Anda di halaman 1dari 113

Vol II. No 2.

September 2014

ISSN : 2337-5310

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Terbit setiap Maret dan September
PENGELOLA JURNAL DENTINO
Pelindung :
Prof. Dr. dr. H. Ruslan Muhyi, Sp. A (K)
(Dekan Fakultas Kedokteran Unlam)
Pembina :
Dr. dr. H. Zairin NH, Sp.OT (K), MM, SPINE, FICS
(Pembantu Dekan I - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Syamsul Arifin, M.Pd
(Pembantu Dekan II - Fakultas Kedokteran Unlam)
dr. H. Iwan Aflanie, Sp.F, M.Kes
(Pembantu Dekan III - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penasehat :
Dr. drg. H. RosihanAdhani, S.Sos., MS
(Ketua Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Ketua :
drg. Maharani Laillyza Apriasari, Sp.PM
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Sekretaris :
drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)
Penyunting :
drg. Maharani L.A., Sp.PM (Oral Medicine - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Didit
Aspriyanto (Pedodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Amy Nindia C. (Biologi Oral Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Nurdiana Dewi, M.D.Sc. (Biologi Oral - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Deby Kania T.P. (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg.
M.Y. Ichrom N., Sp KG (Konservasi - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Bayu Indra
Sukmana (Bedah Mulut - Fakultas Kedokteran Unlam); drg. Widodo (Ortodonsia - Fakultas
Kedokteran Unlam); drg. Fajar D.K., Sp Orto (Ortodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam);
Dr. drg. H. Rosihan Adhani, MS (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Cholil, M.Kes.M.M (Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. Debby Saputera, Sp. Prosto (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran
Unlam); drg. I Wayan Arya K.F (Prostodonsia - Radiologi - Fakultas Kedokteran Unlam) ;
drg. Beta Widya Oktiani (Periodonsia - Fakultas Kedokteran Unlam)
Administratif :
Hastin Atas Asih, AMKg
(Program Studi Kedokteran Gigi - Fakultas Kedokteran Unlam)

Vol II. No 2. September 2014

ISSN : 2337-5310

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
DAFTAR ISI

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

13.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil Dengan Perilaku Kesehatan Gigi


Dan Mulut Di Poli Kandungan RSUD Banjarbaru
Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana ..
Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok Di Lingkungan Batalyon Infanteri
621/Manuntung Barabai Hulu Sungai Tengah
Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil
Perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan Pasta gigi non herbal terhadap
penurunan indeks plak Pada siswa SDN angsau 4 pelaihari
Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo ..
Perbandingan Aktivitas Antijamur Ekstrak Etanol Jahe Putih Kecil (Zingiber
Officinale Var. Amarum) 30% Dengan Chlorhexidine Glukonat 0,2% Terhadap
Candida Albicans In Vitro
Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly .
Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal Dan Berjejal Rahang Bawah Pada Bentuk
Lengkung Narrow Rahang Bawah
Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo
Deskripsi Gigi Impaksi Molar ke tiga Rahang Bawah Di RSUD Ulin Banjarmasin
Tinjauan pada bulan juni-agustus 2013
Nida Amalia, Siti Kaidah, Widodo ....
Gambaran Pola Kehilangan Gigi Sebagian Pada Masyarakat
Desa Guntung Ujung Kabupaten Banjar
Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya .
Efektivitas Metode Peragaan Dan Metode Video Terhadap Pengetahuan
Penyikatan Gigi Pada Anak Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7 Martapura
Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto ......
Efektivitas Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical Dan Roll Terhadap
Penurunan Plak Pada Anak Usia 9-11 Tahun
Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi
Tingkat nursing mouth caries anak 2-5 tahun Di puskesmas cempaka banjarmasin
Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto
Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica Papaya) 100% Terhadap Waktu
Penyembuhan Luka
Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana..
Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih (Piper Betle Linn) 50% dan 100%
Sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan Ph Dan Volume Saliva
Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah ...
Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi Di Poli Gigi RSUD Ulin Banjarmasin
Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri....

110-114

115-119

120-124

125-129

130-133

134-137

138-143

144-149

150-154
155-161

162-166

167-173
174-178

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Perbandingan Efektifitas Obat Kumur Bebas Alkohol Yang Mengandung


Cetylpyridinium Chloride Dengan Chlorhexidine Terhadap Penurunan Plak
Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana ...
Gambaran Klinis Xerostomia Pada Wanita Menopause Di Kelurahan Sungai
Paring Kecamatan Martapura
Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah ....
Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal Pada Lansia Di Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru
Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri
Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa Dengan Pemakaian Protesa
Di RSUD Ulin Banjarmasin
Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana ......
Insidensi Karies Gigi Pada Anak Usia Prasekolah Di TK Merah Mandiangin
Martapura Periode 2012-2013
Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil
Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan Yang
Direndam Dalam Klorheksidin Dan Effervescent (Alkaline Peroxide)
Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF .....
Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Batang Pisang Mauli (Musa Sp) Terhadap Sel
Fibroblas BHK (Baby Hamster Kidney) 21
Maharani Laillyza Apriasari, Rosihan Adhani, Diah Savitri......................
210-214

179-183

184-188

189-195

196-199

200-204

205-209

110

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN WANITA HAMIL DENGAN PERILAKU


KESEHATAN GIGI DAN MULUT
DI POLI KANDUNGAN RSUD BANJARBARU
Muhsinah, Emma Yuniarrahmah, Bayu Indra Sukmana
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Pregnant women are one of the group whose oral health vulnerable to oral disease. The
research have claimed that level of knowledge, attitudes, and behavior of pregnant women can affect their dental
oral health. Some dental oral problem that can occur in pregnant women are pregnancy gingivitis, periodontitis
pregnancy, pregnancy tumor, dental erosion, dental caries and teeth mobility. Purpose: The purpose of this
research was to determine the correlation between knowledge level of pregnant women with dental oral health
behaviors in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru. Methods: This study used quantitative
methods. Samples were taken by purposive sampling method with total 60 pregnant women. Results: The
categorization result of dental oral health knowledge in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD
Banjarbaru were obtained that there was no subject (0%) that in low category, 53 person subject (88,33%) in
moderate category and 7 person subject (11,67%) in high category. The categorization result of dental oral
health behavior in obstetric and gynecology polyclinic of RSUD Banjarbaru were obtained that there was no
subject (0%) that in bad category, 44 person subject (73,33%) in moderate category and 16 person subject
(26,67%) in good category. The correlation knowledge level of pregnant women with dental and oral health
behaviors with Spearman statistical test were obtained p value = 0.029 (p <0.05). Conclusion: Based on the
results of this study concluded that there was a significant correlation between knowledge level of pregnant
women and dental oral health behavior.
Keywords : pregnant women, knowledge, behavior, dental and oral disease
ABSTRAK
Latar Belakang: Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang rentan akan penyakit gigi dan
mulut. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku wanita hamil dapat
mempengaruhi kesehatan gigi dan mulut. Adapun efek kehamilan pada kesehatan rongga mulut, antara lain:
gingivitis kehamilan, periodontitis kehamilan, tumor kehamilan, erosi gigi, karies gigi, dan mobilitas gigi.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku
kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD Banjarbaru. Metode: Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 60 orang wanita hamil. Hasil: Hasil
kategorisasi pengetahuan kesehatan gigi dan mulut wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru
didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori rendah, 53 orang subjek (88,33%) kategori sedang dan
7 orang subjek (11,67%) berada pada kategori tinggi. Hasil kategorisasi perilaku kesehatan gigi dan mulut
wanita hamil di poli kandungan RSUD Banjarbaru didapatkan tidak ada subjek (0%) berada pada kategori
buruk, 44 orang subjek (73,33%) kategori sedang dan 16 orang subjek (26,67%) berada pada kategori baik.
Hubungan tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut diperoleh nilai p=0,029
(p<0,05). Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut.
Kata-kata kunci: wanita hamil, pengetahuan, perilaku, penyakit gigi dan mulut
Korespondensasi: Muhsinah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: muhsinah.m3s2@yahoo.co.id

Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil

PENDAHULUAN
Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001, 60% penduduk Indonesia
menderita penyakit gigi dan mulut, dan salah
satunya adalah penyakit periodontal sebesar
87,84%.1 Menurut Riskesdas tahun 2007, penduduk
bermasalah gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan
Selatan 29,2% dan khusus untuk kota Banjarbaru
yang mengalami masalah gigi dan mulut sebesar
15,9%.2 Peningkatan prevalensi ini terjadi seiring
dengan meningkatnya usia dan gejala yang
dijumpai pada seluruh populasi, dan salah satu
kelompok yang rentan terhadap masalah ini adalah
kelompok wanita hamil. Kehamilan adalah suatu
proses alamiah, yang melibatkan perubahan
fisiologi, anatomi dan hormonal. Efek perubahan
hormonal pada wanita hamil akan mempengaruhi
hampir semua sistem organ, termasuk rongga
mulut.1,3
Beberapa studi menyatakan bahwa efek
perubahan hormonal akan mempengaruhi kesehatan
gigi dan mulut wanita hamil, 27-100% wanita
hamil mengalami gingivitis dan 10% mengalami
granuloma piogenik. Lesi mukosa oral lebih sering
terjadi pada wanita hamil daripada wanita yang
tidak hamil.4 Penelitian yang dilakukan Apriasari
dan Hasbullah. di poli kebidanan RSUD Banjarbaru
tahun 2012, melaporkan wanita hamil dengan
gingivitis gravidarum 30,2 % dan epulis
gravidarum 7,5 % dari 53 wanita hamil.5 Pada
penelitian Wirawan pada tahun 2012 di RSUD
Banjarbaru, dilaporkan prevalensi gingivitis pada
wanita hamil sebesar 40,5% dari total 42 wanita
hamil.6 Hal ini disebabkan karena perubahan
hormonal dan vaskular yang menyertai dengan
kehamilan akan memperberat respon gingiva
terhadap plak bakteri. Pemeliharaan kesehatan gigi
dan mulut akan mengurangi insidensi gingivitis
selama kehamilan.4,7 Menurut penelitian yang
dilakukan Santoso dkk. tahun 2009, penyakit
periodontal seperti gingivitis yang tidak dirawat
pada wanita hamil merupakan salah satu faktor
resiko bayi berat badan lahir rendah (BBLR)
kurang bulan. Hasil analisis data menunjukkan
bahwa responden dengan kebersihan mulut kurang,
mempunyai risiko 2,55 kali melahirkan bayi BBLR
kurang bulan dibandingkan dengan responden
dengan kebersihan mulut baik.8
Pada penelitian terhadap 320 wanita hamil
di Iran tahun 2008 didapatkan hanya 5,6% sampel
yang memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi,
30% sampel yang bersikap baik terhadap kesehatan
dan 34,4% sampel yang memiliki perilaku
kesehatan yang baik (3). Hasil penelitian Diana di
Indonesia tahun 2009 menyebutkan bahwa hanya
sedikit (38%) wanita hamil yang mengetahui
hubungan antara kehamilan dengan kesehatan gigi
dan mulut. Selebihnya (43%) wanita hamil
menjawab tidak ada hubungan antara kehamilan

111

dengan kesehatan gigi dan mulut. Seluruh wanita


hamil pada penelitian ini, semuanya tidak ada yang
mengubah cara membersihkan dan memelihara
kesehatan gigi dan mulut.9 Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan dan
perilaku wanita hamil terhadap pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut. Kurangnya pemeliharaan
kesehatan gigi dan mulut akan menyebabkan
terjadinya penyakit gigi dan mulut.3Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengetahuan wanita
hamil mengenai kesehatan gigi dan mulut,
mengetahui perilaku kesehatan gigi dan mulut dan
mengetahui hubungan tingkat pengetahuan wanita
hamil dengan perilaku kesehatan gigi dan mulut.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Poli
Kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan JuliAgustus 2013. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh wanita hamil yang datang ke poli
kandungan RSUD Banjarbaru pada bulan JuliAgustus 2013. Pengambilan sampel dilakukan
secara Purposive Sampling. Sampel yang
digunakan adalah 60 orang wanita hamil yang
berkunjung pada periode Juli-Agustus
2013.
Kriteria inklusi dalam penelitan ini adalah wanita
hamil pengunjung Poli Kandungan RSUD
Banjarbaru dan wanita hamil yang bersedia mengisi
kuesioner.
Instrumen (alat ukur) yang digunakan pada
penelitian ini adalah kuesioner. Jumlah item yang
telah dinyatakan valid dan reliabel untuk tingkat
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut
wanita hamil sebanyak 20 item dan jumlah item
untuk perilaku kesehatan gigi dan mulut wanita
hamil 24 item. Penilaian skala pengetahuan dan
perilaku menggunakan pengukuran skala Likert,
yang dimodifikasi menjadi empat alternatif
jawaban. Skor untuk pernyataan positif adalah
SS=3, S=2, TS=1, STS=0, sedangkan skor
pernyataan negatif SS=0, S=1, TS=2, STS=3.
Alat ukur diuji validitas dan reliabilitas
sebelum penelitian. Uji validitas alat ukur skala
pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan perilaku
kesehatan gigi dan mulut pada penelitian ini
menggunakan Corrected Item- Total Correlation
dan uji reliabilitas skala pengetahuan kesehatan gigi
dan mulut dan perilaku kesehatan gigi dan mulut
menggunakan Alpha Cronbach. Uji validitas dan
reliabilitas kuesioner dilakukan dengan bantuan
program komputer. Subjek penelitian mengisi
informed concent sebelum mengisi kuesioner.
Pengisian kuesioner oleh subjek didampingi oleh
peneliti. Kuesioner yang terkumpul kemudian
dilakukan pengolahan dan analisis data. Analisis
data yang digunakan untuk mengetahui hubungan
tingkat pengetahuan wanita hamil dengan perilaku

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114

112

kesehatan gigi dan mulut di poli kandungan RSUD


Banjarbaru menggunakan uji kolerasi Spearman.
HASIL PENELITIAN
Hasil
kategorisasi
data
variabel
pengetahuan kesehatan gigi dan mulut dan variabel
perilaku kesehatan gigi dan mulut dapat dilihat
pada Gambar 1 dan 2.

sebesar 0,001 (p<0.05) dan perilaku 0,033 (p<0,05).


Disimpulkan bahwa data pada variabel pengetahuan
kesehatan gigi dan mulut dan perilaku kesehatan
gigi dan mulut tidak berdistribusi normal.
Pengujian
hipotesis
dilakukan
dengan
menggunakan uji korelasi Spearman karena data
tidak berdistribusi normal. Hasil analisis Spearman
(r) menunjukkan bahwa hubungan antara tingkat
pengetahuan wanita hamil dengan perilaku
kesehatan gigi dan mulut sebesar r = 0,283 dengan
p = 0,029 (p<0,05). Data menunjukan adanya arah
yang positif (nilai r positif) yang berarti semakin
tinggi pengetahuan wanita hamil maka semakin
baik perilaku kesehatan gigi dan mulut. rendahnya
pengetahuan wanita hamil akan diikuti perilaku
kesehatan gigi dan mulut yang buruk pula.
PEMBAHASAN

Gambar 1.

Kategorisasi
Data
Variabel
Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut

Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 1,


maka didapatkan tidak ada subjek (0%) yang
memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut
berada pada kategori rendah, 53 orang subjek
(88,33%) memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan
mulut kategori sedang dan 7 orang subjek (11,67%)
memiliki pengetahuan kesehatan gigi dan mulut
berada pada kategori tinggi. Pengetahuan
dikategorikan rendah jika skor (x 24,95), sedang
jika skor (24,95< x 47,97), dan tinggi jika skor
nilainya (35,05 x).

Gambar 2.

Kategorisasi Data Variabel Perilaku


Kesehatan Gigi dan Mulut

Berdasarkan kategorisasi pada Gambar 2,


maka didapatkan tidak ada subjek (0%) memiliki
perilaku kesehatan gigi dan mulut berada pada
kategori buruk, 44 orang subjek (73,33%) memiliki
perilaku kesehatan gigi dan mulut kategori sedang
dan 16 orang subjek (26,67%) memiliki perilaku
kesehatan gigi dan mulut berada pada kategori baik.
Perilaku dikategorikan buruk jika skor (x 25,03),
sedang jika skor (25,03< x 47,97), dan tinggi jika
skor nilainya (47,97 x).
Hasil
uji
normalitas
menggunakan
Kolmogorov-Smirnov Test untuk pengetahuan

Pada penelitian ini didapatkan bahwa


terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan wanita hamil dengan perilaku
kesehatan gigi dan mulut di Poli Kandungan RSUD
Banjarbaru. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori
yang dipaparkan oleh Notoatmodjo tahun 2007
yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara
pengetahuan dan perilaku seseorang. Penelitian
Hajikazemi pada tahun 2008, juga menunjukan
adanya kolerasi antara pengetahuan dengan
perilaku kesehatan gigi dan mulut. Perilaku mulai
dibentuk dari pengetahuan atau ranah (domain)
kognitif. Subjek atau individu mengetahui
rangsangan yang berupa materi atau objek dari luar
dirinya, kemudian terbentuk pengetahuan baru.
Pengetahuan baru ini akan menimbulkan tanggapan
batin dalam bentuk sikap subjek terhadap objek
yang diketahuinya. Setelah rangsangan diketahui
dan disadari sepenuhnya, akan timbul tanggapan
lebih jauh lagi yaitu berupa tindakan terhadap
rangsangan. Pada kenyataannya, rangsangan yang
diterima subjek dapat langsung menimbulkan
tindakan terhadap rangsangan. Artinya seseorang
tidak harus mengetahui makna dari rangsangan
terlebih dahulu, dengan kata lain untuk bertindak
tidak harus dilandasi dengan pengetahuan dan sikap
terlebih dahulu. Hal itu didukung oleh beberapa
penelitian mengenai pengetahuan dan perilaku.3,10,11
Perilaku yang dilandasi oleh pengetahuan
lebih langgeng dibandingkan yang tanpa dilandasi
pengetahuan. Pengetahuan kesehatan gigi dan
mulut diperoleh secara alami maupun secara
terencana yaitu melalui pendidikan kesehatan gigi
dan mulut. Beberapa faktor yang mempengaruhi
pengetahuan antara lain: usia, intelegensi,
lingkungan, sosial budaya, pendidikan, informasi
dan pengalaman. Seseorang yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi akan memiliki pengetahuan
dan sikap yang baik tentang kesehatan sehingga
akan mempengaruhi perilakunya untuk hidup
sehat.11

113

Muhsinah : Hubungan Tingkat Pengetahuan Wanita Hamil

Banyak orang yang keliru memilih cara


pengobatan yang tepat, disebabkan mereka tidak
tahu tentang penyebab penyakit dan upaya
pencegahannya. Pengetahuan yang rendah terhadap
kesehatan gigi dan mulut dapat menjadi faktor
predisposisi timbulnya penyakit gigi dan mulut.
Pada kenyataannya, informasi yang diterima subjek
dapat langsung menimbulkan tindakan terhadap
rangsangan itu. Artinya wanita hamil tidak harus
mengetahui makna dari rangsangan itu terlebih
dahulu untuk melakukan suatu tindakan. Perilaku
kesehatan gigi dan mulut wanita hamil merupakan
respon terhadap stimulus yang berhubungan dengan
konsep sehat, sakit dan penyakit.11,12
Hubungan perilaku yang berupa tindakan
dengan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi
dijelaskan oleh Rosenstock pada tahun 1974 dalam
Health Belief Model bahwa kepercayaan seseorang
terhadap timbulnya penyakit dan potensi penyakit,
akan menjadi dasar seseorang melakukan tindakan
pencegahan atau pengobatan terhadap penyakit
tersebut. Pada saat hamil gigi menjadi mudah
mengalami kerusakan, ibu hamil dapat melakukan
pencegahan dengan mengosok gigi minimal 2 kali
sehari, berkumur-kumur sehabis muntah dan
kontrol ke dokter gigi minimal 1 kali selama masa
kehamilan.11 Upaya agar masyarakat berperilaku
atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara
persuasi, bujukan, himbauan ajakan, pemberian
informasi, memberikan kesadaran dan sebagainya.
Dampak yang timbul dari cara ini terhadap
perubahan perilaku masyarakat terutama wanita
hamil akan memakan waktu lama, namun bila
perilaku tersebut berhasil diadopsi masyarakat
maka perilaku sehat selama hidup dilakukan.13
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan
yang bermakna antara tingkat pengetahuan wanita
hamil dengan perilaku kesehatan rongga mulut di
Poli Kandungan RSUD Banjarbaru. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kesadaran masyarakat dan tenaga kesehatan
mengenai pentingnya kesehatan gigi dan mulut
pada masa kehamilan, supaya wanita hamil tidak
hanya memperhatikan janin yang ada pada
kandungannya
tetapi
juga
memperhatikan
kesehatan tubuh termasuk kesehatan gigi dan
mulut. Pada umumnya kehamilan berhubungan
dengan rongga mulut, karena apabila kesehatan
rongga mulut tidak diperhatikaan pada masa
kehamilan maka akan terjadi kelainan-kelainan
rongga mulut seperti gingivitis kehamilan,
periodontitis, epulis gravidarum, karies, dan bayi
lahir BBLR akibat terjadinya ketidakseimbangan
hormon wanita dan adanya faktor-faktor iritasi
lokal dalam rongga mulut.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ekaputri N dan Sjahruddin FLD. Hubungan


perilaku wanita hamil dalam membersihkan
gigi dan mulut dengan kedalaman poket
periodontal selama masa kehamilan. M I
Kedokteran Gigi. 2005; 62: 90-2.
2. Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar
Provinsi Kalimantan Selatan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2007. p.
116,119.
3. Hajikazemi E, Fateme O, Shoaleh HM, Soghra
N, and Hamid H. The relationship between
knowledge, attitude, and practice of pregnant
women about oral and dental care. Euro J,
2008; 24 (4): 556-61.
4. Sarifakioglu E, Gunduz C, and Gorpelioglu.
Oral mucosa manifestations in 100 pregnant
versus
non-pregnant
patients:
an
epidemiological observational study (abstract).
EDJ. 2006; 16 (6): 674.
5. Apriasari, ML dan Irnamanda DH. Prevalensi
gingivitis dan epulis gravidarum pada wanita
hamil trimester ke tiga di RSUD Banjarbaru
(Januari-Juni 2012). Dentino. 2013;1(3): 129125
6. Wirawan, P. Prevalensi gingivitis pada wanita
hamil di rumah sakit umum daerah Banjarbaru
bulan
Juni-Agustus
2012.
Skripsi.
Banjarmasin: FK Unlam.2012. p.26
7. Habashneh, Guthmiller JM, Levy S, Jonhson
GK, Sequier C, Dawson DV, and Fang Q.
Factors related to utilization of dental services
during pregnancy. J Clin Periodontal, 2005;
32(7): 815-6.
8. Santoso O, Wildam ASR dan Dwi
Retroningrum. Hubungan kebersihan mulut
dan gingivitis ibu hamil terhadap kejadiaan
bayi berat badan lahir rendah kurang bulan di
RSUP Dr. Kariadi Semarang dan jejaringanya.
Media Medika Indonesiana. 2009; 43: 288293.
9. Diana, D. Pengetahuan, sikap, dan perilaku
wanita hamil pengunjung poli ibu hamil (PIH)
RSUD dr. Pirngadi Medan terhadap kesehatan
gigi dan mulut selama masa kehamilan periode
November-Desember 2009. Skripsi. Medan:
FKG USU. 2009. p: 42-47.
10. Kholid, A. Promosi kesehatan: dengan
pendekatan teori perilaku, media dan
aplikasinya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2012. p. 17-26.
11. Notoatmodjo S,1900 dalam Budiharto.
Pengantar ilmu perilaku kesehatan dan
pendidikan kesehatan gigi. Jakarta: EGC.
2010. p. 1-2,6,7,24.

114

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 110 - 114

12. Hasibuan, S. Perawatan dan pemeliharaan


kesehatan gigi-mulut pada masa kehamilan.
Medan: USU digital library. 2004. p.1-6.
13. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2003.p.13.

115

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

PREVALENSI PENYAKIT PERIODONTAL PADA PEROKOK DI LINGKUNGAN


BATALYON INFANTERI 621/MANUNTUNG BARABAI HULU SUNGAI TENGAH

Zuhda Febrina Ramadhani, Deby Kania Tri Putri, Cholil


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Periodontal disease is a periodontal tissues disease of the teeth characterized by the
presence of inflammatory gingival, periodontal pockets, and gingival recession. Plaque, calculus and bacteria
accumulation is a major cause of periodontal disease, while the predisposing factors are smoking, stress, and
alcohol. Smoking can cause damage of periodontal tissues and affect to the salivary antibodies (IgA) against the
bacteria causing neutralize disruption the bacteria in the mouth. The heat from the burning cigarette can cause
vascularization disruption and secretion of salivary. Cigarettes contain danger toxic that interfere with health.
Purpose: This study was to determine the prevalence of periodontal disease of smokers in the infantry battalion
621/manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah. Methods: This study was an observational descriptive study
obtained from the history and clinical examination of the teeth 16, 21, 24, 36, 41, 44 and account with
Periodontal disease index method. Screening was done to 45 samples that have been adapted to the inclusion
criteria. Results: The results were obtained as 16 people or 35,6% were normal, 27 people or 60% with
gingivitis, and 2 people or 4,4% with periodontitis. Based on the group of age at 20-30 years old was high
gingivitis which is 46,7% (21 people), while the condition periodontitis in the group of age at 30-40 years old
4,4% (2 people). Conclusion: The research concluded the prevalence of periodontal disease of smoker in the
infantry batalyon 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah more gingivitis than periodontitis.
Keywords: prevalence, periodontal disease, smoking, periodontal disease index
ABSTRAK
Latar Belakang: Penyakit periodontal adalah suatu penyakit pada jaringan pendukung gigi yang
ditandai dengan adanya inflamasi gingiva, poket periodontal, dan resesi gingival. Plak, akumulasi kalkulus dan
bakteri merupakan penyebab utama terjadinya penyakit periodontal, sedangkan faktor predisposisinya yaitu
merokok, stres, dan mengkonsumsi alkohol. Merokok dapat menyebabkan kerusakan periodontal. merokok dapat
mempengaruhi antibodi dalam saliva (IgA) terhadap bakteri sehingga terjadi gangguan dalam menetralisir
bakteri di dalam mulut. Panas yang ditimbulkan dari pembakaran rokok dapat menyebabkan gangguan
vaskularisasi dan sekresi saliva. Kandungan yang terdapat di dalam rokok mengandung toksik yang berbahaya
yang mengganggu kesehatan. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi penyakit
periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang diperoleh dari hasil anamnesa dan
pemeriksaan klinis pada gigi 16, 21, 24, 36, 41, 44 dan dihitung dengan indeks penyakit periodontal.
Pemeriksaan ini dilakukan pada 45 sampel yang sudah disesuaikan dengan kriteria inklusi. Hasil: Hasil
penelitian diperoleh sebanyak 16 orang atau 35,6% normal, 27 orang atau 60% mengalami gingivitis, dan 2
orang atau 4,4% mengalami periodontitis. Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia 20-30 tahun lebih
banyak mengalami gingivitis yaitu 46,7% (21 orang), sedangkan kondisi periodontitis ada di golongan usia 3040 tahun yaitu 4,4% (2 orang). Kesimpulan: Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi
penyakit periodontal pada perokok di lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai
Tengah lebih banyak mengalami gingivitis dibandingkan periodontitis.

116

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119

Kata-kata kunci: prevalensi, penyakit periodontal, merokok, indeks penyakit periodontal


Korespondensi: Zuhda Febrina Ramadhani, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: Febe_Bebbe@yahoo.com

PENDAHULUAN
Jaringan periodontal adalah suatu jaringan
yang mengelilingi dan mendukung gigi. Struktur
jaringan periodontal terdiri dari gingiva, ligamen
periodontal, tulang alveolar dan sementum. Gingiva
adalah bagian mukosa rongga mulut yang menutupi
tulang alveolar dan berfungsi melindungi jaringan
di bawahnya. Gingiva normal memiliki warna
merah muda, konsistensi yang kenyal dan tekstur
stippling atau seperti kulit jeruk. Ligamen
periodontal adalah jaringan konektif yang
mengelilingi gigi dan mengikatnya ke tulang.
Ligamen periodontal berfungsi melindungi
pembuluh darah dan saraf, perlekatan gigi terhadap
tulang dan pertahanan benturan keras akibat
tekanan oklusal. Tulang alveolar adalah jaringan
keras yang tersusun dari lapisan-lapisan tulang
yang berfungsi sebagai penyangga gigi. Sementum
adalah bagian yang menyelimuti akar gigi, bersifat
keras, tidak memiliki pembuluh darah dan
berfungsi sebagai perlekatan ligamen periodontal.1,2
Gingivitis dan periodontitis merupakan
penyakit periodontal yang sering ditemui.
Gambaran klinis dari gingivitis atau inflamasi
gingiva yaitu gingiva berwarna merah sampai
kebiruan dengan pembesaran kontur gingiva karena
edema dan mudah berdarah jika diberikan stimulasi
seperti saat makan dan menyikat gigi.3 Periodontitis
adalah suatu infeksi campuran dari mikroorganisme
yang menyebabkan infeksi dan peradangan jaringan
pendukung gigi, biasanya menyebabkan kehilangan
tulang dan ligamen periodontal. 4
Plak dan akumulasi kalkulus serta bakteri
merupakan penyebab utama terjadinya penyakit
periodontal.
Faktor
predisposisi
penyakit
periodontal yaitu merokok, sering mengkonsumsi
alkohol, dan stres.5,6 Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa peradangan pada peridodontal
akan semakin parah jika kondisi oral hygiene
buruk, dan mempunyai riwayat penyakit sistemik
seperti diabetes mellitus.7,8
Kebiasaan
merokok
menyebabkan
perubahan vaskularisasi dan sekresi saliva akibat
panas yang dihasilkan oleh asap rokok. Perubahan
vaskularisasi akibat merokok menyebabkan dilatasi
pembuluh darah kapiler dan infiltrasi agen-agen
inflamasi sehingga dapat terjadi pembesaran pada
gingiva. Kondisi ini diikuti dengan bertambahnya
jumlah limfosit dan makrofag. Tar yang terkandung
dalam rokok dapat mengendap pada gigi dan
menyebabkan permukaan gigi menjadi kasar,
sehingga mudah dilekati plak dan bakteri. Invasi
kronis bakteri plak di bawah margin gingival

mengakibatkan terjadinya gingivitis yang dapat


berlanjut
menjadi
periodontitis.
Kondisi
periodontitis yang parah ditandai dengan hilangnya
perlekatan gingiva dengan gigi sehingga terjadi
resesi gingiva serta kehilangan tulang alveolar dan
gigi yang diakibatkan akumulasi sel-sel inflamasi
kronis.9
Berbagai jenis rokok dan seringnya
frekuensi merokok telah terbukti mempunyai
hubungan kuat dengan status jaringan gingiva,
kerusakan jaringan periodonsium serta tingkat
keparahan
periodontitis.9
Hasil
penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa perokok lebih
rentan mengalami gingivitis dan periodontitis atau
kerusakan jaringan periodonsium 2-7 kali lebih
besar dibanding yang bukan perokok. Risiko ini
ditemukan lebih tinggi terjadi pada kelompok
perokok dewasa muda berusia 20-33 tahun.6
Berdasarkan Riset Kesehatan di Kalimantan Selatan
(RISKESDAS,2007) menyatakan bahwa perokok
lebih banyak ditemukan pada pekerja dan jumlah
rokok yang dikonsumsi lebih tinggi di perdesaan
dibandingkan di perkotaan.10
Tomar dan Asma (1999) dari National
Health and Nutrition Examination Survey III
(NHANES) menyatakan bahwa perokok yang
mengisap lebih dari 9 batang rokok per hari
kemungkinan untuk menderita periodontitis lebih
besar 2,8 kali dibandingkan bukan perokok.
Menurut Sitepoe (2000) berdasarkan dari jumlah
rokok yang dikonsumsi setiap hari, perokok dibagi
menjadi empat bagian7:
1) Perokok ringan adalah
seseorang yang
mengkonsumsi rokok antara 1-10 batang per
hari
2) Perokok sedang adalah seseorang yang
mengkonsumsi rokok antara 11-20 batang per
hari
3) Perokok berat adalah seseorang yang
mengkonsumsi rokok lebih dari 20 batang per
hari
4) Perokok sangat berat adalah perokok yang
mengkonsumsi lebih dari 30 batang per hari
Ketergantungan terhadap tembakau menjadi
epidemiologi
secara
global
yang
dapat
menyebabkan penyakit dan kematian. Menurut
World Health Organization (WHO) sepertiga dari
1,3 milyar perokok di dunia berasal dari populasi
berusia 15 tahun ke atas. Konsumsi rokok di
Indonesia dalam 30 tahun terakhir meningkat tajam,
pada tahun 1970 pemakaian rokok berkisar 33
miliar batang per tahun dan menjadi 230 miliar
batang pada 2006. Tingkat konsumsi rokok di

117

Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok

Indonesia menempati urutan lima besar dunia.12,13


Berdasarkan Riset kesehatan (RISKESDAS) tahun
2007 laki-laki perokok di Kalimantan Selatan
mencapai 54,5% dengan jumlah konsumsi rokok
yang lebih tinggi pada kalangan pekerja dan daerah
perdesaan. 10
Sampai sekarang belum terdapat data
mengenai angka kejadian penyakit periodontal
akibat merokok pada usia dewasa muda di daerah
Kalimantan Selatan. Berdasarkan beberapa
penelitian sebelumnya maka peneliti merasa tertarik
untuk melakukan penelitian di kalangan pekerja
usia muda. Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran angka kejadian penyakit
periodontal akibat merokok di kalangan pekerja
usia dewasa muda. Menurut hasil dari studi
pendahuluan yang telah dilakukan diketahui
beberapa prajurit dengan rentang usia 20-40 tahun
di Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu
Sungai Tengah memiliki kebiasaan merokok.
Beberapa
diantaranya
pernah
ada
yang
mengeluhkan gingivanya terkadang bengkak.
Kondisi tersebut mungkin ada kaitannya dengan
kebiasaan merokok yang sering dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
prevalensi penyakit periodontal pada perokok di
Lingkungan Batalyon Infanteri 621/Manuntung
Barabai, Hulu Sungai Tengah.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
observasional. Data diperoleh dari hasil anamnesa
dan pemeriksaan klinis pada rongga mulut perokok
di lingkungan Batalyon Infanteri 621/ Manuntung
Barabai, Hulu Sungai Tengah. Populasi dalam
penelitian adalah laki-laki perokok di lingkungan
Batalyon Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu
Sungai Tengah. Sampel pada penelitian ini diambil
dengan purposive sampling. Sampel adalah
sebagian laki-laki perokok di lingkungan Batalyon
Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai
Tengah. Kriteria inklusi : Laki-laki perokok berusia
20-40 tahun, perokok ringan (dengan ketentuan
merokok lebih dari 9 batang per hari) Perokok
sedang, merokok selama 2 tahun, merokok jenis
filter dan menggosok gigi minimal 2 kali sehari.
Kriteria ekslusi: menggunakan gigi tiruan,
mengkonsumsi
minuman
beralkohol,
mengkonsumsi
obat
tertentu
(phenytoin,
cyclosporine A) dan memiliki penyakit sistemik.
Penelitian ini menggunakan perhitungan
dengan periodontal disease index. Indeks ini
digunakan untuk memeriksa keparahan inflamasi
gingiva dan hilangnya perlekatan jaringan
pendukung gigi. Penilaian menggunakan enam gigi
yang disebut Ramfjords teeth yaitu, 16, 21, 24, 36,
41, dan 44. Skor indeks periodontal tiap individu
didapat dengan menambah semua skor gigi
kemudian dibagi dengan jumlah gigi yang

diperiksa. Jika hasil akhir menunjukkan berada


pada 1-3 maka dikategorikan gingivitis dan jika
berada pada 4-6 maka dikategorikan periodontitis.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu, alat
diagnostik (kaca mulut, sonde half moon,
ekskavator, dan pinset), probe periodontal (WHO)
yang memiliki kalibrasi dalam millimeter,
nierbekken, alkohol, tisu, dan larutan klorin.
Sebelum penelitian dilaksanakan terlebih
dahulu dilakukan studi pendahuluan di Batalyon
Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai
Tengah, kemudian dilakukan proses perizinan.
Prosedur selanjutnya subyek penelitian akan
berkumpul di tempat yang telah disediakan. Peneliti
memberikan penjelasan tentang manfaat dan
prosedur penelitian dan melakukan anamnesa serta
memberikan lembar informed consenst sebagai
tanda persetujuan menjadi subjek penelitian.
Kemudian dilakukan pemeriksaan menggunakan
periodontal disease index. Data yang didapat dari
hasil pemeriksaan menggunakan periodontal
disease index kemudian dicatat. Data yang telah
didapatkan kemudian ditabulasi atau dimasukkan
ke dalam tabel serta disajikan dalam persentase.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tentang prevalensi penyakit
periodontal pada perokok di Lingkungan Batalyon
Infanteri 621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai
Tengah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase penyakit periodontal pada
perokok di lingkungan batalyon infanteri
621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah
No

Kondisi Klinis

Frekuensi
(orang)

Persentase
(%)

Normal

16

35,6

Gingivitis

27

60,0

Periodontitis

4,4

Jumlah

45

100

Berdasarkan Tabel 1 diketahui angka


kejadian penyakit periodontal pada perokok di
lingkungan batalyon infanteri 621/Manuntung
Barabai, Hulu Sungai Tengah berupa gingivitis
yaitu 27 orang atau sebesar 60%. Jumlah yang
mengalami periodontitis yaitu 2 orang atau sebesar
4,4% dan jumlah yang normal yaitu 16 orang atau
sebesar 35,6%. Hal ini menunjukkan dari sejumlah
sampel yang diperiksa lebih dari setengahnya
masuk dalam kategori gingivitis setelah dilakukan
pemeriksaan dan perhitungan skor akhir.

118

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 115 - 119

Tabel 2 Persentase penyakit periodontal terhadap


usia
di
lingkungan
Batalyon
Infanteri
621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah
Kondisi
periodontal

Normal
Gingivitis
Periodontitis
Total

Usia
20-30
31-40
tahun
tahun
n
%
n
%
16 35.6 0
0
21 46.7 6 13.3
0
0
2 4.4
37 82.2 8 17.8

Total

N
16
27
2
45

%
35.6
60
4.4
100

Berdasarkan Tabel 2 diketahui pada usia 20


sampai 30 tahun terdapat besar sampel sebanyak
82,2% (37 orang) dengan persentase normal yaitu
35,6% (16 orang) dan persentase gingivitis 46,67%
(21 orang). Pada usia 31 sampai 40 tahun terdapat
besar sampel sebanyak 17,8% (8 orang). Penyakit
periodontal pada kelompok umur tersebut terdiri
dari gingivitis dengan persentase 13,3% (6 orang)
dan periodontitis dengan persentase 4,4% (2 orang).

PEMBAHASAN
Menurut Tomar dan Asma (2000) dan Eddie
Kasim (2001) hubungan antara merokok dengan
terjadinya penyakit periodontal tergantung pada
dosis dan selang waktu merokok. Perokok yang
merokok 9 batang per hari beresiko 3 kali lebih
besar untuk terjadinya penyakit periodontal di
banding yang bukan merokok. Pada perokok yang
merokok lebih dari 30 batang per hari beresiko 6
kali lebih besar dibanding bukan perokok, sehingga
dapat dikatakan efek negatif dari merokok terhadap
jaringan periodontal dipengaruhi jumlah rokok
yang dikonsumsi.15
Dalam penelitian ini yang mengalami
periodontitis terdapat pada kisaran usia 31 sampai
40 tahun yakni sebanyak 4,4% atau 2 orang. Hal ini
dapat dihubungkan dengan lama dan jumlah
merokok yang lebih besar.15 Berdasarkan hasil
anamnesa responden yang mengalami periodontitis
mengkonsumsi rokok lebih dari satu kotak per hari
atau kira-kira berkisar antara 16 hingga 20 batang
per hari dan merokok dalam jangka waktu lebih
dari 5 tahun.
Dalam jurnal Mullaly (2004) memuat
tentang penelitian yang dilakukan oleh Hujoel
menyatakan bahwa terjadinya kasus penyakit
periodontal akibat merokok di Amerika lebih sering
terjadi pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun.
Arowojolu dan Nwokorie menemukan prevalensi
terjadinya penyakit periodontal di Nigeria berupa
periodontitis adalah sebanyak 1,6% pada usia 34
tahun. Mullaly juga menyatakan pada kasus
inflamasi gingiva karena merokok selain karena

rokok dapat merubah vaskularisasi gingiva yang


pada akhirnya menyebabkan inflamasi, ternyata
merokok juga dapat menyebabkan perlekatan plak
lebih mudah sehingga memicu terjadinya inflamasi
gingiva. Pada penelitiannya, Mullaly (2004)
menemukan perokok muda lebih banyak
mengalami gingival bleeding dibanding bukan
perokok, selain karena faktor merokok hal ini juga
disebabkan oleh tingginya level kalkulus dan plak
yang ditemukan pada perokok. Penelitian terdahulu
oleh Mullaly di Northen Ireland menemukan dari
82 responden perokok di kisaran usia 21 sampai 33
tahun, 41% diantaranya mengalami gingivitis, hal
ini dikaitkan dengan penumpukan akumulasi plak
dan kalkulus akibat kebiasaan merokok.16
Hasil yang serupa juga terdapat dalam
penelitian prevalensi penyakit periodontal di
lingkungan Batalyon Infanteri 621/manuntung
Barabai, Hulu Sungai Tengah untuk kasus
gingivitis didapatkan sebanyak 46,7% atau 21
orang di kisaran usia 20 sampai 30 tahun dan
13,3% atau 8 orang di kisaran usia 31 sampai 40
tahun. Responden yang mengalami gingivitis
mengkonsumsi rokok antara 10 hingga 16 batang
per hari atau kira-kira satu kotak per hari dan dalam
jangka waktu 2-3 tahun. Pada beberapa responden
lainnya gejala klinis gingivitis tampak pada satu
atau dua daerah gingiva saja sementara ada daerah
gingiva lain respon peradangannya hilang dan
mulai terjadi resesi gingiva.
Mullaly menyatakan periodontitis karena
merokok dapat terjadi akibat konsumsi rokok
dengan dosis tinggi dan dalam jangka waktu yang
lama. Tidak ditemukan kasus periodontitis pada
perokok yang mengkonsumsi rokok kurang dari 5
batang per hari dan memiliki kebiasaan merokok
kurang dari 3 tahun. Periodontitis mungkin terjadi
jika konsumsi rokok lebih dari 15 batang per hari
dan dalam jangka waktu lebih dari 10 tahun.16
Pada 16 orang lainnya atau sebesar 35,6% di
Batalyon Infanteri 621/Manuntung tidak termasuk
dalam kategori gingivitis dan periodontitis.
Berdasarkan hasil anamnesa yang dilakukan hal ini
dapat dihubungkan dengan jumlah atau dosis dari
rokok yang dikonsumsi tidak melebihi 10 batang
per hari. Faktor lain yang mungkin berpengaruh
adalah
penjagaan
oral
hygiene
seperti
menggunakan obat kumur. Beberapa responden
lainnya juga menyatakan pernah beberapa kali
memeriksakan giginya ke dokter. Menurut
Gunsolley obat kumur atau mouthwash dapat
digunakan untuk meningkatkan kebersihan rongga
mulut. Juga mampu membunuh bakteri penyebab
karies, gingivitis, dan bau mulut.17
Selain faktor penjagaan oral hygiene yang
baik, ada kemungkinan faktor dari jenis rokok
berpengaruh dalam kondisi jaringan periodontal.
Berdasarkan dari hasil anamnesa masing-masing
responden menyatakan mengkonsumsi rokok
dengan merek yang berbeda. Dalam penelitiannya

119

Ramadhani : Prevalensi Penyakit Periodontal Pada Perokok

berkaitan dengan studi kadar nikotin dan tar oleh


Kusuma Ali dkk (2012) menemukan kadar nikotin
dan tar yang berbeda pada setiap merek rokok jenis
filter.25 Menurut Kusuma (2010) menyebutkan
bahwa nikotin adalah salah satu bahan dari rokok
yang berkaitan dengan jaringan periodontal.14
Menurut Tirtosastro S dan Murdiyati (2010) dalam
penelitiannya mengenai kandungan kimia dan
tembakau dan rokok juga menyatakan bahwa jenis
tembakau yang digunakan juga mempengaruhi
kadar nikotin yang terkandung di dalamnya.19
Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan
bahwa prevalensi penyakit periodontal pada
perokok di lingkungan batalyon infanteri
621/Manuntung Barabai, Hulu Sungai Tengah
paling banyak mengalami gingivitis yakni 60% (27
orang), kemudian diikuti periodontitis yakni 4,4%
(2 orang), sedangkan yang tidak mengalami
penyakit periodontal yakni 35,6% (16 orang).
Berdasarkan kelompok umur, pada golongan usia
20-30 tahun yang tidak mengalami penyakit
periodontal atau normal yakni 35,6% (16 orang),
gingivitis sebanyak 46,7% (21 orang) dan tidak ada
yang mengalami periodontitis atau 0 %. Pada
golongan usia 30-40 tahun kondisi periodontal
normal adalah 0% atau tidak ada, gingivitis
sebanyak 13,3% (6 orang) dan periodontitis
sebanyak 4,4% (2 orang).
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Newman M.G, Takei H.H, Klokkevoid P.R


and Carranza F.A. Carranzas Clinical
Periodontology, 10th. St.Louis Missouri:
Saunders Elsevier, 2006: p 46-7, 68, 72-75,
116-120.
Campbell N.A, Reece J.B and Mitchell L.G.
Biology 5th ed vol.3. Jakarta: Erlangga. 2004 .
p81-2.
Marcuschamer E, Hawley C.E, Israel S,
Romero D.M.R and Molina M.J. A Lifetime
of Normal Hormonal Events and Their
Impact on Periodontal Health. Perinatol
Reprord Hum. 2009; 23:53.
Carranza F.A, Newman M.G and Takkei H.H.
Carranzas Clinical Peridontology. 10th ed.
Philadelphia: Saunders. 2008. p495-9.
Sham A, Cheung L, Jin L and Corbet E. The
Effects of Tobacco Use on Oral Health.
Hongkong Med J. 2003; 9:271-77.
Dewi N.M. Peran Stres Terhadap Kesehatan
Jaringan Periodontal. Jakarta: EGC. 2010. p34.

7.

8.

9.

10.

11.
12.

13.
14.

15.

16.

17.

18.

19.

Alamsyah
R.M.
Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi Kebiasaan Merokok dan
Hubungannya Dengan Status Penyakit
Periodontal di Kota Medan. Skripsi. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. 2007.
Mealey L.B and Ocampo L.G. Diabetes
Mellitus and Periodontal Disease. Journal
Compilation 2007; 44:127-153.
Pejcic A, Obradovic R, Kesic L and Kojovic
D. Smoking and Periodontal Disease: A
review. Medicine and Biology 2007. 14(2): 53
9.
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS).
Kalimantan Selatan: Laporan Hasil Kesehatan
Dasar Provinsi Kalimantan Selatan. 2007.
Eley B.M and Manson J.D. Periodontics.
USA: Philadelphia. 2004. p10-11,124-5.
Gondodiputo S. Bahaya Tembakau dan
Bentuk-Bentuk Sediaan Tembakau. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas
kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.
2007.
Curry C.M. Tobacco Use and Periodontal
Disease. JCCC Honours Journal 2010; 1: 4-6.
Kusuma A.R.P. Pengaruh Merokok Terhadap
Kesehatan Gigi dan Mulut. Jurnal Sultan
Agung Unissula 2010; (online), jilid 1, 1-6,
(http// www.unissula.ac.id, diakses 25
Februari 2013).
Kasim E. Merokok Sebagai Faktor Risiko
Terjadinya Penyakit periodontal. Skripsi.
Bagian Ilmu Penyakit Gigi dan Mulut.
Jakarta: Fakultas Trisakti. 2001.
Mullaly BH. The Influence of Tobacco
Smoking on the Onset of Periodontitis in
Young Person. Divisi of Periodontics.
Queens University of Belfast. North Ireland.
2004.
Gunsolley. A Meta Analysis of Six Month
Studies of Antiplaque and Antigingivitis
Agent. American Dental Association Journal
2006; 137:1-4.
Kusuma Ali D, Yuwono S.S dan Wulan N.S.
Studi Kadar Nikotin dan Tar Sembilan Merk
Rokok Kretek Filter yang Beredar di Nganjuk.
Skripsi. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.
Malang: Fakultas Teknologi Pertanian
Universitas Brawijaya. 2012.
Tirtosastro S dan Murdiyati A.S. Kandungan
Kimia Tembakau dan Rokok. Skripsi.
Malang: Universitas Tribuana Tunggadewi
Malang. 2010.

120

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

PERBANDINGAN EFEKTIVITAS PASTA GIGI HERBAL DENGAN


PASTA GIGI NON HERBAL TERHADAP PENURUNAN INDEKS PLAK
PADA SISWA SDN ANGSAU 4 PELAIHARI
Rizki Yulita Rahmah, Priyawan Rachmadi, Widodo
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT

Background: Plaque control is an attempt to remove and prevent the plaque accumulation on the tooth
surface. Brushing teeth is an effective method in controlling plaque. Plaque control is equipped by additional
active ingredients in toothpaste form. The addition of herbal ingredients in toothpaste expected to inhibit the
growth of plaque because it has the ability to inhibit the growth of microbes Purpose: The purpose of this study
was to compare the effectiveness of herbal toothpaste and non herbal toothpaste in reducing plaque index.
Methods: This study was a quasi experimental design and used a nonrandomized control group pretest-posttest
design. Sampling was conducted by purposive sampling. Treatment was conducted by subject brushed their teeth
with non-herbal toothpaste twice a day for 5 days, then underwent washing periods for 7 weeks, and re-treated
brushed with herbal toothpaste for 5 days. Index plaque in each treatment was recorded by Patient Hygiene
Performance (PHP) methods. Results: The mean plaque index before treatment was 2.78 and the mean plaque
index after brushing the teeth with non-herbal toothpaste and herbal toothpaste respectively 2.19 and 1.47.
Mann-Whitney statistical test showed p=0.000 (p<0.05) that indicated a significant difference between the
reduction of plaque index after brushing with non herbal toothpaste and after brushing with herbal toothpaste.
Conclusion: Based on the research it can be concluded that there was differences in the effectiveness between
herbal toothpaste and non herbal toothpaste. Herbal toothpaste was more effective to reduce plaque index.
Key words: toothpaste, herbal, non-herbal, plaque index
ABSTRAK
Latar belakang: Pengendalian plak adalah upaya membuang dan mencegah penumpukan plak pada
permukaan gigi. Menyikat gigi merupakan metode yang efektif dalam mengendalikan plak. Kontrol plak
dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif dalam bentuk pasta gigi. Penambahan herbal pada pasta gigi
diharapkan dapat menghambat pertumbuhan plak karena memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan
mikroba. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan
pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental
dan menggunakan rancangan nonrandomized control group pretest posttest design. Pengambilan sampel
dilakukan dengan purposive sampling. Perlakuan yang diberikan adalah menyikat gigi menggunakan pasta gigi
non herbal dua kali sehari selama 5 hari, kemudian subjek penelitian menjalani washing periode selama 7
minggu, dan kembali diberi perlakuan menyikat gigi dengan pasta gigi herbal selama 5 hari. Indeks plak
masing-masing perlakuan dicatat dengan metode Patient Hygiene Performance (PHP). Hasil: Rerata indeks
plak sebelum perlakuan adalah 2,78 dan rerata indeks plak sesudah diberi perlakuan menyikat gigi dengan
pasta gigi non herbal dan pasta gigi herbal masing-masing 2,19 dan 1,47. Pada uji Mann-Whitney didapatkan
hasil p=0,000 (p<0,05) yang menunjukkan perbedaan yang bermakna antara penurunan indeks plak sesudah
menyikat gigi dengan pasta gigi non herbal dan sesudah menyikat gigi dengan pasta gigi herbal. Kesimpulan:
Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta gigi non
herbal, yaitu pasta gigi herbal lebih efektif menurunkan indeks plak
Kata Kunci : pasta gigi, herbal, non herbal, indeks plak

121

Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal

Korespondensi: Rizki Yulita Rahmah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: yulitarizki@gmail.com
PENDAHULUAN
Tingkat kebersihan rongga mulut merupakan
salah satu indikator kesehatan gigi dan mulut.
Kebersihan rongga mulut dapat dilihat dari ada
tidaknya deposit-deposit organik, seperti pelikel,
materi alba, sisa makanan, kalkulus, dan plak gigi.1
Saat ini prevalensi tertinggi penyakit gigi dan mulut
adalah karies dan penyakit periodontal yang
disebabkan adanya plak gigi.2 Plak merupakan
deposit lunak yang membentuk lapisan biofilm dan
melekat erat pada permukaan gigi dan gusi serta
permukaan keras lainnya dalam rongga mulut.3
Angka kejadian masalah kesehatan gigi dan
mulut di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional Tahun
2007, prevalensi nasional masalah gigi-mulut
adalah 23,4%. Terdapat 1,6% penduduk yang telah
kehilangan seluruh gigi aslinya. Penduduk yang
menerima perawatan atau pengobatan dari tenaga
kesehatan gigi hanya 29,6% dari total penduduk
dengan masalah gigi-mulut.4
Penelitian Kazemnejad et al (2008)
menunjukkan 88,7% siswa di Tehran, Iran memiliki
tingkat kesehatan periodontal yang buruk.5
Penelitian Chuckpaiwong et al (2000) di Laos
menunjukkan dari 2453 responden, hanya 0,5%
yang memiliki gingiva yang sehat, dan ditemukan
deposit kalkulus pada 90% responden sejak
berumur 12 tahun.6 Carneiro et al (2012)
melaporkan bahwa dari 785 siswa pada suatu
sekolah di Tanzania, 74% memiliki plak
supraginggival dan 56,9% memiliki kalkulus.7
Prevalensi penyakit periodontal menurut kelompok
umur pada tahun 2004 di dua kecamatan di kota
medan yakni 97,62% pada usia 15-24 tahun,
93,88% pada usia 23-34 tahun, 94,64% pada usia
34-44 tahun, dan 100% pada usia 45-65 tahun.8
Pengendalian plak adalah upaya membuang
dan mencegah penumpukan plak pada permukaan
gigi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara
mekanis maupun kimiawi. Penyingkiran secara
mekanis merupakan metode yang efektif dalam
mengendalikan plak dan gingivitis. Penyingkiran
mekanis dapat meliputi penyikatan gigi dan
penggunaan benang gigi. Saat ini kontrol plak
dilengkapi dengan penambahan jenis bahan aktif
yang mengandung bahan dasar alami ataupun
bahan sintetik sebagai bahan anti mikroba. Bahan
anti mikroba tersebut tersedia dalam bentuk larutan
kumur dan pasta gigi.9,10,11
Penelitian Almajed (1994) menunjukkan
pembersihan plak dengan menyikat gigi
menggunakan pasta gigi lebih efektif dibandingkan
dengan menyikat gigi tanpa pasta gigi.12 Pasta gigi
yang digunakan pada saat menyikat gigi berfungsi
untuk mengurangi pembentukan plak, memperkuat

gigi terhadap karies, membersihkan dan memoles


permukaan gigi, menghilangkan atau mengurangi
bau mulut, memberikan rasa segar pada mulut serta
memelihara kesehatan gusi.13
Pasta gigi yang beredar di pasaran umumnya
mengandung fluor yang efektif dalam mencegah
dan mengendalikan karies gigi.14 Fluor dapat
menghambat
demineralisasi
email
dan
meningkatkan remineralisasi. Flour sangat berperan
penting terhadap peningkatan kesehatan gigi.15
Pasta gigi pada umumnya mengandung bahan
abrasif, air, pelembab, bahan perekat, bahan
penambah rasa, bahan terapeutik, bahan
desensitisasi, bahan anti-tartar, bahan pemutih,
bahan pengawet, serta bahan antimikroba seperti
triklosan dan klorheksidin yang berperan sebagai
bahan aktif yang dapat memberikan efek inhibisi
secara langsung pada pembentukan plak.16
Estafan et al (1998) melaporkan bahwa
pasta gigi herbal lebih unggul dibandingkan pasta
gigi konvensional dalam pengurangan plak.17
Penambahan herbal pada pasta gigi dapat
menghambat pertumbuhan plak, karena beberapa
jenis herbal memiliki kemampuan menghambat
pertumbuhan mikroba. Bahan antimikroba pada
ekstrak daun sirih dan siwak berperan sebagai
bahan aktif dan mampu membunuh bakteri yang
menjadi penyebab terbentuknya plak. Selain itu,
karena herbal berasal dari tumbuh-tumbuhan, maka
bahan tersebut aman dan alami.18,19
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
peneliti
melakukan
penelitian
mengenai
perbandingan efektivitas pasta gigi herbal dengan
pasta gigi non herbal terhadap penurunan indeks
plak pada siswa SDN Angsau 4 Pelaihari. Tempat
penelitian dipilih karena rendahnya persentase
berperilaku benar dalam menyikat gigi di daerah
tersebut, serta pelaksanaan kegiatan UKGS yang
tidak sesuai dengan semestinya. Penelitian ini
diharapkan dapat berfungsi sebagai pendataan
status indeks plak pada siswa di sekolah tersebut,
sehingga plak yang merupakan salah satu sumber
permasalahan pada gigi dapat dicegah sedini
mungkin. Tujuan penelitian ini adalah untuk
membandingkan efektivitas pasta gigi herbal
dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan
indeks plak
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan metode
quasi eksperimental dengan rancangan penelitian
nonrandomized control group pretest posttest
design. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa
kelas V dan VI di SDN Angsau 4 Pelaihari. Sampel
diambil dengan teknik purposive sampling. Besar
sampel yang diambil sebanyak 30 orang dan

122

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria


inklusinya antara lain siswa kelas V dan VI SDN
Angsau 4 Pelaihari Kalimantan Selatan Tahun
Ajaran 2013/2014, bersedia untuk berpartisipasi
dan dijadikan responden penelitian, minimal
memiliki seluruh gigi yang diperlukan dalam
pemeriksaan, yaitu gigi 16, 11, 26, 36, 31 dan 46.
Kriteria eksklusinya antara lain terdapat karies pada
gigi yang diperlukan dalam pemeriksaan dan
memakai alat ortodonti.
Penelitian ini dilakukan di SDN Angsau 4
Pelaihari Kalimantan Selatan dengan prosedur
pasien dijelaskan tentang manfaat dan prosedur
penelitian dan diberikan lembar informed consent.
Peneliti menyiapkan alat dan bahan yang meliputi
kaca mulut (dental mirror), pinset, nierbeken, sikat
gigi, alat tulis, masker, sarung tangan, handuk putih
dan model peraga rahang atas dan rahang bawah.
Bahan penelitian yang digunakan antara lain
disclosing solution, alkohol 70%, air mineral, pasta
gigi herbal, pasta gigi non herbal, dan kapas.
Pengukuran indeks plak indeks pertama pada
responden dengan menggunakan larutan pewarna
plak/disclosing solution. Penggunaannya dengan
cara mengoleskan kapas yang telah ditetesi
disclosing solution pada permukaan gigi-gigi yang
menjadi indeks penelitian, yaitu permukaan labial
pada gigi anterior atas dan bawah, permukaan bukal
gigi posterior rahang atas, dan permukaan lingual
gigi posterior rahang bawah. Responden diminta
berkumur dengan air mineral. Pemeriksaan Indeks
plak menggunakan metode PHP (Patient Hygiene
Performance) yang dilakukan pada permukaan
mahkota gigi bagian fasial atau lingual dengan
membagi tiap permukaan mahkota gigi menjadi
lima subdivisi, yaitu distal, 1/3 servikal (gingival),
mesial, 1/3 tengah, 1/3 insisal/oklusal. Gigi yang
diperiksa adalah gigi 16, 11, 26, 36, 31, dan 46.
Dicatat indeks plak dari setiap sampel yang
diperiksa.
Langkah selanjutnya adalah penyuluhan
mengenai cara menyikat gigi yang baik dan benar,
kemudian dilakukan pengukuran indeks plak kedua
pada seluruh responden setelah 5 hari. Hal ini
dilakukan
untuk
mengidentifikasi
adanya
penurunan indeks plak setelah menyikat gigi
dengan pasta gigi non herbal. Indeks plak pada
setiap sampel yang diperiksa dicatat. Seluruh
responden diinstruksikan menyikat gigi dua kali
sehari dengan pasta gigi yang biasa digunakan di
rumah. Responden kemudian diistirahatkan dari
pemakaian pasta gigi non herbal (washing periode)
selama 7 minggu.20 Responden diinstruksikan untuk
menyikat gigi 2 kali sehari dengan menggunakan
pasta gigi herbal. Pemeriksaan dan perhitungan
indeks plak dilakukan kembali pada responden
setelah 5 hari. Hasil pemeriksaan dicatat dalam
formulir penilaian indeks plak. Hasil penilaian
indeks plak pada responden sebelum dan setelah

menyikat gigi dengan pasta gigi herbal


dibandingkan dengan pasta gigi non herbal.
HASIL PENELITIAN
Hasil pemeriksaan indeks plak dengan
menggunakan PHP (Patient Hygiene Performance)
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rata-rata indeks plak sebelum diberi
perlakuan, sesudah penggunaan pasta gigi
non herbal, dan sesudah penggunaan
pasta gigi herbal.

