Disusun oleh :
Scherlly Reviana
030.11.269
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul BRONKOPNEUMONIA ini dengan baik. Penulis juga
mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Daniel Effendi, Sp.A
selaku pembimbing atas segala pendampingan dan pengarahan yang telah
diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Rasa terima
kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan kepada keluarga dan rekanrekan sejawat yang telah memberikan dukungan, saran dan kritik yang
membangun. Penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam penulisan laporan kasus. Penulis berharap agar laporan kasus ini dapat
bermanfaat di kemudian hari.
Scherlly Reviana
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN........ 1
KATA PENGANTAR .... 2
DAFTAR ISI ...... 3
BAB I
PENDAHULUAN ................ 4
BAB I
PENDAHULUAN
Secara umum, sesak napas berarti napas yang sulit. Keluhan tersebut
merupakan gabungan gejala subjektif yang dirasakan pasien dan gejala objektif yang
dilihat melalui pemeriksaan fisik. Sesak napas didefinisikan sebagai keadaan yang
terjadi akibat mekanisme pernapasan tidak dapat memenuhi kebutuhan proses
metabolisme dalam tubuh. Hal itu menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara
kebutuhan dan pemenuhan ventilasi. Sesak napas akan muncul apabila terjadi
peningkatan kebutuhan, seperti pada peningkatan metabolisme, atau adanya gangguan
pemenuhan kebutuhan akibat gangguan ventilasi pada sistem pernapasan/gangguan
sirkulasi pada sistem kardiovaskular atau keduanya.1
Bronkopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing. Bronkopneumonia
didefinisikan sebagai peradangan akut dari parenkim paru pada bagian distal
bronkiolus terminalis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus
alveolaris, dan alveoli.2
Pneumonia merupakan penyakit yang menjadi masalah di berbagai negara
terutama di negara berkembang termasuk Indonesia. Insidens pneumonia pada anak
<5 tahun di negara maju adalah 2-4 kasus/100 anak/ tahun, sedangkan di negara
berkembang 10-20 kasus/100 anak/tahun. Pneumonia menyebabkan lebih dari 5 juta
kematian per tahun pada balita di negara berkembang. Beberapa faktor meningkatkan
risiko kejadian dan derajat pneumonia, antara lain defek anatomi bawaan, deficit
imunologi, polusi, GER (gastroesophageal reflux), aspirasi, gizi buruk, berat badan
lahir rendah, tidak mendapatkan air susu ibu (ASI), imunisasi tidak lengkap, adanya
saudara serumah yang menderita batuk, dan kamar tidur yang terlalu padat
penghuninya. 3
BAB II
PRESENTASI KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Scherlly Reviana
Pembimbing : dr. Daniel Effendi, Sp.A
NIM
: 030.11.269
Tanda tangan :
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. BP
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 11 bulan
Tempat/ tanggal lahir : Jakarta, 10 Oktober 2015
Agama
: Islam
Pendidikan
: Belum Sekolah
Alamat
: Jl. Tanah Rendah RT 009/07 No. 19 Kampung Melayu,
Jatinegara, Jakarta Timur
IDENTITAS ORANG TUA
Ayah
Nama
: Tn. KS
Umur
: 30 tahun
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Pendidikan
: D3
Suku bangsa : Jawa, Indonesia
Agama
: Islam
TB
: 175 cm
Alamat
: Jl. Tanah Rendah RT
Ibu
Nama
: Ny.N
Umur
: 29 tahun
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Pendidikan
: SMA
Suku bangsa : Jawa, Indonesia
Agama
: Islam
TB
: 155 cm
Alamat
I.ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. N (ibu kandung pasien).
Lokasi
Tanggal / waktu
Tanggal masuk
Keluhan utama
Keluhan tambahan :
Umur
(3 bln)
Alergi
susu
Cacingan
DBD
Otitis
Parotitis
sapi
(-)
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Umur
Difteria
(-)
Diare
Kejang
Morbili
Operasi
Jarang
(-)
(-)
(-)
Penyakit
Umur
Penyakit ginjal
(-)
Penyakit jantung
Radang paru
TBC
Transfusi darah
(-)
(-)
(-)
(-)
Seminggu sebelumnya (Jumat, 2 September 2016) pasien baru pulang setelah dirawat
selama seminggu di RSBA karena keluhan yang sama.
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien sudah mengalami
demam dan sesak sebanyak 2 kali dalam 1 bulan terakhir
B. Riwayat Kehamilan/ Persalinan
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat persalinan
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi
KELAHIRAN
Keadaan bayi
Tidak ada
Rutin kontrol ke Rumah Sakit (selalu
datang sesuai anjuran Sp.OG)
RSCM
Dr. Sp.OG
SC
Penyulit : Placenta previa
39 minggu
Berat lahir : 2.070 gr
Panjang lahir : 49 cm
Lingkar kepala : Tidak tahu
Langsung menangis (+)
Kemerahan (+)
Kuning (-)
Nilai APGAR : Tidak tahu
Kelainan bawaan : Tidak ada
C. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I
Psikomotor :
Tengkurap
: 3 bulan
Duduk
: 7 bulan
Berdiri
: 10 bulan
Berjalan
Bicara
: Belum bisa
Perkembangan pubertas
ASI/PASI
Buah / Biskuit
Bubur Susu
Nasi Tim
02
ASI
24
PASI
46
PASI
68
PASI
8 10
PASI
10 -12
PASI
Dasar ( umur )
1 bulan
2 bulan 4 bulan 6 bulan
Ulangan ( umur )
-
Polio
0 bulan
2 bulan
4 bulan
Campak
Hepatitis B
Belum
0 bulan
1 bulan
6 bulan
F. Riwayat Keluarga
a. Corak Reproduksi
No
Umur
Jenis
kelamin
Hidup
Lahir
mati
Abortus
Mati
(sebab)
Keterangan
kesehatan
1.
