Anda di halaman 1dari 10

A.

Sistem Endokrin

1.

Pengertian Sistem Endokrin

Sistem endokrin dapat dijumpai pada semua golongan hewan, baik vertebrata maupun
invertebrata. Sistem endokrin (hormon) dari sistem saraf secara bersama lebih dikenal
sebagai super sistem neuroendokrin yang bekerja sama secara kooperatif untuk
menyelenggarakan fungsi kendali dan koordinasi pada tubuh hewan. Pada umumnya, sistem
endokrin bekerja untuk mengendalikan berbagai fungsi fisiologi tubuh, antara lain aktivitas
metabolisme, pertumbuhan, reproduksi, regulasi osmotik, dan regulasi ionik.
Kelenjar tanpa saluran atau kelenjar buntu digolongkan bersama dibawah nama organ
endokrin, sebab sekresi yang dibuat tidak meninggalkan kelenjar melalui satu saluran, tetapi
langsung masuk ke dalam darah yang beredar di dalam kelenjar. Kata endokrin berasal dari
bahasa Yunani yang berarti sekresi ke dalam; zat aktif utama dari sekresi internal ini
disebut hormon, dari kataYunani yang berarti merangsang. Beberapa dari organ endokrin
menghasilkan satu hormon tunggal, sedangkan yang lain lagi dua atau beberapa jenis
hormon: misalnya kelenjar hipofisis menghasilkan beberapa jenis hormon yang
mengendalikan kegiatan banyak organ lain, karena itulah maka kelenjar hipofisis dilukiskan
sebagai kelenjar pemimpin tubuh.
Sistem endokrin terdiri dari sekelompok organ (kadang disebut sebagai kelenjar
sekresi internal), yang fungsi utamanya adalah menghasilkan dan melepaskan hormonhormon secara langsung ke dalam aliran darah. Hormon berperan sebagai pembawa pesan
untuk mengkoordinasikan kegiatan berbagai organ tubuh (Anonim, 2013).
Sistem Endokrin disebut juga kelenjar buntu, yaitu kelenjar yang tidak mempunyai
saluran khusus untuk mengeluarkan sekretnya. Sekret dari kelenjar endokrin dinamakan
hormon. Hormon berperan penting untuk mengatur berbagai aktivitas dalam tubuh hewan,
antara lain aktivitas pertumbuhan, reproduksi, osmoregulasi, pencernaan, dan integrasi serta
koordinasi tubuh (Ulfhitha, 20112).
Sistem endokrin hampir selalu bekerja sama dengan sistem saraf, namun cara kerjanya
dalam mengendalikan aktivitas tubuh berbeda dari sistem saraf. Ada dua perbedaaan cara
kerja antara kedua sistem tersebut. Kedua perbedaan tersebut adalah sebagai berikut
(Ulfhitha, 20112):
1.

Dibandingkan dengan sistem saraf, sistem endokrin lebih banyak bekerja melalui transmisi
kimia.

2.

Sistem endokrin memperhatikan waktu respons lebih lambat daripada sistem saraf. Pada
sistem saraf, potensial aksi akan bekerja sempurna hanya dalam waktu 1-5 milidetik, tetapi
kerja endokrin melalui hormon baru akan sempurna dalam waktu yang sangat bervariasi,
berkisar antara beberapa menit hingga beberapa jam. Hormon adrenalin bekerja hanya dalam
waktu singkat, namun hormon pertumbuhan bekerja dalam waktu yang sangat lama. Di
bawah kendali sistem endokrin (menggunakan hormon pertumbuhan), proses pertumbuhan
memerlukan waktu hingga puluhan tahun untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang
sempurna.
Dasar dari sistem endokrin adalah hormon dan kelenjar (glandula), sebagai senyawa
kimia perantara, hormon akan memberikan informasi dan instruksi dari sel satu ke sel
lainnya. Banyak hormon yang berbeda-beda masuk ke aliran darah, tetapi masing-masing tipe

hormon tersebut bekerja dan memberikan pengaruhnya hanya untuk sel tertentu (Ulfhitha,
20112).
Sel-sel penyusun organ endokrin dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut
(Ulfhitha, 20112) :
1.

