posttest-only with control design. This research used 27 mice as the samples and they were divided into 3
groups, treatment group was given ethanol extract 100% papaya leaves, negative control group was not given
any treatment, and positive control group was given povidone iodine. Results: The average of wound healing
period in the experimental, negative, and positive group were 7,6 days, 12,3 days and 9,5 days respectively. The
results of Kruskal Wallis and Mann-Whitney test showed significant difference among the treated, negative, and
control groups. Conclusion: Based on the results, it was concluded that ethanol extract 100% papaya leaves
was effective to accelerate the wound healing period in the oral mucosa of mice.
Keywords: ethanol extract 100 % papaya leaves, wound healing, oral mucosa.
ABSTRAK
Latar belakang: Daun pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman yang bisa dijadikan
tumbuhan obat yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Daun pepaya mengandung saponin yang berguna
untuk memicu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, papain berguna sebagai
antiinflamasi dan antiedema, serta mengandung flavonoid dan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai
antiseptik, mencegah pembentukan radikal bebas serta meminimalisir luka akibat reaksi oksidasi. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat
mempercepat waktu penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Metode: Jenis penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental murni dengan rancangan posttest-only with control design. Penelitian ini
menggunakan hewan coba mencit sebanyak 27 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan
yang diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%, kelompok kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan apapun,
dan kelompok kontrol positif yang diberi povidone iodine. Hasil: Rata-rata penyembuhan luka secara berturutturut pada kelompok perlakuan, negatif, dan positif adalah 7,6 hari, 12,3 hari, dan 9,5 hari. Hasil uji Kruskal
Wallis dan Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol negatif. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tersebut ekstrak etanol daun pepaya 100% efektif
mempercepat lama penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
Kata-kata kunci: ekstrak etanol daun pepaya 100%, penyembuhan luka, mukosa mulut.
164
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
163
Korespondesi: Eka Oktavia Ruswanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
oktavia_eka88@yahoo.com
PENDAHULUAN
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian
jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan.1 Luka akibat trauma dalam rongga mulut
merupakan hal yang sering terjadi. Trauma ini
dapat terjadi secara disengaja maupun tidak, yang
pada akhirnya akan menimbulkan luka pada
mukosa mulut.2 Penyembuhan luka yang normal
merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, tetapi mempunyai pola yang dapat
diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi
menjadi 3 fase, yaitu : hemostasis dan inflamasi,
proliferasi, serta maturasi dan remodeling. Fasefase ini akan terjadi saling tumpang tindih
(overlapping), dan berlangsung sejak terjadi luka
sampai tercapainya resolusi luka. Semua luka harus
melewati proses selular dan biokimia yang
berkelanjutan ini, agar tercapai pengembalian
intergritas jaringan yang sempurna.3
Penyembuhan luka dipengaruhi oleh banyak
faktor termasuk jenis obat-obatan yang digunakan.
Penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan luka
dapat dilakukan dengan berbagai macam dan jenis,
salah satunya adalah penggunaan obat tradisional.
Penggunaan atau pengobatan secara tradisional
semakin disukai karena pada umumnya kurang
menimbulkan efek samping seperti halnya pada
obat-obatan dari bahan kimia.4,5
Salah satu tanaman yang bisa dijadikan
tumbuhan obat adalah daun pepaya. Tanaman
pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang
mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran
tinggi, banyak dijumpai di Indonesia sebagai
tanaman kaya manfaat. Tanaman pepaya memiliki
banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang,
daun, bunga dan buahnya, yaitu sebagai sumber
vitamin, mineral dan senyawa lainnya untuk
kebugaran tubuh dan berkhasiat obat dalam bidang
kesehatan. Daun yang dimakan langsung setelah
dimasak diyakini memperkuat sekresi empedu, obat
mulas, sariawan, beri-beri, asma, jerawat, obat
cacing kremi, memperbaiki pencernaan serta
menambah nafsu makan.6
Secara tradisional ekstrak daun pepaya
digunakan sebagai pengobatan untuk sakit perut.
Daun muda dapat digunakan untuk pengobatan
demam, penambah nafsu makan, keputihan,
jerawat, menambah air susu, serta mengobati sakit
gigi. Ekstrak pepaya digunakan untuk memerangi
penyakit kanker dalam beberapa dekade terakhir.6
Menurut Indrawati tahun 2008 diketahui
bahwa daun pepaya dapat digunakan untuk
164
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 165
- 166
Mencit
MencitkekeMencit keGambar 2 Diagram Rata-rata Waktu Penyembuhan
Luka pada
Mukosa Mulut
(Mus musculus)
Gambar
1 Diagram
WaktuMencit
Penyembuhan
Luka yang
pada
DiberikanMukosa
Ekstrak Mulut
Etanol Mencit
Daun Pepaya
100%
(Mus musculus)
yang
Tidak Diberikan Perlakuan (Kontrol Negatif)
Mencit ke-
HASIL PENELITIAN
Diagram hasil penelitian tentang efektivitas
ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya) 100%
terhadap waktu penyembuhan luka dapat dilihat
pada Gambar.
166
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
PEMBAHASAN
Penyembuhan luka pada kelompok kontrol
negatif berlangsung lebih lama daripada kelompok
perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya
100%) dan kelompok kontrol positif (diberikan
povidone iodine). Hal ini terjadi karena proses
penyembuhan pada kelompok kontrol negatif
berlangsung secara alami. Penyembuhan pada
kelompok kelompok perlakuan (diberikan ekstrak
etanol daun pepaya 100%) lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena daun
pepaya mengandung saponin, flavonoid, fenol, dan
papain.
Penyembuhan luka secara fisiologis terbagi ke
dalam tiga fase, yakni fase respon inflamasi,
proliferasi, dan maturasi. Penyembuhan luka pada
kelompok kontrol negatif berawal dari fase
inflamasi yang terjadi segera setelah luka dan
berakhir 3-4 hari, daerah luka tampak merah dan
sedikit bengkak. Ada dua proses utama yang terjadi
pada fase ini yaitu hematom (penghentian
perdarahan) dan fagositosis (makrofag menelan
mikroorganisme dan sel debris). Fase berikutnya
adalah fase proliferasi (regenerasi) yang
berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21
setelah pembedahan. Fibroblas (menghubungkan
sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali
dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar
165
yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah
terjadinya luka. Kolagen dapat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka
terbuka.9
Mekanisme saponin dalam menyembuhkan
luka adalah memacu pembentukan kolagen, yaitu
struktur protein yang berperan dalam proses
penyembuhan
luka.
Flavonoid
merupakan
antimikroba yang mampu membentuk senyawa
kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta
dinding sel mikroba. Flavonoid bersifat anti
inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan
serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi
pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain
itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan
serta mampu meningkatkan kerja sistem imun
karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih
cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat
diaktifkan. Senyawa fenol memiliki kemampuan
untuk membentuk senyawa kompleks dengan
protein melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat
merusak membran sel bakteri. Enzim papain
memiliki efek antiinflamasi dan analgetik dengan
cara menetralisir mediator inflamasi seperti kinin
dan prostaglandin sehingga menghambat secara
langsung pada reseptor nyeri.3,10
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Erna
Septiningsih (2008) menyatakan bahwa gel ekstrak
etanol daun pepaya efektif menyembuhkan luka
bakar pada kulit punggung kelinci New Zealand.
Penelitian lain dilakukan oleh Januarsih Iwan dan
Nur Atik (2010) yang menyatakan bahwa
pemberian ekstrak daun pepaya dapat mempercepat
regenerasi epidermis dan granulasi jaringan pada
luka sayat kulit mencit (Mus musculus).
Penyembuhan luka pada kelompok positif lebih
cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif dan
hampir sama dengan kelompok perlakuan.
Penelitian ini menggunakan kelompok kontrol
positif (luka insisi diobati dengan povidone iodine)
dimaksudkan untuk menunjukan hasil kesembuhan
yang positif dengan menggunakan produk paten
yang umum digunakan sebagai obat luka. Povidone
iodine merupakan penggabungan senyawa yodium
dengan
polivinil
pirolidon
(PVP)
untuk
menghasilkan povidon-yodium yang digunakan
secara luas untuk antiseptik. Persenyawaan ini
merupakan zat antibakteri lokal yang efektif tidak
hanya untuk bakteri tetapi juga spora dan dapat
digunakan pada perawatan topikal dan sistemik.
Penggunaan zat povidone iodine sangat efektif
untuk mematikan mikroba, akan tetapi di sisi lain
akan menimbulkan iritasi pada luka karena zat-zat
yang terkandung dalam bahan antiseptik akan
dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena
komponen dan susunannya berbeda dengan sel-sel
tubuh.11
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak
etanol daun pepaya 100% efektif mempercepat
penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 167
- 166
166
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
168
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya
167
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSUM DAUN SIRIH (Piper betle Linn) 50% DAN 100%
SEBAGAI OBAT KUMUR TERHADAP PENINGKATAN
pH DAN VOLUME SALIVA
Tinjauan pada Mahasiswa PSKG FK Unlam Banjarmasin Angkatan 2011-2012
ABSTRACT
Background: Betel leaves infusion has antibacterial contents such chavichol, fatty acids, and fatty acid
hydroxyl, so it can increase the pH of saliva. It can also increase the volume of saliva because it has a bitter
taste that will chemically stimulate salivary secretion. Purpose: The purpose of this study was to know the
differences of the effectiveness of using betel leaves infusion 50% and 100% as a mouthwash of increase in the
pH and volume of saliva. Methods: This study used a quasi-experimental method with pre-post test control
group design and statistical test Kruskal-Wallis and Mann Whitney. The treatment was given to 3 groups, the
group that rinsing with betel leaves infusion 50%, the group that rinsing with betel leaf infusion 100%, and the
control group. Saliva was collected before and after treatment in a container pot for 5 minutes. Results: The
results showed no significant differences between 3 treatment groups in increasing the pH of saliva (p=0,200),
but there were significant differences between 3 treatment groups in increasing the volume of saliva (p=0,042).
The results of Mann Whitney test showed betel leaves infusion 50% was increasing the volume of saliva
(p=0,025), and betel leaves infusion 100% was increasing the volume of saliva (p=0,405). Conclusion: It can be
concluded that there was not an increase in the pH of saliva in the group that rinsing with betel leaves infusion
50% and 100% in the fifth minute, and there was an increase in the volume of saliva in the group that rinsing
with betel leaves infusion 50%.
Keywords: Betel leaves infusion (Piper betle Linn) 50%, betel leaves infusion (Piper betle Linn) 100%,
mouthwash, pH of saliva, volume of saliva
ABSTRAK
Latar Belakang: Infusum daun sirih memiliki kandungan yang bersifat antibakteri seperti chavichol,
asam lemak, dan asam lemak hidroksil, sehingga dapat meningkatkan pH saliva. Infusum daun sirih juga dapat
meningkatkan volume saliva karena meliliki rasa pahit yang secara kimiawi akan merangsang sekresi saliva.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan air rebusan daun
sirih 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH dan volume saliva. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode quasi experimental dengan pre-post test control group design dan uji statistik Kruskal
Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Perlakuan diberikan pada 3 kelompok, yaitu kelompok yang
berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan
kelompok kontrol. Saliva dikumpulkan sebelum dan sesudah perlakuan pada pot penampung selama 5 menit.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam
meningkatkan pH saliva (p=0,200), tetapi terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam
meningkatkan volume saliva (p=0,042). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan infusum daun sirih 50% dapat
meningkatkan volume saliva (p=0,025), sedangkan infusum daun sirih 100% tidak dapat meningkatkan volume
saliva (p=0,405). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peningkatan pH saliva pada kelompok
yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun 100% pada menit kelima, dan terdapat peningkatan
volume saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%.
