Refrat Pemberian Eritropoetin Pada GGK FIX
Refrat Pemberian Eritropoetin Pada GGK FIX
Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
Kriteria GGK yaitu kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3
bulan, berupa kelainan structural atau fungional, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi, kelainan neurologis, terdapat tanda
kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urine, atau kelainan
dalam test pencitraan (imaging test). Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60
ml/ menit/ 1.73 m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada keadaan
tidak terdapat kerusakkan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/ menit/ 1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Telah diperkirakan bahwa sedikitnya 6% pada kumpulan populasi dewasa di
Amerika Serikat telah menderita GGK dengan LFG > 60 ml/mnt per 1,73 m2 (derajat
1 dan 2). Selain itu, 4,5% dari populasi Amerika Serikat telah berada pada derajat 3
dan 4. Data pada tahun 1995-1999, menyatakan bahwa di Amerika Serikat insiden
GGK diperkirakan 100 kasus/juta penduduk/ tahun dan angka ini meningkat 8%
setiap tahun.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi nomal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina dan napas sesak.
hypoxia
merupakan
rangsangan
untuk
peningkatan
pembentukan
BAB 2 PEMBAHASAN
biasanya
berlangsung
beberapa
tahun,
dimana
ginjal
kehilangan
baru gagal ginjal per tahun. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini
diperkirakan sekitar 40-60 juta/tahun.
2.1.3 Etiologi
Gagal ginjal kronis dapat disebabkan oleh penyakit sistematik seperti diabetes
militus, glumeluronefritis kronis; pielonefritis, hipertensi yang tidak dapat dikontrol;
obstruksi traktus urinarius, lesi herediter, seperti penyakit ginjal polikistik, gangguan
vaskuler, infeksi, medikasi, atau agens toksik. Klasifikasi penyebab GGK seperti
tabel dibawah ini.
Tabel 2.1 Klasifikasi penyebab GGK
Klasifikasi penyakit
Penyakit
Infeksi
Penyakit vaskular hipertensif
Pielonefritis kronis
Nefrosklerosis benigna
Nefrosklerosis maligna
herediter
Penyakit metabolik
Nefropati toksik
Penyalahgunaan analgesik
Nefropati ginjal
Nefropati obstruktif
Penyakit peradangan
Glomerulonefritis
GGK dapat ditentukan stadiumnya melalui nilai dari GFR, seperti tabel 2.2
dibawah ini.
Tabel 2.2 Stadium GGK
2.1.4 Pathofisiologi
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolime protein yang normalnya
diekskresikan ke dalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan
mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka
gejala akan semakin berat. Banyak gejala uremia membaik setelah hemodialisis.
Gangguan Klirens Renal. Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai
akibat dari penurunan jumlah glomeruli yang berfungsi, yang menyebabkan
penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal.
Penurunan Laju Filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan
mendapatkan urin 24 jam untuk pemeriksaan klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi
glomerulus (akibat tidak berfungsinya glomeruli). Klirens kreatinin akan menurun
dan kadar kreatinin serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah
(BUN) biasanya meningkat. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling
sensitive dari fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh.
BUN tidak hanya dipengaruhi oleh penyakit renal, tetapi juga oleh masukan protein
dalam diet, katabolisme (jaringan dan luka RBC), dan medikasi seperti steroid.
Pada
GGK,
ginjal
tidak
mampu
untuk
mengkonsentrasikan
atau
mengencerkan urin secara normal, respons ginjal yang sesuai terhadap perubahan
masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi. Pasien sering menahan
natrium dan cairan, meningkatkan risiko terjadinya edema, gagal jantung kongestif,
dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivasi aksis rennin angiostensin
dan kerjasama keduanya meningkatkan sekresi aldosteron.
Pasien lain mempunyai kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan
risiko hipotensi dan hipovolemia. Episode muntah dan diare menyebabkan penipisan
air dan natrium, yang semakin memperburuk status uremik.
Asidosis juga dapat terjadi pada penyakit GGK, terjadinya asidosis metabolik
disebabkan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang
berlebihan. Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
untuk menyekresi ammonia (NH3) dan mengabsorpsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi.
Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat,
memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk
mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal. Eritropoetin, suatu substansi nomal yang diproduksi oleh ginjal,
menstimulasi sum-sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada gagal
ginjal, produksi eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi, disertai keletihan,
angina dan napas sesak.
Ketidakseimbangan Kalsium dan Fosfat. Abnormalitas utama yang lain pada
gagal ginjal kronis adalah gangguan metabolisme kalsium dan fosfat. Kadar serum
kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik; jika salah satunya
meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus
ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar
serum kalsium. Penurunan kadar kalsium serum menyebabkan sekresi parathormon
dari kelenjar paratiroid.
Namun demikian, pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal
terhadap peningkatan sekresi parathormon, dan akibatnya, kalsium di tulang
menurun, menyebabkan perubahan pada tilang dan penyakit tulang.
biokimiawi
darah
meliputi
penurunan
kadar
hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia , hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosituria, cast,
isosisteinuria.
2.1.7 Gambaran Radiologi
Pemeriksaan radiologi GGK meliputi; Foto polos abdomen, bisa tampak batu
radio-opaque,
Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran pasien terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakkan. Pielografi
antegrad atau retrograd dilakukan sesuai indikasi. USG ginjal memperlihatkan ukuran
ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal,
kista, massa, kalsifikasi. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renogarfi dikerjakan
bila ada indikasi.
2.1.8 Penatalaksanaan
Perencanaan tatalaksana GGK sesuai dengan derajatnya.
Penatalaksanaan GGK meliputi:
1.
2.
Kondisi komorbid antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak
terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
3.
penurunan LFG lebih lanjut. Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah
terjadinya hiperfiltrasi glomerulus.
Pembatasan asupan protein
Tujuan utama pembatasan asupan protein, selain untuk memperbaiki
komplikasi uremia, adalah untuk memperlambat kerusakan nefron. Pembatasan
asupan protein mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan diatas nilai
tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari, yang 0.30-0.50 gr diantaranya merupakan
protein
nilai
biologi
tinggi.
Jumlah
kalori
yang
diberikan
sebesar
30-
demikian
pembatasan
asupan
protein
akan
mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik maslah penting lain adalah asupan protein berlebih
( protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa
peningkatan
aliran
darah
dan
tekanan
intraglomerulus
(intraglomerulus
protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Mengurangi hipertensi intraglomerular dan proteinuria
Terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurasi hipertensi glomerulus
ialah dengan pengggunaan antihipertensi, yang bertujuan untuk memperlambat
progresivitas dari kerusakan ginjal, dengan memperbaiki hipertensi dan hipertrofi
intraglomerular. Selain itu terapi ini juga berfungsi untuk mengontrol proteinuria.
Tekanan darah yang meningkat akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan
transmisi ke glomerulus pada tekanan sistemik meningkat.
Saat ini diketahui secara luas, bahwa proteinuria, berkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuriaberkaitan dengan proses
perburukan fungsi ginjal pada GGK. Beberapa obat antihipertensi, terutama
penghambat enzim converting angotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor
bloker melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan
antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi efek samping terhadap obatobat tersebut dapat diberikan calcium chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
4.
penyakit kardiovaskuler. Hal hal yang termasuk ke dalam pencegahan dan terapi
penyakit kardiovaskuler adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi,
pengendalian dislipidemi, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan
terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini
terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi GGK secara keseluruhan.
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi GGK mengakibatkan berbagai
komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang
terjadi.
variasi dari sel darah merah normal yang hidup tetapi rata-rata waktu hidup berkurang
25-30%. Efek faktor yang terkandung pada uremic plasma pada Na-ATPase membran
dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupkan
mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa
phospat shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu
mengartikan kematian eritrosit menjadi oksidasi Hb dengan proses hemolisisis.
Kerusakan ini menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat
atau sebagai obat-obatan.
Peningkatan kadar hormon PTH pada darah akibat sekunder hiperparatioidsm
juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada uremia, sejak PTH
yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari SDM
manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan seluler.