Sel Neusekretori, adalah sel yang berbentuk seperti sel saraf, tetapi berfungsi sebagai
penghasil hormon. Contoh sel neusekretori ialah sel saraf pada hipotalamus. Sel tersebut
memperhatikan fungsi endokrin sehingga dapat juga disebut sebagai sel neuroendokrin.
Sesungguhnya, semua sel yang dapat menghasilkan sekret disebut sebagai sel sekretori. Oleh
karena itu, sel saraf seperti yang terdapat pada hipotalamus disebut sel neusekretori.

2.

Sel endokrin sejati, disebut juag sel endokrin kelasik yaitu sel endokrin yang benar-benar
berfungsi sebagai penghasil hormon, tidak memiliki bentuk seperti sel saraf. Kelenjat
endokrin sejati melepaskan hormon yang dihasilkannya secara langsung ke dalam darah
(cairan tubuh). Kelenjar endokrin sejati dapat ditemukan pada hewan yang memepunyai
sistem sirkulasi, baik vertebrata maupun invertebrata. Hewan invertebrata yang sering
menjadi objek studi sistem endokrin yaitu Insekta, Crustaceae, Cephalopoda, dan Moluska.
Kelenjar endokrin dapat berupa sel tunggal atau berupa organ multisel.
Sistem hormon (endokrin) dan saraf dahulu dianggap sebagai pengatur fisiologi yang
terpisah. Tetapi pandangan tersebut berubah setelah ditemukannya neuron-neuron
termodifikasi yang dapat mensekresi hormon. Beberapa di antara neuron-neuron tersebut
menunjukkan mekanisme pengaturan terhadap kelenjar-kelenjar khusus yang menghasilkan
hormon. Sekresi neuron-neuron termodifikasi tersebut dipengaruhi neuron-neuron biasa,
dan banyak kelenjar penghasil hormon (kelenjar endokrin) yang secara langsung diinervasi
oleh neuron yang mempengaruhi aktivitas sekretorinya.
Sistem endokrin Vertebrata melibatkan kelenjar endokrin yang mensintesis dan
melepaskan duta kimia khas ke dalam darah (the blood spesific chemical messenger) yang
disebut hormon. Hormon diangkut melalui darah ke jaringan sasaran khas tempat hormon
menyebabkan perubahan aktivitas sel penyusun jaringan tersebut. Karena suatu hormon
hanya mempengaruhi sasaran tertentu, maka sasaran harus dapat menerima sinyal tersebut,
berarti sasaran harus mempunyai reseptor khas agar dapat merespon sinyal. Organ lain yang
bukan sasaran dan dipapar oleh hormon yang sama dengan kadar yang sama harus tidak
mampu merespon, dalam arti harus tidak mempunyai reseptor yang mampu merespon
keberadaan hormon.

B.

Fungsi Sistem Endokrin secara Umum


Membedakan sistem saraf dan sistem reproduktif pada janin yang sedang
berkembang, menstimulasi urutan perkembangan, mengkoordinasi sistem reproduktif,
memelihara lingkungan internal optimal.
Empat tujuan/kegunaan paling penting dari Sistem Endokrin, yaitu :

1.

Homeostasis (temperatur/thermoregulation, metabolisme, nutrisi, keseimbangan asam basa)

2.

Combating stress (infeksi, trauma, shock)

3.

Growth & development (mengembangkan jumlah sel/hyperplasia, dan mengembangkan

ukuran sel/hypertrophy).

4.

Reproduction (mensekresikan hormon sex pada laki-laki dan perempuan/ mengembangkan


karakteristik organ sex primer dan sekunder ).
Berikut adalah aktivitas tubuh yang dikendalikan oleh hormon dan jenis hormon yang
mengendalikan

1.

Pencernaan dan fungsi metabolik yang terkait.


Sekretin, gasterin, insulin, glukagon, noradrenalin, tiroksin, dan hormon dari kortes adrenal.

2.

Osmoregulasi, pengeluaran, dan metabolisme air serta garam.


Prolaktin, vasopresin, aldosteron.

3.

Metabolisme kalsium:
Hormon pada teroid, kalsitonin.

4.

Pertumbuhan dan perubahan morfologis;


Hormon pertumbuhan, androgen dari korteks adrenal
Tiroksin (untuk metamorfosis amfibi)
MSH (perubahan warna amfibi)

5.

Organ dan proses reproduksi


FSH,LH, estrogen, progesteron, prolaktin, dan testosteron.

