Anda di halaman 1dari 12

PENATALAKSANAAN RASA NYERI PADA STOMATITIS

AFTOSA REKUREN

Oleh:
Enny Marwati
Bagian Penyakit Mulut FKG Usakti

Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Trisakti

Dibawakan dalam Dentistry Jakarta Selatan-PDGI Jakarta Selatan, tanggal 2 Juli 2011

PENATALAKSANAAN RASA NYERI PADA STOMATITIS


AFTOSA REKUREN

Oleh:
Enny Marwati
Bagian Penyakit Mulut FKG Usakti

Abstract
Recurrent aphthous stomatitis is a disease which is often found in the oral
mucosa. Many people have experienced this disease, but its etiology is still
unknown until now. Recurrent aphthous stomatitis is a self-limiting disease, causes
pain, and interferes with the phonetic and mastication functions. Several
predisposing factors have been found to be involved in its appearance, they are
genetic, hormonal, stress, immunological dysfunction, hematological deficiency,
non smokers. Recurrent aphthous stomatitis has three clinical features: minor,
major and herpetiform. From these three types of aphthous stomatitis, the minor
type is mostly found, either solitary or multiple lesions. As the etiology is not
known, the treatment is carried out symptomatically.
Keywords: stomatitis aftosa rekuren, rasa nyeri, terapi

Pendahuluan
Stomatitis aftosa rekuren merupakan bentuk penyakit yang sering ditemukan
pada mukosa mulut. Stomatitis aftosa rekuren dikenal juga sebagai seriawan,
stomatitis aftosa, recurrent aphthae, recurrent oral ulceration ataupun canker sores.
Walaupun sudah sering dialami, tetapi hingga kini etiologi yang pasti dari
penyakit ini belum diketahui. Stomatitis aftosa rekuren merupakan self-limiting
disease yang melibatkan 10 25% populasi. Penyakit ini dapat ditemukan pertama
kali pada anak-anak ataupun remaja. Penderitanya biasanya terlihat sehat, tidak
merokok. Di dalam mulut, lesi berupa erosi bulat yang nyeri dengan tepi berupa
kelim kemerahan (Cawson dan Odell, 2008).
Tinjauan Pustaka
Etiologi dan Faktor Predisposisi

Meskipun etiologi stomatitis aftosa rekuren tidak diketahui, namun ada


beberapa faktor predisposisi
yang berkaitan dengan munculnya lesi dan dapat mempermudah terjadinya lesi.
Berbagai faktor
predisposisi tersebut antara lain: faktor genetik, trauma, hormonal, stres, gangguan
imunologi, defisisiensi hematologi, bukan perokok (Cawson dan Odell, 2008).
Faktor genetik
Telah ada bukti yang menunjukkan bahwa faktor genetik merupakan faktor
predisposisi. Dari riwayat keluarga dapat diketahui adanya pengaruh faktor genetik
ini, dan kelihatannya penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak kembar bila
dibandingkan dengan yang tidak kembar.
Trauma
Beberapa pasien mengira bahwa lesi terjadi akibat trauma, sebab gejala
awalnya didahului oleh sikat gigi yang menyodok mukosa mulut. Letak lesinya
tergantung pada daerah yang terlibat dalam trauma tersebut. Namun demikian, lesi
biasanya ditemukan di daerah yang terlindung, jarang ditemukan pada mukosa
yang berperan pada pengunyahan.
Faktor hormonal
Pada beberapa wanita, stomatitis aftosa dihubungkan dengan fase luteal dalam
siklus haid. Namun terapi hormonal yang diberikan ternyata tidak cukup efektif.
Stres
Beberapa pasien menghubungkan eksaserbasi ulserasi dengan saat mereka
mengalami stres. Ada berbagai macam penelitian yang melaporkan adanya
hubungan tersebut. Stres sendiri sulit untuk diukur, dan ada juga penelitian yang
tidak menemukan adanya hubungan tersebut.
Gangguan imunologi
Oleh karena etiologi stomatitis aftosa rekuren tidak diketahui, ada
kecenderungan untuk menganggapnya sebagai kelainan autoimun. Telah banyak

