Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Judul percobaan
Efek obat kolinergik dan antikolinergik pada mata

1.2 Latar belakang


Kolinergik/ Parasimpatikomimetika adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek
yang sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis(SP), karena melepaskan Asetilkolin( Ach ) di
ujung-ujung neuron. dimana tugas utama SP adalah mengumpulkan energi dari makanan dan
menghambat penggunaannya singkatnya asimilasi. Efek kolinergis yang terpenting adalah:
Stimulasi pencernaan, dengan cara memperkuat peristaltik dan sekresi kelenjar ludah dan
getah lambung dan sekresi air mata
Memperlambat sirkulasi, dengan cara mnegurangi kegiatan jantung,vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah.
Memperlambat pernafasan, dengan cara mengecilkan bronchi sedangkan sekresi dahak
diperbesar.
Kontraksi otot mata, dengan cara miosis( penyempitan pupil) dan menurunnya tekanan
intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.
Kontraksi kandung kemih dan ureter, dengan cara memperlancar pengeluaran urin
dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.
Menekan SSP (Sistem Saraf Pusat), setelah stimulasi pada permulaan.
Setelah mengetahui efek obat kolinergis, kita akan beralih ke reseptor-reseptor kolinergis
yang merupakan tempat substrat obat menempel supaya "obat" dapat menghasilkan efek
Reseptor kolinergis dibagi 2 yakni:
Reseptor Muskarin (M)
Berada pada neuron post-ganglion dan dibagi 3 subtipe, yaitu Reseptor M1, M2, dan
M3 dimana masing-masing reseptor ini memberikan efek berbeda ketika dirangsang.
Muskarin (M) merupakan derivat furan yang bersifat toksik dan terdapat pada jamur

muscaria sebagai alkaloid. Reseptor akan memberikan efek-efek seperti diatas setelah
mengalami aktivasi oleh neurotransmitter asetilkolin(Ach).
Reseptor Nikotin (N)
Berada

pada

pelat

ujung-ujung

myoneural

dan

pada

ganglia

otonom.

tor ini oleh kolinergik (neostigmin dan piridostigmin) yang akan menimbulkan efek
menyerupai adrenergik, berlawanan sama sekali. Misalnya vasokonstriksi dengan
naiknya tensi, penguatan kegiatan jantung, stimulasi SSP ringan.
Penggolongan kolinergika dapat pula dibagi menurut cara kerjanya :
1. Bekerja langsung: karbachol, pilokarpin, muskarin dan arekolin. Zat-zat ini bekerja
langsung terhadap organ ujung dengan kerja utama seperti efek muskarin dari ACh.
2. Bekerja tak-langsung: zat-zat antikolinesterase seperti fisostigmin, neostigmin,
piridostigmin. Obat-obat ini menghambat penguraian ACh secara reversibel, yakni
hanya untuk sementara. Setelah habis teruraikan oleh kolinesterase, ACh akan segera
dirombak kembali.
Ada pula zat-zat yang mengikat enzim secara ireversibel, misalnya parathion dan organofosfat
lain. Kerjanya cukup panjang dengan cara membuat enzim baru lagi dan membuat enzim baru
lagi.Obat Antikolinergi (dikenal juga sebagai obat antimuskatrinik, parasimpatolitik, penghambat
parasimpatis). Saat ini terdapat antikolinergik yang digunakan untuk
(1). mendapatkan efek perifer tanpa efek sentral misalnya antispasmodik
(2). Penggunaan lokal pada mata sebagai midriatikum
(3). Memperoleh efek sentral, misalnya untuk mengobati penyakit Parkinson
Contoh obat-obat antikolinergik adalah atropin, skopolamin, ekstrak beladona, oksifenonium
bromida dan sebagainya. Indikasi penggunaan obat ini untuk merangsang susunan saraf pusat
(merangsang nafas, pusat vasomotor dan sebagainya, antiparkinson), mata (midriasis dan
sikloplegia), saluran nafas (mengurangi sekret hidung, mulut, faring dan bronkus, sistem
kardiovaskular (meningkatkan frekuensi detak jantung, tak berpengaruh terhadap tekanan darah),
saluran cerna (menghambat peristaltik usus/antispasmodik, menghambat sekresi liur dan
menghambat sekresi asam lambung)