168
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 169
- 173
Kata kunci: Infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50%, infusum daun sirih (Piper betle Linn) 100%, obat
kumur, pH saliva, volume saliva
Korespondensi: Dea Raissa Pratiwi, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email: raissadea12@gmail.com
PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia sampai saat ini merupakan masalah
klasik, ini ditandai dengan angka prevalensi karies
gigi dan penyakit periodontal yang masih tetap
tinggi.1 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 di bidang kesehatan gigi dan mulut,
prevalensi penduduk yang mempunyai masalah
gigi-mulut adalah 23,4%, prevalensi nasional karies
aktif 43,4%, dan prevalensi pengalaman karies
67,2%. Dari penduduk yang mempunyai masalah
gigi dan mulut terdapat 29,6% yang menerima
perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan
gigi. Jenis perawatan yang paling banyak diterima
penduduk yang mengalami masalah gigi dan mulut
yaitu pengobatan (87,6%), disusul penambalan,
pencabutan, dan bedah gigi (38,5%).2
Saliva merupakan salah satu komponen yang
memiliki arti yang penting bagi kesehatan gigi dan
mulut. Saliva tidak hanya membantu proses
pengunyahan, tetapi juga berperan sebagai
pelindung multidimensional dan saliva dapat
dijadikan bahan informasi untuk tingkat cairan
jaringan sesudah minum obat, status emosional,
status hormon, status immunologi, status neurologi,
status nutrisi, dan pengaruh metabolisme. Saliva
dapat dijadikan suatu media dalam mendiagnostik
dalam bidang kedokteran gigi.3,4
Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri
dari 99% air, berbagai elektrolit yaitu sodium,
potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat,
fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan
sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba,
glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida, dan
oligopeptida yang berperan dalam menjaga
kesehatan rongga mulut.4,5 Saliva sebagai penjaga
keseimbangan ekosistem rongga mulut, memiliki
beberapa peranan diantaranya sebagai protektor,
menjaga keseimbangan
buffer, memelihara
integritas gigi, sebagai antimikroba, memelihara
mukosa, membantu sistem pencernaan, menjaga
oral hygiene, membantu proses bicara, membantu
keseimbangan cairan, dan sebagai pengecap rasa.6
Salah satu peran saliva adalah menjaga
keseimbangan buffer di dalam rongga mulut.
Kapasitas buffer saliva membantu melindungi gigi
dari terjadinya proses demineralisasi enamel yang
dapat disebabkan karena pH saliva yang rendah
akibat produksi asam bakteri selama metabolisme
karbohidrat berlangsung.7
169
penampung bertutup dan dibiarkan dingin dalam
suhu ruangan.17
Subjek diinstruksikan untuk tidak menyikat
gigi dan makan atau minum selama 1 jam sebelum
penelitian. Metode pengumpulan saliva yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode
passive drool, yaitu dengan cara mengalirkan saliva
secara pasif dari mulut ke dalam pot penampung
saliva. Metode ini adalah metode yang paling
efektif,
sering
digunakan
dan
sangat
direkomendasikan karena telah diterima oleh
banyak peneliti. Responden diminta untuk berdiri
tegak lurus dengan lantai dan tenang. Kepala harus
sedikit menunduk, condong ke depan dan mulut
harus tetap terbuka dan biarkan saliva mengalir
pada pot penampung selama 5 menit. Pada akhir
pengumpulan saliva, sisa saliva pada mulut harus
diludahkan ke dalam pot penampung. Dari pot
penampung, saliva dipindahkan ke gelas ukur yang
telah diberi label (nama subjek) untuk diukur
volume dan pH-nya dan dicatat pada form
penelitian. Volume saliva diukur dalam satuan mL.
Pengukuran pH saliva dilakukan secara langsung
(tanpa pengenceran) dengan pH meter dengan
ketelitian 1 angka di belakang koma.17
Setelah pengambilan data awal, responden
diberikan instruksi tentang perlakuan yang akan
diberikan sesuai kelompok. Kelompok 1 berkumur
dengan infusum daun sirih 50%, kelompok 2
berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan
kelompok kontrol (-) berkumur dengan aquades,
masing-masing sebanyak 10 mL selama 30 detik.
Setelah berkumur, responden diinstruksikan untuk
mengumpulkan saliva kembali dengan metode
passive drool dan dilakukan pengukuran pH dan
volume saliva seperti pada pengambilan data awal.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian Efektivitas Penggunaan
Infusum Daun Sirih (Piper betle Linn) 50% dan
100% sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan
pH Saliva dapat dilihat pada Gambar 1.
170
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 171
- 173
PEMBAHASAN
172
Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih
tidak berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva
pada menit ke-5.
Berdasarkan hasil penelitian Firdausi (2011),
penggunaan air rebusan daun sirih konsentrasi 50%
sebagai obat kumur dapat mempercepat terjadinya
peningkatan pH saliva setelah mengkonsumsi
karbohidrat.17 Pada hasil penelitian tersebut, pH
saliva mengalami penurunan pada menit ke-2
setelah perlakuan, kemudian mulai meningkat
kembali pada menit ke-6 hingga menit ke-10. Pada
hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh
campuran madu dan teh hijau tehadap perubahan
pH saliva anak, pH saliva yang mulai diukur pada
menit ke-1 lebih rendah daripada menit ke 5, 15,
atau ke 30, hal ini menunjukkan bahwa waktu
berperan dalam menentukan besarnya perubahan
pH saliva yang terjadi. pH saliva relatif stabil pada
menit ke-15 karena kapasitas buffer saliva mampu
menetralisir keadaan asam sebagai proses
pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme
maupun asam-asam organik, sedangkan pada menit
ke-30 tampak penurunan pH saliva karena reaksi
kimiawi yang lebih dominan ke arah asam sudah
dapat mempengaruhi aksi buffer saliva.19 Pada
penelitian ini, peneliti hanya mengukur pH saliva
setelah menit ke-5 yaitu setelah pengumpulan
saliva, dan peneliti tidak mengukur pada menitmenit selanjutnya hingga menit ke-10 dimana pada
periode tersebut terjadi peningkatan pH saliva. Pada
penelitian ini pH saliva yang terukur hanya di menit
ke-5 dimana pada periode tersebut pH saliva belum
meningkat secara maksimal. Hal ini dapat terjadi
karena proses kimiawi terkadang memerlukan
waktu yang berbeda-beda dan bervariasi karena
suatu reaksi kimia bisa cepat atau lambat.
Terjadinya penurunan maupun peningkatan pH
saliva yang tergantung pada waktu pengukuran
berkaitan dengan buffer saliva dan perbedaan
kecepatan proses denaturasi serta fermentasi
komponen-komponen dalam saliva.19
Buffer saliva berperan dalam mengatur
keasaman pH rongga mulut. Sistem buffer pada
saliva manusia terdiri dari sistem buffer fosfat,
bikarbonat, dan protein.11 Kapasitas buffer saliva
merupakan faktor penting yang memainkan peran
dalam pemeliharaan pH saliva dan remineralisasi
gigi. Kapasitas buffer berkorelasi dengan laju aliran
saliva, pada saat laju aliran saliva menurun
cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan
meningkatkan resiko perkembangan karies.20
Konsentrasi bikarbonat yang merupakan buffer
penting dalam saliva, tidak konstan tapi bervariasi
menurut laju aliran saliva, seperti pada saliva yang
tidak distimulasi mengandung sedikit bikarbonat,
sedangkan saliva yang distimulasi mengandung
lebih banyak bikarbonat tergantung intensitas
stimulus yang diberikan. Hal ini menyebabkan pH
saliva sangat bergantung pada laju sekresi.11
Peningkatan kecepatan aliran saliva akan
meningkatkan konsentrasi bikarbonat, fosfat, dan
171
kalsium, hal ini dapat menyebabkan pH saliva
meningkat.21 Dalam kondisi fisiologis, kapasitas
buffer saliva akan bekerja dengan ion kalsium dan
fosfat untuk mempertahankan kejenuhan dengan
menjaga pH agar mendekati netral di dalam
lingkungan rongga mulut.11
Setelah mengasup gula yang terkandung
dalam makanan, pH pada plak akan turun dan terus
turun hingga gula dibersihkan dari mulut dan
bakteri yang memproduksi asam ter-buffer.
Besarnya penurunan pH ditentukan oleh jumlah
asam yang diproduksi oleh bakteri dan kapasitas
buffer saliva. Berikut adalah kurva Stephan yang
menunjukkan pengaruh berkumur dengan sukrosa
terhadap pH plak.11
172
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 -173
173
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan.
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Desember,
2008.
Soelarso H, Roesanto HS, Achmad M. Peran
Komunikasi Interpersonal dalam Pelayanan
Kesehatan Gigi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.)
JuliSeptember 2005; 38(3): 124129.
Rantonen P. Salivary Flow and Composition
in Healthy and Diseased Adult [Dissertation].
Kuopio, Firland: University of Helsinki, 2003.
p.12.
Hartini E. Serba-serbi ilmu konservasi gigi.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005.
p.69-59.
Del P, Maria A, Angela M, Adilson A, Reis L.
Saliva Composition and Function: A
Comprehensive Review. J Contemp Dent
Pract 2008; 9(3): 5-2.
Nanci A. Oral Histology Development,
Structure, and Function. St. Louis: Mosby
Elsevier 2008; 294-290: 316-313.
Pink R, Simek J, Vondrakova J. Saliva As A
Diagnostic Medium. Biomed Pap Med Fac
Univ Palacky Olomouc Czech Repub 2009;
153(2): 103-110.
Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan
Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan
pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.
174
Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
173
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
174
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 175
- 173
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
GAMBARAN PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI
DI POLI GIGI RSUD ULIN BANJARMASIN
ABSTRACT
Background: Root canal treatment (RCT) is a mechanical and chemical treatment procedures that are
biologically acceptable in root canal to eliminate pulp and periradicular disease and also improve health and
repair of periradicular tissues. Purpose: This study aimed to obtain information about RCT based on the
characteristics of age, gender, socioeconomic status and which tooth were often done RCT also the most
respondents reasons who did RCT at dental poly of Regional Public Hospital of Ulin in Banjarmasin. Methods:
This was an observational descriptive study with 100 samples, with purposive sampling method. Data was
collected by interviews and direct observation to patients who did RCT. Results: The results showed the age
group 20-40 years was the most respondents did RCT (67%). Women were more frequently done RCT (65%)
than men (35%). Respondents with lower socioeconomic status was the most respondents who did RCT (41%).
Toothache was the most respondents reason who did RCT (42%). Dental elements which most often performed
RCT were first molar permanent right and left mandibular teeth (13%). Conclusion: Root canal treatment was
most often performed on women in the age group 25-34 years, lower socio-economic status, with toothache
excused at first molar permanent mandibular teeth.
Keywords: root canal treatment, age, gender, socio-economic status
ABSTRAK
Latar belakang: Perawatan saluran akar gigi (PSA) adalah suatu prosedur perawatan mekanis dan
kimiawi yang secara biologis diterima di dalam saluran akar untuk mengeliminasi penyakit pulpa dan
periradikuler serta meningkatkan kesehatan dan perbaikan dari jaringan periradikuler. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran PSA berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin,
status sosial ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA serta alasan responden melakukan PSA di poli
gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan jumlah sampel
100 orang, dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi
langsung pada pasien yang melakukan PSA. Hasil: menunjukkan kelompok umur 20-40 tahun merupakan
responden yang paling banyak melakukan PSA (67%). Perempuan lebih sering melakukan PSA (65%) daripada
laki-laki (35%). Responden dengan status sosial ekonomi agak rendah paling banyak melakukan PSA (41%).
Sakit gigi merupakan alasan terbanyak responden melakukan PSA (42%). Elemen gigi yang paling sering
dilakukan PSA adalah gigi molar 1 permanen kanan dan kiri rahang bawah sebagai elemen gigi yang paling
sering dilakukan PSA (13%). Kesimpulan: Perawatan saluran akar paling sering dilakukan pada perempuan
dengan kelompok umur 20-40 tahun, status sosial ekonomi agak rendah, dengan keluhan sakit gigi pada molar 1
permanen rahang bawah.
Kata Kunci: perawatan saluran akar gigi, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi
Korespondensi: Maya Sagita, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: maya.aya.sagita@gmail.com
175
Sagita
176 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
PENDAHULUAN
Karies merupakan kerusakan jaringan
keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada
dalam
karbohidrat
melalui
perantara
mikroorganisme yang ada dalam saliva.1 Karies
dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman
permukaan, yaitu karies email (karies superfisial),
karies dentin (karies media) dan karies akar (karies
profunda).2 Menurut Branstrom dan Lind (1965)
serta Langeland (1996), reaksi pulpa dapat terjadi
pada lesi dini karies dentin. Meskipun pulpa belum
terbuka, sel-sel peradangan dapat mengadakan
penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang
terbuka sehingga jika karies sudah meluas
mengenai pulpa, itu berarti peradangan sudah
kronis. Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan
sebagai pulpitis reversibel dan irreversibel, pulpitis
hiperplastik dan nekrosis.3
Respon iritasi pulpa adalah peradangan
dan jika tidak dirawat akan berkembang menjadi
nekrosis pulpa. Peradangan bisa menyebar ke
tulang alveolar sekitarnya dan menyebabkan
penyakit periapikal. Besarnya masalah yang
berhubungan dengan pulpa tidak boleh dianggap
remeh. Konsekuensi paling serius dari penyakit
pulpa adalah sepsis oral. Jika infeksi menyebar dari
gigi maksilaris, dapat menyebabkan sinusitis
purulen, meningitis, abses otak, selulitis orbital dan
cavernous sinus thrombosis, sebaliknya, jika infeksi
berasal dari gigi mandibula dapat menyebabkan
ludwigs
angina,
abses
parapharyngeal,
mediastinitis, pericarditis, emphysema dan jugular
thrombophlebitis.4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional
menunjukkan bahwa tahun 2007, Kalimantan
Selatan merupakan provinsi ke-dua dengan
persentase pengalaman karies tertinggi, yaitu
84,7%. Kalimantan Selatan juga merupakan
provinsi dengan indeks kesehatan gigi (DMF-T)
tertinggi yaitu sebesar 6,83 meliputi gigi karies atau
decay (D-T) 1,31, gigi dicabut atau missing (M-T)
5,52 dan gigi ditumpat atau filling (F-T) 0,12.5
Dapat disimpulkan bahwa banyaknya gigi yang
ditumpat lebih sedikit daripada gigi yang missing
atau diindikasi pencabutan. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih
kurang menyadari pentingnya merawat dan
mempertahankan gigi di dalam rongga mulut.6
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran
perawatan saluran akar gigi di poli gigi
RSUD Ulin Banjarmasin.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
observasional yang diperoleh dari wawancara dan
observasi langsung pada pasien yang melakukan
perawatan saluran akar gigi. Penelitian ini
Gambar 1.