bentuk

gangguan

imunologi yang

dilaporkan,

tetapi hasil yang

ditemukan

berlawanan dengan teori yang diajukan. Hingga kini belum ditemukan teori
imunopatogenesis yang tepat yang mendukung gambaran klinisnya. Adanya
kemungkinan bahwa faktor alergi terkait dengan timbulnya stomatitis aftosa juga
belum dapat dipastikan. Pada sebagian besar pasien yang ada tidak ditemukan
perubahan bermakna pada kadar immunoglobulin terkait. Beberapa penelitian lain
tidak berhasil menemukan kompleks imun yang beredar.
Stomatitis aftosa rekuren sendiri juga tidak memiliki gambaran yang
menunjukkan adanya keterkaitan dengan penyakit autoimun. Stomatitis aftosa
rekuren tidak memberikan respon pada pengobatan imunosupresif dan bertambah
parah jika ada ganguan fungsi imun sebagaimana ditemukan pada infeksi HIV
(Cawson dan Odell, 2008; Regezi dkk, 2008).
Defisiensi hematologi
Telah dilaporkan bahwa defisiensi yang terjadi pada vitamin B12, asam folat
dan Fe dapat ditemukan pada penderita stomatitis aftosa rekuren hingga mencapai
jumlah 20%nya. Defisiensi seperti ini sering ditemukan pada penderita stomatitis
aftosa rekuren yang lesinya baru muncul di usia pertengahan ataupun bertambah
parah sesudahnya (Sook Bin Woo dan Greenberg, 2008).
Kondisi seperti ini bersifat laten pada sebagian besar pasien yang ditemukan,
hemoglobinnya masih dalam batas normal dan gejala utamanya adalah mikrositosis
ataupun makrositosis pada sel darah merah. Bagi penderita yang memang
diketahui mengalami defisiensi vitamin B12 dan asam folat, pemberian vitamin
yang bersangkutan untuk menanggulangi defisiensi dapat meredakan lesi stomatitis
aftosa rekuren yang timbul.
Bukan perokok
Telah lama diketahui bahwa stomatitis aftosa rekuren terjadi terutama pada
orang yang bukan perokok. Stomatitis aftosa rekuren dapat muncul kembali bila
kebiasaan merokok dihentikan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa etiologi stomatitis aftoa rekuren tetap
tidak jelas. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa stomatitis aftosa rekuren
adalah bentuk penyakit autoimun. Tidak jelas juga apakah gangguan imunologi

yang ditemukan merupakan penyebab atau akibat. Pada sebagian kecil pasien
ditemukan hubungan yang jelas antara stomatitis aftosa rekuren dengan defisiensi
hematologi. Defisiensi hematologi tersebut dapat terjadi sebagai akibat dari
penyakit yang terjadi di usus halus ataupun penyebab malapsorpsi lainnya (Regezi
dkk, 2008).
Gambaran klinis stomatitis aftosa rekuren
Gambaran khas stomatitis aftosa rekuren terdiri dari (Cawson dan Odell, 2008):

Onsetnya sering ditemukan pada anak-anak, tetapi mencapai puncaknya

pada masa remaja atau dewasa muda.


Lesi muncul pada saat yang bervariasi, tetapi secara relatif dapat ditentukan

pada interval tertentu.


Sebagaian besar penderitanya terlihat sehat.
Pada sebagian kecil kasus ditemukan gangguan hematologi.
Sebagian besar pasien yang ditemukan bukan perokok.
Biasanya lesi bersifat self-limiting.
Stomatitis aftosa rekuren lebih banyak ditemukan pada penderita perempuan

dibandingkan laki-laki. Frekuensi lesi mencapai puncaknya saat dewasa muda/usia


di atasnya, kemudian menurun perlahan. Stomatitis aftosa rekuren jarang
ditemukan pada lansia, terutama yang sudah tidak bergigi. Namun
demikian, para lansia juga masih bisa mengalaminya jika pada mereka ditemukan
gangguan

hematologi.

Sebagian

besar

penderita

yang

ditemukan

memiliki

pekerjaan sebagai petugas administrasi, semi-profesional dan bukan perokok.


