Anda di halaman 1dari 101

STUDI EKSPRESI Interleukin-1 Alpha (IL-1) DAN

Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-) PADA OVARIUM


TIKUS (Rattus norvegicus) MODEL CA MAMMAE
HASIL INDUKSI 7,12 Dimetylbenz [] Antracene
(DMBA) Multiple Low Dose (MLD)

SKRIPSI

Oleh:
RENY PURNAMA HADI
105130100111006

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN


PROGRAM KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

2
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Studi Ekspresi Interleukin-1 Alpha (IL-1) dan Tumor Necrosis Factor Alpha
(TNF-) pada Ovarium Tikus (Rattus norvegicus) Model Ca Mammae Hasil
Induksi 7,12 Dimetylbenz [a] Antracene (DMBA) Multiple Low Dose (MLD)

Oleh:
RENY PURNAMA HADI
105130100111006

Setelah dipertahankan di depan Majelis Penguji


pada tanggal 9 Desember 2014
dan dinyatakan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

Pembimbing I

Pembimbing II

Dra. Anna Roosdiana, M.App.Sc

drh. Dyah Ayu O.A.P.,M.Biotech

NIP. 19580711 199203 2 002

NIP. 19841026 100812 2 004

Mengetahui,
Ketua Program Studi Kedokteran Hewan
Program Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Aulanniam, drh., DES


NIP. 19600903 1898802 2 001

4
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama

: Reny Purnama Hadi

NIM

: 105130100111006

Program Studi : Kedokteran Hewan.


Penulis Skripsi berjudul:

Studi Ekspresi Interleukin-1 Alpha (IL-1) dan Tumor Necrosis Factor


Alpha (TNF-) pada Ovarium Tikus (Rattus norvegicus) Model Ca Mammae
Hasil Induksi 7,12 Dimetylbenz [a] Antracene (DMBA) Multiple Low Dose
(MLD)

Dengan ini menyatakan bahwa:


1.
2.

Isi dari skripsi yang saya buat adalah benar-benar karya saya sendiri dan tidak
menjiplak karya orang lain, selain nama-nama yang termaktub di isi dan tertulis di
daftar pustaka dalam skripsi ini.
Apabila dikemudian hari ternyata skripsi yang saya tulis terbukti hasil jiplakan,
maka saya akan bersedia menanggung segala resiko yang akan saya terima.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala kesadaran.

Malang, 26 Januari 2015


Yang menyatakan,

(Reny Purnama Hadi)


NIM.105130100111006

6
Studi Ekspresi Interleukin-1 Alpha (IL-1) dan Tumor Necrosis Factor Alpha
(TNF-) pada Ovarium Tikus (Rattus norvegicus) Model Ca Mammae Hasil
Induksi 7,12 Dimetylbenz [a] Antracene (DMBA) Multiple Low Dose (MLD)
ABSTRAK
Kanker mammae merupakan kanker yang terjadi pada jaringan mammae
yang paling sering menyerang hewan betina usia produktif. Senyawa 7,12
Dimetylbenz [a] Antracene (DMBA) merupakan salah satu zat karsinogenik yang
dapat menginisiasi terjadinya kanker mammae (Ca Mammae). Toksisitas dari
DMBA diketahui mampu menimbulkan terjadinya kanker melalui kerusakan
DNA dan inflamasi yang terjadi pada organ dan jaringan yang terpapar.
Interleukin-1 Alpha (IL-1) dan Tumor Nuclear Factor Alpha (TNF-) merupakan
jenis sitokin proinflamatori yang turut berperan dalam terjadinya inflamasi akibat
adanya kanker. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh induksi
DMBA terhadap ekspresi IL-1 dan TNF- pada ovarium tikus. Penelitian ini
menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) strain Sprague-dawley betina
berusia 10-12 minggu yang terbagi dalam dua kelompok perlakuan. Kelompok
pertama merupakan kelompok kontrol dan kelompok kedua merupakan kelompok
perlakuan. Induksi DMBA diberikan Multiple Low Dose (MLD) sebesar 10 mg/kg
BB secara subkutan pada daerah mammae setiap dua hari sekali sebanyak 10x
induksi. Induksi estrogen diberikan secara intramuskular dengan dosis 20.000
IU/kg BB setiap dua kali dalam seminggu. Parameter yang diamati adalah
ekspresi IL-1 dan TNF- pada ovarium tikus yang diamati dengan menggunakan
metode imunohistokimia (IHK). Analisa data dilakukan secara kuantitatif dengan
uji T parametrik tidak berpasangan. Hasil penelitian menunjukan bahwa induksi
DMBA mampu meningkatkan ekspresi IL-1 dan TNF- pada ovarium tikus.
Pengamatan pada kelompok perlakuan diketahui bahwa terjadi peningkatan
ekpresi IL-1 sebesar 25x (20.010.40) dan peningkatan ekpresi TNF- sebesar
7,9x (15.090.23) dengan beda nyata, =0,05. Kesimpulan dari penelitian ini
adalah induksi DMBA dapat meningkatkan ekspresi IL-1 dan TNF- pada
ovarium tikus.
Kata kunci: DMBA, IL-1, Kanker mammae, Ovarium, TNF-,

7
Study Expression of ovary Interleukin-1 Alpha (IL-1) and Tumor Nuclear
Factor Alpha (TNF-) on Rat (Rattus norvegicus) Mammary Cancer Models
Induced by Multiple Low Dose (MLD) of 7,12 Dimetylbenz [a] Antracene
(DMBA)
ABSTRACT
Mammary cancer is a cancer that occurred in mammary tissue and it is one
of the most commonly cancer that affects productive females animal. The 7,12
Dimetylbenz [a] Antracene (DMBA) is one of the carcinogenic substances that
can initiate the occurance of mammary cancer (Ca Mammae). DMBA toxicity can
caused DNA damage and inflammation that can occurr in organ or tissue.
Interleukin-1 Alpha (IL-1) and Tumor Nuclear Factor Alpha (TNF-) are
proinflammatory cytokine that play the mean role of inflammation in cancer. This
study was conducted to determine the effect of DMBA induction to the expression
of IL-1 and TNF- on rat ovary. This study was used the 10-12 weeks old female
white rats (Rattus norvegicus) of Sprague-dawley strain those have been separated
into two groups. The first group was a control and the second group was a
treatment group. DMBA induction was done through Multiple Low Dose (MLD)
of 10 mg/kg BW subcutaneously on the mammary tissue every two days for 10
times. Estrogen induction was intramuscularly at dose 20.000 IU/kg BW two
times a week. The parameters that were observed are the expression of IL-1 and
TNF- on the rat ovary which were observed by imunohistochemistry (IHC)
method. Analysis was perfomed quantitatively by parametric independent T test.
The results showed that DMBA induction significantly increase the TNF- and
IL-1 expression on the rat ovary. The observations on the treatment group
showed the increase of IL-1 expression at 25x (20.010.40) and TNF-
expression at 7,9x (15.090.23) with =0,05.
Keywords: DMBA, IL-1, Mammary Cancer, Ovary, TNF-

8
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik dan lancar.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan
dan dorongan dari berbagai pihak, skripsi ini akan menjadi sukar untuk
diselesaikan. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih atas segala bantuan dan dukungan, baik dalam pelaksanaan penelitian
skripsi maupun dalam penyelesaian skripsi, kepada pihak pihak berikut;
1.

Dr.Agung Pramana Warih Marhendra, MSi., selaku Ketua Program

Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.


2.
Prof. Dr. Aulanniam, drh, DES., selaku Ketua Program Studi
3.

Kedokteran Hewan, Universitas Brawijaya.


Dra. Anna Roosdiana, M.App.Sc, selaku dosen pembimbing I,
yang telah dengan kesabaran dan semangatnya memberikan pengarahan
dan dorongan kepada penulis baik mulai persiapan penelitian hingga

4.

penyusunan skripsi ini.


Drh. Dyah Ayu Okativianie A.P., M.Biotech., selaku dosen
pembimbing II, yang juga telah dengan bersedia meluangkan waktunya
dalam konsultasi dan memberikan pengarahan serta panduan kepada

5.

penulis mulai dari persiapan penelitian hingga penyusunan skripsi ini.


Drh. Aulia Firmawati, M.vet., dan Drh. Handayu Untari, selaku
dosen penguji skripsi yang telah memberikan masukan dan kritikan untuk

menjadikan penulisan skripsi ini menjadi lebih baik.


6.
Keluarga penulis, Ayah-Ibu, saudara kembarku Rany, dan adikku
Rifky yang telah memberikan dukungan baik moral dan material kepada
penulis untuk tetap semangat melaksanakan skripsi.
7.
Kepada pihak-pihak terdekat penulis, Yesy Vita Adetyara,
Rahmatul Laili Putri, Putri Astikasanti dan teman-teman PKH 2010 A dan
teman-teman kerja dalam penelitian yang telah memberikan semangat dan

9
support kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
8.
Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan kegiatan
skripsi dan penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang
sebaik-baiknya khususnya bagi penulis dan rekan-rekan mahasiswa lainnya.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi hasil yang lebih baik.
Malang, Desember 2014
Penulis

10
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN...................................................................................iii
ABSTRAK.............................................................................................................iv
ABSTRACT............................................................................................................v
KATA PENGANTAR............................................................................................vi
DAFTAR ISI........................................................................................................viii
DAFTAR TABEL..................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xi
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG..............................................................xii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah...............................................................................3
1.3 Batasan Masalah...................................................................................3
1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................4
1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................5
2.1 Kanker Mammae....................................................................................5
2.2 DMBA..................................................................................................12
2.3 Pengaruh Kanker Mammae Terhadap Ovarium...................................17
2.3 Tikus putih (Rattus norvegicus)...........................................................17
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN.................22
3.1 Kerangka Konsep.................................................................................22
3.2 Hipotesis Penelitian..............................................................................24
BAB 4 METODE PENELITIAN........................................................................25

11
4.1 Tempat dan Waktu................................................................................25
4.2 Rancangan Penelitian...........................................................................25
4.3 Variabel Penelitian...............................................................................26
4.4 Alat dan Bahan.....................................................................................27
4.5 Tahapan Penelitian...............................................................................27
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................34
5.1 Pengamatan Nodul Pasca Induksi........................................................34
5.2 Pengaruh DMBA Terhadap Ekspresi Interleukin 1 Alpha (IL-1) pada
Ovarium TIkus Ca.Mammae................................................................37
5.3 Pengaruh DMBA Terhadap Ekspresi Tumor Nuclear Factor Alpha
(TNF-) pada Ovarium TIkus Ca.Mammae........................................43
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................47
6.1 Kesimpulan..........................................................................................50
6.2 Saran.....................................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51
LAMPIRAN..........................................................................................................58

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

4.1. Rancangan Penelitian..........................................................................................


5.1. Rata-rata Ekspresi IL-1................................................................................38
5.2. Rata-rata Ekspresi TNF-..............................................................45

12

13
DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

2.1. Rattus norvegicus ras Sprague-dawley...............................................................


3.1. Kerangka Konsep ...........................................................................................22
5.1. Gambar Tikuspada Hari ke-14........................................................................34
5.2. Ekspresi IL-1............................................................................38
5.3. Ekspresi TNF-...............................................................................................44

14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
1. Kerangka Operasional Penelitian
2. Timeline penelitian
3. Perhitungan Dosis DMBA dan Estrogen
4. Pembuatan larutan DMBA
5. Pengambilan Organ Ovarium.................................................................................
6. Pembuatan Preparat Ovarium................................................................................
7. Uji Imunohistokimia..............................................................................................
8. Sertifikat Laik Etik.............................................................................................65
9. Perhitungan Ekpresi IL-1 dan TNF-.............................................................67
10. Gambaran Histopatologi Sel Mammae Tikus Pasca Induksi...........................71

15
DAFTAR ISTILAH DAN LAMBANG
Symbol/singkatan

Keterangan

Ahr
BB
BW
BRCA1
BRCA2
Ca Mammae
CYP1
dA
DAB
DMBA
DMBA-DE
DNA
DNA adduct
DNA repair
E2
HGF
FGF
g
IU
IHK
IL-1
IM
MBBM
MEH
ml
mm
NS
PAH
PFA
PBS
RAL
ROS
SA-HRP
SC
SD
TNF-
VEGF

Aryl hydrocarbon receptor


Berat badan
Body Weight
Breast cancer susceptibility gene 1
Breast cancer susceptibility gene 2
Carcinoma mammae
Sitokrom P
eksosiklik deoksiadenosin
diamano benzidine
dimetylbenz [a] antrasen
Hasil metabolisme DMBA
Deoxyribosom Nuclear Acid
DNA yang terikat pada zat karsinogenik
Proses perbaikan DNA
Estradiol
Hepatocyte growth factor
Fibroblast growth factor
Gram
International Unit
Imunohistokimia
Interleukin 1 Alpha
Intra muskuler
Minyak biji bunga matahari
Mikrosomal epoksid hidrolase
Milliliter
Millimeter
Normal Saline
Polisiklik Aromatic Hydrocarbon
Paraformaldehyde
Phosphate Buffer Saline
Rancangan Acak Lengkap
Reactive Oxygen Species
Strep Avidin Horse Radish Peroxidase
Sub kutan
Sprague-dawley
Tumor Necrosis Factor Alpha
Vascular endothelial growth factor

11
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Carcinoma (Ca) mammae atau kanker mammae merupakan salah satu


kejadian kanker yang paling sering terjadi pada hewan betina. Kasus kanker
mammae dapat terjadi pada anjing, kucing, dan juga kuda, namun kebanyakan
kasus lebih sering terjadi pada anjing. Peningkatan angka kejadian kanker
mammae didasari oleh pengaruh dari beberapa faktor seperti nutrisi, inbreeding,
vaksinasi, dan penggunaan obat-obatan yang diberikan pada hewan tersebut
(Amstrong, 2009).

Penelitian mengenai Ca mammae telah banyak dilakukan untuk


mempelajari lebih lanjut mengenai patomekanisme penyakit tersebut. Pembuatan
hewan model Ca mammae seringkali dilakukan dengan menginduksikan zat-zat
kimia yang bersifat karsinogenik seperti 7,12 dimetylbenz [a] antracene (DMBA),
benz[a]pyrene (BP), 4-nitroquinoline-1-oxide, dan N-nitroso-N-methylure. Zat-zat
tersebut diketahui mampu menginisiasi timbulnya Ca mammae pada hewan
percobaan (Cordeiro and Kaliwal, 2011). Zat karsinogen DMBA merupakan zat
yang paling sering digunakan dalam pembuatan hewan model Ca mammae. Zat
ini diketahui memiliki potensi lebih tinggi dan lebih stabil sebagai zat karsinogen
untuk membuat hewan model kanker (Currier, 2005).