11 tahun
Perempuan
Sehat
2.
5.5 tahun
Perempuan
Sehat
3.
11 bulan
Perempuan
b. Riwayat Pernikahan
OS
Ayah
Ibu
Nama
Tn. KS
Ny. N
Perkawinan ke1
1
Umur saat menikah
23
22
Pendidikan terakhir
D3
SMA
Agama
Islam
Islam
Suku bangsa
Jawa, Indonesia
Jawa, Indonesia
Keadaan kesehatan
Sehat
Sehat
Kosanguinitas
Tidak ada
Tidak ada
Penyakit, bila ada
Tidak ada
Tidak ada
c. Riwayat Penyakit Keluarga: OS merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.
Kakak OS seorang anak perempuan berusia 11 tahun & 5.5 tahun dan tidak pernah
memiliki riwayat sesak ataupun batuk lama sebelumnya. Kakek pasien dulunya
merupakan seorang penderita asma, namun orang tua pasien tidak ada yang
menderita asma ataupun alergi lainnya. Kakak pasien yang paling besar pernah
mengkonsumsi OAT saat berusia 5 tahun & pengobatannya tuntas 6 bulan.
d. Riwayat Kebiasaan: OS memiliki kebiasaan mengemut tangan dan benda
disekitarnya. Keluarga pasien yang tinggal serumah tidak ada yang merokok, tidak
ada yang suka meminum alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Kesimpulan riwayat keluarga: Pasien memiliki kemungkinan mengalami
asma/alergi
G. Riwayat Lingkungan
Pasien tinggal bersama dengan kedua orang tua dan dua saudara kandung. Rumah
merupakan rumah kontrakan, satu lantai, beratap genteng, berlantai keramik, dan
berdinding tembok. Ventilasi dan pencahayaan baik. Sumber air bersih dari jet pam
sanyo. Peralatan makan dicuci menggunakan air biasa. Sumber air minum dari air
minum isi ulang. Sampah dibuang ke tempat sampah dan setiap hari dikumpulkan di
tempat sampah depan rumah. Rumah pasien terletak di kawasan yang tidak terlalu
padat penduduk. Bak mandi tidak dikuras setiap minggu, tidak ada kolam ikan di
sekitar rumah, tidak ada penumpukan barang bekas di sekitar rumah pasien, namun
banyak nyamuk di dalam rumah. Keluarga pasien tidak penah menjalankan kegiatan
PSN.
Kesimpulan keadaan lingkungan: Keadaan lingkungan cukup baik, namun risiko
penularan dengue cukup besar.
H. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan kurang lebih
Rp 3.500.000,-/bulan. Sedangkan ibu pasien merupakan ibu rumah tangga. Menurut ibu
pasien, penghasilan tersebut kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seharihari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial ekonomi
menengah ke bawah.
.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan di bangsal lantai 5 timur, kamar 515, pada
tanggal 10 September 2016 pukul 13.00 WIB
STATUS GENERALISATA
KEADAAN UMUM
Kesan Sakit
: Tampak sakit berat
Kesadaran
: Compos mentis
Kesan Gizi
: Gizi Kurang
Keadaan lain
: Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+)
DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan : 8,6 kg
Tinggi Badan : 70 cm
STATUS GIZI
Lingkar Kepala
: 42 cm
Lingkar Lengan Atas : 11 cm
Nadi : 158 x/ menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
KEPALA
RAMBUT
WAJAH
MATA :
Visus
Sklera ikterik
Konjungtiva anemis
Exophthalmus
Strabismus
Nistagmus
Refleks cahaya
Alis
Bulu mata
: Kesan baik
Ptosis
: -/: -/Lagofthalmus : -/: -/Cekung
: -/: -/Kornea jernih : +/+
: -/Lensa jernih : +/+
: -/Pupil
: Bulat, isokor
: Langsung +/+ , tidak langsung +/+
: Hitam, distribusi merata
: Hitam, distribusi merata, madarosis (-/-), trikiasis (-/-)
TELINGA :
Bentuk
Nyeri tarik aurikula
Liang telinga
Serumen
Cairan
: Normotia
: -/: Lapang
: -/: -/-
Tuli
: -/Nyeri tekan tragus : -/Membran timpani : Sulit dinilai
Refleks cahaya
: Sulit dinilai
HIDUNG :
Bentuk
Sekret
: Simetris
: +/+
:-/:-
BIBIR: Simetris saat diam, kering (-), sianosis (-), labioschizis (-)
MULUT:
-
Trismus (-), mukosa mulut pucat (-), oral hygiene baik, mukosa gusi dan pipi merah
muda, ulkus (-), halitosis (-), palatoschizis (-)
Lidah : Normoglosia, pucat (-), kering (-), perdarahan (-), ulkus (-), hiperemis (-)
massa (-), atrofi papil (-), coated tongue (-), geographic tongue (-), bifurcatio lidah
(-), tremor (-)
TENGGOROKAN:
-
Arkus faring simetris, hiperemis (-), oral thrush (-). Tonsil T1-T1 tenang, kripta tidak
melebar, detritus (-). Faring hiperemis (-), granulasi (-), massa (-), abses (-).
LEHER:
-
Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB, tidak
tampak deviasi trakea.
PARU
Inspeksi
-
Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tampak napas tertinggal, tipe
pernapasan abdomino-torakal, retraksi (+) subcostal dan intercostal, tidak
ditemukan efloresensi pada kulit dinding dada.
Palpasi
Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak napas simetris kanan dan kiri, vocal fremitus
sama kuat pada kedua hemithorax
Perkusi
-
ABDOMEN :
Inspeksi
-
Perut datar, tidak ada efloresensi yang bermakna, roseola spots (-), tidak tampak
adanya benjolan, gerakan peristaltik, venektasi, dan smiling umbilicus.
Palpasi
-
Perkusi
: Timpani pada seluruh regio abdomen, shifting dullness (-).
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 4x / menit.