Obat antikolinergik sintetik dibuat dengan tujuan agar bekerja lebih selektif dan mengurangi efek
sistemik yang tidak menyenangkan.
1.3 Tujuan percobaan
1. Memahami efek obat pada diameter pupil.
2. Memahami efek obat pada reflex korneal.
3. Memahami efek obat pada reflex cahaya.
1.4 Prinsip Percobaan
Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan miosis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
Sistem saraf pusat merupakan system saraf eferen (motorik) yang mempersarafi organorgan dalam seperti otot-otot polos, ototjantung, dan berbagai kelenjar. Sistem ini melakukan
fungsikontrol, semisal: control tekanan darah, motilitas gastrointestinal, sekresi gastrointestinal,
pengosongan kandung kemih, proses berkeringat, suhu tubuh, dan beberapa fungsi lain.
Didalam system saraf otonom terdapat obat otonom. Obat otonom adalah obat yang
bekerja pada berbagai bagaian susunan saraf otonom, mulai dari sel saraf sampai dengan sel
efektor. Obat-obat otonom bekerja mempengaruhi penerusan impuls dalam susunan saraf otonom
dengan jala nmengganggu sintesa, penimbunan, pembebasan atau penguraian neuro hormone
tersebut dan khasiat nyaata reseptor spesifik.
Menurut khasiatnya, obat otonom dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Parasimpatik omimetika (kolinergik) yang merangsang organ-organ yang dilayani saraf
parasimpatis dan meniru efek perangsangan oleh asetilkolin, misalnya pilokarpin dan
fisostigmin.
b. Parasimpatik olitika (antikolinergik) justru melawan efek-efek kilonergik, misalnya
alkaloida, belladonna dan propantelin.
Pilokarpin merupakan obat kolinergik golongan alkaloid tumbuhan, yang bekerja pada
efektor muskarinik dan sedikit memperlihatkan sedikit efek nikotinik sehingga dapat merangsang
kerjakelenjar air mata dan dapat menimbulkan miosis dengan larutan 0,5 - 3%. Obat tetes mata
dengan zat aktif pilokarpin berkhasiat menyembuhkan glaucoma dan mata kering.
Atropin sulfat menghambat M. constrictor papillae dan M. ciliaris lensa mata,sehingga
menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mechanism akomodasi).Mekanisme kerja
Atropine memblok aksi kolinomimetik pada reseptor muskarinik secara reversible (tergantung
jumlahnya) yaitu, hambatan oleh atropine dalam dosis kecil dapat diatasi oleh asetilkolin atau
agonis muskarinik yang setara dalam dosis besar. Hal ini menunjukan adanya kompetisi
untuk memperebutkan tempatikatan. Hasil ikatan pada reseptor muskarinik adalah mencegah

aksi seperti pelepasan IP3 dan hambatan adenilil siklase yang diakibatkan oleh asetilkolin atau
antagonis muskarinik lainnya.

BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat dan bahan

Alat yang digunakan :


-

Alat pengukur diameter pupil mata (penggaris)

Senter

Pipet tetes

Bahan yang digunakan :


-

Larutan pilokarpin HCl 3 %

Larutan atropine sulfat 2 %

1 ekor kelinci

3.2 Cara Kerja


1. Siapkan 1 ekor kelinci.
2. Amati, ukur dan catat diameter pupil kedua mata pada cahaya buram dan pada cahaya
terang dengan senter sebelum diberikan obat, bandingkan.
3. Pada mata kiri diteteskan dengan pilokarpin sebanyak 3 tetes kedalam kelopak mata
bawah, biarkan mata terbuka selama 1-2 menit sambil ditekan saluran nasolacrimal,
amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya terang.
4. Setelah terjadi miosis kuat pada mata kiri, diteteskan kembali atropine sebanyak 2 tetes
kedalam kelopak mata bawah pada mata kiri, biarkan mata terbuka selama 1-2 menit
sambil ditekan saluran nasolacrimal, amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan
cahaya terang.

5. Selanjutnya pada mata kanan diteteskan atropine sebanyak 2 tetes kedalam kelopak mata
bawah, biarkan mata terbuka selama 1-2 menit sambil ditekan saluran nasolacrimal,
amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya terang.
6. Setelah itu diteteskan kembali pilokarpin sebanyak 3 tetes kedalam kelopak mata bawah
pada mata kanan, biarkan mata terbuka selama 5 menit sambil ditekan saluran
nasolacrimal, amati reflex pupil mata dengan cahaya redup dan cahaya terang.
7. Setelah terjadi miosis kuat pada mata kanan , diteteskan kembali atropine sebanyak 2
tetes kedalam kelopak mata bawah pada mata kiri, biarkan mata terbuka selama 1-2
menit.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengamatan

Sebelum pemberian obat


Cahaya

Diameter pupil mata kiri

Diameter pupil mata kanan

kelinci (cm)

kelinci (cm)

0,8 cm
0,6 cm

0,8 cm
0,6 cm

Cahaya redup
Cahaya terang

Setelah pemberian obat


1. Mata kiri kelinci
Cahaya

Diameter pupil mata (cm) pada

Diameter pupil mata (cm)

pemberian obat pilokarpin

pada pemberian obat atropin

0,6 cm
0,5 cm

0,9 cm
0,8 cm

Cahaya redup
Cahaya terang

2. Mata kanan kelinci


Cahaya

Cahaya redup

Diameter pupil mata (cm)

Diameter pupil mata (cm)