Gambaran Perawatan Saluran
Akar Gigi (PSA) berdasarkan kelompok
umur
Gambar 1 menunjukkan sampel yang
melakukan PSA di Poli Gigi RSUD Ulin
Banjarmasin paling banyak pada kelompok umur
20-40 tahun (67%), kemudian diikuti kelompok
umur 40-65 tahun (25%), kelompok umur 10-20
tahun (8%) dan lebih dari 65 tahun (0%).
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa yang
paling banyak melakukan PSA adalah kelompok
umur 20-40 tahun (67%), sedangkan yang paling
sedikit adalah kelompok umur lebih dari 65 tahun
(0%).
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 -177
178
176
berdasarkan
jenis
berdasarkan
Status
Sagita
178 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
molar 2 permanen kiri bawah (11%), molar 1
permanen kiri atas (9%), insisif sentral permanen
kanan atas (7%), insisif sentral permanen kiri atas
(6%), premolar 2 permanen kanan atas, molar 1
permanen kanan atas dan molar 2 permanen kanan
bawah (5%), premolar 1 permanen kanan atas,
molar 2 permanen kanan atas, premolar 1 permanen
kiri bawah, dan premolar 2 permanen kanan bawah
(4%), premolar 2 permanen kiri atas (3%), premolar
1 permanen kiri atas (2%), serta insisif lateral
permanen kanan, insisif lateral permanen kiri atas,
molar 2 permanen kiri atas, insisif lateral permanen
kanan bawah, dan kaninus lateral permanen kanan
bawah (1%). Kaninus permanen atas, insisif sentral
permanen bawah, insisif lateral permanen kiri
bawah, kaninus permanen kiri bawah dan premolar
2 permanen kanan bawah merupakan elemen gigi
yang tidak dilakukan PSA selama penelitian (0%).
PEMBAHASAN
Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa
yang paling banyak melakukan PSA adalah
kelompok umur 20-40 tahun (67%), sedangkan
yang paling sedikit adalah kelompok umur lebih
dari 65 tahun (0%). Hal ini mungkin disebabkan
karena
berdasarkan
RISKESDAS
Provinsi
Kalimantan Selatan (2007) pada kelompok umur
35-44 tahun rata-rata kehilangan 5,09 gigi dan pada
kelompok umur 65 tahun ke atas rata-rata memiliki
kehilangan 22,73 gigi. Dapat disimpulkan bahwa
pada usia 35 tahun ke atas banyak masyarakat di
Kalimantan Selatan yang mencabut giginya dan
semakin bertambahnya umur, semakin banyak gigi
yang telah dicabut.6 Selain itu, Kalimantan Selatan
merupakan salah satu wilayah yang memiliki
potensi endapan gambut terluas.7 Daerah dengan
potensi endapan gambut memiliki pH air tanah
yang secara umum cenderung asam, yaitu 3-4,5.8
air gambut memiliki pH yang asam yang dapat
meningkatkan demineralisasi, yang nantinya akan
menyebabkan gigi mudah terkena karies karena
tidak seimbangnya proses demineralisasi dan
remineralisasi.9
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa
wanita lebih banyak melakukan PSA (65%)
daripada laki-laki (35%). Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian terdahulu oleh Hollanda et al
(2008) di Brazil dan Ahmed et al (2009) di Pakistan
bahwa perempuan lebih banyak melakukan PSA
daripada laki-laki.10,11 Hal ini mungkin terjadi
karena perempuan lebih peduli dengan kesehatan
oral.12 Hal ini didukung juga dengan pernyataan
dari Ambarwati (2012) bahwa perempuan lebih
mengutamakan estetik dibanding laki-laki, sehingga
perempuan sangat memperhatikan kesehatan
giginya.13
Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa
bahwa responden dengan sosial ekonomi yang agak
rendah merupakan responden yang paling banyak
177
melakukan PSA (41%). Tidak ada responden
dengan sosial ekonomi tinggi yang melakukan PSA
(0%) di poli gigi RSUD Ulin. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Budisuari et al (2010) bahwa status
sosial ekonomi rendah cenderung terkena karies
lebih tinggi yaitu sebesar 1.116 kali dibanding
sosial ekonomi yang lebih tinggi.14
Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa
alasan terbanyak melakukan PSA adalah sakit gigi
(42%) sedangkan yang paling sedikit adalah
tambalan lepas (1%). Hal ini mungkin terjadi
karena umumnya pulpitis irreversibel dan nekrosis
diawali dengan karies gigi. Umumnya karies pada
tahap awal belum menimbulkan rasa sakit, sehingga
pasien tidak merasa perlu untuk ditambal. Bila
dibiarkan terus-menerus tanpa ditambal, proses
dapat berlanjut dan mengenai pulpa sehingga
menyebabkan sakit gigi yang berulang.15
Berdasarkan pernyataan Darwita et al (2010), sakit
gigi menurunkan produktivitas kerja seseorang.
Oleh karena hal tersebut, seseorang dengan sakit
gigi paling banyak melakukan PSA.16
Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa
elemen gigi yang paling banyak dilakukan PSA
adalah gigi molar 1 permanen kanan rahang bawah
dan molar 1 permanen kiri rahang bawah dengan
persentasi masing-masing 13%, sedangkan elemen
gigi yang selama penelitian tidak ditemukan
dilakukan PSA adalah gigi kaninus permanen
kanan rahang atas, kaninus kiri permanen rahang
atas, kaninus kiri permanen rahang bawah, insisif
sentral permanen kiri rahang bawah, insisif lateral
permanen kiri rahang bawah, insisif sentral
permanen kanan rahang bawah, dan premolar 1
permanen kanan rahang bawah (0%). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh
Ahmed et al (2009) yang menyatakan bahwa molar
merupakan yang paling banyak dilakukan PSA
(54%) dengan persentasi molar 1 permanen rahang
bawah yang paling banyak (21.2%). 11 Demikian
pula hasil penelitian Oglah et al (2011) yang
menyatakan bahwa molar permanen rahang bawah
merupakan gigi yang paling sering dilakukan PSA
(23.01%).17 Berbeda dengan hasil penelitian
Hollanda et al (2008) dan bahwa PSA paling
banyak dilakukan pada gigi premolar dan molar
permanen rahang atas, demikian pula dengan hasil
penelitian Marza dan Ranj (2009) yang menyatakan
bahwa insisif sentral dan premolar 1 permanen
rahang atas yang paling banyak dilakukan PSA.10,18
Hal ini mungkin terjadi karena gigi molar 1
permanen merupakan gigi permanen pertama yang
erupsi sehingga paling lama terpapar dengan
etiologi karies.19 Hal ini didukung dengan
pernyataan bahwa gigi molar merupakan gigi yang
beresiko mengalami karies, terutama fissure dan
permukaan proksimal, dari aspek mesial molar
kedua sampai aspek distal premolar pertama.20
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, PSA di Poli
Gigi RSUD Ulin Banjarmasin paling sering
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 179
- 178
178
14.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
180
Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
179
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS OBAT KUMUR BEBAS ALKOHOL YANG MENGANDUNG
CETYLPYRIDINIUM CHLORIDE DENGAN CHLORHEXIDINE TERHADAP PENURUNAN PLAK
Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012
ABSTRACT
Background: Mouthwash is solution used to clean the mouth, prevent dental caries and periodontal
diseases. Chlorhexidine (CHX) is potential material in inhibiting plaque, buts long-term use may be harmful
because it contains alcohol and can cause discoloration of teeth and restorations. Cetylpyridinium chloride
(CPC) is materials that inhibit plaque effectively without alcohol and has lower side effect. Purpose: This study
aimed to determine differences on the effectiveness of the use of mouthwash containing CPC compared with
CHX to decrease plaque. Methods: This study used a quasi-experimental with pretest-posttest control group
design with 60 subjects. The study on plaque index was conducted twice, initial check up and two weeks after the
treatment. This study used a disclosing agent with Quigley and Hein method by Turkesky, Gilmore, and
Glickman.Results: The study results indicated that the average reduction in plaque index of the group taking
CPC mouthwash before and after treatment was 1.25 and down to 0.63 respectively, and the group taking the
CHX mouthwash was 1.22 and down to 0.44 respectively. The result of effectiveness test in each group before
and after treatment with paired t-test was p=0,000. The test of plaque reduction between the groups with the
Mann-Whitney test showed that p=0.129. Conclusion: It could be concluded that both mouthwashes were
effective in reducing plaque index after used for 2 weeks twice a day and there was no significant difference.
Cetylpyridinium Chloride mouthwash could be used as an alternative of Chlorhexidine mouthwash to inhibit
plaque.
Keywords: Mouthwash, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), dental plaque.
ABSTRAK
Latar belakang: Obat kumur adalah larutan yang digunakan untuk membersihkan rongga mulut,
mencegah karies gigi dan penyakit periodontal. Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan yang potensial dalam
menghambat plak, namun penggunaan jangka panjang dapat berdampak buruk karena mengandung alkohol
dan dapat mewarnai gigi dan restorasi. Cetylpyridinium Chloride (CPC) bahan yang efektif menghambat plak
tanpa alkohol dan efek samping lebih rendah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
efektifitas penggunaan obat kumur yang mengandung CPC dibandingkan dengan CHX terhadap penurunan
plak. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan pretest-posttest
control group design dengan jumlah sampel 60 orang. Penelitian terhadap indeks plak dilakukan sebanyak 2
kali, yaitu pemeriksaan awal dan 2 minggu setelah perlakuan. Penelitian ini menggunakan disclosing agent
dengan metode Quigley dan Hein yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman untuk mengukur
indeks plak. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penurunan indeks plak kelompok yang mengonsumsi
obat kumur CPC sebelum sebesar 1,25 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,63. Pada kelompok mengonsumsi
obat kumur CHX sebelum sebesar 1,22 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,44. Uji efektivitas setiap
kelompok sebelum sesudah dengan menggunakan t-test berpasangan dengan nilai p sebesar 0,000. Uji
penurunan plak antar kelompok menggunakan uji Mann-Whitney dengan nilai p sebesar 0,129. Kesimpulan:
180
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 181
- 183
Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kedua obat kumur tersebut efektif dalam
menurunkan indeks plak setelah pengguunaan selama 2 minggu 2 kali sehari dan tidak ada perbedaan yang
bermakna, serta obat kumur CPC dapat dijadikan alternatif dari obat kumur CHX untuk menghambat plak.
Kata-kata kunci: Obat kumur, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), plak gigi.
Korespondensi: Dian Novita Sari, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalsel, email : dian_nv@ymail.com
PENDAHULUAN
Karies merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh interaksi antara bakteri plak, diet,
keadaan gigi-geligi dan waktu. Plak merupakan
salah satu penyebab dari karies gigi dan penyakit
periodontal. Plak didominasi oleh bakteri
Streptococcus Mutans dan Lactobacillus.1 Upaya
pencegahan karies dan penyakit periodontal dapat
dilakukan dengan peningkatan kesehatan gigi dan
mulut, salah satu caranya dengan mencegah
pembentukan plak dan pembersihan plak secara
teratur.2
Plak merupakan salah satu deposit lunak
berwarna putih keabu-abuan atau kuning yang
melekat erat pada permukaan gigi.3,4 Plak dapat
terbentuk setelah satu atau dua hari tanpa tindakan
kebersihan mulut.3 Plak biasanya mulai terbentuk
pada sepertiga permukaan gingiva dan pada
permukaan gigi yang cacat dan kasar.5
Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara
mekanis yaitu menyikat gigi dan penggunaan obat
kumur.1
Penggunaan obat kumur dalam kontrol
plak sehari-hari ditujukan sebagai tambahan dalam
penyingkiran plak secara mekanis tersebut. Hal ini
disebabkan berkumur dengan obat kumur dapat
mencapai lebih banyak permukaan-permukaan dari
rongga mulut.6 Pada umumnya obat kumur
mengandung 5-25% alkohol. Alkohol dimasukkan
dalam obat kumur untuk beberapa kegunaan, antara
lain sebagai antiseptik, memperpanjang masa
simpan obat kumur, mencegah pencemaran
mikroorganisme, dan pelarut.6 Namun kandungan
alkohol dalam obat kumur ini menyebabkan
individu-individu tertentu tidak dapat menggunakan
obat kumur yang mengandung alkohol, seperti
anak-anak, ibu hamil/ menyusui, pecandu alkohol,
pasien-pasien yang menggunakan metronidazole,
dan pasien dengan xerostomia.7 Kandungan alkohol
yang terdapat dalam obat kumur juga dapat
meningkatkan risiko kanker rongga mulut, terutama
bila pemakaian terus-menerus.8
Cetylpyridinium chloride (CPC) adalah
senyawa amonium kuartenari yang merupakan
bakterisid monokationik.9,10,11 Cetylpyridinium
chloride biasanya digunakan untuk terapi infeksi
superfisial rongga mulut dan kerongkongan.