Kadang, stomatitis aftosa dapat muncul kembali jika kebiasaan merokok dihentikan.
Riwayat lesi pada umumnya berupa rasa nyeri yang muncul dalam interval 3
4 minggu. Kadang ada yang berlangsung terus-menerus, tetapi ada juga yang
muncul kembali setelah beberapa bulan. Stomatitis aftosa minor yang soliter dapat
bertahan hingga 7 10 hari, kemudian sembuh tanpa membentuk jaringan parut.
Stomatitis aftosa umumnya terjadi pada mukosa yang tidak berkeratin seperti
mukosa bukal, sulkus, bagian lateral lidah. Sedangkan stomatitis aftosa tipe mayor
terjadi pada bagian mukosa yang terlibat dalam pengunyahan. Rasa nyeri yang
terjadi pada stomatitis aftosa mayor dapat mengganggu fungsi makan (Neville dkk,
1999).

Stomatitis aftosa rekuren secara klinis terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu
stomatitis aftosa minor, mayor dan herpetiformis:

Stomatitis aftosa minor


- Jenis stomatitis aftosa ini merupakan bentuk lesi yang paling sering
-

ditemukan.
Lesi ditemukan pada mukosa yang tidak berkeratin
Lesi berbentuk erosi, bulat, berdiameter 5 7 mm, disertai kelim merah di
sekitar lesi, warna lesi putih-kekuningan, berjumlah satu atau lebih.

Gb 1. Stomatitis aftosa minor


(Cawson dan Odell, 2008)

Stomatitis aftosa mayor


- Jenis stomatitis aftosa ini lebih jarang ditemukan.
- Lesi berdiameter di atas 1 cm
- Kadang lesi menyerupai lesi ganas.
- Ulkus dapat bertahan hingga beberapa bulan.
- Lesi ditemukan pada mukosa yang terlibat dalam pengunyahan, seperti
-

dorsum lidah atau gingiva.


Terbentuk jaringan parut setelah terjadi penyembuhan.

Gb 2. Stomatitis aftosa mayor


(Lamey dan Lewis, 1991)

Stomatitis aftosa herpetiformis


- Jenis stomatitis aftosa ini jarang ditemukan.
- Lesi ditemukan pada mukosa yang tidak berkeratin.
- Lesi berdiameter 1 2 mm.
- Jumlah lesi 10 100 buah.

Beberapa lesi ada yang bergabung menjadi satu lesi dengan tepi tidak

beraturan.
Di sekitar lesi multiple tersebut ditemukan daerah eritematosa yang luas.

Gb 3. Stomatitis aftosa herpetiformis


(Cawson dan Odell, 2008)

Diagnosis stomatitis aftosa rekuren


Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat lesi, pemeriksaan klinis, bila perlu
pemeriksaan darah untuk mencari kemungkinan adanya gambaran abnormal pada
MCV (mean corpuscular volume). Diagnosis stomatitis aftosa rekuren ditentukan
berdasarkan riwayat rekurensi lesi dan sifat lesi yang dapat sembuh sendiri. Kedua
hal tersebut perlu ditanyakan dalam anamnesis (Sook Bin Woo dan Greenberg,
2008; Neville dkk,2008).
Beberapa hal yang dapat ditanyakan saat melakukan anamnesis antara lain:

Riwayat lesi
Riwayat terjadinya lesi merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena
itu
-

perlu diperhatikan:
Adanya rekurensi
Jenis stomatitis aftosa: apakah minor, mayor ataupun herpetiformis
Usia pada saat onset: anak-anak atau remaja
Adanya riwayat penyakit serupa dalam keluarga
Lesi hanya ditemuka di mukosa yang tidak berkeratin
Ada tanda dan gejala penyakit Behcet (lesi ditemukan di ocular, genital,

kulit, persendian)
Pemeriksaan
Perhatikan gambaran klinisnya:
- Erosi berbatas tegas dengan tepi teratur, disertai kelim merah di
sekitarnya

Bila ditemukan jaringan parut atau palatum molle ikut terlibat, maka

kondisi tersebut menunjukkan adanya sebuah stomatitis aftosa tipe mayor


Penyakit lain yang mempunyai bambaran khas dapat disingkirkan, seperti:

lichen planus ataupun prnyakit vesikulobulosa lainnya.


Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan ini digunakan untuk menyingkirkan adanya kemungkinan
penyakit yang melatarbelakangi timbulnya lesi, terutama pada pasien yang
onsetnya pada lansia. Untuk itu perlu diperiksa antara lain:
- Status anemia, Fe, asam folat, vitamin B-12
- Adanya riwayat diare, konstipasi atau feces bercampur darah yang
menunjukkan adanya kelainan pada saluran pencernaan, misalnya coeliac
disease atau malabsorpsi
Pemeriksaan darah rutin dapat memberikan informasi lainnya dan
biasanya temuan yang paling penting adalah MCV yang abnormal. Jika ada
makrositik atau mikrositik, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
mencari terapi yang tepat terhadap penyebabnya.

Penatalaksanaan
Untuk stomatitis aftosa rekuren, penatalaksanaannya dibagi ke dalam dua
tahap:

1.

Pengendalian

faktor

predisposisi,

2.

Pengobatan

simtomatis

dan

perawatan suportif.
Pengendalian faktor predisposisi
Faktor predisposisi dapat diketahui dengan cara mengumpulkan informasi
tentang: faktor genetik yang kemungkinan berperan, trauma yang terlibat, faktor
hormonal yang berperan, juga kondisi stres dan faktor imunologi. Dari faktor
sistemik perlu juga diperhatikan usia penderita, dalam usia pertengahan atau
lansia. Pada lansia kemungkinan adanya keterlibatan kondisi sistemik lebih besar
bila dibandingkan pasien di usia pertengahan. Dari faktor lokal perlu diperhatikan
adanya trauma ataupun faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa, seperti tepi gigi,
karies ataupun tambalan yang tajam. Perlu dihindari makanan yang tajam dan
merangsang. Juga perlu diperhatikan untuk memperbaiki kondisi oral hygiene
(Lamey dan Lewis, 1991; Regezi dkk,2008).

Biasanya, peningkatan frekuensi lesi akan membuat pasien datang untuk


memeriksakan diri. Pada umumnya pasien terlihat sehat, tetapi perlu pemeriksaan
hematologi untuk penderita lansia (Cawson dan Odell, 2008).
Pengobatan simtomatik
Tujuan dari pengobatan simtomatik yang dilakukan adalah: untuk mengurangi
rasa nyeri, mempersingkat perjalanan lesi, dan memperpanjang interval

bagi

kemunculan lesi.
Obat yang dapat digunakan antara lain: anestetikum (benzocaine 4% dalam
borax glycerine), obat kumur antibiotika (chlorhexidine gluconate 0,2%, larutan
tetrasiklin 2%), anti inflamasi dan anti udema (sodium hyaluronat), obat mukoadhesive dan anti inflamasi (bentuk kumur atau gel), kortikosteroid topikal
(triamcinolone in orabase).
Kortikosteroid tidak mempercepat penyembuhan lesi, tetapi dapat mengurangi
rasa sakit pada peradangan yang ada. Sedangkan pada triamcinolone in orabase,
kortikosteroid dicampur dengan media
orabase yang dapat membuatnya melekat pada mukosa mulut yang selalu basah.
Jika pengolesan obat ini dilakukan dengan tepat, maka orabase akan menyerap
cairan dan membentuk gel adesif yang dapat bertahan melekat pada mukosa mulut
selama satu jam atau lebih. Namun, pengolesan pada erosi/ulser agak sedikit sulit
untuk dilakukan. Gel yang terjadi akan membentuk lapisan pelindung di atas ulkus,
sehingga pasien akan merasa lebih nyaman. Kortikosteroid akan dilepaskan secara
perlahan. Selain itu obat ini juga memiliki sifat anti inflamasi.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan di Inggris dan Amerika Serikat, obat
kumur tetrasiklin secara bermakna dapat menurunkan frekuensi dan keparahan
stomatitis aftosa. Isi kapsul tetrasiklin (250 mg) dilarutkan dalam 15 mL air matang,
ditahan selama 2 3 menit dalam mulut, dikumur tiga kali sehari. Pada beberapa
pasien, penggunaan selama 3 hari dapat meredakan stomatitis aftosa rekuren
(Cawson dan Odell, 2008).
Obat kumur chlorhexidine 0,2% juga dapat digunakan untuk meredakan durasi
dan ketidaknyamanan pada stomatitis aftosa. Cara penggunaannya adalah tiga kali
sehari sesudah makan, ditahan dalam mulut selama minimal 1 menit

