Disusun Oleh :
dr. Abdul Hakim Rambe
Pendamping :
dr. Hedi Mulyadora
PORTOFOLIO
Kasus 1
Topik: Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru Kasus Baru
Tanggal (Kasus) : 28 Desember 2015
Presenter : dr. Abdul Hakim Rambe
Tanggal Presentasi : 10 Maret 2016
Pendamping : dr. Hedi Mulyadora
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan RSUD Bayunglencir
Objektif Presentasi :
Keilmuan
Keterampilan
Penyegaran
Tinjauan Pustaka
Diagnostik
Manajemen
Masalah
Istimewa
Bayi
Anak
Remaja
Dewasa
Lansia
Bumil
Neonatus
Deskripsi : Laki-Laki 71 tahun, Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru
Kasus Baru
Tujuan : Tatalaksana Efusi Pleura Sinistra et Causa Suspek TB Paru Kasus
Baru
Bahan
Tinjauan
Riset
Kasus
Audit
Bahasan :
Pustaka
Cara membahas
Diskusi
Presentasi dan
Email
Pos
diskusi
Data
Pasien:
dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas
dirasakan sepanjang hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak
sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur. Pasien kemudian di bawa
berobat ke IGD RSUD Bayung Lencir.
4. Riwayat Keluarga :
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama seperti pasien disangkal.
- Riwayat keluarga dengan keluhan batuk lama disangkal.
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung disangkal.
- Riwayat keluarga dengan penyakit asma disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai tani
6. Lain-lain :
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama sebelumnya disangkal
Riwayat pengobatan paru dengan OAT disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit ginjal disangkal
Riwayat trauma pada dada disangkal
Daftar Pustaka:
1. Price, SA. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke6. Jakarta : EGC;2005.)
2.
3.
4.
Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.1, Anatomy of the Pleura.
Tennessee: Lippincott Williams & Wilkins, 2007
5.
Light RW, et al. Pleural Disease, 5th Ed. Ch.2, Physiology of the Pleural
Space. Tennessee : Lippincott Williams & Wilkins, 2007
6.
7.
8.
9.
sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur. Pasien kemudian di bawa
berobat ke IGD RSUD Bayung Lencir.
Gejala-gejala yang dialami pasien merupakan manifestasi klinik dari
penyakit tuberculosis paru dengan gejala utama batuk lama, diikuti dengan gejala
sistemik seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan penurunan berat badan.
2. Objektif :
Dari hasil pemeriksaan fisik dan penunjang dapat ditegakkan diagnosis efusi
pleura ec Suspek TB paru kasus Baru.
Gejala Klinis :
Pasien mengaku tersiram minyak panas pada bagian lengan dan tungkai 2 jam
sebelum masuk rumah sakit. Pasien masih merasa nyeri pada kedua lengan dan
kedua tungkai, nyeri dirasakan bertambah apabila terkena hembusan angin, sesak
nafas tidak ada, merasa kedinginan tidak ada, terbentur di kepala tidak ada,
pingsan tidak ada.
Pasien mengeluh batuk-batuk sejak 1 bulan yang lalu. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Sejak 2 minggu yang lalu pasien mengeluh sesak napas. Sesak napas
dirasakan pasien terus menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas
dirasakan sepanjang hari, baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak
sedikit berkurang dengan perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak
tidak dipengaruhi oleh cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak
berkurang dengan penggunaan 2 bantal saat tidur.
Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien pertama mengalami gejala
lokal infeksi paru-paru yaitu batuk >2 minggu. Pasien juga mengalami gejala
sistemik infeksi tuberkulosis seperti demam, keringat malam, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Sesak napas yang dialami pasien kemungkinan besar
disebabkan oleh komplikasi dari infeksi TB paru, yaitu efusi pleura.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
Keadaan sakit
Kesadaran
Tekanan Darah
Nadi
Pernafasan
Suhu
Status generalisata
o Kepala
:
Mata
o Leher
o Thorak
: Bentuk dada normal, retraksi (-), nyeri tekan (-), nyeri ketok(-)
krepitasi (-), penggunaan otot bantu nafas (-)
Paru
Inspeksi : Statis simetris kanan dan kiri, dinamis dinding dada kiri
tertinggal.