ANOGENITALIA:
-
KGB :
Preaurikuler
Postaurikuler
Submandibula
Supraclavicula
Axilla
Inguinal
:
:
:
:
:
:
ANGGOTA GERAK :
Simetris, tidak terdapat kelainan pada bentuk tulang, posisi tangan dan kaki, serta
sikap badan, tidak terdapat keterbatasan gerak sendi, akral hangat pada keempat
ekstremitas, sianosis (-), edema (-), capillary refill time< 2 detik.
Tangan
Tonus otot
Sendi
Lain-lain
Kanan
Normotonus
Aktif
Edema (-)
Kiri
Normotonus
Aktif
Edema (-)
Kaki
Tonus otot
Kanan
Normotonus
Kiri
Normotonus
Sendi
Lain-lain
Aktif
Edema (-)
Aktif
Edema (-)
PUNGGUNG:
-
Bentuk tulang belakang normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)
KULIT:
-
Warna sawo matang dengan distribusi warna merata. Tidak pucat, tidak ikterik,
tidak sianosis, turgor kulit baik, kering.
NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis
Kanan
Kiri
Biseps
Triceps
Patella
Achiles
Kanan
-
Kiri
-
Refleks Patologis
Babinski
Chaddock
Oppenheim
Gordon
Schaeffer
Rangsang meningeal
Kaku kuduk
Kanan
-
Kerniq
Laseq
Bruzinski I
Bruzinski II
II.
Kiri
-
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap (IGD)
Tanggal 08-09-2016
Hasil
Nilai Normal
5,7 juta/ uL
3,6 5,2
Hematologi
Eritrosit
Hemoglobin
13,8 g/ dL
10,8 12,8
Hematokrit
43%
35 43
Leukosit
23.800/ L
5.500 15.500
Trombosit
266.000/ L
229.000 - 553.000
MCV
76.0 fL
73 101
MCH
24.4 pg
23 31
MCHC
32.0 g/ dL
26 34
RDW
15.2%
< 14
IV. RESUME
Pasien seorang anak perempuan usia 11 bulan datang dengan sesak napas sejak 3
jam SMRS. Sesaknya terjadi secara tiba-tiba dan menetap, kemudian semakin lama
tampak semakin berat. tampak lebih berat saat sedang menarik napas. Ketika berbaring
terlihat pasien lebih merasa sulit bernapas. Berdasarkan keterangan dari ibu pasien,
tidak terdengar suara mengi pada saat pasien sedang sesak. Keadaan sebelum sesak
pasien tampak sehat, ini bukanlah pertama kalinya pasien tampak sesak. Salah satu
faktor pencetus terjadinya sesak pada pasien adalah karena adanya batuk & pilek yang
hilang timbul dan telah terjadi selama sebulan terakhir. Batuknya awalnya kering lalu
lama-lama berdahak namun dahaknya sulit keluar. Pernah beberapa kali keluar,
dahaknya cukup banyak, hampir setengah gelas air mineral, warna putih encer, tidak
berbau dan tidak disertai darah. Sebelum sesak, keluhannya didahului dengan demam
kira-kira 2 hari sebelum masuk rumah sakit. Demamnya tinggi, naik turun, naiknya
terutama saat sore menjelang malam hari, diukur dengan menggunakan thermometer
saat di rumah dan didapatkan suhu 37.5-38C. Ibu pasien sudah mengompres dengan
menggunakan air keran untuk menurunkan suhunya kemudian suhu turun menjadi
37.2C. Selain itu OS juga mengalami penurunan nafsu makan dan menjadi agak rewel
sejak kemarin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat, compos
mentis dan gizi baik. Pada tanda vital didapatkan HR 158 x/menit, S 37,2oC, RR 42
x/menit. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan retraksi intercostal dan subcostal
serta rhonki +/+. Pada pemeriksaan status neurologis didapatkan dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan hasil leukosit meningkat
23.800 g/dL, eritrosit meningkat 5.7 g/dL, dan hemoglobin meningkat 13.8 g/ dL. Pada
pemeriksaan radiologis didapatkan adanya bercak kesuraman mengawan pada
hemithorax sinistra.
IV. DIAGNOSIS BANDING
- Bronkopneumonia
- Bronkiolitis
- Asma
- Tb Paru
V. DIAGNOSIS KERJA
- Bronkopneumia
- Leukositosis
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
-
Uji Tuberkulin
CRP
III.
Medikamentosa
Rawat Inap
O2 Nasal 0.5 Lt.
Pemasangan NGT
IVFD KAEN 1B 2 cc/jam
Inj. Gentamycin 1x50mg (IV)
Inj. Dexamethasone 3x1 mg (IV)
Inj. Cefotaxim 1x250 mg (IV)
PROGNOSIS
-
Ad Vitam
Ad Sanationam
Ad Fungsionam
: ad bonam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
FOLLOW UP
Hari Perawatan ke-1 di bangsal (9-09-2016)
S
- Sesak (+)
- Mual &
muntah (-)
- Kejang (-)
- Batuk berdahak
namun dahak
O
A
CM
Bronkopneumoni
BB 8,6 kg
a
N: 162x/ menit
Leukositosis
R: 46x/ menit
S: 37,6oC
Mata: CA -/-, SI -/-, cekung
P
IVFD KAEN
1B 2 cc/jam
O2 Nasal 1
Lt.
Inj.
Gentamycin
-
1x50mg (IV)
Inj.
Dexamethaso
ne 3x1 mg
(IV)
Inj.