Kadang pemberian vitamin B-12 atau asam folat sudah cukup untuk meredakan
stomatitis aftosa frekuren.
Perawatan suportif
Untuk perawatan suportif dapat dilakukan dengan pengaturan diet, pemberian
obat kumur salin hangat dan anjuran untuk beristirahat dengan cukup.
Terapi biasanya dilakukan secara empiris dan paliatif. Namun demikian, tidak
ada satu obatpun yang dapat benar-benar menghilangkan lesi dengan sempurna.
Penderita perlu diberi tahu bahwa kelainan tersebut tidak dapat diobati, tetapi
dapat diredakan dan biasanya dapat sembuh sendiri.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengobatan lesi ini adalah:
-

Sifat lesi ringan / parah dan lamanya berlangsung


Ukuran lesi kecil / besar / kombinasi
Dengan meningkatnya usia, keparahan lesi

frekuensi meningkat
Tidak ada terapi definitif untuk stomatitis aftosa rekuren
Terapi bersifat simtomatik dan berbeda untuk setiap individu.

berkurang/bertambah,

Dalam menentukan strategi penatalaksanaan, maka stomatitis aftosa rekuren


diklasifikasikan ke dalam tiga tipe, yaitu: Tipe A, tipe B, tipe C.
Tipe A

Berlangsung hanya beberapa hari


Timbul 2 3 kali dalam satu tahun
Rasa nyeri masih dapat ditolerir
Apa pemicunya, ini yang ditanggulangi dulu

Operator perlu mengidentifikasi:

Apa saja perawatan yang sudah pernah dijalani, efektif atau tidak?
Bila efektif dan aman dilanjutkan

Tipe B

Timbul setiap bulan


Lesi bertahan 3 10 hari

Pada tipe ini:

Lesi sangat nyeri, sehingga menyebabkan diet normal berubah, kondisi oral
hygiene juga berubah

Bila pemicunya dapat ditemukan (OH, stress, trauma, diet), maka pengobatan

dapat didiskusikan dengan pasien


Bila ada gejala prodromal (kesemutan) ditanggulangi dulu

Tipe C

Lesi sangat nyeri


Lesi bersifat kronis, satu lesi belum sembuh, sudah timbul lagi lesi baru
Lesi tipe ini sebaiknya dirujuk ke dokter gigi spesialis penyakit mulut, dan
diperlukan kerjasama dengan spesialis lain tergantung dari gejala yang timbul
Obat yang digunakan:
- Kortikosteroid topikal yang poten
- Kortikosteroid sistemik

Ringkasan

Stomatitis aftosa rekuren merupakan jenis stomatitis yang paling sering

ditemukan
Etiologi yang pasti tidak diketahui
Faktor predisposisinya banyak
Rasa nyeri merupakan ciri khasnya
Gambaran klinisnya bervariasi
Pengobatan dilakukan secara simtomatik

Daftar Pustaka:
Cawson, R.A. dan Odell, E.W. 2008. Cawsons Essentials of Oral Pathology and Oral
Medicine. Ed. ke-7. Curchill-Livingstone, Edinburgh. Hal. 220 - 224.
Lamey, P.J. dan Lewis, M.A.O. 1991. Oral Medicine in Practice. BDJ Publisher, London.
Hal. 5 7.
Neville, B.W., Damm, D.D. dan White, D.H. 1999. Color Atlas of Clinical Oral
Pathology. Ed ke-2. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia. Hal. 138 147, 188
191.
Regezi, J.A., Sciubba, J.J. dan Jordan, R.C. 2008. Oral Pathology. Clinical Pathologic
Correlations. Ed ke-5. Saunders Elsevier, St. Louis. Hal. 35 39.
Sook Bin Woo dan Greenberg, M.S. 2008. Ulcerative, Vesicular and Bullous Lesions.
Dalam Burkets Oral Medicine. M.S. Greenberg, M. Glick dan J.A. Ship, editor. BC
Decker, Hamilton. Hal. 57 60.

Anda mungkin juga menyukai