Palpasi : Benjolan (-), nyeri tekan (-), Stemfremitus paru kiri
menurun.
Perkusi : Lapang paru kiri redup mulai ICS 3. Lapang paru kanan
sonor.
Auskultasi: Vesikuler paru kiri menurun, ronkhi (-) kedua
paru, wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba linea axilaris anterior sinistra ICS VI
Perkusi : batas atas ICS II, batas kanan linea parasternalis dextra,
batas kiri linea axilaris anterior sinistra ICSVI
Auskultasi :HR 79 x/menit, reguler, Bunyi Jantung I dan II normal,
Murmur (-), Gallop (-)
o Abdomen
Inspeksi : datar, scar (-)
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba,lien tidak teraba.
Auskultasi: bising usus (+) normal
6
Assessment :
Tuan H, Laki-laki berusia 71 tahun, sudah menikah, bekerja sebagai petani
datang dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas dirasakan pasien terus
menerus, semakin hari semakin memberat. Sesak napas dirasakan sepanjang hari,
baik saat beraktifitas maupun saat istirahat. Sesak sedikit berkurang dengan
perubahan posisi yaitu jika pasien miring ke kiri. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca dan tidak disertai bunyi mengi. Sesak tidak berkurang dengan penggunaan 2
bantal saat tidur.
1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk-batuk. Batuk tidak disertai
dahak dan tidak berdarah. Pasien mengeluh nafsu makan dan berat badan
menurun. Pasien mengeluh badan terasa lemah dan lemas. Terkadang pasien
merasakan nyeri dada. Pasien juga mengalami demam yang dirasakan tidak terlalu
tinggi. Keluhan keringat pada malam hari ada. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien telah mengalami gangguan
pernapasan akibat efusi pleura. Tuberkulosis paru dapat disertai efusi pleura yang
bukan karena tuberkulosis dan sebaliknya non tuberkulosis paru dapat disertai
efusi pleura karena tuberkulosis. Gambaran klinik dan radiologik antara transudat
dan eksudat bahkan antara efusi pleura tuberkulosis dan non tuberkulosis hampir
tidak bisa dibedakan, sebab itu pemeriksaan laboratorium menjadi sangat penting.
Setelah adanya efusi pleura dapat dibuktikan melalui pungsi percobaan, kemudian
diteruskan dengan membedakan eksudat dan transudat dan akhirnya dicari
etiologinya. Apabila diagnosis efusi pleura tuberkulosis sudah ditegakkan maka
pengelolaannya menjadi tidak masalah, efusi ditangani seperti efusi pada
umumnya, sedangkan tuberkulosisnya diterapi seperti tuberkulosis pada
umumnya.
Efusi pleura terjadi karena tertimbunnya cairan pleura secara berlebihan
sebagai akibat transudasi (perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik) dan
eksudasi (perubahan permeabilita membran) pada permukaan pleura seperti terjadi
pada proses infeksi dan neoplasma. Pada keadaan normal ruangan interpleura
terisi sedikit cairan untuk sekedar melicinkan permukaan kedua pleura yang saling
bergerak karena pernapasan. Cairan disaring keluar pleura parietalis yang
bertekanan tinggi dan diserap oleh sirkulasi di pleura viseralis yang bertekanan
rendah. Disamping sirkulasi dalam pembuluh darah, pembuluh limfe pada lapisn
subepitelial pleura parietalis dan viseralis mempunyai peranan dalam proses
penyerapan cairan pleura tersebut. Jadi mekanisme yang berhubungan dengan
terjadinya efusi pleura pada umunya ialah kenaikan tekanan hidrostatik dan
penurunan tekanan osmotik pada sirkulasi kapiler, penurunan tekanan kavum
pleura, kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga
pleura. Sedangkan pada efusi pleura tuberkulosis terjadinya disertai pecahnya
granuloma di subpleura yang diteruskan ke rongga pleura.