Hyperparatiroidism dapat
menekan
produksi sel
darah
merah
melalui
monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel juga dapat disebabkan
tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide. Autoimun dan kelainan
biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup eritrosit. Hipersplenism
merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh pembentukan antibodi,
fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis dapat mengurangi
sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal ginjal terminal.
Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang , yang dapat menyebabkan
hemolisis seperti kelebihan besi pada darah, Zn, dan formaldehid, atau karena
pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada gagal ginjal juga dapat disebabkan
karena proses patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang
berhubungan dengan periarteritis nodosa, SLE, dan hipertensi maligna.
Defisiensi Eritropoetin
Hemolisis sedang yang disebabkan hanya karena gagal ginjal tanpa faktor lain
yang memperberat seharusnya tidak menyebabkan anemia jika respon eritropoesis
mencukupi tetapi proses eritropoesis pada gagal ginjal terganggu. Alasan yang paling
utama dari fenomena ini adalah penurunan produksi eritropoetin pada pasien dengan
gagal ginjal yang berat. Produksi eritropoetin yang inadekuat ini merupakan akibat
kerusakan yang progresif dari bagian ginjal yang memproduksi eritropoetin.
Peran penting defisiensi eritropoetin pada patogenesis anemia pada gagal
ginjal dilihat dari semakin beratnya derajat anemia. Selanjutnya pada penelitian
terdahulu menggunakan teknik bio-assay menunjukkan bahwa dalam perbandingan
dengan pasien anemia tanpa penyakit ginjal, pasien anemia dengan penyakit ginjal
menunjukkan peningkatan konsentrasi serum eritropoetin yang tidak adekuat.
Inflamasi kronik, menurunkan produksi sel darah merah dengan efek tambahan
terjadi defisiensi erotropoetin.
Proses inflamasi seperti glomerulonefritis, penyakit reumatologi, dan
pielonefritis kronik, yang biasanya merupakan akibat pada gagal ginjal terminal,
pasien dialisis terancam inflamasi yang timbul akibat efek imunosupresif.
hypoxia
merupakan
rangsangan
untuk
peningkatan
pembentukan
ketidakspesifikkan,
leukopenia,
dan
trombositopenia
bukan
merupakan karakteristik dari uremia, telah disimpulkan bahwa spermin dan spermidin
tidak memiliki fungsi yang signifikan pada patogenesis dari anemia pada penyakit
ginjal kronik. Kadar PTH meningkat pada uremia karena hiperparatiroidsm sekunder,
tetapi hal ini masih kontroversi jika dikatakna bahwa PTH memberikan efek
penghambatan pada
eritropoesis. Walaupun
menurut
penelitian,
dilaporkan
Faktor Lain
Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan gagal
ginjal terminal dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat
terpapar oleh konsentrasi tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat
yang mengandung aluminium. Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang
kadar feritin serum nya meningkat atau normal pada pasien hemodialisis,
menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan diperparah oleh intoksikasi
alumnium.
Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi terdapat bukti yang kuat
yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis menyebabkan
hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium dapat
mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan
mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya
sirkulasi besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang.
2.2.3 Diagnosis
Anamnesis pada anemia dengan gagal ginjal ditanyakan tentang riwayat
penyakit terdahulu, pemeriksaan fisik, evaluasi pemeriksaan darah lengkap dan
pemeriksaan apus darah perifer. Kebanyakan pasien yang tidak memiliki komplikasi,
anemia ini bersifat hipoproliferatif normositik normokrom, apus darah tepi
menunjukkan burr cell. Perubahan morfologi sel darah merah menampilkan proses
hemolitik primer , mikroangiopati atau hemoglobinopati. Jumlah total retikulosit
secara umum menurun.
Mean corpuscular volume meningkat pada defisiensi asam folat, defisiensi B
12 dan pasien dengan kelebihan besi. Mean corpuscular volume menurun pada pasien
dengan thalasemia, defisiensi besi yang berat, dan intosikasi aluminium yang berat.