Cefotaxim
1x250
mg
(IV)
Hasil
Nilai Normal
Hematologi
Eritrosit
5,7 juta/ uL
3,6 5,2
Hemoglobin
13,8 g/ dL
10,8 12,8
Hematokrit
43%
35 43
Leukosit
23.800/ L
5.500 15.500
Trombosit
266.000/ L
229.000 - 553.000
MCV
76.0 fL
73 101
MCH
24.4 pg
23 31
MCHC
32.0 g/ dL
26 34
RDW
15.2%
< 14
CM
Bronkopneumoni
BB 8,6 kg
a
N: 166x/ menit
Leukositosis
R: 48x/ menit
S: 37,1oC
Mata: CA -/-, SI -/-, cekung
-/Hidung: NCH (-)
Mulut: kering (-), karies (-),
caninus bawah kiri tumbuh,
P
IVFD KAEN
1B 2 cc/jam
O2 Nasal 1
Lt.
Inj.
Gentamycin
1x50mg (IV)
Inj.
Dexamethaso
80cc
- Mual &
muntah (-)
- Kejang (-)
- BAB (-)
ne 3x1 mg
(IV)
Inj.
Cefotaxim
1x250
mg
(IV
Inhalasi
ventolin
1
tube + NaCl
0,9% 5 cc
O
A
CM
Bronkopneumoni
BB 8,6 kg
a
N: 136x/ menit
Leukositosis
R: 24x/ menit
S: 36oC
Mata: CA /, SI -/-, cekung
-/Hidung: NCH (-)
Mulut: kering (-), karies (-),
caninus bawah kiri tumbuh,
lidah kotor (-)
Pulmo: SNV (+/+), ronki (-/
+), wheezing (-/-) retraksi
subcostal minimal
Cor: BJ I II regular, murmur
(-), gallop (-)
Abdomen: supel, NT (-),
BU (+) 4x/menit
Ekstremitas: hangat ++/++,
CRT <2, turgor baik
Refleks patologis (-)
P
IVFD KAEN
1B 2 cc/jam
O2 Nasal 1
Lt.
SGM Soya
6x90 cc/NGT
Inj.
Gentamycin
1x50mg (IV)
Inj.
Dexamethaso
ne 3x1 mg
(IV)
Inj.
Cefotaxim
1x250
mg
(IV)
Inhalasi
ventolin
1
tube + NaCl
0,9% 5 cc
O
A
CM
Bronkopneumoni
BB 8,6 kg
a
N: 124x/ menit
Leukositosis
R: 26x/ menit
S: 36,7oC
Mata: CA -/-, SI -/-, cekung
-/Hidung: NCH (-)
P
IVFD KAEN
1B 2 cc/jam
Stop ganti
venflon
Boleh pulang:
- Cefixime
2x50 mg
-
Ambroxol
5mg +
Salbutamol
pulv 3x1
Kontrol
poliklinik
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang terpusat pada bronkiolus
dan menyebabkan produksi sekret mukopurulen yang dapat menyebabkan sumbatan pada
saluran napas kecil dan konsolidasi yang berupa gambaran bercak-bercak pada lobus yang
berdekatan.4 Sedangkan pneumonia sendiri adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstitial. Walaupun banyak pihak yang sependapat bahwa pneumonia
merupakan suatu keadaan inflamasi, namun sangat sulit untuk membuat suatu definisi
tunggal yang universal. Pneumonia didefinisikan berdasarkan gejala dan tanda klinis, serta
perjalanan penyakitnya. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pneumonia
hanya berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan frekuensi
pernapasan.3,4
Salah satu definisi klasik menyatakan bahwa pneumonia adalah penyakit respiratorik
yang ditandai dengan batuk, sesak nafas, demam, ronki basah halus, dengan gambaran
infiltrat pada foto polos dada. Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang
maksudnya kurang lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah
inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non
infeksi. Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli. 5
B. EPIDEMIOLOGI
Pneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak di
seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di Amerika
dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi,
diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 1620 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun
dan remaja. Kasus pneumonia di negara berkembang tidak han2ya lebih sering didapatkan
tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada
umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh
bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di
negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari
data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak
dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh
infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak terdapat pada
musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan. .6
C. ETIOLOGI
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan
sebagian kecil disebabkan oleh hal lain misalnya bahan kimia (hidrokarbon, lipoid
substances)/benda asing yang teraspirasi. Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda
sesuai dengan distribusi umur pasien. Sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh
virus, sebagai penyebab tersering adalah respiratory syncytial virus (RSV), parainfluenza
virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum bakteri yang berperan penting dalam
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophillus influenze, Staphylococcus
aureus, Streptococcus group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. 7,8
Pada masa neonates, Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes merupakan
penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab terbanyak pneumonia pada usia
prasekolah dan berkurang dengan bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae
merupakan penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma pneumoniae dan
Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering didapatkan pada anak diatas 5
tahun. 7,8
Tabel 1. Dugaan Bakteri Penyebab Pneumonia. 6,7
Dugaan Kuman
Pneumonia tanpa
Penyebab
komplikasi
Efusi pleura
Abses paru
Sepsis
Streptococcus pneumonia
++++
++
+++
Haemophyllus influenza
++
++
Streptococcus group A
++
Flora mulut
+++
++
Staphylococcus aureus
++
++++
+++
Umur
Lahir 20 hari
Bakteria
Bakteria
Escherichia colli
Anaerobic organism
Group B streptococci
Group D streptococci
Listeria monocytogenes
Haemophillus influenza
Streptococcus pneumonia
Ureaplasma urealyticum
Virus
3 minggu 3 bulan
4 bulan 5 tahun
Cytomegalovirus
Bakteria
Clamydia trachomatis
Streptococcus pneumoniae
Virus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus
Para influenza virus 1,2
and 3
Adenovirus
Cytomegalovirus
Bakteria
Streptococcus pneumoniae
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Bacteria
Haemophillus influenza type
B
Moxarella catarrhalis
Virus
Respiratory syncytial virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Neisseria meningitis
Staphylococcus aureus
Virus
Varicella zoster virus
Measles virus
5 tahun remaja
Bakteria
Clamydia pneumoniae
Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Bakteria
Haemophillus influenza type
B
Legionella species
Staphylococcus aureus Virus
Adenovirus
Epstein barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zoster virus
D. FAKTOR RESIKO
Beberapa keadaan seperti gangguan nutrisi (malnutrisi), usia muda, kelengkapan
imunisasi, kepadatan hunian, defisiensi vitamin A, defisiensi Zn, paparan asap rokok secara
pasif dan faktor lingkungan (polusi udara) merupakan faktor resiko untuk terjadinya
pneumonia. Faktor predisposisi yang lain untuk terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan
anatomi kongenital (contoh fistula trakeaesofagus, penyakit jantung bawaan), gangguan
fungsi imun (penggunaan sitostatika dan steroid jangka panjang, gangguan sistem imun
berkaitan penyakit tertentu seperti HIV), campak, pertusis, gangguan neuromuskular,
kontaminasi perinatal dan gangguan klirens mukus/sekresi seperti pada fibrosis kistik,
aspirasi benda asing atau disfungsi silier. 6,7
E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi kuman atau penyebaran langsung
kuman dari saluran respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan akibat sekunder dari
viremia/bakteremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal
saluran respiratorik bawah mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Paru
terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk barier anatomi dan barier
mekanik, juga sistem pertahanan tubuh lokal maupun sistemik. Barier anatomi dan mekanik
diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung, pencegahan aspirasi dengan refleks epiglotis,
ekspulsi benda asing melalui refleks batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan
mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, alveolar makrofag
dan cell mediated immunity.6,8
Pneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga
kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab
pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai
dengan patogen penyebabnya. Virus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli,
umumnya bersifat patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal
berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi
awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah
kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan
adanyasejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas
kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan
diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli.
Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang
terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya
denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke intersitial
sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi
terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa.6,8
Pneumonia bakterial terjadi oleh karena inhalasi atau aspirasi patogen, kadang- kadang
terjadi melalui penyebaran hematogen. Terjadi tidaknya proses pneumonia tergantung dari
interaksi antara bakteri dan ketahanan sistem imunitas penjamu. Ketika bakteri dapat
mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi
kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan
epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan
terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh
makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan
komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang
tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak
bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan
perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan
terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik
pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang
berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus
ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari
eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Fase ini secara
histopatologi dinamakan red hepatization (hepatisasi merah).6,8
Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh
lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi
enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel
paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru. Resolusi konsolidasi
pneumonia terjadi ketika antibodi antikapsular timbul dan lekosit PMN meneruskan aktifitas
fagositosisnya; sel-sel monosit akan membersihkan debris. Sepanjang struktur retikular paru
masih intak (tidak terjadi keterlibatan instertitial), parenkim paru akan kembali sempurna dan
perbaikan epitel alveolar terjadi setelah terapi berhasil. Pembentukan jaringan parut pada paru
minimal. 6,8
Pada infeksi yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus, kerusakan jaringan
disebabkan oleh berbagai enzim dan toksin yang dihasilkan oleh kuman. Perlekatan
Staphylococcus aureus pada sel mukosa melalui teichoic acid yang terdapat di dinding sel
dan paparan di submukosa akan meningkatkan adhesi dari fibrinogen, fibronektin, kolagen
dan protein yang lain. Strain yang berbeda dari Staphylococcus aureus akan menghasilkan
faktor-faktor virulensi yang berbeda pula. dimana faktor virulensi tersebut mempunyai satu
atau lebih kemampuan dalam melindungi kuman dari pertahanan tubuh penjamu, melokalisir
infeksi, menyebabkan kerusakan jaringan yang lokal dan bertindak sebagai toksin yang
mempengaruhi jaringan yang tidak terinfeksi. Beberapa strain Staphylococcus aureus
menghasilkan kapsul polisakarida atau slime layer yang akan berinteraksi dengan
opsonofagositosis. Penyakit yang serius sering disebabkan Staphylococcus aureus yang
memproduksi koagulase. Produksi coagulase atau clumping factor akan menyebabkan
plasma menggumpal melalui interaksi dengan fibrinogen dimana hal ini berperan penting
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di
antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.
F. KLASIFIKASI PNEUMONIA
G. MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien,
status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu sesak,
sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jel as seperti pada neonatus. Gejala dan tanda
pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala pulmonal,
pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan
gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah,
kembung, diare atau sakit perut.6,7
Gejala pada paru biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung.
Setelah gejala awal seperti demam dan batuk pilek, gejala nafas cuping hidung, takipnea,
dispnea dan apnea baru timbul. Otot bantu nafas interkostal dan abdominal mungkin
digunakan. Batuk umumnya dijumpai pada anak besar, tapi pada neonatus bisa tanpa batuk.
Wheezing mungkin akan ditemui pada anak-anak dengan pneumonia viral atau mikoplasma,
seperti yang ditemukan pada anak-anak dengan asma atau bronkiolitis. 6,7
P
eradangan pada pleura biasa ditemukan pada pneumonia yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, yang ditandai dengan nyeri dada pada
daerah yang terkena. Nyeri dapat berat sehingga akan membatasi gerakan dinding dada
selama inspirasi dan kadang-kadang menyebar ke leher dan perut. Gejala ekstra pulmonal
mungkin ditemukan pada beberapa kasus. Abses pada kulit atau jaringan lunak seringkali
didapatkan pada kasus pneumonia karena Staphylococcus aureus. Otitis media, konjuntivitis,
sinusitis dapat ditemukan pada kasus infeksi karena Streptococcus pneumoniae atau
Haemophillus influenza. Sedangkan epiglotitis dan meningitis khususnya dikaitkan dengan
pneumonia karena Haemophillus influenza. Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif
untuk mengetahui beratnya penyakit. Hal ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana pneumonia. Pengukuran frekuensi nafas dilakukan dalam keadaan
anak tenang atau tidur. WHO bahkan telah merekomendasikan untuk menghitung frekuensi
nafas pada setiap anak dengan batuk. Dengan adanya batuk, frekuensi nafas yang lebih cepat
dari normal serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing),
WHO menetapkannya sebagai kasus pneumonia berat di lapangan dan harus memerlukan
perawatan di Rumah Sakit untuk pemberian antibiotik. 6,7
Tabel 3. Kriteria takipnea menurut WHO6,7
Umur
Takipnea
(frekuensi / menit)
(frekuensi / menit)
0-2 bulan
30-50
=60
2-12 bulan
25-40
=50
1-5 tahun
20-30
=40
>5 tahun
15-25
=20
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaan foto polos
dada perlu dibuat untuk menunjang diagnosis, disamping untuk melihat luasnya kelainan
patologi secara lebih akurat. Foto posisi anteroposterior (AP) dan lateral (L) diperlukan untuk
menentukan luasnya lokasi anatomik dalam paru, luasnya kelainan dan kemungkinan adanya
komplikasi seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, pneumatokel, abses paru dan efusi
pleura. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi. Pembesaran
kelenjar hilus sering terjadi pada pneumonia karena Haemophillus influenza dan
Staphylococcus aureus, tapi jarang pada pneumonia karena Streptococcus pneumoniae.
