Anda di halaman 1dari 39

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 1/39

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Terapi sulih hormon (hormone replacement therapy HRT) baik berupa estrogen saja maupun kombinasi
estrogen dan progesteron, merupakan jenis obat yang
paling
banyak
diresepkan
bagi
wanita
pascamenopause di negara-negara industri maju.
Kebanyakan
wanita
menggunakannya
untuk
mengatasi gejala menopause. Namun demikian,
publikasi tentang kemampuan sulih hormon untuk
mencegah terjadinya penyakit kronik seperti
osteoporosis, penyakit jantung koroner (PJK),
penyakit Alzheimer dan kanker kolorektal juga
memberikan
kontribusi
dalam
peningkatan
penggunaan sulih hormon di seluruh dunia dalam
dekade terakhir.1 Efek protektif dari terapi sulih
hormon ini hanya terbukti pada masa tulang dan
kolorektal, sedangkan terhadap keadaan lain hingga
kini masih kontroversial.
Survei terbaru mengenai pemakaian sulih
hormon di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan
40-55%
dan
60%
wanita
pascamenopause
menggunakannya dengan tingkat pemakaian yang
lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani
histerektomi.1 Penggunaan sulih hormon di negaranegara Asia khususnya Indonesia masih terbatas.2
Berbeda dengan negara barat, keluhan yang lebih
sedikit dan penerimaan masyarakat terhadap
menopause, faktor pendidikan, sosial dan ekonomi
mempengaruhi jumlah pemakaian sulih hormon di
wilayah ini.3 Didapatkan estimasi sebanyak 1,2%
wanita pascamenopause mendapatkan sulih hormon
pada suatu studi pemakaian sulih hormon di Jepang.4
Sensus
memperkirakan
jumlah
wanita
pascamenopause di dunia sekitar 476 juta jiwa pada
tahun 1990. Setidaknya pada tahun 2030 jumlah ini
akan bertambah menjadi 1.200 juta jiwa.3 Hal ini
dipengaruhi antara lain oleh pertumbuhan penduduk
dan meningkatnya usia harapan hidup secara
perlahan dan progresif.5 Dengan usia harapan hidup
rata-rata lebih dari 78-80 tahun dan usia menopause
relatif stabil yaitu pada usia 50-51 tahun, wanita akan
menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya dalam
masa menopause.5 Sehingga terdapat kemungkinan
untuk mengalami berbagai penyakit kronik selama
hidupnya yang diperkirakan 46% untuk PJK, 20%

untuk stroke, 15% untuk fraktur panggul, 10% untuk


kanker payudara, dan 2.6% untuk kanker
endometrium. Di Amerika Utara, sebanyak 7-8%
orang berusia 75-84 tahun terkena demensia tipe
Alzheimer dan wanita pascamenopause memiliki risiko
1.4-3 kali lipat untuk penyakit Alzheimer dibandingkan
laki-laki, sedangkan risiko untuk terkena kanker
kolorektal adalah sekitar 6% di mana lebih dari 90%
kasus terjadi setelah usia 50 tahun. Mortalitas dan
morbiditas yang terjadi pada kasus ini dilaporkan
berhubungan dengan patofisiologi penyakit yang
didasari oleh rendahnya kadar estrogen dan
progesteron tubuh.6
Berdasarkan
adanya
kecenderungan
peningkatan jumlah wanita pascamenopause pada
dekade mendatang, kemungkinan tingkat morbiditas
dan mortalitas akibat penyakit kronis yang dialami
pada masa itu akan meningkat pula. Sementara,
selain untuk menghilangkan gejala menopause, terapi
sulih hormon sudah digunakan untuk pencegahan
penyakit kardiovaskular dan osteoporosis pada wanita
pascamenopause. Penggunaannya didasarkan pada
studi evidence-based terdahulu yang melaporkan
terapi sulih hormon terbukti bermanfaat untuk
mencegah osteoporosis dan mengurangi keluhan
vasomotor dan urogenital.7,8 Pernyataan terakhir yang
dikeluarkan oleh Womens Health Initiative (WHI) dan

The Heart and Estrogen/Progestin Replacement Trial

(HERS) menyebutkan bahwa terdapat peningkatan


risiko untuk PJK, stroke dan kanker payudara pada
pemakaian terapi sulih hormon dalam jangka waktu
tertentu, sehingga dibutuhkan peninjauan ulang
penggunaannya pada wanita pascamenopause. 9,10,11
Pembahasan tentang pemakaian terapi sulih
hormon pada wanita menopause di tingkat regional
Asia Tenggara telah dilakukan pada tahun 1997
dengan hasil konsensus penggunaannya dengan
mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pada
masing-masing pasien. Dalam forum tersebut
direkomendasikan untuk dilakukan penelitian tingkat
regional yang bertujuan untuk meningkatkan taraf
kesehatan wanita menopause di kawasan Asia
Tenggara.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 2/39

B. Permasalahan
Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah wanita
yang mengalami menopause setiap tahunnya yang
berdampak pada peningkatan masalah kesehatan
sehingga dapat mempengaruhi kualitas hidup serta
produktivitas wanita pascamenopause. Tata laksana
menyeluruh
untuk
permasalahan
ini
sangat
diperlukan, termasuk di dalamnya penggunaan terapi
sulih hormon.
Penelitian mengenai penggunaan terapi sulih
hormon umumnya dilakukan pada wanita ras
kaukasia. Perbedaan demografi, ras, gaya hidup dan
kultur antara wanita negara Barat dengan wanita Asia
menyebabkan perlu dilakukan peninjauan kembali
mengenai pemakaian terapi sulih hormon di Indonesia
baik yang mencakup indikasi, jenis, dosis dan
keamanannya. Pada imbang manfaat-risiko yang

dilaporkan, risiko pemakaian terapi sulih hormon baik


untuk pencegahan primer dan sekunder berbagai
penyakit
kronik
terkait
menopause,
secara
keseluruhan melebihi manfaat yang didapatkan.
Diperlukan kajian rinci serta rekomendasi
penggunaan terapi sulih hormon pada wanita
pascamenopause di Indonesia.
C. Tujuan
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar rekomendasi
pemerintah dalam menetapkan kebijakan pemberian
terapi sulih hormon pada wanita menopause di
Indonesia.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 3/39

BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
A. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan
melalui kepustakaan elektronik : Cochrane Library,
Pubmed, Obstetry and Gynecology, New England

Journal of Medicine, British Medical Journal, American


Journal of Epidemiology, Journal of Clinical
Epidemiology, Journal of the National Cancer
Institute, the Journal of the American Medical
Association, Annals Internal Medicine, The Lancet,
Endocrine Review, American College of Obstetry and
Gynecologist, Endocrine Practice dan International
Clearing House Guidelines. Disertakan pula hasil

kajian dari HTA Barcelona, INAHTA, HTA Minnesota


serta hasil dari the First Consensus Meeting on
Menopause in the East Asian Region di Geneva, 26-30
Mei 1997 serta rekomendasi pemakaian terapi sulih
hormon dari U.S. Preventive Services Task Force
(USPSTF) dan American Heart Associaton (AHA).
Kata kunci yang digunakan: menopause,

hormone replacement therapy (HRT), menopausal


symptoms, osteoporosis, cardiovascular disease,
stroke, breast cancer, ovarian cancer, colorectal
cancer, dementia, Alzheimer, cognitive function, dry
eyes.
B. Hierarchy
Rekomendasi

of

Evidence

dan

Derajat

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai


berdasarkan evidence based medicine, ditentukan
hierarchy of evidence dan derajat rekomendasinya.
Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi
diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish
Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan
definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health
Care Policy and Research.

Hierarchy of evidence:
Ia.
Meta-analysis of randomised controlled trials.
Ib. Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled
trials.
IIb. Cohort dan Case control studies
IIIa. Cross-sectional studies
IIIb. Case series dan case report
IV.

Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi :
A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.
B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.
C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan
IV.
C. Pengumpulan Data Lokal
Sampai saat ini belum ada data nasional mengenai
jumlah penggunaan sulih hormon.
D. Ruang Lingkup Pembahasan
Kajian ini mengulas manfaat pemberian sulih hormon
pada berbagai keadaan klinis beserta risiko
penggunaan.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 4/39

BAB III
HASIL DAN DISKUSI
stimulating hormone (FSH).15 Menopause merupakan

A. MENOPAUSE
Pada tahun 1990, populasi wanita menopause di
seluruh dunia dilaporkan mencapai jumlah 476 juta
jiwa, 40% di antaranya berada di negara industri.
Diperkirakan jumlah wanita menopause pada tahun
2030 sebanyak 1.200 juta dengan distribusi di negara
berkembang sebesar 76%. Data yang didapatkan dari
daerah Asia Tenggara juga menunjukkan fenomena
serupa.3
Umur menopause wanita di negara barat
seperti Amerika Serikat dan United Kingdom adalah
51,4 dan 50,9 tahun.12,13 Untuk negara Asia, ternyata
didapatkan nilai yang tidak jauh berbeda. Sebuah
studi yang dilakukan pada 7 negara Asia Tenggara
memperlihatkan usia median terjadinya menopause
yaitu 51,09 tahun.3 Untuk Indonesia sendiri, laporan
tahun 1990 menyebutkan usia 50 tahun. 2 Studi yang
diadakan di Malaysia terhadap 3 jenis etnik yaitu
Melayu, Cina dan India, menyebutkan bahwa
menopause terjadi pada usia 50,7 tahun.14
1. Definisi
Menurut
WHO,
menopause
adalah
berhentinya menstruasi secara permanen akibat tidak
bekerjanya
folikel
ovarium.
Sehingga
untuk
menentukan onset dilakukan recara retrospektif, yaitu
dimulai dari amenorea spontan sampai 12 bulan
kemudian, seiring dengan peningkatan follicle-

kegagalan ovarium dengan onset pada usia dewasa,


ditandai dengan tidak adanya estrogen, progesteron,
dan androgen ovarium.7
Untuk
kepentingan
statistik
dan
epidemiologik,
definisi
menopause
disesuaikan
menjadi tidak adanya menstruasi selama 1 tahun.
Bagaimanapun juga, definisi ini adalah hasil akhir dari
berlangsungnya proses penurunan fungsi ovarium,
biasanya dimulai pada usia 35 sampai 40 tahun, di
mana defisiensi hormon menyebabkan kerusakan
sistemik yang progresif. Akibat dari kegagalan
ovarium ini adalah terjadinya defisiensi permanen
hormon multipel. Hal ini sangat penting untuk
dipahami dan ditatalaksana, bila dilihat dari sisi
endokrinologi.7
Beberapa istilah yang sering digunakan
membagi masa klimakterik, seperti: 16
Premenopausal : <2 bulan sebelum menstruasi
terakhir
Perimenopausal: 2-12 bulan sejak menstruasi terakhir.
Merupakan waktu dengan siklus menstruasi yang
tidak teratur sebelum terjadi amenore, bisa terjadi
bisa tidak. Beberapa ahli menyebutkan bahwa istilah
perimenopause meliputi wanita pada usia 45-65
tahun.
Postmenopausal: >12 bulan sejak menstruasi
terakhir.

Waktu seputar menopause disebut sebagai masa klimakterik. Masa ini dibagi menjadi beberapa bagian,
yaitu:
Reproduksi

13-16

KLIMAKTERIUM

40

45
Premenopause

50

55

65
Pascamenopause

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 5/39

Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa masa klimakterik berlangsung selama 30 tahun (usia 35-65
tahun), dan dibagi menjadi 3 bagian untuk kepentingan klinis, yaitu: klimakterik awal (35-45 tahun),
perimenopause (46-55 tahun) dan klimakterik akhir (56-65 tahun).30
KLIMAKTERIUM

35

45
Klimakterik Awal

65

55
Perimenopause

Klimakterik Akhir

]
2. Gejala
Berkurang
atau
hilangnya
estrogen
dapat
menyebabkan gejala vasomotor, gangguan tidur,
gangguan mood, depresi, atrofi saluran kemih dan
vagina, serta meningkatnya risiko kelainan kronis
seperti osteoporosis, penyakit kardiovaskular dan
penurunan fungsi kognitif. Gejala vasomotor
merupakan keluhan terbanyak yang dilaporkan
pasien. Dasar perubahan patofisiologi tersebut
berkaitan
dengan
defisiensi
estrogen
yang
mekanismenya telah banyak diketahui, namun efek
dari ketiadaan progesteron dan penurunan androgen
masih belum dapat dipahami sepenuhnya.7 Penyakit
kardiovaskular adalah penyebab utama kematian pada
masa pascamenopause, dengan hampir 50% wanita
pascamenopause akan mengalami penyakit arteri
koronaria di kemudian hari dan hampir 30% di
antaranya meninggal dunia.18
Walaupun menopause biasa diasosiasikan
dengan keluhan di atas, tanggapan wanita dan
masyarakat terhadap menopause berbeda di setiap
komunitas. Wanita barat yang mengeluhkan gejala
menopause sekitar 75%. Sedangkan di Asia, sebuah
penelitian di Malaysia mengenai gejala menopause
pada tahun 1990 melaporkan wanita Malaysia tidak
mengalami gejala menopause yang serius. Lebih dari
70% populasi studi tidak pernah merasakan hotflushes, berkeringat atau palpitasi. Adapun insidens
dan keparahan dari gejala klimakterik ini bergantung
terutama pada adanya ketidakstabilan emosi sejak
sebelum menopause. Studi terdahulu pada tahun
1986 menemukan hanya sekitar 20% responden yang
mengalami gejala menopause di atas. Tingkat
pendidikan dan pekerjaan tidak mempengaruhi hal
ini.14
Studi lain yang dilakukan pada 3200 wanita
Jepang yang berusia antara 45 dan 60 tahun

melaporkan kekakuan bahu sebagai keluhan utama


yang mereka alami (45%) sedangkan untuk keluhan
vasomotor hanya sekitar 25%. International Health
Report menyimpulkan bahwa menopause di Asia
memperlihatkan lebih sedikit keluhan daripada di
Barat. Bagaimanapun juga harus diingat bahwa
kesimpulan ini diambil dari survey yang menggunakan
daftar gejala menopause yang berasal dari wanita
Eropa, yang memiliki karakteristik berbeda dengan
wanita Asia dalam hal ras, sosial ekonomi dan
lingkungan.3
Dua tipe gejala utama yaitu, yang berkaitan dengan
gangguan vasomotor dan atrofi genital.19
a. Gangguan vasomotor
Gejala vasomotor yang terdiri dari gejolak panas
(hot flush) dan keringat malam terjadi pada 75%
wanita pascamenopause dengan berbagai derajat
keparahan, dimana hanya 30% di antaranya yang
mencari pertolongan medis. Gejala ini dapat
menetap lebih dari 5 tahun pada 25% wanita,
bahkan pada sebagian kecil wanita akan menetap
seumur hidup.20
Etiologi gejolak panas masih belum
diketahui dengan pasti, namun mungkin
disebabkan oleh labilnya pusat termoregulator
tubuh di hipotalamus yang diinduksi oleh
penurunan kadar estrogen dan progesteron
(Freedman 1995). Instabilitas ini menimbulkan
perubahan yang tiba-tiba berupa vasodilatasi
perifer mendadak dan bersifat sementara yang
dikeluhkan pasien sebagai gejolak panas yang
ditandai adanya peningkatan suhu tubuh pada
saat itu. Bila terjadi pada malam hari, keadaan ini
dilaporkan pasien sebagai keringat malam.19

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 6/39

Estrogen dan progesteron,


baik
digunakan sendiri atau dalam kombinasi, telah
banyak digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi gejala vasomotor pada menopause.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui efektivitas terapi hormon estrogen
atau kombinasi estrogen progesteron dalam
menghilangkan
gejala
vasomotor.
Namun
mekanisme kerja gabungan estrogen dan
progesteron masih belum diketahui dengan jelas
apakah memiliki efek aditif atau sinergistik
terhadap frekuensi dan keparahan gejala
vasomotor. Selain itu, belum diketahui kapan
pemberian terapi hormon untuk mendapatkan
hasil yang terbaik, sebelum menopause atau
sesudah menopause. Beberapa efek samping juga
dilaporkan selama pemakaian terapi hormon ini
seperti payudara tegang, mual, perdarahan uterus
non spesifik, bloating dan perasaan berat badan
bertambah.
b. Keluhan urogenital
Uretra dan vagina berasal dari jaringan
embriologik yang sama, sehingga defisiensi
estrogen menyebabkan atrofi pada keduanya.
Dinding vagina akan menipis, dan terjadi atrofi
kelenjar vagina, sehingga lubrikasi berkurang dan
menyebabkan dispareuni. Menurunnya aktifitas
seksual juga makin menurunkan lubrikasi dan
memperparah atrofi. Efek defisiensi estrogen pada
uretra dan kandung kemih berhubungan dengan
sindrom uretral berupa frequency, urgency dan
disuria.21
Estrogen mempengaruhi mukosa uretra,
otot polos dan tonus alfa adrenergik sehingga
terdapat pernyataan estrogen mungkin dapat
memperbaiki inkontinensia urin yang terjadi pada
wanita
pascamenopause
dengan
difisiensi
estrogen. Insidens inkontinensia urin di komunitas
wanita pascamenopause adalah 15-50%. Tata
laksana medis biasanya menggabungkan terapi
estrogen oral dan lokal, tetapi efektivitas dari
terapi ini masih belum jelas.22
B. TERAPI SULIH HORMON
Banyak wanita menopause yang mendapatkan terapi
hormon estrogen saja atau estrogen dan progesteron
untuk mengatasi gejala yang menyertai menopause.
Pemberian hormon ini juga diharapkan dapat
mencegah terjadinya osteoporosis dan mengurangi

risiko terjadinya penyakit jantung iskemik. Pemberian


hormon pada wanita menopause bertujuan untuk
mengembalikan keadaan hormonal seperti pada saat
premenopause, namun hingga kini tidak ada preparat
sulih hormon yang dapat menyamai pola sekresi
hormon pada wanita premenopause.
1. Epidemiologi
Survey yang diadakan pada tahun 1995 pada wanita
pascamenopause yang berusia antara 50-75 tahun
melaporkan hampir 38% memakai terapi sulih
hormon. Survei terbaru mengenai pemakaian sulih
hormon di Amerika Serikat dan Inggris menunjukkan
40-55%
dan
60%
wanita
pascamenopause
menggunakannya dengan tingkat pemakaian yang
lebih tinggi pada wanita yang telah menjalani
histerektomi.1
Penggunaan sulih hormon di Indonesia masih
sangat terbatas.2 Berbeda dengan negara barat,
keluhan yang lebih sedikit dan penerimaan
masyarakat terhadap menopause, faktor pendidikan,
sosial, ekonomi mempengaruhi jumlah pemakaian
sulih hormon di Indonesia khususnya dan negara Asia
umumnya. Jepang telah mengadakan sebuah studi
untuk mengetahui pemakaian sulih hormon di
kalangan
wanita
pascamenopause,
didapatkan
estimasi sebanyak 1,2% wanita berusia 45-64 tahun
mendapatkan terapi sulih hormon. Terapi berlangsung
jangka pendek, selama 6-9 bulan.4
2. Definisi

Hormone

replacement
therapy
atau
yang
diterjemahkan
sebagai
terapi
sulih
hormon
didefinisikan sebagai : 23
a. Terapi menggunakan hormon yang diberikan
untuk mengurangi efek defisiensi hormon.
b. Pemberian hormon (estrogen, progesteron atau
keduanya) pada wanita pascamenopause atau
wanita yang ovariumnya telah diangkat, untuk
menggantikan produksi estrogen oleh ovarium.
c. Terapi menggunakan estrogen atau estrogen dan
atau progesteron yang diberikan pada wanita
pascamenopause atau wanita yang menjalani
ovarektomi, untuk mencegah efek patologis dari
penurunan produksi estrogen.
Untuk
mempermudah,
dalam
pembicaraan
selanjutnya akan disebut sebagai sulih hormon.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 7/39

3. Indikasi
Berdasarkan rekomendasi

yang

dikeluarkan

oleh

North American Menopause Society (NAMS), indikasi


primer pemberian terapi sulih hormon adalah adanya
keluhan menopause seperti gejala vasomotor berupa
hot flush dan gejala urogenital.24 Di Indonesia, terapi
sulih hormon diberikan hanya pada pasien menopause
dengan keluhan terkait defisiensi estrogen yang
mengganggu atau adanya ancaman osteoporosis
dengan lama pemberian maksimal 5 tahun.
4. Kontra Indikasi

The American College of Obstetrics and


Gynaecologists menetapkan kontra indikasi

penggunaan terapi sulih hormon, sebagai berikut: 25


- Kehamilan
- Perdarahan genital yang belum diketahui
penyebabnya
- Penyakit hepar akut maupun kronik
- Penyakit trombosis vaskular
- Pasien menolak terapi
Kontra indikasi relatif
- Hipertrigliseridemia
- Riwayat tromboemboli
- Riwayat keganasan payudara dalam keluarga
- Gangguan kandung empedu
- Migrain
- Mioma uteri
- Seizure disorder
Pemeriksaan yang harus dipenuhi sebelum pemberian
terapi sulih hormon:
- Diagnosis pasti menopause
- Penilaian kontra indikasi mutlak dan relatif
- Informed consent mengenai untung rugi
penggunaan terapi sulih hormon
- Pemeriksaan fisik, meliputi tekanan darah dan
pemeriksaan payudara dan pelvik
- Pemeriksaan sitologi serviks dan mamografi harus
memberi hasil negatif

The Hong Kong College of


Gynaecologists26 menyebutkan

Obstreticians

and

beberapa kontra
indikasi absolut terapi sulih hormon, yaitu karsinoma
payudara, kanker endometrium, riwayat tromboemboli
vena dan penyakit hati akut.