2
Induksi DMBA akan dimetabolisme di dalam tubuh membentuk suatu
metabolit aktif berupa senyawa epoxide dihidrodriol. Senyawa aktif tersebut akan
berikatan dengan DNA dan menimbukan kerusakan pada DNA yang disebut
dengan DNA adduct. Hasil metabolisme aktif DMBA, yang merupakan senyawa
karsinogen juga dapat meningkatkan jumlah ROS (reactive oxygen species) dalam
1
sel premaligna. Peningkatan jumlah ROS akan mengakibatkan kerusakan jaringan
yang ditandai dengan adanya peningkatan sitokin-sitokin proinflamatori termasuk
Interleukin-1 alpha (IL-1) dan Tumor Nuclear Factor Alpha (TNF-).
Peningkatan sitokin proinflamatori tersebut dapat merangsang timbulnya kejadian
inflamasi atau peradangan secara sistemik (Anggarwal et al., 2006).

Pemberian DMBA dalam beberapa studi seringkali diberikan secara


peroral dengan dosis 20mg/kg BB, yang diberikan 1x setiap minggu dengan
waktu induksi berkisar antara 5-6 minggu (Cordeiro and Kaliwal, 2011). Waktu
induksi DMBA yang cukup lama, serta metode pemberian yang tidak spesifik
pada organ target, melatarbelakangi peneliti untuk mencari metode lain sehingga
pembuatan hewan model Ca Mammae dapat lebih optimal dan langsung pada
organ target. Pemberian DMBA secara peroral juga diketahui dapat memberikan
efek samping berupa inflamasi pada organ-organ di sekitar mammae, yang
terpapar oleh zat metabolit aktif dari DMBA (Ranita dan Widyarini, 2010). Oleh
karena itu, dalam penelitian ini peneliti mencoba untuk mengetahui pengaruh dari
DMBA terhadap organ reproduksi lainnya yaitu ovarium, karena ovarium
merupakan organ reproduksi yang berperan penting dalam mengatur hormon-

3
hormon reproduksi dan memiliki keterkaitan erat dengan kanker mammae
(Maccio and Madeddu, 2012).

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya itulah maka


dilakukan penelitian ini, untuk mengetahui pengaruh induksi DMBA pada
mammae terhadap kerusakan ovarium tikus dengan melihat ekspresi IL-1 dan
TNF-.

1.2 Perumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh induksi DMBA terhadap ekspresi IL-1 pada


ovarium tikus (Rattus norvegicus)?

2. Bagaimana pengaruh induksi DMBA terhadap ekspresi TNF- pada


ovarium tikus (Rattus norvegicus)?

1.3 Batasan Masalah

1. Hewan model yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) strain Sprague-Dawley betina, berumur 10 12

4
minggu, dan berat badan sekitar 150 200 gram yang didapat dari
UPHP (Unit Pengembangan Hewan Percobaan) UGM Yogyakarta,
yang telah mendapat persetujuan laik etik oleh Komisi Etik Penelitian
Universitas Brawijaya (KEP UB) dengan nomor 189-KEP-UB
(Lampiran 9).

2. Pembuatan hewan coba Ca mammae dilakukan berdasarkan modifikasi


dari Cordeiro (2011) dan Pugalendhi et al (2011), yaitu induksi DMBA
dengan dosis 10 mg/kg BB yang dilarutkan dalam minyak biji bunga
matahari dan normal salin. Induksi diberikan melalui injeksi subkutan
pada mammae tikus yang diberikan setiap 2 hari sekali selama 20 hari.
Selain itu, hewan coba juga diinduksi dengan estrogen 20.000 IU/kg
BB, 2 kali dalam seminggu dengan interval pemberian selama 4 hari
(modifikasi Naciff et al., 2002).

3. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah ekspresi IL-1 dan
TNF- pada ovarium yang diamati dengan menggunakan metode
Imunohistokimia (IHK).

1.4 Tujuan Penelitian

5
1. Mengetahui pengaruh induksi DMBA terhadap ekspresi IL-1 pada
ovarium tikus (Rattus norvegicus).

2. Mengetahui pengaruh induksi DMBA terhadap ekspresi TNF- pada


ovarium tikus (Rattus norvegicus).

1.5 Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat


kepada masyarakat mengenai optimasi pembuatan hewan coba Ca mammae
dengan menggunakan induksi DMBA, sehingga dapat digunakan dalam
pengembangan penelitian lebih lanjut yang terkait dengan Ca mammae. Penelitian
ini juga dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh induksi DMBA secara
subkutan terhadap organ-organ lain di sekitar mammae yaitu ovarium.

6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Kanker Mammae

2.1.1

Etiologi
Kanker pada kelenjar mammae merupakan jenis tumor yang paling

sering terjadi pada anjing betina. Kanker mammae terjadi pada 2 dari 1000
anjing betina. Setengah dari keseluruhan kasus kejadian kanker mammae
pada anjing adalah jenis ganas atau malignant, yang berarti tumor ini
memiliki kemungkinan untuk menyebar ke organ yang lainnya (Vet cancer
group, 2010).
Kebanyakan dari kanker mammae muncul sebagai benjolan pada
daerah sekitar kelenjar mammae, khususnya pada anjing dewasa. Kanker
umumnya terjadi pada anjing betina yang masih bereproduksi dan berumur
antara 5 10 tahun, namun 80 % kasus didiagnosa pada anjing berusia
> 7 tahun. Kanker mammae juga pernah ditemukan pada anjing betina
berumur 2 tahun, namun kasus ini jarang terjadi (Chun, 2005). Selain
umur dan reproduksi, bangsa anjing Toy dan miniatur Poodles, Spaniels,
dan German Shepherds memiliki resiko yang lebih besar menderita kanker
mammae. Faktor resiko kejadian kanker tinggi pada anjing yang masih
aktif bereproduksi. Tingginya faktor resiko ini berhubungan dengan
produksi dan aktivitas hormon estrogen dan progesteron. Hormon tersebut
berperan dalam inisiasi awal terbentuknya kanker dan berperan dalam
perkembangan kanker selanjutnya (Zatloukal et al., 2005).

7
Pada hewan, kanker (Ca) mammae dapat disebabkan oleh berbagai
faktor, seperti konstitusi genetika, hormon, karsinogenesis, sinar UV,
infeksi virus, faktor ligkungan, serta keadaan klinis yang merupakan
predisposisi terjadinya neoplasma ganas. Kebanyakan kasus yang terjadi
pada anjing, kasus Ca mammae lebih sering disebabkan oleh adanya
pengaruh hormonal seperti somatotrophic dan gonadal hormones.
Peningkatan jumlah hormon-hormon tersebut semakin memperbesar
resiko terjadinya Ca mammae (Allison et al., 2003). Pengaruh dari
hormon-hormon reproduksi ini juga diketahui berdasarkan beberapa
penelitian bahwa anjing yang telah dilakukan ovario hysterectomy sebelum
masa estrus pertamanya memiliki resiko terkena Ca mammae yang lebih
rendah dibandingkan setelah masa estrus pertamanya (Polton, 2009).

Kasus Ca mammae pada hewan diketahui ada beberapa tipe yang


dibeda-bedakan

berdasarkan

(adenoma/adenocarcinoma),
myoephithelial

dan

asal

jaringannya

ductular

pluripotential

(mixed)

yaitu,

glandular

(papilloma/carcinoma),
cells

(Polton,

2009).

Berdasarkan gambaran histologisnya, Ca mammae diklasifikasikan


menjadi beberapa bentuk, yaitu: kanker mammae non invasif dan kanker
mammae invasif. Ca

mammae non invasif terdiri dari karsinoma

intraduktus non invasif dan karsinoma lobular insitu. Ca mammae invasif


terdiri dari karsinoma duktus invasif, karsinoma lobular invasif, karsinoma
musinosum, karsinoma meduler, karsinoma papiler invasif, karsinoma

8
tubuler, karsinoma adenokistik, dan karsinoma apokrin (Abbas et al.,
2013).

2.1.2

Patomekanisme

Kanker atau neoplasma dapat juga didefinisikan sebagai sebuah


masa jaringan abnormal yang tumbuh berlebihan tanpa adanya koordinasi
dengan pertumbuhan jaringan normal dan akan tetap tumbuh secara
berlebihan walaupun stimulus yang menyebabkan perubahannya berhenti
(Laumbacher, 2005). Pada dasarnya, awal timbulnya semua kanker adalah
hilangnya tanggapan atau respon terhadap kendali pertumbuhan normal.
Hilangnya respon tersebut disebabkan karena mutasi dari gen-gen dalam
tubuh (Abbas et al., 2013).

Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal melalui proses


transformasi yang terdiri dari proses inisiasi dan promosi. Pada tahap
inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang memicu sel
menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik ini disebabkan oleh
adanya agen karsinogenik yang dapat berupa zat kimia, virus, maupun
radiasi sinar-sinar tertentu. Tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama
terhadap

karsinogen.

Kelainan

pada

gen-gen

promoter,

dapat

menyebabkan sel menjadi lebih rentan terhadap suatu karsinogen. Pada


tahap promosi, sel yang telah melewati tahap inisiasi akan berubah

9
menjadi ganas atau tidak terkendali (Lin and Karin, 2007). Salah satu gen
yang memegang peranan penting dalam mekanisme terbentuknya kanker
adalah Tumor Supressor Gen, yaitu gen p53. Fungsi utama p53 adalah
kemampuannya memperbaiki DNA dan mengaktifkan apoptosis sel
sebagai bentuk pengontrol negatif pertumbuhan sel. Terganggunya fungsi
kerja dari p53 dapat mengakibatkan menghilangkan kemampuan p53
sebagai materi anti-proliferasi sel, sehingga sel berproliferasi secara
berlebihan dan menjadi sel kanker (Perhimpunan Onkologi Indonesia,
2010).

Bahan karsinogen kimia pada umumnya memerlukan paparan


berulang kali sebelum dapat mengakibatkan transformasi sel dan kanker.
Periode diantara kontak pertama dengan karsinogen dan timbulnya kanker
disebut periode laten, yang lamanya bergantung pada dosis karsinogen.
Pada fase awal pertumbuhan sel kanker terdiri atas 3 tahap yaitu fase
inisiasi, fase promosi, dan fase progresi. Fase inisiasi merupakan proses
yang

ireversibel,

biasanya

berlangsung

cepat,

dan

karsinogen

mengakibatkan lesi DNA permanen. Pada fase promosi terjadi proses


dimana sel-sel yang mengalami inisiasi berubah menjadi sel-sel
preneoplastik. Pada fase promosi yang berlangsung lama dan reversibel
biasanya terjadi berbagai perubahan pada sel atau jaringan seperti
perubahan sintesis fosfolipid, perubahan sintesis DNA dan RNA,
pelepasan prostaglandin, perubahan morfologi sel, dan lain-lain. Fase ke-3

10
yang merupakan fase progesi, merupakan fase dimana terjadi evolusi sel
preneoplastik menjadi sel neoplastik (Perhimpunan Onkologi Indonesia,
2010).

Kasus Ca mammae disebabkan oleh proliferasi keganasan sel epitel


yang membatasi duktus atau lobus mammae. Pada tahap awal hanya
terdapat hyperplasia sel dengan perkembangan sel-sel atipikal. Sel-sel ini
kemudian berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma.
Pada sebagian besar kasus, kanker membutuhkan waktu kurang lebih 7
tahun untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk
dapat dipalpasi (diameter sekitar 1 cm). Pada ukuran tersebut, sekitar 25%
Ca mammae sudah mengalami metastasis (Wooster and Weber, 2003).

Patomekanisme terjadinya Ca mammae melibatkan banyak faktor.


Pada Ca mammae, zat karsinogenik yang masuk dalam tubuh
menyebabkan peningkatan jumlah ROS (reactive oxygen species) sehingga
menyebabkan reaksi stress oksidatif dimana kedua faktor ini akan
mengaktifasi faktor-faktor transkripsi dan faktor proinflamatori dalam
tubuh (Currier, 2005).

Beberapa produk pro inflamasi yang memiliki

peran penting pada penekanan apoptosis, peningkatan proliferasi,


angiogenesis, invasi dan metastasis, diantaranya adalah : IL-1
(Interleukin-1 Alpa)

dan TNF- (Tumor Necrosis Factor Alpha)

(Manderson et al., 2008).

11
Peran IL-1 dan TNF- dalam mekanisme kanker tidak lepas dari
proses inflamasi yang menyertai timbulnya kanker. Proses inflamasi kronis
banyak dihubungkan dengan berbagai tahapan yang terlibat dalam
karsinogenesis

termasuk

transformasi

seluler,

promosi,

survival,

proliferasi, infasi dan angiogenesis (Anggarwal et al., 2010). Perubahan


genetik yang menyebabkan kanker dengan aktivasi reaksi inflamasi
prokanker menyebabkan respon inflamasi memegang peran penentu dalam
berbagai stadium perkembangan kanker. Inflamasi sebagai lingkungan
mikro kanker dapat meningkatkan laju mutasi dan meningkatkan
proliferasi sel yang bermutasi. Hubungan inflamasi dengan kanker
merupakan hubungan dua arah dimana kerusakan DNA dalam sel kanker
dapat menyebabkan inflamasi semakin parah dan mempromosikan kanker
(Hernawati, 2013).

Proses inflamasi sangat kuat mempengaruhi timbulnya kejadian


kanker. Proses ini akan mengikut sertakan aktivasi dari onkogenesis atau
inaktivasi dari tumor suppressor gen yang mempengaruhi program
transkripsional proinflamatori dari sel premaligna. Banyak sitokin
proinflamatori termasuk IL-1 yang disekresikan oleh epitel sel-sel tumor
akan mempengaruhi sel-sel stroma sebagai marker awal pertanda
terjadinya proses inflamasi (Tjomsland et al., 2013). merupakan salah satu
sitokin dari keluarga interleukin1 (IL-1). Interleukin1-alpha (IL-1)
berperan sebagai sitokin penanda yang menjadi respon awal terjadinya

12
proses inflamasi. IL-1 akan di ekspresikan oleh sel-sel endotel sebagai
tanda adanya kerusakan jaringan. Pada kanker, IL-1 ini berperan sebagai
marker utama terjadinya proses inflamasi pada lingkungan sel yang
mengalami nekrosis dan kematian sel atau apoptosis (Rider et al., 2011).
Interleukin1-alpha (IL-1) juga diproduksi oleh sel kanker untuk
merangsang pembentukan fibroblast dan menyebabkan fibrosis. Fibroblast
akan menghasilkan HGF (hepatocyte growth factor) yang akan
bekerjasama dengan proto-onkogen c-met untuk merangsang pertumbuhan
dan morfogenesis sel kanker. Sel kanker akan memenuhi kebutuhan
nutrisinya dengan memproduksi FGF (fibroblast growth factor) dan VEGF
(vascular endothelial growth factor) yang mempengaruhi sel endotel untuk
membentuk pembuluh darah (angiogenesis) dan memproduksi IL-1 yang
berperan dalam umpan balik merangsang pertumbuhan sel kanker
(Perhimpunan Onkologi Indonesia, 2010).

Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-) diekspresikan secara lokal


oleh sel-sel imun. Namun ketika terjadi disregulasi pada TNF-, maka
dapat menyebabkan timbulnya kanker. TNF- merupakan mediator utama
inflamasi. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-)

akan menginduksi

mediator inflamasi lain dan protease yang merupakan pemeran dalam


respon inflamasi. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-) juga diproduksi
oleh kanker dan dapat beraksi sebagai kanker promoter endogen (Stanilov
et al., 2011). Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-) merupakan faktor

13
yang memainkan peran utama pada perkembangan kondisi inflamasi
kronis. Tumor Necrosis Factor Alpha (TNF-) diproduksi oleh makrofag,
eosinofil, sel epitel, dan juga sel mast. Pada kondisi kanker, TNF- dikenal
sebagai promoter tumor yang diketahui ikut mempengaruhi dalam invasi
tumor dan perkembangan metastasis sel. Tumor Necrosis Factor Alpha
(TNF-) akan mempromosikan metastasis sel dan tumor angiogenesis
dalam perkembangan sel kanker (Waterson and Bower, 2004).

Selain dipengaruhi oleh mutasi gen dan sitokin, kejadian Ca


mammae juga erat dikaitkan dengan adanya ketidakseimbangan hormon
reproduksi, yaitu estrogen. Lobulus dan duktus mammae sangat responsif
terhadap estrogen karena sel epitel lobolus dan duktus mengekspresikan
reseptor

estrogen

(ER)

yang

dapat

menstimulasi

pertumbuhan,

diferensiasi, dan perkembangan kelenjar mammae (Eritja et al, 2011).


Estrogen sendiri, yang merupakan hormone reproduksi memiliki fungsi
untuk perkembangan jaringan stroma pada mammae, pertumbuhan system
duktus serta deposit lemak pada mammae. Akan tetapi, paparan estrogen
yang berlebihan, berkontribusi sebagai salah satu faktor penyebab
terjadinya kanker mammae. Salah satu jenis estrogen, yaitu estradiol (E2),
diketahui memberikan efek sebagai salah satu respon pemicu kanker
mammae (Wei et al, 2010).

14
2.2

DMBA

2.2.1

Struktur dan Pengaruh DMBA

Senyawa 7,12-dimetilbenz [a] antracene (DMBA) adalah zat kimia


yang termasuk dalam polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang
dikenal bersifat mutagenik, teratogenik, karsinogenik, sitotoksik, dan
immunosupresif (Budi dan Widyarini, 2010). Senyawa DMBA berbentuk
padat, berwarna kuning kehijau-hijauan memiliki berat molekul 256.34
g/mol (Gillespie et al., 2012) dan mempunyai 4 cincin benzene dengan
empat macam cincin aromatik yang berikatan khas sruktur polisiklik
aromatic hidrokarbon (PAH) dengan tiga cincin aromatik dan 2 subtituen
logam yang dapat menyebabkan kanker pada manusia (Jagdeep et al.,
2010). Secara alami DMBA dapat ditemukan di alam sebagai hasil dari
proses pembakaran yang tidak sempurna, seperti dalam asap tembakau,
asap pembakaran kayu, asap pembakaran gas, bensin, minyak, batubara
atau daging. Senyawa 7,12- dimetilbenz [a] antracene (DMBA) dapat
ditemukan di dalam air, tanah maupun udara (Budi dan Widyarini, 2010).

Induksi DMBA dapat diberikan melalui makanan atau peroral,


inhalasi maupun kontak kulit dengan cara injeksi. Senyawa 7,12dimetilbenz [a] antracene (DMBA) juga dilaporkan sebagai karsinogen
poten pada hewan coba, dengan target utama pada kulit dan glandula

15
mammae (Gillespie et al., 2012). Paparan DMBA mampu menginduksi
produksi dari ROS yang menyebabkan peroksidasi lemak, kerusakan
DNA, dan hilangnya sel yang memiliki sistem antioksidan. Paparan
DMBA juga mampu menyebabkan perubahan patologi klinik melalui
toksisitasnya pada kulit, kelanjar mammae, ginjal, dan hepar sehingga
mampu

menginduksi

kerusakan

parenkim

hepatocelluler,

hingga

menyebabkan lesi pada hepar, tumor, serta kanker. Dosis tinggi DMBA
yang diberikan secara kronik pada hewan coba dapat menyebabkan
nekrosis pada adrenal (Cordeiro, 2011).

Senyawa DMBA diketahui lebih sering digunakan dalam


pembuatan hewan coba kanker karena sifatnya yang mudah stabil dan
memiliki potensi yang lebih tinggi sebagai zat karsinogenik. Senyawa
DMBA juga mudah diabsorbsi melalui kulit, respiratori, dan juga saluran
intestinal. Selain itu, DMBA juga mudah diinduksikan melalui intravena,
intraperitonial, ingesti, dan inhalasi. Sensitifitas DMBA dalam memicu
reaksi karsinogenik juga diketahui lebih tinggi dibandingkan zat-zat kimia
lainnya. Senyawa DMBA juga diketahui sebagai zat karsinogen yang
paling berpotensi dalam pembuatan kanker mammae dan kanker kulit
(Cordeiro and Kaliwal, 2011).

2.2.2

Patomekanisme Induksi DMBA

16
Bahan kimia dapat dimetabolisme oleh enzim-enzim tertentu
menjadi bahan hidrofilik yang mudah diekskresi, tetapi aktivitas dari
enzim tersebut juga dapat menghasilkan produk oksidan reaktif yang dapat
menyebabkan lesi atau mutasi DNA. Lesi serta mutasi DNA yang terjadi
dapat menyebabkan aktivasi onkogen atau inaktivasi gen suppressor
sehingga terjadi transformasi sel (Perhimpunan Onkologi Indonesia,
2010).
Senyawa 7,12-Dimetilbenz [a] antrasen (DMBA) sebagai inisiator
pembentukan kanker mammae memerlukan aktivasi metabolik oleh enzim
yang secara normal ada dalam tubuh, seperti sitokrom p450 dan
merupakan bagian dari proses metabolisme xenobiotik. Jalur metabolisme
DMBA melalui aktivasi enzim sitokrom p-450 menjadi intermediate
reaktif yang dapat merusak DNA, yaitu terbentuknya epoksida
dehidrodriol dan kation radikal. Epoksida dehidrodiol akan mengikat
gugus amino ekosiklik purin DNA secara kovalen menjadi bentuk adduct
yang stabil, sedangkan kation radikal akan mengikat N7 atau C8 purin
menjadi bentuk adduct tidak stabil yaitu depurinisasi menjadi tempat yang
kehilangan purin pada DNA. Jalur epoksida dehidrodiol inilah yang
bertanggung jawab terhadap inisiasi tumor karsinogenik DMBA dibanding
bentuk kation radikal (Hendris dan Iswahyudi, 2013).
Metabolit DMBA 3,4 diol-1,2 epoxides yang mampu membentuk
DNA adduct merupakan metabolit aktif dari DMBA (Cordeiro, 2011).
Metabolit

tersebut

menentukan

mutasi

dalam

gen

dan

dapat

mengendalikan siklus sel sehingga mendorong pembelahan sel kanker.

17
Senyawa epoksida akan berikatan dengan gugus amino eksosiklik
deoksiadenosin (dA) secara kovalen pada DNA. Interaksi ini dapat
menginduksi mutasi pada gen-gen penting sehingga menyebabkan iniasi
kanker. Mutasi somatik disebabkan oleh ultimate carcinogen yang
berikatan dengan DNA (Gillespie, 2012) .
Karsinogen DMBA, disamping sebagai stressor oksidatif yang
bersifat genotoksik, juga imunosupresif. Stres oksidatif yang disebabkan
oleh radikal bebas atau prooksidan intrasel berlebihan bisa terjadi pada sel
yang terpapar metabolit DMBA. Salah satu hasil metabolisme DMBA oleh
CYP1 adalah pembentukan metabolit kation radikal reaktif, sebagai salah
satu sumber reaksi prooksidan. Metabolisme DMBA menjadi metabolit
aktif

yang

bersifat

imunosupresan

melibatkan

enzim

CYP1B1

dan mychrosomal epoxide hidrolase (Gao et al., 2007). Metabolisme


DMBA oleh CYP1B1 dan enzim mikrosomal epoksida hidrolase (MEH)
akan menghasilkan DMBA-DE. Metabolit DMBA-DE disamping bersifat
hematotoksik yaitu menekan eritropoesis pada sumsum tulang, juga
bersifat imunosupresif (Budi dan Widyarini, 2010).
Pada kanker, DMBA akan bereaksi dengan sitokrom p-450 untuk
membentuk ikatan kovalen dengan DNA sel yang aktif sehingga
menyebabkan DNA adduct. DMBA akan dioksidasi oleh sikorom p-450
CYP1B1 menjadi DMBA 3,4 epoksida. Selanjutnya akan diikuti hidrolisis
epoksida oleh enzim MEH

menjadi metabolit proximate carcinogen

DMBA-3,4-diol. Metabolit ini kemudian dioksidasi oleh CYP1A1 atau


CYP1B1 menjadi metabolit ultimate carcinogen yaitu DMBA-3,4-diol-

18
1,2-epoksida yang memiliki kemampuan membentuk DNA adduct
(Hendris dan Iswahyudi, 2013). DNA adduct inilah yang merupakan
proses awal munculnya kanker. DNA adduct sendiri merupakan DNA
yang terikat pada suatu senyawa kimia karsinogenik yang menyebabkan
terjadinya kerusakan pada DNA. Ketika DMBA berikatan dengan DNA,
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada DNA, dimana replikasi yang
tepat dan sempurna untuk membentuk sel yang sempurna tidak terjadi
(Kumari, et al., 2008). Kegagalan replikasi tersebut, menyebabkan
terjadinya mutasi atau proses mutagenesis dari sel dan tanpa adanya DNA
repair yang benar hal ini dapat memicu inaktivasi dari gen-gen tertentu,
salah satunya adalah Tumor Supressor Gen seperti p53. Gen p53 yang
tidak berfungsi secara normal akan mengakibatkan perkembangbiakan dan
pembelahan sel tidak terkendali sehingga proliferasi sel terjadi secara terus
menerus dan menimbukan kanker (Syaifudin, 2007).
Kerusakan jaringan yang ditimbulkan oleh DMBA juga diketahui
dapat disebabkan oleh akumulasi senyawa ROS yang memicu respon
inflamasi pada jaringan yang terpapar DMBA. Proses metabolisme DMBA
menjadi senyawa metabolit aktif, diketahui memberikan produk samping
berupa ROS yang diperoleh dari reaksi oksidasi redoks (Flesher and
Sydnor, 2014). Senyawa ROS yang dihasilkan ini, akan memicu produksi
sitokin proinflamasi melalui aktivasi dari NFkB. Senyawa ROS yang ada
di mitokondria akan mengaktivasi NFkB di sitosol yang kemudian akan
bertranslokasi di nukleus. NFkB selanjutnya akan mengikat DNA target

19
dan menstimulus makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi yang
akan menyebabkan kerusakan jaringan dan inflamsi pada sel target (Held,
2010).

2.3

Pengaruh Kanker Mammae terhadap Ovarium

Kanker mammae diketahui memiliki hubungan erat dengan ovarium.


Hewan yang mengalami kanker mammae diketahui memiliki resiko yang lebih
besar untuk terkena kanker ovarium. Keterkaitan ini duhubungkan dengan adanya
mutasi dari BRCA1 dan BRCA2 (Kelly et al., 2005). Breast cancer susceptibility
gene 1 (BRCA1) dan breast cancer susceptibility gene 2 (BRCA2) merupakan
beberapa nama gen yang termasuk dalam kelas gen penekan tumor, di mana
mutasi dari gen-gen ini berhubungan dengan kanker payudara dan ovarium secara
herediter. Pasien yang pernah menderita kanker mammae artinya telah mengalami
mutasi pada gen BRCA1 dan BRCA2, sehingga memiliki kemungkinan yang
tinggi untuk mengalami kanker ovarium (Denic and Al-Gazali, 2003).

Menurut Kirkegaard et al., 2008, resiko timbulnya kanker ovarium akibat


adanya kanker mammae juga dikaitkan dengan adanya peningkatan dari hormonhormon reproduksi yaitu estrogen dan progesterone. Anjing yang di ovario
hyterectomy (operasi pengangkatan ovarium) sebelum berumur 1tahun beresiko

20
terserang tumor sebesar 0,5%, sedangkan pada kucing sebesar 0,6%. Presentase
ini lebih rendah dibandingkan dengan anjing atau kucing yang di ovario
hyterectomy setelah umur 1 tahun. Anjing dan kucing yang tidak di ovario
hyterectomy juga memiliki resiko terkena kanker mammae yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang telah dilakukan ovario hyterectomy. Penyuntikan
estrogen dan progesteron juga diketahui

berhubungan dengan perkembangan

malignant mammary tumor pada kucing dan benign mammary tumor pada anjing
(Alison et al., 2003).

Hubungan antara risiko kanker mammae dan peningkatan level estrogen


darah yang terus menerus telah dijumpai secara tetap pada kebanyakan studi.
Beberapa bukti memberikan indikasi bahwa pemaparan terhadap estrogen
merupakan faktor penentu penting pada risiko kanker mammae. Mekanisme
karsinogenesis pada mammae yang disebabkan oleh estrogen termasuk
metabolisme estrogen menjadi genotoksik, metabolit mutagen dan stimulasi
pertumbuhan jaringan. Proses tersebut bersama-sama menyebabkan inisiasi,
promosi, dan progresi karsinogenesis. Studi pada hewan pengerat memperlihatkan
bahwa estrogen ataupun metabolit cathecol-nya merupakan karsinogen pada
jaringan yang berbeda, termasuk ginjal, hati, uterus, ovarium dan kelenjar
mammae. Oleh sebab itu, peningkatan hormon estrogen akibat kanker mammae,
selain memperparah terjadinya kanker mammae juga menimbulkan kemungkinan
terjadinya kanker ovarium (Kirkegaard et al., 2008).