Pada era penggunaan rekombinant human eritropoetin (rHuERITROPOETIN) ,
penilaian terhadap simpanan besi melalui perhitungan feritin serum, transferin, dan
besi sangat diperlukan.
Pada keadaan dimana tidak ada faktor yang memperberat seperti penyakit
inflamasi, penyakit hati, atau respons yang buruk dari rHuERITROPOETIN, feritin
serum merupakan indikator yang tepat dari simpanan besi tubuh. Jika simpanan
menurun , nilai feritin serum menurun sebelum saturasi transferin. Walaupun penyakit
kronik dapat menurunkan besi dan transferin, pasien dengan saturasi transferin
kurang dari 20% dan feritin kurang dari 50 ng/ mm dapat dianggap terjadi defisiensi
besi. Di sisi lain pasien memiliki saturasi lebih dari 20% yang gagal berespons
terhadap replacement besi harus diperkirakan mengalami intoksikasi aluminium atau
hemoglobinopati.
Walaupun alat serologi dapat mengidentifikasi defisiensi besi dengan
spesifisitas, Memastikan dengan pasti penyebab membutuhkan berbagai jalur
kehilangan besi pada pasien tersebut termasuk saluran gastro intestinal (4-5 ml blood
loss / hari atau 5 ml kehilangan besi/ hari), prosedur dialisis (4-50 ml/ terapi dimana
mungkin disebabkan karena antikoagulan yang inadequat dan teknik penggunaan
kembali dialister yang buruk), flebotomi yang rutin untuk kimia darah dan konsumsi
besi pada terapi rHuERITROPOETIN.
2.3 Eritropoetin
2.3.1 Pengertian
Eritropoietin (bahasa Inggris: erythropoetin, erithropoyetin, hematopoietin,
hemopoietin, ERITROPOETIN) adalah hormon glikoprotein yang merupakan
nukleus, dan penambahan serta pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah
proses ini barulah eritrosit mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi
matur (Munker, 2006).
Peran eritropoetin sangat perpengaruh dalam pembentukan eritrosit, seperti
yang terdapat pada gambar 2.1 dibawah ini.
tidak memerlukan transfuse pada pasien ini. Suatu peningkatan jumlah retikulosit
biasanya terjadi sekitar 20 hari serta peningkatan hematokrit dan kadar Hb dalam 26 minggu.
Kebanyakan pasien dapat mempertahankan hematokrit kira kira 35% dengan
dengan dosis eritripoietin
2.3.7
Kriteria
Pengobatan anemia dengan eritropoetin dapat diberikan pada penderita GGK
penderita yang belum menjalani dialysis dapat pula diberikan dan dimulai jika
hematokrit dibawah 30%.
Pengobatan dengan eritropoetin hanya boleh dimulai setelah semua penyebab
anemia kecuali defisiensi erotropoetin disingkarkan, terutama defidiensi Fe, asam
folat, vitamin B12, dan adanya perdarahan.
The Renal Association of Great Britain memakai kriteria sebagai berikut:
1. Hemoglobin dibawah 8 g/dl
2. Penderita memerlukan tranfusi berkala
3. Anemia yang memperberat angina atau payah jantung
4. Anemia yang membahayakan jiwa serta berhubungan dengan gangguan fungsi
tubuh
5. Penderita dimana tranfusi harus dihindarkan untuk mengurangi sensitisasi pada
waktu tranplantasi.
2.3.9
Kontra Indikasi
Pasien yang tidak memenuhi persyaratan untuk terapi Eritropoiet. Pasien
Kanker eritroid
5.
6.
7.
2.3.10 Manfaat
Terdapat beberapa manfaat dalam pemberian eritropoetin, disamping karena
perbaikan anemia, dapat member kentungan lain yaitu, perbaikan perasaan enak,
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Informasi Spesialite Obat (ISO) Indonesia vol. 25. 2010-2011. Penerbit
Ikatan Apoteker Indonesia.
Suwitra, Ketut dan Widiana, Gde Raka dalam : The 9th National Congress of InaSN
&Annual Meeting of Nephrology, Bali : 2005.