Pada kebanyakan penderita umumnya asimtomatis atau memberikan gejala
demam, berat badan yang menurun, nyeri dada terutama pada waktu bernapas
dalam, sehingga pernapasan penderita menjadi dangkal dan cepat dan pergerakan
pernapasan pada hemitoraks yang sakit menjadi tertinggal. Sesak napas terjadi
pada waktu permulaan pleuritis, disebabkan karena nyeri dadanya dan apabila
jumlah cairan meningkat, terutama kalau cairannya penuh. Batuk pada umumnya
nonproduktif dan ringan, terutama apabila disertai dengan proses tuberkulosis di
parunya.
4. Plan :
Diagnosis : Efusi pleura et causa suspek TB paru kasus baru
Penatalaksanaan :
Non farmakologi :
-
Edukasi pasien agar tidak meludah sembarangan dan menutup mulut saat
batuk.
Periksa laboratorium darah rutin pasien
Sputum BTA 3X
Sitologi dan analisis cairan pleura
CT Scan toraks setelah cairan berkurang
Pemeriksaan fungsi hati jika akan diberikan terapi OAT
Farmakologi :
-
Prognosis
Vitam : dubia ad bonam
Functionam : dubia ad bonam
Edukasi keluarga :
1.
2.
3.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
EFUSI PLEURA
1.1. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan di
dalam rongga pleura.6
1.2. EPIDEMIOLOGI
Perkiraan prevalensi efusi pleura adalah 320 kasus per 100.000 orang di
negara-negara industri, dengan distribusi etiologi terkait dengan prevelensi
penyakit yang mendasarinya. Secara umum, kejadian efusi pleura sama antara
laki-laki dan perempuan.1
10
1.3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung dari keseimbangan cairan
dan protein
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
ini terjadi karena perbedaan tekanan osmotik plasma dan jaringan interstitial
submesotelial, kemudian melalui sel mesotelial masuk kedalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura.6
Proses penumpukan cairan dapat disebabkan oleh peradangan. Bila proses
radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga terjadi
empiema/ piotoraks. Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura
dapat menyebabkan hemotoraks.
Efusi cairan dapat berbentuk transudat terjadi apabila hubungan normal
antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi terganggu,
sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi reabsorpsi
oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: 6
a. Meningkatnya tekanan kapiler sistemik
b. Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner
c. Menurunnya tekanan koloid osmotik dalam pleura
d. Menurunnya tekanan intrapleura
Penyebabnya karena penyakit lain bukan primer paru seperti gagal jantung
kongestif,
sirosis
hepatis,
sindrom
nefrotik,
dialis
peritoneum,
eksudativa
Sesak napas
Batuk
1.5. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik dan
pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi
percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.
1.5.1. Anamnesis
Pada saat anamnesis pasien biasanya mengeluhkan sukar bernapas
atau sesak napas, dapat disertai dengan batuk dan nyeri pleuritik. Perlu juga
ditanyakan faktor risiko dan etiologi penyakit, seperti gejala-gejala pada:
- Gagal jantung kongestif
- TB paru
- Sirosis hepatis
- Sindrom nefrotik
- Dialisis peritoneum
- Hipoalbuminemia oleh bergabai keadaan
- Perikarditis konstriktiva
- Keganasan
- Atelektasis paru
- Pneumotoraks
1.5.2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik toraks dapat ditemukan:
12
13
dengan
ultrasonografi
pada
pleura
dapat
14
Eksudat
>3
< 0,5
>0,5
< 200
>200
< 0,6
>0,6
< 1,016
>1,016
Rivalita
Negatif
Positif
3. Sitologi
Pemeriksaan sitologi terhadap cairan pleura amat penting untuk
diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
-
15
4. Bakteriologi
Biasanya
mengandung
apalagi
bila
cairannya
purulen
2.