21
Pengaruh peningkatan hormon estrogen juga diketahui mempengaruhi
pertumbuhan kanker melalui produksi senyawa ROS yang dihasilkan dalam
proses metabolisme dari estradiol. Di dalam tubuh, estradiol akan dimetabolisme
menjadi senyawa quinon yang mampu menyebabkan depurinasi dari molekul
DNA dan menyebabkan DNA adduct. Proses reduksi estradiol dari bentuk quinon
menjadi bentuk hydriquinon dan cathechol diketahui akan menghasilkan senyawa
byproduct berupa ROS sebagai hasil dari siklus redoks (Yager and Davidson,
2006). Senyawa ROS yang dihasilkan akan menimbulkan kerusakan jaringan
secara oksidatif karena ROS memiliki kemampuan untuk mengaktivasi NFkB
yang akan mengikat DNA target dan menginduksi sitokin oleh makrofag untuk
menghasilkan inflamasi yang memediatori pertumbuhan kanker. ROS juga
diketahui mampu menyebabkan perubahan epigenetik yang akan meningkatkan
karsinogenesis (Held, 2010)

2.4

Tikus putih (Rattus norvegicus)

Rattus norvegicus atau yang juga dikenal dengan sebutan Norway Rat
diketahui berasal dari wilayah Asia. Selama bertahun-tahun spesies ini telah
banyak digunakan dalam berbagai penelitian yang berhubungan dengan bidang
kedokteran. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus liar antara lain lebih cepat
dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman, dan umumnya lebih cepat
berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan laboratorium adalah sangat

22
mudah ditangani (Porter, 2005). Rattus norvegicus memiliki taksonomi sebagai
berikut:
Kingdom
Filum
Subfilum
Kelas
Subkelas
Infrakelas
Ordo
Subordo
Superfamili
Famili
Subfamili
Genus
Species

: Animal
: Chordata
: Vertebrata (Craniata)
: Mamalia
: Theria
: Eutharia
: Rodentia
: Myomorpha
: Muroidea
: Muridae
: Murinae
: Rattus
: Rattus norvegicus (Pascal et al., 2005).

Gambar 2.1. Rattus norvegicus ras Sprague-dawley (Ace Animal, 2006)

Salah satu jenis tikus Rattus norvegicus yang sering digunakan dalam
penelitian Ca mammae adalah jenis Sprague-dawley (SD). Sprague-dawley dapat
hidup hingga usia 3,5 tahun dan memiliki berat dewasa sekitar 250-300 gram pada
betina dan 450-520 gram pada jantan. Salah satu keunggulan penggunaan
Sprague-dawley dalam penelitian adalah efisiensinya dalam proses reproduksi.
Tikus jantan maupun betina memiliki maturitas seksual pada usia 65 hari
(RatGuide, 2000).

23
Tikus jenis SD merupakan salah satu jenis tikus albino yang sering
digunakan dalam penelitian selain tikus jenis Wistar. Keunggulan dari jenis tikus
ini adalah sifatnya yang tenang dan mudah dalam proses handling. Tikus jenis SD
merupakan jenis tikus yang sangat cocok digunakan dalam penelitian yang
berhubungan dengan reproduksi, Toxicology dan Pharmacology karena tikus ini
diketahui memiliki resistensi dan daya tahan tubuh yang lebih tinggi terhadap
obat-obatan dibandingkan dengan jenis tikus yang lainnya. Ukurannya yang lebih
besar dari jenis Wistar juga akan lebih memudahkan dalam penelitian dan
pengamatan (Ace Animal, 2006).
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1

Kerangka Konsep
Ethynil
Estradiol
Estradiol (E2)

Tikus

DMBA
DMBA + Ahr

Aktivasi Sitokrom P450 (CYP1A1/CYP1B1)


DMBA-3,4-diol-1,2-epoksida

DNA

DNA Adduct

ROS
Sitokin proinflamatori (IL-1 dan TNF-)

Inflamasi sistemik

Kerusakan DNA

Inaktivasi Tumor
Supressor Gen (P53)
Proliferasi sel

24
Kanker Mammae

Ovarium

Keterangan:
Mekanisme

induksi DMBA

Parameter yang diamati


Organ yang diamati
Gambar 3.1. Kerangka Konsep
Zat karsinogen DMBA yang diinduksikan pada mammae tikus akan
berikatan dengan reseptor Ahr (Aryl Hydrocarbon receptor) pada sitoplasma.
Ikatan DMBA dengan Ahr ini akan merangsang Ahr berikatan dengan ARNT
22
(Nuclear Translocator protein) di nukleus,
untuk mengaktivasi sitokrom p-450
sebagai respon imunitas tubuh. Aktivasi sitokrom p-450 ini juga dipengaruhi oleh
kadar estradiol dalam tubuh tikus. Estradiol sintetik yang diinduksikan ke dalam
tubuh tikus akan meningkatkan kadar estradiol dalam tubuh tikus. Estradiol ini
akan dimanfaatkan sebagai salah satu komponen untuk mengaktivasi sitokrom p450 yang terdapat pada sitoplasma sel-sel mammae.
Sitokrom p-450 yang telah teraktivasi oleh Ahr dan estradiol akan
memetabolisme DMBA menjadi zat metabolit aktif. DMBA akan dioksidasi oleh
sitokrom p450 dan membentuk DMBA 3,4 epoksida. Selanjutnya, akan terjadi
proses hidrolisis epoksida oleh enzim MEH (mikrosomal epoksid hidrolase)
menjadi metabolit proximate carcinogen DMBA-3.4-diol. Metabolit ini kemudian
akan dioksidasi oleh CYP1B1 menjadi metabolit ultimate carcinogen yaitu

25
DMBA-3,4-diol-1,2-epoksida yang memiliki kemampuan untuk membentuk
ikatan kovalen dengan DNA sel yang aktif sehingga menyebabkan terbentuknya
DNA adduct. DNA adduct ini menimbulkan adanya kerusakan dari DNA yang
menyebabkan adanya kesalahan dalam pengkodean gen-gen sehingga terjadi
inaktivasi tumor suppressor gen (p53). Akibat dari inaktivasi p53 ini
menyebabkan apoptosis sel berkurang, sehingga memicu terjadinya proliferasi
yang terus menerus hingga berkembang membentuk menjadi kanker.
DNA adduct selain menimbulkan kerusakan DNA juga akan memicu
peningkatan ROS (reactive oxygen species) dalam tubuh. Zat aktif DMBA yang
terdistribusi melalui aliran darah akan menyebabkan adanya peningkatan jumlah
ROS secara sistemik, sehingga menimbulkan kondisi stress oksidatif tidak hanya
terjadi pada mammae, melainkan juga pada organ disekitar mammae, yaitu
ovarium. Kondisi stress oksidatif pada ovarium memicu makrofag untuk
mengaktivasi sitokin proinflamatori, yaitu IL-1 dan TNF- untuk menimbulkan
reaksi inflamasi.
Sel kanker yang merupakan sel abnormal, juga akan dikenali sebagai
benda asing yang dapat meningkatkan jumlah ROS dalam tubuh. Senyawa ROS
ini selanjutnya akan mengikuti aliran darah dan menyebabkan kondisi stres
oksidatif di dalam tubuh, sehingga memicu makrofag untuk menghasilkan sitokin
proinflamatori seperti IL-1 dan TNF- sebagai bentuk respon imunitas tubuh.
Jumlah sitokin proinflamatori yang semakin meningkat akan mengakibatkan
reaksi inflamasi sistemik, dan akan semakin meningkatkan ekspresi IL-1 dan
TNF- pada ovarium.
3.2
Hipotesis Penelitian

26
Berdasarkan rumusan masalah yang telah ada, maka hipotesis yang dapat
diajukan adalah sebagai berikut ini : Induksi DMBA terhadap tikus model
Ca.mammae menyebabkan terjadinya peningkatan ekspresi IL-1 dan TNF-
pada ovarium tikus

27
BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan pada dua laboratorium yaitu laboratorium


Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya dan laboratorium
Biokimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Brawijaya. Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan September hingga Desember
2013.

4.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi 2 kelompok sesuai dengan kelompok yang


telah dicantumkan pada Tabel 4.1, yaitu kelompok kontrol (A) dan kelompok
perlakuan (B). Kelompok kontrol merupakan kelompok tanpa perlakuan yang
hanya diberi pakan standar 2 kali sehari dan air minum ad libitum. Kelompok
perlakuan merupakan kelompok yang diberi induksi DMBA dosis 10 mg/kg BB
sebanyak 10x induksi dengan interval pemberian yaitu 2 hari sekali dan induksi
estrogen dosis 20.0000 IU/kg BB sebanyak 2 kali selama seminggu dengan
interval pemberian setiap 4 hari sekali. Penentuan jumlah sampel ditentukan
berdasarkan rumus (Raharjo, 2003).

28
P(n - 1) 15 = 2(n - 1) 15

Keterangan:
P = Jumlah Kelompok
n = Jumlah Ulangan

= 2n 2 15

= 2n

15 + 2

= 2n

17

=n

8,5

dari perhitungan di atas, maka untuk 2 24


kelompok diperlukan ulangan sedikitnya 9
kali dalam setiap kelompok, sehingga diperlukan 18 hewan coba.

Tabel 4.1. Rancangan Penelitian

Kelompok Kontrol (A)

Tikus hanya diberi pakan sebanyak 2x sehari dan


minum ad libitum, tanpa diberikan induksi
DMBA

Kelompok Perlakuan (B)

Tikus diberi pakan sebanyak 2x sehari, minum ad


libitum, dan diinduksi DMBA sebanyak 10x
induksi secara SC setiap 2 hari sekali, dengan
dosis 10mg/kg BB. Induksi diberikan sebanyak 1
ml/ekor, 0,5ml pada mammae kanan dan 0,5 ml
pada mammae kiri, serta diinduksi estrogen
dengan dosis 20.000 IU/kg BB secara IM 2x
seminggu dengan interval waktu pemberian setiap
4 hari sekali.

29

4.3 Variabel Penelitian

a. Variabel bebas

: Induksi DMBA 10mg/kg BB secara


subkutan pada mammae tikus dan induksi
estrogen 20.000 IU/kg BB secara
intramuskular

b. Variabel tergantung

: Ekspresi IL-1 dan TNF-

c. Variabel kendali

: Tikus putih (Rattus norvegicus) betina,


umur 10 12 minggu, berat badan 150200 gram yang diberi pakan standar,
kandang standar, dan air minum ad libitum.

4.4

Alat dan Bahan

30
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: kandang tikus,
botol minum tikus, glove, masker, mortar, tabung reaksi, baker glass, tabung ukur,
glove latex, botol steril, obyek glass, cover glass, gunting, scapel blade,
timbangan analitik, pinset, mikroskop.

Bahan yang digunakan adalah: tikus putih (Rattus norvegicus) usia 10-12
minggu, 7,12 dimetylbenz () antrasene (DMBA), minyak biji bunga matahari,
normal saline (NS), NaCl fisiologis, alkohol 70%, antibodi primer IL-1 (AntiRabbit IL-1 alpha), antibodi primer TNF- (Anti-Rabbit TNF), antibodi sekunder
(Goat Anti Rabbit IgG biotin labeled), Xylol, Etanol 100%, Aquades,
paraformaldehyde (PFA) 4%, Phosphate Buffer Saline (PBS) pH 7.4, PBS-tween,
buffer sitrat pH 6, EDTA pH 8, Hydrogen Perokssida (H2O2), methanol, susu skim
1%, SA-HRP (Strep Avidin Horse Radish Peroxidase), DAB (Diamano
Benzidine), Mayer Hematoxyler, Air, Entellan, Kloroform, dan pakan standar tikus
Buras Crumble (BC).

4.5

Tahapan Penelitian

4.5.1

Penyiapan Hewan Coba

31
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus
putih (Rattus norvegicus) strain Sprague-dawley betina yang berusia
kurang lebih 10-12 minggu dengan aklimatisasi selama 1 minggu. Tikus
yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 18 ekor, yang kemudian
dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok kontrol (A) dan kelompok
perlakuan (B) dimana masing-masing kelompok terdiri dari 9 ekor tikus
yang ditempatkan dalam 2 buah kandang. Pada masing-masing kandang,
setiap harinya diberi pakan 2x dalam sehari yang berupa pakan ayam
Buras Crumble (BC) dan air minum ad libitum. Selama penelitian
berlangsung tikus ditempatkan pada kandang hewan coba di laboratorium
farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

4.5.2

Preparasi DMBA

DMBA ditimbang dengan dosis yang merupakan modifikasi dari


Cordeiro (2011) yaitu 10 mg/kg BB, sesuai dengan perhitungan pada
lampiran 3. Setelah ditimbang, DMBA dihaluskan di dalam mortar.
DMBA kemudian dilarutkan dalam normal saline (NS) serta minyak biji
bunga

matahari

(MBBM)

dengan

perbandingan

1:3

(modifikasi

Pugalendhi et al., 2011). Proses pelarutan dilakukan dengan menambahkan


secara perlahan-lahan normal saline (NS) dan minyak biji bunga matahari
ke dalam mortar sambil tetap dihaluskan. Selanjutnya, larutan dituang ke

32
dalam botol steril yang tertutup rapat lalu dihomogenkan dengan cara
divortex hingga benar-benar homogen.

4.5.3

Induksi DMBA

Induksi DMBA dilakukan secara subkutan (SC) pada mammae


tikus dengan dosis sebanyak 10mg/kg BB, yang diberikan sesuai dengan
perhitungan pada lampiran 3. Volume pemberian pada setiap tikus adalah
1ml, dimana 0,5ml pada mammae kanan dan 0,5ml pada mammae kiri.
Induksi diberikan sebanyak 10x dan dilakukan setiap 2 hari sekali.

4.5.4

Induksi Estrogen

Tikus putih (Sprague-dawley) juga dinduksi dengan estrogen


secara intramuskular (IM) dengan dosis 20.000 IU/kg BB yang merupakan
modifikasi dari Naciff et al (2002). Setiap tikus diinduksi estrogen
sebanyak 0,2 ml/ekor sesuai dengan perhitungan pada lampiran 3. Induksi
estrogen diberikan sebanyak dua kali dalam seminggu dengan interval
waktu pemberian setiap 4 hari sekali. Induksi estrogen diberikan dengan
waktu bergantian dengan pemberian induksi DMBA.

4.5.5

Pemeriksaan Terbentuknya Ca Mammae

33
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui terbentuknya tumor
pada mammae tikus. Pemeriksaan dilakukan dengan mengamati apakah
telah terbentuk nodul pada mammae tikus. Pengamatan nodul dilakukan
setiap minggu hingga setelah 10x induksi selesai.

4.5.6

Pembedahan dan Pengambilan Organ

Hewan coba dieuthanasi dengan cara memasukkan pada wadah


berisi kloroform 10%. Setelah hewan mati, hewan diposisikan rebah
terlentang, kemudian disayat pada bagian abdomen. Setelah organ pada
bagian abdomen terlihat, dilakukan pengambilan organ ovarium. Organ
yang telah diambil, dicuci dengan NaCl fisiologis untuk selanjutnya
disimpan dan direndam dalam pot berisi PFA 4%.

4.5.7

Pembuatan preparat histopatologi

34
Tahap pembuatan preparat histopatologi terdiri dari proses fiksasi,
dehidrasi, infiltrasi penjernihan, infiltrasi paraffin, embedding, sectioning,
penempelan di gelas objek, serta pewarnaan.