Cetylpyridinium chloride dapat larut dalam air,
182
Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol
181
HASIL PENELITIAN
182
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 -183
183
DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap
Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi
yang mengandung herbal. Majalah Kedokteran
Gigi (Dent. J.) 2005; 38(2): 6467.
2. Rao D. Efficacy of an alcohol-free CPCcontaining mouthwash against oral multispecies
biofilms. The Journal of Clinical Dentistry
2011; 22: 187-194.
3. Carranza FA, Newman MG and Takei HH.
Clinical periodontology. 9th Ed. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2002. p. 110-112.
4. Cawson RA, Odell EW and Porter S. Cawsons
essential of oral pathology and oral medicine.
7th Ed. Spain: Churchill Livingstone. 2002. p.
43-47.
5. Putri MH, Eliza H dan Neneng N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010. h.
56-77.
6. Rawlinson A, Pollington S, Walsh TF, Lamb
DJ, Marlow I, Haywood S and Wright P.
Efficacy of two alcohol free cetylpyridinium
chloride mouthwashes a randomized doubleblind crossover study. J Clin Periodontol 2008;
35: 230-5
7. Witt J, Ramji N, Gibb R, Dunavent J, Flood J
and Barnes J. Antibacterial and antiplaque
effects of a novel, alcohol- free oral rinse with
cetylpyridinium chloride. Journal Contemporary
Dental Practice 2005 ; 6(1) : 2-8.
8. Quirynen M, Soers C, Desnyder M, Dekeyser
C, Pauwels M and Steenberghe D. A 0.05%
cetylpyridinium chloride 0.05% chlorhexidine
mouth rinse during maintenance phase after
183
initial periodontal therapy. J Clin Periodontol
2005; 32:3912.
9. Herrera D, santos S, Barbieri G, Trombelli L
and Sans M. Efficacy of 0.15% benzydamine
hydrochloride and 0.05% cetylpyridinium
chloride mouth rinse on 4 day de novo
plaque formation. J Clin Periodontol
2005;32:595-6
10. Watanabe E, Tanomaru JMG, Nascimento AP,
Matoba-Junior F, Tanomaru-Filho M and Ito
IY. Determination of the maximum inhibitory
dilution of cetylpyridinium chloride-based
mouthwashes againts Staphylococcus aureus
an in vitro study, J Appl Oral Sci. 2008; 16(4):
275
11. RA Regina NS. The effect of mouthwash
containing cetylpyridinium chloride on salivary
level of streptococcus mutans. 2007 Jurnal
PDGI; 57(1): 19-24.
12. Williams MI. The antibacterial and plaque
effectiveness of mouthwashes containing
cetylpyridinium chloride with and without
alcohol in improving gingival health. The
Journal of Clinical Dentistry. 2011; 22: 179182.
13. Bakar A. Kedoteran gigi klinis. Yogyakarta:
Quantum Sinmergis Media. 2012. h. 134-135.
14. Eley BM and Manson JD. Periodontics. 5th Ed.
London: Wright. 2004. p. 209-222.
15. Anonimous. Riskesdas. Laporan hasil riset
kesehatan dasar provinsi kalimantan selatan
tahun 2007. Jakarta: Dapartemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2009.
16. He S, Yin W, Xu F, Deyu H and Sreenivasan
PK. A clinical study ti asses the 12-hour
antimicrobial effects of cetylpyridinium
chloride mouthwashes on supragingival plaque
bacteria. J Clin Dent 2011; 22: 195-199.
17. DePaola LG, Spolarich AE. Safety and
efficacy of antimicrobial mouthrinse in clinical
practice. Journal of Dental Hygiene 2007: 1322.
18. Fitriastuti P. Kegunaan efek chlorhexidine
terhadap resiko karies ditinjau dari ph plak dan
ph saliva pada pasien yang menggunakan alat
ortodontik cekat. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia. 2008. h. 5-18.
19. Putri NSE. perbandingan efektifitas obat
kumur bebas alkohol yang mengandung
cetylpiridinium chloride (CPC) dengan
chlorhexidine (CHX) terhadap streptococcous
mutans. Skipsi. Medan: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara. 2009. h. 517.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 185
- 183
184
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
GAMBARAN KLINIS XEROSTOMIA PADA WANITA MENOPAUSE
DI KELURAHAN SUNGAI PARING
KECAMATAN MARTAPURA
186
Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia
PENDAHULUAN
Menopause merupakan kejadian yang
normal pada seorang wanita dan setiap wanita pasti
akan mengalami masa menopause.1 Menurut World
Population Ageing (WPA), diperkirakan jumlah
penduduk lanjut usia di negara maju dan
berkembang akan terus meningkat dari 737 juta
pada tahun 2009 menjadi lebih dari 2 milyar pada
tahun 2050 yang sebagian besar merupakan wanita
menopause.2 Usia terjadinya menopause pada
wanita di seluruh dunia antara 40-60 tahun dengan
rata-rata usia 51 tahun.3 World Health Organization
(WHO), juga memperkirakan jumlah wanita usia 60
tahun ke atas akan meningkat dari 336 juta pada
tahun 2000 menjadi lebih dari 1 milyar pada tahun
2050.4
Prevalensi wanita menopause di Asia
sebanyak 60% dari seluruh dunia.5 Menurut Depkes
RI
pada tahun 2005, diperkirakan penduduk
Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6
juta jiwa dengan jumlah wanita yang hidup dalam
usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dan usia ratarata menopause 49 tahun.6 Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2005 memperkirakan jumlah
wanita menopause di Kalimantan Selatan sebanyak
34.063 orang dengan jumlah terbanyak pada usia
50-54 tahun yaitu 18.388 orang.7 Berdasarkan BPS
Kabupaten Banjar pada tahun 2010, diketahui
jumlah wanita usia 50 tahun ke atas di Kelurahan
Sungai Paring Kecamatan Martapura sebanyak 628
orang.8
Menopause merupakan suatu fase kehidupan
wanita yang ditandai dengan berakhirnya
menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi.
Perempuan dinyatakan menopause bila sudah tidak
mengalami siklus menstruasi berturut-turut minimal
selama 12 bulan.9 Usia terjadinya menopause antara
45 sampai 55 tahun, dengan usia rata-rata 52,5
tahun.10 Salah satu perubahan aspek fisik yang
dapat terjadi selama masa menopause adalah
perubahan pada mulut antara lain rasa terbakar,
gingiva bengkak, merah dan berdarah, perubahan
indra perasa serta mulut kering (xerostomia).11
Xerostomia pada wanita menopause
dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi
pada masa menopause. Prevalensi xerostomia
berkisar antara 14-46%, yang secara konsisten lebih
tinggi pada wanita. Prevalensi xerostomia pada
wanita adalah 8,1% dan pada laki-laki 3,1%.12
Xerostomia merupakan keluhan subjektif berupa
kekeringan di dalam mulut yang ditandai dengan
menurunnya jumlah aliran saliva dari normal akibat
penurunan produksi saliva dari kedua kelenjar
mayor dan minor. Manifestasi berkurangnya aliran
saliva dapat ringan, tanpa keluhan atau parah
dengan banyak keluhan.13 Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui gambaran klinis
xerostomia pada wanita yang telah mengalami
185
186
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -187
188
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Sungai
Paring Kecamatan Martapura. Hasil penelitian
menunjukkan 86 orang wanita menopause serta
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dua puluh
tujuh orang berusia 50-54 tahun, 33 orang berusia
55-59 tahun, 12 orang berusia 60-64 tahun dan 14
orang berusia >64 tahun. Wanita menopause yang
mengalami xerostomia sebanyak 39 orang (45,3%)
dan 47 orang (54,7%) tidak mengalami xerostomia
(Gambar 1).
47
Jumlah (orang)
50
40
39
30
20
Xerostomia
Normal (tidak xerostomia)
10
0
Xerostomia
Normal
Kelainan
Jumlah (orang)
39
Eritema mukosa
mulut
1
Lidah berlobullobul
Manifestasi Klinis
Hilangnya
genangan saliva di
dasar mulut
PEMBAHASAN
Menopause merupakan fase penghentian
siklus menstruasi secara permanen minimal selama
12 bulan akibat berkurangnya sekresi hormon
ovarium.14 Usia terjadinya menopause dipengaruhi
oleh keturunan, kesehatan umum, pola kehidupan,
sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, dan konsumsi
alkohol.15,16 Menopause disebabkan oleh penuaan
ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi
estrogen, gonadotropin ovarium, dan progesteron.17
Secara fisiologis menurunnya kadar estrogen darah
pada wanita menopause mengakibatkan terjadinya
perubahan kondisi rongga mulut seperti hipofungsi
kelenjar saliva dan atrofi mukosa mulut.18
Xerostomia pada wanita menopause
dipengaruhi oleh perubahan hormonal.10 Estrogen
adalah suatu hormon steroid yang mempunyai
reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut,
sehingga estrogen dapat berfungsi secara biologis
pada mulut dan kelenjar saliva. Keberadaan
reseptor estrogen di kelenjar saliva sangat berperan
terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva.18
Penurunan sekresi saliva pada wanita menopause
dapat meningkatkan kejadian karies, periodontitis
dan risiko timbulnya lesi pada mukosa mulut
seperti infeksi kandidiasis.9
187
epitel.22 Secara klinis, mukosa rongga mulut wanita
yang mengalami kekurangan kadar estrogen dalam
darah akan mengalami atropi, kering, mudah terjadi
iritasi serta warna mukosa mulut akan menjadi
pucat sampai terjadi eritema sedangkan pada epitel
berkeratin
akan
terjadi
gingivostomatitis
menopause yang ditandai dengan gingiva menjadi
kering, mengkilap dan mudah berdarah pada
probing dan saat menyikat gigi.11,23
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa manifestasi klinis atau
gambaran klinis dari xerostomia pada wanita
menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan
Martapura yang paling banyak ditemukan adalah
hilangnya genangan saliva di dasar mulut
dibandingkan dengan eritema pada mukosa mulut
dan lidah berlobul-lobul. Pada pasien yang masih
bergigi tetapi mengalami penurunan aliran saliva
cukup banyak sebaiknya diberi penanganan
pencegahan yang ketat untuk membatasi
perkembangan lesi karies. Pasien sebaiknya
melakukan aplikasi flour secara profesional dan
topikal, menggunakan pasta gigi yang mengandung
flour dan obat kumur klorheksidin glukonat serta
kontrol kebersihan mulut.24
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
188
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -189
188
article&task+vieawticle&&artid=280,
diakses 9 Januari 2013).
Statistik Indonesia 2005. Wanita Berumur
10-54 Tahun yang Berstatus Kawin Menurut
Alasan
Utama
Tidak
Menggunakan
Alat/Cara KB dan Golongan Umur,
Kalimantan Selatan 2005. Available from
(http://www.datastatistikindonesia.com/porta
l/index.php?option=com_supas&task=&Item
id=954, diakses 15 Januari 2013).
BAPPEDA-BPS Kabupaten Banjar. Profil
dan Analisa Penduduk Kecamatan Martapura
Hasil Sensus Penduduk 2010 (Penjabaran
Data Sensus Tahun 2010). Martapura: Badan
Pusat Statistik Kabupaten Banjar, 2010.
p.62.
Mutneja P, Dhawan P, Raina A, and Sharma
G. Menopause and The Oral Cavity. Indian
Journal of Endocrynology and Metabolism.
2012; 16(4): 548.
Agha-Hosseini F and Mirzaii-dizgah I.
Unstimulated Whole Saliva Parathyroid
Hormone in Postmenopausal Women with
Xerostomia. The Journal of Contemporary
Dental Practice. 2011; 12(3): 196.
Guncu GN, Tozum TF, and Caglayan F.
Effects of Endogenous Sex Hormones on
The Periodontium Review of Literature.
Australian Dental Journal. 2005; 50(3) :142.
Gomez BR, Vallejo GH, Fuenta LA, Cantor
ML, Diaz M, and Lopez-Pintor RM. The
Relationship Between The Levels of
Salivary Cortisol and The Presence of
Xerostomia in Menopausal Women A
Preliminary Study. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. 2006; 11: 408.