5. Beberapa Cara Pemberian Terapi Sulih


Hormon
Sulih hormon dapat berisi estrogen saja atau
kombinasi dengan progesteron. Pilihan rejimen yang
digunakan bergantung pada riwayat histerektomi.
Untuk wanita yang tidak menjalani histerektomi,
umumnya diberikan kombinasi dengan progesteron
untuk mengurangi risiko terjadinya keganasan pada
uterus.
a. Rejimen I, yang hanya mengandung estrogen
Rejimen ini bermanfaat bagi wanita yang telah
menjalani histerektomi. Estrogen diberikan setiap
hari tanpa terputus.
b. Rejimen II, yang mengandung kombinasi antara
estrogen dan progesteron.
Kombinasi sekuensial: estrogen diberikan
kontinyu, dengan progesteron diberikan
secara sekuensial hanya untuk 10-14 hari (1214 hari) setiap siklus dengan tujuan
mencegah
terjadinya
hiperplasia
endometrium. Lebih sesuai diberikan pada
perempuan
pada
usia
pra
atau
perimenopause yang masih menginginkan
siklus haid.
Estrogen
dan
progesteron
diberikan
bersamaan secara kontinyu tanpa terputus.
Cara ini akan menimbulkan amenorea. Pada
3-6 bulan pertama dapat saja terjadi
perdarahan bercak. Rejimen ini tepat
diberikan pada perempuan pascamenopause.
6. Bentuk Sediaan27
Terapi sulih hormon paling banyak diberikan per oral.
Namun, masih banyak lagi metode pemberiannya.
Pemberian secara Oral
Estradiol valerat sangat cepat dihidrolisa oleh usus
dan dimetabolisme oleh hepar. Kadar maksimum
tercapai dalam 6-8 jam dan lambat laun akan turun.
Kadarnya tidak akan turun secara tajam, sehingga 24
jam setelah penggunaan kadarnya masih cukup
tinggi.
Kadar estradiol serum sangat berbeda pada
setiap orang. Kadang-kadang pada pasien tertentu
tidak dapat dicapai konsentrasi serum yang cukup
sehingga untuk memperoleh konsentrasi yang
memadai diperlukan estradiol dosis tinggi, namun
pemberian dosis tinggi akan meningkatkan efek
samping. Hal ini diatasi dengan micronized estrogen.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 8/39

Struktur sediaan ini memperbesar permukaan dan


mempercepat proses absorpsi, sehingga mengurangi
hidrolisa di usus. Agar kadar hormon dalam serum
bertahan cukup lama, sebaiknya estrogen dikonsumsi
setelah makan atau pada saat perut tidak kosong.
Di Amerika Serikat, sulih hormon yang paling
banyak diberikan adalah estrogen saja. Estrogen
ekuin konjugasi (CEE) merupakan sediaan estrogen
yang paling banyak digunakan di AS. CEE merupakan
campuran yang terdiri dari estron (50%) dan ekuilin
(25%), ditambah dengan 17-hidroksiekuilin, ekuilenin,
17 -estradiol, and 17-dihidroekuilenin dalam bentuk
ester sulfat.
Di Eropa, sediaan estrogen yang banyak
digunakan adalah estradiol valerat dan kombinasi
estradiol, estron dan estriol. Estradiol oral akan
dimetabolisme menjadi estron di mukosa intestinal
dan hepar, sehingga meningkatkan konsentrasi serum
estron. Meskipun estron merupakan estrogen yang
lemah, namun karena adanya keseimbangan
reversible dengan estradiol sehingga dapat bekerja
menggantikan
estrogen
ovarium
pada
pascamenopause. Bentuk ketiga dari estrogen alami
yaitu estriol tidak diubah menjadi estradiol dan hanya
memiliki sedikit aktivitas biologis. Hanya 1-2% dari
seluruh estriol per oral yang dapat mencapai sirkulasi.
Estrogen Transdermal
Terdapat 3 cara pemberian estradiol transdermal,
yaitu plester reservoir, plester matriks dan gel.
Estrogen dapat secara parenteral untuk menghindari
first-pass effect di hepar. Estradiol yang diberikan
melalui transdermal terdiri dari hormon dalam solusio
alkohol yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi secara
konstan selama 3-4 hari. Pemberian secara
transdermal
sangat
dianjurkan
bagi
wanita
menopause yang memiliki tekanan darah tinggi,
dalam pengobatan dengan obat anti diabetes (OAD)
dan riwayat operasi batu empedu.
Estradiol dapat pula diberikan dalam bentuk
implan subkutan yang dapat bertahan selama
beberapa bulan, namun tingkat penurunan estradiol
serum sangat bervariasi dan beberapa wanita
mengalami gejala vasomotor meskipun dengan
konsentrasi supranormal. Oleh karena itu, pemberian
implan tidak boleh diulang hingga konsentrasi
estradiol serum sama dengan konsentrasi pada fase
mid-folikular siklus menstruasi.
Pemberian estradiol langsung ke dalam
sirkulasi juga dapat melalui pesarium atau gel vagina.

Resorbsi melalui dinding vagina sangat baik, tanpa


melalui metabolisme, sehingga konsentrasi dalam
darah bisa sangat tinggi.
7.
Sediaan
Progesteron

Kombinasi

Estrogen

dan

Pemberian estrogen saja dapat meningkatkan risiko


terjadinya
hiperplasia
bahkan
karsinoma
endometrium, maka wanita yang menggunakan terapi
sulih hormon dan tidak menjalani histerektomi diberi
progesteron sebagai tambahan. Untuk keperluan ini
digunakan progestogen sintetik, sebab progesteron
sangat sulit diabsorpsi meskipun diberikan dalam
bentuk mikro, selain itu juga sebuah laporan kasus
menyebutkan bahwa progesteron menimbulkan efek
hipnotik sedatif.
Progestogen memiliki aktivitas androgenik,
terutama derivat 19-nortestosteron seperti norgestrel
dan norethindron (noretisteron). Sebaliknya, derivat
C-21 pregnane seperti medroksiprogesteron asetat,
didrogesteron, medrogeston dan megestrol asetat
merupakan androgen yang sangat lemah. Tiga derivat
19-nortestosteron dengan efek androgenik yang dapat
diabaikan yaitu desogestrel, norgestimate dan
gestodene belakangan ini mulai digunakan sebagai
kombinasi kontrasepsi oral dan sulih hormon.
Sediaan sulih hormon yang terdapat di Indonesia
adalah:27
a) Estrogen, dalam bentuk 17 estradiol, estrogen
ekuin konjugasi (CEE), estropipat, estradiol
valerat dan estriol.
b) Progestogen, seperti medroksi progesteron asetat
(MPA), didrogesteron, noretisteron, linesterenol.
c) Sediaan kombinasi estrogen dan progestogen
sekuensial seperti 2 mg estradiol valerat + 10 mg
MPA, 2 mg estradiol valerat + 1 mg siproteron
asetat, 1-2 mg 17 estradiol + 1 mg noretisteron
asetat.
d) Sediaan kombinasi estrogen dan progestogen
kontinyu seperti 2 mg 17 estradiol + 1 mg
noretisteron asetat.
e) Sediaan yang bersifat estrogen, progesteron dan
androgen sekaligus, yaitu tibolon
f) Sediaan plester maupun krim yang berisi estrogen
berupa 17 estradiol.
g) Sediaan estrogen dalam bentuk krim vagina yang
berisi estriol.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 9/39

8. Jenis dan Dosis yang Dianjurkan


Selama ini, dosis yang digunakan untuk wanita Asia
yang rata-rata memiliki tubuh lebih kecil daripada
wanita Barat tetap berpedoman pada hasil penelitian
yang dilakukan pada wanita ras Kaukasia. Hingga kini
belum ada penelitian khusus untuk mengetahui
efektivitas dan efek samping serta keamanan
pemakaian sulih hormon terhadap wanita Asia. Berikut
adalah dosis yang dianjurkan di Indonesia. 27,28
Tabel 1. Dosis Anjuran Sulih Estrogen
Jenis
Kontinyu
Estrogen konjugasi
17 estradiol

Estradiol valerate
Estradiol

Oral
Oral
Transdermal
Subkutan
Oral
Oral

Dosis
0.3-0.4 mg
1-2 mg
50-100 mg
25 mg
1-2 mg
0,625-1,25 mg

Tabel 2. Dosis Anjuran Sulih Progesteron


Jenis
Progesteron
Medroksiprogesteron
asetat (MPA)
Siproteon asetat
Didrogesteron
Normogestrol asetat

Sekuensial
300 mg
10 mg

Kontinyu
100 mg
2,5-5 mg

1 mg
10-20 mg
5-10 mg

1 mg
10 mg
2,5-5 mg

The Hong Kong College of Obstreticians and


Gynaecologists dalam panduan klinisnya menyatakan

penggunaan terapi sulih hormon dapat dimulai


sebelum, saat atau beberapa tahun setelah
menopause atau tidak menggunakan sama sekali. 26
Jenis rejimen terapi sulih hormon yang digunakan
bergantung pada lamanya menopause dan riwayat
histerektomi sebelumnya.
Menurut National Health and Medical Research
Council (NHMRC) Australia27, rejimen terapi sulih
hormon yang diberikan bergantung pada keadaan
berikut:
a. Perimenopause
Estrogen kontinyu dan progestogen siklik
untuk
melindungi
endometrium
dan
menimbulkan perdarahan withdrawal teratur.
Progestogen yang paling sering digunakan
MPA (10 mg) dan noretisteron (0,7-1,25 mg),
digunakan selama 10-14 hari pertama setiap
bulan sesuai kalender.
Wanita dengan siklus yang relatif masih
teratur tetapi mempunyai gejala, progestogen
diberikan sesuai dengan siklus.
b. Pascamenopause
Rejimen sama dengan perimenopause
Wanita yang telah menopause sekurangnya
selama 2 tahun, diberi kombinasi estrogen-

c.

progestogen
(MPA
5
mg/hari
atau
noretisteron asetat 1mg/hari) kontinyu untuk
mencapai keadaan amenorea.
Wanita yang memulai terapi sulih hormon
sistemik pertama kali lebih dari 5 tahun
setelah menopause, terapi awal diberikan
dengan dosis yang sangat rendah (tablet
estron sulfat 0,3 mg, atau setengah tablet
0,625 mg tiap hari atau tiap 2 hari) dan
ditingkatkan secara progresif dalam 1-3 bulan
untuk mencapai dosis optimal.
Dosis estrogen yang efektif dalam mencegah
kehilangan masa tulang pada sebagian besar
wanita adalah CEE dan estron sulfat 0,625
mg, estradiol oral 2 mg dan transdermal 50
g.
Menopause prematur
Dapat digunakan kombinasi kontrasepsi oral
dosis rendah sampai usia 45-50 tahun (atau
sampai 35 tahun pada wanita perokok),
kemudian diganti ke rejimen terapi sulih
hormon standar.
Dapat digunakan terapi sulih hormon
konvensional pada usia berapa pun, tetapi
dosis estrogen yang digunakan lebih tinggi
daripada wanita yang lebih tua (contoh CEE
1,25-2,5 mg tiap hari; estradiol transdermal
100-200 g).

9. Lama Penggunaan

The Hong Kong College of Obstreticians and


Gynaecologists26 dalam panduannya menyatakan

tidak ada aturan mengenai lama penggunaan terapi


sulih hormon, tetapi berdasarkan hasil studi WHI
disarankan agar berhati-hati bila meresepkan terapi
sulih hormon jangka panjang.
Menurut NHMRC29 lamanya pemberian terapi sulih
hormon adalah sebagai berikut:
Untuk penatalaksanaan gejolak panas, pemberian
terapi sulih hormon sistemik selama 1 tahun dan
kemudian dihentikan total secara berangsurangsur (dalam periode 1-3 bulan) dapat efektif.
Untuk perlindungan terhadap tulang dan
menghindari atrofi urogenital, pemakaian jangka
lama diindikasikan tetapi lamanya waktu yang
optimal tidak diterangkan dengan jelas.
Setelah penghentian terapi masih terdapat
manfaat untuk perlindungan terhadap tulang dan
koroner, tetapi menghilang bertahap setelah
beberapa tahun.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 10/39

Mengacu pada hasil penelitian terbaru dari


WHI, lama pemakaian terapi sulih hormon di
Indonesia maksimal 5 tahun. Hal ini ditentukan
berdasarkan aspek keamanan penggunaan terapi sulih
hormon jangka panjang.
10. Efek Samping Terapi Sulih Hormon
Seperti semua obat lainnya, sulih hormon dapat
menimbulkan efek samping. Efek samping terkait
estrogen berupa mastalgia (nyeri pada payudara),
retensi cairan, mual, kram pada tungkai dan sakit
kepala. Kenaikan tekanan darah dapat terjadi, namun
sangat jarang. Perlu untuk menginformasikan kepada
pasien bahwa mastalgia tidak berkaitan dengan
kanker payudara. Sedangkan efek samping terkait
progestin antara lain retensi cairan, kembung, sakit
kepala dan mastalgia, kulit berminyak dan jerawat,
gangguan mood dan gejala seperti gejala
pramenstrual.
Perdarahan vagina merupakan keluhan yang
sering ditemui dan meresahkan pasien. Penggunaan
progestin kontinyu dapat menyebabkan perdarahan
vagina yang tidak dapat diprediksi polanya, dengan
atau tanpa spotting selama beberapa bulan. Sebanyak
5-20% dari wanita ini bisa pernah mengalami
amenorea dan mungkin beralih ke terapi hormon siklik
yang memberikan pola perdarahan yang lebih dapat
diprediksi. Keluhan-keluhan ini menghilang sendiri
dalam beberapa bulan atau dengan mengganti jenis
dan dosis sulih hormon. Pada pemakaian plester
dapat terjadi iritasi kulit.
Banyak orang berpendapat bahwa pemakaian
terapi sulih hormon dapat menyebabkan penambahan
berat badan namun berbagai penelitian tidak
membuktikan adanya hubungan antara sulih hormon
dengan kenaikan berat badan permanen. Nafsu
makan memang meningkat, namun diperkirakan
akibat wanita tersebut merasa sehat dan nyaman.
Pemberian terapi sulih hormon mempengaruhi
distribusi lemak, terutama pada panggul dan paha,
namun tidak pada perut. Perlu diingat bahwa 45%
wanita mengalami kenaikan berat badan pada usia
50-60 tahun meskipun mereka tidak mendapatkan
terapi sulih hormon.30
11. Tata Laksana Efek Samping
Perdarahan vagina
Tidak ada kriteria universal yang digunakan untuk
mendefinisikan perdarahan abnormal dan yang

memerlukan evaluasi lebih lanjut. Kriteria berikut ini


dapat digunakan bagi klinisi untuk tetap waspada dan
meminimalkan tindakan biopsi endometrium yang
tidak perlu.
Wanita dengan terapi hormon siklik
Perdarahan normal dapat terjadi pada akhir fase
progestogen pada siklus. Evaluasi setiap
perubahan signifikan terhadap pola normal ini
atau adanya perdarahan pada waktu lain.
Perdarahan yang terjadi pada wanita lebih muda
biasanya berhenti setelah fungsi ovarium berhenti
total. Sedangkan pada wanita yang telah
mengalami amenorea beberapa tahun, mengganti
ke terapi hormon kontinyu dapat membantu. Jika
dari biopsi endometrium memperlihatkan aktivitas
proliferasi persisten selama fase progestogen,
dosis progestogen dapat dinaikkan jika masih
dapat ditoleransi.
Wanita dengan terapi hormon kontinyu
Evaluasi setiap perdarahan yang terjadi setelah 6
bulan amenorea atau yang bertahan setelah 6
bulan penggunaan terapi hormon. Spotting dan
perdarahan iregular dapat menetap sampai
beberapa bulan setelah pindah dari terapi hormon
siklik ke kontinyu, sekalipun pada wanita yang
telah amenorea selama beberapa waktu.
Perdarahan ini umumnya akan membaik dengan
penambahan dosis progestogen. Pilihan lain
adalah alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang
mensekresikan
levonorgestrel
daripada
progesteron oral. Peningkatan dosis estrogen
dapat dilakukan selama evaluasi dalam batas
normal. Banyak wanita pada akhirnya kembali
menggunakan terapi hormon siklik untuk
mendapatkan pola perdarahan yang lebih teratur.
Namun, perdarahan tidak harus selalu terjadi
setiap bulan, perdarahan setiap 3-4 bulan masih
cukup untuk mencegah terjadinya hiperplasia
endometrium.
Menurut pedoman dari The Hong Kong College of
Obstreticians and Gynaecologists, penatalaksanaan

perdarahan tidak teratur pada penggunaan terapi


sulih hormon adalah sebagai berikut:
Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon
kombinasi siklik
Beberapa wanita dapat mengalami amenorea
pada penggunaan rejimen ini dan biopsi tidak
diperlukan. Perdarahan muncul di sekitar
penghentian
pemberian
progestogen.
Jika
perdarahan muncul di luar waktu tersebut atau