Indeks Plak
Sebelum
diberi
perlakuan
Sesudah
diberi
perlakuan
Penurunan

Rata-rata
Penggunaan
Penggunaan
Pasta Gigi
Pasta Gigi
Non Herbal
Herbal
2.78

2.78

2.19

1.47

0.59

1.31

Penurunan indeks plak pada kelompok


kontrol dan kelompok perlakuan diuji dengan
menggunakan uji T berpasangan. Hasil penurunan
indeks plak pada penggunaan kedua pasta gigi yaitu
0,000 (p<0,05), sehingga dapat dikatakan terjadi
penurunan indeks plak yang signifikan pada
penggunaan pasta gigi herbal dan pasta gigi non
herbal. Perbedaan efektivitas pasta gigi herbal
dengan pasta gigi non herbal terhadap penurunan
indeks plak diuji dengan Mann Whitney dan
didapatkan hasil 0,000 (p<0,05) yang menunjukkan
terdapat perbedaan signifikan antara penggunaan
pasta gigi herbal dan pasta gigi non herbal terhadap
penurunan indeks plak.
PEMBAHASAN
Lingkungan fisik meliputi anatomi dan
posisi gigi, dan anatomi jaringan sekitarnya, serta
friksi atau gesekan oleh makanan yang dikunyah
dapat mempengaruhi proses pembentukan plak
gigi. Pemeliharaan kebersihan mulut dapat
mencegah atau mengurangi penumpukan plak pada
permukaan gigi.16 Pengaruh diet terhadap
pembentukan plak telah diteliti dalam dua aspek,
yaitu pengaruhnya secara fisik dan pengaruhnya
sebagai sumber makanan bagi bakteri di dalam
plak. Jenis makanan, yaitu keras dan lunak,
mempengaruhi pembentukan plak pada permukaan
gigi. Plak banyak terbentuk jika kita lebih banyak
mengkonsumsi makanan lunak, terutama makanan
yang mengandung karbohidrat jenis sukrosa, karena
akan menghasilkan dekstran dan levan yang
memegang peranan penting dalam pembentukan

Rahmah : Perbandingan Efektivitas Pasta Gigi Herbal

matriks plak. Kariogenitas makanan tergantung


pada beberapa faktor, misalnya konsentrasi sukrosa,
sifat perlekatan makanan pada permukaan gigi,
kecepatan pembersihan rongga mulut dan kualitas
pembersihan.16
Penyikatan gigi dengan menggunakan pasta
gigi non herbal dapat menurunkan indeks plak
secara bermakna. Hal tersebut disebabkan terdapat
bahan abrasif yang dapat membersihkan dan
memoles permukaan gigi tanpa merusak email.
Pasta gigi juga mengandung bahan pembersih
(detergent) yang fungsinya menurunkan tegangan
permukaan dan melonggarkan ikatan debris dengan
gigi yang akan membantu gerakan pembersihan
sikat gigi. Adanya kandungan bahan abrasif dan
detergent menyebabkan pembuangan plak, debris,
material alba, dan sisa makanan menjadi lebih
mudah.16,21
Komposisi pasta gigi non herbal pada
penelitian ini antara lain: Calcium Carbonate
sebagai bahan abrasif, water sebagai bahan pelarut,
sorbitol sebagai bahan pelembab, Sodium Lauryl
Sulfate sebagai bahan deterjen, Flavor, Cellulose
Gum, Pottasium Citrate, Sodium Silicate, Sodium
Saccobarin, serta Sodium Monofluorophosphate
sebagai bahan fluoride yang dapat mencegah
demineralisasi pada gigi sekaligus sebagai bahan
aktif dalam pasta gigi tersebut. Pasta gigi dengan
kandungan herbal dapat digunakan sebagai terapi
tambahan untuk penyakit periodontal dan
pencegahannya yang dapat digunakan secara rutin,
terutama untuk pasien yang menginginkan produk
alami.22
Penelitian ini menggunakan pasta gigi herbal
dengan komposisi utama siwak dengan berbagai
bahan tambahan lain seperti Calcium Carbonate
sebagai bahan abrasif yang dapat membersihkan
permukaan gigi tanpa merusak email, water sebagai
bahan pelarut, sorbitol sebagai bahan pelembab,
Sodium Lauryl Sulfate sebagai bahan deterjen yang
dapat melonggarkan ikatan debris dengan gigi dan
akan membantu gerakan pembersihan sikat gigi,
Sodium Carboxyl Methyl Cellulose, Fumed Silicium
Dioxide,
flavor
peppermint,
Sodium
Monofluorophosphate, Salvadora persica powder
yang dapat membantu pembersihan sisa makanan
pada sela-sela gigi, sodium saccharine, titanium
dioxide, clove oil (Eugenia Caryophyllus), dan
metyl paraben. Efek terapeutik dan profilaktik
siwak diakibatkan adanya pembersihan mekanis
dan pelepasan zat kimia aktif yang terdapat
didalamnya. Substansi silica pada Salvadora
persica (siwak) diduga membantu aksi mekanis
siwak terhadap pembersihan plak.10,23
Penelitian ini menggunakan pasta gigi
dengan komposisi utama siwak dengan kandungan
kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium
Bikarbonat, Fluor, Silika, Sulfur, Vitamin C,
Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa
mineral
lainnya
yang
berfungsi
untuk

123
membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan
gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak
sebagai bahan penyusun pasta gigi. Minyak aroma
alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang
dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau
tidak sedap. Enzim dapat mencegah pembentukan
plak yang merupakan penyebab radang gusi dan
penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.
Anti Decay Agent (zat anti pembusukan) dan
Antigermal System bertindak seperti Penicilin yang
menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah
terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut
merangsang produksi saliva. Saliva merupakan
organik mulut yang melindungi dan membersihkan
mulut.23
Siwak dapat menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bakteri rongga mulut terutama
spesies Streptococcus. Tannin (asam tanan) yang
terkandung di dalam siwak dapat mengurangi
perlekatan bakteri pada permukaan gigi.
Mekanisme tannin dalam menghambat dan
mengurangi terbentuknya plak adalah dengan cara
menghambat enzim glukosil transferase yang
diproduksi
oleh
Streptococcus
mutans.
Streptococcus mutans dapat membuat polisakarida
ekstraseluler dari sukrosa salah satunya glukan
(dekstran) yang tidak larut dalam air yaitu perekat
pelikel yang disintesis oleh glukosil transferase.
Glukan ini berperan dalam menimbulkan koloni
bakteri pada permukaan gigi. Terhambatnya enzim
glukosil transferase akan menghambat proses
perlekatan bakteri ke pelikel gigi, sehingga
mencegah
proses
kolonisasi
awal
pada
pembentukan plak gigi.19
Penelitian lain dengan menjadikan serbuk
siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi
menunjukkan prosentase hasil terbaik bagi
kesehatan gigi secara sempurna, karena mampu
menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan
mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih
berkumpul pada sela-sela gigi. Hal ini yang
mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di
dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk
pasta gigi mereka. World Health Organization
(WHO) turut menjadikan siwak sebagai salah satu
komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan
dibudidayakan.23
Hasil penelitian menyatakan terdapat
perbedaan efektivitas pasta gigi herbal dengan pasta
gigi non herbal terhadap penurunan indeks plak.
Penggunaan pasta gigi herbal dapat menurunkan
indeks plak lebih besar. Penggunaan pasta gigi
yang mengandung herbal disarankan untuk
disebarluaskan
sebagai
alternatif
dalam
menurunkan akumulasi plak, serta dapat dijadikan
alternatif formulasi konvensional untuk individu
yang tertarik pada produk alami.

124

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 120 - 124

DAFTAR PUSTAKA
1.

Ambarwati FE, Utami DF dan Pramono D.


Pengaruh pemberian larutan ekstrak jeruk nipis
(Citrus aurantifolia) terhadap pembentukan
plak gigi. Jurnal Media Medika muda 2012; 318.
2. Fontana M and Zero DT. Assessing patients
caries risk. J Am Dent Assoc 2006; 137(9)
:1231-1239.
3. Haake SK: Periodontal microbiology. Dalam
F.A.Carranza dan M.G.Newman. Clinical
Periodontology. 9th Ed. Philadelphia: W.B.
Saunders. 2002. Hal. 96-113.
4. Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan.
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2008. Hal.176
5. Kazemnejad A, Zayeri F, Rokn AR and
Kharazifard MJ. Prevalence and risk indicators
of periodontal disease among highschool
students in Tehran. Eastern Mediterranean
Health Journal 2008; 14(1) :119-125.
6. Chuckpaiwong
S,
Ngonephady
S,
Dharmbhibhit J, Kasetsuwan J and Sirirat M.
The Prevalence of Periodontal Disease and
Oral Hygiene Care in Savannakhet Province,
Lao Peoples Democratic Republic. Southeast
Asian J Trop Med Public Health 2000; 31(4)
:775-779.
7. Carneiro LC and Kabulwa MN. Dental Caries,
and Supragingival Plaque and Calculus among
Students, Tanga, Tanzania. International
Scholarly Research Network ISRN Dentistry
2012; 1-6.
8. Tampubolon NS. Dampak Karies Gigi dan
Penyakit Periodontal terhadap Kualitas Hidup.
Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Bidang Ilmu Kedokteran Gigi
Pencehagan/Kesehatan Gigi Masyarakat pada
Fakultas Kedokteran Gigi 2005; 1-30.
9. George J, Shashikant Hegde, KS Rajesh and
Arun Kumar. The efficacy of a herbal-based
toothpaste in the control of plaque and
gingivitis: A clinico-biochemical study. Indian
J Med Res 2009; 20 :480-482.
10. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap
Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi
yang mengandung herbal. J Dent 2005; 38 :64
67.
11. Morgana S, Carneiro T, Silva SL, Morais O
and Ximenes M. Effect of a dentifrice
containing aloe vera on plaque and gingivitis
control: a double-blind clinical study in
humans. J Appl Oral Sci 2008; 16(4) :293-296.
12. Zanatta FB, Antoniazzi RP, Pinto TM and
Rsing CK. Supragingival Plaque Removal
with and without Dentifrice: A Randomized
Controlled Clinical Trial. Braz Dent J 2012;
23(3) :235-240.

13. Pannuti CM, Mattos JP, Ranoya PN, Jesus


AM, Lotufo RFM and Romito GA. Clinical
effect of a herbal dentifrice on the control of
plaque and gingivitis: a double-blind study.
Pesqui Odontol Bras 2003; 17 :1517-1522.
14. Damle SG, Deoyani D, Bhattal H, Yadav R
and Lomba A. Comparative efficacy of
dentifrice
containing
sodium
monofluorophosphate
+
calcium
glycerophosphate
and
non-fluoridated
dentifrice: A randomized, double-blind,
prospective study. Dental Research Journal
2012; 9(1) :68-73.
15. Davies R, Scully C and Preston AJ. Dentifrices
- an update. Med Oral Patol Oral Cir Bucal
2010; 15(6) :976-982.
16. Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N.
Ilmu pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC, 2010.
Hal.56-77, 98-121.
17. Wright AA, Agbelusi GA, Dayo AF and
Olunuga OJ. Oral and peri-oral signs and
symptoms of herbal dentifrices in patients in
two oral medicine clinics in LagosA
preliminary
study.
Open
Journal
of
Stomatology 2012; 2 :27-32.
18. Nalina T and Rahim ZHA. Effect of Piper
betle L. Leaf Extract on the Virulence
Streptococcus mutans-An in vitro Study.
Pakistan Journal of Biological Sciences 2006;
9(8) :1470-1475.
19. Adriyati P dan Santoso O. Pengaruh Pemberian
Larutan Ekstrak Siwak (Salvadora persica)
terhadap Pembentukan Plak Gigi [Karya Tulis
Ilmiah]. Semarang. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro 2011, 1-12.
20. Senn S. Cross-over trials in clinical research.
2nd Ed. England: Wiley, 2002. P.13-14.
21. Storehagen S and Shilpi Midha OS. Dentifrices
and Mouthwashes Ingredients and Their Use.
Oslo University of andidatus/candidate Odonto
degree quide to Clinic. 2003; 1-44.
22. Maldupa I, Brinkmane A, Rendeniece I and
Mihailova I. Evidence based toothpaste classifi
cation, according to certain characteristics of
their chemical composition. Stomatologija,
Baltic Dental and Maxillofacial Journal 2012;
14(1) :12-22.
23. Ahmad H and Ahamed N. Therapeutic
properties of meswak chewing sticks: A
review. African Journal of Biotechnology
2012; 11(83) :14850-7.

125

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

PERBANDINGAN AKTIVITAS ANTIJAMUR EKSTRAK ETANOL


JAHE PUTIH KECIL (Zingiber officinale Var. AMARUM) 30%
DENGAN Chlorhexidine glukonat 0,2% TERHADAP Candida albicans IN VITRO
Haluanry Doane Santoso, Lia Yulia Budiarti, Amy Nindya Carabelly
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: One of many medicinal plants used by the Indonesian people and has been known long time
ago that is small white ginger ( Zingiber officinale var. Amarum), a small white ginger has antifungal activity,
one of them is Candida albicans. The chemical composition of small white ginger acts as the other antifungal
compounds such as phenol; gingerol, shogaol, and zingeron. Purpose: The Purpose of this research was to
determine differences in the antifungal activity of ethanol extract of small white ginger ( Zingiber officinale var.
Amarum ) 30% and Chlorhexidine gluconate 0.2% to the growth of Candida albicans. Method: The method of
this research was a true experimental design and completely randomized post-test-only design using 2
treatments, the treatment group was given a small white ethanol extract of ginger ( Zingiber officinale Var.
amarum ) 30% and a positive control group Chlorhexidine gluconate 0.2%. Antifungal activity of each group
was tested on cultures of Candida albicans using by a diffusion method and assessed from the diameter of the
radical zone or clear zone around the paper disk. Result: The result is average of radical zone in a given culture
treated with ethanol extract small white ginger was 12 mm, while Chlorhexidine gluconate given 0.2% was
14.875 mm. Conclusion: The results of research was showed the antifungal activity of 0.2% Chlorhexidine
gluconate greater than the antifungal activity of ethanol extract of white small ginger 30%, but the antifungal
activity of white small ginger extract good enough to inhibit the growth of Candida albicans.
Key words: Candida albicans, 0.2% Chlorhexidine gluconate, ethanol extract small white ginger ( Zingiber
officinale var. Amarum ) 30% , antifungal activity
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu tanaman obat yang banyak dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah
lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil (Zingiber officinale var. amarum), jahe putih kecil ini memiliki
aktivitas sebagai antijamur, salah satunya pada Candida albicans. Kandungan kimia jahe putih kecil yang
berperan sebagai antijamur antara lain senyawa fenol seperti; gingerol, shogaol, dan zingeron. Tujuan: Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan aktivitas antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber
officinale var. amarum) 30% dan Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap pertumbuhan Candida albicans.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode true experimental dengan rancangan penelitian post test-only
design dengan rancangan acak lengkap menggunakan 2 perlakuan, yaitu kelompok yang diberikan perlakuan
berupa ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber officinale Var amarum) 30% dan kelompok control positif
Chlorhexidine gluconate 0,2%. Aktivitas antijamur dari masing-masing kelompok pada biakan Candida albicans
diuji dengan menggunakan metode difusi dan dinilai dari diameter zona radikal atau zona bening disekitar paper
disk. Hasil: Rata-rata zona radikal pada biakan yang diberikan perlakuan dengan ekstrak etanol jahe putih kecil
adalah 12 mm, sedangkan yang diberikan Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah 14,875 mm. Kesimpulan: Hasil
penelitian menujukan aktivitas antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih besar daripada aktivitas antijamur
ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, namun aktivitas antijamur ektrak jahe kecil cukup tinggi menghambat
pertumbuhan Candida albicans.
Kata kunci : Candida albicans, Chlorhexidine gluconate 0,2%, ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber
officinale Var. amarum) 30%, aktivitas antijamur

126

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129

Korespondensi: Haluanry Doane Santoso, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128B, Banjarmasin, KalSel, email: Haluanry16@gmail.com

PENDAHULUAN
Candida albicans merupakan mikroflora
normal rongga mulut yang seringkali menyebabkan
infeksi opurtunistik pada pasien yang mengalami
penurunan pertahanan tubuh akibat penuaan,
penyakit diabetes dan AIDS, serta faktor
iatrogenik.1,2,3
Spesies
tersebut
seringkali
berkolonisasi dalam rongga mulut yaitu sebesar
30% - 60% dan permukaan gigi tiruan yang tidak
pas sebesar 60% - 100%.4,5 Invasi C. albicans pada
jaringan lunak rongga mulut, dapat menyebabkan
terjadinya Kandidiasis oral.
Prevalensi kandidiasis oral di Indonesia pada
pasien yang dirawat di RSCM sebesar 84% sampai
tahun 2009.5 Terapi yang diberikan pada lesi
rongga mulut akibat infeksi tersebut adalah berupa
pemberian obat obatan antijamur, tetapi saat ini
banyak dilaporkan beberapa jamur yang resisten
terhadap obat obatan antijamur tersebut, sehingga
perlu dilakukan penelitian mengenai terapi
antijamur alternatif. Salah satu obat topikal umum
yang digunakan sebagai terapi antijamur alternatif
dalam rongga mulut adalah Chlorhexidine
gluconate.6
Chlorhexidine gluconate 0,2% adalah
antiseptik bisbiguanida yang aktif melawan bakteri
dan jamur.7,8 Obat ini digunakan untuk
meningkatkan kebersihan mulut dan penyembuhan
luka secara topikal dalam rongga mulut.
Chlorhexidine gluconate 0,2% terbukti dapat
mengurangi pertumbuhan mikroorganisme secara
signifikan serta mempunyai daya hambat yang
sama dengan nistatin terhadap beberapa spesies
jamur terutama terhadap Candida albicans.6,9
Penggunaan Chlorhexidine dapat menimbulkan
rasa tidak nyaman pada pemakainya. Rasa tidak
nyaman tersebut diakibatkan karena iritasi mukosa,
ulserasi, perubahan indra perasa, dan perubahan
warna gigi dan lidah.10, karena penggunaan
Chlorhexidine menimbulkan rasa yang tidak
nyaman pada pemakainya maka dilakukan
penelitian tanaman obat tradisional yang mampu
melawan pertumbuhan C. albicans yang nantinya
dapat menjadi obat alternatif yang lebih murah,
mudah didapat, dan banyak terdapat di masyarakat.
Tanaman obat dapat menghasilkan metabolit
sekunder dengan struktur molekul dan aktivitas
biologik yang beraneka ragam, memiliki potensi
yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi obat
berbagai penyakit. Menurut perkiraan badan
kesehatan dunia WHO 80% penduduk dunia masih
menggantungkan kesehatan pada pengobatan
tradisional termasuk penggunaan obat yang berasal
dari tanaman. Salah satu tanaman obat yang banyak

dipergunakan oleh masyarakat Indonesia dan telah


lama dikenal adalah rimpang jahe putih kecil
(Zingiber officinale var. amarum).11
Rimpang jahe selain berkhasiat sebagai obat
batuk, penawar racun, antitusif, laksatif, antasida,
dan sebagai antioksidan serta dilaporkan rimpang
jahe memiliki aktivitas sebagai antijamur pada
Candida albicans, sebagai agen penyebab
Kandidiasis oral.11,12,13 Pada penelitian terdahulu
didapatkan efektivitas antijamur dari ekstrak etanol
jahe putih kecil 30% terhadap T. mentagrophytes
dan C. neoforrmans lebih efektif dibandingkan
dengan ekstrak etanol jahe putih kecil 25%, 20%,
15%, dan 10%.11 Hasil penelitian tersebut menjadi
salah satu alasan peneliti menggunakan ekstrak
etanol jahe putih kecil konsentrasi 30%. Pada
penelitian lain juga disebutkan ekstrak etanol jahe
besar (Zingiber officinale) efektif melawan C.
albicans pada konsentrasi 2mg ml-1 dengan
konsentrasi dilusi 1:5.14
Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui
ekstrak etanol jahe putih kecil 30% memiliki
aktivitas antijamur terhadap C. neoforrmans, tetapi
belum diketahui apakah aktivitas antijamur ekstrak
etanol jahe putih kecil 30% sama dengan
Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida
albicans. Mengingat hal tersebut, perlu dilakukan
penelitian mengenai perbandingan aktivitas
antijamur ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan
Chlorhexidine gluconate 0,2% terhadap Candida
albicans. Aktivitas perlakuan terhadap Candida
albicans, dapat diketahui melalui uji difusi, dengan
menghitung zona hambat yang terbentuk,
menunjukan efek dari aktivitas masing masing
perlakuan yang diuji.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Rancangan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimental
laboratoris murni (true exsperimental) dengan post
test only with control group design rancangan acak
lengkap menggunakan 2 perlakuan perlakuan 1:
Ekstrak etanol jahe putih kecil 30%, perlakuan 2:
Chlorhexidine
gluconate
0,2%.
Jumlah
pengulangan setiap perlakuan adalah 16 kali yang
diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan
rumus Federer. Alat-alat penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah neraca analitik, mortir
dan stamper, autoclave, inkubator, tabung reaksi,
cawan petri, ose bulat, lampu bunsen, kapas lidi
steril, pipet tetes, caliper (skala millimeter), gelas
beker, labu erlenmeyer, alat pengaduk, kertas
saring, aluminium foil, laminary flow. Bahan-bahan
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah ekstrak etanol jahe putih kecil (Zingiber

127

Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur

officinale var. amarum) 30%, Chlorhexidine


gluconate 0,2%, isolat Candida albicans, media
agar darah, Sabouraud Dextrose Agar, aquades
steril, media Brain Heart Infusion (BHI), paper disk
kosong - steril, CMC-Na dan deretan larutan
McFarland.
Rimpang jahe putih kecil dicuci bersih lalu
setelah dikeringkan kemudian ditimbang. Jahe
putih kecil kemudian diiris kecil-kecil dan
dikeringkan dengan pengeringan alamiah yaitu
diangin-angin dan tidak dipanaskan di bawah sinar
matahari langsung (ditutup dengan kain hitam)
serta ditimbang. Dihaluskan dengan blender hingga
berupa serbuk halus dan ditimbang lagi.
Pembuatan Ekstrak etanol jahe putih kecil
30%. Pada penelitian ini, metode ekstraksi yang
digunakan ialah maserasi. Sebanyak 500 g sampel
serbuk dimasukkan dalam alat maserasi. Kemudian
larutan etanol 70% dituangkan secara perlahanlahan ke dalam alat maserasi yang berisi sampel,
lalu diaduk-aduk hingga merata. Larutan penyari
dituangkan hingga 1 cm di atas permukaan sampel.
Diaduk sekali-sekali, setiap 1x24 jam filtrat
disaring dan pelarut diganti dengan yang baru
sambil sekali-sekali diaduk. Penggantian pelarut
dilakukan hingga cairan berwarna bening. Setelah
itu ekstrak dikumpulkan dan diuapkan dengan
rotary evaporator pada tekanan rendah dengan
temperatur 40oC sampai didapatkan ekstrak etanol
yang kental kemudian diuapkan di waterbath
sehingga didapatkan bobot tetap. Ekstrak kental
kemudian dilarutkan dalam CMC-Na sehingga
didapat konsentrasi 300 mg ekstrak per ml.
Isolat Candida albicans (ATCC 10231)
ditumbuhkan pada media cair BHI selama 5-8 jam
sesuai dengan standar McFarland 0,5. Selanjutnya
dilakukan seri pengenceran suspensi dengan
ditambahkan akuades sampai kekeruhan suspensi
sebanding dengan standar McFarland 0,5 yaitu
setara dengan jumlah jamur atau ragi sebanyak 5 x
106 cfu/ml. Dilakukan kultur Candida albicans
menggunakan kapas lidi steril yang dimasukan
dalam suspense jamur dan diusapkan pada
permukaan perbenihan agar Sabouraud (SDA+,
SDA yang telah diberikan kloramfenikol) hingga
rata. Kultur diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam.
Paper disk dengan diameter 5 mm disaturasi
dengan
filter
kemudian
diambil
dengan
menggunakan pinset dan direndam selama 3 jam
dalam suspensi ekstrak etanol jahe putih kecil 30%
dan Chlorhexidine gluconate 0,2%. Masing-masing
Paper disk kemudian diletakkan pada permukaan
media SDA+. Candida albicans yang telah
diinkubasi pada media SDA+ kemudian diberi
paper disk yang telah diletakkan dalam suspensi
ekstrak etanol jahe putih kecil 30% dan
Chlorhexidine gluconate 0,2%. Selanjutnya media
pengujian diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37oC. Kemudian dilakukan pembacaan hasil dengan

ukuran zona hambat setelah masa inkubasi. Zona


hambat diukur dari sekeliling disk. Pengukuran
dilakukan dengan menggunakan calliper (dalam
satuan milimeter).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian zona hambat esktrak jahe
putih kecil dan Chlorhexidine gluconate dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Rata-rata zona hambat antijamur pada


setiap perlakuan.
Hasil uji indepedent t-Test diperoleh nilai p
= 0,000 (p < 0,05) yang berarti ekstrak etanol jahe
putih kecil 30% mempunyai aktivitas antijamur
yang sama dengan Chlorhexidine gluconate 0,2%
terhadap Candida albicans (H0) ditolak, sehingga
dari hasil uji dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna pada kedua perlakuan tersebut
dengan tingkat kepercayaan 95%.
PEMBAHASAN
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui
bahwa konsentrasi 30% ekstrak etanol jahe putih
kecil memiliki efek antijamur terhadap Candida
albicans. Menurut Atai, ekstrak etanol jahe pada
konsentrasi 2mg ml-1 efektif terhadap jamur
Candida albicans metode uji dilusi 1:5.14
Selanjutya penelitian Gholib, mengatakan bahwa
ekstrak etanol jahe putih kecil pada konsentrasi
30% mempunyai aktivitas antijamur terhadap C.
neoformans.11 Candida albicans dan C. neoformans
termasuk ragi dengan struktur membran sel yang
sama yaitu memiliki dinding sel khamir
(Blastospora) dengan komponen utama kapsula
polisakarida berupa glukan, khitin, mannan.15
Efek antijamur dari perlakuan ekstrak etanol
jahe putih kecil disebabkan adanya kandungan
minyak atsiri yang terdiri dari senyawa aktif yaitu
gingerol, shogaol, zingeron, dan zingiberen.
Gingerol, shogaol, dan zingeron termasuk dalam
senyawa fenol, yang diketahui dapat mendenaturasi
ikatan protein membran sel Candida albicans,
sehingga membran sel menjadi lisis dan fenol dapat

128

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 125 - 129

menembus ke dalam inti sel, menyebabkan jamur


Candida albicans tidak dapat berkembang.16,17,18
Letak dan jumlah kelompok hidroksil pada
kelompok fenol diduga berhubungan dengan sifat
toksiknya terhadap mikroorganisme, yang dapat
meningkatkan hasil hidroksilasi dan peningkatan
toksisitas. Hal tersebut menyebabkan terjadinya
inhibisi enzim oleh senyawa teroksidasi atau
interaksi
nonspesifik
dengan
protein
mikroorganisme.19 Mekanisme kerja lain yang
dipercaya bahwa ekstrak jahe menghambat
pertumbuhan Candida albicans dengan berlakunya
efek apoptosis pada kandungan sel
Candida
albicans. Sel mengalami penghambatan proliferasi,
terjadi pengerutan sel dan kondensasi pada
kromosom. Efek ini merupakan penelitian dari
ekstrak jahe terhadap Cell-line Hep-2. Oleh karena,
sel jamur termasuk sel eukaryote dan tidak berbeda
dengan sel tersebut sehingga dianalogikan untuk
mekanisme kerja terhadap sel Candida albicans.20
Senyawa antijamur lain yang terkandung
dalam ekstrak jahe diduga berasal dari komponen
minyak atsiri rimpang jahe yang mengandung
senyawa metabolit sekunder yang termasuk ke
dalam golongan seskuiterpen. Senyawa turunan
yang termasuk ke dalam turunan seskuiterpen yaitu
: a-zingiberen, b-zingiberen, b-bisabolen, belemen,
b-parnesen, d-salinen, dan b-seskuiphelandren dan
senyawa turunan minyak atsiri lainnya diduga
mempunyai
sifat
antijamur.21
Senyawa
seskuiterpene ini diduga dapat mengganggu
metabolisme energi dalam mitokondria yaitu dalam
tahap
transfer
elektron
dan
fosforilasi.
Terhambatnya transfer elektron akan mengurangi
oksigen dan mengganggu fungsi dalam siklus sel
pada mitokondria. Akibat tidak terjadinya tahap
fosforilasi
menyebabkan
terhambatnya
pembentukan ATP dan ADP. Terhambatnya
pertumbuhan Candida albicans dalam penelitian
ini, karena adanya penurunan pengambilan oksigen
oleh mitokondria yang mengalami kerusakan
membran dan kerusakan krista akibat adanya
aktivitas
senyawa
antijamur,
sehingga
menyebabkan energi ATP yang dihasilkan untuk
proses pertumbuhan dan perkembangan sel menjadi
berkurang, sehingga pertumbuhannya terhambat
secara normal.21
Pada penelitian ini didapatkan bahwa
perlakuan Chlorhexidine glukonate 0,2% terhadap
Candida albicans memiliki zona hambat rata-rata
sebesar 14,875 mm. Hasil ini hampir mendekati
dengan hasil Pramitha yang meniliti tentang
efektifitas fungisidal ekstrak daun jambu mente
terhadap Candida albicans dengan menggunakan
Chlorhexidine glukonate 0,2% sebagai kontrol
positif. Pramitha menyebutkan bahwa zona hambat
rata-rata Chlorhexidien glukonate terhadap
Candida albicans sebesar 16,25 mm.22
Molekul
Chlorhexidine
merupakan
biguanidakationik tinggi dan mengikat permukaan

kutub negatif dengan kuat, termasuk sel-sel


epithelial dan dapat digunakan dalam konsetrasi
yang bervariasi. Chlorhexidine pada dosis yang
rendah akan menganggu transport seluler, sehingga
sel bakteri atau sel ragi mengalami kerusakan
dengan terbentuknya poripori pada membran
seluler.
Pada
penggunaan
Chlorhexidine
konsentrasi yang lebih tinggi, larutan merembes ke
dalam sel bakteri dan menyebabkan terjadinya
kerusakan mikroorganisme tersebut.23 Pada
penelitian ini digunakan Chlorhexidine dengan
dosis rendah.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
tetang penggunaan Chlorhexidine terhadap
Candida spp. Menyebutkan bahwa Chlorhexidine
dapat mengkoagulasi nucleoprotein dan merubah
dinding sel ragi, sehingga menyebabkan keluarnya
komponen
sitoplasma
ke
plasmalemma.
Mekanisme antimikroba dari Chlorhexidine
tersebut dapat mencegah pertumbuhan Candida
albicans yang berlebih, tetapi tidak dapat
menghentikan germinasi spora sel ragi tersebut,
terdapat reduksi yang cukup besar pada sel biofilm
Candida spp. Pada level makroskopis, dapat dilihat
bahwa adesi permukaan substrat dan sel juga
mengalami kerusakan.6,24
Hasil penelitian menujukan aktivitas
antijamur Chlorhexidine gluconate 0,2% lebih
besar daripada aktivitas antijamur ekstrak etanol
jahe putih kecil 30%. Aktivitas antijamur ektrak
jahe kecil cukup tinggi menghambat pertumbuhan
Candida albicans. Agar dapat digunakan sebagai
obat alteranatif di masyarakat perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan konsentrasi optimum
dari sediaan ekstrak dan uji klinik untuk
menentukan dosis terapi, dosis toksik, efek
samping, dan efek toksik.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

Kumar BV, Padshetty NS, Bai KY, Rao MS.


Prevalance of Candida in the Oral Cavity of
Diabetic Subjects. JAPI 2005; 99: 39-47.
Chattopadhyay A, Journ D, Caplan DJ, Slade
GD, Shugars DC, Tien H, Patton L. Incidence
of Oral Candidiasis and Oral Hairy
Leukoplakia in HIV- infected adults in North
Carolina. Oral Surg Oral Med Oral Pathol
Oral Radiol Endod 2005; 99: 39-47.
Nejad BS, Rafiei A & Moosanejad F.
Prevalence of Candida Species in the Oral
Cavity of Patients with Periodontitis. African
Journal of Biotechnology 2011; 10 (15): 29872990.
Loster BW, Loster J, Wieczorek A, Ryniewicz
W. Mycological Analysis of the Oral Cavity
of Patients Using Acrylic Removable
Dentures. Gastroenterology Research and
Practice 2012; Hal: 1-9.

Santoso : Perbandingan Aktifitas Antijamur

5.

Hidayat R. Efek Penambahan Glukosa pada


Sabouraud
Dextrose
Broth
terhadap
Pertumbuhan Candida albicans (Uji In Vitro).
Jakarta. Indonesia. 2008; Hal: 1.
6. Machado FC, Portela MB, Cunha AC, Souza
IPR, Soares RM, Castro GF. Antifungal
Activity of Chlorhexidine on Candida spp.
biofilm. Rev Odontol 2010; 39 (5): 271-275.
7. Sikka G, Dodwad V & Chandrashekar KT.
Comparative Anti-plaque and Anti-gingivitis
Efficacy of Two Commercially Available
Mouthwashes - 4 Weeks Clinical Study.
Journal of Oral Health and Community
Dentistry 2011; 5(3): hal. 111.
8. Erdemir EO, Tekin US, Erdemir A. Effects of
0.2% Chlorhexidine gluconate to the Plaque
Accumulation on Silk Suture Materials in Oral
Mucosa: A Scaning Electron Microscope
Study. Arastirma 2007; 31(1): 12-18.
9. Mohammadi Z, Abbott PV. The Properties
and Applications of Chlorhexidine in
Endodontics. International Endodontic Journal
2009; Hal: 4.
10. Meechan JG, Seymour RA. Drug Dictionary
for Dentistry. USA: New York: Oxford
University Press; 2002. Hal: 77.
11. Gholib D. Uji Daya Hambat Ekstrak Etanol
Jahe Merah (Zingiber officinale Var. Rubrum)
Dan Jahe putih (Zingiber officinale Var.
Amarum)
terhadap
Trichophyton
mentagrophytes
Dan
Cryptococcus
neoformans. Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner. Bogor; 2008.
12. Supreetha S. Sharadadevi M. Simon SP, Jain
J, Tikare S. Antifungal Activity of Ginger
Extract on Candida albicans An In-vitro
Study. 2011.
13. Ficker CE, Arnason JT, Vindas PS, Alvares
LP, Akpagana K, Gbeassor M, De Souza C,
Smith ML. Inhibition of Human Pathogenic
Fungi by Ethnobotanically Selected Plant
Extract. National Center for Biotechnology
Information. 2003.
14. Atai Z, Atapour M, Mohseni M. Inhibitory
Effect of Ginger Extract on Candida albicans.
American Journal of Applied Sciences. 2009;
6 (6): 1067-69

129
15. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA.
Jawetz,
Melnick,
Adelberg's
Medical
Microbiology 24th Edition.. Kentucky. USA:
McGraw-Hill. 2007; Hal: 691, 357.
16. Ali WM. et al. Evaluation of Antibacterial
Effect of Ginger Extract When Used as One
Component of the Root Canal Sealer. 2012.
8(2)
17. Arif T, Bhosale JD, Kumar N, Mandal TK,
Bendre RS, Lavekar GS, Dabur R. Natural
Products - Antifungal Agents Derived from
Plants. Journal of Asian Natural Products
Research 2009; 11(7): 621-638.
18. Sulistiyawati D, Mulyati S. Uji Aktivitas
Antijamur Ekstrak Daun Jambu Mete
(Anacardium occidantale Linn.) terhadap
Candida albicans. Biomedika 2009; 2(1): 4751.
19. Hernawan UE, Setyawan AD. Review:
Ellagitanin; Biosintesis, isolasi, dan Aktivitas
Biologi. Biofarmasi 2003; 1(1): 25.
20. Vadma V, A.D Cristie S, K.M Rankumar.
Journal : Induction of Apoptosis by Ginger in
Hep 2 Cell-line is Mediated by Reactive
Oxygen Species. Basic Clinical Pharmacoloy
Toxicology. India. 2007. 100(5): 302-307.
21. Griffin H.D. Fungal Physiology. New York:
John Wiley and Son, Inc. 1994.
22. Pramitha SR. Perbandingan Efek Fungisidal
Ekstrak Daun Jambu Mete (Anacardium
occidentale L.) 12,5% dan Chlorhexidine
gluconate 0,2% terhadap Candida albicans.
2012.
23. Mathur S, Mathur T, Srivastava R, Khatri R.
Chlorhexidine: The Gold Standard in
Chemical Plaque Control. National Journal of
Physiology, Pharmacy & Pharmacology 2011;
1(2): 45-50.
24. Lorian V. Antibiotics in Laboratory Medicine,
5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Canada.
USA
2005.
Hal:
622.

130

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

FREKUENSI SUSUNAN GIGI TIDAK BERJEJAL DAN BERJEJAL RAHANG


BAWAH PADA BENTUK LENGKUNG NARROW RAHANG BAWAH
Tinjauan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012

Puteri Islami Savitri, Priyawan Rachmadi, Widodo


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACK
Background: The size and shape of the arch is important for diagnose determine of treatment plan on
ortodontic cases, it could affect available space, aesthetics, and stability of teeth. Arch dimension is a genetic
factor that can induced crowded teeth condition. Crowded teeth is an disharmony teeth formation of the arch.
Arch dimension aspect have a big role in the occurance of crowded teeth, people with crowded teeth has bigger
width of dimension arch than uncrowded group. Purpose: The purpose of this study was to know the distribution
of teeth formation on narrow form lower jaw. Methods: It was an observational study with cross sectional
approximation. Sample were taken from Lambung Mangkurat Medical Faculty students of 2010-2012 with total
30 samples whose narrow form lower jaw. Results: The result showed that 24 samples (80%) had crowded teeth
and 6 samples (20%) had uncrowded teeth.Conclusion: It can concluded that people with narrow form lower
jaw had more crowded teeth condition than uncrowded teeth.
Keywords: arch dimension, teeth formation, crowded teeth
ABSTRAK
Latar Belakang: Ukuran dan bentuk lengkung rahang memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan
rencana perawatan kasus ortodontik, karena dapat mempengaruhi tempat yang tersedia, estetik, serta stabilisasi
dari geligi. Dimensi lengkung merupakan factor herediter yang berperan pada terjadinya gigi berjejal. Gigi
berjejal adalah tidak rapi atau tidak harmonisnya susunan gigi pada suatu lengkung rahang. Aspek dimensi
lengkung lebih berperan dalam menyebabkan gigi berjejal, dimana lebar lengkung rahang pada susunan gigi
tidak berjejal lebih besar dibandingkan susunan gigi berjejal. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui distribusi frekuensi susunan gigi pada bentuk lengkung narrow rahang bawah. Metode: Jenis
penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan cross sectional. Subjek penelitian terdiri dari satu
kelompok rahang bawah berbentuk narrow yang diambil dari mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin angkatan
2010-2012. Sampel penelitian ini adalah model studi gigi rahang bawah lengkung narrow yang berasal dari
mahasiswa berjumlah 30 orang. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel dengan bentuk
lengkung narrow rahang bawah yang memiliki susunan gigi berjejal sebanyak 24 orang (80%) sedangkan yang
memiliki susunan gigi tidak berjejal sebanyak 6 orang (20%). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa kelompok
rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan dengan susunan gigi
tidak berjejal.
Kata-kata kunci: bentuk lengkung, susunan gigi, gigi berjejal
Korespondensi: Puteri Islami Savitri, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
savitriislamiputeri@gmail.com

131

Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal

PENDAHULUAN

BAHAN DAN METODE

Ukuran dan bentuk lengkung rahang


memiliki pengaruh penting dalam diagnosis dan
rencana perawatan kasus ortodontik, estetik, serta
stabilisasi
dari
geligi.
Kegagalan
dalam
menyesuaikan bentuk kawat lengkung dengan
bentuk lengkung pasien dapat meningkatkan resiko
terjadinya relaps dan menyebabkan senyuman yang
tidak natural.1 Bentuk lengkung rahang merupakan
refleksi dari morfologi tulang di bawahnya.
Kestabilan bentuk lengkung adalah salah satu
tujuan dari perawatan ortodontik. Bentuk lengkung
cenderung kembali ke bentuk awalnya sehingga
bentuk lengkung pasien ketika datang pertama kali
menjadi acuan paling baik dan stabilitas bentuk
lengkung yang baru.2
Raberin (1993) melakukan penelitian pada
bangsa Perancis dan melaporkan bahwa ras
kaukasoid memiliki lima bentuk lengkung rahang
bawah, yaitu narrow, mid, wide, pointed, dan flat,
dengan presentase terbesar adalah bentuk lengkung
narrow sebanyak 23,7%.3 Novrida (2007)
membuktikan bahwa suku Melayu pada mahasiswa
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
memiliki kelima bentukan rahang berdasarkan
klasifikasi Raberin tersebut, dengan bentukan
narrow juga memiliki presentase kedua terbanyak
yaitu 20,93%, setelah wide sebagai bentuk
terbanyak dengan presentase 37,21%.4
Gigi berdesakan ditandai adanya tumpang
tindih (overlapping) gigi-gigi yang berdekatan.5
Gigi berjejal merupakan keluhan yang sering
dijumpai pada pasien-pasien ortodonti dan keadaan
ini bisa menimbulkan gangguan pada penampilan
seseorang, pengunyahan, serta membersihkan gigi.6
Gigi berdesakan atau berjejal berakibat mudahnya
terjadi karies, lesi epitel interdental, lesi
periodontium dan gangguan oklusi, yang semuanya
ini saling berkaitan.7
Beberapa teori telah dicoba untuk
menjelaskan etiologi dari gigi berjejal termasuk di
dalamnya faktor herediter dan faktor lingkungan.
Ukuran gigi dan dimensi lengkung termasuk di
dalam faktor herediter yang berperan di dalam
terjadinya gigi berjejal. Howe dkk. (1983)
menunjukan bahwa dimensi lengkung lebih
berpengaruh terhadap gigi berjejal dibandingkan
dengan ukuran gigi.6 Hamid (2005) melaporkan jika
lebar lengkung rahang kelompok gigi tidak berjejal
lebih besar dibandingkan dengan kelompok gigi
berjejal.8 Pada penelitian Raiq dkk. (2007),
lengkung rahang bawah berbentuk narrow menjadi
bentuk lengkung kedua terbanyak setelah flat yang
memiliki gigi berjejal ringan (0-3mm) pada regio
anterior rahang bawah.9 Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui distribusi frekuensi
susunan gigi tidak berjejal dan berjejal rahang
bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat tahun 2010-2012 yang
memiliki bentuk lengkung narrow rahang bawah.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian


deskriptif observasional. Bahan yang digunakan
adalah alginat dan gips stone/gips tipe III. Alat
yang digunakan adalah sendok cetak rahang bawah
bergigi no.2 dan no.3, rubber bowl, spatula, sliding
caliper merk Krisbow, sarung tangan, masker,
kapas, tisu, formulir informed consent, dan alat
tulis. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa
Fakultas
Kedokteran Universitas
Lambung
Mangkurat Banjarmasin Tahun 2010-2012.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive
sampling sebanyak 30 hasil cetakan rahang bawah
dengan kriteria inklusi yaitu gigi permanen lengkap
(kecuali gigi 38 dan 48), tidak ada karies proksimal,
tidak ada gigi yang mengalami atrisi pada bagian
insisal dan oklusal, tidak ada gigi yang berlebih
(supernumerary teeth), belum pernah dirawat
ortodonti, memiliki bentuk lengkung rahang bawah
narrow, berumur 18 tahun, dan bersedia dijadikan
sampel dalam penelitian. Kriteria eksklusi antara
lain adanya kelainan bentuk dan ukuran gigi
(makrodontia, peg shape, fusion), memiliki riwayat
eksodontia pada masa gigi permanen.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah susunan gigi tidak berjejal dan berjejal
rahang bawah pada bentuk lengkung narrow rahang
bawah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNLAM
Banjarmasin Tahun 2010-2012. Pengambilan
sampel dilakukan dengan cara pencetakan gigi
rahang bawah, kemudian segera dilakukan
pengisian cetakan dengan gips stone/stone tipe III.
Pengukuran lengkung rahang bawah dilakukan
dalam arah transversal dan sagital untuk
mengetahui bentuk lengkungnya hingga didapatkan
30 sampel hasil cetakan rahang bawah berbentuk
narrow. Dilanjutkan pengukuran mesiodistal
masing-masing gigi rahang bawah dan perimeter
lengkung untuk mengetahui susunan gigi rahang
bawah. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar
perhitungan dan dilanjutkan pengumpulan data.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah analisis deskriptif.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat pada
bulan September-November 2013. Hasil penelitian
frekuensi susunan gigi tidak berjejal dan berjejal
pada bentuk lengkung narrow rahang bawah
mahasiswa FK UNLAM Banjarmasin Tahun 20102012 dengan jumlah sampel sebanyak 30 hasil
cetakan rahang bawah berbentuk narrow. Berikut
ini merupakan diagram hasil penelitian frekuensi
susunan gigi tidak berjejal dan berjejal pada bentuk
lengkung narrow rahang bawah mahasiswa FK
UNLAM Banjarmasin Tahun 2010-2012.

132

Gambar 1

Gambar 2

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 130 - 133

Data persentase susunan gigi tidak berjejal


dan berjejal rahang bawah berbentuk
narrow
pada
mahasiswa
Fakultas
Kedokteran UNLAM tahun 2010-2012.

Data persentase susunan gigi rahang bawah


berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012
dibagi sesuai klasifikasi berdasarkan
diskrepansi ukuran lengkung dengan
ukuran mesiodistal gigi.

Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui


bahwa presentase susunan gigi rahang bawah
berbentuk narrow pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran UNLAM angkatan 2010-2012 yaitu 24
orang atau 80% memiliki susunan gigi berjejal dan
yang memiliki susunan gigi tidak berjejal sebesar
20% atau 6 orang. Hal ini menunjukkan bahwa
rahang bawah berbentuk narrow lebih banyak
memiliki susunan gigi berjejal dibandingkan tidak
berjejal yaitu mencapai lebih dari setengah total
sampel. Pada Gambar 2 dapat diketahui apabila
dibagi berdasarkan klasifikasi yang ada bahwa dari
24 lengkung rahang bawah berbentuk narrow yang
memiliki susunan gigi berjejal ringan yaitu
sebanyak 23 orang atau 76,66% dan yang memiliki
susunan gigi berjejal sedang yaitu sebanyak 1 orang
atau 3,33%. Sampel dengan bentuk lengkung
rahang bawah narrow, yang memiliki susunan gigi
berjejal berjumlah lebih dari setengah dari total
sampel.

Gambar 3

Salah satu subjek penelitian

Gambar 4

Hasil cetakan rahang bawah berbentuk


narrow

PEMBAHASAN
Gigi berjejal itu sendiri diartikan sebagai
sebuah ketidakharmonisan antara panjang lengkung
basal yang tersedia dengan panjang lengkung yang
diharapkan untuk letak atau barisan gigi yang
baik.10 Etiologi gigi berjejal masih belum diketahui
secara pasti. Peneliti menyatakan bahwa penyebab
gigi berjejal adalah faktor herediter (keturunan).
Peneliti lain mengatakan bahwa faktor lingkungan
(misalnya makanan lunak dan kehilangan panjang
lengkung
yang disebabkan
karies)
lebih
berpengaruh daripada faktor herediter.6 Ukuran
gigi, panjang lengkung, lebar dimensi merupakan
beberapa dari sekian banyak faktor herediter yang
berkontribusi terjadinya gigi berjejal.11 Hamid
(2005) menyatakan dari hasil penelitiannya bahwa
panjang lengkung yang ditemukan antara kelompok
gigi berjejal dan tidak berjejal memiliki
perbedaan.12
Hasil penelitian Olmez (2011) menyatakan
bahwa bentuk lengkung yang memiliki frekuensi
paling tinggi terjadinya makloklusi Angle adalah
tapered atau bisa disamakan dengan bentukan
narrow13. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
yang ada bahwa lebih dari separuh (80%) dari
jumlah sampel dengan bentukan lengkung rahang
bawah narrow memiliki susunan gigi berjejal.
Berdasarkan Gambar 2, sesuai klasifikasi
berdasarkan diskrepansi ukuran lengkung, 23

133

Savitri : Frekuensi Susunan Gigi Tidak Berjejal

sampel (76,66%) dengan lengkung rahang bawah


berbentuk narrow memiliki susunan gigi berjejal
ringan (-0,1 mm hingga 5 mm). Hal ini sesuai
penelitian Raiq (2007) yang menyatakan bahwa
bentuk lengkung rahang narrow menduduki
peringkat kedua (22%) setelah bentukan flat (33%)
yang memiliki gigi berjejal ringan atau mild
irregularity (1-3mm) pada susunan gigi anterior
rahang bawah.9
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa susunan gigi berjejal lebih
banyak dimiliki oleh kelompok bentuk lengkung
narrow rahang bawah dibandingkan dengan
susunan gigi tidak berjejal dengan persentase 80%
(24 dari 30 hasil cetakan rahang bawah). Apabila
dibagi berdasarkan klasifikasi, maka persentase
susunan gigi terbanyak adalah berjejal ringan (0,1
mm hingga 5 mm) sebesar 76,67%. Para praktisi
sebaiknya mengetahui setiap bentuk lengkung
rahang
pasiennya
agara
dapat
lebih
memperhitungkan segala tindakan khususnya yang
berhubungan dengan cukup atau tidaknya tempat
yang tersedia sehingga hasil pewatan ortodonti
yang dapat lebih stabil.

4.

DAFTAR PUSTAKA

10.

1.

2.

3.

Thakur G, Anil S, Vivek M, HS Jaj and Vishal


S. Intercompany comparison of prefabricated
arch forms in different malocclusion groups in
Himachali population. Indian Journal of Dental
Sciences. 2012; 4(3): 012-016.
Anwar N and Mubassar F. Clinical
applicability of variations in arch dimensions
and arch forms among various vertical facial
patterns. Journal of the Collage of Physicians
and Surgeons Pakistan 2011; 21(11): 685-690.
Liang LR. Bentuk dan ukuran lengkung gigi
rahang bawah pada mahasiswa malaysia
fakultas
kedokteran
gigi
universitas
sumaterautara. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan:
2010, hal.5.

5.
6.

7.

8.

9.

11.

12.

13.