Proses pembuatan preparat histopat diawali dengan proses fiksasi


organ ovarium, yang dilakukan dengan perendaman ovarium dalam larutan
PFA 4% kemudian direndam dalam etanol 70% minimal selama 24 jam,
dan dilanjutkan dengan perendaman kedalam etanol 80% selama 2 jam.
Organ selanjutnya direndam dalam etanol etanol 90% dan 95% secara
berurutan selama masing-masing 20 menit dan 25 menit. Proses
dilanjutkan dengan merendam organ dalam etanol absolute selama 3x30
menit dalam botol yang berbeda. Selanjutnya dilakukan penjernihan
dengan cara perendaman dalam xylol, yaitu xylol I selama 2x30 menit dan
xylol II selama 30 menit pada suhu 60-63C. Kemudian, dilakukan
pencelupan pada paraffin cair, lalu dilanjutkan dengan embedding dengan
mencelupkan ovarium dalam paraffin cair yang telah dituang dalam
wadah. Setelah beberapa saat paraffin akan memadat dan ovarium akan
berada dalam blok paraffin.
Proses embedding dilakukan dengan menggunakan cetakan yang
didalamnya diisi paraffin cair hingga membeku. Setelah membeku,
cetakan tersebut di potong-potong dan ditempelkan pada blok kayu. Blok
kayu tersebut dipasang pada mikrotom dan diatur agar posisinya sejajar

35
dengan posisi pisau. Blok parafin kemudian dipotong dengan ketebalan 5
m. Pada awal pemotongan harus dilakukan trimming karena jaringan
yang terpotong masih belum sempurna. Hasil irisan selanjutnya
dipindahkan dengan kuas ke dalam air hangat dengan suhu 38-40oC untuk
meluruskan kerutan halus yang ada. Irisan yang terentang sempurna
diambil dengan gelas obyek. Potongan yang terpilih kemudian dikeringkan
di atas hot plate yang bersuhu 38-40oC hingga kering dan disimpan pada
inkubator dengan suhu 38-40oC selama kurang lebih 24 jam.

4.5.8

Pengamatan ekspresi IL-1 dan TNF-

Dalam penelitian ini, pemeriksaan ekspresi IL-1 dan TNF-


dilakukan dengan menggunakan uji IHK atau Imunohistokimia. Dalam uji
ini, preparat histopat dari organ ovarium dideparafinasi ke dalam xylol I,
xylol II, ethanol absolute I, ethanol absolute II, ethanol bertingkat (90%,
80%, 70%, 30%), dan aquades selama masing-masing 1 x 5 menit,
kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3x. Selanjutnya preparat
diunmusking dalam buffer sitrat pH 6 sebanyak 10mM dan 1mM EDTA
pH 8 selama 10-20 menit pada suhu 90 oC kemudian slide dicuci dengan
menggunakan aquades. Tahap selanjutnya adalah proses blocking
peroksidase jaringan dengan menggunakan H2O2 3% dalam methanol
selama 10 menit, kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3x. Proses
selanjutnya yaitu blocking slide dengan susu skim 1% dalam PBS-tween

36
selama 30 menit, kemudian slide dicuci menggunakan PBS sebanyak 3x.
Slide selanjutnya diberi dengan antibodi primer dengan perbandingan
1:100 dalam susu skim 1% dan PBS-tween. Slide kemudian disimpan pada
suhu 4oC selama kurang lebih 24 jam. Selanjutnya slide dicuci dengan
PBS sebanyak 3x. Proses selanjutnya yaitu penambahan antibodi sekunder
dengan perbandingan 1:300 dalam PBS yang dibiarkan selama 1 jam,
kemudian slide dicuci dengan PBS sebanyak 3x.

Preparat selanjutnya ditetesi SA-HRP (Strep Avidin Horse Radish


Peroxidase) dengan perbandingan 1:500 dalam PBS dan diinkubasi selama
45 menit pada suhu ruang. Kemudian dicuci kembali dengan PBS pH 7,4
sebanyak 3x, lalu ditetesi dengan DAB (Diamano Benzidine) dan
diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang. Slide kemudian dicuci
kembali dengan PBS pH 7,4 sebanyak 3x, lalu dilakukan counterstaning
slide dengan Mayer Hematoxyler selama 10 menit. Preparat selanjutnya
dicuci dengan air mengalir selama 10 menit, kemudian dibilas dengan
aquades dan dikeringkan selama kurang lebih 1 malam. Tahap akhir yaitu
proses mounting dengan menggunakan entellan kemudian ditutup dengan
cover glass. Hasil selanjutnya diamati dengan menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 400x. Pengamatan ekspresi IL-1 dan TNF- dengan
mengukur presentase area yang berwarna coklat menggunakan software
Axio Vision melalui pengamatan 5 bidang pandang kemudian dilakukan
perhitungan rata-rata presentase area. Ekspresi dari IL-1 banyak terlihat

37
pada bagian nukleus sedangkan ekspresi dari TNF- bnyak terlihat pada
sitoplasma.

4.5.8

Analisa Data

Data perhitungan presentase area ekspresi IL-1 dan TNF-


ditabulasi menggunakan Microsoft office Excell, kemudian dianalisa secara
statistika kuantitatif menggunakan Uji T (T test) parametrik tidak
berpasangan dengan beda nyata =0,05. Analisa hasil dari uji T tersebut
dilakukan dengan mengamati nilai Sig (2 tailed) atau p value pada yang
tercantum pada hasil uji T. Nilai Sig (2 tailed) atau p value 0,05.
menunjukkan bahwa secara statistik ada perbedaan nyata yang signifikan
antar kedua kelompok (Raharjo, 2003).

38
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1

Pengamatan Nodul Pasca Induksi

Keberhasilan dalam pembuatan hewan model Ca mammae hasil induksi


dari 7,12 dimethylbenz [] antracene (DMBA) diketahui dengan dilakukannya
pengamatan nodul pada kelenjar mammae tikus. Pengamatan nodul ini dilakukan
dengan cara palpasi pada daerah mammae setiap 1 minggu sekali. Pengamatan
pada hari ke-14 menunjukkan bahwa telah terdapat bentukan nodul atau benjolan
pada bagian abdomen tikus kelompok perlakuan seperti yang terlihat pada
Gambar 5.1. Melalui palpasi atau perabaan, terasa adanya benjolan massa padat
yang keras dan tidak beraturan pada bagian mammae tikus yang tidak dapat
digerakkan atau unmobile.

39
Gambar 5.1 Gambar A: Tikus kelompok kontrol pada hari ke-14; Gambar B:
Tikus kelompok perlakuan hari ke-14 telah terbentuk nodul ( )

Menurut McCarthy et al (2003), kanker pada kelenjar mammae dapat didiagnosis


melalui adanya benjolan pada daerah sekitar mammae yang ditandai dengan
adanya massa padat, keras dan unmobile atau tidak bergerak. Pada penelitian ini,
diketahui terdapat bentukan massa padat atau nodul semakin membesar dan
34 setelah 10x induksi diberikan, yang
mengeras pada hari ke-28 atau satu minggu
menunjukan massa kanker telah terbentuk pada mammae tikus.
Penelitian yang dilakukan oleh Wibowo et al (2010) tentang pembuatan
hewan model kanker mammae menyebutkan bahwa pemberian dosis DMBA
dengan dosis 20mg/kg BB sebanyak 11x induksi yang diberikan setiap 2x
seminggu, menyatakan bahwa nodul pada tikus terbentuk dan mengeras pada
minggu ke-4 setelah induksi DMBA berakhir atau sekitar 9 minggu. Pada
penelitian ini, nodul terbentuk dalam kurun waktu yang lebih singkat. Hal tersebut
membuktikan bahwa induksi DMBA dengan dosis 10mg/kg BB yang diberikan
setiap 2 hari sekali sebanyak 10x induksi, telah mampu menginisiasi terbentuknya
massa kanker pada mammae tikus dengan lebih cepat.
Pemberian induksi DMBA secara subkutan menyebabkan paparan DMBA
langsung menuju ke organ target yaitu mammae. Menurut Kuhl (2013), 90% zat
DMBA yang masuk ke dalam tubuh akan tereliminasi setelah 48 jam. Oleh sebab
itu, dengan waktu induksi selama 2 hari sekali, diharapkan kadar DMBA dalam
tubuh akan tetap stabil dan secara konstan terpapar pada jaringan sehingga inisiasi
kanker dapat berlangsung lebih cepat. Pemberian estradiol dalam penelitian ini

40
juga bertujuan untuk mempercepat terjadinya kanker mammae. Kwi et al (2013)
menyatakan bahwa estradiol mampu meregulasi peningkatan ekspresi P450
melalui ikatannya dengan estrogen receptor (ER). Dengan demikian, pemberian
estradiol mampu meregulasi sitokrom P450 yang kemudian berfungsi untuk
memetabolisme DMBA menjadi zat metabolit aktif yang memicu terjadinya
kanker. Kerusakan DNA oleh metabolit aktif DMBA akan menyebabkan mutasi
DNA yang berakibat inaktivasi dari Tumor Suppressor Gen (p53) yang merupakan
inhibit terhadap pertumbuhan sel sehingga pertumbuhan sel tidak dapat dihambat
dan proliferasi sel terjadi secara terus-menerus (Perhimpunan Onkologi Indonesia,
2010).
Adanya nodul sebagai penanda timbulnya kanker dapat digunakan sebagai
pemeriksaan awal keberhasilan terjadinya kanker untuk selanjutnya dilakukan
pemeriksaan terhadap ekspresi IL-1 dan TNF- untuk mengetahui pengaruh
terjadinya kanker mammae hasil induksi zat DMBA terhadap organ ovarium.
Selain itu, terbentuknya nodul akibat terjadinya proliferasi sel juga dapat
diketahui berdasarkan gambaran histopatologi sel mammae pasca induksi yang
dapat dilihat pada Lampiran 10.
Hasil selama proses inkubasi pasca induksi DMBA diberikan, juga
menunjukkan terdapat beberapa hewan coba yang mengalami kematian. Kematian
dari hewan coba ini dapat disebabkan karena kanker yang telah menjadi kronis
dan ketidakmampuan dari imunitas tubuh hewan coba untuk bertahan terhadap
kanker tersebut. Kematian beberapa hewan coba ini dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya yaitu perbedaan imunitas dari setiap individu hewan

41
coba serta kemungkinan adanya stres pada hewan coba yang menyebabkan
menurunnya sistem imun tubuhnya.

5.2

Pengaruh DMBA Terhadap Ekspresi Interleukin 1 Alpha (IL-1) pada


Ovarium TIkus Ca.Mammae
Ekspresi IL-1 pada ovarium tikus Ca.mammae dapat diamati melalui

pewarnaaan IHK dengan adanya ekspresi warna coklat pada jaringan. Warna
coklat tersebut dihasilkan melalui adanya ikatan antara antigen dan antibodi,
dimana antigen akan berikatan dengan antibodi yang spesifik, yaitu antibodi
primer berupa anti rabbit IL-1 dan antibodi sekunder berupa Goat anti rabbit
IgG berlabel biotin. Ikatan antara antigen dan keduan antibodi ini kemudian akan
diidentifikasi oleh kromagen DAB yang berikatan dengan O 2 untuk memberikan
warna coklat, sebagai penanda adanya ikatan antara antibodi dengan antigen
spesifik. Banyaknya ikatan antara antigen dan antibodi menunjukkan adanya
ekspresi IL-1 melalui adanya warna coklat yang terlihat pada sel-sel epitel
ovarium seperti pada Gambar 5.2.

Hasil pada Gambar 5.2 terlihat bahwa warna coklat pada Gambar B atau
kelompok perlakuan memiliki intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan
warna coklat pada Gambar A atau kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan,
warna kecoklatan juga tampak lebih merata dibandingkan pada kelompok kontrol.
Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi IL-1 terkespresi lebih banyak pada

42
kelompok perlakuan dibandingkan dengan pada kelompok kontrol. Besar
persentase ekspresi IL-1 yang telah dianalisa dapat dilihat pada Tabel 5.1.

43

44
Gambar 5.2 Ekspresi IL-1 Pada Ovarium Tikus (perbesaran 400x).
Keterangan : A= ovarium tikus kelompok kontrol; B= ovarium tikus kelompok
perlakauan induksi DMBA 10mg/kg BB; ( ) = ekspresi IL-1 pada nukleus sel
epitel ovarium.
Tabel 5.1 Rata-Rata Persentase Area Ekspresi Interleukin 1 Alpha (IL-1) pada
Ovarium Tikus
Kelompok

Rata-rata Ekspresi

Peningkatan ekspresi

IL-1 SD (%)

IL-1

dibandingkan

kontrol
Kontrol (A)
Perlakuan (B)

0.78 0.03
20.01 0.40

25 x

Pada Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase area pada
kelompok perlakuan diketahui lebih besar 25x bila dibandingkan dengan
kelompok kontrol, yang menandakan bahwa ekspresi IL-1 pada kelompok
tersebut lebih besar dibandingkan dengan ekspresi IL-1 pada kelompok kontrol.
Berdasarkan hasil uji T parametrik tidak berpasangan yang telah dilakukan,
menunjukkan bahwa ekspresi IL-1 pada kelompok perlakuan memiliki
perbedaan yang signifikan dari ekspresi IL-1 pada kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan yang diinduksi DMBA. Hasil uji T tersebut secara lengkap
dapat dilihat pada Lampiran 9.

Sitokin proinflamatori IL-1 pada kelompok kontrol diekpresikan lebih


sedikit karena secara normal, dalam keadaan sehat IL-1 akan tetap diekspresikan
dalam jumlah sedikit oleh neutrofil dan sel epitel ovarium. Pada kondisi normal,

45
IL-1 berperan dalam aktivasi sel T. Keberadaan IL-1 pada kelompok kontrol
berfungsi dalam aksi perbaikan luka pada permukaan epitelium ovari dalam
proses post-ovulasi (Papacleovoulou et al., 2011).