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 11/39

tetap tidak teratur, direkomendasikan untuk


dilakukan biopsi endomerium.
Wanita yang menggunakan terapi sulih hormon
kombinasi kontinyu.
Idealnya, wanita yang menggunakan rejimen ini
mengalami amenorea dalam 4 bulan setelah
penghentian terapi. Perdarahan bercak muncul
pada beberapa bulan di awal penggunaan terapi.
Bila amenorea muncul lebih awal dan diikuti
dengan perdarahan yang tidak teratur, dilakukan
biopsi endometrium.
Penambahan berat badan
Pada masa klimakterik, kebanyakan wanita mengalami
penambahan berat badan dan peningkatan proporsi
lemak pada sentral abdomen. Hal ini tidak berkaitan
dengan terapi hormon. Beberapa wanita mengalami
mastalgia dan retensi cairan segera setelah memulai
terapi hormon dan gejala ini dapat memberikan
keluhan subjektif berupa penambahan berat badan.
Keluhan ini akan membaik setelah beberapa bulan.
Edukasi penting untuk membantu pasien menghadapi
keluhan ini. Selain itu, penimbangan berat badan
pada setiap kunjungan dapat meyakinkan pasien,
bahwa walaupun terdapat perubahan distribusi lemak
tubuh, namun berat badan mereka tetap relatif stabil.
Sakit kepala
Keluhan ini dapat berkurang dengan menurunkan
dosis estrogen atau mengganti sediaan dari oral ke
transdermal.
Efek samping estrogenic
Retensi cairan dan sakit kepala berkaitan dengan baik
estrogen dan progestogen, modifikasi progestogen
terlebih dahulu biasanya merupakan strategi yang
lebih baik. Mastalgia membaik dengan menurunkan
dosis estrogen, atau dengan menyesuaikan dosis
progestogen jika gejala terjadi secara siklik.
Penggantian
ke
estrogen
transdermal
dapat
mengurangi mual.
Efek samping progestogenik
Retensi cairan dan sakit kepala yang tidak membaik
dengan modifikasi dosis progestogen, pertimbangkan
untuk memodifikasi komponen estrogen. MPA adalah
yang paling sering digunakan, namun agen lain
seperti micronized progesterone (Prometrium) dapat
ditoleransi lebih baik.
Terapi hormon kontinyu, dengan absorbsi
sistemik yang lebih konstan bila dibandingkan dengan
terapi hormon siklik, dapat dilakukan untuk

mengurangi keluhan mastalgia, sakit kepala, dan


gejala seperti premenstruasi jika penyesuaian
terhadap dua komponen di atas tidak efektif. Alat
kontrasepsi dalam rahim yang mensekresikan
levonorgestrel
dan
supositoria
vagina
yang
mengandung progesteron diabsorbsi sangat minimum
secara
sistemik,
namun
tetap
memberikan
perlindungan
optimal
terhadap
endometrium.
Menggunakan progestogen siklik selama 14 hari
penuh tetapi hanya setiap 3 bulan, juga
meminimalkan frekuensi efek samping. Tetapi belum
diketahui
apakah
rejimen
ini
menyediakan
perlindungan terhadap endometrium sebaik terapi
hormon standar yang diberikan setiap bulan.
12. Monitoring

The Hong Kong College of Obstreticians and


Gynaecologists dalam panduannya menyatakan

pemeriksaan berikut sering dilakukan, tetapi masih


belum ada kesepakatan menyeluruh mana dari jenis
pemeriksaan tersebut yang esensial.26
1. Pada kunjungan pertama
FSH/LH/E2 untuk memastikan menopause
(bila gambaran klinis atipikal).
Profil lipid, liver function test (LFT), bone
biochemistry, TSH.
Mammografi
2. Pada setiap kunjungan
Urinalisis
Tekanan darah
3. Setiap 2 tahun
Pemeriksaan fisik
Profil lipid, LFT
Glukosa puasa
Mammografi
4. Atas indikasi
Densitas mineral tulang.
Interpretasi mamogram harus dilakukan
secara hati-hati karena sensitivitas mamografi dalam
mendeteksi kanker payudara sedikit lebih rendah pada
pengguna terapi sulih hormon dibanding pada wanita
yang tidak menggunakan. Pemeriksaan Pap smears
harus dilakukan secara rutin pada semua wanita yang
memiliki uterus. Kepatuhan terhadap terapi, kontrol
gejala, efek samping (bila ada) dan pola perdarahan
pada terapi kombinasi harus dicatat pada setiap
kunjungan. Wanita yang menggunakan terapi sulih
hormon juga dianjurkan untuk waspada terhadap
setiap perubahan pada payudaranya.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 12/39

NHMRC27 dalam rekomendasinya menyatakan


pemeriksaan pada wanita yang menggunakan terapi
sulih hormon penting dan harus meliputi:
1. Pemeriksaan setiap tahun
Tekanan darah
Pemeriksaan payudara
Mamogram (tiap tahun mulai dari umur 40
tahun bila terdapat riwayat kanker payudara
dalam keluarga yang menempatkan wanita
tersebut pada faktor risiko sedang atau
potensial tinggi untuk menderita kanker
payudara)
Pemeriksaan abdomen dan pelvis
2. Pemeriksaan setiap 2 tahun
Mamogram (tiap 2 tahun dari usia 50 tahun
bila tidak ada individu atau riwayat kanker
payudara dalam keluarga).
Pap smear (tiap 2 tahun atau menurut
guideline NHMRC)
3. Pemeriksaan
pilihan
(optional
checks),
bergantung pada riwayat:
Bone densitometry: Diindikasikan bila dapat
membantu dalam mengambil keputusan
untuk memulai atau meneruskan terapi sulih
hormon dan pada keadaan spesifik lain.
Lumbar
spine
absorptiometry
(DXA)
merupakan teknik yang lebih disukai,
meskipun quantitative CT of the spine (QCT)

dan photon absorptiometry dari lengan bawah


atau tumit juga memberikan informasi yang
berguna.
Lipid: total kolesterol, HDL dan trigliserida
FSH: bila diagnosis menopause masih
diragukan, contohnya setelah histerektomi.
Di samping itu juga penting untuk memantau
kepatuhan terhadap terapi karena banyak wanita
yang sulit untuk patuh pada rejimen terapi sulih
hormon jangka panjang. Masalah yang harus
diperhatikan:
Under-dosage (kegagalan mengontrol secara
adekuat semua gejala atau untuk memberikan
dosis yang adekuat untuk mencegah kehilangan
masa tulang).
Efek samping (seperti breast tenderness, pelvic
congestive ache, kadang-kadang retensi cairan
atau penambahan berat badan). Pada keadaan ini
dilakukan penurunan dosis sementara.
Perdarahan abnormal (pemeriksaan endometrium
dilakukan bila perdarahan memanjang, berulang
atau berat).
Biasanya
direkomendasikan
kunjungan
kontrol
pertama 1-2 bulan setelah memulai terapi sulih
hormon dan kedua pada bulan ke 6.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 13/39

Gambar 1. Algoritme Penggunaan terapi sulih hormon pada wanita menopause 9


Gejala Menopause
Tidak ada

Tidak
perlu
HRT

Faktor risiko
osteoporosis
(-)

Ada
Diskusikan
penggunaan HRT
dengan pasien

Faktor risiko
osteoporosis
(+)

HRT (-)

HRT (+)

Pilihan terapi lain

Riwayat Kanker
payudara

Periksa densitas
mineral tulang

Densitas tulang
Normal

Densitas tulang
rendah

Diet dan gaya


hidup sehat

Pilihan HRT
atau alternatif

Faktor risiko
PJK (+)

Penanganan
hipertensi

Terapi dengan
statin

Perubahan diet
dan gaya hidup

Diskusikan terapi
lain,
pertimbangkan
HRT

Riwayat Keluarga
dengan Kanker
Payudara

HRT jangka
pendek

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 14/39

Gambar 2. Algoritme pemberian terapi sulih hormon (The Hong Kong College of Obstreticians and Gynaecologists
Guideline).26
Keputusan untuk menggunakan
terapi sulih hormon.
YA

Apakah terdapat kontraindikasi absolut?

Terapi sulih hormon


tidak diberikan.

TIDAK

Pemeriksaan dasar dilengkapi


Memulai pemberian terapi sulih hormon.

Riwayat histerektomi
sebelumnya

Uterus intak
Amenorea < 2 tahun

Uterus intak
Amenorea > 2 tahun

Estrogen saja

Terapi sulih hormon


siklik (sekuensial)

Terapi sulih hormon


kombinasi kontinyu

Monitor setiap 2 tahun

C. Efek Pemberian Terapi Sulih Hormon


1. Apakah terapi sulih hormon bermanfaat
untuk menghilangkan gejala menopause?
Jawaban: Ya (Level of evidence 1a)
Rasional:
Meta-analisa yang dilakukan oleh Mac Lennan
dkk. dalam Cochrane review (2004)31 menyatakan
bahwa terdapat penurunan frekuensi gejala hot
flush perminggu yang signifikan pada pemberian
terapi hormon peroral, baik estrogen saja maupun
kombinasi estrogen dan progesteron bila
dibandingkan dengan plasebo (Weighted Mean
Difference-WMD
17.46,
95%
Confidence
Interval-CI, -24.72- -10.21). Hasil ini ekuivalen
dengan penurunan frekuensi hot flush sebanyak
77% (95% CI, 58.2-87.5) pada kelompok yang

menerima sulih hormon dibandingkan dengan


plasebo. Keparahan gejala juga secara signifikan
mengalami penurunan (Odds Ratio-OR 0.13, 95%
CI 0.08-0.22). Adapun penghentian terapi karena
kurangnya efikasi yang dirasakan pasien, secara
signifikan lebih banyak terjadi pada kelompok
plasebo (OR 17.25, 95% CI 8.23-36.15).
Penghentian karena efek samping, lebih banyak
terjadi pada kelompok terapi, tetapi tidak
signifikan (OR 1.38, 95% CI 0.87-2.21). Pada
akhir studi, terdapat penurunan frekuensi hot
flush yang signifikan yaitu 50.8% pada kelompok
terapi dibandingkan dengan data dasar (95% CI
41.7-58.5). Sehingga disimpulkan bahwa sulih
hormon oral memiliki efektivitas yang tinggi dalam
menghilangkan
gejala
vasomotor.
Lama
pemakaian hormon berkisar antara 3 bulan
sampai 3 tahun. Dosis yang digunakan untuk
studi-studi
yang
dilakukan
meta-analisa:

micronized estradiol

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 15/39

Penggunaan progesteron saja sebagai


agen untuk menghilangkan keluhan hot flush
dalam beberapa studi dilaporkan memberikan
hasil yang cukup baik. Data awal menyebutkan
bahwa
megestrol
asetat,
sebuah
agen
progestational bisa menurunkan frekuensi hot
flush. Sebuah studi nonblinded melaporkan bahwa
megestrol asetat dengan dosis harian 20, 40 dan
80 mg bisa mengurangi hot flush pada
menopause sebanyak 80, 89 dan 98%. Efek
menguntungkan dari agen progestasional lain
terhadap hot flush pada menopause juga telah
dilaporkan.
ICSI Health Guideline menyatakan CEE
dengan dosis 0.3 mg per hari atau estradiol 0.51.0 mg per hari diperkirakan efektif untuk
menghilangkan hot flush. Untuk menopause
akibat bedah, beberapa wanita mungkin
memerlukan CEE 2.5 mg per hari.32
a. Keluhan Urogenital
i. Atrofi vagina-dispareuni
Jawaban: Ya (Level of evidence 1a)
Rasional:
Atrofi vagina pada wanita pascamenopause
dalam beberapa literatur disebutkan memiliki
etiologi defisiensi estrogen. Keluhan meliputi
vagina kering, gatal, rasa tidak nyaman, dan
nyeri saat melakukan hubungan seksual
(dispareuni). Untuk mengatasi keluhan ini, sulih
hormon telah lama menjadi pilihan utama.
Namun, pemberian sulih hormon sistemik dalam
bentuk sulih hormon oral tidak selalu
diperlukan. Pilihan lain adalah preparat estrogen
lokal seperti dalam bentuk krim, pesarium,
tablet dan estradiol releasing ring.
Vestergaard P. dkk (2003)33 melaporkan
bahwa terapi sulih hormon secara cepat dan
signifikan dapat mengurangi gejala vagina
kering pada sebuah studi RCT. Studi tersebut
dilakukan terhadap 1006 wanita postmenopause
awal yang berumur antara 48-58 tahun.
Intervensi yang diberikan berupa 2 mg estradiol
setiap hari selama 12 hari, dilanjutkan dengan 2
mg estradiol plus 1 mg norethisteron asetat per
hari selama 10 hari berikutnya dan diakhiri

dengan 1 mg estradiol untuk 6 hari (Triquens


TM
, Novo Nordisk, Denmark) pada wanita
dengan uterus, sedangkan untuk yang telah
menjalani histerektomi diberikan 2 mg estradiol
kontinyu (Estrofem TM, Novo Nordisk, Denmark).
Studi berlangsung selama 5 tahun. Pada akhir
studi ditemukan sekitar 15% wanita pada
kelompok terapi mengalami keluhan vagina
kering, sedangkan pada kelompok kontrol
keluhan
terjadi
pada
30-40%
sampel.
Konsekuensinya, keluhan dispareuni lebih
sedikit pada pasien dengan terapi sulih hormon
dibandingkan dengan plasebo (p<.01). Selain
itu, penurunan libido cenderung lebih sedikit
pada kelompok terapi (p=0.08). Pada studi ini
tidak terdapat perbedaan efek antara terapi
estrogen saja dengan kombinasi estrogen
progesteron terhadap keluhan vagina kering
atau derajat dispareuni.
Mengenai preparat terapi sulih hormon
yang digunakan, review dari Cochrane 2004 31
mencakup 16 uji klinis dengan 2129 responden,
melaporkan
perbandingan
efektivitas,
keamanan dan penerimaan pasien terhadap
preparat estrogen pada wanita yang mengalami
atrofi vagina. Didapatkan hasil, terdapat
efektivitas yang sama untuk krim, cincin dan
tablet serta perbedaan yang signifikan dalam
mengurangi gejala akibat atrofi vagina bila
dibandingkan dengan plasebo dan gel non
hormonal. Satu uji menemukan efek samping
yang signifikan pada pemakaian krim CEE
dibandingkan dengan tablet berupa perdarahan
uterus, nyeri payudara dan nyeri perineum. Uji
yang lain menemukan stimulasi endometrium
yang
signifikan
pada
pemakaian
krim
dibandingkan dengan cincin. Sebagai terapi
pilihan, estradiol releasing ring menjadi terapi
pilihan
untuk
kemudahan
pemakaian,
kenyamanan produk dan kepuasan secara
keseluruhan.
ii. Inkontinensia
Jawaban:
Terapi Estrogen: Tidak (Level of evidence 1a)
Kombinasi estrogen progesteron: Tidak (level of
evidence 1a)

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 16/39

Rasional:
Sherburn M dkk34 (2001) melaporkan
bahwa inkontinensia urin pada wanita
perimenopause lebih berkaitan dengan faktor
mekanik daripada faktor transisi menopause.
Hasil ini didapatkan dari sebuah studi crosssectional yang diikuti oleh 1.897 responden
dengan follow-up selama 7 tahun.
Sebuah meta-analisa tentang evaluasi
efikasi terapi estrogen dalam tata laksana
wanita pascamenopause dengan inkontinensia
urin dilaporkan oleh Fantl dkk. pada tahun
1994. Meta-analisa dilakukan terhadap 6 RCT
yang dipublikasikan dari Januari 1969 sampai
Juni 1992 dengan besar sampel 159. Usia
sampel berkisar antara 42-92 tahun. Diagnosis
inkontinens dibuat berdasarkan gejala klinis dan
evaluasi urodinamik. Regimen yang digunakan
hanya sediaan estrogen saja dengan dosis 1-4
mg peroral dan 4 g pervaginam dengan durasi
1-3 bulan. Efek terapi sulih hormon yang dinilai
adalah perbaikan secara subjektif, jumlah cairan
yang hilang dan tekanan penutupan uretra
maksimal. Analisa data dilakukan untuk 2
subgrup, yaitu semua subyek dan subyek
dengan inkontinensia stres murni. Hasil yang
didapat, secara keseluruhan terdapat efek yang
signifikan secara subyektif pada semua subyek
(p<.01) dan untuk subyek dengan inkontinensia
stress murni (p<.05). Tidak terdapat hasil yang
signifikan pada kuantitas cairan yang hilang.
Terdapat efek signifikan (p<.05) pada tekanan
penutupan uretra maksimal, namun hanya
berasal dari 1 studi.
Kesimpulan: estrogen secara subyektif
memperbaiki inkontinensia urin pada wanita
postmenopause. Walaupun begitu, kesimpulan
di atas diambil dari analisa studi dengan grup
nonhomogen serta kriteria diagnostik, intervensi
terapeutik dan penilaian keluaran yang
bervariasi.35
Moehrer B. dkk. (2003)36 dalam Cochrane
Review
melaporkan
bahwa
penggunaan
estrogen untuk terapi inkontinensia urin
mungkin dapat memberikan manfaat, utamanya
untuk urge incontinence. Analisa dilakukan
melalui observasi pasien, beratnya gejala,
pemeriksaan oleh dokter, kualitas hidup,
dampak sosial ekonomi dan kejadian samping
yang tidak diharapkan. Secara subyektif, terlihat

perbaikan pada 50% wanita yang diterapi


dibandingkan dengan 25% pada plasebo. Untuk
penilaian lain, tidak ditemukan adanya
perbedaan yang signifikan antara kelompok
terapi dengan plasebo. Didapatkan kesimpulan
bahwa terapi estrogen dapat memperbaiki atau
menyembuhkan
terutama
untuk
urge
incontinence. Namun, hasil tersebut mungkin
tidak
cukup
untuk
merekomendasikan
pemakaiannya karena bukti ilmiah yang
dianalisa dalam review ini umumnya dengan
sampel kecil serta berbeda dalam tipe, dosis
dan lama terapi estrogen diberikan. Selain itu,
risiko penggunaan estrogen jangka panjang
(lebih dari 5 tahun) menjadikan terapi ini
dianjurkan hanya untuk jangka waktu terbatas,
terutama pada wanita yang masih memiliki
uterus. Sebaliknya, kombinasi estrogen dan
progesteron dilaporkan justru mengurangi
kemungkinan perbaikan atau penyembuhan
sehingga
tidak
direkomendasikan
untuk
diberikan
pada
pasien
dengan
gejala
inkontinensia saja.
Meta-analisa
ini
juga
menganalisa
perbandingan efektivitas estrogen terhadap
terapi lain, kombinasi estrogen dan terapi lain
terhadap plasebo, kombinasi terapi lain
terhadap estrogen, antar tipe estrogen, cara
pemberian estrogen, dan antara dosis tinggi
terhadap dosis rendah. Interpretasi review ini
menjadi lebih rumit karena perbedaan antara
studi baik dari segi tipe dan dosis estrogen, cara
pemberian, dan tipe inkontinensia yang diteliti.
Selain itu, kualitas metodologi penelitian
umumnya sedang dan sampel yang diteliti kecil.
Sehingga tidak dapat dihasilkan suatu
kesimpulan untuk menentukan pernyataanpernyataan tersebut.
2. Apakah pemberian terapi sulih hormon
pada
wanita
perimenopause
dapat
menurunkan risiko terjadinya osteoporosis
pascamenopause?
Jawaban: Ya (level of evidence 1a)
Rasional:
Osteoporosis merupakan penyebab morbiditas
dan mortalitas yang penting pada wanita
pascamenopause. Defisiensi estrogen yang terjadi
setelah menopause mempercepat hilangnya masa