Novrida Z. Ukuran dan bentuk lengkung gigi


rahang bawah pada mahasiswa fakultas
kedokteran gigi universitas sumatera utara.
Skripsi. Medan: Fakultas Kedokeran Gigi
Universitas Sumatera Utara. 2007, hal.26.
Rahardjo P. Ortodonti dasar. Surabaya:
Airlangga University Press, 2009; hal.65.
Wijaya S. Perbandingan ukuran gigi dan
dimensi lengkung antara gigi tanpa berjejal
dengan gigi berjejal. Skripsi. Medan: Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2011, hal.2,33.
Widyanto MR dan Shinta P. Piranti lunak
untuk analisis bentuk lengkung gigi dengan
jaringan saraf tiruan. Jurnal Informatika Mei
2008; 9(1): 8-14.
Kuswardani D, Muhammad RW dan Putu WH.
Desain template pada klasifikasi bentuk
lengkung deretan gigi manusia dengan regresi
kuadratik. Fakultas Ilmu Komputer Ilmu
Universitas Indonesia Juli-Desember 2010;
34(2): 96-103.
Raiq TT, Issac AYA and Dheaa HAA.
Mandibular arch form and late anterior
crowding. J Baghdad Coll Dentistry 2007;
19(1): 95-100.
Sun MK, Jae-Hyung K, Jin-Hyoung C, JeongMoon K and Hyeon-Shik H. What determines
dental protrusion or crowding while both
malocclusions are caused by large tooth size?
Korean J Orthod 2009; 39(5); 330-336.
Groves MS. A comparative analysis of
crowding in class I and II malocclusions.
Thesis. Faculty of Saint Louis University,
2010, p.57.
Hamid MWU and Muhammad IR. Dental
crowding and its relationship to tooth size and
arch dimensions. Pakistan Oral and Dent. Jr.
2005; 25(1): 47-52.
Olmez S and Dogan S. Comparison of the arch
forms and dimensions in various malocclusions
of the turkish population. Open Journal of Sto

134

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

DESKRIPSI GIGI IMPAKSI MOLAR KE TIGA RAHANG BAWAH


DI RSUD ULIN BANJARMASIN
Tinjauan Pada Bulan Juni-Agustus 2013

Erlinda Amaliyana, Cholil, Bayu Indra Sukmana


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Impaction tooth is a tooth that is preventing from its normal path of eruption in the dental
arch due to lack of space in the arch or obstruction in the eruptive pathway of the tooth. The most frequent teeth
become impacted is mandibular third molar. Banjar ethnic is the result of the mixing of the various ethnics
which can cause jaw size and teeth size is unharmonious. Those things lead to lack of space for third molar
eruption that causing impacted teeth. Purpose: The purpose of this study was to determine the characteristics of
patients with impacted mandibular third molar on Banjar ethnic at Regional General Hospital of Ulin in
Banjarmasin, June-August 2013. Methods: This research was an observational study with a descriptive crosssectional study design, in which every patient who came to Regional General Hospital of Ulin in Banjarmasin
with complaints of impacted mandibular third molar would been selected by interview. Results: The results from
this study showed that 23 people were found with impacted mandibular third molar. On Banjar ethnic, there
were 13 women and 10 men with impacted mandibular third molar. At age 25 years there were 10 people,
aged 26-35 years by 7 people and aged 36 years as many as 6 people. Conclusion: The conclusion was the
description of impacted mandibular third molar showed that the frequency was more common in women and age
25 year was high frequent suffer from impacted.
Keywords: impacted tooth, banjar ethnic, mandibular third molar
ABSTRAK
Latar belakang: Gigi impaksi merupakan gigi yang menghalangi jalan dari normalnya erupsi pada
lengkung gigi karena kurangnya ruang pada lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi dari gigi. Gigi yang
paling sering mengalami impaksi adalah molar ke tiga rahang bawah. Suku Banjar merupakan hasil pembauran
dari berbagai suku yang bisa menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang tidak harmonis. Hal-hal
tersebut menyebabkan molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi sehingga terjadi gigi impaksi. Tujuan:
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik penderita gigi impaksi molar ke tiga rahang
bawah pada suku banjar di RSUD Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode observasional deskriptif dengan rancangan cross-sectional study. Setiap pasien yang
datang ke RSUD Ulin Banjarmasin dengan keluhan gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah akan diseleksi
dengan wawancara. Hasil: Hasil dari penelitian ini didapat 23 orang dengan gigi impaksi molar ke tiga rahang
bawah. Pada suku Banjar, terdapat penderita perempuan sebanyak 13 orang dan laki-laki sebanyak 10 orang.
Pada usia 25 tahun terdapat 10 orang, usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang dan usia 36 tahun sebanyak 6
orang. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian ini diambil kesimpulan deskripsi dari gigi impaksi molar ke tiga
rahang bawah terlihat frekuensi lebih banyak terjadi pada perempuan dan usia 25 tahun paling sering terjadi
gigi impaksi.
Kata-kata kunci: gigi impaksi, suku banjar, molar ke tiga rahang bawah
Korespondensi: Erlinda Amaliyana, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: erlindaamaliyana@gmail.com

135

Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi

PENDAHULUAN
Gigi impaksi merupakan gigi yang
menghalangi jalan
normalnya erupsi pada
lengkung gigi karena kurangnya ruang pada
lengkung atau obstruksi pada jalannya erupsi gigi.
Gigi molar ke tiga maksila dan mandibula, kaninus
maksila dan insisif sentral maksila merupakan gigi
yang paling sering terjadi impaksi. Kebanyakan
gigi molar ke tiga yang impaksi atau tidak erupsi
dapat erupsi dengan normal dan tidak menyebabkan
masalah secara klinis.1 Gigi molar ke tiga rahang
bawah impaksi dapat mengganggu fungsi kunyah
dan sering menyebabkan berbagai komplikasi.
Komplikasi yang terjadi dapat berupa resorbsi
patologi gigi yang berdekatan, terbentuknya kista
folikular, rasa sakit neuralgik, perikoronitis, bahaya
fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan
berdesakan gigi anterior akibat tekanan gigi
impaksi ke anterior. Akibat lainnya adalah terjadi
periostitis, neoplasma dan komplikasi lainnya.2
Menurut penelitian Naosherwan dkk. yang
dilakukan di Poli Gigi Rumah Sakit Penang di
Malaysia pada tahun 2000 sampai 2005 dengan
jumlah pasien yang dirawat sebanyak 15.076 orang,
terdapat 261 kasus impaksi molar ke tiga mandibula
sedangkan pada kasus impaksi molar ke tiga
maksila hanya ditemukan 11 kasus. Pada kasus
yang didapat, impaksi gigi lebih banyak terjadi
pada laki-laki daripada perempuan. Sebanyak 137
kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun, 102
kasus terdapat diantara usia 25 tahun sampai 35
tahun, dan 25 kasus terdapat pada usia diatas 35
tahun. Kebanyakan kasus impaksi molar ke tiga
yang datang ke rumah sakit mengeluhkan adanya
sakit serta bengkak, dan lainnya datang dengan
tujuan orthodonti.1
Chandha dkk melakukan penelitian pada
suku Bugis dan suku Toraja, menyimpulkan bahwa
impaksi yang terjadi dilihat secara genetik
disebabkan faktor lingkungan dan faktor keturunan.
Yang dimaksud dengan faktor lingkungan itu
sendiri adalah jenis makanan. Secara umum,
makanan suku Toraja memerlukan kekuatan
kunyah yang lebih besar. Proses evolusi sejalan
dengan berkembangannya peradaban manusia
sehingga ukuran rahang berkurang, sehingga
impaksi gigi lebih mudah terjadi. Secara faktor
keturunan, Suku Toraja yang menikah dengan suku
lain yang secara genetik memiliki rahang yang
kecil, sehingga menghasilkan keturunan yang
mengalami impaksi gigi.3
Suku Banjar memiliki kebiasaan memakan
makanan yang tidak keras dan memasak
makanannya dengan cara merebus dan berkuah
seperti gangan, dan cara yang paling khas seperti
memais dan menuup.4 Suku Banjar itu sendiri
memiliki kebiasaan memakan makanan yang tidak
keras sehingga lengkung rahang tidak berkembang
secara maksimal. Suku Banjar merupakan hasil

pembauran dari berbagai suku yang mana bisa


menyebabkan ukuran rahang dan ukuran gigi yang
tidak harmonis. Hal-hal tersebut menyebabkan
molar ke tiga kekurangan ruang untuk erupsi
sehingga terjadi gigi impaksi. Mengingat hal
tersebut dan belum ada data yang pasti tentang gigi
impaksi molar ke tiga, perlu dilakukan penelitian
mengenai deskripsi gigi impaksi molar ke tiga
rahang bawah. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menggambarkan keadaaan gigi impaksi molar ke
tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada
bulan Juni-Agustus 2013.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif observasional. Alat yang digunakan
adalah lembar pertanyaan interview, alat tulis,
masker, sarung tangan dan alat diagnostik seperti
kaca mulut. Populasi pada penelitian ini adalah
pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Ulin di Banjarmasin
Kalimantan Selatan yang mengalami gigi impaksi
pada molar ke tiga rahang bawah. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling
sebanyak 23 orang. Pengambilan sampel dilakukan
atas dasar kriteria yang telah ditentukan oleh
peneliti berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusi yaitu pasien suku Banjar yang
datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Ulin yang mengalami gigi impaksi pada
molar ke tiga rahang bawah serta bersedia menjadi
responden dalam penelitian. Kriteria ekslusi yaitu
pasien yang datang ke Poli Gigi di Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) Ulin yang tidak mengalami
gigi impaksi pada molar ke tiga rahang bawah yang
bukan suku Banjar serta tidak bersedia menjadi
responden dalam penelitian.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah gigi impaksi molar ke tiga rahang bawah
pada Suku Banjar berdasarkan jenis kelamin dan
usia. Penelitian ini dilakukan di Poli Gigi RSUD
Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013.
Setiap pasien yang didiagnosa memiliki gigi
impaksi molar ke tiga rahang bawah oleh dokter
gigi di Poli Gigi RSUD Ulin akan diseleksi apakah
pasien tersebut Suku Banjar dengan melakukan
wawancara pada pasien tersebut. Apabila dari
wawancara pasien tersebut merupakan suku Banjar
maka pasien tersebut dinyatakan sebagai sampel.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah menggunakan analisis deskriptif.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian deskripsi gigi impaksi molar
ke tiga rahang bawah di RSUD Ulin Banjarmasin
didapatkan 23 sampel. Hasil penelitian deskripsi

136

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 134 - 137

gigi impaksi molar ketiga rahang bawah di RSUD


Ulin Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus 2013
dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2.

usia yang sering muncul pada penelitian adalah


pasien yang berada pada usia 25 tahun dengan
jumlah sebesar 10 orang (39,1%).
PEMBAHASAN

Tabel 1 Data Prosentase berdasarkan jenis kelamin


deskripsi gigi impaksi molar ke tiga rahang
bawah di RSUD Ulin Banjarmasin pada
bulan Juni-Agustus 2013

Tabel 2

Data Prosentase berdasarkan kelompok


usia deskripsi gigi impaksi molar ke tiga
rahang
bawah
di
RSUD
Ulin
Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus
2013

Data dari Tabel 1 menunjukan pasien


perempuan yang mengalami gigi impaksi molar ke
tiga rahang bawah berjumlah 13 orang atau sebesar
56,5% dari keseluruhan pasien. Pasien laki-laki
yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang
bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%. Data
dari Tabel 2 menunjukan pasien kelompok usia 25
tahun berjumlah 10 orang atau sebesar 43,5% dari
keseluruhan pasien. Dilihat dari pasien kelompok
usia 26-35 tahun terdapat sebanyak 7 orang atau
sebesar 30,4%, sedangkan pasien kelompok usia
36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%.
Hasil yang terdapat di tabel menunjukan bahwa

Hassan (2010) menjelaskan bahwa molar ke


tiga merupakan gigi yang paling sering impaksi.
Prevalensi impaksi molar ke tiga terjadi antara
16,7% sampai 68,6%. Banyak penelitian yang
menyebutkan tidak ada predileksi jenis kelamin
pada impaksi molar ke tiga. Meskipun beberapa
penelitian menyebutkan bahwa frekuensi lebih
tinggi terjadi pada perempuan Eropa dan
perempuan Singapore-Chinese daripada laki-laki.5
Data penelitian ini menunjukan bahwa pasien
perempuan suku Banjar yang mengalami gigi
impaksi molar ke tiga rahang bawah lebih tinggi
dibanding laki-laki yaitu sebanyak 13 orang atau
sebesar 56,5%. Pasien laki-laki suku Banjar yang
mengalami gigi impaksi molar ke tiga rahang
bawah sebanyak 10 orang atau sebesar 43,5%.
Hassan (2010) juga menjelaskan bahwa
tingginya frekuensi yang terjadi pada perempuan
dikarenakan perbedaan masa pertumbuhan antara
perempuan dan laki-laki. Perempuan biasanya
berhenti pertumbuhannya ketika molar ke tiga baru
mulai erupsi. Pada laki-laki pertumbuhan dari
rahang mereka masih berlangsung selama masa
erupsi molar ke tiga, sehingga memberikan ruang
yang lebih untuk erupsi molar ke tiga.5 Menurut
Miloro (2004) dan ADA (2005), usia pertumbuhan
molar ke tiga bervariasi, gigi molar ke tiga biasanya
mulai tumbuh pada usia antara 17 dan 21 tahun dan
erupsi molar ke tiga akan selesai antara usia 20 dan
24 tahun.1,6,7 Menurut penelitian Syed dkk. (2012)
dari 713 kasus gigi impaksi molar ke tiga sebanyak
430 kasus terdapat pada usia dibawah 25 tahun atau
sebesar 64,5% dari total sampel.8
Hal tersebut mendukung hasil dari penelitian
ini yang menunjukan bahwa pasien yang menderita
gigi impaksi molar ke tiga lebih banyak terdapat di
usia 25 tahun yaitu sebanyak 10 orang atau
sebesar 43,5%. Semakin tinggi usia maka lebih
sedikit pula angka kejadian gigi impaksi molar ke
tiganya. Hal ini dilihat dari pasien dengan
kelompok usia 26-35 tahun sebanyak 7 orang atau
sebesar 30,4% dan pasien dengan kelompok usia
36 tahun sebanyak 6 orang atau sebesar 26,1%.
Belum ada teori yang menjelaskan mengapa usia
25 tahun paling sering mengalami gigi impaksi
molar ke tiga. Beberapa penelitian hanya
menjelaskan
mungkin
ini
dikarenakan
meningkatnya kesadaran tentang kesehatan gigi dan
mulut.9 Untuk penderita usia 26-35 dan usia 36
yang mengalami gigi impaksi molar ke tiga, erupsi
molar ke tiga ditemukan pada rentang usia yang
luas dikarenakan perubahan posisi yang terjadi
setelah erupsi yang mana bisa menyebabkan gigi
impaksi. Hal ini bisa disebabkan kebiasaan makan,

137

Amaliyana : Deskripsi Gigi Impaksi

intensitas mastikasi dan mungkin karena latar


belakang genetik.10
Berdasarkan
penelitian
ini
diambil
kesimpulan bahwa deskripsi gigi impaksi molar ke
tiga rahang bawah memperlihat frekuensi lebih
banyak terjadi pada perempuan dan usia 25 tahun
yang paling sering mengalami gigi impaksi. Saran
penelitian ini yaitu perlu dilakukan penelitian yang
lebih lanjut mengenai gigi impaksi molar ke tiga
rahang bawah dengan sampel yang lebih variatif
dan lebih banyak. Perlu dilakukan penelitian
tentang hubungan gigi impaksi dengan lengkung
rahang dan hubungan gigi impaksi dengan
kebiasaan makan dan jenis makanan.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

Anwar N, Khan AR, Narayan KA, Ab Manan


A Hj. A Six-year Review of The Third Molar
Cases Treated in the Dental Department of
Penang Hospital in Malaysia. Dental
Research Journal, 2008; 5(2): hal 53-60
Dwipayanti A, Adriatnoko W, Rochim A.
Komplikasi Post Odontektomi Gigi Molar
Ketiga Rahang Bawah Impaksi. Journal of the
Indonesian Dental, 2009; 58(2): hal 20
Chanda MH, Zahbia ZN. Pengaruh bentuk
gigi geligi terhadap terjadinya impaksi gigi
molar ketiga rahang bawah. Dentofasial
Jurnal Kedokteran Gigi, 2007; 6(2): hal 65-6

Samani M, Rachman H AA, Sjarifuddin


H,Kusmartono VPR, Hadijah S, Kawi HD,
Anis MZA. Sejarah Banjar. Banjarmasin:
BALITBANGDA
Provinsi
Kalimantan
Selatan, 2007, hal 1-10
5. Hassan AH. Pattern of Molar Impaction in a
Saudi Population. Clinical, Cosmetic and
Investigational Dentistry, 2010: 2; hal 109113
6. Miloro M, Ghali GE, Larsen PE, Waite PD.
Petersons Principle of Oral and Maxillofacial
Surgery. 2nd Ed. Ontario: BC Decker Inc.
2004, hal 132
7. American
Dental
Association.
Tooth
Eruption: The Permanent Teeth. JADA, 2006:
137. hal 127
8. Syed KB, Kota Z, Ibrahim M, Bagi MA,
Assiri MA. Prevalence of Impacted Molar
Teeth among Saudi Population in Asir
Region, Saudi Arabia: A Retrospective Study
of 3 Years. Journal of International Oral
Health, 2013:5(1). hal 43-47
9. Ayaz A, Rehman AU. Pattern of Impacted
Mandibular Third Molar in Patients Reporting
To Department of Oral and Maxillofacial
Surgery, Khyber College of Dentistry,
Peshawar. JKCD, 2012:2(2). hal 50-53
10. Qirreish E J.
Radiographic Profile of
Symptomatic Impacted Mandibular Third
Molars in the Western Cape, South Africa.
Masters degree dissertation. Western Cape:
University of Western Cape. 2005.
4.

138

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

GAMBARAN POLA KEHILANGAN GIGI SEBAGIAN PADA MASYARAKAT


DESA GUNTUNG UJUNG KABUPATEN BANJAR
Muhammad Fauzan Anshary, Cholil, I Wayan Arya
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
ABSTRACT
Background: The pattern of tooth loss was structure of tooth loss that divided into two i.e partial tooth
loss and the loss of the entire tooth. Partial tooth loss accorded to the Kennedy Classification, the classification
that be used to classify partially edentulous. Increasing age was often associated with the increasing number of
missing teeth. Low levels of education allowed more tooth loss than the higher education level, this is due to
routine of dental care to the dentist. Purpose: This study aimed to determine the pattern of tooth loss by age and
education. Methods: This study was a descriptive with cross-sectional design. The population in this study were
residents on Guntung Ujung Village of Banjar District. Total sample were 60 respondents, each group were 30
respondents in the age group of 25-65 years and >65 years which examined to record the edentulous on
respondents and then classified based on the Kennedy Classification. Results: The pattern of partial tooth loss
on community of guntung ujung village in banjar district was Class I 17 people (28,33%), Class II 17 people
(28,33%), Class III 15 people (25%) and Class IV total of 11 people (18,33%). Conclusion: Based on research,
the most common of Kennedy classification at age 25-65 years were Class III 13 people (21.67%) and at age>
65 years were Class I 15 people (25%). The most common of Kennedy classification on elementary education
were the Class I 13 people (21.67%) and on secondary education were Class III 10 people (16.67%).
Keyword: Pattern of tooth loss, Kennedy Classification, edentulous
ABSTRAK
Latar Belakang: Pola kehilangan gigi adalah struktur kehilangan gigi yang terbagi dua yaitu kehilangan
gigi sebagian dan kehilangan seluruh gigi. Kehilangan gigi sebagian sesuai dengan klasifikasi Kennedy, yaitu
klasifikasi yang digunakan untuk mengklasifikasikan edentulous sebagian. Meningkatnya usia sering
dihubungkan dengan meningkatnya jumlah kehilangan gigi. Tingkat pendidikan yang rendah memungkinkan
terjadinya kehilangan gigi lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pendidikan tinggi, hal ini disebabkan
dengan rutinnya melakukan perawatan gigi dan mulut ke dokter gigi. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pola kehilangan gigi berdasarkan umur dan tingkat pendidikan. Metode: Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk Desa
Guntung Ujung Kabupaten Banjar. Sampel penelitian ini berjumlah 60 responden, masing-masing kelompok
berjumlah 30 responden pada kelompok umur 2565 tahun dan >65 tahun dilakukan pemeriksaan untuk
mencatat kondisi edentulous pada responden kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi Kennedy. Hasil:
Pola kehilangan gigi sebagian sebagai berikut Kelas I berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah 17 orang
(28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang (25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%). Kesimpulan:
Berdasarkan hasil penelitian, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada umur 25-65 tahun adalah
Kelas III berjumlah 13 orang (21,67%) dan pada umur >65 tahun adalah Kelas I berjumlah 15 orang (25%).
Klasifikasi Kennedy yang paling banyak terjadi pada pendidikan dasar adalah Kelas I berjumlah 13 orang
(21,67%) dan pada pendidikan menengah adalah Kelas III berjumlah 10 orang (16,67%).
Kata-kata kunci: Pola kehilangan gigi, Klasifikasi Kennedy, edentulous

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

139

Korespondensi: Muhammad Fauzan Anshary, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: fauzanshary@gmail.com
PENDAHULUAN
Edentulous (kehilangan gigi sebagian atau
seluruhnya) merupakan indikator kesehatan mulut
dari suatu populasi. Hal ini merupakan cerminan
keberhasilan berbagai pencegahan dan pengobatan
yang diberlakukan oleh suatu pelayanan kesehatan.
Banyak pasien menganggap edentulous sebagai
sebuah alasan untuk mendapat perawatan gigi (1).
Weintraub dan Burt menyatakan bahwa kelompok
sosio-ekonomi yang lebih rendah mengalami
edentulous dalam tingkat yang lebih tinggi daripada
kelompok sosio-ekonomi yang lebih tinggi (2).
Kehilangan gigi merupakan suatu keadaan
lepasnya satu atau lebih gigi dari soketnya atau
tempatnya. Kejadian hilangnya gigi, biasa terjadi
pada anak-anak mulai usia 6 tahun yang mengalami
hilangnya gigi sulung dan kemudian digantikan
oleh gigi permanen. Kehilangan gigi permanen
pada orang dewasa sangatlah tidak diinginkan
terjadi, biasanya kehilangan gigi terjadi akibat
penyakit periodontal, trauma, dan karies (3).
Sebagian besar penelitian menyatakan
bahwa karies dan penyakit periodontal merupakan
penyebab utama terjadinya kehilangan gigi.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 pengalaman karies di Kalimantan Selatan
adalah 83,4% (4). Kehilangan gigi dapat
disebabkan oleh karies, penyakit periodontal,
trauma, dan atrisi yang berat. Sebagian besar
penelitian menyatakan bahwa karies dan penyakit
periodontal merupakan penyebab utama terjadinya
kehilangan gigi. Faktor penyakit seperti karies dan
penyakit
periodontal
yang
menyebabkan
kehilangan gigi berhubungan dengan meningkatnya
usia. Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan
faktor bukan penyakit seperti faktor sosio
demografi, perilaku dan gaya hidup juga
berpengaruh terhadap kehilangan gigi (1).
Kehilangan gigi biasanya disebabkan oleh
karies dan penyakit periodontal yang dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Persentase keterlibatan
kehilangan gigi akibat karies dan penyakit
periodontal tergantung pada usia di mana
kehilangan gigi pada usia lanjut kebanyakan
disebabkan oleh penyakit periodontal sedangkan
kehilangan gigi pada usia muda biasanya
disebabkan oleh karies. Kehilangan gigi juga
dipengaruhi oleh merokok yang berpengaruh
terhadap terjadinya periodontitis dan karies gigi (3).
Karies gigi berasal dari bahasa latin yang
artinya lubang gigi dan ditandai oleh rusaknya
email dan dentin secara progresif yang disebabkan
oleh aktivitas metabolisme bakteri dan plak. Karies
gigi timbul karena empat faktor yaitu host yang
meliputi gigi dan saliva, mikroorganisme, substrat,
serta waktu atau lamanya proses interaksi antar

faktor tersebut (5). Karies gigi adalah salah satu


penyebab kehilangan gigi yang paling sering terjadi
pada dewasa muda dan dewasa tua (6).
Karies merupakan penyakit infeksi pada gigi
Karies pada gigi yang tidak dirawat dapat
bertambah buruk, sehingga akan menimbulkan rasa
sakit dan berpotensi menyebabkan kehilangan gigi.
Walaupun secara keseluruhan karies menurun di
Amerika, tetapi penurunan ini tidak terjadi pada
kelompok usia tua (6). Penelitian sebelumnya yang
dilakukan
oleh
peneliti
Amerika
telah
mengemukakan bahwa karies gigi merupakan
alasan utama ekstraksi gigi, dan studi lainnya yang
dilakukan di Selandia Baru, Swedia, dan bahkan di
Brasil
menegaskan
bahwa
karies
dapat
menyebabkan kehilangan gigi (7).
Penyakit periodontal banyak diderita oleh
manusia hampir di seluruh dunia dan mencapai
50% dari jumlah populasi dewasa. Menurut hasil
survei kesehatan gigi dan mulut di Jatim tahun
1995, penyakit periodontal terjadi pada 459 orang
dari 1000 penduduk dan lebih banyak di pedesaan
daripada perkotaan. Prevalensi dan intensitas
penyakit periodontal di Asia dan Afrika terlihat
lebih tinggi dibandingkan di Eropa, Amerika, dan
Australia. Penyakit periodontal di Indonesia
menduduki urutan ke dua utama yang masih
merupakan masalah di masyarakat. Penyakit yang
menyerang pada gingiva dan jaringan pendukung
gigi ini merupakan penyakit infeksi yang serius dan
apabila tidak dilakukan perawatan yang tepat dapat
mengakibatkan kehilangan gigi (8).
Faktor sosiodemografi seperti umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat
penghasilan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi jumlah kehilangan gigi (1).
Prevalensi kehilangan seluruh gigi pada dewasa
muda di Meksiko sekitar 2,4% dan pada dewasa tua
yang berumur 65 tahun keatas sekitar 30,6% (9).
Kehilangan gigi di Brazil sangat terkait dengan
tempat tinggal di daerah pedesaan, jenis kelamin
perempuan, status sosial ekonomi yang kurang
baik, tingkat pendidikan yang kurang baik, dan
pada usia tua (10).
Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro
dalam jurnal Rusli (2012) pengelompokan usia
sebagai berikut: usia dewasa muda 18 atau 29-25
tahun, usia dewasa penuh (middle years) atau
maturitas, 25-60 tahun atau 65 tahun, lanjut usia
(geriatric age) lebih dari 65 tahun atau 70 tahun
(11). Meningkatnya usia sering dihubungkan
dengan jumlah kehilangan gigi yang semakin
tinggi. Marcus dkk (1996) dalam skripsi Fauza
(2011) menyatakan bahwa prevalensi kehilangan
gigi tidak berkaitan dengan jenis kelamin (6). Lain
halnya dengan Prabhu dkk (2009) menyatakan
kehilangan gigi sebagian paling tinggi dialami oleh

140

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143

perempuan dibandingkan lakilaki, sedangkan


kehilangan seluruh gigi paling tinggi dijumpai pada
lakilaki dibandingkan perempuan (12). Esan dkk
(2004) mengatakan apabila tingkat pendidikan dan
penghasilan
rendah
maka
memungkinkan
terjadinya kehilangan gigi akan lebih banyak
dibandingkan dengan tingkat pendidikan dan
penghasilan tinggi, hal ini disebabkan dengan
pendidikan dan penghasilan tinggi, seseorang
mengetahui serta rutin melakukan perawatan gigi
dan mulut ke dokter gigi (1).
Data dari BRFSS pada tahun 20042006
menunjukkan populasi yang mengalami kehilangan
lebih dari 6 gigi sebanyak 23% pada kelompok
pendidikan SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah,
15% pada pendidikan Perguruan Tinggi. Menurut
penelitian Fauza (2011) didapatkan kehilangan gigi
di rahang atas paling tinggi terjadi pada tingkat
pendidikan SD kehilangan gigi sebagian Kelas III
Kennedy yaitu 7 orang (3,5%). Kehilangan gigi di
rahang bawah paling tinggi terjadi pada tingkat
pendidikan SD adalah kehilangan gigi sebagian
Kelas III Kennedy yaitu 13 orang (6,5%) (6).
Terdapat hubungan antara kehilangan gigi dengan
tingkat pendidikan. Masyarakat dengan pendidikan
tinggi cenderung memiliki kesadaran untuk
memperbaiki
kesehatan
rongga
mulut,
menggunakan fasilitas kesehatan gigi dan mulut
serta gaya hidup yang lebih baik untuk
memperhatikan kesehatan rongga mulut (1).
Pola kehilangan gigi adalah struktur
kehilangan gigi yang diklasifikasikan atas
kehilangan gigi sebagian berdasarkan Klasifikasi
Kennedy dan kehilangan seluruh gigi (1).
Kehilangan gigi sebagian terjadi lebih banyak pada
dewasa muda, agar tercapai fungsi maksimal gigi
geligi, pada usia dewasa harus mempunyai minimal
21 gigi di dalam rongga mulut. Penelitian di
Washington tahun 2004 dan 2006 didapatkan 5%
dewasa umur 3544 tahun serta 38% populasi
berumur 65 tahun keatas mengalami kehilangan 6
elemen gigi atau lebih. Kehilangan seluruh gigi
terjadi lebih banyak pada usia lanjut (6).
Dr Edward Kennedy (1923) menyatakan
sebuah metode klasifikasi berdasarkan pada
hubungan ruang edentulous ke gigi penopang.
Kennedy mengklasifikasikan edentulous menjadi 4
kategori dalam urutan menurut frekuensi kejadian.
Kelas-I: Edentulous terletak di bagian posterior dari
gigi yang masih ada dan berada pada kedua sisi
rahang atau bilateral, mempunyai insiden tertinggi
pada mandibula (72%).
Kelas-II: Edentulous terletak di bagian posterior
dari gigi yang masih ada, pada 1 sisi rahang atau
unilateral (72%).
Kelas-III: Edentulous terletak di antara gigi-gigi
yang masih ada di bagian posterior maupun
anteriornya unilateral (14%).
Kelas-IV: Edentulous terletak pada bagian anterior
dan melewati garis median (8,5%) (14).

Desa Guntung Ujung merupakan salah satu


desa di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang
memiliki batas wilayah sebelah utara berbatasan
dengan Desa Guntung Papuyu, sebelah selatan
berbatasan dengan Desa Beruntung Baru, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Keladan Baru dan
sebelah timur berbatasan dengan Landasan Ulin
Barat. Sarana pendidikan di desa ini masih kurang
yaitu SD, SMP dan Pesantren saja. Menurut
Riskesdas tahun 2007, pengalaman karies di
daerah pedesaan adalah 67,6%. Berdasarkan data
Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan tahun
2006, jumlah kasus karies gigi adalah sebesar 5242
kasus dan untuk jumlah pelayanan dasar
pencabutan gigi permanen di daerah Kabupaten
Banjar adalah 3125 kasus. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui gambaran pola kehilangan gigi
sebagian pada masyarakat Desa Guntung Ujung
Kabupaten Banjar berdasarkan umur dan tingkat
pendidikan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
yakni suatu penelitian yang bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang realitas pada obyek
yang diteliti secara obyektif. Dalam penelitian ini
menggunakan rancangan cross sectional yaitu
peneliti melakukan pengukuran sesaat terhadap
variabel penelitian. Populasi dalam penelitian ini
adalah penduduk Desa Guntung Ujung Kabupaten
Banjar. Penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok
sampel yang masing-masing berjumlah 30
responden pada setiap kelompok sampel, sehingga
total sampel yang diambil ada 60 orang yang atas 2
kelompok umur yaitu 2565 tahun dan >65 tahun.
Pertama sampel diambil menggunakan teknik
simple random sampling yaitu dengan cara
melakukan
pengundian
anggota
populasi
berdasarkan nomor rumahnya yang kemudian
disesuaikan dengan kriteria inklusinya. Hal ini
dilakukan sampai jumlah sampel memenuhi setiap
kelompok.
Kriteria Inklusinya adalah umur 25 tahun,
memiliki kehilangan gigi pada rahang atas dan atau
rahang bawah, bersedia untuk dijadikan sampel.
Kriteria Eksklusinya adalah responden mengalami
kehilangan seluruh gigi di rahang atas, rahang
bawah serta rahang atas dan rahang bawah Alat
yang digunakan pada penelitian ini adalah alat tulis,
alat pengolah data (komputer dan kalkulator), alat
diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker,
baskom untuk sterilisasi alat, handuk. Bahan yang
digunakan pada penelitian ini adalah surat
pernyataan kesediaan untuk menjadi subjek
penelitian, detergen untuk sterilisasi, air.
Penelitian dilakukan di Desa Guntung Ujung
Kabupaten Banjar. Pertama yang dilakukan adalah
penetapan responden secara random. Semua
responden harus memenuhi kriteria inklusi yang

141

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

telah ditetapkan. Responden yang memenuhi


kriteria diberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden dan dibagi menjadi 2 kelompok umur.
Kelompok tersebut dibagi atas kelompok umur 2565 tahun dan >65 tahun. Peneliti melakukan
pengisian lembar formulir penelitian. Peneliti
melakukan pemeriksaan kondisi rongga mulut di
bagian rahang atas dan rahang bawah responden
dan mencatat kondisi edentulous yang terdapat di
rongga mulut responden. Hasil penelitian kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kehilangan gigi
sebagian menurut Kennedy.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian gambaran pola kehilangan
gigi sebagian pada masyarakat Desa Guntung
Ujung Kabupaten Banjar dijelaskan pada Tabel 1.

Kelas III

13

15

Kelas IV

11

Jumlah

30

30

60

Tabel 2

Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi


sebagian
berdasarkan
Klasifikasi
Kennedy berdasarkan kelompok umur

Tabel 2 didapatkan hasil pola kehilangan


gigi sebagian yang terjadi pada kelompok umur 2565 tahun adalah Klasifikasi Kennedy Kelas I
berjumlah 2 orang (3,33%), Kelas II berjumlah 10
orang (16,67%), Kelas III berjumlah 13 orang
(21,67%) dan Kelas IV
berjumlah 5 orang (8,33%).
Tingkat Pendidikan
Pola
Kehilangan
Gigi
Sebagian

Pola Kehilangan
Gigi Sebagian

Jumlah

Kelas I

17

Kelas II

17

Kelas III

15

Kelas I

Pendidikan
Dasar
(Tidak
Sekolah
dan SD)
13

Kelas IV

11

Kelas II

Jumlah

60

Tabel 1

Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi


sebagian berdasarkan Klasifikasi
Kennedy pada masyarakat Desa Guntung
Ujung Kabupaten Banjar

Tabel 1 menunjukkan bahwa pola


kehilangan gigi sebagian pada masyarakat Desa
Guntung Ujung Kabupaten Banjar adalah Kelas I
berjumlah 17 orang (28,33%), Kelas II berjumlah
17 orang (28,33%), Kelas III berjumlah 15 orang
(25%), dan Kelas IV berjumlah 11 orang (18,33%).
Berdasarkan kuesioner didapatkan sebanyak 49
responden mengaku tidak pernah ke dokter gigi.
Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa dari 11
orang yang mengaku pernah ke dokter gigi
didapatkan 4 orang mengalami kehilangan gigi
Kelas I, 2 orang Kelas II, dan 5 orang Kelas III.
Sebagian besar responden yaitu berjumlah 58 orang
mengatakan 141las an hilangnya gigi mereka
karena gigi yang berlubang dan 2 orang sisanya
kehilangan
gigi karena mengalami kecelakaan.
Pola
Kehilangan
Gigi Sebagian

Umur
>65
Tahun
15

Jumlah

Kelas I

25-65
Tahun
2

Kelas II

10

17

17

Pendidikan
Menengah
(SMP dan
SMA)

Jumlah

17

11

17

Kelas III

10

15

Kelas IV

11

Jumlah

38

22

60

Tabel 3

Hasil pemeriksaan pola kehilangan gigi


sebagian
berdasarkan
Klasifikasi
Kennedy berdasarkan tingkat pendidikan

Tabel 3 menunjukkan bahwa pola


kehilangan gigi sebagian yang terjadi pada tingkat
pendidikan dasar adalah pada Klasifikasi Kennedy
Kelas I yang berjumlah 13 orang (21,67%), Kelas II
berjumlah 11 orang (18,33%), Kelas III berjumlah
5 orang (8,33%) dan Kelas IV berjumlah 9 orang
(15%).
PEMBAHASAN
Hasil kuesioner menunjukkan bahwa
sebanyak 49 responden mengaku tidak pernah ke
dokter gigi. Sebanyak 11 orang yang mengaku
pernah ke dokter gigi didapatkan 4 orang
mengalami kehilangan gigi Kelas I, 2 orang Kelas
II, dan 5 orang Kelas III. Sebagian besar responden
yaitu berjumlah 58 orang mengatakan alasan
hilangnya gigi mereka karena gigi yang berlubang
dan 2 orang sisanya kehilangan gigi karena
mengalami kecelakaan.
Hasil penelitian pada kelompok umur 25-65
tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak

142

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 138 - 143

terjadi adalah Kelas III dan yang paling sedikit


terjadi adalah Kelas I. Penelitian pada kelompok
umur >65 tahun, Klasifikasi Kennedy yang paling
banyak terjadi adalah Kelas I dan yang paling
sedikit terjadi adalah Kelas III. Hasil tersebut sesuai
dengan penelitian Fauza (2011) dan Medina Solis
dkk (2006) yang menyatakan terdapat hubungan
antara umur dan pola kehilangan gigi sebagian
karena semakin meningkat umur, maka kehilangan
gigi akan semakin banyak pada rongga mulut. Hal
ini disebabkan adanya karies gigi dan penyakit
periodontal yang merupakan alasan hilangnya gigi,
kedua faktor tersebut akan bertambah parah dengan
meningkatnya umur (6,9). Penelitian kesehatan gigi
di Australia melaporkan bahwa pada populasi
penduduk yang berusia 15 tahun ke atas, 11,4%
penduduk memiliki jumlah gigi kurang dari 21
elemen gigi. Prevalensi kehilangan gigi berkaitan
erat dengan usia, hampir tidak ada pada usia 15
34 tahun, namun sangat berpengaruh pada usia 75
tahun ke atas (15). Data yang didapat dari WHO
pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi
kehilangan gigi pada orang yang berusia 65 sampai
75 tahun di Prancis adalah sebesar 16,9%, di
Jerman sebesar 24,8%, dan di Amerika Serikat
sebesar 26-31% (16).
Hasil penelitian pada kelompok pendidikan
dasar, Klasifikasi Kennedy yang paling banyak
terjadi adalah Kelas I dan yang paling sedikit
terjadi adalah Kelas III. Hasil penelitian pada
kelompok pendidikan menengah, Klasifikasi
Kennedy yang paling banyak terjadi adalah Kelas
III dan yang paling sedikit terjadi adalah Kelas IV.
Hal ini sesuai dengan penelitian Esan (2004), yaitu
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan
dengan pola kehilangan gigi sebagian. Seiring
meningkatnya
tingkat
pendidikan
maka
kemungkinan mempertahankan gigi di dalam mulut
menjadi lebih tinggi. Hubungan antara edentulous
dan status pendidikan mungkin sebagai pengaruh
dari meningkatnya kesadaran kesehatan gigi,
peningkatan fasilitas kesehatan mulut, kebiasaan
membersihkan mulut yang diperoleh selama proses
pembelajaran dan pengaruh kelompok sebaya (1).
Seperti di negara lain, juga ditemukan bahwa
edentulous sangat erat kaitannya dengan tingkat
pendidikan. Studi epidemiologis menunjukkan
bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan yang
rendah lebih rentan mengalami edentulous yang
lebih parah daripada orang-orang dengan
pendidikan yang lebih tinggi (9).
Pola kehilangan gigi sebagian yang paling
banyak terjadi pada kelompok pendidikan dasar
adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas I yang
berjumlah 13 orang (21,67%) karena Klasifikasi
Kennedy Kelas I merupakan kehilangan gigi di
bagian posterior yang terjadi pada kedua sisi rahang
dan pada kelompok pendidikan menengah pola
kehilangan gigi sebagian yang paling banyak terjadi
adalah pada Klasifikasi Kennedy Kelas III yang

berjumlah 10 orang (16,67%) karena Klasifikasi


Kennedy Kelas III merupakan kehilangan gigi di
satu sisi rahang antar gigi anterior dan posterior
saja. Hasil penelitian ini sesuai dengan data dari
BRFSS pada tahun 20042006 menunjukkan
populasi yang mengalami kehilangan lebih dari 6
gigi sebanyak 23% pada kelompok pendidikan
SMA atau SMP, SD dan tidak sekolah, 15% pada
pendidikan Perguruan Tinggi (6). Penelitian ini
menunjukkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan
menyebabkan sebagian responden tidak mau
memeriksakan giginya ke dokter gigi karena
kurangnya
pengetahuan
responden
tentang
pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut
sehingga tingkat pendidikan memiliki kaitan erat
terhadap tuntutan masyarakat untuk memperoleh
pelayanan kesehatan.
Responden yang pernah ke dokter gigi yang
berjumlah 11 orang merupakan responden yang
memiliki tingkat pendidikan menengah. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian mengatakan
bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
makin tinggi pula tuntutannya untuk memperoleh
pelayanan kesehatan yang bermutu (17). Selain itu,
menurut Green dan Pincus yang dikutip oleh
Situmorang (2003), ditemukan korelasi kuat antara
pendidikan dengan kesehatan serta pendidikan
dengan perilaku sehat (18).
Kesimpulannya adalah hasil penelitian
menunjukkan bahwa umur mempengaruhi terhadap
tingkat keparahan hilangnya gigi karena semakin
meningkatnya umur maka resiko terkena karies dan
penyakit periodontal yang menyebabkan hilangnya
gigi akan meningkat. Penelitian menunjukkan
bahwa pada pendidikan dasar banyak mengalami
kehilangan gigi Kelas I yang merupakan kehilangan
gigi yang sudah parah, hal ini disebabkan karena
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang
pentingnya menjaga kesehatan gigi dan mulut dan
mereka mengatakan bahwa ke dokter gigi bukan
merupakan
suatu kewajiban. Sebanyak 11
responden (18,33%) yang mengaku pernah ke
dokter gigi berasal dari tingkat pendidikan
menengah, hal ini menunjukkan bahwa semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka semakin tinggi pula
tuntutannya
untuk
memperoleh
pelayanan
kesehatan yang bermutu.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

Esan TA, Olusile AO, Akeredolu PA, Esan


AO.
Socio-demographic
Factors
and
Edentulism the Nigerian Experience. BMC
Oral Health 2004; 4(3): 1-6.
Sari K. Klasifikasi Pasien Edentolous
Sebagian pada Masyarakat Pulau Kodingareng
Menggunakan
Prosthodontic
Diagnostic
Index. Makassar: Universitas Hasanuddin,
2011.

Anshary : Gambaran Pola kehilangan Gigi Sebagian

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Setyadi DA. Analisis Pengaruh Faktor


Hilangnya Gigi Pasien Menggunakan Metode
Regresi Logistik Berbasis Komputer. Jakarta:
Universitas Bina Nusantara, 2011.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Riskesdas Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Provinsi Kalimantan Selatan Tahun
2007. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Jakarta. 2009. Hal: 142.
Kusumawati R. Hubungan Tingkat Keparahan
Karies Gigi dengan Status Gizi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor Tahun 2010. Jakarta:
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,
2010. Hal: 2.
Fauza R. Pola Kehilangan Gigi dan
Kebutuhan Jenis Gigi Tiruan Masyarakat Desa
Binaan Ujung Rambung Kecamatan Pantai
Cermin Kabupaten Serdang Bedagai JanuariFebruari 2010. Medan: Universitas Sumatera
Utara, 2011. Hal: 8-13.
Montandon AAB, Zuza EP, de Toledo EC.
Prevalence and Reasons for Tooth Loss in a
Sample from a Dental Clinic in Brazil.
International Journal of Dentistry 2012; 2012:
1-5.
Wahyukundari MA. Perbedaan Kadar Matrix
Metalloproteinase-8 Setelah Scaling dan
Pemberian Tetrasiklin pada Penderita
Periodontitis Kronis. Jurnal PDGI 2009; 58
(1): 1-6.
Medina-Solis CE, Perez-Nunez R, Maupome
G, Casanova-Rosado JF. Edentulism among
Mexican Adults Aged 35 Years and Older and
Associated Factors. American Journal of
Public Health 2006; 96(9): 1578-1581.

143
10. Silva HD, Filho PM, Piva M. Denture-related
Oral Mucosal Lesions among Farmers in A
Semi-Arid Northeastern Region Of Brazil.
Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2011 Sep 1;16
(6):e740-4.
11. Rusli. Olahraga Lanjut Usia. Jurnal ILARA
2012; 3(1): 11 19.
12. Prabhu N, Kumar S, Dsouza M, Hegde V.
Partial Edentulousness in a Rural Population
Based on Kennedys Classification: An
Epidemiological Study. J Prosthodont 2009; 9:
18-23.
13. Galagali G, Mahoorkar S. Critical Evaluation
of Classification Systems of Partially
Edentulous Arches. International Journal of
Dental Clinics 2010; 2(3): 45-52.
14. Islas-Granillo H, Borges-Yanez SA, LucasRincon SE, dkk. Edentulism Risk Indicators
among Mexican Elders 60-Year-Old and
Older. Archives of Gerontology and Geriatrics
53 (2011) 258262.
15. Khazae S, Firouzei MS, Sadeghpour S, dkk.
Edentulism and Tooth Loss in Iran: Sepahan.
International Journal of Preventive Medicine,
Special Issue, 2012; 6: 42-47.
16. Fabiola I. Faktor-faktor yang Berhubungan
dengan Angka Kunjungan Masyarakat ke
Kinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Gajah Mada. Jurnal PDGI 2006; 56(1): 37-8.
17. Situmorang N. Perilaku Sakit: Suatu Tinjauan
Sosial Kultural. Dentika Dent J 2003; 2(8):
265.

144

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

EFEKTIVITAS METODE PERAGAAN DAN METODE VIDEO


TERHADAP PENGETAHUAN PENYIKATAN GIGI
PADA ANAK USIA 9-12 TAHUN DI SDN KERATON 7 MARTAPURA
Amelia Nurfalah, Emma Yuniarrahmah, Didit Aspriyanto
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Knowledge of tooth brushing is very important to give to the children. Counseling is a
frequently used way to provide knowledge about tooth brushing. There are two types of methods in dental health
education, the first is a method in one direction (One Way Method) which focuses on active educator and the
second is method of two-way (Two Way Method) which guarantees the existence of two-way communication
between educators and the target. Purpose: The purpose of this study was to determine whether the differences
in effectiveness between demonstration method and videos method to the brushing teeth knowledges in children
aged 9-12 years in SDN Keraton 7 Martapura. Methods: This study was a quasi experimental design and using
a randomized design matched two groups. The sample were 60 children aged 9-12 years from in SDN Keraton 7
Martapura. Sampling was done by purposive sampling. Research procedure begins with giving pre-test, then do
counseling with demonstration methods and video methods in different groups, then finally giving a post-test.
Results: Demonstration method and video method could provided significant results in improving the knowledge
brushing teeth assessed from the mean pre-test and post-test and paired T test results. In the unpaired t test
results showed that there was no significant differences between the demonstration methods and video method in
improving knowledge of brushing teeth. Conclusion: The conclusion of this study showed that there was no
differences in effectiveness between demonstration methods and videos method to the brushing teeth knowledges
of children aged 9-12 years SDN Keraton 7 Martapura.
Keywords: demonstration method, the video method, knowledge, brushing teeth
ABSTRAK
Latar belakang: Pengetahuan penyikatan gigi sangat penting untuk diberikan kepada anak-anak.
Penyuluhan adalah cara yang sering digunakan untuk memberikan pengetahuan mengenai penyikatan gigi. Ada
dua jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi, yaitu metode satu arah (One Way Method) yang
menitikberatkan pada pendidik yang aktif dan metode dua arah (Two Way Method) yang menjamin adanya
komunikasi dua arah antara pendidik dan sasaran. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah
ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video terhadap pengetahuan penyikatan gigi
pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan quasi experimental
dan menggunakan rancangan randomized matched two groups design. Sampel penelitian ini adalah anak usia
9-12 tahun dari SDN Keraton 7 Martapura sebanyak 60 anak dan pengambilan sampel dilakukan dengan
purposive sampling. Prosedur penelitian dimulai dengan memberikan pre test, kemudian melakukan penyuluhan
dengan metode peragaan dan metode video pada kelompok yang berbeda, selanjutnya diakhiri dengan post test.
Hasil: Metode peragaan dan metode video dapat memberikan hasil yang signifikan dalam meningkatkan
pengetahuan penyikatan gigi yang dinilai dari hasil rerata pre test dan post test dan hasil uji T berpasangan.
Pada hasil uji T tidak berpasangan didapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara metode
peragaan dan metode video dalam peningkatan pengetahuan penyikatan gigi. Kesimpulan: Kesimpulan dari
penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan efektivitas antara metode peragaan dan metode video
terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.
Kata-kata kunci: metode peragaan, metode video, pengetahuan, penyikatan gigi

Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video

145

Korespondensi: Amelia Nurfalah, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: amelianurfalah@yahoo.co.id

PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut sudah
menjadi perhatian yang sangat penting dalam
lingkungan kesehatan. Salah satu sebabnya adalah
rentannya kelompok anak usia sekolah terhadap
gangguan kesehatan gigi.1 Menurut Survei
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2001
terdapat 76,2% anak Indonesia pada kelompok usia
12 tahun (kira-kira 8 dari 10 anak) mengalami gigi
berlubang. SKRT tahun 2004 menyatakan bahwa
prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara
85%-99%.2 Prevalensi karies aktif di Kalimantan
Selatan sendiri memiliki persentase 49,3%.3
Salah satu penyebab timbulnya masalah
kesehatan gigi dan mulut dalam masyarakat adalah
faktor perilaku atau sikap mengabaikan kebersihan
gigi dan mulut. Hal tersebut dilandasi dengan
kurangnya pengetahuan tentang kesehatan gigi dan
mulut serta perawatannya. Kesadaran seseorang
akan pentingnya kesehatan gigi dapat dilihat dari
pengetahuan yang dimiliki. Ketika seseorang
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi maka
perhatian untuk melakukan perawatan terhadap gigi
dan mulutnya juga tinggi.4
Tingginya tingkat karies di Indonesia
membuat pemerintah bekerja sama dengan
Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk
mengantisipasi masalah kesehatan gigi di Indonesia
dengan mengupayakan penanganannya melalui
program pemeriksaan gratis enam bulan sekali.
Pemerintah juga membuat program kegiatan Usaha
Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) di setiap sekolah
untuk mengatasi permasalahan kesehatan gigi.
Salah satu pengajaran yang diberikan oleh UKGS
adalah teknik menyikat gigi yang baik dan benar
serta memberikan penyuluhan mengenai kesehatan
gigi dan mulut di sekolah-sekolah.5
Penyuluhan atau Pendidikan Kesehatan Gigi
(PKG) adalah suatu proses belajar yang ditujukan
kepada individu dan kelompok masyarakat untuk
mencapai derajat kesehatan gigi yang setinggitingginya. Pemilihan metode yang tepat dalam
proses penyampaian materi penyuluhan sangat
membantu pencapaian usaha mengubah tingkah
laku sasaran. Secara garis besar, hanya ada dua
jenis metode dalam penyuluhan kesehatan gigi,
yaitu metode satu arah (One Way Method) yang
menitikberatkan pendidik yang aktif sedangkan
pihak sasaran tidak diberi kesempatan untuk aktif
dan metode dua arah (Two Way Method) yang
menjamin adanya komunikasi dua arah antara
pendidik
dan
sasaran.
Pada
penyuluhan

membutuhkan alat bantu terutama untuk anak,


pemakaian alat bantu dalam merubah perilaku anak
merupakan hal yang sangat penting.6
Pendidikan
kesehatan
gigi
biasanya
berisikan pengetahuan mengenai cara menjaga
kesehatan gigi dan mulut. Salah satu contohnya
adalah pengetahuan menenai penyikatan gigi.
Pengetahuan penyikatan gigi adalah hasil tahu
manusia mengenai penyikatan gigi.11 Anak
diharapkan dapat mengetahui jenis sikat dan pasta
gigi yang baik, metode menyikat gigi yang benar,
serta waktu dan frekuensi menyikat gigi yang tepat.
Penyuluhan kesehatan gigi ternyata dapat
memberikan hasil yang positif dalam menurunkan
indeks plak. Hasil penelitian Warni pada siswasiswi kelas IV dan V di dua Sekolah Dasar (SD)
Negeri Medan menunjukkan bahwa penyuluhan
dan pelatihan menyikat gigi yang dilakukan cukup
efektif untuk menurunkan indeks plak gigi-geligi.
Hal ini menunjukkan proses belajar yang mereka
dapat melalui program penyuluhan dan pelatihan
dapat dimengerti dan dipraktekkan oleh siswa-siswi
SD tersebut.7 Begitupun dengan penelitian Leal SC
dkk. pada tahun 2002 di Brazil mengenai
perbandingan efektifitas metode pengajaran cara
menyikat gigi pada anak 3-6 tahun, pengajaran
dengan menggunakan metode audiovisual ternyata
dapat menurunkan indeks plak dengan baik, ini
menunjukkan
bahwa
penyuluhan
tersebut
merupakan metode pengajaran cara menyikat gigi
yang cukup efektif.8
Usia 9-12 tahun adalah usia efektif untuk
memberikan segala informasi yang mengarah pada
perkembangan kognitif dan motorik anak,
contohnya menyikat gigi. Menurut teori Piaget
tentang perkembangan kognitif, anak usia 9-12
tahun yang masuk ke dalam tahap operasional
konkret dan operasional formal sudah dapat
mengelompokkan setiap informasi yang diterima
dan dapat berpikir dengan logis. Perkembangan
motorik sendiri sesuai dengan perkembangan fisik
anak, pada usia 9-12 tahun fisik anak sedang
berkembang
maka
motoriknya
pun
ikut
berkembang, jadi sangat baik ketika diberikan
pengajaran seputar penyikatan gigi pada usia
tersebut.9,10
Penelitian yang membandingkan efektivitas
penyuluhan dengan metode peragaan (demonstrasi
langsung) dengan metode video pada anak sekolah
usia 9-12 tahun belum pernah dilakukan
sebelumnya di SDN Keraton 7 Martapura.
Berdasarkan studi pendahuluan diketahui bahwa
pendidikan kesehatan gigi di sekolah kurang karena
UKGS tidak aktif, sehingga kegiatan yang

146

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 147
- 149

mengarah pada pendidikan kesehatan gigi dirasakan


kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
metode penyuluhan mana yang lebih efektif antara
metode peragaan dan metode video terhadap
peningkatan pengetahuan penyikatan gigi pada
anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.

program statistik komputer. Uji hipotesis yang


digunakan adalah uji hipotesis T untuk melihat
apakah ada perbedaan antara metode peragaan dan
metode video terhadap peningkatan pengetahuan
penyikatan gigi dengan tingkat kepercayaan 95%
(=0,05).

BAHAN DAN METODE


HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian quasi
experimental dengan
rancangan randomized
matched two groups design.11 Populasi penelitian
adalah anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7
Martapura. Sampel penelitian dipilih dengan
menggunakan purposive sampling dengan kriteria
inklusi yaitu usia 9-12 tahun, dapat membaca dan
menulis, keadaan umum anak baik, kooperatif, dan
memiliki skor tes IQ sesuai ketetapan peneliti untuk
penyetaraan
kedua
kelompok
penyuluhan.
Berdasarkan kriteria inklusi tersebut diambil 60
anak yang dibagi dalam dua kelompok penyuluhan,
masing-masing 30 anak setiap kelompok dan
memiliki skor hasil tes IQ yang setara.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah
kuesioner yang berisi seperangkat pertanyaan
mencakup indikator pertanyaan pengetahuan
penyikatan gigi yang telah dirancang sebelumnya.
Kuesioner pre test dan post test seputar penyikatan
gigi dibuat dengan menggunakan pendekatan
bentuk paralel, yaitu dengan memberikan dua
bentuk kuesioner paralel kepada kelompok subjek
penelitian. Kemudian dilakukan uji validitas
dengan menggunakan validitas isi yaitu validitas
yang diuji dari bentuk isi kuesioner melalui
professional judgment. Validitas isi terdiri dari dua
bentuk uji validitas, validitas muka dan validitas
logik. Validitas muka yaitu validitas yang
didasarkan pada penilaian terhadap format
penampilan kuesioner, dan validitas logik adalah
validitas yang dilihat dari sejauhmana isi kuesioner
merupakan representasi indikator yang hendak
diukur dengan memanfaatkan suatu blue-print yang
memuat cakupan isi dan cakupan kompetensi yang
hendak diungkap.11,12 Alat dan bahan penelitian
yang digunakan adalah model gigi (phantom),
video penyikatan gigi, laptop, monitor, sikat gigi,
pasta gigi, tisu, air, gelas kumur, dan alat tulis.
Pada
pelaksanaan
penelitian
kedua
kelompok penyuluhan dimasukkan ke dalam
ruangan kelas yang berbeda, pre test seputar
penyikatan gigi diberikan pada anak kelompok
peragaan maupun kelompok video. Penyuluhan
dilakukan setelah diberikan pre test pada kedua
kelompok dengan menggunakan metode sesuai
kelompok penyuluhannya. Post test seputar
penyikatan gigi diberikan setelahnya. Nilai pre test
dan post test setiap anak dicatat dihitung selisih
reratanya antar kelompok penyuluhan baik metode
peragaan maupun metode video. Analisis hasil
penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan

Penelitian dilakukan pada siswa kelas 4, 5,


dan 6 sebanyak 60 anak. Masing-masing kelompok
perlakuan terdiri atas 30 anak. Karakteristik subjek
penelitian dilihat pada Gambar 1, 2, 3.