Peningkatan jumlah ekspresi IL-1 pada organ ovarium dalam penelitian


ini disebabkan karena adanya akumulasi senyawa ROS (reactive oxygen species)
pada ovarium yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: hasil dari proses
metabolisme dari zat karsinogen DMBA serta akibat adanya kanker mammae.
Menurut Gunawan et al (2005), pemberian zat asing melalui induksi subkutan
akan didistribusi melalui jaringan kulit menuju pembuluh kapiler untuk kemudian
diedarkan melalui peredaran darah sistemik dan menuju ke hepar untuk
dimetabolisme. Berdasarkan pernyataan tersebut, zat DMBA akan masuk melalui
kapiler dan menuju ke peredaran darah sistemik untuk selanjutnya dimetabolisme
di hepar oleh sitokrom p-450. Proses metabolisme dari zat DMBA tersebut
menghasilkan produk senyawa radikal bebas yaitu ROS yang mudah untuk diikat
oleh darah dan masuk ke dalam aliran darah sistemik dan menuju ke ovarium.
Peningkatan jumlah ROS di ovarium akibat kanker mammae dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu akibat proses fagositosis dari sel kanker serta
akibat adanya perubahan hormonal pada ovarium akibat kanker mammae. Sel-sel
kanker yang terbentuk akibat paparan DMBA, juga diketahui

mampu

menginisiasi terjadinya inflamasi melalui respon tubuh terhadap peningkatan


ROS. Menurut Baratawidjaja dan Rengganis (2010), sel-sel kanker yang abnormal
akan memicu terjadi respon homeostasis tubuh dimana akan terjadi proses

46
fagositosis sel kanker. Melalui penjelasan tersebut, dapat dimungkinkan bahwa
sel-sel kanker yang telah berkembang akibat induksi DMBA mampu
menyebabkan peningkatan ROS dalam tubuh sehingga memicu makrofag untuk
memproduksi sitokin proinflamasi. Pada penelitian ini, peningkatan jumlah ROS
dalam tubuh akibat terjadinya kanker dapat diakibatkan karena ROS merupakan
byproduct atau senyawa yang dihasilkan dari adanya proses fagositosis
(Baratawidjaja, 2006). Senyawa ROS yang terdistribusi melalui aliran darah
menyebabkan kondisi stres oksidatif secara sistemik yang tidak hanya terjadi pada
mammae, melainkan juga pada organ lain disekitar mammae yaitu ovarium.
Kanker yang terjadi pada mammae juga dapat menyebabkan terganggunya
siklus hormonal dalam tubuh. Pada kanker mammae akan terjadi gangguan
hormonal dimana estrogen pada jaringan akan meningkat. Estrogen ini akan
dibutuhkan sel kanker sebagai faktor untuk proliferasi sel, sehingga sel-sel kanker
akan terus berkembang. Tingginya kebutuhan estrogen oleh sel kanker tentunya
juga akan memicu ovarium untuk menghasilkan estrogen lebih banyak.
Peningkatan jumlah estrogen yang dihasilkan oleh ovarium ini tidak hanya
berpengaruh dalam petumbuhan sel kanker tetapi juga diketahui mampu memicu
terbentuknya ROS di ovarium akibat adanya proses metabolisme oksidatif dari
estrogen. Proses metabolisme estrogen menjadi estrogen quinone kemudian
menjadi hydroquinone dan catechols diketahui akan menghasilkan produk berupa
senyawa ROS pada ovarium (Yager and Davidson, 2006). Hal ini tentunya akan
menyebabkan peningkatan jumlah ROS pada ovarium yang mampu mengaktifasi
respon sitokin proinflamasi seperti IL-1

47
Reactive oxygen species (ROS) pada ovarium yang meningkat akan
menyebabkan ketidak seimbangan oksidan dan antioksidan (kondisi stres
oksidatif) dalam ovarium sehingga mengaktivasi pengeluaran sel inflamasi pada
sirkulasi yang ditandai oleh stimulasi sistem hematopoitik seperti sumsum tulang,
dalam menghasilkan dan mengeluarkan leukosit. Stres oksidatif yang terjadi pada
ovarium akan memicu neutrofil untuk menghasilkan sitokin proinflamasi IL-1
pada ovarium sebagai bentuk respon homeostasis tubuh sehingga terjadi
peningkatan ekspresi sitokin proinflamasi, yaitu IL-1 pada ovarium (Devine et
al., 2012). Ekspresi IL-1 yang sebelumnya telah meningkat akibat adanya ROS
dari zat aktif dari DMBA akibatnya akan menjadi semakin tinggi karena adanya
ROS yang dihasilkan oleh kanker mammae.
Rider et al (2011) menyatakan bahwa IL-1 merupakan sitokin promoter
yang banyak diekspresikan dalam kondisi hypoxia atau stres fisiologis. IL-1 juga
banyak ditemukan dalam sel pada kondisi homeostasis yang tubuh yang
abnormal, dan aktif dalam lingkungan intraseluler terutama nukleus serta
berfungsi sebagai regulator transkripsi yang berpengaruh dalam proses inflamasi
serta imunitas di lur sel. Berdasarkan pernyataan tersebut, peningkatan IL-1
terjadi sebagai bentuk respon tubuh dengan adanya kondisi stres oksidatif pada
ovarium yang diakibatkan oleh akumulasi dari ROS. Akumulasi senyawa ROS
yang terbawa oleh sistem sirkulasi ke ovarium, akan menimbulkan adanya
kerusakan jaringan pada ovarium akibat kondisi stress oksidatif. IL-1 sendiri
merupakan sitokin proinflamatori yang merupakan molekul peringatan utama
yang berperan dalam inflamasi dan merupakan bentuk respon dini dari kerusakan

48
jaringan. Kondisi stres oksidatif yang terjadi pada ovarium, memungkinkan sel-sel
epitel pada ovarium untuk menghasilkan IL-1 dalam jumlah yang tinggi. Hal
tersebut dikarenakan seperti yang disebutkan oleh Rider et al (2011), Dengan
demikian, kondisi stres oksidatif yang terjadi di luar sel-sel ovarium menyebabkan
perubahan kondisi homeostasis tubuh yang memicu peningkatan ekspresi IL-1
pada ovarium. Aktivasi sitokin proinflamasi IL-1 pada ovarium diawali dengan
aktivasi

Nuclear

factor

kappa

beta

(NF-kB)

oleh

ROS

yang

akan

distranslokasikan ke nukleus untuk mengikat DNA target dan menginduksi


aktivasi sitokin IL-1. Sitokin IL-1 yang terdapat pada nukleus akan berikatan
dengan IL1 reseptor (IL1R1) dan teraktivasi. Sitokin IL1 yang telah aktif,
selanjutnya akan ditransportasikan ke wilayah extraseluler sebagai bentuk
pertahanan sistem imun diluar sel serta mengaktivasi respon imun yang lainnya
untuk meregulasi sistem imun dengan cara mempromosikan reaksi inflamasi
(Rider et al, 2011).
Baratawidjaja (2006) menyebutkan, sitokin IL-1 dapat memicu aktivasi
sel T untuk menghasilkan IFN yang berfungsi untuk merangsang sintesis TNF-
dan menimbulkan reaksi inflamasi. Interleukin 1 Alpha (IL-1) berperan dalam
aktivasi sel T untuk meningkatkan ekspresi reseptor terhadap Interleukin 2 (IL-2)
dan Interferon gamma (IFN) dari sel T yang berfungsi dalam proliferasi sel serta
mengaktivasi makrofag untuk menghasilkan TNF-, dan bekerja secara sinergis
untuk mempromosikan inflamasi (Germano et al., 2008). IL-1 dan TNF- akan
memicu sel endotel untuk menghasilkan kemokin sebagai bentuk respon dari
perlekatan neutrofil dengan sel endotel. Perlekatan tersebut terjadi akibat

49
peningkatan ekspresi molekul adhesi yang selanjutnya akan mengikat reseptor
spesifik pada neutrofil dan mengaktifkan jalur sinyal transduksi sehingga
merangsang migrasi neutrofil, monosit, dan sel T keluar dari vaskular menuju ke
pusat inflamasi (Baratawidjaja, 2006). Berdasarkan keterangan tersebut, IL-1
yang dihasilkan oleh neutrofil akibat adanya peningkatan ROS juga akan
memediasi sintesis TNF- sehingga memungkinkan untuk terjadinya inflamasi
pada organ ovarium.

5.3

Pengaruh DMBA Terhadap Ekspresi Tumor Nuclear Factor Alpha


(TNF-) pada Ovarium Tikus Ca.Mammae
Seperti halnya pada IL-1, ekspresi TNF- pada ovarium tikus

Ca.mammae diamati melalui pewarnaaan imunohistokimia (IHK) dengan adanya


warna coklat pada jaringan. Warna coklat tersebut dihasilkan melalui adanya
reaksi dari substrat yaitu kromagen diamano benzidine (DAB). Pada pewarnaan
IHK akan terjadi ikatan antara antigen protein TNF- dengan antibodi yang
spesifik, yaitu antibodi primer anti rabbit TNF- dan antibodi sekunder Goat anti
rabbit Igg berlabel biotin. Ikatan antara antigen dan antibodi ini diidentifikasi
oleh marker berupa enzim Strep Avidin Horse Radish Peroxidase (SA-HRP) yang
akan berikatan dengan H2O2 dan mengoksidasi H2O2 menjadi O2 dan memberikan
warna coklat melalui ikatannya dengan DAB, sebagai penanda adanya ikatan
antara antibodi dengan antigen spesifik. Banyaknya ikatan antara antigen dan
antibodi menunjukkan adanya ekspresi TNF- melalui adanya warna coklat pada
sel epitel ovarium seperti yang terlihat pada Gambar 5.3.

50
Pada Gambar 5.3 terlihat bahwa warna coklat pada Gambar B yang
merupakan kelompok perlakuan, lebih banyak dibandingkan dengan warna coklat
pada Gambar A yang merupakan kelompok kontrol. Banyaknya warna
kecoklatan ini juga menunjukkan bahwa TNF- terekspresikan lebih banyak pada
kelompok perlakuan dibandingkan dengan pada kelompok kontrol.
persentase area TNF- dapat dilihat pada Tabel 5.2.

Rata-rata

51

52
Gambar 5.3 Ekspresi TNF- Pada Ovarium Tikus (perbesaran 400x).
Keterangan : A= ovarium tikus kelompok kontrol negatif (p1); B= ovarium tikus
kelompok perlakuan (p2) induksi DMBA 10mg/kg BB; ( ) = ekspresi TNF-
pada sitoplasma sel epitel ovarium.

Tabel 5.2 Ekspresi Tumor Nuclear Factor Alpha (TNF-) pada Ovarium Tikus
Perlakuan
Kelompok

Rata-rata Ekspresi

Peningkatan ekspresi

TNF- SD (%)

TNF- dibandingkan
kontrol negatif.

Kontrol negatif

1.7 0.05

(p1)
Perlakuan (p2)

15.09 0.23

7,9 x

Pada Tabel 5.2 dapat dilihat bahwa rata-rata persentase area pada
kelompok perlakuan memiliki jumlah persentase area 7,9x lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol. Berdasarkan hasil uji T parametrik tidak
berpasangan yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa secara statistik, ekspresi
TNF- pada kelompok perlakuan memiliki perbedaan nyata yang signifikan

53
dengan kelompok kontrol. Hasil uji T tersebut secara lengkap dapat dilihat pada
Lampiran 9.

Sitokin proinflamatori TNF- diekpresikan lebih sedikit pada kelompok


kontrol dibandingkan dengan kelompok perlakuan, hal ini dikarenakan dalam
keadaan sehat TNF- diekspresikan dalam jumlah sedikit oleh makrofag dan sel
epitel ovarium. Pada kondisi normal, TNF- berperan dalam pertahanan sistem
imun lokal dan juga inflamasi (Germano et al., 2008). Pada ovarium, TNF-
diketahui memegang peranan dalam proses ovulasi dan mekanisme ovuratori.
Dalam proses ovulasi, TNF- berfungsi dalam merangsang terjadinya aksi
apoptosis dalam proses ruptur folikel (Murdoch et al., 2014).

Peningkatan TNF- pada kelompok perlakuan disebabkan karena TNF-


merupakan salah satu jenis sitokin proinflamatori yang berperan aktif sebagai
respon imun tubuh. Seperti halnya pada ekspresi IL-1, peningkatan ekspresi
TNF- ini dapat disebabkan karena peningkatan senyawa ROS (reactive oxygen
species) pada ovarium. Peningkatan senyawa ROS ini diakibatkan oleh adanya
proses metabolisme dari DMBA serta akibat adanya fagositosis dari sel-sel kanker
dan adanya gangguan hormonal pada ovarium yang diakibatkan oleh kanker
mammae.
Proses metabolisme DMBA serta proses fagositosis dari sel-sel kanker
menghasilkan senyawa ROS sebagai bentuk akhir dari proses oksidasi yang mana
senyawa ini sangat mudah terangkut oleh darah dan menyebar melalui peredaran
darah sistemik ke ovarium (Baratawidjaja dan Regganis, 2010). Senyawa ROS

54
juga dihasilkan oleh ovarium akibat dari proses metabolisme estrogen, dimana
estrogen ini dibutuhkan oleh sel kanker untuk berproliferasi (Yager and Davidson,
2006). Akumulasi ROS yang tinggi pada ovarium akibat mengakibatkan
terjadinya kondisi stres oksidatif pada ovarium. Stres oksidatif yang terjadi pada
ovarium ini selanjutnya akan memicu aktivasi sitokin proinflamasi seperti TNF-
pada ovarium (Devine et al.,2012).
Kondisi stres oksidatif yang terjadi pada ovarium dapat memicu aktifasi
Nf-kB untuk menstimulasi aktifasi sitokin proinflamatori seperti TNF-. Menurut
Baratwidjaja (2006), TNF- merupakan sitokin utama dalam proses inflamasi
akut, namun pada kasus infeksi yang berat dapat memicu produksi TNF- dalam
jumlah yang berlebih dan menimbulkan reaksi inflamasi sistemik. Berdasarkan
pernyataan tersebut, dapat dimungkinkan bahwa keberadaan TNF- dalam jumlah
yang tinggi pada ovarium disebabkan karena adanya reaksi inflamasi sistemik
akibat adanya kanker mammae. Akumulasi senyawa ROS pada ovarium memicu
aktivasi makrofag pada sel-sel epitel ovarium untuk menghasilkan sitokin
proinflamatori TNF- sebagai bentuk respon sel terhadap kondisi stres oksidatif.
Makrofag yang teraktivasi akibat adanya ROS akan mengekspresikan protein
Mayor Histocompatibility Complex (MHC) kelas II pada permukaan sel dan
berikatan dengan reseptor sel T (Tcr) dari sel T helper (Th). Aktivasi dari
makrofag tersebut selanjutnya akan memicu makrofag untuk mensekresikan TNF. Sitokin TNF- selanjutnya akan diaktivasi oleh TNF reseptor (TNFR) pada
bagian sitoplasma untuk menghasilkan reaksi inflamasi pada ovarium (Horssen et
al, 2005).