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 17/39

tulang yang berhubungan dengan meningkatnya


risiko fraktur. Segera setelah menopause, masa
tulang menurun 3-5% per tahun, setelah usia 65
tahun masa tulang masih terus menurun 0.5-1%
per tahun.37
Estrogen mencegah terjadinya osteoporosis
dengan menghambat resorpsi tulang. Estrogen
secara langsung menghambat fungsi kerja
osteoklas, sehingga memperlambat hilangnya
masa tulang, mempertahankan masa tulang dan
mengurangi risiko terjadinya fraktur.20
Sebuah meta-analisa oleh Wells dkk. (2002)38
menyebutkan bahwa terapi sulih hormon
(estrogen dengan atau tanpa progestin)
menunjukkan manfaat yang besar dalam
meningkatkan densitas tulang di semua lokasi
pemeriksaan. Namun hasil analisa tidak
menunjukan adanya manfaat yang bermakna
dalam menurunkan risiko fraktur vertebra (RR
0.66, 95% CI 0.41-1.07) dan fraktur nonvertebra
(RR 0.87, 95% CI 0.71-1.08).
Sebuah RCT terbaru (2003) oleh The
Womens Health Initiative 21 mengenai pengaruh
CEE (0.625 mg) dan MPA (2.5 mg) terhadap risiko
fraktur mengemukakan hal yang agak berbeda.
Penelitian
ini
melibatkan
16.608
wanita
pascamenopause berusia antara 50-79 tahun
(mean 63 tahun) yang sebagian besar (39.68%)
telah mengalami menopause 10-19 tahun, dengan
lama follow up selama 5.6 tahun. Dalam
laporannya
disebutkan
bahwa
pemberian
estrogen-progestin menurunkan risiko fraktur
tulang panggul sebesar 33% (HR 0.67; 95% CI
0.47-0.96; adjusted CI 0.41-1.10). Pada analisa
subgrup, kelompok terapi dengan asupan kalsium
>1200 mg/hari, mengalami penurunan risiko
sebesar 60%. Pemberian terapi sulih hormon ini
juga menunjukkan efek positif pada densitas
tulang (BMD). Total BMD panggul meningkat
sebesar 1.7% pada tahun pertama terapi dan
3.7% setelah tahun ketiga.
Dosis estrogen konjugasi yang umum
digunakan adalah 0.625 mg, namun beberapa
RCT telah membuktikan manfaat pemberian
estrogen dosis rendah (<0.625 mg) dalam
mencegah osteoporosis. Sebuah RCT mengenai
manfaat pemberian sulih hormon (estrogen
konjugasi
dengan
atau
tanpa
medroksiprogesteron)
dosis
rendah
dalam

mencegah osteoporosis menopause dilakukan


oleh Lindsay dkk. (2002)39 yang dikenal sebagai
Womens HOPE trial. Subyek penelitian, 822
wanita pascamenopause berusia 40-65 tahun,
mendapatkan berbagai kombinasi dosis hormon
atau plasebo setiap hari selama 2 tahun. Selain
itu, mereka juga mendapatkan suplemen kalsium
600 mg/hari. Pada akhir penelitian, seluruh
kelompok terapi mengalami peningkatan densitas
tulang vertebra yang bermakna (P<0.001)
dibandingkan dengan nilai pemeriksaan awal.
Pada penilaian densitas tulang panggul, terdapat
peningkatan
bermakna
kelompok
terapi
dibandingkan
dengan
kelompok
plasebo
(P<0.001). Dari pengukuran body mineral content
(BMC), didapatkan peningkatan bermakna pada
seluruh
kelompok
terapi
(P<0.001)
dan
penurunan bermakna pada kelompok plasebo
(P<0.001). Dari hasil penelitian tersebut, diambil
kesimpulan bahwa pemberian estrogen maupun
kombinasi estrogen-progestin dalam dosis yang
lebih rendah dari 0.625 mg dan 2.5 mg efektif
meningkatkan
BMD
dan
BMC
pada
pascamenopause.
Sediaan sulih hormon yang terbanyak digunakan
adalah
bentuk
oral.
Meskipun
demikian,
pemberian sulih estrogen transdermal telah
dibuktikan
bermanfaat
dalam
mencegah
terjadinya osteoporosis pascamenopause. Weiss
dkk (1999)37 melakukan sebuah RCT untuk
membuktikan
manfaat
17-estradiol
(E2)
transdermal dalam 4 dosis yang berbeda dalam
mencegah osteoporosis pascamenopause. Setelah
2 tahun penelitian didapatkan hasil bahwa
pemberian E2 transdermal dapat meningkatkan
nilai rerata densitas tulang lumbal dan panggul.
Kenaikan ini secara statistik lebih tinggi
dibandingkan plasebo. Sayangnya, studi ini tidak
membandingkan manfaat masing-masing dosis
yang diteliti. Kelemahan lain studi ini adalah
besarnya angka drop out.
3. Apakah pemberian terapi sulih hormon
pada
wanita
perimenopause
dapat
memperbaiki profil lipid
Jawaban: Ya (Level of Evicence 1b )
Rasional:
Penelitian

Estrogen/Progestin

dari
Postmenopausal
Intervension (PEPI) trial

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 18/39

(1995) berupa randomized, plasebo controlled


dengan 875 responden menggunakan kombinasi
CEE saja, kombinasi CEE dengan MPA siklik, CEE
dan MPA harian atau kombinasi CEE dengan
micronized progesteron (MP) siklik. Semua bahan
aktif menyebabkan penurunan rerata LDLkolesterol dan meningkatkan rerata kadar
trigliserida bila dibandingkan dengan plasebo.
Semua terapi estrogen meningkatkan HDLkolesterol dengan peningkatan terbesar terjadi
pada wanita yang mendapat CEE saja (5.6 mg/dl)
atau CEE ditambah MP (4.1 mg/dl). Peningkatan
HDL oleh estrogen dan progestin merupakan
suatu hal yang penting karena HDL merupakan
prediktor penting untuk penyakit arteri koroner
pada wanita. Estrogen transdermal memiliki efek
yang lebih kecil terhadap lipid dibandingkan
dengan secara oral dan tidak memiliki efek apaapa terhadap HDL-kolesterol.1
Pada studi yang sama, penambahan progestin
mungkin mengurangi penurunan LDL dan
kenaikan HDL walaupun tidak sampai ke level preestrogen atau plasebo. Penambahan progesteron
tersebut juga bisa menurunkan peningkatan
trigliserida yang terjadi pada pemakaian estrogen
saja. Efek progestin pada kadar kolesterol
bervariasi secara signifikan sesuai dosis dan jenis
progestin, terutama tergantung pada tingkat
androgenisitasnya.1
Speroff dkk. (1996)40 melalui CHART Study Group
melaporkan terdapat perubahan yang positif pada
rasio kolesterol lipoproterin tinggi terhadap
kolesterol lipoprotein densitas rendah pada semua
grup terapi.
Studi
ini bertujuan untuk
membandingkan efek dari kombinasi noretindron
asetat (NA)-etinil estradiol (EE2) kontinyu dengan
EE2 saja atau plasebo. Lama follow-up 2 tahun,
sampel adalah 1265 wanita asimptomatik atau
dengan gejala ringan berusia 40 tahun atau lebih
yang telah mengalami menopause spontan pada 5
tahun terakhir dan memiliki uterus utuh. Pasien
secara acak menerima plasebo atau 1 dari 8 grup
terapi: 0.2 mg NA dan 1 g EE2; 0.5 mg NA dan
2.5 g EE2; 1 mg NA dan 5 g EE2; 1 mg NA dan
10 g EE2; 1 g EE2; 2.5 g EE2; 5 g EE2 atau
10 g EE2. Didapatkan hasil bahwa semua grup
terapi secara signifikan mengalami penurunan
LDL-C dari nilai dasar pada bulan ke-24 kecuali
pada grup 1 g EE2 (p<0.05). Semua grup EE2
mengalami peningkatan yang signifikan pada
HDL-C (p<0.05). Semua grup terapi mengalami

kenaikan kadar trigliserida pada bulan ke-24.


Ratio HDL-C dan LDL-C memberikan nilai positif
pada semua grup terapi; dengan persentase
perubahan ratio dari data dasar berkisar antara
9%-33% untuk grup EE2 dan 11% untuk grup
NA-EE2. Sehingga disimpulkan bahwa terapi
harian NA-EE2 dapat ditoleransi dengan baik dan
efeknya secara keseluruhan terhadap profil lipid
darah baik.
Pada studi HERS, selama tahun pertama
studi, LDL kolesterol turun sebanyak 14% pada
grup terapi dan 3% pada grup plasebo. HDL
kolesterol meningkat sebanyak 8% dan trigliserida
sebanyak 10% pada grup terapi sedangkan pada
grup plasebo HDL menurun sebanyak 2% dan
trigliserida meningkat sebanyak 2%. 1 Namun,
untuk studi ini yang utamanya ditujukan untuk
mengetahui efek HRT sebagai pencegahan primer
penyakit kardiovaskular, kadar lipid serum hanya
sebagai keluaran sekunder.
Secara umum, pemberian HRT dapat
memperbaiki
profil
lipid
darah
dengan
menurunkan LDL kolesterol, meningkatkan HDL
serta trigliserida.
4. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
menurunkan risiko kanker kolorektal?
Jawaban: Ya (Level of evidence Ib)
Rasional:
Estrogen eksogen dianggap dapat mengurangi
risiko kanker kolorektal dengan cara mengurangi
konsentrasi cairan empedu di kolon, menurunkan
produksi insulin-like growth factor I, bekerja
langsung pada mukosa kolon atau gabungan dari
kedua mekanisme tersebut.41,42 Cairan empedu
dalam konsentrasi tinggi dalam kolon terbukti
meningkatkan kejadian kanker kolon pada
binatang percobaan. Pada pasien kanker kolon,
didapatkan konsentrasi cairan empedu fekal yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang sehat.41,43
Manfaat estrogen dalam menurunkan risiko
kanker kolorektal ini didukung oleh banyak studi
observasional. (Calle dkk. [1995], Grodstein dkk.
[1998], Prihartono dkk. [2000])42,43,44
Chlebowski dkk (2004)45 melaporkan hasil
penelitian WHI mengenai hubungan pemberian
terapi sulih hormon pascamenopause dengan

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 19/39

kanker kolorektal terhadap 16.608 wanita


pascamenopause. Dari penelitian ini didapatkan
bahwa wanita pada kelompok terapi lebih sedikit
yang menderita kanker kolorektal dari tipe
histologis apapun dibandingkan dengan kelompok
plasebo (HR 0.61; 95% CI 0.42-0.87; P=0.007).
Namun pada kelompok terapi, kanker yang
ditemukan berada pada stadium yang lebih tinggi
dibandingkan kelompok plasebo.
Mengenai lama penggunaan sulih hormon yang
efektif menurunkan risiko kanker kolorektal,
beberapa penulis menyatakan jangka waktu yang
berbeda. Calle menyebutkan bahwa efek proteksi
estrogen terhadap kanker kolon fatal maksimal
terjadi setelah penggunaan selama 11 tahun.42
Prihartono menyebutkan berdasarkan studi kasus
kontrol yang dilakukannya, penurunan risiko
kanker kolon terbesar terjadi setelah pemakaian
sulih hormon selama paling kurang 10 tahun43.
Sedangkan Grodstein menyebutkan bahwa efek
proteksi maksimal terjadi setelah pemakaian
selama 5 tahun dan tidak meningkat dengan
perpanjangan durasi terapi, dan efek proteksi
menghilang setelah 5 tahun penghentian terapi.44
5. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
menurunkan risiko terjadinya penyakit
kardiovaskular?
a. Sebagai pencegahan primer
Jawaban: Tidak (level of evidence 1a)

WHI telah dimulai sejak tahun 1997 dengan


keluaran utama adalah penyakit jantung
koroner (PJK) berupa infark miokard nonfatal
dan kematian PJK. Keluaran sekunder utama
berupa kanker payudara invasif. Sampel
adalah wanita pascamenopause dengan
uterus utuh yang berusia 50-79 tahun dan
dibagi secara acak menjadi grup hormon yang
menerima 0,625 mg CEE dan 2,5 mg MPA
(Prempro, Wyeth). Penelitian direncanakan
akan berlangsung selama 8,5 tahun, tetapi
diterminasi setelah 5,2 tahun karena dari uji
statistik untuk kanker payudara invasif telah
melewati batas penghentian untuk efek ikutan
dan indeks statistik global untuk risiko telah
melebihi manfaat. Hasil yang didapatkan:
terapi kombinasi hormon berhubungan
dengan Hazard Ratio untuk PJK 1.24 (nominal
95% CI, 1.00-1.54; 95% CI after adjustment
for
sequential
monitoring,
0.97-1.60).
Peningkatan risiko ini sangat nyata terlihat
pada tahun pertama (Hazard Ratio-HR, 1.81;
95% CI,1.09-3.01). Disimpulkan estrogen dan
progestin tidak memberikan perlindungan
pada jantung dan mungkin meningkatkan
risiko PJK di antara wanita pascamenopause
sehat, terutama pada tahun pertama
penggunaan hormon. Sehingga rejimen ini
tidak diberikan untuk pencegahan primer
PJK.47,48
b. Sebagai pencegahan sekunder
Jawaban: Tidak (level of evidence 1a)

Rasional:
Meta-analisa terhadap studi observasional,
studi cohort dan RCT yang dilakukan oleh

Agency for Healtcare Research and Quality

pada tahun 200046 melaporkan bahwa HRT


berhubungan dengan peningkatan risiko
untuk
terjadinya
kejadian
penyakit
kardiovaskular dengan risiko relatif berkisar
antara 1.26-1.35. Dalam meta-analisa ini,
tidak ada satupun studi yang mengevaluasi
insidens penyakit kardiovaskular dan risiko
penggunaan
HRT
berdasarkan
lama
pemakaian HRT. Adapun studi yang dievaluasi
dalam meta-analisa ini dilakukan dalam
jangka waktu pendek.
Sebuah double-blind RCT dengan
sampel sebanyak 16.608 yang dilakukan oleh

Rasional:
Meta-analisa terhadap studi observasional,
studi cohort dan RCT yang dilakukan oleh
Agency for Healtcare Research and Quality,
melaporkan bahwa HRT untuk pencegahan
sekunder, tidak ditemukan bukti ilmiah yang
menunjukkan
HRT
dapat
menurunkan
progresivitas atau kejadian penyakit arteri
koroner pada wanita yang diketahui sudah
memiliki penyakit arteri koroner sebelumnya.1

The Heart and Estrogen/progestin


Replacement Study (HERS) Research Group49
mengadakan
double-blind
randomized
controlled trial yang melibatkan 2763 wanita
pascamenopause berusia kurang dari 80
tahun dengan PJK dan uterus utuh. Mereka

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 20/39

secara random mendapatkan 0,625 mg CEE


plus 2,5 mg MPA atau plasebo. Keluaran
utama yang dinilai adalah adanya infark
miokard nonfatal atau kematian akibat PJK.
Keluaran kardiovaskular sekunder yang
diamati termasuk revaskularisasi koroner,
angina tidak stabil, gagal jantung kongestif,
serangan jantung, stroke, transient ischemic
attack (TIA) dan gangguan arteri perifer.
Setelah pengamatan selama 4,1
tahun, didapatkan hasil bahwa tidak terdapat
perbedaan yang bermakna pada keluaran
utama maupun sekunder untuk kedua
kelompok: 172 wanita pada grup hormon dan
176 wanita pada grup plasebo mengalami
infark miokard atau kematian akibat PJK
(relative hazard [RH], 0.99;95% confidence
interval [CI], 0.80-1.22). Within the overall
null effect, terdapat tren waktu yang
signifikan, di mana lebih banyak kejadian PJK
pada grup hormon daripada grup plasebo
pada tahun pertama dan berkurang pada
tahun ke-4 dan 5.
Disimpulkan terapi oral CEE dan
medroksiprogesteron
asetat
tidak
menurunkan tingkat kejadian PJK pada wanita
pascamenopause dengan PJK. Sehingga
berdasarkan temuan tidak adanya manfaat
secara keseluruhan terhadap kardiovaskular
dan adanya peningkatan risiko kejadian CHD
pada
awal
masa
uji,
HERS
tidak
merekomendasikan terapi ini untuk tujuan
pencegahan sekunder PJK. Tetapi, dengan
adanya perbaikan pola kejadian PJK di tahuntahun terakhir observasi, terapi ini mungkin
bisa digunakan pada wanita yang sudah
menerima
terapi
hormon
untuk
melanjutkannya.49
Uji klinis yang dilakukan oleh ERA
(Estrogen Replacement and Atherosclerosis)
dengan 309 sampel meneliti CEE 0.625 mg
per hari atau CEE 0.625 mg plus MPA 2.5 mg
per hari menggunakan angiografi dalam
konfirmasi penyakit arteri koroner. Setelah
follow up selama 3,2 tahun didapatkan hasil
yang konsisten dengan HERS tetapi berbeda
dalam tidak ditemukannya peningkatan
frekuensi PJK pada tahun awal penggunaan
terapi hormon. Selain itu, studi ini juga
membuktikan bahwa baik estrogen saja

maupun estrogen plus


memberikan perbedaan
penyakit koroner.

progestin tidak
dalam kejadian

Penelitian
randomized
placebo
controlled trial dari tim ESPRIT (1996-2000)

melibatkan 1017 wanita dengan usia median


62,6 tahun yang secara acak menerima
oestradiol valerat 2 mg perhari. Keluaran
utama adalah infark ulangan atau kematian
akibat kelainan jantung (cardiac death).
Follow up dilakukan selama 24 bulan
Didapatkan hasil: tidak ada perbedaan
frekuensi kejadian infark ulangan atau
kematian akibat kelainan jantung antara grup
terapi dengan grup plasebo (rate ratio 0.99,
95% CI, 0.70-1.41, p=0.97). Risiko relatif
untuk semua kematian dan kematian akibat
kelainan jantung terendah pada 3 bulan
pertama setelah perekrutan responden.
Sehingga disimpulkan estradiol valerat tidak
menurunkan risiko secara keseluruhan untuk
terjadinya serangan jantung lebih lanjut pada
wanita postmenopausal yang selamat dari
infark miokard sebelumnya.50
6. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke?
Jawaban: Tidak (level of evidence 1 a), justru
meningkatkan
Rasional:
Meta-analisa oleh Agency for Healthcare Research
and Quality untuk HRT terhadap stroke secara
keseluruhan melaporkan terdapat peningkatan
risiko yang signifikan pada pasien yang pernah
memakai HRT (RR 1.12, 95% CI, 1.01-1.23).
Untuk stroke iskemik terdapat peningkatan risiko
yang
signifikan
pada
kelompok
yang
menggunakan HRT (RR 1.20, 95% CI, 1.05-1.40).
Sedangkan untuk stroke hemoragik, risiko relatif
yang didapat adalah 0.80 (95% CI, 0.57-1.05).1
Sebuah multicenter, double-blind, placebocontrolled, randomised clinical trial yang diadakan
WHI51
melibatkan
16.608
wanita
pascamenopause sehat berusia 50 sampai 79
tahun dengan rerata follow-up sejumlah 5.6
tahun. Kelompok terapi menerima 0.625 mg/hari
CEE dan 2.5 mg MPA. Keluaran utama yang dinilai