Gambar 1. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan


jenis kelamin

Gambar 2. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan


hasil tes IQ

Gambar 3. Deskripsi subjek penelitian berdasarkan


jumlah siswa setiap kelas

148
Nurfalah
: Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video
Hasil pre test dan post test dihitung rerata
skoringnya untuk melihat peningkatan pengetahuan
penyikatan gigi yang terjadi. Hasil rerata skoring
nilai pre test dan post test dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Rerata
Nilai
Skoring
Kuesioner
Pengetahuan Penyikatan Gigi Sebelum dan
Sesudah Diberikan Penyuluhan Dengan
Metode Peragaan dan Video Pada Anak
Usia 9-12 Tahun di SDN Keraton 7
Martapura
Skoring
Kuesioner
Pre
Post
Test
Test

Metode
Penyuluhan

Metode
Peragaan
Metode
Video

Peningkatan
Pengetahuan
(Post-Pre)

16,27

22,37

6,1

16,67

21,97

5,3

Tabel
1
menunjukkan
terjadinya
peningkatan pengetahuan pada kedua kelompok
penyuluhan. Pada kelompok metode peragaan
terjadi peningkatan pengetahuan sebesar 6,1 dan
pada metode video terjadi peningkatan pengetahuan
sebesar 5,3. Uji T berpasangan dilakukan untuk
mengetahui apakah ada perbedaan antara pre test
dan post test dalam peningkatan pengetahuan pada
kedua metode penyuluhan. Hasil uji T berpasangan
pada metode peragaan diperoleh nilai p = 0,001
(p<0,05) dan metode video diperoleh nilai p =
0,001 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan antara hasil pre test dan hasil post test
pada metode peragaan dan metode video. Hasil uji
T tidak berpasangan yang didapatkan nilai p= 0,365
(p>0,05), dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok
penyuluhan.
PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
metode peragaan dan metode video dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi pada
anak usia 9-12 tahun di SDN Keraton 7 Martapura.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
Warni pada siswa-siswi kelas IV dan V di dua
Sekolah Dasar (SD) Negeri Medan yang
menunjukkan bahwa penyuluhan dan pelatihan
menyikat gigi seperti metode peragaan dapat
meningkatkan pengetahuan siswa-siswi tersebut
dengan berkurangnya indeks plak gigi.1 Begitu juga
dengan penelitian Leal SC dan Bezzera pada tahun
2002 mengenai perbandingan efektifitas metode
pengajaran cara menyikat gigi pada anak usia 3-6
tahun yang diambil dari 50 anak dalam sebuah

147
private nursery di Brazil, pengajaran dengan
menggunakan metode audiovisual ternyata juga
dapat meningkatkan pengetahuan anak karena
indeks plak giginya pun turun.8
Hasil penelitian ini menunjukkan kedua
metode
penyuluhan
dapat
meningkatkan
pengetahuan kepada anak yang menghasilkan nilai
post test yang lebih tinggi dari nilai pre test. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan otak dan
memorinya. Otak menyimpan informasi dengan
cara masukan yang diterima oleh sensor diteruskan
ke otak dan disimpan di memori jangka pendek,
beberapa informasi akan diteruskan ke memori
jangka panjang yang ditentukan oleh perhatian
terhadap masukan informasi tersebut. Perhatian,
motivasi, dan kaitan suatu informasi terhadap
pengetahuan yang sudah ada sebelumnya di otak
adalah faktor paling berpengaruh terhadap
penyimpanan informasi di memori jangka
panjang.13 Dalam prinsip pembuatan alat peraga
dan media penyuluhan menyatakan bahwa
pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima
atau ditangkap oleh panca indra. Semakin banyak
panca indra yang digunakan semakin banyak dan
semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan
yang diperoleh.14 Metode peragaan dan metode
video membuat anak menggunakan panca indranya
lebih dari satu, sehingga pengetahuan yang
diberikan dalam metode penyuluhan baik peragaan
maupun video dapat diterima dengan baik.
Menurut Piaget, proses kognitif anak
terbentuk dari skema yang dibuat oleh anak itu
sendiri. Skema adalah konsep atau kerangka yang
eksis di dalam pemikiran individu yang dipakai
untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan
informasi. Ada dua proses yang bertanggung jawab
atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi
skema mereka yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika anak memasukkan
pengetahuan baru ke dalam pengetahuan yang
sudah ada, sedangkan akomodasi terjadi ketika
anak menyesuaikan diri dengan informasi yang
baru.10 Pada pemberian pengetahuan penyikatan
gigi baik dengan metode peragaan maupun metode
video terjadi proses asimilasi pada anak. Anak
sudah dikenalkan dan diajarkan orang tuanya
tentang penyikatan gigi, sehingga anak sudah
memiliki pengetahuan tentang penyikatan gigi
sebelumnya. Pemberian pengetahuan penyikatan
gigi yang baik dan benar, akan memacu anak untuk
memasukkan pengetahuan baru tersebut ke dalam
pengetahuan yang sudah ada, dan saat itulah proses
kognitif berlangsung kemudian terjadi peningkatan
pengetahuan pada anak. Proses akomodasi pun
terjadi ketika anak menyesuaikan diri dengan
pengetahuan penyikatan gigi yang baru.
Pengetahuan yang didapatkan anak sebelum
diberikan penyuluhan kemungkinan belum atau
kurang tepat, dengan diberikannya penyuluhan

148

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 - 149

yang benar maka anak dapat menyesuaikan diri


dengan pengetahuan yang lebih baik.
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini
ditolak. Metode peragaan dan metode video
ternyata tidak mempunyai perbedaan yang
bermakna untuk meningkatkan pengetahuan
penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun. Hal ini
tidak sesuai dengan penelitian Hermina dan Vera,
Tan Xiao Chuan yang pada penelitiannya
menyatakan bahwa metode peragaan lebih efektif
diberikan untuk penyuluhan penyikatan gigi anak
dengan rentang usia 3-11 tahun.15,16 Hal ini juga
tidak sesuai dengan penelitian dari Rani AW. yang
menyatakan bahwa metode audio-visual seperti
video, film, merupakan metode yang lebih efektif
untuk
diberikan
dibandingkan
metode
17
konvensional.
Metode peragaan dan metode video yang
berisikan pengetahuan penyikatan gigi sama-sama
menarik dan dapat diterima oleh anak. Seperti
penelitian yang dilakukan Mey Linda, metode
peragaan dan metode video memiliki efektivitas
yang sama dalam menurunkan indeks plak sampai
hari ketujuh setelah penyuluhan diberikan pada
anak Keberadaan penyuluh yang langsung memberi
penyuluhan dan pengajaran juga mempengaruhi
daya tangkap anak karena adanya kesempatan pada
anak untuk terlibat di dalam proses pengajaran. Bila
ada suatu hal yang anak belum mengerti, anak
dapat bertanya kepada penyuluh.20
Metode video dikatakan menarik karena
dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang
dimiliki siswa. Metode video dapat menyajikan apa
yang tidak dapat dialami langsung oleh siswa dan
memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara
anak dengan lingkungannya, hal ini karena media
audio visual menghadirkan situasi nyata dari
informasi yang disampaikan untuk menimbulkan
kesan yang mendalam. Selain mempercepat proses
belajar dengan bantuan media audio visual mampu
meningkatkan taraf kecerdasan dan mengubah
sikap pasif dan statis ke arah sikap aktif dan
dinamis.17
Video penyikatan gigi pada penelitian ini
dibuat dengan menyajikan gabungan gambar dan
kata-kata yang dapat dipahami oleh anak.
Rangkaian gambar dan kata-kata yang apabila
digabungkan ternyata lebih efektif untuk
mempertahankan
ingatan
daripada
hanya
menggunakan gambar atau kata-kata saja, menurut
Mills dan Mc Mullan tahun 2009 dalam
penelitiannya tentang memori jangka pendek yang
didapat dari gambar, kata, dan gabungan gambar
dan kata. Penyajian gambar dan kata-kata yang
berwarna-warni dalam video penyikatan gigi yang
diberikan pada anak ternyata juga memiliki

149
pengaruh terhadap meningkatnya pengetahuan,
dimana warna berpengaruh kuat pada memori
jangka pendek dan perhatian visual.18
Rangkaian gambar kartun yang disajikan
dalam bentuk video juga dapat menarik perhatian
anak saat penyuluhan. Hal ini sesuai dengan
penelitian Reny Dwy Rahayu yang menyatakan
bahwa video yang berisikan kartun dapat
membantu meningkatkan perkembangan kognitif
anak yang dilihat dari nilai tes sebelum dan tes
sesudah diberikan video. Media pengajaran yang
dapat memotivasi minat dan tindakan anak adalah
media pengajaran yang direalisasikan dengan
teknik hiburan seperti metode video, oleh karena itu
metode video dapat meningkatkan pengetahuan
anak karena mampu meningkatkan motivasi minat
dan
tindakan
anak
ketika
penyuluhan
berlangsung.19
Menurut Piaget, tahap perkembangan
kognitif anak usia 9-12 memasuki tahap
operasional konkret dan tahap operasional formal
yang dimulai sekitar umur tujuh tahun sampai lima
belas tahun. Pada tahap ini anak sudah dapat
melakukan penalaran logika, memiliki kemampuan
untuk menggolong-golongkan sesuatu serta sudah
mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman
konkret dan memikirkannya secara lebih abstrak,
idealis, dan logis. Hal ini boleh jadi membuat
metode peragaan dan metode video dapat diterima
dengan baik oleh anak sehingga dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan giginya.
Dengan berkembanganya aspek kognitif, anak
menunjukkan proses belajar yang mereka terima
melalui penyuluhan dan pengajaran cara menyikat
gigi yang diberikan.10,20 Dapat disimpulkan bahwa
tidak ada perbedaan efektivitas antara metode
peragaan dan metode video terhadap pengetahuan
penyikatan gigi pada anak usia 9-12 tahun di SDN
Keraton 7 Martapura, kedua metode dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat
menjadi referensi bahan penyuluhan penyikatan
gigi untuk anak usia sekolah dasar dan dapat
meningkatkan pengetahuan penyikatan gigi anak
baik dengan menggunakan metode peragaan
maupun dengan metode video. Diharapkan pula
agar perencanaan UKGS (Usaha Kesehatan Gigi
Sekolah) dapat dilakukan dengan matang untuk
setiap sekolah agar dapat memberikan motivasi
terhadap anak dalam menjaga kesehatan gigi dan
mulut. Bagi peneliti selanjutnya dapat dilakukan
penelitian
lanjut
dengan
membandingkan
efektivitas metode peragaan dan metode video
terhadap pengetahuan penyikatan gigi pada anak
usia pra sekolah, mengikutsertakan peran orang tua,
atau dapat membandingkan metode penyuluhan
lainnya
terhadap
peningkatan
pengetahuan
penyikatan gigi.

149

Nurfalah : Efektivitas Metode Peragaan dan Metode Video


150
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.
8.

9.

Warni L. Hubungan perilaku murid SD kelas


V dan VI pada kesehatan gigi dan mulut
terhadap kesehatan gigi dan mulut terhadap
status karies gigi di wilayah Kecamatan Deli
Tua Kabupaten Deli Serdang tahun 2009.
Tesis. Medan: Program Magister Ilmu
Kesehatan Masyarakat FKM USU, 2009. Hal
1-3.
F.X. Sintawati, Indirawati TN. Faktor-faktor
yang mempengaruhi kebersihan gigi dan mulut masyarakat DKI Jakarta tahun 2007.
Jurnal Ekologi Kesehatan. 2009; 8(1): 860873.
Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar
Provinsi
Kalimantan
Selatan.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2007. Hal 117.
Kawuryan U. Hubungan pengetahuan tentang
kebersihan gigi dan mulut dengan kejadian
karies anak SDN Kleco II kelas V dan VI
Laweyan Surakarta. Skripsi. Surakarta:
Jurusan
Keperawatan
Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2008. Hal 4.
Dewanti. Hubungan tingkat pengetahuan
tentang kesehatan gigi dengan perilaku
perawatan gigi pada anak usia sekolah di
SDN Pondok Cina 4 Depok. Skripsi. Jakarta:
Jurusan Keperawatan Universitas Indonesia,
2012. Hal 2.
Herijulianti E, Indriani TS, Artini S.
Pendidikan Kesehatan Gigi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2001. Hal 4-66.
Eley BM, Manson JD. Periodontics 5th ed.
Philadelphia: Elsevier Ltd, 2004. Hal 21-143.
Leal SC, Bezerra ACB. Effectiveness of
teaching methods for tooth brushing in
preschool children. Braz Dent J. 2002; 13(2):
133-136.
Hurlock EB. Psikologi perkembangan : suatu
pendekatan sepanjang rentan kehidupan. Edisi
5. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama, 1999.
Hal 146.

10.
11.

12.
13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Santrock, JW. Psikologi pendidikan. . Jakarta:


Kencana, 2007. Hal 46-55.
Seniati L, Aries Y, Bernadette NS. Psikologi
eksperimen. Jakarta: PT Indeks, 2005. Hal 37118.
Azwar S. Reliabilitas dan validitas.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Hal 39-47.
Yuriadi K. Visualisasi dan memori. Jakarta:
Pusat Perkembangan Bahan Ajar UMB, 2011.
Hal 5.
Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Penerbit
Jakarta: Buku Kedokteran EGC, 2009. Hal
47-49.
Hermina V. Efektifitas metode pengajaran
cara menyikat gigi terhadap penurunan indeks
plak anak usia 3-5 tahun. Dentika Dent J.
2010; 15(1): 42-45.
Chuan TX. Perbandingan efektifitas metode
pengajaran cara menyikat gigi terhadap
penurunan indeks plak pada anak usia 6-11
tahun di sekolah Bodhicitta Medan. Skripsi.
Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, 2010. Hal 38.
Wahyuningsih RA. Efektivitas penggunaan
media audio-visual dalam pembelajaran
keterampilan menulis bahasa Prancis pada
siswa kelas X MAN 1 Yogyakarta. Skripsi.
Yogyakarta. Jurusan Pendidikan Bahasa
Prancis Fakultas Bahasa dan Seni Universitas
Negeri, 2011. Hal 36.
Susanto R. Pengaruh paparan warna terhadap
retensi short term memory penderita
hipertensi primer. Jurnal Keperawatan
Soedirman. 2012; 7(1): 47.
Rahayu RD. Pengaruh penggunaan video
kartun
mencampur
warna
terhadap
kemampuan kognitif pada anak kelompok B
di TK terpadu Al-Hidayah II DS. Bakung
Kec. Udanawu Kab. Blitar 2012. Available
from
(http://ejournal.unesa.ac.id/article/4320/19/art
icle.pdf, diakses 18 November 2013).
Linda M. Penurunan indeks plak antara
metode peragaan dan video pada penyuluhan
kesehatan gigi anak usia 8-9 tahun. Skripsi.
Medan: Jurusan Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera
Utara,
2011.
Hal
28-41.

150

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 144 151
- 149

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian

EFEKTIVITAS MENYIKAT GIGI METODE HORIZONTAL, VERTICAL


DAN ROLL TERHADAP PENURUNAN PLAK PADA ANAK USIA 9-11 TAHUN
Tinjauan pada Siswa Siswi Kelas 4-6 SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin
Tahun Ajaran 2012/2013

Destiya Dewi Haryanti, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Ike Ratna Dewi
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Oral health of Indonesian people still be things that must have serious attention from the
health service, including dentist or dental nurse. Based on the report basic health research (RISKESDAS) 2007
The Department of health released in 2009 revealed that proportion of people with problems with the teeth and
mouth in South Borneo province as much 29.2%. Plaque have an important role to the formation caries and
plaque cannot removed by simply gargle but needs to be done by mechanical cleaning is brushing teeth. In
general population in various district province south kalimantan brush teeth every day 94,4 %. The prevalence
of the population who behaves true rubbing teeth in the province of South Borneo as many 10.3 %. Purpose:
This research aimed to find out effectivity brushing method horizontal, vertical and roll to decrease plaque
children ages 9-11 years SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Methods: The type of this research was a Quasi
Experimental with Pre-Post Test One Group Design. Using disclosing agent to identify plaque on the teeth
before and after treatment and used index measurement personal hygiene performance of modified (phpm).
Results: There was significant difference between the effectiveness brushing method of horizontal, roll and
vertical. Conclusion: Horizontal brushing method was more effective clean plaque.
Keywords: Brushing effectiveness, Plaque, Method Horizontal, Method Vertical, Method Roll.
ABSTRAK
Latar belakang: Kesehatan gigi dan mulut masyarakat Indonesia masih merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan, baik dokter gigi maupun perawat gigi. Berdasarkan hasil
laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan yang dirilis pada 2009
mengungkapkan bahwa proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi dan mulut di Provinsi Kalimantan
Selatan sebanyak 29,2%. Plak sangat berperan terhadap terbentuknya karies, dan plak tidak dapat dihilangkan
hanya dengan berkumur tetapi perlu dilakukan pembersihan secara mekanik yaitu menyikat gigi. Pada
umumnya penduduk di berbagai kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan yang menggosok gigi setiap hari
94,4%. Prevalensi penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi di provinsi Kalimantan Selatan sebanyak
10,3%. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan metode
horizontal, vertikal dan roll pada anak usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin. Metode: Jenis
penelitian ini merupakan penelitian Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.
Penelitian ini menggunakan metode Quasi Experimental dengan rancangan Pre-Post Test One Group Design.
Menggunakan disclosing agent untuk mengidentifikasi plak pada gigi sebelum dan sesudah perlakuan dan
menggunakan indeks pengukuran Personal Hygniene Performance Modified (PHPM). Hasil: Terdapat
perbedaan bermakna antara menyikat gigi metode horizontal, vertikal, dan roll. Kesimpulan: Berdasarkan
penelitian tersebut metode menyikat gigi horizontal lebih efektif menghilangkan plak.
Kata-kata kunci: Efektivitas menyikat gigi, Plak, Metode horizontal, Metode vertikal, Metode roll.

152
Haryanti : Efektivitas Menyikat Gigi

151

Korespondesi: Destiya Dewi Haryanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
destiya_dewi@yahoo.com

PENDAHULUAN
Kesehatan gigi dan mulut masyarakat
Indonesia masih merupakan hal yang perlu
mendapat perhatian serius dari tenaga kesehatan,
baik dokter gigi maupun perawat gigi, hal ini
terlihat bahwa penyakit gigi dan mulut masih
diderita oleh 90% penduduk Indonesia.1
Berdasarkan teori Blum, status kesehatan gigi dan
mulut seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh
empat faktor yaitu keturunan, lingkungan, perilaku,
dan pelayanan kesehatan. Perilaku memegang
peranan yang penting dalam mempengaruhi status
kesehatan gigi dan mulut.2
Karies merupakan penyakit jaringan gigi
yang ditandai dengan kerusakan jaringan, mulai
dari permukaan gigi hingga meluas ke arah pulpa. 3
Menurut penelitian di negara-negara Eropa,
Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia, 80%-90%
anak-anak dibawah umur 18 tahun terserang karies
gigi.4 Berdasarkan hasil laporan Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007 Departemen Kesehatan
yang dirilis pada 2009 mengungkapkan bahwa
proporsi penduduk yang bermasalah dengan gigi
dan mulut di Provinsi Kalimantan Selatan sebanyak
29,2%, hasil ini tertinggi di Kabupaten Barito
Kuala dan Banjarmasin.5 Prevalensi menggosok
gigi terendah ada di Hulu Sungai Selatan.
Prevalensi penduduk yang berperilaku benar
menggosok gigi di Provinsi Kalimantan Selatan
sebanyak 10,3%.5
Menyikat gigi dengan menggunakan sikat
gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara
mekanis. Saat ini telah banyak tersedia sikat gigi
dengan berbagai ukuran, bentuk, tekstur, dan desain
dengan berbagai derajat kekerasan dari bulu sikat.
Salah satu penyebab banyaknya bentuk sikat gigi
yang tersedia adalah adanya variasi waktu menyikat
gigi, gerakan menyikat gigi, tekanan, bentuk dan
jumlah gigi pada setiap orang.6
Terdapat 5 metode menyikat gigi yaitu,
Bass, S Stillman, Horizontal, Vertical, dan Roll.
Metode Bass dan Roll yang paling sering
direkomendasikan.7 Metode yang umum digunakan
adalah meode horizontal, metode roll, dan metode
vertical. Metode horizontal dilakukan dengan cara
semua permukaan gigi disikat dengan gerakan ke
kiri dan ke kanan. Permukaan bukal dan lingual
disikat dengan gerakan ke depan dan ke belakang.8
Metode horizontal terbukti merupakan cara yang
sesuai dengan bentuk anatomis permukaan oklusal.
Metode ini lebih dapat masuk ke sulkus interdental
dibanding dengan metode lain.9 Metode ini cukup

sederhana sehingga dapat membersihkan plak yang


terdapat di sekitar sulkus interdental dan
sekitarnya.8
Metode vertical dilakukan untuk menyikat
bagian depan gigi, kedua rahang tertutup lalu gigi
disikat dengan gerakan keatas dan kebawah. Untuk
permukaan gigi belakang gerakan dilakukan dengan
keadaan mulut terbuka.10 Metode ini sederhana dan
dapat membersihkan plak, tetapi tidak dapat
menjangkau semua bagian gigi seperti metode
horizontal dengan sempurna sehingga apabila
penyikatan tidak benar maka pembersihan plak
tidak maksimal.10
Metode roll adalah cara menyikat gigi
dengan ujung bulu sikat diletakkan dengan posisi
mengarah ke akar gigi sehingga sebagian bulu sikat
menekan gusi.3 Ujung bulu sikat digerakkan
perlahan-lahan sehingga kepala sikat gigi bergerak
membentuk lengkungan melalui permukaan gigi.
Yang perlu diperhatikan pada penyikatan ini adalah
sikat harus digunakan seperti sapu, bukan seperti
sikat
untuk
menggosok.
Metode
roll
mengutamakan gerakan memutar pada permukaan
interproksimal tetapi bagian sulkus tidak
terbersihkan secara sempurna. Metode roll
merupakan
metode
yang danggap
dapat
membersihkan plak dengan baik dan
dapat
menjaga kesehatan gusi dengan baik, teknik ini
dapat diterapkan pada anak umur 6-12 tahun.10
Metode penyikatan gigi horizontal, vertical
dan roll adalah metode yang paling sering
digunakan dalam penyikatan gigi. Pada anak
sekolah dasar belum didapatkan teknik menyikat
gigi yang efektif terhadap penurunan plak.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan
penelitian untuk mengetahui efektivitas menyikat
gigi metode horizontal, vertical dan roll pada anak
usia 9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6
Banjarmasin. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui efektivitas menyikat gigi mengunakan
metode horizontal, vertical dan roll pada anak usia
9-11 tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin.
Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang
nantinya diharapkan metode menyikat gigi lainnya
dapat diterapkan pada anak-anak usia sekolah
dasar.
BAHAN DAN METODE
Alat yang di perlukan untuk penelitian ini
antara lain alat diagnosis (kaca mulut, sonde,
pinset, eksavator), nierbeken, baskom, air, kapas,
handuk putih kecil, stopwatch, model gigi, dan
senter. Bahan yang diperlukan untuk penelitian ini
antara lain disclosing agent, pasta gigi, sikat gigi

152

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 153
- 154

berbulu halus (soft), alkohol 70% (untuk sterilisasi


alat), penelitian ini juga menggunakan lembar
pengukuran Personal Hygiene Performance
Modified (PHPM).
Metode yang dipakai Quasi Experimental,
dengan rancangan Pre-Post Test one group design.
Pengumpulan data dilakukan pada pelajar kelas 4-6
SD di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang
sudah memiliki gigi kaninus, premolar, dan molar
dalam keadaan baik (tidak ada karies) sebanyak 30
orang tiap kelompok. Pelajar diberi penyuluhan
cara menyikat gigi selama 10 menit
dan
didemonstrasikan dengan model gigi, materi
penyuluhan tentang cara memegang sikat gigi,
posisi meletakkan sikat gigi, dan metode menyikat
gigi. Setiap 10 orang anak dalam tiap kelompok
dioleskan
disclosing agent pada seluruh
permukaan gigi secara merata lalu diinstruksikan
untuk kumur-kumur, dengan menggunakan kaca
mulut dan sonde diperiksa indeks plak, dengan
indeks
ukur
PHPM
(Personal
Hygiene
Performance Modified).
Analisis data yang dilakukan adalah analisis
data parametrik. Uji normalitas dilakukan dengan
menggunakan uji Kolmogorov Smirnov dan uji
homogenitas menggunakan Levene Test. Analisis
parametrik dengan menggunakan uji hipotesis One
Way Annova.

HASIL PENELITIAN
Penelitian dengan judul Efektivitas
Menyikat Gigi Metode Horizontal, Vertical dan
Roll terhadap Penurunan Plak pada Anak Usia 9-11
Tahun di SDN Pemurus Dalam 6 Banjarmasin
telah dilakukan perlakuan terhadap 90 sampel yang
terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok
menyikat gigi metode horizontal, kelompok
menyikat gigi metode vertical dan kelompok
menyikat gigi metode roll.
Tabel 1 Hasil Pengukuran Rata-Rata Indeks Plak
Sebelum dan Sesudah Perlakuan
Metode

Horizontal
Vertical
Roll

Sebelum
menyikat
gigi
70,83
60,08
65,54

Sesudah
menyikat
gigi
26,82
30,86
31,27

Jumlah
siswa
(orang)
30
30
30

Pada tabel 1 menunjukkan hasil indeks plak


sebelum dan sesudah menyikat gigi dengan
menggunakan metode horizontal, vertical dan roll.
Berdasarkan dari hasil tabel dapat dilihat bahwa
pada semua metode menyikat gigi dapat terjadi
penuranan indeks plak. Penuruan plak tertinggi
terjadi pada menyikat gigi metode horizontal.

Selanjutnya dilakukan lagi perhitungan rata-rata


penurunan indeks plak.
Tabel 2 Hubungan Metode Menyikat Gigi dengan
Penurunan Jumlah Plak Pada Anak Usia 911 Tahun di SDN Pemurus Dalam 6
Banjarmasin.
Metode
Rata- rata
Menyikat
penurunan
Gigi
plak gigi
Horizontal
1,46
Vertical
0,99
Roll
1,17
Jumlah

Std.
Deviasi

Jumlah
Sampel

0,63436
0,55781
0,65217
0,63462

30
30
30
90

Tabel 2 menunjukkan rata-rata penurunan


plak gigi pada setiap metode. Menyikat gigi metode
horizontal rata-rata penurunan plak sebesar 1,46.
Menyikat gigi metode vertical rata-rata penurunan
plak sebesar 0,99. Menyikat gigi metode roll ratarata penurunan plak sebesar 1,17. Penurunan plak
terjadi pada setiap metode yang dilakukan.
Penurunan plak pada metode horizontal lebih besar
dibandingkan metode vertical dan roll.
Analisis data dilakukan menggunakan uji
statistik. Uji normalitas pada setiap kelompok
didapatkan hasil kelompok horizontal 0,200,
vertikal 0,200 dan roll 0,050. Berdasarkan hasil
tersebut diketahui bahwa data terdistribusi normal
(p>0,05). Uji homogenitas didapatkan hasil 0,792
(p>0,05) yang menunjukkan data homogen.
Selanjutnya dilakukan uji One Way Anova
untuk mengetahui apakah ada perbedaan bermakna
antar variabel yaitu horizontal, vertical, dan roll
didapatkan nilai 0,028 (p<0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antar variabel yaitu menyikat gigi
metode horizontal, vertical, dan roll. Selanjutnya
dilakukan uji lanjut dengan menggunakan LSD
untuk melihat kemaknaan antar variabel.
Tabel 3 Hasil Uji LSD
Metode
Horizontal Vertical
Roll
Menyikat
Gigi
Horizontal
0,40833*
0,7867
Vertical
0,40833*
0.32967*
Roll
0,7867
0.32967*
Ket: * = terdapat perbedaan yang bermakna
(p<0,05)
Hasil LSD menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna antara menyikat gigi
horizontal dengan metode menyikat gigi vertical
didapatkan nilai 0.40833 (p<0,05). Tidak terdapat
perbedaan bermakna antara metode menyikat gigi
horizontal dibandingkan dengan metode menyikat
gigi roll dengan nilai 0,7867 (p<0,05). Berdasarkan

154
Haryanti
: Efektivitas Menyikat Gigi
hasil tersebut didapatkan kesimpulan bahwa metode
menyikat gigi horizontal lebih efektif menurunkan
plak dibangdingkan dengan metode yang lain.
PEMBAHASAN
Menyikat gigi sebagai salah satu kebiasaan
dalam upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut.
Berbagai teknik atau metode menyikat gigi yang
pernah dianjurkan, antara lain horizontal, vertical,
dan roll. Ketiga metode ini dianggap dapat
membersihkan plak dengan baik terutama pada
anak-anak pada masa sekolah.
Menyikat gigi dengan menggunkan sikat
gigi adalah bentuk penyingkiran plak secara
mekanis.10 Banyak metode atau teknik menyikat
gigi yang diperkenalkan para ahli, dan kebanyakan
metodenya dikenal dengan namanya sendiri seperti
metode Bass, Stillman, Charters, atau disesuaikan
dengan gerakannya. Pada prinsipnya terdapat empat
pola dasar gerakan, yaitu metode vertical,
horizontal, roll, dan bergetar (vibrasi). Tujuan
menyikat gigi untuk menyingkirkan plak atau
mencegah
terjadinya
pembentukan
plak,
membersihkan sisa-sisa makanan, debris atau stein.
Metode menyikat gigi yang dipakai dalam
penelitian ini yaitu, horizontal, vertical dan roll.11
Hasil penelitian tentang efektivitas menyikat gigi
metode horizontal, vertical dan roll terhadap
penurunan plak pada anak usia 9-11 tahun di SDN
Pemurus Dalam 6 Banjarmasin menunjukkan
bahwa penyikatan gigi dengan metode horizontal
dapat menurunkan indeks plak lebih besar
dibandingkan metode vertical dan roll. Dari
penelitian ini ditemukan bahwa metode menyikat
gigi horizontal lebih efektif menurunkan plak
dibandingkan dengan metode yang lain. Hasil
penelitian ini didukung dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Anaise dan pendapat dari Tan
HH yang menyatakan bahwa teknik horizontal
dianggap
sebagai
teknik
terbaik
untuk
menghilangkan plak dan mudah ditiru atau
dipelajari oleh anak.3 Menurut penelitian dari Sarika
Sarma (2012) menyatakan bahwa metode menyikat
gigi horizontal cocok digunakan pada anak-anak.12
Penelitian dari Natalia Ekaputri dan Sri Lestari
tentang perbedaan efektifitas penyikatan gigi antara
metode roll dan horizontal terhadap penyingkiran
plak pada anak menunjukkan penurunan indeks
plak pada metode roll lebih besar dari teknik
horizontal.11 Metode vertical dan roll tidak dapat
menurunkan indeks plak lebih besar dibandingkan
dengan metode horizontal karena dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kemampuan untuk melakukan
teknik menyikat gigi secara baik dan benar sesuai
yang di ajarkan pada setiap anak berbeda-beda,
tekanan yang diberikan pada saat menyikat gigi
berbeda-beda,dan kebiasaan menyikat gigi yang
berbeda.10

153
Piaget (1952) mengatakan bahwa ada dua
proses yang bertanggungjawab atas cara anak
menggunakan dan mengadaptasi skema mereka;
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika
seseorang anak memasukkan pengetahuan baru
kedalam penetahuan yang sudah ada. Dalam
asimilasi, anak mengasimilasikan lingkungan
kedalam suatu skema. Akomodasi terjadi ketika
anak menyesuaikan diri pada informasi baru.
Yakni, anak menjesuaikan skema mereka dengan
lingkungannya.13
Melalui observasinya, Piaget juga meyakini
bahwa perkembangan kognitif terjadi dalam empat
tahap. Masing-masing tahap berhubungan dengan
usia dan tersusun dari jalan pikiran yang berbedabeda. Tahapan Piaget terbagi menjadi empat
tahapan yaitu, fase sensorimotor, praoperasional,
operasional konkret, dan operasional formal.13
Tahap sensorimotor. Tahap ini yang
berlangsung sejak kelahiran sampai usia dua tahun.
Dalam tahap ini, bayi menyusun pemahaman dunia
dengan mengkoordinasikan pengalaman indera
(sensory) mereka seperti melihat dan mendengar
dengan gerakan motor (otot) mereka, dari sanalah
diistilahkan sebagai sensorimotor.13
Tahap praoperasional. Tahap ini adalah
tahap kedua pada teori Piaget. Tahap ini
berlangsung kurang lebih mulai dari usia dua tahun
samapai tujuh tahun. Ini adalah tahap pemikiran
yang lebih simbolis daripada tahap sensorimotor
tetapi tidak melibatkan pemikiran operasional. Pada
tahap ini anak mulai mempresentasikan dunia
dengan kata dan gambar.13
Tahap operasional konkret. Ini adalah
tahap perkembangan kognitif ketiga dari teori
Piaget, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun
sampai sekitar sebelas tahun. Pemikiran operasional
konkret mencakup penggunaan operasi. Penalaran
logika, kemampuan untuk menggolong-golongkan
sudah ada, tetapi tidak bisa memecahkan problemproblem abstrak.pada tahap ini anak kini bisa
menalar secara logis tentang kejadian-kejadian dan
mampu mengklasifikasikan objek dalam kelompok
yang berbeda-beda.13
Tahap operasional formal. Tahap ini yang
muncul antara usia sebelas tahun sampai lima belas
tahun, adalah tahap keempat menurut teori Piaget
dan tahap kognitif terakhir. Pada tahap ini, individu
sudah mulai memikirkan pengalaman dan remaja
sudah mulai berpikir secara lebih abstrak, idealistis,
dan logis.13
Penelitian ini rata-rata murid di SDN
Pemurus Dalam 6 Banjarmasin yang diteliti berada
pada tahap operasional konkret dengan umur 9-11
tahun. Anak sudah dapat menalar dengan
logikanya. Anak mulai dapat beradaptasi dan
mengerti pada setiap metode yang diajarkan. Jenis
kelamin pada penelitian ini tidak berpengaruh
karena pada tahap ini anak baru bisa menalar secara
logis dan masih rendahnya kesadaran akan

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 150 -155
154

154

pentingnya kesahatan gigi sehingga jenis kelamin


tidak memiliki pengaruh.
Faktor lain yang terkait disebabkan anak
lebih cepat mengerti dan cenderung lebih mudah
menyikat gigi dengan metode horizontal
dibandingkan menyikat gigi dengan metode yang
lain. Hal ini juga terkait dengan kebiasaan anak
menyikat gigi di rumah, dimana seringkali secara
tidak
sadar
anak-anak
lebih
cenderung
menggunakan metode horizontal sehingga anakanak lebih mengerti ketika diajarkan cara menyikat
gigi metode horizontal.

5.

6.

7.

8.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan


Frekuensi Menyikat Gigi Dengan Tingkat
Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah
Dasar Negeri di Kecamatan Palaran
Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan
Timur. Maj. Ked. Gigi, 2005. hal 88.
Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku
Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Rineka Cipta,
2003. hal 5-8.
Rifki A. Perbedan Efektivitas Menyikat Gigi
dengan Metode Roll dan Horizontal pada
Anak Usia 8 dan 10 Tahun di Medan. Tesis.
Medan. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara, 2010. hal 1-9.
Utami NK. Indeks DMF-T pada Murid-Murid
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Muhammadiyah
Martapura 2010. Dentino Jurnal Kedokteran
Gigi 2010; 2(1) :1-2.

9.

10.

11.

12.

13.

Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar


(RISKESDAS) Provinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan
Departemen
Kesehatan RI, 2009. hal:116-117.
Warni L. Hubungan Perilaku Murid SD Kelas
V dan VI pada Kesehatan Gigi Dan Mulut
Terhadap Status Karies Gigi di Wilayah
Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Tahun
2009. Tesis. Medan : USU, 2009. hal 14-20.
Asadoorian J. Tooth Brushing. Canada:
Canadian Journal of Dental Hygiene (CJDH),
2006;5:1-4.
Putri MH, Herijulianti E dan Nurjannah N.
Ilmu Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Jakarta: EGC,
2010: 56-76, 107-118.
McDonal, Avery and Dean. Dentistry for The
Child and Adolescent 8th ed. St.Louis: Mosby,
2000.p.237-245.
Pintauli S dan Hamada T. Menuju Gigi dan
Mulut Sehat. Skripsi. Medan: USU, 2008: 4-6,
30-1, 74-81.
Ekaputri N dan Lestari S. Perbedaan
Efektivitas Penyikatan Gigi antara Teknik Roll
dan
Horizintal
Scrubbing
terhadap
Penyingkiran Plak. Scientific Journal in
Dentistry 2003; 53: 93-7.
Sharma Sarika, Ramakrishna Yeluri, Amit A.
Jain and Autar K. Munshi. Effect of
toothbrush grip on plaque removal during
manual toothbrushing in children. J Oral Sci.
2012;2(54):187.
Santrock, JK. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Kencana. 2007.hal:55-60.

156
Haryanti
: Efektivitas Menyikat Gigi

155

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
TINGKAT NURSING MOUTH CARIES ANAK 2-5 TAHUN
DI PUSKESMAS CEMPAKA BANJARMASIN

Nadya Novia Sari, Rosihan Adhani, Didit Aspriyanto, Teguh Hadiyanto


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Nursing Mouth Caries (NMC) is a caries lesion with unique pattern in infants, toddlers,
and preschool children which caused by the provision of formula milk, breastmilk or other sweet liquid in a long
period. Dental caries is still one of the most frequent problems occur in Indonesia society, not only in adults but
also in children. Purpose: The aims of this research are to investigate how the NMC level which is seen from the
age of the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and also their mother's level of education and
knowledge. Methods: This research used a purely descriptive method. Data taken by purposive sampling of 100
children aged 2-5 years old with interview procedures on the child's mother and child clinical examination of the
oral cavity. Results: The results of this research was high level NMC which reached 96%, seen from the age of
the child, the habits of child's feeding and toothbrushing, and mother's level of education and knowledge.
Conclusion: Based on conducted research, it can be concluded that lacking of mother's knowledge of children's
oral health was causing high rates of NMC. The higher the age of the child, tend to be higher rates of NMC
expansion that occurs in children. The children who drank formula milk have the greater risk on NMC than
children only drank breast milk exclusively. Children brushing habits were also contribute in the formation of
the NMC, while the level of education of the mother allegedly did not much contribute in the occurrence of NMC
in children.
Keywords: NMC, breastmilk, formula milk, rate of accidence.
ABSTRAK
Latar Belakang: Nursing Mouth Caries (NMC) merupakan karies dengan pola lesi yang unik pada
bayi, balita, dan anak prasekolah yang disebabkan oleh pemberian susu formula, ASI ataupun cairan manis
lainnya dalam jangka waktu yang panjang. Karies gigi masih menjadi salah satu masalah yang paling sering
terjadi pada masyarakat Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk melihat terjadinya NMC yang dilihat dari usia anak, kebiasaan pemberian susu
pada anak, kebiasaan menyikat gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Metode: Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif murni. Data diambil secara purposive sampling pada 100 orang anak usia 2-5
tahun dengan prosedur wawancara pada ibu anak dan pemeriksaan klinis rongga mulut anak. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan tingginya NMC pada anak mencapai 96% dari 100 orang anak, yang dikelompokkan
lagi tingkat perluasan NMC berdasarkan usia anak, kebiasaan pemberian susu pada anak, kebiasaan menyikat
gigi pada anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian yang
dilakukan dapat disimpulkan masih kurangnya tingkat pengetahuan ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak
yang menyebabkan tingginya tingkat NMC yang terjadi. Semakin tinggi usia anak, cenderung makin tinggi juga
tingkat perluasan NMC yang terjadi pada anak. Serta anak yang meminum susu formula memiliki resiko lebih
besar terkena NMC dibandingkan anak yang hanya meminum ASI eksklusif. Kebiasaan menyikat gigi anak juga
berperan dalam pembentukan NMC, sedangkan tingkat pendidikan ibu tidak berperan banyak dalam terjadinya
NMC pada anak.

Kata-kata kunci: NMC, ASI, susu formula, tingkat kejadian.

156

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 157
- 161

Korespondensi: Rosihan Adhani, Nadya Novia Sari, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran
Universitas Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
rosihan_adhani@yahoo.co.id nadnovia@yahoo.com
PENDAHULUAN
Karies gigi masih menjadi salah satu
masalah yang paling sering terjadi pada masyarakat
Indonesia, bukan hanya pada orang dewasa tetapi
juga pada anak-anak. Proses perkembangan karies
dapat terjadi dimulai pada saat gigi anak pertama
erupsi. Karies sangat berhubungan erat dengan
kebersihan rongga mulut, terlebih pada anak-anak.
Anak yang tidak dibiasakan melakukan penyikatan
gigi sejak dini dari orang tua dapat mengakibatkan
kesadaran dan motivasi anak kurang dalam
menjaga kesehatan dan kebersihan rongga
mulutnya. Keadaan ini memudahkan anak terkena
resiko penyakit gigi dan mulut, khususnya pada
anak usia di bawah 6 tahun .1
Karies dengan pola yang khas dan sering
terjadi pada anak usia di bawah 6 tahun biasa
disebut Nursing Mouth Caries (NMC). Definisi
NMC menurut The American Academy of Pediatric
Dentistry (AAPD) adalah adanya satu atau lebih
karies (kavitas atau non kavitas), adanya gigi yang
hilang karena karies pada gigi desidui anak usia 071 bulan. Biasanya anak dengan NMC mempunyai
kebiasaan minum Air Susu Ibu (ASI) ataupun susu
botol setiap hari dalam waktu yang lama dan
kadang dibiarkan sampai anak tertidur sepanjang
malam. NMC biasanya membutuhkan perawatan
yang lama dan apabila tidak diobati dapat merusak
gigi anak dan berpengaruh pada kesehatan umum
anak.1,2 Gambaran klinis NMC adalah khas,
kerusakan yang paling parah pada jenis karies ini
biasanya terjadi pada keempat gigi insisivus atas
maksila karena posisi lidah pada saat anak
menghisap susu meluas menutupi gigi anterior
mandibula sehingga pada regio insisivus mandibula
karies ini jarang terjadi. 3
Prevalensi NMC di beberapa negara masih
cukup tinggi. Jose dan lainnya4 melaporkan di
Karala, India 44% anak usia 8-48 bulan menderita
NMC. Martens et al5 melaporkan prevalensi anak di
pedesaan Cina dengan NMC mencapai 85,5%,
sedangkan Kumar6 melaporkan 11-53% anak di
USA menderita NMC, dan 6,8-12% di UK.
Nursing Mouth Caries merupakan penyakit
multi faktorial. Faktor-faktor penyebab NMC
termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,

tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme


seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta
waktu. Nursing Mouth Caries merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius pada anak yang
masih berusia sangat muda, meskipun tidak
mengancam terhadap kehidupan anak NMC yang
dibiarkan dan tidak diobati dapat menyebabkan
rasa sakit pada anak, bakteremia, berkuranganya
kemampuan mengunyah anak, maloklusi pada gigi
permanen, masalah fonetik, dan kurangnya rasa
percaya diri pada anak. Selain itu karies gigi juga
dilaporkan dapat mengurangi kemampuan seorang
anak untuk menambah berat badan.7
Data statistik mengenai status NMC pada
anak usia 2-5 tahun sampai saat ini belum
ditemukan di daerah Banjarmasin Kalimantan
Selatan. Berdasarkan RISKESDAS tahun 2007,
proporsi penduduk bermasalah gigi mulut di
Provinsi Kalimantan Selatan 29,2% (rentang 15,935,2%), dan kota Banjarmasin menjadi salah satu
yang memiliki tingkat karies tertinggi, padahal
Banjarmasin merupakan kota yang bermasalah gigi
mulut tertinggi yang menerima perawatan atau
pengobatan dari tenaga medis yang tinggi,
sedangkan prevalensi penduduk yang berprilaku
benar dalam menggosok gigi di Provinsi
Kalimantan Selatan ini hanya sekitar 10,3%
(rentang 3,7-19,9%).8 Hal inilah yang membuat
peneliti ingin mengetahui dan menggambarkan
keadaan tersebut. Tujuan umum penelitian ini
adalah mengetahui tingkat NMC pada anak usia 2-5
tahun di Puskesmas Cempaka Banjarmasin.
Penelitian ini dilakukan di Puskemas
Cempaka Banjarmasin dengan sasaran anak usia 25 tahun. Alasan penelitian dilakukan di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin karena puskesmas ini
merupakan salah satu puskesmas terbesar di
wilayah Banjarmasin, sehingga sangat banyak
pasien anak yang datang berobat ke puskesmas ini.
Penelitian ini dilakukan pada anak 2-5 tahun karena
diasumsikan pada usia ini umumnya gigi susu anak
telah tumbuh seluruhnya, sehingga NMC yang
terjadi dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria
tingkat perluasannya.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif yang diperoleh dari wawancara dan
pemeriksaan klinis pada rongga mulut anak usia 2-5
tahun
pengunjung
Puskesmas
Cempaka

157

Sari
158: Tingkat Nursing Mouth Caries
Banjarmasin. Bahan yang digunakan adalah alkohol
70%, kapas dan tisu. Alat yang digunakan adalah
alat diagnostik, nierbekken, sarung tangan, masker,
senter, alat tulis, formulir informed consent dan
lembar pemeriksaan untuk karies serta lembar
kuesioner untuk wawancara.
Populasi pada penelitian ini adalah ibu beserta
anaknya yang berusia 2-5 tahun pengunjung
Puskesmas Cempaka Banjarmasin. Sampel pada
penelitian ini diambil dengan purposive sampling.
Sampel adalah anak berusia 2-5 tahun yang masih
mengkonsumsi ASI maupun susu formula di
Puskesmas Cempaka Banjarmasin dan memenuhi
kriteria inklusi. Kriteria inklusinya adalah anak
berusia 2-5 tahun, anak masih mengkonsumsi ASI
ataupun susu formula, bersedia menjadi responden
(kooperatif) dan menandatangani informed consent.
Nursing Mouth
Caries
Ada
Tidak

Jumlah
96
4

Presentase
96%
4%

Jumlah
100
100%
Kriteria eksklusinya adalah pasien yang tidak
bersedia menjadi responden (tidak kooperatif).
Variabel bebas yang diteliti pada penelitian
ini umur anak, kebiasaan menyikat gigi anak,
kebiasaan anak meminum susu, dan tingkat
pendidikan serta pengetahuan orang tua (ibu).
Variabel terikat pada penelitian ini adalah NMC.
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin dengan prosedur ibu dan anak yang
berusia 2-5 tahun didatangi oleh peneliti. Pasien
dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian
yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar
informed consent sebagai tanda persetujuan
menjadi subyek penelitian, kemudian dilakukan
wawancara terhadap ibu anak terkait dengan
kebiasaan menyikat gigi anak, kebiasaan anak
meminum susu, dan pertanyaan yang akan melihat
tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan ibu
serta dilakukan pemeriksaan klinis secara langsung
pada rongga mulut anak untuk melihat tingkat
perluasan NMC yang terjadi pada anak. Kebiasaan
menyikat gigi pada anak dibagi menjadi 2
kelompok yaitu yaitu frekuensi benar dan salah,
serta waktu menyikat gigi yang benar dan salah.
Frekuensi menyikat gigi yang benar apabila anak
menyikat gigi setiap hari sebanyak 2 atau 3 kali
sehari, frekuensi menyikat gigi yang salah apabila
anak tidak menyikat gigi setiap hari, atau menyikat
gigi hanya 1 kali sehari. Waktu menyikat gigi yang

benar apabila anak menyikat gigi setelah sarapan


dan sebelum tidur. Waktu menyikat gigi yang salah
apabila anak menyikat gigi saat mandi, sebelum
makan, atau tidak tentu kapan waktu anak menyikat
gigi.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin pada bulan Juni-Agustus
2013. Hasil penelitian gambaran Nursing Mouth
Caries (NMC) pada anak usia 2-5 tahun di
Puskesmas Cempaka Banjarmasin dengan jumlah
sampel sebanyak 100 orang. Jumlah subjek
penelitian yang mengalami NMC sebanyak 96
orang dan 4 orang tidak mengalami NMC. Berikut
ini merupakan tabel hasil penelitian tingkat Nursing
Mouth Caries pada anak usia 2-5 tahun di
Puskesmas Cempaka Banjarmasin.
Tabel 1

Data Prosentase Nursing Mouth Caries


Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)

Tabel 1 menunjukkan dari 100 orang anak


usia 2-5 tahun di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin, ditemukan prosentase NMC mencapai
96% atau 96 orang anak terkena NMC, dan hanya 4
orang anak yang ditemukan bebas karies. Hal ini
menunjukkan prosentase anak yang mengalami
NMC sangat tinggi, hampir mencapai 100%.

Gambar 1. Data Prosentase Tingkat Perluasan


Nursing Mouth Caries Berdasarkan Usia
Pada Anak 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)

158

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 159
- 161
Gambar 4
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Frekuensi Anak Meminum
Susu dalam Sehari pada Anak Usia 2-5
Tahun
di
Puskesmas
Cempaka
Banjarmasin (n=100)

Gambar 2
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Jenis Susu yang Dikonsumsi
Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)

Gambar 5 Data Prosentase Tingkat Perluasan


Nursing Mouth Caries Berdasarkan
Kebiasaan Menyikat Gigi pada Anak
Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin (n=100)

Gambar 3
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Kebiasaan Pemberian Susu
Dilihat Dari Kebiasaan Anak Meminum
Susu Sebagai Pengantar Tidur pada Anak
Usia 2-5 Tahun di Puskesmas Cempaka
Banjarmasin (n=100)

Gambar 6
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Tingkat Pendidikan Ibu Pada
Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)

160 : Tingkat Nursing Mouth Caries


Sari

Gambar 7
Data
Prosentase
Tingkat
Perluasan
Nursing
Mouth
Caries
Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Ibu
Pada Anak Usia 2-5 Tahun di Puskesmas
Cempaka Banjarmasin (n=100)
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 100 subjek penelitian anak usia 2-5
tahun di Puskesmas Cempaka Banrmasin, sebesar
96% (96 orang anak) mengalami NMC. Persentase
ini sangat tinggi karena hampir mencapai
keseluruhan dari total subjek penelitian. Tingginya
tingkat kejadian NMC ini bisa disebabkan oleh
banyak sekali faktor. Faktor utama penyebab karies
seperti host, bakteri, substrat dan waktu sudah pasti
berperan besar dalam penyebab terjadinya karies
pada anak ini. Faktor-faktor lain seperti tingkat
pendidikan dan pengetahuan ibu, kebiasaan
pemberian
susu
pada
anak,
kebiasaan
membersihkan gigi anak dan usia anak pun juga
dapat berperan dalam menyebabkan tingginya
angka kejadian NMC disini. Hal ini sesuai dengan
data mengenai angka karies gigi berdasarkan
RISKESDAS8 tahun 2007 yang menyatakan angka
karies gigi di Kalimantan Selatan sangat tinggi
yaitu 50,7% karies aktif dan 83,4% pengalaman
karies. Selain itu data mengenai angka kejadian
karies juga dapat dilihat pada hasil Studi Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT)8 pada tahun 2001 yang
diperoleh hasil sebanyak 81,3% anak berusia 5
tahun memiliki gigi yang berlubang. Hal ini juga
bisa terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat
untuk menjaga kebersihan gigi dan mulutnya,
karena kesehatan gigi dan mulut masih menjadi hal
yang dianggap kurang penting bagi masyarakat
sekarang ini. 9
Nursing Mouth Caries merupakan
penyakit multi faktorial. Faktor-faktor penyebab
NMC termasuk faktor host yang rentan, plak gigi,
tingginya angka kariogenik dari mikroorganisme
seperti Streptococcus mutans, Lactobacillus, serta
waktu. Nursing Mouth Caries yang dibiarkan dan
tidak diobati dapat menyebabkan rasa sakit pada
anak, bakteremia, berkuranganya kemampuan

159
mengunyah anak, maloklusi pada gigi permanen,
masalah fonetik, dan kurangnya rasa percaya diri
pada anak. Selain itu karies gigi juga dilaporkan
dapat mengurangi kemampuan seorang anak untuk
menambah berat badan.11 Banyak faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya NMC seperti usia anak,
kebiasaan meminum susu anak, kebiasaan menyikat
gigi anak, serta tingkat pendidikan dan pengetahuan
orang tua khususnya ibu anak.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat
dari Gambar 1, persentase NMC yang dilihat
berdasarkan usia anak menunjukkan semakin
bertambah usia anak cenderung semakin tinggi pula
tingkat perluasan NMC yang terjadi. Hal ini sesuai
dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Febriana Setiawati pada tahun 2012 di DKI Jakarta
yang menyatakan peningkatan usia anak
meningkatkan resiko kejadian NMC. Pada anak
yang diberikan susu lebih dini, kemungkinan
akumulasi karbohidrat dalam susu yang diberikan
akan lebih tinggi sehingga menyebabkan gigi
menjadi lebih rentan terserang karies. Makin
bertambah usia anak, makin tinggi resiko kejadian
NMC.10
Pada Gambar 2, 3 dan 4 didapatkan data
persentase NMC yang dilihat dari kebiasaan
meminum susu pada anak, dijumpai anak yang
meminum susu formula sebagian besar telah
menderita NMC, dan hanya 1 orang anak yang
ditemukan bebas karies. Begitu pula pada anak
yang meminum kombinasi ASI dan susu formula,
100% menderita NMC. Pada anak yang hanya
mengkonsumi ASI eksklusif, ditemukan 3 orang
bebas karies dan tingkat perluasan tertinggi masih
berada pada tipe II. Anak yang mengkonsumsi susu
sebagai pengantar tidur, 100% telah menderita
NMC. Dilihat dari frekuensi anak meminum susu
dalam sehari, pada anak yang mengkonsumsi susu
lebih dari 9 kali sehari tingkat perluasan karies
tertinggi sudah berada pada tipe III dan tipe IV.
Hal ini didukung oleh teori dari American
Academy of Pediatric Dentistry14 yang menyatakan
bahwa pemberian ASI sebenarnya merupakan
nutrisi yang ideal untuk anak. Pemberian ASI yang
berkepanjangan juga dapat menjadi resiko potensial
terjadinya NMC. Apabila ASI dan susu formula
beresiko besar terhadap kejadian NMC, maka hal
itu juga dapat terjadi pada anak yang
mengkonsumsi kombinasi ASI dan susu formula.
Kebiasaan pemberian susu pada anak yang
dikaitkan dengan kebiasaan anak meminum susu
sebagai pengantar tidur, dapat terlihat tingkat NMC
yang tinggi pada anak yang mengkonsumsi susu
sebagai pengantar tidur yang mana tingkat
perluasan NMC sudah berada pada tipe III
(moderate) dan tipe IV (severe), dan dari 83 anak
yang mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur
tidak ada anak yang bebas karies. Pada anak yang
tidak mengkonsumsi susu sebagai pengantar tidur
ditemukan 4 orang anak bebas karies, 5 orang

160

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 161
- 161

berada pada tipe I, dan 8 orang berada pada tipe II.


Menurut Berkowitz3, hal ini dapat disebabkan
karena cairan yang mengandung karbohidrat akan
mengalami stagnasi cukup lama pada permukaan
gigi, terutama apabila anak dibiarkan mengedot
selama anak tertidur. Selama anak tertidur, terjadi
penurunan aktifitas penelanan dan penurunan aliran
saliva, hal inilah yang menyebabkan cairan yang
mengandung karbohidrat stagnasi cukup lama pada
permukaan gigi dan menjadi awal terjadinya proses
karies.12 Apabila dikaitkan dengan frekuensi
pemberian
susu
dalam
sehari,
terlihat
kecenderungan meningkatnya distribusi NMC
seiring dengan seringnya anak meminum susu. Hal
ini didukung dengan penelitian dari Widyastuti di
Bandung pada tahun 2010 yang menyatakan karies
yang dipengaruhi oleh pemberian air susu
berhubungan dengan frekuensi meminum susu
setiap harinya, lama menyusui dan terutama
seberapa sering anak meminum susu pada malam
hari.12
Pada Gambar 5, diperoleh gambaran
perilaku mengenai frekuensi penyikatan gigi yang
dibagi ke dalam 2 kelompok yaitu frekuensi benar
dan salah, serta waktu menyikat gigi yang benar
dan salah. Frekuensi menyikat gigi yang benar
apabila anak menyikat gigi setiap hari sebanyak 2
atau 3 kali sehari, frekuensi menyikat gigi yang
salah apabila anak tidak menyikat gigi setiap hari,
atau menyikat gigi hanya 1 kali sehari. Sedangkan
waktu menyikat gigi yang benar apabila anak
menyikat gigi setelah sarapan dan sebelum tidur.
Waktu menyikat gigi yang salah apabila anak
menyikat gigi saat mandi, sebelum makan, atau
tidak tentu kapan waktu anak menyikat gigi.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa
frekuensi menyikat gigi yang dilakukan anak
sekalipun itu benar, tetapi apabila dilakukan pada
waktu yang tidak tepat juga dapat menyebabkan
tingginya resiko karies pada anak. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Anitasari15
di Samarinda (2004) yang menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara frekuensi menyikat gigi
dengan kebersihan gigi dan mulut. Ini dapat terjadi
akibat terdapat faktor lain yang berperan dalam
menentukan kebersihan rongga mulut seperti waktu
salah dalam penyikatan gigi serta metode yang
digunakan dalam menyikat gigi. Faktor waktu
merupakan faktor pokok yang mempengaruhi
perkembangan karies dan akan memperparah karies
apabila pemberian susu dilakukan pada waktu
malam hari, oleh karena anak tidak menyikat gigi
sebelum tidur maka akan mempercepat dan
memperparah tingkat NMC.13
Pada Gambar 6, didapatkan data persentase
NMC yang dilihat dari tingkat pendidikan ibu anak.
Tidak terlihat kecenderungan meningkatnya
keparahan NMC pada ibu yang memiliki tingkat
pendidikan rendah. Pemantauan peneliti selama
proses penelitian diperoleh keterangan bahwa

sebagian besar responden tidak mengetahui atau


jarang memperoleh informasi tentang cara
pemeliharaan kesehatan rongga mulut. Dapat
disimpulkan bahwa tingkat pendidikan yang baik
tidak mengindikasikan seseorang juga mempunyai
tingkat pengetahuan yang baik. Hal ini dapat dilihat
dari hasil penelitian, ibu dengan tingkat pendidikan
yang tinggi tetapi angka kejadian NMC pada
anaknya juga tergolong tinggi. Penelitian terdahulu
oleh Angela16 pada tahun 2005 di DKI Jakarta
menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara
pendidikan ibu dengan kejadian karies pada anak
usia 4-5 tahun. Pada penelitian terdahulu oleh
Suryaningrum17 juga didapatkan hasil tidak ada
hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan
ibu dengan angka kejadian karies pada balita di
PAUD Jatipurno Kartasura. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh
Kerrod B, Hallet dan Peter K.O pada tahun 2006
yang didapatkan hasil pendidikan ibu memiliki
hubungan bermakna dengan tingkat keparahan
NMC. Makin tinggi pendidikan ibu, makin rendah
rata-rata skor def-t.10
Hasil penelitian pada Gambar 7 diperoleh
data prosentase NMC yang dilihat dari tingkat
pengetahuan ibu anak. Terlihat kecenderungan
peningkatan keparahan NMC pada ibu dengan
tingkat pengetahuan buruk/kurang. Chesnut18
menunjukkan bahwa sebenarnya banyak ibu tahu
bahwa anak-anak tidur dengan botol berisi cairan
gula itu berbahaya, namun karena mereka tidak
mengerti mengapa hal itu berbahaya mereka terus
memberikan minuman manis di malam hari.
Pendidikan maupun pengetahuan tentang karies
gigi sangat penting dalam pencegahan NMC.18
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa terdapat tingkat NMC yang
sangat tinggi pada anak yaitu 96%. Anak dengan
NMC yang dilihat berdasarkan usia, menunjukkan
hasil tingkat NMC tertinggi terdapat pada anak di
kelompok usia 4-5 tahun. NMC yang dilihat
berdasarkan kebiasaan pemberian susu pada anak
juga dapat dilihat tingkat NMC tertinggi terjadi
pada anak yang mengonsumsi susu formula dan
dikonsumsi sebelum tidur, tetapi dalam penelitian
ini juga ditemukan hasil bahwa anak yang
mengonsumsi ASI eksklusif pun tidak menutup
kemungkinan anak menderita NMC meskipun tidak
separah pada anak yang mengonsumsi susu
formula. Berdasarkan kebiasaan menyikat gigi
anak, ditemukan bahwa frekuensi penyikatan gigi
tidak berpengaruh besar terhadap terjadinya NMC,
hanya saja waktu anak menyikat gigi akan
berpengaruh terhadap tingginya NMC yang dapat
terjadi pada anak. NMC yang dilihat berdasarkan
tingkat pendidikan ibu menunjukkan hasil ibu yang
memiliki tingkat pendidikan rendah sangat besar
kemungkinan anak memiliki resiko NMC yang
tinggi, sedangkan tingkat pengetahuan ibu juga
berperan sangat penting terhadap resiko karies pada

162 : Tingkat Nursing Mouth Caries


Sari
anak, ibu dengan tingkat pengetahuan yang rendah
hampir 100% anaknya ditemukan menderita NMC.
Hal ini membuktikan bahwa tingkat pengetahuan
ibu terhadap kesehatan gigi dan mulut anak sangat
perlu ditingkatkan agar ibu mengerti dampak
apabila tidak menjaga kesehatan gigi dan mulut
anak.
DAFTAR PUSTAKA
McDonald RE, Avery DR and Dean JA.
Dentistry for The Child and Adolescent. 8th ed.
New Delhi: Elsevier, 2008. hal. 209-210.
2. Dye BA, Shenkin JD, Ogden CL, Marshall TA,
Levy SM and Kanellis MJ. The Relationship
Between Healthful Eating Practices and Dental
Caries in Children Aged 2-5 Years in the
United States 1988-1994. Journal of the
American Dental Association. 2004;135(1):5566.
3. Hallas D, Fernandez J, Lim L and Carobene M.
Nursing Strategies to Reduce the Incidence of
Early Childhood Caries in Culturally Diverse
Populations. Journal of Pediatric Nursing.
2011:26:248-256
4. Kramer MS, McGill J, Matush L, Vanilofich I,
Platt R, Bogdanovich N, Sevkosvskaya Z,
Dzikovich I, Shisko G and Mazer B. Effect of
Prolonged and Exclusive Breast-Feeding On
Risk Of Allergy and Asthma: Cluster
Randomised Trial. Caries Res. 2007;41:484-8.
5. Martens L, Vanobbergen J, Williems S,Aps J
and De Massener JD. Determinants of Early
Childhood Caries in a Group of Inner-City
Children. Quintessence International. Belgia.
2006;37(75):27-36
6. Kumar VD. Early Childhood Caries-an Insight.
Journal International Oral Health. 2010;2:1-9.
7. Prakash P, Subramaniam P, Durgesh BH and
Konde S. Prevalence of Early Childhood
Caries And Associated Risk-Factors in
Preschool Children of Urban Bangalore,India:
A Cross Sectional Study. Bangalore: Europan
Journal of Dentistry; 2012;Vol 6: Hal 141-150.
8. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) provinsi Kalimantan Selatan
Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan
Departemen
Kesehatan R.I. 2008; Hal 116-134.
9. Brodeur JM and Galarneau C. The High
Incidence of Early Childhood Caries in
Kindergarten-age Children. Journal DeL
Ordre Des Dentistes Du Quebec. Supplement,
2006:3-5
10. Setiawati F. Peran Pola Pemberian Air Susu
Ibu (ASI) dalam Pencegahan Early Childhood
Caries (ECC) di DKI Jakarta: Kajian Kadar
IgA Pada ASI Dan Saliva Anak Serta Aktifitas
Karies Gigi Dalam Upaya Membangun Model
Pencegahan Karies Secara Dini Bagi Anak
Usia Di Bawah Dua Tahun. [Disertasi]

161

11.