Kecurigaan ke arah infeksi Staphylococcus aureus apabila pada foto polos dada
dijumpai adanya gambaran pneumatokel, abses paru, empiema dan piopneumotoraks serta
usia pasien di bawah 1 tahun. Foto polos dada umumnya akan normal kembali dalam 3-4
minggu. Pemeriksaan radiologis tidak perlu diulang secara rutin kecuali jika ada
pneumatokel, abses, efusi pleura, empiema, pneumotoraks atau komplikasi lain. Sebagaimana
manifestasi klinis, pemeriksaan radiologis tidak dapat menunjukkan perbedaan nyata antara
infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya menunjukkan gambaran infiltrat
intersitial difus, hiperinflasi atau atelektasis. Pada sindroma aspirasi, infiltrat akan tampak di
lobus superior kanan pada bayi, tetapi pada anak yang lebih besar akan tampak di bagian
posterior atau basal paru. Menurut WHO terdapat kesulitan dalam interpretasi foto polos dada
sehingga dikembangkan cara standarisasi kriteria pneumonia untuk kepentingan aspek
epidemiologis. Sistem ini membagi gambaran foto torak dalam normal torak, infiltrat atau
akhir proses konsolidasi (end stage consolidation) yang didefinisikan sebagai significant
amount of alveolar type consolidation. Namun hal ini menimbulkan pertanyaan apakah foto
polos dada yang normal dapat menyingkirkan pneumonia?. Seringkali panas dan takipnea
sudah timbul sebelum terlihat perubahan pada foto torak. 6
Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan yang ekstensif tidak perlu dilakukan, tetapi
pemeriksaan laboratorium mungkin akan membantu dalam memperkirakanmikroorganisme
penyebab. Lekositosis >15.000/UL seringkali dijumpai. Dominasi netrofil pada hitung jenis
atau adanya pergeseran ke kiri menunjukkan bakteri sebagai penyebab. Lekosit >30.000/UL
dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus dan stafilokokus. 6
Laju endap darah dan C-reaktif protein (CRP) merupakan indikator inflamasi yang
tidak khas sehingga hanya sedikit membantu. Adanya CRP yang positif dapat mengarah
kepada infeksi bakteri. Kadar CRP yang lebih tinggi ditemukan pada pasien dengan
pneumonia alveolar dibandingkan pasien dengan pneumonia intersitialis. Begitu pula pada
kasus pneumonia yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae akan menunjukkan kadar
CRP yang lebih tinggi secara signifikan dibanding non pneumococcal pneumonia. 6
Biakan darah merupakan cara yang spesifik untuk diagnostik tapi hanya positif pada
10-15% kasus terutama pada anak kecil. Kultur darah sangat membantu pada penanganan
kasus pneumonia dengan dugaan penyebab stafilokokus dan pneumokokus yang tidak
menunjukkan respon baik terhadap penanganan awal. Kultur darah juga direkomendasikan
pada kasus pneumonia yang berat dan pada bayi usia kurang dari 3 bulan. 6
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) bermanfaat untuk diagnosis
Streptococcus pneumoniae dan infeksi karena mikoplasma. Pemeriksaan PCR mahal, tidak
tersedia secara luas serta tidak banyak berpengaruh terhadap penanganan awal pneumonia
sehingga pemeriksaan ini tidak direkomendasikan.
Pemeriksaan aspirat nasofaringeal untuk pemeriksaan imunofluoresen virus dan deteksi
antigen virus akan membantu untuk mengidentifikasi virus tetapi hanya mempunyai sedikit
pengaruh untuk penanganan awal pasien. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas yang tinggi
dan sangat membantu diagnosis anak dengan infeksi RSV.
Bila fasilitas memungkinkan, pemeriksaan analisis gas darah menunjukkan keadaan
hipoksemia (karena ventilation perfusion mismatch). Kadar PaCO2 dapat rendah, normal atau
meningkat tergantung kelainannya. Dapat terjadi asidosis respiratorik, asidosis metabolik,
dan gagal nafas.