2. Sistem Endokrin Pada Udang


Menurut Hadie Watono dkk, (1995), menyatakan dalam pertumbuhan udang galah
sangat dipengaruhi oleh kecepatan (frekuensi) ganti kulit, karena kulit yang membungkus
seluruh tubuh udang tidak elastis. Kekerasan kulit tubuh udang (Arthropoda) yang terjadi
setelah proses seklerotisasi harus berganti kulit setiap proses pertumbuhannya. Kecepatan
tumbuh udang galah relative lebih lambat pada kondisi alaminya dan yang menjadi kendala
pada usaha budidaya. Teknologi ablasi dapat diterapkan untuk mempercepat pertumbuhan
dengan memanfaatkan kerja hormon dalam tubuh udang. Dalam tubuh udang terdapat
hormon yang memepengaruhi kecepatan molting yang disebut molt accelerating hormon
(MAH) (Chu & Chow, 1992 dalam Hadie Watono dkk, 1995) yang berperan pada proses
ganti kulit. Sebaliknya ada hormon yang mempunyai cara kerja antagonistis yang justru
menekan kerja hormone MAH tersebut adalah molting inhibiting hormone (MIH) (Chu &
Chow, 1992 dalam Hadie Watono dkk, 1995). Fungsi lain dari hormon MIH juga
mempengaruhi tingkat penyerapan air pada saat sehabis ganti kulit.
Ablasi mata pada udang berpengaruh positif terhadap fungsi fisiologisnya, terutama terhadap
peningkatan

nafsu

makan

sehingga

pertumbuhannya

semakin

cepat

(Nurjanna,

1979 dalam Hadie Watono dkk, 1995). Selanjutnya Mulyani (1986) dalam Hadie Watono
dkk, 1995) melaporkan bahwa pertumbuhan tokolan udang galah yang diablasi secara
unilateral jauh lebih baik dibanding dengan udang yang tidak diablasi. Udang-udang yang
kehilangan fungsi mata tersebut tidak mendapat kesulitan dalam memperoleh makanan,
karena udang akan tertarik pada pakan melalui rangsangan aroma (Poernomo,
1985 dalam Hadie Watono dkk, 1995), dan bahkan udang mampu mendeteksi makanannnya
pada jarak 10 m melalui sensor saraf pada antenna.
Pada ablasi bilateral dengan pemotongan kedua tangkai matanya maka keseimbangan
endokrin akan terganggu karena hilangnya organ-X dan kelenjar sinus. Hal ini ternyata
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dimana udang yang diablasi secara bilateral
mortalitasnya paling tinggi kemudian diikuti ablasi unilateral dan kemudian tanpa ablasi.

Pengaruh dari ablasi adalah rendahnya kandungan mineral dalam kutikula udang. Kadar
kalsium yang rendah menyebabkan kulit udang (eksoskeleton) menjadi lemah dan tidak tahan
terhadap perubahan lingkungan, sehingga memungkinkan terjadinya kanibalisme atau
kematian. Kulit yang lunak setelah ganti kulit membuat pergerakan udang tidak lincah,
sehingga tidak dapat menghindar jika ada individu lain yang menyerangnya (Hadie Watono
dkk, 1995).

Sumber :

(Golding dan Pow 1988; Scharrer dan Scharrer 1963 dalam Hartenstein

2006).
Kematian yang terjadi diduga sebagian besar sebagai akibat dari proses ablasi, karena
hampir semua kematian terjadi setelah ganti kulit. Ada beberapa kemungkinan berhubungan
dengan proses kematian dalam kasus ini. Pertama, kondisi tubuh udang yang lemah pada saat

