Anda di halaman 1dari 1

CONTOH KASUS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI

NAMA Todung Mulya Lubis tentu tidak asing lagi bagi banyak masyarakat. Apalagi
untuk dunia hukum di Indonesia, Todung Mulya Lubis memiliki trademark tersendiri.
Analisis hukum yang sering dilontarkannya seringkali tajam dan kritis. Begitu pula ketika
berbicara soal korupsi, Todung sering berbicara blak-blakan. Sebagai ketua Masyarakat
Transparansi Indonesia (MTI), Todung termasuk tokoh yang mengkritik keras adanya
monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh para konglomerat di Indonesia. Pun, Todung
menjadi bagian penting dalam kampanye penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Yang tidak kalah penting, sebagai pengacara Todung mendapat banyak kepercayaan
dari sejumlah korporasi ternama. Pada saat Majalah Time menghadapi gugatan dari mantan
Presiden Soeharto, Todung menjadi pengacara yang dipercaya untuk menghadapi gugatan
tersebut. Bahkan, perusahaan telekomunikasi ternama Temasek dari Singapura
mempercayakan Todung sebagai kuasa hukumnya di Indonesia. Untuk kasus pertama,
Mahkamah Agung akhirnya memutuskan tulisan Time tentang kekayaan keluarga Pak Harto
tidak benar, sehingga Time harus membayar ganti rugi moril sebesar Rp 3 triliun kepada Pak
Harto. Sementara Temasek dinilai telah melakukan monopoli bisnis telekomunikasi di
Indonesia oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Kabar terakhir, Majelis Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI
Jakarta menjatuhkan hukuman dengan mencabut ijin kepengacaraan Todung seumur hidup.
Todung dinilai telah melanggar etika sebagai pengacara dalam perseteruan Sugar Group
melawan Salim Group. Pada tahun 2002, Todung menjadi pengacara untuk Sugar Group,
namun tahun 2006 Todung menjadi pengacara Salim Group. Selain itu, Todung juga pernah
menjadi auditor BPPN untuk menangani Salim Group. Sehingga, sebagai pengacara Todung
disebut plin-plan dan hanya mengejar uang.
Benarkah? Keputusan Peradi DKI Jakarta memang belum final. Todung tentu saja
tengah bersiap-siap melakuikan perlawanan. Beberapa pengacara senior pun ada yang
membela Todungdengan mengatakan agar keputusan Peradi DKI Jakarta mencabut ijin
kepengacaraan Todung Mulya Lubis seumur hidup, diabaikan. Pastilah masing-masing pihak,
yang setuju dan tidak setuju, senang dan tidak senang, memiliki argumentasi berdasarkan
kaidah-kaidah perundangan dan kode etik yang berlaku. Kita masih menunggu bagaimana
akhir kisah Todung Mulya Lubis ini.

analisis
Menarik lebih luas mengenai pelanggaran kode etik di Indonesia, barangkali kasus
Todung hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa. Kode etik untuk sebuah profesi
adalah sumpah jabatan yang juga diucapkan oleh para pejabat Negara. Kode etik dan sumpah
adalah janji yang harus dipegang teguh. Artinya, tidak ada toleransi terhadap siapa pun yang
melanggarnya. Benar adanya, dibutuhkan sanksi keras terhadap pelanggar sumpah dan kode
etik profesi.
Bahkan, apabila memenuhi unsur adanya tindakan pidana atau perdata, selayaknya
para pelanggar sumpah dan kode etik itu harus diseret ke pengadilan.Kita memang harus
memiliki keberanian untuk lebih bersikap tegas terhadap penyalahgunaan profesi di bidang
apa pun. Kita pun tidak boleh bersikap diskrimatif dan tebang pilih dalam menegakkan
hukum di Indonesia. Kode etik dan sumpah jabatan harus ditegakkan dengan sungguhsungguh.
Profesi apa pun sesungguhnya tidak memiliki kekebalan di bidang hukum.
Penyalahgunaan profesi dengan berlindung di balik kode etik profesi harus diberantas. Kita
harus mengakhiri praktik-praktik curang dan penuh manipulatif dari sebagian elite
masyarakat. Ini penting dilakukan, kalau Indonesia ingin menjadi sebuah Negara dan Bangsa
yang bermartabat

Anda mungkin juga menyukai