55
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terjadi peningkatan ekspresi
sitokin proinflamatori yaitu IL-1 dan TNF- pada ovarium. Peningkatan ekspresi
IL-1 dan TNF- pada ovarium ini menunjukkan bahwa induksi DMBA pada
mammae mampu menyebabkan kerusakan pada ovarium yang ditandai dengan
adanya inflamasi pada ovarium. Tingginya ekspresi IL-1 dan TNF- pada
ovarium ini juga menunjukkan bahwa proses inflamasi yang terjadi pada ovarium
telah mencapai ke tingkat kronis. Hal ini disebabkan karena dan memiliki
kemungkinan untuk terjadi kanker pada ovarium karena IL-1 dan TNF-
merupakan sitokin proinflamasi yang diketahui memegang peranan dalam reaksi
inflamasi kronis. IL-1 bekerja dengan merangsang sekresi IFN oleh sel Th1 dan
sel NK, yang selanjutnya akan mengaktifkan makrofag untuk meproduksi TNF-.
IFN dan TNF- bekerja secara sinergis dalam inisiasi respon inflamasi kronis.
Kedua sitokin tersebut akan menginduksi peningkatan yang lebih besar dari
ICAM-1, E-selektin dan MHC-1 (Baratawidjaja, 2006).
Peningkatan ekspresi IL-1 dan TNF- yang tinggi juga tidak menutup
kemungkinan bahwa telah terjadi kanker pada ovarium. hal ini dikarenakan, IL-1
dan TNF- merupakan jenis sitokin yang dihasilkan oleh sel kanker untuk
memediasi perkembangan sel kanker. IL-1 dan TNF- diketahui akan dihasilkan
oleh sel kanker untuk mempromosikan metastasis dan angiogenesis dalam
perkembangan sel kanker melalui responnya untuk memicu growth factor dalam
memediasi pertumbuhan sel kanker (Perhimpunan Onkologi Indonesia, 2010).
Kemungkinan terjadinya kanker pada ovarium dengan melihat tingginya
peningkatan ekspresi IL-1 dan TNF- ini juga diperkuat adanya kemungkinan
dari zat DMBA yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan kanker ovarium

56
melalui kesamaan gen target dengan mammae yaitu gen BRCA1. Gen BRCA1
diketahui merupakan gen herediter penyebab kanker mammae dan kanker
ovarium serta juga merupakan gen target dari zat metabolit aktif dari DMBA.
Oleh sebab itu, zat metabolit aktif dari DMBA yang termetabolisme di hepar juga
memiliki kemungkinan untuk menuju ke ovarium karena adanya gen target
BRCA1 yang akan menarik DMBA menuju ke organ target. (Kang et al., 2011).
Induksi DMBA yang diberikan subkutan pada mammae akan didistribusikan
melalui lapisan epidermis mammae menuju pembuluh kapiler untuk kemudian
diedarkan melalui pembuluh darah sistemik sehingga terdistribusi ke seluruh
tubuh (Gunawan et al., 2005). Berdasarkan pernyataan tersebut zat DMBA yang
terdistribusi melalui aliran darah memiliki kemungkinan untuk mencapai ovarium
dan mengalami proses metabolisme di ovarium oleh sitokrom p-450 ovarium.
Keberadaan zat DMBA pada ovarium ini tentunya juga akan memberikan
pengaruh yaitu peningkatan ROS pada ovarium karena proses metabolisme dari
DMBA diketahui mampu menghasilkan senyawa produk berupa ROS (Saha and
Hait, 2012). Reactive oxygen species (ROS) akibat paparan DMBA pada ovarium
ini, akan mampu memicu kondisi stres oksidatif pada ovarium yang akan
merespon munculnya sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan TNF- (Devine et al.,
2012).

57
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1

Kesimpulan

1. Induksi 7,12 dimethylbenz [a] antrachen (DMBA) Multiple Low Dose


(MLD) dengan dosis 10 mg/kg BB pada mammae tikus (Rattus
norvegicus) mampu meningkatkan ekspresi IL-1 pada ovarium tikus
secara signifikan hingga 7,9x lebih banyak dibandingkan kondisi normal.

2. Induksi DMBA 7,12 dimethylbenz [a] antrachen (DMBA) Multiple Low


Dose (MLD) dengan dosis 10 mg/kg BB pada mammae tikus (Rattus
norvegicus) mampu meningkatkan ekspresi TNF- pada ovarium tikus
secara signifikan hingga 25x lebih banyak dibandingkan kondisi normal.
6.2

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh induksi DMBA


pada mammae tikus terhadap organ-organ lain disekitar mammae. Selain itu
perlu dilakukan observasi lebih lanjut terkait dengan dampak induksi DMBA
dalam pembuatan hewan model Ca Mammae terhadap ovarium, apakah
mampu menyebabkan kanker atau hanya inflamasi.

58

49

45

59
DAFTAR PUSTAKA
Ace Animal, Inc. 2006. Sprague Dawley. <http://aceanimal.com/SpragueDawley.htm> [Diakses 3 April 2014]
Allavena, P., G. Cecillia, Grazia B. Maria, S. Antonio, and M. Alberto. 2008.
Pathway Connecting Inflammation and Cancer. Current Opinion in
Genetica and Development 18: 3-10.
Amstrong, S. 2009. Homeopathic Approach to Cancer in Animal. Homeopathy in
Practice. Page 56-59.
Adventus, B.B. dan Endang H.T. 2013. Ekstrak Metanol Daun Kelor Menurunkan
Ekspresi BCL-2, Trail-R1, dan Kadar Caspase-3 Jaringan Kolon Tikus
yang Diinduksi DMBA. Jurnal Kedokteran Brawijaya Vol. 27, No. 4:201206.
Andrade, F.H.E., F.C. Figuerioa, P.R.O. Bersano, D.Z. Bissacot, and N.S. Rocha.
2010. Malignat Mammary Tumor in Female Dogs: Enviromental
Contaminants. Short Report. Diagnostic Pathology 5:45. School of
Veterinary Medicine and Animal Science, San Paulo State University.
Anggarwal, B.B., S. Shishodia, S.K. Sandur, M.K. Pandey, G. Sethi. 2006.
Inflammation and Cancer: How hot is the Link. J Biochemical
Pharmacology 72:1605-1621.
Baratawidjaja, K. 2006. Imunologi Dasar. Ed 7. Jakarta: Penerbit FK UI.
Baratawidjaja, K. dan I. Rengganis. Imunologi Dasar. Ed 9. Jakarta: Penerbit FK
UI.
Baruch, B.A. 2003. Inflammatory Cell, Cytokin, and Chemokines in Breast
Cancer progression: Reciprocal Tumor-Microenvironment Interactions.
Breast Cancer Res, 5:31-36 (DOI 10.1186/bcr554).
Chun, R. 2005. Mammary Gland (Breast) Tumors in Dogs and Cats. Textbook of
Vetreinary internal Medicine. Ettinger and Feldman.
Cordeiro, M.C and B.B Kaliwal. 2011. Antioxidant Activity of Bark Extract of
Bridelia Retusa Spreng on DMBA Induced Mammary Carcinogenesis in
Female Sprague Dwley Rats. Journal of Pharmacognosy. ISSN: 0976884X & E-ISSN: 0976-8858, Vol. Dampa2, Issue 1, 2011, pp-14-20.

60
Currier, N. 2005. Oncogenic Signaling Pathways Activated in DMBA-Induced
Mouse Mammary Tumors. Toxicol Pathol 2005 33: 726. DOI:
10.1080/01926230500352226.
Devine, P.J., S.D. Perreault, and U. Luderer. 2012. Roles of Reactive Oxygen
Species and Antioxidant in Ovarian Toxicity. Biol Reprod Journal
86(2):27.
Dolores, M, A. Perez, L. Pena, A.I. Nieto, and M. Castano. 1997. Clinical and
Pathological Prognostic factors in Canine Mammary Tumors. Ann. 1st.
Super. Sanita, vol 33, n. 4, pp. 581-585.
Eritja, N., C. Mirantes, D. Liobet, G. Masip, X. Matias-Gulu, and X.Dolcet. 2011.
ER-mediated Represssion of Pro-Inflammatory Cytokine Expression by
Glucocorticoids Reveals A Crucial Role for TNF- and IL-1 in Lumen
Formation and Maintenance. Journal of Cell Science 125, 1929-1944.
Farida, N. 2007. Tampilan Anak Tikus (Rattus norvegicus) dari Induk yang Diberi
Bovine Somatotropin (bST) pada Awal Kebuntingan [Skripsi]. Fakultas
Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.
Flesher, James W. and Katherine L. Sydnor. 2014. Carcinogenecity of Derivates of
7,12-Dimethylbenz(a)Anthracene. Cancer Res, 31:1951-1954.
Germano, G., A. Paola, M. Alberto. 2008. Cytokines as a Key Component of
Cancer-Related Inflammation. Cytokines Journal 43:374-379.
Gillespie, C, A. Quarshie, M. Penichet and RR. Gonzalez-Perez. 2012. Potential
Role of Leptin Signaling in DMBA-induced Mammary Tumors by NonResponsive C57BL/6J Mice Fed a High-Fat Diet. J Carcinogene
Mutagene 2012, 3:2.
Gunawan, S.G., R. Setiabudi, Nafrialdi, dan Elysabeth. 2005. Farmakologi dan
Terapi Ed.5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
Held, Paul. 2010. An Introduction to Reactive Oxygen Species. Biotek Review
Article, 1-13.
Hernawati, S. 2013. Mekanisme Signaling Transduction Inflamasi Kronis dengan
Kanker. Jember: FKG Universitas Jember, Oral Medicine.
Jagdeep, K., M. Sharma, P.D. Sharma, and M.P. Bansal. 2010. Tumor Activity of
Lantadenes in DMBA/TPA Induced Skin Tumors in Mice:Expression of
Transcription Factors. American Journal of Biomedical Sciences. ISSN:
1937-9080. 2(1), 79-90; doi: 10.5099/aj100100079.

61
Kang, H.J., Y.B. Hong, H.J. Kim, O.C. Rodrigues, R.G. Nath, E.M. Tilli, C.
Albanese, F. Chung, S.H. Kwon, and I. Bae. 2011. Detoxification: A Novel
Function of BRCA1 in Tumor Supression. Toxicological Science 122(1),
26-37.
Kelly, A. Metcalfe, H.T. Lynch, P. Ghadirian, N. Tung, I.A. Olivotto, W.D.
Foulkes, E. Warner, O. Olopade, A. Eisen, B. Weber, J. McLennan, P. Sun,
and S.A. Narod. 2005. The Risk of Ovarian Cancer after Breast Cancer in
BRCA1 and BRCA2 carriers. J Gynecology Oncology 96: 222-226.
Kirkegaard, T., PhD. 2008. Expression of Tumor Necrosis Factor Converting
Enzyme in Endocrine Cancers. Am J Clin Pathol;129:735-743 735. DOI:
10.1309/N6YB6YDVF58YCNHN.
Kuhl, R. 2013. Consideration for Use of Dimethylbenzantracene (DMBA).
Madison: Environment, Health, and Safety Department of University of
Wisconsin.
Kumari, S., R. P. Rastogi , Kanchan L. Singh, Shailendra P. Singh and Rajeshwar
P. Sinha. 2008. DNA Damage: Detection Strategies. EXCLI Journal:7:4462-ISSN 161-2156
Kwi, H.K., S. Jurkovic, K. Yang, S. Choi, Jin W. Jung, Kwang P. Kim, W. Zhang,
and H. Jeong. 2012. Estradiol Induced Cytochrome P450 2B6 Expression
at High Concentrations: Implication in Estrogen-Mediated Gene
Regulation in Pregnancy. Biochem Pharmacol Journal 84(1): 93-103.
Laumbacher, B., Fellerhoff B., Herzberger B., Wank R. 2006. Do Dogs Harbour
Risk Factors for Human Breast Cancer. Medical Hypotheses 67, 21-26.
Lin, WW and Karin M. 2007. A Cytokine-Mediated Link Between Innate
Immunity, Inflamasi, and Cancer.Department of Pharmacolgy, College of
Medicine, National Taiwan University, Taipe, Republic of China: 11751183
Maccio, A., C. Madeddu. 2012. Inflammation and Ovarian Cancer. Ovarian
Cancer-Basic Science Perspective. ISBN 978-953-307-812-0. Italy:
InTech..
McCarthy, A., P.J. Bair, K.S. Latimer. 2003. Canine Mammary Carcinoma.
Department of Pathology, Veterinary Medicine, University of Georgia,
Athens, GA 30602-7388.
Morrison, W.B. 2012 Inflammation and Cancer: A Comparative View. J. Vet
Intern Med 26:13-31.

62
Murdoch, W.J., D.C. Colgin, and J.A. Ellis. 2014. Role of Tumor Necrosis Factor in the Ovulatory Mechanism of Ewes. J. Animal. Sci. 75: 1601-1605.
Naciff, J.M., M.L. Jump, S.M. Torontali, G.J. Carr, J.P. Tiesman, G.J. Overmann
J. Gary, and G.P. Daston. 2002. Gene Expression Profile Induced by 17Ethynyl Estradiol, Bisphenol A, and Genistein in the Developing Female
Reproductive System of the Rat. Oxfor Journal of Toxicol
Science.Vol.68(1):184-99.
Papacleovoulou, G., Hilary O. D. Critchley, Hillier Stephen G., and Mason J. Ian.
2011. IL1 and IL4 Signalling in Human Ovarian Surface Epithelial Cells.
Jurnal of Endocrinology 211, 273-283.
Perhimpunan Onkologi Indonesia. 2010. Basic Science of Oncology: Ilmu
Onkologi Dasar. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Polton, G. 2009. Mammary Tumours in Dogs. Irish Veterinary Journal Vol. 62
No.1.
Porta, C., L. Paola, R. Monica, G.T. Maria, A. Paola, M. Alberto, and S. Antonio.
2009. Cellular and Molecular Pathway Linking Inflammation and Cancer.
J. Immunologi 214:761-777.
Porter, W.P.. 2005. Rats and Mice: Introduction and Use in Research. Cincinnati,
Ohio. Laboratory Animaland Science, Marion Merrel Dow Inc.
Pugalendhi, P., S. Manoharan, K. Suresh, and N. Baskaran. 2011. Genistein and
Daidzen, In Combination, Protect cellular Integrity During 7,12Dimethylbenz[A]Anthracene (DMBA) Induced Mammary Carcinogenesis
In Sprague-dawley Rats. Afr J Tradit Complement Altern Med. 8(2):91-97.
Raharjo M. 2003. Statistika. Pelatihan Instruktur/ Pengembangan Mutu.
Yogyakarta: Depdiknas PPPG Matematika.
Rahayu, Wulan P., A. Anisyah, E. Heny. 2012. Aktivitas Antiproliferatif Jinten
Hitam (Nigell sativa) pada Sel Paru Tikus yang Diinduksi 7,12
Dimetilbenz [a] Antraseba (DMBA). Makara, Kesehatan Vol. 16, No.2:
51-56.
Ranita, T.B.M. dan S. Widyarini. 2010. Dampak Induksi Karsinogenesis Glandula
Mammae dengan 7, 12 dimetilbenz()antrasen terhadap Gambaran
Histopatologis Lambung Tikus Sprague Dawle. Jurnal Veteriner Vol.11
No.1: 17-23.