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 21/39

adalah kejadian stroke secara keseluruhan, stroke


menurut subtipe dan keparahannya. Didapatkan
hasil 151 responden (1,8%) dari kelompok terapi
dan 107 responden (1,3%) dari kelompok plasebo
mengalami
stroke.
Dari
stroke
secara
keseluruhan, 79,8% di antaranya adalah stroke
iskemik. Untuk stroke secara keseluruhan, the
intention-to-treat hazard ratio (HR) pada
kelompok terapi adalah 1,31 (95% CI, 1.02-1.68),
with adjustment for adherence HR menjadi 1,5
(95% CI, 1.08-2.08). HR untuk stroke iskemik
adalah 1,44 (95% CI, 1.09-1.90. Sehingga
disimpulkan bahwa estrogen dan progestin
meningkatkan risiko terjadinya stroke iskemik
pada wanita pascamenopause sehat. Serta
terdapat peningkatan risiko untuk stroke secara
keseluruhan pada semua subgrup yang diteliti.
RCT lain mengenai HRT (CEE dan MPA)
sebagai pencegahan sekunder terhadap stroke,
dilakukan oleh HERS dengan besar sampel 2763
dan usia rerata 67 tahun. Stroke dan TIA
merupakan keluaran sekunder dari penelitian
yang berlangsung selama 4,1 tahun ini. Untuk
stroke nonfatal didapatkan RH 1.18, 95% CI 0.831.66; stroke fatal RH 1.61, 95% CI 0.73-3.55; dan
TIA RH 0.90, 95% CI 0.57-1.42. Sehingga
disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan
antara terapi sulih hormon dengan risiko stroke
pada wanita pascamenopause yang mengalami
penyakit koroner.52
Hasil serupa didapatkan dari RCT lain yang
diadakan oleh Womens Estrogen for Stroke Trial
(WEST, 1993)53. Penelitian dilakukan terhadap
estrogen untuk pencegahan sekunder penyakit
serebrovaskular. Penelitian ini melibatkan 664
wanita pascamenopause yang baru mengalami
stroke iskemik atau transient ischemic attack
(TIA) dengan rerata usia 71 tahun. Untuk grup
terapi diberikan 1 mg estradiol-17 per hari.
Follow-up dilakukan selama 2,8 tahun dengan
keluaran utama adalah kematian dengan sebab
apapun atau stroke nonfatal; keluaran sekunder
berupa TIA. Didapatkan hasil: 99 stroke atau
kematian pada grup terapi dan 93 kasus pada
grup plasebo (risiko relatif (RR) pada grup terapi
1,1; 95% CI, 0.8-1.4). terapi estrogen tidak
menurunkan risiko untuk terjadinya kematian (RR
1,2; 95% CI, 0.8-1.8) atau risiko untuk stroke
nonfatal (RR 1,0; 95% CI, 0.7-1.4). Wanita yang
menerima terapi estrogen memiliki risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami stroke fatal (RR 2,9;

95% CI 0.9-9.0) dan untuk stroke nonfatal,


terdapat defisit fungsional dan neurologis yang
sedikit lebih buruk daripada grup plasebo.
Sehingga disimpulkan estradiol tidak menurunkan
mortalitas atau berulangnya stroke pada wanita
pascamenopause
dengan
penyakit
serebrovaskular. Terapi ini tidak dianjurkan untuk
diberikan sebagai pencegahan sekunder untuk
penyakit serebrovaskular.
7. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
menurunkan risiko demensia?
Jawaban: Tidak (level of evidence Ib)
Rasional:
Penyakit Alzheimer ditemukan hampir 10% usia
>65 tahun dan 50% usia >85 tahun. Saat ini di
Amerika Serikat terdapat 4 juta orang yang
menderita penyakit ini dan diperkirakan akan
meningkat menjadi 14 juta orang pada tahun
2040.54 Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk menderita penyakit Alzheimer dibanding
laki-laki. Hal ini mungkin disebabkan karena lebih
banyak wanita yang mencapai usia yang lebih tua
yang merupakan risiko untuk menderita penyakit
alzheimer, tetapi insiden age-specific penyakit
Alzheimer juga lebih tinggi pada wanita dibanding
pria. Diperkirakan bahwa defisiensi hormon
steroid pada wanita tua memegang peranan pada
perbedaan
ini.55
Walaupun
wanita
pascamenopause memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk menderita penyakit Alzheimer, tetapi hasil
beberapa studi yang menilai efek terapi estrogen
terhadap penyakit Alzheimer masih inkonsisten.
Estrogen mempunyai reseptor dan pada
sel neuron dan mempengaruhi beberapa sistim
neurotransmiter asetilkolin, dopamin, glutamat,
noradrenalin dan serotonin. Peranan estrogen di
otak dari hasil-hasil penelitian antara lain
meningkatkan fungsi neuronal, memodulasi
plastisitas
sinaps,
potensiasi
pembentukan
memori, meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF)
dan transport aktif glukosa di sistim saraf pusat
serta neuroprotektor pada keadaan-keadaan
tertentu.
Pada penelitian ditemukan bahwa progesteron
meningkatkan kerja neurotransmiter inhibitor
GABA, menurunkan aktivitas neurotransmiter

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 22/39

eksitatorik glutamat, menurunkan metabolisme sel


dan pada penderita epilepsi dapat menurunkan
serangan. Sebuah studi menyatakan bahwa pada
wanita epilepsi dengan fase luteal yang tidak
adekuat (estradiol
meningkat, progesteron
rendah) terjadi serangan epilepsi yang tidak
terkendali, sebaliknya pada fase mid luteal normal
(kadar progesteron tertinggi) serangan epilepsi
tidak terjadi.
Hasil studi RCT oleh WHIMS54 (2003) yang
menilai insidens probable dementia menemukan
bahwa
terapi
estrogen
plus
progestin
meningkatkan risiko probable dementia pada
wanita pascamenopause yang berusia 65 tahun
atau lebih. Studi ini melibatkan partisipan studi
WHI yang berusia 65 tahun atau lebih. Jumlah
wanita yang menderita probable dementia pada
kelompok estrogen-progestin 2 kali lebih banyak
dibanding kelompok plasebo (Hazard ratio (HR)
2,05 (95% CI 1,21-3,48; 45 vs 22 per 10.000
person-years; P=0,01). Penyakit Alzheimer
merupakan klasifikasi terbanyak dari demensia
baik pada kelompok estrogen-progestin (20
[50%]) maupun kelompok plasebo (12 [57,1%]).
Risiko
untuk
terjadinya
demensia
makin
meningkat dengan semakin tuanya umur (3,54
kali lebih tinggi pada usia 70-74 tahun dan 12,22
kali lebih tinggi
pada usia 75-80 tahun
dibandingkan dengan usia 65-69 tahun). Risiko
meningkat 3,78 kali bila nilai 3MSE di atas cutt
point-94 dan 24,84 kali bila nilai 3MSE pada atau
di bawah cutt point, dari nilai 3 MSE 95-100).
Hasil ini spesifik untuk penggunaan CEE-MPA
(0,625 mg dan 2,5 mg/hari) dan mungkin tidak
dapat
digunakan
untuk
kombinasi
estrogen/progestin lain, dosis, ataupun cara
pemberian. Penelitian ini terbatas pada wanita
yang berusia lebih dari 65 tahun. Beberapa
peneliti memperkirakan untuk pencegahan
demensia terapi hormon harus dimulai di sekitar
usia menopause.
Dari hasil meta-analisa dan systematic review
10 studi kasus-kontrol dan 2 studi kohort oleh
LeBlanc dkk. (2001)56 ditemukan adanya
penurunan risiko demensia pada pengguna terapi
sulih hormon (summary odds ratio, 0,66;95% CI
0,53-0,82) tetapi kebanyakan studi memiliki
keterbatasan metodologi yang penting. Dua studi
kohort yang diikutkan memiliki sampel dengan
rerata usia 61,5 tahun dan 74,2 tahun. Untuk
studi kasus kontrol RR 0,71 (95% CI 0,56-0,91)

dan studi kohort RR 0,50 (95% CI 0,30-0,80).


Tetapi studi-studi ini memiliki keterbatasan karena
kemungkinan bias dan kurangnya kontrol
terhadap faktor confounding. Studi yang ada tidak
memiliki informasi yang cukup untuk dapat
mengkaji secara adekuat efek penggunaan
progestin, berbagai sediaan dan dosis estrogen
atau lamanya penggunaan.
8. Apakah pada wanita pascamenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
menghilangkan sindrom mata kering?
Jawaban: Tidak (Level of evidence IIb), justru
meningkatkan risiko
Rasional:
Rendahnya kadar estrogen dan androgen ternyata
sangat berpengaruh terhadap produksi kelenjar
air mata. Wanita pasca menopause sering
mengeluh matanya kering dan terasa gatal.
Keluhan ini disebut sebagai sindrom mata kering
(dry eye syndrome). Pemberian estrogen
dianggap bermanfaat untuk mengatasi keadaan
ini.
Sebuah studi kohort dalam skala besar oleh The
Womens Health Study menjelaskan hubungan
antara penggunaan sulih hormon selama 48 bulan
dengan dry eye syndrome. Studi ini melibatkan
25.665
wanita
pascamenopause
yang
mendapatkan sulih hormon. Dari studi tersebut
didapatkan OR=1.69 (95% CI, 1.49-1.91) pada
kelompok yang hanya mendapatkan estrogen,
dan 1.29 (95% CI, 1.13-1.48) pada kelompok
yang
menggunakan
rejimen
kombinasi.
Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa
penggunaan sulih hormon khususnya estrogen
meningkatkan
risiko
terjadinya
dry
eye
syndrome.57
9. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
meningkatkan risiko tromboemboli vena?
Jawaban: Ya (level of evidence 1a)
Rasional:
Meta-analisa yang dilakukan oleh USPSTF
diperoleh dari 3 RCT, 8 studi kasus kontrol dan 1
studi kohort. Terapi sulih hormon berhubungan

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 23/39

dengan
peningkatan
risiko
tejadinya
tromboemboli vena RR 2.14 (CI 1.64-2.81).
Terdapat peningkatan absolut 1.5 kejadian
tromboemboli vena per 10.000 wanita dalam 1
tahun. Dari 5 studi kasus kontrol dilaporkan
bahwa risiko tertinggi terjadi pada tahun pertama
penggunaan (OR 2.9-6.7). Data uji klinis
didapatkan dari HERS, PEPI dan ERA. Namun,
tromboemboli vena pada ketiga uji klinis ini bukan
merupakan keluaran utama. Besar sampel secara
keseluruhan dari uji klinis yang dievaluasi 3.947.58
HERS dan ERA melibatkan sampel dengan usia
lebih tua (usia rata-rata 66.7 tahun) dan memiliki
penyakit
arteri
koroner
sedangkan
PEPI
melibatkan sampel dengan usia lebih muda dan
sehat (usia rata-rata 56,1 tahun).
RCT oleh WHI menunjukkan bahwa pemberian
0,625 mg estrogen konyugasi plus MPA pada
wanita
pascamenopause
sehat
dapat
meningkatkan risiko terjadinya tromboemboli
vena (VTE) 2 kali lebih besar, begitu juga untuk
trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru (PE)
dibandingkan kontrol.59
10. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
meningkatkan risiko kanker payudara?
Jawaban:
a. Pemberian terapi sulih hormon kombinasi
estrogen-progestin
meningkatkan
risiko
kanker payudara. (level of evidence Ib)
b. Pemberian terapi sulih hormon yang
mengandung estrogen saja menurunkan risiko
kanker payudara. (level of evidence Ib)
Rasional:
Hubungan antara pemberian sulih hormon,
terutama estrogen dengan keganasan payudara
sudah banyak dibuktikan. Banyak penelitian telah
dilakukan untuk menjelaskan hubungan tersebut.
Secara fisiologis, estrogen bekerja di jaringan
payudara dengan merangsang pertumbuhan dan
diferensiasi epitel duktal, menimbulkan aktifitas
mitotik
sel-sel
duktal
dan
merangsang
pertumbuhan jaringan penunjang payudara.
Dengan
demikian,
estrogen
merangsang
pertumbuhan sel kanker payudara.19 Sebuah
review artikel-artikel terdahulu menyatakan
bahwa
penggunaan
sulih
hormon
dapat

meningkatkan
risiko
kanker
payudara.60
Penambahan progestin pada terapi sulih estrogen
dianggap dapat menurunkan risiko kanker
payudara.
Terapi Sulih Hormon Kombinasi estrogenprogestin
Colditz dkk. (1995)61 dalam laporan RCT-nya
terhadap
69.586
wanita
pascamenopause,
menyebutkan bahwa risiko kanker payudara
meningkat pada penggunaan sulih hormon. Pada
kelompok yang hanya menggunakan estrogen
konjugasi saja (RR=1.32; 95% CI 1.14-1.54),
estrogen-progestin (RR=1.41; 95% CI 1.15-1.74)
dan progestin saja (RR=2.24; 95% CI 1.26-3.98)
namun, perbedaan ketiganya tidak bermakna.
Risiko terkena kanker payudara pada wanita yang
mendapatkan terapi sulih hormon selama 5 tahun
atau lebih ternyata lebih tinggi dibandingkan
dengan wanita yang tidak pernah mendapatkan
sulih hormon. Pada kelompok usia 55-59 tahun
RR=1.54 (95% CI 1.19-2.00), pada kelompok usia
60-64 tahun RR=1.71 (95% CI 1.34-2.18).
Kelompok wanita yang pernah mendapatkan sulih
hormon selama 5 tahun memiliki risiko yang lebih
tinggi
selama
beberapa
waktu
setelah
penghentian terapi. Pada kelompok wanita yang
masih menggunakan terapi sulih hormon, risiko
yang lebih tinggi untuk terkena kanker payudara
terdapat pada kelompok usia yang lebih tua
(RR=1.69 untuk usia 65-69 tahun; 1.42 untuk
usia 60-64; 1.41 untuk usia 50-54 dan mendekati
1 untuk usia <50 tahun). Peningkatan risiko ini
hanya bermakna pada kelompok wanita yang
mendapat sulih hormon lebih dari 5 tahun.
Penelitian
ini
juga
membuktikan
bahwa
penambahan progestin dapat meningkatkan risiko
kanker payudara. Hal ini didukung oleh berbagai
studi observasional (Iowa Womens Health Study
[1999], Ross dkk. [2000] Schairer dkk.
[2000]).62,63,64
Pemberian terapi sulih hormon, estrogen
maupun estrogen-progestin, juga mempengaruhi
gambaran mamografi. Seperti diketahui bahwa
kanker
payudara
seringkali
memberikan
gambaran mamografi abnormal. Beberapa studi
epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan
densitas mamografi merupakan faktor risiko
independen kanker payudara. Sebuah RCT
(Postmenopausal
Estrogen/Progestin
Interventions)65 membuktikan bahwa pemberian

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 24/39

sulih hormon meningkatkan densitas parenkim


payudara pada pemeriksaan mamografi. Setelah
pemakaian selama 12 bulan, didapatkan
persentase kenaikan densitas parenkim payudara
sebesar 0% (95% CI, 0.0%-4.6%) pada
kelompok plasebo; 3.5% (95% CI,1.0%-12.0%)
pada kelompok estrogen konjugasi; 23.5% (95%
CI,11.9%-35.1%) pada kelompok CEE-MPA siklik;
19.4%(95% CI,9.9%-28.9%) pada kelompok
CEE-MPA harian dan 16.4% (95% CI,6.6%26.2%).
Sebuah laporan RCT dari The Womens Health
Initiative Study66 menyatakan bahwa berdasarkan
hasil penelitian yang mereka lakukan terhadap
16.608 wanita pascamenopause
mengenai
pengaruh pemberian estrogen (CEE 0.625
mg/hari)-progestin (MPA 2.5 mg/hari) terhadap
risiko kanker payudara, pemberian estrogenprogestin meningkatkan total kejadian kanker
payudara (HR 1.24;P<0.001) dan kanker invasif
(HR 1.24;P=0.003) dibandingkan dengan plasebo.
Saat diagnosis ditegakkan, kanker payudara pada
kelompok
terapi
berukuran
lebih
besar
(mean[SD], 1.7cm[1.1] vs 1.5cm[0.9], P=0.04),
dengan kelenjar positif lebih banyak (25.9% vs
15.8%, P=0.03) dan berada pada stadium yang
lebih tinggi (regional metastasis 25.4% vs 16.0%,
P=0.04) dibandingkan kelompok plasebo. Setelah
1 tahun pemakaian, gambaran mamografi
kelompok usia 50-59 tahun yang abnormal lebih
banyak
terdapat
pada
kelompok
terapi,
dibandingkan kelompok plasebo (8.8% vs 5.9%,
P<0.001).
Penelitian mengenai pengaruh pemberian
terapi sulih hormon terhadap peningkatan risiko
kanker payudara hingga kini masih memberikan
hasil yang berbeda. Studi-studi terdahulu
menyimpulkan bahwa terapi sulih hormon dapat
meningkatkan risiko kanker payudara yang makin
meningkat
dengan
bertambahnya
durasi
penggunaan. Namun, hingga kini belum ada
penelitian yang menghubungkan antara dosis
pemakaian dengan peningkatan risiko kanker
payudara. Studi terbaru dari WHI menyimpulkan
bahwa penggunaan estrogen justru menurunkan
risiko kanker payudara, meskipun disepakati
bahwa hal ini masih membutuhkan analisa lebih
lanjut.