I. DIAGNOSIS
Diagnosis pneumonia yang terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan
pemeriksaan mikrobiologik. Upaya untuk mendapatkan spesimen atau bahan pemeriksan
guna mencari etiologi kuman penyebab dapat meliputi pemeriksaan sputum, sekret
nasofaring bagian posterior, aspirasi trakea, torakosintesis pada efusi pleura, percutaneus
lung aspiration dan biopsi paru bila diperlukan. Tetapi pemeriksaan ini banyak kendalanya,
baik dari segi teknis maupun biaya. Secara umum kuman penyebab spesifik hanya dapat
diidentifikasi kurang dari 50% kasus. Dengan demikian pneumonia didiagnosis terutama
berdasarkan manifestasi klinis dibantu pemeriksaan penunjang yang lain seperti foto polos
dada. 6,7
Tetapi tanpa pemeriksaan mikrobiologik, kesulitan yang lebih besar adalah
membedakan kuman penyebab; bakteri, virus atau kuman lain. Pneumonia bakterial lebih
sering mengenai bayi dan balita dibandingkan anak yang lebih besar. Pneumonia bakterial
biasanya timbul mendadak, pasien tampak toksik, demam tinggi disertai menggigil dan sesak
memburuk dengan cepat. Pneumonia viral biasanya timbul perlahan, pasien tidak tampak
sakit berat, demam tidak tinggi, gejala batuk dan sesak bertambah secara bertahap. Infeksi
virus biasanya melibatkan banyak organ bermukosa (mata, mulut, tenggorok, usus). Semakin
banyak organ terlibat, makin besar kemungkinan virus sebagai penyebab. 6,7
Pneumonia oleh karena mikoplasma pneumonia mungkin menunjukkan gejala
wheezing dan batuk, sehingga infeksi oleh karena mikoplasma pneumonia dapat
dipertimbangkan pada anak dengan kecurigaan asma yang tidak respon dengan pengobatan.
Infeksi mikoplasma seringkali disertai juga dengan nyeri perut atau nyeri dada. Nyeri perut
juga bisa disebabkan oleh pneumonia bakterial yang mengiritasi diafragma. 6,7
Klasifikasi WHO menggunakan kriteria klinis berikut untuk diagnosis pneumonia pada
daerah dengan keterbatasan sarana : 3
1. Bayi berusia < 2 bulan
Pneumonia
sangat
berat
tidak
mau
menetek/minum,
kejang,
letargi,
Pneumonia ringan : nafas cepat ( 50 kali/menit pada usia 2 bulan hingga 1 tahun,
40 kali/menit pada usia > 1-5 tahun)
J. KOMPLIKASI6
1.Efusi pleura
2.Empiema
3.Pneumotoraks
4.Piopneumotoraks
5.Pneumatosel
6.Abses paru
7.Sepsis
8.Gagal nafas
9.Ileus paralitik fungsional
K. TATALAKSANA
Pneumonia ringan9,10
Tindak lanjut
Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa kembali
anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau tidak
bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali: Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang,
nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
Pneumonia berat9,10
Terapi Antibiotik
Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang
harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons
yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari)
untuk 5 hari berikutnya.
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari). Bila
anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada.
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5
mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam)
atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik,
lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara
keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oralselama 2 minggu.
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat. Bila tersedia pulse oximetry,
gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi
oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup). Lakukan periode uji coba tanpa
oksigen setiap harinya pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila
saturasi tetap stabil> 90%. Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna. Gunakan
nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam yang berat atau napas >70/menit) tidak ditemukan lagi.
Perawatan penunjang
Bila anak disertai demam (> 39oC) yang tampaknya menyebabkan distres, beri
parasetamol.
Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja cepat. Bila terdapat sekret
kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat
pengisap secara perlahan. Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai
umur anak tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan/overhidrasi.
Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan cairan rumatan
dalam jumlah sedikit tetapi sering. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan
menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.
Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang keduanya pada
lubang hidung yang sama.
Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan.
Beri makanan sesuai dengan kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam
menerimanya.
Pemantauan
Jika tidak ada komplikasi, dalam 2 hari akan tampak perbaikan klinis (bernapas tidak
cepat, tidak adanya tarikan dinding dada,bebas demam dan anak dapat makan dan
minum).
Pada anak dengan pneumonia, penentuan rawat inap diputuskan apabila terdapat: 6
Penderita tampak toksik
5. Mengatasi penyakit penyerta seperti kejang demam, diare dan lainnya serta
komplikasi bila ada.
Penanganan terhadap komplikasi6,7
a.) Efusi pleura:Jika terjadi efusi pleura kemungkinan disebabkan oleh infeksi
stafilokokus. Jika efusi minimal dan respon pasien baik terhadap pemberian
antibiotika maka pemberian antibiotika tetap diteruskan. Jika efusi cukup banyak
maka perlu dilakukan pungsi cairan pleura (pleura tap) untuk diagnostik (pemeriksaan
makroskopik, pengecatan gram, jumlah sel, kultur). Penentuan antibiotika selanjutnya
dapat didasarkan dari hasil kultur. Indikasi pemasangan pleural drain:
a. Perjalanan klinis berlangsung progresif
b. Efusi pleura bertambah walaupun sudah mendapat antibiotik
c. Distres nafas berat
d. Terjadi pergeseran mediastinum (mediastinal shift)
e. Didapatkan cairan yang purulen saat dilakukan pungsi pleura
b.) Abses paru: Staphylococcus aureus merupakan penyebab yang paling banyak, tetapi
juga terdapat kemungkinan infeksi oleh karena kuman anaerob. Pemberian antibiotika
parenteral diteruskan sampai 7 hari bebas demam, dilanjutkan pemberian oral
antibiotik sampai lama terapi mencapai minimal 4 minggu.
c.) Empiema/piopneumotoraksSeringkali
disebabkan
oleh
Staphylococcus
aureu,
e.) Pada kondisi gagal nafas, perlu dilakukan intubasi dan pemberian bantuan ventilasi
mekanik.
L. PROGNOSIS
Sembuh total, mortalitas kurang dari 1 %, mortalitas bisa lebih tinggi didapatkan pada
anak-anak dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat untuk pengobatan.
Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi sudah lama diketahui. Infeksi berat
dapat memperburuk keadaan melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh negatif pada daya tahan
tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya bekerja sinergis, maka malnutrisi bersama-sama
dengan infeksi memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan dampak oleh
faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri. 3
M. PENCEGAHAN
Pemberian imunisasi memberikan arti yang sangat penting dalam pencegahan
pneumonia. Pneumonia diketahui dapat sebagai komplikasi dari campak, pertusis dan varisela
sehingga imunisasi dengan vaksin yang berhubungan dengan penyakit tersebut akan
membantu menurunkan insiden pneumonia. 6,7
Pneumonia yang disebabkan oleh Haemophillus influenza dapat juga dicegah dengan
pemberian imunisasi Hib. Pada bulan Februari 2000, vaksin pneumokokal heptavalen telah
dilisensikan penggunaannya di Amerika Serikat. Vaksin ini memberikan perlindungan
terhadap penyakit yang umum disebabkan oleh tujuh serotype Streptococcus pneumonia.
Penggunaan vaksin ini menurunkan insiden invasive pneumococcal disease. Penggunaan
vaksin pneumokokal heptavalen secara rutin di United States ternyata mampu menurunkan
bakteremia yang disebabkan Streptococcus pneumoniae sebesar 84% dan sebesar 67% untuk
bakteremia secara keseluruhan pada populasi anak 3 bulan- 3 tahun.
The American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenzae
untuk semua anak dengan resiko tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk
memberikan perlindungan terhadap komplikasi influenzae termasuk diantaranya adalah
pneumonia, AAP juga merekomendasikan vaksinasi untuk semua anak usia 6 bulan sampai
23 bulan jika kondisi ekonomi memungkinkan. Pencegahan lain dapat dilakukan dengan
menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama
dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan
masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA. 6,7
BAB IV
ANALISA KASUS
Berdasarkan anamnesis pasien mengeluh sesak yang semakin lama semakin berat yang
diawali dengan batuk berdahak. Pada kasus ini terdapat sesak yang semakin berat karena proses
peradangan yang terjadi pada bronkiolus terminalis dan juga parenkim paru dimana awalnya akan
terjadi perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan
jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini menjadi
terganggu dan menyebabkan sesak. Kemudian paru mengalami konsolidasi oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan akibat reaksi peradangan sehingga pada stadium ini udara
alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Batuk dan pilek telah di dapatkan hilang timbul sejak sebulan terakhir sebelum pasien masuk
rumah sakit. Ini menandakan bahwa kemungkinan pasien telah mengalami infeksi saluran nafas
bagian atas. Seperti yang diketahui sebelumnya, dalam keadaan normal saluran respiratorik bawah
mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Terdapat berbagai mekanisme yang melindungi
paru dari infeksi. Barrier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung,
pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis, ekspulsi benda asing melalui refleks batuk,
pembersihan kearah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem pertahanan tubuh yang terlibat baik
sekresi lokal immunoglobulin A maupun respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin,
immunoglobulin, alveolar makrofag dan cell mediated immunity. Jika salah satu dari mekanisme ini
mengalami gangguan, maka kuman patogen yang berada di saluran nafas bagian atas dapat mencapai
ke saluran nafas bagian bawah sehingga dapat menyebabkan terjadinya pneumonia. Inokulasi patogen
penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut.
Demam pada pasien disebabkan oleh inokulasi kuman patogen pada paru yang menyebabkan
timbulnya respon inflamasi akut. Demam sendiri merupakan suatu reaksifisiologis tubuh yang
kompleks terhadap penyakit yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal
(36,5oC
- 37,2oC) akibat rangsangan zat pirogen (patogen) terhadap pengatur suhu tubuh di
hipotalamus.
Pneumonia merupakan suatu infeksi yang bersifat sistemik, sehingga dapat menyebabkan
keluhan pada seluruh bagian organ tubuh termasuk sistem gastrointestinal. Pada pasien terdapat
keluhan muntah setiap kali diberikan makanan. Selain
BAB V
KESIMPULAN
Bronkopneumonia merupakan salah satu jenis pneumonia. Biasanya didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Sebagian besar pneumonia disebabkan
oleh infeksi mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit). Sebagian besar pneumonia pada
anak tidak perlu rawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat ringannya
penyakit.
The American Academic of Pediatric (AAP) merekomendasikan vaksinasi influenzae
untuk semua anak dengan resiko tinggi yang berumur 6 bulan dan pada usia tua. Untuk
memberikan perlindungan terhadap komplikasi influenzae termasuk diantaranya adalah
pneumonia, AAP juga merekomendasikan vaksinasi untuk semua anak usia 6 bulan sampai
23 bulan jika kondisi ekonomi memungkinkan. Pencegahan lain dapat dilakukan dengan
menghindari faktor paparan asap rokok dan polusi udara, membatasi penularan terutama
dirumah sakit misalnya dengan membiasakan cuci tangan dan penggunaan sarung tangan dan
masker, isolasi penderita, menghindarkan bayi/anak kecil dari tempat keramaian umum,
pemberian ASI, menghindarkan bayi/anak kecil dari kontak dengan penderita ISPA.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam Kapita
Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK Universitas
Indonesia, Jakarta. p. 177 .
2. Said M. Pneumonia. In: Buku Ajar Respirologi Anak. 1 st ed. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2008
3.
Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak indonesia. Jakarta: Ikatan dokter anak
indonesia;2009
KJ,
Kliegman
RM.
Nelson
Essentials
of
Pediatrics.
7th
Ed.
Philadelphia:Elsevier Saunders;2015.p.358.
6. Setyoningrum RA. Kapita selekta ilmu kesehatan anak VI Pneumonia. Surabaya:
Bagian / SMF kesehatan anak FK UNAIR;2006
7. Supriyatno B. Infeksi respiratorik bawah akut pada anak. Sari pediatrik 2008;8.p.100-6
8. Perhimpunan dokter paru indonesia. Pneumonia komuniti pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI;2003.
9. World Health Organization. Revised WHO classification and treatment of childhood
pneumonia at health facilities evidence summaries. Switzerland:WHO;2014
10. Harris M, Clark J, Coote N, Penny F, Harden A, Mckean M, et al. Guidelines for
management of community acquired pneumonia in children update 2011. Thorax an
international journal of respiratory medicine 2011;66.