Diameter pupil mata

pada pemberian obat

pada pemberian obat

(cm) pada pemberian

atropin
0,8 cm

pilokarpin
0,6 cm

obat atropin
0,8 cm

Cahaya terang

0,5 cm

0,4 cm

0,4 cm

4.2 Pembahasan
Pada percobaan efek obat kolinergik dan antikolinergik pada mata, menggunakan hewan
coba yaitu kelinci. Langkah awal yang dilakukan sebelum pemberian obat yaitu mengukur
diameter pupil mata kiri dan kanan kelinci dengan 2 metode, yaitu cahaya redup dan cahaya
terang (menggunakan senter). Pada mata kiri, diameter yang diperoleh saat cahaya redup sebesar
0,8 cm dan diameter yang diperoleh saat cahaya terang sebesar 0,6 cm. Kemudian pada mata
kanan, diperoleh diameter yang sama seperti pada mata kiri kelinci.
Langkah selanjutnya adalah dilakukan pemberian obat pada kedua mata kelinci. Pada mata
kiri diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes dan diamkan selama 1-2 menit, kemudian diukur
diameter pupil dengan penggaris yang diperoleh sebesar 0,6 cm saat cahaya redup dan 0,4 cm
saat cahaya terang. Pilokarpin menyebabkan penyempitan diameter pupil, dikarenakan
pilokarpin menunjukkan aktivitas muskarinik, yang mana pada penggunaan topical pada kornea
dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris dan hal ini juga sesuai dengan
teori bahwa pilokarpin merupakan golongan obat kolinergik yang dapat memberikan efek miosis
pada mata.Lalu diberikan atropine sebanyak 2 tetes diamkan selama 1-2 menit, ukuran diameter
pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,8 cm saat cahaya terang. Atropin
menyebabkan pelebaran diameter pupil (dilatasi pupil) mata kelinci, hal ini disebabkan karena
atropine termasuk golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/ merupakan antagonis
kompetitif asetilkolin. Atropin sulfat menghambat M. constrictor papillae dan M. ciliaris lensa
mata, sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi).
Pada mata kanan diberikan atropine sebanyak 2 tetes dan diamkan selama 1-2 menit, ukuran
diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,6 cm pada cahaya terang.
Kemudian diberikan pilokarpin sebanyak 3 tetes selama 1-2 menit, ukuran diameter pupil yang
diperoleh sebesar 0,6 cm pada cahaya redup dan 0,4 cm pada cahaya terang. Kemudian
didiamkan selama 5 menit, lalu diberikan atropine kembali sebanyak 2 tetes dan diamkan selama
1-2 menit. Ukuran diameter pupil yang diperoleh sebesar 0,9 cm saat cahaya redup dan 0,6 cm
saat cahaya terang. Penambahan atropine kembali bertujuan untuk melihat apakah reaksi pupil
menjadi normal ketika diteteskan atropine kembali, dan hasil yang didapat sesuai dengan teori

bahwa penambahan atropine dapat melebarkan pupil mata atau menormalkan kembali mata yang
menyempit ketika diteteskan pilokarpin.
Mengecilnya pupil saat diberikan cahaya terang yaitu karena pada mata terdapat sfingter iris
yang mengatur mengkoneksi pupil. Jika cahaya disinari kedalam mata, pupil akan mengecil ini
disebut reflek cahaya pupil. Bila cahaya mengenai retina maka terjadi impuls yang mula-mula
berjalan ke nervusopticus dan kemudian ke nukleusprotektalis. Dari sini impuls berjalan nucleus
Edinger-Westphal dan akhirnya kembali melaui syaraf parasimpatis untuk mengkoneksikan
sfinger tersebut. Dalam keadaan gelap reflek ini dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi
pupil.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Pada mata kiri dan kanan , diameter yang diperoleh saat cahaya redup sebesar 0,8 cm
dan diameter yang diperoleh saat cahaya terang sebesar 0,6 cm.
Mengecilnya pupil saat diberikan cahaya terang yaitu karena pada mata terdapat
sfingter iris yang mengatur mengkoneksi pupil. Jika cahaya disinari kedalam mata,
pupil akan mengecil ini disebut reflek cahaya pupil.
Dalam keadaan gelap reflek ini dihambat sehingga mengakibatkan dilatasi pupil.
Pilokarpin merupakan golongan obat kolinergik yang dapat memberikan efek miosis
pada mata.
Pilokarpin menyebabkan penyempitan diameter pupil, dikarenakan pilokarpin
menunjukkan aktivitas muskarinik, yang mana pada penggunaan topical pada kornea
dapat menimbulkan miosis dengan cepat dan kontraksi otot siliaris
Atropine termasuk golongan antagonis kolinergik/parasimpatolitik/ merupakan
antagonis kompetitif asetilkolin.
Atropin sulfat menghambat M. constrictor papillae dan M. ciliaris lensa mata,
sehingga menyebabkan midriasis dan siklopegia (paralisis mekanisme akomodasi).
Penambahan atropine dapat melebarkan pupil mata atau menormalkan kembali mata
yang menyempit ketika diteteskan pilokarpin.

DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna. 1995. Farmakologi dan Terapi, edisi keempat. Jakarta: UI-Press
Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi keenam. Jakarta: EGC
Tim Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2005. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta: Gaya Baru
Tim

Dosen

Praktikum

Farmakologi,Penuntun

Praktikum

Farmakologi,Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Isntitut Sains Dan Teknologi Nasional

Anda mungkin juga menyukai