Terapi Sulih Hormon Estrogen (CEE)


Studi terbaru oleh WHI terhadap 10.739 subyek
mengenai pengaruh pemberian CEE (0.625
mg/hari) pada wanita pascamenopause pasca
histerektomi yang dijadwalkan selesai pada 2005,
dihentikan sebelum waktunya setelah menilai
keamanan penggunaannya.67 Pada penelitian ini,
didapatkan bahwa risiko untuk timbulnya kanker
payudara sedikit menurun dengan pemberian
estrogen konjugasi dibandingkan plasebo dengan
HR 0.77 (95% CI=0.59-1.01). Angka ini dianggap
telah melebihi batas keamanan penelitian. Peneliti
sepakat bahwa angka ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut.
11. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
meningkatkan risiko kanker endometrium?
Jawaban:
a. Pemberian terapi sulih hormon yang
mengandung estrogen saja selama 6 bulan
sampai 3 tahun tidak meningkatkan risiko
kanker endometrium (Level of evidence Ia)
b. Pemberian terapi sulih hormon yang
mengandung estrogen saja selama 1 sampai
5 tahun dan seterusnya meningkatkan risiko
kanker endometrium (Level of evidence IIb)
c. Bukti ilmiah yang ada tidak cukup untuk
menerangkan hubungan terapi sulih hormon
kombinasi estrogen-progestin dengan kanker
endometrium, studi yang ada memberikan
hasil yang inkonsisten.
Rasional:
Adanya kemungkinan hubungan terapi sulih
hormon pascamenopause dengan keganasan
ginekologik telah menjadi perhatian sejak
bertahun-tahun. Penggunaan estrogen saja
diketahui dapat menyebabkan berkembangnya
hiperplasia dan kanker endometrium.68 Hasil
beberapa studi menunjukkan adanya hubungan
kausal antara terapi sulih hormon yang terdiri dari
estrogen saja dengan induksi hiperplasia dan
karsinoma endometrium (Ziel 1975, Smith 1977,
Gardan 1977, Antunes 1979, dan Grady 1995).
Hiperplasia endometrium dianggap sebagai
prekursor
kanker
endometrium
tetapi
progesifitasnya bergantung dari tipe hiperplasia
(Kurman
1985;
Terakawa
1997).
Risiko
hiperplasia dan atau kanker ini meningkat dengan

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 25/39

semakin tingginya dosis dan makin lamanya


penggunaan estrogen saja.69
Untuk menurunkan atau menghindarkan risiko
tersebut pada terapi sulih hormon ditambahkan
progestin. Penambahan progestin menghilangkan
efek ini melalui beberapa mekanisme meliputi:
menurunkan
jumlah
reseptor
estrogen,
meningkatkan
metabolisme
estradiol
oleh
estradiol-17
dehidrogenase,
pengaturan
beberapa growth factors, penurunan sintesis DNA
dan meluruhkan endometrium (endometrial
shedding).70 Hasil beberapa studi menunjukkan
bahwa penambahan progestogen pada terapi
sulih hormon yang mengandung estrogen saja
bermakna
menurunkan
risiko
hiperplasia
endometrium (Whitehead 1977, Cust 1990, Udoff
1995), tetapi menyebabkan gejala premenstrual,
perdarahan vagina dan spotting, keadaan ini
sering menjadi alasan wanita menghentikan
penggunaan
terapi
sulih
hormon.
Data
epidemiologi tentang penggunaan kombinasi
estrogen-progestin masih inkonklusif, masih
sering menjadi pertentangan dan penelitian
randomized tentang ini juga masih sangat
terbatas.68,70
Terapi Sulih Hormon Estrogen
Meta-analisa oleh Lethaby dkk. dalam Cochrane
review69 (1999) yang mencakup 18 penelitian RCT
dengan partisipan berusia 40-65 tahun dan durasi
pemberian hormon selama 6 bulan sampai 3
tahun, menyatakan bahwa terapi estrogen saja
(unopposed estrogen) dosis sedang atau tinggi
berhubungan dengan peningkatan bermakna
kejadian
hiperplasia
endometrium
dengan
semakin lamanya penggunaan dan pemantauan.
Penggunaan estrogen dosis sedang, OR bervariasi
dari 5,4 (95% CI 1,4-20,9) pada penggunaan
selama 6 bulan, sampai 16.0 (95% CI 9,3-27,5)
pada penggunaan selama 36 bulan. Penggunaan
estrogen dosis tinggi, OR bervariasi dari 9,1 (95%
CI 3,6-22,9) pada penggunaan selama 6 bulan
sampai 13,1 (95% CI 5,9-29,0) pada penggunaan
selama 24 bulan. Pada penggunaan estrogen
dosis rendah tidak ada bukti peningkatan kejadian
hiperplasia endometrium. Tidak ada peningkatan
kejadian kanker endometrium diamati pada
semua kelompok pengobatan selama pemantauan
maksimal 3 tahun dari studi-studi yang diikutkan.
Penggunaan estrogen saja juga meningkatkan
perdarahan ireguler dan ketidakpatuhan terhadap

terapi, dengan OR setelah 6 bulan pengobatan


masing-masing 1,9, (95% CI 1,1-3,5) dan 3,6,
(95% CI 2,3-5,5) dan efek paling besar terjadi
pada terapi dosis tinggi (OR 6,0, 95% CI 2,8-12,9
dan OR 6,8, (95% CI 3,4-14,0). Biopsi yang tidak
dijadwalkan dan dilatasi kuretase juga meningkat
pada penggunaan estrogen saja (OR 19,9; 95%
CI 12,0-33,1).
Meta-analisa 30 studi observasional (25 studi
kasus-kontrol dan 5 studi kohort) oleh Grady dkk.
(1995)71 menyimpulkan bahwa risiko kanker
endometrium meningkat dengan makin lamanya
penggunaan estrogen saja (unopposed estrogen)
dan peningkatan risiko ini menetap selama
beberapa tahun setelah penghentian terapi. Pada
pembandingan antara pengguna estrogen saja
dengan yang tidak pernah menggunakan
didapatkan summary RR kanker endometrium 2,3
(95% CI 2,1-2,5), dengan summary RR studi
kohort 1,7 (95% CI 1,3-2,1) dan studi kasuskontrol 2,4 (95% CI 2,2-2,6). Summary RR makin
tinggi dengan semakin lamanya penggunaan (<1
tahun summary RR 1,4 [95% CI 1,0-1,8], 1-5
tahun summary RR 2,8 [95% CI 2,3-3,5], 5-10
tahun summary RR 5,9 [95% CI 4,7-7,5] dan 10
tahun summary RR 9,5 [95% CI 7,4-12,3]). Risiko
kanker endometrium masih tetap tinggi setelah
5 tahun penghentian terapi (RR 2,3, 95% CI
1,8-3,1).
Risiko
kematian
akibat
kanker
endometrium juga meningkat walaupun tidak
bermakna secara statistik (RR 2,7 (95% CI 0,98,0). Pengguna estrogen konjugasi memiliki RR
kanker endometrium yang lebih tinggi dibanding
pengguna estrogen sintetik (RR estrogen
konyugasi 2,5 [95% CI 2,1-2,9], sedangkan
estrogen sintetik 1,3 [95% CI 1,1-1,6]). Summary
RR juga meningkat untuk semua dosis estrogen
konyugasi yang digunakan pada studi-studi ini,
termasuk dosis 0,3 mg/hari (RR 3,9, 95% CI 1,69,5).
Hasil studi kasus-kontrol oleh Weiderpass
dkk.72 (1999) pada wanita pascamenopause yang
berusia 50-74 tahun, yang berdasarkan populasi
nasional di Swedia menyimpulkan bahwa risiko
kanker
endometrium
meningkat
pada
penggunaan estrogen saja jangka lama.
Kelompok yang menggunakan estrogen potensi
sedang memiliki OR kanker endometrium 3,2
(95% CI 2,4-4,4) dibandingkan yang tidak pernah
menggunakan. Peningkatan risiko ini bergantung
dari lama dan dosis estrogen yang digunakan.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 26/39

Tabel 3. ODDS Ratio (OR) dan Confidence Interval (CI) kanker endometrium invasif
pada penggunaan estrogen potensi sedang
Kategori
Pernah
menggunakan
Lama penggunaan
- < 5 tahun
- 5 tahun
- 10 tahun
- tiap tahun
penggunaan

Jenis Estrogen
Estrogen
Estradiol
konyugasi
(OR, 95% CI)
(OR, 95% CI)
4,0 (2,5-6,4)
2,5 (1,7-3,6)

(OR, 95% CI)


2,4 (1,4-4,1)

(OR, 95% CI)


3,4 (2,3-5,1)

2,2 (1,1-4,6)
6,6 (3,6-12,0)
9,2 (4,4-19,4)
1,15 (1,10-1,20)

1,5 (0,8-3,0)
4,6 (1,8-11,7)
3,6 (1,0-12,8)
1,12 (1,04-1,20)

1,6 (0,9-2,9)
8,7 (4,7-15,9)
13,6 (6,2-29,4)
1,18 (1,13-1,24)

1,7 (1,1-2,7)
6,2 (3,1-12,6)
7,5 (3,0-18,9)
1,17 (1,10-1,23)

Dosis Estrogen
Dosis rendah
Dosis tinggi

Peningkatan risiko kanker endometrium terjadi pada penggunaan selama 5 tahun atau lebih dan semakin
meningkat bermakna pada penggunaan 10 tahun atau lebih. Penggunaan dosis rendah selama 5 tahun
meningkatkan RR 4 kali lipat dan dosis tinggi 8 kali lipat dan risiko ini makin tinggi dengan makin lamanya
penggunaan. Pada penggunaan jangka lama ( 5 tahun), setelah penghentian penggunaan selama 5 tahun
atau lebih risiko masih tetap tinggi (OR masing-masing 7,5, 95% CI 4,1-13,8 dan 6,3, 95% CI 3,4-11,8)

Terapi Sulih Hormon Kombinasi EstrogenProgestin


Meta-analisa oleh Lethaby dkk dalam Cochrane
review69 (1999) menyatakan bahwa penambahan
progestogen baik secara siklik ataupun kontinyu
membantu mencegah berkembangnya hiperplasia
endometrium dan meningkatkan kepatuhan
terhadap terapi. Tidak ada perbedaan bermakna
kejadian hiperplasia endometrium atau karsinoma
pada pembandingan antara pemberian kombinasi
estrogen-progestogen
kontinyu
maupun
sekuensial dengan plasebo. Terapi kombinasi
kontinyu dan sekuensial juga meningkatkan
kepatuhan terhadap terapi dibandingkan terapi
estrogen saja (OR untuk terapi sekuensial 3,4;
95% CI 2,2-5,1 dan terapi kontinyu 6,0; 95% CI
3,6-10,0). Perdarahan irregular, lebih mungkin
terjadi pada penggunaan terapi kontinyu
dibanding sekuensial (OR=2,3, 95%CI 2,1-2,5)
tetapi pada penggunaan jangka lama, terapi
kontinyu lebih mampu mencegah hiperplasia
endometrium (OR=0,3, 95% CI 0,1-0,97)
dibandingkan terapi sekuensial. Hiperplasia juga
lebih mungkin terjadi bila progestogen pada terapi
sekuensial diberikan tiap 3 bulan dibanding tiap
bulan.
Hasil studi randomized, double-blind, placebocontrolled trial yang dilakukan oleh WHI68 (2003)

pada 16 608 wanita pascamenopause yang


berusia 50-79 tahun menemukan bahwa pada
pemberian tablet yang mengandung CEE 0,625
mg dan MPA 2,5 mg/hari, 111 partisipan
didiagnosa menderita kanker ginekologik invasif
selama pemantauan 5,6 tahun dan kanker
endometrium ditemukan pada 58 partisipan. Pada
kelompok yang menggunakan estrogen-progestin
ditemukan penurunan risiko kanker endometrium
yang kecil (19%) dan tidak bermakna secara
statistik bila dibandingkan dengan plasebo (27
dibanding 31), HR 0,81, 95% CI 0,48-1,36
(adjusted 95% CI, 0,40-1,46). Juga tidak
ditemukan perbedaan peningkatan efek seiring
dengan waktu yang bermakna secara statistik.
Kelompok yang menggunakan estrogen-progestin
juga memerlukan biopsi endometrium 5 kali lebih
banyak dibanding plasebo (33% dibanding 6%;
P<0,001) dan ultrasound vaginal (12,8% vs
4,1%; P<0,001). Hasil biopsi pada sebagian besar
kelompok yang menggunakan estrogen-progestin
memberikan gambaran normal (85% dibanding
68%), yang menunjukkan bahwa peningkatan
perdarahan bukan berasal dari lesi maligna atau
premaligna. Hasil ultrasound transvagina juga
tidak berbeda bermakna. Tidak ada bukti
perbedaan distribusi kelas histologi, derajat
morfologi, ataupun stadium penyakit pada saat
diagnosis kanker endometrium. Tidak ada
hubungan bermakna ditemukan pada umur,

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 27/39

ras/etnik, indeks masa tubuh, hipertensi,


merokok, dan riwayat penggunaan estrogen saja
atau estrogen-progestin sebelumnya.

0,4, 95% CI 0,2-0,6) sedangkan studi kasus


kontrol menunjukkan peningkatan risiko yang
kecil (RR 1,8, 95% CI 1,1-3,1). Pada satu studi
kasus-kontrol ditemukan RR kanker endometrium
pada penggunaan progestin < 10 hari/bulan 2,0,
sedangkan penggunaan sedikitnya 10 hari/bulan
RR 0,9.

Meta-analisa oleh Grady dkk. (1995)71


terhadap 5 studi observasional (3 studi kasuskontrol dan 2 studi kohort) menyimpulkan bahwa
data mengenai risiko kanker endometrium pada
penggunaan kombinasi estrogen-progestin masih
terbatas dan diperdebatkan. Meskipun summary
RR untuk kanker endometrium pada penggunaan
kombinasi estrogen-progestin 0,8 (95% CI 0,61,2), tetapi hasil antara studi kohort dan kasus
kontrol berbeda. Studi kohort menunjukkan
adanya penurunan risiko kanker endometrium (RR

Hasil studi kasus kontrol oleh Weiderpass dkk.


(1999)72 menyimpulkan bahwa risiko kanker
endometrium meningkat pada penggunaan
kombinasi
estrogen
progestin
siklik
dan
penambahan progestin secara kontinyu diperlukan
untuk menurunkan risiko tersebut.

Tabel 4. ODDS Ratio (OR) dan Confidence Interval (CI) kanker endometrium invasif
pada penggunaan kombinasi estrogen potensi sedang-progestin
Kategori
Pernah menggunakan
Lama penggunaan
- < 5 tahun
- 5 tahun
- tiap tahun penggunaan

Pemberian progestin
Siklik
Kontinyu
(OR, 95% CI)
(OR, 95% CI)
2,0 (1,4-2,7)
0,7 (0,4-1,0)
1,5 (1,0-2,2)
2,9 (1,8-4,6)
1,10 (1,06-1,15)

0,8 (0,5-1,3)
0,2 (0,1-0,8)
0,86 (0,77-0,97)

Pada penggunaan selama < 5 tahun, tidak


ada peningkatan risiko kanker endometrium dan
penggunaan selama 5 tahun RR kanker
endometrium meningkat hanya pada wanita yang
menggunakan progestin secara siklik (<16
hari/siklus,
paling
sering
10
hari/siklus),
sedangkan penggunaan progestin secara kontinyu
bersama estrogen malah menurunkan risiko.
Berbeda dengan penggunaan estrogen saja,
setelah penghentian terapi selama 5 tahun atau
lebih, RR pada penggunaan sediaan kombinasi
tidak menetap tinggi. RR kanker endometrium
pada penggunaan sediaan kombinasi selama 5
tahun lebih rendah dibandingkan estrogen saja
(OR 1,65 [95% CI 1,1-2,4]).
Hasil studi follow-up yang dilakukan oleh Wells
dkk. (2002)70 pada 534 wanita pascamenopause
yang berusia rata-rata 54,2 tahun menyimpulkan
bahwa pengobatan jangka lama (sampai 5 tahun)
dengan terapi sulih hormon kombinasi kontinyu
yang terdiri dari 2 mg 17-estradiol dan 1 mg
noretisterone asetat tidak berhubungan dengan

Asal progestin
Progesteron
Testosteron
(OR, 95% CI)
(OR, 95% CI)
2,0 (1,3-3,0)
1,0 (0,8-1,4)
1,5 (0,8-3,0)
4,6 (1,8-11,7)
1,12 (1,06-1,18)

1,6 (0,9-2,9)
8,7 (4,7-15,9)
1,00 (0,95-1,06)

hiperplasia
endometrium
dan
keganasan.
Lamanya pengobatan rata-rata dengan terapi
sulih hormon kombinasi kontinyu 4,4 tahun
(rentang
1,1-5,9
tahun).
Biopsi
aspirasi
endometrium dilakukan sebelum terapi kombinasi
kontinyu dimulai, setelah 9 dan 24-36 bulan dan
setelah 5 tahun pengobatan atau saat withdrawl
dari studi dan tidak ada kasus hiperplasia
endometrium ataupun keganasan ditemukan dari
hasil biopsi. Saat studi selesai atau saat withdrawl
dari studi, juga dicatat 46% partisipan memiliki
klasifikasi endometrium atrofi (sebelumnya 19%)
dan 23% unassessable (sebelumnya 24%).
12. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker
ovarium?
Jawaban:
- Bukti ilmiah yang ada belum cukup untuk
dapat menerangkan hubungan terapi sulih
hormon yang mengandung estrogen saja

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 28/39

ataupun
kombinasi
estrogen-progestin
dengan risiko kanker ovarium, penelitian yang
ada memberikan hasil yang inkonsisten.
Rasional:
Hubungan antara terapi sulih hormon dengan
kanker ovarium masih belum jelas, penemuan dari
studi epidemiologi masih memberikan hasil yang
inkonsisten dan diperdebatkan.73,74,75 Terapi sulih
hormon yang mengandung estrogen saja selain
meningkatkan risiko kanker endometrium juga
meningkatkan risiko kanker epitelial ovarium.
Penggunaan terapi kombinasi estrogen-progestin
telah meningkat, tetapi data epidemiologi tentang
hubungannya dengan kanker ovarium masih
terbatas.
Terapi Sulih Hormon Estrogen
Meta-analisa dari 15 studi kasus kontrol oleh
Coughlin dkk. (2000)76 menyimpulkan bahwa dari
penelitian yang ada, tidak ditemukan adanya
hubungan antara penggunaan estrogen dengan
risiko kanker epitelial ovarium. Hasil studi yang
dilakukan di AS yang menggunakan kontrol
komunitas menemukan adanya hubungan yang
lemah, tetapi tidak ada bukti yang jelas hubungan
dosis-respon.
Bila
ke-15
studi
tersebut
digabungkan, efeknya heterogen (chi-square
(14)=26,3, P<0,05). Random dan fixed effects
dari OR gabungan, masing-masing 1,1 (95% CI,
0,9-1,3)
dan
1,1
(95%
CI,
0,9-1,2).
Menggabungkan hasil studi kasus kontrol yang
memiliki kontrol klinik atau rumah sakit dengan
kontrol komunitas kemungkinan menjadi sumber
hasil yang heterogen. Menggabungkan kelompok
heterogen 10 kasus kontrol dengan kontrol klinik
atau rumah sakit didapatkan OR 1,0 (95% CI
0,81-1,3), chi-squared (9) 20,4, P<0,05 (random
effects model), kelompok homogen 5 kasus
kontrol dengan kontrol komunitas OR 1,1 (95% CI
0,9-1,3), chi-squared (4) 5,0, P>0,40 (fixed
effects model). Analisa studi juga dipisahkan
antara studi yang berasal dari US dan Canada
dengan studi dari Eropa dan Australia karena
perbedaan jenis estrogen yang digunakan. Untuk
gabungan kelompok homogen 6 kasus kontrol
dari Eropa dan Australia, OR 1,2 (95% CI 0,9-1,6)
chi-squared (5) 9,0, P>0,10 (fixed effects model),
pada kelompok heterogen 9 kasus kontrol di US
dan Canada OR 1,0 (95% CI 0,81-1,3, chisquared (8) 16,1, P<0,10 (random effects model).
Tidak ada bukti yang jelas hubungan respon-dosis
dengan makin lamanya penggunaan estrogen

pada 5 studi (overall slope 0,0012, 95% CI 0,0055-0,0080).