16
4.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 10001500 cc pada sekali aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan
berulang-ulang
daripada
satu
kali
aspirasi
sekaligus
cairan
dapat
17
2. TUBERKULOSIS PARU
2.1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis
2.2. ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis di Indonesia merupakan salah satu masalah utama kesehatan
masyarakat, dimana jumlah penderita TB di Indonesia merupakan urutan ke-3
terbanyak di dunia setelah India dan China.Indonesia menyumbang sekitar
10% dari seluruh kejadian TB di dunia. Pada tahun 2004, diperkirakan terdapat
539.000 kasus baru dengan angka kematian 101.000 orang.11
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001,
penyakit system pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah
penyakit system sirkulasi, dan TB merupakan penyebab kematian pertama pada
golongan penyakit infeksi.12
Sekitar sepertiga penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi kuman TB.
Selain itu, diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kasus kematian akibat TB
terjadi di negara berkembang.
Saat ini, tingginya angka kejadian HIV/AIDS di dunia meningkatkan
angka kejadian TB secara signifikan. Di samping itu, masalah resistensi kuman
18
Tuberculosis paru
Bekas tuberculosis paru
Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam : a) TB paru
tersangka yang diobati. Sputum BTA negative tetapi tanda lain postif.
B) TB paru tersangka yang tidak diobati. Sputum BTA negative dan
tanda lain meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan termasuk
TB paru aktif atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan :
1) status bakteriologi, 2) Mikroskopis sputum BTA (langsung), 3) biakan
sputum BTA, 4) status radiologis, 5) status kemoterapi, riwayat pengobatan
dengan obat anti tuberculosis.6
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni :6
Kategori I :
19
Kategori II :
Kasus kambuh
Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III :
Kategori IV : TB kronik.
2.3.1 Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:13
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan
(parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi.
Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan spesimen maka
diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
2.3.2 Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu:13
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak
ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
20
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negative
b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
2.3.3. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya13
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi
beberapa tipe pasien, yaitu:
1) Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2) Kasus kambuh (Relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
3) Kasus setelah putus berobat (Default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
4) Kasus setelah gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5) Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB
lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6) Kasus lain:
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam
kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh,
gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus
dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan
medis spesialistik.
21
2.4. PATOFISIOLOGI
2.4.1. TUBERKULOSIS PRIMER
Penularan TB Paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat
menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam tergantung pada ada atau tidaknya
sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana yang
lembab dan gelap, kuman dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila
partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada saluran
napas atau jaringan paru. Partikel dapat masuk ke alveolar bila ukuran partikel <5
mikrometer. Kuman akan direspon pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh
makrofag. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag
keluar dari percabangan trakeobronkial bersama gerakan silia dengan sekretnya.6
Bila kuman menetap di jaringan paru, berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Disini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh yang lain. Kuman yang
bersarang di jaringan paru akan berbentuk sarang tuberculosis pneumonia kecil
dan disebut sarang primer atau afek primer atau sarang (fokus) Ghon. Sarang
primer ini terjadi di setiap bagian jaringan paru. Bila menjalar sampai ke pleura,
maka dapat terjadi efusi pleura. Kuman dapat pula masuk melalui saluran
pencernaan, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi limfadenopati regional
kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke seluruh organ seperti
paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka terjadi penjalaran
ke seluruh bagian paru menjadi TB milier.
Dari sarang primer akan timbul peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis local) dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hilus
(limfadenitis regional). Sarang primer limfangitis local dengan limfadenitis
regional disebut kompleks primer (Ranke). Semua proses ini membutuhkan waktu
3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya akan menjadi :6
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang paling sering
terjadi.