Bhayana R, Sanadhya S, Bhayana D, and
Padiyar B. Review Article Xerostomia (an
ECR) Effects, Causes, Remedies. Journal
of Dentofacial Sciences. 2013; 2(1): 7-8.
Rahman SASA, Zainudin SR, and Mun
VLK. Assessment of Menopausal Symptoms
Using Modified Menopause Rating Scale
(MRS) Among Middle Age Women in
Kuching, Sarawak, Malaysia. Asia Pacific
Family Medicine Bio Med Central. 2010;
9(5): 1-6.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
189
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
TINGKAT KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU
Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Periodontal diseases are the case in all ages, but the severity is more seen in elderly individuals.
Purpose: Purpose of this study was to determine the periodontal treatment needs of elderly in Tresna Werdha
Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home. Methods: Type of research was observational descriptive. Samples
consisted of 53 subjects, age range between 58-100 years old, consisted 24 males and 29 females. Samples were
selected though simple random sampling. Periodontal condition was evaluated using Community Periodontal
Index of Treatment Need (CPITN). The severity and prevalence of periodontal disease, as well as it frequency
distribution were evaluated and reported according to gender and age. Results: Result of this study based on
periodontal status were 13,2% of subjects demonstrated a healthy periodontal status, bleeding on probing were
noted in 5,7% of subjects, 37,7% of subjects showed supra or subgingival calculus, 11,3 % of subjects had
shallow and 32,1% of subjects had deep pockets. Periodontal treatment needs of elderly population in Tresna
Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home were 13,2% of subjects didnt need periodontal treatment,
5,7 of subjects needed demonstration and instruction, 37,7% of subjects needed scaling and oral hygiene
instruction, 11,3% of subjects needed scaling and oral hygiene care, then 32,1% needed oral hygiene
instruction, scaling, root planning, and treatment for every case. Conclusion: Scaling and oral hygiene
instruction were the most needed periodontal treatment of elderly in Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing
Home.
Keywords: Community Periodontal Index of Treatment Need, elderly, periodontal treatment
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit periodontal merupakan kasus pada berbagai kalangan usia, tetapi bentuk keparahan
lebih terlihat pada individu usia lanjut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan perawatan
periodontal pada lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Jenis penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif observasional. Sampel terdiri dari 53 lansia berusia 58-100 tahun, terdiri atas 24
laki-laki dan 29 perempuan. Pemilihan sampel berdasarkan metode simple random sampling. Keparahan dan
prevalensi penyakit periodontal serta distribusi frekuensinya dievaluasi dengan Community Periodontal Index of
Treatment Needs (CPITN) serta dilaporkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Hasil: Hasil penelitian
berdasarkan keadaan jaringan periodontal yaitu 13,2% jaringan periodontal sehat, 5,7% perdarahan setelah
probing, 37,7% kalkulus supra dan atau subgingiva, 11,3% poket dangkal dan 32,1 % poket dalam. Kebutuhan
perawatan periodontal lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak memerlukan
perawatan, 5,7% memerlukan peningkatan kebersihan mulut melalui penyuluhan dan demonstrasi, 37,7%
memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3% memerlukan scaling yang lebih komprehensif
dan perawatan kebersihan mulut, serta 32,1% memerlukan peningkatan kebersihan mulut, scaling, root planning,
dan perawatan yang tepat untuk setiap kasus. Kesimpulan: Scaling dan peningkatan kebersihan mulut
merupakan jenis perawatan periodontal yang paling banyak dibutuhkan oleh lansia di Panti Sosial Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru.
Kata kunci: Community Periodontal Index of Treatment Need, lansia, perawatan periodontal.
190
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 191
- 195
Korespondensi: Rona Permata Sari Y. H. Zein, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: ronapermata@gmail.com
PENDAHULUAN
Proporsi penduduk lanjut usia (lansia)
bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia
lain.1 Pada tahun 2011 yang lalu United Nations
Development Programme (UNDP) telah mencatat
bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia
telah mencapai 69,4 tahun, sedangkan menurut CIA
World Factbook telah mencapai 70,7 tahun. WHO
menyatakan bahwa pada tahun 2020 jumlah
penduduk lansia Indonesia akan terus mengalami
kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun
tersebut jumlah lansia Indonesia diperkirakan akan
mencapai 11,34% dari jumlah penduduk yang ada,
atau sekitar 28,8 juta jiwa.2 Seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup penduduk
Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga
akan meningkat. Angka ini akan menjadikan
Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak negara
berpopulasi lansia setelah Cina, India dan Amerika.
Hal ini merupakan tantangan kepada para
perencana kebijakan kesehatan dan sosial, karena
penyakit-penyakit
kronis
seperti
penyakit
kardiovaskular, hipertensi, kanker dan diabetes
banyak dijumpai pada lansia. Penyakit kronik dan
ketidakmampuan (disability) pada lansia banyak
terjadi di negara berkembang dan dapat dikurangi
dengan
upaya
health
promotion
untuk
meningkatkan kualitas hidup.1
Penuaan adalah suatu fenomena alami
yang terjadi di seluruh dunia.2 Proses penuaan akan
menimbulkan berbagai masalah fisik-biologik,
psikologik dan sosial. Secara biologis lansia
mengalami proses penuaan terus menerus, ditandai
dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin
rentan terhadap penyakit yang dapat menyebabkan
kematian.3 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem
organ termasuk terjadi perubahan anatomi,
morfologi dan fungsional pada rongga mulut 3,4,5,6,7
Sekitar 40% lansia mengeluh tentang mulut kering,
massa otot-otot mastikasi mengecil, yang akan
berpengaruh pada kekuatan mengunyah, banyaknya
gigi yang hilang mengakibatkan gangguan proses
komunikasi dan gangguan estetik.8 Peningkatan
persentase pasien lansia menyebabkan pentingnya
menilai jumlah perawatan yang diperlukan sebagai
strategi pencegahan dan interseptif untuk
mengurangi beban penyakit.2
Penyakit periodontal adalah salah satu
penyakit kronis yang paling umum lebih jelas
terlihat pada orang tua, terutama karena kontak
yang terlalu lama dengan faktor resiko.9,10
Periodontitis (peradangan jaringan periodontal)
191
Perdarahan setelah dilakukan probing (skor 1)
terjadi pada 3 orang (5,7%). Frekuensi tertinggi
pada penelitian ini adalah skor 2, yaitu sebanyak 20
orang (37,7%) memilki kalkulus supra maupun
subgingiva. Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) terjadi
pada 6 orang (11,3%), sedangkan poket sedalam 6
mm atau lebih (skor 4) terjadi pada 17 orang
(32,1%). Data hasil penelitian di atas menunjukkan
banyaknya kalkulus supra maupun subgingiva (skor
2) serta poket yang dalam (skor 4) banyak terjadi
pada lansia, sedangkan untuk persentase lansia
yang memiki jaringan periodontal sehat (skor 0)
masih sangat sedikit yaitu hanya ada 7 orang
(13,2%).
Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan
perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah
sebanyak 7 orang (13,2%) tidak memerlukan
perawatan periodontal. Sebanyak 3 orang (5,7%)
memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara
lain melalui penyuluhan dan demonstrasi. Sebanyak
20 orang (37,7%) memerlukan scaling untuk
menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva
serta instruksi peningkatan kebersihan mulut.
Perawatan
untuk
menghilangkan
kalkulus
subgingiva yang lebih komperehensif disertai
instruksi peningkatan kebersihan mulut diperlukan
lansia sebanyak 6 orang (11,3%) dan selebihnya 17
orang (32,1%) memerlukan perawatan periodontal
yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan
periodontal menyeluruh dan rencana perawatan
yang tepat untuk tiap kasus. Hal ini menunjukkan
bahwa perawatan periodontal pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru
masih sangat dibutuhkan.
192
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 193
- 195
193
kehilangan tulang alveolar, dan peningkatan
kegoyangan gigi.16 Seorang perokok beresiko 2,6
sampai 6 kali mengalami kerusakan jaringan
periodontal dibandingkan dengan non-perokok.6
Berbagai macam rokok dan intensitas kebiasaan
merokok telah terbukti mempunyai hubungan kuat
dengan status jaringan gingiva, kerusakan jaringan
periodontal, serta ditemukan kaitan merokok
dengan perubahan sistem vaskularisasi dan imun
host.12
Sama halnya dengan kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan periodontal, khususnya
konsumsi dalam jangka waktu panjang. Alkohol
mempunyai
efek
berkontribusi
terhadap
pertumbuhan bakteri di gingival crest dan
peningkatan
penetrasi
bakteri
sehingga
menyebabkan radang periodontal yang lamakelamaan akan menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal.16,17 Beberapa keadaan biologis yang
dapat berubah akibat konsumsi alkohol antara lain
kerusakan fungsi neutrofil dan defisiensi
komplemen, gangguan mekanisme pembekuan
darah karena kerusakan aktivitas protrombin dan
vitamin K, gangguan metabolism tulang, dan
gangguan penyembuhan.12
Jika laki-laki memiliki kerentaan yang
tinggi terhadap kerusakan jaringan periodontal,
maka perempuan pun demikian. Perempuan rentan
terhadap kerusakan jaringan periodontal akibat
perubahan hormonal yang terjadi, salah satunya
diakibatkan menopause. Menopause adalah masa
berakhirnya menstruasi dan biasanya terjadi
padausia 50 tahun. Menopause dapat menyebabkan
terjadinya resorbsi tulang alveolar sehingga gigi
dapat kehilangan perlekatan pada jaringan
periodontal. 12,14 Pada perempuan yang mengalami
menopause terjadi penurunan estrogen, padahal
estrogen sangat penting untuk memelihara kekuatan
tulang dengan mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang. Penurunan kadar estrogen juga
menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan
antara sel osteoklas dan osteoblas. Kekurangan
estrogen akan menyebabkan menurunnya kalsium
darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid
untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi
osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin
(IL-I, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi
osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang
alveolar.11
Selain hal-hal yang telah disebutkan di
atas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang
dapat memicu keparahan suatu penyakit periodontal
yang tidak terkait dengan jenis kelamin seperti
faktor penuaan dan penyakit sistemik. Pada proses
penuaan terjadi perubahan anatomi, morfologi, dan
fungsional
jaringan
periodontal
seperti
berkurangnya proses keritinisasi dan penipisan
jaringan epithelium, perubahan lokasi junctional
epithelium ke arah apikal, penurunan proliferasi sel
194
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 195
- 195
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
DAFTAR PUSTAKA
1.
15.
Sari
196 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal
Adolescent Population. Arch Iranian Med.
2005; 8(1): 290-291.
16. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat
Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Pedoman
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam Panti.
Jakarta: Depatemen Sosial RI. 2009. p. 5.
17. Ahmet. The Situation of Elderly People in
Turkey and National Plan of Action on Ageing.
Istambul : State Planning Organization. 2007.
p. 70.
195
18. Ren, Y, Jaap CM, Lets S, Robert SBL, Anne
MKJ. Age-Related Changes of Periodontal
Ligament Surface Areas during Force
Application. Angle Orthodontist. 2008; 78(6):
1000-1005.
19. Tarigan, R. Kesehatan Gigi Dan Mulut.
Jakarta:
EGC. 1995. p. 23.
197
196
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PEMAKAIAN PROTESA
DENGAN PEMAKAIAN PROTESA
DI RSUD ULINBANJARMASIN
Tinjauan pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah di polikinik gigi RSUD Ulin
Banjarmasin
Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana
Program StudiKedokteran Gigi FakultasKedokteranUniversitasLambungMangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Tooth loss due to extraction could be a big problem, it may cause dysfunction of mastication. The
loss of mandibular firstpermanent molar has the highest prevalence. Many cases of tooth loss were not balanced
with the prostodontiatreatment. Purpose: The purpose of this research was to determine the relationship
between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction mandibular first permanent molar
and the usage of protheses at dental polyclinic ofRSUD Ulin Banjarmasin. Methods: This study was used an
observational analytic study with cross-sectional design. Samples were taken by purposive sampling technique
with 68 patients. Knowledge level was obtained through questionnare. Results: The data were analyzed using
chi-square test and obtained value p=0,006. The group with good knowledge level who used protheses were 11
patients (16,1%) and who didnt used protheses were 20 patients (29,5%). The group with bad knowledge level
who used protheses were 3 patients (4,41%) and who didnt used protheses were 34 patients (37%). Conclusion:
There was a relationship between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction
mandibular first permanent molar and the usage of prothesis at dental polyclinic of RSUD Ulin Banjarmasin.
Keywords: loss of mandibular firstpermanent molar, protheses, knowledge level of protheses usage
ABSTRAK
Latar Belakang: Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan masalah terbesar, dapat mengganggu
fungsi pengunyahan atau mastikasi. Kehilangan gigi molar permanen pertama bawah memiliki prevalensi yang
cukup tinggi. Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Tujuan: Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada
pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi dan mulut
RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional yang
menggunakan metode cross-sectional. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 68 orang.