63
Rat Guide. 2000. Rat Guide: A Laymans Guide to Health, Medication Care,
Breeding, and Responsible Care of Pet Rats. <http://ratguide.com>
[Diakses 3 April 2014].
Rider, P., Y. Carmi, O. Guttman, A. Braiman, I. Cohen, E. Voronov, M.R. White,
C.A. Dinarello, and R.N Apte. 2011. IL-1 and IL-1 Recruit Different
Myeloid Cell and Promote Different Stages of Sterile Inflammation.
J.Immunol, DOI:10.4049.2202048.
Saha, D and M. Hait. 2012. An Ontological Design: Two Stage Mouse Skin
Carcinogenesis Induced by DMBA and Promoted by Croton Oil. Asian J.
Res. Pharm. Science. Vol 2:Issue 1, Pg 01-03.
Stanilov, N.S., Z.G. Dobreva, and S.A. Stanilova. 2011. Higher TNF-Alpha
Production Detected in Colorectal Cancer Patients Monocytes. Article
Medical Biotechnology. Doi:10.5504/50YRTIMB.2011.0020.
Sudiana, IK., 2005. Teknologi ilmu jaringan dan imunohistokimia. Surabaya :
Agung Seto.
Syaifudin, M. 2007. Gen Penekan Tumor P53, Kanker, dan Radiasi Pengion.
Buletin Alara Vol.8, No.3:119-128.
Szlosarek, Peter W., M.J.Grimshaw, H. Kulbe, J.L. Wilson, G.D. Wilbanks, F.
Burke,and F.R. Balkwill. 2006. Expression and Regulation of Tumor
Necrosis Factor in Normal and Malignant Ovarian Epithelium. Mol
Cancer Ther:5:382-390.
Tavasoly, A., H. Golshahi, A. Rezaie, M. Farhadi. 2013. Classification and
Grading of Canine Malignant Mammary Tumors. Veterinary Research
Forum; 4 (1) 25-30.
Vet

Cancer
Group.
2010.
Canine
Mammary
Gland
Tumor.
<http://www.VetCancerGroup.com/mammarytumor/canine/pdf> [Diakses
3 Maret 2014]

Waterson, A. and M. Bower. 2004. TNF and Cancer: Good or Bad. Cancer
Therapy Vol.2, 131-148.
Wei, Y., J. Wang, Y. Li, P.Fan, G. Liu, N. Zang, M. Conaway, H. Wang, K.S.
Korach, W. Bocchinfuso, and R. Santen. 2010. Effect of Estrogen on
Breast Cancer Development: Role of Estrogen Receptor Independent
Mechanisms . International Journal of Cancer 127, 174-1757.

64
Wibowo, Agung E., Sriningsih, Puspita E. Wuyung, R. Ranasasmita. 2010. The
Influence of DMBA (7,12 Dimetthylbenz [a] Antracene) Regimen in the
Development of Mammae Carcinogenesis on Sprague Dawley Female
Rat. Indonesian Journal of Cancer Chemoprevention l(1):60-66. ISSN:
2088-0197.
Wooster, R and B.L. Weber. 2003. Breast and Ovarian Cancer. N Engl J
Med;348:23392347.
Yager, J.D and N.E Davidson.2006. Estrogen Carcinogenesis in Breast Cancer.
New England Journal of Medicine 354:270-82.
Zatloukal, J., J. Lorenzova, F. Tich, A. Neaas, H. Kecova, P. Kohout. 2005. Breed
and Age as Risk Factors for Canine Mammary Tumours. Acta Vet. Brno,
74: 103-109.

65

66
Lampiran 1: Kerangka Operasional Penelitian

Tikus putih (Rattus norvegicus) betina

Aklimatisasi 1 minggu
Kelompok

Kelompok perlakuan

kontrol negatif

(p2)

(p1)
Induksi DMBA 10 mg/kg BB,
1ml/ekor SC sebanyak 10x induksi
setiap 2 hari sekali dan induksi
estrogen 20.000 IU/kg BB, 0,2
ml/ekor IM setiap 2x seminggu
selama 20 hari.

Hari ke 28

Pembedahan

Pengambilan organ ovarium untuk preparat histologi

Uji Imunohistokimia (IHK)

Ekspresi IL-1

Ekspresi TNF-

67
Lampiran 2. Timeline penelitian

Keterangan:

Induksi DMBA dilakukan pada tikus kelompok perlakuan (B) setiap 2 hari

sekali yaitu pada hari ke 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17, 19, dan 21.
Induksi estrogen dilakukan pada tikus kelompok perlakuan (B) sebanyak 2x
dalam seminggu dengan rentang waktu pemberian setiap 4 hari sekali yaitu

pada hari ke 2, 6, 10, 14, dan 18.


Penimbangan BB tikus kelompok kontrol negatif (A) dan kelompok
perlakuan (B) dilakukan setiap seminggu sekali, yaitu pada hari ke 1, 5, 9,

13, dan 17.


Pembedahantikus kelompok kontrol negatif (A) dan kelompok perlakuan
(B) dilakukan pada hari ke 28

68
Lampiran 3. Perhitungan Dosis DMBA dan Estrogen

Dosis DMBA yang dibutuhkan pada setiap ekor tikus adalah 10mg/kg BB dengan
berat tikus rata-rata 175 g, yang dilarutkan dalam 1ml pelarut/ekor berupa
campuran antara minyak biji bunga matahari (MBBM) dan normal saline (NS)
dengan perbandingan 1:3.

Dosis Induksi : 10 mg/kg BB


Contoh: BB rata-rata tikus: 175 gram
Dosis

Volume Pelarut

= 175 g X 10 mg
kg
= 175 g
1000 gram
X 10 mg
= 1,75 mg/ ekor

= 1ml /ekor tikus

Perbandingan Pelarut

= NS : MBBM

= 1 : 3

Maka Pelarut yang dibutuhkan dalam 1 ml:

NS

= 0,25 ml/ekor

MBBM

= 0,75 ml/ekor

69
Untuk pemberian pelarut, volume dilebihkan 1 ml untuk 9 ekor tikus

Dosis estrogen yang digunakan sebesar 20.000 IU/kg BB dan berat rata-rata 175
gram

Dosis estrogen : 20.000 IU/kg BB

Contoh: BB rata-rata tikus: 175 gram


Dosis

= 175 g X 20.000 IU
kg
= 175 g
1000 gram
X 20.000 IU
= 3500 IU

Volume pemberian pada sediaan 20.000 IU/ml = 3500 IU

X 1 ml

20.000 IU
= 0,175 ml/ekor
Dibulatkan menjadi 0,2 ml/ ekor setiap pemberian

70
Lampiran 4. Pembuatan larutan DMBA

DMBA
Ditimbang dengan timbangan analitik sesuai dosis

Dihaluskan dengan menggunakan mortar

Dilarutkan dengan NS dan Minyak Biji Bunga Matahari dengan


perbandingan 1:3

Dihomogenkan dengan cara divortex

Larutan dipindahkan ke botol steril

Botol dibungkus dengan alumunium foil


Hasil

71
Lampiran
5. Pengambilan Organ Ovarium
Tikus

Dimasukkan dalam wadah berisi klorofom hingga mati


Setelah mati, dibaringkan pada posisi rebah terlentang
Dibuat irisan pada bagian abdomen memanjang hingga bagian
thorax
Setelah rongga abdomen terlihat, dicari organ ovariumnya
Organ ovarium dipreparir
Organ diambil dan dicuci dengan NaCl fisiologis
Organ dimasukkan dalam wadah berisi larutan PFA 4%

Ovarium dalam PFA

72
Lampiran 6. Pembuatan Preparat Ovarium
Ovarium dalam PFA 4 %

Direndam dalam etanol 70%, 24 jam


Direndam dalam etanol 80%, 2 jam
Direndam dalam etanol 90%, 20 menit
Direndam dalam etanol 95%, 25 menit
Direndam dalam etanol absolute, 3 x 30 menit
Direndam xylol I, 2 x 30 menit pada suhu ruang
Direndam xylol II selama 30 menit pada suu 60 - 63C
Diinfiltrasi pada paraffin cair
Embedding blok paraffin
Didinginkan pada suhu 4C
Ovarium dalam Blok Paraffin
Proses Embedding
Ovarium dalam Blok Paraffin
Dipotong dengan ketebalan 5m dengan mikrotom

73
Dipindahkan ke air hangat dengan suhu 38-40C
Diambil dengan objek glass
Dikeringkan diatas hot plate suhu 38-40C
Disimpan dalam inkubator dengan suhu 38-40C selama 24 jam
Preparat histopat ovarium

74
Lampiran 7. Uji Imunohistokimia
Preparat Histopat
Ovarium
Diperafinasi dalam xylol I dan II, serta ethanol absolute I dan II
selama 5 menit
Direndam ethanol 90 %, 80%, 70%, dan 30% selama masingmasing 5 menit
Direndam aquades selama 5 menit
Dicuci PBS pH 7,4 sebanyak 3x
Unmusking dalam buffer sitrat pH 6 dan EDTA pH 8 selama 10-20
menit pada suhu 90C
Dicuci aquades
diblocking peroksidase dengan H2O2 3% dalam methanol selama
10 menit
Dicuci PBS sebanyak 3x
Diblocking dengan susu skim 1% dalam PBS-tween selama 30
menit
Dicuci PBS sebanyak 3x
Diinkubasi dengan antibodi primer 1:100 pada susu skim 1%
dalam PBS-tween selama 24 jam dengan suhu 4C
Dicuci PBS sebanyak 3x

75
Diinkubasi dengan antibosi sekunder 1:300 selama 1 jam pada
suhu ruang
Dicuci PBS sebanyak 3x
Ditetesi SA-HRP 1:500 dalam PBS selama 45 menit
Dicuci PBS sebanyak 3x
Ditetesi DAB dan diinkubasi selama 30 menit
Dicuci PBS sebanyak 3x
Dicounterstaning dengan Mayer Hematoxyler selama 10 menit
Dicuci air mengalir selama 10 menit
Dicuci aquades
Dikeringkan selama satu malam
Dimounting dengan entelan
Ditutup dengan cover glass
Diamati dengan miroskop
Hasil

76
Lampiran 8. Sertifikat Laik Etik

77

78
Lampiran 9. Perhitungan Ekspresi IL-1 dan TNF-
Tabel L 9.1 Hasil Persentasi area IL-1

DATA PERSENTASI AREA IL1

Ratarata

Persentasi Area

Standar
t Deviasi

Perlakua
n

Kontrol
negatif

0.80
6

0.81
2

0.78

0.77

0.76
4

0.79
6

0.72
6

0.75
6

0.80
2

0.78

0.03

Kontrol
positif

20.5
4

20.5
6

20.2
0

20.1
6

19.7
4

19.8
5

19.4
7

19.5
8

20.5
3

20.01

0.40

Persentasi kenaikan ekspresi IL1 kelompok perlakuan dibanding kelompok


kontrol

Kontrol positif

20.010.78
x 100 =
=
0.78
2468.9 %
= 25x

79
25
20
15
Persen Area Ekspresi IL-1

10
5
0

Kontrol Negatif

Kelompok Perlakuan

Sampel Kelompok

Gambar L 9.1 Grafik Ekspresi IL1

Tabel L 9.2 Hasil Uji T Ekspresi IL1

80
Independent Samples Test

Levene's Test
for Equality of
Variances

t-test for Equality of Means

95% Confidence
Interval of the
Difference

Sig. (2F

Sig.

df

tailed)

Mean

Std. Error

Difference Difference

Lower

Upper

IL1 Equal
variances

32.714

.000 -135.327

16

.000 -19.29067

.14255 -19.59286

-18.98848

-135.327 8.069

.000 -19.29067

.14255 -19.61890

-18.96244

assumed

Equal
variances not
assumed

Keterangan:
Berdasarkan tabel uji T tidak berpasangan diatas diketahui nilai Sig (2 tailed) atau
p value lebih kecil dari =0,05. yang berarti H0 ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik ada perbedaan yang signifikandari jumlah
ekspresi IL-1 antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan
yang diinduksi dengan DMBA

81

Tabel L 9.3 Hasil Persentasi area TNF-

DATA PERSENTASI AREA TNF

Ratarata

Persentasi Area

Standar
t Deviasi

Perlakua
n

Kontrol
negatif

1.73
8

1.61
2

1.68

1.71
8

1.77
4

1.72
8

1.73

1.62
6

1.68
4

1.69

0.05

Kontrol
positif

15.2
9

14.7
8

15.0
7

15.2
2

15.1
5

15.2
4

15.3
8

14.8
3

14.8
1

15.09

0.23

82
Persentasi kenaikan ekspresi TNF- kelompok perlakuan disbanding
kelompok kontrol

Kontrol positif

15.091,69
x 100 =
=
1,69

787.9 %
= 7,9 x

16
14
12
10
Persen Area Ekspresi TNF-

8
6
4
2
0

Kontrol Negatif

1 Kelompok Perlakuan
2
Sampel Kelompok

Gambar L 9.2 Grafik Ekspresi TNF-

83

Tabel L 9.4 Hasil Uji T Ekspresi TNF-

Independent Samples Test

Levene's Test for


Equality of
Variances

t-test for Equality of Means

95% Confidence
Interval of the
Difference
Sig.
(2F

TNF Equal variances


assumed

Equal variances
not assumed

Keterangan:

16.526

Sig.

.001 -172.769

df

Mean

Std. Error

tailed) Difference Difference

Lower

Upper

16

.000 -13.38756

.07749 -13.55182

-13.22329

-172.769 8.888

.000 -13.38756

.07749 -13.56318

-13.21193

84
Berdasarkan tabel uji T tidak berpasangan diatas diketahui nilai Sig (2 tailed) atau
p value lebih kecil dari =0,05. yang berarti H0 ditolak, sehingga dapat
disimpulkan bahwa secara statistik ada perbedaan yang signifikandari jumlah
ekspresi TNF- antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok perlakuan
yang diinduksi dengan DMBA

85
Lampiran 10. Gambaran Histopatologi Sel Mammae Tikus Pasca Induksi

T
D

Al

T
D
Al

Gambar L.10.1 : A= histopat mammae kelompok kontrol pada hari ke-28; B =


histopat mammae kelompok perlakuan pada hari ke-28.
Keterangan:
Al
: Alveolus
T
: Jaringan Ikat
D
: Duktus
Pada gambar A (kelompok kontrol) terlihat lumen duktus yang lebar dan
alveoli masih tersusun rapi. Sedangkan pada gambar B (kelompok perlakuan),
terlihat bahwa lumen ductus menyempit dan terdapat proliferasi sel di dalam
lumen duktus. Selain itu, sel-sel alveoli terlihat tidak beraturan. Adanya prolifersi
sel pada duktus mammae ini menggambarkan adanya kanker pada mammae, yang
mana membutikan bahwa zat DMBA yang diberikan telah berhasil menyebabkan
kanker pada mammae.

86

Anda mungkin juga menyukai