ganti kulit dengan mudah menjad mangsa individu lain sehingga terjadi kematian. Kedua,
pengaruh dari ablasi adalah rendahnya kandungan mineral dalam kulit udang, sehingga
eksoskeleton menjadi lemah dan tidak tahan terhadap perubahan lingkungan sehingga terjadi
kematian. Ketiga, menurut Alava dan Lim (1983) dalam Hadie Watono dkk, 1995) bahwa
proses ganti kulit merupakan penyebab stress yang mengakibatkan kematian pada udang
karena molting frekuensi molting yang tinggi sebagai akibat ablasi.
Menurut Sunee Wanlem et all (2011), Proses fisiologis krustasea diatur oleh neuroendocrines
peptida di alam. Krustasea hyperglycemic hormon (CHH), yang neuroendokrin banyak
disintesis oleh organ-X (XO) dan disimpan dalam kelenjar sinus (SG) sebelum dilepaskan
langsung ke hemolymph. Organ-X dan kelenjar sinus (XO-SG) yang terletak di ganglia optik
di eyestalks udang putih (Litopenaeus vannamei) mensintesis dan mengkontrol hormon
neuropeptida untuk pengaturan fisiologi dan metabolisme krustasea. Hormon yang dihasilkan
dari XO-SG terdiri dari hormon Crustacea hiperglikemia (CHH), moltinhibiting hormon
(MIH), hormon gonad yang menghambat (GIH) atau penghambat hormon vitellogenesis
(VIH) dan bawah organinhibiting hormon (MOIH). CHH berfungsi terutama dalam regulasi
kadar glukosa, metabolisme karbohidrat dan lipid, proses reproduksi dan osmoregulasi.
Hormon-hormon yang merangsang sebenarnya dapat menghambat proses-proses tertentu
seraya merangsang proses-proses lain. Hormon dapat memberikan efeknya pada strukturstruktur target dengan cara (1) mengubah fungsi gen, (2) mempengaruhi jalur-jalur metabolik
secara langsung, (3) mengontrol perkembangan organ-organ spesifik (George et al, 2006).
Menurut Ruliati dkk, (2009) menyatakan bahwa ada dua (2) hormon antagonis mengatur
perkembangan ovary pada krustase, gonad inhibiting hormone (GIH) dari organ X sinus
gland

komplek

pada

tangkai

mata

(Panouse,

(1943) dalam Kanokpan et.al,

2006 dalam Ruliati dkk, (2009) dan gonad stimulating hormone (GSH) pada otak dan ganglio
thorac (Otsu, 1963 dalam Kanokpanet.al, 2006 dalam Ruliati dkk, (2009). Sebagai GIH pada
tangkai mata, ablasi mata kemudian digunakan secara komersial untuk merangsang

pematangan ovary, walaupun teknik tersebut menurunkan kualitas telur dan terjadinya
kematian induk (Benzie, 1998 dalam Kanokpan et.al, 2006dalam Ruliati dkk, (2009). Untuk
menekan serendah mungkin permasalahan kualitas telur dan terjadinya kematian induk
selama proses produksi telur oleh perlakuan ablasi tangkai mata, telah dikembangkan
beberapa teknik alternatif seperti perlakuan manipulasi lingkungan pemeliharaan dan
penggunaan hormon perangsang perkembangan gonad. Salah satu teknik penggunaan hormon
adalah seretonin 5 HT pada udang P. semisulcatus (Aktas et.al., 2003 dalam Ruliati dkk,
(2009) dan P. monodon (Kanokpan et.al., 2006 dalam Ruliati dkk, (2009) dengan hasil yang
memuaskan. Kemungkinan bahwa 5 HT dapat berkerja dalam bola mata untuk menghambat
sintesis/sekresi GIH, atau dalam otak dan ganglion thorac untuk merangsang sintesis/sekresi
GIH, atau berpengaruh tidak langsung pada ovary (Sarojini et.al., 1995; Fingerman,
1997) dalam Kanokpan et.al. (2006)dalam Ruliati dkk, (2009). Berdasarkan keberhasilan dan
permasalahan yang dihadapi dalam pematangan gonad udang, akan dicoba penggunaan
hormon 5 HT melalui cara penyuntikan pada induk rajungan P. Pelagicus.
Menurut Ahmad Sartaj et al, (2011) menyatakan bahwa eyestalks krustasea mengandung selsel neurosecretory yang terlibat dalam pengaturan molting (Meade dan Watts,
2001 dalam Ahmad Sartaj et al, (2011). Molting pada krustasea diatur oleh dua hormon; (1)
hormon yang menghambat dan (2) molting hormon. Hormon ini menghambat produksi di
eyestalk dan disimpan dalam kelenjar sinus sedangkan hormon molting diproduksi di organY. Dengan ablasi di eyestalk, hormon yang menghambat hormon molting untuk bertindak.
Dengan demikian penghapusan eyestalks menyebabkan peningkatan sekresi ekdisteroid dari
organ-Y, yang menginduksi molting dewasa sebelum waktunya (Nakatsuji dan Sonobe, 2004;
Venkitraman et al, 2004 dalam Ahmad Sartaj et al, 2011). Di antara semua rangsangan
diketahui molting, ablasi eyestalk adalah yang efektif dari waktu yang dibutuhkan untuk
memberikan respon (Chen et al., 1995 dalam Ahmad Sartaj et al, 2011) secara langsung
mempengaruhi sistem endokrin lobster (Fingerman, 1987; Huner, 1990 dalamAhmad
Sartaj et al, 2011).