Tingkat pengetahuan pasien diperoleh dengan pengisian kuesioner. Hasil: Data dianalisis menggunakan uji chisquare dan diperoleh nilai p=0,006. Kelompok tingkat pengetahuan baik dengan responden yang memakai
protesa ada 11 orang (16,1%) dan responden yang tidak memakai protesa ada 20 orang (29,5%). Kelompok
tingkat pengetahuan buruk dengan responden yang memakai protesa ada 3 orang (4,41%) dan responden yang
tidak memakai protesa ada 34 orang (37%). Kesimpulan: Terdapat hubungan tingkat pengetahuan pemakaian
protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi
dan mulut RSUD Ulin Banjarmasin.
Kata kunci: kehilangan molar permanen pertama bawah, protesa, tingkat pengetahuan pemakaian protesa
Korespondensi: Nadya Pramasanti, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel,
email: nadyabang@gmail.com
198
Pramasanti
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa
PENDAHULUAN
Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan
masalah terbesar. Efek sampingnya adalah dapat
mengganggu fungsi pengunyahan atau mastikasi,
pada kehilangan gigi yang banyak dan lama dapat
mengakibatkangangguan pada Temporomandibular
Joint (TMJ). Masalah lain yang berakibat pada
fungsi bicara dan aspekpsikologis yaitu estetika,
bahkan pada profesi tertentu yang menuntut
kesehatan gigi yang prima.1Banyak kasus
kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan
prostodonsia. Kehilangan gigi tidak hanya
mengurangi estetika, tetapi juga membuat fungsi
mengunyah menurun dan mempengaruhi asupan
nutrisi sehingga hal ini akan mempengaruhi kondisi
kesehatan umum dan kualitas hidup seseorang.2
Hasil laporan nasional RISKESDAS 2007,
lima provinsi dengan prevalensi masalah gigi-mulut
tertinggi, yaitu Gorontalo (33,1%),Sulawesi Tengah
(31,2%), DI. Aceh (30,5%), Sulawesi Utara
(29,8%),
dan
KalimantanSelatan
(29,2%).Persentase penduduk provinsi Kalimantan
Selatan yang mengalami masalah gigi-mulut
sebesar (29,2%), yang menerima perawatan dari
tenaga medis gigi sebesar (21,2%), dan yang
kehilangan seluruh gigi sebesar (2,5%).3Hasil
laporan RISKESDAS 2007 provinsi Kalimantan
Selatan, jenis perawatan yang diterima penduduk
yang mengalami masalah gigi-mulut di provinsi
Kalimantan Selatan adalah pengobatan gigi
(81,2%),
penambalan/pencabutan/bedah
gigi
(42,3%), dan konseling perawatan/kebersihan gigi
(12,5%). Pemasangan gigi tiruan lepasan/cekat
berkisar 0,6%-10,8%, tertinggi pada umur 65 tahun
keatas. Persentase penduduk Kota Banjarmasin
yang melakukan penambalan/pencabutan/bedah
gigi/mulut sebesar (49,6%) sedangkan yang
melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan/gigi
tiruan cekat hanya sebesar (3,0%).4
Kehilangan gigi molar permanen pertama
bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Janjua dkk,
persentase pencabutan molar pertama bawah kiri
sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama
bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan
disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi
molar permanen pertama bawah merupakan gigi
tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7
tahun pada periode gigi campuran. Gigi molar
permanen pertama memainkan peran penting dalam
mastikasi dan menentukan posisi erupsi gigi
posterior yang lain agar menjadi oklusi yang
benar.5Kehilangan satu gigi, terutama gigi Molar
permanen pertama bawah dapat menyebabkan
fungsi lengkung rahangmenurun sebesar 10% dan
penurunan ini akan meningkat sebesar 30% jika
penggantian gigi yang hilang tidak segera
dilakukan.6
197
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 196 199
- 199
198
Gambar
200
Pramasanti
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa
(2013), alasan responden tidak menggunakan gigi
tiruan lebih dikarenakan persepsi responden
terhadap perawatan gigi tiruan bukan sebagai
kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Pendapat ini
dilatarbelakangi oleh tingkat ekonomi responden
yang bisa dikatakan rendah apabila dihubungkan
dengan tingkat pendidikan. Pengalaman juga dapat
memengaruhi seseorang tidak menggunakan gigi
tiruan, dari responden yang diteliti ada yang merasa
takut menggunakan gigi tiruan karena melihat
pengalaman teman yang gigi tiruannya tertelan.
Ada juga yang merasa tidak nyaman jika
menggunakan gigi tiruan.8
Pada responden yang memakai protesa tetapi
pengetahuannya masih buruk tentang pemakaian
protesa, peneliti berasumsi bahwa ini dikarenakan
responden yang memakai protesa masih belum
memahami cara perawatan protesa yang benar dan
tidak
mengetahui
fungsi
protesa
selain
memperbaiki
fungsi
kunyah
juga
dapat
memperbaiki fungsi estetik dan bicara. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Titjo dkk (2013) yang
menyebutkan pengetahuan masyarakat pengguna
gigi tiruan yang masih tergolong cukup ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka
tentang cara pemeliharaan gigi tiruan yang mereka
gunakan serta gigi sisa dan jaringan lunak mulut
lainnya. Mayoritas responden hanya memperoleh
informasi dari mulut ke mulut berdasarkan
pengalaman orang lain tanpa menerima informasi
dan instruksi dalam menjaga kebersihan rongga
mulut pada saat pembuatan gigi tiruan mereka.9
Rendahnya kesadaran atau minat masyarakat
tentang pemakaian protesa menunjukkan peranan
tenaga medis seperti dokter gigi dan perawat gigi
masih sangat rendah dalam memberikan
penyuluhan atau informasi mengenai protesa.
Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
bahwa kehilangan satu atau dua gigi belakang dapat
digantikan oleh protesa atau gigi tiruan. Menurut
Titjo dkk (2013), salah satu alasan seseorang
menunjukkan sikap dalam memperoleh kesehatan
adalah suatu inovasi yang dapat memotivasi
responden. Melalui inovasi atau program-program
kesehatan, responden mengadopsi nilai-nilai yang
berkaitan dengan upaya pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut sehingga mereka memiliki kesediaan
untuk berubah.9
Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah pemakaian protesa masih
sangat
rendah
menunjukkan
kurangnya
pengetahuan masyarakat dalam upaya pemeliharaan
kesehatan gigi dan rendahnya kesadaran
masyarakat dalam mempertahankan fungsi gigi,
khususnya setelah melakukan pencabutan gigi
molar permanen pertama bawah. Hasilpenelitian ini
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya
promotifuntuk
meningkatkan
pemakaian
protesapost ekstraksi, terutama di Kota Banjarmasin
199
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
201
200
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
INSIDENSI KARIES GIGI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH
DI TK MERAH MANDIANGIN MARTAPURA
PERIODE 2012-2013
ABSTRACT
Background: The main issue of childrens oral health is dental caries. Dental caries is not only happening to
permanent teeth but also to deciduous teeth. Deciduous teeth is the indicator of dental health in preschool
children when we need to know the condition of childrens dental health. TK Merah Mandiangin is located in the
suburb which is isolated from dental care and most likely it gets less attention, so that is hypothesized to raise
the risk factor of caries. Objective: The purpose of this research is to know the incidence of dental caries in TK
Merah Mandiangin Martapura. Method: The method was a descriptive survey method. The population of this
research was preschool children from where 52 samples were chosen by total sampling. Result: The result was
collected from 8 persons of 3-year old students, 19 persons of 4-year old students, and 25 persons of 5-year old
students. The def-t status for decay was 97,86%, indicated for extraction was 1,99% and for filling was 0,33%.
Mean of def-t index in this research was 5,8 which is in high category by WHOs standard. Conclusion: The
conclusion is the incidence of dental caries in preschool children at TK Merah Mandiangin Period of 2012-2013
was high.
201
METODE
Rancangan penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan metode survei deskriptif. Survei
deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara
rinci suatu fenomena yang terjadi di masyarakat.
Populasi dalam penelitian ini adalah anak
prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura
Periode 2012-2013 yang berjumlah 52 orang
berdasarkan jumlah siswa di TK Merah Mandiangin
Martapura. Sampel yang digunakan pada penelitian
ini adalah total sampling, yaitu seluruh populasi
tersebut dijadikan sebagai sampel penelitian.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat
diagnosa kedokteran gigi seperti kaca mulut, pinset,
sonde, dan excavator, sikat gigi, alat tulis, handuk
dan lap putih, masker dan sarung tangan, alkohol
70%, kapas, pasta gigi, lembar persetujuan, lembar
pemeriksaan def-t.
Prosedur penelitian dilakukan dengan
langkah pertama orang tua murid TK Merah
Mandiangin Martapura mengisi lembar persetujuan
yang didampingi oleh guru dan peneliti. Kemudian,
dilakukan pemeriksaan def-t pada rongga mulut
anak TK Merah Mandiangin untuk menentukan
insidensi karies gigi anak prasekolah periode 20122013. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir
pemeriksaan. Pengumpulan data diperoleh dari
hasil pemeriksaan def-t pada anak TK Merah
Mandiangin Martapura Periode 2012-2013. Data
dari hasil pemeriksaan def-t yang diperoleh
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 206
204
202
HASIL PENELITIAN
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki
Perempuan
185
110
295
Jumlah
190
112
302
Indeks def-t =
= 5,8
PEMBAHASAN
Indeks def-t pada siswa siswi prasekolah
di TK Merah Mandiangin Martapura sekitar 5,8.
211
203
204
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 208
204
l-indices-used-in pedodontics. (diakses bulan
maret 2011).
Imron M, dan amrul. Metode Penelitian Bidang
Kesehatan. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010.
Hal: 195-196.
Sugiyono.
Statistika
Untuk
Penelitian.
Bandung: Alfabeta; 2007.Hal:63.
Fitriani F. Faktor Risiko Karies Gigi Sulung
Anak (Studi Kasus Anak TK Islam Pangeran
Diponegoro Semarang). Semarang: Universitas
Diponegoro; 2007. Hal:3-7.
Rymm, SB. Mendidik dan Menerapkan
Disiplin Pada Anak Prasekolah: Pola Asuh
Anak Masa Kini. Jakarta: Gramedia; 2003.
Hal:175.
Prabantini, D. A to Z Makanan Pendamping
ASI. Yogyakata: CV Andi Offset; 2010. Hal:
13.
Budisuari MA, Oktarina, Mikrajab MA.
Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan
Menyikat Gigi Dengan Kesehatan Gigi dan
Mulut (Karies) di Indonesia. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. 2010; 13(1):83-91.
Balatif FF, Lesmana D, Nuita R. Gambaran
Karies Gigi Siswa Kelas I sampai Kelas III
Berdasarkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut Orangtua di SD Jayasari Kecamatan
Tanjung
Sari.
Bandung:
Universitas
Padjajaran; 2010. Hal:6-7.
Lee HY, Choi YH, Park HW, Lee SG.
Changing Patterns in the Associaton Between
Regional Social-economic Context and Dental
Caries Experience According to Gender and
Age: A Multilevel Study in Korean Adults.
International. Journal of Health Geographic.
2012; 11(3):46-50.
211
205
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
PERBANDINGAN PERUBAHAN WARNA HEAT CURED ACRYLIC BASIS GIGI TIRUAN YANG
DIRENDAM DALAM KLORHEKSIDIN DAN EFFERVESCENT (Alkaline peroxide)
ABSTRACK
Background: One type of acrylic resin which is often used as a denture base is heat cured acrylic.
Accumulation of plaque which is often form on denture resulting odor and bad taste for the users. Chemical
solution such as chlorhexidine and effervescent tablets are often used to eliminate the problem. One of the
properties of acrylic is liquid absorbed slowly including denture cleaning solution. The long-term application in
both solutions result color changes on acrylic resin. Purpose: This study was to determined the color change of
heat cured acrylic that were soaked in a chlorhexidine solution and effervescent tablets. Methods: This study
was a true experimental research design with pretest and post-test only with control group design, with acrylic
plate samples of 26 mm diameter and 0.4 mm of thickness consisting of 6 treatment groups, 3 groups soaking in
chlorhexidine for 15, 105, and 210 minutes and 3 groups in effervescent for 5, 35 and 70 minutes. Thirty samples
were used in the experiment. The color changes observation each group was measured by spectrophotometer
BPY series-47 type photo cell and digital microvolt. The statistical test used was paired T test with a significance
value 0.05. Result: The results of this study showed that the color change of heat cured acrylic after immersion
in chlorhexidine solution for 15, 105 and 210 minutes and in effervescent solution for 5, 35 and 70 minutes.