12.

1.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Jakarta: Universitas Indonesia: 2012; hal 73121


Soesilo D, Santoso RE dan Diyatri I. Peranan
Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan
pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.
Surabaya: Majalah Kedokteran Gigi Dental
Journal Universitas Airlangga, 2005;(38). hal
21-25.
Avianty RS, Tedjosasongko U dan Irmawati.
Akitvitas Karies Anak Usia Prasekolah
Berdasarkan Pola Nursing Bottle Feeding.
Surabaya: Dental Journal of Airlangga
University. 2011; hal 1-7.
Widyastuti T. Kejadian Karies Aktif Pada
Anak Usia 3-5 Tahun Yang Tercatat di
Posyandu
Wilayah
Kerja
Puskesmas
Mohammad Ramdan Kota Bandung Tahun
2010
dan
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhinya. [Tesis] Depok: Universitas
Indonesia: 2010; hal 20-30.
American Academy of Pediatric Dentistry.
Symposium on The Prevention of Oral Disease
in Children and Adolescents. Chicago, Ill;
November 11-12, 2005: Conference papers.
Pediatr Dent 2006;28(2):96-198.
Anitasari S dan Rahayu NE. Hubungan
Frekuensi Menyikat Gigi dengan Tingkat
Kebersihan Gigi dan Mulut Siswa Sekolah
Dasar Negeri di Kecamatan Palaran
Kotamadya Samarinda Provinsi Kalimantan
Timur. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J). 2005:
(38):8890.
Angela A. Pencegahan Primer Pada Anak
Berisiko Karies Tinggi. Dent J 2005 : 38 (3):
130-134.
Sariningrum E. Hubungan Tingkat Pendidikan,
Pengetahuan dan Sikap Orangtua Tentang
Kebersihan Gigi dan Mulut Pada Anak Balita
Usia 3-5 tahun dengan Tingkat Kejadian
Karies di Paud Jatipurno. [Skripsi]. Surakarta:
Fakultas
Kedokteran
Gigi
Universitas
Muhammadiyah Surakarta. 2009.
Chestnut IG, Murdoch C, and Robson KF.
Parents and Carers:Choices of Drinks for
Infants and Toddlers in Areas of Social And
Economic Disadvantages. Community Dental
Health.
2004:
(20):
13914

162

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 155 163
- 159

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS EKSTRAK ETANOL DAUN PEPAYA (Carica papaya) 100% TERHADAP WAKTU
PENYEMBUHAN LUKA
Tinjauan Studi pada Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)

Eka Oktavia Ruswanti, Cholil, Bayu Indra Sukmana


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Leaves of papaya (Carica papaya) are parts of one of the plants that can be used as a herbal
medicine that can accelerate wound healing. Papaya leaves contain saponins which are useful to trigger the
formation of collagen which plays a role in the wound healing process, papain which is useful as an antiinflammatory and antiedema, and the leaves also contain flavonoids and fenol which have activity as an
antiseptic, prevent the formation of free radicals and minimize injury due to oxidation reactions. Purpose: This
research aimed to find out whether the ethanol extract 100% papaya leaves could accelerate wound healing
period in the oral mucosa of mice. Methods: The type of this research was a pure experimental study which used
posttest-only with control design. This research used 27 mice as the samples and they were divided into 3
groups, treatment group was given ethanol extract 100% papaya leaves, negative control group was not given
any treatment, and positive control group was given povidone iodine. Results: The average of wound healing
period in the experimental, negative, and positive group were 7,6 days, 12,3 days and 9,5 days respectively. The
results of Kruskal Wallis and Mann-Whitney test showed significant difference among the treated, negative, and
control groups. Conclusion: Based on the results, it was concluded that ethanol extract 100% papaya leaves
was effective to accelerate the wound healing period in the oral mucosa of mice.
Keywords: ethanol extract 100 % papaya leaves, wound healing, oral mucosa.
ABSTRAK
Latar belakang: Daun pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman yang bisa dijadikan
tumbuhan obat yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Daun pepaya mengandung saponin yang berguna
untuk memicu pembentukan kolagen yang berperan dalam proses penyembuhan luka, papain berguna sebagai
antiinflamasi dan antiedema, serta mengandung flavonoid dan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai
antiseptik, mencegah pembentukan radikal bebas serta meminimalisir luka akibat reaksi oksidasi. Tujuan:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pemberian ekstrak etanol daun pepaya 100% dapat
mempercepat waktu penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit. Metode: Jenis penelitian ini merupakan
penelitian eksperimental murni dengan rancangan posttest-only with control design. Penelitian ini
menggunakan hewan coba mencit sebanyak 27 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok perlakuan
yang diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%, kelompok kontrol negatif yang tidak diberikan perlakuan apapun,
dan kelompok kontrol positif yang diberi povidone iodine. Hasil: Rata-rata penyembuhan luka secara berturutturut pada kelompok perlakuan, negatif, dan positif adalah 7,6 hari, 12,3 hari, dan 9,5 hari. Hasil uji Kruskal
Wallis dan Mann-Whitney menunjukkan perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol negatif. Kesimpulan: Berdasarkan penelitian tersebut ekstrak etanol daun pepaya 100% efektif
mempercepat lama penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
Kata-kata kunci: ekstrak etanol daun pepaya 100%, penyembuhan luka, mukosa mulut.

164
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya

163

Korespondesi: Eka Oktavia Ruswanti, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, email:
oktavia_eka88@yahoo.com

PENDAHULUAN
Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian
jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh
benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat
kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan
hewan.1 Luka akibat trauma dalam rongga mulut
merupakan hal yang sering terjadi. Trauma ini
dapat terjadi secara disengaja maupun tidak, yang
pada akhirnya akan menimbulkan luka pada
mukosa mulut.2 Penyembuhan luka yang normal
merupakan suatu proses yang kompleks dan
dinamis, tetapi mempunyai pola yang dapat
diprediksi. Proses penyembuhan luka dapat dibagi
menjadi 3 fase, yaitu : hemostasis dan inflamasi,
proliferasi, serta maturasi dan remodeling. Fasefase ini akan terjadi saling tumpang tindih
(overlapping), dan berlangsung sejak terjadi luka
sampai tercapainya resolusi luka. Semua luka harus
melewati proses selular dan biokimia yang
berkelanjutan ini, agar tercapai pengembalian
intergritas jaringan yang sempurna.3
Penyembuhan luka dipengaruhi oleh banyak
faktor termasuk jenis obat-obatan yang digunakan.
Penggunaan obat-obatan untuk penyembuhan luka
dapat dilakukan dengan berbagai macam dan jenis,
salah satunya adalah penggunaan obat tradisional.
Penggunaan atau pengobatan secara tradisional
semakin disukai karena pada umumnya kurang
menimbulkan efek samping seperti halnya pada
obat-obatan dari bahan kimia.4,5
Salah satu tanaman yang bisa dijadikan
tumbuhan obat adalah daun pepaya. Tanaman
pepaya (Carica papaya) merupakan tanaman yang
mudah tumbuh di dataran rendah maupun dataran
tinggi, banyak dijumpai di Indonesia sebagai
tanaman kaya manfaat. Tanaman pepaya memiliki
banyak manfaat mulai dari bagian akar, batang,
daun, bunga dan buahnya, yaitu sebagai sumber
vitamin, mineral dan senyawa lainnya untuk
kebugaran tubuh dan berkhasiat obat dalam bidang
kesehatan. Daun yang dimakan langsung setelah
dimasak diyakini memperkuat sekresi empedu, obat
mulas, sariawan, beri-beri, asma, jerawat, obat
cacing kremi, memperbaiki pencernaan serta
menambah nafsu makan.6
Secara tradisional ekstrak daun pepaya
digunakan sebagai pengobatan untuk sakit perut.
Daun muda dapat digunakan untuk pengobatan
demam, penambah nafsu makan, keputihan,
jerawat, menambah air susu, serta mengobati sakit
gigi. Ekstrak pepaya digunakan untuk memerangi
penyakit kanker dalam beberapa dekade terakhir.6
Menurut Indrawati tahun 2008 diketahui
bahwa daun pepaya dapat digunakan untuk

pengobatan gangguan lambung seperti maag dan


masalah pada saluran pencernaan. Hal ini karena
kandungan flavonoid dan fenol yang terdapat dalam
daun pepaya dapat meningkatkan sekresi
prostaglandin di lambung, serta mencegah
pembentukan radikal bebas dan meminimalisir luka
akibat reaksi oksidasi. Jenis fitokimia lain yang
terkandung dalam daun pepaya yaitu saponin yang
berguna untuk memicu pembentukan kolagen yang
berperan dalam proses penyembuhan luka, papain
berguna sebagai antiinflamasi dan antiedema. Daun
pepaya juga mempunyai daya kerja sebagai
antimikroba. Menurut penelitian Januarsih Iwan
dan Nur Atik tahun 2010, pemberian ekstrak daun
pepaya dapat mempercepat regenerasi epidermis
dan granulasi jaringan pada luka sayat kulit mencit
(Mus musculus).3,7
Pepaya banyak mengandung substansi penting
untuk tubuh, diantaranya vitamin C dan E, serta
beta karoten yang berfungsi sebagai antioksidan
yang dapat menetralisir radikal bebas hasil
fagositosis neutrofil terhadap debris dan bakteri
pada proses penyembuhan luka (proses respiratory
burst).3 Daun pepaya yang dilarutkan dengan etanol
efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif
yang optimal sebagai obat penyembuh luka, serta
tidak mudah ditumbuhi jamur. Ekstrak etanol daun
pepaya sebagai obat luka dibuat dalam bentuk gel
akan mempermudah dalam pemakaiannya sehingga
pengobatan lebih efektif.8 Berdasarkan latar
belakang diatas, maka dilakukan penelitian untuk
mengetahui efektivitas ekstrak etanol daun pepaya
(Carica papaya) 100% dalam mempercepat
penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.
Penelitian ini adalah penelitian pendahuluan yang
nantinya diharapkan ekstrak etanol daun pepaya
100% dapat menjadi obat topikal untuk
menyembuhkan luka pada mukosa mulut.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini merupakan eksperimental
murni (true experimental) dengan rancangan post
test-only with control design. Penelitian ini
menggunakan daun pepaya, etanol 70 %, bahan
anastesi (eter), povidone idodine dan hewan coba
mencit jantan galur Balb-C sebanyak 27 ekor
mencit berumur 2-2,5 bulan dengan berat badan 2035 gram, yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu
kelompok kontrol positif, kontrol negatif, dan
kelompok perlakuan. Setiap perlakuan terdiri dari 9
mencit.
Prosedur penelitian diawali dengan
pengambilan daun pepaya dan pembuatan simplisia.

164

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 165
- 166

Daun pepaya dicuci hingga bersih, kemudian


diangin-anginkan sampai kering, dan dihaluskan
dengan mesin penggiling. Tahap selanjutnya adalah
pembuatan ekstrak daun pepaya. Serbuk daun
pepaya sebanyak 100 gram dimasukkan wadah
berwarna gelap, ditambah etanol 70% sebanyak 750
ml aduk hingga homogen, tutup segera kemudian
disimpan dalam ruangan yang terhindar dari cahaya
matahari selama 5 hari dan sering kali dikocok.
Rendaman tersebut disaring dengan kain flanel,
ampas dicuci dengan pelarut sampai volume 750
ml. Hasil dipekatkan dengan vakum evaporator
sampai didapat ekstrak kental.
Setelah pembuatan ekstrak selesai, hewan
coba diadaptasikan selama 1 minggu dalam suasana
laboratorium. Mencit dikumpulkan dalam satu
kandang dan di ambil secara random menjadi 3
kelompok kemudian diberi nomor sesuai
kelompoknya. Anastesi dilakukan menggunakan
eter. Bulu di sekitar mukosa mulut mencit dicukur,
kemudian dilakukan insisi sepanjang 5 mm dan
dalam 1 mm pada bagian mukosa mencit dengan
menggunakan scalpel steril. Setiap kelompok diberi
perlakuan sebagai berikut:
Kelompok 1 : Kelompok kontrol negatif, luka sayat
pada mukosa tidak diberikan apapun.
Kelompok 2 : Kelompok perlakuan, luka sayat pada
mukosa diberi ekstrak etanol daun pepaya 100%.
Kelompok 3: Kelompok kontrol positif, luka sayat
pada mukosa diberi povidone iodine. Perawatan
luka dan pemberian perlakuan dilakukan setiap hari
satu kali, sekitar jam 10.00 WITA sampai luka
sembuh.

Gambar 2 Diagram Waktu Penyembuhan Luka pada


Mukosa Mulut Mencit (Mus musculus)
Diberikan Ekstrak Etanol Daun Pepaya 100%

Berdasarkan Gambar di atas terlihat bahwa


rata-rata waktu penyembuhan luka pada kelompok
kontrol negatif 12,3 hari, kelompok perlakuan 7,6
hari, dan kelompok kontrol positif 9,5 hari. Data
tersebut selanjutnya diolah menggunakan uji
statistik. Data yang diperoleh diuji normalitas

Mencit
MencitkekeMencit keGambar 2 Diagram Rata-rata Waktu Penyembuhan
Luka pada
Mukosa Mulut
(Mus musculus)
Gambar
1 Diagram
WaktuMencit
Penyembuhan
Luka yang
pada
DiberikanMukosa
Ekstrak Mulut
Etanol Mencit
Daun Pepaya
100%
(Mus musculus)
yang
Tidak Diberikan Perlakuan (Kontrol Negatif)

Mencit ke-

menggunakan uji Shapiro Wilk didapatkan nilai


untuk kelompok kontrol negatif (tidak diberikan
apapun) p=0,004, kelompok perlakuan (diberikan
ekstrak etanol daun pepaya 100%) p=0,364, dan

HASIL PENELITIAN
Diagram hasil penelitian tentang efektivitas
ekstrak etanol daun pepaya (Carica papaya) 100%
terhadap waktu penyembuhan luka dapat dilihat
pada Gambar.

kelompok kontrol positif (diberikan povidone


iodine) p=0,100. Nilai homogenitas menggunakan
Levenes test dari semua kelompok p=0,029. Dapat
disimpulkan bahwa data pada kelompok kontrol
negatif tidak normal dan data pada semua

166
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya

kelompok tidak homogen (p<0,05). Dilakukan uji


non parametrik Kruskal Wallis untuk mengetahui
apakah data tersebut terdapat perbedaan, dan
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney untuk
mengetahui kelompok mana yang menunjukkan
perbedaan bermakna dengan tingkat kepercayaan
95%. Hasil uji Kruskal Wallis terdapat perbedaan
yang bermakna dengan nilai signifikansi 0,001
(p<0,05).
Pada uji Mann Whitney kelompok perlakuan
dan kontrol negatif terdapat perbedaan bermakna
dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang artinya ekstrak
etanol daun pepaya 100% dapat mempercepat
penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit
secara in vivo. Hasil uji statistik kelompok
perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol
positif tidak terdapat perbedaan yang bermakna
dengan nilai p=0,135 (p>0,05) yang artinya ekstrak
etanol daun pepaya 100% sebanding dengan
povidone iodine yaitu obat yang dapat mempercapat
penyembuhan luka yang beredar di masyarakat.
Hasil uji statistik kelompok kontrol negatif
dibandingkan dengan kelompok kontrol positif nilai
p=0,000 (p<0,05) sehingga dapat disimpulkan
povidone iodine dapat pula mempercepat
penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

PEMBAHASAN
Penyembuhan luka pada kelompok kontrol
negatif berlangsung lebih lama daripada kelompok
perlakuan (diberikan ekstrak etanol daun pepaya
100%) dan kelompok kontrol positif (diberikan
povidone iodine). Hal ini terjadi karena proses
penyembuhan pada kelompok kontrol negatif
berlangsung secara alami. Penyembuhan pada
kelompok kelompok perlakuan (diberikan ekstrak
etanol daun pepaya 100%) lebih cepat
dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena daun
pepaya mengandung saponin, flavonoid, fenol, dan
papain.
Penyembuhan luka secara fisiologis terbagi ke
dalam tiga fase, yakni fase respon inflamasi,
proliferasi, dan maturasi. Penyembuhan luka pada
kelompok kontrol negatif berawal dari fase
inflamasi yang terjadi segera setelah luka dan
berakhir 3-4 hari, daerah luka tampak merah dan
sedikit bengkak. Ada dua proses utama yang terjadi
pada fase ini yaitu hematom (penghentian
perdarahan) dan fagositosis (makrofag menelan
mikroorganisme dan sel debris). Fase berikutnya
adalah fase proliferasi (regenerasi) yang
berlangsung dari hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21
setelah pembedahan. Fibroblas (menghubungkan
sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka
mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Diawali
dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar

165
yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah
terjadinya luka. Kolagen dapat menambah kekuatan
permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka
terbuka.9
Mekanisme saponin dalam menyembuhkan
luka adalah memacu pembentukan kolagen, yaitu
struktur protein yang berperan dalam proses
penyembuhan
luka.
Flavonoid
merupakan
antimikroba yang mampu membentuk senyawa
kompleks dengan protein ekstraseluler terlarut serta
dinding sel mikroba. Flavonoid bersifat anti
inflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan
serta membantu mengurangi rasa sakit, bila terjadi
pendarahan atau pembengkakan pada luka. Selain
itu, flavonoid bersifat antibakteri dan antioksidan
serta mampu meningkatkan kerja sistem imun
karena leukosit sebagai pemakan antigen lebih
cepat dihasilkan dan sistem limfoid lebih cepat
diaktifkan. Senyawa fenol memiliki kemampuan
untuk membentuk senyawa kompleks dengan
protein melalui ikatan hidrogen, sehingga dapat
merusak membran sel bakteri. Enzim papain
memiliki efek antiinflamasi dan analgetik dengan
cara menetralisir mediator inflamasi seperti kinin
dan prostaglandin sehingga menghambat secara
langsung pada reseptor nyeri.3,10
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Erna
Septiningsih (2008) menyatakan bahwa gel ekstrak
etanol daun pepaya efektif menyembuhkan luka
bakar pada kulit punggung kelinci New Zealand.
Penelitian lain dilakukan oleh Januarsih Iwan dan
Nur Atik (2010) yang menyatakan bahwa
pemberian ekstrak daun pepaya dapat mempercepat
regenerasi epidermis dan granulasi jaringan pada
luka sayat kulit mencit (Mus musculus).
Penyembuhan luka pada kelompok positif lebih
cepat dibandingkan kelompok kontrol negatif dan
hampir sama dengan kelompok perlakuan.
Penelitian ini menggunakan kelompok kontrol
positif (luka insisi diobati dengan povidone iodine)
dimaksudkan untuk menunjukan hasil kesembuhan
yang positif dengan menggunakan produk paten
yang umum digunakan sebagai obat luka. Povidone
iodine merupakan penggabungan senyawa yodium
dengan
polivinil
pirolidon
(PVP)
untuk
menghasilkan povidon-yodium yang digunakan
secara luas untuk antiseptik. Persenyawaan ini
merupakan zat antibakteri lokal yang efektif tidak
hanya untuk bakteri tetapi juga spora dan dapat
digunakan pada perawatan topikal dan sistemik.
Penggunaan zat povidone iodine sangat efektif
untuk mematikan mikroba, akan tetapi di sisi lain
akan menimbulkan iritasi pada luka karena zat-zat
yang terkandung dalam bahan antiseptik akan
dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena
komponen dan susunannya berbeda dengan sel-sel
tubuh.11
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak
etanol daun pepaya 100% efektif mempercepat
penyembuhan luka pada mukosa mulut mencit.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 162 167
- 166

166

Perlu adanya penelitian lebih lanjut dari ekstrak


etanol daun pepaya untuk melihat penyembuhan
lukanya secara histopatologi dan penelitian lain
perlu dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya
efek toksik dari daun pepaya.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.

3.

4.

5.

Sjamsuhidayat R dan Wim DJ. Buku ajar ilmu


bedah. Ed 3. Jakarta : EGC, 2010. hal : 95-120.
Ismardianita E, Soebijanto dan Sutrisno.
Pengaruh kuretase terhadap penyembuhan luka
pasca pencabutan gigi kajian histologi pada
tikus galur wistar. Dentika Dental Jurnal 2003;
8 (2):75-80.
Iwan J dan Nur A. Perbandingan pemberian
topikal aqueous leaf extract of Carica papaya
(ALEC) dan madu khaula terhadap percepatan
penyembuhan luka sayat pada kulit mencit
(Mus musculus). Majalah Kedokteran Bandung
2010; 42 (2): 77.
Priosoeryono BP, Nalia P, Adinda RL,
Vetnizah J, Ietje W, Bayu FR and Risa T. The
effect of Ambon banana stem sap (Musa
paradisiacal forma typical) on the acceleration
of wound healing process in mice (Mus
musculus albinus). Journal of Agriculture and
Rural Development in the Tropics and
Subtropics 2008: 36-39.
Haryanto D, Rosye HRT dan Konstantina
MBK. Pemanfaatan tumbuhan obat masyarakat
Marind yang bermukim di Taman Nasional
Wasur, Merauke. Jurnal Biologi Papua 2009; 1
(2): 59.

6.

Sudjatinah, Wibowo CH dan Widiyaningrum


P. Pengaruh pemberian ekstrak daun pepaya
terhadap tampilan produksi ayam broiler (the
effect of papain extract on the broiler
performance). J.Indon. Trop. Anim. Agric
2005; 30 (4): 225.
7. Indrawati Y dan Kosasih P. Telaah fitokimia
bunga pepaya gantung (Carica Papaya L) dan
uji aktivitas antioksidannya. Tesis. Bandung:
Institut Teknologi Bandung. 2002. Hal. 49.
8. Septiningsih E. Efek penyembuhan luka bakar
ekstrak etanol 70% daun pepaya (Carica
papaya) dalam sediaan gel pada kulit
punggung kelinci New Zealand. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2008.
hal. 7-9.
9. Morison MJ. Manajemen luka. Jakarta : EGC,
2003. hal. 131.
10. Haryani A, Roffi G, Ibnu DB dan Ayi S. Uji
efektivitas daun pepaya (Carica papaya) untuk
pengobatan infeksi bakteri Aeromonas
hydrophila pada ikan mas koki (Carassius
auratus). Jurnal Perikanan dan Kelautan 2012;
3 (3); 218.
11. Sunil KP, Raja BP, Jagadish RG, and Uttam A.
Povidone Iodine-Revisited. IJDA 2011; 3(3);
617-620.

168
Ruswanti : Efektivitas Ekstrak Etanol Daun Pepaya

167

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
EFEKTIVITAS PENGGUNAAN INFUSUM DAUN SIRIH (Piper betle Linn) 50% DAN 100%
SEBAGAI OBAT KUMUR TERHADAP PENINGKATAN
pH DAN VOLUME SALIVA
Tinjauan pada Mahasiswa PSKG FK Unlam Banjarmasin Angkatan 2011-2012

Dea Raissa Pratiwi, Deby Kania Tri Putri, Siti Kaidah


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Betel leaves infusion has antibacterial contents such chavichol, fatty acids, and fatty acid
hydroxyl, so it can increase the pH of saliva. It can also increase the volume of saliva because it has a bitter
taste that will chemically stimulate salivary secretion. Purpose: The purpose of this study was to know the
differences of the effectiveness of using betel leaves infusion 50% and 100% as a mouthwash of increase in the
pH and volume of saliva. Methods: This study used a quasi-experimental method with pre-post test control
group design and statistical test Kruskal-Wallis and Mann Whitney. The treatment was given to 3 groups, the
group that rinsing with betel leaves infusion 50%, the group that rinsing with betel leaf infusion 100%, and the
control group. Saliva was collected before and after treatment in a container pot for 5 minutes. Results: The
results showed no significant differences between 3 treatment groups in increasing the pH of saliva (p=0,200),
but there were significant differences between 3 treatment groups in increasing the volume of saliva (p=0,042).
The results of Mann Whitney test showed betel leaves infusion 50% was increasing the volume of saliva
(p=0,025), and betel leaves infusion 100% was increasing the volume of saliva (p=0,405). Conclusion: It can be
concluded that there was not an increase in the pH of saliva in the group that rinsing with betel leaves infusion
50% and 100% in the fifth minute, and there was an increase in the volume of saliva in the group that rinsing
with betel leaves infusion 50%.

Keywords: Betel leaves infusion (Piper betle Linn) 50%, betel leaves infusion (Piper betle Linn) 100%,
mouthwash, pH of saliva, volume of saliva

ABSTRAK
Latar Belakang: Infusum daun sirih memiliki kandungan yang bersifat antibakteri seperti chavichol,
asam lemak, dan asam lemak hidroksil, sehingga dapat meningkatkan pH saliva. Infusum daun sirih juga dapat
meningkatkan volume saliva karena meliliki rasa pahit yang secara kimiawi akan merangsang sekresi saliva.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan efektivitas penggunaan air rebusan daun
sirih 50% dan 100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH dan volume saliva. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode quasi experimental dengan pre-post test control group design dan uji statistik Kruskal
Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney. Perlakuan diberikan pada 3 kelompok, yaitu kelompok yang
berkumur dengan infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan
kelompok kontrol. Saliva dikumpulkan sebelum dan sesudah perlakuan pada pot penampung selama 5 menit.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam
meningkatkan pH saliva (p=0,200), tetapi terdapat perbedaan bermakna antara 3 kelompok perlakuan dalam
meningkatkan volume saliva (p=0,042). Hasil uji Mann Whitney menunjukkan infusum daun sirih 50% dapat
meningkatkan volume saliva (p=0,025), sedangkan infusum daun sirih 100% tidak dapat meningkatkan volume
saliva (p=0,405). Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat peningkatan pH saliva pada kelompok
yang berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun 100% pada menit kelima, dan terdapat peningkatan
volume saliva pada kelompok yang berkumur dengan infusum daun sirih 50%.

168

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 169
- 173

Kata kunci: Infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50%, infusum daun sirih (Piper betle Linn) 100%, obat
kumur, pH saliva, volume saliva
Korespondensi: Dea Raissa Pratiwi, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B Banjarmasin, Kalsel, email: raissadea12@gmail.com

PENDAHULUAN
Masalah kesehatan gigi dan mulut di
Indonesia sampai saat ini merupakan masalah
klasik, ini ditandai dengan angka prevalensi karies
gigi dan penyakit periodontal yang masih tetap
tinggi.1 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 di bidang kesehatan gigi dan mulut,
prevalensi penduduk yang mempunyai masalah
gigi-mulut adalah 23,4%, prevalensi nasional karies
aktif 43,4%, dan prevalensi pengalaman karies
67,2%. Dari penduduk yang mempunyai masalah
gigi dan mulut terdapat 29,6% yang menerima
perawatan atau pengobatan dari tenaga kesehatan
gigi. Jenis perawatan yang paling banyak diterima
penduduk yang mengalami masalah gigi dan mulut
yaitu pengobatan (87,6%), disusul penambalan,
pencabutan, dan bedah gigi (38,5%).2
Saliva merupakan salah satu komponen yang
memiliki arti yang penting bagi kesehatan gigi dan
mulut. Saliva tidak hanya membantu proses
pengunyahan, tetapi juga berperan sebagai
pelindung multidimensional dan saliva dapat
dijadikan bahan informasi untuk tingkat cairan
jaringan sesudah minum obat, status emosional,
status hormon, status immunologi, status neurologi,
status nutrisi, dan pengaruh metabolisme. Saliva
dapat dijadikan suatu media dalam mendiagnostik
dalam bidang kedokteran gigi.3,4
Saliva adalah cairan eksokrin yang terdiri
dari 99% air, berbagai elektrolit yaitu sodium,
potasium, kalsium, kloride, magnesium, bikarbonat,
fosfat, dan terdiri dari protein yang berperan
sebagai enzim, immunoglobulin, antimikroba,
glikoprotein mukosa, albumin, polipeptida, dan
oligopeptida yang berperan dalam menjaga
kesehatan rongga mulut.4,5 Saliva sebagai penjaga
keseimbangan ekosistem rongga mulut, memiliki
beberapa peranan diantaranya sebagai protektor,
menjaga keseimbangan
buffer, memelihara
integritas gigi, sebagai antimikroba, memelihara
mukosa, membantu sistem pencernaan, menjaga
oral hygiene, membantu proses bicara, membantu
keseimbangan cairan, dan sebagai pengecap rasa.6
Salah satu peran saliva adalah menjaga
keseimbangan buffer di dalam rongga mulut.
Kapasitas buffer saliva membantu melindungi gigi
dari terjadinya proses demineralisasi enamel yang
dapat disebabkan karena pH saliva yang rendah
akibat produksi asam bakteri selama metabolisme
karbohidrat berlangsung.7

Peningkatan dan pengurangan aliran saliva


dapat memberi efek pada kesehatan rongga mulut
dan kesehatan organ tubuh yang lain. Aliran saliva
dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan
gigi dan juga menaikkan tingkat pembersihan
karbohidrat dari rongga mulut. Pengurangan
volume saliva dapat menyebabkan xerostomia,
susah menelan, iritasi, dan kekeringan pada mukosa
mulut serta angular cheilitis.7,8
Berkumur dengan zat tertentu dapat
merangsang laju aliran saliva secara mekanis dan
kimiawi sehingga mampu mencegah karies melalui
efek buffer saliva dan proses remineralisasi, yaitu
proses alami ketika mineral inorganik dalam saliva
terakumulasi pada daerah yang mengalami disolusi
enamel dan menggantikan mineral yang hilang dari
gigi.9,10 Daun sirih (Piper betle Linn) adalah salah
satu jenis tanaman obat yang sering digunakan
untuk berkumur. Rasa pahit yang dimiliki daun
sirih merupakan salah satu rangsang kimiawi yang
akan merangsang sekresi saliva.11 Berkumur
dengan daun sirih dapat meningkatkan volume
saliva karena adanya stimulasi mekanis dan kimia
yang terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari
gerakan berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa
pahit.13 Belum ada penelitian tentang berkumur
dengan air rebusan daun sirih terhadap perubahan
volume saliva.
Ekstrak daun sirih melalui beberapa
penelitian terdahulu terbukti dapat bersifat
antibakteri,
antioksidan,
dan
antifungi.12,14
Beberapa literatur juga menyebutkan bahwa daun
sirih dapat menahan perdarahan, menyembuhkan
luka, menguatkan gigi, dan membersihkan
tenggorokan.15 Hidayaningtias (2008) dalam
penelitiannya, pada konsentrasi 100% dan waktu
kontak 30 detik, sirih memberi efek antibakteri
yang optimal terhadap S. mutans, bakteri penyebab
karies.16 Pada penelitian lain yang dilakukan oleh
Firdausi (2011), penggunaan infusum daun sirih
konsentrasi 50% sebagai obat kumur dapat
mempercepat terjadinya peningkatan pH saliva
setelah mengkonsumsi karbohidrat.17 Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan
efektivitas penggunaan infusum daun sirih 50% dan
100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan pH
dan volume saliva.

170 : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih


Pratiwi
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan metode quasi
eksperimental dengan rancangan pre-post test
control group design. Sampel diambil dengan
teknik purposive sampling. Populasi dalam
penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi
Kedokteran Gigi Unlam angkatan 2011-2012
Banjarmasin yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi yaitu keadaan umum dan mulut relatif
baik, bersedia menjadi sampel penelitian, tidak ada
gigi yang karies, tidak ada kalkulus, tidak merokok,
tidak menggunakan alat protesa atau ortodontik,
tidak mengkonsumsi alkohol, tidak mengkonsumsi
obat-obatan, bukan penderita sjogren syndrome,
tidak menerima terapi radiasi kanker kepala-leher,
dan tidak menderita penyakit sistemik atau
periodontal yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian. Besar sampel diambil menurut pakar
metodologi Gay dan Diehl (1992) dalam Kasjono
dan Yasril (2009) yang menyatakan bahwa sampel
untuk penelitian eksperimental adalah 15 orang
setiap kelompok. Pada penelitian ini terdapat 3
kelompok sehingga jumlah sampel adalah 45
orang.18
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain pot penampung infusum daun sirih
(Piper betle Linn), set penangas air, kompor,
saringan, timbangan, gelas ukur, wadah untuk
berkumur, tissue, pH meter, kertas label, jam
tangan/stopwatch, alat tulis, form penelitian,
informed consent, masker, sarung tangan,
diagnostic set, dan nierbekken. Bahan yang
digunakan
adalah
saliva
sebagai
bahan
pemeriksaan, infusum daun sirih konsentrasi 50%
dan 100%, dan aquades. Infusum daun Sirih yang
digunakan pada penelitian ini merupakan
modifikasi dari metode Firdausi (2011), dibuat
dengan metode dan takaran yang sama dan
diaplikasikan sesegera mungkin setelah pembuatan
agar tidak teroksidasi.17
Cara pembuatan infusum daun sirih yaitu
sebanyak 150 gram daun sirih yang sudah dicuci
bersih dirajang dan dimasukkan ke dalam wadah
bertutup berupa kaca, porselen, atau panci yang
dicat dan ditambahkan air sebanyak 150 mL.
Wadah ini kemudian dimasukkan ke dalam
penangas air berupa wadah yang lebih besar yang
berisi air yang sedang mendidih di atas kompor.
Waktu 15 menit dihitung sejak panci kecil
dimasukkan ke dalam air mendidih. Cara ini
digunakan untuk mendapatkan infusum dengan
konsentrasi 100% dengan volume 150 mL. Cara
tersebut diulang kembali dengan 75 gram daun sirih
dan air sebanyak 150 mL untuk mendapatkan
infusum dengan konsentrasi 50% dengan volume
150 mL. Jika volume yang didapat setelah
pemanasan kurang dari 150 mL, dapat ditambahkan
air panas. Sediaan kemudian diletakkan dalam pot

169
penampung bertutup dan dibiarkan dingin dalam
suhu ruangan.17
Subjek diinstruksikan untuk tidak menyikat
gigi dan makan atau minum selama 1 jam sebelum
penelitian. Metode pengumpulan saliva yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode
passive drool, yaitu dengan cara mengalirkan saliva
secara pasif dari mulut ke dalam pot penampung
saliva. Metode ini adalah metode yang paling
efektif,
sering
digunakan
dan
sangat
direkomendasikan karena telah diterima oleh
banyak peneliti. Responden diminta untuk berdiri
tegak lurus dengan lantai dan tenang. Kepala harus
sedikit menunduk, condong ke depan dan mulut
harus tetap terbuka dan biarkan saliva mengalir
pada pot penampung selama 5 menit. Pada akhir
pengumpulan saliva, sisa saliva pada mulut harus
diludahkan ke dalam pot penampung. Dari pot
penampung, saliva dipindahkan ke gelas ukur yang
telah diberi label (nama subjek) untuk diukur
volume dan pH-nya dan dicatat pada form
penelitian. Volume saliva diukur dalam satuan mL.
Pengukuran pH saliva dilakukan secara langsung
(tanpa pengenceran) dengan pH meter dengan
ketelitian 1 angka di belakang koma.17
Setelah pengambilan data awal, responden
diberikan instruksi tentang perlakuan yang akan
diberikan sesuai kelompok. Kelompok 1 berkumur
dengan infusum daun sirih 50%, kelompok 2
berkumur dengan infusum daun sirih 100%, dan
kelompok kontrol (-) berkumur dengan aquades,
masing-masing sebanyak 10 mL selama 30 detik.
Setelah berkumur, responden diinstruksikan untuk
mengumpulkan saliva kembali dengan metode
passive drool dan dilakukan pengukuran pH dan
volume saliva seperti pada pengambilan data awal.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian Efektivitas Penggunaan
Infusum Daun Sirih (Piper betle Linn) 50% dan
100% sebagai Obat Kumur Terhadap Peningkatan
pH Saliva dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Rata-rata pH Saliva Sebelum dan


Sesudah Berkumur dengan Infusum
Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih
100%, dan pada Kelompok Kontrol

170

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 171
- 173

Berdasarkan data pada Gambar 1 diketahui


bahwa pada kelompok yang berkumur dengan
infusum daun sirih 50% rata-rata pH saliva sebelum
berkumur adalah 6,966 dan sesudah berkumur
adalah 6,680, pada kelompok infusum daun sirih
100% rata-rata pH saliva sebelum berkumur adalah
6,855 dan sesudah berkumur adalah 6,700,
sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata pH
saliva sebelum berkumur adalah 6,960 dan sesudah
berkumur adalah 6,926. Berdasarkan data tersebut
diketahui bahwa terdapat penurunan rata-rata pH
saliva di setiap kelompok.
Data pH saliva semua kelompok perlakuan
dianalisis dengan uji statistik dengan menggunakan
SPSS 16.0 for Windows. Berdasarkan hasil
perhitungan didapatkan data tidak terdistribusi
normal dan tidak homogen, sehingga uji statistik
One Way Anova tidak dapat digunakan, sehingga
digunakan uji alternatif Kruskal-Wallis dengan
derajat kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis
didapatkan hasil p = 0,200 (p > 0,05) yang
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna
antar kelompok perlakuan. Berarti tidak terdapat
perbedaan penurunan pH pada masing-masing
kelompok yang berkumur dengan infusum daun
sirih 50%, kelompok yang berkumur dengan 100%,
maupun dengan kelompok kontrol. Dapat
disimpulkan bahwa infusum daun sirih 50%,
infusum daun sirih 100%, dan kelompok kontrol
memiliki efek yang tidak berbeda dalam
menurunkan pH saliva.
Hasil penelitian efektivitas penggunaan
infusum daun sirih (Piper betle Linn) 50% dan
100% sebagai obat kumur terhadap peningkatan
volume Saliva dapat dilihat pada Gambar 2.

rata volume saliva sebelum berkumur adalah 2,093


mL dan sesudah berkumur adalah 3,126 mL,
sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata volume
saliva sebelum berkumur adalah 2,060 dan sesudah
berkumur adalah 2,220 mL. Berdasarkan data
tersebut diketahui bahwa terdapat peningkatan ratarata volume pada masing-masing kelompok.
Hasil
perhitungan
analisis
statistik,
menunjukkan data tidak terdistribusi normal dan
tidak homogen, sehingga uji statistik One Way
Anova tidak dapat digunakan, sehingga digunakan
uji alternatif Kruskal-Wallis dengan derajat
kepercayaan 95%. Pada uji Kruskal-Wallis,
didapatkan hasil p = 0,042 (p < 0,05) yang berarti
bahwa terdapat salah satu perlakuan yang berbeda
di antara dua kelompok perlakuan. Untuk
mengetahui perlakuan mana yang memiliki
perbedaan, maka dilakukan analisis Mann Whitney.
Berdasarkan hasil uji Mann Whitney,
didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang
bermakna antara kelompok kontrol dengan
kelompok yang berkumur dengan infusum daun
sirih 50% dengan p = 0,025 (p < 0,05). Tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok kontrol dengan kelompok yang berkumur
dengan infusum daun sirih 100% (p = 0,053),
demikian juga antara kelompok yang berkumur
dengan infusum daun sirih 50% dengan kelompok
yang berkumur dengan infusum daun sirih 100% (p
= 0,405). Dapat disimpulkan bahwa berkumur
dengan infusum daun sirih 50% dapat
meningkatkan volume saliva secara signifikan jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol, sedangkan
berkumur dengan infusum daun sirih 100% tidak
dapat meningkatkan volume saliva secara
signifikan jika dibandingkan dengan kelompok
kontrol, meskipun jika dilihat dari nilai rerata
sebelum dan sesudah berkumur terdapat
peningkatan sebanyak 1,0333 mL, namun tidak
terdapat perbedaan peningkatan volume saliva
antara berkumur dengan infusum daun sirih 50%
dengan infusum daun sirih 100%.

PEMBAHASAN

Gambar 2 Rata-rata Volume Saliva Sebelum dan


Sesudah Berkumur dengan Infusum
Daun Sirih 50%, Infusum Daun Sirih
100%, dan pada Kelompok Kontrol
Berdasarkan data pada Gambar 2 diketahui
bahwa pada kelompok yang berkumur dengan
infusum daun sirih 50% rata-rata volume saliva
sebelum berkumur adalah 0,993 mL dan sesudah
berkumur adalah 2,246 mL, pada kelompok yang
berkumur dengan infusum daun sirih 100% rata-

Berdasarkan hasil uji yang telah dilakukan,


maka dapat dipahami bahwa hasil penelitian ini
tidak sesuai dengan hipotesis peneliti karena tidak
terdapat perbedaan bermakna antara ketiga
kelompok yaitu kelompok yang berkumur dengan
infusum daun sirih 50%, kelompok yang berkumur
dengan infusum daun sirih 100%, dan kelompok
kontrol. Dapat dipahami juga bahwa infusum daun
sirih 50% maupun infusum daun sirih 100% belum
terlihat berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva
pada saat dilakukan pengukuran pada menit ke-5.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infusum
daun sirih 50% maupun infusum daun sirih 100%

172
Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih
tidak berpengaruh dalam meningkatkan pH saliva
pada menit ke-5.
Berdasarkan hasil penelitian Firdausi (2011),
penggunaan air rebusan daun sirih konsentrasi 50%
sebagai obat kumur dapat mempercepat terjadinya
peningkatan pH saliva setelah mengkonsumsi
karbohidrat.17 Pada hasil penelitian tersebut, pH
saliva mengalami penurunan pada menit ke-2
setelah perlakuan, kemudian mulai meningkat
kembali pada menit ke-6 hingga menit ke-10. Pada
hasil penelitian Putri (2011) tentang pengaruh
campuran madu dan teh hijau tehadap perubahan
pH saliva anak, pH saliva yang mulai diukur pada
menit ke-1 lebih rendah daripada menit ke 5, 15,
atau ke 30, hal ini menunjukkan bahwa waktu
berperan dalam menentukan besarnya perubahan
pH saliva yang terjadi. pH saliva relatif stabil pada
menit ke-15 karena kapasitas buffer saliva mampu
menetralisir keadaan asam sebagai proses
pemecahan karbohidrat oleh mikroorganisme
maupun asam-asam organik, sedangkan pada menit
ke-30 tampak penurunan pH saliva karena reaksi
kimiawi yang lebih dominan ke arah asam sudah
dapat mempengaruhi aksi buffer saliva.19 Pada
penelitian ini, peneliti hanya mengukur pH saliva
setelah menit ke-5 yaitu setelah pengumpulan
saliva, dan peneliti tidak mengukur pada menitmenit selanjutnya hingga menit ke-10 dimana pada
periode tersebut terjadi peningkatan pH saliva. Pada
penelitian ini pH saliva yang terukur hanya di menit
ke-5 dimana pada periode tersebut pH saliva belum
meningkat secara maksimal. Hal ini dapat terjadi
karena proses kimiawi terkadang memerlukan
waktu yang berbeda-beda dan bervariasi karena
suatu reaksi kimia bisa cepat atau lambat.
Terjadinya penurunan maupun peningkatan pH
saliva yang tergantung pada waktu pengukuran
berkaitan dengan buffer saliva dan perbedaan
kecepatan proses denaturasi serta fermentasi
komponen-komponen dalam saliva.19
Buffer saliva berperan dalam mengatur
keasaman pH rongga mulut. Sistem buffer pada
saliva manusia terdiri dari sistem buffer fosfat,
bikarbonat, dan protein.11 Kapasitas buffer saliva
merupakan faktor penting yang memainkan peran
dalam pemeliharaan pH saliva dan remineralisasi
gigi. Kapasitas buffer berkorelasi dengan laju aliran
saliva, pada saat laju aliran saliva menurun
cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan
meningkatkan resiko perkembangan karies.20
Konsentrasi bikarbonat yang merupakan buffer
penting dalam saliva, tidak konstan tapi bervariasi
menurut laju aliran saliva, seperti pada saliva yang
tidak distimulasi mengandung sedikit bikarbonat,
sedangkan saliva yang distimulasi mengandung
lebih banyak bikarbonat tergantung intensitas
stimulus yang diberikan. Hal ini menyebabkan pH
saliva sangat bergantung pada laju sekresi.11
Peningkatan kecepatan aliran saliva akan
meningkatkan konsentrasi bikarbonat, fosfat, dan

171
kalsium, hal ini dapat menyebabkan pH saliva
meningkat.21 Dalam kondisi fisiologis, kapasitas
buffer saliva akan bekerja dengan ion kalsium dan
fosfat untuk mempertahankan kejenuhan dengan
menjaga pH agar mendekati netral di dalam
lingkungan rongga mulut.11
Setelah mengasup gula yang terkandung
dalam makanan, pH pada plak akan turun dan terus
turun hingga gula dibersihkan dari mulut dan
bakteri yang memproduksi asam ter-buffer.
Besarnya penurunan pH ditentukan oleh jumlah
asam yang diproduksi oleh bakteri dan kapasitas
buffer saliva. Berikut adalah kurva Stephan yang
menunjukkan pengaruh berkumur dengan sukrosa
terhadap pH plak.11

Gambar 3 Kurva Stephan


Berdasarkan kurva Stephan (Gambar 3),
terlepas dari kapasitas buffer saliva, pH plak akan
turun segera setelah berkumur sukrosa hingga di
bawah pH kritis, setelah itu perlahan kembali ke
garis dasar. Penurunan ini terjadi karena plak dapat
membentuk penghalang difusi (diffusion barrier)
yang mencegah difusi sistem buffer saliva kepada
plak. Sistem buffer saliva kemudian dapat
mengatasinya dan pH plak ternetralisir sehingga
dapat meningkat.11 Begitu juga dengan hasil
penelitian ini, berkumur dengan infusum daun sirih
50% dan 100% belum meningkatkan pH saliva
karena waktu pengukurannya hanya di menit ke-5.
Seharusnya dilakukan pengukuran hingga menit ke10 atau lebih agar peningkatan pH saliva dapat
diketahui.
Sedangkan terhadap volume saliva, pada
saat berkumur dengan infusum daun sirih, laju
aliran saliva akan meningkat dengan adanya
stimulus mekanis dan kimiawi. Laju aliran saliva
diatur oleh mekanisme yang kompleks. Saraf
otonom parasimpatis dan simpatis merupakan
faktor primer yang mempengaruhinya, faktor
lainnya adalah stimulus rasa dan taktil pada lidah
dan mukosa mulut. Stimulus pada saraf
parasimpatis akan menyebabkan pelepasan ion-ion
dan air. Sedangkan stimulus pada saraf simpatis
akan menyebabkan pelepasan protein-protein yang
terdapat di dalam sel-sel asinar. Stimulus

172

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 -173
173

propriseptif dari otot-otot mastikasi dan ligamen


periodontal akan mengeksitasi nuklei saliva inferior
dan superior pada otak yang juga dipengaruhi oleh
korteks serebri, sehingga sekresi saliva dapat
meningkat.22
Peningkatan volume saliva yang terjadi
sesuai dengan pernyataan Nirmaladewi (2011),
yaitu berkumur dengan zat yang memiliki rasa pahit
dan sepat seperti yang dimiliki daun sirih dapat
meningkatkan volume saliva. Hal ini disebabkan
karena stimulasi mekanis dan stimulasi kimia yang
terjadi. Stimulasi mekanis didapat dari gerakan
berkumur dan stimulasi kimia berupa rasa pahit dari
infusum daun sirih yang merangsang sistem saraf
pusat sehingga laju aliran saliva meningkat.13
Hartoyo (2003) menyatakan bahwa infusum
daun sirih memiliki kandungan senyawa polifenol
yang membawa sifat pahit dan sepat, sehingga
semakin tinggi konsentrasi sirih maka semakin
pahit dan sepat.23 Berdasarkan hasil uji Mann
Whitney pada penelitian ini, volume saliva pada
kelompok yang berkumur dengan infusum daun
sirih 100% tidak meningkat secara signifikan jika
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini
kemungkinan dapat disebabkan karena adanya
hubungan antara dosis dengan intensitas efek yang
terlihat sebagai kurva sigmoid dimana pada
pemberian dosis rendah memberikan perubahan
efek yang cepat sedangkan pada pemberian dosis
yang lebih tinggi menyebabkan perubahan efek
yang lambat terhadap peningkatan volume saliva
karena reseptor sirih sudah terikat sebagian besar,
selain itu mungkin karena adanya variasi biologis
yang besar dimana pemberian dosis tertentu
menimbulkan suatu intensitas efek tertentu.24
Keadaan ini juga dapat diakibatkan karena
banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi
kecepatan sekresi saliva. Selain pengecapan sebagai
faktor kimia dan berkumur sebagai faktor mekanis,
kecepatan sekresi saliva dapat juga dipengaruhi
oleh faktor emosi.13 Pusat saliva mengontrol derajat
pengeluaran saliva melalui saraf-saraf otonom yang
mempersarafi kelenjar saliva. Respon simpatis dan
parasimpatis di kelenjar saliva tidak saling
bertentangan. Baik stimulasi simpatis maupun
parasimpatis, keduanya meningkatkan sekresi
saliva, tetapi jumlah, karakteristik, dan mekanisme
yang berperan berbeda. Rangsangan parasimpatis,
yang berperan dominan dalam sekresi saliva,
menyebabkan pengeluaran saliva encer dalam
jumlah besar dan kaya enzim. Stimulasi simpatis, di
pihak lain, menghasilkan volume saliva yang jauh
lebih sedikit dengan konsistensi kental dan kaya
mukus. Karena rangsangan simpatis menyebabkan
sekresi saliva dalam jumlah sedikit, mulut terasa
lebih kering daripada biasanya selama keadaan saat
sistem simpatis dominan, misalnya pada keadaan
stres.22 Nirmaladewi (2011) menambahkan bahwa
pada saat seseorang mengalami stres maka
kecepatan sekresi saliva akan menurun.13 Pada

penelitian ini, faktor emosi tidak dikendalikan,


sehingga adanya gangguan seperti stres pada
responden kemungkinan dapat mempengaruhi
volume saliva.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat
peningkatan pH saliva antara sebelum dan setelah
berkumur dengan infusum daun sirih 50% maupun
dengan infusum daun sirih 100%, terdapat
peningkatan volume saliva antara sebelum dan
setelah berkumur dengan infusum daun sirih 50%,
dan tidak terdapat peningkatan volume saliva antara
sebelum dan setelah berkumur dengan infusum
daun sirih 100% jika dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut tentang pengaruh penggunaan infusum daun
sirih terhadap pH saliva dengan variasi waktu
pengukuran dari menit ke menit dengan rentang
tertentu, agar dapat diketahui peningkatan pH saliva
secara maksimal, serta perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut dengan tingkat konsentrasi infusum
daun sirih <50%, 50%, dan antara 50-100%,
sehingga dapat diketahui konsentrasi infusum daun
sirih yang optimal terhadap peningkatan pH dan
volume saliva.
DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

3.

4.
5.

6.
7.

8.

Badan
Penelitian
dan
Pengembangan
Kesehatan.
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Desember,
2008.
Soelarso H, Roesanto HS, Achmad M. Peran
Komunikasi Interpersonal dalam Pelayanan
Kesehatan Gigi. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.)
JuliSeptember 2005; 38(3): 124129.
Rantonen P. Salivary Flow and Composition
in Healthy and Diseased Adult [Dissertation].
Kuopio, Firland: University of Helsinki, 2003.
p.12.
Hartini E. Serba-serbi ilmu konservasi gigi.
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2005.
p.69-59.
Del P, Maria A, Angela M, Adilson A, Reis L.
Saliva Composition and Function: A
Comprehensive Review. J Contemp Dent
Pract 2008; 9(3): 5-2.
Nanci A. Oral Histology Development,
Structure, and Function. St. Louis: Mosby
Elsevier 2008; 294-290: 316-313.
Pink R, Simek J, Vondrakova J. Saliva As A
Diagnostic Medium. Biomed Pap Med Fac
Univ Palacky Olomouc Czech Repub 2009;
153(2): 103-110.
Soesilo D, Rinna ES, Indeswati D. Peranan
Sorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan
pH Saliva pada Proses Pencegahan Karies.

174
Pratiwi : Efektivitas Penggunaan Infusum Daun Sirih

9.
10.

11.
12.

13.

14.

15.

16.

Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) Januari 2005; 38(1):


2528.
Dawes C. Salivary Flow Patterns and The
Health of Hard and Soft Oral Tissues. JADA
2008; 139(suppl 2): 18S-24S.
Malav PN. Dissolution of Teeth Enamel as a
Result of Oral Microbial Growth. Choose,
Focus, Analyze (CFA) Exercise. Chennai,
India: Department of Biotechnology Indian
Institute of Technology Madras, 2004. p.1-10.
Fejerskov O, Kidd E. Dental Caries: The
Disease and its Clinical Management. 2nd ed.
Carlton: Blackwell Munksgaard, 2003.
Datta A, Ghoshdastidar S, Singh M.
Antimicrobial Property of Piper betel Leaf
against Clinical Isolates of Bacteria. IJPSR
2011; 2(3): 104-109.
Nirmaladewi A, Juni H, Regina T. Status
Saliva dan Gingivitis pada Penderita
Gingivitis
Setelah
Kumur
Epigalocatechingallate (EGCG) dari Ekstrak
The Hijau (Camellia sinensis). Traditional
Medicine Journal 2011; 12(Issue 40): 1-7.
Rahmah N, Aditya RKN. Uji Fungistatik
Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) terhadap
Candida albicans. BIOSCIENTIAE Juli 2010;
7(2): 17-24.
Jenie BSL. Antimicrobial Activity of Piper
betle Linn Extract Towards Food Borne
Pathogens
and
Food
Spoilage
Microorganisms. FT Annual Meeting. New
Orleans: Louisiana, 2001.
Hidayaningtias
P.
Perbandingan
Efek
Antibakteri Air Seduhan Daun Sirih (Piper
betle Linn) terhadap Streptococcus mutans
pada Waktu Kontak dan Konsentrasi yang
Berbeda. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: FK
Undip, 2008.

173

17. Firdausi U. Pengaruh Penggunaan Air

18.
19.

20.

21.

22.
23.
24.

Rebusan Daun Sirih (Piper Betle Linn)


sebagai Obat Kumur terhadap Perubahan pH
Saliva. Skripsi. Surakarta: FK UNS, 2011.
Kasjono HS, Yasril. Teknik Sampling untuk
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009. p.129-130.
Putri DKT. Pengaruh Campuran Madu dan
Teh Hijau terhadap Perubahan Derajat
Keasaman (pH) Saliva Anak (Kajian Secara In
Vitro). Laporan Penelitian. Banjarmasin:
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat,
2011. p.35.
Fenoll-Palomares C, Muoz-Montagud JV,
Sanchiz V, Herreros B, Hernandez V,
Minguez M, et al. Unstimulated Salivary Flow
Rate, pH and Buffer Capacity of Saliva in
Healthy Volunteers. REV ESP ENFERM DIG
(Madrid) 2004; 96: 773-783.
Haroen ER. Pengaruh Stimulus Pengunyahan
dan Pengecapan terhadap Kecepatan Aliran
dan pH saliva. Jurnal Kedokteran Gigi UI
2002; 9: 29-34.
Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Ed.2. Jakarta: EGC, 2001. p.601
606.
Hartoyo A. Teh dan Khasiatnya Bagi
Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius, 2003. p.1519.
Ganiswara SG, Setiabudy, Frans DS,
Purwantyastuti. Farmakologi dan Terapi. Ed.4.
Jakarta: UI Press, 2005. p.207-222.