1.

Sistem Reproduksi

Hormon-hormon yang mengatur diferensiasi sifat seksual udang jantan dan betina muncul
dari ovari dan kelenjar androgen. Neurosekresi kompleks ganglionik X-organ dan kelenjar
sinus dapat menghambat pemasakan ovari dan aktivitas sekretori kelenjar androgen.
Diferensiasi normal dari ovari dan testis juga dipengaruhi oleh Y-organ dan hormon molting.
Perusakan atau pemotongan tangkai mata dapat mengakibatkan pembesaran ovari dan
deposisi kuning telur di dalam oosit. Pemberian ekstrak yang dibuat dari tangkai mata,
ganglionik X-organ, atau kelenjar sinus dapat menghambat pembesaran ovari pada udang
betina yang memasuki periode aktivitas produksi(MBoy 2011).
Organ X terdapat di dalam tangkai mata (eyestalk). Sedangkan kelenjar sinus merupakan
cadangan untuk penyimpanan dan pencurahan neurohormon yang berasal dari akson-akson
neurosekretori. Kelenjar sinus utamanya terdiri atas terminal akson, dan erat hubungannya
dengan banyak saluran vaskular. Dalam sistem reproduksi, kelenjar sinus menghasilkan
Vitellogenesis Inhibiting Hormone (VIH) dan Mandibular Organ Inibiting Hormone (MOIH).
2.
Sistem Migrasi Pigmen Retina
Mata udang terdiri dari banyak unit yang disebut ommatidia. Secara fungsional, ommatidium
memiliki tiga kelompok pigmen yang berbeda yaitu pigmen retina distal, pigmen retina
proksimal, dan pigmen putih pemantul. Ekstrak tangkai mata yang dibuat dari udang yang
telah diadaptasikan kepada cahaya mengakibatkan adaptasi cahaya pada pigmen distal dan
pigmen pemantuk apabila disuntikkan ke dalam resipien yang telah diadaptasikan dalam
kegelapan (MBoy 2011).
3.
Sistem Ganti Kulit (Molting)
Pada udang, ganti kulit dapat bersifat musiman atau terus-menerus, tergantung kondisi
lingkungan yang beraneka ragam. Perusakan tangkai mata (eyestalk) dapat mempercepat
ganti kulit dan pertumbuhan prekoks. Ini terjadi karena ganglionik organ X dan kelenjar sinus

yang terdapat di tangkai mata beraksi mencegah ganti kulit. Hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar sinus dalam sistem ganti kulit adalah Molt Inhibiting Hormone (MIH). Dalam proses
ganti kulit, organ Y memproduksi suatu hormon yang melakukan peranan positif. Jumlah air
yang digunakan pada saat ganti kulit Water Balance Hormon (WBH) yang dihasilkan
oleh tangkai mata (MBoy 2011).

4.
Sistem Akselerasi Jantung
Frekuensi dan amplitudo denyut jantung bertambah seiring dengan pelepasan neurohormon
oleh organ perikardia (MBoy 2011).
5.
Sistem Kromatoforotrofin dan Perubahan Warna
Kromatoforotrofin merupakan zat pengatur sel pigmen udang di dalam darah. Peran kelenjar
sinus dalam sistem kromatoforotrofin dan perubahan warna adalah menghasilkan Red
Pigment Concentrating Hormone (RPCH) dan Pigment Dispersing Hormone (PDH). Sistem
ini sangat dipengaruhi oleh cahaya (MBoy 2011).
6.
Sistem Metabolisme
Selama siklus ganti kulit, terjadi variasi mencolok di dalam metabolisme jaringan. Hal ini
melibatkan faktor-faktor tangkai mata yang bisa jadi merupakan neurosekresi. Pengambilan
tangkai mata mengakibatkan penurunan kadar gula darah dan peningkatan kandungan
glikogen hipodermis. Pemberian ekstrak tangkai mata atau kompleks organ X kelenjar sinus
dapat menginduksi hiperglikemia . Pada sistem metabolisme, kelenjar sinus berperan dalam
menghasilkan Crustacean Hyperglycemic Hormone (CHH) (MBoy 2011).

Sumber :
https://ardansamman.sistem-integrasi-hormon-dan-syaraf-krustasea/

Anda mungkin juga menyukai