Conclusion: Chlorhexidin caused greater changes colour of heat cured acrylic resin compared to effervescent.
Keywords: color changes, heat cured acrylic, chlorhexidine, effervescent tablets.
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu jenis resin akrilik yang sering digunakan sebagai basis protesa adalah heat
cured acrylic. Sering terjadi penumpukan plak dan jamur pada gigi tiruan yang mengakibatkan bau dan rasa
tidak nyaman pada pemakaian. Larutan pembersih kimia seperti klorheksidin dan tablet effervescent sering
digunakan untuk menghilangkan masalah tersebut. Salah satu sifat akrilik adalah menyerap cairan secara
perlahan-lahan termasuk larutan pembersih gigi tiruan. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama kedua
larutan tersebut mengakibatkan perubahan warna pada resin akrilik. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
mengetahui perubahan warna heat cured acrylic yang direndam pada larutan klorheksidin dan tablet
effervescent. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian
pretest and post test only with control group design, dengan sampel akrilik berbentuk silinder berdiameter 26
mm dan tebal 0,4 mm yang terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok perendaman larutan
klorheksidin dengan waktu 15, 105, dan 210 menit dan 3 kelompok perendaman larutan effervescent dengan
waktu 5, 35 dan 70 menit. Tigapuluh sampel digunakan pada penelitian. Perubahan warna masing-masing
kelompok diukur dengan rangkaian alat spektrofotometer BPY-47 type photo cell dan mikrovolt digital. Uji
statistik yang digunakan adalah T test berpasangan dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil: Hasil dari penelitian
menunjukkan terjadinya perubahan warna heat cured acrylic setelah perendaman larutan klorheksidin pada 15,
105 dan 210 menit dan larutan effervescent pada 5, 35 dan 70 menit. Kesimpulan: Klorheksidin menyebabkan
perubahan warna yang lebih besar dibandingkan dengan effervescent.
Kata-kata kunci: perubahan warna, heat cured acrylic, klorheksidin, tablet effervescent.
Korespondensi: Yordan Kangsudarmanto, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
yordankang@gmail.com
206
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 210
209
PENDAHULUAN
Bahan dasar basis gigi tiruan yang paling
banyak dipakai adalah resin akrilik polimetil
metakrilat jenis heat cured. Bahan basis gigi tiruan
yang ideal harus memiliki ciri-ciri fisikal yang
sesuai. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain
biokompatibilitas, estetik yang baik, radiopak dan
mudah diperbaiki. Basis gigi tiruan harus cukup
kuat agar dapat berfungsi pada beban pengunyahan
yang maksimal.1,2
Salah satu perawatan gigi tiruan dari plak
dan kuman yang menempel adalah dengan cara
melakukan pembersihan secara kimia. Perendaman
dalam larutan klorhexidin selama 15 menit dapat
menghambat virus dan aktif melawan jamur pada
gigi tiruan.6 Perendaman dalam larutan tablet
effervescent sesuai dengan aturan pemakaian
selama 5 menit, pada saat tablet effervescent
dilarutkan dalam air hangat maka sodium perborate
akan terurai dan membentuk senyawa alkaline
peroxide yang melepaskan oksigen dan terjadilah
aksi pembersihan mekanis terhadap deposit yang
menempel pada gigi tiruan.4
Klorheksidin sering dipakai dalam dunia
kedokteran gigi sebagai obat kumur. Berkumur dua
kali sehari dengan menggunakan 0,2% larutan
klorheksidin
akan
mengurangi
jumlah
mikroorganisme dalam saliva sebanyak 80% dan
apabila pemakaian obat kumur dihentikan bakteri
akan kembali seperti semula dalam waktu 24 jam.
Klorheksidin bermanfaat untuk menghambat
pembentukan plak, juga dapat membantu
penyembuhan ulkus (sariawan).5
Tablet Effervescent (Alkaline peroxide)
adalah pembersih gigi tiruan yang sering digunakan
bagi pengguna gigi tiruan usia lanjut untuk
menghindari kecelakaan jatuh dan patahnya akrilik
gigi tiruan. Bahan pembersih gigi tiruan ini tersedia
dalam bentuk tablet dan bubuk. Alkaline peroxide
efektif untuk menghilangkan noda (stain) pada gigi
tiruan.4
Perubahan warna disebabkan oleh dua faktor
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
adalah perubahan kimia pada bahan itu sendiri yaitu
proses polimerisasi tidak sempurna sedangkan
faktor ekstrinsik adalah stain akibat absorpsi bahan
pewarna dari sumber-sumber eksogen seperti teh,
kopi, minuman ringan, nikotin, dan larutan kumur.
Kedua faktor ini menyebabkan terjadinya reaksi
kimia-fisik pada bahan resin. Ikatan reaksi kimiafisik yang terjadi adalah penyerapan perlekatan
partikel zat warna pada permukaan resin dan
penyerapan perlekatan yang masuk ke bagian
dalam melalui porositas. Konsentrasi dan lama
paparan bahan stain dalam minuman dapat
mempengaruhi pigmentasi resin.6,14 Selain itu
perubahan warna bisa dipengaruhi oleh faktor lain
Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan
207
211
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian Perbandingan perubahan
warna heat cured acrylic basis gigi tiruan yang
direndam dalam klorheksidin dan effervescent
(Alkaline peroxide) dapat dilihat pada gambar
berikut.
212
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 209
208
PEMBAHASAN
Me
nit
Klorheksidin
Meni
t
15
105
210
2,5 mv
4,2 mv
10,2 mv
5
35
70
Effervescent
(alkaline
peroxide)
1 mv
2,9 mv
5,2 mv
Berdasarkan hasil uji T berpasangan dan ratarata perubahan warna akrilik setelah perlakuan pada
kedua larutan maka dapat dipahami bahwa hasil
penelitian sesuai dengan hipotesis peneliti yang
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna
antara dua kelompok yaitu kelompok yang
direndam dalam klorhexidin dan kelompok yang
direndam dalam larutan effervescent (alkaline
peroxide). Prinsip pengukuran pada percobaan ini
adalah dengan perbedaan intensitas cahaya, dalam
hal ini disamakan dengan nilai voltmeter. Gerak
elektron dari katode ke anode merupakan sebab
adanya perbedaan intensitas cahaya pada efek foto
listrik. Bila cahaya yang dipantulkan lebih banyak
daripada cahaya yang diteruskan, maka nilai
voltmeter menurun, warna akrilik yang semula
merah merupakan spektrum warna merah yang
dipantulkan sedangkan warna lain diteruskan. Jika
warna akrilik yang semula berwarna merah dan
kemudian setelah dilakukan perendaman pada
larutan menjadi memudar atau lebih muda
(mengarah ke putih) berarti lebih banyak spektrum
yang dipantulkan daripada yang diteruskan,
sehingga nilai voltmeter menjadi turun.6
Perubahan warna akrilik yang direndam dalam
larutan klorheksidin disebabkan adanya interaksi
kation dan anion dari senyawa klor yang
terkandung dalam klorheksidin dengan akrilik
sehingga zat warna akrilik memudar. Hal yang
menyebabkan perubahan warna adalah adanya
perubahan dalam struktur polimer heat cured
acrylic dalam kandungan pigmen ( garam
cadmium, besi, Mercury sulfide (HgS), dan
pewarna organik ) bereaksi dengan klorheksidin itu
sendiri sehingga terjadi efek pemutihan terhadap
warna lempeng akrilik.13
Pigmen warna dalam akrilik heat cured dapat
bereaksi dengan ion klor karena lama kontak
dengan cairan klorheksidin dan penyerapan ion klor
yang masuk ke dalam porositas akrilik yang dapat
melarutkan pigmen akrilik karena konsentrasi yang
lebih besar.6 Ion klor memiliki sifat netral dan
merupakan basa konjugat dari asam klorida yang
merupakan asam kuat. Ion klorida membentuk
endapan dengan ion ion Ag+, Pb+, dan Hg+ berperan
dalam pembentukan kompleks melalui perubahan
warna dan melarutnya endapan atau padatan.7
Perubahan warna akrilik pada larutan effervescent
(alkaline peroxide) disebabkan oleh kandungan
sodium perborate. Ketika dilarutkan dalam air,
sodium perborate akan terurai dan membentuk
senyawa alkaline peroxide, senyawa ini akan
melepaskan oksigen dan terjadi aksi pembersihan
kimia oleh gelembung oksigen.4
Alkaline peroxide ketika terbentuk dalam air
akan menghasilkan H2O2 (hidrogen peroxide) +
alkali, 2H2O2
2H2O + 2O (nascent oxygen).
Nascent oxygen mempunyai efek pembersihan
Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan
kimia.3 Penyebab perubahan warna pada resin
akrilik terkait dengan properti pengoksidasi kuat
dari larutan sehingga oksigen yang dilepaskan
menyebabkan oksidasi akselerator amina tersier
atau ikatan ganda yang tidak bereaksi didalam
matriks resin.7
Salah satu faktor yang penting dalam dalam
pemutihan warna akrilik pada larutan effervescent
ini adalah penggunaan temperatur air yang
digunakan untuk merendam gigi tiruan. Devlin dan
Kaushik (2005) menunjukkan bahwa penyerapan
air pada permukaan akrilik yang disebabkan oleh
larutan 500C alkaline peroxide, mengakibatkan
pemutihan permukaan yang bersifat irreversible
ketika akrilik dikeringkan.8 Panas yang dihasilkan
oleh air pada massa resin menimbulkan difusi
berlebih dan pelepasan monomer ke permukaan
material. Sehingga penurunan kadar residu
monomer mengakibatkan tingkat oksidasi yang
lebih rendah dari pigmen dalam resin, mengurangi
perubahan kromatik intrinsik dan pembentukan
bahan degradasi warna pada akrilik.9,10
Berdasarkan penelitian Munther N. Kazanji
(2004) dalam uji pengaruh bahan pembersih
alkaline hipoklorit dan alkaline peroksida
menunjukkan terjadi pemudaran warna pada basis
gigi tiruan self cured dan heat cured setelah
dilakukan perendaman selama 7 hari.7 Pada
perlakuan kelompok perendaman klorheksidin 105
menit dan 210 menit dengan kelompok perendaman
effervescent (alkaline peroxide) 35 menit dan 70
menit menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna
lempeng akrilik. Perubahan warna lempeng akrilik
pada perlakuan klorheksidin 105 dan 210 menit
lebih besar dibandingkan perubahan warna dari
effervescent 35 menit dan 70 menit. Hal ini
dipengaruhi oleh kandungan klorin atau klor yang
terdapat pada klorhexidin lebih bereaksi dengan
lempeng akrilik sehingga menyebabkan efek
pemutihan sehingga warna akrilik menjadi lebih
muda. Selanjutnya konsentrasi dan volume
klorheksidin juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi dan merubah struktur polimer
dengan demikian akan memperbesar perubahan
warna akrilik.11
Pembersih gigi tiruan effervescent (alkaline
peroxide) buatan polident melakukan upaya dalam
mengurangi temperatur air yang digunakan dan
konsentrasi dari komposisi untuk meminimalisirkan
efek pemutihan warna yang disebabkan oleh
alkaline peroxide.12 Produk tablet effervescent
pembersih gigi tiruan sekarang sudah tidak
mengandung enzym, yang mana oksidasi dengan
kombinasi enzym dengan larutan alkaline akan
mengakibatkan kerusakan pada stabilitas warna.11
Perubahan warna yang terjadi memang tidak terlalu
nampak secara visual tetapi berdasarkan nilai
intensitas cahayanya menunjukkan perubahan nilai
dari warna akrilik sebelum perendaman.
211
209
DAFTAR PUSTAKA
1. Anusavice KJ. Phillips buku ajar Ilmu bahan
kedokteran gigi. Alih bahasa; Johan Arief
Budiman, Susi Purwoko. Edisi 10. Jakarta:
EGC; 2004. 29-61, 192-219.
2. Meng TR and Latta MA. Physical properties of
four acrylic denture base resins. Journal of
contemporary dental practice 2005 ; 6(4).
3. Chittaranjan B, Taruna, Sudhir and Bharath.
Material and methods for cleansing dentures.
Indian Journal of Dental Advancements 2011;
3(1): 423-426.
4. Naini A dan Soesetijo FX. Pengaruh lama
perendaman lempeng akrilik dalam alkalin
peroksida terhadap perubahan warna. IJD 2006;
13(1): 43-46.
5. Bakar A. Kedokteran gigi klinis. Yogyakarta:
KITA Junior; 2012. 205.
6. David dan Munadziroh E. Perubahan warna
lempeng resin akrilik yang direndam dalam
larutan disenfektan sodium hipoklorit dan
klorhexidin. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005;
38(1): 36-40.
7. Kazanji MN, Ahmad ZM. Evaluation of the
effect of some denture cleansers on the colour
of acrylic resin denture base materials. AlRafidain Dent J 2004; 4(2): 79-86.