174

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 167 175
- 173

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
GAMBARAN PERAWATAN SALURAN AKAR GIGI
DI POLI GIGI RSUD ULIN BANJARMASIN

Maya Sagita, Cholil, Deby Kania Tri Putri,


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Root canal treatment (RCT) is a mechanical and chemical treatment procedures that are
biologically acceptable in root canal to eliminate pulp and periradicular disease and also improve health and
repair of periradicular tissues. Purpose: This study aimed to obtain information about RCT based on the
characteristics of age, gender, socioeconomic status and which tooth were often done RCT also the most
respondents reasons who did RCT at dental poly of Regional Public Hospital of Ulin in Banjarmasin. Methods:
This was an observational descriptive study with 100 samples, with purposive sampling method. Data was
collected by interviews and direct observation to patients who did RCT. Results: The results showed the age
group 20-40 years was the most respondents did RCT (67%). Women were more frequently done RCT (65%)
than men (35%). Respondents with lower socioeconomic status was the most respondents who did RCT (41%).
Toothache was the most respondents reason who did RCT (42%). Dental elements which most often performed
RCT were first molar permanent right and left mandibular teeth (13%). Conclusion: Root canal treatment was
most often performed on women in the age group 25-34 years, lower socio-economic status, with toothache
excused at first molar permanent mandibular teeth.
Keywords: root canal treatment, age, gender, socio-economic status
ABSTRAK
Latar belakang: Perawatan saluran akar gigi (PSA) adalah suatu prosedur perawatan mekanis dan
kimiawi yang secara biologis diterima di dalam saluran akar untuk mengeliminasi penyakit pulpa dan
periradikuler serta meningkatkan kesehatan dan perbaikan dari jaringan periradikuler. Tujuan: Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang gambaran PSA berdasarkan karakteristik umur, jenis kelamin,
status sosial ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA serta alasan responden melakukan PSA di poli
gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif observasional dengan jumlah sampel
100 orang, dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan observasi
langsung pada pasien yang melakukan PSA. Hasil: menunjukkan kelompok umur 20-40 tahun merupakan
responden yang paling banyak melakukan PSA (67%). Perempuan lebih sering melakukan PSA (65%) daripada
laki-laki (35%). Responden dengan status sosial ekonomi agak rendah paling banyak melakukan PSA (41%).
Sakit gigi merupakan alasan terbanyak responden melakukan PSA (42%). Elemen gigi yang paling sering
dilakukan PSA adalah gigi molar 1 permanen kanan dan kiri rahang bawah sebagai elemen gigi yang paling
sering dilakukan PSA (13%). Kesimpulan: Perawatan saluran akar paling sering dilakukan pada perempuan
dengan kelompok umur 20-40 tahun, status sosial ekonomi agak rendah, dengan keluhan sakit gigi pada molar 1
permanen rahang bawah.
Kata Kunci: perawatan saluran akar gigi, umur, jenis kelamin, status sosial ekonomi
Korespondensi: Maya Sagita, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarmasin, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, KalSel, email: maya.aya.sagita@gmail.com

175

Sagita
176 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
PENDAHULUAN
Karies merupakan kerusakan jaringan
keras gigi yang disebabkan oleh asam yang ada
dalam
karbohidrat
melalui
perantara
mikroorganisme yang ada dalam saliva.1 Karies
dapat diklasifikasikan berdasarkan kedalaman
permukaan, yaitu karies email (karies superfisial),
karies dentin (karies media) dan karies akar (karies
profunda).2 Menurut Branstrom dan Lind (1965)
serta Langeland (1996), reaksi pulpa dapat terjadi
pada lesi dini karies dentin. Meskipun pulpa belum
terbuka, sel-sel peradangan dapat mengadakan
penetrasi ke pulpa melalui tubulus dentin yang
terbuka sehingga jika karies sudah meluas
mengenai pulpa, itu berarti peradangan sudah
kronis. Penyakit pulpa dapat diklasifikasikan
sebagai pulpitis reversibel dan irreversibel, pulpitis
hiperplastik dan nekrosis.3
Respon iritasi pulpa adalah peradangan
dan jika tidak dirawat akan berkembang menjadi
nekrosis pulpa. Peradangan bisa menyebar ke
tulang alveolar sekitarnya dan menyebabkan
penyakit periapikal. Besarnya masalah yang
berhubungan dengan pulpa tidak boleh dianggap
remeh. Konsekuensi paling serius dari penyakit
pulpa adalah sepsis oral. Jika infeksi menyebar dari
gigi maksilaris, dapat menyebabkan sinusitis
purulen, meningitis, abses otak, selulitis orbital dan
cavernous sinus thrombosis, sebaliknya, jika infeksi
berasal dari gigi mandibula dapat menyebabkan
ludwigs
angina,
abses
parapharyngeal,
mediastinitis, pericarditis, emphysema dan jugular
thrombophlebitis.4
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Nasional
menunjukkan bahwa tahun 2007, Kalimantan
Selatan merupakan provinsi ke-dua dengan
persentase pengalaman karies tertinggi, yaitu
84,7%. Kalimantan Selatan juga merupakan
provinsi dengan indeks kesehatan gigi (DMF-T)
tertinggi yaitu sebesar 6,83 meliputi gigi karies atau
decay (D-T) 1,31, gigi dicabut atau missing (M-T)
5,52 dan gigi ditumpat atau filling (F-T) 0,12.5
Dapat disimpulkan bahwa banyaknya gigi yang
ditumpat lebih sedikit daripada gigi yang missing
atau diindikasi pencabutan. Hal ini membuktikan
bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih
kurang menyadari pentingnya merawat dan
mempertahankan gigi di dalam rongga mulut.6
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
gambaran
perawatan saluran akar gigi di poli gigi
RSUD Ulin Banjarmasin.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif
observasional yang diperoleh dari wawancara dan
observasi langsung pada pasien yang melakukan
perawatan saluran akar gigi. Penelitian ini

merupakan deskriptif observasional dengan jumlah


sampel 100 orang, dengan metode purposive
sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara dan observasi langsung pada pasien
yang melakukan PSA. Penelitian ini dilakukan di
poli gigi RSUD Ulin Banjarmasin. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah alkolhol.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
inform consent, questioner, alat tulis, nier bekken,
kaca mulut, handscoon dan masker.
Penelitian ini diawali dengan meminta
kesediaan pasien yang dilakukan perawatan saluran
akar (PSA) di RSUD Ulin Banjarmasin untuk
menjadi sampel penelitian dengan memberikan
lembar persetujuan (informed consent). Kemudian
subjek penelitian diwawancara oleh peneliti. Tahap
selanjutnya peneliti melakukan observasi secara
langsung gigi yang telah dilakukan PSA.Data yang
didapat dari penelitian ini dikumpulkan dan
dikelompokkan
berdasarkan
tujuan,
yaitu
karakteristik umur, jenis kelamin, status sosial
ekonomi dan jenis gigi yang sering dilakukan PSA
serta alasan responden melakukan PSA di poli gigi
RSUD Ulin Banjarmasin. Data tersebut kemudian
dianalisis dengan statistik deskriptif.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 1
berikut.

Gambar 1.
Gambaran Perawatan Saluran
Akar Gigi (PSA) berdasarkan kelompok
umur
Gambar 1 menunjukkan sampel yang
melakukan PSA di Poli Gigi RSUD Ulin
Banjarmasin paling banyak pada kelompok umur
20-40 tahun (67%), kemudian diikuti kelompok
umur 40-65 tahun (25%), kelompok umur 10-20
tahun (8%) dan lebih dari 65 tahun (0%).
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa yang
paling banyak melakukan PSA adalah kelompok
umur 20-40 tahun (67%), sedangkan yang paling
sedikit adalah kelompok umur lebih dari 65 tahun
(0%).

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 -177
178

176

Gambar 2. Gambaran PSA


kelamin

berdasarkan

jenis

Gambar 2 menunjukkan bahwa responden


yang mendapatkan PSA paling banyak adalah
perempuan sebanyak 65 responden (65%).
Responden laki-laki mendapatkan PSA yaitu 35
responden (35%).

Gambar 4. Gambaran PSA berdasarkan Alasan


Melakukan PSA
Gambar 4 menunjukkan bahwa alasan
terbanyak responden melakukan PSA karena sakit
gigi sebanyak 42 responden (42%). Kemudian
diikuti dengan alasan gigi berlubang (17%), estetik
(11 %), retreatment perawatan saluran akar (9 %),
fraktur (5%), anjuran dokter gigi karena gigi masih
bisa dirawat (5%), takut cabut gigi (4%), penyakit
sistemik (3%), karies sekunder (3%), dan tambalan
lepas (1%).

Gambar 3. Gambaran PSA


Sosial Ekonomi

berdasarkan

Status

Gambar 2. menunjukkan bahwa responden


yang melakukan PSA dengan sosial ekonomi tinggi
adalah 0 responden (0%), menengah ke atas adalah
17 responden (17%), menengah ke bawah 36
responden (36%), agak rendah 41 responden (41%)
dan rendah 6 responden (6%). Berdasarkan data
tersebut diketahui bahwa bahwa responden dengan
sosial ekonomi yang agak rendah merupakan
responden yang paling banyak melakukan PSA
(41%). Tidak ada responden dengan sosial ekonomi
tinggi yang melakukan PSA (0%).

Gambar 5. Elemen Gigi yang dilakukan PSA


Gambar 5 menunjukkan bahwa elemen
gigi terbanyak yang dilakukan PSA adalah gigi
molar 1 kiri bawah dan molar 1 kanan bawah
dengan persentasi 13%, kemudian diikuti gigi

Sagita
178 : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi
molar 2 permanen kiri bawah (11%), molar 1
permanen kiri atas (9%), insisif sentral permanen
kanan atas (7%), insisif sentral permanen kiri atas
(6%), premolar 2 permanen kanan atas, molar 1
permanen kanan atas dan molar 2 permanen kanan
bawah (5%), premolar 1 permanen kanan atas,
molar 2 permanen kanan atas, premolar 1 permanen
kiri bawah, dan premolar 2 permanen kanan bawah
(4%), premolar 2 permanen kiri atas (3%), premolar
1 permanen kiri atas (2%), serta insisif lateral
permanen kanan, insisif lateral permanen kiri atas,
molar 2 permanen kiri atas, insisif lateral permanen
kanan bawah, dan kaninus lateral permanen kanan
bawah (1%). Kaninus permanen atas, insisif sentral
permanen bawah, insisif lateral permanen kiri
bawah, kaninus permanen kiri bawah dan premolar
2 permanen kanan bawah merupakan elemen gigi
yang tidak dilakukan PSA selama penelitian (0%).
PEMBAHASAN
Berdasarkan Gambar 1, diketahui bahwa
yang paling banyak melakukan PSA adalah
kelompok umur 20-40 tahun (67%), sedangkan
yang paling sedikit adalah kelompok umur lebih
dari 65 tahun (0%). Hal ini mungkin disebabkan
karena
berdasarkan
RISKESDAS
Provinsi
Kalimantan Selatan (2007) pada kelompok umur
35-44 tahun rata-rata kehilangan 5,09 gigi dan pada
kelompok umur 65 tahun ke atas rata-rata memiliki
kehilangan 22,73 gigi. Dapat disimpulkan bahwa
pada usia 35 tahun ke atas banyak masyarakat di
Kalimantan Selatan yang mencabut giginya dan
semakin bertambahnya umur, semakin banyak gigi
yang telah dicabut.6 Selain itu, Kalimantan Selatan
merupakan salah satu wilayah yang memiliki
potensi endapan gambut terluas.7 Daerah dengan
potensi endapan gambut memiliki pH air tanah
yang secara umum cenderung asam, yaitu 3-4,5.8
air gambut memiliki pH yang asam yang dapat
meningkatkan demineralisasi, yang nantinya akan
menyebabkan gigi mudah terkena karies karena
tidak seimbangnya proses demineralisasi dan
remineralisasi.9
Berdasarkan Gambar 2 diketahui bahwa
wanita lebih banyak melakukan PSA (65%)
daripada laki-laki (35%). Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian terdahulu oleh Hollanda et al
(2008) di Brazil dan Ahmed et al (2009) di Pakistan
bahwa perempuan lebih banyak melakukan PSA
daripada laki-laki.10,11 Hal ini mungkin terjadi
karena perempuan lebih peduli dengan kesehatan
oral.12 Hal ini didukung juga dengan pernyataan
dari Ambarwati (2012) bahwa perempuan lebih
mengutamakan estetik dibanding laki-laki, sehingga
perempuan sangat memperhatikan kesehatan
giginya.13
Berdasarkan Gambar 3 diketahui bahwa
bahwa responden dengan sosial ekonomi yang agak
rendah merupakan responden yang paling banyak

177
melakukan PSA (41%). Tidak ada responden
dengan sosial ekonomi tinggi yang melakukan PSA
(0%) di poli gigi RSUD Ulin. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Budisuari et al (2010) bahwa status
sosial ekonomi rendah cenderung terkena karies
lebih tinggi yaitu sebesar 1.116 kali dibanding
sosial ekonomi yang lebih tinggi.14
Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa
alasan terbanyak melakukan PSA adalah sakit gigi
(42%) sedangkan yang paling sedikit adalah
tambalan lepas (1%). Hal ini mungkin terjadi
karena umumnya pulpitis irreversibel dan nekrosis
diawali dengan karies gigi. Umumnya karies pada
tahap awal belum menimbulkan rasa sakit, sehingga
pasien tidak merasa perlu untuk ditambal. Bila
dibiarkan terus-menerus tanpa ditambal, proses
dapat berlanjut dan mengenai pulpa sehingga
menyebabkan sakit gigi yang berulang.15
Berdasarkan pernyataan Darwita et al (2010), sakit
gigi menurunkan produktivitas kerja seseorang.
Oleh karena hal tersebut, seseorang dengan sakit
gigi paling banyak melakukan PSA.16
Berdasarkan Gambar 5 diketahui bahwa
elemen gigi yang paling banyak dilakukan PSA
adalah gigi molar 1 permanen kanan rahang bawah
dan molar 1 permanen kiri rahang bawah dengan
persentasi masing-masing 13%, sedangkan elemen
gigi yang selama penelitian tidak ditemukan
dilakukan PSA adalah gigi kaninus permanen
kanan rahang atas, kaninus kiri permanen rahang
atas, kaninus kiri permanen rahang bawah, insisif
sentral permanen kiri rahang bawah, insisif lateral
permanen kiri rahang bawah, insisif sentral
permanen kanan rahang bawah, dan premolar 1
permanen kanan rahang bawah (0%). Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian terdahulu oleh
Ahmed et al (2009) yang menyatakan bahwa molar
merupakan yang paling banyak dilakukan PSA
(54%) dengan persentasi molar 1 permanen rahang
bawah yang paling banyak (21.2%). 11 Demikian
pula hasil penelitian Oglah et al (2011) yang
menyatakan bahwa molar permanen rahang bawah
merupakan gigi yang paling sering dilakukan PSA
(23.01%).17 Berbeda dengan hasil penelitian
Hollanda et al (2008) dan bahwa PSA paling
banyak dilakukan pada gigi premolar dan molar
permanen rahang atas, demikian pula dengan hasil
penelitian Marza dan Ranj (2009) yang menyatakan
bahwa insisif sentral dan premolar 1 permanen
rahang atas yang paling banyak dilakukan PSA.10,18
Hal ini mungkin terjadi karena gigi molar 1
permanen merupakan gigi permanen pertama yang
erupsi sehingga paling lama terpapar dengan
etiologi karies.19 Hal ini didukung dengan
pernyataan bahwa gigi molar merupakan gigi yang
beresiko mengalami karies, terutama fissure dan
permukaan proksimal, dari aspek mesial molar
kedua sampai aspek distal premolar pertama.20
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, PSA di Poli
Gigi RSUD Ulin Banjarmasin paling sering

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 174 179
- 178

178

dilakukan pada perempuan (65%) dengan


kelompok umur 20-40 tahun (67%), status sosial
ekonomi agak rendah (41%), dengan keluhan sakit
gigi (42%) pada molar 1 permanen rahang bawah
(26%).

14.

DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

Samad F. Karies Gigi. Skripsi. Pekanbaru:


FK-UNRI, 2008. P.3.
Bakar A. Kedokteran Gigi Klinis. Yogyakarta:
Quantum Sinergis Media, 2012. P.27.
Tarigan R. Perawatan Pulpa Gigi (Endodonti).
Edisi 2 revisi. Jakarta: EGC, 2006. P.23-27,
35.
Yu C and Abbott PV. An Overview of Dental
Pulp: Its Functions and Responses to Injury.
Australian Dental Journal Endodontic
Supplement 2007; 52 (1 Suppl): S4-S16.
Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS)
2007.
Jakarta:
Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008. P.191.
Depkes RI. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Provinsi Kalimantan
Selatan Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2009. P: 114.
Tjahjono JAE.
Kajian Potensi Endapan
Gambut Indonesia berdasarkan Aspek
Lingkungan. Jakarta: Pusat Sumber Daya
Geologi, 2006. P.4.
Hartatik W, Idris K, Sabiham S, Djuniwati
dan Adiningsih JS. Pengaruh Pemberian
Fosfat Alam dan SP-36 pada Tanah Gambut
yang Diberi Bahan Amelioran Tanah Mineral
terhadap Serapan P dan Efisiensi Pemupukan.
Padang: Universitas Padang, 2004. P. 13.
Prasetyo A. Keasaman Minuman Ringan
Menurunkan Kekerasan Permukaan Gigi. Maj.
Kedokteran Gigi 2005; 38: 2.
Hollanda ACB, Alencar AHG, Esterela CRA,
Bueno MR, and Estrela C. Prevalence of
Endodontically Treated Teeth in a Brazilian
Adult Population. Braz Dent J. 2008; 19(4):
313-317.
Ahmed H, Durr-e-S, and Munawar R.
Frequency and Distribution of Endodontically
Treated Teeth. Journal of the College of
Physicians and Surgeons Pakistan. 2009;
19(10): 605-8.
Nield-Gehrig JS, and Willmann DE.
Foundation of Periodontics for The Dental
Hygienist. Philadelphia: Lippincott Williams
& Wilkins, 2003. P.78.
Ambarwati AW. Persepsi Mengenai Tampilan
Susunan Gigi Anterior dan Kebutuhan
Perawatan Ortodonti (Pada anak usia 9-12

15.

16.

17.

18.

19.

20.

tahun). Skripsi. Makassar: FK UNHAS, 2012.


P.35.
Budisuari MA, Oktarina, dan Mikrajab MA.
Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan
Menyikat Gigi dengan Kesehatan Gigi dan
Mulut (Karies) di Indonesia. Bulletin
Penelitian Sistem Kesehatan. 2010; 13(1): 8391.
Agtini MD, Sintawati dan Murwanto T. Status
Kesehatan Gigi, Performed Treatment Index
dan Required Treatment Index Anak Sekolah
Dasar di Kabupaten Cianjur, Karawang dan
Serang. Media Litbang Kesehatan. 2005;
15(4): 26-33.
Darwita RR, Rahardjo A dan Amalia R.
Penerimaan Guru SDN 03 Senen terhadap
Program Sikat Gigi Bersama di Dalam Kelas
pada Murid Kelas 1 dan 2. Cakradonya Dent
J. 2010; 2(2): 159-250.
Oglah FS, Baidda MZ and Gholam MK.
Evaluation of Endodontic Treatment in Three
Specialized Private Clinics in Baghdad
(Retrospective Study). Mustansiria Dental
Jounal. 2011; 8(3): 233-236.
Marza RSA and Ranj AB. Prevalence and
Technical Quality of Root Canal Treatment in
Sulaimani
Patiens
(A
Radiographic
Evaluation). J Bagh College Dentistry. 2009;
21(2): 54.
Demiburga S, Tuncay O, Cantekin K,
Cayabatmaz M, Dincer AN, Kilinc HI and
Sekerci AE. Frequency and Distribution of
Early Tooth Loss and Endodontics Treatments
Need of Permanent First Molars in a Turkish
Pediatric Population. Eur J Dent. 2013; 7(1):
S99-104.
Axelsson Per. Diagnosis and Risk Prediction
of Dental Caries. London: Quintessence
Publishing Co. Inc, 2000. P.23.

180
Sagita : Gambaran Perawatan Saluran Akar Gigi

179

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
PERBANDINGAN EFEKTIFITAS OBAT KUMUR BEBAS ALKOHOL YANG MENGANDUNG
CETYLPYRIDINIUM CHLORIDE DENGAN CHLORHEXIDINE TERHADAP PENURUNAN PLAK
Tinjauan pada Mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin Angkatan 2010-2012

Dian Novita Sari, Cholil, Bayu Indra Sukmana


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Mouthwash is solution used to clean the mouth, prevent dental caries and periodontal
diseases. Chlorhexidine (CHX) is potential material in inhibiting plaque, buts long-term use may be harmful
because it contains alcohol and can cause discoloration of teeth and restorations. Cetylpyridinium chloride
(CPC) is materials that inhibit plaque effectively without alcohol and has lower side effect. Purpose: This study
aimed to determine differences on the effectiveness of the use of mouthwash containing CPC compared with
CHX to decrease plaque. Methods: This study used a quasi-experimental with pretest-posttest control group
design with 60 subjects. The study on plaque index was conducted twice, initial check up and two weeks after the
treatment. This study used a disclosing agent with Quigley and Hein method by Turkesky, Gilmore, and
Glickman.Results: The study results indicated that the average reduction in plaque index of the group taking
CPC mouthwash before and after treatment was 1.25 and down to 0.63 respectively, and the group taking the
CHX mouthwash was 1.22 and down to 0.44 respectively. The result of effectiveness test in each group before
and after treatment with paired t-test was p=0,000. The test of plaque reduction between the groups with the
Mann-Whitney test showed that p=0.129. Conclusion: It could be concluded that both mouthwashes were
effective in reducing plaque index after used for 2 weeks twice a day and there was no significant difference.
Cetylpyridinium Chloride mouthwash could be used as an alternative of Chlorhexidine mouthwash to inhibit
plaque.
Keywords: Mouthwash, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), dental plaque.

ABSTRAK
Latar belakang: Obat kumur adalah larutan yang digunakan untuk membersihkan rongga mulut,
mencegah karies gigi dan penyakit periodontal. Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan yang potensial dalam
menghambat plak, namun penggunaan jangka panjang dapat berdampak buruk karena mengandung alkohol
dan dapat mewarnai gigi dan restorasi. Cetylpyridinium Chloride (CPC) bahan yang efektif menghambat plak
tanpa alkohol dan efek samping lebih rendah. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan
efektifitas penggunaan obat kumur yang mengandung CPC dibandingkan dengan CHX terhadap penurunan
plak. Metode: Penelitian ini menggunakan metode quasi eksperimental dengan rancangan pretest-posttest
control group design dengan jumlah sampel 60 orang. Penelitian terhadap indeks plak dilakukan sebanyak 2
kali, yaitu pemeriksaan awal dan 2 minggu setelah perlakuan. Penelitian ini menggunakan disclosing agent
dengan metode Quigley dan Hein yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan Glickman untuk mengukur
indeks plak. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penurunan indeks plak kelompok yang mengonsumsi
obat kumur CPC sebelum sebesar 1,25 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,63. Pada kelompok mengonsumsi
obat kumur CHX sebelum sebesar 1,22 dan setelah perlakuan turun menjadi 0,44. Uji efektivitas setiap
kelompok sebelum sesudah dengan menggunakan t-test berpasangan dengan nilai p sebesar 0,000. Uji
penurunan plak antar kelompok menggunakan uji Mann-Whitney dengan nilai p sebesar 0,129. Kesimpulan:

180

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 181
- 183

Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa kedua obat kumur tersebut efektif dalam
menurunkan indeks plak setelah pengguunaan selama 2 minggu 2 kali sehari dan tidak ada perbedaan yang
bermakna, serta obat kumur CPC dapat dijadikan alternatif dari obat kumur CHX untuk menghambat plak.
Kata-kata kunci: Obat kumur, Cetylpyridinium Chloride (CPC), Chlorhexidine (CHX), plak gigi.
Korespondensi: Dian Novita Sari, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin, Kalsel, email : dian_nv@ymail.com

PENDAHULUAN
Karies merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh interaksi antara bakteri plak, diet,
keadaan gigi-geligi dan waktu. Plak merupakan
salah satu penyebab dari karies gigi dan penyakit
periodontal. Plak didominasi oleh bakteri
Streptococcus Mutans dan Lactobacillus.1 Upaya
pencegahan karies dan penyakit periodontal dapat
dilakukan dengan peningkatan kesehatan gigi dan
mulut, salah satu caranya dengan mencegah
pembentukan plak dan pembersihan plak secara
teratur.2
Plak merupakan salah satu deposit lunak
berwarna putih keabu-abuan atau kuning yang
melekat erat pada permukaan gigi.3,4 Plak dapat
terbentuk setelah satu atau dua hari tanpa tindakan
kebersihan mulut.3 Plak biasanya mulai terbentuk
pada sepertiga permukaan gingiva dan pada
permukaan gigi yang cacat dan kasar.5
Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara
mekanis yaitu menyikat gigi dan penggunaan obat
kumur.1
Penggunaan obat kumur dalam kontrol
plak sehari-hari ditujukan sebagai tambahan dalam
penyingkiran plak secara mekanis tersebut. Hal ini
disebabkan berkumur dengan obat kumur dapat
mencapai lebih banyak permukaan-permukaan dari
rongga mulut.6 Pada umumnya obat kumur
mengandung 5-25% alkohol. Alkohol dimasukkan
dalam obat kumur untuk beberapa kegunaan, antara
lain sebagai antiseptik, memperpanjang masa
simpan obat kumur, mencegah pencemaran
mikroorganisme, dan pelarut.6 Namun kandungan
alkohol dalam obat kumur ini menyebabkan
individu-individu tertentu tidak dapat menggunakan
obat kumur yang mengandung alkohol, seperti
anak-anak, ibu hamil/ menyusui, pecandu alkohol,
pasien-pasien yang menggunakan metronidazole,
dan pasien dengan xerostomia.7 Kandungan alkohol
yang terdapat dalam obat kumur juga dapat
meningkatkan risiko kanker rongga mulut, terutama
bila pemakaian terus-menerus.8
Cetylpyridinium chloride (CPC) adalah
senyawa amonium kuartenari yang merupakan
bakterisid monokationik.9,10,11 Cetylpyridinium
chloride biasanya digunakan untuk terapi infeksi
superfisial rongga mulut dan kerongkongan.
Cetylpyridinium chloride dapat larut dalam air,

alkohol, kloroform, benzena dan eter.11 Sifat


kelarutanya tersebut menyebabkan CPC dapat
dibuat dalam sediaan bebas alkohol, sehingga lebih
menguntungkan dan cocok untuk semua individu.7,8
Cetylpyridinium chloride pada obat kumur
mempunyai kemampuan untuk mengontrol plak
dan
gingivitis.
Cetylpyridinium
chloride
mempunyai kemampuan anti bakteri, anti plak dan
mengobati gingivitis, setelah pemakaian selama 2
minggu secara terus-menerus.12
Chlorhexidine (CHX) merupakan bahan
kemoterapi yang paling potensial sebagai
antikariogenik, sehingga CHX sering digunakan
sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi
antikariogenik lainnya yang dapat menghambat
pembentukan plak (13). Chlorhexidine 0,2%
efektif sebagai anti plak dan anti gingivitis.14
Chlorhexidine tidak bersifat toksik, tetapi dapat
perubahan sensasi sementara dan meninggalkan
noda kecoklatan pada gigi, restorasi, membran
mucosa dan lidah yang sulit untuk dibersihkan.14
Proporsi penduduk Kalimantan Selatan
yang mengalami masalah gigi dan mulut adalah
sekitar (29,2%), tertinggi di Kabupaten Barito
Kuala dan Banjarmasin. Pada daerah Banjarmasin
adalah sekitar (38,2%).15 Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui perbedaan efektifitas
penggunaan obat kumur bebas alkohol yang
mengandung CPC dibandingkan dengan CHX
terhadap terhadap penurunan plak di dalam rongga
mulut mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012.

BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin pada bulan Mei dan Juni 2013.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi
eksperimental, dengan rancangan pretest-posttest
control group design. Populasi dalam penelitian ini
adalah mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi
Fakultas
Kedoteran
Universitas
Lambung
Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012.
Sampel di ambil
dengan teknik purposive
sampling. Penelitian ini menggunakan 60 sampel
yang dibagi menjadi dua kelompok yang masing-

182
Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol

181

masing kelompok berjumlah 30 responden. Bahan


yang digunakan pada penelitian ini adalah obat
kumur yang mengandung Cetylpiridinium Chloride,
obat kumur Chlorhexidine, kapas, alkohol 70%,
disclosing agent, tisu, dan air putih. Alat yang
digunakan adalah diagnostic set, gelas kumur,
nierbekken, masker, dan sarung tangan.
Informed consent
diberikan kepada
responden sebelum pemeriksaan awal. Pemeriksaan
plak menggunakan perhitungan indeks plak dari
Quigley dan Hein yang dimodifikasi oleh Turkesky,
Gilmore, dan Glickman, yaitu dengan bahan
pewarna yang berwarna merah (disclosing agent)
untuk memeriksa plak yang terbentuk pada
permukaan mahkota gigi. Gigi yang diperiksa
dipilih berdasarkan pemilihan gigi menurut
Ramfords Periodontal Disease Indeks (PDI), gigigigi 16, 21, 24, 36, 41,44. Jika gigi-gigi tersebut
tidak ada, maka dapat diganti gigi dengan bentuk
anatomi serupa dalam satu sekstan. Permukaan
gigi yang diamati meliputi enam permukaan yaitu
mesiofasial, midfasial, distofasial, mesiolingual/
mesiopalatal,
midlingual/midpalatal
dan
distolingual/distopalatal. Perhitungannya dengan
skala pengukuran sebagai berikut :
0 = tidak ada
1 = terdapat bercak-bercak plak yang terpisah
pada daerah leher gigi dan bagian lain di atas
servikal gigi
2 = lapisan tipis plak yang kontinyu (kira-kira
1mm) pada daerah leher gigi
3 = lapisan plak dengan lebar lebih dari 1mm
dan menutupi kurang dari 1/3 mahkota gigi
4 = plak menutupi antara 1/3-2/3 bagian
mahkota gigi
5 = plak menutupi lebih dari 2/3 bagian mahkota
gigi.
Responden tiap kelompok kemudian
diberikan perlakuan obat kumur yang mengandung
Cetylpiridinium Chloride dan obat kumur yang
mengandung Chlorhexidine. Responden diberikan
intruksi untuk menggunakan obat kumur yang
diberikan 2 kali sehari setelah sikat gigi pagi dan
setelah sikat gigi malam sebelum tidur selama 2
minggu. Setelah 2 minggu perlakuan dilakukan
pemeriksaan indeks plak dengan menggunakan
perhitungan indeks plak dari Quigley dan Hein
yang modifikasi oleh Turkesky, Gilmore, dan
Glickman seperti pemeriksaan sebelum pelakuan.

CPC. Pada pemeriksaan sebelum pemakaian obat


kumur yang mengandung CPC didapatkan indeks
plak rata-rata adalah sebesar 1,25 dan setelah
pemakaian obat kumur yang mengandung CPC
indeks plak rata-rata turun menjadi sebesar 0,63.
Gambar 2 menunjukkan adanya penurunan nilai
rata-rata indeks plak dari pemeriksaan sebelum
pemakaian dan setelah 2 minggu pemakaian obat
kumur yang mengandung CHX. Indeks plak ratarata sebelum pemakaian obat kumur yang
mengandung CHX adalah sebesar 1,22 dan setelah
pemakaian obat kumur yang mengandung CHX
sebesar 0,44.

HASIL PENELITIAN

Data yang didapat kemudian dianalisia


secara statistik. Hasil uji normalitas Kolomogorov
Smirnov menunjukkan p > 0,05 pada semua
kelompok. Analisis data dilanjutkan dengan t-test
berpasangan. Hasil t-test berpasangan pada
kelompok yang menggunakan obat kumur CPC
didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa obat kumur yang mengandung
CPC efektif menurunkan plak setelah pemakaian 2

Hasil penelitian yang telah dilakukan


menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan plak
setelah pemakaian kedua obat kumur selama 2
minggu. Hasil penelitian dapat dapat dilihat pada
gambar 1 dan gambar 2. Gambar 1 menunjukan
adanya penurunan nilai rata-rata indeks plak setelah
2 minggu pemakaian obat kumur yang mengandung

Gambar 1. Diagram penurunan rata-rata indeks plak


sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang
mengandung Cetylpiridinium Chloride

Gambar 2. Diagram penurunan rata-rata indeks plak


sebelum dan sesudah penggunaan obat kumur yang
mengandung Chlorhexidine

182

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 -183
183

kali sehari selama 2 minggu berturut-turut. Hasil ttest


berpasangan
pada
kelompok
yang
menggunakan obat kumur CHX didapatkan nilai p
= 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa
obat kumur yang mengandung CHX efektif
menurunkan plak setelah pemakaian 2 kali sehari
selama 2 minggu berturut-turut.
Hasil uji normalitas Kolomogorov Smirnov
pada data penurunan indeks plak kedua kelompok
menunjukkan nilai p < 0,05. Analisis data
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil uji
Mann-Whitney didapatkan nilai p = 0,129 (p >
0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna penurunan indeks plak
kedua kelompok tersebut.
PEMBAHASAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan hasil bahwa telah terjadi
penurunan plak sebelum dan sesudah pemakaian
obat kumur CPC dan CHX selama 2 minggu. Pada
penelitian sebelumnya juga sudah diteliti tentang
efektivitas dari obat kumur yang mengandung CPC
seperti hasil percobaan klinis yang dilakukan oleh
Rawlinson dkk (2008), menunjukkan bahwa dua
obat kumur yang mengandung CPC 0,05% dan
0,1% memperlihatkan penghambatan plak secara
klinis dan statistik
serta tidak menunjukan
perbedaan yang signifikan pada kedua konsentrasi
tersebut.6 Penelitian lain juga menunjukkan obat
kumur yang mengandung CPC efektif secara
signifikan menurunkan plak secara in vivo setelah
penggunaan CPC setiap 12 jam atau 2 kali sehari
secara terus menerus selama 14 hari.12,16
Penelitian Depaola LG dan Spolarich AE
tahun 2007 menjelaskan cara kerja obat kumur
yang mengandung CPC dalam menghambat plak
dengan menghambat bakteri Streptococcus mutans.
Cetylpyridinium
Chloride
adalah
senyawa
amonium kuartenari yang bersifat antiseptik dan
dapat membunuh bakteri dan mikroorganisme.
Cetylpyridinium Chloride merupakan antimikrobial
yang berspektrum luas dan bersifat bakterisid yang
mirip dengan CHX. Cetylpyridinium Chloride
efektif terhadap bakteri gram positif seperti
Streptococcus mutans. Cetylpyridinium Chloride
mempunyai efek bakterisid dengan mengganggu
fungsi membran bakteri pada sitoplasma dan
gangguan metabolisme bakteri yang menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan sel dan akhirnya
menyebabkan kematian pada sel. Penurunanan
populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat
menurunkan indeks plak.17
Berdasarkan penelitian Fitriastuti tahun
2008 dinyatakan CHX dapat menghambat
pembentukan plak setelah pemakaian larutan 0.2%
sebagai obat kumur 2 kali sehari. Chlorhexidine
efektif dalam menghambat bakteri karena CHX
tidak hanya efektif terhadap bakteri gram negative,

tapi juga efektif terhadap bakteri gram positif


seperti Streptococcus mutans. Chlorhexidine telah
diteliti sebagai bahan kemoterapi yang paling
potensial dalam menghambat Streptococcus mutans
dan karies gigi, sehingga CHX sering digunakan
sebagai kontrol positif untuk penilaian potensi
antikariogenik bahan lainnya. Chlorhexidine telah
terbukti dapat mengikat bakteri, hal ini
dimungkinkan karena adanya interaksi antara
muatan-muatan positif dari molekul-molekul CHX
dan dinding sel yang bermuatan negatif. Interaksi
ini akan meningkatkan permeabilitas dinding sel
bakteri yang menyebabkan penetrasi ke dalam
sitoplasma, dan pada akhirnya menyebabkan
kematian pada mikroorganisme. Penurunanan
populasi bakteri pada plak tersebut yang dapat
menurunkan indeks plak.18
Hasil uji statistik antar kelompok
menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang
bermakna penurunan indeks plak kelompok yang
menggunakan obat kumur CPC dan CHX. Dalam
jurnal Depaola LG dan Spolarich AE tahun 2007,
pada perbandingan kedua kelompok tidak terdapat
perbedaan yang bermakna tersebut kemungkinan
disebabkan efek kedua obat kumur yang
mengandung CPC dan obat kumur yang
mengandung CHX mempunyai efek yang hampir
sama terhadap bakteri gram positif. Kedua obat
kumur tersebut sama-sama bersifat bakterisid
dengan membocorkan sel bakteri dan akhirnya
bakteri tersebut mati.17
Berdasarkan hasil penelitian ini bisa
dipertimbangkan
agar
obat
kumur
yang
mengandung CPC dapat dijadikan sebagai alternatif
penggunaan obat kumur yang mengandung CHX
dalam menurunkan indeks plak dengan efek
samping yang lebih kecil dibandingkan dengan
penggunaan CHX. Banyak efek samping
penggunaan CHX dalam jangka waktu yang
panjang seperti dapat menyebabkan perubahan
sensasi rasa sementara, pewarnaan terhadap gigi,
mukosa oral, dan bahan restorasi.19 Ditambah lagi
pada jurnal Rawlinson (dkk) tahun 2008
menyatakan efek samping yang ditimbulkan oleh
kandungan alkohol yang terdapat dalam larutan
obat kumur CHX. Cetylpyridinium chloride seperti
CHX juga menimbulkan efek pewarnaan ekstrinsik
namun hanya sedikit jika dibandingkan dengan obat
kumur CHX, karena efek samping CPC terhadap
mukosa dan perwarnaan gigi itu lebih kecil, serta
CPC dapat dibuat dalam sediaan bebas alkohol
maka obat kumur yang mengandung CPC dapat
dijadikan sebagai alternatif dari obat kumur yang
mengandung CHX.6,7,8
Kendala dalam penelitian ini adalah pola
makan setiap responden tersebut berbeda-beda, hal
itu dapat mempengaruhi self cleansing pada setiap
responden. Pola makan struktur gigi setiap
responden juga berbeda yang menyebabkan
pembersihan plak setiap responden berbeda-beda.

Sari : Perbandingan Efektivitas Obat Kumur Bebas Alkohol


184
Ada beberapa responden yang kurang menyukai
rasa dari Chlorhexidine yang agak pahit dan
menimbulkan sensasi sementara yang kurang
nyaman pada lidah responden tersebut.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa obat
kumur yang mengandung cetylpyridinium chloride
(CPC) dan obat kumur yang mengandung
chlorhexidine (CHX) efektif dalam menurunkan
indeks plak setelah penggunaan 2 kali sehari secara
berturut-turut selama 2 minggu. Perbandingan
penurunan plak kedua kelompok tersebut di
dapatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna
pada mahasiswa Program Studi Kedokteran Gigi
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin angkatan 2010-2012. Hal
ini menunjukkan bahwa obat kumur yang
mengandung cetylpyridinium chloride dapat
dijadikan alternatif dari obat kumur yang
mengandung chlorhexidine yang memiliki efek
samping yang lebih rendah dibandingkan
chlorhexidine.

DAFTAR PUSTAKA
1. Pratiwi R. Perbedaan daya hambat terhadap
Streptococcus mutans dari beberapa pasta gigi
yang mengandung herbal. Majalah Kedokteran
Gigi (Dent. J.) 2005; 38(2): 6467.
2. Rao D. Efficacy of an alcohol-free CPCcontaining mouthwash against oral multispecies
biofilms. The Journal of Clinical Dentistry
2011; 22: 187-194.
3. Carranza FA, Newman MG and Takei HH.
Clinical periodontology. 9th Ed. Philadelphia:
WB Saunders Company. 2002. p. 110-112.
4. Cawson RA, Odell EW and Porter S. Cawsons
essential of oral pathology and oral medicine.
7th Ed. Spain: Churchill Livingstone. 2002. p.
43-47.
5. Putri MH, Eliza H dan Neneng N. Ilmu
pencegahan penyakit jaringan keras dan
jaringan pendukung gigi. Jakarta: EGC. 2010. h.
56-77.
6. Rawlinson A, Pollington S, Walsh TF, Lamb
DJ, Marlow I, Haywood S and Wright P.
Efficacy of two alcohol free cetylpyridinium
chloride mouthwashes a randomized doubleblind crossover study. J Clin Periodontol 2008;
35: 230-5
7. Witt J, Ramji N, Gibb R, Dunavent J, Flood J
and Barnes J. Antibacterial and antiplaque
effects of a novel, alcohol- free oral rinse with
cetylpyridinium chloride. Journal Contemporary
Dental Practice 2005 ; 6(1) : 2-8.
8. Quirynen M, Soers C, Desnyder M, Dekeyser
C, Pauwels M and Steenberghe D. A 0.05%
cetylpyridinium chloride 0.05% chlorhexidine
mouth rinse during maintenance phase after

183
initial periodontal therapy. J Clin Periodontol
2005; 32:3912.
9. Herrera D, santos S, Barbieri G, Trombelli L
and Sans M. Efficacy of 0.15% benzydamine
hydrochloride and 0.05% cetylpyridinium
chloride mouth rinse on 4 day de novo
plaque formation. J Clin Periodontol
2005;32:595-6
10. Watanabe E, Tanomaru JMG, Nascimento AP,
Matoba-Junior F, Tanomaru-Filho M and Ito
IY. Determination of the maximum inhibitory
dilution of cetylpyridinium chloride-based
mouthwashes againts Staphylococcus aureus
an in vitro study, J Appl Oral Sci. 2008; 16(4):
275
11. RA Regina NS. The effect of mouthwash
containing cetylpyridinium chloride on salivary
level of streptococcus mutans. 2007 Jurnal
PDGI; 57(1): 19-24.
12. Williams MI. The antibacterial and plaque
effectiveness of mouthwashes containing
cetylpyridinium chloride with and without
alcohol in improving gingival health. The
Journal of Clinical Dentistry. 2011; 22: 179182.
13. Bakar A. Kedoteran gigi klinis. Yogyakarta:
Quantum Sinmergis Media. 2012. h. 134-135.
14. Eley BM and Manson JD. Periodontics. 5th Ed.
London: Wright. 2004. p. 209-222.
15. Anonimous. Riskesdas. Laporan hasil riset
kesehatan dasar provinsi kalimantan selatan
tahun 2007. Jakarta: Dapartemen Kesehatan
Republik Indonesia. 2009.
16. He S, Yin W, Xu F, Deyu H and Sreenivasan
PK. A clinical study ti asses the 12-hour
antimicrobial effects of cetylpyridinium
chloride mouthwashes on supragingival plaque
bacteria. J Clin Dent 2011; 22: 195-199.
17. DePaola LG, Spolarich AE. Safety and
efficacy of antimicrobial mouthrinse in clinical
practice. Journal of Dental Hygiene 2007: 1322.
18. Fitriastuti P. Kegunaan efek chlorhexidine
terhadap resiko karies ditinjau dari ph plak dan
ph saliva pada pasien yang menggunakan alat
ortodontik cekat. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia. 2008. h. 5-18.
19. Putri NSE. perbandingan efektifitas obat
kumur bebas alkohol yang mengandung
cetylpiridinium chloride (CPC) dengan
chlorhexidine (CHX) terhadap streptococcous
mutans. Skipsi. Medan: Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Sumatera Utara. 2009. h. 517.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 179 185
- 183

184

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
GAMBARAN KLINIS XEROSTOMIA PADA WANITA MENOPAUSE
DI KELURAHAN SUNGAI PARING
KECAMATAN MARTAPURA

Raudah, Maharani Laillyza Apriasari, Siti Kaidah


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
ABSTRACT
Background: Menopause is a phase in woman's life that is signed by the end of menstruation period and
reproductive function. One of the changes in the physical aspects that can occur during menopause is the oral
cavity changes. The changes in oral cavity such as burning sensation, redness, swelling and bleeding gingival,
changes in sense of taste, and xerostomia. The xerostomia in menopausal women were affected by hormonal
changes that occur during menopause. Purpose: The purpose of this research was to know the clinical features
of xerostomia in women who had menopause in Sungai Paring Distric Martapura. Methods: This research was
an observational study with descriptive analysis. Samples were taken by using purposive sampling technique
with 86 menopausal women. The data were obtained by direct interview and clinical examination using a dental
mirror. Results: The results showed that loss of saliva in the base of mouth were found in 36 of menopausal
women with xerostomia 45,3% (39 women), 4,6% (4 women) were existing erythema of the oral mucosa, and
1,2% (1 woman) was presenting the tongue lobulated. The loss of saliva in the base of mouth occurred in all
respondents with xerostomia. Conclusion: Based on the research it could be concluded that the most commonly
clinical features of xerostomia in menopausal women was loss of saliva in the base of mouth.
Keywords: clinical features, xerostomia, menopause
ABSTRAK
Latar belakang: Menopause merupakan suatu fase dari kehidupan wanita yang ditandai dengan
berakhirnya menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi. Salah satu perubahan aspek fisik yang dapat terjadi
selama masa menopause adalah perubahan pada rongga mulut antara lain rasa terbakar, gingiva bengkak,
merah dan berdarah, perubahan indra perasa serta xerostomia. Xerostomia pada wanita menopause
dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi pada masa menopause. Tujuan: Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui gambaran klinis xerostomia pada wanita yang telah mengalami menopause di
Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif
deskriptif observasional. Sampel diambil dengan menggunakan metode purposive sampling sebanyak 86 wanita
menopause. Data yang diperoleh dengan cara melakukan wawancara langsung dan pemeriksaan klinis dengan
menggunakan kaca mulut dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan
bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura
adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak 45,3% (39 orang), eritema pada mukosa mulut
sebanyak 4,6% (4 orang) dan lidah berlobul-lobul sebanyak 1,2% (1 orang). Hilangnya genangan saliva di
dasar mulut terjadi pada semua subjek penelitian yang mengalami xerostomia. Kesimpulan: Berdasarkan
penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa gambaran klinis xerostomia pada wanita
menopause yang paling banyak ditemukan adalah hilangnya genangan saliva di dasar mulut.
Kata-kata kunci: gambaran klinis, xerostomia, menopause
Korespondensi: Raudah, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas Mangkurat, Jl.
Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail: odahsiodah88@gmail.com

186
Raudah : Gambaran Klinis Xerostomia

PENDAHULUAN
Menopause merupakan kejadian yang
normal pada seorang wanita dan setiap wanita pasti
akan mengalami masa menopause.1 Menurut World
Population Ageing (WPA), diperkirakan jumlah
penduduk lanjut usia di negara maju dan
berkembang akan terus meningkat dari 737 juta
pada tahun 2009 menjadi lebih dari 2 milyar pada
tahun 2050 yang sebagian besar merupakan wanita
menopause.2 Usia terjadinya menopause pada
wanita di seluruh dunia antara 40-60 tahun dengan
rata-rata usia 51 tahun.3 World Health Organization
(WHO), juga memperkirakan jumlah wanita usia 60
tahun ke atas akan meningkat dari 336 juta pada
tahun 2000 menjadi lebih dari 1 milyar pada tahun
2050.4
Prevalensi wanita menopause di Asia
sebanyak 60% dari seluruh dunia.5 Menurut Depkes
RI
pada tahun 2005, diperkirakan penduduk
Indonesia pada tahun 2020 akan mencapai 262,6
juta jiwa dengan jumlah wanita yang hidup dalam
usia menopause sekitar 30,3 juta jiwa dan usia ratarata menopause 49 tahun.6 Badan Pusat Statistik
(BPS) pada tahun 2005 memperkirakan jumlah
wanita menopause di Kalimantan Selatan sebanyak
34.063 orang dengan jumlah terbanyak pada usia
50-54 tahun yaitu 18.388 orang.7 Berdasarkan BPS
Kabupaten Banjar pada tahun 2010, diketahui
jumlah wanita usia 50 tahun ke atas di Kelurahan
Sungai Paring Kecamatan Martapura sebanyak 628
orang.8
Menopause merupakan suatu fase kehidupan
wanita yang ditandai dengan berakhirnya
menstruasi dan berhentinya fungsi reproduksi.
Perempuan dinyatakan menopause bila sudah tidak
mengalami siklus menstruasi berturut-turut minimal
selama 12 bulan.9 Usia terjadinya menopause antara
45 sampai 55 tahun, dengan usia rata-rata 52,5
tahun.10 Salah satu perubahan aspek fisik yang
dapat terjadi selama masa menopause adalah
perubahan pada mulut antara lain rasa terbakar,
gingiva bengkak, merah dan berdarah, perubahan
indra perasa serta mulut kering (xerostomia).11
Xerostomia pada wanita menopause
dipengaruhi oleh perubahan hormonal yang terjadi
pada masa menopause. Prevalensi xerostomia
berkisar antara 14-46%, yang secara konsisten lebih
tinggi pada wanita. Prevalensi xerostomia pada
wanita adalah 8,1% dan pada laki-laki 3,1%.12
Xerostomia merupakan keluhan subjektif berupa
kekeringan di dalam mulut yang ditandai dengan
menurunnya jumlah aliran saliva dari normal akibat
penurunan produksi saliva dari kedua kelenjar
mayor dan minor. Manifestasi berkurangnya aliran
saliva dapat ringan, tanpa keluhan atau parah
dengan banyak keluhan.13 Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui gambaran klinis
xerostomia pada wanita yang telah mengalami

185

menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan


Martapura.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini merupakan jenis penelitian
deskriptif observasional. Bahan yang digunakan
adalah alkohol 70%, kapas dan tisu. Alat yang
digunakan adalah alat diagnostik, nierbekken,
sarung tangan, masker, senter, alat tulis, formulir
informed consent dan lembar checklist untuk
anamnesis. Populasi pada penelitian ini adalah
wanita usia 50 tahun yang tinggal di Kelurahan
Sungai Paring Kecamatan Martapura. Pengambilan
sampel dilakukan secara purposive sampling.
Sampel adalah wanita usia 50 tahun yang tinggal
di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura
serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Kriteria inklusinya adalah wanita usia 50 yang
telah mengalami menopause di Kelurahan Sungai
Paring Kecamatan Martapura, bersedia menjadi
subjek penelitian dengan menandatangani informed
consent dan sehat berdasarkan anamnesis. Kriteria
ekslusinya adalah memiliki penyakit sistemik yang
menyebabkan
xerostomia
secara
langsung,
mengkonsumsi
obat-obatan
tertentu
yang
menyebabkan xerostomia serta pernah menjalani
radioterapi daerah kepala dan leher.
Variabel yang diteliti pada penelitian ini
adalah xerostomia pada wanita menopause.
Penelitian ini dilakukan pada wanita menopause di
Kelurahan Sungai Paring Kecamatan Martapura
dengan mengunjungi rumah subjek penelitian.
Subjek penelitian dijelaskan tentang manfaat dan
prosedur penelitian yang akan dilakukan peneliti
dan diberikan lembar informed consent sebagai
tanda persetujuan menjadi subyek penelitian.
Wawancara dilakukan secara langsung terhadap
wanita yang mengalami menopause terkait dengan
riwayat penyakit dan keluhan yang berhubungan
dengan xerostomia. Pemeriksaan klinis dilakukan
pada rongga mulut menggunakan kaca mulut.
Subjek penelitian yang mengalami xerostomia
ditandai dengan melekatnya kaca mulut pada
dinding mukosa bukal yang menunjukkan keadaan
hiposalivasi, adanya manifestasi klinis seperti
kemerahan pada mukosa, lidah yang berlobul-lobul,
dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini
adalah menggunakan analisis deskriptif.

186

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -187
188

HASIL PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Sungai
Paring Kecamatan Martapura. Hasil penelitian
menunjukkan 86 orang wanita menopause serta
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Dua puluh
tujuh orang berusia 50-54 tahun, 33 orang berusia
55-59 tahun, 12 orang berusia 60-64 tahun dan 14
orang berusia >64 tahun. Wanita menopause yang
mengalami xerostomia sebanyak 39 orang (45,3%)
dan 47 orang (54,7%) tidak mengalami xerostomia
(Gambar 1).
47

Jumlah (orang)

50
40

Gambar 3 Lidah berlobul-lobul pada pasien


xerostomia

39

30
20

Xerostomia
Normal (tidak xerostomia)

10
0
Xerostomia

Normal
Kelainan

Jumlah (orang)

Gambar 1 Diagram frekuensi xerostomia pada


wanita menopause
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

39

Gambar 4 Kondisi rongga mulut pasien yang


mengalami
xerostomia
4

Eritema mukosa
mulut

1
Lidah berlobullobul
Manifestasi Klinis

Hilangnya
genangan saliva di
dasar mulut

Gambar 2 Diagram distribusi manifestasi klinis


xerostomia pada wanita menopause

Gambar 2 menunjukkan bahwa manifestasi


klinis / gambaran klinis xerostomia pada wanita
menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan
Martapura yang paling banyak ditemukan adalah
hilangnya genangan saliva di dasar mulut sebanyak
39 orang (45,3%) sedangkan eritema pada mukosa
mulut sebanyak 4 orang (4,6%) dan lidah berlobullobul sebanyak 1 orang (1,2%). Hilangnya
genangan saliva di dasar mulut terjadi pada semua
subjek penelitian yang mengalami xerostomia.