Meta-analisa oleh Garg dkk. (1998)77 terhadap
9 studi kasus-kontrol yang memberikan data
tentang risiko karsinoma ovarium invasif di antara
pengguna terapi sulih hormon menemukan bahwa
pengguna terapi sulih hormon dihubungkan
dengan peningkatan risiko karsinoma epitelial
ovarium invasif dengan RR 1,16, 95% CI 1,031,29. Pada penggunaan < 1 tahun RR 1,12 (95%
CI 0,92-1,36); 1-5 tahun RR 0,95 (95% CI 0,791,14); 6-10 tahun RR 1,02 (95% CI 0,81-1,29).
Risiko terbesar terjadi pada penggunaan lebih dari
10 tahun dengan RR 1,27 (95% CI 1,00-1,61).
Penggunaan terapi sulih hormon di sini
didefinisikan sebagai menggunakan estrogen saja
atau kombinasi estrogen-progestin. Disimpulkan
bahwa penggunaan terapi sulih hormon jangka
lama (khususnya > 10 tahun) pada wanita
pascamenopause mungkin dihubungkan dengan
peningkatan risiko karsinoma epitelial ovarium
invansif.
Studi kasus-kontrol pada wanita yang berusia
50-74 tahun oleh oleh Riman dkk. (2002)74
menemukan bahwa penggunaan estrogen saja
meningkatkan risiko kanker ovarium dengan OR
1,43 (95% CI 1,02-2,00). Risiko ini meningkat
untuk kanker subtipe serosa, musinosa, dan
endometrioid. Pada penggunaan <1 tahun OR
1,40 (95% CI 0,79-2,49) , 1 sampai <2 tahun
OR 1,07 (95% CI 0,40-2,88) , 2 sampai < 5
tahun OR 0,99 (95% CI 0,45-2,15), dan 5
sampai < 10 tahun OR 1,80 (95% CI 0,86-3,75).
Risiko paling tinggi diamati pada penggunaan
10 tahun OR 2,14 (95% CI 1,03-4,46). Risiko
berdasarkan dosis estrogen yang digunakan, dosis
tinggi OR 1,41 ( 95% CI 0,91-2,19) dan dosis
rendah OR 1,24 (95% CI 0,69-2,21) relatif
terhadap yang tidak pernah menggunakan.
Berdasarkan jenis estrogen yang digunakan,
estrogen konyugasi OR 1,53 (95% CI 0,85-2,74)
dan estradiol OR 1,59 (95% CI 1,09-2,30) bila
dibandingkan dengan yang tidak pernah
menggunakan.
Studi kohort prospektif pada 44.241 wanita
pascamenopause dengan usia rata-rata saat
folow-up 56,6 tahun (36-89 tahun) oleh Lacey
dkk. (2002)73 menemukan risiko kanker ovarium
meningkat
bermakna
pada
wanita
yang
menggunakan terapi sulih estrogen, terutama

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 29/39

untuk penggunaan 10 tahun atau lebih. Selama


rerata folow-up 13,4 tahun (1 bulan-19,8 tahun)
ditemukan 329 wanita menderita kanker ovarium.
Dibandingkan yang tidak pernah menggunakan,
penggunaan
estrogen
saja
berhubungan
bermakna dengan kanker ovarium (RR 1,6; 95%
CI 1,2-2,0). Risiko ini semakin meningkat dengan
makin lamanya penggunaan (<4 tahun RR 1,3
[95%CI 0,96-1,9]; 4-9 tahun RR 1,6 [95%CI 1,22,0], 10-19 tahun RR 1,8 [95%CI 1,1-3,0]; 20
tahun RR 3,2 [95%CI=1,7-5,7]). Peningkatan RR
untuk tiap tahun penggunaan 0,07 (95% CI 2%13%).
Terapi
Progestin

Sulih

Hormon

Kombinasi

Estrogen-

Hasil studi RCT WHI (2003)68 menemukan


bahwa pada pemberian tablet yang mengandung
CEE 0,625 mg dan MPA 2,5 mg/hari, 111
partisipan didiagnosa menderita kanker ginekologi
invasif selama pemantauan 5,6 tahun dan kanker
ovarium invasif ditemukan pada 32 partisipan.
Pada kelompok yang menggunakan estrogenprogestin ditemukan peningkatan risiko kanker
ovarium 1,58 kali dan tidak bermakna secara
statistik bila dibandingkan dengan plasebo (20
dibanding 12), HR 1,58; 95% CI 0,77-3,24
(adjusted 95% CI 0,59-4,23). Kemungkinan
peningkatan efek seiring waktu juga tidak
mencapai perbedaan bermakna secara statistik.
Tidak ada bukti perbedaan distribusi kelas
histologi, derajat morfologi, atau stadium penyakit
pada saat diagnosis kanker ovarium. Tidak
ditemukan hubungan bermakna dengan umur,
ras/etnik, indeks masa tubuh, riwayat keluarga
dengan kanker payudara, ovarium, atau
kolorektal,
penggunaan
kontrasepsi
oral
sebelumnya, riwayat penggunaan estrogen saja
atau hormon kombinasi. Kanker ovarium
dilaporkan sebagai penyebab kematian pada 9
wanita yang menggunakan estrogen plus
progestin dan 3 wanita yang menggunakan
plasebo (HR, 2,70; 95% CI, 0,73-10,0).
Studi kasus-kontrol pada wanita yang
berusia 50-74 tahun oleh oleh Riman dkk.
(2002)74 menemukan bahwa penggunaan terapi
hormon kombinasi estrogen-progestin sekuensial
meningkatkan risiko kanker ovarium (OR 1,54;
95%C 1,15-2,0), tetapi tidak dengan penggunaan
progestin kontinyu (OR 1,02, 95%CI 0,73-1,43).
Penggunaan kombinasi sekuensial selama 10

tahun atau lebih memiliki risiko yang paling tinggi


OR 2,10 (95%CI 0,99-4,48) bila dibandingkan
yang tidak pernah menggunakan dan risiko paling
tinggi untuk kanker serosa. Risiko kanker epitelial
ovarium lebih tinggi pada pengguna estrogenprogestin
sekuensial
dibanding
kontinyu
(OR=1,78, 95% CI 1,05-3,01). Risiko ini
meningkat untuk kanker subtipe serosa,
musinosa, dan endometrioid.
Studi kohort prospektif oleh Lacey
dkk.(2002)73 menemukan risiko kanker ovarium
tidak meningkat pada wanita yang menggunakan
kombinasi estrogen-progestin saja jangka pendek,
tetapi risiko untuk penggunaan terapi sulih
hormon estrogen-progestin jangka pendek dan
panjang masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Penggunaan terapi sulih hormon estrogenprogestin
diklasifikasikan
berdasarkan
penggunaan terapi sulih hormon estrogen
sebelumnya (penggunaan kombinasi estrogenprogestin setelah penggunaan estrogen saja
sebelumnya dan penggunaan kombinasi estrogenprogestin saja). Dibandingkan dengan yang tidak
pernah menggunakan terapi sulih hormon, RR
penggunaan kombinasi estrogen-progestin setelah
penggunaan estrogen saja 1,5 (95%CI 0,91-2,4),
dengan lamanya penggunaan estrogen saja
sebelumnya rata-rata 5,7 tahun dan kombinasi
estrogen-progestin 3,6 tahun. Untuk penggunaan
kombinasi estrogen-progestin saja RR 1,1
(95%CI=0,64-1,7), dengan lamanya penggunaan
rata-rata 3,5 tahun. Pada penggunaan estrogenprogestin saja selama <2 tahun RR 1,6
(95%CI=0,78-3,3) dan 2 tahun RR 0,80
(95%CI=0,35-1,8) dan tidak ada bukti respon
terhadap lamanya penggunaan (p=0,30).
13. Apakah
pada
wanita
perimenopause
pemberian terapi sulih hormon dapat
mencegah penurunan fungsi kognitif?
Jawaban:
- Belum ada bukti ilmiah yang mendukung
penggunaan terapi sulih hormon untuk
mencegah penurunan fungsi kognitif.
Rasional:
Efek protektif estrogen pada otak meliputi:
memicu aktivitas kolinergik; mengurangi neuronal
loss, stimulasi axonal sprouting dan pembentukan
dendritic spine; mengurangi iskemia serebral

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 30/39

dengan cara meningkatkan aliran darah dan


menurunkan kadar kolesterol; dan mengatur
ekspresi gen apolipoprotein-E. Studi observasional
memberikan kesan bahwa terapi hormon
pascamenopause dapat meningkatkan fungsi
kognisi, tetapi data dari randomized clinical trial
masih sedikit dan inkonklusif.
Cochrane review (2002)55 terhadap 15
penelitian RCT (tetapi 6 penelitian memiliki data
keluaran yang kurang untuk dapat dianalisa)
menyatakan bahwa hanya sedikit bukti yang ada
tentang efek terapi sulih hormon yang
mengandung estrogen saja atau kombinasi
estrogen-progestin terhadap semua fungsi kognitif
pada wanita pascamenopause sehat dan
berdasarkan bukti yang ada, tidak dapat
direkomendasikan untuk meningkatkan fungsi
kognitif secara keseluruhan ataupun untuk
pemeliharaan. Jumlah sampel pada review ini 566
wanita pascamenopause dengan usia rata-rata 55
tahun (29-91 tahun). Hasil meta-analisa ini
menunjukkan efek yang bermakna dari E2 10 mg
im/bulan selama 2-3 bulan pada wanita
menopause surgikal yang relatif lebih muda hanya
pada satu aspek tes memori verbal (Paired
associate learning immediate recall), pada tes
abstract reasoning dan tes speed dan accuracy.
Penggunaan CEE+MPA hanya menunjukkan efek
pada satu tes memproses informasi kompleks
(TMT-B) setelah 9 bulan. Tidak efek HRT
ditemukan terhadap memori verbal atau
visuospasial, mental rotations.
Tes memori verbal
Terdapat efek yang positif dari estradiol (E2)
10 mg, bolus injeksi intramuskular setiap
bulan, selama 2-3 bulan, pada wanita dengan
menopause surgikal yang relatif muda pada

immediate recall tes Paired associate learning

(z=2,40, p<0,05, chi-square test=1,12,


p=0,29, SMD=1,02, 95% CI=0,19-1,85).
Pada penggunaan CEE dan MPA setelah 9
bulan pada wanita yang berusia lebih tua
tidak ada bukti adanya efek (z=1,04,
p=0,30), penilaian menggunakan tes yang
sama tapi sistim skoring berbeda. Delayed
recall tes Paired associate tidak bermakna
baik pada penggunaan E2 ataupun CEE+MPA
(p=1,0). Studi lain yang menggunakan
E2+progestagen oral selama 2 bulan atau E2
transdermal selama 2 minggu juga tidak
memberikan
hasil
bermakna
(p>0,5)

walaupun menggunakan tes Paired associate


yang berbeda dan tes lain untuk associative
verbal memory. Tidak ada bukti adanya efek
pengobatan pada tes memori verbal lain
(yang digunakan pada studi lain).
Tes memori visual
Tidak ada bukti adanya efek terhadap memori
visuospasial dari berbagai jenis tes yang
digunakan (z=0,20, p=0,80). Juga tidak bukti
efek yang bermakna terhadap memori
visuospasial
pada
studi-studi
yang
menggunakan baik E2 10 mg IM, setiap bulan
(selama 2-3 bulan), E2 transdermal selama 23 minggu, E2 oral selama 2 bulan atau CEE
oral selama 1 bulan. Tidak ada heterogenitas
yang bermakna di antara studi (p=0,64),
yang menunjukkan bahwa hasil ini sebanding.
Kecepatan memproses informasi
Tidak ada bukti efek penggunaan CEE+MPA
selama
9
bulan
terhadap
kecepatan
memproses informasi sederhana (Trail making
test part A [TMT-A], p=0,13). Untuk
kecepatan
memproses
informasi
yang
kompleks, hanya TMT-B yang bermakna
setelah penggunaan CEE+MPA selama 9
(z=1,3, p<0,05, SMD=-0,57, 95% CI=-1,160,01).

Abstract reasoning, accuracy dan mental


rotation

Terdapat efek yang bermakna setelah


penggunaan E2 10 mg IM, setiap bulan
(selama 2-3 bulan) pada tes abstract
reasoning (z=10,45, p<0,0001, WMD=6,08,
95% CI=5,52-8,08). Tidak ada efek yang
bermakna terhadap tes mental rotation
setelah penggunaan E2 transdermal selama
2-3 minggu (p>0,06). Juga tidak ada efek
yang bermakna pada accuracy setelah
penggunaan CEE+MPA selama 9 bulan
(p=0,01) atau E2 transdermal (p=0,08). Efek
yang bermakna terlihat pada tes speed dan
accuracy setelah penggunaan E2 10 mg, tiap
bulan, selama 3 bulan pada wanita
menopause surgikal yang relatif lebih muda
(z=9,16,
p<0,0001,
WMD=6,00,
95%
CI=4,72-7,28).
Dari hasil meta-analisa dan systematic review
9 RCT dan 8 studi kohort oleh LeBlanc dkk (2001)56
disimpulkan bahwa pada wanita dengan gejala
menopause terapi sulih hormon mungkin memiliki

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 31/39

efek terhadap fungsi kognitif yang spesifik dan efek


tersebut seharusnya menjadi target pada studi yang
akan datang. Studi ini melibatkan wanita dengan usia
rata-rata 45-80 tahun dengan jangka waktu
penggunaan terapi sulih hormon 21 hari-6 bulan.
Wanita dengan gejala menopause yang mendapatkan
terapi sulih hormon memiliki perbaikan dalam memori
verbal, vigilance, reasoning dan motor speed dan
tidak ada perbaikan untuk fungsi kognitif lain. Secara

umum, tidak ada keuntungan diamati pada wanita


tanpa gejala menopause. Studi yang ada tidak
memiliki informasi yang cukup untuk dapat mengkaji
secara adekuat efek penggunaan progestin, berbagai
sediaan dan dosis estrogen serta lamanya
penggunaan. Studi untuk fungsi kognitif ini tidak
dikombinasikan secara kuantitatif karena desain studi
heterogen.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 32/39

BAB IV
BIAYA
Karena keterbatasan data epidemiologi, maka dalam
kajian ini hanya akan dicantumkan kisaran biaya yang
harus dikeluarkan pasien (out of pocket) untuk
mendapatkan terapi sulih hormon. Biaya yang harus
dikeluarkan terdiri dari beberapa komponen antara
lain:
1. Konsultasi dokter
Biaya ini sangat bervariasi, bergantung pada
institusi pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Umumnya konsultasi dikerjakan oleh Dokter
spesialis Kebidanan, dengan biaya antara Rp
20.000,00-Rp 75.000,00 untuk tiap konsultasi.
2. Pemeriksaan
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sebelum
pemberian terapi sulih hormon bukanlah hal yang
rutin dikerjakan. Pemeriksaan penunjang hanya
dilakukan berdasarkan indikasi bila diperlukan.
- Pemeriksaan kimia darah.
Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan
sebagai data dasar dalam rekam medik.
Pemeriksaaan ini terdiri dari: Calsium serum,

HDL, LDL kolesterol total, SGPT, SGOT, gula


darah.
Pemeriksaan hormonal.
Hormon yang diperiksa adalah kadar estradiol
dan FSH. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menegakkan diagnosis menopause.
Densitometri mineral tulang
Mammografi.
Beberapa
klinisi
menyatakan
bahwa
pemeriksaan USG mamma dapat digunakan
untuk pemeriksaan berkala, sebab prosedur
pemeriksaan lebih nyaman untuk pasien dan
sensitifitasnya relatif tidak berbeda dengan
mammografi.
Sitologi serviks (Papsmear)
Pemeriksaan sistem kardio serebro vaskuler
Pemeriksaan yang termasuk di dalamya
meliputi foto thoraks, elektro kardiografi,
agregasi trombosit, PT, APTT dan fibrinogen.
Ca 125 dan Ca 153
Pemeriksaan ini dilakukan pada pemakaian
hormon jangka panjang

Berikut perkiraan total biaya pemeriksaan yang harus dikeluarkan per tahun. Biaya pemeriksaan berikut didapat
dari RSCM dan RS Fatmawati.
No.
1.
2

4
5
6
7

Pemeriksaan
Konsultasi dokter
Laboratorium rutin
Ca serum
HDL
LDL
Kolesterol total
SGPT
SGOT
Gula darah
Kadar hormon
FSH
Estradiol
Densitometri tulang
Mammografi
USG mamma
Papsmear
Pemeriksaan Kardiovaskuler
- Foto thoraks
- EKG
- Agregasi trombosit
- PT
- APTT
- Fibrinogen

x/tahun
34
1

Rentang Harga (rb)

Jumlah/tahun
(rb)

20 150
21.5 33
20.5 27
11 25
17 25
15 - 22.5
15 - 22.5
11 - 15.5

21.5 33
20.5 27
11 - 25
17 25
15 - 22.5
15 - 22.5
11 - 15.5

106 - 155
160 - 200
400 - 650
130 - 177.5
181.5 - 265.5
32 - 100

106 - 155
160 - 200
400 - 650
130 - 177.5
181.5 - 265.5
32 - 100

1
1
1
1
1
1
1
1
1
1

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 33/39

3. Obat hormonal
Berikut dicantumkan daftar harga yang diambil dari daftar harga obat RS Fatmawati dan ISO Indonesia 2002.
No
1.

Nama
Dagang
Cliane

2.

Dilena

3.

Kliogest

4.
5.

Ogen
Ovestin

6.
7.

Progynova28
Progynova

8.

Premarin

9.
10.
11.
12.
13.

Duphaston
Endometril
Meges
Norelut
Estreva

14.
15.

Fem 7
Livial

Kandungan
Noretisteron
asetat
1mg+estradiol 2mg
Estradiol
valerat
2mg+MPA 10mg
Noretisteron
asetat
1mg+estradiol 2mg
Estropipat
Estriol 1mg
Estriol 2mg
Estriol 1mg/g
Estradiol valerat
Estradiol valerat 1;
2mg
Estr.konyugasi 0.3;
0.625;
1.25mg
Dydrogesteron
Lynestrenol
MPA
Noretisteron
Estradiol
hemihydrat
(0.1%,50g)
17 estradiol
Tibolone

Keterangan
Kontinyu

117.370/28

HJA
(satuan)
5.500

Sekuensial

124.300/28

5800

Kontinyu

121.000/28

5.650

158.2

333.750/100
39.000/30
52.030/30
69.300
55.022/28
26.950/28
41.600/28
57.200/28
90.805/28
128.700/28
108.040/10
275.880/100

4.350

121.8

2.250

67.5

2.550

71.4

14.045
2.200

Krim vagina

105.000/50
165.000

2.750
214.500

Plester
Plester

79.695/4
13,05/28

25.900
10.800

Kontinyu
Krim
Kontinyu
Kontinyu
Kontinyu

HNA

Pemakaian
sebulan (rb)
154

214.5
103.6

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 34/39

BAB V
REKOMENDASI
1. Batasan terapi sulih hormon:
Terapi sulih hormon adalah pemberian hormon
(estrogen atau kombinasi estrogen-progesteron)
pada wanita usia perimenopause yang bertujuan
mengobati seorang wanita dari dampak negatif
yang timbul akibat penurunan kadar hormon
tersebut. Penurunan kadar hormon dapat terjadi
secara fisiologis maupun non fisiologis.
2. Batasan masa klimakterium:
Berdasarkan perkembangan aging process,
penurunan kadar hormon estrogen mulai terjadi
sejak usia 35 tahun. Penurunan kadar hormon
tersebut, secara klinis akan menyebabkan
gangguan haid yang berlangsung sampai umur 45
tahun (Klimakterik awal). Gejala gangguan haid
ini makin nyata ketika memasuki usia menopause
(49-51 tahun) yang berlanjut sampai umur 55
tahun (masa perimenopause, 4655 tahun).
Selanjutnya wanita masuk ke masa klimakterium
akhir (56-65 tahun).
KLIMAKTERIUM

35

45
Klimakterik
Awal

65

55
Perimenopause

Klimakterik
Akhir

3. Indikasi
Mengingat pemberian sulih hormon dapat
menimbulkan efek samping yang merugikan,
maka sulih hormon hanya diberikan apabila
diperlukan. Pemberian sulih hormon untuk
pengobatan gejala klinis yang mengganggu,
hendaknya memperhatikan faktor-faktor negatif
yang bisa terjadi.

a. Pemberian sulih hormon dapat dimulai pada


masa klimakterium awal, yang dapat
dilanjutkan sampai masa perimenopause,
bahkan sampai masa pascamenopause
(Rekomendasi C)
b. Pemberian sulih hormon untuk tujuan
pencegahan hanya diberikan apabila memang
sangat diperlukan (Rekomendasi C)
c. Pemberian sulih hormon (untuk pengobatan
ataupun pencegahan) harus disertai informed
consent (IC). (Rekomendasi C)
4. Pemilihan sediaan dan cara pemberian
a. Hendaknya diberikan preparat estrogen atau
kombinasi estrogen-progesteron alamiah.
b. Wanita yang masih memiliki uterus diberi
kombinasi estrogen-progesteron, sedangkan
yang tidak diberi sediaan estrogen saja.
Cara pemberian
Sulih hormon dapat diberikan peroral, topikal atau
injeksi.
Sulih hormon peroral dapat diberikan sekuensial
atau kontinyu.
i. Sekuensial
Diberikan bagi wanita usia perimenopause yang
masih
menginginkan menstruasi
ii. Kontinyu
Diberikan bagi wanita usia menopause yang
tidak lagi menginginkan menstruasi.
5. Dosis
Dimulai dengan pemberian dosis terendah yang
paling efektif (disesuaikan dengan keluhan klinis).
6. Lama pemberian
Sulih
hormon
diberikan
selama
pasien
memerlukan disertai pemantauan yang teratur
(sitologi serviks {pap smear}, mammografi / USG
payudara, pemeriksaan densitas mineral tulang).