8. Devlin H, Kaushik P. The effect of water
absorption on acrylic surface properties. J
Prosthodont 2005; 14: 233-8.
9. Samra AP, Pereira SK, Delgado LC, Borges CP.
Color stability evaluation of aesthetic
restorative materials. Brazillian Oral Research
2008; 22: 205-10.
10. Goiato MC, Santos DM, Haddad
MF,
Pesqueira AA. Effect of accelerated aging on
the microhardness and color stability of flexible
resins for dentures. Brazillian Oral Research
2010; 24: 114-9.
11. Moffa EB, Giampaolo ET, Izumida FE,
Pavarina AC, Machado AL and Vergani CE.
Color stability of relined dentures after chemical
disinfection. Journal of Dentistry 2011; 395:
e65-e71.
12. Lai Y-L, Lui H-F, Lee S-Y. In vitro color
stability, stain resistance, and water sorption of
four removable gingival flange materials. J
Prosthet Dent 2003; 90: 293-300.
13. Mathur S, Mathur T, Srivasta R, Khatri R.
Chlorhexidine: The gold standard in chemical
plaque control. National Journal of Psychology,
Pharmacy and Pharmacology 2011; 1: 45-50.
14. Prasetyo EA. Perubahan warna resin komposit
hibrid setelah direndam dalam minuman
bewarna. Jurnal ilmu konservasi gigi 2008;
1(1): 51-54.
210
214
DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014
Laporan Penelitian
UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL BATANG PISANG MAULI (Musa sp)
TERHADAP SEL FIBROBLAS BHK (Baby Hamster Kidney) 21
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin
3
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
2
ABSTRAK
Latarbelakang : Salah satu obat tradisional yang sekarang sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman
obat. Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat adalah pisang. Pisang mauli adalah pisang yang
banyak tumbuh di Banjarmasin. Beberapa penelitian membuktikan batang pisang mauli mengandung saponin,
alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang terbanyak didominasi tannin yang bersifat anti bakteri
dan antijamur. Tujuan : untuk membuktikan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang pisang mauli
dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).Metode dan
bahan : penelitian eksperimental laboratoris dengan Post Test Only menggunakan 5 perlakuan..Sampel
penelitian berupa kultur sel fibroblasBHK 21 sebanyak 5 kelompok yaitu yang diberi ekstrak metanol batang
pisang mauli 25%, ekstrak metanol batang pisang mauli 80%, ekstrak metanol batang pisang mauli 100%,
kontrol sel dan kontrol media. Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel BHK dan tahapan perlakuan. Hasil
pembacaan menggunakan Elisa Reader. Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney). Hasil penelitian :
ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, konsentrasi 80% memiliki sel
hidup 34%, dan konsentrasi mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Analisis statistik oneway Anova menunjukkan
terdapat perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok perlakuan.Kesimpulan : Ekstrak metanol batang pisang
mauli dengan konsentrasi 25% tidak toksik terhadap sel fibroblas BHK 21
Kata kunci : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Batang pisang mauli, Ekstrak metanol, Uji sitotoksisitas
ABSTRACT
Background :Herbal medicine is one of the traditional drugs that almost be used by the people. One of herbal
medicine is banana. Mauli banana is a lot of plants that growth in South Borneo. Some researches prove the
mauli banana stem that contain saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan more tanin is
having antibacterial and antifungal effect. Purpose : to prove cytotoxicity test of mauli banana stem metanol
extract with 25%,80% and 100% consentrations were gived to fibroblast cel of baby hamster kidney (BHK 21).
Material and methods : It was the experimental laboratoris with post test only using 5 treatments. The
resaearch samples are cultur of fibroblast cells BHK 21 are devided by 5 groups that was giving by metanol
extract 25% of mauli banana stem, metanol extract 80% of mauli banana stem, metanol extract 100% of mauli
banana stem,cells control, and media control. The research steps are BHK cells split and treatnent. The
research result was using elisa reader. Procentase of life cells based on Freshney theory. Research results :
methanol extract 25% of mauli banana stem was having 72% life cells, metanol extract 80% of mauli banana
stem was having 34% life cells, and methanol extract 100% of mauli banana stem was having 29% life cells. The
211
211
statistic analyzes was using One Way Anova showed the difference between groups. Conclusion : Methanol
extract 25% of mauli banana stem to BHK 21 fibroblast cells are not toxic
Keywords : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Cytotoxicity test, Mauli banana stem, Methanol extract
PENDAHULUAN
Salah satu obat tradisional yang sekarang
sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman
obat. Tanaman obat adalah tanaman yang salah
satu, beberapa atau seluruh bagiannya mengandung
zat atau bahan aktif yang berkhasiat bagi kesehatan
untuk penyembuhan penyakit. Pemakaian obat
tradisional banyak diminati karena kurang
menimbulkan efek samping seperti obat-obatan dari
bahan kimia. Saat ini banyak penelitian dalam
pengembangan obat tradisional yang dapat
dijadikan sebagai obat alternatif, oleh karena
bahannya mudah didapat dan harganya terjangkau.
Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman
obat adalah pisang.
Pisang mauli adalah pisang yang banyak
tumbuh di Banjarmasin. Dari hasil data empiris,
masyarakat daerah Hulu Sungai Utara Propinsi
Kalimantan Selatan sering menggunakan batang
pisang mauli untuk mempercepat penyembuhan
luka pada kulit. Penelitian Apriasari dkk (2014)
menunjukkan bahwa kandungan ekstrak batang
pisang mauli terdiri atas saponin, alkaloid,
lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang
terbanyak didominasi tannin.1
Ekstrak batang pisang mauli mengandung
efek antiseptik dan antioksidan. Penelitian
Apriasari dan Carabelly (2013) menunjukkan
ekstrak metanol batang pisang mauli 80% mampu
membunuh
bakteri
Streptococcus
mutans,
meskipun zona hambatnya tidak sebesar perlakuan
dengan Povidone iodine 1%. Penelitian Apriasari
(2014) menunjukkan ekstrak metanol batang pisang
mauli 100% memiliki zona hambat antijamur lebih
besar daripada ekstrak etanol batang pisang mauli
100% terhadap Candida albicans.2,3
Bahan alam tersebut secara empiris di
masyarakat tidak menimbulkan efek toksik, namun
belum dilakukan penelitian secara ilmiah untuk
membuktikan bahwa bahan alam tersebut tidak
toksik. Hal ini yang menyebabkan perlu dilakukan
uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang
mauli secara in vitro sebelum dilakukan penelitian
pada hewan coba dan manusia. Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan uji sitotoksisitas
ekstrak metanol batang pisang
pisang mauli
dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap
kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).
METODE DAN BAHAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian eksperimental laboratoris murni
dengan Post Test Only dengan rancangan acak
lengkap menggunakan
5 perlakuan. Jumlah
minimal pengulangan untuk setiap kelompok
perlakuan adalah 5 kali dengan menggunakan
rumus Federer. Sampel penelitian berupa kultur sel
fibroblas ginjal hamster BHK 21 sebanyak 12 buah,
dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I yang
diberi ekstrak metanol batang pisang mauli 25%,
kelompok II ekstrak metanol batang pisang mauli
80%, kelompok III ekstrak metanol batang pisang
mauli 100%, kelompok IV adalah kontrol sel dan
kel V adalah kontrol media.
Pembuatan ekstrak batang pisang mauli
100% dengan cara batang pisang mauli dibersihkan
dan dikeringkan, selanjutnya diblender hingga
halus. Tahapan berikutnya adalah metode
pembuatan ekstraksi dengan maserasi. Prosesnya
pada pelarut etanol yaitu memberikan etanol 70%
dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary
evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi
larutan CMC-Na.
Apabila pelarut metanol, maka memberikan
etanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan
dengan rotary evaporator 40 derajat C, di
waterbath, dan diberi larutan CMC-Na memberikan
metanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan
dengan rotary evaporator 40 derajat C, di
waterbath, dan diberi larutan CMC-Na. Konsentrasi
80% didapatkan melalui pemberian aquades steril
dengan perbandingan aquades : ekstrak batang
pisang mauli = 20 : 80. Konsentrasi 25%
didapatkan melalui pemberian aquades steril
dengan perbandingan aquades : ekstrak batang
pisang mauli = 75 : 25
Alat penelitian yang digunakan adalah
centrifuge, laminar flow, botol ukur Roux,
microplate, inkubator 37C, 5% CO2, multichannel
pipet 25 L, ujung pipet steril, vial 2 mL, pipet
steril 5 mL dan 10 mL, mikroskop cahaya, shaker,
dan Elisa Reader. Bahan penelitian yang digunakan
adalah sel fibroblas dari BHK (Baby Hamster
Kidney) 21, akuades steril, media Eagles, fetal
biovine serum 10%, ekstrak metanol batang pisang
mauli 25%,80% dan 100%, PBS (Phosphate
Buffered Saline), versene trypsine, MTT (3-(4-5dymethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl
tetrazolium
bromide) dan DMSO (dimethyl sulfoxide).
Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel
BHK dan tahapan perlakuan. Tahapan split sel
BHK yaitu mencairkan kultur sel induk (seed cells)
yang sebelumnya telah dibekukan di dalam akuades
steril suhu 37C. Setelah cair, kemudian dicentrifuge 500 RPM selama 5 menit.Di dalam
laminar flow, membuang supernatan yang ada
sehingga tersisa endapan sel di dasar. Endapan sel
212
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 216
214
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tentang uji toksisitas ekstrak
metanol batang pisang mauli pada sel BHK 21 ini
menggunakan rumus Freshney (2000), dengan hasil
pada ekstrak metanol batang pisang mauli
konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, ekstrak
metanol batang pisang mauli 80% memiliki sel
hidup 34%, dan ekstrak metanol batang pisang
mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Hasil
perhitungan dinyatakan tidak toksik bila 60%,
oleh sebab itu yang tidak toksik adalah ekstrak
metanol batang pisang mauli dengan konsentrasi
25%. Hal ini ditunjukkan dengan gambar 1.
213
211
perlakuan
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of Squares
,764
,155
,919
Df
Mean Square
4
,191
35
,004
39
Tabel 1. One Way Anova
PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli tidak
toksik terhadap sel fibroblas yang merupakan sel
pembentuk sabut jaringan ikat terbanyak pada
tubuh makhluk hidup. Jika terbukti bahwa getah
tersebut tidak toksik, maka dapat dilanjutkan
dengan penelitian pada hewan coba dan manusia.
Penelitian ini adalah uji pendahuluan, yaitu uji
toksisitas dari bahan secara in vitro yang
dikontakkan secara langsung pada kultur sel atau
jaringan. Uji ini paling cepat. Uji sitotoksisitas
dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba
secara in vivo atau menggunakan kultur sel secara
in vitro.4
Menurut Freshney, metode yang sering
digunakan adalah metode in vitro dengan
menggunakan
kultur
sel.
Prinsip
dasar
menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang
sistem kultur agar menyerupai keadaan in vivo. Sel
yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya,
kemudian ditempatkan dalam wadah kultur untuk
mendapatkan tempat pertumbuhan dan nutrisi yang
cukup pada temperatur 37C dan lingkungan gas
(95% CO2/ 95% udara) pada pH 7,4-7,7. Penelitian
ini menggunakan kultur sel BHK-21 yang berasal
dari fibroblas ginjal hamster oleh karena sel BHK21 lebih banyak digunakan untuk menguji
sitotoksisitas bahan dan obat-obatan di kedokteran
gigi. 4,5
Pengukuran dari hasil produk pewarnaan
menggunakan bantuan dari alat spektrofotometrik.
Makin pekat warna yang dihasilkan makin tinggi
nilai absorbansinya berarti makin banyak jumlah
selnya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ekstrak metanol batang pisang mauli pada
konsentrasi 25% tidak menimbulkan efek toksik
terhadap sel fibroblas, sedangkan ekstrak metanol
batang pisang mauli pada konsentrasi 80% dan
100% terbukti toksik. Hal ini dibuktikan dengan
persentase jumlah sel yang hidup pada konsentrasi
25% adalah lebih dari 60%. Jika persentase jumlah
sel yang hidup kurang dari 60%, maka bahan
tersebut toksik.5,6
Pemilihan metanol 70% sebagai pelarut
diharapkan dapat menarik zat-zat berkhasiat yang
terdapat dalam simplisia. Ekstrak metanol
merupakan ekstrak yang kandungan senyawanya
masih beragam, dari yang non polar sampai yang
polar. Senyawa yang dapat masuk sari metanol
F
43,035
Sig.
,000
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
214
7.
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 218
214
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia;
7(Edisi Khusus). p. 28-32
Puspitasari E, Ulfa E.U. Uji Sitotoksisitas
Ekstrak Metanol Buah Buni Terhadap Sel
Hela. Jurnal Ilmu Dasar, Vol 10 No 2, Juli
2009 : 181-185
8.