PEMBAHASAN
Menopause merupakan fase penghentian
siklus menstruasi secara permanen minimal selama
12 bulan akibat berkurangnya sekresi hormon
ovarium.14 Usia terjadinya menopause dipengaruhi
oleh keturunan, kesehatan umum, pola kehidupan,
sosial-ekonomi, kebiasaan merokok, dan konsumsi
alkohol.15,16 Menopause disebabkan oleh penuaan
ovarium yang mengakibatkan penurunan produksi
estrogen, gonadotropin ovarium, dan progesteron.17
Secara fisiologis menurunnya kadar estrogen darah
pada wanita menopause mengakibatkan terjadinya
perubahan kondisi rongga mulut seperti hipofungsi
kelenjar saliva dan atrofi mukosa mulut.18
Xerostomia pada wanita menopause
dipengaruhi oleh perubahan hormonal.10 Estrogen
adalah suatu hormon steroid yang mempunyai
reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut,
sehingga estrogen dapat berfungsi secara biologis
pada mulut dan kelenjar saliva. Keberadaan
reseptor estrogen di kelenjar saliva sangat berperan
terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva.18
Penurunan sekresi saliva pada wanita menopause
dapat meningkatkan kejadian karies, periodontitis
dan risiko timbulnya lesi pada mukosa mulut
seperti infeksi kandidiasis.9

188 : Gambaran Klinis Xerostomia


Raudah
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 86 subjek penelitian wanita
menopause, 45,3% (39 orang) mengalami
xerostomia. Persentase ini cukup tinggi karena
hampir mencapai setengah dari total subjek
penelitian meskipun persentase yang normal atau
tidak mengalami xerostomia masih lebih tinggi
yaitu 54,7% (47 orang). Hasil penelitian Zoraida
tahun 2011 juga menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara menopause
dengan terjadinya xerostomia. Pada penelitian
tersebut,
Zoraida
membandingkan
wanita
menopause dengan wanita yang tidak menopause.19
Wanita menopause yang mengalami xerostomia
hampir semua wanita tersebut mengeluhkan mulut
kering, membutuhkan cairan untuk mengunyah dan
menelan makanan, serta merasa haus terutama pada
malam hari. Banyak faktor yang mempengaruhi
terjadinya xerostomia seperti faktor psikologis
seseorang dan riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi.9
Manifestasi klinis xerostomia antara lain
eritema pada mukosa bukal, lidah berlobul-lobul,
dan hilangnya genangan saliva di dasar mulut.20
Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 2) frekuensi
manifestasi klinis dari xerostomia yang paling
banyak adalah hilangnya genangan saliva di dasar
mulut. Lidah berlobul-lobul merupakan manifestasi
klinis xerostomia yang ditemukan pada 1 orang
(paling sedikit) dan eritema mukosa mulut terjadi
sebanyak 4 orang. Hasil penilitian ini sesuai dengan
teori bahwa manifestasi xerostomia pada wanita
menopause muncul secara bertahap dari ringan
sampai berat. Pada xerostomia ringan kondisi
mukosa masih normal, terjadi hilangnya genangan
saliva di dasar mulut dan pasien sering
mengeluhkan mulutnya terasa kering, sedangkan
pada kasus xerostomia berat akan terjadi perubahan
pada mukosa rongga mulut seperti eritema bahkan
lidah menjadi berlobul-lobul.21
Hormon seks steroid khususnya estrogen
berperan penting dalam fisiologi rongga mulut
manusia. Efek estrogen dimediasi oleh reseptor
estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu
reseptor estrogen dan reseptor estrogen .22,23
Hanya reseptor estrogen yang berperan mengatur
pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut,
kelenjar saliva dan gingiva.22 Menurunnya kadar
reseptor estrogen pada wanita menopause
mengakibatkan penurunan fungsi (hipofungsi)
kelenjar saliva. Wanita menopause akan mengalami
mulut terasa kering karena volume saliva berkurang
(hiposalivasi) yang biasanya sering ditandai dengan
hilangnya genangan saliva di dasar mulut.18
Mukosa rongga mulut sangat sensitif
terhadap perubahan kadar hormon dalam darah
pada perempuan. Penurunan kadar estrogen pada
wanita yang telah menopause mempengaruhi proses
maturisasi atau pematangan sel epitel pada mukosa
yang dapat menyebabkan penipisan dan atropi

187
epitel.22 Secara klinis, mukosa rongga mulut wanita
yang mengalami kekurangan kadar estrogen dalam
darah akan mengalami atropi, kering, mudah terjadi
iritasi serta warna mukosa mulut akan menjadi
pucat sampai terjadi eritema sedangkan pada epitel
berkeratin
akan
terjadi
gingivostomatitis
menopause yang ditandai dengan gingiva menjadi
kering, mengkilap dan mudah berdarah pada
probing dan saat menyikat gigi.11,23
Berdasarkan
hasil
penelitian
dapat
disimpulkan bahwa manifestasi klinis atau
gambaran klinis dari xerostomia pada wanita
menopause di Kelurahan Sungai Paring Kecamatan
Martapura yang paling banyak ditemukan adalah
hilangnya genangan saliva di dasar mulut
dibandingkan dengan eritema pada mukosa mulut
dan lidah berlobul-lobul. Pada pasien yang masih
bergigi tetapi mengalami penurunan aliran saliva
cukup banyak sebaiknya diberi penanganan
pencegahan yang ketat untuk membatasi
perkembangan lesi karies. Pasien sebaiknya
melakukan aplikasi flour secara profesional dan
topikal, menggunakan pasta gigi yang mengandung
flour dan obat kumur klorheksidin glukonat serta
kontrol kebersihan mulut.24
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Yuniwati C. Pengaruh Peran Tenaga


Kesehatan terhadap Kesiapan Wanita
Menopause dalam Menghadapi Keluhan
Menopause di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Provinsi
Aceh. Tesis. Medan: Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara,
2011. p.1.
Zlotnik H. World Population Ageing 2009.
New York: Department of Economic and
Social Affairs Polpulation Division, 2009.
p.10.
Kok HS, Asselt KM, Schouw YT, Peeters
PHM, and Wijmenga C. Genetic Studies to
Identify Genes Underlying Menopausal Age.
Human Reproduction Update. 2005; 11(5):
483-484.
World Health Organization. Women, Ageing
and Health: A Framework for Action.
Ottawa: Department of Ageing and Life
Course (ALC), 2007. p.3.
Palacios S, Henderson VW, Siseles N, Tan
D, and Villaseca P. Age of Menopause and
Impact of Climacteric Symptoms By
Geographical
Region.
Climacteric,
International Menopause Society. 2010; 13:
419428.
Departemen Kesehatan RI 2005. Terjadi
Pergeseran Umur Menopause. Available
from
(http://www.depkes.go.id/index.php?option=

188

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 184 -189
188
article&task+vieawticle&&artid=280,
diakses 9 Januari 2013).
Statistik Indonesia 2005. Wanita Berumur
10-54 Tahun yang Berstatus Kawin Menurut
Alasan
Utama
Tidak
Menggunakan
Alat/Cara KB dan Golongan Umur,
Kalimantan Selatan 2005. Available from
(http://www.datastatistikindonesia.com/porta
l/index.php?option=com_supas&task=&Item
id=954, diakses 15 Januari 2013).
BAPPEDA-BPS Kabupaten Banjar. Profil
dan Analisa Penduduk Kecamatan Martapura
Hasil Sensus Penduduk 2010 (Penjabaran
Data Sensus Tahun 2010). Martapura: Badan
Pusat Statistik Kabupaten Banjar, 2010.
p.62.
Mutneja P, Dhawan P, Raina A, and Sharma
G. Menopause and The Oral Cavity. Indian
Journal of Endocrynology and Metabolism.
2012; 16(4): 548.
Agha-Hosseini F and Mirzaii-dizgah I.
Unstimulated Whole Saliva Parathyroid
Hormone in Postmenopausal Women with
Xerostomia. The Journal of Contemporary
Dental Practice. 2011; 12(3): 196.
Guncu GN, Tozum TF, and Caglayan F.
Effects of Endogenous Sex Hormones on
The Periodontium Review of Literature.
Australian Dental Journal. 2005; 50(3) :142.
Gomez BR, Vallejo GH, Fuenta LA, Cantor
ML, Diaz M, and Lopez-Pintor RM. The
Relationship Between The Levels of
Salivary Cortisol and The Presence of
Xerostomia in Menopausal Women A
Preliminary Study. Med Oral Patol Oral Cir
Bucal. 2006; 11: 408.
Bhayana R, Sanadhya S, Bhayana D, and
Padiyar B. Review Article Xerostomia (an
ECR) Effects, Causes, Remedies. Journal
of Dentofacial Sciences. 2013; 2(1): 7-8.
Rahman SASA, Zainudin SR, and Mun
VLK. Assessment of Menopausal Symptoms
Using Modified Menopause Rating Scale
(MRS) Among Middle Age Women in
Kuching, Sarawak, Malaysia. Asia Pacific
Family Medicine Bio Med Central. 2010;
9(5): 1-6.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Jakarta:


PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2009. p.92-130.
Szwejser E and Szwostek K. The Influence
of Selected Environmental Factors on The
Time of Natural Menopause in Women
Living in The Malopolskie Voivodeship.
Anthropological Review. 2012; 75(2): 118.
Elsabagh EEM and Allah ESA. Menopausal
Symptoms and The Quality of Life Among
Pre/Post Menopausal Women from Rural
Area in Zagazig City. Life Science Journal.
2012; 9(2): 283.
Joenoes H, Fatma D, dan Gultom F. Aktifitas
Enzim Peroksidase Saliva pada Wanita
Sebelum dan Sesudah Menopause. Dentika
Dental Journal. 2007; 12(1): 10-13.
Lubis ZS. Hubungan Menopause dengan
Terjadinya Xerostomia pada Anggota
Perwiritan Nurul Ihsan Kelurahan Payaroba
Kecamatan Binjai Barat. Skripsi. Medan:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara. 2011. p.28-36.
Scully C, Almeida OPD, Bagan J, Dios PD,
and Taylor AM. Oral Medicine and
Pathology at a Glance. 1st Ed. England:
Wiley-Blackwell, 2010. p.74-75.
Carpenter W, Glick M, Nelson SR, Roser
SM, and Patton LL. Oral Health Care Series:
Womens Oral Health Issues. San Francisco:
American Dental Association Council on
Access, Prevention and Interprofessional
Relations, 2006. p.14-15.
Hosseini FA, Dizgah IM, Mansourian A, and
Khayamzadeh M. Relationship of Stimulated
Saliva 17-estradiol and Oral Dryness
Feeling in Menopause. Elsevier Ireland Ltd.
2008;62:197-199.
Haskin C and Mobley C. Women and
Health: The Impact of Womens Oral Health
on Systemic Health. 2nd Ed. UK: Elsevier
Inc, 2013. p.1476.
Barnes IE dan Walls A. Perawatan Gigi
Terpadu untuk Lansia. Jakarta: EGC, 2006.
p.33-69

190 : Gambaran Klinis Xerostomia


Raudah

189

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
TINGKAT KEBUTUHAN PERAWATAN PERIODONTAL PADA LANSIA DI PANTI SOSIAL
TRESNA WERDHA BUDI SEJAHTERA BANJARBARU

Rona Permata Sari Y. H. Zein, Priyawan Rachmadi, Deby Kania Tri Putri
Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Periodontal diseases are the case in all ages, but the severity is more seen in elderly individuals.
Purpose: Purpose of this study was to determine the periodontal treatment needs of elderly in Tresna Werdha
Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home. Methods: Type of research was observational descriptive. Samples
consisted of 53 subjects, age range between 58-100 years old, consisted 24 males and 29 females. Samples were
selected though simple random sampling. Periodontal condition was evaluated using Community Periodontal
Index of Treatment Need (CPITN). The severity and prevalence of periodontal disease, as well as it frequency
distribution were evaluated and reported according to gender and age. Results: Result of this study based on
periodontal status were 13,2% of subjects demonstrated a healthy periodontal status, bleeding on probing were
noted in 5,7% of subjects, 37,7% of subjects showed supra or subgingival calculus, 11,3 % of subjects had
shallow and 32,1% of subjects had deep pockets. Periodontal treatment needs of elderly population in Tresna
Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing Home were 13,2% of subjects didnt need periodontal treatment,
5,7 of subjects needed demonstration and instruction, 37,7% of subjects needed scaling and oral hygiene
instruction, 11,3% of subjects needed scaling and oral hygiene care, then 32,1% needed oral hygiene
instruction, scaling, root planning, and treatment for every case. Conclusion: Scaling and oral hygiene
instruction were the most needed periodontal treatment of elderly in Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru Nursing
Home.
Keywords: Community Periodontal Index of Treatment Need, elderly, periodontal treatment

ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit periodontal merupakan kasus pada berbagai kalangan usia, tetapi bentuk keparahan
lebih terlihat pada individu usia lanjut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan perawatan
periodontal pada lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru. Metode: Jenis penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif observasional. Sampel terdiri dari 53 lansia berusia 58-100 tahun, terdiri atas 24
laki-laki dan 29 perempuan. Pemilihan sampel berdasarkan metode simple random sampling. Keparahan dan
prevalensi penyakit periodontal serta distribusi frekuensinya dievaluasi dengan Community Periodontal Index of
Treatment Needs (CPITN) serta dilaporkan berdasarkan jenis kelamin dan usia. Hasil: Hasil penelitian
berdasarkan keadaan jaringan periodontal yaitu 13,2% jaringan periodontal sehat, 5,7% perdarahan setelah
probing, 37,7% kalkulus supra dan atau subgingiva, 11,3% poket dangkal dan 32,1 % poket dalam. Kebutuhan
perawatan periodontal lansia di Panti Sosial Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak memerlukan
perawatan, 5,7% memerlukan peningkatan kebersihan mulut melalui penyuluhan dan demonstrasi, 37,7%
memerlukan scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3% memerlukan scaling yang lebih komprehensif
dan perawatan kebersihan mulut, serta 32,1% memerlukan peningkatan kebersihan mulut, scaling, root planning,
dan perawatan yang tepat untuk setiap kasus. Kesimpulan: Scaling dan peningkatan kebersihan mulut
merupakan jenis perawatan periodontal yang paling banyak dibutuhkan oleh lansia di Panti Sosial Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru.
Kata kunci: Community Periodontal Index of Treatment Need, lansia, perawatan periodontal.

190

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 191
- 195

Korespondensi: Rona Permata Sari Y. H. Zein, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, email: ronapermata@gmail.com

PENDAHULUAN
Proporsi penduduk lanjut usia (lansia)
bertambah lebih cepat dibandingkan kelompok usia
lain.1 Pada tahun 2011 yang lalu United Nations
Development Programme (UNDP) telah mencatat
bahwa usia harapan hidup penduduk Indonesia
telah mencapai 69,4 tahun, sedangkan menurut CIA
World Factbook telah mencapai 70,7 tahun. WHO
menyatakan bahwa pada tahun 2020 jumlah
penduduk lansia Indonesia akan terus mengalami
kenaikan yang sangat besar, sehingga pada tahun
tersebut jumlah lansia Indonesia diperkirakan akan
mencapai 11,34% dari jumlah penduduk yang ada,
atau sekitar 28,8 juta jiwa.2 Seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup penduduk
Indonesia, maka populasi penduduk lansia juga
akan meningkat. Angka ini akan menjadikan
Indonesia menempati urutan ke-4 terbanyak negara
berpopulasi lansia setelah Cina, India dan Amerika.
Hal ini merupakan tantangan kepada para
perencana kebijakan kesehatan dan sosial, karena
penyakit-penyakit
kronis
seperti
penyakit
kardiovaskular, hipertensi, kanker dan diabetes
banyak dijumpai pada lansia. Penyakit kronik dan
ketidakmampuan (disability) pada lansia banyak
terjadi di negara berkembang dan dapat dikurangi
dengan
upaya
health
promotion
untuk
meningkatkan kualitas hidup.1
Penuaan adalah suatu fenomena alami
yang terjadi di seluruh dunia.2 Proses penuaan akan
menimbulkan berbagai masalah fisik-biologik,
psikologik dan sosial. Secara biologis lansia
mengalami proses penuaan terus menerus, ditandai
dengan menurunnya daya tahan fisik dan semakin
rentan terhadap penyakit yang dapat menyebabkan
kematian.3 Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan serta sistem
organ termasuk terjadi perubahan anatomi,
morfologi dan fungsional pada rongga mulut 3,4,5,6,7
Sekitar 40% lansia mengeluh tentang mulut kering,
massa otot-otot mastikasi mengecil, yang akan
berpengaruh pada kekuatan mengunyah, banyaknya
gigi yang hilang mengakibatkan gangguan proses
komunikasi dan gangguan estetik.8 Peningkatan
persentase pasien lansia menyebabkan pentingnya
menilai jumlah perawatan yang diperlukan sebagai
strategi pencegahan dan interseptif untuk
mengurangi beban penyakit.2
Penyakit periodontal adalah salah satu
penyakit kronis yang paling umum lebih jelas
terlihat pada orang tua, terutama karena kontak
yang terlalu lama dengan faktor resiko.9,10
Periodontitis (peradangan jaringan periodontal)

akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada


tulang alveolar dan gigi akan terlepas dari
soketnya.10 Lansia dengan kelompok umur 65 tahun
ke atas mengalami kehilangan seluruh gigi
mencapai 17,6%, jauh diatas target WHO 2010
yaitu 5%.4
Usia merupakan salah satu faktor
predisposisi terjadinya penyakit periodontal.
Penelitian terhadap kelompok lansia berusia lebih
dari 70 tahun di India, 86% diantaranya mengalami
moderate periodontitis dan 25% di antaranya
mengalami kehilangan gigi.11 Pada kelompok usia
yang lebih tua (65 sampai 80 tahun), terjadi
peningkatan aliran gingival crevicular fluid (GCF)
dan indeks gingiva.6 Prevalensi dan tingkat
keparahan penyakit periodontal meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. Perubahan degeneratif
terkait proses penuaan dapat meningkatkan
kerentanan
terhadap
penyakit
periodontal.
Attachment loss dan bone loss terjadi akibat
seringnya terpapar faktor resiko lainnya selama
hidup. Perubahan-perubahan terkait proses penuaan
seperti pemakaian obat, penurunan fungsi imun,
dan perubahan status nutrisi serta faktor-faktor
resiko lainnya juga meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit periodontal.1 Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui tingkat kebutuhan
perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan secara deskriptif
observasional dan pengumpulan data dilakukan
dengan pemeriksaan langsung kepada subjek
penelitian, kemudian diperoleh skor indeks CPITN
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat
diagnostik kedokteran gigi, probe periodontal
standar WHO, nierbekken, sarung tangan, masker,
head lamp, ceklist observasi CPITN, formulir
informed consent, dan alat tulis. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70%,
sodium hypochlorite, dan kapas.
Subjek penelitian diminta untuk mengisi
surat persetujuan untuk menjadi sampel penelitian
kemudian jaringan periodontal subjek penelitian
dievaluasi dengan Indeks Kebutuhan Perawatan
Periodontal Komunitas (CPITN Community
Periodontal Index Treatment of Needs). Pada
indeks ini rongga mulut dibagi menjadi 6 sektan.
Sektan 1 meliputi gigi 14, 15, 16, dan 17. Sektan 2
meliputi gigi 11, 12, 13, 21,22, dan 23. Sektan 3
meliputi gigi 24, 25, 26, dan 27. Sektan 4 meliputi
gigi 34, 35, 36, dan 37. Sektan 5 meliputi gigi 31,

192 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal


Sari
32, 33, 41, 42, dan 43. Sektan 6 meliputi gigi 44,
45, 46, dan 47.
Skor CPITN tertinggi di setiap sektan
setelah
pemeriksaan
empat
sisi
(labial,
lingual/palatal, mesial, dan distal) dipakai sebagai
nilai dari tiap sektan. Skor 0 berarti kondisi jaringan
periodontal sehat. Skor 1 berarti terjadi perdarahan
setelah dilakukan probing. Skor 2 terdapat kalkulus
supra atau subgingiva. Skor 3 berarti terdapat poket
periodontal dengan kedalaman 4-5 mm, dan skor 4
berarti terdapat poket periodontal dengan
kedalaman lebih dari 6 mm.
Kategori kebutuhan perawatan ditentukan
berdasarkan skor masing-masing sampel. Skor 0
artinya tidak membutuhkan perawatan periodontal.
Skor 1 artinya membutuhkan peningkatan
kebersihan
mulut
(melalui
penyuluhan,
demonstrasi, dan sebagainya). Skor 2 memerlukan
scaling dan peningkatan kebersihan mulut. Skor 3
artinya memerlukan scaling dan perawatan
kebersihan mulut dan skor 4 artinya memerlukan
peningkatan kebersihan mulut, scaling, dan root
planning.
HASIL PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan pada lansia di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera
Banjarbaru. Pengambilan sampel berdasarkan
metode simple random sampling dengan jumlah
sampel yang didapat sebanyak 53 orang yang terdiri
dari 24 lansia laki-laki dan 29 lansia perempuan.
Berdasarkan kelompok usia, subjek penelitian
terdiri atas kelompok usia pertengahan (middle age)
sebanyak 1 orang, lansia (elderly) sebanyak 40
orang, lansia tua (old) sebanyak 10 orang, dan
lansia sangat tua (very old ) sebanyak 2 orang.

Gambar 1. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan


Perawatan Periodontal Komunitas)
Gambar 1 menunjukkan bahwa ada 7
orang (13,2%) yang memiliki jaringan periodontal
sehat (skor 0) pada saat dilakukan pemeriksaan.

191
Perdarahan setelah dilakukan probing (skor 1)
terjadi pada 3 orang (5,7%). Frekuensi tertinggi
pada penelitian ini adalah skor 2, yaitu sebanyak 20
orang (37,7%) memilki kalkulus supra maupun
subgingiva. Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) terjadi
pada 6 orang (11,3%), sedangkan poket sedalam 6
mm atau lebih (skor 4) terjadi pada 17 orang
(32,1%). Data hasil penelitian di atas menunjukkan
banyaknya kalkulus supra maupun subgingiva (skor
2) serta poket yang dalam (skor 4) banyak terjadi
pada lansia, sedangkan untuk persentase lansia
yang memiki jaringan periodontal sehat (skor 0)
masih sangat sedikit yaitu hanya ada 7 orang
(13,2%).
Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan
perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah
sebanyak 7 orang (13,2%) tidak memerlukan
perawatan periodontal. Sebanyak 3 orang (5,7%)
memerlukan peningkatan kebersihan mulut antara
lain melalui penyuluhan dan demonstrasi. Sebanyak
20 orang (37,7%) memerlukan scaling untuk
menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva
serta instruksi peningkatan kebersihan mulut.
Perawatan
untuk
menghilangkan
kalkulus
subgingiva yang lebih komperehensif disertai
instruksi peningkatan kebersihan mulut diperlukan
lansia sebanyak 6 orang (11,3%) dan selebihnya 17
orang (32,1%) memerlukan perawatan periodontal
yang lebih kompleks, meliputi pemeriksaan
periodontal menyeluruh dan rencana perawatan
yang tepat untuk tiap kasus. Hal ini menunjukkan
bahwa perawatan periodontal pada lansia di Panti
Sosial Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru
masih sangat dibutuhkan.

Gambar 2. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan


Perawatan Periodontal Komunitas)
menurut Jenis Kelamin
Gambar 2 menunjukkan distribusi sampel
berdasarkan jenis kelamin. Gambar 2 menunjukkan
bahwa jaringan periodontal sehat (skor 0) pada
lansia laki-laki sebanyak 2 orang (3,7%) dan 5

192

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 193
- 195

orang (9,4%) pada lansia perempuan. Perdarahan


setelah probing (skor 1) tidak terjadi pada lansia
berjenis kelamin laki-laki, tetapi terjadi pada lansia
perempuan yaitu sebanyak 3 orang (5,7%). Adanya
kalkulus supra maupun subgingiva (skor 2)
merupakan frekuensi tertinggi pada penelitian ini
dan tidak terdapat perbedaan antara lansia laki-laki
dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak 10
orang (18,9%). Poket sedalam 4-5 mm (skor 3) juga
memiliki frekuensi yang sama antara lansia lakilaki dan perempuan, yaitu masing-masing sebanyak
3 orang (5,7%), sedangkan untuk poket sedalam 6
mm atau lebih (skor 4) terjadi lebih banyak pada
lansia laki-laki sebanyak 9 orang (17,0%)
dibandingkan lansia perempuan sebanyak 8 orang
(15,0%) memerlukan perawatan periodontal yang
lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal
menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat
untuk setiap kasus.
Kebutuhan
perawatan
periodontal
berdasarkan gambar 2 yaitu sebanyak 2 orang lakilaki (3,7%) dan 5 orang perempuan (9,4%) tidak
memerlukan perawatan periodontal. Sebanyak 3
orang perempuan (5,7%) memerlukan peningkatan
kebersihan mulut antara lain melalui penyuluhan
dan demonstrasi, sedangkan lansia berjenis kelamin
laki-laki tidak memerlukannya. Scaling untuk
menghilangkan kalkulus supra maupun subgingiva
serta instruksi peningkatan kebersihan mulut
dibutuhkan masing-masing untuk 10 orang laki-laki
(18,9%) dan 10 perempuan (18,9%). Perawatan
untuk menghilangkan kalkulus subgingiva yang
lebih komperehensif disertai instruksi peningkatan
kebersihan mulut dibutuhkan 3 orang laki-laki
(5,7%) dan 3 orang perempuan (5,7%) serta
selebihnya 9 orang laki-laki (17,0%) dan 8 orang
perempuan (15,0%) memerlukan perawatan
periodontal yang lebih kompleks, meliputi
pemeriksaan periodontal menyeluruh dan rencana
perawatan yang tepat untuk tiap kasus.

Gambar 3. Nilai Skor CPITN (Indeks Kebutuhan


Perawatan Periodontal Komunitas)
menurut Kelompok Usia
Gambar 3 menunjukkan skor indeks
sCPITN berdasarkan kelompok usia. Kondisi
jaringan periodontal sehat (skor 0) tidak terdapat
pada kelompok usia middle age, tetapi terdapat
pada kelompok usia lain yaitu sebanyak 4 orang
(7,5%) pada kelompok usia elderly, 2 orang (3,8%)
pada kelompok usia old, dan 1 orang (1,9%) pada
kelompok usia very old. Perdarahan setelah probing
(skor 1) juga tidak terdapat pada kelompok usia
middle age, tetapi ditemukan sebanyak 1 orang
(1,9%) masing-masing pada kelompok usia elderly,
old, dan, very old. Kalkulus supra maupun
subgingiva (skor 2) merupakan frekuensi tertinggi
dengan jumlah sebanyak 16 orang (30,2%) pada
kelompok usia elderly, 4 orang (7,5%) pada
kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada
kelompok usia middle age dan very old. Poket
sedalam 4-5 mm (skor 3) terdapat pada 1 orang
(1,9%) pada kelompok usia middle age, 4 orang
(7,5%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%)
pada kelompok usia old, dan tidak ditemukan pada
kelompok usia very old sedangkan untuk poket
sedalam 6 mm atau lebih (skor 4) banyak
ditemukan pada kelompok elderly sebanyak 15
orang (28,3%) dibandingkan kelompok usia lain.
Sebanyak 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old
memilki poket 6 mm atau lebih (skor 4) dan poket
sedalam ini tidak ditemukan pada kelompok usia
middle age dan very old.
Gambar 3 menunjukkan bahwa kebutuhan
perawatan periodontal pada lansia di Panti Sosial
Tresna Werdha Budi Sejahtera Banjarbaru adalah
sebanyak 4 orang (7,5%) pada kelompok usia
elderly, 2 orang (3,8%) pada kelompok usia old,
dan 1 orang (1,9%) pada kelompok usia very old
tidak
memerlukan
perawatan
periodontal.
Peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui
penyuluhan dan demonstrasi dibutuhkan 1 orang
(1,9%) pada kelompok usia elderly, 1 orang (1,9%)
pada kelompok usia old, dan, 1 orang (1,9%) pada
kelompok usia very old. Sebanyak 16 orang
(30,2%) pada kelompok usia elderly dan 4 orang
(7,5%) pada kelompok usai old memerlukan
scaling untuk menghilangkan kalkulus supra
maupun subgingiva serta instruksi peningkatan
kebersihan mulut. Perawatan untuk menghilangkan
kalkulus subgingiva yang lebih komperehensif
disertai instruksi peningkatan kebersihan mulut
diperlukan lansia sebanyak 1 orang (1,9%) pada
kelompok usia middle age, 4 orang (7,5%) pada
kelompok usia elderly dan 1 orang (1,9%) pada
kelompok usia old. Perawatan periodontal yang
lebih kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal
menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat
untuk tiap kasus.dibutuhkan 15 orang (28,3%) pada

194 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal


Sari
kelompok usia elderly dan 2 orang (3,8%) pada
kelompok usia old.
PEMBAHASAN
Penyebab utama penyakit periodontal
adalah iritasi bakteri yang terjadi karena adanya
akumulasi plak.12,13 Apabila plak dibiarkan lebih
lama, plak akan mengalami kalsifikasi dan berubah
menjadi kalkulus.12,14 Kalkulus terbentuk dari plak
bakteri yang mengalami mineralisasi. Walaupun
akumulasi dan maturasi plak bakteri gigi
menyebabkan perkembangan inflamasi jaringan
gingiva terdekat, tetapi durasi, onset, dan intensitas
proses inflamasi sangat bervariasi antar individu.12
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan pada 53 subjek penelitian, frekuensi
tertinggi terjadi pada skor 2 yaitu sebanyak 37,7%
(20 orang) memiliki kalkulus supra maupun
subgingiva. Banyaknya lansia yang memiliki
kalkulus, supra maupun subgingiva, dan poket yang
dalam diakibatkan dari penumpukan plak. Hasil
penelitian di atas sesuai dengan beberapa penelitian
epidemiologi yang pernah dilakukan. Di Inggris,
54% orang dewasa dengan usia di atas 45 tahun
memiliki poket periodontal yang dalam (4-6 `mm)
dan 73% tercatat memiliki kalkulus supra maupun
subgingiva (skor 2). Kerusakan jaringan ini dapat
menjadi semakin parah hingga menyebabkan
kerusakan pada jaringan ikat, perlekatan epitel
cekat bermigrasi ke arah apikal dan selanjutnya
membentuk poket. Semakin meningkat usia
seseorang, semakin meningkat pula kerusakan yang
terjadi pada jaringan periodontal.4
Hasil penelitian menunjukkan jaringan
periodontal yang sehat (skor 0) dan perdarahan
setelah dilakukan probing (skor 1) pada lansia
perempuan lebih tinggi daripada lansia laki-laki,
sedangkan poket yang dalam (skor 4) memiliki
frekuensi yang lebih tinggi pada lansia laki-laki
daripada lansia perempuan.
Data penelitian di atas sesuai dengan
penelitian-penelitian yang dilakukan di negara lain,
seperti Amerika Serikat, Irak dan Israel, yang
mencatat bahwa kesehatan gingiva perempuan lebih
baik dibandingkan laki-laki. Di Amerika Serikat
dan Israel kasus poket dalam (skor 4) pada laki-laki
terjadi 3 kali lebih banyak daripada perempuan,
sedangkan hasil penelitian di Irak menunjukkan
laki-laki lebih sedikit mengalami perdarahan
setelah probing (skor 1). Hal ini disebabkan
perempuan cenderung melaksanakan kebersihan
mulut dan memiliki pengetahuan serta kebiasaan
yang baik tentang kesehatan gigi dan mulut
dibandingkan laki-laki.4,12 Selain itu juga laki-laki
lebih banyak yang memilki kebiasaan buruk seperti
merokok dan mengkonsumsi alkohol dibandingkan
perempuan.15
Menurut hasil penelitian Ana et al 2007,
seorang perokok memilki poket yang dalam,

193
kehilangan tulang alveolar, dan peningkatan
kegoyangan gigi.16 Seorang perokok beresiko 2,6
sampai 6 kali mengalami kerusakan jaringan
periodontal dibandingkan dengan non-perokok.6
Berbagai macam rokok dan intensitas kebiasaan
merokok telah terbukti mempunyai hubungan kuat
dengan status jaringan gingiva, kerusakan jaringan
periodontal, serta ditemukan kaitan merokok
dengan perubahan sistem vaskularisasi dan imun
host.12
Sama halnya dengan kebiasaan merokok,
konsumsi alkohol juga dapat menyebabkan
kerusakan pada jaringan periodontal, khususnya
konsumsi dalam jangka waktu panjang. Alkohol
mempunyai
efek
berkontribusi
terhadap
pertumbuhan bakteri di gingival crest dan
peningkatan
penetrasi
bakteri
sehingga
menyebabkan radang periodontal yang lamakelamaan akan menyebabkan kerusakan jaringan
periodontal.16,17 Beberapa keadaan biologis yang
dapat berubah akibat konsumsi alkohol antara lain
kerusakan fungsi neutrofil dan defisiensi
komplemen, gangguan mekanisme pembekuan
darah karena kerusakan aktivitas protrombin dan
vitamin K, gangguan metabolism tulang, dan
gangguan penyembuhan.12
Jika laki-laki memiliki kerentaan yang
tinggi terhadap kerusakan jaringan periodontal,
maka perempuan pun demikian. Perempuan rentan
terhadap kerusakan jaringan periodontal akibat
perubahan hormonal yang terjadi, salah satunya
diakibatkan menopause. Menopause adalah masa
berakhirnya menstruasi dan biasanya terjadi
padausia 50 tahun. Menopause dapat menyebabkan
terjadinya resorbsi tulang alveolar sehingga gigi
dapat kehilangan perlekatan pada jaringan
periodontal. 12,14 Pada perempuan yang mengalami
menopause terjadi penurunan estrogen, padahal
estrogen sangat penting untuk memelihara kekuatan
tulang dengan mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang. Penurunan kadar estrogen juga
menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan
antara sel osteoklas dan osteoblas. Kekurangan
estrogen akan menyebabkan menurunnya kalsium
darah sehingga akan memacu kelenjar paratiroid
untuk meningkatkan sekresi PTH dan memengaruhi
osteoblas untuk merangsang pembentukan sitokin
(IL-I, IL-6, dan TNF). Sitokin mengaktivasi
osteoklas untuk merangsang resorbsi tulang
alveolar.11
Selain hal-hal yang telah disebutkan di
atas, ada beberapa faktor predisposisi lain yang
dapat memicu keparahan suatu penyakit periodontal
yang tidak terkait dengan jenis kelamin seperti
faktor penuaan dan penyakit sistemik. Pada proses
penuaan terjadi perubahan anatomi, morfologi, dan
fungsional
jaringan
periodontal
seperti
berkurangnya proses keritinisasi dan penipisan
jaringan epithelium, perubahan lokasi junctional
epithelium ke arah apikal, penurunan proliferasi sel

194

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 189 195
- 195

dan perubahan lebar ligament periodontal.6,7,18


Penyakit sistemik yang banyak terjadi pada lansia
dan dapat memicu terjadinya penyakit periodontal
adalah diabetes mellitus. Pada penelitian cross
sectional diketahui bahwa pada penderita diabetes
yang tidak terkontrol dalam waktu lama dapat
menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang
lebih parah.19
Penelitian epidemiologi yang dilakukan
David dan Seymour tahun 2006 di Amerika Serikat
juga menunjukkan bahwa pada kelompok usia
elderly merupakan kelompok usia yang paling
banyak memiliki indeks skor CPITN 2 dan mulai
menunjukkan pembentukan poket. Kelompok usia
middle age cenderung mengalami kerusakan
jaringan periodontal yang belum parah dan belum
terbentuk poket, sedangkan pada kelompok usia old
dan very old sudah banyak yang memiliki poket
yang sangat dalam hingga mengalami missing.4
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan dapat disimpulkan bahwa kondisi
periodontal lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Sejahtera adalah sebanyak 13,2% dalam
kondisi sehat, 5,7% mengalami perdarahan setelah
probing, 37,7% terdapat kalkulus supra maupun
subgingiva, 11,3% mengalami poket 4-6mm, dan
32,1% mengalami poket dengan kedalaman lebih
dari 6 mm. Kesbutuhan perawatan periodontal
lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Sejahtera Banjarbaru adalah 13,2% tidak
memerlukan perawatan, 5,7% memerlukan
peningkatan kebersihan mulut antara lain melalui
penyuluhan dan demonstrasi, 37,7% memerlukan
scaling dan peningkatan kebersihan mulut, 11,3%
memerlukan scaling yang lebih komprehensif dan
peningkatan kebersihan mulut, serta 32,1%
memerlukan perawatan periodontal yang lebih
kompleks, meliputi pemeriksaan periodontal
menyeluruh dan rencana perawatan yang tepat
untuk tiap kasus.
Penelitian ini hanya menguraikan secara
umum mengenai kondisi dan kebutuhan perawatan
periodontal pada lansia, oleh karena itu diharapkan
adanya penelitian lanjutan untuk melakukan
evaluasi lebih lanjut terhadap kaitan serta hubungan
antara penyakit sistemik, penuaan, kebiasaan buruk
seperti mengkonsumsi alkohol dan merokok, serta
faktor-faktor lain terhadap keparahan suatu
penyakit periodontal pada lansia. Selain itu juga
diharapkan kepada tenaga kesehatan yang ada
untuk bekerja sama dengan dokter gigi dalam
rangka meningkatkan kesehatan rongga mulut
lansia.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.
9.

10.

11.

12.

13.

14.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Wangsarahardja, K. Olly VD, Eddy K.


Hubungan antara Status Kesehatan Mulut dan

15.

Kualitas Hidup pada Lanjut Usia. Universa


Medicina. 2007; 26: 186-194.
Sharma, S, Manjit T, Gaurav M. Prevalence of
Dental Caries and Periodontal Disease in the
Elderly of Chandigarh A Hospital Based
Study. JIDA. 2012; 6(2): 78-82.
Permana, FH, Made S, Imron R. Hubungan
Penurunan Fungsi Gerak Lansia terhadap
Strategi Koping Stres Lansia di Panti Jompo
Welas Asih Kecamatan Singaparna Kabupaten
Tasikmalaya. Jurnal Keperawatan Soedirman.
2009; 4(3) : 125-130.
Saptorini, KK. Poket Periodontal pada Lanjut
Usia di Posyandu Lansia Kelurahan Wonosari
Kota Semarang. Jurnal Prosiding Semnas
Peran
Kesehatan
Masyarakat
dalam
Pencapaian MDGs di Indonesia. 2011; 4(1):
261-266.
Jayaputra, A. Evaluasi Program Jaminan Sosial
Lanjut Usia. Jakarta : Kementrian Sosial
Republik Indonesia Badan Pendidikan dan
Penelitian Kesejahteraan Sosial. 2009. p. 2527.
Newman, Michael G, Henry H. Takei, Fermin
A. Carranza. Clinical Periodontolgy. 9th
edition. Missouri: Elsevier. 2002. p. 58-62.
Hebling, E. Effects of Human Ageing on
Periodontal Tissues. Periodontal Disease - A
Clinicians Guide. 2012; 16(1): 343-350.
Prawiro, MD. Usia Harapan Hidup Bertambah
Panjang. Gemari. 2012; 137: 56-57.
Petersen, PE, Denis B, Hiroshi O, Saskia ED,
Charlotte N. The Global Burden of Oral
Disease and Risk to Oral Health. Bulletin of
World Helath Organization. 2005; 83 (9): 661669.
Homata, EM, Vasileios M, Argy P,
Constantine O, Vassiliki T. Periodontal
Disease in Greek Senior Citizens-Risk
Indicators. Periodontal Diseases - A Clinician's
Guide. 2010; 11: 231-249.
Koshi, E, S. Rajesh, Philip K, PR Arunima.
Risk Assessment for Periodontal Disease.
Journal of Indian Society of Periodontology.
2012; 16(3): 324-328.
Gani, A dan Taufiqurrahman. Kebutuhan
Perawatan Periodontal Remaja di Kabupaten
Sinjai Tahun 2007. Dentofasial. 2008; 7(2):
132-138.
Yildirim, TT and Filiz AK. The Effects of
Menopause
on
Periodontal
Tissue.
International Dental Research. 2011; 1(3.2):
81-86.
Putri, MH, Eliza H, Neneng N. Ilmu
Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung Gigi. Bandung : EGC.
2002. p. 200-203.
Sanei, AS and Nasrabadi AN. Periodontal
Health Status and Treatments Needs in Iranian

Sari
196 : Tingkat Kebutuhan Perawatan Periodontal
Adolescent Population. Arch Iranian Med.
2005; 8(1): 290-291.
16. Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal
Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Direktorat
Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Pedoman
Pelayanan Sosial Lanjut Usia dalam Panti.
Jakarta: Depatemen Sosial RI. 2009. p. 5.
17. Ahmet. The Situation of Elderly People in
Turkey and National Plan of Action on Ageing.
Istambul : State Planning Organization. 2007.
p. 70.

195
18. Ren, Y, Jaap CM, Lets S, Robert SBL, Anne
MKJ. Age-Related Changes of Periodontal
Ligament Surface Areas during Force
Application. Angle Orthodontist. 2008; 78(6):
1000-1005.
19. Tarigan, R. Kesehatan Gigi Dan Mulut.
Jakarta:
EGC. 1995. p. 23.

197

196

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN PEMAKAIAN PROTESA
DENGAN PEMAKAIAN PROTESA
DI RSUD ULINBANJARMASIN
Tinjauan pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah di polikinik gigi RSUD Ulin
Banjarmasin
Nadya Pramasanti, Rosihan Adhani, Bayu Indra Sukmana
Program StudiKedokteran Gigi FakultasKedokteranUniversitasLambungMangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: Tooth loss due to extraction could be a big problem, it may cause dysfunction of mastication. The
loss of mandibular firstpermanent molar has the highest prevalence. Many cases of tooth loss were not balanced
with the prostodontiatreatment. Purpose: The purpose of this research was to determine the relationship
between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction mandibular first permanent molar
and the usage of protheses at dental polyclinic ofRSUD Ulin Banjarmasin. Methods: This study was used an
observational analytic study with cross-sectional design. Samples were taken by purposive sampling technique
with 68 patients. Knowledge level was obtained through questionnare. Results: The data were analyzed using
chi-square test and obtained value p=0,006. The group with good knowledge level who used protheses were 11
patients (16,1%) and who didnt used protheses were 20 patients (29,5%). The group with bad knowledge level
who used protheses were 3 patients (4,41%) and who didnt used protheses were 34 patients (37%). Conclusion:
There was a relationship between the knowledge level of protheses usage of patients of post extraction
mandibular first permanent molar and the usage of prothesis at dental polyclinic of RSUD Ulin Banjarmasin.
Keywords: loss of mandibular firstpermanent molar, protheses, knowledge level of protheses usage

ABSTRAK
Latar Belakang: Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan masalah terbesar, dapat mengganggu
fungsi pengunyahan atau mastikasi. Kehilangan gigi molar permanen pertama bawah memiliki prevalensi yang
cukup tinggi. Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan prostodonsia. Tujuan: Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada
pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi dan mulut
RSUD Ulin Banjarmasin. Metode: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional yang
menggunakan metode cross-sectional. Sampel diambil dengan metode purposive sampling sebanyak 68 orang.
Tingkat pengetahuan pasien diperoleh dengan pengisian kuesioner. Hasil: Data dianalisis menggunakan uji chisquare dan diperoleh nilai p=0,006. Kelompok tingkat pengetahuan baik dengan responden yang memakai
protesa ada 11 orang (16,1%) dan responden yang tidak memakai protesa ada 20 orang (29,5%). Kelompok
tingkat pengetahuan buruk dengan responden yang memakai protesa ada 3 orang (4,41%) dan responden yang
tidak memakai protesa ada 34 orang (37%). Kesimpulan: Terdapat hubungan tingkat pengetahuan pemakaian
protesa pada pasien post ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan pemakaian protesa di poliklinik gigi
dan mulut RSUD Ulin Banjarmasin.
Kata kunci: kehilangan molar permanen pertama bawah, protesa, tingkat pengetahuan pemakaian protesa
Korespondensi: Nadya Pramasanti, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat, Jalan Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel,
email: nadyabang@gmail.com

198
Pramasanti
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa
PENDAHULUAN
Kehilangan gigi akibat ekstraksi merupakan
masalah terbesar. Efek sampingnya adalah dapat
mengganggu fungsi pengunyahan atau mastikasi,
pada kehilangan gigi yang banyak dan lama dapat
mengakibatkangangguan pada Temporomandibular
Joint (TMJ). Masalah lain yang berakibat pada
fungsi bicara dan aspekpsikologis yaitu estetika,
bahkan pada profesi tertentu yang menuntut
kesehatan gigi yang prima.1Banyak kasus
kehilangan gigi tidak diimbangi dengan perawatan
prostodonsia. Kehilangan gigi tidak hanya
mengurangi estetika, tetapi juga membuat fungsi
mengunyah menurun dan mempengaruhi asupan
nutrisi sehingga hal ini akan mempengaruhi kondisi
kesehatan umum dan kualitas hidup seseorang.2
Hasil laporan nasional RISKESDAS 2007,
lima provinsi dengan prevalensi masalah gigi-mulut
tertinggi, yaitu Gorontalo (33,1%),Sulawesi Tengah
(31,2%), DI. Aceh (30,5%), Sulawesi Utara
(29,8%),
dan
KalimantanSelatan
(29,2%).Persentase penduduk provinsi Kalimantan
Selatan yang mengalami masalah gigi-mulut
sebesar (29,2%), yang menerima perawatan dari
tenaga medis gigi sebesar (21,2%), dan yang
kehilangan seluruh gigi sebesar (2,5%).3Hasil
laporan RISKESDAS 2007 provinsi Kalimantan
Selatan, jenis perawatan yang diterima penduduk
yang mengalami masalah gigi-mulut di provinsi
Kalimantan Selatan adalah pengobatan gigi
(81,2%),
penambalan/pencabutan/bedah
gigi
(42,3%), dan konseling perawatan/kebersihan gigi
(12,5%). Pemasangan gigi tiruan lepasan/cekat
berkisar 0,6%-10,8%, tertinggi pada umur 65 tahun
keatas. Persentase penduduk Kota Banjarmasin
yang melakukan penambalan/pencabutan/bedah
gigi/mulut sebesar (49,6%) sedangkan yang
melakukan pemasangan gigi tiruan lepasan/gigi
tiruan cekat hanya sebesar (3,0%).4
Kehilangan gigi molar permanen pertama
bawah memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Pada
penelitian yang telah dilakukan oleh Janjua dkk,
persentase pencabutan molar pertama bawah kiri
sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama
bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan
disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi
molar permanen pertama bawah merupakan gigi
tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7
tahun pada periode gigi campuran. Gigi molar
permanen pertama memainkan peran penting dalam
mastikasi dan menentukan posisi erupsi gigi
posterior yang lain agar menjadi oklusi yang
benar.5Kehilangan satu gigi, terutama gigi Molar
permanen pertama bawah dapat menyebabkan
fungsi lengkung rahangmenurun sebesar 10% dan
penurunan ini akan meningkat sebesar 30% jika
penggantian gigi yang hilang tidak segera
dilakukan.6

197

Gigi tiruan diperlukan dalam pemenuhan


kesehatan padaumumnya serta kesehatan gigi dan
mulutkhususnya
terutama
untuk
mempertahankanfungsi
kunyah.
Gigi
tiruanyangbiasanya disebut protesa bisa dalam
bentukgigi tiruan cekat (fixed) atau pun gigi
tiruanlepasan
(removable).Pembuatan
gigi
tiruantersebut
dapat
dikatakan
secara
ekonomimembutuhkan biaya tambahan yang relatif
cukupmahal. Salah satu tujuan yang ingin dicapai
dari WHO2010yang juga merupakan tujuan dari
upaya peningkatankesehatan gigi danmulut di
Indonesia adalahmeminimalkan dampak dari
penyakit gigi danmulut terhadap penyakit sistemik
atau kesehatansecara menyeluruh. Terkait dengan
tujuan yang ingin dicapai tersebutperlu dilakukan
penelitian untuk mengidentifikasirerata kehilangan
gigi dan persentasepengguna gigi tiruan.1Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan pemakaian protesa pada pasien
post ekstraksi molar permanen pertama bawah
dengan pemakaian protesa di Poliklinik gigi RSUD
Ulin Banjarmasin.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini
menggunakan
metode
penelitian analitik observasional dengan rancangan
penelitian crosssectional.Pada penelitian ini sampel
diminta untuk mengisi kuesioner tentang tingkat
pengetahuan pemakaian protesa. Populasi pada
penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang
yang pernah mencabut gigi atau yang telah
kehilangan gigi di bagian Poliklinik gigi RSUD
Ulin Banjarmasin.Pengambilan sampel dilakukan
dengan teknik purposive samplingdengan kriteria
inklusi. Adapun kriteria inklusi tersebut adalah
pasien yang mencabut gigi molar permanen
pertama bawah lebih dari 1 bulan, pasien yang telah
kehilangan gigi molar permanen pertama bawah,
bersedia menjadi responden, kooperatif, dan sehat
berdasarkan anamnesis.Jumlah sampel pada
penelitian ini adalah 68 orang. Alat yang digunakan
dalam
penelitian
ini
yaitu
alat
tulis,
informedconsent, dan kuesioner.
Prosedur penelitian adalah sampel dari
populasi penelitian diidentifikasi sesuai dengan
kriteria inklusi yang telah ditentukan. Sampel
penelitian yang telah memenuhi kriteria kemudian
dijelaskan tentang manfaat dan prosedur penelitian
yang akan dilakukan peneliti dan diberikan lembar
informed consent sebagai tanda persetujuan
menjadi subyek penelitian. Sampel kemudian
diukur tingkat pengetahuannya tentang gigi tiruan
atau protesa post ekstraksi dengan melakukan
pengisian kuesioner.Data yang diperoleh dari hasil
penelitian dianalisis menggunakan uji chisquaredengan tingkat kepercayaan 95% (=
0,05)untuk mengetahui hubungan antara tingkat

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 196 199
- 199

198

pengetahuan pemakaian protesa pada pasien post


ekstraksi molar permanen pertama bawah dengan
pemakaian protesa.
HASIL PENELITIAN
Berikut ini adalah distribusi frekuensi
sampel penelitian menurut jenis kelamin, usia,
pendidikan akhir, jenis protesa, dan alasan tidak
memakai protesa. Menurut jenis kelamin, sebagian
besar responden adalah perempuan yaitu sebanyak
37 orang (54,4%) dan laki-laki sebanyak 31 orang
(45,6%).Menurut usia, pada rentangusia 61-70
tahun yang palingbanyakmemakaiprotesayaitu 9
orang (13,3%) dan pada rentangusia 31-40 tahun
yang palingbanyaktidakmemakaiprotesayaitu 28
orang (41,1%).Menurutpendidikanakhir, responden
yang berpendidikanakhir SD sebanyak 2 orang
(2,9%), yang berpendidikanakhir SMP sebanyak 3
orang (4,4%), yang berpendidikanakhir SMA
sebanyak 39 orang (57,4%), dan yang
berpendidikanakhiruniversitassebanyak 24 orang
(35,3%).Menurutjenisprotesa, responden laki-laki
dan perempuan yang menggunakan GTL masingmasingsebanyak 1 orang dan responden yang
palingbanyakmenggunakan
GTSL
adalahperempuansebanyak
7
orang.Menurutalasantidakmemakaiprotesa,
responden denganalasantidakinginsebanyak 35
orang(64,8%), tidaktahusebanyak 15 orang
(27,8%), tidakadabiayasebanyak 3 orang (5,6%),
dan tidakadawaktusebanyak 1 orang (1,8%).

Gambar

1. Hubungan Tingkat Pengetahuan


Pemakaian Protesa pada Pasien Post
Ekstraksi Molar Permanen Pertama
Bawah dengan Pemakaian Protesa di
Poliklinik GigiRSUD UlinBanjarmasin

Berdasarkan Gambar 1 responden yang tidak


memakaiprotesa dengan tingkat pengetahuan baik
ada 20 orang dan responden dengan tingkat
pengetahuan buruk ada 34 orang. Responden yang

memakai protesa dengan tingkat pengetahuan baik


ada 11 orang dan responden dengan tingkat
pengetahuan buruk ada 3 orang. Berdasarkan hasil
uji chi squarediketahui nilai signifikannya sebesar
(0,006). Karena nilai ini <0,05 maka H0 ditolak dan
H1 diterima, hal ini menunjukkan terdapat
hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan pemakaian protesa dengan pemakaian
protesa.
PEMBAHASAN
Responden yang melakukan pencabutan gigi
molar permanen pertama bawah karena karies
berjumlah 68 orang. Hasil ini didapat dari
wawancaraseluruh responden yang beralasan
mereka melakukan pencabutan gigi dikarenakan
gigi berlubang. Hasil ini sesuai dengan penelitian
yang telah dilakukan oleh Janjua dkk (2011),
persentase pencabutan molar pertama bawah kiri
sebesar 32,1% dan pencabutan molar pertama
bawah kanan sebesar 30,6% yang kebanyakan
disebabkan oleh karies. Hal ini dikarenakan gigi
molar permanen pertama bawah merupakan gigi
tetap yang pertama kali erupsi sekitar umur 6-7
tahun pada periode gigi campuran sehingga
menyebabkan gigi lebih cepat terkena karies
dibandingkan gigi yang lain.5
Sampel yang melakukan pencabutan gigi
molar permanen pertama bawah tidak seluruhnya
memakai protesa. Responden yang memakai
protesa hanya berjumlah 14 orang, sedangkan yang
tidak memakai protesa berjumlah 54 orang.
Banyak kasus kehilangan gigi tidak diimbangi
dengan perawatan prostodonsia. Rendahnya
kesadaran masyarakat dapat dilihat dari paradigma
lama yang menganggap bahwa dengan mencabut
gigi tanpa mengganti dengan gigi tiruan akan
menyelesaikan masalah.2
Seluruh sampel mengetahui bahwa protesa
adalah gigi tiruan yang menggantikan gigi yang
hilang. Masyarakat yang masih belum tahu bahwa
kehilangan satu gigi belakang saja dapat digantikan
oleh protesa yaitu sebanyak 15 orang. Sebanyak 35
orang berpendapat bahwa setelah melakukan
pencabutan gigi belakang tidak mempengaruhi
pengunyahan sehingga merasa tidak perlu
dilakukan pemasangan protesa. 21 sampel mengira
protesa hanya untuk memperbaiki fungsi estetik,
padahal protesa juga dapat memperbaiki fungsi
kunyah dan bicara. Hasil ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan Pongsibidang dkk
(2013), hampir sebagian besar respondennya
memahami dampak dari kehilangan gigi terhadap
fungsi pengunyahan dan penampilan, tetapi
responden tidak menggunakan gigi tiruan.7
Berdasarkan Gambar 1meskipun responden
tidak memakai protesa, tetapi responden memiliki
tingkat pengetahuan yang baik. Menurut Silviana

200
Pramasanti
: Hubungan Tingkat Pengetahuan Pemakaian Protesa
(2013), alasan responden tidak menggunakan gigi
tiruan lebih dikarenakan persepsi responden
terhadap perawatan gigi tiruan bukan sebagai
kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Pendapat ini
dilatarbelakangi oleh tingkat ekonomi responden
yang bisa dikatakan rendah apabila dihubungkan
dengan tingkat pendidikan. Pengalaman juga dapat
memengaruhi seseorang tidak menggunakan gigi
tiruan, dari responden yang diteliti ada yang merasa
takut menggunakan gigi tiruan karena melihat
pengalaman teman yang gigi tiruannya tertelan.
Ada juga yang merasa tidak nyaman jika
menggunakan gigi tiruan.8
Pada responden yang memakai protesa tetapi
pengetahuannya masih buruk tentang pemakaian
protesa, peneliti berasumsi bahwa ini dikarenakan
responden yang memakai protesa masih belum
memahami cara perawatan protesa yang benar dan
tidak
mengetahui
fungsi
protesa
selain
memperbaiki
fungsi
kunyah
juga
dapat
memperbaiki fungsi estetik dan bicara. Hasil ini
sesuai dengan penelitian Titjo dkk (2013) yang
menyebutkan pengetahuan masyarakat pengguna
gigi tiruan yang masih tergolong cukup ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka
tentang cara pemeliharaan gigi tiruan yang mereka
gunakan serta gigi sisa dan jaringan lunak mulut
lainnya. Mayoritas responden hanya memperoleh
informasi dari mulut ke mulut berdasarkan
pengalaman orang lain tanpa menerima informasi
dan instruksi dalam menjaga kebersihan rongga
mulut pada saat pembuatan gigi tiruan mereka.9
Rendahnya kesadaran atau minat masyarakat
tentang pemakaian protesa menunjukkan peranan
tenaga medis seperti dokter gigi dan perawat gigi
masih sangat rendah dalam memberikan
penyuluhan atau informasi mengenai protesa.
Masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui
bahwa kehilangan satu atau dua gigi belakang dapat
digantikan oleh protesa atau gigi tiruan. Menurut
Titjo dkk (2013), salah satu alasan seseorang
menunjukkan sikap dalam memperoleh kesehatan
adalah suatu inovasi yang dapat memotivasi
responden. Melalui inovasi atau program-program
kesehatan, responden mengadopsi nilai-nilai yang
berkaitan dengan upaya pemeliharaan kesehatan
gigi dan mulut sehingga mereka memiliki kesediaan
untuk berubah.9
Kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini adalah pemakaian protesa masih
sangat
rendah
menunjukkan
kurangnya
pengetahuan masyarakat dalam upaya pemeliharaan
kesehatan gigi dan rendahnya kesadaran
masyarakat dalam mempertahankan fungsi gigi,
khususnya setelah melakukan pencabutan gigi
molar permanen pertama bawah. Hasilpenelitian ini
diharapkan dapat menjadi salah satu upaya
promotifuntuk
meningkatkan
pemakaian
protesapost ekstraksi, terutama di Kota Banjarmasin

199

dengan cara melakukan penyuluhan berupa


pemberian motivasidan pemberian brosur tentang
manfaat protesa pada saat sebelum atau sesudah
pencabutan gigi yang dilakukan oleh tenaga medis
yaitu dokter gigi dan perawat gigi. Penyediaan
laboratorium dan alat bahan untuk pembuatan
protesa di RSUD Ulin Banjarmasin juga diperlukan
sehingga masyarakat dapat memiliki sarana dan
prasarana untuk pembuatan protesa tanpa harus
membuatnya di tukang gigi.Perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh tingkat
usia
terhadap
pemakaian
protesa,
atau
mengidentifikasi jenis-jenis gigi tiruan yang banyak
digunakan oleh masyarakat Kalimantan Selatan.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

AgtiniMD. Persentase Pengguna Protesa di


Indonesia. Media Litbang Kesehatan.2010;
20(2):51.
JonanA.
Gigi
Tiruan,
Kapan
Anda
Memerlukannya?.
Available
on
(http://rspondokindah.co.id/rspi/Vol-04-OktDes-2008/View-category.html). Accessed on
17 Maret 2013.
Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) Laporan Nasional tahun
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan
Departemen
Kesehatan RI.2008. Hal: 131-132.
Departemen Kesehatan RI. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2007.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2009.
Hal: 116, 121.
Janjua OS, Hassan SH, Azad AA, Ibrahim
MW, Luqman U, Qureshi SM. Reasons and
Pattern of First Molar Extraction- A Study.
Pakistan Oral & Dental Journal. 2011; 31(1):
51.
Oginni AO, Olusile AO, Udoye CI.
Distribution And Types of Artificial Crowns
And Bridges Prescribed At A Nigerian
Teaching Hospital. Nigerian Journal of
Clinical Practice. 2004; 7(1): 24-27.
Pongsibidang H, Wowor VNS, Supit A.
Alasan Masyarakat Kelurahan Sario Tumpaan
Tidak Menggunakan Gigi Tiruan. Jurnal eGiGi. 2013; 1(2): 1-7.
Silviana A, Wowor VNS, Mariati NW.
Persepsi tentang Perawatan Gigi Tiruan pada
Masyarakat Kelurahan Maasing Kecamatan
Tuminting Kota Manado. Jurnal e-GiGi.
2013;1(2): 1-8.
Titjo OC, Lampus BS, Juliatri. Perilaku
Masyarakat Pengguna Gigitiruan Lepasan di
Kelurahan Bahu. Jurnal e-GiGi. 2013;1(2): 18.

201

200

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
INSIDENSI KARIES GIGI PADA ANAK USIA PRASEKOLAH
DI TK MERAH MANDIANGIN MARTAPURA
PERIODE 2012-2013

Mirna Dara Mustika, Amy N. Carabelly, Cholil


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACT
Background: The main issue of childrens oral health is dental caries. Dental caries is not only happening to
permanent teeth but also to deciduous teeth. Deciduous teeth is the indicator of dental health in preschool
children when we need to know the condition of childrens dental health. TK Merah Mandiangin is located in the
suburb which is isolated from dental care and most likely it gets less attention, so that is hypothesized to raise
the risk factor of caries. Objective: The purpose of this research is to know the incidence of dental caries in TK
Merah Mandiangin Martapura. Method: The method was a descriptive survey method. The population of this
research was preschool children from where 52 samples were chosen by total sampling. Result: The result was
collected from 8 persons of 3-year old students, 19 persons of 4-year old students, and 25 persons of 5-year old
students. The def-t status for decay was 97,86%, indicated for extraction was 1,99% and for filling was 0,33%.
Mean of def-t index in this research was 5,8 which is in high category by WHOs standard. Conclusion: The
conclusion is the incidence of dental caries in preschool children at TK Merah Mandiangin Period of 2012-2013
was high.

Keywords: preschool children,def-t index, incidence of caries


ABSTRAK
Latar Belakang: Masalah utama dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah karies gigi. Karies gigi tidak
hanya terjadi pada gigi permanen tetapi juga pada gigi sulung. Gigi sulung merupakan indikator kesehatan gigi
pada anak usia prasekolah yang diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi anak. TK Merah Mandiangin
terletak di daerah pinggiran yang jauh dari perkotaan dan perawatan kesehatan gigi cenderung kurang
mendapat perhatian, sehingga diduga meningkatkan faktor resiko terjadinya karies. Tujuan: Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui insidensi karies gigi di TK Merah Mandiangin Martapura. Metode:
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey deskriptif. Populasi pada penelitian ini adalah anak
usia prasekolah sebanyak 52 sampel dipilih secara totalsampling. Hasil: Diperoleh hasil penelitian indeks def-t
pada anak usia prasekolah yang berasal dari 8 orang def-t pada anak-anak di TK Merah Mandiangin berjumlah
97,86% untuk karies, 1,99% untuk indikasi pencabutan, dan 0,33% untuk gigi yang ditambal. Rata-rata def-t
penelitian adalah 5,8 dan termasuk kategori tinggi menurut WHO. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa insidensi
karies pada anak usia prasekolah di TK Merah Mandiangin Periode 2012-2013 tergolong tinggi.
Kata kunci: anak prasekolah, indeks def-t, insidensi karies
Korespondensi: Mirna Dara Mustika, Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128 B, Banjarmasin, Kalsel, mirna.dents@yahoo.com

201

Mustika : Insidensi Karies Gigi


PENDAHULUAN
Karies adalah suatu penyakit infeksi yang
dihasilkan dari interaksi bakteri. Karies gigi terjadi
karena proses demineralisasi dari interaksi bakteri
pada permukaan gigi. Bakteri bersifat asam
sehingga dalam periode waktu tertentu, asam akan
merusak email gigi dan menyebabkan gigi menjadi
berlubang. Faktor etiologi terjadinya karies yaitu
mikroorganisme plak, diet dan waktu. Karies pada
gigi sulung sering menyerang gigi molar rahang
bawah, gigi molar rahang atas, dan gigi anterior
rahang atas. Pada masa periode gigi bercampur
karies gigi sering menyerang pada gigi molar
permanen rahang bawah dibandingkan dengan gigi
rahang atas.,
Menurut Meinarly Gultom di Kecamatan
Balige Sumatera Utara, sebanyak 49,33% anak
balita menderita karies botol, gigi berlubang
(24,67%), gusi berdarah (10,67%), dan gusi
bengkak (8,67%). Sebagian besar responden tidak
pernah membawa anaknya ke dokter gigi.
Kebanyakan responden membawa anaknya ke
dokter gigi jika sudah terdapat keluhan pada gigi
anak. Kalimantan Selatan sendiri, angka karies gigi
pada tahun 1995 untuk kota Banjarmasin mencapai
40,5% dan merupakan angka karies gigi tertinggi
dibandingkan kota lain. Menurut penelitian
Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang
dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes)
pada tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang
diambil sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI
di wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar
Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang
dinyatakan bebas karies gigi.,4
Tingginya angka karies gigi menunjukkan
bahwa tenaga medis pada bidang kesehatan gigi
perlu memperkenalkanpendidikan kesehatan gigi
sedini mungkin pada anak agar mereka dapat
mengetahui cara memelihara kesehatan gigi dan
mulut secara baik dan benar. Menurut Haryani
(2002), anak usia prasekolah merupakan salah satu
kelompok yang paling rentan terhadap penyakit gigi
dan mulut karena umumnya masih mempunyai
perilaku atau kebiasaan diri yang kurang
menunjang terhadap kesehatan gigi. Masalah utama
dalam rongga mulut anak sampai saat ini adalah
karies gigi. Gigi sulung merupakan indikator
kesehatan gigi pada anak usia prasekolah yang
diperlukan untuk menilai keadaan kesehatan gigi
anak.,5 Indikator yang dapat digunakan untuk
menilai karies gigi pada gigi sulung adalah indeks
def-t. Indeks def-t adalah jumlah gigi sulung yang
mengalami karies, dengan menghitung d (decay)
yaitu gigi sulung yang mengalami karies, e
(indicated for extraction) yaitu terdapat karies besar
pada gigi sulung dan diindikasikan untuk
dilakukan pencabutan, dan f (filled) yaitu gigi

sulung yang karies dan sudah direstorasi tanpa


adanya karies sekunder
TK Merah Mandiangin merupakan TK
yang terletak di daerah pinggiran, dengan asumsi
letaknya yang cenderung jauh dari perkotaan dan
perawatan kesehatan gigi cenderung kurang
mendapat perhatian sehingga diduga meningkatkan
faktor risiko terjadinya karies. Belum pernah
dilakukan penelitian pada anak prasekolah di TK
Merah Mandiangin Martapura. Berdasarkan latar
belakang diatas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian insidensi karies gigi anak
prasekolah menggunakan indeks def-t (decay
extraction filling-teeth).
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui insedensi karies gigi pada anak
prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura
Periode 2012-2013.