22
23
24
2.6 DIAGNOSIS6,13
Infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis bisa menimbulkan efek lokal di
bagian tubuh mana pun atau efek sistemik infeksi kronis.
2.6.1. Anamnesis.
Dalam melakukan anamnesis pada pasien TB, diperlukan indeks
kecurigaan yang tinggi terutama pada pasien dengan imunosupresi atau
dari daerah endernisnya. Orang yang terkena TB dpat mengalami banyak
gejala, baik gejala lokal maupun sistemik. Berikut adalah gejala gejala
yang sering didapatkan dari anamnesis pada penderita TB.
Gejala lokal:
-
Batuk
sesak napas
hemoptisis
limfadenopati
ruam (rnisalnya lupus vulgaris)
kelainan rontgen toraks
gangguan GI.
Efek sistemik:
-
Demam,
keringat malam
anoreksia
25
didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan
didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
napasnya menjadi vesikular melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup
besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi
memberikan suara amforik.
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit
jadi menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang
sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni
lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis (hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan
gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal
dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis, right
ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang
mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites,
dan edema.
Bila tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura.
Paru yang sakit terlihat agak tertinggal dalam pernapasan. Perkusi
memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang lemah
sampai tidak terdengar sama sekali.
Dalam penampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit
baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologiada pada
pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
1.
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang
26
terlihat
bayangan
yang
bergaris-garis.
Pada
kalsifikasi
27
2. Pemeriksaan laboratorium
Darah
28
29
Uji serologis lain terhadap TB yang hampir sama cara dan nilainya
dengan uji PAP-TB adalah uji Mycodol. Di sini dipakai antigen LAM
(Lipoarabinomannan) yang dilekatkan pada suatu alat berbentuk sisir
plastik. Sisir ini dicelupkan ke dalam serum pasien. Antibodi spesifik
anti LAM dalam serum akan terdeteksi sebagai perubahan warna pada
sisir yang intensitasnya sesuai dengan jumlah antibodi.
Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya
kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Di samping
itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap
pengobatan yang sudah diberikan. Pemeriksaan inimudah dan murah
sehingga dapat dikerjakan di lapangan (puskesmas). Tetapi kadangkadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang
tidak batuk atau batuk yang non produktif. Dalam hal ini dianjurkan
satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan minum air
sebanyak + 2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga
dengan mernberikan tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau
dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30 menit. Bila
masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkos-kopi diambil
dengan brushing atau bronchial washing atau BAL (broncho alveolar
lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara bilasan
lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit
mengeluarkan dahaknya. Sputum yang akan diperiksa hendaknya
sesegar rnungkin.
Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit
ditemukan. Kuman baru dapat ditemukan bila bronkus yang terlibat
proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah ke luar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50%
pasien BTA positif tetapi kurnan tersebut tidak ditemukan dalam sputum
mereka.
30
TATALAKSANA6,14
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah
INH, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Sedangkan jenis obat
tambahan lainnya (lini 2) adalah kanamisin, amikasin, kuinolon, dan beberapa
obat berikut ini belum tersedia di Indonesia (kapreomisin, Sikloserino, PAS,
derivat rifampisin dan INH, thioamides (ethionamide dan prothionamide).
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a) TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks lesi luas.
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE/ 6HE
atau 2 RHZE / 4R3H3 Bila ada fasilitas biakan dan uji resistensi,
pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b) TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau : 6 RHE atau 2
RHZE/ 4R3H3
c) TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE.
Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat
hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d) TB Paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2
(contoh paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid,
sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin).
Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat diberikan
2 RHZES / 1 RHZE.Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi.
Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan.Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
31
32
33
2.8 KOMPLIKASI
Komplikasi dibagi atas kompilkasi dini dan lanjut:14
Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, poncent
atrhopathy
Komplikasi lanjut: SOPT, fibrosis paru, kor pulmonal, amiloidosis, Ca
paru, ARDS.
34