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 35/39

7. Algoritme
Gejala Menopause
Tidak ada keluhan /
Ada tapi tidak mengganggu

Tidak perlu
HRT,tapi
perlu
konseling

Faktor risiko
osteoporosis
lain (-)

Ada dan mengganggu

Faktor risiko
osteoporosis
lain (+)

Diskusikan dengan
pasien perlunya
penggunaan HRT
(IC)

Menolak HRT

Setuju HRT

Pilihan terapi lain


(fitoestrogen,
SERM)

Riwayat Kanker
payudara

Periksa densitas
mineral tulang

Densitas tulang
Normal

Densitas tulang
rendah

Diet dan gaya


hidup sehat

Pilihan HRT atau


alternatif
(bifosfonat,
SERM)

Diskusikan terapi
lain
(Fitoestrogen,
SERM)

Riwayat Keluarga
dengan Kanker
Payudara

HRT jangka pendek

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 36/39

DAFTAR PUSTAKA
Humphrey LL, Takano L, Chan B. Postmenopausal
hormone replacement therapy and cardiovascular
disease. Systematic Evidence Review No. 10.
Oregon Health & Science University Evidence-based
Practice Center. Contract no. 290-97-0018.
Rockville, MD: Agency for Healthcare Research and
Quality;
2002.
Available
at
www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm
2. Baziad A. Country-specific information in Indonesia.
Presented in: First Consensus Meeting on
Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30
May 1997.
3. Aso T. Demography of the menopause and pattern
of climacteric symptoms in the East Asian Region.
Presented in: First Consensus Meeting on
Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30
May 1997.
4. Honjo H, Urabe M, Okubo T, Kikuchi N. Countryspecific information on the menopause in Japan.
Presented in: First Consensus Meeting on
Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30
May 1997
5. Nawaz H, Katz DL. American college of preventive
medicine practice policy statement: perimenopausal
and
postmenopausal
hormone
replacement
therapy. Am J Prev Med 1999;17:250-53
6. U.S.
Preventive
Services
Task
Force.
Postmenopausal hormone replacement therapy for
primary
prevention
of
chronic
conditions:
Recommendations and Rationale. Ann Intern
Med.2002;137:834-39.
7. AACE medical guidelines for clinical practice for the
prevention and treatment of postmenopausal
osteoporosis. Endocr Pract 2003;9:544-64.
8. Rymer J, Wilson R, Ballard K. Clinical review:
Making decisions about hormone replacement
therapy. Brit Med J 2003;326:322-25
9. Hormone Replacement Therapy (HRT) and
Womens Health Initiative (WHI). Report-The
Position of The Ministry of Health Malaysia. 2002.
10. Randolph JF. Be careful of what you wish for:
putting the WHI estrogen/progestin and HERS II
trials in perspective. Medscape General Medicine
2002;4.a
11. Nelson HD, Humphrey LL, LeBlanc E, Miller J,
Takano L, Chan BKS, Nygren P, et al.
Postmenopausal hormone replacement therapy for
the primary prevention of chronic conditions: A
Summary of the evidence for the U.S. Preventive
Services Task Force. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality; 2002. Available
at:www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm
12. Gold EB, Bromberger J, Crawford S, Samuels S,
Greendale GA, Harlow SD, et al. Factors associated
with age at natural menopause in a multiethnic
sample of midlife women. Am J Epidemiol 2001;153
[abstract]
1.

13. Rymer J, Morris E. Cllinical review: Menopausal


symptoms. BMJ 2000;321:1516-18
14. Ismail NN. Menopause and HRT in Malaysia.
Presented in: First Consensus Meeting on
Menopause in the East Asian Region. Geneva 26-30
May 1997
15. Ahlborg HG, Johnell O, Turner CH, Rannevik G,
Karlsson MK. Bone loss and bone size after
menopause. N Engl J Med 2003;349:327-33.
16. Cooper GS, Baird DD, Darden FR. Measures of
menopausal status in relation to demographic,
reproductive, and behavioral characteristics in a
population-based study of women aged 35-49
years. Am J Epidemiol 2001;153:1159-65.
17. Morley JE, van den Berg L. Endocrinology of Aging.
Humana press Totowa, New Jersey, 2000.
18. Nawaz H, Katz DL. American college of preventive
medicine practice policy statement: perimenopausal
and
postmenopausal
hormone
replacement
therapy. Am J Prev Med 1999;17:250-53
19. Loprinzi CL, Michalak JC, Quella SK, OFallon JR,
Hatfield AK, Nelimark RA, Dose AM, et al. Megestrol
acetate for the prevention of hot flashes. N Engl J
Med.1994;331:347-52
20. Gruber CJ, Tschugguel W, Schneeberger C, Huber
JC. Production and actions of estrogens. N Engl J
Med 2002;346:340-52
21. Cauley JA, Robbins J, Chen Z, Cummings SR,
Jackson RD, LaCroix AZ, et al. Effects of estrogen
plus progestin on risk of fracture and bone mineral
density. The Womens Health Initiative Randomized
Trial. JAMA 2003;290:1729-38
22. Brown JS, Grady D, Ouslander JG, Herzog AR,
Varner RE, Posner SF. Prevalence of urinary
incontinence and associated risk factors in
postmenopausal
women.
Obstet
Gynecol.1999;94:66-70
23. Concept report for Hormone replacement therapy.
Available
at:
http://ncimeta.nci.nih.gov/MetaServlet/servlet/Resu
ltServlet2?conceptID=C0282402
24. Utian W, Archer D, Gallagher J, Gass M, Gelfand M,
Henderson V, et al. Recommendations for estrogen
and progestogen use in peri and postmenopausal
women: October 2004 position statement of The
North American Menopause Society. Menopause,
2004;11:589-600.
25. McNagny SE. Prescribing hormone replacement
therapy for menopausal symptoms. Ann.Intern Med
1999:131;606-15
26. The Hong Kong College of Obstetrician and
Gynaecologists. Guidelines for the administration of
hormone replacement therapy. January, 2003.
Available
at:
http://www.hkcog.org.hk/docs/guidelines
27. Baziad A. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Menopause dan
Andropause. Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. Jakarta, 2003.
28. Pedoman Penatalaksanaan Masalah Menopause dan

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 37/39

29.

30.

31.

32.

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.
42.

Andropause bagi petugas di tingkat pelayanan


kesehatan dasar. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta 2002
National Health and Medical Research Council
Australia. Hormone replacement therapy for periand post-menopausal women. A booklet for health
Professionals.
Available
at:
http://www.nhmrc.gov.au/publications/pdf/wh22.p
df
Hosking D, Chilvers CED, Christiansen C, Ravn P,
Wasnich R, Ross P, et al. Prevention of bone loss
with alendronate in postmenopausal women under
60 years of age. N Engl J Med 1998;338:485-92
Mac Lennan A, Lester S, Moore V. Oral oestrogen
replacement therapy versus placebo for hot flushes
(Cochrane review). In:The Cochrane library, Issue
2, 2004. Chichester, UK:John Wiley & Sons, Ltd.
Menopause and hormone therapy. In: Institute for
Clinical Systems Improvement Health care
guideline. October, 2003. Available at: www.icsi.org
Vestergaard P, Hermann AP, Stilgren L, Tofteng CL,
Sorensen OH, Eiken P, et al. Effects of 5 years of
hormonal replacement therapy on menopausal
symptoms and blood pressure-a randomised
controlled study. Maturitas 2003;46:123-32.
Sherburn M, Guthrie JR, Dudley EC, OConnel HE,
Dennerstein L. Is incontinence associated with
menopause?. Obstet Gynecol.2001;98:628-33
Fantl JA, Cardozo L, McClish DK, The hormone and
urogenital therapy committee. Estrogen therapy in
the management of urinary incontinence in
postmenopausal women: a meta-analysis. First
report of the hormones and urogenital therapy
committee. Obstet Gynecol. 1994;83:12-18.)
Moehrer B, Hextall A, Jackson S. Oestrogens for
urinary incontinence in women (Cochrane Review).
In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004.
Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd
Weiss SR, Ellman H, Dolker M. A randomized
controlled trial of four doses of transdermal
estradiol for preventing postmenopausal bone loss.
Obstet Gynecol 1999;94:330-6
Wells G, Tugwell P, Shea B, Guyatt G, Peterson J,
Zytaruk N, et al. Meta-analysis of the efficacy of
hormone replacement therapy in treating and
preventing osteoporosis in postmenopausal women.
Endocr Rev 2002;23:529-39.
Lindsay R, Gallagher JC, Kleerekoper M, Pickar JH.
Effect of lower doses of conjugated equine
estrogens with and without medroxyprogesterone
acetate on bone in early postmenopausal women.
JAMA 2002;287:2668-76.
Speroff L, Rowan J, Symons J, Genant H, Wilborn
W, for the CHART Study Group. The comparative
effect on bone density, endometrium, and lipids of
continuous hormone as replacement therapy
(CHART Study). A randomized controlled trial.
Jnne PA, Mayer RJ. Chemoprevention of colorectal
cancer. N Engl J Med 2000;342:1960-8.
Grodstein F, Martinez E, Platz EA, Giovannucci E,

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

51.

52.

53.

Colditz GA, Kautzky M, et al. Postmenopausal


hormone use and risk for colorectal cancer and
adenoma. Ann Intern Med. 1988;128:705-12.
Prihartono N, Palmer JR, Louik C, Shapiro S,
Rosenberg R. A case control study of use of
postmenopausal female hormone supplements in
relation to the risk of large bowel cancer. Cancer
Epidemiology,
Biomarkers
and
Prevention
2000;9:443-7.
Calle EE, Miracle-McMahill HL, Thu MJ, Health CW.
Estrogen replacement therapy and risk of fatal
colon cancer in a prospective cohort of
postmenopausal women. J Natl Cancer Inst
1995;87:517-23.
Chlebowski RT, Wactawski-Wende J, Ritenbaugh C,
Hubbel A, Ascensao B, Rodabough RJ, et al.
Estrogen plus progestin and colorectal cancer in
postmenopausal
women.
N
Engl
J
Med
2004;350:991-1004.
Allen J, Teutsch S. Hormone replacement therapy
and risk of venous thromboembolism. Systematic
Evidence Review No. 11. Oregon Health & Science
University Evidence-based Practice Center. Contract
no. 290-97-0018. Rockville, MD: Agency for
Healthcare Research and Quality; 2002. Available
at: www.ahrq.gov/clinic/serfiles.htm
Manson JE, Hsia J, Johnson KC, Rossouw JE, Assaf
AR, Lasser NL, Trevisan M, et al. Estrogen plus
progestin and the risk of coronary heart disease. N
Engl J Med.2003;349:523-34.
Rossouw JE, Anderson GL, Prentice RL, LaCroix AZ,
Kooperberg C, Hutchinson F, et al. Risk and benefit
of
estrogen
plus
progestin
in
healthy
postmenopausal women: Principal results from the
Womens Health Initiative Randomized Controlled
Trial. JAMA 2002;288:321-33.
Hulley S, Grady D, Bush T, Furberg C, Herrington D,
Riggs B, Vittinghoff E, et al. Randomized trial of
estrogen plus progestin for secondary prevention of
coronary heart disease in postmenopausal women.
JAMA.1998;280:605-13.
Cherry N, Gilmour P, Heagerty A, Khan MA,
Kitchener H, McNamee R, Elstein M, et al.
Oestrogen therapy for prevention of reinfarction in
postmenopausal women: a randomized placebo
controlled trial. The ESPRIT team. The Lancet
2002;360:2001-8
Smoller SW, Hendrix SL, Limacher M, Heiss G,
Kooperberg C, Baird A, Kotchen T, et al. Effect of
estrogen
plus
progestin
on
stroke
in
postmenopausal women. The Womens Health
Initiative: A randomized trial. JAMA 2003;289:267384.
Simon JA, Hsia J, Cauley JA, Richards C, Harris F,
Fong J, Barret-Connor E, et al. Postmenopausal
hormone therapy and risk of stroke. The Heart and
estrogen-progestin Replacement Study (HERS).
Circulation 2001;103:638-42.
Viscoli CM, Brass LM, Kernan WN, Sarrel PM, Suissa
S, Horwitz RI. A clinical trial of estrogen-

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 38/39

54.

55.

56.

57.

58.

59.

60.

61.

62.

63.

64.

65.

66.

replacement therapy after ischemic stroke. N Engl J


Med 2001;345:1243-49.
Shumaker SA, Legault C, Rapp SR, Thal L, Wallace
RB, Ockene JK, et al. Estrogen plus progestin and
the incidence of dementia and mild cognitive
impairment in postmenopausal women. The
Womens Health Initiative Memory Study: A
randomized controlled trial. JAMA. 2003;289:265162.
Hogervorst E, Yaffe K, Richards M, Huppert F.
Hormone replacement therapy for cognitive
function in postmenopausal women (Cochrane
Review). In: The Cochrane Library, Issue 2, 2004.
Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
LeBlanc E, Janowsky J, Chan B, Nelson H. Hormone
replacement therapy and cognition. Systematic
review and meta-analysis. JAMA 2001;285;1489-99.
Schaumberg DA, Buring JE, Sullivan DA, Dana MR.
Hormone replacement therapy and dry eye
syndrome. JAMA 2001;286:2114-9
Hodis HN, Mack WJ, Azen SP, Lobo RA, Shoupe D,
Mahrer PR, et al. Hormone therapy and the
progression of coronary-artery atherosclerosis in
postmenopausal
women.
N
Eng
J
Med
2003;349:535-45
Grodstein F, Stampfer MJ, Manson JE, Colditz GA,
Willet WC, Rosner B, Speizer FE, et al.
Postmenopausal estrogen and progestin use and
the risk of cardiovascular disease. N Engl J
Med.1996;335:453-61.
Beral V, Bull D, Doll R, Key T, Peto R, Reeves G.
Breast cancer and hormone replacement therapy:
collaborative reanalysis of data from 51
epidemiological studies of 52 705 women with
breast cancer and 108 411 women without breast
cancer. Lancet 1997;350:1047-59.
Colditz GA, Hankinson SE, Hunter DJ, Willett WC,
Manson JE, Stampfer MJ, et al. The use of
estrogens and progestins and the risk of breast
cancer in postmenopausal women. N Engl J Med
1995;332:1589-93.
Gapstur SM, Morrow M, Sellers TA. Hormone
replacement therapy and risk of breast cancer with
a favorable histology. Results of the Iowa Womens
Health Study. JAMA 1999;281:2091-7.
Ross RK, Paganini-Hill A, Wan PC, Pike MC. Effect of
hormone replacement therapy on breast cancer
risk:estrogen versus estrogen plus progestin. J Natl
Cancer Inst 2000;92:328-32.
Schairer C, Lubin J, Troisi R, Sturgeon S, Brinton L,
Hoover R. Menopausal estrogen and estrogenprogestin replacement therapy and breast cancer
risk. JAMA 2000;283:485-91.
Greendale GA, Reboussin BA, Sie A, Singh R, Olson
LK, Gatewood O, et al. Effects of estrogen and
estrogen-progestin on mammographic parenchymal
density. Ann. Intern. Med 1999;130:262-9.
Chlebowski RT, Hendrix SL, Langer RD, Stefanick
ML, Gass M, Lane D, et al. Influence of estrogen
plus progestin on breast cancer and mammography

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

75.

76.

77.

in healthy postmenopausal women. The Womens


Health
Initiative
Randomized
Trial.
JAMA
2003;289:3243-53.
Anderson GL, Limacher M, Assaf AR, Bassford T,
Beresford SA, Black H, et al. Effects of conjugated
equine estrogen in postmenopausal women with
histerectomy. JAMA 2004;291:1701-12
Anderson GL, Judd HW, Kaunitz AM, Barad DH,
Beresford SAA, Pettinger M, et al. Effects of
estrogen plus progestin on gynecologic cancers and
associated diagnostic procedures. The Womens
Health
Initiative
Randomized
Trial.
JAMA.
2003;290:1739-48.
Lethaby A, Farquhar C, Sarkis A, Roberts H, Jepson
R, Barlow D. Hormone replacement therapy in
postmenopausal women: endometrial hyperplasia
and irregular bleeding (Cochrane Review). In: The
Cochrane Library, Issue 2, 2004. Chichester, UK:
John Wiley & Sons, Ltd.
Wells M, Sturdee DW, Barlow DH, Ulrich LG, OBrien
K, Campbell MJ, et al. Effect on endometrium of
long term treatment with continuous combined
oestrogen-progestogen
replacement
therapy:
follow-up study. BMJ. 2002;325:
Grady D, Wenger NK, Herrington D, Khan S,
Furberg C, Hunninghake D, et al. Postmenopausal
hormone therapy increases risk for venous
thromboembolic
disease.
The
Heart
and
Estrogen/progestin Replacement Study. Ann Intern
Med. 2000;132(9):689-96.
Weiderpass E, Adami HO, Baron JA, Magnusson C,
Bergstrm R, Lindgren L, Correia N, et al. Risk of
endometrial cancer following estrogen replacement
with and without progestin. J Natl Cancer Inst.
1999;91:1131-37.
Lacey JV, Mink PJ, Lubin JH, Sherman ME, Troisi R,
Hartge P, et al. Menopausal hormone replacement
therapy and risk of ovarian cancer. JAMA.
2002;288:334-41.
Riman T, Dickman PW, Nillson S, Correia N,
Nordlinder H, Magnusson CM, et al. Hormone
replacement therapy and the risk of invasive
epithelial ovarian cancer in Swedish women. J Natl
Cancer Inst. 2002;94:497-504.
Rodriguez C, Patel AV, Calle EE, Jacob EJ, Thum
MJ. Estrogen replacement therapy and ovarian
cancer mortality in a large prospective study of US
women. JAMA. 2001;285:1460-65.
Coughlin SS, Giustozzi a, Smith SJ, Lee NC. A metaanalysis of estrogen replacement therapy and risk
of epithelial ovarian cancer. J Clin Epidemiol.
2000.53(4).367-75.
Garg P, Kerlikowske K, Subak L, Grady D. Hormone
replacement therapy and the risk of epithelial
ovarian carcinoma: a meta-analysis. Obstet Gynecol
1998;92:472-9.

HTA Indonesia_2004_Terapi Sulih Hormon pada Wanita Perimenopause_hlm 39/39

PANEL AHLI
Prof.Dr.dr. Ichramsjah A. Rachman, SpOG,
KFER
Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Pradana Soewondo, SpPD, KEMD
Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Siti Setiati, SpPD, KGer, MEpid
Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit
Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Kahar Kusumawijaya, SpRad
Departemen Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Prof.dr.Med. Ali Baziad, SpOG, KFER
Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Julianto Witjaksono, SpOG, KFER
Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Wawang S. Sukarya, SpOG
Departemen Ilmu Kebidanan dan Kandungan
Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung
dr. Silvia F.L., SpS
Departemen Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
TIM TEKNIS
Ketua
: Prof.Dr.dr. Sudigdo
Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : dr. N. Soebijanto, SpPD
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
dr. Monalisa Nasrul
dr. Mutiara Arcan
dr. Nastiti Rahajeng

Anda mungkin juga menyukai