METODE
Rancangan penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan metode survei deskriptif. Survei
deskriptif adalah suatu penelitian yang dilakukan
untuk mendeskripsikan atau menggambarkan secara
rinci suatu fenomena yang terjadi di masyarakat.
Populasi dalam penelitian ini adalah anak
prasekolah di TK Merah Mandiangin Martapura
Periode 2012-2013 yang berjumlah 52 orang
berdasarkan jumlah siswa di TK Merah Mandiangin
Martapura. Sampel yang digunakan pada penelitian
ini adalah total sampling, yaitu seluruh populasi
tersebut dijadikan sebagai sampel penelitian.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat
diagnosa kedokteran gigi seperti kaca mulut, pinset,
sonde, dan excavator, sikat gigi, alat tulis, handuk
dan lap putih, masker dan sarung tangan, alkohol
70%, kapas, pasta gigi, lembar persetujuan, lembar
pemeriksaan def-t.
Prosedur penelitian dilakukan dengan
langkah pertama orang tua murid TK Merah
Mandiangin Martapura mengisi lembar persetujuan
yang didampingi oleh guru dan peneliti. Kemudian,
dilakukan pemeriksaan def-t pada rongga mulut
anak TK Merah Mandiangin untuk menentukan
insidensi karies gigi anak prasekolah periode 20122013. Hasil pemeriksaan dicatat dalam formulir
pemeriksaan. Pengumpulan data diperoleh dari
hasil pemeriksaan def-t pada anak TK Merah
Mandiangin Martapura Periode 2012-2013. Data
dari hasil pemeriksaan def-t yang diperoleh

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 206
204

202

dimasukan dalam tabel dan dilakukan penghitungan


dengan menggunakan rumus indeks def-t.

HASIL PENELITIAN

Jenis Kelamin
Jumlah
Laki

Perempuan

185

110

295

Jumlah

190

112

302

Tabel 3.1Data def-t TK Merah Mandiangin

Indeks def-t =

= 5,8

Berdasarkan data diatas dapat dilihat


bahwa indeks def-t pada TK Merah Mandiangin
Martapura adalah 5,8 berdasarkan standar karies
menurut WHO termasuk kategori Tinggi.

PEMBAHASAN
Indeks def-t pada siswa siswi prasekolah
di TK Merah Mandiangin Martapura sekitar 5,8.

Berdasarkan standar karies menurut WHO, indeks


def-t pada siswa siswi tersebut termasuk dalam
golongan tinggi. Hasil penelitian ini berbeda
dengan
penelitian
sebelumnya.
Menurut
Dharmawan berdasarkan survei kesehatan gigi yang
dilakukan bersama dengan Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) pada
tahun 1997, dari 500 orang anak SD yang diambil
sebagai sampel dari kelas I sampai kelas VI di
wilayah Kecamatan Banjar Timur dan Banjar
Selatan menunjukan hanya 1 orang anak yang
dinyatakan bebas karies gigi.4 Perbedaan penelitian
ini dengan penelitian sebelumnya adalah responden
penelitian yang digunakan, pada penelitian ini
menggunakan anak usia prasekolah sedangkan
penelitian sebelumnya dilakukan pada anak sekolah
dasar.
Indeks def-t menunjukan pada siswa lakilaki lebih tinggi daripada siswa perempuan.
Berdasarkan jumlah reponden penelitian pada TK
Merah Mandiangin Martapura yang berjumlah 52
orang yang terdiri atas 32 orang siswa laki-laki dan
20 orang siswa perempuan dinyatakan semua
responden terkena karies dan tidak ada yang
dinyatakan bebas karies. Perbedaan jumlah siswa
laki-laki dan perempuan yang terkena karies
tersebut bukan disebabkan oleh perbedaan jenis
kelamin. Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan oleh Fitriani (2007), jenis kelamin bukan
merupakan faktor resiko terjadinya karies sehingga
tidak mempengaruhi insiden terjadinya karies pada
gigi sulung. Faktor resiko yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada anak
prasekolah tersebut antara lain kebersihan gigi dan
mulut, pH saliva, kebiasaan makan makanan
kariogenik, keteraturan menggosok gigi, lamanya
substrat menempel, dan praktik ibu.15
Faktor resiko seperti kebiasaan makan
makanan kariogenik merupakan faktor yang paling
sering terjadi pada anak usia prasekolah.15 Hal
tersebut didukung oleh Rimm (2003) yang
menyatakan bahwa pada usia tersebut umumnya
anak menyukai makanan manis.16 Kebiasaan ini
terbentuk karena pengetahuan para ibu mengenai
diet yang baik bagi anak masih tergolong rendah,
sehingga mereka telah memperkenalkan makanan
manis kepada anak sejak balita. Anak menjadi
terbiasa mengkonsumsi makanan manis tersebut
dan kebiasaan itu akan berlanjut sampai mereka
dewasa.17
Semakin banyak makanan manis yang
anak konsumsi, semakin tinggi resiko anak

211
203

Mustika : Insidensi Karies Gigi


mengalami karies.18 Rendahnya pengetahuan orang
tua tentang kesehatan gigi dan mulut yang masih
mengabaikan pertumbuhan dan pemeliharaan gigi
anaknya pada saat pertumbuhan gigi sulung
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
karies, sehingga diharapkan orang tua ikut berperan
mengawasi kebersihan gigi dan mulut anak mereka
dengan cara mengajarkan cara perawatannya.19
Faktor predisposisi lainnya yang dapat
mempengaruhi tinggi rendahnya karies pada
individu antara lain faktor sosial ekonomi, usia, dan
lingkungan.18,20 Faktor sosial ekonomi merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi angkat
terjadinya karies.18 Status sosial ekonomi yang
rendahdiukur
berdasarkan
pendidikan
dan
pendapatan dan telah diasosiasikan dengan
kurangnya konsumsi serat pada individu yang
tinggal di daerah rumah tangga sosial-ekonomi
rendah.,
Individu dengan pendidikan yang rendah
cenderung
mengalami
karies
1,306
kali
dibandingkan responden dengan pendidikan yang
lebih tinggi. Hal tersebut dapat disebabkan karena
adanya program UKGS pada tingkat pendidikan
yang lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi
pengetahuan individu dan berefek pada pemilihan
makanan yang sesuai bagi kesehatan gigi
mereka.18,,4 Pendapatan yang terbatas juga dapat
mempengaruhi angka kejadian karies karena
pendapatan memiliki pengaruh terhadap makanan
yang dikonsumsi oleh individu, baik pemilihan
jenis maupun jumlah makanan yang dikonsumsi.
,4 Riyanti (2012) melaporkan bahwa keluarga
dengan tingkat pendapatan rendah lebih sedikit
mengkonsumsi serat buah yang berperan dalam
mengurangi akumulasi plak dan mencegah
terjadinya karies.,6,7
Sejumlah penelitian sebelumnya
memperlihatkan adanya hubungan antara status
sosial dan karies gigi. Salah satu hasil penelitian
dari Budiasuri et al (2010) menunjukkan bahwa
prevalensi karies lebih tinggi pada anak-anak yang
berasal dari status sosial ekonomi rendah.18 Hal ini
dikarenakan anak dari status ini lebih sedikit makan
makanan yang berserat dan rendahnya tingkat
pendidikan dapat menyebabkan kurangnya
pengetahuan tentang kesehatan gigi dan mulut,
sehingga hal tersebut dapat meningkatkan angka
terjadinya karies gigi pada seseorang.18,,
Berdasarkan hal tersebut, anak-anak
prasekolah yang terdapat di TK Merah Mandiangin
dengan kondisi sosial ekonomi rendah cenderung
memiliki indeks def-t yang lebih tinggi dibanding
anak-anak prasekolah dengan kondisi sosial
ekonomi menengah ke atas. Keterbatasan penelitian
ini adalah peneliti hanya meneliti mengenai karies

gigi pada anak tanpa mengukur pengetahuan


orangtua terutama ibu, terhadap terjadinya karies
pada anak usia prasekolah. Penelitian ini juga
belum dapat menggambarkan insidensi karies pada
anak usia 3 tahun karena pada usia tersebut
orangtua masih jarang mendaftarkan anaknya untuk
bersekolah di taman kanak-kanak.
DAFTAR PUSTAKA
1.

Hiranya M P, Eliza H, Neneng N. Ilmu


Pencegahan Penyakit Jaringan Keras dan
Jaringan Pendukung gigi. Jakarta: EGC; 2011.
Hal: 104.
2. Haryani W, Hadi H, Hendrartini Y. Hubungan
Antara Konsumsi Kerbohidrat Dengan Tingkat
Keparahan Karies Gigi pada Anak Usia
Prasekolah di Kecamatan Depok, Sleman,
Yogyakarta. Berita Kedokteran Masyarakat.
Yogyakarta. 2002; XVIII(3):131-137.
3. Gultom M. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan
Ibu-Ibu Rumah Tangga Terhadap Pemeliharaan
Kesehatan Gigi dan Mulut Anak Balitanya, di
Kecamatan Balita, Kabupaten Toba Samosir
Sumatera Utara. Medan: Universitas Sumatera
Utara; 2009. Hal: 23-29.
4. Utami NK, Hidayati S, Muafiro A. Efektivitas
Pelayanan Asuhan dan Penyuluhan Kesehatan
Gigi dan Mulut di SDN Sei Besar 7 Banjarbaru
Kalimantan Selatan. Buletin Penelitian RSU Dr
Soetomo. 2008; 10(2):12-19.
5. Natamiharja L, Dwi NS. Hubungan
Pendidikan, Pengetahuan dan Perilaku Ibu
Terhadap Status Karies Gigi Balitanya.
Dentika Dental Journal. 2010; 15(1):37-41.
6. Angela, A. Pencegahan Primer Pada Anak
yang Berisiko Karies Tinggi. Maj. Ked. Gigi
(Dent. J). 2005;38(3):130-134.
7. Pratiwi, Rini. Perbedaan Daya Hambat
terhadap Streptococcus mutans dari Beberapa
Pasta Gigi yang Mengandung Herbal. Dent. J.
2005; 38(2):64-65.
8. Kellog N. Oral and Dental Aspects of Child
Abuse and Neglect. Pediatrics. 2005; 116:
1565-1568.
9. ADHS: The dental team's responsibility in
reporting child abuse and neglect - Part
4.Tersedia melalui: http://www.azdhs.gov,
2006. (diakses buln juni 2007).
10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Gizi Seimbang Menuju Hidup Sehat Bagi
Balita. Jakarta, 2000: Hal: 12-19.
11. Widayatun TR. Ilmu Prilaku M.A 104. Jakarta:
CV Sagung Seto; 2009. Hal: 145-148.
12. Mishra, R. 2010. Dental indices used in
Pedodontics.
Available
at
http://www.docstoc.com/docs/25098629/Denta

204

13.

14.
15.

16.

17.

18.

19.

20.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 200 - 208
204
l-indices-used-in pedodontics. (diakses bulan
maret 2011).
Imron M, dan amrul. Metode Penelitian Bidang
Kesehatan. Jakarta: CV Sagung Seto; 2010.
Hal: 195-196.
Sugiyono.
Statistika
Untuk
Penelitian.
Bandung: Alfabeta; 2007.Hal:63.
Fitriani F. Faktor Risiko Karies Gigi Sulung
Anak (Studi Kasus Anak TK Islam Pangeran
Diponegoro Semarang). Semarang: Universitas
Diponegoro; 2007. Hal:3-7.
Rymm, SB. Mendidik dan Menerapkan
Disiplin Pada Anak Prasekolah: Pola Asuh
Anak Masa Kini. Jakarta: Gramedia; 2003.
Hal:175.
Prabantini, D. A to Z Makanan Pendamping
ASI. Yogyakata: CV Andi Offset; 2010. Hal:
13.
Budisuari MA, Oktarina, Mikrajab MA.
Hubungan Pola Makan dan Kebiasaan
Menyikat Gigi Dengan Kesehatan Gigi dan
Mulut (Karies) di Indonesia. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan. 2010; 13(1):83-91.
Balatif FF, Lesmana D, Nuita R. Gambaran
Karies Gigi Siswa Kelas I sampai Kelas III
Berdasarkan Pengetahuan Kesehatan Gigi dan
Mulut Orangtua di SD Jayasari Kecamatan
Tanjung
Sari.
Bandung:
Universitas
Padjajaran; 2010. Hal:6-7.
Lee HY, Choi YH, Park HW, Lee SG.
Changing Patterns in the Associaton Between
Regional Social-economic Context and Dental
Caries Experience According to Gender and
Age: A Multilevel Study in Korean Adults.
International. Journal of Health Geographic.
2012; 11(3):46-50.

21. Adi, R. Metodologi Penelitian Sosial dan


Hukum. Jakarta: Granit; 2004. Hal: 39.
22. Riyanti, DT. Hubungan Tingkat Pendidikan
dan Pendapatan Keluarga Terhadap Konsumsi
Serat (Sayur, Buah, Kacang) Pada Lansia Usia
60-74 Tahun di Pulau Sumatera (analisis Data
Sekunder Riskesdas). Jakarta: Universitas Esa
Unggul; 2012. Hal: 92.
23. Isrofah, NEM. Pengaruh Pendidikan Kesehatan
Gigi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Anak
Usia Sekolah di SD Boto Kembang
Kulonprogo Yogyakarta. Pena Medika Jurnal
Kesehatan. 2010; 1(1):1.
24. Trubus. Kegemukan Pergi dan Tak Kembali,
My Healthy Life. Jakarta: Trubus Swadaya;
2010. Hal: 41.
25. Celeste RK, Fritzell J, Nadanovsky P. The
Relationship Between Levels of Income
Inequality and Dental Caries and Periodontal
Disease. Cad saude Publica. 2011;27(6):11111120.
26. Kidd EAM dan Bechal SJ. Dasar-dasar Karies:
Penyakit dan Penanggulangannya. Jakarta
EGC; 1992. Hal:96.
27. Noviana T. Perbedaan Efektivitas Pemberian
Jus Apel (Pyrus Malus) atau Jus Stroberi
(Fragaria Chiloensis L) Untuk Menghambat
Akumulasi Plak Gigi Pada Anak SDN Cibigo
Bandung. Semarang: Universitas Diponegoro.
2009. Hal: 6-19.

211
205

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
PERBANDINGAN PERUBAHAN WARNA HEAT CURED ACRYLIC BASIS GIGI TIRUAN YANG
DIRENDAM DALAM KLORHEKSIDIN DAN EFFERVESCENT (Alkaline peroxide)

Yordan Kangsudarmanto, Priyawan Rachmadi, I Wayan Arya KF


Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin

ABSTRACK
Background: One type of acrylic resin which is often used as a denture base is heat cured acrylic.
Accumulation of plaque which is often form on denture resulting odor and bad taste for the users. Chemical
solution such as chlorhexidine and effervescent tablets are often used to eliminate the problem. One of the
properties of acrylic is liquid absorbed slowly including denture cleaning solution. The long-term application in
both solutions result color changes on acrylic resin. Purpose: This study was to determined the color change of
heat cured acrylic that were soaked in a chlorhexidine solution and effervescent tablets. Methods: This study
was a true experimental research design with pretest and post-test only with control group design, with acrylic
plate samples of 26 mm diameter and 0.4 mm of thickness consisting of 6 treatment groups, 3 groups soaking in
chlorhexidine for 15, 105, and 210 minutes and 3 groups in effervescent for 5, 35 and 70 minutes. Thirty samples
were used in the experiment. The color changes observation each group was measured by spectrophotometer
BPY series-47 type photo cell and digital microvolt. The statistical test used was paired T test with a significance
value 0.05. Result: The results of this study showed that the color change of heat cured acrylic after immersion
in chlorhexidine solution for 15, 105 and 210 minutes and in effervescent solution for 5, 35 and 70 minutes.
Conclusion: Chlorhexidin caused greater changes colour of heat cured acrylic resin compared to effervescent.
Keywords: color changes, heat cured acrylic, chlorhexidine, effervescent tablets.
ABSTRAK
Latar Belakang: Salah satu jenis resin akrilik yang sering digunakan sebagai basis protesa adalah heat
cured acrylic. Sering terjadi penumpukan plak dan jamur pada gigi tiruan yang mengakibatkan bau dan rasa
tidak nyaman pada pemakaian. Larutan pembersih kimia seperti klorheksidin dan tablet effervescent sering
digunakan untuk menghilangkan masalah tersebut. Salah satu sifat akrilik adalah menyerap cairan secara
perlahan-lahan termasuk larutan pembersih gigi tiruan. Pemakaian dalam jangka waktu yang lama kedua
larutan tersebut mengakibatkan perubahan warna pada resin akrilik. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
mengetahui perubahan warna heat cured acrylic yang direndam pada larutan klorheksidin dan tablet
effervescent. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni dengan rancangan penelitian
pretest and post test only with control group design, dengan sampel akrilik berbentuk silinder berdiameter 26
mm dan tebal 0,4 mm yang terdiri dari 6 kelompok perlakuan, yaitu 3 kelompok perendaman larutan
klorheksidin dengan waktu 15, 105, dan 210 menit dan 3 kelompok perendaman larutan effervescent dengan
waktu 5, 35 dan 70 menit. Tigapuluh sampel digunakan pada penelitian. Perubahan warna masing-masing
kelompok diukur dengan rangkaian alat spektrofotometer BPY-47 type photo cell dan mikrovolt digital. Uji
statistik yang digunakan adalah T test berpasangan dengan nilai signifikansi 0,05. Hasil: Hasil dari penelitian
menunjukkan terjadinya perubahan warna heat cured acrylic setelah perendaman larutan klorheksidin pada 15,
105 dan 210 menit dan larutan effervescent pada 5, 35 dan 70 menit. Kesimpulan: Klorheksidin menyebabkan
perubahan warna yang lebih besar dibandingkan dengan effervescent.
Kata-kata kunci: perubahan warna, heat cured acrylic, klorheksidin, tablet effervescent.
Korespondensi: Yordan Kangsudarmanto, Program Studi Kedokteran Gigi, Fakultas Kedokteran Universitas
Lambung Mangkurat, Jl. Veteran 128B, Banjarmasin 70249, Kalimantan Selatan, e-mail:
yordankang@gmail.com

206

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 210
209

PENDAHULUAN
Bahan dasar basis gigi tiruan yang paling
banyak dipakai adalah resin akrilik polimetil
metakrilat jenis heat cured. Bahan basis gigi tiruan
yang ideal harus memiliki ciri-ciri fisikal yang
sesuai. Beberapa ciri-ciri tersebut antara lain
biokompatibilitas, estetik yang baik, radiopak dan
mudah diperbaiki. Basis gigi tiruan harus cukup
kuat agar dapat berfungsi pada beban pengunyahan
yang maksimal.1,2
Salah satu perawatan gigi tiruan dari plak
dan kuman yang menempel adalah dengan cara
melakukan pembersihan secara kimia. Perendaman
dalam larutan klorhexidin selama 15 menit dapat
menghambat virus dan aktif melawan jamur pada
gigi tiruan.6 Perendaman dalam larutan tablet
effervescent sesuai dengan aturan pemakaian
selama 5 menit, pada saat tablet effervescent
dilarutkan dalam air hangat maka sodium perborate
akan terurai dan membentuk senyawa alkaline
peroxide yang melepaskan oksigen dan terjadilah
aksi pembersihan mekanis terhadap deposit yang
menempel pada gigi tiruan.4
Klorheksidin sering dipakai dalam dunia
kedokteran gigi sebagai obat kumur. Berkumur dua
kali sehari dengan menggunakan 0,2% larutan
klorheksidin
akan
mengurangi
jumlah
mikroorganisme dalam saliva sebanyak 80% dan
apabila pemakaian obat kumur dihentikan bakteri
akan kembali seperti semula dalam waktu 24 jam.
Klorheksidin bermanfaat untuk menghambat
pembentukan plak, juga dapat membantu
penyembuhan ulkus (sariawan).5
Tablet Effervescent (Alkaline peroxide)
adalah pembersih gigi tiruan yang sering digunakan
bagi pengguna gigi tiruan usia lanjut untuk
menghindari kecelakaan jatuh dan patahnya akrilik
gigi tiruan. Bahan pembersih gigi tiruan ini tersedia
dalam bentuk tablet dan bubuk. Alkaline peroxide
efektif untuk menghilangkan noda (stain) pada gigi
tiruan.4
Perubahan warna disebabkan oleh dua faktor
yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik
adalah perubahan kimia pada bahan itu sendiri yaitu
proses polimerisasi tidak sempurna sedangkan
faktor ekstrinsik adalah stain akibat absorpsi bahan
pewarna dari sumber-sumber eksogen seperti teh,
kopi, minuman ringan, nikotin, dan larutan kumur.
Kedua faktor ini menyebabkan terjadinya reaksi
kimia-fisik pada bahan resin. Ikatan reaksi kimiafisik yang terjadi adalah penyerapan perlekatan
partikel zat warna pada permukaan resin dan
penyerapan perlekatan yang masuk ke bagian
dalam melalui porositas. Konsentrasi dan lama
paparan bahan stain dalam minuman dapat
mempengaruhi pigmentasi resin.6,14 Selain itu
perubahan warna bisa dipengaruhi oleh faktor lain

diantaranya adalah kebersihan mulut, penyerapan


air dan proses polimerisasi yang tidak sempurna.6
BAHAN DAN METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam
penelitian
ini
adalah
true
experimental
(eksperimental murni) laboratorium dengan desain
penelitian Pretest and Postest Control Grup
Design. Sampel yang digunakan berbentuk silinder
berdiameter 26 mm dan tebal 0,4 mm, yang terbuat
dari bahan akrilik jenis heat cured (merk QC).
Sampel untuk 6 kelompok masing-masing
berjumlah 5 buah, jadi total sampel ada 30 buah.
Pengukuran perubahan warna dilakukan di
Laboratorium Fisika Optik Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga.
Pembuatan lempeng akrilik dilakukan di
laboratorium basah Program Studi Kedokteran Gigi
Universitas Lambung Mangkurat dengan prosedur
sebagai berikut, Sampel malam merah dibuat
sebagai model induk dengan diameter 26 mm dan
tebal 0,4 mm sebanyak 30 buah. Gips tipe II dibuat
menjadi adonan, perbandingan gips dengan air
untuk kuvet bawah adalah 300 gram : 90ml, adonan
diaduk dengan spatula dan dimasukkan ke dalam
kuvet yang telah disiapkan diatas vibrator agar
gelembung-gelembung udara keluar dari dalam
kuvet. Wax diletakkan pada adonan gips yang mulai
mengalami pengerasan (setting) di dalam kuvet dan
diamkan gips sampai setting. Permukaan gips pada
kuvet bawah diolesi vaselin dan kuvet atas diisi
dengan adonan gips diatas vibrator agar
gelembung-gelembung udara keluar dari dalam
kuvet. Setelah gips setting, pembuangan wax
dilakukan dengan cara kuvet direndam dalam air
panas, kemudian kuvet dibuka dan wax yang masih
tertinggal dibuang. Setelah kering olesi cold mould
seal.
Polimer dan monomer diaduk dalam stelon
pot porcelain dengan perbadingan 2:1 sesuai
petunjuk pabrik sehingga adonan mencapai fase
dough. Mould yang telah diolesi separator diisi
penuh dengan adonan resin akrilik. Plastik selopan
diletakkan antara kuvet atas dan bawah, kemudian
ditutup dan ditekan perlahan dengan pres hidrolik
dengan tekanan 1.000 psi (70kg/cm2). Kuvet dibuka
kembali dan kelebihan akrilik dipotong, kemudian
kuvet ditutup kembali, dilakukaan pengepresan
dengan tekanan 2.200 psi (154kg/cm2) dan
pemberian tekanan dilanjutkan sampai sebagian
besar kuvet berkontak rapat satu sama lain
kemudian baut dipasang. Kuvet tersebut direbus
didalam air medidih 1000C selama 30 menit. Kuvet
dikeluarkan dan dibiarkan dingin pada suhu kamar,
sampel dikeluarkan dari kuvet kemudian dirapikan
untuk menghilangkan bagian yang tajam dengan
menggunakan bur fraser. Sampel diratakan dan

Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan

dirapikan dengan menggunakan rotary grinder.


Permukaan
sampel
dihaluskan
dengan
menggunakan bur white stone dilanjutkan dengan
menggunakan abrassive paper di bawah air hingga
dihasilkan permukaan yang benar-benar rata dan
halus. Setelah itu, semua sampel dicuci dengan air
untuk menghilangkan sisa-sisa akrilik.
Selanjutnya sampel diberi perlakuan, dengan
membagi menjadi 6 kelompok masing-masing 5
sampel untuk kelompok yang direndam selama 15
menit, 5 sampel untuk kelompok yang direndam
selama 105 menit, dan 5 sampel yang direndam
selama 210 menit dalam larutan klorhexidin 0,2%.
Lima sampel untuk kelompok yang direndam
selama 5 menit, 5 sampel untuk kelompok yang
direndam selama 35 menit, 5 sampel untuk
kelompok yang direndam selama 70 menit dalam
larutan tablet effervescent. Sampel dikeluarkan dan
dibersihkan dengan air kemudian diletakkan diatas
tisu kering pada suhu kamar dan selanjutnya sampel
siap untuk diuji stabilitas warnanya.
Pengolahan data dengan pengukuran
stabilitas warna dengan menggunakan rangkaian
alat foto sel type BPY-47 dan microvolt digital.
Pengukuran dilakukan pada sampel sebelum dan
sesudah direndam dalam larutan klorheksidin 15,
105, dan 210 menit. Pengukuran dilakukan pada
sampel sebelum dan sesudah direndam dalam
larutan tablet effervescent 5, 35, dan 70 menit.
Uji
normalitas
dilakukan
dengan
menggunakan uji kolmogorov smirnov. Analisis
data dilakukan dengan pengujian statistik
menggunakan uji T berpasangan dengan tingkat
kepercayaan 95% (= 0,05). Uji signifikasi
terhadap hasil dengan membandingkan tingkat
kemaknaan (p) dengan tingkat signifikan () 0,05.
Hipotesis diterima jika nilai tingkat kemaknaan (p)
lebih kecil dari tingkat signifikan ().

207
211

Gambar 2 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
klorheksidin 105 menit.

Gambar 3 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
klorheksidin 210 menit.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian Perbandingan perubahan
warna heat cured acrylic basis gigi tiruan yang
direndam dalam klorheksidin dan effervescent
(Alkaline peroxide) dapat dilihat pada gambar
berikut.

Gambar 4 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
effervescent 5 menit.

Gambar 1 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
klorheksidin 15 menit.

Gambar 5 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
effervescent 35 menit.

212
Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 205 - 209

208

PEMBAHASAN

Gambar 6 Perbandingan perubahan warna sampel


akrilik sebelum dan sesudah perendaman
effervescent 70 menit.
Tabel 3. Rata-Rata Penurunan Nilai Perubahan
Warna Akrilik pada Larutan Klorheksidin
dan Effervescent.

Me
nit

Klorheksidin

Meni
t

15
105
210

2,5 mv
4,2 mv
10,2 mv

5
35
70

Effervescent
(alkaline
peroxide)
1 mv
2,9 mv
5,2 mv

Berdasarkan data pada Tabel 3, didapatkan


bahwa perubahan warna akrilik pada menit ke 15
klorheksidin adalah 2,5 mv sedangkan pada menit
ke 5 effervescent adalah 1 mv yang diasumsikan
sebagai 1 hari penggunaan. Menit ke 105
klorheksidin perubahannya sebesar 4,2 mv
sedangkan menit ke 35 effervescent 2,9 mv
diasumsikan sebagai penggunaan 1 minggu.
Klorheksidin menit ke 210 perubahan terjadi
sebesar 10,2 mv dan pada menit ke 70 effervescent
sebesar 5,2 mv yang diasumsikan sebagai
penggunaan 2 minggu.
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa
hasil uji statistik T test pada perbandingan
perubahan warna akrilik sesudah perendaman
dalam larutan klorheksidin dan effervescent
(alkaline peroxide) pada menit ke 15 larutan
klorheksidin dengan menit ke 5 menit larutan
effervescent menunjukkan nilai p = 0,006, karena
nilai p < 0,05 maka Ha diterima dan H0 ditolak
karena terdapat perubahan warna akrilik setelah
perendaman. Pada menit ke 105 klorheksidin
dengan menit ke 35 effervescent (alkaline peroxide)
menunjukkan nilai p = 0,25 dan pada menit ke 210
klorheksidin dengan menit ke 70 effervescent
menunjukkan nilai p = 0,00, karena nilai p < 0,05
maka Ha diterima dan H0 ditolak sehingga sesuai
dengan hipotesis yaitu ada perbedaan perubahan
warna yang bermakna.

Berdasarkan hasil uji T berpasangan dan ratarata perubahan warna akrilik setelah perlakuan pada
kedua larutan maka dapat dipahami bahwa hasil
penelitian sesuai dengan hipotesis peneliti yang
menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna
antara dua kelompok yaitu kelompok yang
direndam dalam klorhexidin dan kelompok yang
direndam dalam larutan effervescent (alkaline
peroxide). Prinsip pengukuran pada percobaan ini
adalah dengan perbedaan intensitas cahaya, dalam
hal ini disamakan dengan nilai voltmeter. Gerak
elektron dari katode ke anode merupakan sebab
adanya perbedaan intensitas cahaya pada efek foto
listrik. Bila cahaya yang dipantulkan lebih banyak
daripada cahaya yang diteruskan, maka nilai
voltmeter menurun, warna akrilik yang semula
merah merupakan spektrum warna merah yang
dipantulkan sedangkan warna lain diteruskan. Jika
warna akrilik yang semula berwarna merah dan
kemudian setelah dilakukan perendaman pada
larutan menjadi memudar atau lebih muda
(mengarah ke putih) berarti lebih banyak spektrum
yang dipantulkan daripada yang diteruskan,
sehingga nilai voltmeter menjadi turun.6
Perubahan warna akrilik yang direndam dalam
larutan klorheksidin disebabkan adanya interaksi
kation dan anion dari senyawa klor yang
terkandung dalam klorheksidin dengan akrilik
sehingga zat warna akrilik memudar. Hal yang
menyebabkan perubahan warna adalah adanya
perubahan dalam struktur polimer heat cured
acrylic dalam kandungan pigmen ( garam
cadmium, besi, Mercury sulfide (HgS), dan
pewarna organik ) bereaksi dengan klorheksidin itu
sendiri sehingga terjadi efek pemutihan terhadap
warna lempeng akrilik.13
Pigmen warna dalam akrilik heat cured dapat
bereaksi dengan ion klor karena lama kontak
dengan cairan klorheksidin dan penyerapan ion klor
yang masuk ke dalam porositas akrilik yang dapat
melarutkan pigmen akrilik karena konsentrasi yang
lebih besar.6 Ion klor memiliki sifat netral dan
merupakan basa konjugat dari asam klorida yang
merupakan asam kuat. Ion klorida membentuk
endapan dengan ion ion Ag+, Pb+, dan Hg+ berperan
dalam pembentukan kompleks melalui perubahan
warna dan melarutnya endapan atau padatan.7
Perubahan warna akrilik pada larutan effervescent
(alkaline peroxide) disebabkan oleh kandungan
sodium perborate. Ketika dilarutkan dalam air,
sodium perborate akan terurai dan membentuk
senyawa alkaline peroxide, senyawa ini akan
melepaskan oksigen dan terjadi aksi pembersihan
kimia oleh gelembung oksigen.4
Alkaline peroxide ketika terbentuk dalam air
akan menghasilkan H2O2 (hidrogen peroxide) +
alkali, 2H2O2
2H2O + 2O (nascent oxygen).
Nascent oxygen mempunyai efek pembersihan

Kangsudarmanto : Perbandingan Perubahan Warna Heat Cured Acrylic Basis Gigi Tiruan
kimia.3 Penyebab perubahan warna pada resin
akrilik terkait dengan properti pengoksidasi kuat
dari larutan sehingga oksigen yang dilepaskan
menyebabkan oksidasi akselerator amina tersier
atau ikatan ganda yang tidak bereaksi didalam
matriks resin.7
Salah satu faktor yang penting dalam dalam
pemutihan warna akrilik pada larutan effervescent
ini adalah penggunaan temperatur air yang
digunakan untuk merendam gigi tiruan. Devlin dan
Kaushik (2005) menunjukkan bahwa penyerapan
air pada permukaan akrilik yang disebabkan oleh
larutan 500C alkaline peroxide, mengakibatkan
pemutihan permukaan yang bersifat irreversible
ketika akrilik dikeringkan.8 Panas yang dihasilkan
oleh air pada massa resin menimbulkan difusi
berlebih dan pelepasan monomer ke permukaan
material. Sehingga penurunan kadar residu
monomer mengakibatkan tingkat oksidasi yang
lebih rendah dari pigmen dalam resin, mengurangi
perubahan kromatik intrinsik dan pembentukan
bahan degradasi warna pada akrilik.9,10
Berdasarkan penelitian Munther N. Kazanji
(2004) dalam uji pengaruh bahan pembersih
alkaline hipoklorit dan alkaline peroksida
menunjukkan terjadi pemudaran warna pada basis
gigi tiruan self cured dan heat cured setelah
dilakukan perendaman selama 7 hari.7 Pada
perlakuan kelompok perendaman klorheksidin 105
menit dan 210 menit dengan kelompok perendaman
effervescent (alkaline peroxide) 35 menit dan 70
menit menunjukkan bahwa terjadi perubahan warna
lempeng akrilik. Perubahan warna lempeng akrilik
pada perlakuan klorheksidin 105 dan 210 menit
lebih besar dibandingkan perubahan warna dari
effervescent 35 menit dan 70 menit. Hal ini
dipengaruhi oleh kandungan klorin atau klor yang
terdapat pada klorhexidin lebih bereaksi dengan
lempeng akrilik sehingga menyebabkan efek
pemutihan sehingga warna akrilik menjadi lebih
muda. Selanjutnya konsentrasi dan volume
klorheksidin juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi dan merubah struktur polimer
dengan demikian akan memperbesar perubahan
warna akrilik.11
Pembersih gigi tiruan effervescent (alkaline
peroxide) buatan polident melakukan upaya dalam
mengurangi temperatur air yang digunakan dan
konsentrasi dari komposisi untuk meminimalisirkan
efek pemutihan warna yang disebabkan oleh
alkaline peroxide.12 Produk tablet effervescent
pembersih gigi tiruan sekarang sudah tidak
mengandung enzym, yang mana oksidasi dengan
kombinasi enzym dengan larutan alkaline akan
mengakibatkan kerusakan pada stabilitas warna.11
Perubahan warna yang terjadi memang tidak terlalu
nampak secara visual tetapi berdasarkan nilai
intensitas cahayanya menunjukkan perubahan nilai
dari warna akrilik sebelum perendaman.

211
209

DAFTAR PUSTAKA
1. Anusavice KJ. Phillips buku ajar Ilmu bahan
kedokteran gigi. Alih bahasa; Johan Arief
Budiman, Susi Purwoko. Edisi 10. Jakarta:
EGC; 2004. 29-61, 192-219.
2. Meng TR and Latta MA. Physical properties of
four acrylic denture base resins. Journal of
contemporary dental practice 2005 ; 6(4).
3. Chittaranjan B, Taruna, Sudhir and Bharath.
Material and methods for cleansing dentures.
Indian Journal of Dental Advancements 2011;
3(1): 423-426.
4. Naini A dan Soesetijo FX. Pengaruh lama
perendaman lempeng akrilik dalam alkalin
peroksida terhadap perubahan warna. IJD 2006;
13(1): 43-46.
5. Bakar A. Kedokteran gigi klinis. Yogyakarta:
KITA Junior; 2012. 205.
6. David dan Munadziroh E. Perubahan warna
lempeng resin akrilik yang direndam dalam
larutan disenfektan sodium hipoklorit dan
klorhexidin. Maj. Ked. Gigi. (Dent. J.) 2005;
38(1): 36-40.
7. Kazanji MN, Ahmad ZM. Evaluation of the
effect of some denture cleansers on the colour
of acrylic resin denture base materials. AlRafidain Dent J 2004; 4(2): 79-86.
8. Devlin H, Kaushik P. The effect of water
absorption on acrylic surface properties. J
Prosthodont 2005; 14: 233-8.
9. Samra AP, Pereira SK, Delgado LC, Borges CP.
Color stability evaluation of aesthetic
restorative materials. Brazillian Oral Research
2008; 22: 205-10.
10. Goiato MC, Santos DM, Haddad
MF,
Pesqueira AA. Effect of accelerated aging on
the microhardness and color stability of flexible
resins for dentures. Brazillian Oral Research
2010; 24: 114-9.
11. Moffa EB, Giampaolo ET, Izumida FE,
Pavarina AC, Machado AL and Vergani CE.
Color stability of relined dentures after chemical
disinfection. Journal of Dentistry 2011; 395:
e65-e71.
12. Lai Y-L, Lui H-F, Lee S-Y. In vitro color
stability, stain resistance, and water sorption of
four removable gingival flange materials. J
Prosthet Dent 2003; 90: 293-300.
13. Mathur S, Mathur T, Srivasta R, Khatri R.
Chlorhexidine: The gold standard in chemical
plaque control. National Journal of Psychology,
Pharmacy and Pharmacology 2011; 1: 45-50.
14. Prasetyo EA. Perubahan warna resin komposit
hibrid setelah direndam dalam minuman
bewarna. Jurnal ilmu konservasi gigi 2008;
1(1): 51-54.

210

214

DENTINO
JURNAL KEDOKTERAN GIGI
Vol II. No 2. September 2014

Laporan Penelitian
UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK METANOL BATANG PISANG MAULI (Musa sp)
TERHADAP SEL FIBROBLAS BHK (Baby Hamster Kidney) 21

Maharani Laillyza Apriasari1, Rosihan Adhani2, Diah Savitri3


1

Bagian Ilmu Penyakit Mulut Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
Bagian Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat Program Studi Kedokteran Gigi Universitas Lambung Mangkurat
Banjarmasin
3
Bagian Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya
2

ABSTRAK
Latarbelakang : Salah satu obat tradisional yang sekarang sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman
obat. Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman obat adalah pisang. Pisang mauli adalah pisang yang
banyak tumbuh di Banjarmasin. Beberapa penelitian membuktikan batang pisang mauli mengandung saponin,
alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang terbanyak didominasi tannin yang bersifat anti bakteri
dan antijamur. Tujuan : untuk membuktikan uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang pisang mauli
dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).Metode dan
bahan : penelitian eksperimental laboratoris dengan Post Test Only menggunakan 5 perlakuan..Sampel
penelitian berupa kultur sel fibroblasBHK 21 sebanyak 5 kelompok yaitu yang diberi ekstrak metanol batang
pisang mauli 25%, ekstrak metanol batang pisang mauli 80%, ekstrak metanol batang pisang mauli 100%,
kontrol sel dan kontrol media. Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel BHK dan tahapan perlakuan. Hasil
pembacaan menggunakan Elisa Reader. Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney). Hasil penelitian :
ekstrak metanol batang pisang mauli konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, konsentrasi 80% memiliki sel
hidup 34%, dan konsentrasi mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Analisis statistik oneway Anova menunjukkan
terdapat perbedaan yang bermakna pada tiap kelompok perlakuan.Kesimpulan : Ekstrak metanol batang pisang
mauli dengan konsentrasi 25% tidak toksik terhadap sel fibroblas BHK 21
Kata kunci : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Batang pisang mauli, Ekstrak metanol, Uji sitotoksisitas

ABSTRACT
Background :Herbal medicine is one of the traditional drugs that almost be used by the people. One of herbal
medicine is banana. Mauli banana is a lot of plants that growth in South Borneo. Some researches prove the
mauli banana stem that contain saponin, alkaloid, lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan more tanin is
having antibacterial and antifungal effect. Purpose : to prove cytotoxicity test of mauli banana stem metanol
extract with 25%,80% and 100% consentrations were gived to fibroblast cel of baby hamster kidney (BHK 21).
Material and methods : It was the experimental laboratoris with post test only using 5 treatments. The
resaearch samples are cultur of fibroblast cells BHK 21 are devided by 5 groups that was giving by metanol
extract 25% of mauli banana stem, metanol extract 80% of mauli banana stem, metanol extract 100% of mauli
banana stem,cells control, and media control. The research steps are BHK cells split and treatnent. The
research result was using elisa reader. Procentase of life cells based on Freshney theory. Research results :
methanol extract 25% of mauli banana stem was having 72% life cells, metanol extract 80% of mauli banana
stem was having 34% life cells, and methanol extract 100% of mauli banana stem was having 29% life cells. The

211
211

Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol

statistic analyzes was using One Way Anova showed the difference between groups. Conclusion : Methanol
extract 25% of mauli banana stem to BHK 21 fibroblast cells are not toxic
Keywords : Baby Hamster Kidney Fibroblast cells,Cytotoxicity test, Mauli banana stem, Methanol extract

PENDAHULUAN
Salah satu obat tradisional yang sekarang
sering digunakan oleh masyarakat adalah tanaman
obat. Tanaman obat adalah tanaman yang salah
satu, beberapa atau seluruh bagiannya mengandung
zat atau bahan aktif yang berkhasiat bagi kesehatan
untuk penyembuhan penyakit. Pemakaian obat
tradisional banyak diminati karena kurang
menimbulkan efek samping seperti obat-obatan dari
bahan kimia. Saat ini banyak penelitian dalam
pengembangan obat tradisional yang dapat
dijadikan sebagai obat alternatif, oleh karena
bahannya mudah didapat dan harganya terjangkau.
Salah satu tanaman yang bisa dijadikan tanaman
obat adalah pisang.
Pisang mauli adalah pisang yang banyak
tumbuh di Banjarmasin. Dari hasil data empiris,
masyarakat daerah Hulu Sungai Utara Propinsi
Kalimantan Selatan sering menggunakan batang
pisang mauli untuk mempercepat penyembuhan
luka pada kulit. Penelitian Apriasari dkk (2014)
menunjukkan bahwa kandungan ekstrak batang
pisang mauli terdiri atas saponin, alkaloid,
lycopene, ascorbic acid, beta karoten, dan yang
terbanyak didominasi tannin.1
Ekstrak batang pisang mauli mengandung
efek antiseptik dan antioksidan. Penelitian
Apriasari dan Carabelly (2013) menunjukkan
ekstrak metanol batang pisang mauli 80% mampu
membunuh
bakteri
Streptococcus
mutans,
meskipun zona hambatnya tidak sebesar perlakuan
dengan Povidone iodine 1%. Penelitian Apriasari
(2014) menunjukkan ekstrak metanol batang pisang
mauli 100% memiliki zona hambat antijamur lebih
besar daripada ekstrak etanol batang pisang mauli
100% terhadap Candida albicans.2,3
Bahan alam tersebut secara empiris di
masyarakat tidak menimbulkan efek toksik, namun
belum dilakukan penelitian secara ilmiah untuk
membuktikan bahwa bahan alam tersebut tidak
toksik. Hal ini yang menyebabkan perlu dilakukan
uji sitotoksisitas ekstrak metanol batang pisang
mauli secara in vitro sebelum dilakukan penelitian
pada hewan coba dan manusia. Penelitian ini
bertujuan untuk membuktikan uji sitotoksisitas
ekstrak metanol batang pisang
pisang mauli
dengan konsentrasi 25%, 80% dan 100% terhadap
kultur sel fibroblas ginjal hamster (BHK 21).
METODE DAN BAHAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian eksperimental laboratoris murni
dengan Post Test Only dengan rancangan acak

lengkap menggunakan
5 perlakuan. Jumlah
minimal pengulangan untuk setiap kelompok
perlakuan adalah 5 kali dengan menggunakan
rumus Federer. Sampel penelitian berupa kultur sel
fibroblas ginjal hamster BHK 21 sebanyak 12 buah,
dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I yang
diberi ekstrak metanol batang pisang mauli 25%,
kelompok II ekstrak metanol batang pisang mauli
80%, kelompok III ekstrak metanol batang pisang
mauli 100%, kelompok IV adalah kontrol sel dan
kel V adalah kontrol media.
Pembuatan ekstrak batang pisang mauli
100% dengan cara batang pisang mauli dibersihkan
dan dikeringkan, selanjutnya diblender hingga
halus. Tahapan berikutnya adalah metode
pembuatan ekstraksi dengan maserasi. Prosesnya
pada pelarut etanol yaitu memberikan etanol 70%
dicampur dan diaduk, lalu diuapkan dengan rotary
evaporator 40 derajat C, di waterbath, dan diberi
larutan CMC-Na.
Apabila pelarut metanol, maka memberikan
etanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan
dengan rotary evaporator 40 derajat C, di
waterbath, dan diberi larutan CMC-Na memberikan
metanol 70% dicampur dan diaduk, lalu diuapkan
dengan rotary evaporator 40 derajat C, di
waterbath, dan diberi larutan CMC-Na. Konsentrasi
80% didapatkan melalui pemberian aquades steril
dengan perbandingan aquades : ekstrak batang
pisang mauli = 20 : 80. Konsentrasi 25%
didapatkan melalui pemberian aquades steril
dengan perbandingan aquades : ekstrak batang
pisang mauli = 75 : 25
Alat penelitian yang digunakan adalah
centrifuge, laminar flow, botol ukur Roux,
microplate, inkubator 37C, 5% CO2, multichannel
pipet 25 L, ujung pipet steril, vial 2 mL, pipet
steril 5 mL dan 10 mL, mikroskop cahaya, shaker,
dan Elisa Reader. Bahan penelitian yang digunakan
adalah sel fibroblas dari BHK (Baby Hamster
Kidney) 21, akuades steril, media Eagles, fetal
biovine serum 10%, ekstrak metanol batang pisang
mauli 25%,80% dan 100%, PBS (Phosphate
Buffered Saline), versene trypsine, MTT (3-(4-5dymethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyl
tetrazolium
bromide) dan DMSO (dimethyl sulfoxide).
Tahapan penelitian meliputi tahapan split sel
BHK dan tahapan perlakuan. Tahapan split sel
BHK yaitu mencairkan kultur sel induk (seed cells)
yang sebelumnya telah dibekukan di dalam akuades
steril suhu 37C. Setelah cair, kemudian dicentrifuge 500 RPM selama 5 menit.Di dalam
laminar flow, membuang supernatan yang ada
sehingga tersisa endapan sel di dasar. Endapan sel

212

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 216
214

tersebut diambil dan disuspensikan dengan media


Eagles dan fetal biovine serum 10%.Selanjutnya
ditambahkan media Eagles sebanyak 36 mL ke
dalam botol yang berisi serum 4 mL sehingga
didapat hasil akhir 40 mL media Eagles +
serum.Endapan sel yang telah disuspensikan
ditanam di botol Roux steril, lalu diinkubasi 37C,
5% CO2 sampai sel monolayer terbentuk ( 2 hari,
dilihat dengan mikroskop).Botol Roux besar yang
berisi sel BHK tersebut, kemudian medianya
dibuang dan dicuci dengan PBS 15 mL sebanyak 35 kali. Botol Rouxdiisi dengan versene trypsine 1
mL.Sel-sel dalam botol tersebut akan terlihat
menggerombol
kemudian
dihomogenisasikan
dengan media Eagles sebanyak 10 mL.Sel yang
telah
homogen
dimasukkan
ke
dalam
microplate40well dengan kepadatan 2 x 105
sel/mL.Diinkubasi selama 24 jam dalam inkubator
37C, 5% CO2.
Tahap perlakuan meliputi pengamatan
padamicroplate yang berisi sel fibroblas yang telah
diinkubasi di bawah mikroskop cahaya, apakah sel
fibroblas yang telah ditanam dalam setiap well telah
cukup banyak untuk dibuat perlakuan.Setiap
perlakuan mempunyai 8 well. Tiap perlakuan yaitu
ekstrak batang pisang mauli diteteskan pada 8 well
dengan pelarut metanol konsentrasi 25%, 80% dan
100%, sedangkan 2 well untuk kontrol sel tidak
dilakukan penetesan dan kontrol media. Setiap well
ditetesi sebanyak 50 L dan diinkubasi selama 24
jam dalam inkubator 37C, 5% CO2.
Data hasil penelitian berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan terhadap sel fibroblas
setelah penetesan ekstrak metanol batang pisang
mauli konsentrasi 25%, 80%, 100%, kontrol sel dan
kontrol media. Hasil pembacaan dengan
menggunakan Elisa Reader yaitu berupa tingkat
absorbansi atau optical density. Semakin tinggi
angka optical density, menunjukkan jumlah sel
fibroblas yang hidup semakin banyak pula.
Prosentase sel hidup menggunakan rumus Freshney
(2000)
% sel hidup= OD perlakuan + OD media x 100%
OD kontrol sel + OD media
Keterangan:
% sel hidup
: persentase jumlah sel hidup
setelah pengujian
OD perlakuan : nilai optical density fibroblas pada
setiap
sampel
setelah
pengujian hasil pembacaan
dengan Elisa Reader
OD media
: nilaiopticaldensityfibroblas pada
media kontrol
OD kontrolsel :nilaiopticaldensityfibroblas pada
selkontrol
Hasil perhitungan dikatakan tidak toksik bila 60
% sel hidup.

Data yang sudah dikumpulkan diuji


normalitasnya dengan uji Shapiro-Wilk. Jika data
yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen (p
> 0,05) maka data akan dianalisis dengan analisis
parametrik One WayAnova dengan tingkat
kepercayaan 95% dilanjutkan uji LSD. Jika data
yang diperoleh terdistribusi normal tapi tidak
homogen atau terdistribusi tidak normal tapi
homogen dilakukan uji analisis non-parametrik
secara Mann-Whitney.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian tentang uji toksisitas ekstrak
metanol batang pisang mauli pada sel BHK 21 ini
menggunakan rumus Freshney (2000), dengan hasil
pada ekstrak metanol batang pisang mauli
konsentrasi 25% memiliki sel hidup 72%, ekstrak
metanol batang pisang mauli 80% memiliki sel
hidup 34%, dan ekstrak metanol batang pisang
mauli 100% memiliki sel hidup 29%. Hasil
perhitungan dinyatakan tidak toksik bila 60%,
oleh sebab itu yang tidak toksik adalah ekstrak
metanol batang pisang mauli dengan konsentrasi
25%. Hal ini ditunjukkan dengan gambar 1.

Gambar 1. Hasil kultur sel BHK21 dg perlakuan


ekstrak metanol batang pisang mauli

Data ditabulasi dan dilakukan uji


normalitas dengan menunjukkan normal dan uji
homogenitas menunjukkan homogen, sehingga
menggunakan uji parametrik oneway anova dengan
tingkat kepercayaan 95% seperti tabel 1.Hal ini
menunjukkan bahwa H0 ditolak, yaitu terdapat
perbedaan
bermakna
pada
masing-masing
kelompok.

213
211

Apriasari : Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol

perlakuan
Between Groups
Within Groups
Total

Sum of Squares
,764
,155
,919

Df

Mean Square
4
,191
35
,004
39
Tabel 1. One Way Anova

PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan
bahwa ekstrak metanol batang pisang mauli tidak
toksik terhadap sel fibroblas yang merupakan sel
pembentuk sabut jaringan ikat terbanyak pada
tubuh makhluk hidup. Jika terbukti bahwa getah
tersebut tidak toksik, maka dapat dilanjutkan
dengan penelitian pada hewan coba dan manusia.
Penelitian ini adalah uji pendahuluan, yaitu uji
toksisitas dari bahan secara in vitro yang
dikontakkan secara langsung pada kultur sel atau
jaringan. Uji ini paling cepat. Uji sitotoksisitas
dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba
secara in vivo atau menggunakan kultur sel secara
in vitro.4
Menurut Freshney, metode yang sering
digunakan adalah metode in vitro dengan
menggunakan
kultur
sel.
Prinsip
dasar
menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang
sistem kultur agar menyerupai keadaan in vivo. Sel
yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya,
kemudian ditempatkan dalam wadah kultur untuk
mendapatkan tempat pertumbuhan dan nutrisi yang
cukup pada temperatur 37C dan lingkungan gas
(95% CO2/ 95% udara) pada pH 7,4-7,7. Penelitian
ini menggunakan kultur sel BHK-21 yang berasal
dari fibroblas ginjal hamster oleh karena sel BHK21 lebih banyak digunakan untuk menguji
sitotoksisitas bahan dan obat-obatan di kedokteran
gigi. 4,5
Pengukuran dari hasil produk pewarnaan
menggunakan bantuan dari alat spektrofotometrik.
Makin pekat warna yang dihasilkan makin tinggi
nilai absorbansinya berarti makin banyak jumlah
selnya.Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ekstrak metanol batang pisang mauli pada
konsentrasi 25% tidak menimbulkan efek toksik
terhadap sel fibroblas, sedangkan ekstrak metanol
batang pisang mauli pada konsentrasi 80% dan
100% terbukti toksik. Hal ini dibuktikan dengan
persentase jumlah sel yang hidup pada konsentrasi
25% adalah lebih dari 60%. Jika persentase jumlah
sel yang hidup kurang dari 60%, maka bahan
tersebut toksik.5,6
Pemilihan metanol 70% sebagai pelarut
diharapkan dapat menarik zat-zat berkhasiat yang
terdapat dalam simplisia. Ekstrak metanol
merupakan ekstrak yang kandungan senyawanya
masih beragam, dari yang non polar sampai yang
polar. Senyawa yang dapat masuk sari metanol

F
43,035

Sig.
,000

diantaranyaadalah flavonoid, terpenoid dan


lipid.Berdasarkan kandungan yang ada flavonoid
merupakan senyawa polifenol yang banyak terkait
dengan efek antioksidan dan kemoprotektif dan
sitotoksik melalui mekanisme cell cycle arrest.
Adanya senyawa non polar dapat mengakibatkan
gangguan pada proses penarikan flavonoid karena
tidak adanya proses defatting. Selain menyebabkan
penurunan kadar senyawa lain yang ada
dimungkinkan dapat menyebabkan penurunan
aktivitas dari flavonoid. Adanya aktivitas sitotoksik
pada ekstrak metanol 70% kemungkinan
disebabkan karena dalam ekstrak tersebut terdapat
beragam senyawa baik yang bersifat polar, semi
polar maupun non-polar sehingga efek toksiknya
saling mempengaruhi. (Djajanegara dan Wahyudi,
2009 ; Puspitasari dan Ulfa, 2009) Dalam penelitian
ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak metanol
batang pisang mauli tidak bersifat toksik pada sel
fibroblas BHK 21 dengan konsentrasi 25%.

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

Apriasari M.L, Carabelly A.N, 2013. Uji


Efektivitas Ekstrak Metanol Batang Pisang
Mauli (Musa sp) 80% dan Povidone iodine
1%
Terhadap
Streptococcus
mutans.
Dipresentasikan dalam seminar internasional
Dentisphere 7-8 Nopember 2013, Hotel
Shangrilla, Surabaya, Indonesia.
Apriasari M.L, Suhartono E, 2014.
Kandungan Ekstrak Metanol Batang Pisang
Mauli (Musa sp) 100%.Dipresentasikan pada
seminar ICBBB, Melbourne, Australia 4-5
Januari 2014.
Apriasari M.L, 2014. Aktivitas Antifungi
Ekstrak Etanol dan Metanol Batang Pisang
Mauli 100%. Dipresentasikan pada Seminar
IPAMAGI, Hotel Bumi, Surabaya 25-26 April
2014
Ariani W, 2012. Uji Sitotoksisitas Getah
Bonggol Pisang Ambon Terhadap Sel
Fibroblas. Skripsi Universitas Airlangga
Surabaya.
Freshney RI. 2000. Culture of animals cell: a
manual of basic technique. 4nd Ed. Newyork:
Wiley Liss Inc. p. 329-43
Fazwishni S dan Hadijono BS. 2000. Uji
sitotoksisitas dengan esei MTT. Jurnal

214

7.

Dentino (Jur. Ked. Gigi), Vol II. No 2. September 2014 : 210 - 218
214
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia;
7(Edisi Khusus). p. 28-32
Puspitasari E, Ulfa E.U. Uji Sitotoksisitas
Ekstrak Metanol Buah Buni Terhadap Sel
Hela. Jurnal Ilmu Dasar, Vol 10 No 2, Juli
2009 : 181-185

8.

Djajanegara I, Wahyudi P. Pemakaian Sel


Hela Dalam Uji Sitotoksisitas Fraksi
Kloroform dan Etanol Ekstrak Daun Annona
squamosa. Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia Vol 7 No 1, April 2009, hal 7-11

Anda mungkin juga menyukai